Pedang Naga Kemala 34
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
"Siauw-bin-hud! Bicaramu tentang perjuangan melawan penjajah, kiranya hanya bual kosong belaka! Kami yang dikenal sebagai datuk-datuk sesat, kiranya masih lebih bersih dari pada kamu yang berkepala gundul dan berjubah pendeta!" teriak Hai-tok sambil mengepal tinju.
"Hei, Hwesio palsu Siauw-bin-hud, kalau engkau masih pura-pura tidur, kami terpaksa akan meloncat ke situ dan menghajar kepala gundulmu!" teriak Tee-tok sambil mengacung-acungkan tongkat bututnya. Siauw-bin-hud membuka kedua matanya, dan mulutnya yang memang sudah tersenyum itu kini terbuka lebar, tersenyum cerah dan matanya memandang kepada empat orang itu bergantian.
"Omitohud!" serunya seperti orang terheran-heran.
"Bagaimana kalian bisa tiba di sini? Sungguh mengherankan!"
"Hwesio palsu! Jangan pakai pura-pura heran lagi! Kami bersusah payah, sebulan lebih membongkar batu-batu karena ulah pimpinan Siauw-lim-si, dan kini setelah kami berhasil sampai di sini, ternyata harta pusaka itu telah berada dalam pelukanmu. Katakan saja bahwa engkau menantang kami!" teriak San-tok. Tiga orang Kakek itu sungguh merasa marah bukan main, mengira bahwa Siauw-bin-hud sengaja mempermainkan mereka.
"Siancai! Pinceng sungguh tidak mengerti mengapa sikap kalian bertiga begitu marah-marah kepada pinceng? Nona, engkau yang masih muda dan tidak berkepala batu seperti mereka, coba ceritakan mengapa tiga orang tua bangka ini marah-marah seperti kemasukan setan." Lian Hong lebih percaya kepada Siauw-bin-hud dari pada tiga orang Kakek itu. Ia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalahpahaman di sini. Cepat ia menjura dan berkata dengan suara halus.
"Locianpwe, harap diketahui bahwa tiga orang Locianpwe ini melakukan pencarian terhadap harta pusaka menurut petunjuk peta yang terdapat dalam Giok-liong-kiam aseli. Dan peta itu menunjukkan bahwa harta pusaka itu berada di sekitar tempat ini. Akan tetapi, ketika mereka datang ke kuil Siauw-lim-si hendak bertemu dengan Locianpwe, para pimpinan Siauw-lim-si menolak, bahkan mengajak ketiga Locianpwe ini mengadu ilmu.
"Kemudian, para pimpinan Siauw-lim-si hanya membolehkan kami mencari di luar tembok pagar pekarangan Siauw-lim-si. Terpaksa kami membongkar gunung melalui guha-guha di belakang kuil. Sebulan lebih kami bekerja mati-matian, dan hari ini berhasil menembus ke sini. Ternyata Locianpwe sudah berada disini dan... dan... harta itu... peti itu..." Siauw-bin-hud tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya begitu? Sudah puluhan tahun tempat ini menjadi tempat pinceng bertapa! Tempat ini dahulu dibuat oleh sucouw Tat Mo Couwsu, bahkan arca itu kabarnya adalah arca dirinya. Pinceng seringkali berdekatan dengan arca ini dan juga peti ini, akan tetapi pinceng selalu menganggap peti ini hanya pelengkap saja dari arca.
"Hati pinceng tidak pernah dikotori keinginan akan harta, maka tidak pernah memeriksa apakah peti ini ada isinya ataukah tidak. Jadi kiranya, peti inikah yang dimaksudkan harta karun dalam rahasia Giok-liong-kiam itu? Ha-ha-ha-ha... sungguh lucu, bertahun-tahun setiap hari berada di depan pinceng!" Tiba-tiba terdengar suara letusan keras, disusul oleh letusan-letusan dan ledakan-ledakan yang mendatangkan suara bergema dan mengaung di tempat itu. Siauw-bin-hud yang melihat betapa ada peluru beterbangan dan hampir mengenai kepalanya, ia pun terkejut sekali.
"Omitohud...! Tempat ini kemasukan orang-orang jahat!" serunya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang ke depan, dan dia berdiri di dekat tiga orang Kakek dan Lian Hong. Selagi mereka terheran dan terkejut, tiba-tiba dari arah yang berlawanan, yaitu dari kanan, nampak ratusan batang anak panah menyambar-nyambar ke arah kiri dari mana tadi datang peluru-peluru dan terdengar ledakan-ledakan.
"Pasukan pemerintah Ceng!" terdengar suara nyaring dan bergema di dalam ruangan bawah tanah itu.
"Kami yang lebih dulu menemukan harta karun!" Suara itu datang dari kiri, dan ketika empat orang Kakek dan Lian Hong memandang ke kiri, yang nampak hanyalah bayangan-bayangan orang bersembunyi di balik batu-batu dan nampak pula ujung senapan yang dipasangi bayonet. Beratus-ratus jumlahnya!
"Hei, kalian pasukan asing! Kami yang datang lebih dahulu dan harta pusaka itu adalah hak milik kami! Kalian orang-orang asing tidak berhak dan pergilah!" teriakan ini terdengar dari sebelah kanan. Ketika lima orang itu memandang ke arah sana, di belakang batu-batu besar nampak ujung topi ratusan orang prajurit pemerintah Ceng yang bersenjata tombak, golok dan anak panah.
"Hemm, kita lihat saja siapa yang akan berhasil mendapatkan harta pusaka itu!" Terdengar ledakan-ledakan senapan dari kiri yang dibalas dengan sama gencarnya oleh pihak tentara Ceng dengan anak panah mereka. Terjadilah pertempuran yang seru antara tembakan-tembakan senapan dan hujan anak panah dan kanan kiri. Melihat ini, Siauw-bin-hud, San-tok, Tee-tok, Hai-tok dan Lian Hong, terpaksa harus berlari mencari tempat perlindungan di balik batu-batu besar. Sambaran peluru-peluru dan anak panah itu terlalu gencar dan terlalu berbahaya bagi mereka sekalipun. Setelah berada di tempat perlindungan di balik batu-batu besar, Siauw-bin-hud berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Omitohud, kiranya pasukan asing dan pasukan Ceng sudah menyerbu pula tempat ini. Agaknya pemerintah Ceng menyerbu melalui kuil, dan pasukan asing menyerbu melalui jalan terowongan yang kalian buat! Dan mereka semua hendak merebut peti itu! Anehnya, pinceng sendiri sama sekali tidak pernah menduga bahwa peti yang dipangku arca itulah yang terisi harta karun itu. Akan tetapi, benarkah itu?"
"Kurasa benar, Siauw-bin-hud. Menurut petunjuk peta yang disimpan sebagai rahasia pedang Giok-liong-kiam, memang di sinilah tempatnya. Dan dimana lagi disimpannya harta pusaka itu kalau tidak di dalam peti yang dipangku oleh arca besar itu?" kata San-tok dengan yakin. Ruangan itu kini penuh asap dan ledakan-ledakan senapan. Keadaan menjadi gelap dan membuat mata terasa pedas, bahkan terdengar banyak di antara para pasukan kedua pihak batuk-batuk.
"Kita harus turun tangan," bisik Siauw-bin-hud.
"Kalau tidak, pertempuran itu tentu akan berlarut-larut dan akhirnya harta itu akan terjatuh ke tangan satu di antara mereka. Pinceng tidak boleh menentang pasukan Ceng, karena hal itu akan mengakibatkan dimusuhinya Siauw-lim-si yang memang sudah dianggap suka memberontak oleh pemerintah.
"Kini kita membagi tugas. Kalian bertiga, San-tok, Tee-tok dan Hai-tok, menerjang ke kanan, hajar pasukan pemerintah Ceng agar mereka itu mundur, sedangkan pinceng dan nona ini akan mendesak pasukan asing agar mundur keluar dan sini. Kalau kita lakukan secara berbareng, tentu kedua pihak menjadi kacau dan mudah-mudahan berhasil mendesak mereka mundur. Dan setelah mereka mundur, kita mengambil peti itu dan pergi dari sini melalui jalan rahasia yang pinceng kenal." Tiga Kakek itu menganguk-ngangguk.
"Rencanamu bagus sekali, Siauw-bin-hud. Dan maafkan persangkaan kami tadi..." kata San-tok. Tiga orang Kakek itu lalu berloncatan dan menyelinap di antara batu-batu, lalu membuat sergapan ke kanan dimana berkumpul pasukan pemerintah Ceng yang ratusan orang banyaknya. Sebaliknya, Siauw-bin-hud ditemani oleh Lian Hong, menyelinap ke kiri dan mereka berdua juga melakukan penyergapan kepada pasukan asing. Terjadilah kekacauan di kedua pihak. Biarpun Siauw-bin-hud dan Lian Hong hanya merobohkan para serdadu itu tanpa membunuh mereka, tidak seperti amukan tiga orang datuk sesat yang menyebar maut, namun para prajurit asing menjadi panik dan ketakutan ketika tiba-tiba saja teman-teman mereka roboh bergelimpangan tanpa mereka ketahui sebabnya.
Siaw-bin-hud dan Lian Hong bergerak dengan amat cepat dari balik batu-batu besar. Selagi keadaan di kedua pihak amat kacau karena amukan lima orang itu, dan ruangan menjadi semakin gelap oleh asap senapan, dari kanan menyelinap sesosok tubuh yang berpakaian seperti seorang prajurit pasukan Ceng. Akan tetapi gerakannya cepat bukan main ketika dia menyusup-nyusup itu. Keadaan demikian kacau sehingga tidak ada yang melihat gerakan sosok tubuh ini, apalagi ketika orang itu kadang-kadang melepaskan sebuah benda yang mengeluarkan asap yang menyakitkan mata. Orang itu terus menyelinap, dan dengan loncatan ringan dia menyeberang dan tiba di atas batu persegi yang diduduki arca. Dia menyelinap di dalam lubang di antara kaki arca dari mana keluar cahaya matahari, dan lenyaplah tubuhnya masuk ke bawah arca!
Sementara itu, pertempuran masih terus berlangsung dengan hebatnya. Pihak pasukan asing mengira bahwa yang merobohkan banyak prajurit secara aneh dan bersembunyi itu tentulah orang-orang pandai yang berpihak kepada pasukan Ceng, sebaliknya pasukan Ceng yang diamuk oleh tiga orang Kakek sakti itupun menduga bahwa orang-orang pandai itu tentu berpihak kepada pasukan asing. Hal ini membuat kedua pihak merasa jerih. Terlalu banyak pasukan yang berada di depan sudah roboh. Apalagi pasukan tentara Ceng yang melihat betapa prajurit-prajurit mereka roboh dan tewas dalam keadaan yang mengerikan. Sementara itu, tak seorangpun melihat betapa sosok tubuh yang tadi menyelinap masuk ke bawah arca, kini sudah keluar lagi sambil membawa buntalan yang coba ditutupnya dengan baju prajuritnya.
Dan diapun dengan kecepatan luar biasa sudah menyelinap lagi di antara batu-batu dan menghilang ke arah kanan, dimana terdapat banyak sekali pasukan pemerintah Ceng. Peristiwa itu terjadi dengan amat cepatnya, tertutup oleh asap yang tebal, dan tidak ada orang melihatnya karena semua orang terlibat dalam pertempuran. Serbuan yang dilakukan oleh lima orang itu membuat pasukan kedua pihak kocar-kacir dan akibatnya merekapun terpaksa keluar dari dalam ruangan itu sambil membawa teman-teman yang terluka dan meninggalkan teman-teman yang telah tewas. Setelah kedua pihak mundur dan keluar dan ruangan yang semakin penuh dengan asap itu, Siauw-bin-hud lalu mengajak empat orang itu meloncat ke atas batu persegi. Mereka berlima lalu mendekati peti, dan Siauw-bin-hud dibantu oleh San-tok, membuka tutup peti.
"Omitohud!"
"Celaka...!" teriak San-tok ketika dia melihat bahwa peti itu telah kosong! Di dasar peti terdapat lubang yang agaknya baru saja dibuat orang! Dan yang tertinggal di dalam peti hanyalah sehelai kertas yang sudah tua sekali dengan tulisan huruf-huruf yang sudah kabur. Dengan suara jelas, Siauw-bin-hud membaca tulisan itu. Kiranya tulisan kuno itu menyatakan bahwa sebanyak tiga perempat bagian harta karun itu telah dipergunakan untuk menyelamatkan banyak sekali orang ketika terjadi bencana kelaparan selama beberapa tahun di daerah barat, yang terjadi ratusan tahun yang lalu. Surat itu ditandatangani oleh orang yang menamakan dirinya Ceng Sim (Hati Bersih).
"Diambil untuk menyelamatkan rakyat sebanyak tiga perempat, lalu mana sisanya yang seperempat lagi?" Hai-tok berseru dengan marah.
"Lihat! Lubang di dasar peti ini baru saja dibuat orang!" kata Siauw-bin-hud yang segera melakukan pemeriksaan.
"Hemm, dia tentu mengambil jalan melalui lubang di antara kaki arca ini. Ah, tentu ketika terjadi keributan tadi, dia telah melakukannya. Sungguh cerdik bukan main.
"Seperempat bagian itu masih banyak sekali kukira. Lihat, menurut surat-surat peninggalan ini, tiga perempat bagian saja dapat dipergunakan menyelamatkan orang-orang sebanyak berjuta-juta penduduk dari dua propinsi yang dilanda bencana kelaparan karena serangan belalang. Siapa yang berani mengambilnya?" Tiga orang Kakek itu saling pandang.
"Hemm... kalau kami tidak melihat sendiri engkau membantu kami menghalau pasukan, tentu kami akan menuduhmu main-main, Siauw-bin-hud," kata Tee-tok.
"Tidak perlu tuduh-menuduh dalam hal ini," kata Lian Hong.
"Kalau Locianpwe Siauw-bin-hud hendak mengambil sendiri harta pusaka itu, tentu tidak perlu berpura-pura dan sudah lama membawanya pergi bersama petinya, dan tidak meninggalkan bekas-bekasnya. Tentu ada orang lain yang memanfaatkan keadaan ribut-ribut tadi untuk melarikan isi peti secara cerdik sekali." Tiga orang Kakek itu mengangguk dan Siauw-bin-hud menarik napas panjang.
"Omitohud! Agaknya memang Tuhan belum menghendaki jatuhnya pemerintah penjajah Mancu, sehingga usaha kita mencari dana menjadi gagal di saat terakhir. Dan tempat ini menjadi kotor oleh pertempuran tadi. Lihat!" kata Siauw-bin-hud dengan muka penuh penyesalan. Dia menuding ke arah mayat yang bergelimpangan, ada puluhan banyaknya, baik yang tewas oleh amukan tiga orang Kakek itu maupun yang tewas oleh peluru dan anak panah.
"Mari kita keluar. Tempat ini harus diruntuhkan agar menjadi kuburan mereka." Biarpun hal mereka merasa kesal dan kecewa karena harta pusaka itu ternyata sudah diambil orang, yang tiga perempat bagian sudah dipergunakan orang ratusan tahun yang lalu untuk menolong rakyat dari bencana kelaparan, dan yang seperempat, sisanya, baru saja dicuri orang yang lihai, namun tiga orang Kakek itu terpaksa mengikuti Siauw-bin-hud ke luar dari tempat itu mengambil jalan rahasia, sebuah terowongan kecil yang nampak setelah sebuah pintu rahasia di dinding batu itu terbuka. Mereka memasuki terowongan dan akhirnya keluar dari sebuah guha di belakang kuil.
Kakek pendeta itu lalu menarik sebuah rantai besar, dan segera terdengar suara gemuruh di dalam bukit itu, tanda bahwa tempat dimana terdapat arca raksasa tadi telah runtuh dan menimbun semua yang berada di dalamnya, termasuk mayat-mayat yang bergelimpangan. Pasukan Ceng dan pasukan asing yang melihat betapa pintu-pintu ke arah terowongan menjadi tertutup oleh batu-batu yang menggelinding keluar dari dalam ruangan, terkejut dan cepat menjauhi tempat itu. Mereka kembali ke tempat masing-masing dengan tangan hampa, bahkan kehilangan banyak anggauta, terutama sekali pihak pasukan Ceng karena banyak anak buah mereka tewas oleh amukan tiga orang Kakek sakti. Setelah tiba di atas, San-tok, Lian Hong, Tee-tok dan Hai-tok lalu berpamit kepada Siauw-bin-hud.
"Usaha kita gagal, terpaksa kami akan bergerak menentang penjajah dengan kekuatan seadanya!" kata San-tok.
"Omitohud... pinceng juga menyesal sekali. Apalagi karena agaknya akan sukar untuk mencari siapa pencuri harta karun itu. Betapapun juga, pinceng akan menasihatkan para murid Siauw-lim-pai untuk menunjang gerakan kalian menentang pemerintah penjajah.
"Kalau seluruh rakyat dapat digerakkan, pinceng percaya bahwa pemerintah penjajah akan dapat digulingkan dan diusir dari tanah air. Pinceng yang sudah tua dan tidak mau bertempur lagi, hanya akan membantu dengan doa-doa pinceng."
Merekapun pergi dan saling berpisah. San-tok pergi bersama muridnya, Tee-tok dan Hai-tok juga pergi dengan saling berjanji akan mengadakan kontak satu sama lain, dan terutama akan melakukan gerakan di selatan di daerah Kanton, dan di utara di daerah Propinsi Hok-kian. Semenjak terjadinya peristiwa perebutan harta karun di ruangan dalam perut bukit di belakang kuil Siauw-lim-pai yang kemudian lenyap dicuri orang tanpa ada yang mengetahui, Maka pemberontakan terjadi dimana-mana. San-tok, Tee-tok dan Hai-tok, makin meramaikan pemberontakan. Juga murid-murid mereka tidak mau ketinggalan, menggerakkan orang-orang segolongan yang menentang pemerintah penjajah. Perang kecil-kecilan terjadi, pemberontakan berkobar-kobar dimana-mana.
Pasukan pemerintah Ceng menjadi sibuk sekali karena dimana-mana mereka menemui perlawanan dan tentangan. Bahkan pasukan kulit putih juga menjadi semakin terdesak karena sudah seringkali markas mereka diserbu pada malam hari yang gelap dan sunyi, apalagi kalau sedang hujan. Juga patroli-patroli mereka harus diperkuat karena seringnya pasukan kecil mereka disergap di dalam perjalanan di waktu malam. Keadaan menjadi semakin kacau. Biarpun pemberontakan-pemberontakan kecil itu berdalih membela rakyat dan tanah air, namun akibat dari kekacauan-kekacauan yang timbul karena pemberontakan-pemberontakan itu, yang paling menderita adalah rakyat kecil! Pemerintah semakin mudah curiga sehingga banyak rakyat tidak berdosa menjadi korban keganasan pasukan pemerintah yang membabi buta.
Juga pihak pemberontak selalu mencurigai rakyat yang tidak berpihak kepada mereka, menuduh rakyat yang tidak memihak mereka sebagai mata-mata pemerintah penjajah, dan para pemberontak yang menamakan diri pejuang-pejuang itu tidak segan-segan untuk menyiksa atau bahkan membunuh mereka yang dituduh menjadi mata-mata. Tak dapat disangkal lagi dan sudah terbukti berulang kali dalam sejarah di bagian manapun di dunia ini, setiap terjadi perang, apapun dalih perang itu, sudah pasti yang menjadi korban utama adalah rakyat jelata! Dan setiap terjadi perang, maka kekerasan merajalela, manusia-manusia menjadi mata gelap dan kehilangan perikemanusiaan mereka. Yang ada hanyalah bunuh membunuh, dibunuh atau membunuh! Hukum tidak dihiraukan lagi. Keadilan dan kebenaran terinjak-injak. Yang ada hanyalah memperebutkan kemenangan dengan cara bagaimanapun juga.
Perang merupakan peristiwa terkutuk dan menjadi puncak dari pada pelepasan nafsu keganasan manusia. Dengan amat cerdik dan liciknya, setan-setan perang membangkitkan semangat rakyat demi tanah air, demi bangsa, bahkan ada kalanya setan-setan perang mempergunakan bujukan demi agama, demi kebenaran dan demi keadilan! Betapa menyedihkan! Manusia saling membenci, saling bunuh demi agama yang sama sekali tidak membenarkan pembunuhan dan kebencian. Manusia saling membunuh demi kebenaran, padahal membunuh itu sudah menyimpang dari kebenaran. Semua ini menyedihkan, namun terjadi berulang kali sampai saat ini! Semangat rakyat didorong menuju ke pemberontakan oleh ulah orang-orang kulit putih. Karena mereka, dengan persetujuan pemerintah Ceng yang lemah, kini semakin berkuasa dan merajalela di kota-kota besar dan bandar-bandar besar.
Pemerintah Ceng nampak semakin lemah saja menghadapi orang-orang kulit putih. Rakyat menjadi semakin tertekan dan kemarahan menimbulkan pemberontakan dimana-mana. Pada suatu sore di pelabuhan Kanton. Seperti biasa, puluhan orang, hampir seratus orang kuli yang masih muda-muda dan bertubuh tegap dan kuat, bekerja di pelabuhan, mengangkut barang-barang milik orang-orang kulit putih. Ada yang menurunkan peti-peti dari kapal, ada pula yang mengangkat barang-barang rempah-rempah dan lain-lain ke atas kapal yang lain. Memang orang kulit putih memperoleh keuntungan besar dalam penjelajahan mereka ke daratan Cina. Mereka mendatangkan barang-barang dari luar negeri, mengangkut rempah-rempah dan sutera-sutera halus dari daratan dengan keuntungan yang berlipat ganda.
Akan tetapi tidak seperti biasanya, kuli-kuli angkut itu nampak gelisah dan marah. Pagi tadi, ada dua orang di antara mereka yang ditahan dan dipukuli oleh serdadu kulit putih. Mereka itu ditangkap karena mencuri segulung kain sutera. Mereka ditangkap, mengaku sambil menangis bahwa mereka melakukan hal itu karena terpaksa, karena keponakan mereka sakit keras dan membutuhkan uang untuk pembeli obat. Dua orang itu adalah kakak beradik. Para kuli gelisah karena sampai sore, dua orang itu belum dibebaskan dan menurut kabar, mereka itu dipukuli dan disiksa setengah mati. Akhirnya, mereka tidak tahan lagi, dan pada saat serdadu bule membunyikan bel tanda bahwa pekerjaan berakhir, mereka semua beramai-ramai menghadap ke kantor, menuntut agar dua orang yang ditahan itu dibebaskan.
"Mereka memang bersalah, akan tetapi mereka sudah menerima hukuman. Mereka boleh saja dikeluarkan, akan tetapi tidak perlu ditahan terus," demikian tuntutan mereka. Melihat kerumunan puluhan orang kuli itu di depan kantor, komandan jaga, seorang perwira muda kulit putih menjadi marah dan juga khawatir kalau-kalau mereka melakukan pemberontakan.
"Pergi kalian! Urusan dua orang tahanan itu adalah urusan kami, kalian tidak boleh mencampuri. Pergi atau kami akan menggunakan kekerasan!" bentak perwira itu. Para kuli menjadi semakin penasaran. Mereka malah mogok, duduk di depan kantor dan mengacung-acungkan tinju.
"Kami tidak akan pergi sebelum dua orang kawan kami dibebaskan!" Mereka mulai berteriak-teriak dan hal ini membuat perwira itu menjadi panik. Dia segera menghubungi markas dan sekitar lima puluh orang bekas anak buah Harimau Terbang yang kini berada di bawah pimpinan Peter Dull, dikirim ke tempat kerusuhan itu. Peter Dull sendiri tidak muncul karena peristiwa itu dianggapnya remeh dan cukup untuk diselesaikan oleh sersan bule itu dan anak buahnya saja. Ketika pasukan Harimau Terbang datang ke tempat itu, para kuli masih mogok duduk di depan kantor. Sersan bule lalu memerintahkan mereka pergi lagi.
"Pergi kalian, kalau tidak, terpaksa kami akan bertindak!" Lima orang di antara mereka yang menjadi pimpinan, bangkit dan mengacungkan tangan terkepal ke atas.
"Kami tidak akan pergi tanpa dua orang kawan kami yang tertahan!"
"Tangkap lima orang itu!" perintah sang sersan, dan beberapa orang anggauta pasukan Harimau Terbang dengan sikap bengis lalu melangkah maju hendak menangkap lima orang itu. Akan tetapi, para kuli yang jumlahnya hampir seratus orang itu serentak bangkit melindungi lima orang kawan mereka. Melihat ini, sersan itu menjadi marah. Dia mencabut pistolnya dan berteriak.
"Hajar anjing-anjing pemberontak itu! Pukuli mereka sampai babak belur!" Mendengar perintah ini, pasukan Harimau Terbang yang sikapnya seperti anjing-anjing pemburu yang diperintah majikan mereka, langsung saja menyerbu, dan karena mereka adalah orang-orang yang sudah dilatih ilmu silat dan sudah biasa berkelahi, maka biarpun kawanan kuli angkut itu bertubuh kuat dan nekat, tentu saja para kuli ini bukan lawan para pasukan Harimau Terbang. Terjadilah perkelahian yang berat sebelah karena kuli-kuli angkut itu menderita pukulan-pukulan sampai mereka jatuh bangun.
Sersan itu sendiri mengacung-acungkan pistolnya, siap membidik kalau dirinya diserang atau kalau sampai pasukankannya kalah. Hampir seratus orang kuli itu tentu akan luka-luka semua kalau saja pada saat itu tidak muncul seorang gadis yang mengamuk bagaikan seekor naga menyambar-nyambar! Setiap kali tangannya menampar, kakinya menendang, tentu roboh seorang perajurit Harimau Terbang! Sepak terjangnya menggiriskan sekali! Padahal, ia adalah seorang gadis yang cantik manis, dengan sepasang mata yang amat tajam dan usianya belum ada dua puluh tahun. Ia adalah Ciu Kui Eng, gadis yatim piatu murid Tee-tok yang gagah perkasa itu. Ketika tadi Kui Eng kebetulan lewat dan melihat perkelahian itu, ia segera tahu bahwa para kuli angkut sedang disiksa oleh pasukan orang-orang yang menjadi anjing penjilat orang kulit putih.
Ia marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi, ia segera terjun ke dalam perkelahian dan mengamuk, merobohkan orang-orang berpakaian seragam bertopi kulit harimau itu. Biarpun di antara anak buah pasukan itu yang pandai sudah mencoba untuk mengeroyok dan melawan Kui Eng dengan ilmu silat mereka, namun mereka itu masih jauh untuk dapat menandingi Kui Eng, sehingga dalam beberapa gebrakan saja, mereka itu satu demi satu dirobohkan oleh gadis perkasa itu! Melihat betapa dalam waktu singkat, gadis yang mengamuk seperti kerbau gila itu sudah merobohkan belasan orang anak buah Harimau Terbang, sersan kulit putih itu terkejut bukan main. Tak disangkanya ada seorang gadis sedemikian hebatnya. Karena khawatir kalau-kalau pasukannya kalah semua, dia lalu membentak keras.
"Hai, tahan dan angkat tangan, kalau tidak, kutembak kau , gadis liar!" Dimaki gadis liar, Kui Eng menjadi marah. Biarpun opsir itu membidikkan pistol kepadanya, ia tidak takut.
Dengan gerakan gin-kang yang amat ringan, tubuhnya sudah meluncur ke depan, menghampiri opsir itu. Si sersan terkejut, ingin menembak, akan tetapi gerakan gadis itu terlalu cepat dan tubuh gadis itu meluncur seperti terbang, tahu-tahu sudah menubruk ke arah kakinya. Opsir itu menendang, akan tetapi tidak cukup cepat dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang dan pistolnya dirampas orang! Karena dia terbanting keras ke belakang, kepalanya menghantam tanah agak keras dan diapun terkulai, pingsan karena gegar otak! Kui Eng tidak membuang pistol itu, melainkan menyelipkan di pinggangnya dan iapun terus mengamuk. Orang-orang Harimau Terbang menjadi jerih dan mereka sudah berteriak-teriak agar ada yang melapor ke markas minta bala bantuan. Kui Eng cukup cerdik. Ia tahu bahwa kalau bala bantuan datang, tentu ia dan para kuli itu akan celaka.
"Cepat, kita lari!" teriaknya. Kuli-kuli angkut itupun tahu diri. Mereka bergembira sekali karena memperoleh bantuan seorang gadis perkasa, dan mereka tadi juga melakukan perlawanan dengan semangat gigih sehingga banyak di antara mereka yang merasa puas sudah dapat menendangi anak buah pasukan Harimau Terbang. Kini mendengar teriakan Kui Eng, mereka lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka, setelah tidak lupa menyerbu ke kantor dan membebaskan dua orang teman yang ditahan dan yang telah disiksa menderita luka-luka itu. Melihat mereka berlarian, Kui Eng merasa khawatir. Melarikan diri bersama demikian banyaknya orang tidaklah mudah dan tentu keadaan mereka akan diketahui lawan.
"Kemana kita lari?" teriaknya.
"Mari, Lihiap, ikuti kami!" teriak seorang di antara lima orang yang tadi bertindak sebagai pimpinan. Mereka berlari terus melalui lorong-lorong dan kampung-kampung tempat tinggal penduduk yang miskin. Akhirnya, mereka memasuki sebuah rumah seperti gudang yang panjang dan tua. Ruangan yang panjang itu mereka masuki dan ternyata ada sebuah tangga turun menuju ke dalam ruangan bawah tanah yang juga panjang dan agak pengap. Setelah mereka semua memasuki ruangan bawah tanah ini, pintu tembusan itu tertutup secara rahasia dan mereka itu yang berjumlah hampir seratus orang lalu minta agar Kui Eng suka memimpin mereka. Kui Eng berdiri di atas mimbar yang terbuat dan peti-peti ditumpuk dan lima orang pimpinan itu lalu berkata dengan suara keras.
"Mari kita mulai sekarang memberontak terhadap orang kulit putih!"
"Berontaaaakkk...!!" Semua orang mengacungkan kepalan tangan ke atas. Seorang di antara lima pimpinan, yang tinggi besar dan bersikap kasar, tiba-tiba berseru.
"Saudara-saudara, bagaimana kalau kita mengangkat Lihiap ini menjadi pimpinan kami? Akur atau tidak?"
"Akuuuurrr!" Semua orang bersorak dan mengepal tinju ke atas, memandang kepada Kui Eng dengan sinar mata kagum dan penuh harapan. Kui Eng menjadi terkejut dan serba salah. Memang ia sendiri juga ditugaskan oleh suhunya untuk membantu pemberontakan, terutama pemberontakan terhadap pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi mana mungkin ia, seorang gadis, menjadi pemimpin sekelompok laki-laki yang bertubuh kuat dan bersikap kasar ini? Betapapun juga, ia tahu bahwa mereka ini dapat menjadi anak buah yang patuh dan nekat, dan kalau ia menolaknya, tentu akan melumpuhkan semangat mereka yang sedang berkobar.
"Nanti dulu, kawan-kawan..." kata Kui Eng sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Suasana segera menjadi sirap dan hening, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Pertama-tama, aku ingin bertanya, mengapa kalian hendak memberontak? Bukankah selama ini kalian menjadi kuli-kuli angkut di kapal-kapal asing itu. Kenapa kalian secara mendadak lalu timbul keinginan untuk berontak?" Si tinggi besar bermata lebar itu yang menjawab.
"Lihiap, bolehkah saya mewakili semua kawan memberi jawaban?" Melihat betapa semua orang mengangguk tanda setuju, Kui Eng berkata sambil memandang kepada orang tinggi besar itu.
"Boleh, katakanlah."
"Begini, Lihiap. Kami semua sejak dahulu, memang merupakan pekerja-pekerja kasar karena kami tidak mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan halus. Kalau tidak terjadi sesuatu, agaknya kamipun tidak akan memberontak. Akan tetapi, akhir-akhir ini kami seringkali diperlakukan amat tidak adil dan semena-mena oleh orang-orang kulit putih dan antek-anteknya, terutama para anggauta pasukan Harimau Terbang itu.
"Dahulu, sebelum terjadi Perang Candu, kami masih dapat mengharapkan perlindungan dari alat-alat pemerintah. Akan tetapi sekarang, alat-alat pemerintah nampak tunduk pula terhadap orang-orang kulit putih.
"Kami tidak mempunyai pelindung lagi. Maka, kami mengambil keputusan untuk membentuk kesatuan dan pemberontak. Akan tetapi kami membutuhkan pimpinan, dan melihat betapa Lihiap memiliki kepandaian tinggi, dan sudah menolong kami, maka kami ingin sekali mengangkat Lihiap menjadi pemimpin kami."
"Akurrr...!"
"Setuju...!"
"Hidup Lihiap...!" Melihat orang-orang itu kesemuanya laki-laki muda dan gagah, memandang kepadanya dengan kegembiraan meluap, bahkan ada di antara mereka yang melahapnya dengan pandang mata, diam-diam Kui Eng merasa ngeri dan bergidik. Betapa mungkin dia akan hidup sebagai pemimpin di antara begini banyak pria yang setiap hari akan mengerumuni dan memandangnya dengan kekaguman yang kadang-kadang disertai nafsu dan gairah?
"Kawan-kawan, tenanglah dahulu," katanya. Setelah semua orang tenang, ia melanjutkan, kata-katanya jelas dan tetap.
"Aku tahu akan semangat kalian sedang terbakar, dan memang kita semua tidak suka melihat tanah air terjajah Bangsa Mancu, dan melihat orang-orang kulit putih semakin merajalela! Sudah sepatutnya kalau kita semua bangkit untuk membela bangsa dan tanah air.
"Akan tetapi, aku sudah terbiasa bergerak bebas di luar suatu perkumpulan. Bukan aku tidak mau membantu kalian, akan tetapi aku tidak mempunyai kecakapan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi, aku akan mengajarkan ilmu silat, beberapa jurus yang tangguh dan penting untuk kalian. Bagaimana?" Riuh rendah sambutan mereka, ada yang setuju, ada yang tetap hendak mengangkat gadis cantik dan lihai itu sebagai pemimpin. Kembali Kui Eng mengangkat tangan ke atas minta mereka tenang.
"Karena tidak mungkin mengajarkan ilmu silat yang tangguh dalam waktu singkat kepada kalian semua, maka aku akan mengajarkan kepada lima orang pemimpin kalian ini saja, kemudian merekalah yang akan mengajarkan kembali kepada kalian. Menyesal sekali aku tidak dapat menjadi pemimpin kalian, karena aku sendiri masih terikat oleh tugas-tugas dari guruku." Orang-orang itu akhirnya tidak berani mendesak lagi dan hanya berteriak menanyakan nama gadis itu.
"Namaku Kui Eng," kata Kui Eng sambil tersenyum, tidak berani memperkenalkan shenya. Siapa tahu mereka itu sudah pernah mendengar atau mengenal tentang Ayahnya yang pernah dimusuhi banyak orang karena mengedarkan madat! Dengan nama itu, semua orang mengira bahwa ia she Kui bernama Eng.
"Hidup Kui-Lihiap!" Terdengar teriakan berulang-ulang, dan Kui Eng membiarkan saja mereka salah duga terhadap namanya, ia lalu berunding dengan lima orang pimpinan para kuli yang memberontak itu.
Dan mulai hari itu, setiap hari untuk beberapa jam lamanya, Kui Eng datang ke tempat rahasia itu dan melatih lima orang itu dengan beberapa jurus ilmu silat yang tangguh. Ia memilih jurus-jurus yang praktis saja, yang akan menghasilkan kemenangan dalam perkelahian singkat melawan para perajurit musuh, baik perajurit pasukan Ceng maupun perajurit anak buah pasukan Harimau Terbang. Karena kini kelompok bekas kuli angkut itu memiliki andalan, maka mereka dapat masuk bekerja kembali dengan muka berseri dan dada terangkat. Orang-orang kulit putih masih membutuhkan tenaga mereka, dan tidak mungkin dapat mengganggu mereka semua. Barang-barang itu perlu diangkat dari dan ke kapal. Maka para kuli itu, di samping kuli-kuli baru, masih diterima bekerja, walaupun pihak orang kulit putih mengadakan pengawasan dengan amat ketatnya.
(Lanjut ke Jilid 34)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 34
Tentu saja dua orang yang pernah ditahan dan lima orang yang menjadi pimpinan, tidak berani memperlihatkan diri lagi. Dan kini, para kuli angkut itu bukan hanya bekerja untuk mencari uang, melainkan juga mencari kesempatan untuk melakukan pencurian, di samping diam-diam bekerja sebagai mata-mata untuk mengamati gerak-gerik orang kulit putih. Dalam catatan sejarah kelak, orang-orang yang bekerja sebagai kuli angkut inilah yang banyak membantu para pejuang dalam menentang orang-orang kulit putih. Setelah memberi latihan selama beberapa bulan, akhirnya Kui Eng meninggalkan para kuli angkut itu. Akan tetapi walaupun ia tidak menjadi pimpinan mereka, nama Kui Eng atau Kui-Lihiap takkan pernah terlupa oleh mereka, sebagai seorang pendekar wanita perkasa yang mereka kagumi.
Orang yang berjalan seorang diri menuruni lereng gunung itu bertubuh jangkung kurus, akan tetapi tidak kelihatan kecil karena memang dia bertulang besar. Mukanya kehitaman dan matanya amat tajam seperti mata kucing. Pakaiannya juga serba hitam dan langkahnya tegap penuh wibawa, bahkan cara dia mengangkat mukanya yang kehitaman itu terbayang suatu kesombongan. Akan tetapi, sepasang mata yang tajam itu kini dihias alis yang selalu berkerut, dan sinar mata yang tajam itu agak muram, mulutnya membayangkan kegelisahan dan kedukaan. Tiba-tiba dia berhenti melangkah dan tubuhnya menyelinap dengan cepatnya, lenyap di balik semak-semak. Akan tetapi, seorang gendut pendek yang muncul dari belakang sebatang pohon besar tertawa.
"Ha-ha-ha, sobat berpakaian hitam. Tak perlu kau bersembunyi, aku sudah tahu bahwa engkau berada di balik semak-semak itu. Keluarlah dan lebih baik engkau membagi hasil dengan aku, atau aku akan menangkapmu, ha-ha!" Orang jangkung berpakaian hitam itu keluar dan balik semak-semak. Mereka saling berhadapan. Dan kini orang pendek gendut itu kelihatan terkejut melihat muka yang kehitaman dengan sepasang mata yang amat tajam itu.
"Kau... kau siapa dan mengapa bersembunyi? kau tentu seorang kang-ouw, bukan?" Si gendut ini tadi hanya main-main, akan tetapi sekarang dia nampak jerih melihat sepasang mata itu. Mulut itu berkeriput dan sepasang mata yang tajam itu memancarkan sinar yang kejam.
"Tolol, ulahmu sendiri yang akan mengakhiri hidupmu. Aku sudah menghindarkan pertemuan, akan tetapi engkau memaksa aku keluar. Nah, mampuslah!" Si tinggi kurus itu menggerakkan tubuhnya. Si pendek gendut terkejut dan mencabut golok sambil mengelak. Akan tetapi sia-sia belaka. Terdengar suara keras ketika goloknya terlempar dan tubuhnya terkulai, dan diapun sudah tewas karena pelipisnya, terkena tamparan tangan orang berpakaian serba hitam itu.
Orang itu sejenak memandang tubuh korbannya yang sudah menjadi mayat, menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang, lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan mayat itu. Sebentar saja dia sudah tiba di tempat yang amat jauh dari situ, baru dia berjalan lagi seenaknya. Ketika di depan nampak sebuah dusun, diapun memutar tubuhnya dan mengambil jalan menghindar pertemuan dengan dusun di depan. Orang berpakaian serba hitam itu adalah Koan Jit! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Koan Jit terpaksa melarikan diri dari markas pasukan Harimau Terbang yang diserbu oleh gurunya sendiri, yaitu Thian-tok bersama sutenya, Ong Siu Coan yang mengerahkan bekas anak buahnya dari Thian-te-pai yang setia kepadanya. Setelah mendengar berita bahwa Giok-liong-kiam yang berada di tangannya itu palsu, dia tersenyum masam dan hatinya menjadi semakin kecewa.
Pusakanya itu, bersama pusaka simpanannya lainnya, terampas oleh Thian-tok dalam penyerbuan itu, dia tidak punya apa-apa lagi. Kemudian dia menyebar berita desas-desus itu bahwa pusaka Giok-liong-kiam yang kini terampas oleh gurunya itu adalah pusaka palsu! Dia teringat akan keadaan di tempat rahasia dimana dia menyimpan pusaka-pusakanya ketika dia dipancing pergi oleh San-tok. Tentu Kakek itu yang telah menukar pusakanya! Hatinya merasa penasaran sekali dan diapun menyebar berita bahwa pusaka Giok-liong-kiam kini berada di tangan Empat Racun Dunia, dan bahwa mereka itu hendak mencari harta karun dan pusaka itu untuk mereka pergunakan memberontak! Dengan penyebaran berita ini, dunia pun menjadi ramai, bahkan kini pihak pemerintah secara sungguh-sungguh mulai menyebar orang-orang pandai untuk merampas pusaka itu.
Demikian pula orang-orang kulit putih. Akan tetapi, balas dendam yang dilakukannya ini tetap saja tidak memuaskan hatinya. Dia gelisah sekali, gelisah karena duka dan kecewa, juga karena dia merasa kesepian, merasa sendirian. Dia merasa gagal dalam segala hal! Kedudukannya yang sudah baik di pasukan orang kulit putih telah terlepas dan tak mungkin dia kembali kepada orang kulit putih. Sudah terdapat suatu perasaan tidak enak, bahkan bermusuh sejak dia membunuh sutenya sendiri, Gan Seng Bu. Dia tentu sedang dicari oleh pasukan orang kulit putih, dan kalau sampai tertangkap, tentu hukuman yang berat, mungkin hukuman mati tembak menantinya. Dia telah meninggalkan markas dalam keadaan kacau dan hancur. Membantu pemerintah Ceng? Tentu dia akan ditangkap pula. Pengabdiannya kepada orang kulit putih membuat dia dianggap sebagai pengkhianat, mungkin sebagai pemberontak pula.
Tidak mungkin dia tidak dapat membantu orang-orang Mancu, tidak mungkin dapat membantu pemerintah Ceng. Membantu para pemberontak? Juga tidak mungkin sama sekali. Selama ini dia malah membantai banyak pemberontak dengan pasukan Harimau Terbangnya. Bahkan Empat Racun Dunia memusuhinya. Juga semua orang kang-ouw memusuhinya, baik dan golongan sesat maupun golongan pendekar. Dia menjadi orang yang terasing. Dia selalu merasa diamati orang, kemanapun dia pergi. Merasa terancam dan dimanapun dia berada, dia merasa tidak aman. Karena itu, dia selalu gelisah dan menyembunyikan diri, menghindarkan pertemuannya dengan siapapun. Koan Jit merasa hidupnya terhimpit. Dimana-mana dia dimusuhi orang, dan segala hal yang dipegangnya ternyata telah gagal.
Beberapa kali dia didorong oleh keinginan bunuh diri saja, namun dia tidak memiliki keberanian cukup besar untuk mengakhiri hidupnya, karena dia membayangkan betapa ngerinya dirinya akan menempuh keadaan yang tidak dikenalnya, keadaan sesudah mati yang kabur dan menakutkan. Dia merasa amat tersiksa. Hidup gelisah matipun takut. Bukit itu menarik perhatiannya. Penuh dengan hutan-hutan yang subur dan dia melihat banyak tanaman-tanaman yang dapat dipergunakan sebagai obat hidup di daerah itu. Tempatnya sunyi dan sejak tadi dia tidak pernah melihat adanya orang di situ. Tempat yang baik sekali, pikirnya. Pemandangan alamnya juga indah, hawanya sejuk. Tiba-tiba timbul pikirannya untuk tinggal di bukit itu. Diapun mulai mencari-cari tempat yang kiranya cocok untuk menjadi tempat tinggalnya, sementara atau seterusnya.
Di sebuah dinding karang yang curam, dia melihat ada sebuah guha besar yang tertutup batu besar. Dia heran melihat batu itu. Melihat tanda-tandanya, agaknya batu itu belum lama tergeser menutup guha. Dan celah-celah di tepi guha, dapat dilihat bahwa guha itu besar dan dapat menjadi tempat tinggal yang enak. Akan tetapi batu besar itu menutupinya. Koan Jit lalu menggulung lengan bajunya, dan dengan mengerahkan tenaganya, dia mendorong batu besar itu. Memang hebat sekali tenaga Koan Jit. Batu itu perlahan-lahan tergeser ke pinggir dan nampaklah lubang guha itu, memang merupakan sebuah guha yang lebar dan amat dalam sehingga dari luar nampak gelap. Dia merasa girang sekali. Seperti telah diduganya tadi, guha itu luas dan enak untuk ditinggali. Dan batu besar itu dapat dipergunakan sebagai pintu sehingga tempat tinggalnya akan tertutup dan tidak dapat diganggu orang luar.
Akan tetapi dia harus memeriksa dulu keadaan guha. Setelah matanya terbiasa oleh keadaan dalam guha yang remang-remang, diapun masuk. Sebuah terowongan di ujung kanan guha itu diikutinya dan tibalah dia di sebuah ruangan dalam bukit itu, ruangan yang lebar dan enak karena sinar matahari dapat masuk dari atas dari celah-celah batu karang yang pecah. Hawa yang sejukpun masuk dan celah-celah itu. Dan dia terkejut. Di ruangan itu terdapat seorang Kakek yang bertubuh gendut, sedang duduk bersila. Mula-mula dia mengira sebuah arca, akan tetapi dia terkejut karena melihat bahwa Kakek itu seperti gurunya, seperti Thian-tok! Ketika dia menghampiri dan memandang dengan teliti, ternyata Kakek itu bukan gurunya, melainkan seorang Hwesio gendut yang mirip gurunya, seorang Kakek Hwesio yang sudah amat tua.
"Omitohud, selamat datang, orang yang gagah perkasa. Apakah engkau juga sedang mencari tempat yang baik untuk menjernihkan batin?" Suara itu demikian lemah lembut, demikian ramah dan mengandung getaran suara yang selama hidupnya belum pernah didengar dan dirasakan Koan Jit. Getaran itu menyentuh hatinya, getaran yang penuh kontak perasaan, penuh kasih sayang, seolah-olah dia mendengar suara Ayahnya atau ibunya sendiri.
Dia sudah hampir lupa akan suara orang-orang yang mengasihi, karena sejak kecil dia sudah terpisah dan Ayah bundanya, dan semenjak kecil dia hidup di lingkungan orang-orang yang selalu mempergunakan kekerasan, dimana tidak pernah bergema suara yang mengandung kasih sayang. Oleh karena itu, mendengar suara ini, dia tertegun. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa di tempat ini terdapat orang yang akan mengenalnya, kemudian akan mengkhianatinya. Semua orang merupakan musuh baginya, merupakan ancaman bagi keselamatan dirinya. Maka, kemarahan dan kebencian menyelubungi hatinya, mengusir perasaan haru yang tergerak dalam hatinya mendengar kelembutan suara penuh kasih sayang tadi.
"Orang tua, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuh setiap orang yang kujumpai. Tanpa kusengaja aku bertemu dengan engkau di sini, maka engkaupun akan kubunuh sekarang juga!" demikian katanya dengan bengis dan keren, sambil melangkah maju.
"Omitohud... orang muda yang gagah perkasa. Engkau kira engkau ini siapakah maka akan dapat membunuh yang hidup? Hidup dan mati bukanlah urusan pinceng, akan tetapi jangan engkau mengira bahwa engkau akan mampu membunuh kehidupan.
"Mungkin engkau akan dapat membunuh pinceng, akan tetapi yang mati hanyalah tubuh seorang Hwesio tua yang tiada artinya. Dan siapa bilang bahwa kematian akan mengakhiri segala duka? Siapa bilang bahwa dengan membunuh pinceng atau orang lain, engkau akan terlepas dari pada himpitan yang menekan batinmu itu..." Mendengar ucapan itu, Koan Jit mengerutkan alisnya. Seperti diingatkan dia betapa membunuh banyak orang yang dijumpainya selama ini, sama sekali tidak melenyapkan kegelisahannya, bahkan menambah. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat lain. Orang ini, seperti yang lain, harus dibunuhnya, kalau tidak, keselamatannya akan terancam.
"Hwesio tua... apapun pendapatmu, tetap saja engkau harus kubunuh. Itulah satu-satunya jalan bagiku! Tentu saja engkau boleh membela diri, karena melihat batu itu, aku percaya bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian. Nah, hanya engkau atau aku yang akan kalah dan mati. Bersiaplah!"
"Nanti dulu, orang muda. Sudah lama pinceng melepaskan nafsu membunuh, dan pinceng sudah merasa bosan untuk mempergunakan kepandaian dalam perkelahian yang tiada gunanya. Pinceng tidak akan melawan kalau engkau hendak membunuh pinceng, hanya pinceng tidak ingin ilmu baru yang pinceng ciptakan baru-baru ini akan lenyap begitu saja bersama pinceng.
"Oleh karena itu, sebelum engkau membunuhku, pinceng mempunyai sebuah permintaan, yaitu engkau terima dan warisilah ilmu baruku itu. Setelah itu, barulah pinceng akan dapat mati dengan tenang karena ilmu yang selama ini pinceng ciptakan dengan susah payah itu sudah diwarisi orang. Bagaimana?" Mendengar permintaan ini, Koan Jit mengerutkan alisnya. Dia memiliki banyak musuh. Menghadapi Thian-tok saja, dan tentu juga tokoh-tokoh Empat Racun Dunia, dia tidak akan menang. Dia perlu memiliki ilmu-ilmu yang sakti dan dahsyat. Dia menduga bahwa Kakek ini tentu bukan orang sembarangan. Dia akan melihat seperti apa ilmu itu. Kalau memang merupakan ilmu kesaktian yang dahsyat, tiada salahnya kalau dia mewarisinya. Sebaliknya kalau ternyata ilmu yang dangkal dan tiada gunanya, masih belum terlambat untuk membunuh Kakek itu.
"Baiklah, aku suka menerima warisan ilmumu itu. Setelah itu, baru aku akan membunuhmu."
"Siancai... legalah hati pinceng. Ilmu silat baru ini pinceng beri nama Ilmu Silat Kebahagiaan, hanya terdiri dari duabelas jurus. Nah, kau lihat baik-baik. Pinceng hendak memainkan duabelas jurus Ilmu Silat Kebahagiaan itu." Diam-diam Koan Jit merasa geli dan memandang rendah. Ilmu silat yang namanya aneh begitu, apalagi hanya duabelas jurus, ada apanya sih yang hebat?
Akan tetapi, dia memandang penuh perhatian ketika Kakek itu bangkit. Kakek itu sungguh memiliki tubuh yang gemuk, perutnya gendut dan mukanya penuh dengan senyum ramah, mirip sekali dengan muka gurunya. Dan tiba-tiba saja, dia teringat, mukanya berubah pucat. Siauw-bin-hud! Kakek ini adalah Kakek Siauw-bin-bud, tokoh Siauw-lim-pai yang luar biasa saktinya itu. Gurunya sendiri, Thian-tok, tidak mampu menandingi Kakek ini! Kedua kakinya terasa dingin dan gemetar. Kakek ini adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, dan dia telah mengancam untuk membunuhnya! Ah, sudah terlanjur, pikirnya. Biarlah, kalau aku kalah nanti, biar aku mati di tangannya. Tidak akan kecewa tewas di tangan seorang sakti seperti Siauw-bin-hud yang sudah terkenal di seluruh dunia persilatan!
Dan diapun sudah mengamati ketika Kakek itu mulai bersilat. Dan Koan Jit terpesona! Kakek itu bersilat dengan gaya yang lain dari pada ilmu-ilmu silat lain. Demikian lemas, demikian indah, demikian bersih, dan gerakan itu seperti orang kegirangan saja. Namun dia melihat betapa setiap jalan dari depan tertutup oleh gerakan-gerakan itu, dan gerakan-gerakan itu memungkinkan orang yang bersilat melakukan serangan balasan dari arah manapun juga. Ilmu silat ini seperti sebuah benteng baja yang mempunyai banyak lubang-lubang untuk meluncurkan anak-anak panah! Sebuah ilmu silat yang amat luar biasa, akan tetapi gerakan-gerakannya sedemikian anehnya sehingga dia yang biasanya sekali melihat saja sudah dapat menangkap sebagian besar dari gerakan silat, sekali ini menjadi bingung dan sukar mengingat bagaimana caranya bergerak seperti itu!
Diam-diam dia yang memperhatikan maklum bahwa ilmu itu sungguh merupakan ilmu yang sakti. Biarpun tidak membayangkan kekerasan, namun hawa pukulan itu meluncur dan ketika mengenai dinding guha, mengaung dan menimbulkan bunyi gema yang susul-menyusul! Mengerikan! Dan diapun yakin bahwa semua ilmunya tidak akan mampu menandingi ilmu yang bernama Ilmu Silat Kebahagiaan itu. Akhirnya Siauw-bin-hud, Kakek Hwesio itu, berhenti bersilat, berdiri tegak dan merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengucap "Omitohud" berkali-kali, seolah-olah menghormati ilmu yang baru saja dimainkannya itu. Setelah itu, baru dia membuka mata memandang kepada Koan Jit yang masih berdiri terpesona.
"Nah, orang muda... apakah engkau sudah melihatnya dan mengertinya?" Koan Jit merasa mukanya menjadi panas saking malu. Dia merasa bodoh sekali. Sedikitpun dia tidak dapat ingat lagi gerakan-gerakan tadi.
"Locianpwe," katanya dengan sikap menghormat setelah dia dapat menduga siapa yang berada di depannya!
"Aku telah melihat semua gerakan itu, namun tidak mengerti dan tidak mampu mengingatnya. Gerakan-gerakan itu terlalu indah dan terlalu ruwet bagiku. Mohon petunjuk Locianpwe." Kakek itu tertawa.
"Tidak aneh kalau begitu. Sebagai seorang Hwesio , ilmu silat itu tercipta ketika pinceng merenungi pelajaran-pelajaran agama tentang kebahagiaan, dimana terdapat duabelas pasal. Nah, untuk dapat memainkan ilmu ini, teorinya terletak dalam kalimat-kalimat pelajaran itu, maka pelajaran itu harus dipahami benar, bukan hanya dihafalkan, bahkan pelajaran teori itu harus diresapi sehingga dapat dijiwai dan mendarah-daging.
"Apa artinya pelajaran teori kalau tidak diresapi sehingga mendarah daging? Selain itu, juga latar belakang pendidikan dan lingkungan seseorang menentukan berhasil atau tidaknya dia mempelajari ilmu baruku ini. Nah, orang muda... coba engkau memainkan ilmu silat yang sudah kau kuasai agar pinceng dapat menentukan bagaimana caramu untuk menerima dan mewarisi ilmuku yang baru ini sebaiknya."
Koan Jit tadi merasa kagum dan dia ingin sekali memiliki Ilmu Silat Kebahagiaan itu. Maka mendengar ucapan Siauw-bin-hud, diapun lalu melangkah maju dan mulailah dia bersilat. Dia sudah menguasai ilmu-ilmu silat dari Thian-tok sebaik-baiknya. Tidak ada di antara kedua orang sutenya yang mampu menandinginya dalam ilmu silat perguruan mereka. Hanya Thian-tok sajalah yang kiranya dapat mengunggulinya dan itupun hanya sedikit selisihnya. Maka dia lalu memainkan jurus-jurus pilihan dan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Baru dia bersilat sebanyak belasan jurus, Siauw-bin-hud sudah menghentikannya.
"Sudah cukup, orang muda. Omitohud... kiranya engkau adalah murid Thian-tok? Tidak salah lagi, tentu engkau yang bernama Koan Jit."
"Tidak salah dugaan Locianpwe, dan akupun dapat menduga bahwa Locianpwe tentulah Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai."
"Ha-ha-ha-ha, susahnya menjadi orang yang dikenal! Sampai di dalam guha terpencil sekalipun, masih saja dikenal orang. Koan Jit, pinceng sudah melihat dasar-dasar ilmu silatmu, dan terus terang saja, kalau engkau hendak menguasai Ilmu Silat Kebahagiaan, engkau harus melatih teorinya sampai matang betul.
"Tanpa mengingat setiap kata dan kalimat-kalimat pelajaran itu, takkan mungkin engkau akan mampu memainkan ilmu silatku yang baru. Apakah engkau siap untuk mempelajarinya, ataukah engkau merasa tidak sanggup dan ingin segera membunuh pinceng?"
"Aku sudah siap mempelajarinya," kata Koan Jit dengan suara tegas.
"Kalau begitu, dengarkan dan pelajari satu demi satu pelajaran agama tentang kebahagiaan, baru kemudian sepasal demi sepasal, dicocokkan dengan ilmu silatnya sejurus demi sejurus. Hanya dengan cara demikian, engkau akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu itu sebaik-baiknya." Kakek itu lalu mengajarkan ilmu yang diambil dari kitab suci Dharmapada, yaitu kitab suci Agama Buddha, pasal limabelas yang mengajarkan tentang kebahagiaan. Setiap pasal lalu dia jelaskan hubungannya yang mendarah daging dengan jurus gerakan silat yang bersangkutan. Memang rumit sekali, karena itu, Koan Jit harus menghafalkan pasal-pasal itu sampai dapat menjiwai isinya. Pelajaran itu ada duabelas pasal, dan bunyinya seperti demikian.
* Kita hidup bahagia bila tak membenci seorangpun di tengah-tengah orang-orang yang membenci. Kita hidup bebas dari kebencian di antara orang-orang yang membenci.
* Kita hidup bahagia bila bebas dari penyakit di antara orang-orang yang sakit. Kita hidup bebas dari penyakit di antara orang-orang yang sakit.
* Kita hidup bahagia bila bebas dari keserakahan di antara orang-orang yang serakah. Kita hidup bebas dari keserakahan di antara orang-orang yang serakah.
* Kita hidup bahagia, bila tidak terikat oleh kemilikan. Kita akan hidup bahagia laksana dewa-dewa yang memancarkan cahaya.
* Kemenangan memabokkan si pembenci, yang kalah menderita kesedihan. Dia yang tak lagi memikirkan kemenangan dan kekalahan, senantiasa tenang dan bahagia.
* Tiada api melebihi nafsu, tiada penyakit melebihi kebencian, tiada penderitaan melebihi cengkeraman badani, tiada kebahagiaan melebihi Nirwana.
* Keserakahanlah penyakit yang paling berbahaya, mengejar keinginan penderitaan yang paling besar. Bagi yang mengerti akan kenyataan ini, Nirwana-lah kebahagiaan tertinggi.
* Kesehatanlah anugerah terbesar, puas akan apa adanya-lah kekayaan terbesar. Keyakinan adalah hubungan terbaik, dan Nirwanalah kebahagiaan tertinggi.
* Setelah menikmati kesucian dan ketenangan, terbebaslah dan belenggu takut dari dosa. Setelah demikian barulah dapat meneguk kebahagiaan hidup di dalam Dharma.
* Memandang Para Bijaksana adalah baik, bergaul dengan mereka membahagiakan. Yang tidak bergaul dengan si dungu akan senantiasa berbahagia.
* Yang bergaul dengan orang-orang dungu seperti bergaul dengan musuh, menyebabkan derita. Bergaul dengan orang bijaksana seperti sanak saudara menyebabkan kebahagiaan.
* Karena itu, seperti bulan bergerak mengikuti garis peredarannya, hendaknya orang mengikuti para bijaksana yang berpemandangan luas, terdidik, sabar dan taat kepada peraturan Para Bijaksana sehingga patut untuk diikutinya.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikianlah bunyi lengkap ujar-ujar dalam kitab Dharmapada tentang kebahagiaan. Memang hebat sekali Siauw-bin-hud yang menciptakan ilmu silat berdasarkan semua ujar-ujar itu. Koan Jit adalah orang yang selama ini bergelimang dalam kejahatan, tidak pernah peduli lagi akan kesadaran atau kebajikan. Bagaikan sebuah lampu yang sudah tebal dan kotor oleh debu, maka sinarnya tak mampu menyorot keluar, tidak mampu mendatangkan penerangan dan selalu berada dalam kegelapan.
Akan tetapi, latihan yang diberikan oleh Siauw-bin-hud, yang mengharuskan dia menghafal semua ujar-ujar itu sedemikian rupa sampai meresap dan dapat menjiwai, mendarah daging dalam kehidupannya, seolah-olah membersihkan debu dan lampu itu, dan diapun dapat melihat karena sinarnya menjadi terang. Perlahan-lahan namun pasti, terjadi perubahan hebat dalam diri dan batin Koan Jit. Makin dia memperdalam Ilmu Silat Kebahagiaan itu, semakin hebat pula terjadi perubahan itu. Selama seratus hari dia berlatih, dan Koan Jit seperti orang yang baru lahir kembali, bedanya dengan Koan Jit sebelumnya, seperti bumi dan langit! Matanya yang biasanya tajam seperti mata kucing, penuh kebencian dan kekejaman, kini berubah menjadi tajam penuh kewaspadaan dan kelembutan.
Sikapnya yang biasanya gelisah dan selalu ketakutan, kini berubah lembut dan ramah tersenyum. Bukan hanya lahirnya yang berubah karena pencerminan keadaan batinnya, bahkan ilmu silatnya pun mengalami perubahan hebat. Dulu, gerakan-gerakannya dalam ilmu silat penuh dengan gerak-gerak tipu yang penuh kecurangan dan kekejaman, penuh dengan ancaman maut. Kini, gerakan-gerakannya yang masih sama cepatnya itu menjadi gerakan yang aneh dan terutama sekali Ilmu Silat Kebahagiaan itu dapat diresapinya sehingga merupakan ilmu yang dapat mengatasi dan menundukkan lawan dengan cepat tanpa melakukan pembunuhan. Setelah seratus hari berlatih siang malam dengan sungguh-sungguh di bawah pimpinan Siauw-bin-hud, Kakek ini tertawa bergelak.
Dewi Ular Eps 16 Rajawali Hitam Eps 15 Gelang Kemala Eps 11