Pedang Naga Kemala 4
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Ha-ha-ha, engkau tentu penyelundup candu, engkau meracuni banyak orang. Orang seperti engkau ini harus dihukum berat, akan tetapi aku tidak mempunyai banyak waktu untuk mengurusmu. Engkau tidak mengaku dosa malah hendak minta kembali racun ini? Sungguh tak tahu diri!" Hek-wan mengerutkan alisnya dan memandang orang itu penuh perhatian. Orang ini berpakaian kasar, terlalu kasar, maka sepantasnya orang ini melakukan penyamaran. Sikapnya begitu angkuh dan pandang matanya berwibawa, pantasnya seorang pembesar militer. Apakah seorang perwira yang menyamar? Dia mendengar bahwa di antara orang-orang yang sibuk menyelidiki dan mencari Giok-liong-kiam terdapat pula jagoan-jagoan dari istana. Apakah orang ini juga seorang di antara mereka? Diam-diam dia bergidik dan menjadi ragu-ragu.
"Sudahlah, memang nasibku yang buruk...!" Dia mengeluh, maklum bahwa orang itu bukanlah lawannya, maka diapun menahan kemarahannya dan membalikkan tubuh untuk pergi dari situ.
"Nanti dulu!" Tiba-tiba raksasa itu membentak.
"Aku bilang tidak mempunyai waktu untuk mengurusmu bukan berarti melepaskanmu begitu saja. Orang macam engkau ini terlalu berbahaya dibiarkan terlepas begitu saja. Hayo ke sini kau !" Tai-lek Hek-wan membalik dan menghadapi orang itu dengan sinar mata marah.
"Brangku sudah kau rampas, mau apa lagi memanggil aku?" katanya ketus. Raksasa itu menuding ke arah sepatunya yang besar dan kotor.
"Aku sudah melakukan perjalanan jauh dan tidak mengajak para pengawalku untuk membersihkan sepatuku yang kotor. Hayo kau bersihkan sepatuku, baru aku akan membiarkanmu pergi." Wajah Lutung Hitam itu berobah semakin hitam. Dia bukan sembarang orang dan banyak orang yang takut dan taat kepadanya. Kini orang menghina sampai di luar batas!
"Kau... terlalu menghina...!" bentaknya marah, mengepal tinju.
"Ha-ha, orang macam engkau ini masih bisa bicara tentang kehormatan dan penghinaan? Hidupmu sudah di dalam lumpur kehinaan. Aku hanya ingin menukar nyawamu yang rendah itu dengan pekerjaan membersihkan sepatu dan kau banyak cakap lagi? Hayo bersihkan sepatuku atau aku mewakili pemerintah melaksanakan hukuman mampus kepadamu. Pilih saja!" Kini yakinlah hati Hek-wan bahwa dia berhadapan dengan seorang petugas pemerintah yang menyamar. Dan jelas pula bahwa orang ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia tidak akan mampu mengalahkannya. Di situ tidak terdapat orang lain, mengapa harus meributkan tentang kehormatan.
"Baiklah...!" Katanya dan diapun berlutut di depan orang itu, menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan kedua sepatu yang penuh debu itu. Kalau saja ada orang yang melihat peristiwa ini. Betapa akan malunya dan akan hancur nama besarnya. Dia terkenal sebagai orang yang paling ditakuti
(Lanjut ke Jilid 04)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 04
di seluruh daerah Nan-leng, dan kini dia membersihkan sepatu orang, berlutut di depan orang itu. Kemarahannya tak dapat ditahannya lagi dan otaknya yang cerdik itu bekerja. Orang yang menghinanya berdiri begitu dekat, tidak ada yang akan dapat menghalanginya lagi. Diam-diam dia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba saja dia menghantam ke arah pusar orang itu, dari jarak yang amat dekat.
"Krakk... aughhhh...!" Tubuh Tai-lek Hek-wan terkulai dan dia roboh tewas dengan belakang kepala remuk karena sebelum pukulannya mengenai sasaran, si tinggi besar itu telah lebih dahulu menghantam tengkuknya! Sekali ini Tai-lek Hek-wan yang biasanya cerdikitu salah perhitungan. Dia terlalu memandang rendah lawannya. Padahal begitu dia mengerahkan tenaga, si raksasa itu telah mengetahuinya sehingga dapat mendahuluinya, menghantam tengkuknya dari atas, sehingga bukan saja pukulan itu melumpuhkan semua gerakannya, juga membuat nyawanya melayang! Dengan sikap jijik, Kakek bertubuh raksasa itu lalu menendang mayat Hek-wan sampai terlempar jauh, kemudian diapun membuang buntalan madat itu ke dalam jurang tak jauh dari situ sambil mengomel,
"Candu ini harus dimusnahkan di seluruh dunia, membuat manusia menjadi boneka, menjadi mayat-mayat hidup, berbahaya sekali..."
Tiba-tiba dia berhenti bergerak dan sejenak diam tak bergerak, samar-samar dia mendengar suara orang berkelahidan tak lama kemudian, raksasa ini sudah berlari dengan langkah lebar menuju ke tempat orang yang sedang berkelahi itu. Raksasa ini memang bukan orang sembarangan dan seperti dugaan Tai-lek Hek-wan, dia adalah seorang jagoan istana! Kaisar mengirim beberapa orang jagoan untuk melakukan penyelidikan dan kalau mungkin merampas pusaka Giok-liong-kiam yang demikian menghebohkan dunia persilatan. Bagi Kaisar, seluruh pusaka yang terdapat di negeri itu adalah hak dan milik istana! Karena itu, Giok-liong-kiam yang diperebutkan itupun adalah hak istana. Dan raksasa ini adalah seorang diantara para jagoan istana, namanya Tang Kui dan jabatannya adalah komandan pasukan pengawal di luar istana.
Karena namanya terkenal di kalangan para pengawal sebagai seorang komandan yang pandai, tegas dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang besar, maka dia terpilih sebagai seorang di antara para jagoan yang ditugaskan mencari dan merebut pusaka Giok-liong-kiam. Sebentar saja Tang Kui telah tiba di tempat dimana tokoh Ang-hong-pai itu masih berkelahi dengan hebatnya melawan Pek-bin Tiat-ciang. Dari jauh saja Tang Kui yang banyak mempelajari keadaan kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw, mengenal siapa mereka yang sedang berkelahi itu. Dia mengenal Theng Ci, murid kepala Ang-hong-pai yang lihai itu dan dia mengenal pula Pek-bin Tiat-ciang, pria pesolek tampan bermuka putih yang merupakan tokoh di antara kau m sesat itu.
Maka diapun cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekat. Pada saat itu perkelahian antara kedua orang ini sudah mencapai puncaknya. Pek-bin Tiat-ciang sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pecut panjang yang biasanya menjadi pengikat pinggangnya. Pecut panjang putih itu kini membentuk lingkaran-lingkaran dan menyerang si wanita cantik dari pelbagai jurusan. Akan tetapi, Theng Ci adalah murid kepala Ang-hong-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan terutama sekali gerakannya yang amat ringan itu membuat ia selalu dapat berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dari totokan ujung pecut. Nampaknya pemandangan yang amat indah dari perkelahian ini. Pecut putih itu menjadi sinar bergulung-gulung dan pakaian Theng Ci yang merah juga membuat gerakannya yang cepat membentuk bayangan merah.
Dari jauh nampak warna merah dan putih yang berselang-selang amat indahnya. Jangan dikira bahwa Theng Ci yang bertangan kosong itu terdesak. Sama sekali tidak karena wanita cantik ini kadang-kadang membalas serangan lawannya dengan sambitan jarum-jarum halusnya. Bukan sembarang jarum, melainkan jarum halus yang mengandung racun! Ang-hong-pai adalah perkumpulan para wanita yang lihai dan juga suka mempergunakan racun-racun binatang yang ampuh, terutama sekali racun-racun lebah, sesuai dengan nama perkumpulan itu, ialah Ang-hong-pai (Perkumpulan Lebah Merah). Karena jarum-jarum ini amat berbahaya, maka Pek-bin Tiat-ciang bersikap waspada dan gerakan pecutnya itu sebagian besar dipergunakan untuk melindungi tubuhnya dari ancaman jarum halus.
Hanya sebentar saja Tang Kui si komandan yang menyamar itu nonton perkelahian dan diam-diam dia juga kagum karena maklum bahwa baginya, dua orang itu masing-masing merupakan seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi pandang matanya segera tertarik oleh mengkilapnya sebuah benda yang menggeletak tak jauh dari sesosok mayat berkumis lebat. Benda itu adalah sebatang pedang kecil terbuat dari kayu giok berukirkan naga. Giok-liong-kiam...! Hatinya berdebar amat kerasnya karena biarpun selamanya dia belum pernah melihat sendiri bagaimana macamnya Giok-liong-kiam, namun dia sudah mendapatkan keterangan jelas mengenai benda pusaka itu sebelum dia menerima tugas mencarinya. Hampir dia tak percaya" Giok-liong-kiam berada di situ dan kini mengertilah dia mengapa dua orang tokoh sesat itu berkelahi.
Tentu mereka berdua itu sedang memperebutkan Giok-liong-kiam. Memang sudah beberapa hari lamanya dia menaruh curiga terhadap Then Ci, wanita tokoh Ang-hong-pai itu. Diam-diam dia membayangi Theng Ci dari jauh. Tidak disangkanya dia melihat Theng Ci berkelahi dengan Pek-bin Tiat-ciang dan di situ terdapat Giok-liong-kiam! Setelah membuat perhitungan dengan pandang matanya, tiba-tiba Tang Kui meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan diapun lari ke arah pedang pusaka itu dan disambarnya benda itu. Ketika Theng Cid an Pek-bin Tiat-ciang berteriak kaget melihat munculnya orang yang menyambar Giok-liong-kiam sehingga mereka berdua secara otomatis menghentikan perkelahian, Tang Kui sudah meloncat jauh dan melarikan diri.
Tentu saja dua orang itu menjadi marah sekali dan mereka melakukan pengejaran secepatnya. Tang Kui lari ke selatan, ke bagian hutan yang lebih dalam. Agaknya sukar bagi dua orang yang sudah kelelahan karena sejak tadi berkelahi itu untuk dapat menyusul Tang Kui. Dan mereka sudah hampir kehilangan jejak raksasa itu ketika tiba-tiba mereka melihat ada seorang yang tinggi kurus tiba-tiba muncul dan menyerang Tang Kui. Serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dan biarpun Tang Kui berhasil menangkis, akan tetapi posisi kakinya membuat dia terpelanting, dan hal ini saja menunjukkan betapa lihainya penyerang yang bertubuh jangkung itu. Si jangkung itu menyusulkan tendangan, bukan menendang bagian tubuh yang berbahaya melainkan menendang tangan Tang Kui yang memegang Giok-liong-kiam.
"Dukkk!" Tendangan itu mengenai tepat pergelangan tangan itu karena Tang Kui sedang terpelanting dan pedang pusaka itupun terlempar jauh ke kiri!
"Wuuuuttt...!" Tiba-tiba muncul pula seorang laki-laki yang berpakaian serba putih dan dengan sigapnya laki-laki itu meloncat dan menyambar Giok-liong-kiam dengan tangan kirinya, lalu berdiri mengamati pusaka itu dengan penuh kagum.
"Hemm, inilah Giok-liong-kiam..." guman laki-laki berpakaian putih. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang berusia kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya sederhana serba putih dan melihat orang yang telah merampas Giok-liong-kiam, Tang Kui segera mengenalnya. Orang itu adalah Kam Hong Tek, seorang pendekar yang namanya terkenal juga di daerah selatan.
"Kembalikan Giok-liong-kiam kami kepadaku!" Tiba-tiba laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berseru dan dengan beberapa langkah dia mendekati Kam Hong Tek. Pendekar Kam ini mengangkat muka memandang, laki-laki tinggi kurus itu berusia empat puluh tahun lebih, selain tubuhnya yang tinggi kurus itu merupakan hal yang tidak wajar, juga bajunya disulam di bagian dada dengan gambar bundar yang menggambarkan Im-Yang. Melihat gambar ini Kam Hong Tek dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang Thian-te-pai. Agaknya orang tinggi kurus itupun mengenal Kam Hong Tek dari pakaiannya dan sikapnya, maka dia menjura dengan hormat.
"Kalau saya tidak salah, saya berhadapan dengan pendekar Kam Hong Tek dari pegunungan selatan. Benarkah?" Pendekar Kam Hong mengangguk.
"Dan saudara tentulah seorang tokoh Thian-te-pai, bukan?"
"Benar, saya hanya seorang murid saja, menerima perintah ketua kami untuk mencari pusaka kami yang hilang dicuri orang. Nama saya Lui Siok Ek, harap saudara sudi memandang nama perkumpulan kami dan suka mengembalikan pusaka perkumpulan kami."
"Semua pusaka di tanah air ini adalah hak milik Sri Baginda Kaisar!" Tiba-tiba Tang Kui berseru dan dengan langkah lebar dia mendekat pula.
"Aku Tang Kui adalah komandan pasukan pengawal yang bertugas mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke istana. Serahkan itu kepadaku!" Kam Hong Tek dan murid Thian-te-pai itu mengangkat muka memandang kepada raksasa itu. Mereka terkejut juga mendengar bahwa orang tinggi besar yang pakaiannya seperti seorang petani ini mengaku sebagai seorang komandan pasukan pengawal dari istana Kaisar! Akan tetapi Kam Hong Tek lalu tersenyum dan sudah menggerakkan bibir untuk bicara ketika tiba-tiba terdengar teriakan wanita dengan suara lantang.
"Kembalikan pusaka itu kepadaku!" Dan muncullah Theng Ci yang diikuti pula oleh Pek-bin Tiat-ciang. Akan tetapi dua orang inipun terheran-heran melihat bahwa di situ terdapat tiga orang dan pedang pusaka itu tidak lagi dipegang oleh si raksasa, melainkan oleh seorang berpakaian putih-putih yang mereka kenal sebagai pendekar Kam Hong Tek yang tidak asing lagi namanya! Kam Hong Tek tertawa.
"Ha-ha-ha, sekarang menjadi ramai! Kulihat nona adalah seorang anggauta Ang-hong-pai, dan saudara ini tentulah Pek-bin Tiat-ciang yang terkenal. Ada murid Thian-te-pai dan ada pula utusan istana. Kita semua tahu bahwa semua orang di dunia persilatan memperebutkan Giok-liong-kiam. Akan tetapi, kitapun tahu akan adanya nasib dan tanpa kusengaja, Giok-liong-kiam melayang ke arah diriku dan berhasil kutangkap. Bukankah ini namanya nasib dan memang pusaka ini berjodoh dengan diriku? Harap Cu-wi (anda sekalian) dapat memaklumi hal ini dan tidak menentang nasib!"
"Nasib tahi anjing!" Pek-bin Tiat-ciang membentak marah.
"Pusaka itu adalah milikku. Kembalikan!" Dan si muka putih ini dengan marah lalu menerjang pendekar Kam Hong Tek. Melihat serangan yang ganas dan berbahaya itu Kam Hong Tek cepat meloncat ke samping dan mengibaskan tangan kanannya menangkis, sedangkan pusaka itu dipegangnya dengan erat-erat di tangan kiri.
"Atas nama pemerintah, berikan kepadaku!" Tang Kui membentak dan diapun menerjang maju untuk merampas pedang itu dengan pukulan ke arah leher Kam Hong Tek. Pendekar ini terpaksa menangkis dengan tangan kanannya.
"Dukk...!" Keduanya terdorong mundur dan hal ini saja membuat mereka maklum bahwa tenaga mereka berimbang. Akan tetapi Lui Siok Ek, murid Thian-te-pai itu, tanpa banyak cakap lagi sudah menerjang pula ke depan dan gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tahu-tahu tangan kirinya sudah dapat menangkap ujung Giok-liong-kiam pada saat Kam Hong Tek miringkan tubuhnya karena kembali Pek-bin Tiat-ciang menyerangnya. Kan Hong Tek terkejut dan mencoba untuk menarik pedang batu kemala itu, namun murid Lui Siok Ek itu mempertahankannya. Terjadilah betot-membetot, tarik-menarik dan pada saat itu, Theng Ci, wanita baju merah itu mengirim tendangan kilat yang ditujukan ke arah pergelangan tangan Kam Hong Tek.
Pada saat yang sama pula, seperti sudah direncanakan saja, Pek-bin Tiat-ciang juga mengirim tendangan, ditujukan ke arah pergelangan tangan murid Thian-te-pai. Dua tendangan kilat itu amat kuat dan berbahaya dan mereka yang sedang bersitegang memperebutkan pedang pusaka itu maklum akan hal ini dan terpaksa mereka lalu melepaskan pegangan dan melontarkan pedang pusaka itu ke atas, kemudian tangan mereka membalik dan menangkis tendangan. Pedang pusaka Giok-liong-kiam itu dilontarkan oleh gabungan dua tenaga, terlempar jauh dan tinggi ke udara. Lima orang yang sedang memperebutkanpedang pusaka itu memandang ke atas dan mereka sudah siap untuk meloncat dan berlumba memperoleh pusaka itu lebih dahulu,
Walaupun masing-masing maklum bahwa empat orang yang lain pasti akan menghalanginya atau akan merampasnya kembali. Setiap jalur urat syaraf di tubuh lima orang itu sudah menegang dan masing-masing sudah siap untuk meloncat ke atas ketika benda yang berkilauan hijau itu melayang turun dari atas. Akan tetapi, ketika benda itu sudah meluncur turun sampai kira-kira lima tombak dan semua orang sudah siap meloncat, tiba-tiba saja benda itu menyeleweng ke arah barat dan lenyap di antara daun-daun pohon, menimbulkan suara berkerosakan ketika benda itu menerjang daun-daun pohon yang lebat. Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan heran, akan tetapi juga penuh kekhawatiran karena benda itu tiba-tiba saja lenyap.
Seperti dikomando saja, lima orang itu lalu berloncatan dan lari ke arah pohon besar di sebelah barat itu. Dan merekapun berdiri tertegun ketika melihat seorang Kakek berjubah pendeta, bertubuh gendut sekali sehingga kelihatannya bulat. Kepalanya yang nampak kecil karena tubuh yang gendut itu juga bulat, dan Kakek itu nampak lucu karena kepalanya gundul licin tanpa penutup kepala. Dia duduk bersila di atas batu hitam, sama sekali tidak bergerak, dan kedua matanya terpejam, kedua tangan dirangkap di depan dada. Jubah kuningnya sudah kumal dan warnanya hampir keputihan, kedua kakinya yang bersilang itu memakai sepatu kain yang bawahnya dilapis besi. Sukar menaksir usia Kakek ini karena kepalanya gundul dan mukanya kelimis, bisa saja dia baru lima puluh tahun akan tetapi juga mungkin usianya sudah tujuh- puluh tahun lebih.
Alisnya yang tebal dan masih hitam itu menambah bingung bagi penaksir usianya. Lima orang itu memandang penuh perhatian, terutama sekali dengan sinar mata mereka mencari-cari apakah di situ terdapat pedang Giok-liong-kiam. Akan tetapi, Kakek gundul yang gendut itu sedang bersemadhi, hanya pernapasannya saja yang membuat perut gendutnya bergerak perlahan turun naik. Jelas bahwa Kakek itu tidak memegang Giok-liong-kiam, juga di dekatnya tidak nampak benda pusaka itu. Lima orang itu celingukan akan tetapi tidak nampak ada orang lain di sekitar tempat itu dan pusaka itupun lenyap tanpa bekas. Siapa lagi kalau bukan Kakek ini yang menyebabkan pusaka yang sedang melayang turun itu tiba-tiba menyeleweng dan lenyap.
Bukankah ke arah sini tadi terbangnya pedang kemala itu? Lima orang itu adalah orang-orang kang-ouw yang cukup maklum bahwa orang seperti Kakek tua ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan dan sangat boleh jadi sekali Kakek ini adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai walaupun tak seorang di antara mereka merasa pernah mengenalnya. Tidak ada pula ciri-ciri yang mengingatkan mereka akan seorang datuk persilatan, baik dari para pendekar maupun kau m sesat. Karena itu, mereka tidak berani sembarangan mengganggu Kakek itu. Akan tetapi, karena mereka ingin sekali memiliki Giok-liong-kiam dank arena mereka melihat sendiri betapa pedang pusaka itu tadi melayang ke arah sini, tetap saja terdapat kecurigaan besar dalam hati mereka bahwa tentu Kakek ini yang main-main tadi, mempergunakan semacam ilmu yang amat luar biasa.
Yang membuat mereka ragu-ragu adalah karena mereka tidak melihat Giok-liong-kiam di situ. Entah kalau disembunyikan di balik jubah kuning yang longgar itu, demikian mereka menduga-duga dan lima pasang mata menunjukkan pandangannya dengan penuh selidik ke arah jubah kuning yang menutupi tubuh si Kakek gendut. Lui Siok Ek yang merasa paling berhak atas pusaka itu, pusaka Thian-te-pai yang hilang dicuri orang setengah tahun yang lalu, memberanikan hatinya dan diapun melangkah maju. Akan tetapi begitu dia melangkah maju, empat orang lainnyapun ikut pula melangkah maju, sejengkalpun tidak membiarkan tokoh Thian-te-pai itu lebih dekat dengan Kakek itu dari mereka! Lui Siok Ek tidak perduli dan diapun menjura dengan sikap hormat kepada Kakek gundul yang masih duduk bersila sambil memejamkan mata itu.
"Harap Locianpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan. Saya Lui Siok Ek..." tiba-tiba saja tokoh Thian-te-pai itu menghentikan kata-katanya karena mendadak Kakek itu membuka kedua matanya dan sepasang mata itu mengeluarkan cahaya begitu mencorong membuat dia tertegun.
"Ha-ha-ha!" Tiba-tiba Hwesio gendut itu tertawa bergelak-gelak dan seluruh tubuhnya yang gendut itu berguncang. Suara ketawanya sambung-menyambung dan semua orang yang berada di situ terkejut bukan main dan cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk mempertahankan diri karena suara ketawa itu mengandung tenaga khikang yang membuat isi perut mereka terguncang pula! Hwesio itu menghentikan suara ketawanya, sejenak memandang kepada mereka bergantian seolah-olah diapun merasa agak heran melihat betapa lima orang itu kuat menghadapi suara ketawanya. Lalu dia memandang pula kepada Lui Siok Ek dan berkata, suaranya parau,
"Engkau tentu seorang murid Thian-te-pai, ada keperluan apakah kalian mengganggu tidurku?" Lui Siok Ek cepat menjura.
"Harap Locianpwe sudi memaafkan saya. Saya kehilangan pusaka perkumpulan kami yang disebut Giok-liong-kiam dan tadi pusaka itu melayang ke arah sini. Kalau Locianpwe mengetahui, mohon dapat memberi petunjuk agar saya dapat membawanya kembali ke perkumpulan kami."
"Ha-ha-ha-ha...!" Kembali Kakek gendut itu tertawa dan sekali ini suara ketawanya lebih hebat dari pada tadi. Agaknya dia telah menambah khikang dalam suara ketawanya.
Dan lima orang itu merasa betapa kaki mereka gemetar dan isi perut mereka terguncang hebat! Mau tidak mau mereka terpaksa segera menjatuhkan diri bersila dan mengerahkan sinkang untuk melindungi diri mereka karena kalau dilanjutkan tanpa pertahanan sinkang, tentu mereka akan dapat menderita luka dalam oleh serangan suara itu! Suara ketawa itu susul-menyusul bagaikan gelombang, semakin lama semakin hebat! Lima orang itu kini memejamkan kedua mata, memusatkan seluruh kekuatan sinkang mereka untuk menahan gelombang suara yang seolah-olah menembus telinga mereka dan menusuk-nusuk jantung mereka. Tubuh mereka tergetar hebat dan keringat sebesar kedele mulai membasahi muka dan leher mereka. Mereka terkejut dan gelisah sekali. Mereka seperti terperosok ke dalam jurang yang berbahaya.
Untuk keluar tidak mungkin karena sudah terlanjur. Menghentikan sebentar saja pemusatan sinkang mereka, tentu mereka akan terluka. Melanjutkanpun sampai kapan? Mereka sudah hampir tidak kuat dan terpaksa mereka menahan napas untuk membantu kekuatan mereka. Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan lima orang itu terseret oleh perobahan tiba-tiba ini dan tanpa dapat bertahan lagi, kelimanya lalu muntah darah segar! Mereka semua menderita luka dalam tubuh, walaupun tidak berbahaya sekali namun cukup membuat mereka terkejut dan maklum bahwa Kakek ini tidak berniat baik terhadap mereka. Begitu membuka mata, mereka lalu bangkit dan melangkah mundur untuk mengatur jarak agar tidak terlampau dekat dan agar mereka dapat berjaga diri. Dengan mulut masih menyeringai lebar, Kakek itu lalu berkata,
"Omitohud...! manusia saling bermusuhan hanya untuk memperebutkan benda mati! Mana mungkin kehidupan ini menjadi aman tenteram dan penuh kedamaian kalau manusia saling hantam hanya untuk memperebutkan benda mati? Ha-ha-ha" Kini lima orang itu sudah siap untuk berjaga diri, akan tetapi suara ketawanya sekali ini tidak mengandung tenaga khikang yang menyerang.
Akan tetapi, melihat wajah gundul yang tertawa-tawa dan menyeringai lebar itu, melihat jubah kuning dan kepala gundul yang menunjukkan bahwa Kakek itu seorang Hwesio , lima orang itu lalu teringat akan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang namanya amat terkenal akan tetapi menurut kabar tidak pernah keluar dari dalam kamarnya di mana dia bersamadhi dan bertapa sampai belasan tahun lamanya! Hwesio tokoh Siaw-lim-pai itupun hanya dikenal julukannya saja, yaitu Siauw-bin-hud (Buddha Bermuka Tertawa)! Kam Hong Tek, pendekar selatan yang pernah selama beberapa tahun berguru kepada seorang Hwesio Siauw-lim-pai perantau, memberanikan diri untuk maju memberi hormat dan bertanya,
"Harap Locianpwe sudi memaafkan kelancangan saya. Apakah saya yang bodoh berhadapan dengan Locianpwe Siauw-bin-hud?" Mendengar ini, empat orang lain memandang tajam penuh perhatian, akan tetapi juga merasa gentar karena mereka semua sudah mendengar bahwa pertapa yang disebut Siauw-bin-hud adalah seorang Locianpwe yang amat tinggi ilmu kepandaiannya dan merupakan angkatan tua yang dihormati. Kembali Kakek itu tertawa, ketawa biasa tanpa pengerahan khikang yang menyerang seperti tadi. Karena mulutnya lebar, maka ketawanya yang menyeringai itu membuat mukanya seperti terbelah dua atau retak lebar di tengah-tengah.
"Ha-ha-ha, dan engkau yang berpakaian putih ini apakah bukan bernama Kam Hong Tek?" Kam Hong Tek terkejut, akan tetapi kekagetannya disusul oleh rasa kaget mereka semua ketika Kakek itu melanjutkan,
"Dan nona tentulah yang bernama Theng Ci murid kepala Ang-hong-pai, bukan? Dan engkau yang tampan ini siapa lagi kalau bukan Pek-bin Tiat-ciang? Dan engkau yang tinggi besar dan gagah ini, pinceng kira tentu seorang perwira pengawal istana yang menyamar. Bukankah engkau yang bernama Tang Kui?"
Tentu saja semua orang terkejut. Kakek ini selain memiliki khikang yang luar biasa kuatnya, ternyata memiliki pula pemandangan yang amat luas sehingga begitu berjumpa sudah dapat mengenal mereka semua! Padahal, Kakek ini dikabarkan selalu menyenbunyikan diri dalam sebuah ruang pertapaan di kuil Siauw-lim-si! Apakah Kakek ini memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia? Tang Kui yang menjadi besar hatinya karena Kakek itu mengenalnya sebagai seorang komandan pengawal istana, hendak mempergunakan kedudukannya dan kewibawaan Kaisar untuk mencari keuntungan. Dia menjura dengan sikap gagah seorang perwira tinggi tulen kepada Kakek itu.
"Locianpwe sungguh bijaksana dapat mengenal saya dalam penyamaran. Saya yakin Locianpwe mempunyai kebijaksanaan pula untuk mengingat bahwa saya adalah seorang utusan sri baginda Kaisar untuk mencari dan membawa pusaka Giok-liong-kiam ke istana." Kembali Kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, Tang-Ciangkun. Apa hubungannya tugasmu dengan pinceng (aku)?"
"Maaf, Locianpwe. Karena tadi saya melihat Giok-liong-kiam melayang ke arah tempat ini, saya mohon petunjuk Locianpwe apakah Locianpwe tahu di mana adanya pusaka itu."
"Kalian berlima siap untuk saling bunuh dalam memperebutkan Giok-liong-kiam! Kalau pinceng tidak tahu di mana adanya pusaka itu, tentu pinceng tidak dapat memberi tahu kalian. Sebaliknya kalau pinceng tahu di mana, pinceng juga tidak dapat memberi tahu kalian karena kalian tentu akan saling bunuh. Lebih baik pinceng simpan sendiri saja. Sudahlah, pinceng sedang beristirahat dan tidak mau diganggu lagi. Kalian harap pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, Kakek itu kembali memejamkan kedua matanya dan merangkapkan kedua tangan di depan dada seperti tadi, sedikitpun tidak bergerak lagi! Lima orang itu menjadi ragu-ragu, bahkan saling pandang seperti hendak saling bertanya dan minta pendapat, lupa bahwa mereka itu masing-masing pernah bermusuhan dan siap untuk saling bunuh dalam memperebutkan Giok-liong-kiam! Memang lucu dan aneh, akan tetapi merupakan kenyataan yang dapat kita lihat sehari-hari dalam kehidupan di sekeliling kita betapa harta dapat mempermainkan kita manusia, akan tetapi juga dapat mempersatukan manusia dengan manusia lain kalau memang kepentingan mereka bersama menguntungkan!
Maka sesungguhnya bukanlah harta yang berkuasa dan mempermainkan manusia melainkan batin sendiri yang dicengkeram oleh ke aku-an dan nafsu ingin memperoleh keuntungan bagi diri sendiri sebesarnya,. Demi memperoleh keuntungan untuk diri sendiri inilah, kawan dapat menjadi lawan dan sebaliknya, lawan dapat berubah menjadi kawan. Hal seperti ini menjadi landasan dari setiap peristiwa antara manusia di dunia, bahkan dapat meluas menjadi antar kelompok dan antar bangsa dan Negara! Saling memperebutkan keuntungan inilah yang menyebabkan terjadinya perang antara dua bangsa yang bersahabat, sebaliknya dapat menyebabkan terjadinya persahabatan antara kedua bangsa yang tadinya bermusuhan.
Kita tinggal membuka mata melihat saja semua ini terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam batin kita sendiripun demikian karena keadaan dunia tidaklah berbeda dari keadaan di dalam batin kita sendiri. Dari batin manusia peroranganlah tercetusnya konflik yang dapat melebar dan meluas menjadi konflik antara manusia dan konflik antara bangsa. Lima orang itu hampir merasa yakin kini bahwa Giok-liong-kiam tentu berada di tangan Kakek ini, mungkin disembunyikan di balik jubahnya yang lebar dan longgar. Akan tetapi, mereka tidak berani bertanya lagi dan pula, apa yang dapat mereka lakukan terhadap Kakek ini? Baru diserang oleh suara ketawa saja, mereka sudah muntah darah dan sampai sekarangpun dada mereka masih terasa nyeri. Kalau kini mereka mempergunakan kekerasan untuk memaksa Kakek itu mengaku dan menyerahkan Giok-liong-kiam, sama saja dengan mati konyol atau bunuh diri.
"Sudahlah!" teriak Tang Kui yang sudah meloncat mundur dan pergi dari situ. Empat orang tokoh lain juga pergi dan isi hati mereka sama semua. Bagaimanapun juga, mereka kini tahu dimana adanya Giok-liong-kiam, yaitu di tangan Siauw-bin-hud, tokoh Siauw-lim-pai yang aneh itu! Dan hal ini saja sudah dapat menghibur hati mereka karena mereka dapat melaporkan kepada atasan mereka, atau dapat menyusun kekuatan untuk kelak mencoba merampas pusaka yang sudah mereka ketahui berada di mana. Akan tetapi, semenjak peristiwa itu terjadi, Giok-liong-kiam dianggap hilang oleh dunia kang-ouw walaupun mereka tahu bahwa pedang itu berada di tangan Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai.
Bahkan Kaisar sendiri mendapat nasihat dari para penasihatnya agar tidak mempergunakan kekerasan terhadap Siauw-lim-si hanya karena urusan pedang yang memang tadinya bukan pusaka istana. Istana hanya mengutus serombongan pembesar untuk meminta keterangan kepada Siauw-lim-si tentang pedang Giok-liong-kiam, dan ketua kuil memberi jawaban dengan pasti bahwa Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali tentang Giok-liong-kiam, dan bahwa selama puluhan tahun ini Hwesio tua yang bernama Siauw-bin-hud tidak pernah meninggalkan ruangan di mana dia mengurung diri dan bertapa! Tentu saja jawaban ini dianggap sebagai pengingkaran untuk tetap menguasai pedang pusaka itu, namun Kaisar menghabiskan urusan itu sampai di situ saja.
Negara sudah menghadapi terlalu banyak pemberontakan, dan urusan menghadapi orang-orang asing berkulit putih juga sudah mendatangkan banyak kepusingan, maka sungguh amat merugikan kalau pemerintah harus bersikap kasar dan memancing permusuhan baru dengan pihak Siauw-lim-pai. Lui Siok Ek juga melapor kepada ketua Thian-te-pai yang merasa terkejut sekali mendengar bahwa Giok-liong-kiam kini berada di tangan orang Siauw-lim-pai. Karena antara Thian-te-pai dan Siauw-lim-pai tidak ada hubungan apa-apa, walaupun tidak pernah terjadi permusuhan, maka ketua Thian-te-pai hanya mengirim murid-murid kepala untuk menyerahkan surat kepada ketua Siauw-lim-pai, di mana dia bertanya dengan hormat apakah Siauw-lim-pai mendengar atau tahu tentang di mana adanya Giok-liong-kiam, pusaka perkumpulan mereka yang hilang dicuri orang setengah tahun yang lalu.
Ketua Siauw-lim-pai menjawab bahwa Siauw-lim-pai sungguh tidak tahu sama sekali dan kalau tahu tentu dengan senang hati membantu Thian-te-pai menemukan kembali pusakanya! Jawaban ini membuat hati para tokoh Thian-te-pai mendongkol. Sudah jelas Siauw-bin-hud yang menguasai pusaka itu dan pihak Siauw-lim-si masih pura-pura tidak tahu. Akan tetapi merekapun tidak dapat berbuat sesuatu karena tentu saja tidak mau menanam permusuhan dengan perkumpulan yang sekuat Siauw-lim-pai. Biarpun tidak ada yang berani menuntut kepada Siauw-lim-pai, akan tetapi dari lima orang itu tersiarlah berita di seluruh dunia kang-ouw bahwa Giok-liong-kiam yang diperebutkan itu kini berada di tangan Siauw-bin-hud tokoh Siauw-lim-pai. Dan enam tahun lewat tanpa ada suatu peristiwa terjadi sehubungan dengan pedang pusaka Giok-liong-kiam.
Orang di dunia persilatan seolah-olah sudah melupakan peristiwa perebutan Giok-liong-kiam itu. Dan memang perebutan pusaka itu hanya terjadi dan timbul setelah tersiar kabar bahwa pusaka itu dicuri orang dari Thian-te-pai. Ketika pusaka itu masih menjadi pusaka Thian-te-pai, tidak ada orang atau golongan yang begitu gatal tangan untuk mencoba merampasnya dari tangan Thian-te-pai, sebuah perkumpulan yang amat kuat, apa lagi karena Thian-te-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu dank arena itu dihormati oleh semua golongan. Kini, setelah pusaka itu berada di tangan Siauw-lim-pai, tentu saja orang menjadi semakin segan untuk mencoba merampasnya. Akan tetapi, secara diam-diam tentu saja banyak orang yang masih menginginkan pusaka itu, hanya tidak berani menyatakan secara berterang.
Bahkan ada pihak-pihak yang menyusun kekuatan dan bersikap hati-hati, tidak berani sembarangan turun tangan terhadap perkumpulan seperti Siauw-lim-pai sebelum merasa yakin akan kekuatan sendiri. Enam tahun telah berlalu sejak pedang pusaka Giok-liong-kiam lenyap dan dunia kangouw mengetahui bahwa pedang itu berada di tangan Siauw-bin-hud, seorang tokoh tua Siauw-lim-pai. Selama enam tahun itu tidak pernah terjadi sesuatu di Siauw-lim-si, dan dunia kang-ouw seolah-olah melupakan pusaka itu, karena memang negara berada dalam kekacauan. Pemberontakan-pemberontakan kecil berkobar di mana-mana, dan makin banyaklah rakyat dikuasai asap madat. Bahkan madat mulai menyusup ke dalam gedung-gedung para pembesar sehingga banyaklah pembesar mulai kecanduan.
Makin banyak madat dimasukkan ke Tiongkok, makin banyak pula kekayaan negara dikuras. Yang puas mengelus perut gendut karena memperoleh untung yang luar biasa banyaknya adalah orang-orang kulit putih, terutama Bangsa Inggeris, dan juga orang-orang India yang menyediakan madat itu. Suatu pagi yang cerah. Kecerahan pagi itu terasa sekali nikmatnya di sebuah puncak bukit kecil. Sinar matahari yang cerah menjadi semakin segar dan hangat karena sejuknya hawa udara yang jernih di bukit itu. Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang agak kemerahan bercampur kuning menjadi keemasan. Masih lembut, belum keras panas seperti sinar di tengah hari. Cahaya keemasan lembut itu memandikan seluruh permukaan bukit, rata dan tidak pilih kasih. Cahaya yang indah itu menggugah bumi dari pada kelelapan malam gelap.
Tanah menguap tipis, hangat dan sedap baunya, menghalau kabut pagi yang agaknya masih bermalasan untuk meninggalkan bumi yang sedap. Bunga-bunga yang sudah mekar menjadi berseri, masih basah oleh embun, menerima cahaya matahari dengan penuh kebahagiaan. Embun yang tadinya dingin menyelimuti kelopak-kelopak bunga, kini terasa menyegarkan dan indah bergantungan di kelopak daun, berkilauan dan tersenyum-senyum. Daun-daun juga bangkit menghijau, segar dan menyambut cahaya matahari pagi sebagai sesuatu yang baru, yang sama sekali terlepas dan tiada kaitannya dengan malam tadi, dengan siang kemarin. Rumput-rumput hijau juga berseri-seri, pucuk-pucuk rumput kekuningan bersemi dan seperti anak-anak yang tiada mengenal susah, bergembira menyambut dan memasuki hidup.
Burung-burung berkicau bersuka ria, kegembiraan yang spontan dan tidak dibuat-buat, lincah berloncatan dari dahan ke dahan, saling tegur dengan salam manis kepada teman-temannya, siap untuk bersama-sama menghadapi hari baru yang cerah. Sukarlah menggambarkan keindahan pagi. Keindahan yang hanya dapat dinikmati dengan penghayatan, dengan rasa, bukan untuk digambarkan atau diceritakan. Keindahan dan kebahagiaan yang dapat dinikmati setiap orang manusia. Sayang seribu sayang, jarang sekali ada orang dapat lagi menikmati keindahan yang membahagiakan itu. Pikiran kita terlalu sibuk dengan urusan lahiriah, mencari uang, menuntut ilmu, sosial, politik, agama, pengejaran kesenangan, pelarian dari kesusahan dan sebagainya.
Cobalah sekali-kali, makin sering semakin baik, kita melepaskan diri dari semua itu, kita tinggalkan semua itu agar batin kita kosong sama sekali dari pada segala macam konflik dan masalah kehidupan, lalu kita masuki pagi yang baru ini, kita biarkan diri seperti sehelai rumput yang menikmati embun dan cahaya keemasan. Pagi itu terasa amat sunyi di kuil Siauw-lim-si yang terletak di puncak bukit kecil itu. Sunyi yang mengamankan hati, sunyi penuh keriangan dan kebahagiaan yang bukan timbul karena senang akan sesuatu. Namun, sejak matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang mendahuluinya, para Hwesio di kuil itu sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pekerjaan yang merupakan tugas sehari-hari, pekerjaan yang diulang-ulang sehingga tidak ada artinya lagi bagi si pekerja.
Menyapu pekarangan, memikul air, menyalakan api di dapur, membersihkan meja sembahyang, ataupun membaca liam-keng atau doa sambil mengetuk-ngetuk kayu. Semua ini dilakukan seperti otomatis, tanpa gairah lagi, seperti kalau kita pergi ke kantor, ke sekolah, ke pasar atau sibuk di dapur. Dan tahu-tahu usia telah menjadi tua oleh pekerjaan yang telah menjadi gerakan kebiasaan tanpa isi ini. Dapatkah kita menikmati segala hal yang kita lakukan, termasuk pergi sekolah, belajar, bekerja di kantor, berbelanja di pasar, masak di dapur, segala sesuatu itu? Dapatkah? Hal ini hanya kita sendiri yang mampu menyelidiki, mampu mempelajari dan mampu menjawabnya! Mari kita mengguncang diri, seperti anjing kalau mengguncang tubuh mengeringkan diri dari air atau melemparkan kutu-kutu dari badan, mari kita melepaskan belenggu dari semua ikatan kebiasaan itu!
Dan mari kita melakukan APA SAJA, ketika bekerja, ketika mandi, ketika makan, ketika kita bicara, bahkan ketika kita termenung, apa saja yang kita lakukan, pernapasan kita, gerakan kaki tangan kita, GERAKAN PIKIRAN kita, mari kita lakukan semua gerakan lahir batin itu dengan penuh KESADARAN, bukan gerakan robot atau otomatis, melainkan gerakan dilakukan dengan penuh PENGAMATAN, dengan penuh kewaspadaan dan penuh kesadaran, penuh perhatian. Mari kita buka mata dan lihat, kita amati setiap gerak badan dan batin KITA SENDIRI, dan mari hentikan mengamati orang lain. Kita MASUK dengan seluruh jiwa raga ke dalam sesuatu yang kita lakukan! Sejak bangun tidur sampai pulas, dan bahkan pengamatan itu masih hidup selagi kita tidur. Mau coba? Marilah! Sudah menjadi kebiasaan para Hwesio untuk bangun pagi-pagi sekali. Kebiasaan yang amat baik karena hal ini menyehatkan badan dan pikiran. Kuil Siauw-lim-pai tidaklah sebesar ratusan tahun yang lalu.
Bentrokan-bentrokan dengan pemerintah, terutama pemerintah Kerajaan Mancu yang berkuasa, selama ratusan tahun membuat Siauw-lim-pai terpecah belah dan mengalami kemunduran. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja Siauw-lim-si merupakan satu di antara kuil-kuil terbesar di seluruh negeri. Dan Siauw-lim-pai, yaitu perkumpulan yang terdiri dari murid-murid Siauw-lim-si di bidang ilmu silat, tetap saja merupakan partai persilatan terbesar. Haruslah diakui bahwa ilmu silat Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat tertua, bahkan merupakan sumber dari hampir semua ilmu silat yang kemudian bertumbuhan dan bermunculan di dunia persilatan. Ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat murni, yang diciptakan oleh orang-orang suci, oleh para cerdik pandai yang berbatin bersih.
Ilmu silat yang diperkembangkan untuk keuletan badan, kebesaran jiwa dan ketenangan batin, yang dirangkai dengan ilmu batin yang tinggi berdasarkan agama. Oleh karena aliran ini masih aseli maka cara berlatihnya juga amat berat. Bukan seperti ilmu-ilmu silat yang sengaja dipelajari dengan pamrih untuk berkelahi, mudah dipelajari dan mudah dipraktekkan untuk perkelahian, namun sama sekali tidak ada manfaatnya untuk kemajuan batin. Tidak kurang dari lima puluh orang Hwesio tinggal di kuil Siauw-lim-si yang besar dan luas itu. Kuil itu memang amat luas dan merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikelilingi tembok tinggi. Dahulu, pernah di masa jayanya kuil ini menampung penghuni sebanyak hampir dua ratus orang. Yang menjadi ketua bernama Thian He Hwesio , seorang Kakek tinggi kurus yang usianya enam puluh tahun lebih, dibantu oleh beberapa sute (adik seperguruan) yang bertugas sebagai kepala bagian.
Sebagai ketua, Thian He Hwesio hanya menangani pelajaran agama, mengepalai upacara-upacara sembahyang dan menentukan peraturan-peraturan serta mengambil keputusan akan segala masalah yang timbul di antara mereka. Para sute-sutenya adalah Thian Kong Hwesio yang bertugas sebagai pelatih ilmu silat kepada para murid, Thian Tek Hwesio bertugas sebagai kepala rumah tangga, dan Thian Khi Hwesio bertugas mengatur semua urusan yang berhubungan dengan luar kuil. Mereka semua ini adalah Hwesio -Hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi dan nama mereka disegani di seluruh dunia persilatan, bukan hanya karena kepandaian mereka, akan tetapi juga karena sepak terjang para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan juga karena para Hwesio ini tidak pernah mau mencampuri urusan di luar linkungan mereka sendiri.
Di pagi yang cerah itu, semua Hwesio melaksanakan tugas masing-masing seperti biasa. Hanya ada sedikit perobahan terjadi di dalam kuil itu dan setiap perobahan tentu disambut dengan penuh kegembiraan oleh mereka. Kebiasaan yang dilakukan setiap hari tanpa ada perobahan menimbulkan jemu. Akan tetapi sedikit perobahan itu hanya dianggap baru selama dua tiga hari saja dan sesudah itupun tenggelam lagi dan hampir terlupa oleh mereka. Perobahan itu adalah keluarnya seorang Kakek Hwesio dari dalam ruangan pertapaannya di mana dia tinggal selama hampir dua puluh tahun. Hwesio ini adalah seorang Hwesio gendut yang dikenal sebagai Siauw-bin-hud! Hwesio tua ini adalah paman guru dari Thian He Hwesio dan tiga orang sutenya yang menjadi pimpinan kuil. Merupakan satu-satunya Hwesio yang masih hidup dari tingkatannya.
Menurut perkiraan para ketua itu, tentu usia susiok (paman guru) mereka itu tidak kurang dari delapan puluh tahun. Dapat dibayangkan betapa heran rasa hati mereka ketika pada suatu pagi, seminggu yang lalu, paman mereka itu tahu-tahu sudah duduk bersila di ruangan belakang dan kepada Hwesio yang bertugas di situ minta agar disediakan air hangat untuk mencuci muka dan bubur untuk sarapan pagi. Mereka semua segera berkumpul dan memberi hormat kepada susiok mereka. Kemudian Siauw-bin-hud ini memang mengejutkan sekali. Biasanya, para murid Siauw-lim-pai hanya tahu bahwa di sebuah ruangan tertutup terdapat seorang Hwesio tua yang duduk bertapa. Ruangan ini terkunci dan tak seorangpun boleh memasukinya, kecuali petugas yang setiap hari meninggalkan makanan dan air minum ke dalam ruangan itu.
Yang kelihatan hanya punggung Kakek itu yang menghadap dinding. Dan kini, setelah dua puluh tahun bertapa di dalam ruangan itu, Siauw-bin-hud keluar dari tempat pertapaannya dan yang amat mengherankan, tubuhnya masih gendut bulat, padahal makannya hanya sekedarnya saja. Dan senyumnya yang ramah itu masih tak pernah meninggalkan mukanya yang bulat. Tentu saja berita aneh ini bocor keluar dinding kuil, dari mulut para Hwesio yang sedang bertugas di luar dan bertemu dengan penduduk di luar kuil. Dan secara luar biasa sekali, berita tentang munculnya Siauw-bin-hud yang sudah dua puluh tahun bertapa itu dengan amat cepatnya tersiar ke dunia kang-ouw. Dan pada pagi hari itu, hanya sepekan kemudian, nampak beberapa orang datang menuju ke kuil Siauw-lim-si, mendaki bukit dari berbagai jurusan.
Seperti sudah dijanjikan lebih dulu saja, pada waktu yang bersamaan, di pekarangan luar pintu gerbang kuil Siauw-lim-si kini berkumpul beberapa orang yang terdiri dari beberapa rombongan. Rombongan pertama adalah Nam San Losu, ketua kuil dekat puncak bukit mata air Sikiang atau yang dikenal pula dengan nama Sungai Mutiara. Kakek tinggi besar muka hitam ini walaupun sudah berusia enam puluh enam tahun, masih dapat melakukan perjalanan cepat dan dapat mendaki bukit menuju ke puncak kuil Siauw-lim-si tanpa banyak kesukaran. Dia ditemani oleh seorang sutenya dan juga oleh seorang anak laki-laki berusia tigabelas tahun. Seorang anak laki-laki yang berpakaian sederhana seperti anak petani, wajahnya membayangkan kegagahan dan keberanian, tubuhnya tegap dan sikapnya gagah.
Terutama sekali sepasang mata yang tajam itu, dengan hiasan alis yang tajam tebal, membuat anak ini walaupun sederhana dan seperti anak petani, namun nampak bukan anak sembarangan. Anak ini adalah Tan Ci Kong. Seperti kita ketahui, enam tahun yang lalu Tan Ci Kong, putera tunggal mendiang Tan Seng atau Tan Siucai, oleh paman angkatnya, Sie Kian yang tinggal di Nan-ning, diantar kepada Nam San Losu dan diterima sebagai murid oleh ketua kuil itu. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Nam San Losu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi ketua kuil Budha di bukit mata air Si-kiang itu. Rombongan ke dua adalah seorang Kakek kurus berbaju tambal-tambalan seperti seorang pengemis, akan tetapi pakaiannya yang penuh tambalan itu bersih, juga mukanya yang penuh cambang bauk itu nampak bersih.
Dengan matanya yang sipit dan mulutnya yang selalu senyum-senyum, Kakek ini nampak lucu. Dia ditemani oleh seorang anak perempuan yang berusia sebelas tahun, seorang anak yang bermata lebar dan tajam penuh keberanian memandang ke sekelilingnya. Anak perempuan ini adalah Siauw Lian Hong dan Kakek itu bukan lain adalah Bubeng San-kai, Kakek yang telah menolongnya dari kebakaran dan yang kemudian menjadi Kakeknya, juga gurunya, juga satu-satunya orang di dunia ini yang dekat dengan anak yatim piatu itu. Rombongan ke tiga terdiri dari lima orang, dipimpin oleh seorang Kakek berusia enam puluh tahun, yang tinggi kurus dan gagah perkasa akan tetapi agak angkuh sikapnya, bersama empat orang yang usianya beberapa tahun lebih muda darinya.
Lima orang laki-laki ini semua bersikap gagah dan di dada mereka nampak lukisan gambar Im-yang, yaitu bulatan yang terbagi dua dengan warna hitam dan putih sebagai tanda Im-yang, dua sifat yang saling bertentangan, juga saling berkaitan, dua sifat yang menggerakkan, menciptakan dan mengadakan segala yang ada di dunia ini. Dari pakaiannya ini mudah diduga siapa mereka, yaitu tokoh-tokoh perkumpulan Thian-te-pai yang terkenal. Di antara mereka terdapat pula Lui Siok Ek, murid kepala Thian-te-pai yang pernah memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam pada enam tahun yang lalu. Rombongan ke empat adalah tiga orang yang berpakaian perwira tinggi, di antara mereka nampak Tang Kui, raksasa yang pernah menyamar sebagai petani dan yang pada enam tahun yang lalu pernah pula memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam.
Dua orang yang lain adalah dua perwira yang kedudukannya lebih tinggi dan ilmu silatnya jauh lebih lihai dari pada Tang Kui, terutama sekali Kakek yang bertubuh kecil pendek itu, yang berjenggot panjang dan baju seragamnya agak kebesaran dan kedodoran. Kelihatannya lucu dan tidak ada apa-apanya, akan tetapi dialah Pouw Ciangkun, seorang komandan pengawal pribadi Kaisar yang amat tangguh dan terkenal karena ilmu kepandaiannya yang tinggi. Rombongan ke lima terdiri dari seorang Kakek tinggi besar bermuka merah yang pakaiannya mewah sekali, bersikap angkuh, yang diikuti oleh tujuh orang pemuda antara berusia dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Tujuh orang pemuda ini rata-rata bermuka tampan. Bahkan pesolek seperti wanita, dengan pakaian yang indah-indah. Biarpun Kakek itu hanya seperti seorang hartawan besar,
Akan tetapi rombongan lain yang melihatnya nampak terkejut dan gelisah. Hal ini tidaklah mengherankan karena Kakek bermuka merah ini terkenal sekali sebagai seorang datuk kau m sesat yang amat ditakuti orang. Kakek ini pernah merajalela di dunia persilatan sebagai seorang tokoh sesat dan akhirnya setelah berhasil menjadi orang yang amat kaya raya, lalu mengundurkan diri dan kabarnya tinggal di sebuah pulau di Lautan Kuning, dinamakan Pulau Layar karena bentuknya dari jauh seperti layar sebuah perahu. Di pulau inilah dia tinggal sebagai seorang raja, bersama para pelayan dan pembantunya, juga murid-muridnya. Akan tetapi semenjak tinggal di pulau itu, Tang Kok Bu ini dijuluki orang Hai-tok (Racun Lautan), tidak pernah muncul di dunia kang-ouw walaupun kau m sesat masih menganggapnya sebagai seorang datuk mereka yang ditakuti.
Lima rombongan ini hanya saling pandang dengan heran karena tanpa berjanji mereka pada pagi hari itu berkumpul di depan pintu gerbang Siauw-lim-si. Biarpun tidak saling bicara, mereka semua diam-diam dapat menduga bahwa kedatangan mereka itu mengandung maksud yang sama, yaitu tentu ada hubungannya dengan keluarnya Siauw-bin-hud dari tempat pertapaannya seperti yang menjadi berita hangat di dunia kang-ouw, dan ada hubungannya dengan Giok-liong-kiam! Akan tetapi agaknya maksud kedatangan Nam San Losu, sutenya dan muridnya tidak sama dengan maksud kedatangan rombongan lain. Nam San Losu bersama sutenya dan Tan Ci Kong sudah berlutut di depan pintu gerbang dan Kakek itu berseru dengan suara halus namun mengandung tenaga khikang sehingga menggema ke dalam pintu gerbang.
"Murid Nam San datang berkunjung untuk memberi hormat kepada para Suhu!" Mendengar seruan ini, tak lama kemudian beberapa orang Hwesio membuka pintu gerbang. Tentu saja sebagai ahli-ahli silat pandai, para Hwesio di dalam kuil sudah tahu akan kedatangan banyak orang di depan pintu gerbang itu. Dua orang Hwesio menyambut Nam San Losu dengan sikap hormat.
"Kiranya Nam San suheng dan Nam Thi suheng yang datang berkunjung!" kata dua orang Hwesio tua yang membuka pintu gerbang itu.
"Kami mendengar bahwa susiok Siauw-bin-hud telah keluar dari tempat pertapaannya, dan kami mohon dapat menghadap beliau," kata pula Nam San Losu. Mendengar ini, dua orang Hwesio penyambut itu lalu mempersilahkannya masuk. Pada saat itu muncullah seorang Hwesio yang pendek kecil berusia enam puluh lima tahun lebih, dari dalam dan melihat Hwesio yang pendek kecil dan kelihatan lemah ini, Nam San Losu cepat menjura dengan sikap hormat.
"Thian Tek suheng, terimalah hormat pinceng." Si pendek kecil itu membalas penghormatan tamu dari selatan itu.
"Ah, kiranya Nam San sute yang datang berkunjung. Silahkan, sute, toa-suheng dan juga susiok berada di ruangan belakang." Setelah mempersilahkan tamu yang masih keluarga Siauw-lim-si sendiri itu masuk, Thian Tek Hwesio lalu keluar dan berdiri di ambang pintu gerbang menghadapi para rombongan lain. Nam San Losu diikuti oleh Nam Thi Hwesio , juga Ci Kong, lalu masuk ke dalam. Ci Kong membuka mata lebar-lebar untuk memperhatikan segala yang nampakdi dalam kuil besar ini. Sudah banyak dia mendengar penuturan gurunya tentang kuil Siauw-lim-si, dan kini dia melihat kenyataan betapa kuil itu memang jauh lebih luas dan besar dibandingkan kuil di selatan, di mana dia hidup selama enam tahun mempelajari ilmu-ilmu dari gurunya.
Juga dia mendengar penuturan gurunya dan para paman gurunya tentang Kakek Siauw-bin-hud yang amat mengagumkan hatinya. Bukan hanya karena Kakek itu baru saja keluar setelah bertapa selama dua puluh tahun lebih, juga bahwa menurut Suhunya Kakek itu memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi juga dia kagum mendengar betapa Kakek itu namanya telah menggemparkan seluruh dunia persilatan karena dikabarkan telah merampas Giok-liong-kiam yang menjadi barang pusaka yang diperebutkan oleh para tokoh persilatan. Karena itu, hatinya girang sekali ketika gurunya mengajak dia untuk pergi mengunjungi Siauw-lim-si. Ketika mereka memasuki kuil, para Hwesio di kuil itu yang semua mengenal Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio , menyambut mereka dengan ramah dan seorang di antara mereka mengantar tiga orang tamu itu ke ruangan belakang yang lebar.
Di dalam ruangan itu telah duduk seorang Hwesio yang tua dan gendut sekali, demikian gendutnya sampai nampak bulat. Jubahnya kuning menutupi semua tubuh dan sepatunya dari kain, juga sudah agak butut seperti jubahnya. Yang menarik para Hwesio ini adalah wajahnya yang selalu tersenyum itu sehingga wajah itu nampak demikian ramah dan mencerminkan watak yang halus dan budiman. Sinar matanya juga lembut dan sinar mata itu begitu penuh pengertian dan agaknya tidak ada apapun yang akan Kakek ini merasa heran. Sukarlah mengira-ngirakan berapa usia Kakek ini, karena walaupun sikapnya memperlihatkan usia yang sudah amat tua, namun wajahnya yang bulat itu tidak dihiasi keriput karena gendutnya.
Di depan Kakek gendut ini duduk bersila pula tiga orang Hwesio , yaitu Thian He Hwesio , Thian Kong Hwesio dan Thian Khi Hwesio , tiga di antara empat orang pengurus atau ketua Siauw-lim-si di waktu itu karena orang ketiga, Thian Tek Hwesio , sedang keluar menyambut para tamu. Begitu melihat Hwesio gendut itu, diam-diam Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio merasa kagum dan terheran-heran. Dua puluh tahun lebih yang lalu, mereka pernah bertemu dengan paman guru mereka ini, dan sekarang, setelah dua puluh tahun lebih lewat, agaknya Kakek gendut itu masih sama saja, sedikitpun tidak nampak perobahan! Setelah tiba di ruangan itu, Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Kakek gendut, diikuti pula dari belakang oleh Ci Kong.
"Susiok, terimalah hormat dari teecu" kata Nam San Losu dengan sikap hormat.
"Susiok...!" Nam Thi Hwesio juga memberi hormat dengan berlutut. Ci Kong hanya berlutut saja tanpa mengeluarkan suara, hatinya gentar dan juga kagum. Hwesio gendut itu menoleh dan senyumnya melebar ketika dia melihat dua orang Hwesio itu.
"Aha, bukankah kalian ini Nam San dan Nam Thi? Bagus sekali! Bagaimana kabarnya di selatan? baik-baik sajakah?" Dua orang Hwesio dari selatan itu menghaturkan terima kasih, kemudian barulah mereka memberi hormat kepada tiga orang suheng mereka sebagai tuan rumah. Thian He Hwesio membalas penghormatan itu.
"Sute, jauh-jauh sute datang dari selatan, apakah ada keperluan khusus untuk dibicarakan?"
"Suheng, pertama-tama karena sudah lama kami tidak berkunjung dan merasa rindu, maka kesempatan ini kami pergunakan untuk berkunjung ke Siauw-lim-si. Kedua kalinya, karena mendengar berita bahwa susiok telah keluar dari tempat pertapaan, maka kami ingin sekali menghadap dan mohon petunjuk, dan ketiga kalinya, kamipun mendengar berita ribut-ribut tentang Giok-liong-kiam, maka kami ingin sekali mendengar bagaimana sebenarnya hal yang telah terjadi karena ini menyangkut nama Siauw-lim-pai."
"Ahhh...!" Thian He Hwesio menarik napas panjang.
"Justeru urusan itulah yang kini sedang kita bicarakan. Sudah selama enam tahun kami di Siauw-lim-si selalu didatangi orang yang secara halus maupun kasar menyindirkan bahwa Giok-liong-kiam kita rampas dan kita sembunyikan. Karena pada waktu itu susiok masih bertapa, kami tidak berani menganggu. Dan sekarang, menurut susiok, beliau sama sekali tidak tahu akan pedang Giok-liong-kiam itu. Bukankah ini membuat orang merasa menyesal bukan main?"
Kemelut Kerajaan Mancu Eps 4 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 9 Dewi Ular Eps 10