Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 43


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 43




Hai-tok yang telah berhasil melalui beberapa jebakan dan alat rahasia, sudah merasa girang sekali ketika dia tiba di bagian paling dalam dan Siauw-lim-si. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil berkelebat dan menyelinap ke dalam tanpa dilihat oleh para munid Siauw-lim-pai yang bertugas jaga. Bahkan dia dapat melumpuhkan beberapa macam alat rahasia yang menghadang di sepanjang lorong masuk. Akan tetapi ketika dia tiba di ruangan dalam dan sedang mencari-cari dimana letaknya kamar perpustakaan, tanpa disangkanya, kakinya menginjak bagian lantai yang dipasangi alat rahasia sehingga terdengarlah kelenengan berbunyi nyaring. Hai-tok terkejut, akan tetapi dia bersikap tenang, siap untuk menghadapi segala bahaya.

Tiba-tiba ruangan itu menjadi terang benderang, muncullah puluhan orang Hwesio dengan obor di tangan, ada pula yang membawa lentera-lentera besar. Sebentar saja Hai-tok telah terkepung. Kakek ini masih bersikap tenang, siap untuk menghadapi segala akibat dari perbuatannya itu. Akan tetapi, para Hwesio muda itu hanya mengepung dalam bentuk barisan yang rapi, sama sekali tidak bergerak untuk menyerang, hanya mengepung dan tidak memberi jalan ke luar, mata mereka memandang tajam kepada Hai-tok yang masih berdiri di tengah ruangan. Tiba-tiba barisan yang berada di sebelah dalam terkuak dan muncullah lima orang kakek yang membuat Hai-tok diam-diam terkejut sekali. Dia mengenal dua orang di antara mereka. Yang seorang bertubuh tinggi kurus adalah Thian He Hwesio, sedangkan orang kedua adalah Thian Kong Hwesio.

Keduanya adalah pimpinan Siauw-lim-pai. Thian He Hwesio sebagai ketua dan Thian Kong Hwesio sebagai pelatih. Tentu saja Hai-tok tidak gentar menghadapi dua orang pimpinan Siauw-lim-si yang sudah dikenalnya dan diketahui sampai dimana tingkat kepandaiannya itu. Akan tetapi dia memperhatikan tiga orang kakek yang lain. Mereka memiliki pembawaan yang aneh dan mengkhawatirkan hatinya. Mata mereka itu mencorong seperti mata naga, walaupun ada kelembutan pada pandang mata mereka. Yang seorang adalah pendeta berkepala gundul seperti Hwesio-Hwesio lain, akan tetapi kulit mukanya hitam dan raut wajahnya berbeda dengan orang Han. Hai-tok yang berpengalaman dapat menduga bahwa tentu Hwesio yang satu ini datang dan barat, kalau tidak dan Bhutan, tentu dan Nepal atau India.

Orang ke dua adalah seorang Hwesio tinggi besar berperut gendut, mulutnya yang lebar itu selalu tersenyum, dan melihat jubahnya yang kuning bergaris merah, dan hiasan kepala yang menutupi kepala gundulnya, dapat diduga bahwa dia adalah seorang pendeta Lhama dari Tibet. Orang ketiga juga seorang Hwesio tua, kepalanya gundul kelimis, akan tetapi mukanya penuh dengan kumis dan jenggot putih, jubahnya kuning agak kotor, namun Hwesio yang bertubuh kecil ini bersikap penuh wibawa, tangannya memegang sebatang tongkat pendeta yang kedua ujungnya dihias dengan emas! Thian He Hwesio dan Thian Kong Hwesio tentu saja mengenal Hai-tok dan diam-diam mereka terkejut. Mau apakah datuk sesat ini muncul pada waktu tengah malam di ruangan dalam kuil itu?

"Kiranya Tang-tocu yang muncul di sini," kata Thian He Hwesio sambil menjura.

"Sungguh mengejutkan hati kami semua. Entah ada urusan apakah tocu datang malam-malam begini dengan cara yang tidak wajar?" Muka Hai-tok sudah berubah merah karena kikuk dan malu. Akan tetapi, dia tidak gentar menghadapi pengepungan para Hwesio, apalagi di situ tidak terdapat orang yang ditakuti, Siauw-bin-hud. Maka karena sudah tertangkap basah, diapun menjadi nekat. Tak perlu lagi dia mencari alasan dan berbohong, karena hal itu hanya akan menambah rasa malunya saja.

"Hwesio yang baik, aku datang hanya untuk meminjam beberapa buah kitab milik Siauw-lim-pai." Semua Hwesio terkejut mendengar ini, dan Thian Kong Hwesio yang wataknya lebih keras dari pada suhengnya segera berseru.

"Omitohud... kitab-kitab kami tidak boleh dipinjam oleh orang luar!" Hai-tok Tang Kok Bu tersenyum mengejek.

"Hemm... apakah percuma saja aku menjadi kenalan dan sahabat Siauw-bin-hud? Masa meminjam kitab saja tidak diperbolehkan?" Thian He Hwesio cepat menjura.

"Tocu, kitab apakah yang ingin tocu baca? Kalau tocu ingin membaca kitab agama dan kitab pelajaran untuk menjadi manusia benar, kiranya pinceng akan dapat meminjamkannya kepada tocu." Hai-tok tertawa.

"Ha-ha-ha, apakah engkau anggap aku ini anak kecil? Untuk apa segala macam kitab yang tidak ada gunanya itu? Membohongi orang-orang bodoh saja! Aku ingin memilih sendiri beberapa buah kitab dari kamar perpustakaan kalian, dan aku hanya akan meminjamnya selama setahun saja, tentu kelak akan kukembalikan."

"Omitohud, permintaan yang tidak masuk akal, tocu. Akan tetapi kitab apakah yang ingin tocu pinjam itu?"

"Aku hanya mempunyai satu macam keahlian, yaitu ilmu silat. Kitab apalagi kalau bukan kitab ilmu silat yang menarik hatiku? Aku akan memilih dua atau tiga buah saja, ingin melihat sampai dimana kehebatan ilmu silat simpanan dari Siauw-lim-pai, dan setelah membacanya setahun, aku akan mengembalikannya."

"Tidak mungkin!" Thian Kong Hwesio membentak. Thian He Hwesio masih bersikap lunak.

"Tak perlu pinceng menjelaskan panjang lebar, namun tentu tocu sudah maklum bahwa kami tidak mungkin dapat meminjamkan kitab pelajaran silat kepada orang luar. Bahkan murid-munid Siauw-lim-pai sendiri, tanpa ijin khusus, dilarang membaca kitab-kitab rahasia itu. Tentu tocu sudah maklum bahwa hal itu tidak mungkin, maka tocu datang malam-malam begini untuk mencuri."

"Ha-ha-ha, kalau benar demikian, kalian mau apa? Kalau tidak boleh meminjam, biarlah kuambil sendiri saja!" kata Hai-tok dengan sikap angkuh.

"Omitohud! Orang ini benar-benar hendak mengacau. Kami bertiga sebagai tamu, tak boleh tinggal diam saja."

Tiba-tiba kakek Hwesio kecil kurus yang memegang tongkat berseru sambil melangkah maju, diikuti oleh dua orang pendeta lainnya, yaitu pendeta dari India dan dari Tibet. Mereka mengepung dengan kedudukan segitiga, dengan Hwesio bertongkat di depan Hai-tok. Pada saat itu, Thian He Hwesio yang tidak keburu mencegah, membisikkan kepada tamunya bahwa pengacau itu adalah datuk sesat yang dijuluki Hai-tok. Nampak pendeta pendeta kecil kurus itu terkejut, juga dua orang kawannya terkejut.

"Omitohud, kiranya seorang di antara Empat Racun yang tersohor itu!" kata pula pendeta kecil kurus bertongkat.

"Kabarnya Empat Racun telah mencuci kotoran dan batinnya dengan membantu perjuangan rakyat menentang kelaliman, akan tetapi ternyata sekarang Hai-tok masih saja melanjutkan kesesatannya dengan perbuatan rendah, mengacau di Siauw-lim-si dan hendak merampok kitab. Sungguh patut disesalkan!" Melihat tiga orang tamunya yang merupakan tamu agung yang dihormati, yaitu para wakil golongan Agama Buddha dari Nepal, Tibet dan Yun-nan, kini maju hendak menandingi Hai-tok, dua orang pimpinan Siauw-lim-si itu merasa tidak enak hati. Thian He Hwesio segera maju.

"Sam-wi Suhu harap tidak turun tangan sendiri, ini adalah urusan dalam Siauw-lim-pai, biarlah para murid yang menanggulanginya." Tanpa menanti jawaban, Thian He Hwesio memberi tanda kepada Thian Kong Hwesio, dan pelatih para murid Siauw-lim-pai ini segera memberi aba-aba kepada para murid.

"Ngo-heng-tin silahkan maju!" bentaknya.

Dari para pengepung itu, berloncatan keluar lima orang murid Siauw-lim-pai yang berkepala gundul, mereka itu masing-masing memegang sebatang toya kuningan yang berat, senjata khas golongan Hwesio yang merupakan senjata terkuat dari Siauw-lim-pai. Setelah berloncatan, mereka berlima segera membentuk posisi segi lima dan itulah yang dinamakan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur). Dikurung oleh lima orang itu, Hai-tok nampak masih tenang saja. Dia maklum akan kelihaian Ngo-heng-tin dan tahu pula bahwa dengan berani maju berlima, tentu mereka ini merupakan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah cukup tinggi tingkatnya. Dia menggerakkan tangan ke belakang dan sudah mencabut tongkatnya, sebatang tongkat yang terbuat dari pada emas berhiaskan permata!

Sebuan tongkat yang indah dan mahal sekali, namun merupakan senjata utama Hai-tok yang luar biasa ampuhnya pula. Barisan Ngo-heng-tin itu kini bergerak perlahan mengitari lawan, gerakan mereka ketika bergeser ke depan itu amat gagah dan tegap, kaki mereka hanya bergeser ke depan sehingga terdengar suara "sstt-sstt-sstt" yang berirama. Keadaan menjadi menegangkan, dan kepungan itu kini agak mundur sehingga terdapat ruangan yang cukup luas untuk perkelahian keroyokan. Juga kedua orang pimpinan Siauw-lim-pai dan tiga orang tamu agungnya mengundurkan diri. Beberapa orang murid segera menyediakan lima buah bangku untuk mereka duduk menonton. Pimpinan barisan Ngo-heng-tin itu adalah seorang yang bertubuh tinggi kurus.

Dia memimpin barisan bukan dengan aba-aba, melainkan dengan gerakan. Dialah yang lebih dahulu bergerak, menjadi kepala binatang sedangkan yang lain menjadi tubuh dan ekornya, yang akan bergerak secara otomatis melanjutkan atau menyambung gerakan pertama dari pemimpin barisan itu. Setiap gerakan atau serangan dari pemimpin, memiliki perkembangan tertentu dan mereka berlima sudah berlatih selama belasan tahun, sehingga kalau mereka maju sebagai Ngo-heng-tin, mereka itu seolah-olah menjadi kesatuan yang bergerak secara otomatis. Tiba-tiba kepala barisan itu sudah menggerakkan toyanya, menyerang ke arah kepala Hai-tok, dan begitu dia bergerak menyerang, empat orang yang lain juga bergerak dengan serangan susulan! Hebatnya, di dalam serangan mereka berlima ini terdapat unsur yang saling melindungi!

"Trang-trang-trang-trang-trang!"

Lima kali beruntun terdengar suara nyaring ketika nampak gulungan sinar emas, dan ternyata serangan lima batang toya itu telah dapat tertangkis semua oleh tongkat di tangan Hai-tok. Bukan itu saja, bahkan kini Hai-tok membalas dengan serangan-serangan yang amat cepat dan kuat secara bertubi-tubi kepada lima orang lawannya! Lima orang itu terkejut ketika toya mereka tertangkis tadi, karena hampir toya mereka terlepas dari pegangan dan tangan mereka seperti hampir patah-patah tulangnya. Apalagi kini lawan telah menyerang dengan amat ganasnya. Untung dalam barisan mereka terdapat kerja sama yang amat baik sehingga mereka dapat saling melindungi dengan cara menangkis dan menghambat serangan Hai-tok kepada seorang kawan dengan cara menyerangnya dari samping atau belakang.

Terjadilah pertandingan yang menarik dan mengagumkan. Lima orang Ngo-heng-tin itu bagaikan lima ekor burung garuda yang menyambar-nyambar, mengepung seekor ular yang melingkar di tengah yang mematuk-matuk dengan kepalanya. Akan tetapi, karena memang kalah jauh tingkatnya, setiap kali tongkat kakek yang menjadi seorang di antara Empat Racun Dunia itu menyentuh toya, pemegangnya meringis kesakitan dan telapak tangan mereka terasa panas sekali. Karena ini, gerakan mereka, walaupun masih otomatis, nampak kacau. Dan Hai-tok makin lama semakin ganas. Tiba-tiba terdengar Hai-tok mengeluarkan teriakan melengking, dan tongkatnya, lenyap berubah menjadi sinar emas yang menyilaukan mata. Itulah Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas) yang dimainkan dengan hebat sekali. Harus diketahui bahwa kakek ini memiliki tenaga Thai-lek Kim-kong-jiu,

Tenaga sin-kang yang dahsyat, maka begitu dia memutar tongkatnya agak ke bawah, lima orang pengeroyoknya terlempar dan terpelanting ke kanan kiri. Mereka tadi sudah berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak atau menangkis. Yang menangkis kena dibabat berikut toya yang menangkisnya, sedangkan yang mengelak tetap roboh oleh angin pukulan tongkat yang dahsyat. Para murid Siauw-lim-pai cepat menolong lima orang itu dan mengotong mereka keluar dan ruangan itu. Thian He Hwesio dan Thian Kong Hwesio, dengan muka merah karena marah, hendak melangkah maju, akan tetapi didahului oleh tiga orang tamu agung yang dipimpin oleh kakek Hwesio kecil kurus yang memegang tongkat pendeta. Melihat majunya tiga orang ini, Hai-tok bersikap waspada. Dia dapat menduga bahwa mereka ini bukan orang sembarangan.

"Siapakah kalian dan mengapa mencampuri urusan antara aku dan Siauw-lim-pai?" bentak Hai-tok sambil melintangkan tongkat emasnya di depan dada. Kakek kecil kurus itu tertawa.

"He-heh, kami hanyalah pendeta-pendeta yang biasa saja, tidak terkenal seperti Hai-tok. Kami maju bukan karena Siauw-lim-pai, melainkan karena melihat betapa ilmu dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan."

"Kapan saja dan dimana saja, terhadap siapa saja, engkau melakukan kejahatanmu, Hai-tok. Kalau kami melihatnya, tentu kami akan berusaha menghentikanmu."

"Kalau begitu" mampuslah!" Hai-tok cepat menyerang pada saat kakek kecil kurus itu berhenti bicara. Biarpun lebih dahulu dia bersuara, namun serangannya datang secara mendadak, cepat dan juga mengandung tenaga sin-kang yang dasyat, sehingga tongkat emasnya berubah menjadi sinar gemilang dan mengeluarkan suara bersiutan nyaring. Kakek ini memang licik. Melihat tiga orang itu maju, dia hendak cepat-cepat merobohkan seorang di antara mereka, dan menurut dugaannya, pembicara itulah yang merupakan lawan paling tangguh.

"Trakkk!" Tongkatnya bertemu dengan tongkat Hwesio yang dipegang oleh pendeta kurus kecil itu, dan keduanya terdorong mundur walaupun Hwesio itu terdorong dua langkah lebih jauh dibandingkan Hai-tok, tanda dia masih kalah kuat oleh Racun Lautan.

Akan tetapi dua orang Hwesio lainnya, yaitu pendeta dari Nepal dan dan Tibet, telah bergerak maju mengepungnya. Pendeta dari Nepal itu menggunakan kedua ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar menutupi tangannya, sedangkan pendeta Lhama dari Tibet telah mengeluarkan seuntai tasbeh dengan biji-biji tasbeh berwarna putih seperti batu akik. Dan ketika mereka berdua bergerak, diam-diam Hai-tok terkejut. Kiranya tingkat kekuatan dua orang Hwesio asing itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kekuatan Hwesio kecil kurus! Maklum bahwa dirinya dikepung tiga orang lawan yang tangguh, Hai-tok mengeluarkan suara mengereng keras dan diapun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Kim-kong-pang!

Kalau melawan mereka bertiga itu seorang demi seorang, agaknya Hai-tok masih lebih unggul walaupun selisih tingkat kepandaiannya hanya sedikit lebih tinggi dari pada mereka. Akan tetapi mereka bertiga itu maju bersama, dan hal ini membuat Hai-tok kewalahan. Apalagi ilmu silat dan gerakan dua orang Nepal dan Tibet itu amat aneh dan tidak dikenalnya sama sekali. dua ujung lengan baju dari pendeta Nepal itu lihai bukan main, kadang-kadang menjadi lemas dan ulet, dapat melakukan serangan menyabet dan mencengkeram atau mengait, kadang-kadang menjadi kaku dan dapat dipergunakan untuk menusuk atau menotok jalan darah! Juga untaian tasbeh di tangan pendeta Lhama itu lihai bukan main. Selain batu-batu yang menjadi biji tasbeh itu kuat dan mampu menangkis tongkat emas tanpa rusak,

Dan untaian ini diikat dengan tali yang amat kuat dan tidak dapat putus, juga kalau digerakkan untuk menyerang, tasbeh itu mengeluarkan bunyi berkeritikan yang amat nyaring dan menusuk telinga menembus ke dalam dan menggetarkan jantung! Hai-tok mengamuk dan memutar tongkatnya mengeluarkan jurus-jurus terampuh dan Kim-kong-pang. Melihat betapa tiga orang tamu agung itu hanya mampu mendesak, namun Hai-tok masih terlalu kuat untuk dapat dikalahkan, diam-diam Thian Kong Hwesio memberi isyarat kepada belasan orang muridnya. dua belas orang murid lalu bergerak maju. Mereka membawa alat semacam jala terbuat dari pada baja. Empat orang memegang sehelai jala pada empat ujungnya sehingga mereka semua kini membawa tiga helai jala dan memasuki medan perkelahian.

Jala-jala itu mulai digerakkan menerkam ke arah tubuh Hai-tok. Kakek ini terkejut, mengelak dan hendak menyerang empat orang pemegang jala, akan tetapi dari belakang, jala lain menubruknya. Ketika dia mengelak, tiga orang pendeta yang mengepungnya telah menyerangnya lagi. Dikeroyok tiga orang kakek pendeta itu saja sudah merupakan hal yang berat bagi Hai-tok, apalagi kini ditambah oleh tiga helai jala yang amat berbahaya itu. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan mengamuk semakin hebat. Betapapun kuatnya, Hai-tok yang usianya sudah tujuh puluh itu, mulai kelelahan. Napasnya mulai memburu dan badannya penuh dengan keringat. dua kali sudah tubuhnya terkena pukulan tongkat Hwesio kecil kurus, dan biarpun pukulan-pukulan itu dapat diterima oleh tubuhnya yang dilindugi kekebalan, namun isi dadanya tergetar juga.

"Brukkkk!"

Sehelai jala dari samping menubruknya pada saat dia menangkis tongkat dan tasbeh lawan. Cepat dia menggulingkan tubuh ke lantai, akan tetapi jala itu mengejarnya dan menubruk sepasang kakinya. Dengan marah Hai-tok memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring, dan ternyata tongkatnya tidak mampu membikin putus tali-tali jala. Dengan marah dia lalu membabat dan empat orang pemegang jala berteriak kesakitan, terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena kaki mereka patah tulang. Akan tetapi, kaitan-kaitan kecil dari baja yang berada di sebelah dalam jala itu telah mengait kulit daging kaki Hai-tok. Kakek ini meronta dan melepaskan kaitan-kaitan dari kakinya.

Akan tetapi pada saat itu, sebuah totokan dengan ujung lengan baju mengenai pundak kanannya, membuat lengan kanannya lumpuh seketika. Dengan marah, dia menggunakan tongkatnya di tangan kiri untuk menyerang pendeta Nepal yang terpaksa harus melompat jauh ke belakang. Jala itu sudah terlepas dari kakinya, akan tetapi lengan kanannya masih lumpuh, maka ketika tongkatnya itu bertemu dengan tongkat Hwesio kecil kurus, dia tidak mampu mempertahankan lagi dan tongkat emasnya terlepas dari tangan kirinya! Hai-tok mengeluarkan suara melengking ganas, dan kini dia mengamuk dengan tangan kosong memainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu dengan pengerahan tenaga Thai-lek Kim-kong-jiu. Ketika sehelai jala menubruknya, dia memapaki dengan pukulan tangan kirinya.

"Braakkkk!"

Jala itu membalik dan menyelimuti empat orang pemegangnya seperti sehelai selimut tertiup angin keras dan empat orang pemegangnya menjerit-jerit kesakitan karena kaitan-kaitan baja kecil menancap di tubuh mereka! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara berkeritik nyaring dari tasbeh, dan pendeta Lhama sudah menyambar ke arah kepala Hai-tok. Kakek ini miringkan kepala dan menggunakan tangan kiri untuk menangkap tasbeh. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Hwesio kecil kurus sudah mendorong dengan amat kuatnya ke arah lambung kanannya. Hai-tok berusaha menggerakkan lengan kanan, akan tetapi ternyata lengan itu masih belum dapat digerakkan.

"Dukkk!!"

Tusukan ujung tongkat ke arah lambung kanan itu keras sekali, dan tubuh Hai-tok terpelanting dan terbanting roboh. Pendeta Lhama dan pendeta Nepal dengan berbareng menubruk, tubuh pendeta Lhama itu menghantam kepala dan ujung lengan baju menotok ke arah dada. Hai-tok berusaha menggulingkan tubuhnya, namun terlambat karena dia sudah berada dalam keadaan hampir tidak sadar oleh tusukan tongkat tadi. Terdengar suara keras ketika tasbeh mengenai kepalanya. Dan pada saat itu, totokan ujung lengan baju juga mengenai jalan darah tepat di dadanya. Entah yang mana lebih dulu merenggut nyawa Hai-tok pada saat itu. Tubuhnya tak bergerak lagi dan tewaslah datuk sesat yang memiliki kepandaian tinggi itu.

"Omitohud!" Tiga orang kakek itu merangkap tangan di depan dada sambil menundukkan muka, kelihatan betapa mereka prihatin sekali dan peristiwa itu sungguh tidak menyamankan hati mereka.

Sudah puluhan tahun mereka tidak mencampuri dunia ramai, apalagi menyerang orang. Akan tetapi sekarang ini terpaksa mereka mengeroyok, bahkan membunuh orang, karena kalau mereka tidak turun tangan, tentu datuk sesat itu akan membunuh lebih banyak orang lagi. Juga Thian He Hwesio dan Thian Kong Hwesio tidak merasa senang. Dengan bijaksana, Thian He Hwesio lalu menyuruh anak murid Siauw-lim-pai untuk mengubur jenazah Hai-tok di lereng gunung, sebelah belakang kuil. Juga memasang bong-pai bertuliskan nama Hai-tok, yaitu Tang Kok Bu. Tiga orang pendeta yang menjadi tamu agung itu juga segera berpamit dan kembali ke tempat tinggal masing-masing. Lee Song Kim segera dapat menyelidiki keadaan gurunya, dan tahu bahwa gurunya gagal mencarikan kitab di Siauw-lim-si,

Bahkan gurunya tewas oleh pengeroyokkan para pendeta yang berilmu tinggi. Dia merasa menyesal kehilangan guru dan pembantu yang amat baik itu, akan tetapi dia memendam rasa penasaran itu di dalam hati saja, hanya mencatat nama-nama tiga orang pendeta yang menjadi tamu agung dan yang menggagalkan bahkan menewaskan Hai-tok. Kemudian, pemuda ini mengumpulkan semua harta kekayaan gurunya, membubarkan semua anak buah gurunya, dan sambil membawa harta pusaka dan terutama sekali kitab-kitab dari pelbagai perguruan silat yang dikumpulkan Suhunya untuknya, pergi meninggalkan Pulau Naga. Dia tidak ingin bentrok dengan musuh sebelum dia menguasai semua ilmu itu, sambil menyembunyikan diri di tempat yang jauh dan dunia ramai.

Lee Song Kim dengan tekun sekali mempelajari kitab-kitab itu, dan karena dia memang memiliki kemauan keras dan bakat yang baik, dia mulai dapat menguasai ilmu-ilmu yang tinggi itu. Para tokoh perguruan tinggi yang merasa kehilangan kitab-kitab wasiat, ketika mendengar betapa Hai-tok tewas di kuil Siauw-lim-si dalam usahanya mencuri kitab, kini dapat menduga bahwa tentu Hai-tok pula yang telah mencuri kitab-kitab mereka. Oleh karena itu, berbondong-bondong para tokoh persilatan itu mendatangi Pulau Naga untuk mencari dan mendapalkan kembali kitab-kitab mereka. Akan tetapi, pulau itu telah kosong dan mereka tidak tahu dimana adanya kitab-kitab mereka. Akhirnya mereka tahu bahwa kitab-kitab mereka itu tentu telah lenyap bersama dengan matinya Hai-tok.

Tak seorangpun tahu bahwa kitab-kitab itu kini berada di tangan seorang pemuda yang amat lihai, yang kini menyembunyikan diri dan meggembleng diri dengan kitab-kitab yang rahasia, mempelajari ilmu-ilmu silat pilihan dari partai-partai besar, ilmu-ilmu silat yang bahkan tidak dikuasai oleh sembarangan tokoh partai-partai itu sendiri! Seorang pemuda yang kelak akan menjadi ancaman bagi ketenteraman dunia persilatan, yang akan menggegerkan dunia persilatan, karena selain menguasai bermacam ilmu silat tinggi berbagai aliran, juga amat cerdik dan licik! Kita tinggalkan dulu Lee Song Kim yang menggembleng diri dalam persembunyiannya itu, dan melihat keadaan para tokoh lain dalam cerita ini. Setelah memperoleh persetujuan dari guru-guru mereka, Tan Ci Kong melangsungkan pernikahannya dengan Siauw Lian Hong.

Pernikahan ini sederhana, namun cukup meriah karena dihadiri oleh banyak tokoh persilatan dan para pejuang. Yang menggirangkan hati mereka adalah ketika tiga pasang orang muda yang juga baru saja menikah, hadir dalam perayaan pernikahan mereka. Tiga pasang orang muda itu bukan lain adalah Ong Siu Coan yang telah menikah dengan Tang Ki tanpa sepengetahuan Hai-tok yang tidak menyetujuinya, pasangan bangsawan Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan juga Thio Ki dan Ciu Kui Eng. Tentu saja pertemuan antara mereka menimbulkan percakapan yang ramah dan akrab, juga amat menggembirakan. Hanya Hai-tok yang tidak hadir di antara para datuk, karena Hai-tok telah tewas. Bahkan kematiannya di kuil Siauw-lim-si menjadi bahan percakapan para tamu dalam pesta itu.

Di antara para pejuang muda itu, yang paling menonjol kemampuannya adalah Ong Siu Coan. Dengan bantuan Ki Ki dan dengan harta kekayaan dari pusaka Giok-liong-kiam yang terjatuh ke dalam tangannya tanpa diketahui siapapun juga, Siu Coan mulai membangun balatentara yang besar. Dimulai dari para sisa anak buah Thian-te-pang, dia membentuk perkumpulan yang besar dan dinamakan Pai Sang-ti Hwe, balatentara yang makin lama menjadi semakin kuat dan yang kelak akan terkenal sekali dengan nama balatentara Tai Peng (Perdamaian Besar). Ong Siu Coan kemudian mengangkat diri sendiri menjadi guru besar merangkap pemimpin atau raja, mempersatukan pasukannya dengan cara mengajarkan suatu agama baru. Pada dasarnya agama yang disiarkannya adalah Agama Kristen,

Akan tetapi karena pengertiannya dalam hal agama ini hanya setengah-setengah saja, dengan penafsiran-penafsiran yang ngawur, maka agama itu sudah menyeleweng jauh dari aselinya, bahkan bercampur baur dengan pelajaran Agama Tao yang mengandung banyak mistik, dan bercampur pula dengan pelajaran filsafat Khong Cu. Betapapun juga, seperti dapat diikuti dalam sambungan cerita ini, pemberontakan Tai Peng yang dipimpin oleh Ong Siu Coan dan isterinya Ki Ki itu, sempat menggegerkan seluruh Tiongkok, hampir berhasil menggulingkan pemerintah Mancu. Hal ini tidaklah mengherankan, karena demikian pandainya Ong Siu Coan memimpin balatentaranya sehingga menarik perhatian para orang gagah yang dengan sukarela pada permulaan pemberontakan itu mendukung dan membantunya.

Sampai di sini berakhirlah sudah cerita Pedang Naga Kemala, Giok Liong Kiam ini, dan cerita ini akan disambung dengan cerita Pemberontakan Tai-peng. Di dalam cerita baru ini, para pembaca akan bersua kembali dengan pasangan-pasangan pendekar muda yang menjadi tokoh-tokoh dalam cerita ini, dan Lee Song Kim akan muncul sebagai tokoh lawan yang amat sakti. Juga pedang pusaka Giok-liong-kiam tetap akan menjadi bahan perebutan dalam suasana yang baru, dengan kepentingan-kepentingan baru pula. Semoga cerita ini bermanfaat bagi para pembaca, dan sampai jumpa dalam cerita berikutnya.

TAMAT

andu0396, 29 Desember 2017
http://indozone. net/literatures/literature/1991





Kisah Si Pedang Kilat Eps 24 Gelang Kemala Eps 11 Dewi Ular Eps 12

Cari Blog Ini