Ceritasilat Novel Online

Pemberontakan Taipeng 4


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




"Aku sudah siap, Toanio, mulailah!" katanya sambil memasang kuda-kuda yang indah. Kaki kiri ditekuk sedikit, kaki kanan dilonjorkan ke depan dengan jari-jari kaki menghadap ke atas dan tumitnya terletak di atas tanah, tangan kiri tergantung agak ke depan dengan jari tangan terbuka dan Ibu jari ditekuk ke dalam, tangan kanan di pinggang dengan siku ditekuk ke belakang sedikit, juga jari tangan terbuka. Dengan kuda-kuda seperti ini dia menghadapi lawan sambil tersenyum. Melihat lawannya sudah siap, Theng Toanio yang mulai merasa penasaran itu segera menerjang sambil mengeluarkan teriakan dahsyat yang mengejutkan para anggauta Ang-Hong-Pai kerena teriakan itu membuat jantung mereka tergetar dan terguncang. Itulah teriakan yang disertai tenaga khikang yang disebut Sin-houw Ho-kang.

Theng Toanio hanya berlatih selama beberapa bulan saja, maka ilmunya ini masih belum matang, belum kuat benar, jauh berbeda dengan yang sudah dikuasai Thian-tok karena Kakek itu ketika masih hidup, dapat saja membunuh orang dengan teriakan ini tanpa menyentuhnya! Akan tetapi, karena teriakan ini dilakukan pada saat pedangnya menyambar, maka cukup berbahaya dan Song Kim cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Wanita itu cepat pula mengejar dan mengirim serangan berantai yang amat dahsyat. Perlu diketahui bahwa sebagai ketua Ang-Hong-Pai, perkumpulan yang ahli tentang racun lebah, pedang yang dipegang Theng Toanio inipun mengandung olesan racun tawon yang amat berbahaya. Sedikit saja tergores dan terluka, maka racun itu akan bekerja dan membuat luka itu melepuh seperti kena api.

Song Kim dapat menduga akan hal ini, maka dia selalu mengelak dan kalau menangkis, dia menggunakan kebutan lengan bajunya. Biarpun ujung lengan baju, namun kalau menangkis pedang membuat Theng Toanio terkejut sekali karena pedangnya selalu terpukul menyeleweng, bahkan ujung lengan baju itu menimbulkan angin yang keras, disusul pula oleh totokan jari tangan pria itu yang mengarah jalan darah di pergelangan tangan atau sikunya. Memang harus diakui bahwa tingkat kepandaian Hai-Tok, guru Song Kim, dan Thian-tok, guruTheng Toanio, adalah seimbang. Akan tetapi Song Kim telah berguru kepada Hai-Tok sejak kecil, bahkan akhir-akhir ini sebelum gurunya meninggal dunia, dia telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Hai-Tok. Sebaliknya, Theng Toanio hanya setahun menjadi murid Thian-tok.

Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau kini Song Kim dapat mempermainkan seperti tingkat guru dengan murid saja. Lebih lagi karena Song Kim telah memperdalam ilmu-ilmunya dengan ilmu-ilmu aliran lain yang telah dicuri oleh gurunya untuk dia. Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba Song Kim membentak dan totokannya pada pergelangan tangan kanan Theng Toanio tak mugkin dapat dielakkan lagi. Terdengar wanita itu memekik, pedangnya terlepas dari pegangan karena tangannya itu beberapa detik lamanya tiba-tiba lumpuh. Theng Toanio meloncat ke belakang, tangan kirinya bergerak dan begitu ia menyambit, sinar merah berkeredepan menyambar ke arah tubuh Song Kim. Song Kim mirngkan tubuhnya, beberapa batang jarum yang menyambar mukanya luput, akan tetapi banyak jarum menyambar ke tubuhnya dan diapun berteriak.

"Aduh...!" Tubuhnya terhuyung lalu roboh terlentang dengan muka pucat! Beberapa orang anggauta Ang-Hong-Pai dan Theng Toanio berseru kaget.

Theng Toanio sendiri juga khawatir kalau-kalau pria yang menarik hatinya itu tewas oleh jarum-jarumnya. Ia hanya cepat mengobatinya. setelah mengambil pedangnya yang tadi terlepas, Theng Toanio menghampiri tubuh Song Kim. Ketika ia membungkuk untuk memeriksa lebih teliti, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Theng Toanio hendak meloncat pergi, akan tetapi ia kalah cepat. Pedangnya sudah terampas lagi oleh Song Kim yang tiba-tiba saja bergerak melompat dan berbareng dia berhasil mencabut tusuk konde dari emas permata dari kepala Theng Toanio sehingga rambut yang digelung itu terlepas dan terurai ke atas kedua pundaknya! Tentu saja Theng Toanio terkejut bukan main dan mukanya menjadi merah sekali ketika ia memandang kepada Song Kim yang sudah berdiri di depannya sambil memegang pedang yang untuk kedua kali dirampasnya itu.

"Tapi... tapi... kau tadi terkena jarum-jarumku..." katanya agak bingung melihat hal yang tidak disangka-sangkanya ini. Song Kim menarik jubahnya dan memperlihatkan beberapa batang jarum yang menancap di jubahnya, akan tetapi tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang tadi sudah dilindunginya dengan ilmu kekebalan.

"Aih, engkau memang hebat, Lee Kongcu, aku mengaku kalah," kata Theng Toanio sambil mencabuti jarum-jarum itu, kemudian menerima kembali pedangnya dan ia mengajak tamunya yang amat menarik hati itu untuk naik ke puncak dan memasuki perkampungan Ang-Hong-Pai.

Para anggauta Ang-Hong-Pai menyambut kemenangan Lee Song Kim dengan gembira. Memang mereka sudah merasa kagum sekali, apalagi melihat betapa pria ini dengan amat mudahnya mengalahkan ketua dan guru mereka. Semua wanita kini memandang kepada Song Kim dengan senyum manis dan sinar mata memikat, wajah mereka semua cerah. sambil tertawa gembira Song Kim mengikuti ketua Ang-Hong-Pai dan mereka lalu mengadakan pesta di bangunan besar tempat tinggal Theng Toanio. Demikianlah, mulai hari itu, Song Kim telah menundukkan Ang-Hong-Pai dan perkumpulan ini telah menjadi anak buahnya yang setiap saat siap untuk mentaati perintahnya. Dia bukan menundukkan Ang-Hong-Pai dengan kepandaiannya, akan tetapi juga dengan daya tariknya sebagai seorang pria yang pandai memikat hati, tampan gagah dan juga berpengalaman.

Bahkan kini di perkampungannya di Lembah Fen-ho lereng Luliang-san, terdapat pelayan-pelayan baru yang jumlahnya belasan orang, muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi juga lihai karena mereka adalah belasan orang anggauta Ang-Hong-Pai yang dipilihnya untuk menjadi pelayan pribadinya dan juga pengawal-pengawalnya. Demikian tunduknya Theng Toanio kepada Song Kim sehingga ketika Song Kim memerintahkan untuk memindahkan Ang-Hong-Pai ke lereng Luliang-san, iapun mentaatinya dan semenjak itu, perkumpulan ini pindah dari Nan-ping untuk mendekati Song Kim dan hal ini memperkuat kedudukan Lee Song Kim yang mulai menyusun kekuatan untuk mengaku diri sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap. Beberapa bulan kemudian, pada suatu pagi, seorang hwesio tua renta berjalan seorang diri di kaki Pegunungan Luliang-san.

Hwesio ini sudah berusia lanjut, sudah hampir delapan puluh tahun, tubuhnya sedang dan masih tegak, dan wajahnya membayangkan ketenangan dan kedamaian. Tiba-tiba hwesio tua itu menahan langkahnya dan memandang ke kiri. Biarpun orangnya belum nampak, namun pendengarannya yang peka dan amat tajam sudah menangkap suara gerakan kaki yang menuju ke tempat dia berjalan. tak lama kemudian muncullah tiga orang laki-laki yang rata-ratabberusia tiga puluh tahun, berwajah gagah dan berpakaian rapi, akan tetapi memiliki sinar mata yang beringas dan kejam. Di punggung mereka nampak senjata golok telanjang dan tiga orang ini langsung menghampiri hwesio tua yang berdiri memandang mereka. Dengan sikap kaku mereka menjura kepada hwesio itu yang cepat dibalas dengan ramah oleh hwesio tua.

"Kami diutus oleh Lee Kongcu untuk mengundang Thian Khi Hwesio ke perkampungan kami." Hwesio itu memang bernama Thian Khi Hwesio dan merupakan orang kedua dari pimpinan Siauw-Lim-Pai. bagaimana seorang tokoh tinggi dari Siauw-Lim-Pai dapat berada di tempat itu? Seperti kita ketahui, peristiwa pembunuhan atas diri dua orang tokoh Kun-Lun-Pai cukup membuat para pimpinan Siauw-Lim-Pai menjadi pusing.

Yang dituduh oleh para Tosu Kun-Lun-Pai menjadi pembunuh dua orang tokoh itu adalah seorang murid Siauw-Lim-Pai yang bermarga Lee. Tentu sukar bagi orang-orang Siauw-Lim-Pai untuk mencari siapa adanya murid yang membunuh dua orang Tosu Kun-Lun-Pai itu. Karena maklum betapa gawatnya urusan itu yang mengandung bahaya perpecahan atau bibit permusuhan antara Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai. Maka Thian Khi Hwesio sendiri lalu berangkat meninggalkan Siauw-Lim-Pai untuk mencari seorang murid Siauw-Lim-Pai yang bernama Tan Ci Kong. Biarpun termasuk orang yang masih muda, usianya masih kurang dari empat puluh tahun, namun Tan Ci Kong merupakan seorang tokoh Siauw-Lim-Pai yang berilmu tinggi. bahkan ilmu kepandaiannya masih lebih tinggi dari tingkat kepandaian para pimpinan Siauw-Lim-Pai sendiri,

Karena pendekar ini pernah digembleng oleh mendiang Siauw-Bin-Hud, seorang hwesio tua renta yang menjadi datuk dari Siauw-Lim-Pai. Setelah bertukar pikiran dengan Suhengnya, yaitu Thian Tek Hwesio ketua Siauw-Lim-Pai, Thian Khi Hwesio berangkat sendiri untuk mengunjungi Tan Ci Kong. Pendekar ini tinggal di dusun Tung-kang di luar kota Kan-ton. Setelah bertemu dengan pendekar itu dan minta bantuannya agar Tan Ci Kong suka melakukan penyelidikan dan menemukan siapa adanya murid Siauw-Lim-Pai she Lee yang telah membunuh dua orang Tosu Kun-Lun-Pai, Thian Khi Hwesio lalu meninggalkan Tung-kang dan kembali ke kuil Siauw-Lim-Pai. Di dalam perjalanan inilah dia tiba di kaki Pegunungan Luliang-san dan di hadang oleh tiga orang yang menyampaikan undangan kepadanya.

"Omitohud, sungguh Kongcu kalian itu amat baik hati sekali. Akan tetapi pinceng tidak pernah mengenal Lee Kongcu..." Tiba-tiba dia teringat. Orang she Lee? Jantungnya berdebar tegang.

"Lo-Suhu, harap diketahui bahwa Lee Kongcu kami adalah orang yang pemurah dan dermawan, menghargai orang-orang pandai. Ketika dia mengetahui bahwa loSuhu lewat di sini, dia mengutus kami untuk menjumpai lo-Suhu dan dengan hormat mempersilahkan lo-Suhu untuk singgah di perkampungan kami." Diam-diam Thian Khi Hwesio merasa heran sekali bagaimana orang she Lee itu dapat mengetahui namanya dan mengetahui pula bahwa dia lewat di tempat itu. dan nama marga Lee itu sungguh menarik hatinya dan menimbulkan keinginan tahu untuk mengenalnya.

"Omitohud... sungguh bahagia sekali menerima undangan seorang yang sedemikian baik budi seperti Lee Kongcu. Baiklah, sobat, pinceng memenuhi undangan itu." Ketika memasuki sebuah perkampungan yang bersih dan teratur rapi, diam-diam Thian Khi Hwesio menjadi heran dan kagum. Dia dapat menduga bahwa penghuni perkampungan terpencil di lereng bukit ini, jauh dari pedusunan lainnya,

Tentu merupakan anggauta sebuah perkumpulan dan mungkin sekali yang menjadi ketua atau kepalanya adalah orang yang disebut Lee Kongcu itu. Bangunan-bangunan rumah di situ seragam dan di tengah-tengah terdapat sebuah bangunan besar. Melihat keadaan rumah itu dari luar, orang tentu akan merasa kagum karena rumah yang demikian indah dan besar sepatutnya hanya berada di kota besar, dihuni oleh orang yang kaya raya. Makin tertariklah hati pendeta tua itu untuk mengenal Lee Kongcu yang mengundangnya. Ketika tiga orang itu mengantarnya sampai di depan pintu rumah besar, yang menyambut keluar adalah tiga orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, rapi dan gagah, gerakannya juga cekatan. Tiga orang pemuda itu memberi hormat kepada mereka dan berkata,

"Harap sampaikan kepada Kongcu bahwa kami telah berhasil mengundang Thian Khi Hwesio."

"Bagus, kalian telah melaksanakan tugas dengan baik." kata seorang di antara tiga gadis itu, yang bertahi lalat di dekat hidungnya, kemudian gadis itu menjura kepada Thian Khi Hwesio,

"Locianpwe, silakan masuk, Lee Kongcu telah menanti kedatangan locianpwe."

"Omitohud, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinceng," kata Thian Khi Hwesio sambil mengikuti tiga orang gadis itu. Dia makin heran. Agaknya orang-orang di sini telah mengenalnya, bukan hanya mengenal nama, akan tetapi juga agaknya mengenal bahwa dia adalah seorang tokoh persilatan sehingga gadis-gadis ini menyebut locianpwe. Dia tahu pula bahwa tiga orang gadis ini, yang menyambutnya, memiliki ilmu silat yang cukup baik, jauh lebih baik ketimbang tiga orang laki-laki yang menghadangnya di kaki bukit tadi.

Ketika dia diajak masuk ke ruangan dalam, hwesio itu mengagumi keindahan perabot rumah. Lukisan-lukisan indah dan kuno, tulisan-tulisan sajak berpasangan yang amat berharga bergantungan di dinding. Perabot-perabot rumahnya juga merupakan benda yang mahal dan biasanya mengisi gedung bangsawan yang kaya raya. Siapakah orang yang bernama Lee Kongcu ini, pikirnya. Tuan rumah itu telah menantinya di sebuah ruangan samping. seorang laki-laki yang berusia tiga puluh delapan tahun, berpakaian rapi dan mewah, melihat rambutnya yang licin dan mukanya yang tampan terawat memberi kesan pesolek, sepasang matanya mencorong dan mulutnya tersenyum. Laki-laki itu bangkit berdiri dari kursinya, memberi hormat dengan ramah kepada hwesio tua itu.

"Selamat datang, locianpwe! Sungguh bagaikan kejatuhan bulan purnama saja rasanya hati kami menerima kunjungan locianpwe, hal yang sudah lama sekali kami jadikan bunga mimpi di malam hari dan kenangan di siang hari. Agaknya para dewa mengabulkan permohonan kami dan sengaja menuntun locianpwe lewat di tempat kami ini. Silakan duduk, locianpwe." Hwesio tua itu memperhatikan laki-laki yang disebut Lee Kongcu ini. Dia mengamati dari kepala sampai ke kaki, namun merasa belum pernah bertemu dengan orang ini. Namun dia dapat menduga bahwa orang yang pesolek dan tampan ini tentu bukan orang sembarangan. Hanya apa maksud undangannya inilah yang membuat dia merasa heran dan tidak mengerti.

"Omitohud... pinceng (aku) adalah seorang yang sudah tua sekali dan mugkin pelupa. Agaknya Kongcu sudah mengenal pinceng akan tetapi sebaliknya pinceng lupa lagi siapakah Kongcu ini. Dan kapankah kita pernah saling bertemu, dan di mana?" Lee Song Kim tersenyum, bangga akan pengetahuannya yang luas sehingga dia mengenal hampir semua tokoh persilatan di dunia dan telah memberi tahu semua anak buahnya sehingga begitu melihat hwesio tua ini lewat, anak buahnya juga sudah mengenalnya. Dia memandang wajah hwesio tua yang sudah duduk di depannya sambil tersenyum.

"Siapkah yang tidak mengenal locianpwe? Locianpwe adalah Thian Khi Hwesio, wakil ketua Siauw-Lim-Pai yang gagah perkasa dan berilmu tinggi. kalau locianpwe hendak mengenal saya, orang memanggil saya Lee Kongcu. Melihat locianpwe lewat di sini, timbul keinginan saya untuk mengundang makan locianpwe dan belajar kenal lebih dekat karena hendaknya locianpwe ketahui bahwa saya adalah orang yang amat kagum terhadap para tokoh dunia persilatan dan ingin mengenal mereka semua. Ah, mari silakan, locianpwe. Hidangan telah dipersiapkan. Jangan khawatir, semua hidangan ini dibuat istimewa untuk para hwesio dan pertapa yang tidak makan daging. Dan minumannya juga teh yang amat harum dan baik. Silahkan!" Lee Song Kim mengajak hwesio tua itu makan minum dan memang benar, masakan yang dihidangkan tanpa daging sedangkan munumannya air teh wangi, sesuai dengan pantangan seorang hwesio. Karena dia memang lelah dan merasa lapar, Thian Khi Hwesio tidak sungkan-sungkan atau ragu-ragu lagi, segera makan minum, apalagi melihat tuan rumah juga makan minum dari mangkok dan cawan dengan hidangan dan minuman yang sama pula. Setelah makan kenyang, Lee Kongcu mengajak Kakek itu ke lian-bu-thia.

"Marilah, locianpwe, pertunjukan akan segera dimulai dan locianpwe merupakan seorang tamu kehormatan kami di antara banyak tamu yang hadir."

"Eh? Apakah Kongcu sedang mengadakan sebuah pesta?" Laki-laki tampan itu tertawa.

"Boleh dinamakan pesta, ya memang pesta, pesta adu silat! Marilah, locianpwe akan menyaksikan sendiri," katanya sambil mengajak tanunya memasuki lian-bu-thia (ruangan bermain silat) yang amat luas dan bersih, di samping sebuah taman yang besar dan indah pula. Ketika memasuki ruangan terbuka ini, Thian Khi Hwesio terbelalak heran dan terkejut.

Ada belasan orang yang hadir di situ dan kesemuanya membayangkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia hanya mengenal dua orang saja di antara belasan orang itu. Yang seorang adalah seorang Kakek yang terkenal dengan nama Kam-Kauwsu (guru silat Kam), seorang tokoh persilatan aliran Thian-He Te-It Bu-Hiap yang terkenal gagah perkasa, menjadi guru silat bayaran tinggi di Thian-cin. Dia tahu bahwa Kam-Kauwsu ini memiliki ilmu silat yang tangguh, terkenal sebagai seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang kekuatannya dibandingkan dengan kekuatan gajah! Adapun orang kedua yang dikenalnya adalah Tan-siucai (Mahasiswa Tan), seorang murid Pek-hwa-pai dari utara yang juga terkenal sekali sebagai seorang pendekar dari utara, dan ahli silat yang juga merupakan seorang ahli sastera yang selalu berpakaian sebagai seorang sasterawan.

Sasterawan tua ini amat terkenal dengan pedang tipisnya yang dapat digulung dan dipakai menjadi sabuk. Dua orang gagah inipun terkejut melihat munculnya tuan rumah dan seorang hwesio tua yang mereka kenal sebagai wakil ketua Siauw-Lim-Pai! Belasan orang lain juga memandang kepada hwesio tua itu dan mereka semua memandang kagum dan hormat ketika Lee Kongcu memperkenalkan Thian Khi Hwesio sebagai tamu agung dan wakil ketua Siauw-Lim-Pai. Kalau masih ada keraguan sedikit di hati para tamu ini, kini terhapus karena melihat betapa wakil ketua Siauw-Lim-Pai sendiripun hadir sebagai tamu dari orang she Lee yang aneh dan penuh rahasia ini. Mereka itu semua menerima undangan seperti halnya Thian Khi Hwesio, bahkan di antara mereka ada yang datang sebagai tawanan karena dipaksa!

Namun, setelah berada di rumah laki-laki kaya raya yang aneh itu, merekapun diberi kamar dan dibiarkan bebas sampai pada hari itu mereka semua diminta berkumpul di lian-bu-thia setelah semua orang mendapatkan hidangan mewah di kamar masing-masing! Ketika semua orang berkumpul di lian- bu-thia yang amat luas itu, baru mereka tahu bahwa di tempat ini berkumpul tokoh-tokoh pilihan dari aliran-aliran persilatan yang menjagoi di dunia kang-ouw. Apakah maksud Lee Kongcu, demikian nama tuan rumah seperti yang mereka kenal, mengundang dan mengumpulkan semua tokoh persilatan yang lihai ini? Thian Khi Hwesio memperoleh tempat duduk kehormatan di dekat tuan rumah dan setelah tuan rumah duduk, Lee Kongcu memberi tanda kepada para penjaga sambil berseru,

"Persilakan Kwa-Enghiong hadir!" Tempat itu terjaga oleh anak buah Lee Kongcu dan semua orang merasa kagum melihat betapa pemuda-pemuda yang tegap, gadis-gadis yang cantik, semua mengenakan pakaian serba indah dan seragam, berjaga di situ dengan sikap tegak dan gagah. Mendengar perintah Lee Kongcu, dua orang lalu memberi hormat dan masuk ke bagian belakang rumah gedung besar itu. Tak lama kemudian merekapun datang lagi bersama seorang laki-laki yang kusut sekali rambut dan pakaiannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang usianya sekitar lima puluh tahun. Banyak di antara para tamu yang tidak mengenal laki- laki ini, akan tetapi Thian Khi Hwesio yang melihat orang ini, terkejut sekali.

"Omitohud...! Kiranya Huang-ho Sin-to (Golok Sakti dari Huang-ho) juga berada di sini!" Laki-laki yang kusut pakaian dan rambutnya itu menoleh dan ketika dia melihat Thian Khi Hwesio, dia mengerutkan alisnya.

"Eh? Thian Ki Lo-Suhu juga berada di tempat aneh ini? Tempat macam apakah ini dan orang-orang macam apakah yang menjadi penghuninya?"

"Kwa-Enghiong, silahkan duduk dan pertanyaanmu itu akan segera terjawab," kata Lee Song Kim dengan muka ramah. Kwa Ciok Le memandang kepada tuan rumah dan agaknya dia teringat akan sesuatu yang tidak menyenangkan, terbukti dari suaranya yang cukup lantang sehingga terdengar oleh semua orang,

"Hemm, sebaiknya segera terjawab sebelum kesabaranku habis dan terpaksa aku menggunakan kekerasan!"

"Kwa-Taihiap, silakan duduk dan mari kita lihat saja apa yang akan terjadi," kata Thian Khi Hwesio yang khawatir kalau-kalau terjadi ketegangan karena dia mengenal watak keras dari pembasmi bajak dari Huang-ho ini. Mendengar penawaran Thian Khi Hwesio, tokoh Siauw-Lim-Pai yang dihormatinya itu, Kwa Ciok Le merasa tidak enak kalau bersikap kasar terus, maka dia mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu duduk di sebelah kiri hwesio tua itu.

Lee Song Kim sendiri lalu duduk di atas sebuah kursi gading dan di sebelahnya nampak seorang wanita yang berpakaian serba merah muda. Wanita itu kelihatannya berusia tiga puluh tahun, wajahnya masih nampak cantik bersemangat, tubuhnya masik padat dan ramping. Padahal, wanita ini adalah Theng Ci, ketua Ang-Hong-Pai yang telah menakluk kepada Lee Song Kim dan kini menjadi pembantu Lee Kongcu itu! Pasukan wanita yang nampak cantik-cantik dan gagah, yang kini berjaga bersama dengan pasukan pria anak buah Lee Kongcu, adalah bekas anak buah Ang-Hong-Pai. Di sebelah belakang Lee Kongcu, nampak duduk dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang juga kelihatan gagah perkasa. Mereka itu adalah pembantu-pembantu utama dari Lee Kongcu, yang juga merupakan murid-muridnya yang paling pandai.

"Di antara para tamu yang kami hormati sudah tahu apa sebabnya kami mengundang berkumpul demikian banyaknya tokoh-tokoh kang-ouw dan ahli-ahli persilatan yang berilmu tinggi. Akan tetapi kalau ada yang belum mengarti, baiklah, kami ingin menjelaskan. Kami adalah orang yang suka sekali melihat ilmu silat, suka sekali melihat tokoh-tokoh besar memperlihatkan ilmu silat simpanan masing-masing. kami amat menghormati ahli silat yang pandai, karena itu, kami mohon dengan hormat dan sangat kepada cu-wi (anda sekalian) yang hadir sudilah memberi demostrasi ilmu silat simpanan masing-masing untuk memperkenalkan kelihaian dan untuk membuka mata kami dan memperluas pengetahuan kita bersama. Kami persilakan saudara yang gagah perkasa Tiat-Pi Kim-Wan (Lutung Emas Tangan Besi) untuk memperlihatkan kelihaiannya! Harap cu-wi suka menyambutnya dengan tepuk tangan untuk memberi selamat kepada pendekar perkasa Tiat-Pi Kim-Wan!"

Mendengar ini, sebagian dari para tamu bertepuk tangan dan seorang yang duduk di sebelah kiri bangkit berdiri. Dia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya yang hitam memang pantas kalau berjuluk Lutung karena hidungnya pesek mulutnya lebar mirip monyet, sepasang matanya yang sipit itu mengeluarkan sinar jalang dan sejak tadi matanya jelilatan menyambar ke arah pasukan wanita yang cantik-cantik, dan mulutnya yang lebar menyeringai. Hati orang ini girang bukan main, karena julukannya yang keren itu, Lutung Emas Tangan besi, diperkenalkan, dan lebih bangga lagi dia disebut "pendekar perkasa", padahal, dia lebih pantas dinamakan tukang pukul dan jagoan di kotanya, yaitu Ta-tung.

Setelah bangkit, dengan melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, memberi hormat kepada Lee Kongcu, kemudian kepada semua yang hadir, keempat penjuru, diapun memberi hormat sambil bersoja. Sikapnya memang gagah seperti seorang pendekar tulen. Biarpun orang ini sombong, namun sesungguhnya harus diakui bahwa dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan namanya sudah terkenal di sebelah barat kota raja sebagai seorang jagoan yang sukar dicari tandingannya. Entah sudah berapa banyak ahli silat yang jatuh di tangannya. Dia memiliki ilmu silat Kong-thong-pai dan Go-bi-pai, juga dia ahli gulat Mongol sehingga ilmu silatnya yang merupakan campuran tiga aliran ini membuat dia lihai bukan main. Kedua lengannya terkenal amat kuat sehingga dia dijuluki lengan Besi atau Tangan besi.
(Lanjut ke Jilid 04)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Jilid 04
Kabarnya kedua lengan itu dapat bertahan menghadapi segala jenis senjata! Karena tertarik oleh nama besarnya, Lee Song Kim mengundangnya dan tidaklah sukar mengundang orang ini, apalagi kalau dalam undangan itu terdapat kiriman hadiah berupa perak! Begitu memasuki gedung Lee Kongcu, pada hari kemarin, kemudian mendapatkan perhatian dan pelayanan istimewa, dikelilingi gadis-gadis cantik, tanpa dimintapun segera hati orang ini condong untuk membantu dan bermuka-muka kepada Lee Kongcu yang dianggapnya sebagai seorang hartawan yang dermawan. Sambutan tepuk tangan membuat Tiat-Pi Kim-Wan merasa bangga. Hidungnya yang pesek itu berkembang kempis, merekah dan setelah memberi hormat, diapun membuat lompatan berputar ke tengah lapangan, memasang kuda-kuda, kembali bersoja ke empat penjuru.

"Maafkan ilmu silatku yang buruk!" katanya merendah, padahal ucapan merendah ini hanya menonjolkan ketinggian hatinya. Dan diapun mulai bersilat! Si Lutung Emas ini maklum bahwa mereka yang hadir menyaksikan demonstrasinya adalah ahli-ahli silat dari empat penjuru, mereka adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang lihai, maka tentu saja diapun tidak mau memperlihatkan kelemahannya.

Begitu menggerakkan ilmu silat simpanannya yang biasanya hanya dia keluarkan kalau dia terpaksa sekali, kalau dia terdesak atau menghadapi lawan tangguh. Dan memang hebat sekali gerakan-gerakan ilmu silat ini. Pantas dia dijuluki lutung, kiranya bukan hanya karena hidungnya yang pesek dan mukanya yang hitam, melainkan karena kini gerakan silatnya mengingatkan orang akan gerak-gerik seekor lutung. Mirip Kauw-kun (Silat Monyet) dari aliran Siauw-Lim-Pai dan aliran lain yang memperkembangkan silat macam ini, akan tetapi juga amat jauh bedanya. Ilmu silat ini hanya dalam hal gaya dan kecekatannya saja mirip lutung, namun di dalamnya menyembunyikan pukulan dan cengkeraman dahsyat, bahkan beberapa kali nampak tubuh itu bergulingan di atas lantai sambil tangannya mencengkeram ke bawah lalu disambitkan ke atas.

Kalau yang dicengkeram itu pasir atau batu lalu disambitkan sambil melompat ke atas, tentu saja amat berbahaya bagi musuh yang dapat terkena pasir matanya atau tersambit batu kepalanya. Dan kedua lengan itu kalau saling beradu, yang agaknya memang disengaja, mengeluarkan bunyi seperti dua potong besi diadu! Kalau semua orang mengagumi ilmu silat aneh ini yang merupakan gabungan dari silat Kong-thong-pai, Go-bi-pai dan gulat Mongol, sebaliknya dengan sepasang mata hampir terpejam, Lee Song Kim berusaha menangkap gerakan-gerakan yang dianggap paling ampuh! Dan diam-diam diapun sudah mencatat gerakan bergulingan sambil mencengkeram tanah dan menyambit tadi, juga gerakan tangan kiri memukul tangan kanan mencengkeram yang ternyata kedua serangan ini hanya gertak belaka.

Karena yang menjadi inti serangan sesungguhnya adalah sebuah tendangan pendek yang dilakukan tiba-tiba ke arah bawah pusar! Sungguh hebat sekali jurus ini, tidak tersangka datangnya dan amat berbahaya karena sekali mengenai sasaran, lawan dapat roboh tewas seketika, atau setidaknya tentu terluka parah dan tidak akan mampu bangkit kembali karena tertendang bagian yang paling berbahaya dari lawan kalau itu seorang pria! Kalau lawan seorang wanita, tendangan itu dapat lebih ke atas mengenai perut dan dapat merusak isi perut! Setelah Lutung Emas Tangan Besi ini selesai memperlihatkan kebolehannya, beberapa orang tamu bertepuk tangan memuji, termasuk tuan rumah dan para pembantunya. Biarpun dia telah mencatat beberapa gerakan yang dianggap penting dan menguntungkan, namun Song Kim masih belum merasa puas.

"Hebat sekali ilmu silatmu, Tiat-Pi Kim-Wan! Tak percuma anda memiliki nama besar di sepanjang perbatasan Ta-tung! Ah, mau aku bertaruh bahwa tentu sukar sekali mengalahkan anda. Kalau di antara sudara yang hadir di sini mampu menandingi dan mengalahkan ilmu silatmu, aku akan memberi hadiah seratus tael perak!" Melihat kegembiraan tuan rumah, beberapa orang tamu saling pandang. Seratus tail perak bukanlah jumlah yang sedikit! Dalam waktu tiga bulan belum tentu mereka dapat memperoleh hasil sebesar itu. Mereka itu sebagian besar adalah ahli-ahli silat yang tentu saja suka sekali berpibu (mengadu ilmu silat). Tanpa diberi hadiah saja mereka sudah tertarik, apalagi dengan hadiah besar itu.

"Ha-ha-ha, hargaku lumayan tingginya, Lee Kongcu. Akan tetapi bagaimana kalau yang melawanku kalah? mau diapakan yang seratus tael itu?" Song Kim tersenyum.

"Tentu saja untuk pemenangnya!" Mendengar ini, si Lutung Emas Tangan Besi menjadi girang. Dia bersoja ke empat penjuru.

"Adakah di antara cuwi yang demikian baik hati untuk memberi kesempatan padaku memperoleh hadiah seratus tael perak? Kalau ada tiga orang yang maju dan aku menang tiga kali,berarti tiga ratus! Lumayan juga!" Demikian sombongnya sikap si Lutung Emas ini sehingga dia seolah-olah membayangkan bahwa dia pasti menang menghadapi lawan yang manapun juga dan kalau ada yang maju, dia yakin akan menang dan mendapatkan hadiah itu. Uang sebanyak itu dan sikap si Lutung Emas yang tinggi hati menarik banyak orang. Gatal-gatal hati dan tangan mereka untuk menandinginya. Seorang tinggi besar yang mukanya merah seperti orang mabok bangkit dan melompat ke tengah lapangan, lalu menghadap Song Kim sambil memberi hormat,

"Lee Kongcu, aku bukan seorang yang kaya dan uang seratus tael bukan sedikit bagiku. Akan tetapi kalau aku maju ini bukan demi uang itu sendiri, melainkan ingin merasakan sampai di mana kebenaran nama julukan Tangan Besi dari Si Lutung Emas!" Melihat orang ini maju, hati Song Kim gembira sekali. Orang ini berjuluk Seng jiu Sin-touw (Malaikat Copet), seorang yang biarpun tubuhnya tinggi besar, memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa. Dia ahli dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan kecepatan tangannya membuat dia dijuluki Malaikat Copet. Memang dia merupakan raja copet dan maling di daerah barat,

Namun dia seringkali mengagulkan dirinya sebagai penjahat budiman, yang katanya mencuri untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Memang menggelikan sekali. Menolong orang miskin termasuk perbuatan baik, akan tetapi untuk dapat berbuat baik itu lebih dulu dia harus berbuat buruk, yaitu mencopet dan mencuri! Mungkinlah ini? Akan tetapi tidak ada yang sempat bertanya karena takut akan kelihaian si raja copet ini! Song Kim sudah banyak mendengar tentang tamunya yang seorang ini. Kabarnya, si raja copet ini memiliki ilmu silat yang bersumber kepada silat dari India, dan dia memperoleh ginkangnya dari seorang pertapa Himalaya yang mengajarkan tentang yoga kepadanya. Maka, gembiralah ia melihat majunya orang ini karena menurut taksiranya, tingkat Si Raja Copet ini tentu seimbang dengan tingkat Si Lutung Emas.

"Ji-wi, keluarkanlah ilmu simpanan masing-masing agar pibu ini menjadi tontonan yang patut ditonton oleh para locianpwe yang hadir, dan dengan hati rela dan gembira aku akan menghadiahkan seratus tael perak itu kepada sang pemenang," kata Song Kim, sikapnya seolah-olah seorang pecandu ilmu silat, walaupun sesungguhnya semua yang dilakukannya ini hanya mempunyai satu saja pamrih, yaitu ingin dia mengumpulkan ilmu-ilmu selihai dan sebanyak mungkin untuk bekal dan syarat baginya mengumumkan dirinya sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap (pendekar Silat Nomor Satu di kolong Langit)! Kini dua orang yang sama-sama jangkung itu sudah saling berhadapan. Si Lutung Emas diam-diam marah dan penasaran medengar ucapan Malaikat Copet. Dia belum pernah berkenalan dengan orang ini, apalagi mengenal ilmu silatnya, maka biarpun dia mendongkol, Si Lutung Emas bersikap hati-hati sekali.

"Siapakah orang gagah yang ingin pibu denganku?" tanyanya, sikapnya cukup sopan walaupun nada suaranya memandang rendah.

"Aku mengenalmu sebagai Tiat-Pi Kim-Wan, biarlah engkau mengenalku sebagai Seng-jiu Sin-touw saja. Kita hanya mengadu silat, bukan mengadu orang dan pribadinya," jawab Si Malaikat Copet. Mendengar bahwa lawannya adalah seorang Sin-touw atau Malaikat Copet, Si Lutung Emas tersenyum dan sengaja melucu agar tidak sampai kehilangan pendukung. Dia lalu sibuk memeriksa kantung-kantung jubahnya, mengeluarkan uang dan segala barang yang dianggap berharga, lalu menyerahkan kepada Song Kim sebagai tuan rumah.

"Tolong Kongcu simpan dulu semua milikku yang tak berharga ini, khawatir kalau-kalau nanti tahu-tahu lenyap dari kantungku setelah pibu. Bukankah kalau demikian, biar menang seratus tael, tetap saja kehilangan barang-barangku?" Tentu saja semua penonton tersenyum, ada pula yang tertawa geli mendengar ini dan mereka semua memandang kepada Malaikat Copet sambil tertawa. Si Malaikat Copet yang warna mukanya sudah merah itu kini warna itu menjadi kehitaman, tanda bahwa dia merasa marah dan malu. Song Kim tidak memberi komentar karena tidak mau berat sebelah, tidak pula tertawa, hanya menaruh barang-barang itu di atas meja di depannya.

"Lutung Emas, sambutlah seranganku!" bentak si Malaikat Copet dan diapun sudah menerjang. Gerakannya cepat bukan main, kedua tangan yang bergerak itu sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kiri sudah menampar ke arah pelipis sedangkan tangan kanan menyelonong ke arah lambung lawan dengan totokan keras!

"Wah, cepatnya...!" teriak Si Lutung Emas dan diapun segera meloncat ke belakang dengan gaya seekor kera yang cekatan. Biarpun serangan kedua tangan yang cepat itu luput, tak urung Si Lutung Emas merasa betapa ada angin pukulan yang dingin lewat leher dan membuat bajunya di bagian perut berkibar. Maklumlah dia bahwa lawannya, selain memiliki kecepatan yang mengejutkan juga memiliki tenaga sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Dan dugaannya memang tepat. Baru saja dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan pertama, lawan sudah menerjang lagi dan tahu-tahu kedua tangan yang cepat sekali seolah-olah dua ekor ular yang ganas itu telah menghujankan serangan bertubi-tubi, setiap pukulan, tamparan atau cengkeraman mengandung tenaga yang amat kuat.

Seng jiu Sin-touw mengeluarkan seruan kaget dan cepat dia melindungi tubuhnya dari serangan dengan jalan mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis! Perkelahian itu berjalan dengan cepat sekali, akan tetapi karena penontonnya adalah ahli-ahli silat jagoan, mereka semua dapat mengikuti perkelahian itu dan merasa kagum. Sin-touw memang cepat bukan main, akan tetapi pertahanan Kim-wan (Lutung Emas) juga rapat sekali sehingga semua serangan dapat digagalkan. Tiba-tiba Si Lutung Emas yang menghadapi tendangan lawan, tiba-tiba terjengkang seolah-olah terkena tendangan, padahal dia sengaja melempar diri ke belakang untuk menghindar. tubuhnya terjengkang akan tetapi bigitu tiba di tanah, tubuh itu bergulingan dan ketika dia mengeluarkan teriakan nyaring, ada dua benda kecil menyambar ke arah mata Sin-touw!

"Heiiittt!!" Sin-touw berteriak dan cepat merendahkan tubuhnya. Kiranya karena lantai itu bersih, Lutung Emas tidak dapat mencengkeram pasir atau tanah atau kerikil, maka sebagai gantinya, dia telah merenggut lepas dua buah kancing bajunya dan dua buah benda kecil ini meluncur menuju ke mata lawan. Pada saat itu lawan merendahkan tubuh untuk mengelak, tubuhnya sendiri yang tadinya berada di atas lantai, tiba-tiba menerjang ke atas dan kedua tangannya yang kuat itu sudah menyambar, didahului oleh sebuah tendangan kakinya yang panjang! Si Malaikat Copet mengelak dari serangan kedua tangan, maka ketika kaki itu menendang, dia tidak sempat lagi mengelak lalu menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!" Hebat tendangan itu, akan tetapi tangkisan itupun mengandung tenaga yang kuat dan akibat benturan kedua tenaga itu, dua orang jagoan terdorong mundur sampai tiga langkah! Kini Lutung Emas sudah marah sekali. Sejak tadi dia didesak dan sekali membalas, kakinya tertangkis sampai rasanya nyeri. sambil mengeluarkan suara menggereng dengan amat cepatnya. Song Kim menanti-nanti sampai Lutung Emas mengeluarkan jurusnya yang ampuh tadi, yang dianggapnya sebagai jurus terbaik.

Akhirnya, apa yang diduganya terbukti. Kiranya memang jurus itu dipergunakan Lutung Emas untuk berusaha mengalahkan lawannya. Tangan kiri Si Lutung Emas menyambar dengan pukulan dahsyat dibarengi tangan kanan mencengkeram ke depan. Dua serangan ini memang hebat sekali nampaknya dan pasti dapat mengelabui lawan yang menyangka bahwa dua tangan itu merupakan inti serangan, atau setidaknya satu di antaranya. Maka lawan tentu akan mengerahkan tenaga dan perhatian menghadapi dua serangan ini. Demikian pula dilakukan oleh Malaikat Copet. Pukulan ke arah kepalanya dengan tangan kiri lawan itu dielakkan dengan miringkan kepala, dan cengkeraman tangan kanan lawan di sambutnya dengan tangkisan tangan kiri. Pada saat itulah tendangan pendek kaki Lutung Emas menyambar! Bukan main kagetnya Malaikat Copet.

Dia maklum bahwa untuk mengelak atau menangkis tendangan itu tidak keburu lagi, maka tangan kanannyapun memukul ke arah leher lawan untuk mengadu nyawa sedangkan kedua kakinya agak ditekuk untuk memberi kekuatan tambahan pada perut ke bawah yang sudah diisi tenaga sinkang untuk melindunginya. Si Lutung Emas tidak ingin membunuh lawan. Biarpun tubuh di bawah pusar itu sudah dilindungi sinkang, kalau terkena tendangannya pasti akan pecah dan lawan akan tewas. Dia tidak mau melakukan hal ini dan mengarahkan tendangannya ke lutut kiri lawan. Akan tetapi dia terkejut melihat betapa lawan menjadi nekat dan memukul dengan tangan miring ke arah lehernya. Pukulan yang mengadu nyawa ini sungguh tak pernah disangkanya, dan datangnya demikian cepatnya! Maka, satu-satunya jalan hanya melempar tubuh ke samping untuk mengelak.

Dia tidak mugkin melempar tubuh ke belakang karena dalam posisi menendang sehingga kalau hal itu dilakukan, dia akan terbanting dan terjengkang! Tepat pada saat ujung sepatu Lutung Emas mengenai lutut kaki Malaikat Copet, pukulan tangan miring itu mengenai pundak Lutung Emas. Akibatnya, Malaikat Copet terjungkal karena lututnya terkena tendangan, akan tetapi sebaliknya lawannya juga terpelanting oleh pukulannya pada pundak. Diam-diam Song Kim yang melihat jelas gerakan mereka itu menjadi girang dan kagum. sekaligus dia telah menemukan dua gerakan yang sama-sama hebat! Cepat dia bangkit dan membantu keduanya untuk bangun. Kedua orang itu meringis kesakitan karena seperti sambungan lutut Malaikat Copet yang terlepas, ternyata sambungan tulang pundak Lutung Emas juga terlepas.

"Ji-wi sama-sama tangguh dan lihai, tidak ada yang kalah atau menang, biarlah hadiah dibagi berdua, baru adil." Semua orang menyatakan setuju dan kedua orang itupun kembali ke kursinya, membawa lima puluh tail perak. Si Malaikat Copet terpincang-pincang ketika menghampiri kursinya, sedangkan Si Lutung Emas juga miring-miring jalannya seperti layang-layang yang berat sebelah. Dengan sikapnya yang ramah dan sopan, sedikitpun tidak memperlihatkan pamrih aslinya, melainkan memberi kesan bahwa dia memang seorang penggemar silat seratus persen. Lee Song Kim berhasil membujuk para tamunya seorang demi seorang untuk mendemonstrasikan ilmu-ilmu simpanan masing-masing.

Para tamu itu, di bawah pengaruh arak yang baik, berusaha menonjolkan kepandaian silat masing-masing. Akan tetapi sudah tujuh orang yang maju mendemonstrasikan ilmu silatnya, Lee Song Kim diam-diam kecewa karena mereka ini tidak memiliki jurus-jurus ampuh seperti dua orang tamu terdahulu. Karena itu, dia tidak memberi komentar apa-apa dan tidak memancing adanya pibu. Kini hanya tinggal lima orang yang belum mendemonstrasikan ilmu silatnya. mereka itu adalah Kam-Kauwsu dari Thian-cin, Tan-siucai tokoh Pek-hwa-pai, Kwa Ciok Le jagoan Kun-Lun-Pai. Thian Khi Hwesio sendiri, dan seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun yang mukanya buruk dan di punggungnya terdapat sebatang pedang. Kini Lee Song Kim menunjuk kepada wanita itu dan memperkenalkan.

"Sekarang kami mohon kepada saudari Sin-Kiam Mo-Li untuk memberi petunjuk kepada kami akan kehebatan ilmu pedangnya. Silakan, Lihiap." Wanita itu bangkit berdiri, melangkah dengan tenang ke tengah ruangan dan menjura kepada Lee Kongcu, kemudian kepada semua orang yang memandang dengan hati tertarik. Beberapa orang di antara mereka termasuk Thian Khi Hwesio terkejut mendengar disebutnya nama Sin-Kiam Mo-Li (Iblis Betina Pedang Sakti) itu karena nama itu adalah nama seorang tokoh sesat yang terkenal kejam dan sakti, yang membuat nama besar di dunia selatan! Tak disangkanya bahwa tokoh sesat yang ditakuti itu ternyata hanya seorang wanita berusia empat puluh tahun dan kini bahkan hadir sebagai tamu Lee Kongcu!

"Lee Kongcu, ketahuilah bahwa aku tidak pernah memamerkan kepandaian, dan pedangku ini hanya dicabut kalau berhadapan dengan lawan. Entah sekarang ada yang mau menjadi lawanku atau tidak, terserah kepada yang hadir. Kalau tidak ada, sebaiknya aku pergi sekarang. Kalau ada, silakan maju, karena bagaimanapun juga, aku sudah menerima kebaikan Kongcu dan ingin sedikit menghibur dengan pertunjukan pibu. Akan tetapi, pedang tidak bermata, kalau sampai kesalahan tangan membunuh atau melukai lawan, harap jangan menjadi kecil hati." Setelah mengeluarkan ucapan itu, Sin-Kiam Mo-Li berdiri tegak, siap menanti munculnya seorang lawan! Empat orang tamu lain yang belum memperlihatkan ilmunya tidak ada yang mau menanggapi tantangan wanita itu.

Bukan takut, melainkan mereka sebagai jagoan-jagoan besar selain merasa tidak mau melayani iblis betina yang haus darah itu. Semua orang maklum bahwa ahli silat yang sudah tinggi ilmunya dapat menguasai senjata masing-masing. Biarpun senjata tidak bermata, namun si pemegang senjata bermata,bahkan awas sekali sehingga sulitlah dikatakan "kesalahan tangan" karena dalam keadaan bagaimanapun juga, seorang ahli silat tinggi dapat menguasai semua anggauta badannya. Lee Song Kim maklum bahwa di antara empat orang itu tentu tidak ada yang mau maju. Dia sendiri ingin maju menghadapi Sin-Kiam Mo-Li, akan tetapi dia merasa belum waktunya bagi dia untuk memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya. Kelak kalau sudah tiba saatnya, sekali memperlihatkan diri, dunia harus mengakuinya sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap!

Maka diapun memberi isyarat kepada Theng Ci, pembantunya, untuk melayani wanita itu. Memang hanya Theng Ci yang dianggapnya tangguh dan dapat dipercaya akan mampu menandingi Sin-Kiam Mo-Li. Dua orang muridnya yang duduk di belakangnya, belum tentu akan mampu menandingi wanita berpedang sakti itu. Theng Ci dapat menangkap isyarat atasannya. Selama ini, sudah hampir satu tahun ia bersama anak buahnya tinggal di perkampungan yang dibangun Lee Song Kim, menjadi pembantunya yang dipercaya. Di antara murid-murid dan anak buahnya, banyak yang bertugas menghibur dan melayani Lee Kongcu, tentu saja mereka yang muda-muda dan cantik-cantik saja yang dipilih Song Kim. Kini Theng Ci bangkit dari tempat duduknya dan Song Kim juga bangkit, memperkenalkan.

"Karena tidak ada yang menyambut uluran tangan Sin-Kiam Mo-Li, untuk memeriahkan pesta ini, baiklah aku meyuruh pembantuku ini untuk mewakili aku, bermain-main sebentar dengan Mo-li agar mata kami semua terbuka menyaksikan ilmu pedang yang hebat dari Sin-Kiam Mo-Li."

Semua tamu bertepuk tangan gembira menyambut majunya Theng Ci karena mereka semua yang sudah mendengar nama besar Sin-Kiam Mo-Li ingin sekali melihat kehebatan ilmu pedang iblis betina itu. namun diam-diam mereka merasa khawatir. Bagaimana sih tuan rumah ini? Menyuruh seorang wanita yang nampak lemah itu untuk menghadapi Sin-Kiam Mo-Li? Padahal, bukankah tadi Sin-Kiam Mo-Li mengeluarkan ancaman bahaya pedangnya tak bermata, mungkin melukai bahkan membunuh lawan? Juga ada yang merasa heran, termasuk Thian Khi Hwesio. Tentu tuan rumah she Lee itu sudah maklum akan kelihaian Sin-Kiam Mo-Li, akan tetapi kenapa berani mengajukan wanita pembantunya itu? Jelaslah bahwa Lee Kongcu sudah tahu pula bahwa pembantunya akan mampu menandingi si Iblis Betina,

Kalau tidak demikian takkan disuruhnya maju. Dan kalau pembantunya saja berani menandingi Sin-Kiam Mo-Li, mudah diduga bahwa tentu majikan atau ketuanya lebih lihai lagi! Hati Thian Khi Hwesio semakin tertarik. Perkumpulannya juga sedang berurusan dengan seorang she Lee yang membunuh tokoh Kun-Lun-Pai dan yang mengaku murid Siauw-Lim-Pai dan kini ada seorang she Lee yang begini aneh, penuh rahasia dan agaknya lihai sekali. Siapa tahu di antara keduanya itu masih ada hubungan! Sementara itu, Theng Ci sudah berhadapan dengan Sin-Kiam Mo-Li dan ketua Ang-Hong-Pai (Perkumpulan Tawon Merah) ini sudah pula mencabut pedangnya karena tadi ia mendengar bahwa Si Pedang Sakti ini hendak mempergunakan pedangnya. Sambil menyembunyikan pedang di bawah lengan, iapun maju dan memberi hormat kepada Sin-Kiam Mo-Li.

"Mentaati perintah Lee Kongcu, aku yang ingin melayanimu bermain pedang sebentar, Sin-Kiam Mo-Li." Sin-Kiam Mo-Li memandang tajam kepada wanita calon lawannya itu dan diam-diam ia terkejut. Wanita ini sudah tua, hal itu dapat dilihat dari sikap dan pandang matanya, jauh lebih tua darinya, akan tetapi wajah dan bentuk badan wanita ini bahkan nampak lebih muda darinya! Hal ini saja sudah membuatnya terheran dan dapat menduga bahwa yang dihadapi tentulah seorang wanita yang tak boleh dipandang ringan. Pada saat itu, tiba-tiba seorang di antara para tamu mengenal Theng Ci dan diapun berseru,

"Ah, bukankah ia ketua Ang-Hong-Pai di luar kota Nan-ping yang amat terkenal dengan tawon-tawon merah beracun? Mendengar ini, semua orang terkejut, termasuk Sin-Kiam Mo-Li. Ia belum pernah mengenal perkumpulan itu, akan tetapi sudah mendengar namanya dan seperti semua orang yang hadir, ia terkejut karena tidak mengerti bahwa ketua perkumpulan yang ditakuti banyak orang itu kini menjadi pembantu dan wakil pemuda hartawan yang aneh dan penuh rahasia itu!

"Ah, kiranya aku berhadapan dengan Ang-Hong-Pai-cu (ketua Ang-Hong-Pai) yang terkenal itu? Sungguh mengherankan, ketua perkumpulan yang ternama kini menjadi pembantu dan wakil Lee Kongcu yang hanya kaya raya dan penggemar ilmu silat." Mendengar ini, wajah Theng Ci berubah merah. Ucapan itu sama saja dengan meremehkannya, dan mengingatkan ia betapa perkumpulannya telah ditaklukkan oleh Lee Kongcu. Ia tidak mampu menjawab dan melihat ini, Lee Song Kim tertawa.

"Moli, kiranya bukan hanya pedangmu yang tajam, mulutmu lebih tajam lagi. Karena tidak ada yang berani menemanimu bermain pedang, aku lalu minta bantuan Ang-hong Pai-cu yang menjadi sahabat baikku, kenapa engkau memandang rendah kepadanya? Lebih baik engkau perlihatkan kepandaianmu dan mengalahkannya!"

"Baik, jangan dikira bahwa aku takut menghadapi siapapun juga. Nah, pai-cu, majulah!" Berkata demikian, Sin-Kiam Mo-Li menggerakkan tubuhnya ke depan dan nampak sinar berkelebat ketika ia mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar putih berkilauan.

"Aku di pihak tuan rumah, engkau tamu, sudah sepatutnya kalau tamu yang bergerak lebih dulu," kata Theng Ci. Mendengar ini, tiba-tiba Sin-Kiam Mo-Li mengeluarkan teriakan panjang dan pedangnya sudah membentuk sinar berkelebat menusuk ke arah dada ketua Ang-Hong-Pai itu. Serangannya cepat sekali dan juga menagandung tenaga kuat sehingga mengeluarkan suara berdesing. Theng Ci tidak memandang rendah lawannya dan ia sudah siap siaga, maka begitu lawan menyerang, iapun menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan sinkang.

"Cringgg! Trangggg...!" Dua kali pedang Sin-Kiam Mo-Li menyerang dan dua kali Theng Ci menangkis. Pertemuan antara kedua pedang itu selain menimbulkan suara nyaring, juga bunga api berpijar dan keduanya cepat menarik pedang masing-masing untuk memeriksa apakah pedang mereka rusak. ternyata tidak dan kini Theng Ci balas menyerang dan karena keduanya sama-sama tidak berani memandang ringan lawan, mereka telah mengeluarkan jurus-jurus serangan simpanan yang ampuh. Kalau orang-orang lain menonton perkelahian pedang itu dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran bahwa seorang di antara dua wanita itu akan roboh mandi darah, sebaliknya Lee Song Kim merasa girang bukan main.

Dia sudah hafal ilmu pedang Theng Ci, tahu bagian-bagian mana yang lemah dan kuat, maka melalui gerakan Theng Ci, dia dapat pula menilai gerakan lawan, mencatat gerakan-gerakan pedang dari Sin-Kiam Mo-Li yang dianggap lihai dan patut dipelajari. Dan memang ilmu pedang Sin-Kiam Mo-Li amat lihai, sehingga pantas kalau ia diberi julukan Iblis betina berpedang Sakti! Biarpun Theng Ci juga seorang ahli pedang yang amat lihai, namun setelah berkelahi selama lima puluh jurus, mulailah Theng Ci terdesak hebat! Dan kini watak kejam Sin-Kiam Mo-Li sehingga ia dijuluki Iblis Betina. Biarpun perkelahian itu hanya merupakan pibu belaka, tanpa didasari benci atau permusuhan pribadi, setelah melihat lawannya terdesak hebat, iblis betina itu sama sekali tidak memberi kelonggaran,

Bahkan menghujankan serangan-serangan mautnya dengan jurus-jurus yang paling lihai. Tentu saja Theng Ci menjadi kewalahan, selalu menangkis sambil mundur dan berusaha mengelak ke kanan kiri. Yang aneh adalah Song Kim. Orang ini melihat pembantu dan wakilnya terdesak dan terancam bahaya, dia malah kegirangan karena melihat iblis betina itu mengeluarkan jurus-jurus rahasia! Seolah-olah dia tidak perduli sama sekali melihat nyawa pembantunya terancam bahaya maut. Sesungguhnya tidak demikian. Song Kim memang kegirangan karena dapat melihat jurus-jurus pilihan dari ilmu pedang Sin-Kiam Mo-Li, dan kalau tidak mengkhawatirkan keadaan Theng Ci, bukan karena dia acuh, melainkan karena dia percaya penuh akan kemampuan pembantunya. Dia percaya bahwa Theng Ci mampu menjaga diri walaupun nampaknya sudah demikian kerepotan.

"Mampuslah!" Tiba-tiba Sin-Kiam Mo-Li membentak, tubuhnya membuat gerakan memutar setengah lingkaran, pedangnya meluncur ke belakang tubuhnya, akan tetapi secara aneh pedang itu membalik dan menyambar ke arah leher Theng Ci dengan kecepatan kilat! Ketua Ang-Hong-Pai ini terkejut setengah mati, tidak pernah menduga akan datangnya serangan aneh yang tak disangka-sangkanya itu. Tidak ada waktu lagi baginya untuk menangkis dan jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari sambaran maut itu hanyalah membuang tubuhnya ke belakang,

Bahkan terus melempar diri rebah terlentang ke atas tanah untuk kemudian berjungkir balik! Akan tetapi, terdengar suara ketawa mengejek dari mulut Sin-Kiam Mo-Li yang sudah memperhitungkan hal ini, maka begitu melihat lawan melempar tubuh ke belakang, pedangnya dengan membuat gulungan sinar telah mengejar dan menusuk ke arah leher dari tubuh lawan yang sudah rebah terlentang itu sebelum tubuh itu sempat meloncat lagi. Semua orang yang melihat peristiwa ini menahan napas karena agaknya tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri bagi ketua Ang hong-pai itu. Hanya Lee Song Kim saja yang masih melihat dengan senyum di bibirnya. Dia melihat betapa pembantunya itu sejak tadi telah siap dengan jarum merahnya, senjata rahasia halus yang amat berbahaya itu!

Theng Ci yang melihat sambaran pedang, hanya mampu memutar leher ke kiri dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar merah halus menyambut ke arah muka lawan. Sin-Kiam Mo-Li terkejut dan cepat ia menarik kepala ke belakang dan pada saat pedangnya yang dielakkan lawan itu menusuk pundak sebagai gantinya leher, ia sendiri merasa pahanya nyeri dan pedih sekali karena ketika ia menarik kepala ke belakang tadi, pedang di tangan Theng Ci menusuk pahanya! Dalam waktu yang hampir berbareng, dua orang wanita itu sama-sama menderita luka. Theng Ci terluka pundaknya dan Sin-Kiam Mo-Li terluka pahanya. Dengan marah sekali Sin-Kiam Mo-Li sudah meloncat maju lagi begitu melihat lawannya bangkit berdiri dan siap untuk menyerang. Akan tetapi pada saat itu Song Kim sudah berdiri menghadang dan menghalang di antara mereka.

"Cukup sudah, kedua pihak sama terluka, tidak ada yang kalah atau menang."

"Wuuuttt... tappp!" Tiba-tiba saja gerakan tusukan pedang itu terhenti karena pedang itu sudah dijepit oleh jari-j ari tangan kanan Lee Kongcu!

"Sin-Kiam Mo-Li, engkau sungguh lancang dan pedangmu ini berbahaya kalau tidak dipatahkan!" Berkata demikian, Lee Song Kim menyalurkan tenaga sinkang pada jari-jari tangan kanan yang menagkap pedang dan sekali jari tangannya menekuk, terdengar suara keras dan pedang itupun patah menjadi tiga potong! Yang dua potong jatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi berdenting, bagian ketiga masih tertinggal di gagang yang masih dipegang oleh tangan kanan Sin-Kiam Mo-Li. Wanita itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Tak disangkanya bahwa orang yang dikenalnya sebagai Lee Kongcu ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, jauh lebih hebat dibandingkan tingkat ilmu silatnya sendiri. Cara Lee Kongcu menangkap dan mematahkan pedangnya itu merupakan ilmu yang tinggi, mungkin tak dapat dilakukan oleh mendiang gurunya sendiri sekalipun! Maka, iapun tahu diri dan



Pedang Naga Kemala Eps 4 Rajawali Hitam Eps 4 Pedang Naga Kemala Eps 6

Cari Blog Ini