Pedang Sinar Emas 13
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Gadis itu telah menderita pukulan batin yang hebat dan hanya kekerasan hatinya saja yang membuat ia tidak menangis tersedu sedu! Pat jiu Giam ong yang tadinya marah, melihat betapa bekas muridnya ini benar benar rela menjadi nikouw daripada menikah menghela napas penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Suthai, siapakah nama nikouw muda baru ini?"
Liem Swee bertanya dengan suara jenaka, penuh olok olok. Melihat betapa bekas tunangannya itu kini berkepala gundul, lenyap pula rasa cintanya karena memang pada dasarnya pemuda ini hanya mencintai kecantikan wajah Sian Hwa belaka.
"Namanya? Pinni rasa, nama Sian Hwa cukup baik, maka sekarang pinni menyebutnya Sian Hwa Nikouw."
Liem Swee lalu menjura kepada Sian Hwa yang masih berlutut sambil berkata mengejek. "Sian Hwa Nikouw, selamat datang di kuil Sun pok thian! Harap kau suka menolongku, berdoa memohon kepada Pouwsat yang baik agar aku lekas lekas mendapat jodoh!"-
Sian Hwa menggigit bibirnya dan menahan air matanya yang hendak mengucur keluar. Pat jiu Giam ong segera berkata kepada puteranya. "Sudahlah, mari kita pergi. Sian Hwa telah memilih jalan hidupnya sendiri." Setelah berkata demikian, Pat jiu Giam ong lalu melangkah keluar, diikuti oeh Liem Swee yang masih tertawa tawa.
"Kau dan Kui Eng jangan harap akan dapat memasuki rumahku lagi!" Bucuci berkata keras lalu pergi pula dari tempat itu.
Setelah semua orang pergi, Sian Hwa menubruk kaki Pek Lian Suthai sambil menangis tersedu sedu. Ia meraba raba kepalanya dan tangisnya makin menjadi. Wanita manakah yang takkan hancur luluh rasa hatinya kalau kehilangan rambut yang menjadi mahkota kecantikannya?
Akan tetapi Pek Lian Suthai memeluknya dan menghibur sambil tertawa senang.
"Selamat. selamat! Pinni mengucapkan selamat untukmu, siocia."
Dengan kedua tangan menutupi mulutnya untuk menahan tangisnya. Sian Hwa mengangkat muka memandang kepada nikouw tua itu melalui air matanya. Gilakah nikouw tua ini? Ia dipaksa menjadi nikouw di luar kehendaknya dan digunduli kepalanya dan nikouw tua ini bahkan memberi selamat kepadanya.
"Semenjak tadi pinni sudah maklum bahwa kau tidak mempunyai bakat untuk menjadi seorang nikouw, siocia. Kau lebih bertulang ibu yang mulia dan isteri yang bijaksana. Oleh karena itulah maka pinni menyetujui usul Liem kongcu untuk mencukur rambutmu! Kau menjadi nikouw di luar pengesahan dari Pouwsat, tanpa upacara, sehingga kau menjadi nikouw tidak sah. Kau belum boleh dianggap menjadi seorang nikouw, siocia dan kau masih seorang gadis biasa."
Melihat pandangan mata gadis itu tidak mengerti dan penuh mengandung pertanyaan, Pek Lian Suthai lalu menjelaskan.
"Ada dua macam syarat yang menetapkan sah atau tidaknya seseorang menjadi nikouw. Pertama tama, pemotongan rambut itu tidak boleh dilakukan di luar kehendak yang bersangkutan, oleh karena itu, mereka yang hendak menjadi nikouw, selalu menjadi murid yang memelihara rambut lebih dulu sampai beberapa bulan lamanya. Setelah mereka dengan suka rela suka memotong rambutnya, barulah rambutnya itu dipotong dan pencukuran itu sah namanya. Ke dua, pencukuran rambut tidak boleh dilakukan begitu saja harus di depan meja sembahyang, disaksikan oleh Pouwsat dan dilakukan sembahyangan khusus untuk pencukuran rambut. Mana bisa rambutmu dicukur begitu saja dan kau lantas dianggap sebagai seorang nikouw? Tidak, tidak, siocia, kau masih belum menjadi nikouw. Di dunia ini tidak ada nikouw yang menjadi pendeta karena dipaksa, semua atas kehendak hati dan kesadaran pikiran sendiri."
Tentu saja Sian Hwa menjadi girang sekali mendengar pernyataan ini, tetapi ketika ia meraba kepalanya, kembali air matanya bercucuran keluar.
"Suthai...." katanya megap megap. "Akan tetapi.... rambutku..... rambutku telah lenyap..... bagaimana aku dapat menjumpai orang dalam keadaan.... begini??" ia menangis lagi.
Pek Lian Suthai menepuk nepuk pundak gadis itu dan tertawa geli.
"Anak bodoh! Mengapa rambut saja kau tangisi? Siapa orangnya yang dapat memotong lenyap rambut dan kuku? Seribu kali dipotong, seribu kali akan keluar dan tumbuh lagi! Tunggu saja paling lama satu tahun, rambutmu akan tumbuh lagi dan bahkan akan lebih bagus dan indah daripada yang telah dicukur ini. Mengapa berduka tentang rambut? Kau bahkan harus berterima kasih kepada rambutmu siocia, karena sesungguhnya hanya rambutmu inilah yang telah dapat menolongmu dan membebaskanmu daripada perkara yang amat sulit dan berbahaya. Sekarang kau telah bebas, mereka takkan mengganggumu lagi dan semua ini berkat pertolongan rambutmu! Pula, kalau kau merasa malu keluar dalam keadaan gundul, kau bersembunyi sajalah di belakang. Hitung hitung menanti sampai timbul suasana tenang. Kalau mereka sudah tidak meinperdulikan lagi padamu, kau bebas dan merdeka untuk pergi ke mana saja yang kau kehendaki."
Mendengar ucapan ini. Sian Hwa terhibur juga dan hatinya merasa senang. Ia bahkan lalu minta se stel pakaian pendeta warna putih dan mengganti pakaiannya. Rambutnya yang terletak di atas tanah itu ia kumpulkan dan ia dengan senyum manisnya timbul kembali menyatakan kepada Pek Lian Suthai bahwa rambutnya itu hendak dibuat menjadi sebuah cemara rambut!
Akan tetapi hanya sebentar saja hati Sian Hwa terhibur dari kedukaan Ternyata bahwa luka di dalam dada Kui Eng amat berat, di tambah lagi dengan pukulan batin yang ia derita akibat peristiwa rumah tangganya ini, sebulan kemudian Pek Lian Suthai menyatakan bahwa keadaan nyonya yang bernasib malang ini takkan tertolong lagi!
Sebelum menghembuskan nafas terakhir. Kui Eng berceritera kepada Sian Hwa yang siang malam menjaganya.
Nyonya ini menceritakan riwayatnya, betapa suaminya dan anak perempuannya telah dibunuh oleh barisan Ang bi tin dan betapa kemudian ia dirampas oleh Bucuci. Ia tadinya tidak mau menuruti kehendak Bucuci itu sampai akhirnya Bucuci datang membawa Sian Hwa yang masih kecil.
Semenjak Sian Hwa menjadi anaknya maka timbul kembali kegembiraan hidupnya, Sian Hwa mendengarkan penuturan ini dengan hati amat terharu dan ketika Kui Eng menghembuskan nafas terakhir, Sian Hwa menangis sedih sampai jatuh pingsan.
Jenazah Kui Eng dimakamkan di pekarangan belakang dari kuil itu dan semenjak hari itu Sian Hwa hidup menyepi di dalam kuil itu. Ia menerima pelajaran tentang kebatinan dari Pek Lian Suthai dan di waktu senggang. Sian Hwa tak pernah lupa untuk melatih ilmu silatnya.
Bahkan dari nikouw tua ini ia dapat memperdalam ilmu suratnya karena ternyata bahwa Pek Lian Suthai juga ahli dalam ilmu kesusasteraan kuno.
Tak lupa pula sewaktu waktu Sian Hwa pergi ke Tong seng kwan mengunjungi makam ayahnya, yakni Can kauwsu. Ia sekarang tidak ragu ragu lagi bahwa memang benar Can Goan atau Can kauwsu adalah ayahnya yang tulen, karena dari seorang anggauta Ang bi tin yang kini menjadi seorang penjaga di kantor tihu, ia mendengar pula bahwa ayahnya itu dibunuh oleh Ngo jiauw eng dan ia sendiri dibawa pergi oleh Bucuci.
Tetapi tak seorangpun mengetahui siapa adanya ibunya yang sebenarnya. Tak seorangpun pernah melihat isteri dari Can Goan yatig terbunuh itu.
Apabila ia pergi ke makam ayahnya, Sian Hwa selalu dikawani oleh seorang dua orang nikouw.
Dia sendiri berpakaian sebagai seorang nikouw, dengan jubah pertapaan yang lebar berwarna putih. Akan tetapi ia selalu menutupi kepala nya yang gundul, juga mukanya dengan saputangannya, selalu menyembunyikan wajahnya sehingga tidak menarik perhatian orang.
Benar sebagaimana yang dikatakan oleh Pek Lian Suthai, setahun kemudian rambutnya telah tumbuh kembali dengan suburnya, sehingga hati Sian Hwa mulai menjadi girang. Ia kini telah melepaskan jubah pertapaannya, tetapi pakaiannya tetap sederhana berwarna putih. Rambutnya digelung dan disembunyikan dalam kain pengikat kepala.
Setiap kali teringat kepada Bun Sam, gadis ini menghela napas dan termenung. Dapatkah ia bertemu kembali dengan pemuda itu? Dan andaikata bertemu apakah yang hendak dilakukan atau dikatakannya? Bagaimanapun juga, ia masih tetap tidak aman.
Biarpun kini tidak ada gangguan sesuatu dari Pat jiu Giam ong atau Liem Swee tetapi ia tahu bahwa selamanya ia takkan dapat menikah. Kalau ia sempat menikah dengan siapapun juga, lalu terdengar oleh Pat jiu Giam ong tentu bekas suhunya itu takkan dapat mengampuninya.
Hal ini ia tahu pasti karena iapun mengenal watak suhunya. Oleh karena itu, Sian Hwa menjadi dingin hatinya terhadap pernikahan dan ditambah pula dengan pelajaran kebatinan dari Pek Lian Suthai ia menjadi betah tinggal di kuil itu, hidup dalam keadaan tenang dan tenteram.
Setahun pula lewat dengan cepatnya, sehingga tanpa terasa pula Sian Hwa telah tinggal dua tahun di dalam kuil itu. Dua bulan yang lalu Pek Lian Suthai meninggal dunia, membuat Sian Hwa menjadi amat berduka.
Banyak sekali orang orang bangsawan yang datang memberi hormat kepada jenazah Pek Lian Suthai dan diantara mereka itu nampak Bucuci! Akan tetapi Sian Hwa yang mengetahui bahwa banyak tamu datang di kuil itu, sengaja tidak mau keluar dan bersembunyi saja di ruang belakang.
Juga dari gedung Pat jiu Giam ong datang banyak sekali barang sumbangan dan Liem Swee sendiri datang mewakili ayahnya. Akan tetapi, juga Liem Swee tidak terkabul harapannya untuk bertemu dengan Sian Hwa. Ketika Liem Swee minta kepada nikouw nikouw lain supnya mempersilahkan Sian Hwa nikouw keluar, ia mendapat jawaban bahwa yang dicari itu sedang berduka dan tidak dapat menjumpai siapapun juga!
Dari para penyelidiknya, Liem Swee mendapat tahu bahwa kini Sian Hwa telah memelihara rambut pula, hanya pakaiannya saja amat sederhana, terbuat dan bahan kain berwarna putih.
Pada suatu hari ketika Sian Hwa keluar dan kuil hendak menengok makam ayahnya di Tong seng kwan, tiba tiba di jalan ia berhadapan dengan Liem Swee.
(Lanjut ke Jilid 16)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
Bekas suheng itu berpakaian mewah dan indah seperti biasa, dan selama dua tahun tidak berjumpa, Sian Hwa diam diam harus mengakui bahwa bekas suhengnya itu kim nampak lebih gagah dan tampan, sungguhpun pada wajah yang tampan itu kini membayang kekejaman dan penderitaan hidup ia merasa heran mengapa Liem Swee nampaknya tidak bahagia dan pemuda yang tinggi besar ini sekarang nampak hampir serupa dengan ayahnya.
"Sumoi, alangkah kejamnya hatimu terhadap aku. Kau membiarkan aku merana dan merindu...." demikianlah ucapan pertama yang keluar dan mulut Liem Swee dalam perjumpaan itu, perjumpaan yang memang disengaja oleh Liem Swee.
Pemuda ini mendengar dari seorang nikouw yang diperalatnya bahwa pada pagi hari itu Sian Hwa hendak mengunjungi makam ayahnya di Tong seng kwan, maka ia sengaja menghadang di jalan.
Ucapan ini mengejutkan hati Sian Hwa, juga menimbulkan perasaan tidak senang. Tadinya, dalam pandangan pertama, timbul rasa kasihan pada suhengnya, akan tetapi kata kata yang menyatakan perasaan hati pemuda ini benar benar tak pernah disangkanya.
"Aku bukan sumoimu, bukankah ayahmu telah menyatakan bahwa aku tidak berhak menyebut dia sebagai suhu lagi?"
"Sumoi. jangan kau berkata demikian. Betapapun marahnya ayah kepadamu, betapapun besar kau mendatangkan kedukaan padaku, aku tetap... mencintaimu, sumoi,"
Sian Hwa hampir saja mendampratnya, mengingatkan pemuda itu akan penghinaan besar ketika pemuda itu menggunduli kepalanya. Ah, selam hidup ia takkan dapat melupakan penghinaan yang menyakitkan hatinya itu.
"Sudahlah, jangan menggangguku lagi, Liem kongcu. Aku tidak kenal lagi kepadamu. Minggirlah dan jangan menggangguku."
"Sumoi, sekeras itukah hatimu? Tidak kasihankah kau kepadaku? Selama ini, setiap malam aku memimpikan kau dan hidupku takkan dapat berbahagia tanpa engkau di sampingku."
"Liem kongcu, tutup mulutmu! Lupakah kau bahwa aku adalah seorang penghuni kuil yang suci. Minggir, kalau tidak aku akan berteriak menyatakan bahwa kau sebagai putera jenderal mengganggu seorang penghuni kuil." Sambil berkata demikian, Sian Hwa melanjutkan perjalanannya dengan sangat cepatnya.
Liem Swee tidak berani mengejar karena memang amat berbahaya kalau penduduk dusun itu mengetahui bahwa dia hendak mengganggu seorang nikouw kuil Sun pok thian. Tentu ia akan malu sekali dan ayahnya akan marah bukan kepalang kepadanya. Ia tahu bahwa ayahnya amat menjaga nama keluarganya.
Selama dua tahun ini, Liem Swee mendapat kenyataan bahwa sebetulnya ia tak dapat melupakan Sian Hwa, sumoinya itu.
Setahun setelah peristiwa di kuil Sun pok thian itu, ia dijodohkan dengan seorang gadis cantik di kota raja, puteri seorang berpangkat. Gadis itu selain pandai ilmu sastera dan terpelajar, juga amat cantik, sehingga disebut sebagai bunga kota raja.
Tadinya memang Liem Swee amat puas dengan isterinya ini, tetapi beberapa bulan kemudian setelah menikah, ia mulai merasa bosan dan memperlakukan isterinya dengan kasar serta acuh tak acuh. Mereka mulai bercekcok karena sebagai puteri bangsawan yang terpelajar, isterinya itu tidak mandah saja diperlakukan sewenang wenang, Pat jiu Giam ong turun tangan dan tentu saja jenderal ini membela puteranya dan memaki maki kepada menantunya itu.
Hal ini membuat isteri Liem Swee menjadi sakit hati dan malam harinya ia lalu membunuh diri dengan minum racun.
Tak seorangpun tahu kecuali Liem Swee dan seisi rumah keluarga Liem bahwa nyonya muda yang baru menikah lima bulan itu menamatkan hidupnya dengan minum racun, karena Pat jiu Giam ong mengancam keras kepada semua orang tidak boleh menyiarkan berita ini.
Kematian nyonya itu dinyatakan sebagai mati karena sakit mendadak dan tak seorangpun yang berani mencurigainya. Demikianlah, Liem Swee menjadi duda muda dari setiap hari ia merindukan sumoinya yang masih berada di kuil Sun pok thian.
Ketika mendengar dari para penyelidiknya bahwa sumoinya itu kini telah memelihara rambut, timbul harapan baru dan cintanya bernyala kembali.
Sian Hwa dengan muka merah melanjutkan perjalanannya ke Tong seng kwan di mana ia mengunjungi makam ayahnya yang kini sudah diperbaiki. Sian Hwa mendapat bantuan dan Pek Lian Suthai untuk menyuruh orang memperbaiki makam ini yang sekarang sudah dipasangi batu nisan yang berukir nama ayahnya.
Ketika ia bersembahyang di depan kuburan ayahnya, timbul pula kesedihan hati Sian Hwa.
Kesedihan ini timbul karena kecemasannya waktu bertemu dengan Liem Swee dan mendengar ucapan pemuda itu, ia menjadi cemas. Ia maklum bahwa bekas suhengnya itu tentu takkan mau melepaskannya dan kalau sampai suhunya ikut campur, akan celakalah dia.
Oleh karena itu, sambil bersembahyang, Sian Hwa berpamit kepada arwah ayahnya, karena ia telah mengambil keputusan untuk melarikan diri dan minggat dan kota ini. Ia hendak merantau dan menjauhkan diri dari Liem Swee.
Setelah cukup lama bersembahyang di depan makam ayahnya Sian Hwa lalu pergi dan situ dan tergesa gesa kembali ke kuil. Ia telah mengambil keputusan tetap untuk berpamitan dari semua nikouw dan pergi meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi baru saja ia keluar dari kota Tong seng kwan dan tiba di hutan dekat dusun di mana kuil Sun pok thian berada, tiba tiba dari balik sebatang pohon melompat keluar seorang laki laki dan ternyata orang itu adalah.... Liem Swee!
Bukan main mendongkolnya hati Sian Hwa melihatnya.
"Mau apa kau menghadang perjalananku?" tanyanya ketus.
"Sian Hwa, jangan salah sangka. Aku tidak berniat buruk. Kau tahu bahwa aku takkan pernah mau mengganggu sedikitpun juga padamu. Harap kau menaruh hati kasihan kepadaku, sumoi. Marilah kita menghadap ayah. Aku yang menanggung bahwa ia tentu akan memaafkan kau dan....dan.... tolonglah aku, mari kita menyambung kembali tali perjodohan kita yang terputus itu, sumoi."
Ketika Sian Hwa mendelik dan hendak marah, Liem Swee menyambung cepat cepat, tidak memberi ketika kepada dara itu untuk berbicara.
"Sumoi, kau masih muda, mengapa kau hendak menghabiskan waktumu dengan berduka dan berkabung? Marilah kita mulai penghidupan baru, mari kita mencari kebahagiaan bersama. Kita sudah saling mengenal semenjak kecil, sudah tahu watak masing masing Sumoi, marilah...."
"Aku tidak perduli semua itu bukan urusanku! Jangan kau menggangguku lagi selama hidupmu!" bentak Sian Hwa dengan marah.
Dalam pandangan Liem Swee, setelah berpisah dua tahun kini Sian Hwa menjadi makin cantik dan manis.
Gadis itu sekarang lebih manis daripada dahulu dan lebih matang dan sikapnya tidak kekanak kanakan lagi.
Oleh karena itu, ia telah menjadi tergila betul dan ketika Sian Hwa pergi ke Tong seng kwan, ia sengaja menanti di dalam hutan itu agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh orang lain.
"SUMOI, jangan kau berkeras hati. Tak percaya aku bahwa kau yang secantik ini akan berlaku kejam."
"Tutup mulutmu yang palsu itu!" Sian Hwa berkata marah. "Agaknya kau tidak ingat lagi betapa kau menggunduli rambutku, ya?"
Mendengar ini, Liem Swee menjadi pucat. "Kau masih marah, sumoi? Bukankah kau sendiri yang menghendaki untuk menjadi nikouw? Kau anggap aku bersalah dalam hal itu? Baiklah, aku minta ampun kepadamu." Setelah berkata demikian, pemuda yang sudah tergila gila itu lalu menjatuhkan diri berilutut di depan Sian Hwa!
Tetapi Sian Hwa mempergunakan kesempatan itu untuk melompat dan berlari pergi dari situ. Dahulu ilmu lari cepatnya lebih tinggi dari pemuda itu, maka kini ia hendak mempergunakan ilmunya untuk melarikan diri dari Liem Swee. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika sebentar saja Liem Swee telah dapat menyusulnya dan menghadang di depannya lagi. Ternyata bahwa selama dua tahun ini, kepandaiaan Liem Swee telah maju pesat sekali dan melampauinya.
"Sumoi, kasihanilah aku...."
Kini Sian Hwa betul betul marah. "Orang tak tahu diri! Ketahuilah, bahwa selama ini aku melatih ilmu silatku dan kalau perlu, aku akan dapat menghadapimu dengan pedang terhunus! Apakah kau menghendaki pertempuran untuk menentukan siapa yang akan menggeletak tak bernyawa di sini? Dulu aku tidak berani melawan karena kau adalah suhengku, akan tetapi sekarang, biarpun ayahmu sendiri datang, aku tidak akan mundur setapak dan akan kupertaruhkan nyawaku!" Mata gadis ini berapi api saking marahnya, sehingga Liem Swee menjadi ragu ragu.
"Sumoi, jangan begitu. Kalau kita bertempur, kau takkan menang akan tetapi, aku bersumpah takkan mau mempergunakan kekerasan terhadapmu. Sumoi, demi kebahagiaanmu, demi kebahagiaan kita, kasihanilah aku dan kasihanilah hidupmu sendiri. Apakah kau selamanya akan begini saja? Mari kita menghadap ayah dan..."
"Aha, di mana mana saja kujumpai laki laki hidung belang macam ini! Sungguh menjemukan sekali."
Tiba tiba terdengar suara yang nyaring dan keluarlah orangnya dari balik serumpun pohon kembang. Orangnya sesuai benar dengan suaranya yang nyaring dan jenaka, karena ia adalah seorang pemuda yang. berpakaian warna biru muda, berwajah tampan luar biasa bertubuh kecil berisi. Pemuda yang baru datang ini nampaknya jenaka dan periang sekali, terutama sepasang matanya yang bersinar sinar dan mulutnya yang tersenyum manis.
"Enci yang manis, apakah anak manja dari Jenderal ini mengganggumu?" pemuda tampan ini bertanya, sambil memandang kepada Sian Hwa.
Dara ini sedang marah, kini melihat lagak pemuda yang agaknya bahkan lebih kurang ajar dan pandangan matanya terlalu berani ini, maka ia menjadi marah. Ia hendak memaki akan tetapi didahului oleh Liem Swee yang berobah air mukanya melihat datangnya pemuda ini.
"Kau....? Gadis liar, agaknya kau sudah bosan hidup maka berani mencampuri urusanku!"
"Aha, benar benar galak putera Pat jiu Giam ong. Agaknya kepandaianmu sudah banyak maju maka kau berani berlagak di hadapanku."
Kini terbukalah mata Sian Hwa dan gadis ini memandang kepada "pemuda" itu dengan mata terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa "pemuda" ini sebetulnya seorang gadis. Kini teringatlah Sian Hwa siapa adanya gadis itu, ingatannya ini diyakinkan pula oleh seruan Liem Swee yang telah mencabut pedangnya.
"Sumoi, hayo kau bantu aku menangkap gadis liar ini. Dia adalah pembunuh dari Ngo jiauw eng Dia inilah gadis liar yang dahulu mengacau di atas rumah ayahmu!"
"Aku bukan sumoimu dan aku tidak perduli urusanmu!" jawab Sian Hwa dengan suara dingin. "Kalau berani, lawanlah sendiri!"
Gadis jenaka yang berpakaian seperti pemuda itu tentu saja pembaca sudah menerka siapa orang nya. Memang, dia adalah Yap Lan Giok, puteri dan Yap Bouw atau murid dari Mo bin Sin kun. Kini mendengar jawaban Sian Hwa, Lan Giok bertepuk tangan sambil tertawa geli.
"Hi, hi, hi, tepat sekali, enci, tepat sekali! He, orang tinggi besar, apakah kau masih ingin menangkap aku?"
Liem Swee merasa mendongkol sekali. Ia merasa ragu ragu untuk melawan Lan Giok seorang diri saja. Kalau sumoinya ikut mengeroyok, tentu ia akan dapat menang, seperti juga dahulu gadis liar ini pernah ia keroyok dengan Sian Hwa dan mereka hampir menang kalau tidak datang murid Lam hai Lo mo yang membantu Lan Giok. Sekarang, disuruh menghadapi gadis murid Mo bin Sin kun ini seorang diri, ia merasa bimbang. Ia memang tidak mempunyai hubungan dengan Ngo jiauw eng dan kematian orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan dia, pula ayahnya selama ini melarang ia membuat permusuhan dengan murid murid tokoh tokoh besar seperti Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu dan yang lain lain.
"Aku seorang laki laki gagah tidak sudi menyerang seorang perempuan liar!" kata Lian Swee dan cepat ia melompat dan pergi meninggalkan tempat itu.
Lan Giok tertawa terkekeh kekeh sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Liem Swee yang melarikan diri. Melihat kejenakaan gadis ini, mau tidak mau Sian Hwa tersenyum kagum. Mengapa aku tidak bisa gembira seperti gadis ini? Alangkah senangnya menjadi orang yang demikian bebas dan gembira.
"Adik yang baik, kau benar benar berani sekali. Tidak tahukah kau bahwa dia adalah putera dari Pat jiu Giam ong dan bahwa aku sendiripun bekas murid Pat jiu Giam ong dan terhitung sumoinya? Apakah kau sudah lupa betapa dahulu di dalam hutan, kau hampir saja roboh karena keroyokan kami berdua?"
Lan Giok mengangguk angguk lalu menghampiri Sian Hwa dan memegang tangannya dengan ramah.
"Enci, tak perlu kau ceritakan hal itu kepadaku. Ingatanku tajam sekali dan aku masih ingat akan wajahmu yang cantik seperti bidadari ini. Tak heran si katak buduk itu tergila gila kepadamu. Enci, bukankah kau bernama Sian Hwa dan puteri dari Panglima Bucuci? Bukankah kau telah melarikan diri dari rumah bersama ibumu dan tinggal di dalam kuil Sun pok thian sampai bertahun tahun?"
Sian Hwa tersenyum dan memandang tajam. Sikap gadis jenaka ini membuatnya bergembira. Ia merasa seakan akan gadis ini telah menjadi kenalan lama, padahal dua kali ia bertemu dengan gadis itu sebagai lawan bertempur, pertama kali, ketika ia mengeroyoknya dengan Liem Swee di dalam hutan dan kedua kalinya ketika gadis ini datang di rumah ayah angkatnya membunuh Ngo jiauw eng.
Akan tetapi, sekarang berhadapan dengan Lan Giok, ia sama sekali tidak merasa seperti berhadapan dengan seorang bekas lawan atau musuh, bahkan merasa seperti berhadapan dengan seorang kawan baik atau adik sendiri. Kejenakaan Lan Giok agaknya merangsang dan menular kepadanya.
"Adik yang nakal, kau agaknya telah menjadi seorang mata mata atau penyelidik yang berhidung tajam. Entah sampai berapa jauh kau mengetahui segala macam rahasiaku?"
Lan Giok sengaja memasang muka yang lucu seperti seorang ahli nujum atau gwamia. Ia memandang muka Sian Hwa sambil meruncingkan bibirnya yang manis, kemudian berkata penuh aksi.
"Hem, aku dapat membaca pikiran dan isi hatimu, enci Sian Hwa. Aku melihat semua rahasiamu. Kau dipaksa menikah dengan katak buduk tadi, dipaksa oleh ayah angkat dan gurumu, Kau memberontak dan menolak, sehingga terjadi ribut ribut di dalam rumahmu. Kau lalu melarikan diri bersama ibumu dan menumpang di kuil Sun pok thian Dan agaknya.... ayah dan gurumu tidak mau mengakuimu lagi, kecuali Liem Swee si katak buduk tadi yang tergila gila betul kepadamu."
"Aduh, pandai betul kau. Adik yang baik, aku hanya mengetahui bahwa kau adalah murid kesayangan dari Mo bin Sin kun, akan tetapi aku tidak tahu siapakah sebetulnya namamu?"
"Namaku Lan Giok, enci, she Yap."
"Tentang she mu aku tahu, adik Lan Giok bahkan aku pernah bertemu dengan ayahmu, bekas Jenderal Yap itu."
Wajah Lan Giok bersari. "Ayahku telah menceritakan kepadaku tentang kebaikan hatimu, enci."
"Hm, siapa bilang aku baik? Orang baik baik tidak akan mengalami nasib seperti aku. Eh, adik Lan Giok, coba kauceritakan, rahasia apalagi selanjutnya yang telah kau ketahui?"
Kembali Lan Giok berlagak, lalu berkata. "Hem, hem, aku tahu bahwa kau telah menyerahkan hatimu kepada seorang pemuda."
Kali ini benar benar Sian Hwa terkejut betul. Mukanya berobah pucat, sehingga Lan Giok buru buru berkata dengan suara sungguh sungguh.
"Maaf, enci, aku tidak bermaksud menyinggung perasaan hatimu. Aku hanya main main saja."
Sian Hwa dapat menetapkan hatinya. "Benarkah kau hanya main main saja, adik Giok?"
"Bersumpah disaksikan bumi dan langit kalau aku tadi bicara betul betul. Mana aku tahu rahasia hatimu? Aku hanya menduga duga saja. Kau menolak untuk dijodohkan dengan putera Pat jiu Giam Ong. Padahal kau adalah murid dari ayah pemuda itu dan sepanjang penglihatanku, pemuda she Liem itu tidak buruk rupa. Maka...."
"Nanti dulu, kau menyebut katak buduk, bagaimana sekarang kau bilang tidak buruk rupa?"
"Tidak semua katak buduk buruk rupa, enci," jawab Lan Giok sambil tertawa geli dan Sian Hwa terpaksa tertawa juga sambil memeluk pundak Lan Giok. Timbul rasa sukanya kepada gadis yang jenaka ini.
"Oleh karena itulah, enci, maka satu satunya alasan mengapa kau menolak untuk menjadi menantu Pat jiu Giam ong, tentu saja hatimu telah dicuri oleh sepasang alis yang berbentuk golok!"
Sian Hwa melengak dan kembali hatinya berdebar aneh. Terbayang wajah Bun Sam dan terutama sekali sepasang alis pemuda itu terbayang jelas karena memang alis pemuda ini bentuknya seperti golok yang membuat wajahnya tampak gagah dan sangat tampan.
"Apa pula ini?" tanyanya dengar heran. "Alis berbentuk golok?"
Melihat keheranan pada wajah Sian Hwa, Lan Gok tertawa makin menjadi, lalu katanya gembira.
"Enci Sian Hwa, siapa lagi kalau bukan seorang pemuda yang gagah dap tampan yang mempunyai alis seperti golok bentuknya? Pernahkah kau mendengar seorang wanita yang mempunyai alis berbentuk golok? Tentu seorang pemuda, bukan? Dan tak mungkin hatimu dicuri oleh seorang gadis, bukan?"
Mau tak mau Sian Hwa tertawa juga terpingkal pingkal sambil mencubit lengan Lan Giok. Ini adalah, kegembiraan pertama kali yang dirasai nya selama tiga tahun akhir akhir ini.
Hidup di dalam kuil dengan para nikouw itu sama saja dengan hidup menyepi di tempat sunyi, karena para nikouw itu tak pernah bergurau, tak pernah bergembira dan mereka menuntut penghidupan dengan saleh dan beribadat, seakan akan hidup ini hanya berisi kemuraman dan upacara.
Sungguh Sian Hwa yang memang berwatak gembira amat tersiksa oleh hidup seperti itu dan seringkali ia mengakui kebenaran ucapan Pek Lian Suthai bahwa ia tidak berbakat untuk menjadi pendeta!
"
i"Adik Lan Giok, kau benar benar nakal, akan tetapi aku suka berada di sampingmu. Adik yang baik, sebenarnya kau datang dari mana dan hendak kemanakah?"
"Terlalu panjang untuk dituturkan dan berbahaya kalau sampai terdengar oleh orang orang lain," jawab Lan Giok dan kini mukanya bersungguh sungguh yang membuat dia nampak lebih lucu lagi, karena sesungguhnya wajah Lan Giok yang manis dan kekanak kanakan itu tidak pantas kalau keningnya dikerutkan.
"Kalau begitu, marilah kita pergi ke kuil, di sana kita boleh bicara dengan leluasa dan aman. Akupun mempunyai sebuah permintaan yang hendak kusampaikan kepadamu," kata Sian Hwa.
Lan Giok menyatakan setuju dan berangkatlah dua orang nona pendekar ini ke kuil Sun pok thian.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja para nikouw memandang aneh dan memperlihatkan sikap menentang ketika Sian Hwa datang bersama dengan seorang pemuda yang tampan itu. Mereka melarang "pemuda" itu memasuki ruang di ruang dalam, akan tetapi sambil tertawa tawa Lan Giok membuka kain pembungkus kepalanya dan semua nikouw melongo ketika melihat kepala dan wajah seorang gadis yang cantik dan berambut halus panjang dan hitam sekali itu.
"Lihatlah, aku hanyalah seorang laki laki palsu! Apakah sekarang aku boleh memasuki kamar enci Sian Hwa?" tanya Lan Giok dengan lagaknya yang jenaka.
Para nikouw itu terpaksa tersenyum geli, suatu hal yang jarang mereka alami. Benar benar Lan Giok mendatangkan kegembiraan di dalam kuil yang biasanya berada dalam suasana sunyi, tenang dan berkabung itu.
"Enci Sian Hwa,"
Lan Giok mulai menuturkan pengalamannya yang sekaligus membuka hal hal yang sama sekali tak pernah diketahui oleh Sian Hwa setelah mereka duduk di dalam kamar.
"Agaknya kau tidak mengetahui hal hal yang terjadi di luar kuil. Sebaliknya, persoalanmu dengan gurumu dan peristiwa yang terjadi di keluargamu, kami semua telah mengetahuinya. Gurukulah yang tahu akan keadaanmu, maka akupun mengetahuinya pula. Oleh karena kau telah bentrok dengan Pat jiu Giam ong dan telah mengasingkan diri di sini sampai dua tahun, maka kami tidak menganggap kau sebagai lawan lagi."
"Heran sekali mengapa Pat jiu Giam ong menyiarkan hal yang menyangkut perjodohanku yang putus dengan puteranya," kata Sian Hwa dengan heran, karena ia menduga bahwa tentu Pat jiu Giam ong akan merahasiakan hal itu sekerasnya demi menjaga nama baiknya.
Lan Giok tertawa.
"Memang dirahasiakan olehnya, akan tetapi siapa dapat merahasiakan sesuatu dari guruku? Dan pula, hal hal yang menyangkut keadaan Pat jiu Giam ong, siapa yang tidak akan memperhatikannya? Sekarang dengarkan penuturanku, enci, banyak sekali hal hal hebat terjadi selama kau bertapa di tempat ini. Maka berceritalah Lan Giok dan untuk mengetahui cerita ini sebaiknya, marilah kita mengikuti dari permulaan, karena memang banyak sekali peristiwa terjadi selama tiga tahun ini, yakni semenjak Lan Giok dan Thian Giok dirampas dari penangkapan Pat jiu Giam ong oleh guru mereka, Mo bin Sin kun sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Lan Giok dan Thian Giok terancam bahaya hendak ditawan oleh pat jiu Giam ong dan dibela dengan mati matian, tetapi sia sia oleh karena Bun Sam yang kepandaiannya kalah jauh dari Pat jiu Giam ong, datanglah Mo bin Sin kun yang di saat yang tepat itu telah dapat menolong dan membawa kedua muridnya itu pergi, ia menantang Pat jiu Giam ong yang dijawab oleh Liem goanswee bahwa tiga tahun lagi Pat jiu Giam ong hendak mengadakan perhitungan.
Dengan cepat Mo bin Sin kun membawa dua orang muridnya ke puncak Sian hwa san di mana ibu kedua orang anak ini hidup sebagai seorang pertapa. Setelah tiba di puncak Sian hwa san, di mana terdapat sebuah kuil yang indah, Mo bin Sin kun meraba mukanya dan sebentar saja wajahnya yang menyeramkan itu berubah menjadi seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun dan yang ternyata amat cantiknya!
Inilah keanehan Mo bin Sin kun karena setiap kali ia melakukan pergerakan, ia selalu memakai sebuah kedok yang membuat mukanya menjadi buruk dan membuat ia dijuluki Si muka iblis! Juga tak seorangpun mengetahui kecuali tokoh tokoh yang tergabung dalam Lima Besar, bahwa Mo bin Sin kun sesungguhnya adalah seorang wanita!
Ibu sepasang anak kembar itu menjadi terhibur dan girang melihat dua orang anaknya kembali dalam keadaan selamat. Semenjak ia dan kedua orang anaknya dibawa oleh Mo bin Sin kun, ia hidup melakukan tapabrata dan melakukan ibadat sebagai seorang pertapa, juga ia membantu mengurus kuil tempat kediaman Mo bin Sin kun.
Namun tiap kali Thian Giok atau Lan Giok turun gunung untuk ikut guru mereka atau juga untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Mo bin Sin kun, hati ibu itu selalu merasa gelisah.
Kali ini, kedatangan mereka membawa berita yang amat mengejutkan, tetapi menggirangkan hati nya, ia mendapat warta bahwa suaminya, Jenderal Yap Bouw, masih hidup! Hampir saja ia tidak dapat percaya, karena bukankah telah tersiar luas beril bahwa suaminya, jenderal besar itu telah tewas di dalam medan perang?
Ketika mendengar dari kedua orang anaknya bahwa, kini Yap Bouw telah menjadi seorang gagu dan rusak mukanya, nyonya ini menangis dengan hati pilu. Benar benar ia tidak beruntung. Ketika suaminya pergi, Lan Giok belum lahir, karena suaminya terikat oleh tugasnya.
Setelah mengalami peristiwa di kota raja, Lan Giok dan Thian Gok merasa betapa kepandaian mereka sebenarnya masih jauh untuk dapat diandalkan.
Menghadapi Pat jiu Giam ong, mereka sama sekali tidak berdaya. Juga mereka kini tahu bahwa Pat jiu Gian ong mempunyai dua orang murid yang berkepandaian tinggi, juga Lan Giok sudah menyaksikan kehebatan kepandaian murid dari Lam hai Lo mo.
Maka mereka lalu melatih diri dengan amat tekunnya.
Mo bin Sin kun juga mencurahkan segala perhatiannya untuk menggembleng kedua orang murid ini, apalagi karena Pat jiu Giam ong telah berjanji hendak membalas dendam tiga tahun kemudian.
Beberapa bulan kemudian selagi Thian Giok dan Lan Giok berlatih silat di bawah pengawasan Mo bin Sin kun, tiba tiba wanita sakti itu lalu berkata. "Ada orang datang!" Dalam sekejap mata saja ia telah mengenakan kedoknya yang hitam dan yang demikian cepat menutup mukanya, sehingga tak seorangpun akan menduga bahwa mukanya memakai kedok.
Benar saja, dari lereng Bukit Sian hwa san nampak bayangan seorang laki laki yang mendaki bukit itu dengan ilmu lari cepat yang tinggi.
"Ayah.....!" Thian Giok dan Lan Giok berseru hampir serentak. Lalu mereka serentak berlari lari menyambut kedatangan Yap Bouw. Setelah berhadapan, kedua anak ini lalu menubruk ayah mereka dan ketiganya berpelukan dengan penuh rasa terharu.
Yap Bouw menggerak gerakkan jari tangannya yang maksudnya bertanya di mana ibu kedua orang anak itu, akan tetapi karena Thian Giok dan Lan Giok tak pernah mempelajari bahasa gerak jari tangan ini mereka tidak mengerti. Hanya saja Lan Giok memang lebih cepat jalan pikirannya, maka anak ini dapat menduga maksud ayahnya.
"Aah, mari ke kuil menjumpai ibu," katanya dan ia mendahului mereka untuk menyampaikan khabar gembira ini kepada ibunya.
Yap Bouw menjura dengan penuh hormat kepada Mo bin Sin kun, yang membalas dengan penghormatan pula.
Dengan kagum dan heran Thian Giok melihat betapa gurunya mengerti akan bahasa gerak tangan ini dan sambil mengangguk angguk Mo bin Sin kun berkata seperti orang menjawab.
"Memang seharusnya kau tinggal bersama isteri dan anak anakmu, Yap sicu. Mereka amat merindukan kau. Tentu saja aku tidak keberatan kalau kau tinggal di sini, bahkan kebetulan sekali karena aku sendiri sering kali turun gunung, sehingga dengan adanya kau di sini, hatiku lebih merasa tenteram meninggalkan mereka."
Sambil menggerak gerakkan tangannya, Yap Bouw lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Mo bin Sin kun, menyatakan terima kasihnya yang tak terhingga bahwa tokoh besar ini telah menolong nyawa isteri dan anak anaknya, bahkan telah mengangkat kedua anaknya menjadi murid. Mo bin Sin kun cepat membungkuk dan minta Yap Bouw berdiri kembali sambil mengucapkan kata kata merendah.
Pada saat itu, Lan Giok datang berlari lari lalu memeluk ayahnya. Kedua mata anak ini basah oleh air mata, agaknya ia dan ibunya telah bertangis tangisan saking bahagianya.
"Ayah, lekas, ibu menanti kedatanganmu," katanya sambil membetot betot tangan ayahnya. Melihat anak anaknya, berserilah wajah Yap Bouw. Dunia ini seakan akan berobah dalam pandangan matanya. Kalau tadinya ia merasa bosan hidup, sekarang ia dapat menikmati kebahagiaan melihat putera puterinya yang demikian elok dan gagahnya. Dengan kedua tangan digandeng oleh Thian Giok dan Lan Giok. Yap Bouw menuju ke kuil.
Di ruang depan dari kuil yang bersih itu, Yap Bouw melihat isterinya berdiri. Hatinya terharu sekali dan tak terasa pula air matanya turun membasahi kedua pipinya. Isterinya mengenakan baju warna putih seperti lazimnya dipakai oleh para pendeta.
Wajah isterinya masih tetap cantik seperti dulu, hanya kini nampak muram dan lemah, seperti seorang yang sudah banyak menderita pahit getir penghidupan.
"Ibu, ini ayah datang....!" Lan Giok yang jenaka berteriak teriak.
Pertemuan antara kedua suami isteri itu sungguh sungguh mengharukan hati. Dengan isak tertahan isteri Yap Bouw berlari maju dan menubruk kedua kaki suaminya, merangkul kaki itu dan menangis tersedu sedu. Tak sebuahpun kata kata keluar dari mulutnya, karena ia tidak kuasa mengeluarkan suara. Dada dan kerongkongannya penuh sesak oleh sedu sedan.
Yap Bouw berdiri bagaikan patung, menundukkan mukanya, menggigit bibir dan air matanya turun bagaikah hujan. Kedua tangannya mengelus elus rambut kepala isterinya dan matanya dimeramkan, nyata sekali ia menahan rasa sakit pada jantungnya yang seperti diiris iris. Melihat keadaan mereka, Thian Giok dan Lan Giok lalu menubruk ibu mereka dan menangis pula.
Karena tak dapat berkata kata, Yap Bouw yang telah dapat menenangkan hatinya lebih dulu lalu menarik isterinya berdiri dan sambil menunjuk ke arah mukanya sendiri, ia lalu menggerak gerakkan tangannya dengan maksud bertanya apakah isteri dan anaknya tidak malu melihat ia telah berobah menjadi seperti itu. Sesungguhnya isterinya dan kedua anaknya tidak mengerti bahasa ini, akan tetapi perasaan Yap Bouw agaknya membisikkan sesuatu kepadanya, sehingga ia dapat juga menangkap maksudnya. Sambil menangi dan memeluk pundak suaminya, ia berkata.
"Suamiku, betapapun juga, kau tetap suamiku, kau tetap ayah dari Thian Giok dan Lan Giok!"
Suasana terharu itu kemudian berobah menjadi girang ketika Lan Giok yang cerdik itu cepat berlari mengambil kertas dan alat tulis dan kini "percakapan" dilanjutkan lebih lancar setelah Yap Bouw dapat menuliskan segala pertanyaan dan jawaban di atas kertas itu.
Demikianlah, keluarga jenderal besar itu akhirnya dapat berkumpul kembali, hidup dengan aman dan tenteram di dalam kuil di atas Bukit Sian hwa san, isteri Yap Bouw melanjutkan hidupnya sebagai seorang pendeta wanita, bahkan Yap Bouw tertarik pula dan kini kakek gagu inipun menukar pakaiannya sebagai pertapa dan ikut pula bersamadhi dan memperdalam ilmu batinnya sambil membantu pekerjaan menjaga kuil.
Ia merasa kagum sekali melihat kemajuan ilmu silat kedua anaknya yang kini tingkat kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Diam diam ia teringat kepada Bun Sam dan mengandung maksud hendak menjodohkan Lan Giok dengan pemuda itu.
Isterinya menyatakan persetujuannya, karena ia percaya penuh bahwa suaminya tentu takkan salah pilih. Akan tetapi mereka tidak tergesa gesa menyampaikan usul ini kepada Lan Giok atau Mo bin Sin kun, karena gadis itu sedang giat berlatih silat setiap hari.
Waktu berjalan pesat sekali dan dua tahun telah lewat semenjak Yap Bouw berada di puncak Sian hwa san. Tidak terjadi peristiwa penting selama itu, sampai pada waktu pagi hari di musim dingin itu.
Pagi pagi benar Lan Giok dan Thian Giok melatih ilmu silat mereka, karena guru mereka baru kemarin datang dari perantauannya selama tiga bulan.
Mo bin Sin kun membawa banyak kabar dari kota raja. Menurut guru mereka ini Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu telah bersekutu dengan sutenya, yakni Pat jiu. Giam ong untuk membentuk sebuah perkumpulan orang gagah yang disebut Hiat jiu pai (Perkumpulan Tangan Berdarah).
Perkumpulan itu memakai nama yang serem ini karena setiap orang yang hendak masuk menjadi anggauta, diambil sumpahnya dengan mencuci kedua tangan dengan darah harimau.
Untuk keperluan ini, tentu saja setiap orang yang hendak menjadi anggauta, harus dapat menangkap seekor harimau hidup hidup dan inipun merupakan ujian karena kalau tidak berkepandaian tinggi, mana dapat menangkap harimau atau singa?
Dan maksud kedua orang tokoh besar itu mendirikan perkumpulan ini, selain hendak mengumpulkan orang orang gagah untuk memperkuat kedudukan mereka, juga mereka ingin menjagoi dunia persilatan. Lam hai Lo mo menjadi ketua pertama dan Pat jiu Giam ong menjadi ketua ke dua.
Selain berita ini, juga dari Mo bin Sin kun, kedua orang muda itu mendengar tentang keadaan rumah tangga Bucuci dan itulah sebabnya maka Lan Giok tahu akan keadaan Sian Hwa. Diam diam mereka semua bersimpati dengan Sian Hwa, lebih lebih Lan Giok, karena gadis itu pernah bertemu dengan Sian Hwa dan mengagumi kecantikan dan kepandaian gadis baju merah itu.
"Karena itu, kalian berdua harus lebih giat lagi berlatih, karena sangat besar kemungkinan kalian menjadi dua diantara orang orang yang berkewajiban menghadapi perkumpulan berbahaya itu," kata Mo bin Sin kun menutup penuturannya dan pada pagi hari itu, Lan Giok dan kakaknya berlatih ilmu Silat yang paling tinggi dan sukar yang sebelum turun gunung telah diajarkan oleh guru mereka.
Tiba tiba Mo bin Sin kun dan dua orang muridnya itu berhenti berlatih dan memandang ke tengah udara. Entah dari mana datangnya, tahu tahu di atas mereka melayang layang sebuah benda yang kecil berwarna hitam dan dengan cara aneh sekali, benda itu melayang turun dan tiba menancap di tas tanah, di depan Mo bin Sin kun dan ternyata bahwa benda itu adalah sebatang tongkat hitam berbentuk ular yang panjangnya kira kira empat kaki. Melihat sebatang tongkat dapat terbang melayang bagaikan seekor ular bersayap dan kemudian menancap di depan mereka, sungguh sukar untuk dipercaya karena tongkat itu seakan akan hidup.
Kalau Thian Giok dan Lan Giok berdiri bengong terheran keran, adalah Mo bin Sin kun yang bersikap tenang, sungguhpun di balik kedoknya wajahnya berobah ketika ia melihat tongkat ini.
"Waspadalah, Lam hai Lo mo agaknya datang mengunjungi kita!" katanya dan diam diam wanita sakti ini meraba ke dalam saku bajunya untuk melihat apakah senjatanya yang paling diandalkan berada di saku itu.
Senjata ini sederhana saja bentuknya, yakni sehelai sabuk sutera berwarna hitam yang kedua ujungnya dipasang bintang perak yang berujung lima dan runcing sekali, sebesar kepalan tangan. Kalau tidak dipakai, senjata ini dapat dilipat dan dimasukkan ke dalam saku baju.
Tiba tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan sekali seperti suara kuda meringkik, disusul oleh suara ke tawa yang nyaring, akan tetapi juga amat menyeramkan.
Bagaikan dua sosok bayangan setan, berkelebatlah bayangan dua orang laki laki dan sebentar saja dua bayangan itu telah berdiri di depan mereka. Benar saja, yang berdiri di depan mereka adalah Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, orang diantara Lima Besar yang paling kejam, ganas, aneh dan juga berilmu tinggi.
Dan orang ke dua yang berdiri di sebelah kanannya adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan ganteng, akan tetapi sepasang matanya begitu sipit, sehingga hanya merupakan dua garis kecil saja. Kulit mukanya halus dan putih seperti kulit muka seorang wanita dan mulutnya yang berbentuk manis itu selalu membayangkan senyum mengejek seperti terdapat pada mulut seorang yang berwatak sombong dan memandang rendah kepada semua orang dan menganggap dirinya sendiri yang paling pintar.
Lam hai Lo mo gelak tertawa sambil mendongak ke atas dan tangan kirinya mencabut tongkat yang menancap di depan Mo bin Sin kun, kemudian ia lalu menjura kepada Mo bin Sin kun sambil membungkuk, dituruti pula oleh pemuda itu yang tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia ini memang murid tunggal dan Lam hai Lo mo, yaitu Gan Kui To.
"Ada gara gara apakah di dunia, maka Lam hai Lo mo, yang bernama besar sampai tersasar ke tempat ini?" tanya Mo bin Sin kun dengan suara dingin dan sikap angkuh.
Lain orang boleh menghormat berlebih lebihan kepada Lam hai Lo mo, akan tetapi dia merasa setingkat dengan kakek ini, maka tak perlu ia merendahkan diri.
"Tidak tahu apakah kau datang dengan maksud baik atau buruk, dengan kepala dingin atau panas?"
Kembali Lam hai Lo mo tertawa seperti bunyi ringkik kuda, lalu berkata.
"Mo bin Sin kun, di tempat yang demikian indah dengan hawa udara demikian sejuk dan dingin, siapakah yang bisa menjadi panas kepala? Aku datang dengan maksud baik. Bukankah kita kawan kawan lama? Ha, ha, ha."
"Lam hai Lo mo, dengan orang seperti engkau ini, siapa yang dapat membedakan kawan atau lawan? Lebih baik kau katakan apa yang menjadi maksud kedatanganmu ini. Kau tahu bahwa aku tengah melatih murid muridku kami sedang sibuk dan tidak mempunyai banyak waktu untuk mengobrol."
"Ha, ha, kau bersiap siap untuk tahun depan? Aku sudah mendengar bahwa kau dan Pat jiu Giam ong hendak menjadi anak anak kecil lagi yang mau cakar cakaran dan main main. Ha, jenderal itu sedang sibuk pula, terkurung oleh tugasnya. Mo bin Sin kun, sebetulnya kedatanganku ini membawa maksud yang suci dari mulia."
Ia memandang kepada Lan Giok, lalu menudingkan tongkatnya kepada dara ini.
"Muridmu yang manis inilah yang menarik kami datang ke sini."
Mo bin Sin kun mengerutkan keningnya, adapun Lan Giok dengan hati berdebar memandang dengan penuh perhatian. Juga Thian Giok memandang dengan sinar mata tajam.
"Mo bin Sin kun, kita adalah kawan kawan lama, dengan melupakan sedikit perbedaan faham kita, marilah kita mempererat tali perhubungan kita. Aku dalang hendak melamar muridmu ini untuk menjadi jodoh muridku yang tampan dan gagah ini!"
Ia menuding ke arah Kui To yang tersenyum senyum sambil memandang ke arah Lan Giok dengan wajah berseri.
"Sauw nio (burung kecil), kau tentu belum lupa padaku, bukan? Sudah dua kali kita berjumpa dan aku telah membantumu mengusir orang jahat!" kata Kui To dengan sikap manis kepada Lan Giok.
Gadis itu memalingkan muka dengan sebal, karena ketika mendengar lamaran itu ia sudah merasa jengah dan juga marah. Akan tetapi karena di situ terdapat gurunya, ia tidak berani sembarangan memperlihatkan kemarahannya.
Adapun Mo bin Sin kun yang mendengar pinangan Lam hai Lo mo ini, untuk beberapa lama tak dapat menjawab. Pinangan ini benar benar mengejutkannya dan ia menjadi serba salah. Memang seorang pemuda murid Lam hai Lo mo bukanlah seorang pemuda sembarangan dan tentu telah memiliki kepandaian tinggi, sehingga patut menjadi suami muridnya. Kalau sampai pinangan ini ditolak, berarti ia memperhebat permusuhan dengan Lam hai Lo mo dan hal ini tidak boleh dibuat main main.
Sebetulnya pinangan ini diajukan oleh Lam hai Lo mo terdorong oleh dua hal.
Pertama tama karena memang Kui To telah tergila gila kepada Lan Giok yang disebutnya Burung Kecil dan sering kali pemuda ini seperti orang gila menyebut nyebut nama gadis itu dan merengek rengek kepada suhunya minta dilamarkan gadis itu!
Kedua kalinya, ada maksud tersembunyi dalam kepala Lam hai Lo mo yang cerdik, ia dan sutenya maklum bahwa menghadapi Kim Kong Taisu saja sudah merupakan hal yang amat berat, apalagi kalau Mo bin Sin kun berdiri di fihak kakek dari Oei san itu.
Maka apabila ikatan jodoh ini dapat diadakan, berarti bahwa Mo bin Sin kun mau tidak mau tentu akan membantu mereka demi kepentingan muridnya sendiri. Dengan masuknya Mo bin Sin kun difihak mereka, maka itu berarti akan memperkuat kedudukan Hiat jiu pai!
"Bagaimana, Mo bin Sin kun?" tanya Lam hai Lo mo ketika melihat si muka iblis itu masih juga belum menjawab. "Apakah aku harus menanti jawaban dalam beberapa hari karena kau hendak pikir pikir dulu?"
i
"Aku takkan merasa ragu ragu untuk menjawab sekarang juga, Lam hai Lo mo, akan tetapi sayang aku tidak berhak mengambil keputusan dalam hal ini. Tunggulah sebentar. Thian Giok, coba kau panggil ayah bundamu ke sini!"
Thian Giok cepat berlari ke kuil dan tak lama kemudian ia kembali diikuti oleh Yap Bouw dan isterinya. Melihat Yap Bouw yang kini berpakaian serba putih seperti seorang pendeta itu, Lam hai Lo mo benar benar tercengang dan merasa tidak enak hatinya.
Biarpun ia telah pernah menolong nyawa Yap Bouw ketika jenderal ini terjatuh kedalam tangan orang orang Mongol, namun sebaliknya yang membuat jenderal itu sampai kalah dan tertangkap sehingga menerima penyiksaan hingga mukanya hancur dan rusak, adalah Lam hai Lo mo sendiri.
Akan tetapi, dua tahun hidup mensucikan diri di puncak Sian hwa san, tidak sia sia bagi Yap Bouw. Kalau dulu Sebelum ia bertapa di gunung ini, tiap kali berjumpa dengan Lam hai Lo mo, sudah boleh dipastikan ia akan menjadi marah dan menyerang orang yang membuatnya kalah dalam perang melawan tentara Mongol itu, akan tetapi sekarang ia bersikap tenang dan dingin saja, hanya memandang Lam hai Lo mo dengan sinar mata tajam menusuk hati.
"Aha, kiranya Jenderal Yap Bouw pun berada di sini! Mo bin Sin kun, mengapa kau mendatangkan Jenderal Yap dan wanita ini?"
"Lam hai Lo mo, ketahuilah bahwa mereka ini yang berhak menjawab pinanganmu karena mereka adalah ayah bunda dari Lan Giok muridku!" jawab Mo bin Sin kun.
"Ha, ha, ha, bagus sekali. Aku adalah kenalan lama dari Jenderal Yap, dan terus terang saja, aku pernah menyelamatkan nyawanya dari bala tentara Mongol." Kemudian ia menghadapi Yap Bouw dan berkata. "Yap goan swe, kuulangi lagi pinanganku yang tadi sudah kusampaikan kepada guru puteri mu. Kedatanganku ini bermaksud meminang puterimu itu untuk menjadi jodoh muridku yang gagah ini."
Sebelum datang ke tempat itu, Thian Giok sudah menyampaikan berita ini kepada kedua orang tuanya dan Yap Bouw telah berunding dengan isterinya, maka kini isterinya yang maju bersama dia. Yap Bouw melangkah dua tindak ke depan lalu menggerak gerakkan jari tangannya.
Melihat betapa suhunya memperhatikan gerakan gerakan jari tangan itu, Gan Kui To tak dapat menahan geli hatinya dan tertawa lalu berkata. "Suhu, apa apaankah ini? Apakah empek ini sedang menari kegirangan karena puterinya dilamar oleh kita?"
Akan tetapi, pada saat itu Lam hai Lo mo tidak dapat mengawani kejenakaan muridnya karena ia memandang dengan wajah muram dan kening berkerut ketika melihat gerakan jari tangan itu. Dari gerakan itu ia diberi tahu oleh Yap Bouw bahwa terpaksa Yap Bouw menolak pinangan itu karena puterinya telah ditunangkan dengan orang lain!
"Apa..?? Jadi puterimu ini sudah bertunangan?" tanyanya dengan suara parau dan barulah Kui To berhenti tersenyum mendengar ucapan suhunya ini.
"Siapakah tunangannya?" Di dalam pertanyaan ini terkandung ancaman.
Adapun Mo bin Sin kun yang juga melihat keterangan melalui gerakan jari tangan Yap Bouw, diam diam merasa heran dan terkejut sekali. Mengapa Yap Bouw tidak memberi tahukannya bahwa Lan Giok telah ditunangkan dengan orang lain? Apakah hal ini benar ataukah hanya alasan dari Yap Bouw untuk menolak pinangan Lam hai Lo mo? Kalau hanya alasan, ia akan mencegah Yap Bouw membohong, karena Mo bin Sin kun tidak sudi untuk mencari alasan kosong hanya karena hendak menolak pinangan Lam hai Lo mo. Hal Ini sama artinya dengan merasa takut terhadap kakek aneh itu. Kalau memang tidak setuju, tolak saja mentah mentah dan habis parkara. Siapakah yang takut? Demikian jalan pikiran Mo bin Sin kun.
Kini nyonya Yap yang maju menghadapi Lam hai Lo mo. Dengan sikap tenang, sopan dan ramah tamah, nyonya ini berkata.
"Lo sicu, kami telah merencanakan untuk menjodohkan puteri kami Lan Giok dengan seorang pemuda bernama Song Bun Sam, murid dari Kim Kong Taisu. Oleh karena itu harap lo sicu sudi memberi maaf. Kami terpaksa tidak dapat menerima budi kebaikan dan kehormatan yang lo sicu berikan kepada kami."
Mendengar ini, tidak saja Mo bin Sin kun yang tercengang dan heran, tetapi juga Thian Giok memandang kepada ibunya dengan mata penuh pertanyaan.
Adapun Lan Giok yang mendengar ini, seketika itu juga mukanya berobah merah, ia pernah bertemu dengan Bun Sam dan memang diam diam ia merasa tertarik kepada murid Kim Kong Taisu yang dengan gagah beraninya pernah membela dia dan Thian Giok di depan Pat jiu Giam ong, bahkan yang berani melawan Pat jiu Giam ong.
Sebaliknya, Lam hai Lo mo dan muridnya menjadi kecewa dan marah, tiba tiba Lam hai Lo mo tertawa dan sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muridnya, ia berkata kepada nyonya Yap.
"Yap hujin, lihatlah muridku ini!" Karena tidak tahu akan maksud kakek itu, nyonya Yap memalingkan muka dan memandang kepada Kui To. "Lihat baik baik, bukankah muridku ini tampan dan gagah sekali?" Diam diam kakek ini mengerahkan tenaga batinnya dan menggunakan ilmu hoatsut (sihir) kepada nyonya itu.
Entah bagaimana, nyonya Yap tiba tiba melihat Kui To sebagai seorang pemuda yang amat tampan, gagah dan simpatik. Hatinya tertarik sekali dan tanpa disadarinya, bagaikan terkena pesona, ia berkata.
"Memang muridmu itu tampan dan gagah."
"Bukankah dia lebih tampan dan lebih gagah daripada Bun Sam?"
Sebetulnya nyonya Yap, kalau berada dalam keadaan sadar, tak mungkin dapat menjawab bertanyaan ini karena selama hidupnya ia sendiri belum pernah melihat bagaimana rupa Song Bun Sam, pemuda yang dipilih oleh suaminya untuk menjadi jodoh Lan Giok. Akan tetapi, ia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari Lam hai Lo mo, maka ia mengangguk membenarkan dan berkata.
"Dia lebih tampan dan lebih gagah daripada Bun Sam."
"Muridku ini lebih pantas menjadi menantumu daripada Bun Sam, bukan?"
Kembali nyonya Yap membenarkan. Semua orang menjadi demikian tertegun dan heran sehingga tak dapat mengeluarkan kata kata.
"Nah, kalau begitu, sudah sewajarnya kau menerima Kui To sebagai menantumu. Sekali lagi kuulangi pinanganku. Yap hujin, sukakah kau menerima Kui To sebagai menantumu?" sambil berkata demikian sepasang mata kakek aneh ini mengeluarkan sinar yang berapi api dan amat berpengaruh, yang ditujukan kepada wajah nyonya Yap.
"Aku setuju dan suka...." jawab nyonya itu, seakan akan sudah tidak kuasa lagi mengendalikan pikiran dan mulutnya.
Tiba tiba Lan Giok melompat maju. "Tidak tidak! Aku tidak sudi!"
"Siauw Niauw, jangan begitu, ibumu sudah setuju!" Kui To melompat maju sambil mengulur tangan hendak memegang tangan gadis yang dirindukaanya itu. "Biarlah kelak aku menghadiahkan kepala Song Bun Sam di bawah kakimu."
"Keparat, jangan kurang ajar!" teriak Thian Giok yang cepat maju menyampok tangan Kui To yang diulurkan.
Dua buah lengan beradu dan Thian Giok terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya menjadi
(Lanjut ke Jilid 17)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
panas dan sakit, ia melompat mundur dengan muka terkejut sekali.
"Ha, ha, ha, kau kakak iparku, sungguh gagah!" Kui To tertawa.
"Bangsat bermulut lancang, kuhancurkan mulutmu!" Lan Giok dengan marah melompat maju dan menyerang dengan pukulan Soan hong pek lek jiu ke arah dada Kui To.
Murid Lam hai Lo mo ini merasa sambaran angin dahsyat dan karena, ia maklum akan kelihaian pukulan ini, cepat ia melompat ke samping untuk mengelak. Lan Giok mendesak terus, akan tetapi tiba tiba Lam hai Lo mo mengebutkan lengan bajunya dan tertolaklah gadis ini ke belakang oleh angin pukulan yang jauh lebih bebat daripada pukulannya sendiri.
Pedang Naga Kemala Eps 8 Pedang Naga Kemala Eps 40 Pedang Naga Kemala Eps 40