Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 15


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




   Kemudian ia menengok kepada Pat jiu Giam ong yang juga tinggi besar seperti dia dan yang semenjak tadi memandang kepadanya dengan mata bersinar garang.

   "Eh, Giam ong, apa kau juga tidak dapat menduga siapa aku?"

   "Sam thouw hud, matamu awas sekali. Biarpun kita belum pernah bertemu muka, sekali pandang saja kau sudah mengenalku. Akan tetapi sebaliknya, jangan dikira bahwa aku pasti tidak dapat menduga apa adanya kau!" Pat jiu Giam ong kini tertawa girang sekali hatinya melihat kedatngan hwesio raksasa yang tadiny disusul dan dipanggil oleh Lam hai Lo mo ini. "Di mana perginya suheng?"

   "Setan tua itu mengambil lain jalan karena ia mencela padaku dan tidak mau jalan bersama, katanya bau keringatku memabukkan! Setan tua itu, tidak ingat bahwa sesungguhnya badan dan keringatnya sendiri yang berbau tengik.Ha,ha,ha!"

   Sam thouw hud lalu kembali menghadapi tujuh orang yang masih mengurungnya.

   "Nah, tujuh ekor kambing ini sekarang apakah masih belum mengenalku?"

   Betapapun juga, Koai kauw jit him adalah tokoh tokoh kang ouw yang ternama dan menduduki tempat tinggi.

   Kini demikian dipandang rendah dan tidak dihargai tentu saja mereka merasa tidak puas dan marah sekali. Mereka sudah pernah mendengar nama Sam thouw hud sebagai tokoh terbesar di Tibet akan tetapi jangankan baru Sam thouw hud, biarpun Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo sendiri tidak berani memandang rendah kepada mereka seperti yang dilakukan oleh Sam thouw hud ini.

   Biauw Ta mengerti bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan sikap permusuhan dengan hwesio tinggi besar ini, akan tetapi setidaknya ia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian Sam thouw hud, maka berani berlagak seperti itu dihadapan dia dan saudara saudaranya, ia lalu menjura kepada hwesio itu dan berkata mengejek.

   "Ah, tidak tahunya Sam thouw hud yang bernama besar dan berkedudukan tinggi. Sudah lama sekali kami mendengar nama besar darimu. Memang betul, nama besar kami Koai kauw jit him adalah nama kosong belaka. Hanya kami bertujuh benar benar ingin sekali menyaksikan apakah nama besar Sam taouw hud betul betul berisi."

   Diam diam Thian Giok yang masih berdiri di sita memandang dengan hati berdebar girang, ia ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan kepandaian Koai kauw jit him yang terkenal itu. Ia tadi sudah merasakan kelihaian orang termuda dari tujuh biruang ini dan kalau kini ketujuh orang itu maju bersama, tentu akan hebat sekali. Akan tetapi, hwesio raksasa inipun agaknya tidak lemah. Kalau mereka bertempur, sedikitnya ia akan dapat menceritakan keadaan dan kekuatan lawan kepada suhunya kelak.

   Sementara itu, ketika Sam thouw hud mendengar ucapan Biauw Ta, lenyaplah senyumnya, ia sudah biasa disanjung sanjung dan dihormati. Kalau yang bicara kasar kepadanya Lam hai Lo mo atau Pat jiu Giam ong yang ia anggap mempunyai tingkat kepandaianyang sejajar dengan dia, itu masih tidak apa.

   Akan tetapi tujuh ekor "cacing cauk" yang masih plonco ini? Ia melirik kepada Pat jiu Giam ong yang mengerti suara hati pendata jubah hitam ini, maka Pat jiu giam ong berkata singkat, "Mereka belum mengenalmu, Sam Thouw hud!" Ucapan ini merupakan pernyataan maaf dari Pat jiu Giam ong untuk tujuh orang itu, maka Sam thouw hud tersenyum lagi. Ia bertanya kepda Biauw Ta.

   "Apakah kau berhak mewakili semua orang ini?"

   "Aku bernama Siauw Ta dan menjadi saudara tertua dari Koai kauw jit him, tentu saja aku berhak," kata Biauw Ta.

   "Hem, kalau begitu kalian bertujuh cobalah kepandaianku.Majulah berbareng dan seranglah aku dengan kaitan kaitan yang bengkok itu!"

   Biauw Ta tidak bermaksud buruk dan memang hanya ingin mencoba kepandaian hwesio yang terkenal ini, maka ia lalu berseru keras memberi tanda kepada adik adiknya, lalu tujuh orang itu dengan berbareng melayangkan siang kauw (kaitan berpasang) menyerang hwesio itu.

   Sam thouw hud membentak nyaring dan tiba tiba tongkat naganya berkelebat merupakan sinar keemasan yang bundar dan lebar sekali, yang berputar di sekelilingnya bagaikan halilintar menyambar. Terdengar suara nyaring sekali berkali kali ketika tongkat ini dengan tenaga yang amat luar biasa menangkis semua kaitan yang jumlahnya empat belas batang itu.

   Suara nyaring ini disusul oleh seruan seruan terkejut dari Koai kaow jit him yang cepat melompat mundur sambil memeriksa senjata masing masing.

   Tenyata bahwa sekali tangkis saja, senjata mereka telah rusak.

   Ada yang bengkok, ada pula yang ujungnya patah dan mereka semua tadi merasa betapa telapak tangan mereka sakti, pedas dan panas. Bahkan telapak tangan kiri Biauw Kai berdarah karena kulitnya lecet lecet.

   Bukan main kagetnya tujuh orang itu. Mereka maklum bahwa hwesio itu benar benar luar biasa lihainya, maka Biauw Ta lalu menjura dengan hormat,

   " Ah, tidak tahunya kepandaian Sam thouw hud jauh lebih tinggi dan tenaganya lebih besar daripada namanya. Kami menyatakan hormat dan takluk. Benar benar menggembirakan dapat bekerja sama dengan seorang yang lihai seperti kau."

   Sam thouw hud tertawa girang. Pujian dan sanjungan merupakan "makanan" bagi Sam thouw hud, maka mendengar ucapan Biauw Ta ini, dia menjadi puas dan berbalik hendak memperlihatkan jasa dan pembelaannya.

   "Mana pemuda yang tidak dapat dikalahkan oleh adikmu tadi?" ia menengok kepada Thian Giok, kemudian dengan langkah lebar ia menghampiri pemuda itu. "Biar aku menangkap nya untukmu."

   Thian Giok terkejut sekali. Kepandaian hwesio raksasa ini benar benar hebat, tujuh orang Koai kauw jit him saja dengan sekali tangkis dapat dikalahkan, apalagi dia. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar, bahkan lalu bersiap dengan pek giok joan pian di tangannya, bersedia untuk bertempur mati matian.

   "Sam thouw hud, jangan mengganggu dia. Dia adalah murid Mo bin Sin kun!" Pat jiu Giam ong mencegah.

   Sam thouw hud menahan langkahnya dan ia berpaling memandang kepada Pat jiu Giam ong dengan mata heran.

   "Murid Mo bin Sin kun? Mengapa ia datang ke sini?"

   "Ia melaporkan kepadaku bahwa murid suheng ini dan puteraku telah menawan murid perempuan dari Mo bin Sin kun dan" bekas murid perempuanku sendiri yang murtad. Akan tetapi ketika kami datang ke sini, kedua orang gadis itu telah lenyap."

   "Ha, ha, ha!" sepasang mata Sam thouw hud bersinar gembira. "Kalian menangkap dua orang gadis cantik? Apakah mereka cantik jelita dan di manakah mereka?"

   Menyaksikan kehebatan kepandaiaa hwesio ini dan mendengar ucapannya, timbul watak yang aneh dari Kui To, maka tanpa disadarinya ia menjawab gembira,

   "Mereka cantik cantik sekali. Akan retapj sayang telah terlepas lagi. Burung burung itu telah terbang entah kemana!"

   Baru saja ia mengucapkan kata kata ini, berobahlah wajah Kui To karena ia teringat bahwa ia telah membuka rahasia yang tadi disangkalnya.

   "Kui To!" Pat jiu Giam ong membentak. "Jadi betul betul kalian telah menawan mereka? Kau jangan main main! Di mana mereka sekarang?"

   Terpaksa Kui To tak dapat menyangkal lagi.

   Dengan muka merah ia lalu berkata,

   "Sesungguhnya, susiok. Aku dan Liem sute tadi bertemu dengan dua orang gadis itu dan bertempur. Kami menang dan berhasil menawan mereka yang kami bawa ke sini....sama sekali bukan dengan maksud buruk. Akan tetapi, baru saja, entah bagaimana, mereka telah lenyap tak berbekas."

   "Awas kalian! Lain kali jangan bertindak sembarangan! Tidak boleh kalian mengganggu mereka karena itu hanya merendahkan nama kita saja."

   Kemudian Jenderal ini berpaling kepada Thian Giok dan berkata kaku, "Pergilah kau!"

   Akan tetapi tentu saja Thian Giok merasa kurang puas.

   "Benarkah mereka telah melarikan diri dan tidak disembunyikan oleh setan cilik ini?"

   "Bangsat, jangan kau sembarangan memaki orang!" bentak Kui To marah. "Aku tidak biasa membohong."

   "Hm, bagus. Tidak biasa membohong, ya? Siapa yang baru saja menyangkal tidak menawan adikku dan nona itu?" Thian Giok menyindir, sehingga muka Kui To berobah merah.

   Pat jiu Giam ong merasa ikut malu.

   "Sudahlah, kau pergi saja. Aku yang menanggung bahwa dua orang gadis itu tidak akan mendapat gangguan dari kami!"

   Thian Giok merasa puas. Di antara semua orang ini, hanya kepada Pat jiu Giam ong saja ia menaruh kepercayaan.

   Dari sikap jenderal ini ia tahu bahwa Pat jiu Giam ong adalah seorang yang angkuh dan menjaga tinggi nama besarnya. Maka ia lalu melompat dan hendak pergi dari situ.

   "Aduh, sayang." Sam thouw hud berkata menyesal. "Sayang kedatanganku terlambat, sehingga ada dua ekor burung indah terlepas begitu saja. Aku juga heran sekali mengapa Pat jiu Giam ong agaknya segan untuk mengganggu murid Mo bin Sin kun!"

   Merahlah wajah Pat jiu Giam ong mendengar sindiran ini.

   "Siapa yang segan? Aku hanya tidak ingin melihat namaku dirusak oleh anak anak ini dan aku tidak mau menyerang seorang tamu di rumah sendiri."

   "Bagus, Liem goantwe benar benar bisa menjaga nama! Akan tetapi dia bukan tamuku. Hai anak muda murid Mo bin Sin kun! Kau bawalah ini kepada gurumu sebagai tanda penantang dari Sam thouw hud!"

   Sambil berkata demikian, hwesio raksasa itu meacabut sehelai bulu kebutannya dan melontarkan nya ke arah Thian Giok yang sudah pergi.

   Perlu diketahui bahwa bulu kebutan itu bukanlah bulu biasa, melainkan bulu benang tembaga. Dengan sambitan yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang sudah amat tinggi tingkatnya ini, bulu yang panjangnya satu kaki ini meluncur bagaikan anak panah ke arah leher Thian Giok. Senjata rahasia macam ini luar biasa berbahayanya, karena tidak menerbitkan suara sedikitpun.

   Thian Giok telah berjalan agak jauh, akan tetapi mendengar kata kata ini, ia maklum bahwa dirinya tentu diserang.

   Ketika ia membalikkan tubuhnya, ia hanya melihat sinar kemerahan berkelebat ke arahnya. Ia terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat, sehingga tiba tiba ia merasa pundaknya sakit dan karena yang terkena tusukan itu adalah jalan darahnya, maka ia terhuyung huyung dan tak ingat diri!

   Pada saat itu, berkelebat bayangan yang cepat sampai tak terlihat oleh pandangan mata.

   Bayangan ini menyambar tubuh Thian Giok dan dibawa pergi bagaikan terbang cepatnya.

   Liem goanswe dan Sam thouw hud saja yang dapat melihat bayangan itu dan kedua orang ini saling pandang dengan penuh keheranan. Gerakan bayangan itu begitu cepat, sehingga biarpun mereka memiliki pandangan mata yang luar biasa, tetap saja mereka tidak dapat melihat wajah dan potongan badan orang itu dengan tegas, Adapun Kui To, Liem Swee dan tujuh Koai kauw jit him sama sekali tidak melihatnya dan hanya mengira bahwa sambitan itu tidak mengenai sasaran dan pemuda yang lari itu dapat melanjutkan larinya.

   Maka Kui To mengeluarkan suara di hidung untuk mengejek Sam thouw hud.

   "Swee ji dan kau Kui To. Mulai sekarang sebelum datang saatnya mengadu kepandaian dengan fihak mereka, aku melarang kalian mencari gara gara lagi."

   Setelah berkata demikian, mereka semua lalu kembali ke rumah gedung Liem goanswe dan di situ mereka melihat Lam hai Lo mo Seng jin Siansu tengah makan minum di ruang depan ditemani oleh Bucuci.

   Mari kita melihat dulu keadaan Sian Hwa dan Lan Giok yang telah lenyap dan kamar tahanan di rumah Liem Swee, Sebetulnya apakah yang telah terjadi atas diri kedua orang nona cantik ini?.

   Ketika Liem Swee dan Kui To sedang memburu keluar dari rumah dan mengejar serta mencari orang yang berani mengintai dari atas genteng, yakni Thian Giok yang sudah melarikan diri menuju ke rumah pat jiu Giam ong, pada saat kedua orang pemuda itu keluar, dari belakang rumah itu melompat bayangan yang amat gesit. Bagaikan sebuah bayangan setan saja tahu tahu ia telah berhadapan dengan kakek penjaga rumah dan sekali ia mengulurkan tangan, kakek itu tertotok roboh dan pingsan.

   Bayangan itu lalu memasuki kamar.

   Karena ia tahu bahwa dua orang pemuda itu takkan pergi lama, maka cepat ia masuk ke dalam kamar setelah lebih dulu meniup padam api lilin dalam kamar itu dari luar pintu. Di dalam gelap, Sian Hwa dan Lan Giok hanya merasa betapa tubuh mereka diangkat orang dan dibawa keluar.

   Kedua orang gadis ini merasa terkejut sekali karena mengira bahwa mereka tentu dibawa oleh Liem Swee dan Kui To yang hendak berbuat tak senonoh, maka diam diam mereka mengerahkan tenaga untuk memberontak dan menyerang pada saat yang memungkinkan mereka begerak.

   Akan tetapi, di dalam kempitan ini, mereka tidak berdaya sama sekali. Alangkah heran mereka ketika berada di luar rumah, melihat bahwa mereka dibawa dalam kempitan lengan kanan kiri dari seorang saja. Mereka tidak sempat melihat wajah orang ini, karena mereka merasa dibawa melompat ke atas dan dibawa berlari cepat sekali bagaikan terbang.

   Sian Hwa dan Lan Giok tidak tahu siapakah orangnya yang telah membawa lari mereka dari dalam rumah itu.

   "Siapakah kau? Lepaskan aku dan buka ikatanku kalau tidak, awas kau!" berkali kali Lan Giok membentaknya, tetapi orang yang mengempitnya itu hanya mengeluarkan suara ketawa ditahan seakan akan merasa geli melihat dan mendengar lagak nona galak ini.

   "Inkong (tuau penolong), lebih baik kau lepaskan kami, sehingga kami dapat berlari sendiri tidak menyusahkan pula kepadamu!" kata Sian Hwa dengan suara halus.

   Mendengar suara gadis ini, berdebarlah hati orang itu. Hal ini dapat terasa oleh Sian Hwa karena kebetulan sekali gadis ini dikempit di lengan kiri, sehingga dada gadis ini merapat dengan dada sebelah, kiri dari orang itu. Sian Hwa merasa betapa dada orang itu berdenyut denyut keras dan tiba tiba ia merasa jari jari tangan yang berada di dekat dengan lehernya itu membelai belai rambutnya.

   Akan tetapi orang itu berlari terus tanpa menjawab, ia terus melarikan diri keluar dari kota raja dan tembok kota raja yang demikian tingginya itu dilompatinya begitu saja.

   Hal ini diam diam mengejutkan hati Sian Hwa dan Lan Giok.

   Melompati dinding tembok kota raja sambil mengempit dua orang, bukanlah pekerjaan yang mudah. Hanya orang yang sudah sempurna ginkangnya saja yang akan dapat melakukan hal ini.

   Orang itu berlari terus dan setelah masuk ke dalam sebuah hutan yang amat gelap, sehingga mereka tak dapat saling memandang muka, orang itu lalu menurunkan Sian Hwa dan Lan Giok. Sekali saja ia merenggutkan kedua tanganya, ikatan tangan Sian Hwa dan Lan Giok putus terlepas. Ke dua orang gadis itu cepat cepat menggunakan kedua tangan untuk melepaskan ikatan kaki mereka. Akan tetapi ketika mereka memandang ke depan, ternyata penolong mereka itu telah lenyap.

   "Aneh sekali, siapakah dia itu, enci Sian Hwa? Manusia atau setankah?"

   "Sst, adik Lan Giok, bagaimanakah kau ini? Ditolong orang, tidak berterima kasih malahan memakinya setan!"

   "Habis, bagaimana aku harus berterima kasih kepadanya? Dia sudah menghilang seperti setan"

   ia menahan kata kata makian ini lagi dan kedua orang gadis itu sampai lama membicarakan keadaan penolong mereka yang aneh itu.

   "Dia kuat sekali, enci Sian Hwa. Tahukah kau bahwa di jalan tadi, kebetulan jari tanganku berada di dekat lambungnya? Karena ia tidak mau melepaskan aku, maka aku tadi lalu menggunakan gerakan pergelangan tangan dan menotok lambungnya agar ia mau melepaskan aku."

   Sian Hwa terkejut sekali. "Ah, kau terlalu betul, adik Lan Giok. Bagaimana kau bisa menyerang orang yang menolong kita?" kata Sian Hwa dengan suara marah.

   "Habis dia mengempitku dengan mukaku di bawah. Dengan kepala tergantung macam itu aku menjadi pening, Ketika aku menggerak gerakkan kepala dan hendak memakinya, ia telah menekan mukaku pada dadanya, sehingga aku sukar bernapas."

   Mau tidak mau Sian Hwa tertawa juga dengan hati geli mendengar keterangan Lan Giok. "Setelah kau totok, lalu dia bagaimana?" tanyanya ingin tahu.

   "Itulah, dia agaknya ahli dalam ilmu menutup jalan darah, ia tidak apa apa, hanya kelihatan geli saja dan tertawa tawa ditahan. Sungguh kurang ajar!"

   "Eh, eh, kau marah lagi! Bagaimanakah kau ini?"

   "Biarpun dia sudah menolong kita, akan tetapi dia berlaku seperti orang setan penuh rahasia. Enci Sian Hwa, terus terang saja aku tidak puas dan penasaran sekail. Ingin aku melihat wajahnya dan ingin aku mengetahui siapakah sebetulnya orang itu."

   "Sudahlah, dia sudah pergi, mengapa ribut ribut? Kepandaiannya amat tinggi dari kalau dia sengaja tidak mau memperlihatkan muka kepada kita, apakah daya kita? Betapapun juga, hatiku selamanya takkan dapat melupakan orang ini, karena kalau tidak ada dia, ah.... bagaimanakah jadinya dengan nasib kita?"

   Diingatkan akan bahaya itu, Lan Giok bergidik dengan hati ngeri. "Sekarang bagaimana baiknya, enci Sian Hwa? Aku belum bertemu dengan engko Thian Giok dan tak mungkin aku meninggalkan dia seorang diri di kota raja."

   "Adikku yang baik. Kurasa tidak sembarangan saja penolong kita itu melepaskan kita di tempat ini. Lebih baik kita menunggu saja di sini siapa tahu kalau kalau ia akan kembali. Dan selain itu, akan berbahayalah kalau kita keluar dari hutan ini, karena tentu dua orang penjahat itu takkan tinggal diam saja dan akan mencari cari kita."

   "Aku tidak takut!" Kata Lan Giok gemas. "Kalau mereka mengejar, akun kuhajar mereka dan kubalas sakit hati ini!" Dengan mata bernyala dan gemas sekali Lan Giok mengepal ngepal tinjunya.

   "Sabar, Lan Giok. Kita harus berlaku cerdik dan jangan menurutkan nafsu hati marah saja. Memang tidak ada alasan bagimu untuk takut menghadapi mereka, karena kepandaianmu setingkat dengan kepandaian mereka. Akan tetapi tidak demikian dengan aku. Aku sendiri juga tidak takut karena apakah arti mati bagi seorang bodoh dan sial seperti aku? Hanya kalau saja kita harus melawan meraka lagi, belum apa apa aku tentu sudah kalah dan kemudian kau dikeroyok lagi yang amat kurang menguntungkan bagimu. Pula, senjata kita sudah tidak ada di tangan. Baiklah kita bersabar dan menanti di sini sampai keadaan menjadi aman, adikku."

   Diam diam Lan Giok merasa terharu mendengar ucapan Sian Hwa yang merendahkan diri ini dan juga ia harus membenarkan pendapatnya, ia merangkul Sian Hwa dan berkata.

   "Sebetulnya kau jangan merendahkan diri seperti itu, enci. Kepandaianmu sudah cukup tinggi. Kalau kau kalah menghadapi bekas suhengmu, bukanlah hal yang aneh dan bukan pula salahmu. Karena tiga tahun kau tidak melanjutkan palajaranmu, sedangkan bekas suhengmu itu terus menerus digembleng oleh ayahnya. Baiklah, kita menanti di sini, sambil beristirahat."

   Menjelang pagi, Lan Giok yang gembira wataknya itu telah dapat menangkap seekor kelinci. Mereka lalu makan daging kelinci panggang yang terasa amat sedap, hanya sayang kurang asin karena di situ tidak ada garam.

   Mereka menanti terus sampai matahari naik dan sinarnya menembusi daun daun pohon. Tiba tiba terdengar kokok ayam hutan yang nyaring sekali.

   "Itu suara engko Thian Giok!"

   Tiba tiba Lan Giok berkata girang. Gadis inipun lalu mengeluarkan suara ayam jantan untuk menjawab suara tadi, lalu mengajak Sian Hwa menuju ke arah suara itu.

   Tak lama kemudian, benar saja mereka bertemu dengan Thian Giok di tengah hutan. Tentu saja Lan Giok dan Thian Giok menjadi girang.

   Ketika Thian Giok melihat Sian Hwa, pemuda ini agak terheran mengapa gadis ini kini dapat bersama dan nampaknya menjadi sahabat baik adiknya. Akan tetapi ia hanya memberi hormat kepada Sian Hwa dan tak berani bertanya.

   "Engko Thian Giok, bagaimana kau bisa tahu bahwa kami berada di sini? Ah, kau tidak tahu betapa aku hampir saja mengalami bencana hebat dalam tangan setan kecil murid Lam hai Lo mo itu."

   Thian Giok tersenyum, "Lan moi, kau kira aku tidak tahu? Aku tahu bahwa kau telah tertawan bersama nona ini dan bahwa kalian dimasukkan dalam kamar rumah Liem Swee."

   Terbelalak mata Lan Giok yang bagus itu memandang kakaknya, lalu ia menarik kakaknya itu duduk di atas batu di bawah sebatang pohon.

   "Ayoh kau lekas ceritakan"! Ia menuntut.

   Thian Giok lalu menceritakan pengalamannya dengan singkat sebagaimana telah kita ketahui semua.

   Kemudian ia menceritakan bahwa ketika ia roboh pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, tahu tahu ketika ia siuman, ia telah berada di tengah hutan ini.

   Luka pada pundaknya karena serangan bulu tembaga itu telah diobati orang dan penolong itu menghilang tanpa memberi kesempatan padanya untuk mengetahui siapa orang nya. Ketika ia siuman, ia telah terbaring di bawah pohon dan di dekatnya terdapat bulu yang melukainya itu, juga corat coret pada tanah yang menyatakan bahwa Lan Giok juga berada di hutan ini.

   Oleh karena itu, maka ia lalu memberi tanda pekik ayam hutan yang dijawab oleh Lan Giok.

   Lan Giok dan Sian Hwa saling memandang. "Ah, tentu dia yang telah menolongmu!" kata Lan Giok. "Tak salah lagi, setan siluman itulah yang telah menolong kita semua!"

   "Lan Giok, apa maksudmu? Setan siluman yang mana?" tanya Thian Giok heran.

   Sedangkan Sian Hwa kembali memandang penuh teguran kepada Lan Giok yang menyebut tuan penolong itu setan siluman!

   "Enci Sian Hwa agaknya telah jatuh hati kepada penolong kita!" kata Thian Giok menggoda.

   "Hush, kau ini ada ada saja, Lan Giok. Jangan kau mempermainkan orang yang telah besusah payah menolong kita. Kau benar benar tak tahu terima kasih!" tegur Sian Hwa.

   Kembali Lan Giok tertawa. "Hati hati enci, jangan kau terlalu mudah jatuh hati, kita semua, juga engko Thian Giok belum melihat mukanya. Siapa tahu kalau dia seorang kakek kakek tua Bangka."

   "Biarpun seorang kakek kakek, tetap saja dia penolong kita yang harus kita hormati!" jawab Sian Hwa.

   "Benar kata nona Sian Hwa," Thian Giok berkata. "Kau memang nakal dan lancang Lan moi."

   "Nah, nah, nah! Sekarang engko Thian Giok membela enci Sian Hwa lagi. Wah, jangan jangan aku dikeroyok tiga dengan penolong aneh itu nanti!"

   "Sudahlah, kau lekas ceritakan pengalamanmu," engkonya menuntut.

   Lan Giok lalu menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh Thian Giok dengan hati tertarik.

   "Benar benar lihai orang itu," akhirnya ia berkata setelah adiknya selesai bercerita.

   "Baiknya Pat jiu Giam ong masih mempinyai sifat jantan, sehingga ia melarang putera dan keponakannya untuk mengganggu kita lagi. Kita sekarang boleh keluar dari hutan dan marilah kita kembali kepada guru kita untuk memberi laporan. Fihak lawan benar benar memiliki banyak sekali orang pandai. Apalagi Sam thouw hud itu benar benar merupakan, lawan berat."

   Mendengar penuturan Thian Giok bahwa Pat jiu Giam ong tidak membolehkan puteranya untuk mengganggunya, diam diam Sian Hwa menjadi lega.

   Ia tidak dapat ikut dengan Lan Giok kini. Setelah diketahuinya bahwa Lan Giok telah bertunangan dengan Bun Sam, ia tidak boleh bersama sama gadis ini. Bagaimana kalau Lan Giok bertamu dengan Bun Sam? Ah, aku tidak boleh bertemu dengan pemuda itu, selama hidupku tidak boleh aku bertemu muka dengan Bun Sam!

   Demikian pikirnya dengan hati hancur. Kalau bukan Lan Giok yang menjadi tunangan Bun Sam, tetapi ia akan membenci Lan Giok dan tidak mau mengalah.

   Akan tetapi terhadap gadis ini ia harus mengalah. Lan Giok lebih pantas menjadi isteri Bun Sam.

   "Enci Sian Hwa, marilah kau ikut dengan kami. Kita berangkat sekarang juga," ajak Lan Giok.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak, adikku yang manis.Kau dan kakakmu pulanglah, aku telah mengambil keputusan untuk tidak meninggalkan kuil San pok thian!"

   "Eh, eh, apa apaan lagi ini? Tadinya kau minta kepadaku supaya mengajakmu bersama. Sekarang tiba tiba kau tidak jadi ikut. Apakah kau malu malu karena ada engko Thian Giok bersama kita?"

   Lan Giok memandang dengan mata terbelalak.

   "Tidak, tidak!" Sian Hwa cepat menjawab "Sama sekali tidak begitu. Mengapa aku harus malu malu? Bukan demikian, hanya aku merasa berat untuk meninggalkan kuil di mana telah dua tahun aku bertempat tinggal di situ, mungkin...."

   Sampai di lini ia menghela napas panjang, "mungkin sekali aku akan masuk menjadi nikouw tulen."

   "Kau....? Menjadi nikouw........?"

   Lan Giok terharu karena ia maklum bahwa hati dara yang cantik ini temu terganggu hebat oleh penderitaan hidup, sehingga ia memutuskan untuk menjadi nikouw.

   Setelah dibujuk bujuk tetap tidak mau, terpaksa Lan Giok dan kakaknya pergi, setelah Lan Giok memeluk Sian Hwa dengan mesra.

   "Enci, kau baik sekali. Aku senang sekali menjadi sahabatmu," kata Lan Giok.

   Basah mata Sian Hwa menghadapi perpisahan ini. Bagaimana. ia boleh bersaing dengan gadis yang baik hati ini dalam menghadapi Bun Sam?

   "Adik Lan Giok, kita bukan sebagai sahabat, melainkan sebagai saudara! Kau adalah adikku yang berhati mulia. Semoga berbahagia hidupmu." katanya setengah berdoa.

   Maka berpisahlah mereka di tempat itu.

   Lan Giok bersama kakaknya kembali menuju ke Sian hwa san dan Sian Hwa kembali ke kuilnya di mana ia disambut oleh para nikouw dengan gembira sekali setelah mendengar bahwa gadis itu menunda kepergiannya.

   Sian Hwa langsung memasuki kamarnya lalu membanting tubuhnya di atas pembaringan dan tak dapat ditahan lagi ia lalu menangis tersedu sedu.

   Alangkah buruk nasibnya. Setelah dipaksa paksa menikah dengan Liem Swee, sehingga ia mengalami penderitaan di dalam kuil ini, setelah ia terpaksa berpisah dari Bun Sam pemuda yang dicintainya karena memang tiada harapan baginya untuk berdekatan dengan pemuda itu, kemudian setelah ia bebas daripada ikatan jodohnya dengan Liem Swee timbul kembali pengha rapannya untuk bertemu dengan Bun Sam, kini ia mendengar bahwa Bun Sam telah bertunangan dengan Lan Giok.

   Ia hidup sebatangkara, sengsara pula, kepada siapakah ia dapat menangis dan minta hiburan? Tidak ada lain jalan yang lebih baik baginya selalu masuk menjadi seorang nikouw!

   Masuk menjadi seorang pendeta wanita yang selama hidupnya tidak menikah, yang mematikan semua hubungan batin dengan dunia luar, yang mengorbankan seluruh kehidupannya semata mata untuk membersihkan batin dan memuja kebesaran Thian.

   "Ayah...." teringat akan ayahnya, ia menjadi terharu dan timbul keinginan hatinya untuk mengunjungi makam ayahnya. Ia hendak bersembahyang dan mohon berkah serta pangestu ayahnya, minta agar roh ayahnya memperkuat batinnya.

   Siapa lagi selain gundukan tanah makam ayahnya yang dapat disambati yang dapat diratapi? Ia segera berpamitan lagi kepada para nikouw untuk mengunjungi makam ayahnya. Sebelum pergi, ia menghadap nikouw kepala yakni pendeta wanita tertua yang diangkat menjadi kepala dalam kuil itu setelah nikouw kepala yang dulu meninggal dunia.

   "Sian Hwa, mengapa kau nampak berduka saja? Apakah yang mengganggu hatimu?" tanya nikouw tua ini yang sudah menganggap Sian Hwa sebagai murid sendiri.

   "Suthai, aku....... aku ingin masuk menjadi nikouw," kata Sian Hwa sambil menahan mengalirnya air matanya.

   Nikouw tua itu nampak tertegun.

   "Sian Hwa, mengapa begitu? Sudah bulatkah hatimu untuk menjadi nikouw? Ataukah hanya karena kau putus asa belaka?"

   "Sudah bulat, suthai. Aku melihat semua jalan hidupku tertutup dan jalan satu satunya yang terbuka lebar hanyalah menjadi seorang nikouw."

   Nikouw itu tersenyum.

   "Mudah saja kau memilih jalan. Ingat, Sian Hwa. Menjadi seorang nikouw harus timbul dari kesadaran jiwa, timbul dari keyakinan bahwa itulah tugas hidupnya. Hanya kalau kau sudah menganggap bahwa menjadi seorang pertapa itulah kewajiban hidupmu, maka kau dapat menjadi seorang nikouw yang baik. Kalau kau masuk dengan terpaksa, hanya terdorong oleh patah hati ataupun kedukaan maka akhirnya kau akan menyesal. Tidak ada kesenangan kekal. Semua itu hanya perasaan yang bergelombang di dalam hati manusia, seperti gelombang air di samudera, sebentar datang, sebentar pergi. Pinni hanya setuju kalau masuk menjadi nikouw karena kesadaran dan keyakinan yang bulat."

   "Teecu sudah yakin, suthai. Sudah yakin betul betul. Baik teecu buktikan!" Setelah berkata demikian, Stan Hwa lalu mengambil sebatang pedang dan dengan pedang itu dipotongnya rambutnya yang panjang dan hitam itu. Kini rambutnya itu hanya sampai sebatas lehernya saja.

   Kalau saja nikouw tua itu belum memiliki ketenangan jiwa dan kekuatan batin, tentu ia akan menjerit saking merasa sayang dan terkejut, ia hanya menggeleng gelengkan kepala saja.

   "Sian Hwa, kau telah melakukan sesuatu yang bodoh. Rambutmu yang indah itu kaupotong dan kau harus bersabar menanti berbulan bulan sebelum rambutmu menjadi panjang dan bagus kembali. Apa kau kira seorang pertapa suci itu dapat diukur dari kepalanya yang digunduli? Tidak, Sian Hwa. Jubah pendeta dan kepala gundul bukanlah ukuran bagi seorang pertapa. Itu hanya merupakan upacara belaka, merupakan tanda bagi mata lahir, tetapi yang penting adalah apa yang nampak di dalam hatinya. Menurut penglihatan pin ni, kalau tidak salah, kau menderita batin karena seorang pemuda. Bukankah demikian?"

   Sepasang mata nikouw tua itu bagaikan sinar gaib menembus mata Sian Hwa dan terus membaca isi
(Lanjut ke Jilid 19)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
hati gadis itu.

   Terhadap nikouw ini Sian Hwa merasa tak perlu menyembunyikan sesuatu, bahkan dengan mengadakan pengakuan ia akan merasa mendapat seorang yang ikut membantu memikirkan keadaannya dan menghiburnya. Sambil menundukkan mukanya, ia berkata,

   "Terima kasih atas segala nasehat tadi, suthai. Sesungguhnya tepat dugaan suthai, apa yang harus teecu sembunyikan? Memang sesungguhnya hati teecu yang lemah dan pikiran teecu yang bodoh ini tergoda dan tertarik oleh seorang pemuda. Teecu... jatuh cinta kepada seorang pemuda. Ah, Suthai.... mohon doamu agar supaya Thian mengampuni dosa teecu dan memper kuat batin teecu yang lemah."

   Nikouw itu tersenyum,

   "Sian Hwa, jatuh cinta bukan merupakan sebuah dosa bagi seorang gadis seperti engkau.

   Kalau mencintai seorang pemuda, mengapa kau menjadi putus asa dan mengambil keputusan untuk menjadi nikouw? "

   Merah seluruh wajah Sian Hwa, akan tetapi biarpun ia merasa amat jengah dan malu ia menjawab juga.

   " Karena.... karena teecu baru saja mendengar bahwa bahwa dia telah bertunangan dengan seorang gadis yang amat teecu sukai dan sayangi!"

   Nikouw tua itu mengangguk angguk. "Hm, kiranya gadis gagah yang kemarin ini datang ke sini bersamamu?"

   Sian Hwa tertegun. Alangkah cerdiknya pendeta wanita ini, pikirnya, ia mengangguk.

   "Betul, suthai. Dia tidak tahu tentang perasaanku terhadap.... pemuda itu dan tanpa disengaja ia menceritakan bahwa ia telah bertunangan dengan pemuda itu. Teecu tidak dapat mencari jalan lain. Pemuda itu memang lebih pantas menjadi suaminya dan.... teecu yang sebatangkara, bodoh ini teecu hanya memuji semoga mereka berbahagia....."

   Biarpun berkata demikian, tak dapat ditahan pula air mata Sian Hwa berlinang.

   Nikouw itu menarik napas panjang.

   "Pinni harus membenarkan jalan pemikiranmu ini. Cinta yang suci tidak bersifat mementingkan diri sendiri. Memang perasaan cintamu yang tadinya hanya ditujukan kepada seorang pemuda itu, lambat laun dapat berobah sifatnya apabila kau sudah menjadi seorang pertapa. Perasaan cinta yang tadinya hanya tertuju kepada seseorang tertentu itu, apabila sudah sadar dan kuat batinmu, dapat diperhalus dan disempurnakan, sehingga berobat menjadi cinta suci yang seharusnya ada dalam batin seorang manusia, tarhadap sesama yang hidup. Cinta itu kelak akan menjadi luas dan agung akan merata terhadap semua orang, tidak hanya terhadap pemuda itu, akan tetapi terhadap apa saja yang kau jumpai di dunia ini. Kalau kau sudah mencapai tingkat seperti itu, kau akan menemui bahagia sejati. Akan tetapi.... tetap saja pinni tidak berani memastikan apakah kau akan kuat menjalaninya, karena jalan ke arah kesempurnaan itu benar benar berat dan tidak mudah."

   "Akan teecu coba, suthai."

   Nikouw itu menggeleng gelengkan kepalanya dan menghela napas. "Baiklah, kau memang berhati teguh dan keras. Akan tetapi biarlah aku memberimu waktu setahun lamanya sebagai masa percobaan. Sebelum lewat satu tahun, pinni takkan menerimamu sebagai nikouw."

   Setelah menerima nasehat nasehat ini, Sian Hwa lalu berangkat menuju ke Tong seng kwan, hendak mengunjungi makam ayahnya, ia telah mengganti pakaiannya menjadi pakaian pendeta kembali, yakni pakaian warna putih yang sederhana, kasar dan berpotongan lebar. Rambutnya yang pendek itu ditutup dengan sehelai pengikat kepala yang berwarna putih pula.

   Ia berangkat pada sore hari itu juga karena ia bermaksud untuk bermalam di makam ayahnya. Biarpun nikouw tua itu mencegahnya, namun ia telah berhati tetap dan berangkat juga membuat nikouw itu menggeleng gelengkan kepala dengan hati penuh rasa iba.

   Baru saja fajar menyingsing yang disambut dengan penuh kegembiraan oleh burung burung pagi dan ayam jantan yang berkokok nyaring pada saat semua orang yang kaya masih meringkuk di dalam, sedang para petani miskin yang rajin mulai berangkat ke tempat pekerjaan nya masing masing, di suatu tanah kuburan yang sunyi dan miskin di sebelah selatan kota Tong seng kwan itu, nampak seorang berpakaian putih telah bersila, di depan sebuah makam, duduk diam tak bergerak dalam keadaan bersamadhi.

   Kalau pada saat sunyi dan masih remang remang itu ada orang melihat bayangan putih di depan makam ini mungkin ia akan menyangka bayangan itu hantu. Memang tak pernah terjadi ada orang mengunjungi makam pada saat sepagi itu.

   Akan tetapi Sian Hwa, bayangan putih ini, semenjak malam tadi telah berada di situ, meratap dan menangis di depan kuburan ayahnya menceritakan semua kesengsaraan hatinya dan mohon doa dan berkah dari arwah ayahnya yang tak diingat lagi bagaimana wajahnya itu. Di depannya mengebul hio (dupa) yang dibawanya dari kuil sehingga tercium bau harum di sekitar tempat itu.

   Hari itu bukanlah hari berziarah, maka tempat itu sunyi saja. Tidak ada orang mengunjungi makam nenek moyang atau keluarganya pada hari itu dan keadaannya benar benar sunyi, setelah bersamadhi semalam lamanya di depan makam ayahnya.

   Sian Hwa mendapat ketenangan batin dan kesunyian itu makin menenangkan hati dan pikirannya.

   Akan tetapi, keliru kalau dikatakan bahwa hari itu sama sekali tidak ada orang mengunjungi makam, karena setelah sinar matahari mulai mengusir embun pagi, nampak sesosok bayangan manusia berjalan perlahan memasuki tanah kuburan itu dan langsung menuju ke makam yang berada di sebelah makam ayah Sian Hwa. Orang ini membawa bungkusan berisi alat alat sembahyang. Melihat seorang wanita berpakaian pendeta sedang berlutut di depan makam di sebelahnya, ia hanya melirik sebentar dan tidak berani mengganggu, bahkan ia berlaku hati hati sekali agar jangan menimbulkan suara berisik yang akan mengganggu nikouw itu. Ia menaruh bungkusan kain di depan makam, membukanya dan mulai mengeluarkan isi nva di depan makam yang hendak disembahyanginya.

   Setelah semua alat sembahyang diatur beres, orang itu lalu mengeluarkan alat pembuat api, akan tetapi alangkah kecewanya ketika ia tidak berhasil mencetuskan api untuk membakar dupa karena bahan bakarnya telah basah, mungkin terkena embun di waktu pagi. Ia menjadi bingung dan melihat nikouw itu telah bergerak tanda bahwa pendeta wanita itu telah selesai bersamadhi, ia lalu menghampiri nikouw itu sambil menjura penuh hormat.

   "Suthai, mohon maaf sebanyak banyaknya kalau teecu mengganggumu. Teecu hendak membakar dupa dan mohon diberi api sedikit."

   Terdengar pekik tertahan dari nikouw itu ketika ia mendengar suara ini. Orang itu mengangkat muka memandang, demikianpun Sian Hwa cepat memutar tubuh memandang. Mereka kini saling pandang, berdiri saling berhadapan, dua pasang mata terbelalak dan tak terasa pula bungkusan hio yang dibawa oleh orang itu terlepas dari pegangannya.

   "Bun Sam".!"

   "Sian Hwa".! Kaukah ini".?"

   Panggilan ini diucapkan dengan berbisik tetapi penuh perasaan dan setelah mengeluarkan ucapan ini, keduanya tetap saja tak bergerak untuk beberapa lama, akan tetapi sepasang mata Sian Hwa segera menjadi basah dan butiran butiran air mata mengalir turun di sepanjang kedua pipinya.

   Sebaliknya Bun Sam seakan akan tidak percaya bahwa "nikouw" yang berdiri di depannya ini benar benar Sian Hwa. Ia merasa seperti dalam mimpi.

   "Sian Hwa".!" Ia melangkah maju dan memegang kedua tangan gadis itu sebelum Sian Hwa dapat mengelak, menggenggam jari jari tangan Sian Hwa dengan mesra dan erat. "Sian Hwa....apakah yang terjadi...? Mengapa kau tiba tiba memakai pakaian pendeta seperti ini.....?? Dan.... mengapa pula kau berada di Sini? Bersembahyang di depan kuburan ini? Sian Hwa, kekasihku, orang yang selama ini tak pernah meninggalkan lubuk hatiku, kenapakah kau? Kenapakah kau? Mengapa mukamu pucat, mengapa kau menangis, mengapa kau berpakaian seperti ini dan mengapa kau berada di sini? Sian Hwa, bagaimana keadaanmu? Ceritakanlah, ceritakanlah!"

   Pertemuannya dengan Bun Sam di kuburan ayahnya, benar benar membuat Sian Hwa merasa terkejut, bingung dan terharu sekali. Apalagi ketika Bun Sam memeluknya erat erat dan menghujaninya dengan pertanyaan pertanyaan yang diucapkan dengan suara menggetar penuh perhatian, penuh kasih sayang dan penuh iba hati, gadis ini tak dapat menahan mengucurnya air mata lagi. Ia memeramkan matanya, sepenuh hatinya berhasrat ingin membalas pelukan pemuda itu, ingin menyatakan kegembiraannya, kegirangan hatinya dan cinta kasihnya, tetapi ia menggigit bibir dan menggeleng geleng. Dengan air mata menderas menuruni kedua pipinya ia hanya dapat berbisik perlahan,

   "Bun Sam" tidak" Bun Sam, jangan"" biarpun mulutnya berkata demikian, namun ia menjatuhkan kepalanya di atas dada pemuda itu dan untuk beberapa lama ia hanya menangis sedih dibelai belai rambutnya oleh Bun Sam dengan penuh kasih sayang. Kesadarannya membisikkan agar supaya ia menjauhkan diri, agar ia memberontak, karena hal itu benar benar tidak boleh, akan tetapi dalam saat itu, Sian Hwa tak dapat menurutkan kata hatinya ini. Ia telah menjadi lemah dan kalau tidak bersandar kepada Bun Sam mungkin ia telah jatuh pingsan!

   "Sian Hwa, kekasihku, marilah kita berbicara dengan tenang. Kita sudah bertemu kembali, hal ini bukankah menggembirakan sekali?"

   Bun Sam yang sudah dapat menekan keharuan hatinya itu kini berbicara dengan suara gembira sambil menepuk nepuk bahu nona itu.

   Tetapi Sian Hwa yang sementara itu juga telah dapat menenteramkan hatinya, tiba tiba merenggut kan tubuhnya dan melepaskan dirinya dari pelukan Bun Sam. Ia harus pandai bermain sandiwara pikirnya.

   Pemuda ini sendiri belum tahu bahwa dia telah bertunangan dengan Lan Giok, demikian ia mendengar dari Lan Giok. Oleh karena itulah maka Bun Sam masih bersikap manis kepadanya, masih berani menyatakan cintanya.

   Ah, tadinya ia sudah bosan hidup dan ia hanya masih ingin hidup karena adanya pemuda ini di dunia. Tetapi sekarang, ia rela menjadi nikouw agar ia jangan sampai menghalangi perjodohan Bun Sam dengan Lan Giok. Ia harus berpura pura tidak menaruh hati lagi kepada pemuda ini.

   Dengan menekan gelora batin sendiri, Sian Hwa lalu mengusap air matanya dengan ujung penutup kepalanya yang terbuat daripada kain kasar berwarna putih itu, lalu memaksa tersenyum sambil memandang kepada Bun Sam.

   "Song taihiap," katanya dengan suara masih agak gemetar, "aku senang sekali bertemu dengan kau setelah berpisah beberapa tahun ini. Aku.... aku, kau lihat sendiri, taihiap, aku telah menjadi seorang nikouw. Harap kau suka mengingat kedudukanku sebagai seorang pendeta dan janganlah kau membicarakan urusan lama." Ia tersenyum lagi. Setelah berbicara, ternyata mendengar kata katanya sendiri ini, hatinya dapat tenteram dan tetap. Ia melihat betapa pemuda itu menatap wajahnya seakan akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri.

   "Taihiap, kau tadi bertanya mengapa aku berada di sini? Aku bersembahyang, menyembahyangi makam Ayahku," ia menuding ke arah kuburan Ayahnya. "Dan kau....... apakah yang kau lakukan di tempat ini?"

   Akan tapi, mendengar ucapan ini, Bun Sam makin terbelalak kedua matanya dan pemuda ini seakan akan melihat setan di tengah hari. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, mukanya menjadi pucat dan alangkah heran hati Sian Hwa ketika melihat mata pemuda itu mulai menitikkan butiran butiran air mata yang mengalir turun di sepanjang kedua pipinya.

   "Sian Hwa"." akhirnya pemuda itu bisa juga mengeluarkan kata kata, akan tetapi ia menelan ludah dan tak dapat melanjutkan kata katanya.

   "Taihiap, kau". kenapakah kau? " tanya Sian Hwa dengan hati berdebar.

   "Sian Hwa, jadi kaukah "..? Kau puteri dari Can kauw itu? Kaukah Can Sian Hwa,...? Ya Thian yang Maha Adil! Jadi kaukah anak itu....?" Tiba tiba Bun Sam menjatuhkan diri berlutut di depan makam ayah Sian Hwa dan berkata,

   "Can pek pek, ampunkan mataku yang sudah menjadi buta. Puterimukah gerangan dia ini.....?"

   "Taihiap, apakah artinya semua ini?" Sian Hwa ikut berlutut dan memandang kepada pemuda itu dengan bingung dan khawatir kalau kalau pertemuan ini telah membuat pemuda itu menjadi berobah pikirannya dan menjadi gila.

   Bun Sam menoleh kepadanya, lalu bagaikan seorang gila, pemuda itu menubruk dan memeluknya.

   "Sian Hwa....Sian Hwa....pantas saja aku merasa seperti pernah mendengar nama ini".! Ah, kekasihku, bidadariku...."

   Sian Hwa benar benar menjadi bingung sekali. Dipeluk pundaknya oleh sepasang lengan yang kuat dan yang sering kali diimpikan itu mendatangkan rasa bahagia yang luar biasa, tetapi ia melawan perasaan ini. Ia mencoba untuk melepaskan diri, tetapi ia tidak kuasa melawan tenaga Bun Sam yang amat kuat.

   "Taihiap, lepaskan aku.....!" Apakah artinya semua ini? Kenalkah kau dengan mendiang ayahku?"

   "Kenal? Ah, Sian Hwa. Kenal, katamu?"

   Ayahmu justeru tewas karena menolongku ketika aku masih kecil. Tanpa pertolongan ayahmu, tidak akan ada Bun Sam yang hari ini berhadapan muka dengan kau! Akupun baru saja mendapat keterangan bahwa di sinilah letaknya kuburan ayah ibuku dan juga kuburan Can pek pek penolongku!"

   Bukan main kaget dan terharunya hati Sian Hwa.

   "Kau harus menjawab dulu apa artinya semua ini, Mengapa kau berpakaian seperti ini dan apakah yang sebetulnya telah terjadi denganmu. Bagaimanakah dengan..... dengan perjodohanmu yang dulu itu? Apakah kau" disia siakan oleh Liem Swee?" Kata kata ini terdengar penuh kegemasan.

   Kembali Sian Hwa teringat akan keadaannya, teringat bahwa biarpun kini tiada halangan baginya untuk berjodoh dengan pemuda pujaan hatinya ini, namun hal itu tidak mungkin. Di sana ada Lan Ciok yang telah ditunangkan dengan Bun Sam. Maka teringat akan semua ini, ia meronta dan melepaskan diri dari pelukan Bun Sam, lalu bangkit berdiri dan mundur tiga langkah.

   "Taihiap, jangan kau bersikap seperti itu, ingat, aku telah menjadi seorang nikouw. Aku bukanlah Sian Hwa yang dulu lagi!" Suaranya menjadi dingin kembali, sungguhpun wajahnya amat muram dan tanpa disadarinya meleleh dua titik air mata kembali membasahi pipinya.

   "Sian Hwa, tak perlu kau berpura pura. Kemarin dulu kau masih seorang gadis biasa, mengapa sekarang berpura pura berpakaian seperti ini?"

   Sebelum Sian Hwa dapat mencegahnya, pemuda itu telah menggerakkan tangan dan terbukalah penutup rambut gadis itu. Sian Hwa kaget sekali dan buru buru hendak menutup kepalanya lagi. Juga Bun Sam, kaget melihat rambut gadis itu telah dipotong hingga leher.

   "Sian Hwa, mengapa kau melakukan hal yang gila ini? Mengapa kau memotong rambutmu? Kemarin malam rambutmu masih panjang dan pakaianmu masih biasa saja. Katakan, mengapa?"

   Sian Hwa memandang tajam.

   "Bagaimana kau bisa tahu? Kita telah berpisah tiga tahun lamanya."

   Bun Sam tersenyum dan kembali tangannya menyambar dan kini tangan gadis itu telah digenggamnya.

   "Betapapun juga, aku tahu bahwa kemarin dulu keadaanmu masih biasa, tidak seperti sekarang. Aku melihatmu bersama Lan Giok gadis centil itu!"

   Terbelalak Sian Hwa memandang kepada pemuda ini.

   "Jadi... kaukah gerangan orang itu? Kaukah yang telah menolong kami dan menolong Thian Giok?"

   Bun Sam mengangguk dan hanya tersenyum.

   "Nah, sekarang katakanlah, mengapa kau tiba tiba saja berobah menjadi seperti ini."

   Sian Hwa menjadi makin bingung. Pemuda ini sekarang ternyata telah menjadi seorang yang lihai sekali dan tinggi ilmu kepandaiannya, ia merasa girang memikirkan ini.

   Akan tetapi tak mungkin ia mengaku terus terang. Sebaliknya, melihat pemuda ini amat bernafsu untuk mengetahui jelas segala hal, agaknya sukar pula baginya untuk menutup mulut, ia harus diberi waktu untuk berpikir.

   "Kau berceritalah dulu tentang keadaan ayah, tentang pertemuanmu dengan ayah, tentang semua pengalamamu, tentang.... pendeknya tentang dirimu, taihiap."

   Bu Sam tersenyum lagi. "Aku takkan mau bercerita kalau kau menyebut taihiap kepadaku." Senyum dan pandangan mata pemuda itu membuat Sian Hwa menjadi makin bingung lagi.

   "Habis, harus panggil apa?"

   "Dahulu kau selalu menyebut namaku saja, mengapa sekarang kau tambah tambahi dengan sebutan taihiap segala. Ditambah koko misalnya masih baik, akan tetapi taihiap? Tidak, aku tidak mau kau menyebutku seperti kita ini tak saling kenal saja."

   "Akan tetapi... ingat, pinni adalah seorang nikouw".."

   Bun Sam tak dapat menahan gelaknya, ia merasa geli dan lucu sekali mendengar Sian Hwa menyebut "pinni" kepada dirinya sendiri, sebutan yang sering kali diucapkan oleh para nikouw untuk memanggil diri sendiri. Melihat pemuda itu tertawa geli makin bingunglah Sian Hwa.

   "Adikku yang baik, kau hanya berpura pura menjadi nikouw. Apakah kaukira aku tak tahu? Kemarin kau masih seorang gadis biasa, sama sekali bukan nikouw. Tak dapat kau membohongi aku."

   "Taihiap...."

   Sian Hwa menahan kata katanya melihat pandangan mata Bun Sam.

   "Aku tidak bohong kepadamu, aku memang sungguh sungguh berniat masuk menjadi nikouw. Kau boleh tanya kepada nikouw kepala di kelenteng Sun pok thian. Akan tetapi, soal sebutan itu....biarlah kalau kau tidak suka, aku tetap menyebut namamu saja. Sekarang kau berceritalah."

   Dua orang muda itu lalu duduk di depan makam saling berhadapan dan berceritalah Bun Sam tentang Can Goan atau Can kauwsu, ayah Sian Hwa, ia menuturkan betapa kedua orang tuanya tewas di tangan pasukan Ang bi tin dan betapa kemudian ia dikejar kejar dan hampir saja tewas pula dalam tangan gerombolan kejam itu kalau saja tidak ada Can kauwsu yang menolongnya.

   "Ketika aku disuruh lari ayahmu, dia berpesan agar supaya aku suka membawa puterinya yang bernama Sian Hwa. Akan tetapi aku sendiri tidak berdaya karena akupun hampir saja mati dalam tangan Ang bi tin."

   Ia lalu menuturkan lebih lanjut betapa kemudian ia terluka dan akhirnya tertolong oleh Yap Bouw si gagu, Sian Hwa mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika ia mendengar tentang ayahnya yang tewas ketika menolong Bun Sam, tak terasa lagi ia menangis terisak isak.

   "Dan ibu". bagaimana dengan ibuku.......?" Akhirnya ia bertanya penuh harapan.

   "Ibumu? Setahu dan seingatku, ayahmu hanya tinggal dengan kau berdua saja dalam rumahnya. Ayahmu menjadi guru silat dan bersahabat baik dengan ayahku maka aku tahu keadaaaaya.Ayahmu telah.menjadi duda ketika tewas oleh barisan Ang bi tin dan kalau aku tidak salah. Ingat, dulu pernah ayahmu bercerita kepada ayah bundaku bahwa ibumu memang telah meninggal dunia semenjak kau masih kecil sekali."

   Sian Hwa kecewa, akan tetapi ia menarik napas lega. Baiknya ibunya tidak menjadi korban barisan Ang bi tin yang kejam.

   Sayang aku sendiri tidak melihat siapa orangnya yang telah menewaskan ayahmu, karena pada waktu itu ayahmu menghadapi keroyokan banyak orang, yakni gerombolan Ang bi tin itu.

   "Aku tahu!" kata Sian Hwa perlahan, "dan dia sudah tewas. Dia adalah Ngo jiauw eug Lui Hai Siong yang mengakui perbuatannya sebelum mati."

   Kemudian, atas permintaan Sian Hwa, Ban Sam melanjutkan penuturannya tentang dirinya sendiri dan akhirnya menuturkan semua riwayatnya, kemudian sambil memandang mesra, ia berkata.

   "Sian Hwa, sekarang tibalah giliranmu untuk menuturkan keadaanmu, terutama sekali mengenai halmu dengan Liem Swee dan mengenai kelakuanmu yang aneh ini, yang tiba tiba ingin menjadi nikouw."

   Sian Hwa memandang ke atas. Matahari telah naik tinggi dan alangkah cepatnya waktu berjalan selama ia duduk berhadapan dengan Bun Sam mendengarkan penuturan pemuda pujaan hatinya itu. Betapapun juga, ia harus menuturkan keadaan nya selama ini kepada Bun Sam.

   "Apakah yang harus kuceritakan kepadamu? Tidak ada apa apa yang menarik, semua kejadian yang menimpa padaku serba menyebalkan dan membosankan."

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia menghela napas panjang.

   "Kasihan kau Sian Hwa. Semuda dan secantik ini harus mengalami segala macam kepahitan hidup. Ah, ingin sekali aku dapat membela dan melindungimu selamanya, makin cepat makin baik."

   Merahlah wajah Sian Hwa mendengar ucapan yang mengandung penuh arti ini. Ia tidak berani langsung menatap pandangan mata pemuda itu karena betapapun ia berpura pura, sinar matanya takkan dapat menyembunyikan perasaan hatinya. Ia lalu cepat cepat menuturkan pengalamannya.

   "Tidak ada yang menarik," katanya sekali lagi, "Semenjak kecil aku dipelihara oleh Bucuci dan dianggapnya sebagai anaknya sendiri.. Aku dimanja, diberi apa saja yang kukehendaki, pendeknya, aku menerima banyak sekali dari ayah bunda angkatku itu. Akan tetapi setelah dewasa, aku membalas budi mereka itu dengan pendurhakaan. Aku berkeras tidak mau dijodohkan dengan Liem Swee bekas suhengku, sehingga terjadi ribut ribut di dalam rumah ayah angkatku. Kemudian aku meninggalkan rumah dan tinggal di dalam kuil Sun pok thian, bersama ibu angkatku sampai dia meninggal dunia. Nah, hanya itulah. Karena aku takut kalau kalau selalu diancam oleh bekas guru dan suhengku, aku mengambil keputusan masuk menjadi nikouw!"

   "Kasihan kau, Sian Hwa. Kalau begitu, marilah kau pergi saja dengan aku. Mari kita bersama menjelajah dunia ini, suka sama dirasa, duka sama diterima. Aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku. Kau tahu aku cinta kepadamu, Sian Hwa dan di samping itu ada pula dorongan kuat dari keinginanku hendak memenuhi pesan mendiang ayahmu, hendak kubalas budi pertolongannya itu melalui kau. Marilah dan di sampingku, kau tak usah takut kepada si apapun juga. Kalau perlu, ayah angkatmu dan Pat jiu Giam ong akan ku tentang!"

   Sian Hwa terpaksa memeramkan matanya dan menggigit bibirnya. Alangkah indahnya kata kata itu, alangkah mesra dan merdunya. Telah ribuan kali ia mengimpikan kata kata seperti ini akan keluar dari bibir Bun Sam. Ah, kalau saja di sana tidak ada Lan Giok yang sudah menjadi tunangan Bun Sam, kalau saja tunangannya itu bukan Lan Giok yang disayangnya, kalau....kalau! Sian Hwa menguatkan hatinya dan melempar jauh jauh lamunan lamunan kosong ini.

   "Tidak, Bun Sam. Tidak bisa, tidak mungkin!" Ia berkata sambil menggelengg gelengkan kepalanya dengan wajah sedih.

   "Apakah kau takut kepada bekas garumu?"

   "Bukan, bukan itu."

   "Apakah karena kau masih ada ikatan pertunangan dengan Liem Swee?"

   Bernyala sinar mata gadis itu.

   "Tidak ada ikatan apa apa lagi. Aku dengan dia sudah putus!"

   "Kalau begitu, mengapa kau bilang tidak bisa dan tidak mugkin? Sian Hwa, katakan saja terus terang, mengapa kau tidak mau pergi bersamaku menempuh hidup baru?"

   Wajah pemuda yang tadinya berseri itu kini mulai nampak muram dan berduka. Perih rasa hati Sian Hwa. Ia tahu betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya dan ia merasa amat terharu. Akan tetapi, tidak bisa ia merampas pemuda ini dari Lan Giok. Gadis itu demikian gagah dan demikian mulia dan berbudi. Ia merasa malu dan rendah kalau harus merampas tunangan orang, apalagi tunangan Lan Giok, sungguhpun ia merasa yakin bahwa sekali ia mengulurkan tangan, tentu pemuda itn akan memilihnya.

   "Tidak apa apa, Bun Sam. Tidak apa apa, hanya tak mungkin. Sudahlah, aku hendak kembali. Selamat tinggal." Gadis ini lalu melangkah pergi meninggalkan Bun Sam.

   Pemuda itu tertegun dan untuk sesaat tak dapat berkata sesuatu. Wajahnya pucat sekali. Melihat betapa tubuh gadis itu pergi dengan tindakan terhuyung huyung, ia melompat dan sekali saja ia tergerak melompat, ia telah berada di depan Sian Hwa. Ia melihat betapa gadis itu pergi dengan air mata mengucur deras. Serta merta di pegangnya kedua tangan gadis itu dengan erat dan Sian Hwa menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandangan matanya.

   "Jangan menahan aku, Bun Sam. Lepaskan aku pergi "." bisiknya.

   "Tidak, tidak! Demi Tuhan, kau takkan kulepaskan lagi sebelum kau mengaku mengapa kau berlaku segila ini! Sian Hwa, aku tahu kau suka kepadaku bahwa hatimu mengatakan kau akan suka ikut bersamaku. Akan tetapi kau memaksa menyangkal suara hatimu sendiri. Kau memaksa diri meninggalkan aku. Mengapa?"

   Sian Hwa hanya menggeleng gelengkan kepalanya dan air matanya makin menderas. Bagaimana ia harus mengaku?

   "Sian Hwa, apakah... apakah kau tidak suka kepadaku?"

   Dengan cepat Sian Hwa mengangkat mukanya dan sinar matanya yang tajam menatap wajah pemuda itu merupakan jawaban yang jelas. Tetapi mulut gadis ini tidak dapat mengatakan sesuatu. Bagaimana ia dapat mengatakan cinta kalau hatinya sudah bulat hendak melepaskan pemuda ini, pemuda yang sudah menjadi tunangan Lan Giok?

   "Bun Sam aku, aku sudah menjadi nikouw jangat kau bicarakan urusan itu...." Jawabannya menyimpang daripada pertanyaan pemuda itu.

   "Itu bukan alasan! Kalau belum menjudi nikouw kau hanya berpura pura untuk menyingkirkan diri dari ku Sian Hwa, aku bersumpah takkan melepaskanmu lagi. Kalau perlu aku akan menggunakan kekerasan untuk membawamu pergi bersamaku. Aku takkan membiarkan kau hidup mendirita sengsara lagi. Kau berhak hidup bahagia bersamatku!" Akan tetapi"." sampai di sini suara Bun Sam merendah,"tentu saju aku takkan berani mengganggumu kalau... kalau kau mengaku bahwa kau tidak cinta kepadaku. Aku takkan mengganggu padamu lagi. Nah, katakanlah satu antara dua, kau cinta kepadaku atau tidak? Kalau kau mencintaiku, apapun yang menjadi penghalang akan kuhancurkan dan kau harus pergi bersamaku, mencari bahagia. Sebalik nya kalau tidak mencintaiku". aku akan pergi, Sian Hwa."

   Bukan main bingungnya hati gadis ini. Ia telah berkorban rela melepaskan pemuda ini kepada Lan Giok, rela pula selama hidupnya menjadi seorang pendeta wanita.

   Akan tetapi.... alangkah beratnya kalau ia harus mengaku bahwa ia tidak mencintai pemuda ini!

   Karena cintanya kepada Bun Sam ia sampai menolak kehendak ayah angkat nya, menolak dijodohkan dengan Liem Swee.

   Karena cintanya kepada Bun Sam, ia sampai rela meninggalkan kehidupan mewah dan dimanja di rumah Bucuci, rela hidup sengsara sampai tiga tahun lamanya di dalam kuil. Dan sekarang... ia harus mengaku bahwa ia tidak mencintai pemuda itu.

   Bagaimana bibirnya dapat mengucapkan kata kata yang jauh berlawanan dengan suara hati dan jiwa nya ini? Biar ia dipaksa paksa dan dipukul sampa mati, bibirnya takkan kuasa mengucapkan kata kata ini.

   SAMBIL terisak gadis ini lalu melangkah ke depan menghindari tubuh Bun Sam yang menghadang di depannya dan iapun lalu berlari lari sambil menangis.

   Tetapi Bun Sam yang merasa penasaran, kecewa dan berduka itu sekali melompat saja kembali sudah menghadang di depannya dan kini pemuda itu memegang kedua pundak Sian Hwa. Ia memaksa gadis itu memandangnya dan dengan sinar mata tajam penuh selidik ia menatap wajah Sian Hwa.

   

Rajawali Hitam Eps 13 Pedang Naga Kemala Eps 15 Pedang Naga Kemala Eps 9

Cari Blog Ini