Pedang Sinar Emas 16
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Katakanlah Sian Hwa. Tak usah panjang panjang, kau singkat saja. Kau mencintai padaku, ya atau tidak Kalau berat lidahmu bicara, kau menjawab dengan geleng atau angguk saja. Satu kali anggukan sudah cukup bagiku. Sian Hwa kasihanilah aku, tak tahukah kau betapa hatiku perih sekali menanti keputusan jawabanmu ini?"
Sian Hwa menggigit bibirnya yang menggigil seperti orang kedinginan. Ia menelan ludah beberapa kali sementara otaknya berpikir cepat. Kemudian ia berkata perlahan.
"Bun Sam, aku minta waktu. Tidak dapat ku jawab sekarang, Bun Sam. Kau". kau berilah waktu sehari kepadaku. Besok pagi datanglah di kuil Sun pok thian dan di sana aku akan memberi jawabanku. Harap kau suka bersabar dan tidak memaksaku, Bun Sam...."
Pemuda ini nampak puas. la tidak ragu ragu lagi bahwa Sian Hwa pasti akan memberi jawaban yang sudah lama diidam idamkannya, yakni bahwa gadis itu mencintainya dan bersedia pergi bersamanya! Ia tahu betul bahwa gadis ini masih mencintainya dan tentu saja sebagai seorang gadis, malulah Sian Hwa untuk mengaku cinta di tengah jalan! Biarpun di situ tidak ada orang lain.
Ah, mengapa aku begini terburu nafsu dan bodoh sekali? Kembali timbul senyuman manis di bibir pemuda itu ketika ia melangkah ke samping, memberi jalan kepada Sian Hwa.
"Sian Hwa, pergilah. Aku takkan mengganggu mu, biarlah besok pagi aku datang mengunjungi mu di kuil Sian Hwa menatap wajah pemuda itu sampai lama. Ia tahu bahwa inilah pertemuan terakhir dan untuk akhir kalinya ia berkesempatan memandang wajah pemuda yang dicinta nya itu. Tak terasa pula ia memegang kedua tangan Bun Sam, bibirnya bergerak gerak tanpa mengeluarkan suara, kemudian ia melepaskan pegangannya dan berlari cepat menuju ke kuil!
Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali Bun Sam berada di depan kuil. Ia mengenakan pakaian yang bersih dan merasa seakan akan seorang pemuda hendak mengajukan pinangan pada seorang gadis. Hatinya berdebar debar dan mukanya merah. Jengah dan malu juga ia, bukan terhadap Sian Hwa, melainkan terhadap para nikouw di dalam kuil itu!
Ia tidak mau masuk, karena tidak ingin membuat Sian Hwa merasa sungkan dan malu. Ia hendak menunggu saja di depan kuil, menanti gadis itu keluar. Tak ada kesabaran di dunia ini yang melebihi kesabaran hati seorang pemuda menanti kekasihnya. Akan tetapi, setelah berjam jam ia menanti dan matahari telah naik tinggi, belum juga nampak gadis idamannya itu keluar. Ia mulai merasa tak enak. Dilihatnya beberapa orang nikouw membersihkan halaman depan den asap hio mulai mengepul di meja sembahyang di ruang depan.
Akhirnya Bun Sam melangkah masuk ke ruang depan itu. Ia disambut oleh beberapa orang nikouw yang memandangnya dengan heran. Pemuda ini nampaknya tidak seperti orang hendak bersembahyang.
"Maafkan teecu kalau teecu mengganggu," kata pemuda itu setelah menjura dengan hormatnya. "Teecu mohon bertemu dengan nona Can Sian Hwa."
Nikouw nikouw itu memandang penuh perhatian. "Apakah sicu bernama Song Bun Sam?" tanya seorang di antara mereka, Bun Sam mengangguk membenarkan dan wajahnya berseri. Agaknya kekasihnya telah berpesan kepada para nikouw ini, pikirnya.
"Ketua kami telah berpesan agar supaya kalau sicu datang sicu suka menghadap dia di ruang tamu. Mari ikut dengan pinni."
Dengan hati dak dik duk Bun Sam mengikuti nikouw itu ke ruang tamu. Mengapa ia dipanggil oleh ketua kuil? Hatinya mulai tidak enak. Jangan jangan Sian Hwa mengambil keputusan untuk terus menjadi nikouw dan kini ketua itu hendak menasihatinya agar ia jangan mengganggu gadis itu lagi.
Ketua kuil yang menerimanya adalah seorang nikouw tua yang berwajah putih, kelihatan tenang dan sabar sekali. Setelah Bun Sam memberi hormat, nikouw itu mempersilahkan nya duduk di atas bangku dan memberi isyarat agar nikouw yang mengantar Bun Sam masuk tadi meninggalkan mereka.
"Sicu, kau datang tentu hendak mencari Sian Hwa, bukan?"
Bun Sam mengangguk.
"Pinni tidak dapat memberi tahu sesuatu kepadamu, sicu, karena agaknya segala hal telah tertulis di dalam suratnya. Inilah surat itu, ia minta kepada pinni untuk menyampaikan sendiri kepadamu."
Setelah berkata demikian nikouw itu mengeluarkan sesampul surat dan memberikannya kepada Bun Sam dengan tangan tenang, Bun Sam sebaliknya menerima dengan tangan gemetar.
Tak sabar lagi hati pemuda ini maka segera dibukanya surat itu. Ternyata isinya hanya empat baris sajak pendek saja yang ditulis oleh tangan yang gemetar, namun bentuk tulisan itu halus dan indah sekali.
Bun Sam tak dapat mengerti dengan sekali baca saja dan setelah membaca tiga kali ia lalu berkata kepada nikouw tua yang memandangnya dengan mata mengandung iba hati.
"Suthai, di mana dia?"
"Dia sudah pergi, sicu."
"Ke mana?"
"Siapa dapat mengetahui ke mana seekor Bi hong (burung hong yang cantik) terbang pergi?"
Bun Sam menundukkan mukanya dan menjadi makin bingung. Kata kata nikouw ini yang menyebut Bi hong kepada Sian Hwa, benar benar secara kebetulan cocok dengan bunyi sajak itu. Ia lalu menjura dan berkata,
"Sekali lagi teecu mengganggu. Bilakah dia pergi?"
"Malam tadi."
"Malam tadi turun hujan...."
Nikouw itu mengangguk. "Di dalam hujan ia terbang pergi."
Bun Sam mengeluh. "Ah, Sian Hwa".. " Kemudian ia menjura lagi sambil mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar dari kuil itu.
Bun Sara berlari cepat, tak tentu arah dau tujuan. Setelah jauh dari kuil, ia duduk di bawah sebatang pohon dan mengeluarkan surat dari Sian Hwa tadi. Ia membukanya dan membaca berkali kali:
"Han ya (burung goak) merindukan
Sin liong (Naga sakti) di angkasa raya,
Terbang di samping Bi hong (Burung
Hong cantik) dengan megahnya.
Mana bisa Han ia berjodoh dengan
Sin liong perkasa?
Hanya Bi hong jelita itulah
patut jadi jodohnya!"
Berkali kali Bun Sam membaca sajak ini, tetapi tetap saja artinya masih gelap baginya. Biarpun nikouw tua tadi mungkin secara tidak disengaja menyamai sebutan dalam ajak, telah menyebut Sian Hwa sebagai seekor burung hong cantik (bi hong), tetapi melihat bunyi sajak ini, sudah terang bahwa Sian Hwa menganggap dirinya sendiri sebagai seekor burung goak.
Burung goak menjadi sindiran bagi seorang yang buruk rupa dan tidak disukai orang, sebagai burung yang dianggap paling rendah. Terang gadis itu merendahkan diri sekali.
Dengan kata kata Sin liong atau Naga sakti mungkin sekali dimaksudkan dia. Di sini ternyata bahwa gadis itu benar benar mencintainya, karena disebutkan bahwa Sian Hwa sebagai Goak merindukan dia sebagai Sin liong!
Akan tetapi baris baris selanjutnya benar benar ia tidak mengerti maksudnya.
"Terbang di samping Bi hong dengan megahnya. Siapakah Bi hong? Siapakah Burung Hong cantik yang dimaksudkan oleh Sian Hwa itu? Tentu seorang wanita, tetapi siapakah? Kemudian, baris ke tiga dan ke empat menyatakan bahwa Sian Hwa menganggap dirinya sendiri tidak berharga untuk menjadi jodoh Bun Sam dan menyatakan bahwa Bi hong itulah yang patut menjadi jodohnya!.
Buu Sam menggaruk garuk kepalanya. Sian Hwa merasa cemburu! Sungguh heran sekali. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh Sian Hwa? Terang bahwa gadis itu hendak mengalah terhadap wanita yang diumpamakannya sebagai Burung Hong.
"Ah, Sian Hwa, mengapa kau tidak mau berterang terang saja?" kata Bun Sam sambil menyimpan surat itu. "Mengapa kau meninggalkan aku?"
Ia bangkit berdiri lalu berlari lari dengan niat mencari Sian Hwa sampai dapat. Betapapun juga, Sian Hwa telah menyatakan cintanya dalam surat itu dan ini sudah cukup baginya untuk mencari gadis itu sampai dapat, kemudian minta ia mengaku sejujurnya!
"Sian Hwa, kekasihku...." beberapa kali Bun Sam mengeluh sambil mempercepat larinya.
Tiba tiba ia teringat akan sesuatu dan menahan kakinya. Ah, mengapa dia begitu bodoh? Tanpa disadarinya lagi Bun Sam menempeleng kepalanya sendiri. Ketika ia menolong Sian Hwa dari tawanan Liem Swee dua hari yang lalu, Sian Hwa berada bersama Lan Giok.
Mengapa ia tidak akan mengorek rahasia ini dari Lan Giok? Biasanya, antara wanita tidak ada rahasia. Mungkin sekali Lan Giok mengerti tentang keadaan Sian Hwa yang aneh itu. Ketika menolong Lan Giok, Sian Hwa dan juga Thian Giok, memang ia sengaja tidak memperlihatkan diri. Ia tidak mau orang orang mengetahui kepandaiannya yang kini telah maju pesat sekali semenjak ia menerima latihan dari Bu tek Kiam ong.
Setelah berpikir demikian, Bun Sam lalu berlari cepat dan kini ia mengarahkan perjalanannya ke Sian hwa san. Selain hendak bertemu dengan Lan Giok, iapun ingin mengunjungi suhengnya, Yap Bouw yang ia pikir tentu telah berada di gunung itu pula, menyusul isterinya.
Lan Giok dan Thian Giok melakukan perjalanan cepat menuju ke Sian hwa san untuk membuat laporan kepada guru mereka.
Di dalam perjalanan, selain membicarakan tentang kedudukan fihak Hiat jiu pai yang benar benar memiliki banyak orang pandai itu, juga mereka berdua membicarakan tentang penolong aneh yang luar biasa.
"Sayang sekali dia tidak mau memperlihatkan dan memperkenalkau diri," kata Lian Giok.
"Kalau kita mengetahui siapa dia tentu lebih baik lagi. Menghadapi Hiat jiu pai yang kuat, kita amat membutuhkan bantuan orang orang pandai."
"Kurasa dia tentulah seorang pertapa tua yang menyembunyikan diri dan tidak mau dikenal. Aku pernah mendengar tentang orang orang sakti yang selalu bekerja secara diam diam dan rahasia seperti itu." Thian Giok mengutarakan pendapatnya.
Mereka telah melakukan perjalanan selama tiga hari dan pada siang hari itu mereka tiba di dalam sebuah tanah pegunungan yang gundul tak berpohon, tetapi penuh dengan rawa dan padang rumput.
Akan tetapi, jalan di daerah ini cukup baik lebar dan biarpun berbatu batu, tetapi rata. Jalan ini dibuat oleh rakyat atas paksaan pemerintah Mongol yang banyak mengangkut harta benda dari Tiong goan (pedalaman Tiongkok) untuk dibawa ke Mongol! Jalan ini sunyi sekali, karena selain hutan hutan di balik gunung, di pegunungan ini sendiri tanahnya buruk, sehingga tidak ada orang yang mau membuka dusun di daerah tandus ini.
"Thian ko, aku lapar dan haus," tiba tiba Lan Giok mengeluh.
"Ah, kau ini ada ada saja. Di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makan dan minum? Bukankah tadi pagi kau telah menghabiskan dua piring bakpauw dan beberapa guci air?"
Adiknya cemberut dan melototkan matanya yang jeli. Melihat ini, Thian Giok makin bernafsu untuk menggodanya,
"Lan moi, agaknya perutmu tidak berdasar, apa saja yang masuk lenyap dalam sekejap mata!"
"Enak saja kau mengobrol! Kaukira aku segembul itu? Kalau di sini ada orang lain yang mendengar, tentu aku akau memukulmu untuk hinaan yang memalukan ini! Kau hendak merusak namaku, ya? Bakpauw dua piring hampir kau habiskan sendiri, aku hanya makan beberapa buah saja. Dan tentang air itu apa kaukira aku sudah lupa betapa kau minum seperti kuda?"
Thian Giok tertawa melihat adiknya marah marah ini.
"Kalau didengar orang lain apakah salahnya? Asal saja jangan Bun Sam yang mendengar."
Merah muka Lan Giok dan gadis ini lalu mengangkat tangan hendak memukul. Kakaknya cepat melompat dan sambil tertawa tawa menggoda ia berlari cepat ke depan. Lan Giok mengejar sambil mengancam.
"Lan moi, kalau Bun Sam melihat kau segalak ini, apakah dia tidak akan kuncup hatinya? Tak enak punya isteri galak!"
Thian Giok sambil berlari cepat terus menggoda.
"Kupukul mulutmu yang jahil!"
Lan Giok mempercepat kejarannya, tetapi sekarang ia juga mengejar sambil tertawa tawa.
Memang sepasang anak kembar ini amat rukun dan sering kali bermain main semenjak masih kanak kanak. Mereka saling menyayang, lebih daripada saudara kandung biasa. Kalau yang seorang berduka, yang lain ikut merasa berduka seperti dirinya sendiri yang menghadapi kekecewaan. Yang seorang ketawa yang lain tentu bergirang.
Ketika Thian Giok tiba di satu tikungan, tiba tiba ia berhenti Lan Giok telah dapat menyusul kakaknya dan ketika tiba di tikungan itu iapun berhenti di sebelah Thian Giok. Keduanya memandang ke depan dengan heran. Lucu benar melihat sepasang anak kembar ini, karena Lan Giok yang pada saat itu mengenakan pakaian yang sama, yakni pakaian seorang pemuda, kelihatan serupa benar dengan Thian Giok.
Dari depan kelihatan datang sebuah kendaraan mewah yang ditarik oleh empat ekor kuda kuda besar. Yang mengherankan dua orang muda itu ialah bahwa kendaraan ini tidak dikawal oleh seorang piauwsupun.
Melihat kendaraan yang dicat indah dan kudanya yang besar besar itu, mudah diduga bahwa tentu kendaraan itu milik seorang kaya raya atau bangsawan tinggi.
Dan biasanya, kalau mereka ini melakukan perjalanan, tentu kalau tidak dikawal oleh sepasukan tentara, akan dikawal oleh pasukan piauwsu. Akan tetapi, kendaraan yang datang dari depan dan yang menimbulkan debu mengebul tinggi itu, tidak dikawal oleh seorang pun, kecuali hanya kusirnya yang bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk.
"Nah, Lan moi, jangan merajuk dan marah lagi. Itu makanan dan minumanmu datang!" kata Thian Giok kepada adiknya.
"Eh, eh, apakah kau Hendak menjadi perampok?" adiknya menggoda. "Kurang serem tampangmu kalau kau menjadi perampok, siapa yang akan takut padamu?"
"Bukan merampok, adikku yang manis. Aku akan mintakan makanan dan minuman dari mereka itu. Sebagai orang orang kaya raya yang memiliki kendaraan seindah itu, mereka tentu membawa bekal makanan dan minuman yang lezat!"
"Hm, celaka. Kakakku hendak menjadi pengemis pula? Lebih buruk daripada menjadi perampok!" Lan Giok mencela.
"Bukan mengemis. Sudah sewajarnya perantau perantau yang bertemu di jalan saling minta tolong karena bekal makanannya habis."
"Kalau mereka tidak memberi?"
"Boleh tidak boleh kita minta!"
"Kau bilang itu bukan perampok?"
"Bukan, karena kita minta!"
"Hm, lidahmu memang tidak bertulang," kata Lan Giok cemberut.
"Hm, kalau lidahmu bertulang, ya? Pantas saja begitu galak!" Thian Giok menggoda.
"Jangan main main, Thian ko. Bagaimana kalau yang berada di dalam kereta itu pembesar Mongol?"
"Lebih baik lagi, kita seret dia turun dan makan perbekalan mereka tanpa banyak cingcong lagi."
Sementara itu, kendaraan itu idah tiba di depan mereka dan ketika kusir itu melihat Thian Giok dan Lan Giok mengangkat tangan dan berdiri di tengah jalan, ia lalu menarik kendali kuda kudanya dan kuda kuda itu berhenti. Debu mengebut tinggi, membuat Lan Giok cepat cepat menggunakan saputangan untuk menutupi hidungnya.
Kusir kereta itu memandang dengan mata terbelalak heran kepada dua orang muda yang berdiri di depan keretanya, dua orang muda yang begitu serupa bentuk dan wajahnya seperti pinang dibelah dua.
"Siapakah kalian dan mengapa menyuruh kami berhenti?" tanyanya.
Melihat orang tinggi besar bercambang bauk ini dan mendengar kata katanya yang kasar, hati Lan Giok sudah tidak senang.
(Lanjut ke Jilid 20)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
"Beritahukan majikanmu yang berada di dalam kereta bahwa kami ingin bicara!" jawabnya mendahului Thian Giok.
Pada saat itu, pintu kereta dibuka dan berturut turut lima orang melompat keluar dari dalam kendaraan itu.
Thian Giok dan Lan Giok cepat memandang dan mereka terkejut bukan main ketika melihat siapa adanya lima orang yang tadi menumpang kendaraan ini. Mereka itu bukan lain adalah Bouw Ek Tosu, pendeta yang berjuluk Hwa I sianjin (Manusia Dewa Berbaju Kembang), Lam Hai Siang mo si hwesio kembar, Kui Hok Si Pacul Kilat dan Coa Hwa Hwa atau Hwa Hwa Niocu.
Pendeknya, Sin beng Ngo hiap lima pendekar itu lengkap berdiri di situ, memandang ke arah Thian Giok dan Lan Giok dengan mata menyatakan kekagetan pula.
"Ha, ha, ha, kukira siapa yang hendak beraksi menjadi perampok! Kukira tikus tikus hutan yang tak tahu diri, tidak tahunya murid murid Mo bin Sin kun! Ha ha, bagus benar, ternyata Mo bin Sin kun hanya guru dan para perampok perampok kecil yang tak tahu malu!"
Mendengar kata kata yang diucapkan oleh Hwa Hwa Niocu, Thian Giok menjadi marah sekali dan hendak memaki, tetapi ia dahului oleh Lan Giok. Adiknya ini memang lebih pintar bicara dan dalam hal percekcokan mulut, tentu saja ia tidak mau kalah. Menghadapi sindiran Hwa Hwa Niocu, ia lalu bertolak pinggang dan sambil tersenyum manis ia berkata,
"Betul, betul sekali. Memang kami adalah kepala kepala perampok! Hai, kalian ini maling maling kecil, agaknya kalian sudah berhasil mengait uang dari Jenderal Yap Bouw, maka sekarang kelihatan begini mentereng, ya? Bagus, sekarang tak usah banyak mulut, kalian ini maling maling kecil yang hina dina dan yang beraninya hanya mengambil barang orang dengan diam diam, ayoh lekas berikan semua hasil curianmu itu kepada kami perampok perampok gagah perkasa!"
Memang di dalam kalangan liok lim, derajat maling dipandang rendah oleh perampok.
Bagi seorang perampok yang menghadang orang dan minta barang barangnya dengan mengandalkan kepandaian dan kegagahannya, maling dianggapnya sebagai seorang yang amat pengecut dan licik.
Seorang perampok hanya menghadapi dua hal. Menghadang, bertempur kalah atau menang. Kalau menang mendapat barang, kalau kalah tertawan atau mati! Berbeda dengan pancuri yang melakukan pekerjaannya dengan diam diam menunggu sampai pemilik barang pergi atau tidur dan begitu ketahuan lain lari pontang panting!
Hwa Hwa Niocu mengerti akan sindiran dan hinaan ini, yang dikatakan oleh Lan Giok untuk membandingkan bahwa lima orang itu disamakan dengan pencuri pencuri yang hina dina. Tentu saja wanita ini menjadi marah sekali.
"Setan kecil bermulut lancang! Kan berani menghina nyonya besarmu?"
"Setan tua bermulut bau! Kau tidak lekas lekas mengembalikan semua harta pusaka milik ayahku yang kalian curi?" Lan Giok balas membentak Hwa Hwa Niocu. "Apakah dahulu kalian ini lima ekor monyet tua bangka yang berbau busuk masih belum kapok!"
Sengaja Lan Giok menyebut nyebut peristiwa tiga tahun yang lalu ketika ia dikeroyok oleh lima orang ini dan dalam keadaan terdesak ia mendapat pertolongan dari Gan Kui To murid Lam hai Lo mo.
Bouw Ek Tosu marah sekali, sehingga jenggotnya sampai bergetar.
"Anak setan yang mau mampus! Kau sudah berani membinasakan muridku Ngo jiauw eng. Sekarang masih hendak banyak lagak? Bersiaplah untuk mampus!"
Sambil berkata demikian, tosu ini lalu menggerakkan kebutannya yang panjang itu. Kebutan ini menyambar bagaikan kilat ke arah leher Lan Giok.
"Ayaaa! Kukira empek empek tua ini sudah mampus, ternyata masih belum. Kau tidak tahu bahwa muridmu Burung Goak Cakar Buntung itu menanti nantimu di dasar neraka?"
Gadis yang nakal ini sengaja mengubah julukan murid Bouw Ek Tosu. yang sesungguhnya berjuluk Ngo jiauw eng atau Burung Garuda Cakar Lima, kini ia robah menjadi Burung Garuda Cakar Buntung. Tentu saja Bouw Ek Tosu menjadi makin marah seperti orang kebakaran jenggot.
Sambaran hudtimnya (kebutannya) tadi dengan mudah saja dielakkan oleh Lan Giok dan kini ia menyerang lagi dengan lebih hebat. Empat orang adiknya tidak mau tinggal diam saja dan berbareng maju mengeroyok.
"Engko Thian Giok, awas jangan kau menggangguku dalam main main ini! Lima ekor tikus ini sudah menjadi bagianku, jangan kau ikut ikut! Lebih baik kau mengumpulkan sisa sisa harta pusaka kita yang dicuri oleh tikus tikus ini!" kata Lan Giok kepada kakaknya ketika melihat Thian Giok mencabut Pek giok joan pian, senjata pecut mutiara putih itu.
Tentu saja Thian Giok tidak mau menurut dan tetap saja hendak membantu adiknya, akan tetapi begitu senjatanya menyambar, tiba tiba terdengar suara keras dan senjatanya itu ditangkis oleh sebatang jarum emas di tangan Lan Giok.
"Jangan bantu aku!" gadis ini kembali berseru. Sungguh patut dipuji gadis ini. Biarpun sudah di keroyok lima orang yang cukup tangguh, ia masih sempat menangkis senjata kakaknya sendiri yang hendak membantunya.
Thian Giok tertawa, ia maklum bahwa adiknya ini hendak menguji kepandaiannya sendiri terhadap lima orang lawannya, maka iapun tidak mau memaksa. Pemuda ini lalu melihat jalannya pertempuran sebentar dan setelah mendapat kenyataan bahwa adiknya memang tak perlu dibantu, ia lalu menghampiri kereta itu. Kusirnya yang bertubuh tinggi besar itu hendak menyerangnya, tetapi dengan sekali tendang saja tubuh yang tinggi besar itu terlempar jauh dan jatuh berdebuk bagaikan pohon tumbang!
Thian Giok dan adiknya sudah mendengar penuturan ayah mereka, bekas Jenderal Yap Bouw, tentang harta pusaka yang disimpan di dalam kebun di belakang bekas gedungnya yang kini ditempati oleh Panglima Bucuci dan betapa harta pusaka itu telah didahului oleh Sin beng Ngo hiap yang entah bagaimana mengetahui simpanan rahasia ini dan mencurinya.
Ayah mereka memang sudah mengejar tetapi tidak berhasil menangkap Sin beng Ngo hiap yang telah menggondol harta karun itu.
Oleh karena itu, sekarang tidak disangka sangka bertemu dengan serombongan orang yang telah mencuri harta itu, tentu saja Thian Giok dan Lan Giok merasa girang benar.
Thian Giok lalu memasuki kereta. Benar benar sebuah kendaraan yang amat mewah.
Selain keadaan kereta yang mewah dan kuda kudanya yang berjumlah empat ekor itu pun besar dan baik, ia juga mendapatkan bekal makanan dan minuman yang mahal. Juga di situ ia mendapatkan uang emas dan perak, serta sutera sutera halus yang mahal. Melihat makanan ini, timbul juga rasa lapar dalam perut Thian Giok dan ia teringat kepada adiknya yang sudah mengeluh kelaparan.
Ia ingin menggantikan Lan Giok menghadapi musuh musuhnya agar adiknya itu bisa makan dulu, tetapi tiba tiba ia tersenyum.
"Anak nakal itu tidak mau kubantu. Biar lebih baik aku mengenyangkan perutku dulu, baru menggantikan dia."
Setelah berkata demikian, Thian Giok membawa seguci arak dan serantang makanan ke dekat tempat adiknya bertempur, lalu duduk bersila dan makan dengan enaknya.
Lan Giok pernah bertempur dikeroyok lima oleh Sin beng Ngo hiap. Tiga tahun yang lalu kepandaiannya tidak setinggi sekarang dan biarpun pada waktu tiga tahun yang lalu itu ia terdesak dan kalau dilanjutkan tentu kalah, namun harus diakui bahwa lima orang pengeroyoknya pada waktu itu sukar sekali untuk dapat merobohkan gadis yang memiliki gerakan luar biasa lincahnya itu.
Apalagi sekarang. Selama tiga tahun, Sin beng Ngo hiap yang suka melewatkan hidup dengan bersenang senang saja, mana ada ketika untuk memperdalam ilmu silat mereka? Sebaliknya, selama tiga tahun itu, Lan Giok bersama kakaknya telah digembleng dengan hebat oleh Mo bin Sin kun, sehingga kepandaian Lan Giok sekarang sudah hebat sekali.
Hal ini dirasai benar benar oleh Sin beng Ngo hiap yang mengeroyoknya. Gadis ini tiada hentinya mengejek dan mempermainkan mereka.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senjata senjata yang sederhana dan aneh dari Lan Giok, yakni Gin sam kim ciam atau Kipas Perak dan Jarum Emas, benar benar membikin mereka kewalahan. Kebutan kipas dari gadis itu saja cukup untuk menangkis semua senjata yang datang menyambar, karena kipas ini digerakkan sedemikian rupa, hingga menimbulkan angin memutar yang sanggup menangkis serangan senjata lawan.
Adapun jarum emasnya tak kurang kurang lihainya. Kalau lima orang pengeroyok itu tidak berlaku hati hati dan saling membantu, tentu mereka telah dijadikan karung pecah yang dijahit oleh jarum ini. Datangnya serangan balasan jarum ini sungguh tak tersangka sangka, tahu tahu di depan mata mereka telah berkelebat sinar keemasan dan ujung jarum sudah mengancam jalan darah.
"Lan moi, sudah kenyangkah kau mempermainkan tikus tikus itu?" Thian Giok bertanya, "Perutku sudah kenyang."
Lan Giok melirik dan ketika ia melihat kakaknya makan minum seorang diri dengan enaknya, ia menjadi iri hati dan timbul seleranya. Setelah menelan ludah beberapa kali, ia berkata,
"Thian ko, mempunyai kakak seperti engkau ini tiada gunanya. Hatimu kejam melebihi lima ekor tikus ini. Kau tega makan minum sendiri sambil melihat aku bertempur?"
Sambil berkata demikian, Lan Giok menggerakkan jarumnya dengan amat hebatnya.
Sekaligus jarum ini menyerang dan menyambar ke arah lima orang itu dengan gerak tipu Angin Puyuh Mengacau Hutan. Karena serangannya ini mengancam semua orang, kelima Sin beng Ngo hiap itu tidak dapat saling membantu dan terpaksa menjaga diri masing masing.
Celakanya, seorang di antara Lam san Siang mo, hwesio kembar yang gemuk gemuk seperti babi dikebiri itu, kurang cepat mengelak dan karena sudah buntu jalan, ia bahkan mengangkat kaki kanannya menendang ke arah pergelangan tangan Lan Giok yang memegang jarum, dengan maksud untuk membikin senjata lawan yang lihai ini terpental.
Tidak tahunya, gadis ini memiliki kelincahan dan kegesitan kaki dan tangan yang luar biasa. Ditendang demikian hebatnya, ia hanya menggerakkan pergelangan tangannya dan tahu tahu jarum itu telah menukik ke bawah dan tanpa dapat dicegah pula, otot besar pada mata kaki hwesio gemuk itu telah tertusuk oleh kim ciam.
Bukan main sakitnya otot besar di kaki ditusuk jarum, apa lagi karena jarum yang runcing itu telah menembus otot dan menyentuh tulang muda, aduh, sakitnya sampai menembus ke ulu hati.
Hwesio itu tak dapat menahan sakit lagi sambil mengaduh aduh ia mengangkat kaki kanannya ke belakang, dipegangi oleh kedua tangan dan berloncat loncatan dengan tubuh berputar putar seperti seorang anak kecil berjingkrak kegirangan dalam bermain main!
Memang lucu sekali melihat hwesio yang tubuhnya bulat itu berloncat loncatan seperti itu dan tiba tiba terdengar Thian Giok batuk batuk. Ketika Lan Giok mengerling, ia melihat kakaknya itu tersedak dan terbatuk batuk karena ketika hwesio itu berloncat loncatan, pemudi ini tengah minum arak dan tertawa, sehingga tersedak ketika melihat pemandangan yang lucu ini.
"Nah, puas kau!" Lan Giok menyoraki. "Begitulah kalau orang mau enaknya sendiri, makan tidak menawarkan kepada orang lain."
Kepandaian Lan Giok sudah meningkat demikian hebat, sehingga kalau gadis ini mau, ia dapat menewaskan lima orang lawannya ini seorang demi seorang! Akan tetapi, ia tidak mau melakukan pembunuhan.
Gurunya, Mo bin Sin kun, sudah tahu akan watak Lan Giok yang mudah tersinggung, mudah marah dan mudah gembira, maka telah memberi peringatan keras kepada Lan Giok dan gadis ini dilarang membunuh orang kalau tidak sudah jelas bahwa orang itu telah melakukan kejahatan kejahatan besar.
Setahu Lan Giok, Sin beng Ngo hiap tidak melakukan kejahatan besar, yang membuat mereka layak dibunuh, karena kesalahan mereka hanyalah mencuri harta pusaka ayahnya Maka ia melayani mereka sambil main main dan hanya ingin merobohkan mereka tanpa melukai berat yang akan membahayakan jiwa mereka.
Karena sikap Lan Giok inilah, maka agak sukar pula baginya untuk cepat cepat dapat merobohkan mereka. Lima orang itu rata rata telah memiliki kepandaian yang tinggi juga. Tenaga lweekang mereka sudah kuat betul dan ginkaug mereka juga sudah tinggi. Ahli ahli silat biasa saja mana bisa melawan seorang di antara mereka? Oleh karena ini, maka nama Sin beng Ngo hiap amat terkenal di dunia kang ouw.
Kini menghadapi Lan Giok, mereka bertempur mati matian, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian. Mereka telah tahu akan kelihaian gadis ini dan sama sekali tidak berani memandang ringan kepada murid Mo bin Sin kun, seorang di antara Lima Besar!
Ketika mendapat kesempatan baik, tiba tiba ujung kipas di tangan kiri Lan Giok berhasil mengelak kepala hwesio ke dua dari Lam Hai Siang mo, yang seperti saudara kembarnya, juga gemuk sekali dan kepalanya gundul licin seperti bola karet.
Karena kepala ini tidak ada rambutnya yang menjadi pelindung, ketika diketuk oleh Lan Giok, terdengar suara seperti periuk kena pukul. "Tak!" dan tubuh hwesio itu berputar putar seperti sebuah gasing berpusing! Ini terjadi karena hwesio itu merasa matanya berkunang kunang dan kepalanya berputar putar rasanya, maka ia tidak dapat menguasai kedua kakinya lagi.
Akhirnya, setelah ia dapat melihat hwesio kakak kembarnya masih duduk di pinggir sambil mengurut urut kakinya yang terluka, ia lalu menubruk ke situ dan berguling di dekat kakaknya! Kakaknya yang menyayangi adiknya ini lain mengelus elus kepala yang telah benjol karena diketok ujung gagang kipas tadi. Sebalik nya adik inipun lalu mengurut kaki hwesio pertama!
"Lan Giok, aku tidak memborong habis makanan ini, kaupun jangan memborong habis tikus tikus itu. Mari kugantikan engkau menyapu sisa bekal masakan ini!" kata Thian Giok yang telah mencabut senjatanya dan menyerbu.
Lan Giok yang kini merasa makin lapar setelah pertempuran itu, tidak membantah lagi dan meninggalkan lawan lawannya. Gadis ini lalu menggeratak ke dalam kereta dan mengeluarkan semua bekal makanan dan minuman. Juga ia meloloskan sarung sarung bantal yang dipakai untuk membawa semua uang dan barang berharga yang didapatnya di kereta itu. Kemudian ia makan dengan tahap dan enaknya.
Sementara itu, Bouw Ek Tosu, Kui Hok dan Coa Hwa Hwa, menjadi marah sekali melihat betapa Lam san Siang mo telah dikalahkan. Apalagi mendengar percakapan kakak beradik yang masih muda itu dan melihat betapa Lan Giok mengambil barang barang mereka, kemarahan mereka memuncak.
Akan tetapi, kini mereka menghadapi Thian Giok yang masih segar dan bertenaga baru dan karena kepandaian Thian Giok setingkat dengan adiknya, maka tentu saja tiga orang pengeroyok yang sudah mulai lelah ini menjadi makin sibuk.
Oleh karena mereka sudah lelah, ditambah pula karena dua orang di antara mereka telah roboh dan semangat mereka telah berkurang, maka dalam pandangan tiga orang ini, senjata Pek giok joan pian di tangan Thian Giok ini malah masih lebih lihai dan berbahaya lagi daripada sepasang senjata Gin san kim ciam dari Lan Giok!
Bouw Ek Tosu melancarkan serangan nekat. Kebutannya digerakkan dengan cepat sekali menotok ke arah leher Thian Giok dan tangan kirinya pun meluncur dan menghantam lambung pemuda itu dengan tangan dimiringkan.
Pada saat itu juga, pedang Hwa Hwa Niocu juga sudah menusuk ke arah dadanya dari sebelah kiri, sedangkan pacul kilat di tangan Kui Hok bergerak dari belakang untuk memenggal lehernya dengan sekali pancung!
Menghadapi keroyokan yang nekat ini, Thian Giok berlaku tenang, tetapi cepat sekali. Ia merendahkan diri, sehingga sekaligus serangan kebutan ke arah leher dan pacul kilat ke arah kepalanya itu dapat dielakkan.
Pek giok joan pian di tangannya tidak tinggal diam dan bergerak ke depan menangkis pedang Coa Hwa Hwa, sebelah tangannya lagi memainkan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu mendorong ke arah tangan Bouw Ek Tosu yang datang memukul!
Bukan main hebat akibatnya Soan hong pek lek jiu ini. Kedua tangan beradu dan Bouw Ek Tosu berteriak keras. Tubuhnya terlempar sampai tiga tombak lebih dan kakek ini roboh tak sadarkan diri lagi!
Biarpun Thian Giok, hanya mempergunakan tenaga mendorong tanpa bermaksud melukai dalam tubuh lawan, namun tenaga dorongannya tadi demikian kuat, sehingga tenaga pukulan yang dilancarkan oleh Bouw Ek Tosu membalik dan memukul dirinya sendiri, oleh karena itu, tosu ini terluka di sebelah dalam dadanya oleh tenaga pukulannya sendiri.
Hwa Hwa Niocu terkejut sekali demikian pula Kui Hok. Suheng mereka yang paling lihai kepandaiannya telah dapat dirobohkan maka tentu saja mereka menjadi gentar juga.
Hwa Hwa Niocu menyerang kalang kabut, tetapi ketika Thian Giok mengerahkan tenaga dan menggerakkan joan pian nya, terdengar suara keras dan pedang di tangan Hwa Hwa Niocu ini patah menjadi dua. Sebelum nyonya ini dapat melompat pergi, sebuah tendangan telah membuat ia terlempar dan secara kebetulan sekali ia jatuh menimpa Lam san Siang mo, dua hwesio gemuk yang terluka itu! Ketiganya jatuh tunggang langgang dan terdengar keluhan dua orang hwesio gemuk dan makian Hwa Hwa Niocu yang merata malu sekali.
Kini tinggal Kui Hok seorang. Si Pacul Kilat ini lebih cerdik daripada saudara saudaranya, maka ia lalu melepaskan paculnya dan menjura kepada Thian Giok "Anak muda, kau sungguh lihai, pantas menjadi murid Mo bin Sin kun. Setelah kau dan adikmu megalahkan kami, apakah kehendakmu?"
Pada saat itu, Lan Giok telah selesai makan dan telah kenyang sekali. Gadis ini merasa puas bahwa kakaknya telah dapat merobohkan dua orang lawan.
Ia puas melihat hasil pelajarannya. Kalau dulu ia menghadapi keroyokan Sin beng Ngo hiap masih terdesak dan sibuk sekali, sekarang ia dapat mempermainkan mereka.
"Engko Thian Giok, yang empat mencium tanah dengan tubuhnya!" serunya jenaka.
Tetapi Thian Giok tentu saja tidak suka menyerang lawan yang sudah menyerah kalah.
"Tidak, Lan moi. Kalau semua dirobohkan, siapa yang akan merawat mereka? Biarlah yang seorang ini kita maafkan saja agar ia dapat merawat saudara saudaranya."
"Terlalu enak baginya!" kata Lan Giok yang segera berkata kepada Kui Hok, "He, lekas kau beri makan empat ekor kuda itu sampai kenyang betul, kemudian lepaskan dari kereta!"
Merah muka Kui Hok. Inilah penghinaan besar sekali. Ia diperlakukan orang seperti seorang tukang kuda. Padahal biasanya Si Pacul Kilat Kui Hok di dewa dewakan orang, dianggap sebagai seorang sakti.
Tetapi apa dayanya? Kalau ia melawan ia tentu akan roboh juga. Bukan ia takut terluka, melainkan kalau sampai ia sendiri roboh terluka, bagaimana mereka berlima dapat melanjutkan perjalanan dan keluar dari hutan ini? Kusir itu telah melarikan diri entah ke mana.
Terpaksa, dengan muka sebentar pucat sebentar merah, Kui Hok melakukan perintah Lan Giok ini. Baiknya kusir kereta itu telah membawa bekal rumput di belakang kereta, sehingga ia tidak usah mencari rumput lagi.
Ia memberi makan empat ekor kuda itu dan setelah mereka kenyang lalu ia melepaskan mereka dari kereta kemudian mengikatkan kendali kuda satu kepada yang lain agar mereka tidak lari ke mana mana.
Sementara itu, Lan Giok dan Thian Giok telah mengumpulkan semua barang berharga di dalam karung bantalan kereta. Tadinya Thian Giok tidak setuju dengan perlakuan adiknya terhadap Si Pacul Kilat, tetapi sambil berbisik nona itu memberitahukan kehendaknya yang segera disetujui oleh kakaknya.
Setelah semua beres kedua kakak beradik kembar ini lalu memuatkan barang barang itu di atas punggung dua ekor kuda dan mereka lalu mencemplak yang dua ekor lagi.
"Sin beng Ngo koai," Lan Giok kembali mengejek dengan mengganti sebutan Ngo hiap (Lima Pendekar) menjadi Ngo koai (Lima Setan), " terima kasih atas kebaikan kalian yang telah mengembalikan barang barang yang kalian curi dari ayah kami." Kemudian gadis ini sambil tertawa tawa mengajak kakaknya pergi dari situ naik kuda sambil menuntun kuda yang memuat barang berharga itu!
Lima orang gagah itu menyumpah nyumpah. Selama mereka hidup dan selama mereka merantau di dunia kang ouw, baru kali inilah mereka mengalami kekalahan dan hinaan yang luar biasa sekali. Hwa Hwa Niocu tak dapat menahan marah dan mendongkolnya, lalu menangis terisak isak.
"Sudahlah, sumoi, untuk apa menangis dalam keadaan seperti ini? Lain kali masih banyak kesempatan untuk membalas penghinaan murid murid Mo bin Sin kun ini." Kwi Hok menghibur.
"Akan kuhancurkan kepala mereka." kata Hwa Hwa Niocu dan mendengar ini, diam diam Kui Hok menghela napas dan menyangsikan apakah kehebatan ilmu mereka sanggup menandingi kehebatan kepandaian murid murid Mo bin Sin kun itu.
Kemudian, karena kusir kereta sudah pergi dan kereta itu tidak ada kudanya, lima orang Sin beng Ngo hiap ini terpaksa lalu bersusah payah mendoroag kereta! Lumayan juga, karena selain kereta ini mahal dan kini menjadi barang satu satunya yang mereka miliki, juga lebih enak mendorong kawan kawan yang terluka di dalam kereta itu dari pada menggendong mereka.
Demikianlah, yang terluka parah, yakni hwesio pertama dari Lam san Siang mo dan Bouw Ek Tosu, duduk di dalam kereta sedangkan Hwa Hwa Niocu, Kui Hek dan hwesio ke dua mendorong kereta. Di sepanjang jalan meraka tidak pernah mengeluarkan kata kata, wajah mereka muram seperti mendung di langit.
Dalam keadaan lucu dan sengsara ini, mereka bertemu dengan serombongan orang berkuda yang melarikan kuda cepat sekali.
Ternyata bahwa mereka ini adalah Bucuci dan Koai kauw jit him, tujuh biruang kaitan aneh, tokoh tokoh Mongol yang tinggi kepandaiannya itu!
Bouw Ek Tosu girang sekali dan berkata tanpa menanti mereka bertanya,
"Celaka ciangkun! Murid murid Mo bin Sin kun membuat kami seperti mi. Tolonglah balaskan penghinaan ini!"
Bucuci mendengar ini nampak girang dan bernafsu sekali.
"Di mana mereka?"
"Belum lama ini mereka melanjutkan perjalanan berkuda. Mereka tentu belum jauh dari sini."
Mendengar kata kata ini, Bucuci lalu membedalkan kudanya, sehingga tujuh orang kawannya itupun terpaksa mengikutinya.
Panglima Mongol ini tidak sabar lagi, sehingga ia tidak bertanya lebih jauh. Padahal kalau ia mendengar bahwa orang orang yang dikejarnya itu hanya Thian Giok dan Lan Giok, tentu ia tidak akan tergesa gesa seperti itu.
Panglima Bucuci setelah mendengar penuturan Liem Swee dan Kui To bahwa kini Sian Hwa tidak menjadi nikouw lagi dan bahwa gadis itu pergi bersama murid murid Mo bin Sin kun, menjadi marah sekali.
"Tidak, kalau dia tidak menjadi nikouw, dia tidak boleh dilepaskan begitu saja. Dia harus berada di rumahku dan harus menurut kehendakku sebagai ayah angkatnya yang telah memeliharanya semenjak kecil," katanya marah.
Kemudian ia minta pertolongan Koai kauw jit him, tujuh orang tokoh Mongol itu membantunya melakukan pengejaran. Sebagai orang sebangsa tentu saja Koai kauw jit him tidak keberatan, apalagi karena memang diingat, Bucuci masih ada hubungan seperguruan dengan mereka.
Cuma saja, tingkat mereka masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Bucuci.
Lan Giok dan kakaknya menjalankan kuda mereka dengan perlahan saja. Mereka tidak tergesa gesa dan pula memang setelah melewati daerah pegunungan yang tandus itu, kini memasuki daerah yang subur dan indah pemandangannya.
Di sepanjang jalan, kedua kakak beradik kembar ini berbicara tentang pengalaman yang baru saja mereka alami, yang membuat mereka merasa puas dan gembira.
Betapa tidak? Mereka telah dapat merampas kembali, biarpun hanya sedikit, harta lima orang yang telah mencuri harta pusaka ayah mereka dan lebih dari itu, mereka mendapat kenyataan bahwa kepandaian mereka benar benar telah mendapat kemajuan yang memuaskan hati.
"Aku kasihan sekali melihat enci Sian Hwa," tiba tiba Lan Giok berkata, "aku suka kepadanya dan aku akan setuju seribu kali kalau dia bisa menjadi so soku (kakak iparku)!"
Merah wajah Thian Giok mendengar ini.
"Lan Giok, mulutmu terlalu jahat dan lancang! Sungguh anak perempuan tak tahu malu!"
Dengan mata berseri Lan Giok menoleh kepada kakaknya.
"Siapa tak tahu malu? Aku berbicara dengan sejujurnya, mulutku berkata cocok dengan apa yang kupikirkan di dalam hati, tidak seperti kau mulutnya bilang merah hatinya berkata hijau!"
"Apa maksudmu?" Thian Giok memandang marah.
"Kau berpura pura marah kujodohkan dengan enci Sian Hwa, padahal hatimu berdebar girang. Bukankah kau yang tidak tahu malu?"
"Anak gendeng, kujewer mulutmu sampai panjang seperti mulut burung, kalau kau tidak mau diam!"
"Engko Thian Giok, jangan kau begitu galak nanti tak seorangpun siocia (nona) mau menjadi isteri mu. Aku bukan main main. Kau sendiri tahu bahwa aku". telah ditunangkan, maka kau sebagai kakakku, seharusnya sudah bertunangan pula..."
Tiba tiba Thian Giok tertawa tergelak gelak sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung adiknya itu. "Ha, aku tahu!" katanya sambil menahan gelak tertawanya.
Lan Giok mengangkat kedua alis matanya. "Tahu apa? Mengapa kau tertawa?" tanyanya cemberut.
"Aku tahu, kau takut kalau kalau aku tidak lekas mendapat jodoh! Kalau aku belum menikah, tentu kau tidak akan dapat menikah pula! Ha, kau sudah ingin kawin!"
Lan Giok dengan gemas mengambil sepotong roti yang tadi dibawa dari sisa makanan bekal dari Sin beng Ngo hiap tadi lalu menyambit kakaknya dengan roti itu.
Karena berada di punggung kuda dan sedang memegangi kendali kuda yang berjalan di belakang pula, Thian Giok tak dapat mengelak dan potongan roti itu mengenai pundaknya,
"Cih, tak tahu malu. Siapa yang ingin kawin?" bentak Lan Giok dengan muka merah.
"Aku sebagai adikmu hendak mencarikan jodoh yang baik untukmu, ini adalah tanda sayang dariku kepadamu. Tidak tahunya kau bahkan menggodaku sesuka hatimu. Memang sejak kecil kau berperangai jahat."
Melihat aikap Lan Giok yang tadinya jengah dan malu kini menjadi bersungguh sungguh dan marah, Thian Giok berkata, "Eh, Lan moi aku hanya bergurau, apakah kau marah benar benar?"
Ditanya begini, lunturlah kemarakan Lan Giok. Memang gadis ini sifatnya seperti angin di gurun pasir, sebentar marah, sebentar gembira, sebentar dapat menangis dan sebentar tertawa.
"Bergurau boleh, tetapi jangan kau membikin panas hatiku, Enci Sian Hwa orangnya benar benar baik, tidak saja ia cantik jelita, tetapi juga...."
"Sudahlah, Lan moi. Aku tidak mau membicarakan dia."
"Akan tetapi aku mau membicarakan dia." dengan bandel Lan Giok berteras kepala. Terpaksa Thian Giok diam saja dan hanya mendengarkan.
"Sayang sekali enci Sian Hwa agaknya jatuh hati kepada seseorang dan agaknya tidak dibalas, buktinya dia patah hati dan putus asa, sehingga ia kini menjadi seorang nikouw. Sayang, sayang, aku benar benar akan suka sekali kalau dia menjadi so soku."
"Jangan ulangi lagi! Siapa sudi menikah dengan dia? Dia puteri Bucuci, putri Mongol!"
"Bohong! Dia seorang Han tulen yang semenjak kecilnya dipungut oleh Bucuci."
"Akan tetapi dia sebagai seorang gadis telah jatuh hati kepada seorang pemuda, apakah itu namanya sopan? Siapa sudi menikah dengan dia?" kata Thian Giok marah marah.
Lan Giok tiba tiba menarik napas panjang dan berkata dengan suara lemah lembut,
"Engko Thian Giok, kuminta kau jangan bicara seperti itu. Apakah salahnya mencinta seseorang? Apakah seorang gadis tak berhak mencintai seorang pemuda yang baik dan yang menjadi pilihan hatinya? Mengapa kau begitu kejam?"
Mendengar suara Lan Giok yang tidak seperti biaranya ini, Thian Giok memandang dan ia dapat menduga isi hati adiknya itu.
"Hm, ya sudahlah. Memang kau juga jatuh hati kepada Bun Sam, itu aku tahu dan tidak menyalahkan kau. Tetapi, kau sudah bertunangan padanya, sedangkan nona itu". bukankah ia sudah ditunangkan dengan putera Pat jiu Giam ong?"
"Itulah soalnya. Ia tidak suka kepada bekas suhengnya itu dan tidak sudi dipaksa menikah dengan dia."
Baru sampai di sini percakapan itu, tiba tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Ketika keduanya menoleh, mereka melihat dari jauh Bucuci bersama Koai kauw jit him mendatangi, Lan Giok belum kenal siapa adanya tujuh orang Mongol yang datang bersama Bucuci, tetapi Thian Giok terkejut sekali. Ia tahu betul betapa lihainya tujuh orang Mongol itu, maka ia lalu berkata,
"Cepat, Lan moi. Mari kita lari. Bucuci datang bersama Koai kauw jit him. Mereka terlalu kuat bagi kita!"
Lan Giok sudah mendengar cerita Thian Giok tentang kehebatan kepandaian tujuh biruang Mongol ini, maka tanpa banyak cakap lagi iapun lalu membedal kudanya.
Empat ekor kuda yang di bawa oleh Lan Giok dan Thian Giok itu adalah kuda kuda pilihan yang berharga mahal. Sin beng Ngo hiap tidak kepalang mendapatkan harta karun maka mereka pun berlaku royal sekali.
Kuda untuk menarik kereta mewah itu sengaja mereka beli yang paling tinggi harganya. Oleh karena itu, ketika Lan Giok dan Thian Giok membalapkan empat ekor kuda itu mereka melompat cepat sekali dan sebentar saja para pengejar itu dapat ditinggalkan jauh. Bucuci sudah berteriak teriak, tetapi teriakannya makin lama makin menjauh.
Kuda orang orang Mongol inipun bukan kuda murah dan buruk namun tetap saja tak dapat melebihi kuda kuda yang dibawa oleh kedua orang muda itu.
Apalagi, Bucuci dan kawan kawannya telah melakukan perjalanan demikian jauh sehingga binatang binatang tunggangan mereka sudah lelah. Berbeda dengan Lan Giok dan Thian Giok yang menjalankan kuda lambat lambat dan seenaknya saja.
Ketika Lan Giok dan Thian Giok sudah melarikan kuda sampai belasan li jauhnya di depan terlihat sebuah dusun yang cukup ramai. Tiba tiba dari sebelah kiri pada jalan bersimpang tiga, datang tiga orang menggiring belasan ekor kuda. Mudah diduga bahwa mereka itu tentulah saudagar saudagar kuda yang hendak menjual kuda ke kota besar.
"Thian ko, aku ada pikiran baik," kata Lan Giok.
Thian Giok hendak bertanya, tetapi mereka telah berada dekat dengan saudagar saudagar kuda itu. Empat ekor kuda yang dibawa olah muda mudi kembar ini jauh lebih besar dan bagus dan ketika melihat sekian banyaknya kuda, empat ekor kuda besar ini meringkik ringkik dan mengangkat kedua kaki depan mereka.
"Kuda baik!" Ketiga orang pedagang kuda itu memuji. Sebagai pedagang pedagang kuda yang berpengalaman, tentu saja mata mereka dapat mengenal kuda yang baik dengan mudah.
"Sahabat sahabat, kalau kuda kuda ini baik, berapakah kalian mau membelinya?"
Mendengar orang mau menjual kuda kuda baik itu, saudagar saudagar kuda ini berlaku cerdik. Seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala, dengan matanya yang sipit lalu mendekati Lan Giok dan Thian Giok.
"Ji wi (tuan berdua) hendak menjual kuda kuda itu?" Matanya makin sipit menyandang ke arah kuda. "Ah, sungguhpun kuda kuda ini baik sekali, tetapi jarang ada orang yang mau membelinya."
"Mengapa?" tanya Thian Giok penasaran dan diam diam iapun heran mengapa adiknya hendak menjual kuda yang dapat dipergunakan untuk melarikan diri dari para pengejarnya.
"Kuda kuda besar dan liar semacam ini sukar sekali ditunggangi orang."
Lan Giok tertawa. "Pintar betul kau membohong, sahabat. Kau lihat sendiri, kami berdua dapat menungganginya."
"Karena ji wi memang pandai berkuda. Orang biasa saja tentu akan terlempar jatuh kalau kuda itu mengangkat kedua kaki depannya. Akan tetapi, kami mau membelinya juga untuk dipergunakan menarik kereta. Bagaimana kalau seratus tahil untuk empat ekor kuda itu?"
"Seratus tahil?" Thian Giok berseru marah. "Untuk seekor saja orang lain berani membeli seratus tahil!"
Pedagang itu mengangkat pundak "Sudahlah duaratus tahil kubayar. Aku tidak berani melebihi satu chi pun juga."
Lan Giok memberi isyarat dengan matanya kepada kakaknya, lalu dengan tertawa ia berkata "Sahabat, kau bayar sajalah!"
Bukan main girangnya hati pedagang pedagang itu. Mereka menganggap bahwa kali ini mereka akan mendapat keuntungan yang bagus sekali. Segera mereka membayar dan barang barang yang dimuat di atas kuda itu lalu diturunkan.
Setelah menerima uang itu, Lan Giok berkata, "Sekarang aku hendak memberi nasihat kepada kalian, sebaiknya kalian melanjutkan perjalanan secepatnya dan jangan bermalam di dusun depan itu."
"Kenapakah?" saudagar saudagar itu terkejut.
"Karena di belakang tadi ada segerombolan orang jahat yang mengejar kami, hendak merampas kuda kuda ini!"
Pedagang pedagang itu seketika menjadi pucat. "Jual beli ini tidak jadi saja!" kata mereka.
"Apa? Tidak bisa, uang sudah kami terima dan kuda sudah kalian terima pula," jawab Lan Giok.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tuan, betul betulkah ada pencuri pencuri kuda mengejar?" si mata sipit bertanya sambil memandang kepada Lan Giok.
"Siapa membohong? Kalau kalian tidak percaya, tunggu saja sebentar lagi mereka tentu akan menyusul ke sini!"
"Tuan, benar benarkah kuda kuda ini kalian dapatkan dengan jalan halal?"
Lan Giok melangkah maju dan sekali ayun tangannya, terdengar suara nyaring dan dua buah gigi orang itu melompat keluar dan mulutnya berdarah.
"Kalian menyangka kami pencuri kuda? Ha, goblok. Kalau kami pencuri kuda, apakah sukarnya bagi kami untuk merampas kuda kalian yang demikian banyaknya? Sudahlah, kalau kau percaya, lekas kaburkan kuda kudamu itu pergi dari sini, kalau tidak percaya, jangan menyesal kalau nanti kuda kudamu dirampas oleh mereka!"
Pedagang pedagang kuda itu terkejut sekali melihat kerasnya tangan "pemuda" ini. Mereka anggap omongan itu betul juga dan sambil mengeluarkan suara bentakan bentakan nyaring, mereka lalu melarikan dan menggiring semua kuda itu dengan cepat sekali, membelok ke kiri dan pergi dari situ, meninggalkan debu mengebul ke atas.
Lan Giok saling pandang sambil tertawa geli. Thian Giok memuji kecerdikan adiknya, karena sekarang ia tahu bahwa para pengejar itu tentu saja akan mengikuti jejak kaki kuda dan dengan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki akan lebih aman.
Memang tepat dan cerdik sekali siasat yang dilakukan oleh Lan Giok.
Ketika rombongan Bucuci tiba di jalan bersimpang tiga, mereka melihat jejak jejak kaki kuda yang mereka kejar itu tiba tiba menjadi banyak sekali dan jejak jejak ini menuju ke kiri, mengejar tiga orang pedagang kuda itu!
Sementara itu, Lan Giok dan Thian Giok memasuki dusun di depan tadi. Mereka melihat sebuah kuil di pinggir dusun. Menurut usul Lan Giok yang cerdik, mereka tidak bermalam di rumah penginapan, melainkan mohon tempat berteduh pada ketua kuil, seorang hwesio yang kurus kering, tetapi peramah sekali.
"Losuhu, kami adalah orang orang perantauan yang telah kelelahan. Karena barang barang kami berat dan banyak, kami mohon losuhu sudi menerima barang barang ini sebagai titipan. Harap losuhu simpan baik baik dan kelak kami akan datang mengambilnya," kata Lan Giok.
Kakaknya menyetujui tindakan ini, karena melarikan diri dengan dikejar kejar oleh sekian banyak orang lihai, amat tidak laluasa kalau harus membawa uang dan barang seberat itu.
Lagi pula, hwesio tua itu sudah terang sekali seorang suci yang tentu akan menjaga barang titipan itu baik baik.
Pada keesokan harinya, pagi pagi benar kedua orang muda ini melanjutkan perjalanannya menuju ke Sian hwa san. Hati mereka telah lega dan dapat bersenda gurau lagi.
Pada tengah hari, mereka tiba di kota Ciang keng yang ramai. Dengan hati senang mereka masuk ke dalam restoran yang besar dan memesan makanan. Ketika hendak pergi, Lan Giok telah mengambil uang penjualan kuda itu untuk bekal di jalan, maka kini ia memesan masakan secara royal sekali.
Thian Giok hanya tersenyum saja melihat tingkah adiknya, karena ia memang maklum bahwa Lan Giok adalah seorang nona yang paling doyan makanan enak.
Setelah makan kenyang dan membayar harga makanan, mereka berdiri dan hendak keluar dari restoran ini untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, alangkah kaget mereka ketika tiba tiba terdengar langkah kaki orang yang ramai sekali dan tahu tahu Bucuci bersama tujuh orang Mongol yang lihai itu telah berdiri di ambang pintu!
Thian Giok hendak berlaku nekat dan ia telah meraba senjatanya, akan tetapi Lan Giok bersikap tenang, bahkan gadis ini berkata keras,
"Baiknya aku sudah makan kenyang!"
Diam diam Thian Giok mendongkol dan mengomeli adiknya ini. Bagaimana dalam keadaan terancam bahaya seperti ini adiknya itu masih sempat berbicara tentang makan kenyang?
Pada saat itu, restoran itu sedang sepi tidak ada tamu lain yang makan disitu. Bucuci lalu menarik meja yang ditaruhnya dengan sengaja di tengah pintu jalan masuk, kemudian ia dan tujuh orang kawannya lalu duduk mengelilingi meja itu.
Terang sekali bahwa Bucuci hendak menghalangi jalan keluar. Kemudian dengan suara keras ia memerintah pelayan untuk menyediakan masakan dan arak yang baik. Mereka berlaku seakan akan di situ tidak ada Lan Giok dan Thian Giok dan mereka berbicara dalam Bahasa Mongol.
Thian Giok menjadi amat mendongkol. Ia tahu bahwa panglima Mongol itu sengaja berlaku demikian untuk menyiksa perasaan dia dan adiknya. Untuk menakut nakuti mereka. Oleh karena tak dapat menahan digoda seperti itu, Thian Giok sudah menarik senjatanya, tetapi Lan Giok mencegahnya dengan sentuhan jari tangannya.
Gadis ini memutar otaknya dan dalam menghadapi bahaya seperti ini, tidak baik berlaku tergesa gesa dan sembrono. Paling baik menanti dengan sabar sampai fihak lawan bergerak, baru menggunakan siasat mencari kemenangan. Oleh karena itu, iapun lalu memesan lagi minuman dan kue kue kepada pelayan. Menghadapi kue dan arak, lebih enak sambil menantikan dari pada harus duduk diam saja.
Para pelayan juga melihat cara rombongan delapan orang itu menempatkan meja, tetapi mereka tidak berani menegur karena melihat pakaian perang Bucuci yang menunjukkan bahwa orang Mongol pendek ini adalah searang perwira Mongol yang berpangkat tinggi.
Bucuci dan kawan kawannya mulai makan minum sampai kenyang. Setelah selesai makan, Bucuci merasa heran juga melihat sikap kedua orang muda itu. Ia tadinya menanti sampai dua orang itu bergerak, menyerang atau minta ampun. Tetapi melihat betapa kedua orang muda itu bahkan makan minum dengan enaknya dan mendengar Lan Giok mendongeng ke barat ke timur sambil tertawa tawa, hatinya menjadi gemas sekali.
Tiba tiba ia menggebrak meja dan cawan arak di depannya dengan aneh sekali melayang ke arah Lan Giok. Gadis ini seperti tidak melihat datangnya cawan kosong yang melayang dari kanannya, tetapi sekali ia menggerakkan tangan, sepotong kue kering melayang memapaki cawan itu, masuk ke dalam cawan dan cawan itu runtuh ke atas lantai dengan kue kering di dalamnya.
Bucuci diam diam terkejut juga melihat kelihaian Lan Giok. Sepotong kue kering yang dilontarkan dapat menahan luncuran cawan yang jauh lebih berat, sungguh membutuhkan lweekang yang melebihi tenaganya sendiri.
Kembali Bucuci menggabrak meja dan kali ini ia membentak,
"Cacing cacing busuk, kalian pembunuh pembunuh keji, tidak lekas menyerah untuk diikat tanganmu mau tunggu kami turun tangan?"
Thian Giok sudah merah mukanya, tetapi ia didahului oleh Lan Giok yang berkata kepadanya,
"Thian ko, restoran ini sungguh aneh. Dikunjungi oleh dua ekor cacing saja masih baik, tetapi ada belatung kotoran yang dapat merayap masuk sungguh mengherankan."
Bucuci bangkit berdiri dengan marahnya. Ia memaki cacing, tetapi dengan jitu sekali Lan Giok memakinya sebagai belatung kotoran yang jauh lebih menjijikkan dan kotor lagi.
"Murid murid Mo bin Sin kun kau berani bermain gila di depanku?"
Baru Lan Giok menengok dan memandang kepada Bucuci. "Kau bicara dengan siapakah?"
"Dengan kau, setan perempuan dan kakakmu itu!"
"Bukankah kau ini Panglima Bucuci dari kota raja? Ah, hampir aku lupa dan pangling." kata gadis itu sambil tersenyum manis, sehingga dalam pakaian laki laki, ia benar benar nampak sebagai seorang pemuda yang amat tampan. "Kau sudah tua dan pakaianmu terlalu berat, tidak baik marah marah, buruk sekali untuk kesehatanmu. Kau datang dan marah marah mau apakah?"
"Aku datang hendak menangkap kalian! Ayoh lekas bilang di mana Sian Hwa!"
"Sian Hwa? Siapakah dia?" tanya Lan Giok mempermainkannya.
"Kurang ajar! Berpura pura tidak tahu lagi. Sian Hwa puteriku, siapa lagi?" bentak Bucuci ambil mengertakkan gigi.
"Anakmu? Ah, jadi Panglima Bucuci yang ternama itu sudah punya anak? Sejak kapankah? Aku memang mengenal enci Sian Hwa yang telah menjadi nikouw karena ia dipaksa menikah oleh ayah angkatnya yang kejam, untuk dijodohkan dengan seorang kaya raya. Ya, ya, sungguh kasihan sekali enci Sian Hwa. Ayah angkatnya itu benar benar mata duitan."
Pemberontakan Taipeng Eps 5 Pedang Naga Kemala Eps 40 Pedang Naga Kemala Eps 26