Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 19


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 19




   "Suhu"!"

   Suaranya mengandung keharuan karena beberapa tahun tidak berjumpa dengan suhunya, kini Kim Kong Taisu kelihatan sudah tua sekali. Rambut di kepalanya sudah menjadi jarang dan makin putih, agaknya banyak yang rontok, mukanya kurus pucat dan sepasang matanya sudah kehilangan sinarnya, seakan akan sudah terlalu bosan berada di dunia ini.

   Ketika Kim Kong Taisu memandang dan melihat betapa di kedua pipi pemuda itu terdapat air mata, diam diam ia terkejut dan matanya sendiri menjadi basah. Ia heran sekali mengapa muridnya sekarang menjadi demikian perasa dan mudah terharu, seperti orang yang menderita kedukaan atau tekanan batin yang berat.

   Tetapi tiba tiba kakek ini teringat akan sesuatu. Ah, jika orang sedang bercinta kasih, memang perasaannya menjadi halus sekali, pikirnya. Tentu muridnya ini sedang dalam ayunan gelombang asmara dan dengan siapa lagi kalau bukan dengan murid Mo bin Sin kun? Maka dalam keharuannya, kakek ini tersenyum,

   "Bun Sam, kau lupa belum memberi hormat kepada gurumu yang ke dua ini."

   Bun Sam terkejut dan terheran. Ia mengangkat mukanya dan memandang kepada seorang wanita yang usianya empatpuluh tahun lebih, tetapi wajahnya masih nampak cantik. Ia tidak kenal dengan wanita ini, mengapa suhunya menyebutnya sebagai gurunya yang ke dua?

   "Suhu, siapakah toanio ini? Teecu tidak kenal, atauakah teecu telah lupa lagi?"

   Wanita itu tersenyum dan kelihatan kemanisan wajahnya yang di walau mudanya tentu cantik sekali.
"Bun Sam, kau lupa muka tentu tidak lupa suara, bukan?"

   Bukan main terkejutnya hati Bun Sam mendengar suara ini, hanya memandang dengan melongo dan sampai lama ia tidak bisa mengeluarkan kata kata,

   "Kau....kau....suthai?"

   Mo bin sin kun mengangguk dan senyumnya melebar.

   "Bagus, kau masih mengenal suaraku, Bun Sam."

   Bun Sam mengejap ngejapkan matanya, seakan akan tidak percaya kepada pandangan mata dan pendengaran telinga sendiri. Bagaimana mungkin? Mo bin Sin kun adalah seorang wanita yang wajahnya buruk seperti setan! Baru julukannya saja sudah Mo bin Sin kun, Tangan Sakti Muka Setan! Bagaimana sekarang muka yang tadinya berkulit hitam kisut dan buruk itu berubah menjadi halus, putih dan cantik?

   Tiba tiba Kim Kong Taisu tertawa geli. "Anak bodoh, ayoh kau lekas memberi hormat kepada gurumu ini!"

   Bun Sam lalu mengangguk anggukkan kepala dan mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Mo bin Sin kun yang melangkah maju dan membangunkannya.

   "Bun Sam, baru melihat wajah Mo bin Sin kun saja kau sudah terheran heran seperti orang melihat malaikat, apa lagi kalau kau ketahui bahwa usia Mo bin Sin kun ini hanya berselisih tiga tahun lebih muda dari pada usiaku."

   Benar benar ini adalah berita yang mengejutkan. Menurut taksiran Bun Sam, paling banyak usia Mo bin Sin kun, baik dilihat dari mukanya maupun bentuk tubuhnya, tak lebih dari empat puluh lima tahun, sedangkan suhunya sudah berusia hampir tujuhpuluh tahun, mana mungkin?

   "Sudahlah, kau jangan hiraukan obrolan tua bangka ini, Bun Sam!" kata Mo bin Sin kun mencela Kim Kong Taisu.

   "Ha, ha, ha, sudah setua ini masih saja ingin menyembunyikan ketuaannya. Dasar wanita!"
Kemudian Kim Kong Taisu menghadapi muridnya yang sudah berdiri.

   "Bun Sam, kebetulan sekali kau datang. Mo bin Sin kun dan aku baru saja merundingkan tentang sesuatu yang amat penting...."

   Bun Sam sudah dapat menduga apa yang akan diucapkan suhunya, maka ia pura pura mencari cari dengan matanya, kemudian ia bertanya,

   "Suhu, mana Siauw liong? Teecu rindu kepadanya dan mengapa ia tidak muncul?"

   Ditanya tentang Siauw liong, ular peliharaannya yang juga amat disayangnya itu, muramlah wajah Kim Kong Taisu dan ia menunda bicaranya.

   "Aah, kalau dibicarakan benar benar mendatangkan penasaran dan marah. Tadipun sudah kukatakan bahwa Siauw liong telah tewas, dalam keadaan yang amat menyedihkan."

   "Dia mengapa, suhu? Apakah mati tua? Ataukah terbunuh?"

   "Dia mati dalam sebuah pibu (adu kepandaian) yang adil, akan tetapi sayangnya lawannya curang."

   Bun Sam terheran. Baru kali ini selama hidupnya ia mendengar seekor ular bisa mengadakan pibu. Ketika ia mendesak, suhunya lalu bercerita.

   "Beberapa bulan yang lalu, Lam hai Lo mo si iblis tua itu datang ke puncak bukit ini dan dia membawa seekor ular senduk. Karena orang itu memang dikelilingi oleh hawa busuk, maka Siauw liong menjadi curiga dan tiba tiba menyerangnya. Lam hai Lo mo hendak membunuhnya, baiknya aku keburu keluar dan mencegahnya. Dengan marah Lam hai Lo mo lalu mengeluarkan ular senduknya dan menantang pibu. Karena yang berhadapan adalah ular sama ular, terpaksa aku tidak keberatan dan Siauw liong lalu diadu dengan ular senduk yang dibawa oleh Lam hai Lo mo itu. Mula mula, Siauw liong menang, tetapi akhirnya, ia kena digigit dan ternyata bahwa gigi ular itu telah dipasangi besi mengadung racun anti ular di dalamnya, sehingga Siauw liong tewas!"

   Kakek itu menarik napas panjang.

   Bun Sam membanting kakinya.

   "Jahat benar si Lam hai Lo mo! Apakah maksudnya naik ke sini hanya untuk mengadu ular suhu?"

   "Kalau hanya demikian, tidak akan menyusahkan kita sekalian. Dia datang untuk menantang aku mengadakan pibu. Juga ia menyampaikan tantangan Pat jiu Giam ong kepada Mo bin Sin kun."

   "Lawan saja, suhu, biar teecu yang mewakili ji wi suhu," kata Bun Sam dengan semangat bernyala nyala. Memang ia sudah merasa gemas dan benci kepada dua orang kakek yang lihai itu. Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun saling memandang dan tersenyum.

   "Bocah jumawa, kaukira akan dapat menandingi mereka itu?" kata Kim Kong Taisu.

   "Betapapun juga, semangatmu mengagumkan, Bun Sam. Terima kasih atas pembelaanmu. Kau benar benar seorang murid yang baik." Mo bin Sin kun memuji.

   Bun Sam diam saja tidak membuka rahasianya. Baru ia ingat bahwa dua orang sakti ini tidak tahu bahwa ia telah mendapat gemblengan hebat dari Bu tek Kiam ong.

   "Bila diadakan pibu itu dan di mana, suhu?" tanyanya.

   "Tiga bulan lagi, di atas batu batu karang di lembah Sungai Huang ho yang disebut Lembah Maut sebelah utara kota Lok yang.

   Bun Sam terkejut.

   "Bukankah tiga bulan lagi datang musim hujan? Bagaimana kalau sungai itu banjir?"

   Kim Kong Taisu mengangguk angguk.

   "Itulah kehendak si iblis Lan hai. Rupanya ia hendak mengadakan pibu mati matian."

   "Lagi pula, mereka telah membentuk Hiat jiu pai yang amat kuat. Tentu mereka akan datang dengan banyak tenaga," kata Mo bin Sin kun. "Akan tetapi kita tak usah takut. Biarlah kita datang dan melihat saja apa yang hendak mereka lakukan. Kukira, menundukkan Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo tidaklah sukar."

   Kim Kong Taisu tersenyum. "Kau dengar, Bun Sam? Gurumu ini memang sombong dan agaknya kaupun ketularan penyakitnya. Akan tetapi percayalah, memang hanya dia ini yang akan dapat menundukkan Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo."

   "Sudahlah," menyela Mo bin Sin kun, "sekarang kita bicarakan urusan yang lebih penting. Bun Sam, aku dan Kim Kong Taisu, atas persetujuan dan anjuran Yap goanswe, telah mengambil keputusan akan menjodohkan kau dengan Lan Giok. Nah, biarlah kau tahu sekarang dan semua orang orang tua telah menyetujui perjodohan yang amat baik ini. Kau tentu girang, bukan?"

   "Bun Sam, sebelum aku mati, aku ingin sekali menyaksikan kau bertemu sebagai mempelai dengan puteri Yap Bouw suhengmu itu!" sambung Kim Kong Taisu.

   Bukan main gelisah dan sedihnya hati Bun Sam mendengar semua ucapan dari Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu ini. Ia sudah lama takut akan ucapan ucapan seperti ini. Yang berat baginya mengenai penolakannya terhadap perjodohannya dengan Lan Giok, adalah kekecewaan orang orang tua ini. Apalagi kalau ia mengenangkan Yap Bouw. Ah, ia takkan dapat tahan melihat Yap Bouw kecewa karena mendengar penolakannya!

   "Bun Sam, mengapa kau diam saja?" tanya Kim Kong Taisu.

   "Bun Sam, mengapa kau begitu pucat? Sakitkah kau?" tanya Mo bin Sin kun.

   "Aduh, apa yang harus teecu dapat katakan?" Ia menundukkan mukanya yang pucat.
"Teecu....menganggap Lan Giok seperti adik sendiri"!"

   Mo bin Sin kun tertawa.

   "Memang demikianlah mula mula, Bun Sam. Tetapi kalau kalian sudah menikah."

   "Ampunkan teecu, akan tetapi.... teecu tidak.... tidak dapat menerima ikatan jodoh ini!"

   Kedua orang tua itu melengak. Mo bin Sin kun mengerutkan keningnya dan matanya bersinar sinar marah.

   "Bun Sam, katakan lekas! Apa kau menampik karena menganggap Lan Giok terlalu bodoh dan terlalu buruk?"

   Bun Sun cepat menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, tidak! Bahkan Lan Giok terlalu cantik dan terlalu mulia untuk seorang bodoh dan canggung seperti teecu! Hanya". teccu tidak dapat menerima ikatan jodoh ini, suthai...."

   "Kenapa? Ayoh katakan, jangan malu malu dan jangan ragu ragu, kenapa kau menolak!" suara Mo bin Sm kun tergetar, tanda bahwa dia marah sekali, sedangkan Kim Kong Taisu tak dapat mengeluarkan suara saking merasa kecewa, heran dan juga terkejut.

   "Teecu....teecu....takkan menikah dengan orang lain" kecuali". dia...."

   Tiba tiba Mo bin Sin kun membantingkan kakinya dengan gemas. Bantingan kaki ini demikian keras, sehingga Bun Sam merasa betapa tanah yang diinjaknya bergetar!

   "Bagus, kau menolak Lan Giok karena kau lelah mempunyai pilihan sendiri, ya? Kau....kau.....berani sekali kau menghina kami??"

   Ia lalu menoleh kepada Kim Kong Taisu dan berkata,

   "Dasar muridmu, tentu saja tidak jauh dari gurunya! Lihat betapa muridmu mengulangi perbuatan perbuatanmu yang mengacaukan! Huh, mual perutku melihatmu!"

   Kembali Mo bin Sin kun memandang kepada Bun Sam dan berkata keras,

   "Mulai saat ini, aku bukan gurumu lagi dan lupakanlah Soan hong pek lek jiu yang pernah kau pelajari dariku. Kau tidak berhak menggunakan ilmu pukulan itu!"

   Setelah berkata demikian, dengan muka merah saking marahnya, Mo bin Sin kun lalu melompat turun gunung dan lari cepat sekali.

   Bun Sam mendengar Kim Kong Taisu mengeluarkan keluhan seperti orang tersedu dan ketika ia mengangkat muka memandang, dengan terkejut ia melihat suhunya itu terhuyung huyung seperti orang mabok dan hendak roboh. Ia cepat menubruk maju dan hendak memeluk suhunya, tetapi tiba tiba Kim Kong Taisu mendorong dengan tenaganya ke arah dada pemuda itu sambil berseru,

   "Jangan sentuh aku!!"

   Bun Sam menerima dorongan ini terhuyung mundur tiga tindak.

   Kim Kong Taisu menjatuhkan diri di atas sebuah batu dan duduk sambil menghela napas berulang ulang. Akan tetapi ia memandang heran sekejap ketika tadi melihat Bun Sam tidak roboh karena dorongannya.

   Apakah ia telah menjadi lemah, sehingga tenaganya berkurang? Tak terasa lagi Kim Kong Taisu mencoba tenaganya dan mendorong ke kiri di mana terdapat sebatang pohon besar. Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang. Makin heranlah Kim Kong Taisu. Bagaimana Bun Sam kuat menahan dorongannya, sehingga hanya mundur tiga tindak?

   Ah, alangkah sayangnya kepada pemuda ini, tetapi mengingat betapa Bun Sam telah menyakitkan hatinya, tak terasa pula air matanya mengalir turun ke atas pipi kakek ini.

   "Suhu...." Bun Sam maju berlutut dan pemuda ini juga menangis, "kalau suhu menghendaki, bunuh sajalah teecu!"

   "Kau....jangan menyebut suhu kepadaku. Aku tidak punya murid seperti engkau lagi!"

   "Suhu...."

   "Tutup mulutmu! Siapa sudi mempunyai seorang murid yang berwatak rendah, tak kenal budi? Semenjak kecil kau dirawat oleh Yap Bouw, bahkan kalau tidak ada dia yang menolong, kau takkan ada lagi di dunia ini. Ia telah menganggap engkau sebagai putera sendiri dan kini setelah dia bertemu kembali dengan keluarganya, ia ingin mengambil kau menjadi menantunya, dijodohkan dengan puterinya yang selain cantik juga pandai dan mulia. Tetapi apa katamu tadi? Kau menolak karena kau telah mencintai seorang wanita lain! Ah, benar benar menghina sekali! Jangan bicarakan tentang pendidikan yang kuberikan kepadamu, karena dibanding dengan budi Yap Bouw terhadapmu, budiku belum seberapa. Sudah, kau pergilah dan jangan injak lagi tempat ini!"

   Sambil berkata demikian, Kim Kong Taisu menudingkan telunjuknya ke bawah gunung.

   "Suhu, ampunkan teecu...." Bun Sam mengeluh dengan suara hampir tak terdengar.

   "Cukup, kau bukan muridku lagi." Seperti juga Mo bin Sin kun, aku melarang kau mempergunakan ilmu silat yang dahulu kau pelajari dariku!"

   Bukan main sedihnya hati Bun Sam, hal ini dapat dibayangkan. Akan tetapi di dalam kesedihannya itu, timbul sesuatu yang menentang akan semua keputusan orang orang tua ini. Mengapa mereka berlaku kejam kepadanya? Mengapa mereka hendak memaksa? Tak mungkin ia menuruti kehendak mereka dan menyia nyiakan Sian Hwa! Maka tetaplah hatinya. Timbullah keangkuhannya.

   Biar semua orang membencinya, biar dunia membencinya, asal Sian Hwa tetap mencinta, ia takkan putus asa! Kebahagiaannya adalah berada di tangan Sian Hwa, bukan di tangan mereka itu. Pikiran ini menghidupkan api di dalam dadanya yang tadi telah hampir padam.

   Bun Sam meraba punggungnya dan mengeluarkan Kim kong kiam, pedang pusaka yang dulu ia terima dari gurunya.

   "Suhu, biarpun suhu tidak menganggap teecu sebagai murid lagi, akan tetapi selama hidupku, teecu masih akan menganggap suhu sebagai guruku. Teecu mengembalikan pedang Kim kong kiam dan tentu saja teecu bersumpah takkan mempergunakan ilmu silat yang teecu pelajari dari suhu, biarpun teecu berada dalam bahaya maut sekalipun."

   Melihat betapa pemuda itu dengan tangan menggigil menyerahkan pedang itu, hati Kim Kong Taisu terasa perih dan terharu.

   "Aku tidak bermaksud menarik kembali pedang itu," katanya singkat.

   "Mana teecu berani mempergunakannya? Kalau pedang itu masih di tangan teecu, berarti bahwa teecu masih akan membawa bawa nama suhu. Teecu khawatir kalau kalau nama baik suhu akan terbawa bawa,"

   Terpukul juga hati Kim Kong Taisu mendengar ucapan ini, maka ia menerima pedang itu dengan helaan napas panjang, kemudian kakek ini memandang dengan mata basah ketika ia melihat Bun Sam menuruni gunung dengan tindakan lesu dan muka pucat.

   Kim Kong Taisu menunduk dan memandang kepada pedangnya itu.

   "Habislah harapanku".! Habislah".! Kalau tidak sudah berjanji akan mengadakan pibu dengan Lam hai Lo mo, senang rasanya mati diantar oleh Kim kong kiam...."

   Setelah berkata demikian, dengan tindakan kaki tersaruk saruk, kakek tua ini membawa pedang dan kembali ke pondok nya. Dua titik air mata jatuh membasahi pedang Kim kong kiam.

   Bun Sam berjalan dengan lemas, tetapi dengan harapan baru. Ia mencari Sian Hwa dan dalam perantauannya ini ia tiba di perbatasan utara.

   Ketika ia keluar dari sebuah hutan yang dilaluinya, tiba tiba ia melihat debu mengebul dari depan dan tak lama kemudian nampaklah sebuah kendaraan ditarik oleh empat ekor kuda yang besar. Di depan dan belakang kereta itu dikawal oleh dua belas orang perwira kerajaan yang berpakaian indah gemerlapan.

   "Petani, minggir....!" perwira terdepan berseru keras menyuruh Bun Sam yang berdiri di tengah jalan itu minggir.

   Bun Sam biarpun mendongkol sekali disebut petani, namun ia masih sabar dan melangkah ke pinggir. Petani memang bukan orang rendah, pikirnya, tetapi cara perwira itu mengeluarkan ucapanlah yang membikin sebutan itu rendah.

   "Eh, petani buruk, cepat minggir!" teriak perwira ke dua yang melihat betapa Bun Sam tidak tergesa gesa minggir.

   "Berlutut kau....!" teriak perwira ini sambil mengayun cambuknya ke arah Bun Sam.

   Sesabar sabarnya, Bun Sam masih muda dan masih berdarah panas, apa lagi ia sedang berada dalam kesengsaraan, maka tentu saja ia tidak dapat menahan sabar lagi. Iapun tahu bahwa penghinaan orang itu adalah karena pakaiannya yang sudah tak karuan macamnya, sobek di sana sini dan kotor, karena memang selama ini ia tidak menghiraukan keadaan tubuhnya lagi.

   Akan tetapi kalau orang terlalu menghina, ia tak dapat bersabar lagi. Dengan cepat, ketika cambuk itu menyambar, ia mengelak dan sekail ia menggerakkan tangan, cambuk itu sudah dipegangnya dan ia menarik keras keras.

   Karena sentakannya ini tidak terduga duga, perwira itu memekik dan tubuhnya terbawa tarikan, terguling dari atas kuda. Bun Sam tidak mau berhenti sampai di situ saja.

   Ia hendak melihat siapa orangnya di dalam kereta itu. Kalau pengawalnya saja sudah sesombong ini, tentu majikannya lebih sombong lagi. Hendak ia memberi peringatan agar rombongan ini tidak menghina rakyat.

   Bun Sam melompat ke depan kereta dan memegang tiang yang berada di antara dua kuda terdepan. Ia mengerahkan tenaganya dan empat ekor kuda itu meringkik ringkik sambil mengangkat kedua kaki depan, karena mereka direm secara tiba tiba oleh tenaga yang kuat sekali.

   "He, apakah kau perampok?" teriak seorang perwira yang segera menyerang dengan goloknya.

   Bun Sam dengan lincah sekali mengelak dan sekali ia menendang, kuda yang ditunggangi oleh perwira ini terguling dan perwira itu sendiri terjungkal dari atas kudanya. Kini duabelas orang perwira itu semua sudah melompat turun dari kuda dan mengurung Bun Sam.

   "Majulah! Keroyoklah! Kalian ini tikus tikus kalau tidak diberi rasa, akan makin kurang ajar saja," seru Bun Sam dan tubuhnya menerjang ke kanan kiri. Tiap kali ia menggerakkan tangan atau kakinya, melayanglah sebatang golok dan pemegangnya teraduh aduh sambil menekan nekan bagian tubuh yang terpukul. Keadaan menjadi kacau balau dan duabelas orang perwira itu mundur teratur.

   Pada saat itu, tenda kereta dibuka oleh sebuah tangan yang putih halus dan ketika disingkapkan, nampaklah muka yang cantik sekali. Bun Sam memandang dan pandangan matanya bertemu dengan sepasang mata yang kebiru biruan.

   "Kau....Song Bun Sam....??"

   Bun Sam cepat maju dan memberi hormat dengan sopannya.

   "Aduh tidak tahunya nona Luilee. Mohon maaf sebanyak banyaknya. Kukira tadinya seorang pembesar yang suka berlaku sewenang wenang dan yang membiarkan pengawal pengawalnya berlaku kasar kepada rakyat miskin. Tidak tahunya kau, nona. Maafkan aku banyak banyak."

   Luilee tersenyum manis dan melompat turun dari keretanya.

   "Hai, kalian jangan kurang ajar. Tidak tahukah kalian sedang berhadapan dengan siapa? Dia ini Song taihiap yang mengembalikan pedang kerajaan Pek lek kiam! Jangankan baru kalian duabelas orang, biarpun ditambah lima lusin lagi semua tentu akan dihajar habis habisan oleh Song taihiap. Ayoh minta maaf padanya!"

   Mendengar seruan nona puteri yang mereka kawal itu. semua orang perwira menjadi terkejut dan buru buru mengangkat kedua tangan memberi hormat dan minta maaf.

   "Tidak apa," kata Bun Sam, "asal lain kali jangan berlaku kasar kepada petani. Kalau tidak ada petani, kita semua ini akan makan apakah?"

   Para perwira itu menjadi merah mukanya dan Puteri Luilee tertawa geli.
(Lanjut ke Jilid 24)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
"Bisa saja kau bicara, taihiap. Eh, mengapa kau berada di sini dan.... bagaimana keadaanmu menjadi begini buruk? Kau kurus sekali, taihiap dan pakaianmu.... ah, apakah yang sudah terjadi denganmu?"
Bun Sam merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menggeleng kepalanya.

   "Tidak apa apa, nona."

   "Apakah kau sudah bertemu dengan Sian Hwa, kekasihmu itu?" tiba tiba Luilee bertanya dan seketika itu juga, terbangun semangat Bun Sam mendengar nama kekasihnya.

   "Belum dan inilah yang membuat aku merasa sengsara. Entah di mana aku dapat menemukan, agaknya di akhirat!"

   "Hush, seorang gagah tak boleh putus asa!" kata Luilee. "Memang kekasihmu itu berada di sorga...."

   "Apa...."

   "Akan tetapi sorga yang terdapat di dunia ini dan kau boleh menjumpainya. Aku memiliki ilmu hoatsut (sihir) yang akan dapat membawamu kepadanya, taihiap."

   "Betul betulkah? Jangan kau main main, nona. Aku benar benar hampir bosan hidup kalau tidak bertemu dengan Sian Hwa. Kau tidak tahu akan kesengsaraanku." Bun Sam mengeluh.

   "Siapa main main? Aku Luilee tak pernah main main dan biar aku disambar petir di siang hari panas kalau aku main main." Mau tak mau Bun Sam tersenyum juga. Watak Luilee ini mengingatkan dia akan watak Lan Giok yang suka sekali bergurau. Mana ada petir menyambar di siang hari panas?

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Luilee memberi isyarat kepada para pengawal untuk mengaso dan iapun lalu mengajak Bun Sam duduk di bawah pohon untuk bercakap cakap.

   "Sekarang kauceritakanlah mengapa kau begini sengsara, kemudian akulah yang akan mengobatinya dan yang akan mempertemukan kau dengan kekasihmu itu."

   Pada waktu itu, Bun Sam merasa hidup terasing, seorang diri dan tidak ada siapa siapa lagi di dunia ini kecuali kekasihnya, Sian Hwa. Akan tetapi ia tidak tahu Sian Hwa berada di mana maka sekarang menghadapi Luilee yang agaknya dapat mempertemukan dia dengan Sian Hwa, tidak heran apabila hatinya tergerak dan ia mencurahkan isi hatinya kepada puteri Bangsa Semu yang cantik ini.

   Ia menuturkan kepada Luilee betapa ia akan dipaksa menikah dengan Lan Giok dan betapa guru gurunya menjadi marah sekali, sehingga ia diusir dan tidak diakui. Ketika menuturkan pengalaman nya sampai di sini, tak terasa pula mata Bun Sam menjadi basah.

   "Aduh, kasihan sekali kau, Bun taihiap," kata Luilee sambil menghapus air matanya sendiri dengan saputangan sutera yang berwarna hijau dan berbau harum. "Mereka itu keterlaluan sekali. Keterlaluan dan kejam!" serunya.

   "Nona Luilee, bagi bangsa kami, yakni orang orang Han, yang terpenting adalah memegang aturan. Dan semua guru guruku itu hanya menggunakan aturan inilah, mereka tidak bisa dipersalahkan. Akulah seorang yang bersalah, memang aku seorang tak ingat budi, seorang murid murtad dan seorang yang paling tidak berharga!"

   "Tidak bisa begitu," Luilee membantah. "Peraturan memang harus dijalankan, tetapi harus disesuaikan dengan keadaan dan perasaan. Kalian ini orang orang Han memang kadang kadang terlampau kukuh dengan aturan aturanmu, sehingga kalian merupakan kerbau buta yang dituntun hidungnya tidak mempunyai pendirian sendiri. Contohnya tentang bakti. Kau hendak berbakti kepada orang tuamu kalau misalnya ayahmu seorang perampok jahat, apakah kaupun hendak berbakti kepadanya dan mengikuti jejaknya sebagai seorang penjahat pula, hanya untuk menjaga agar kau disebut berbakti dan tahu aturan?"

   Dalam keadaan seperti itu, Bun Sam tidak ada nafsu untuk berdebat, sungguhpun di dalam hatinya ia tidak setuju dengan tuduhan nona Bangsa Semu ini.

   "Sudahlah, nona Luilee. Aku sudah menceritakan pengalaman dan penderitaanku. Sekarang mana obat itu dan apa yang akan kau ceritakan padaku mengenai diri Sian Hwa?"

   Luilee tersenyum lagi dan timbul lagi kegembiraannya. Bun Sam diam diam harus mengakui bahwa nona ini benar benar cantik sekali dan bahwa matanya yang kebiru biruan itu mudah sekali berganti warna. Pantas saja Pangeran Kian Tiong jatuh hati, pikirnya. Akan tetapi kalau ia membayangkan wajah Sian Hwa, nona Semu ini tidak menarik hati lagi!

   "Baik, Bun taihiap. Aku bukan pembohong. Dalam tiga hari kau akan bertemu dengan kekasihmu itu. Tetapi kau harus menurut segala pesanku."

   Bun Sam terheran heran, tetapi ia girang sekali sehingga matanya yang tadinya layu kini menjadi segar. "Tentu saja, aku akan menurut segala pesanmu, biarpun harus menceburkan diri dalam lautan api sekalipun!"

   Luilee tertawa.

   "Ah, tidak demikian berat, taihiap. Kau pergilah ke utara, kalau sudah tiba di sebuah sungai, kau menyeberang lalu membelok ke kiri. Di dalam sebuah dusun di lereng bukit yang kelihatan seperti burung merak, yang disebut Kong ciak san (Gunung Merak), di situ kau akan melihat sebuah pesta pernikahan. Datangilah tempat pesta itu dan selanjutnya kau akan mengalami petunjuk petunjuk yang akan mempertemukan kau dengan kekasihmu. Dan pesanku, kalau kau sudah melihat kekasihmu jangan terburu nafsu, bukalah suratku dan baca dulu dengan tenang, baru kau boleh bertindak menurut suratku itu!"

   Bun Sam mengangguk angguk dengan hati penuh gairah. Entah mengapa, biarpun mata nona itu berseri seri dan bersinar sinar seperti seorang tengah bergurau, ia percaya betul kepada Luilee! Ia tahu bahwa biarpun lincah dan nakal, nona ini memiliki hati yang mulia dan tak mungkin akan menipunya.

   "Mana suratnya?" tanyanya mendesak.

   Luilee mengerling tajam lalu mengomel,

   "Nah, itulah salahnya dengan laki laki, selalu tergesa gesa! Kalau kau ingin berhasil dengan wanita, berlakulah sabar dan jangan tergesa gesa!"

   Bun Sam tahu bahwa nona ini memang suka sekali menggoda orang, tetapi ia tidak perduli, bahkan makin mendesak,

   "Nona Luilee yang baik, lekaslah kau buat surat itu. Aku ingin sekarang juga terbang ke dusun itu!"

   "Kau akan menemui kekasihmu dalam pakaian seperti ini? Ah, benar benar tidak beres!" Ia menggapaikan tangannya yang berkulit putih halus itu kepada seorang perwira yang segera berlari mendatangi.

   "Ambil alat tulis dan kertas, kemudian kau sediakan se stel pakaian bersih untuk Bun taihiap!"

   Perwira itu memberi hormat dan pergi ke kereta. Tak lama kemudian ia datang kembali membawa alat tulis dan menyerahkan pakaian kepada Bun Sam. Akan tetapi setelah perwira itu menjauhkan diri lagi dan Luilee mulai menulis, Bun Sam meletakkan pakaian itu di atas batu dan tidak memakainya.
Luilee menulis dengan aksi dibuat buat. Lidahnya yang kemerahan dan berujung lancip itu keluar sedikit di ujung bibirnya dan keningnya berkerut seakan akan ia sedang membuat sebuah karangan yang amat sukar! Bun Sam makin gemas karena ia hendak segera membawa surat itu.

   Akhirnya selesai juga Luilee membuat surat itu. Dilipatnya kertas itu dan diserahkannya kepada Bun Sam. Akan tetapi ia melihat Bun Sara masih belum berganti pakaian, maka katanya kaget,

   "He?? Mengapa kau belum tukar pakaian?

   "Tak usah nona."

   "Sian Hwa akan jijik melihatmu."

   "Cinta murni tidak dipengaruhi oleh pakaian indah dan muka elok. Aku tak perlu berganti pakaian."

   Luilee mengerutkan keningnya mendengar ini dan mengangkat bahu lalu berdiri tegak.

   "Anak muda," katanya dengan lagak seperti seorang sudah banyak pengalaman, "kau tahu apakah tentang cinta? Kalau kau bilang cinta murni tidak mengenal keindahan, baik pakaian maupun wajah, habis cinta yang mengenal keindahan kau sebut apa?"

   "Itu hanya cinta nafsu semata! Cinta berahi yang terdorong oleh nafsu, tidak mendalam sampai di hati!" kata Bun Sam.

   "Haya.... sombongnya! Pandirnya! Tololnya! Eh, anak muda yang gagah perkasa, ahli filsafat muda yang bisa jatuh cinta! Apakah kau betul betul mencinta Sian Hwa?"

   "Aku mencintainya dengan suci murni, bukan berdasarkan nafsu semata."

   "Phuah....! Khayal seorang pelamun! Kalau kau betul mencintai Sian Hwa, bagaimana pandanganmu tentang dia itu? Cantikkah dia, atau burukkah mukanya?"

   "Dia cantik secantik cantiknya. Tiada bidadari di sorga yang dapat menandingi kecantikannya."

   Luilee meruncingkan bibirnya yang manis, cemberut.

   "Jadi kalau dalam pandanganmu dia itu buruk rupa, kau takkan dapat jatuh cinta kepadanya?"

   Bun Sam menjadi bingung. Pertanyaan ini sekaligus memukul hancur semua teorinya tentang cinta.

   "Ini....kalau begitu....eh, aku tidak tahu."

   Luilee tertawa terpingkal pingkal, sehingga keluar air matanya.

   "Pendekar pandir, ahli filsafat tolol yang kemintar! Cinta dan keindahan tak dapat dipisah pisahkan, tahu? Tanpa keindahan, takkan ada cinta! Cinta itu indah. Kau tentu tahu pula bahwa berdasarkan hukum ini, dalam pandangan mata Sian Hwa, kau tentu seorang pemuda yang paling ganteng dan paling tampan. Kalau tidak begitu Sian Hwa takkan mencintaimu, tahu? Siapa orangnya dapat mencintai sesuatu yang dalam pandangan matanya kelihatan buruk? Hanya orang yang miring otaknya barangkali!"

   Mata Bun Sam melirik ke kanan kiri. Ia merasa betul betul bodoh dan dangkal pengetahuannya dalam memperbincangkan soal cinta dengan Luilee dan diam diam ia mengaku kalah.

   "Mungkin betul pandanganmu itu, nona Luilee."

   "Memang betul. Kalau betul, mana bisa salah lagi? Sekarang sudah jelas bahwa Sian Hwa menganggap kau tampan dan ganteng. Memang dalam hal ini, aku tidak salahkan Sian Hwa, karena kau memang tampan dan ganteng, biarpun tidak seganteng pangeranku."

   "Terima kasih, nona. Terus terang saja, kaupun amat cantik jelita dan manis dan agaknya.... kalau di sana tidak ada Sian Hwa, dalam pandangan mataku kau akan lebih cantik dan lebih manis dari pada sekarang ini."

   Luilee tersenyum. "Memang begitulah dan terima kasih kembali. Sekarang kau sudah tahu bahwa Sian Hwa menganggapmu tampan, kalau sekarang kau memelihara ketampananmu, bukankah itu berarti bahwa kau menghormat dan memelihara perasaan kekasihmu itu? Apakah kau begitu kejam untuk mencemarkan katampananmu yang begitu dikagumi oleh kekasihmu?"

   Bun Sam melengak. Hal ini sama sekali tak pernah dipikirkannya, agaknya sampai ia matipun takkan pernah ada filsafat tentang cinta macam ini kalau saja ia tidak bertemu dengan gadis yang aneh ini! Sambil berkata demikian, dengan lirikan tajam dan senyum mengejek Luilee menyerahkan suratnya tadi. Bun Sam menerimanya, membungkuk memberi hormat dan menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia berkata,

   "Betapapun juga, aku ingin Sian Hwa melihat kesengsaraanku dalam usahaku mencarinya!" Lalu ia melompat pergi cepat sekali.

   Luilee tertawa geli dan berkata seorang diri, "Siapa lebih palsu dalam cinta, laki laki ataa wanita? Laki lakilah yang lebih palsu dan gila, seperti badut beraksi...." akan tetapi, kata katanya ini disambungnya pula, "Semoga dia dan kekasihnya berbahagia....!"

   Puteri Semu ini lalu menghampiri keretanya, masuk ke dalam kendaraan dan memberi tanda kepada para pengawalnya untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja.

   Bun Sam berlari cepat sekali. Dua hari kemudian barulah ia tiba di sungai yang disebutkan oleh Luilee itu. Ia cepat menggunakan perahu nelayan menyeberang, kemudian setelah tiba di seberang utara sungai itu, ia lalu membelok ke kiri dan berlari lagi.

   Dari jauh dilihatnya sebuah bukit menjulang tinggi dan melihat bentuk bukit itu, berdebarlah hatinya. Tak salah lagi, itulah Kong ciak san, Bukit Burung Merak karena memang bentuknya seperti burung merak membuka sayapnya.

   Di daerah ini hanya tinggal orang orang Mongol dan Semu, ada pula orang orang Han, tetapi mereka itu kalau bukan pedagang keliling, tentu kuli kuli kasar atau budak budak belian!

   Biarpun kelihatan dekat, tetapi setelah dijalani, sehari barulah Bun Sam tiba di lereng bukit itu dan tibalah ia di dusun yang dimaksudkan oleh Luilee. Dusun ini cukup besar dan ramai dan kerena ia memasuki dusun ini pada malam hari, tidak ada orang yang memperhatikannya. Kalau masuknya siang hari, setidaknya tentu ia akan menimbulkan kecurigaan dan disangka seorang pengemis muda Bangsa Han yang kesasar di situ.

   Mudah saja bagi Bun Sam untuk mencari tempat pesta itu, karena dari jauh ia sudah mendengar gembreng, tambur dan terompet dibunyikan orang. Ia segera berlari menuju ke tempat itu dan melihat sebuah gedung besar dihias indah sekali.

   Lampu lampu Teng yang besar besar dan beraneka ragam dan warna, dipasang di depan dan memenuhi ruang tamu yang penuh dengan para tamu. Agaknya yang merayakan pesta adalah seorang pembesar tinggi yang kaya raya, pikir Bun Sam. Ia menyelinap di antara orang banyak yang berjubelan di luar sebagai penonton. Ternyata bahwa pesta itu diadakan untuk merayakan sebuah pernikahan!

   Bun Sam berdebar dan matanya mencari cari. Apakah maksud dari Luilee? Ia disuruh datang ke tempat ini dan semuanya ternyata cocok dan tepat sekali seperti yang diceritakan oleh puteri Semu itu. Memang benar ia melihat sebuah pesta, akan tetapi bagaimana selanjutnya? Luilee bilang bahwa di situ ia akan mendapat petunjuk selanjutnya, maka Bun Sam berdiri saja di antara para penonton dan memasang mata penuh perhatian ke dalam rumah itu.

   Para tamu sudah penuh berkumpul di ruang yang luas itu, terpisah menjadi dua bagian, bagian laki laki dan bagian wanita. Sejak tadi Bun Sam menandang ke arah para tamu wanita itu penuh perhatian, kalau kalau ia melihat Sian Hwa di situ. Akan tetapi mana mungkin? Wanita wanita yang berada di situ semua adalah Bangsa Mongol dan semuanya bermata biru seperti mata Luilee.

   Tiba tiba semua tamu bersorak dan musik dibunyikan keras. Dari dalam keluar sepasang mempelai yang hendak menjalankan upacara di ruang tamu itu, di depan meja leluhur dan disaksikan oleh semua tamu, Bun Sam tertegun. Mempelai pria adalah seorang laki laki bertubuh tinggi kecil yang usianya sudah lanjut, sedikitnya ada limapuluh tahun! Biarpun wajahnya kelihatan sabar dan masih tampan, lemah lembut dan kelihatannya terpelajar, namun karena rambutnya sudah banyak uban dan kulitnya sudah mulai kisut, ia nampak tidak serasi dalam baju pengantin.

   Adapun mempelai wanitanya, biarpun mukanya ditutup oleh hiasan kepala yang digantungi untaian mutiara menutupi mukanya, mudah saja dilihat bahwa mempelai wanitanya masih muda sekali, kentara dari bentuk tubuhnya.

   "Hm, satu lagi contoh korban harta dan pangkat." Bun Sam berkata seorang diri, akan tetapi ia tidak mau ambil pusing semua keganjilan ini.

   Matanya tetap awas memandang segala sesuatu menanti nanti petunjuk tentang Sian Hwa sebagaimana yang dikatakan oleh Luilee akan didapatkan nya di tempat ini. Petunjuk apakah yang akan kudapat dan lihat? Demikian Bun Sam berpikir pikir dengan hati ragu ragu.

   Dan datanglah petunjuk itu yang membikin wajah pemuda ini menjadi pucat seakan akan seluruh darah dalam tubuhnya lenyap sama sekali!

   Sebelum upacara dimulai, mempelai laki laki mengangkat hiasan kepala mempelai wanita, sehingga wajah mempelai wanita kelihatan. Dan apa yang dilihat oleh Bun Sam? Wajah ayu yang pucat dan tunduk, dengan air mata membanjir turun membasahi kedua pipi itu, bukan lain adalah wajah.... Sian Hwa!!

   "Sian Hwa....!" teriak Bun Sam, sehingga semua orang terkejut. Pemuda ini melompat dan sekali lompat saja ia telah berada di depan Sian Hwa, mempelai wanita itu.

   Mempelai wanita itn bagaikan disambar petir. Dengan mata terbelalak ia memandang dan bibirnya bergerak gerak seperti orang menangis namun tak sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Akhirnya dapat juga ia berseru,

   "Bun Sam....??" Seruan ini terdengar sebagai pertanyaan, karena sesungguhnya Sian Hwa tidak percaya kalau laki laki yang berdiri di depannya itu adalah Bun Sam.

   Orang orang menjadi geger. Mempelai laki laki dengan muka merah, akan tetapi tidak kehilangan ketenangan dan sikapnya yang agung, berdiri dani bertanya.

   "Apakah artinya ini? Siapakah kau, pemuda yang gagah?"

   Tadinya Bun Sam hendak mengamuk dan hendak memukul pecah kepala orang tua yang mengawini kekasihnya ini, akan tetapi mendengar suara dan melihat sikap mempelai pria ini, ia tidak melanjutkan nafsu marahnya. Ia menyambar pinggang Sian Hwa dengan lengan kanannya, kemudian ia berkata kepada mempelai pria,

   "Tuan, kau tidak bisa mengawini dia, karena dia adalah kekasihku!"

   Sambil berkata demikian, ia lalu membawa Sian Hwa melompat keluar dari ruang itu dan ketika beberapa orang dengan mirah mengejarnya, ternyata Bun Sam dan mempelai wanita itu telah lenyap dari pandangan mata, menghilang di dalam gelap!

   Bun Sam berlari terus sambil memondong tubuh kekasihnya, tidak perduli Sian Hwa berteriak teriak dan menangis.

   "Bun Sam...., kembalikan aku kepada suami ku....! Bun Sam.... kasihanilah aku, kembalikan aku kepada suamiku....!"

   Mendengar keluhan keluhan ini, makin panaslah hati Bun Sam dan ia bahkan makin mempercepat larinya. Bagaikan terbang ia berlari di malam buta, melalui pegunungan itu, melompati jurang jurang tanpa menghiraukan bahaya terpeleset jatuh, bahkan di sudut hatinya, ia mengharapkan agar ia bersama Sian Hwa terpeleset saja dan jatuh ke dalam jurang, hancur binasa!

   "Bun Sam, kau.... kau kejam.... kau tidak kasihan kepada Lan Giok.... tidak kasihan kepadaku dan kepada suamiku!" berkali kali Sian Hwa mencela, menuduh dan menangis, tetapi Bun Sam menoleh pun tidak. Tetap saja pemuda ini berlari, makin lama makin cepat.

   "Bun Sam.... kembalilah kau kepada isterimu, Lan Giok."

   Mendengar ini, Bun Sam menghentikan larinya. Mereka telah jauh dari Bukit Kong ciak san dan malam telah berganti pagi. Ternyata bahwa Bun Sam telah lari setengah malam tanpa berhenti!

   Setelah menurunkan tubuh Sian Hwa dari pondongannya, Bun Sam memegang kedua pundak gadis itu dengan kasar dan menatap wajahnya dengan pandangan mata menyeramkan.

   Sian Hwa memandang pula, terapi melihat sinar mata pemuda itu, ia mengeluh dan berkata,

   "Bun Sam, jangan memandang aku seperti itu.... jangan kau memandangku seperti itu...."

   lalu ia menangis terisak isak sambil menundukkan mukanya.

   "Kau"! Kau....!" Bun Sam berkata terengah engah sambil mengguncang guncangkan kedua pundak gadis itu. "Kau rela menikah dengan monyet tua itu....?? Alangkah rendahnya!"

   "Bun Sam...."

   "Sian Hwa, dulu kau menolak pinangan Liem Swee, rela menjadi nikouw, rela terlunta lunta, kukira kau setia dan tetap mencintaiku seperti aku cinta padamu. Tadinya kukira cintamu sama murninya dengan cintaku kepadamu, tetapi sekarang...."

   "Bun Sam, dengar...."

   "Tidak tahunya sakarang kau rela menjadi isteri seorang monyet tua, hanya karena dia terpelajar, berkedudukan dan kaya raya!"

   "Bun Sam....!"

   "Kalau aku tahu begini, Sian Hwa, aku lebih suka melihat kau menjadi isteri Liem Swee, atau menjadi nikouw sekalipun.... Ah, alangkah mudahnya kau lupa kepadaku, lupa kepada janji kita, lupa akan cinta kasih yang menjadi permainanmu semata dan....!"

   "Bun Sam, tidak....!" Sian Hwa meronta dan berhasil melepaskan kedua tangannya. Ia lalu menggunakan tangannya untuk menutup mulut pemuda itu.

   "Tutup mulutmu, kau....! Telan kembali kata katamu.... kau laki laki kejam....!"

   Dan....tiba tiba, Sian Hwa telah roboh pingsan di kedua lengan Bun Sam!

   Setelah melihat gadis itu menjadi pucat seperti mayat dan tubuhnya dingin sekali, barulah Bun Sam tersadar dari pada nafsu yang tadi menguasai hati dan pikirannya.

   "Sian Hwa". memang aku kejam...." ia berkata perlahan dan mengangkat tubuh gadis itu, dibawa ke bawah sebatang pohon dan membaringkannya di atas rumput. "Sian Hwa, betapapun juga, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau menjauhi aku hanya untuk menikah dengan seorang monyet tua....?" Akan tetapi Sian Hwa tak mendengar, karena gadis ini masih pingsan.

   Bun Sam teringat akan surat yang ditulis oleh Luilee, maka terkejutlah dia. Dia menghadapi malapetaka ini apakah bukan karena ia melalaikan pesan Luilee? Bukanknh pesan puteri Semu itu, bahwa begitu melihat Sian Hwa, ia harus membaca dulu surat itu dan jangan melakukan segala sesuatu menurutkan nafsu hatinya? Ia menjadi berdebar dan cepat ia mengambil surat itu dari dalam sakunya. Tulisan nona Semu itu ternyata bagus sekali, halus dan guratannya seperti rumput rumput hijau di musim semi.

   Song taihiap.

   Kau melihat Sian Hwa di samping mempelai pria yang sudah tua! Jangan kaget, mempelai prianya itu adalah ayahku, bekas raja dari Bangsa Semu! Kau marah? Jangan, karena Sian Hwa mau menjalani pernikahan ini karena bujukanku! Di samping itu, Sian Hwa amat berterima kasih kepada ayahku yang sudah menolong nyawanya. Hal ini kau akan mendengar sendiri dari Sian Hwa, Dia telah ceritakan tentang persoalannya dengan kau, maka aku tahu segalanya dan aku pula yang sengaja mengabarkan bahwa kau sudah menikah dengan tunanganmu!.

   Kau tahu mengapa aku membujuknya agar ia suka menikah dengan ayahku yang sudah menjadi duda tak lain tak bukan, untuk menolongnya dari kejaran Panglima Bucuci dan Pat jiu Giam ong! Kalau sudah menjadi isteri ayahku, mereka takkan berani menggunakan kekerasan. Kaukira ayahku bandot tua yang ingin makan daun muda? Bukan, taihiap. Ketahuilah, bahwa semenjak ibuku meninggal dunia, ayah telah bersumpah takkan menikah lagi dan telah menjadi seorang wadat.

   Nah, terserah kepadamu sekarang!

   Luilee

   Setelah membaca isi surat ini, Bun Sam melirik ke arah Sian Hwa. Hatinya seperti diiris iris dan ia merasa betapa ia tadi telah, mengeluarkan kata kata yang sama sekali tidak adil terhadap gadis ini.

   "Sian Hwa....ampunkan aku," bisiknya dan segera ia mengurut ngurut jalan darah pada leher dan pundak gadis itu.

   Tak lama kemudian Sian Hwa siuman kembali dan biarpun wajahnya masih kepucatan namun ia telah sembuh dari serangan batin yang hebat tadi.

   "Sian Hwa.... aku memang buta, buta dan bodoh. Ampunkan semua kata kataku tadi," kata Bun Sam sambil memegang kedua tangan gadis itu.

   "Bun Sam, betul betulkah kau belum menikah dengan adik Lan Giok? Bagaimana dengan dia?" tanya Sian Hwa, sama sekali tidak menaruh hati marah karena sikap Bun Sam tadi.

   Bun Sam menggelengkan kepalanya.

   "Aku menolaknya, Sian Hwa. Bagaimana aku bisa menerima ikatan jodoh itu kalau aku sudah terikat dalam hatiku dengan engkau? Aku menolak, Mo bin Sin kun marah, demikian juga suhu, aku di usir dan tidak diakui...."

   "Bun Sam....!"

   "Biarlah, biar orang orang sedunia membenciku, aku rela, asal saja kau tidak membenciku, Sian Hwa."

   Bukan main terharunya hati gadis itu mendengar pernyataan cinta kasih yang demikian besarnya.

   "Bun Sam, aku sungguh tidak berharga untuk pengorbanan yang begitu besarnya."

   "Cahaya hatiku, hanya kau seoranglah yang masih memungkinkan aku hidup di dunia ini," kata Bun Sam sambil memeluknya.

   Untuk beberapa lama mereka tak bicara dan tidak bergerak, hanya Sian Hwa yang terisak perlahan di dada Bun Sam yang memeluknya.

   "Bun Sam, bagaimana kau bisa menyusulku ke bukit Kong ciak san?"

   "Aku bertemu dengan Puteri Luilee."

   "Ahh, sudah kuduga begitu. Dia benar benar seorang yang budiman dan cerdik sekali. Ayahnya telah menolong nyawaku dan dia telah berusaha, sehingga kita saling bertemu, ah, besar sekali budi yang dia curahkan kepadaku."

   "Nanti dulu, kauceritakanlah yang jelas, Sian Hwa. Aku masih bingung sekali. Tadi aku marah marah seperti orang gila karena melihat kau melakukan upacara pernikahan dengan orang lain. Hati siapa takkan panas dan sakit? Kemudian, aku membaca surat yang ditulis oleh Luilee dan aku menjadi makin bingung." Ia lalu menyerahkan surat yang tadi dibacanya kepada Sian Hwa. Gadis itu membacanya, kemudian ia menghela napas dan tersenyum.

   Girang bukan main hati Bun Sam melihat kekasihnya sudah mau tersenyum. Ia memandang dan dua pasang mata saling pandang penuh perasaan, mesra dan saling mengerti.

   "Bun Sam, kau kurus sekali dan pakaianmu tak terpelihara," kata Sian Hwa dengan mulut masih tersenyum, tetapi matanya basah dan dikejap kejapkan.

   Bun Sam menjadi kikuk sekali menghadapi perhatian yang mesra ini dan ia menunduk, memandang pakaian dan tubuhnya sendiri.

   "Sesungguhnyakah? Ah, mungkin karena aku tidak memperhatikan makan dan pakaian."

   "Kasihan kau, Bun Sam...." Sian Hwa mendekat dan menyentuh bagian yang robek dari baju pemuda itu, "nanti kujahitkan yang robek robek."

   Melihat betapa ketika mengucapkan kata kata ini, bibir Sian Hwa digigit seakan akan menahan tangis, Bun Sam merasa hatinya tertusuk dan dipeluknya lagi kekasihnya itu. Keduanya mengucurkan air mata tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Seluruh perasaan dan kerinduan dicurahkan dalam pelukan ini.

   "Sian, ceritakanlah sekarang kepadaku semua pengalamanmu, agar aku ikut pula mengetahui betapa besar budi yang telah kauterima dari Luilee dan ayahnya ".

   Mereka duduk lagi berhadapan dan Sian Hwa menuturkan pengalamannya dengan singkat.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, gadis ini sengaja melarikan diri, menjauhi Bun Sara karena ia merasa tidak berhak merebut pemuda itu dari tangan Lan Giok yang sudah ditunangkan Bun Sam. Biarpun hatinya perih dan terluka, namun gadis ini terus melakukan perjalanannya, secepat dan sejauh mungkin dari Bun San, dari Bucuci dan yang lain lain.

   Ia berlari terus menuju ke utara dan akhirnya ia tiba di perkampungan orang Semu. Karena ia gagah, maka biarpun mengalami banyak rintangan, ia dapat menjaga diri dengan baik. Akan tetapi, pada suatu hari ia bertemu dengan serombongan orang orang Semu yang gagah dan memiliki kepandaian tinggi.

   Melihat seorang gadis Han berada di daerah mereka, orang orang Semu ini tertarik sekali dan dikeroyoklah Sian Hwa. Akhirnya karena lelah, gadis ini tertangkap dan tentu dia akan celaka dalam tangan orang orang kasar itu kalau saja tidak keburu ketahuan oleh Ta Ji khan, bekas raja orang orang Semu atau ayah dari Luilee.

   Ta Ji khan adalah seorang Semu yang terpelajar dan melibat betapa seorang gadis Han yang cantik dan gagah tertawan, ia lalu menyuruh orang orangnya melepaskan gadis itu dan memperlakukannya dengan baik sekali.

   Celakanya, karena mendapat luka luka dalam pertempuran itu, Sian Hwa jatuh sakit panas yang hebat sekali. Akan tetapi selama itu, Ta Ji khan memeliharanya dengan penuh kesabaran dan kesayangan, sebagai seorang ayah terhadap puterinya.

   Tentu saja Sian Hwa merasa berterima kasih sekali. Tadinya ia mengira bahwa raja orang Semu yang tua ini tentu akan berlaku kurang ajar kepadanya dan ia sudah mengambil keputusan bahwa kalau dugaannya itu betul, ia akan membunuh bekas raja ini kemudian akan mengamuk sampai terbinasa di situ. Tidak tahunya, bekas raja ini amat baiknya dan bersikap penuh sopan santun.

   Kemudian datanglah Luilee mengunjungi ayahnya untuk mengabarkan tentang perhubungannya dengan Pangeran Kian Tiong. Pertemuan antara Sian Hwa dan Luilee mengakibatkan perhubungan yang amat akrab. Apalagi ketika Luilee mendengar dari Sian Hwa bahwa gadis inilah yang menjadi kekasih dari Bun Sam, maka sikap puteri ini lebih baik lagi.

   Luilee yang memberi nasehat kepada Sian Hwa untuk menikah saja dengan ayahnya yang sudah tua, pernikahan hanya untuk menutup mata dan untuk melindungi keselamatan gadis itu saja. Pertama tama kalau sudah menjadi isteri Ta Ji khan, tak seorangpun pemuda Semu berani main main dan mengganggunya.

   Ke dua, kalau sampai Bucuci dan Pat jiu Giam ong mendapatkannya, juga mereka tak mungkin berani merampas gadis yang sudah menjadi isteri Ta Ji khan. Dan ke tiga, kalau memang Sian Hwa mencintai Bun Sam, demikian kata Luilee, lebih baik Sian Hwa menikah, sehingga pemuda itu kalau mendengar, tentu akan lebih mudah melupakannya dan pemuda itu dapat menikah dengan gadis lain dengan hati ringan!

   "Demikianlah, Bun Sam, mengapa kau melihat aku melakukan upacara pernikahan dengan Ta Ji khan."

   Bun Sam mendengarkan penuturan Sian Hwa dengan hati terharu sekali.

   "Sian moi, kau sebatangkara akupun yatim piatu. Tiada orang menjadi walimu maupun waliku. Semua guruku tidak mengaku aku lagi sebagai murid. Lalu bagaimana dengan kita....?"

   Sian Hwa mengerti akan maksud kekasihnya. Ia menarik napas panjang.

   "Koko katanya perlahan dan sebutan "koko" atau kanda untuk pertama kali ini membuat hati Bun Sara berdebar, "agaknya Thian Yang Maha Kuasa sudah menakdirkan kepada kita untuk saling mendatangkan kesusahan. Kalau tidak ada aku orang sengsara, kau takkan mengalami semua kesusahan itu, koko. Kau tentu akan menikah dengan Lan Giok, hidup berbahagia, tidak mendapat marah dari orang orang tua dan guru gurumu."

   "Cukup, Sian moi. Kau tidak katakan bahwa kaupun kalau tidak ada aku orang hina, tentu tidak akan keluar dari rumah gedung di mana kau hidup makmur. Temu kau sudah menjadi isteri putera seorang jenderal. Memang, Thian sudah menakdirkan kepada kita untuk menjadi jodoh masing masing, itu lebih tepat!"

   "Bagaimana mungkin, koko? Kita tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai wali, bagaimana kau bisa bicara tentang perjodohan?"

   "Jangan khawatir, adikku. Biarpun orang lain tidak menyetujui, kalau kita sudah saling mencinta, mau apalagi? Untuk meresmikan perjodohan kita, dapat kita minta kepada para nikouw di kelenteng Sun pok thian untuk menolong dan menjadi wali kita."

   "Di Kin an mui?

   Bun Sam mengangguk sambil tersenyum. Akan tetapi Sian Hwa nampak gelisah.

   "Tempat itu dekat dengan kota raja? bagaimana kalau sampai diketahui oleh mereka?"

   "Siapa takut, jangan kau gelisah, adikku. Dengan adanya aku di sampingmu, Bucuci dan Pat jiu Giam ong takkan dapat mengganggumu. Pula, aku memang hendak ke kota raja dan akan mendatangi ayah angkatmu itu, untuk dengan terus terang minta perkenannya."

   "Mana bisa? Tentu ia menolak keras!"

   "Terserah kepadanya. Kalau ia menerima, itu lebih baik. Sebaliknya kalau menolak, aku hanya menghadap untuk memenuhi kewajibanku karena ia adalah ayah angkatmu. Penolakannya tak ada pengaruhnya dengan perjodohan kita."

   "Terserahlah, koko. Aku hanya menggantungkan nasibku kepadamu seorang."

   Maka berangkatlah sepasang orang muda ini menuju ke kota raja dengan hati penuh kebulatan tekad. Setelah berkumpul mereka tidak takut apa apa dan merasa berbahagia sekali. Jangankan baru bahaya dari Bucuci atau Pat jiu Giam ong, biarpun harus menghadapi maut, asalkan bersama, mereka akan menentangnya dengan gembira dan tabah!

   Dengan muka masih merah saking marahnya, Mo bin Sin kun naik ke gunung Sian hwa san dan disambut oleh Yap Bouw isterinya dan kedua orang muridnya, yaitu Lan Giok dan Thian Giok.

   Dua orang muda itu lalu menuturkan tentang tugas mereka.

   "Keadaan mereka kuat sekali," kata Lan Giok menuturkan tentang Hiat jiu pai. "Selain Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo, mereka masih dibantu pula oleh Koai kauw jit him dan Sam thouw hud yang berkepandaian tinggi."

   "Tidak apa, betapapun juga, aku akan datang dan mencoba kepandaian mereka!" kata Mo bin Sin kun gemas, karena wanita perkasa ini masih mendongkol dan marah sekali mengingat akan penolakan Bun Sam.

   "Hal itu tidaklah penting. Yang penting adalah berita tentang Bun Sam, pemuda kurang ajar dan tak kenal budi itu!"

   Semua orang terkejut. Lan Giok menjadi pucat, bahkan Yap Bouw yang gagu setelah mendengar ini, cepat menggerakkan jari tangannya bertanya, "Apa? Mengapa?"

   Adapun nyonya Yap Bouw bertanya cepat, "Apakah Kim Kong Taisu tidak menyetujui?"

   Mo bin Sin kun menggeleng gelengkan kepalanya, "Kim Kong Taisu setuju dan menerima dengan gembira. Tiba tiba Bun Sam datang ketika kami sedang membicarakan urusan itu dan pemuda kurang ajar itu dengan tegas menolak perjodohan ini!"

   Ucapan ini tentu saja diterima bagaikan geluduk menyambar di siang hari, terutama sekali oleh Lan Giok yang menjadi makin pucat.

   "Mengapa? Mengapa Bun Sam menolaknya? Sungguh sukar untuk dapat dipercaya!" kata Yap Bouw dengan bahasa gerak jarinya.

   "Anak kurang ajar itu menolak dan berani mati sekali mengajukan alasan bahwa dia telah.... mencintai gadis lain!"

   Terdengar sedu sedan dan Lan Giok menutup mukanya dengan kedua tangannya, lalu gadis ini melompat dan berlari masuk ke dalam kamarnya.

   Suasana menjadi hening. Yap Bouw duduk termenung, tak bergerak bagaikan patung. Nyonya Yap Bouw menggunakan saputangan untuk menyusut air matanya. Thian Giok berdiri diam mengertakkan giginya.

   "Memalukan!" katanya perlahan. "Memalukan kalau sampai keluarga kita ditolak mentah mentah oleh seorang pemuda seperti dia!"

   Yap Bouw menegur puteranya dengan pandangan matanya. Mo bin Sin kun menghela napas.

   "Tak perlu dibicarakan lagi urusan ini. Tiga hari lagi aku akan ke kota raja dan menuntut pembubaran Hiat jiu pai. Kalau perlu aku akan mengadu nyawa dengan tua tua bangka Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo!" Setelah berkata demikian, Mo bin Sin kun lalu bertindak memasuki kamarnya. Adapun Thian Giok diam diam telah pergi pula dari situ.

   Tinggal Yap Bouw dan isterinya duduk berhadapan dan ketika mereka saling memandang, tak tertahan lagi keduanya meruntuhkan air mata. Melihat wajah suaminya yang buruk itu nampak demikian pucat dan berduka, nyonya Yap menangis terisak isak.

   Memang Yap Bouw telah menerima pukulan batin yang hebat sekali. Semenjak Bun Sam masih kecil, pemuda itu dipeliharanya, dididiknya seperti puteranya sendiri. Dan sekarang, justeru Bun Sam yang mendatangkan kedukaan dan rasa malu.

   Tiba tiba terdengar suara keras dan Yap Bouw telah memukul meja di depannya, sehingga meja itu pecah papannya. Dia teringat akan pengalamannya dahulu bersama Bun Sam di taman Panglima Bucuci. Tanpa mengatakan sesuatu, ia lalu melompat dan pergi turun gunung.

   Nyonya Yap terkejut dan khawatir sekali. Tadi ketika suaminya memukul meja, ia terkejut melihat sinar kejam terbayang di wajah suaminya. Kini melihat Yap Bouw berlari tanpa berkata sesuatu, ia cepat berlari masuk dan membuka pintu kamar Lan Giok. Ia melihat gadisnya itu tengah berbaring, menangis.

   "Lan Giok, lekas kau kejar ayahmu!"

   Lan Giok mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya dengan muka pucat dan air mata mengalir di sepanjang pipinya. Diam diam nyonya Yap merasa kasihan sekali, tetapi pada saat itu, kekhawatirannya terhadap Yap Bouw lebih besar.

   "Lan Giok, lupakanlah kekecewaanmu sebentar. Aku melihat ayahmu berlari turun gunung dan pada mukanya membayangkan ancaman hebat. Aku khawatir ia mencari Bun Sam dan membunuhnya."

   Mendengar ini, Lan Giok menyambar senjatanya dan cepat berlari pula keluar kamarnya, mengejar ayahnya turun gunung. Ayahnya tidak boleh memaksa Bun Sam, pikirnya. Ia tak perlu dipaksa paksakan kepada orang, si apapun juga orang itu. Itu terlampau hina dan rendah.

   Ilmu lari cepat dari Lan Giok sudah jauh lebih tinggi daripada tingkat ayahnya, maka tak lama kemudian ia dapat menyusul Yap Bouw.

   "Ayah....!" seru Lan Giok.

   Yap Bouw berhenti dan berpaling kepada anaknya.

   "Ayah hendak ke manakah?" tanya Lan Giok dan untuk menghibur ayahnya, anak ini memaksa tersenyum. Akan tetapi, karena hatinya terasa perih, senyumnya ini bahkan menyedihkan hati Yap Bouw.

   Tanpa menyatakan sesuatu, orang gagu ini lalu maju dan memeluk puterinya. Lan Giok tak dapat menahan lagi kedukaannya dan ia menangis sepuas puasnya di dada ayahnya. Yap Bouw hanya mengelus elus rambut puterinya itu, hatinya pilu bukan main.

   Kemudian, perlahan lahan Yap Bouw melepaskan pelukannya dan dengan gerak jari tangannya ia berkata.

   "Lan Giok, anakku yang manis. Jangan kau bersedih. Bun Sam tidak berharga menjadi suamimu, dia ternyata telah melakukan hal yang amat memalukan. Aku tahu siapa orang yang telah memikat hatinya!"

   "Siapa ayah?"

   "Kau tidak perlu tahu, nak."

   "Ayah, katakan. Siapa gadis itu? Aku tidak apa apa, tidak iri hati, hanya ingin sekali tahu gadis macam apakah yang telah dapat menjatuhkan hatinya?"

   "Dia gadis seorang bangsawan yang jahat. Dia anak perempuan dari Bucuci. Bun Sam tak tahu malu, biar aku mencarinya dan memakinya. Belum puas hatiku kalau belum menghina anak itu!"

   Akan tetapi, Lan Giok mengeluh. "Aduh, jadi enci Sian Hwa malah orangnya? Ah, nasib......!"

   Ia teringat akan cerita Sian Hwa tentang orang yang dicintanya dan demikian besar cinta Sian Hwa kepada orang itu, sehingga Sian Hwa rela meninggalkan gedung, rela menjadi nikouw! Dan ternyata orang itu Bun Sam sendiri adanya.

   Dan Sian Hwa malah mendoakan agar ia hidup berbahagia di samping Bun Sam. Alangkah mulianya hati Sian Hwa. Mengingat sampai di sini, Lan Giok menggigit bibirnya.

   "Ayah, jangan mencari Bun Sam. Tidak ada gunanya. Bahkan aku akan memperlihatkan bahwa aku tidak merasa iri hati sama sekali. Aku tidak menyesal, bahkan aku yang hendak menjadikan perjodohan Bun Sam dengan nona yang dicintainya itu."

   

Pedang Naga Kemala Eps 26 Pedang Naga Kemala Eps 13 Pemberontakan Taipeng Eps 6

Cari Blog Ini