Pedang Sinar Emas 2
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Tiba tiba saja si muka tengkorak itu memungut sebutir batu dan dilemparkatnya batu itu ke dalam semak belukar. Seekor kelinci yang ketakutan karena sambitan batu itu melompat keluar dan hendak melarikan diri. Akan tetapi si muka tengkorak itu mengeluarkan seruan aneh dan tangan kanannya dengan jari terbuka dipukulkan ke depan ke arah kelinci itu dan aneh, kelinci itu tenguling seperti lumpuh kakinya. Dengan enaknya orang aneh itu lalu memegang telinga binatang itu dan menggunakan, kuku jarinya yang panjang untuk memotong leher kelinci dan mengulitinya. Benar benar mengherankan.
Hanya dengan menggunakan kuku yang panjang, leher itu disembelihnya kemudian dengan guratan kuku pula, kulit binatang itu dapat dikupasnya semua. Tulang tulang kaki yang dibuang,.... dengan sekali renggutsaja, seakan akan.... kelinci itu.... dari pada lidi.
Setelah selesai makan tanpa banyak membuang waktu lagi, orang aneh itu lalu memondong tubuh Bun Sam dan dibawa lari cepat menuju ke timur, simana sebuah bukit menjulang tinggi dengan puncaknya menyundul awan dan lenyap dikurung mendung. Orang aneh itu sengaja memilih jalan melalui hutan hutan dan tempat yang sunyi tidak ada manusia. Agaknya ia takut atau malu kalau kalau bersua dengan orang tentu akan menjadi kaget dan mengira bahwa dia seorang siluman yang menculik seorang anak kecil.
Satu hari penuh orang itu berlari tiada hentinya. Bun Sam merasa heran sekali, heran melihat kekuatan orang ini yang berlari terus tanpa mengaso, lupa lelah lupa lapar. Juga ia merasa heran mengapa bukit yang sudah kelihatan itu, setelah orang ini berlari cepat sehari lamanya, masih juga kelihatan menjulang tinggi, kebiru biruan. Ia merasa lapar sekali. Denga kelinci yang pagi tadi memasuki perutnya sudah tidak ada bekasnya lagi.
"Turunkan saya, inkong!" katanya, akan tetapi orang itu agaknya tidak mendengarnya atau tidak mau mendengarnya.
"Inkong, kau sudah sehari menggendongku, dari pagi buta sampai senja hari. Kau tentu lelah, turunkan saya, inkong!" Akan tetapi, orang ini hanya memandangnya sambil menggelengkan kepala satu kali, seakan akan hendak menyatakan bahwa ia tidak lelah sama sekali.
"Inkong, turunkanlah saya! Saya" lelah dan lapar!" kata Bun Sam pula dan berbareng dengan ucapan itu, perutnya berkeruyuk keras. Kini orang aneh itu agaknya menaruh perhatian. Mereka berada di luar sebuah dusun yang amat miskin. Pohon pohon yang tumbuh di luar dusun pada gundul agaknya segala macam tumbuh tumbuhan yang masih muda sudah diambil orang. Janganlah terlihat kelinci liar di tempat itu atau binatang lain, bahkan seekor ayam peliharaanpun tidak nampak. Alangkah miskinnya dusun ini.
Orang itu kelihatan bingung. Anak itu lapar dan ia harus mencarikan sesuatu yang dapat dimakan. Akan tetapi di manakah ia bisa mendapatkan makanan? Ia memandang ke sana ke mari dan wajahnya yang seperti kedok itu nampak tidak berubah sama sekali, Bun Sam yaqg cerdik dapat menduga pikiran orang aneh itu.
"Inkong, kalau di sini tidak ada makanan, mengapa kita tidak masuk saja ke dalam kampung itu untuk membeli atau minta kalau inkong tidak punya uang, kita dapat minta makanan pada orang didusun."
Sambil berkata demikian Bun Sam melangkah menuju ke kampung itu. Penolongnya yang aneh itu tidak menaruh keberatan dan sambil memegang tangan Bun Sam, ia juga berjalan bersama anak itu menuju ke kampung.
Seperti sebagin besar dusun dusun lain di masa itu, dusun ini amat miskin. Begtu luar biasa miskinnya, sehingga gubuk yang kelihatan di dalam dusun itupun nampaknya lebih kotor dan buruk dari pada kandang kuda. Hampir semua hasil sawah ladang diperas habis oleh kepala kampung, seorang kaki tangan pemerintahan Mongol yang merupakan raja kecil di dusun itu.
Tidak nampak sebuahpun warung nasi di situ. Bahkan sebagian besar pintu piatu rumah telah ditutup pada waktu senja hari itu, seakan akan penghuninya ingin siang siang tidur agar perutnya yang kosong tidak terlalu mengganggu. Beberapa kali Bun Sam mengetok pintu rumah orang dan dibuka oleh orang orang bertubuh kurus dan bermuka pucat.
"Maaf, lopek. Kami berdua adalah orang orang pengembara yang menderita kelaparan. Di manakah kami dapat membeli makanan untuk mengisi perut di tempat ini?"
Tiap kali ia bertanya, yang ditanya memandang penuh keheraaan dan menjawab lesu, "Kau mengimpi, nak dan kau benar benar sial datang ke dusun ini. Jangankan untuk dijual, untuk dimakan sendiri saja masih kurang banyak. Setiap hari ada orang mati kelaparan di sini maka jangan kau datang membawa berita bahwa kau kelaparan." Setelah melihat wajah orang aneh yang berdiri agak jauh, orang itu menjadi makin kaget, dan tanpa banyak cakap lalu membanting daun pintu di depan hidung Bun Sam.
Bun Sam menjadi bingung dan juga penasan. Ia memandang penolongnya yang memberi tanda dengan tangannya agar supaya Bun Sam menunggu di tempat itu, yakni di depan rumah gubuk yang menutup pintunya terhadap mereka Di depan rumah itu terdapat sebuah bangku kayu dan anak ini lalu duduk di situ. Setelah memberi tanda dengan tangan bahwa ia hendak mencari makanan, si muka tengkorak itu lalu menggerakkan kedua kakinya dan bagaikan seekor burung rajawali, ia melayang naik ke atas dan lenyap di pohon pohon.
Bun Sam menjadi kagum bukan main. Ayah nya juga pandai melompat ke atas genteng akan tetapi tidak secepat orang aneh ini. Alangkah akan senang hatinya kalau ia dapat memiliki kepandaian seperti penolongnya yang aneh itu. Ah, ia akan mencari gerombolan Ang bi tin dan hendak dibasminya semua sebagai pembalasan dendam atas kematian ayah bundanya.
Sementara itu, bagaikan seekor kucing, si muka tengkorak itu berlari lari di atas genteng, mencari rumah yang paling besar dan bagus. Sebentar saja ia bisa mendapatkan rumah ini karena di tengah tengah kampung itu di antara rumah rumah kecil pendek macam gubuk di sawah menjulang tinggi sebuah bangunan rumah gedung sehingga nampak menyolok dan ganjil sekali. Rumah ini gentengnya pun tebal dan kuning, bangunannya tinggi dari tembok tebal pula diri cahaya penerangan yang keluar dari celah celah genteng dan jendela, amat terang.
Rumah ini adalah milik dari kepala kampung she Cia. seorang pemeras rakyat, penjilat pembesar atasan. Malam hari itu, seorang diri ia sedang duduk di kamar kerjanya dan biarpun berkali kali dan benganti ganti lima orang isteri dan selirnya datang membujuknya untuk pengi tidur, ia menolak dengan keras. Apakah yang menahan orang ini, sehingga ia sanggup menolak bujukan selir selirnya yang muda dan cantik?
Tak lain tak bukan satu satunya benda yang dapat mengalahkan keserakahannya terhadap wanita cantik, hanya uang! Ia sedang menghitung uang emas dan peraknya yang di tumpuk di atas meja, sambil mengakurkannya dengan catatan di bukunya. Ada selisih beberapa tail perak dan bagi seorang hartawan atau lebih tepat bagi sebagian besar orang orang hartawan termasuk Cia thungcu (kepala kampung she Cia) ini, uang merupakan nyawanya dan beberapa tail perak atau bahkan beberapa potong uang tembaga merupakan sebagian daripada nyawanya itu.
Kehilangan sedikit uang tembaga mendatangkan kemarahan kepadanya, kehilangan beberapa banyak uang perak mendatangkan kesedihan, kehilangan lebih banyak dapat mendatangkan penyakit dan kalau seandainya semua uangnya lenyap, sama halnya dengan nyawanya yang lenyap dan dapat mendatangkan maut!
Pada saat Cia thungcu sekali lagi menghitung uang peraknya, tiba tiba matanya terbelalak kaget dan heran kini tumpukan uang peraknya yang tadinya ada tujuh tumpuk, kini tinggal lima tumpuk lagi! Bagaikan seorang ibu muda kehilangan anak bayinya, lurah Cia itu mencari ke sana ke mari dengan muka pucat, ia sampai sampai menjenguk ke bawah meja dan membalik balik bukunya yang tadi diisi catatan catatan, lupa bahwa tak mungkin sekali dua tumpuk uang itu dapat terselip di antara lembaran lembaran bukunya.
Ketika ia mengangkat kepalanya lagi dan memandang ke atas meja, ia kini tidak hanya membuka kedua matanya, akan tetapi juga membuka mulutnya lebar lebar. Sekarang tumpukan uang emasnya sebanyak tiga tumpuk itupun lenyap sama sekali.
"Ce"la"ka"" ia bermaksud menjerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari tenggorokannya, karena pada saat itu sesosok bayangan hitam bagaikan setan telah menerjang dari belakang dan menotok lehernya sehingga lurah itu tak dapat berteriak atau bengerak sama sekali. Dengan mata melotot, Cia thungcu hanya dapat memandang ke depan di mana kini terlihat seorang yang berpakaian hitam dan bermuka seperti tengkorak. Cia thungcu merasa seakan akan jantungnya hendak copot saking takut dan ngerinya. Yang berada di depannya ini tak mungkin manusia.
Bayangan hitam itu mengambil pena diatas meja, mencelupkannya di dalam bak tinta lalu ia mencorat coret di dalam lembaran kertas yang terbuka.
Di situ ia menulis beberapa huruf besar yang gagah dan indah dan berbunyi :
ATUR BAIK BAIK KEHIDUPAN RAKYAT, KALAU TIDAK, LAIN KALI AKU DATANG MENGAMBIL KEPALAMU!
Setelah menuliskan ini, orang itu berkelebat keluar dari jendela. Lurah she Cia itu masih saja duduk seperti patung dan menjelang tengah malam ketika seorang selir mudanya datang, selir ini menjerit dan gegerlah seisi rumah.
Akan tetapi di luar rumah lurah itu terjadi hal hal yang lebih aneh dan menggemparkan lagi. Kepala pengawal lurah Cia, yang dianggap jagoan paling kejam di dalam dusun itu, yang menjadi tukang pukul lurah Cia, ketika sedang berjaga dengan kawan kawannya dan main kartu, tiba tiba kehilangan dua lembar daun telinganya dan meja kursi di mana mereka bermain kartu, beterbangan sendiri menghantam para pengawal, sehingga tak seorangpun di antara mereka yang selamat. Semua babak belur dan benjol benjol matang bitu.
Ini masih belum hebat. Di ujung dusun itu terdapat sebuah rumah besar juga yang sudah amat kuno dan seram sekali. Rumah ini sekelilingnya penuh dengan alang alang yang tinggi. Dilihat dari luar, rumah ini seperti tidak ada penghuninya, akan tetapi sebetulnya di situ terdapat penghuninya yang disegani orang karena dianggap gila. Orang gila ini bernama Gan Kiat dan sudah duda, hanya tinggal berdua dengan seorang anak laki lakinya yang baru berusia enam tahun.
Akan tetapi semenjak pemerintah Mongol menguasai Tiongkok dan rakyat hidup amat sengsara, orang she Gan ini tiba tiba menjadi gila dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Untuk makan dia dan anaknya, ia menjual semua perabot rumah dan barang barang miliknya satu demi satu, sehingga akhirnya rumah yang besar itu menjadi kosong seperti gua yang seram. Malam hari ia tak pernah menyalakan penerangan dan rumah itu nampak gelap dan hitam. Juga sudah setahun lebih orang orang tidak melihat anaknya yang bernama Gan Kui To.
Pada malam hari terjadinya serangan atas diri lurah Cia dan para pengawalnya itu, terdengarlah jerit mengerikan di dalam rumah besar milik keluarga Gan yang kini disebut rumah setan itu. Orang orang yang mendengar jeritan ini, segera memburu keluar dan berdiri di depen rumah, ingin tahu apa yang terjadi. Nampak oleh mereka Gan Kiat yang sudah setengah tua dan kurus kering itu berlari ke luar terhuyung huyung dan di belakangnya nampak seorang anak mengejarnya dan memukulinya dengan sepotong besi.
Anak itu ternyata adalah Gan Ku To yang berusia enam tahun, akan tetapi alangkah mengerikan keadaan anak itu. Mukanya dan seluruh tubuhnya kotor, matanya merah, mulutnya berbusa dan berdarah seperti seorang iblis kecil menyeramkan sekali.
Dengan pukulan bertubi tubi akhirnya Gan Kiat menggeletak dan tak bergerak lagi. Semua orang memburu dan berhasil merampas besi, dan menangkap anak kecil itu dan barulah mereka tahu bahwa anak itu telah gila.
"Aku bunuh kau! Orang tua gila. Aku bunuh kau!" berkali kali Kui To berteriak teriak dengan marah dan mencoba untuk meronya ronta.
Orang orang menghampiri Gan Kiat yang masih dapat merintih rintih. Ketika ia melihat orang orang mendekatinya, ia berbisik.... sendiri kenapa dia tidak kubunuh dalam setahun kukurung di " di dalam kamar gelap hanya kuberi makan kalau aku ingat saja" akan tetapi" setan itu tidak mau mampus."
Ternyata bahwa dalam gilanya, Gan Kiat telah mengurung anaknya sendiri sampni setahun lamanya di dalam gelap, hanya diberi makan kalau ia teringat saja. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan anak itu dan agaknya keadaan yang sedemikian hebatnya itu telah merubah jiwa anak ini dan ketika pada senja hari itu ayahnya membuka pintu kamarnya tiba tiba ia menyerang ayahnya sendiri dengan pukulan, tendangan, gigitan dan dengan nekad sekali.
Ayahnya yang masih lemah dan juga pikirannya terganggu, melarikan diri dan dikejar kejar nya terus. Anak itu memungut sepotong besi dan memukuli ayahnya sampai ayahnya menggeletak di halaman depan dan ia ditangkap oleh penduduk.... dengan lemah. Gan Kiat.... nafas terakhir. Orang orang.... jadi marah sekali.
"Anak ini sudah gila! bunuh saja, kalau dilepas, ia akan nencari korban lain! Bunuh saja dan kita kubur bersama ayahnya! Bakar rumah setan itu!"
Mereka menyeret Gan Kui To yang kini sudah nampak lepas dan tak berdaya. Pergumulan nya dengan ayahaya tadi telah menghabiskan tenaganya dan ia menjadi lemah sekali, ia tak melawan dan beberapa pukulan tangan orang orang dusun yang marah itu sudah membuat hidung dan bibir nya berdarah dan kepalanya benjol benjol.
Akan tetapi, tiba tiba anak itu lenyap dari tengah tengah orang orang dusun yang mengeroyok nya. Tentu saja semua orang menjadi terkejut sekali. Bagaimana anak yang sudah hampir pingsan itu tiba tiba saja bisa lenyap?
"Setan" setan"! Ini tentu perbuatan setan"" dan bubarlah orang orang itu, berlari kembali ke rumah masing masing dan biarpun orang orang di rumah lurah Cia ribut rebut, mereka tidak berani keluar, menanti sampai besok pagi.
Adapun Gan Kui To, anak yang dikeram ayah nya sendiri sampai menjadi nekat dan membunuh ayahnya itu, kini telah dipondong dan dibawa lari oleh si muka tengkorak dan dibawa ke tempat di mana Bun Sam menanti kedatangannya. Anak itu masih saja duduk di tempat tadi dan nampaknya mengantuk sekali.
Memang penolongnya pergi amat lama. Orang aneh ini setelah mendatangi rumah Cia thungcu dan mengganggu para pengawal, lalu membagi bagikan uang kepada rumah rumah penduduk, ia telah mengambil tiga tumpuk uang emas dan dua tumpuk uang perak dan kini setiap rumah ia datangi, ia buka gentengnya dan ia lemparkan beberapa potong uang perak dan emas ke dlam rumah itu. Hal ini baru pada keesokan harinya menimbulkan kegemparan karena ketika orang aneh ini melakukan perbuatan itu, tak seorangpun dapat melihat atau mendengarnya.
"Ah, mengapa begitu lama, inkong?" tanya Bun San kepada penolongnya, akan tetapi ia menahan pertanyaan selanjutnya dan memandang heran ketika melihat bahwa penolongnya itu telah memondong seorang anak laki laki yang kepala dan mukanya luka luka.
Tanpa berkata sesuatu, orang aneh itu mengeluarkan bungkusan dari sakunya dan memberikan bungkusan itu kepada. Ternyata itu adalah sebungkus kue terigu yang cukup banyak. Saking heran dan ingin tahunya, Bun Sun hanya sedikit saja makan kue itu. Dan penolongnya juga segera memegang tangannya dan menariknya pergi dari dusun itu.
Pertiwa yang terjadi seperti yang dituturkan di atas itu, yakni tentang keluarga Gan yang menjadi gila kembali adalah akibat dari pada penggantian pemerintahan. Tentu saja memang harus diakui bahwa akal yang lemah dari Gan Kiat juga merupakan sebab yang amat utama.
Gan Kiat dahulunya adalah seorang pembesar sipil berpangkat pembantu tikoan di kota Kun tong. Ia adalah seorang pembesar yang korup dan di dalam pekerjaannya ia hanya mengenal satu tujuan, yakni mengumpulkan uang dan harta sebanyak banyaknya dengan jalan yang paling nudah.
Tentu saja, sesuai dengan pekerjaannya di kantor peradilan, usaha mengumpulkan uang ini dengan mudah ia dapatkan dengan jalan menerima uang sogokan dari mereka yang ingin dimenangkan dalam perkaranya, tidak perduli ia yang bersalah. Uang sogokan dari mereka yang ingin melihat keluarga atau sanaknya di perlakukan baik baik di dalam penjara, tidak perduli sanak itu adalah seorang penjahat besar. Pendeknya, segala hal akan dapat terjadi dan akan dilakukan berakt "bantuan" dari pembesar she Gan ini asal saja, orang berani memberi "tanda mata" atau tanda jasa.
Akan tetapi ketika pemerintah Goan tiauw berdiri, bintang orang she Gan ini mulai menyuram. Isterinya terserang penyakit panas sampai meninggal dunia.
Hal ini amat dalam menggores hatinya karena Gan Kiat amat mencintai isterinya.
Kini ia hidup berdua dengan putera tunggalnya, ialah Gan Kui To. Rupa rupanya nasibnya masih makin menurun. Bala tentara Mongol yang melakukan gedoran dan perampokan di sana sini juga mengganggu rumah nya dan menghabiskan harta benda Gan Kiat. Lebih berat lagi, Gan Kiat tidak berhasil menguasai pangkat lagi setelah ia terpaksa berhenti karena pemerintah lama telah bangkrut.
Terpaksa ia menjual semua barang barangnya yang masih ada dan pindah ke dusun di kaki Gunung Oei san. Di sini ia memang memiliki sebuah rumah gedung kuno peninggalan orang tuanya, Bersama anaknya, ia tinggal di rumah kuno ini dan saking sedihnya, akhirnya otaknya tenganggu dan ia seperi orang gila. Keadaannya yang tadinya kaya raya berobah menjadi miskin dan makan dari barang barang yang dijualnya membuat Gan Kiat tidak dapat menahan lagi dan ia lalu mengeram puteranya di dalam kamar.
Demikianlah sedikit riwayat singkat dari Gan Kui To yang telah membunuh ayahnya sendiri. Akan tetapi hal itu tidak diketahui penolongnya. Yang diketahtinya hanya bahwa.... itu sedang dikeroyok dan hendak dibunuh oleh orang orang dusun yang kelaparan.
Pada keesokan harinya, nampak tiga orang itu, seorang setengah tua yang sukar ditaksir berapa usianya, dengan muka seperti tengkorak dan pakaian hitam, bersama dua orang anak laki laki yang sebaya, kurang lebih enam tahun, mendaki bukit yang tinggi dan penuh dengan hutan hutan liar dan pohon pohon indah, yakni Bukit Oei san yang tersohor.
Gunung Oei san memang benar benar indah dan megah. Tidak saja puncak puncaknya menjulang tinggi menembus mega, juga di situ pemandangan amat aneh dan menarik. Pohon pohon tusam yang berwarna hijau dan berbentuk artistik, batu batu karang, yang amat aneh bentuknya seakan akan sengaja diukir oleh tangan alam yang perkasa, awan yang melaut biru dan dihias awan awan putih dan hitam gelap di sana sini, sungguh merupakan tamasya alam yang jarang terlihat di tempat lain.
Terutama sekali pohon pohon tusam yang tumbuh di gunung itu benar benar ajaib, baik bentuk cabang cabang dan daunnya, maupun letak tumbuh nya.
Pohon pohon ini dapat tumbuh di tempat tempat yang sama sekali tidak disangka orang. Di atas tebing tebing yang curam, di atas puncak puncak yang berkabut, di antara batu batu karang dan di atas tanah yang keras berbatu batu seakan akan pohon pohon itu tidak menghiraukan kebutuhan akar akarnya akan air.
Bahkan ada pohon tusam yang tumbuh di atas batu karang. Hal ini tentu saja merupakan keanehan yang tak masuk di akal, akan tetapi kalau kita mendekati batu karang itu, kita akan melihat bahwa batu karang itu telah pecah dan di antara retakan itulah, maka dapat tumbuh pohon aneh itu, keadaan di gunung itu awan yang menghalangi matahari, batu batu karang tinggi yang mengapit pohon, angin gunung yang selalu bertiup, hawa yang amat dingin, pendeknya keadaan gunung yang hebat inilah yang membentuk pohon pohon tusam, sehingga merupakan pemandangan yang....Banyak pohon tusam di dunia ini, akan tetapi tidak ada yang seindah, seaneh dan semenarik pohon pohon tusam di Gunuag Oei san.
Setelah jalan mendaki gunung itu mulai sukar terhalang oleh batu batu karang yang tinggi serta jurang jurang yang dalam, orang tak aneh itu lalu memeluk pinggang Bun Sam dan Kui To dengan ke dua tangannya dan secepat burung terbang, ia melompati batu batu karang dan jurang jurang, mendaki dengan amat cepatnya.
Siapakah sebetulnya orang aneh yang mukanya mengerikan seperti tengkorak ini? Tak seorangpun yang mengetahui akan hal ini dan sebaiknya kita pun mengikuti saja perjalanannya, karena kelak tentu akan tiba masanya rahasianya terbuka.
Hanya dapat diceritakan di situ bahwa ilmu kepandaian orang ini benar benar hebat. Cara ia melompat lompat naik ke atas gunung Oei san sambil mengempit dua orang anak itu, benar benar menunjukkan bahwa ia telah memiliki ginkang yang sempurna.
Bun Sam adalah seorang anak yang tabah dan ia sama sakali tdak memperlihatkan rasa takut melihat betapa tubuhnya melayang di atas jurang jurang yang dalam sekali. Sekali saja penolongnya ini merasa lelah dan kempitannya terlepas, tubuhnya akan jatuh ke dalam jurang dan akan hancur menerpa batu batu karang yang runcing merupakan mulut naga ternganga penuh gigi yang runcing dan tajam, itu.
Akan tetapi, agaknya ketabahan hati Bun Sam masih kalah oleh Gan Kui To, anak yang tadinya disangka gila itu, setelah tertolong oleh si muka tengkorak, Kui To jatuh pingsan dan baru siuman setelah melakukan perjalanan setengah hari. Ia sadar seperti orang baru bangun dari tidur dan dari mimpi buruk, ia hanya merintih sedikit, akan tetapi setelah membuka matanya dan melihat Bun Sam, ia menggigit bibir, tidak pernah ia mengeluh lagi.
Tanpa mengeluarkan ucapan sesuatu, ia lalu ikut berjalan dan tak pernah bertanya kemana si muka tengkorak akan membawanya. Juga kepada Bun Sam ia tidak pernah bicara sepatah katapun.
Akan tetapi setelah si muka tengkorak itu membawa mereka melompati batu batu karang dan jurang, Kui To tak dapat menahan kegirangan dan kegembiraan hatinya. Tadinya ia hanya diam saja, karena ia masih merasa terharu, menyesal, bingung, juga sedih dan ngeri mengingat keaadaan ayahnya yang dibunuhnya sendiri.
Akan tetapi ingatan bahwa laki laki yang dibunuhnya itu ayahnya, sudah merupakan ingatan yang suram. Selama setahun dikeram ia menganggap laki laki itu sebagai musuh yang harus dibunuh nya, seperti tikus tikus yang dibunuhnya di dalam kamar tahanannya.
Setahun ia tidak bicara dan biarpun di dalam otaknya ia masih dapat bicara, namun mulutnya tidak kuasa mengeluarkan kata kata.
"Bagus"! Bagus"!" hanya dua kali ia berteriak bagus dan tiba tiba mendengar suaranya sendiri, Kui To menjerit dan terus pingsan dalam kempitan si muka tengkorak itu Bun Sam dapat melihat betapa kepala. tangan dan kaki anak itu terkulai dengan lemas, maka ia cepat berkata,
"Inkong. dia pingsan". dia sakit""
Akan tetsapi, orang aneh itu tidak menjawab dan tidak mengurangi larinya yang cepat. Mereka telah tiba di lereng dan kini bahkan berlari lebih cepat lagi, menuju ke puncai yang tertutup oleh halimun yang putih keruh, membuat pandangan mata menjadi gelap. Bun Sam tidak dapat melihat apa apa lagi, kecuali uap putih yang membuat matanya terasa pedas dan seluruh tubuhnya terasa dingin sekali.
Si muka tengkorak terus saja berlari. Mereka telah melewati dua buah puncak yang tinggi dan akhirnya, setelah Bun Sam hampir membuka mulut menyatakan tidak kuat lagi, sampailah mereka di sebuaah puncak. Bun Sam diturunkan dari kempitan, akan tetapi Kui To masih dipondong, karena anak ini masih pingsan.
Ketika Bun Sam.... hampir ia berteriak saking kagum dan heran. Puncak ini ternyata paling tinggi di antara semua puncak di Pegunungan Oei san, akan tetapi aneh dan ajaib.
Kalau puncak yang lain, yang iebih rendah daripada puncak ini, tertutup oleh halimun yang merupakan awan awan putih, adalah puncak tertinggi ini amat bersih dan mendapat penerangan matahari yang kuning keemasan.
Pohon pohon tusam yang luar biasa anehnya tumbuh di puncak ini dan puncak ini dikelilingi oleh batu batu karang, jurang jurang yang semua terbentang di bawah.
"Bukan main indahnya"." Bun Sam berseru dan lupalah ia akan kelaparan perutnya, kelelahan tubuhnya dan kesedihan hatinya. Ia tentu akan berdiri di situ terus, memutar mutar tubuh memandang ke sekeliling puncak, kalau saja si muka tengkorak tidak memegang tangannya dan mengajaknya melanjutkan perjalanan, menuju kesebuah hutan kecil dari pohon pohon tusam yang berada di tempat paling tinggi.
Di hutan yang indah, penuh dengan pohon pohon tusam yang tua dan bunga bunga beraneka warna ini, terdapat pula banyak sekali batu batu karang besar yang bentuknya bermacam macam, ada yang seperti mulut naga, ada pula yang berbentuk empat segi dan bundar.
Dan di tengah tengah hutan kecil ini, terdapat sebuah pondok bambu yang sederhana dan bersih. Ketika mereka berjalan menuju ke pondok itu, seorang kakek ke luar dari pintu pondok yang tidak berdaun pintu.
Kakek ini sudah tua sekali, berpakaian kuning dan membiarkan rambutnya yang putih dan panjang tarurai di punggungnya.
"Yap Bouw, kau baru datang?" terdengar suara kakek itu berkata dengan halus akan tetapi di dalam kehalusan suaranya ini mengandung sesuatu tenaga yang menggetarkan hati Bun Sam.
Si muka tengkorak ketika melihat kakek ini lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu, lalu menggerak gerakkan kedua tangannya. Sepuluh buah jari tangannya bergerak gerak seperti seorang penari dan kakek itu memandang dengan penuh perhatian.
Ternyata bahwa dengan bahasa gerak jari, si muka tengkorak itu sedang menceritakan kepada kakek ini tentang kedua orang anak yang dibawanya.
Bun Sam adalah anak yang cerdik. Melihat sikap penolongnya terhadap kakek yang lemah lembut ini, tahulah ia bahwa kakek ini tentu bukan orang sembarangan. Kalau penolongnya yang demikian gagah perkasa masih memperlihatkan penghormatan sebesar itu, tentulah kakek ini seorang sakti yang sering kali didongengkan oleh ayahnya sebagai pertapa pertapa yang sudah menjadi manusia setengah dewa.
Oleh karena itu, tanpa ragu ragu lagi ketika kakek itu memandangnya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata,
"Teecu (murid) bernama Song Bun Sam, ayah bunda teecu terbunuh oleh gerombolan Ang bi tin dan kalau teecu tidak tertolong inkong (tuan penolong) ini, entah bagaimana jadinya dengan diri teecu"
"Aku tahu, aku tahu... Yap Bouw sudah menceritakan padaku tentang keadaanmu. Sudahlah, Bun Sam, tak perlu kau memikirkan hal hal yang sudah lalu, tak perlu kau mengingat ingat peristiwa yang terjadi. Paling baik kau memandang ke depan ke masa mendatang. Kau tentu tidak mempunyai keluarga lagi, bukan?"
Bun Sam menggelengkan kepalanya
"Keluarga ayah dan ibu memang ada, akan tetapi teecu tidak tahu lagi di mana tempat tinggal mereka."
"Kalau begitu, sukakalah kau tinggal di sini bersama aku dan Yap Bouw dan Siauw liong (Naga Kecil)! Aku disebut orang Kim Kong Taisu dan kau boleh belajar apa saja yang kau sukai di tempat ini."
Bun Sam cepat mengangguk anggukkan kepalanya dan berkata,
"Kalau suhu dan inkong sudi memberi tempat kepada teecu, teecu akan suka sekali tinggal di sini. Biarpun dijadikan pelayan, teecu akan menerima dengan penuh perasaan terima kasih."
Sambil berkata demikian, Bun Sam diam diam mengerling ke arah pondok kecil itu.
Karena tadi kakek ini menyebut nama Siauw liong, tidak tahu siapa dan apakah Siauw liong itu? Kalau orang, tentulah seorang anak karena sebutan siauw (kecil) itu biasanya dipergunakan untuk seorang anak anak. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang muncul dari gubuk itu.
Pada saat itu. Gan Kui To, siluman kembali dari pingsannya. Tadi ketika ia mengeluarkan seruan "bagus" sampai dua kali, ia merasa terkejut mendengar suaranya sendiri dan suaranya inilah yang mengembalikan ingatannya.
Ia teringat akan ayahnya yang telah dibunuhnya, ingat akan pengeroyokan orang orang dusun yang hampir menewaskannya. Semua terbayang dalam ingatannya dan demikian mengerikan, sehingga ia menjadi pingsan.
Kini, setelah ia mengerang dan membuka mata, ia memandang kepada si muka tengkorak, kepada kakek itu dan kemudian melirik ke arah Bun Sam. Kui To biarpun memiliki wajah yang tampan, akan tetapi matanya terlalu sipit sehingga hanya merupakan garis yang kecil melintang di antara telinganya.
Kemudian ia menangis keras, tersedu sedu dan menyembunyikan mukanya di dalam kedua tangannya.
Kakek itu mengerutkan keningnya. Agaknya ada sesuatu yang pengganjal hatinya akan tetapi ia kasihan juga melihat Kui To yang menangis terisak isak itu.
"Diamlah, nak. Tak perlu air mata dihamburkan menyesali hal yang sudah lalu, yang tak dapat diperbaiki lagi. Kau anak siapakah, di mana orang tuamu dan mengapa kau sampai dikeroyok dan akan dibunuh oleh orang orang dusun? Apa salahmu?"
Kui To biarpun baru berusia enam tahun, namun iapun memiliki kecerdikan yang luar biasa. Kecerdikan ini diperolehnya ketika setahun lamanya ia di keram dalam kamar. Ia biasa mempergunakan otaknya dengan diam diam dan kini mendengar pertanyaan kakek ini, legalah hatinya. Ternyata bahwa orang orang ini tidak tahu bahwa ia telah membunuh ayahnya!
"Aku" aku kelaparan dan mencuri makanan.... ketahuan oleh pemiliknya lalu dikeroyok...." katanya di antara isak tangisnya.
Kembali kakek itu menarik napas panjang sambil mengerutkan keningnya. Pandang matanya kepada Kui To amat tajam dan Bun Sam amat terkejut melihat betapa sinar kilat bercahaya dalam manik mata orang tua itu.
Juga Yap Bouw dengan cepat menggerak gerakkan kedua tangannya seakan akan ia menceritakan sesuatu. Memang sesungguhnya Yap Bouw menceritakan kepada Kim Kong Tahu bahwa ia mendengar orang orang dusun menyebut anak itu gila.
Kakek itu mengangguk angguk dan nampak sabar lagi.
"Betapapun juga, kau patut dikasihani dan memang tidak salah Yap Bouw menolong dan membawamu ke sini. Siapa namamu dan di mana orang tuamu?
Sebelum menjawab, Kui To mengeringkan air matanya dengan gerakan yang dapat menimbulkan kasihan.
Aku bernama Gan Kui To, kedua orang tua ku telah meninggal dunia. Aku seorang yatim piatu yang hidup sebatatng kara, mohon kau orang tua suka menolongku...."
Memang sungguh mengherankan juga bagi Kui To sendiri, mengapa sekarang ia dapat bicara amat lancarnya, padahal tadi nya, sering kali di dalam kamar tahanan ia meragukan apakah ia bisa bicara pula selelah setahun lebih tak pernah bicara itu, kini ternyata bahwa suaranya amat nyaring dan bening, penuh tenaga dan semangat, sungguhpun dibuka untuk mengucapkan kata kata sedih.
"Hm, Kui To, sukakah kau tinggal di sini menjadi muridku, seperti Bun Sam ini?"
Kui To melirik kepada Bun Sam. Ia tidak tahu asal usul pemuda cilik ini dan tadinya ia mengira bahwa anak ini tentulah kawan dari penolongnya yang bermuka tengkorak itu.
Kini mendengar pernyataan kakek itu, ia dapat menduga bahwa anak inipun seorang yang baru datang.
"Pelajaran apakah yang hendak kau berikan kepadaku, maka aku harus menjadi muridmu?"
Bun Sam yang mendengar gaya bahasa dari Kui To yang diucapkan terhadap suhunya, amat mendongkol. Akan tetapi, tidak demikian dengan Kim Kong Taisu. ia tersenyum dan berkata,
"Tergantung dari bakatmu sendiri. Tidak ada guru yang lebih pandai daripada watak dan bakat sendiri, guru luar hanya memberi petunjuk dan bimbingan belaka."
Sesungguhnya, di dalam hatinya, Kui To tidak suka tinggal di tempat yang sunyi dan tidak menarik hatinya ini. Akan tetapi ketika ia mengerling ke arah Bun Sam, timbul rasa hatinya yang tidak mau kalah oleh anak ini.
Kalau anak itu dapat belajar di sini, mengapa aku tidak? Dan kalau tidak mau hendak pergi ke mana? Maka iapun lalu berlutut dan berkata,
"Baiklah, suhu. Teecu mau tinggal di sini menjadi murid dari suhu."
Demikianlah, Bun Sam dan Kui To semenjak hari itu tinggal di puncak Gunung Oel san dan menjadi murid Kim Kong Taisu.
Pada malam hari itu, Bun Sam yang disuruh bermalam bersama Kui To di dalam pondok sedangkan Kim Kong Taisu dan Yap Bouw tidak diketahuinya di mana bermalamnya, dengan diam diam keluar dari biliknya dan menuju ke tempat terbuka di depan pondok.
Langit penuh dengan bintang bintang, mendatangkan pemandangan yang luar biasa sekali.
Karena tempat di mana ia berdiri itu memang tinggi sekali, kini ia dapat melihat betapa langit di atasnya amat luas. Bun Sam berdiri tak bergerak, merasa heran mengapa makin jauh, bintang bintang itu nampaknya makin rendah.
Melihat bintang bintang itu tak terasa pula air mata menitik turun dari kedua matanya. Baru beberapa malam yang lalu, ia bersama ibunya juga melihat bintang bintang di langit.
Ibunya pernah mempelajari ilmu perbintangan dan sering kali ibunya mendongeng tentang bintang bintang di langit.
"Bintang kita amat suram, Sam ji," kata ibunya pada malam itu. "Bukan hanya bintang kita, melainkan bintang semua rakyat dan bangsa kita. Entah apa yang akan terjadi dengan nasib kita sekalian rakyat Tiongkok...."
Teringat akan ini semua, Bun Sam terbayang betapa ayah bundanya roboh mandi darah di depan ramah mereka. Hanya dengan mencekik lehernya sendiri Bun Sam dapat mencegah suara tangisnya.
"Ayah" ibu" aku bersumpah, disaksikan oleh semua bintang di langit, bahwa kelak anakmu Bun Sam pasti akan dapat membasmi semua pembunuhmu...."
Setelah berkata demikian, Bun Sam lalu berlutut dan melakukan penghormatan pai kwi (berlutut sambil mengangguk anggukkan kepalanya) sebanyak puluhan kali.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saking sedih dan terharunya ia tidak mau berhenti henti melakukan penghormatan yang ditujukan kepada arwah ayah bundanya. Semua perbuatan ini ia lakukan sambil bercucuran air mata.
"Eh, eh, eh, kau sedang apa apaan ini?" tiba tiba di belakang Bun Sam sudah berdiri Kui To yang menegurnya dengan suara ejekan.
Bun Sam sadar dari hikmat yang mempersonakan seluruh ingatannya tadi. Ia berhenti mengangguk anggukkan kepalanya, membuka kedua mata yang semenjak tadi ditutupnya lalu berbisik.
"Ayah.... ibu" dengarlah semua doaku tadi." Kemudian ia bangkit dan bangun menghadapi Kui To.
"Kau belum tidur?" tanyanya karena memang pertanyaan Kui To tadi tidak didengarnya jelas hanya cukup keras untuk menyadarkan nya.
"Tentu saja belum, kalau sudah sudah tidur engkau mana bisa berada di sini? Eh, Bun Sam kau sedang melakukan apakah tadi?"
Kedua orang anak ini sebelum tidur tadi telah saling berkenalan dan biarpun mereka tidak merasa cocok satu kepada yang lain, akan tetapi kehadiran masing masing merupakan hiburan juga dan mereka telah saling mengenal nama.
"Aku sedang melihat bintang bintang di langit!" jawab Bun Sam.
"Bohong! Masa melihat bintang di langit sambil berlutut dan bersembahyang?"
Bun Sam kewalahan terpaksa mengaku.
"Aku sedang bersembahyang kepada ayah bundaku," suaranya tercekik karena keharuan memenuhi lehernya.
Tiba tiba Kui To tertawa terbahak, sehingga Bun Sam memandang dengan heran sekali.
"Kenapa kau tertawa?"
Akan tetapi Kui To masih saja tertawa seakan akan merasa gembira dan geli hati sekali, kemudian ia berhasil juga menekan suara ketawanya dan berkata,
"Aku girang karena nasib kita sama. Akupun tidak punya ayah ibu lagi! Bagaimana ayah ibumu bisa mati?"
Bun Sam mendongkol sekali. Alangkah anehnya tabiat kawan ini.
"Biarpun kau girang karena nasib kita sama, tidak perlu kau mentertawakan aku yang sedang teringat kepada orang tuaku. Kau tidak tahu, Kui to, ayah bundaku telah terbunuh dengan amat kejam oleh gerombolan Ang bi tin! Bahkan Can pekhu yang hendak menolongku telah terbunuh pula. Aku bersumpah hendak belajar ilmu silat dan hendak kubasmi semua Gerombolan Alis Merah itu!"
Kembali Kui To tertawa. Suara ketawanya nyaring dan kerat sekali, sehingga bergema di bawah gunung.
"Eh, Kui To, apakah kau gila? Mengapa kau tertawa terus?" Bun Sam benar benar menjadi gemas.
"Bagaimana aku tidak tertawa? Kau....yang bertubuh kurus dan bermuka pucat ini hendak membasmi Ang bi tin? Ha, ha, ha! Seperti cacing hendak menantang ayam! Aku sih tidak benci kepada Ang bi tin dan tidak akan memusuhi mereka!"
Bun Sam menjadi panas hatinya. "Tentu saja aku akan belajar ilmu kepandaian dulu. Aku akan belajar dari suhu dan akan belajar dari Yap suheng. Yap Suheng yang menjadi murid suhu, biarpun gagu memiliki kepandaian tinggi. Kalau aku sudah belajar sampai tamat, mengapa aku takkan dapat membasmi gerombolan siluman jahat itu?"
"Kau lupa kepadaku?".
"Kau...."
"Ya, aku! Apa kau kira hanya kau sendiri yang akan dapat memiliki ilmu kepandaian? Dengan adanya aku di Ang bi tin, kau tak mungkin aka dapat membasmi mereka!"
"Kau di Ang bi tin...??" Bun Sam benar benar tertegun dan memandang dengan mata terbelalak.
"Mengapa tidak? Mereka bukan musuh musuh ku dan kalau kau boleh memusuhi mereka dan hendak menghancurkan mereka, akupun bebas untuk memihak dan membantu mereka. Kenapa, apakah kau takut kepadaku? Ha, ha, ha!"
Kembali anak ini tertawa gelak gelak dan matanya yang sipit itu makin mengecil. Giginya nampak berkilat tertimpa cahaya bintang bintang yang suram.
"Manusia jahat!" Bun Sam tiba tiba menjadi benci sekali dan ia memukul muka bermata sipit itu. Kui To terguling, akan tetapi ia cepat bangun kembali.
"Eh, kau berani memukulku?" Dan anak ini lalu menerkam Bun Sam seperti seekor binatang buas, mempergunakan kedua tangan, kedua kaki, bahkan giginya ikut pula menyerang!
Bun Sam pernah mendapat latihan ilmu silat dari ayahnya yang menjadi bekas perwira, maka melihat serangan ini, ia cepat dapat mengatur langkah dan mundur dua tindak dan ketika Kui To mendesak terus, ia mengirim tendangan yang tepat mengenai dada anak itu.
Kembali Kui To terguling dan mengaduh ketika kepalanya terbentur karang. Akan tetapi semangat perlawanan anak ini benar benar luar biasa sekali. Biarpun mulutnya mengeluarkan keluhan, namun ia bangkit lagi dengan cepat sekali dan kembali ia menerjang Bun Sam, bahkan jauh lebih ganas daripada tadi.
"Kubunuh kau" kubunuh kau....." desis nya sambil menyerang.
Biarpun Bun Sam sudah pernah mempelajari ilmu silat dan mempunyai dasar dasar gerakan yang teratur dan teguh, namun mengadapi serangan membabi buta dan nekat ini, ia tidak berdaya.
Akhirnya Kui To berhasil menangkapnya dan bergumullah dua orang anak ini di atas tanah. Bun Sam
(Lanjut ke Jilid 03)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
lebih sehat tubuhnya dan lebih besar tenaganya, juga kedua tangannya terlatih dan lebih kuat. Akan tetapi ia kalah nekat, maka pergumulan itu amat seru dan ramai.
Tiba tiba terdengar suara perlahan, "Siauw liong (Naga Kecil), kau pisahkan dua orang anak nakal itu!"
Bun Sam dan Kui To mendengar suara ini dan Bun Sam yang mengenal suara Kim Kong Taisu segera melepaskan kedua tangannya yang tadi mencengkeraman pundek Kui To.
Akan tetapi, Kui To yang juga mengenal suara kakek itu tidak mau berhenti bergumul, bahkan ia mempergunakan kesempatan ketika Bun Sam melepaskan kedua tangannya untuk secepat kilat mencekik leher Bun Sam. Cekikan ini kuat sekali dan Bun Sam berusaha melepaskannya dengan sia sia.
Akan tetapi pada saat itu, Kui To merasa betapa pinggangnya dipegang oleh sesuatu yang amat kuat dan sekali renggut saja tubuhnya telah terlepas dari Bun Sam.
Hampir ia berteriak saking kagetnya ketika ia melihat bahwa yang "memegangnya" itu adalah ekor dari seekor ular yang amat besar.
Juga Bun Sam menjadi pucat ketakutan ketika melihat kepala Seekor ular yang besar mengerikan berada dekat dengannya.
Ia cepat melompat bangun dan berlari ke arah Kim Kong Taisu kemudian ia menjatuhkan diri berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.
"Siauw liong, kau lepaskan dia!" kembali terdengar suara halus kakek itu. Seperti mengerti maksud ucapan kakek itu, ular yang tadi membelitkan ekornya pada pinggang Kui To, lalu melepaskan belitannya, sehingga tubuh Kui To terguling dan jatuh di atas tanah.
Akan tetapi keberanian anak ini benar benar luar biasa sekali. Bukan hanya karena keberaniannya, akan tetapi juga oleh karena ia memiliki kecerdikan dan kelicikan yang hebat, maka begitu ia dilepaskan oleh ular itu ia lalu menerjang ular itu, menendang dan memukul tubuh ular yang besarnya lebih sepelukan lengannya.
Ular itu mendesis marah dan menggerakkan kepalanya ke arah Kui To, akan tetapi kembali Kim Kong Taisu mencegahnya,
"Siauw liong, jangan melayani dia dan kembalilah ke gua!"
Ular bernama Siauw liong (Naga Kecil) itu lalu merayap pergi dan tubuhnya yang berlenggak lenggok itu nampak berkilau tertimpa sinar bintang bintang di langit yang kini tampak makin gemilang karena langit di belakangnya menjadi makin hitam.
Memang Kui To amat cerdik, ia tadi sudah mendengar betapa ular besar itu dapat diperintah oleh Kim Kong Taisu, maka dengan adanya kakek itu di situ, ia menjadi berani, ia dapat menduga bahwa kalau ular itu hendak mengganggunya, tentu akan dicegah oleh Kim Kong Taisu yang telah menjadi suhunya dan ternyata benar dugaannya itu.
"Kalian ini mengapa tidak pergi tidur, sebaliknya bergumul di sini?" kakek ini menegur dengan suara keras.
"Suhu, Bun Sam memukul lebih dulu kepada teecu," kais Kui To yang kini andai berlutut juga.
Kim Kong Taisu memandang tajam kepada Kui To, kemudian ia menengok ke arah Bun Sam yang masih menundukkan mukanya.
"Benarkan, Bun Sam?"
"Benar, suhu. Memang teecu yang memukulnya lebih dulu!"
"Hm, sudahlah, kalian pergi tidur. Lain kali tidak boleh berkelahi dan lupakan perkara yang sudah sudah." Setelah berkata demikian, Kim Kang Taisu berlalu dan lenyap di balik pohon tusam kembar yang tumbuh di situ.
"Kui To maafkan aku."....Bun Sam berkata kepada tawannya.
"Maaf...........? Ha, ha, ha! Perlu apa mesti maaf memaafkan! Aku sudah lupa lagi, seperti perintah suhu tadi. Ayoh tidur!"
Bun Sam kembali tertegun dan memandang kepada Kui To yang berlenggang masuk ke arah pondok yang mereka tinggali. Orang macam apakah yang menjadi kawannya ini? Demikian aneh wataknya.
Luka di pundak Bun Sam dan juga bekas bekas pukulan orang dusun di seluruh tubuh Kui To belum sembuh benar. Ditambah pula oleh pergumulan malam tadi, tidak mengheran kan apabila pada keesokan harinya ketika mereka bangun tidur, keduanya merasa seluruh tubuhnya sakit sakit.
Hari masih pagi sekali dan di dalam bilik mereka masih gelap dan dingin. Agaknya matahari belum muncul. Sayup sayup terdenyur bunyi ayam ayam hutan berkeruyuk, akan tetap di luar pondok telah ramai kicau burung pagi yang tadi membangunkan dua anak itu.
"Bangun, Kui To. Suhu kemarin memesan supaya kita bangun pagi pagi dan mengisi kolam itu dengan air dari air terjun di bawah lereng."
"Aku masih mengantuk..... tubuhku terasa penat penat dan sakit sakit...."
Kui To menggeliat geliat beberapa kali. Kasihan juga. Bun Sam melihat keadaan kawannya ini. Betapapun ganjil watak kawan ini, akan tetapi pada waktu itu, hanya Kui To seoranglah kawannya, kawan senasib, kawan seperguruan.
"Kalau begitu, biarlah aku sendiri yang mengisi kolam, Kui To. Dan kalau suhu tahu, biarlah kukatakan bahwa kau masih sakit sakit tubuhmu dan belum kuat mengambil air."
Ucapan ini membuat Kui To melompat turun cepat sekali.
"Apa? Kau mau bikin aku malu kepada Suhu? Biar aku dianggap anak malas tidak mau bekerja? Tidak!"
Sekali lagi Bun Sam melengak menyaksikan tabiat yang aneh ini mudah tersinggung dan juga mudah sekali melupakannya kembali.
"Sesukamulah maksudku hanya menolongmu," katanya sambil berjala keluar, ke dalam hawa pagi yang sejuk dan dingin.
Sambil mengomel panjang pendek, Kui To juga melompat turun dan mengikutinya menuju ke bawah lereng sebelah selatan di mana terdapat air terjun.
Sebelum berangkat, Bun Sam mengambil pikulan yang digantungi dua tempat air dari kayu. Di situ terdapat dua buah pikulan dan sengaja Bun Sam mengambil pikulan yang paling besar. Sambil bersungut sungut Kui To mengambil pikulan yang kecil dan mengikuti Bun Sam tanpa bercakap cakap lagi.
Tempat air mancur itu jauhnya ada dua li dari pondok dan dua buah kolam yang harus diisi cukup besar, sehingga kalau mereka berdua mempergunakan dua pikulan itu diisi penuh, agaknya kolam kolam itu tidak akan penuh dengan duapuluh kali isian!
Ketika berangkat ke air terjun itu memang tidak berat selain jalannya turun, pikulannya kosong, juga badan belum lelah. Akan tetapi setelah tong tong air itu diisi dan pikulan dipanggul, terasalah beratnya.
Baik Bun Sam yang memikul tong besar maupun Kui To yang memanggul tong lebih kecil, kuat memikulnya. Akan tetali setelah mereka mulai mendaki jalan yang berbatu batu dan naik meninggi makin lama langkah mereka makin berat dan tulang pundak serasa hendak patah patah.
Terpaksa air di dalam tong dikurangi, dibuang sebagian dan demikianlah, makin meninggi, makin berkurang isi tong, sehingga ketika mereka tiba di kolam, air di dalam tong tong yang dipikul itu tinggal seperempat bagian saja.
Kedua anak itu tentu saja menderita sekali dan dari sikap mereka menghadapi pekerjaan berat ini, mudah saja dilihat watak mereka. Kalau Bun Sam bekerja dengan diam saja dan mengerahkan seluruh tenaga dan ketekunannya, sebaliknya Kui To mengeluh panjang pendek dan segala apa disumpahinya.
Dari air terjun, sampai pikulan dan tong kolam, batu batu karang yang tajam dan melukai telapak kakinya, semuanya dimaki maki sepanjang jalan. Akan tetapi, ia tidak berhenti bekerja, bukan saja takut terhadap Kim Kong Taisu, terutama sekali malu hati dan tidak mau kalah melihat betapa Bun Sam masih melanjutkan pekerjaan!
Agar jangan terlalu terasa beratnya pekerjaan itu di waktu mereka berangkat lagi ke air terjun memikul pikulan dan tong kosong, Bun Sam mengajak Kui To bercakap cakap.
"Kui to, ingatkah kau kepala Siauw liong? Ia hebat sekali bukan!"
"Naga siluman itu? Kelak kalau aku sudah besar, akan kupukul pecah kepalanya!" kata Kui To sambil cemberut marah karena ia teringat betapa ular itu telah membelit pinggangnya.
"Hush, Kui To. Ular besar itu adalah binatang peliharaan suhu."
"Tidak peduli, kalau dia mengganggu aku, dia menjadi musuhku. Suhu tentu akan membantuku, berat mana murid atau binatang peliharaan?"
Diam diam dari samping, Bun Sam melirik ke arah kawannya ini. Melihat betapa kawannya itu berjalan terpincang pincang, ia merasa geli dan kasihan juga. Ia dapat menduga bahwa kawannya ini selama hidupnya tak pernah bekerja berat dan belum pernah berlatih silat, maka tubuhnya lemah dan tidak kuat bekerja kasar.
Hanya semangat dan keberaniannya saja yang benar benar amat mengagumkan. Hal ini harui ia akui, karena biarpun ia sendiri menang tenaga dan sudah berlatih silat, malam tadi sukar baginya untuk memenangkan kawan yang amat bandel dan berani ini.
Sudah empat kali mereka membawa air dari air terjun ke kolam di belakang pondok itu.
Kim Bun Sam dapat membawa setengah tong air, sedangkan Kui To dalam malasnya masih saja hanya mengisi tongnya seperempat saja, padahal tongnya itu lebih kecil daripada tong Bun Sam.
"Bun Sam, mengapa suhu dan si gagu itu tidak kelihatan? Alangkah malas mereka itu, matahari sudah naik tinggi masih mendengkur, membiarkan kita anak anak kecil bekerja setengah mampus!"
"Hush, Kui To, jangan kau bicara seperti itu! Juga kau salah sekali kalau menyebut Yap suheng dengan sebutan menghina. Lupakah kau bahwa dia yang menolong nyawa kita berdua? Kalau tidak ada Yap suheng, kau dan aku sudah mati. Pula suhu menyuruh kita bekerja tentu ada maksudnya, baru bekerja seringan ini saja kau sudah mengeluh, apalagi kalau harus mempelajari ilmu silat yang amat sukar dan berat. Jangan jangan baru setengah nya kau sudah tak kuat lagi!"
"Bun Sam, kau selalu memandang rendah kepadaku. Kaukira aku takut kepadamu dan mengaku kalah? Kita sama lihat saja, kawan. Boleh kita lihat kelak, apakah kau yang rajin ini akan dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padaku."
Melihat Kui To memandang marah dan kedua matanya mengecil, tahulah Bun Sam bahwa kalau menjawab, tentu Kui To akan mencari urusan lagi. Ia tidak mau meladeni kawan yang otak otakan ini, lalu berkata sabar,
"Matahari telah naik tinggi, ayoh kita percepat jalan!"
Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat air terjun, keduanya menahan tindakan kaki dan berdiri memandang dengan heran.
Di tempat itu telah duduk seorang laki laki tua yang bicara seorang diri sambil bersila menghadapi sebuah keranjang kembang. Keadaan orang itu benar benar aneh sekali, ia sudah berusia enampuluh tahun lebih, rambutnya yang putih itu digelung ke aras dan ditusuk dengan sebatang tulang putih.
Sepasng matanya selalu melotot seperti mata katak yang jarang berkedip. Pakaiannya lebih mengherankan, karena pakaiannya itu terdiri dari celana lebar dan jubah komprang yang kesemuanya terbuat daripada kain berkembang kembang seperti yang biasa dipakai olah orang orang perempuan.
Kui To berjalan mendekat, diikuti oleh Bun Sam yang ragu ragu dan curiga. Keadaan kakek ini benar benar amat menimbulkan curiga dan keheranan.
Setelah mereka dekat, ternyata bahwa keranjang yang dihadapi oleh kakek ini, dipasangi tongkat yang berkepala naga dan di atas kepala tongkat ini masih dipasangi sebatang hio (dupa biting) yang mengebulkan asap.
Keranjang itu diletakkan di atas tanah dan di tengah tengahnya dipasang sebatang ranting kering yang runcing.
Biarpun kedua orang anak itu sudah berada dekat sekali, kakek itu tidak memperdulikan nya, karena agaknya ia sedang asyik sekali bercakap cakap dengan keranjang itu.
"Ha, ha, ha, Lak Mou Couwsu, kau tidak usah penasaran. Ilmu silat ciptaanmu memang hebat dan besar pada zamanmu, akan tetapi sekarang tidak ada gunanya lagi bagimu, apalagi orang orang sekarang yang masih hidup mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadamu! Apalagi aku, Seng Jin Siansu " ha, ha, ha! Jawablah! Lak Mou Couwsu, bagaimanakah cara memecahkan jurus terakhir dari Ilmu silatmu, jurus yang disebut Seng Thian cui siauw (Naik Ke Langit Meniup Suling) itu?"
Tadinya Kui To dan Bun Sam merasa geli dan menganggap bahwa kakek ini tentulah seorang yang miring otaknya. Akan tetapi apa yang mereka lihat selanjutnya mengusir semua rasa geli dan kini mereka memandang ke arah keranjang itu dengan mata terbelalak heran dan terkejut.
Ternyata bahwa keranjang itu telah dapat bergerak gerak sendiri di atas tanah. Pada leher tongkat itu diikatkan sehelai kain pengikat kepala yang merupakan dua buah tangan dan kini setelah keranjang itu bergerak gerak, maka kedua lengan dari kain ini juga bergerak seperti lengan orang saja.
Anehnya keranjang itu bergeser ke kanan, kiri dengan tetap dan tegap seakan akan mempunyai dua buah kaki yang melangkah dengan sigapnya, sedangkan kedua tangan kain itu bergerak seperti sepasang tangan orang yang bermain silat.
"Terima kasih. Lak Mou Cuowsu, terimakasih. Jadi rahasianya terletak dalam pukulan tangan kiri, ya? Bagus, bagus. Nah, pulanglah, kau Lak Mou Couwsu, aku tidak perlu lagi padamu," kata kakek ini setelah keranjang itu bergerak. Keranjang itu kini diam dan terletak di atas tanah, yang bergerak hanya asap hionya saja yang masih mengebul dan bergerak tertiup angin.
Bun Sam dan Kui To saling pandang, akan tetapi sebelum mereka dapat mengeluarkan ucapan, kakek itu telah menengok dan mamandang kepada mereka.
Kalau tadi perhatian kedua orang anak ini dicurahkan kepada keranjang yang bisa bergerak gerak sendiri, kini mereka menatap wajah kakek itu dan diam diam mereka merasa ngeri ketika melihat bahwa kakek itu hanya mempunyai mata sebuah saja.
Entah apa yang terjadi dengan mata kanannya, karena tempat di mana mata kanannya seharusnya berada, kini hanya kelihatan hitam dan bundar saja seakan akan matanya yang kanan itu ditutup oleh sepotong kain hitam yang bundar.
Akan tetapi matanya yang hanya satu di sebelah kiri itu amat tajam pandangannya dan lebar sekali. Hidungnya bengkok ke bawah dan mulutnya selalu menyeringai seperti orang mengejek. Mukanya kurus sekali, seperti juga tubuhnya yang terbungkus oleh pakaian berkembang kembang itu.
Kakek yang tadi menyebut namanya sendiri sebagai Seng Jin Siansu ini tertawa terkekeh kekeh dan nampak giginya yang hanya tinggal tiga buah di sebelah atas.
"Aha, anak anak kecil memikul tong air di puncak Oei san! Apakah Kim Kong Taisu sekarang sudah malas dan manja, sehingga perlu memelihara dua orang kacung?"
Mendengar kakek aneh itu menyebut nama gurunya Bun Sam dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang aneh pula yang menjadi sahabat suhunya, maka cepat ia maju dan memberi hormat sambil menjura, lalu menjawab,
"Totiang teecu berdua bukanlah kacung atau pelayan dari Kim Kong Taisu, melainkan murid muridnya. Mohon tanya totiang siapakah dan apakah hendak bertemu dengan suhu?"
Akan tetapi, sebagai jawaban, kakek ini tertawa tergelak gelak dan ia nampaknya demikian geli, sehingga matanya yang hanya sebelah itu mengeluarkan air mata.
"Kim Kong si tua bangka memungut dua orang murid? Ha. ha, ha! Dunia sudah hendak kiamat rupanya dan tua bangka itu takut kalau kalau ia mampus membawa pergi kepandaiannya!"
Kemudian matanya dengan amat tajam menatap kedua orang anak itu berganti ganti, lalu dengan suaranya yang parau, "Dan kalian mendapat pelajaran memikul air?"
"Kami harus penuhkan kolam di belakang pondok!" kata Kui To dan dari suaranya orang dapat mengetahui bahwa dia merasa jengkel dan tak senang dengan pekerjaan itu.
"Apa susahnya mengisi air di dalam tong saja?" Seng Jin Siansu tertawa. "Lihat!" ia menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah tong yang tadi dipikul oleh Kui To dan tong itu bagaikan dilempar telah melayang ke arah air terjun, selelah penuh lalu melayang kembali ke tempat semula dekat Kui To dan sudah penuh dengan air.
Kembali kakek itu tertawa dan empat kali ia menudingkan jari telunjuknya dan empat buah tong itu telah penuh air semua dengan cara yang sama seperti tadi. yakni dengan mengisi sendiri sampai penuh.
"Kalau aku yang mengisi kata kakek itu sambil tertawa tawa mengejek, "tanpa turun dari puncak kolam itu telah penuh sendiri dengan air."
Tentu saja Bun Sarn dan Kui To melengak dan saling memandang dengan bengong.
"Bagus, bagus! Alangkah senangnya memiliki kepandaian seperti itu. Dan ini" apakah ini totiang?" kata Kui To yang bersorak kegirangan.
"Ini?" Song Jin Siansu menunjuk ke arah keranjang yang dipasangi tongkat dan hio itu.
"Dengan keranjang sayur tjoi lan ini, aku dapat memanggil roh roh orang yang sudah meninggal."
Mau tak mau seram juga hati kedua orang anak itu, akan tetapi tiba tiba terdengar Bun Sam berkata, "Aku tidak suka akan ilmu hitam dan sihir!"
Kakek itu menengok ke arah Bun Sam dan matanya yang hanya sebelah berkilat.
"Siapa bilang bahwa ilmuku adalah ilmu hitam, nak?"
"Ayah sering kali bilang bahwa ilmu sihir yang aneh aneh adalah ilmu hitam yang tidak baik. Aku dilarang untuk mempelajari ilmu hitam seperti itu. Totiang, bukan sekali kali teecu menyatakan bahwa kepandaian totiang adalah ilmu hitam, akan tetapi... sesungguhnya memang aneh...."
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayahmu bermulut lancang! Siapa namamu, siapa nama ayahmu dan dimana dia?"
Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah, akan tetapi Bun Sam tidak merasa takut karena tidak merasa bersalah.
Pedang Naga Kemala Eps 26 Pedang Naga Kemala Eps 28 Rajawali Hitam Eps 15