Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 21


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 21




   Bun Sam melompat cepat dan sekali tangkap saja ia sudah dapat memondong tubuh Sian Hwa.

   "Koko, kau tolong Thian Giok....!" tiba tiba Sian Hwa berkata.

   Ternyata bahwa biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, Thian Giok tak dapat mempertahankan diri di atas batu karang licin yang bergoyang goyang dan iapun terjungkal. Akan tetapi, pemuda ini masih sempat memegangi pinggiran jurang batu karang dan tubuhnya tergantung di pinggir jurang.

   Bun Sam cepat melepaskan Sian Hwa dan menyuruh gadis itu berjongkok agar tidak terlempar, lalu ia merayap di atas batu karang yang licin sekali mendekati jurang.

   Sian Hwa memandang dengan hati berdebar. Ia maklum bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh Bun Sam itu berbahaya sekali, karena sekali saja terpeleset, tentu pemuda ini akan tercebur dalam sungai pula dan kalau hal itu terjadi, jangan harap Bun Sam akan dapat menyelamatkan diri.

   "Koko, kau hati hatilah...." katanya dan suara ini membuat Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu menjadi pilu. Mereka juga terbaru sekali melihat pembelaan Bun Sam kepada Thian Giok dan sedikit demi sedikit kemarahan mereka terhadap Bun Sam menipis.

   Akhirnya Bun Sam berhasil memegang tangan Thian Giok yang telah berdarah karena batu batu karang yang tajam itu melukai kulit telapak tangannya, lalu Bun Sam menarik tubuh pemuda itu ke atas.

   "Berpeganglah erat erat, Thian Giok!" katanya dan setelah tubuh pemuda yang ditolongnya itu berada di atas, ia lalu memondongnya dan melompat ke tengah batu karang yang kini sudah miring.

   "Terima kasih, Bun Sam. Dua kali kau menyelamatkan jiwaku," kata Thian Giok terharu.

   "Belum cukup untuk menebus dosaku terhadap adik dan ayahmu," jawab Bun Sam.
Pada saat itu, Sian Hwa memekik. Dari belakang menyambar sebatang tongkat dan ternyata secara curang sekali Lam hai Lo mo telah menyerang Bun Sam yang berdiri membelakanginya!

   "Curang kau, bangsat tua!" Kim Kong Taisu memaki sambil melompat dan menangkis sambaran tongkat itu dengan pedang Kim Kong kiam yang sudah dipegangnya!

   "Traang!" Kim Kong Taisu merasakan tangannya tergetar dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Dalam hal tenaga, ia tidak kalah oleh Lam hai Lo mo, akan tetapi kedudukannya tadi kalah oleh lawannya dan ia menangkis dalam keadaan miring, maka tentu saja ia hampir mendapat celaka.

   Sementara itu, Pat jiu Giam ong juga tidak tinggal diam dan mengirim pukulan dengan tangannya yang didorongkan ke arah punggung Kim Kong Taisu.

   Kim Kong Taisu terkejut sekali merasakan datangnya sambaran angin pukulan yang dahsyat, ia cepat sekali menangkis dengan mengebutkan ujung lengan bajunya.

   Akan tetapi, masih saja ia terdorong dan kakek ini jatuh terguling!

   Baiknya Mo bin Sin kun melihat keadaan yang berbahaya ini, cepat melompat lalu menyambar lengan Kim Kong Taisu yang segera melompat berdiri lagi dengan wajah merah.

   "Tua bangka curang!" Bun Sam telah melompat menghadapi Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong, "Tidak malukah kalian? Kalau memang kalian ada kepandaian, ayoh hadapi aku. Aku tantang kalian. Dengar baik baik! Aku Song Bun Sam, orang yang tidak ternama, yang masih bodoh dan hijau, aku menantang pibu kepada Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu dan Pat jiu Giam ong Liem Po Coan! Beranikah kalian, atau takutkah menghadapi aku??"

   Bukan main marahnya kedua orang kakek itu mendengar tantangan hebat ini. Wajah mereka sampai menjadi pucat saking menahan marahnya.

   "Bocah sombong! Kaukira kepandaianmu sudah paling tinggi?" Lam hai Lo mo membentak.

   "Hem, aku tidak mau membunuh seorang tidak ternama. Kau bukan murid Kim kong Taisu, tidak diakui pula oleh Mo bin Sin kun. Kan tidak berhak mencampuri pibu ini!" cela Pat jin Giam ong.

   "Bodoh!" Bun Sam berkata. "Tak dapat mendugakah kau, Liem goanswe. Ternyata kau hanya pandai mengatur siasat perang untuk menipu barisan musuh yang lebih kuat secara curang saja! Ketahuilah, aku datang sebagai wakil dari Bu tek Kiam ong, karena aku adalah muridnya. Tahu??"

   Mendengar ini, semua orang melengak terheran heran. Pantas saja anak ini demikian gagah dan lihai! Karena tiada waktu lagi untuk banyak bertanya tentang Bu tek Kiam ong, maka Pat jiu Giam ong yang cerdik segera berkata,

   "Aha, tidak tahunya orang gila itu masih ada dan telah mengirim muridnya. Bagus, kau tadi menantang pibu? Baik, turunlah kita mencoba ilmu tangan kosong. Beranikah kau menyambutnya?"

   Memang Pat jiu Giam ong cerdik. Ia tahu bahwa kelihatan Bu tek Kiam ong, seperti dapat dimengerti dari julukannya yang berarti Raja Pedang Tanpa Tandingan, adalah dalam ilmu pedang. Maka sengaja ia mengajak bertanding dengan tangan kosong, karena ia mempunyai ilmu pukulan Tiat mo kang yang lihai, yang dapat merobohkan lawan dengan angin pukulannya dari jarak jauh!

   "Tentu saja berani, siapa takut kepadamu?" jawab Bun Sam, Pat jiu Giam ong lalu memasang kuda kuda dan karena ia ingin cepat cepat merobohkan lawannya yang muda ini, begitu bergebrak ia telah menjalankan pukulan Tiat mo kang!

   Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun terkejut sekali. Dua orang ini mengerti akan muslihat dari Pat jiu Giam ong, maka mereka memandang dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi, Mo bin Sin kun berbisik kepada Kim Kong Taisu,

   " Tak perlu khawatir, dia telah mempelajari Soan hong pek lek jiu dari aku dan ditambah dengan kepandaiannya Thai lek Kim kong jiu dari mu, kurasa dia takkan kalah."

   Kim Kong Taisu mengangguk angguk menyatakan setuju dan ia menjadi agak lega. Keduanya memandang dengan penuh perhatian, juga bersiap siap untuk mencegah. Lam hai Lo mo menggunakan kecurangan.

   Adapun Thian Giok dan Sian Hwa memandang ke arah Bun Sam. Thian Giok dengan penuh kekaguman, Sian Hwa dengan bangga dan juga khawatir.

   Akan tetapi setelah pertempuran dimulai, tidak saja Sian Hwa yang menjadi khawatir, bahkan Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu menjadi gelisah sekali.

   Ternyata bahwa Bun Sam sama sekali tidak mempergunakan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu atau Thai lek Kim kong jiu untuk menghadapi serangan serangan Thiat mo kang dari Pat jiu Giam ong.

   Malaikat Maut Tangan Delapan ini mulai penyerangannya dengan pukulan Thiat mo kang, dengan tubuh agak direndahkan kemudian kedua tangannya mendorong ke depan sambil mengeluarkan seruan keras.

   Biarpun Sian Hwa dan Thian Giok berdiri jauh, masih juga dua orang muda ini merasai angin pukulan, sehingga mereka cepat mengerahkan lweekang untuk menahan angin ini. Bun Sam menghadapi pukulan maut ini dengan menggunakan kelincahan ginkangnya yang luar biasa.

   Iapun membalas serangan lawan, tetapi ia menggunakan ilmu pukulan yang ia pelajari dari Bu tek Kiam ong. Mana bisa ia menghadapi lawan yang menggunakan ilmu pukulan lweekang dari jauh dengan ilmu silat ini, karena sebelum pukulannya mendekat lawannya kembali telah melancarkan pukulan hebat dari Thiat mo kang.

   Melihat keadaan lawannya, Pat jiu Giam ong menjadi gembira sekali dan ia menyerang terus bertubi tubi sambil bersilat dengan Ilmu Silat Pat kwa jiu hwat dan mengerahkan pukulan Thiat mo kang. Bun Sam terdesak terus dan mengelak ke sana ke mari, lincah sekali akan tetapi terdesak Thian Giok melihat pula keadaan ini dan tak tertahan pula ia berseru, "Bun Sam, pergunakan Soan hong pek lek jiu!"

   Mo bin Sin kun mengangguk angguk dan senang mendengar kecerdikan muridnya ini. Ia sendiri merasa malu untuk memberi tahu Bun Sam, karena hal ini akan dianggap curang oleh Pat jiu Giam ong.

   Akan tatapi alangkah pilunya hati wanita perkasa ini ketika mendengar Bun Sam menjawab. "Than Giok, aku tidak berani melanggar larangan gurumu."

   Mo bin Sin kun merasa betapa matanya menjadi panas dan hampir saja dua titik air mata yang telah mengembang di pelupuk matanya mengalir turun kalau tidak ditahan tahannya. Bukan main keras dan setia hati Bun Sam, sehingga di dalam keadaan terdesak oleh bahaya maut itu, pemuda ini tidak mau melanggar larangannya yang dulu diucapkan dalam kemarahannya ketika Bun Sam menolak ikatan jodohnya dengan Lan Giok.

   Sementara itu, sebuah serangan dari Pat jiu Giam ong akhirnya mengenai pundak Bun Sam. Hebat sekali pukulan ini karena dilakukan dari jarak yang tidak seberapa jauh dan ketika itu tubuh Bun Sam masih dalam keadaan melompat, sehingga tubuh pemuda ini terpental dan jatuh bergulingan di atas batu karang yang keras dan kasar.

   "Koko....!" Sian Hwa memekik dan melompat ke arah suaminya Akan tetapi Pat jiu Giam ong mendorongnya dan berseru, "Pergi kau, perempuan hina!"

   Terkena dorongan ini, Sian Hwa roboh pula targuling guling. Baiknya Thian Giok berada di dekatnya maka pemuda ini dapat menangkap tangannya, sehingga gadis itu tidak terdorong.

   Pat jiu Giam ong mengejar Bun Sam dan mengirim pukulan lagi yang mengenai punggung pemuda itu. Akan tetapi, biarpun merasa sakit sekali, Bun Sam masih keburu mengerahkan lweekangnya dan mencegah pukulan ini melukai tubuh bagian dalam. Ia tidak memperdulikan keadaannya sendiri, bahkan berseru kepada Sian Hwa,

   "Sian moi, jangan kau ikut campur dan...."

   Akan tetapi ia terpaksa menghentikan seruannya ketika Pat jiu Giam ong memukul lagi, kini dengan tenaga Thiat mo kang sepenuhnya dan pukulan ditujukan ke arah kepala Bun Sam. Pemuda ini cepat melompat ke pinggir sambil menangkis dengan anginnya. Tetap saja ia terdorong dan kembali ia roboh.

   "Liem goanwe, jangan membunuh suamiku....!" Sian Hwa menjerit dan hendak memberontak dan pegangan Thian Giok, akan tetapi pemuda ini memegang lengannya erat erat karena ia maklum bahwa kalau dilepas, nyawa Sian Hwa berada dalam bahaya.
"Sian Hwa, jangan kau khawatir!" Bun Sam masih dapat berseru dan pemuda yang memiliki ginkang tinggi ini masih sempat mengelak dari sebuah pukulan susulan.

   Pat jiu Giam ong merasa heran dan penasaran sekali. Biasanya, sekali pukulannya mengenai lawan, pasti lawan itu akan roboh binasa, ia merasa heran menghadapi ilmu silat pemuda ini dan kalau ia tidak mempergunakan Thiat mo kang, agaknya ilmu silatnya Pat kwa jiu hwat takkan berdaya menghadapi ilmu silat Bun Sam.

   "Bun Sam, kau adalah muridku, siapa melarang kau mempergunakan Soan hong pek lek jin hwat?" tiba tiba terdengar suara Mo bin Sin kun yang nyaring, disusul oleh suara Kim Kong Taisu,

   "Bun Sam muridku, apakah kau sudah lupa untuk mempergunakan Thai lek Kim kong jiu."

   Bukan main girangnya hati Bun Sam mendengar ucapan ucapan kedua orang tua ini.

   "Terima kasih, suthai dan suhu. Teecu pasti tidak lupa." Kemudian, dengan semangat baru, ia menghadapi Pat jiu Giam ong. Ketika jenderal ini memukulnya dengan Thiat mo kang lagi, Bun Sam mengerahkan tenaga dalam dan mendorong pula dengan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu untuk menangkis.

   Hebat pertemuan dua tenaga ini. Pat jiu Giam ong tergempur kuda kudanya dan melangkah mundur dua tindak, juga Bun Sam melangkah mundur tiga tindak. Biarpun masih kalah sedikit tenaganya, namun kini Bun Sam dapat menghadapi lawannya secara keras lawan keras, tidak seperti tadi yang harus main kelit. Ia membalas dan kini ia memukul dengan tenaga Thai lek Kim kong jiu.

   Pertempuran makin hebat dan kini Bun Sam mulai mendesak lawannya. Hal ini adalah karena pemuda ini memainkan ilmu silat Tee coan Liok jiu hwat dan mempergunakan tenaga Thai lek Kim kong jiu dan Soan hong Pek lek jiu berganti ganti. Dalam hal tenaga ia boleh kalah sedikit akan tetapi dalam ilmu silat ia menang banyak, maka sebentar saja Pat jiu Giam ong telah termasuk dalam kurungan Ilmu Silat Enam Lingkaran Bumi itu.

   "Pat jiu Giam ong, kau harus menyusul Suheng dan adik Lan Giok!" kata Bun Sam dan pemuda ini menyerang makin gencar, sebuah pukulannya dengan tenaga Soan hong pek lek jiu dapat memasuki perut lawannya. Pat jiu Giam ong menjerit dan tubuhnya yang besar itu menggelundung, terus tak dapat di rem lagi sampai terguling ke dalam jurang dan disambut oleh gelombang air Sungai Hoang ho.

   Lam hai Lo mo menjadi pucat melihat sutenya tewas. Ia lalu memegang tongkat ularnya dan menghampiri Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun.

   "Marilah kita habiskan pertempuran ini. Majulah seorang di antara kalian, aku sudah siap!"

   Akan tetapi, Bun Sam cepat melompat menghadapinya dan berkata, "Lam hai Lo mo, ada muridnya di sini untuk apa kedua orang guruku yang mulia mesti turun tangan sendiri? Untuk memukul anjing tak perlu memakai pedang pusaka."

   Dengan kata kata itu, ia maksudkan bahwa untuk menghadapi Lam hai Lo mo tak perlu orang orang yang mulia seperti Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun turun tangan sendiri.

   "Bun Sam, dia lihai sekali, biar aku yang menghadapinya," kata Kim Kong Taisu, akan tetapi Bun Sam tersenyum dan berkata, "Biarlah, suhu. Bu tek Kiam ong sudah memberi tahu kepada teecu bagaimana harus menghadapi manusia siluman ini."

   "Bun Sam, kau baik sekali." kata Kim Kong Taisu terharu.

   Kemudian kakek ini lalu menyerahkan pedang Kim Kong kiam kepada muridnya. Melihat pedang ini, bercahaya muka Bun Sam. Ia menerima pedang itu dengan kedua tangan dan mencium pedang itu, kemudian sambil tersenyum senyum ia menghadapi Lam hai Lo mo Seng jin Siansu.

   "Lom hai Lo mo, kejahatan mu sudah melewati takaran, sekaranglah saatnya kau harus menebus dosa!" katanya.

   "Bocah sombong, kaukira akan dapat memenangkan Lam hai Lo mo? Ha, ha, ha, ha." Sambil tertawa tawa, Lam hai Lo mo lalu mulai menyerang. Suara ketawaaya tadi aneh sekali, karena anehnya, sehingga Sian Hwa dan Thian Giok memakan sesuatu pengaruh yang membuat mereka hampir hampir ikut tertawa.

   Melihat ini, Sian Hwa yang sudah tahu akan kelihaian bekas supeknya, lalu berlari mendekati Kim Kong Taisu untuk menyuruh kakek ini menolong Bun Sam.

   "Lo cian pwe, mohon kau sudi mencegahnya Dia suamiku.... bagaimana dia dapat melawan Lam hai Lo mo? Bagaimana kalau dia sampai celaka?"

   Akan tetapi, Kim Kong Taisu tidak menjawab dan ketika Sian Hwa memandang, ternyata kakek tua ini berdiri dengan sepasang lengan bersedakap dan mata meram!

   Mo bin Sin kun memberi isyarat agar Sian Hwa jangan mengganggu Kim Kong Taisu dan menyuruh gadis itu mendekat. Setelah dekat, ia katakan perlahan lahan,

   "Tidak kaulihatkah bahwa Kim Kong Taisu tengah membantu Bun Sam? Kalau Bun Sam menandingi ilmu silat Lam hai Lo mo, adalah Kim Kong Taisu menghadapi ilmu hitam yang dikeluarkannya!"

   Baru tahulah sekarang Sian Hwa bahwa Lam hai Lo mo maju menyerang Bun Sam sambil menyebarkan ilmu hitam dan Kim Kong Taisu kini sedang menolak pengaruh ilmu hitam itu untuk membantu Bun Sam. Maka ia hanya berdiri dan menonton dengan mata terbelalak dan hati berdebar.

   "Jadi kau sudah menjadi isterinya?" tanya Mo bin Sin kun dengan suara lembut, akan tetapi matanya masih tetap mengikati jalannya pertandingan antara Bun Sam dan Lam hai Lo mo.

   Merah muka Sian Hwa. "Kami berdua sudah melakukan upacara pernikahan, akan tetapi.... kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri dalam batin saja."

   Sian Hwa merasa perlu mengadakan pengakuan ini untuk meredakan kebencian atau kemarahan orang orang tua itu kepada suaminya.

   "Mengapa begitu?" Mo bin Sin kun bertanya, suaranya kurang percaya.

   "Untuk menghormat dan mengimbangi pengorbanan adik Lan Giok yang berhati mulia."

   Kini Mo bin Sin kun menengok dan ia melihat betapa Sian Hwa memandang ke arah Bun Sam dengan mata basah, ia merasa terharu sekali dan lak terasa ia memegang tangan gadis itu.

   "Betulkah itu....?" tanyanya.

   "Saya tak perlu membohong, suthai. Kami telah bersumpah takkan menjadi suami isteri dalam arti sedalam dalamnya sebelum mendapat pengampunan dari Lan Giok."

   Mo bin Sin kun menekan telapak tangan gadis itu, kemudian melepaskan kembali dan mengangguk anggukkan kepalanya tanpa berkata sesuatu.

   Pada saat itu, pertempuran yang terjadi antara Bun Sam dan Lam hai Lo mo hebat sekali. Tubuh kakek itu dan tubuh Bun Sam sudah lenyap dari pandangan mata dan yang nampak hanyalah sinar yang bergulung gulung dari dua senjata itu.

   Akan tetapi sinar kuning emas dari Kim kong kiam makin besar dan terpecah pecah menjadi enam lingkaran yang aneh sekali. Ternyata bahwa Bun Sam tengah memainkan ilmu Pedang Enam Lingkaran Bumi yang istimewa sekali dan yang diciptakan oleh Bu tek Kiam ong khusus untuk menghadapi tokoh tokoh terbesar dari dunia persilatan!

   Kepandaian Bun Sam sudah demikian sempurnanya sehingga terdengar Mo bin Sin kun berkata, "Andaikata Bu tek Kiam ong sendiri berada di sini, belum tentu ia akan dapat memainkan pedang sedemikian hebatnya!"

   Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu terdesak hebat. Dua kali ujung tongkatnya terbabat putus dan tongkat itu menjadi makin pendek saja. Keringatnya mulai mengucur deras dan napasnya sudah kembang kempis.

   "Kim Kong, tua bangka. Kau curang!" berkali kali Lam hai Lo mo berseru, karena ia tahu bahwa hanya Kim Kong Taisu saja yang membuat ilmu sihirnya tidak mempan menghadapi Bun Sam, biarpun berkali kali ia telah mengerahkan tenaga batinnya.

   Akan tetapi, Kim Kong Taisu tidak menjawab, karena kakek yang sakti ini maklum bahwa sekali saja ia mengendurkan pengarah kekuatan batinnya untuk menolak ilmu sihir Lam hai Lo mo, akan celakalah Bun Sam.

   Akhirnya Bun Sam dapat mematahkan ilmu silat dan Lam hai Lo mo dan ketika Bun Sam memutar pedangnya dengan getaran yang mempunyai daya membetot, tongkat di tangan kakek itu melayang terlepas dari pegangan dan jatuh ke bawah batu karang, mengambang di atas air sungai.

   Tiba tiba kelihatan gerakan di air itu dan muncul kepala yang bentuknya lonjong menyambar tongkat itu dan "krak", sekali sambar tongkat iru remuk dan masuk ke dalam perut ikan liar itu!

   Melihat ini Lam hai Lo mo menjadi lemas dan pucat mukanya. Tiba tiba ia menjatahkan diri berlutut dan menangis sambil mengeluh minta ampun! Memang hebat sekali kepandaian Lam hai Lo mo.

   Entah bagaimana, melihat dan mendengar kakek ini mengeluh dan minta minta ampun, Bun Sam merasa kasihan sekali, menarik pedangnya dan menjauhkan diri, sama sekali tidak ingin mengganggu kakek itu lagi! Juga Thian Giok dan Sian Hwa tiba tiba merasa kasihan dan bahkan Sian Hwa berkata dengan suara terharu,

   "Koko, jangan kau ganggu dia...."

   Bun Sam mengangguk angguk dan menghampiri Sian Hwa yang terus digandeng tangannya. Juga Kim Kong Taisu yang sudah membuka matanya, menarik napas panjang dan berkata,

   "Thian bersifat Maha Kasih, siapa sadar dan menyesal akan segala dosanya, pasti akan mendapat petunjuk ke arah jalan baik...."

   Akan tetapi tiba tiba nampak bayangan yang berkelebat ke hadapan Lam hai Lo mo yang masih berlutut dan Mo bin Sin kun telah berdiri di hadapan kakek itu.

   "Siluman jahat, angkat mukamu dan lihatlah siapa aku!"

   Lam hai Lo mo mengangkat muka dan melihat Mo bin Sin kun, ia menangis lagi.

   "Cui Kim, ampunkanlah aku.... ampunkan aku seorang tua yang tak berdaya, yang sebatang kara...."

   Suaranya sungguh sungguh menimbulkan keharuan dalam hati setiap pendengarnya, karena sesungguhnya, dalam kelakuan inipun Lam hai Lo mo diperkuat oleh ilmu sihirnya! Inipun merupakan semacam ilmu baginya uutuk dapat meloloskan diri dari bahaya maut yang mengancamnya.

   Akan tetapi kali ini ia menghadapi Cui Kim atau Mo bin Sin kun orang yang dulu di waktu mudanya pernah menerima hinaan besar dan perlakuan sejahat jahatnya dari dia, orang yang boleh dibilang sudah rusak hidupnya, sehingga rela menutupi muka dengan kedok buruk dan semua itu semata mata karena kejahatan Lam hai Lo mo!

   "Kau masih berani menyebut nama Cui Kim? Lupa lagikah kau betapa kejinya kau dulu berbuat kepada Cui Kim? Dan kau masih mengharapkan ampun? Akan tetapi aku tidak sekejam kau. Aku tidak mau membunuhmu dengan tanganku sendiri, sungguhpun itu sudah menjadi hakku. Nah, lekaslah kau pergi dari sini!"

   Sambil berkata demikian, Mo bin Sm kun menendang tubuh Lam hai Lo mo yang sudah menjadi lemas karena lelahnya.

   Tubuh kakek itu melayang ke bawah dan terdengar suara air muncrat, disusul pekik kakek itu. Hanya warna merah sedikit membayang di permukaan air ketika ikan liar yang tadi telah memakan tongkatnya, kini mengenyangkan perutnya yang tak pernah merasa puas itu dengan tubuh yang tinggal kulit dan tulang ini. Tamatlah riwayat Lam hai Lo mo yang di waktu hidupnya selalu melakukan hal hal yang jahat belaka.

   Bun Sam berlutut di depan kedua orang bekas guru gurunya itu.

   "Semoga kau berbahagia dengan isterimu, Bun Sam. Dia seorang isteri yang baik dan setia. Kau tidak salah pilih," kata Mo bin Sin kun.

   Adapun Kim Kong Taisu, saking terharu dan girangnya melihat kemajuan Bun Sam lalu memeluk pemuda itu tanpa berkata sesuatu. Kemudian, mereka berhasil memanggil seorang nelayan yang datang dengan perahunya dan menyeberangkan mereka ke darat. Thian Giok ikut pulang dengan Mo bin Sin kun ke Sian hwa san, sedangkan Kim Kong Taisu kembali ke Oei san, Bun Sam bersama isterinya melanjutkan perjalanan, ke mana?

   DI DEPAN dua gundukan tanah, yakni sebuah makam yang masih baru, dua orang nampak berlutut. Air mata mereka bercucuran dan di depan batu nisan dua makam ini nampak hio mengebut.

   "Adik Lan Giok"" terdengar suara Sian Hwa dan Bun Sam, "Kami berdua mohon ampun darimu. Tenangkanlah arwahmu, adik Lan Giok. Kau tidak berkorban secara sia sia. Kami ikut prihatin dan kamipun ikut berkorban. Kami takkan menjadi suami isteri di dunia ini, karena sesungguhnya aku telah menganggap bahwa Bun Sam adalah suamimu. Biarlah cintaku kepadanya kubuktikan dengan menjadi bujangnya, merawatnya, asal aku berada di sampingnya...."

   "Sian.... sudahlah. Lan Giok sudah mengetahui isi hati kita. Sudah tahu akan sumpah kita bahwa kita hanya dapat menjadi suami isteri kalau mendapat pengampunan dari dia."

   Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tahu tahu sosok tubuh seorang wanita muncul di belakang makam itu. Bun Sam terkejut sekali karena hanya seorang dengan kepandaian luar biasa tingginya saja dapat datang di situ tanpa ia mendengar sama sekali. Dan keheranannya bertambah ketika ia melihat bahwa orang itu adalah seorang nyonya tua yang ia tidak kenal. Kalau yang muncul ini misalnya Mo bin Sin kun itu masih tidak mengherankan.

   "Bun Sam, Sian Hwa, aku adalah nyonya Yap Bouw, ibu dari Lan Giok," kata wanita tua ini yang mukanya tidak begitu jelas karena memang hari masih pagi sekali dan matahari belum muncul.

   Sian Hwa dan Bun Sam terheran heran. Tak disangkanya bahwa ibu dari Lan Giok bahkan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Mo bin Sin kun. Gerakannya demikian ringan dan ketika bertindak maju, tidak terdengar sedikitpun juga tindakan kakinya,

   "Jangan kaget aku datang. Ketahuilah, Lan Giok sudah lama memberi ampun kepada kalian. Lan Giok bukanlah seorang gadis kokati, bahkan kalau kalian berlaku seperti sekarang ini dan hidup menyiksa perasaan sendiri, Lan Giok akan kecewa, karena itu berarti pengorbanannya sia sia belaka. Jadilah suami isteri yang bahagia pula. Siapa tahu kalau kalau Thian mengirim dia berkumpul kembali dengan kalian"

   Bun Sam dan Sian Hwa saling memandang dengan masih berlutut, kemudian Sian Hwa berkata.

   "Bagaimana kami dapat tahu kalau Lan Giok benar benar mengampuni kami?"

   Wanita itu berkata, "Kau mau bukti? Lihatlah....." Wanita itu melambaikan tangannya dan tiba tiba muncullah di situ dua sosok bayangan lain, seorang gadis dan seorang kakek.

   "Lan Giok...." seru Sian Hwa.

   "Yap suheng...." Bun Sam berseru pula.

   Keduanya berdiri dan menubruk dua bayangan itu, akan tetapi mereka hanya melihat Lan Giok tersenyum senyum dan berkata, "Aku ampunkan kalian!" Lalu lenyaplah bayangan tiga orang itu.

   Bun Sam dan Sian Hwa bersembahyang terus sampai sehari di tempat itu, kemudian mereka pergi dengan perasaan penuh kebahagiaan, karena benar benar Lan Giok telah mengampuni mereka.

   Hanya satu hal yang mereka herankan, yakni tentang ibu Lan Giok. Bukankah nyonya itu masih hidup di Oei san bersama Mo bin Sin kun?

   Hal inipun menjadi terang ketika beberapa bulan kemudian, mereka mengunjungi puncak Oei san, mereka mendengar dari Thian Giok bahwa nyonya Yap Bouw itu telah meninggal dunia tepat pada saat mereka sembahyang di depan makam Lan Giok.

   Demikianlah, Bun Sam dan Sian Hwa hidup penuh kebahagiaan sebagai suami isteri yang saling mencinta.

   Bertahun tahun lewat tanpa dirasakan oleh manusia, terutama oleh mereka yang hidup penuh madu asmara seperti Song Bun Sam dan isterinya itu. Kita tinggalkan mereka untuk menengok Kepulauan Couwsan.

   Kepulauan Couwsan terletak di pantai timur Propinsi Cekiang. Melihat pulau pulau ini dari pantai daratan Tiongkok, nampak seakan akan sekelompok ikan mengambang di permukaan samudera.

   Tiada hentinya ombak mempermainkan air laut, dari tengah tertiup angin berlari larian ke pantai, memukul pantai lalu kembali dalam bentuk ombak kecil kecil, berlarian dan beriak menimbulkan suara seperti banyak anak anak kecil tengah bermain main dengan riang gembira. Memang tak banyak bedanya sifat ombak air laut dengan sifat kanak kanak, tiada hentinya bersenda gurau dan tertawa tawa, namun sewaktu waktu kalau angin tiba tiba bertiup kencang, lalu timbul "ngambek", mendatangkan alunan gelombang menderu.

   Waktu itu, air laut tengah mengamuk dan ombak yang dilemparkan ke pantai membuat batu batu karang tergetar dan bergoyang. Jika ombak sering bergelombang besar dan laut sedang marah seperti ini, tak seorangpun nelayan berani melayarkan perahunya. Bahayanya terlalu besar, dan andaikata seorang nelayan yang pandai dan kuat dapat mendayung perahunya melawan ombak namun belum tentu ia dapat menghindarkan perahu nya terbentur pada batu batu karang di bawah permukaan air laut yang akan membuat dia dan perahunya ditelan oleh perut samudera yang dalam.

   Namun, pada saat itu, dari sebuah dusun di sebelah selatan kota Ningpo, nampak dua orang tengah menurunkan sebuah perahu kecil ke air yang bergerak gerak tiada hentinya itu. Kemudian mereka melompat ke dalam perahu dan keduanya menggerakkan dayung di tangan. Ombak datang menyambut perahu mereka, melemparkannya ke atas bagaikan bulu tertiup angin.

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan tetapi dua orang itu tidak menjadi takut atau gentar, bahkan sambil tertawa tawa mereka menanti sampai perahu mereka tiba di puncak ombak itu, Kemudian dengan berbareng mereka lalu menggerakkan dayung menimpa air dan perahu meluncur dari puncak yang terus bergulung lalu di bawah perahu mereka.

   Melihat cara mereka mendayung, terang bahwa dua orang ini bukanlah nelayan nelayan yang pandai mengerjakan dayung. Gerakan mereka kaku sekali. Akan tetapi, nyata bahwa tenaga mereka luar biasa besarnya. Perahu yang mereka dayung itu meluncur bagaikan seekor ikan hiu yang berenang meluncur di air tenang.

   Tiap kali datang ombak yang membuai perahu mereka, keduanya menghentikan gerakan dayung dan menarik sampai ombak membawa perahu ke puncaknya. Kemudian mereka mendayung serentak dengan tenaga besar, maka perahu itu meluncur amat cepatnya.

   Siapakah dua orang ini? Gilakah mereka sehingga berani menempuh laut yang sedang mengamuk hebat?

   Keduanya adalah tosu tosu (pendeta pendeta Agama To) yang berusia paling banyak empat puluh tahun, berkulit hitam dan wajahnya mengingatkan orang akan Thio Hui, pahlawan di jaman Sam kok yang sudah amat terkenal akan kekasarannya, kejujuran, dan kegagahannya.

   Melihat ini timbul perasaan takut di dalam bati karena matanya selalu melotot seakan akan tak pernah berkedip, jenggotnya nyerongot ke sana sini, wajahnya amat menakutkan. Orang ke dua sebaliknya bertubuh kecil bermuka kepucatan dan tampan. Matanya tajam sekali dan kalau orang melihatnya, orang itu akan merasa kasihan kepadanya yang nampak seperti seorang lemah berpenyakitan.

   Benar benar aneh dua orang ini. Makin besar ombak berusaha menghalangi lajunya perahu mereka, makin gembiralah mereka, dan makin sukar perjuangan mereka menghadapi amukan gelombang dan angin taufan, makin lebar senyum mereka. Bahkan si muka hitam mulai bernyanyi nyanyi.

   "Eh, Ouw bin cu (Si Muka Hitam), mengapa kau segembira itu? Maksud belum tercapai, tak patut untuk bernyanyi nyanyi."

   Mendengar teguran si muka pucat ini, si muka hitam tertawa bergelak dan memandang kepada kawannya dengan ramah.

   "Ha, ha ha, Siauw giam ong (Malaikat Maut Kecil), betapa tidak gembira menghadapi keriangan anak cucu samudera ini? Lihat betapa mereka berloncatan! Dengar suara nyanyi dan gelak tawa mereka!" Setelah berkata demikian, ia mendayung terus sambil memandang ke arah gelombang besar yang mendatang, wajahnya berkilat kilat karena basah oleh percikan air laut yang bercampur dengan peluhnya.

   Si muka pucat hendak membuka mulut menjawab, akan tetapi gelombang itu keburu datang dan kali ini perahu mereka diayun tinggi sekali sehingga terlempar jauh! Mereka tak berdaya, namun masih saja keduanya tidak gentar sama sekali. Ketika perahu meluncur kembali ke bawah, si muka pucat tiba tiba berseru.

   "Ouw bin cu, awas batu karang!"

   Si muka hitam menoleh ke bawah dan benar saja, bayang bayang hitam yang mengerikan nampak di bawah permukaan air, siap menanti datangnya perahu mereka yang tentu akan hancur lebur kalau menimpa batu karang yang runcing, tajam, besar dan amat kuat itu. Bayang bayang hitam itu nampak seperti iblis laut menanti mangsa.

   Namun, dengan tenang, kedua orang tosu itu menekan dayung ke dalam air dan sebelum badan perahu menumbuk batu karang, lebih dulu dayung mereka yang menekan batu itu dan seketika itu juga perahu mereka terayun kembali ke atas melalui batu tadi!

   "Ha, ha, ha! Kakek batu karang yang pengecut dan bersembunyi di dalam air, sungguh menjemukan!" Si muka hitam mengejek sambil tertawa tawa.

   "Ouw bin cu jangan kau bergiring dulu. Tujuan kita belum terlaksana, cita cita belum terpegang!" kata pula si muka pucat mencela kawannya.

   "Sam liong to (Pulau Tiga Naga) adalah pulau yang tidak akan dapat pergi dan lari, mengapa takut tak bertemu? Justru karena memikirkan dia dan menghadapi ombak ombak kecil ini aku bergirang, Siauw giam ong!" kata si muka hitam.

   "Enak saja kau bicara! Di antara Kepulauan Couwsan yang demikian banyaknya, belum lagi ada nya Pulau Seribu dan Pulau Bayangan yang sering kali muncul di permukaan laut, kita masih harus mencari lama, kawan! Kataku kuulangi, belum waktunya bagi kita untuk bergirang."

   Akan tetapi, sebaliknya si muka hitam malah bernyanyi sajak sebagai jawaban teguran kawan nya ini!

   "Ada waktu senang dan waktu duka
demikian orang berkata
Namun bagiku
hayo gembira selalu!
Apa senang? Apa duka?
Belenggu baja pengikat jiwa!
Semangat boleh bercita cita!
Namun gembira makanan jiwa!"

   "Ha, ha, kau pandai sekali, Ouw bin cu! Agaknya kau gila kepada hasil pemikiran Li Po (Pujangga dan penyair Tiongkok yang kenamaan)!"

   "Ha, ha, ha! Apa itu Li Po dan segala macam kutu buku? Mereka hanya perenung dan pengimpi, hidup di awang awang! Aku bercita cita, kawan. Kalau tidak demikian, apa kaukira kau bisa ikut dengan aku dalam pelayaran ini?" jawab si muka hitam.

   Si muka pucat yang disebut Siauw giam ong (Malaikat Maut Kecil) hanya tersenyum dan keduanya melanjutkan perjuangan melawan ombak yang tak kunjung reda itu. Namun sekarang si muka pucat tidak mencela lagi dan mengajak saja si muka hitam bernyanyi nyanyi, tertawa tawa dan mengajak bicara kepada ombak ombak yang datang hendak menelan perahu mereka.

   Mereka telah berhasil melampaui Kepulauan Couwsan dan air laut mulai tenang kembali setelah mereka kini mendayung menuju ke kelompok Kepulauan Seribu yang dari jauh hanya kelihatan seperti titik titik hitam. Sementara itu, tanpa terasa perjuangan menghadapi ombak yang mengamuk tadi telah makan waktu setengah hari dan kini matahari telah mulai condong ke barat.

   "Siauw giam ong, sebentar lagi kita akan berpesta pora dan bergembira sekali," kata si muka hitam sambil mengerahkan tenaga mendayung perahu menuju ke arah kelompok pulau pulau itu.

   Kawannya menoleh. Ia tahu bahwa si muka hitam ini suka sekali bergurau dan guraunya kadang kadang berbahaya.

   "Di tengah tengah laut seperti ini, bagaimana kau bisa bicara tentang pesta? Paling hebat kau akan dapat minum air laut dan makan ikan ikan kecil yang berbau amis dimakan mentah mentah!" Ouw bin cu tertawa bergelak, demikian keras sehingga perahu yang kini tenang jalannya itu bergoncang.

   "Kau tunggu saja dan kau lihat sendiri nanti. Sukakah kau akan daging ikan hiu?"

   "Daging ikan hiu?" si muka pucat bertanya heran.

   "Ya, ikan hiu yang berminyak, dimakan setelah dipanggang di atas api, enak sekali!"

   Sebelum si muka pucat dapat menangkap arti kata kata kawannya, jawabannya tiba yang membuatnya terkejut sekali. Tiba tiba saja air laut yang tadinya tenang itu, mulai bergelombang dan dari jauh nampak benda benda hitam bergerak gerak cepat menuju ke perahu mereka. Kiranya
(Lanjut ke Jilid 27)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27
serombongan ikan hiu yang liar datang ke arah mereka!

   "Celaka!" seru Siauw giam ong sambil mencabut goloknya yang terselip di punggung.

   Akan tetapi Ouw bin cu hanya tertawa bergelak saja, sama sekali tidak meraba pedangnya yang juga terselip di punggungnya.

   Seekor hiu yang berenang di depan dan agaknya menjadi pelopor, mulai menyerang perahu. Tubuhnya meluncur cepat sekali dan agaknya sekali dibentur saja perahu itu akan terguling, membawa dua orang manusia yang akan merupakan mangsa yang enak.

   Siauw giam ong marah sekali. Tubuhnya tiba tiba melesat dan melompat ke depan dan selagi tubuhnya masih berada di udara, ia menukik ke bawah dan menggerakkan goloknya ke arah kepala ikan. Air muncrat dan bergelombang dan warna merah menyatakan bahwa serangannya itu tepat sekali.

   Pada saat Siauw giam ong menusukkan goloknya pada kepala ikan, ia meminjam kepala itu untuk dipergunakan sebagai landasan dan dengan mengerahkan sedikit tenaga, ia dapat melompat kembali ke perahu sambil mencabut goloknya. Dari sini saja dapat disaksikan betapa hebatnya ginkang (ilmu meringankan tubuh) dari si muka pucat ini.

   "Bagus Siauw giam ong, gerakanmu Kim la an po (Ikan kim le Menerjang Ombak) tadi benar benar mengagumkan." Si muka hitam tertawa tawa sambil memuji.

   Namun, ikan hiu yang terluka tadi menarik perhatian kawan kawannya yang segera datang menyerbu dan menyerang kawannya sendiri yang terluka. Bau darah yang amis telah membuat mereka gelap mata dan sebentar saja ikan hiu yang terluka oleh golok Siauw giam ong, habis dimakan oleh kawan kawannya sendiri dengan lahap.

   Akan tetapi, tentu saja seekor ikan hiu tidak mengenyangkan demikian banyak ikan, dan sebentar saja perhatian binatang binatang buas ini kembali tertuju kepada perahu. Menyerbulah mereka dari kanan kiri.

   "Celaka kali ini!" Si muka pucat berseru dan mukanya yang kekuning kuningan itu menjadi agak hijau. Namun si muka hitam masih saja tertawa tawa.

   "Pergunakan dayung menekan kepala ikan, biar perahu kita terbang," katanya dengan suara dibuat buat seakan akan mereka sedang bersenda gurau, sama sekali tidak seperti sedang menghadapi bahaya maut.

   Akan tetapi, kata kata ini menyadarkan Siauw giam omg yang mengerti akan maksud dan akal kawannya. Ia lalu menjaga dengan dayungnya di sebelah kanan perahu, sedangkan Ouw bin cu menjaga di sebelah kiri perahu. Ketika ikan ikan itu sudah datang dekat, Ouw bin cu berseru keras, "Serang!"

   Gerakan kedua orang itu berbareng. Tangan kiri memegangi pinggiran perahu dan tangan kanan yang memegang dayung untuk menusuk kepala ikan yang terdekat, mengerahkan tenaga menekan.

   Bukan main hebatnya tenaga kedua orang tosu aneh ini. Begitu ujung dayung mereka mengenai kepala ikan hiu, dayung itu membuat kepala itu melesak pecah dan tenaga tekanan itu membuat perahu melompat ke atas melalui atas permukaan air.

   Beberapa kali mereka lakukan ini dan sudah ada enam ekor ikan hiu pecah kepalanya dan di jadikan mangsa dan perebutan oleh kawan kawan sendiri. Karena ikan ikan itu asik menyerang kawan kawan sendiri yang terluka, dan dalam perebutan yang hebat itu banyak pula ikan yang terluka oleh kawan sendiri sehingga makin lama makin banyak mangsa, akhirnya perahu itu tidak dihiraukan lagi oleh kelompok ikan ikan buas dan liar ini sehingga dapat didayung pergi oleh si muka hitam yang tertawa tawa dan si muka pucat yang menarik napas lega.

   Makin dekat dengan pulau pulau yang banyak dan kecil itu, pemandangan makin indah. Kini air laut benar benar tenang, seakan akan tidak bergerak, seperti raksa yang sedang tidur atau melepaskan lelah setelah mengamuk.

   Pergerakan air yang dilalui oleh perahu seakan akan rupakan gangguan yang membuat hati si muka, pucat menjadi tidak enak. Kalau mereka menengok ke barat nampaklah matahari yang sudah kemerahan itu seakan akan turun ke atas darat pantai Tiongkok. Air laut yang tertimpa cahaya matahari pudar itu mencerminkan sinar yang kemerahan.

   Biarpun perahu didayung oleh tenaga dua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan sesungguhnya maju pesat sekali, namun nampaknya tidak maju sedikitpun juga. Mereka merasa seperti mendayung perahu di atas agar agar hijau yang luas sekali.

   "Ouw bin cu, tahu betulkah kau di mana letaknya Sam Liong itu?" terdengar suara Siauw giam ong memecah kesunyian yang mencekam.

   "Tentu saja tahu. Pulau ke tujuh di sebelah kanan pulau yang bentuknya seperti kura kura," jawab si muka hitam. "Akan tetapi masih jauh sekali untuk mencapai Pulau Kura kura itu. Kalau kita lanjutkan, sampai matahari menghilang kita masih belum tiba disana dan karenanya kita harus bermalam di pulau yang terdekat."

   "Sesukamulah!" jawab si muka pucat yang dalam hal ini tentu saja tak dapat bicara banyak karena memang ia belum pernah menjelajah tempat ini.

   Ketika matahari hanya tinggal sedikit cahayanya yang kemerahan, si muka hitam lalu membawa perahunya mendarat ke sebuah pulau yang lebih tinggi dari pada pulau pulau kecil lainnya, ia sudah berpengalaman dan tahu bahwa berbahaya sekali bermalam di pulau yang rendah dan kecil karena sewaktu waktu apabila air laut pasang, pulau pulau yang rendah itu akan terendam air menghanyutkan segala yang berada di atas pulau.

   Setelah melihat bahwa pulau itu terdiri daripada batu karang yang teguh kuat, dan bahwa di atas sekali terdapat beberapa buah gua yang cukup lebar untuk menahan diri dari serangan angin laut yang dingin, mereka lalu menarik perahu ke atas pulau. Si muka hitam memanggul perahu itu seperti orang membawa barang ringan saja, kemudian bersama kawannya memilih sebuah gua yang besar.

   Setelah membuat api unggun di dalam pintu gua dan makan ikan panggang untuk membikin tenang perut yang sudah berbunyi saja mereka duduk menghadapi api unggun sambil bercakap cakap.

   "Siauw giam ong, yakin betulkah kau bahwa Kerajaan Goan tiauw dapat dirobohkan?" tanya si muka hitam sambil menggerogoti ekor ikan yang masih saja belum mau ia melepaskan biarpun perutnya sudah kenyang, karena ekor ini mengandung lemak yang bukan main gurihnya.

   "Pasti dapat!" jawab si muka pucat penuh semangat. "Rakyat berdiri di belakang kami, menyokong pergerakan kami. Kalau saja harta itu berada di tanganku tentu pergerakan, akan menjadi lebih kuat dan jatuhnya Kerajaan Mongol penjajah itu hanya tinggal menanti waktu saja."

   Si muka hitam tersenyum tak acuh. Ia tidak perduli sama sekali tentang politik dan pemerintahan. Hanya secara kebetulan saja ia bertemu dengan Siauw giam ong, biarpun ia telah lama mengenal nama orang ini sebagal tokoh dunia kang ouw yang cukup terkenal. Telah lama Ouw bin cu (Si Muka Hitam), yang sebetulnya bernama Tong Kwat, memiliki sebuah peta kuno yang menyatakan bahwa di sebuah Pulau Sam Liong To, yakni sebuah di antara Pulau Seribu, tersimpan harta pusaka yang besar sekali harganya. Telah beberapa kali ia mencari pulau ini dan akhirnya ia berhasil mendarat di Pulau Sam Liong To.

   Akan tetapi biarpun telah berhari hari ia mencari belum juga ia dapat menemukan tempat penyimpanan harta itu. Yang menjadi kesulitannya adalah sebuah tanda di atas peta yang ditulis dalam huruf huruf kuno yang la sendiri tidak mengerti artinya. Ia yakin bahwa di dalam huruf huruf inilah letak rahasia tempat persembunyian harta tersebut.

   Untuk bertanya kepada orang lain, ia tidak berani karena hal ini sama saja dengan membuka rahasia itu. Maka sampai berbulan bulan, peta itu masih tersimpan saja di dalam saku bajunya, dan dengan hati jengkel ia merantau di seluruh daratan Tiongkok. Ia masih merasa penasaran sekali dan ingin ke Sam Liong To bersama seorang kawan yang dapat menterjemahkan huruf huruf kuno itu.

   Akhirnya ia tiba di kota Hankouw dan di sinilah ia bertemu dengan Siauw giam ong. Pertemuan yang amat kebetulan dan tak tersangka sangka.

   Pada waktu itu, ia melihat seorang tosu kurus kering yang bermuka pucat sedang dikeroyok oleh banyak tentara Goan tiauw. Tentara tentara itu mengeroyok sambil berseru seru,

   "Tangkap pemberontak!"

   Ouw Bin Cu Tong Kwat adalah seorang petualang, seorang kang ouw yang tidak perduli tentang pemberontakan. Akan tetapi ia memang tidak suka kepada tentara Boan yang sering kali mengganggu rakyat.

   Apalagi ketika ia melihat betapa tosu kurus kering itu memainkan goloknya dongan baik sekali dan melihat permainan golok ini, ia tahu bahwa tosu kurus kering itu tentu seorang tokoh dari Go bi pai karena ilmu goloknya adalah ilmu golok dari Go bi pai. Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu mencabut pedangnya dan sambil menggoreng keras seperti seekor harimau, ia menyerbu dan membantu tosu kurus kering itu mengamuk.

   Tentu saja tentara Boan yang kasar bukan lawan dari Ouw bin cu Tong Kwat dan tosu kurus kering yang bukan lain adalah Siauw giam ong Lie Chit. Sebentar saja, mayat serdadu Boan bergelimpangan mandi darah, ada yang mati, ada yang terluka berat. Melihat ini, sisa serdadu serdadu itu lalu kabur melarikan diri, diikuti gelak tertawa dari Ouw bin cu Tong Kwat.

   "Sungguh baik sekali toheng (saudara tua sefaham) datang membantu, kalau tidak tentu agak lama juga siauwte menghajar anjing anjing busuk itu!" katanya.

   Ouw bin cu Tong Kwat tertawa bergelak.

   "Permainan golokmu dari Go bi pai bagus sekali. Tidak tahu siapakah saudara dan mengapa dikeroyok oleh cacing cacing tiada guna ini?"

   Ditanya namanya, Siauw giam ong Lie Chit mengangkat dadanya yang kempis.

   "Siauwte bernama Lie Chit, akan tetapi di luar orang menyebut siauwte Siauw giam ong. Dan mengapa siauwte dikeroyok oleh anjing anjing penjajah ini, tentu toheng dapat menduga sendiri, karena siauwte adalah seorang patriot yang menggerakkan rakyat untuk menumbangkan pemerintah penjajah."

   Lie Chit Si Malaikat Maut Kecil menanti datangnya pujian dan kekaguman dari si muka hitam. Namun ia kecele karena pengakuannya itu sama sekali tidak menarik hati Ouw bin cu Tong Kwat.

   Si muka hitam hanya berkata, "Aha, kiranya pinto (aku) berhadapan dengan Siauw giam ong yang sudah lama kudengar namanya! Kebetulan sekali, tidak sia sia aku tadi membantu mengusir cacing cacing itu. Tentang usahamu menggerakkan rakyat.... pinto tidak tahu dan sebenarnya mengapakah pemerintah harus ditumbangkan?"

   Siauw giam ong mengerutkan keningnya dan bibirnya ditekuk sedemikian rupa tanda mencemoohkan.

   "Mengapa tidak harus ditumbangkan? Pemerintah Boan memeras dan sekarang kaisar menyuruh memperbesar saluran air sampai ke kota raja. Dan banyak rumah rumah indah dibangun."

   "Phuah! Menggali terusan dan membangun istana untuk keperluan siapa? Untuk kaisar lalim itu sendiri, rakyat yang dipaksa bekerja. Sayang.... kalau saja ada emas beberapa ribu tael di tanganku, pergerakan yang kupimpin akan menjadi kuat dan pemerintah Boan pasti akan hancur lebur!"

   Mendengar ini dan melihat sikap Siauw giam ong yang demikian bersemangat, Ouw bin cu tertarik. Siauw giam ong ini melihat bicaranya tentu seorang terpelajar dan pandai tentang hal hal yang dianggapnya sulit, siapa tahu kalau kalau si kurus ini dapat menterjemahkan huruf huruf kuno di petanya. Ia telah menghafal beberapa buah di antara huruf huruf itu untuk ditanyakan kepada orang lain dan sebegitu lama belum ada yang bisa mengerti artinya.

   "Eh, sahabat baik, agaknya kalau kau bisa membaca beberapa huruf kuno, kau akan bisa mendapatkan beberapa ribu tael emas yang kau harapkan itu."

   "Membaca huruf? Pinto jelek jelek pernah membantu pujangga dan sasterawan di waktu kecil, dan untuk membaca huruf saja, biarpun ada beberapa ribu huruf tentu akan dapat terbaca olehku. Kalau tidak demikian, bagaimana pinto bisa memimpin rakyat?" kata si muka pucat dengan bangga.

   Memang, Siauw giam ong ini memiliki watak menyombongkan kepandaian sendiri, tanda bahwa di dalam dirinya mempunyai datar watak tidak baik.

   Ouw bin cu tersenyum. "Nanti dulu, kawan. Bukan huruf sembarang huruf yang harus kau baca. Nah, sekarang cobalah, kenalkah kau huruf ini?" Sambil berkata demikian, Ouw bin cu Tong Kwat lalu berjongkok dan menulis huruf di atas tanah. Siauw giam ong memandang kepada coretan itu, akhirnya ia menepuk kepalanya yang kecil.

   "Ah, bukankah kau tadi bilang bahwa huruf huruf ini huruf kuno? Tentu yang kau tulis ini tulisan dari jaman Hsia. Kalau betul demikian, maka huruf ini adalah huruf THO (pulau)!"
Mendengar ini, Ouw bin cu menjadi girang lekati. Biarpun ia sendiri tidak tahu apakah si kurus kering ini benar benar bisa membaca atau tidak, namun jawaban ini memang cocoki. Memang mungkin sekali terdapat huruf yang berarti pulau dalam peta itu, karena bukankah harta pusaka itu berada di atas Pulau Sam liong tho (Pulau Tiga Naga)?

   Dengan cepat ia lalu menulis lagi dua huruf. Kini dengan cepat Siauw giam ong dapat membaca huruf huruf ini, "Hem, kalau benar benar huruf yang kau tulis ini adalah tulisan dari jaman Hsia, maka huruf pertama Ini adalah huruf Kim (emas) dan huruf kedua adalah huruf Liong (naga)."

   Ouw bin cu Tong Kwat adalah seorang yang kasar dan berwatak gembira. Mendengar ini, ia segera berjingkrak jingkrak dan menari nari girang.

   "Eh, eh, nanti dulu. Kau ini siapakah sahabat? Dan mengapa kau begitu kegirangan? Harap kau suka memperkenalkan dirimu kepadaku," kata Siauw giam ong dengan heran melihat laku si muka hitam yang aneh itu.

   Dengan suara acuh tak acuh untuk menyatakan bahwa soal nama baginya bukan apa apa, Ouw bin cu menjawab,

   "Pinto bernama Tong Kwat atau Ouw bin cu."

   Siauw giam ong terkejut. Pantas saja ilmu pedangnya demikian lihai, pikirnya. Tidak tahunya ia berhadapan dengan seorang ahli pedang yang sudah amat terkenal di kalangan kang ouw sebagai seorang gagah yang berwatak aneh dan bersikap masa bodoh.

   "Kiranya Ouw bin cu Tong Tong hiong yang menolongku tadi. Sungguh menggembirakan sekali dapat berkenalan denganmu."

   Ouw bin cu menggerakkan tangannya untuk mencegah dilanjutkannya omongan ini, dan cepat cepat berkata, "Siauw giam ong, cukup semua itu! Kau tadi telah kubantu, dan kau membutuhkan uang beberapa ribu tael. Kalau sekarang kau mau menolongku, berarti kau telah membalas pertolonganku tadi dan juga kelak kau akan bisa mendapatkan ribuan tael emas itu dariku."

   "Pertolongan apakah yang kauminta, Ouw bin cu?"

   Ouw bin cu mengeluarkan peta dari saku bajunya, akan tetapi sebelum membukanya, ia teringat akan sesuatu dan menariknya kembali.

   "Siauw giam ong, bolehkah kau dipercaya bahwa kau takkan membuka rahasia ini? Terus terang saja, aku mendapatkan sebuah peta rahasia yang menunjukkan di mana adanya sebuah harta pusaka yang tersembunyi, yang sudah lama kucari cari. Akan tetapi aku terbentur pada susunan huruf huruf yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kau mau menterjemahkan huruf huruf itu, aku akan bisa mendapatkan harta itu dan kau tentu akan kuberi bagian."

   "Kau bilang Siauw giam ong tak dapat dipercaya? Kalau sekali lagi kau katakan itu, biarpun nama Ouw bin cu sudah amal terkenal, aku takkan takut menghadapi pedangnya dengan golokku."

   Melihat sikap ini, Ouw bin cu merasa puas dan ia lalu membuka petanya. Akan tetapi biarpun ia orang kasar, namun ia memiliki kecerdikan juga dan ia tidak memperlihatkan semua isi peta, hanya membuka di bagian tulisan itu saja.

   "Nah, kau bacalah, kemudian terjemahkan untukku."

   Siauw giam ong lalu membaca tanpa menggerakkan bibirnya, kemudian ia mengangguk angguk.
Ouw bin cu cepat menyimpan petanya ke dalam saku bajunya kembali dan bertanya penuh gairah.

   "Bagaimana artinya?"

   Akan tetapi, Siauw giam ong menggeleng kepalanya tersenyum penuh arti.

   "Ouw bin cu, benar benarkah kau akan memberi bagian beberapa ribu tael emas kepadaku untuk keperluan menggerakkan rakyat menumbangkan pemerintah penjajah?"

   "Tentu saja, apa kau tidak percaya kepadaku? Ouw bin cu membentak sambil melototkan matanya yang lebar dan besar.

   "Sama sama, kawan. Kau pertama tama yang tidak percaya kepadaku. Buktinya, kau tidak membuka semua peta. Siapa bisa menjamin bahwa kau benar benar akan memberi bagian itu?"

   Mendengar ini, Ouw bin cu merasa bahwa ia berhadapan dengan seorang yang licin dan cerdik, maka ia berlaku hati hati sekali.

   "Eh, Siauw giam ong, apakah kehendakmu?"

   "Tidak apa apa, kawan, hanya kuminta adil saja. Kau janjikanlah bahwa hasil daripada penyelidikan ini, aku akan menerima setengahnya."

   Ouw bin cu tertawa bergelak. "Ha, kau benar benar cerdik dan murka. Baiklah, nah sekarang kau katakan apa arti semua huruf aneh itu!"

   Namun kembali Siauw giam ong menggeleng kepala. "Tidak bisa kuterjemahkan di sini, kawan."
Ouw bin cu merah mukanya. Ia mulai marah. "Apa maksudmu? Habis, di mana harus diterjemahkan?"

   "Di atas Pulau Kura kura. Aku harus ikut kau pergi dan di pulau itulah selanjutnya akan kubacakan terjemahannya. Kemudian kita bersama mencari harta itu dan kita bagi seorang setengah. Bukankah itu adil namanya?"

   "Bangsat besar! Penipu! Perampok!" Ouw bin cu yang cepat mencabut pedangnya dan segera menyerang dengan tusukan maut.

   Namun Siauw giam ong telah siap sedia menghadapi ini. Iapun cepat sekali mencabut golok dan menangkis serangan lawannya, kemudian ia mengeluarkan ilmu golok Go bi pai yang lihai, membelai serangan Ouw bin cu tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

   Siauw giam ong tahu bahwa tanpa peta itu biarpun ia telah membaca pesanan rahasia, tak mungkin ia dapat menemukan di mana adanya Pulau Tiga Naga yang berada di barisan Pulau Kura kura itu.

   Ia amat membutuhkan harta pusaka yang tersebut di dalam peta rahasia, maka dengan mati matian ia melawan sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya.

   Di tempat yang tadi dijadikan gelanggang pertempuran antara dua orang tosu ini menghadapi barisan Boan, kini terjadi perkelahian yang lebih hebat lagi. Ouw bin cu Tong Kwat adalah seorang kang ouw yang lihai ilmu silatnya, sudah banyak ia mempelajari ilmu silat dari berbagai cabang dan ilmu pedangnya adalah cabang atau pecahan dari ilmu pedang Pek lian Kiam hwat (Ilmu Pedang Pek lian kauw) yang memiliki gerakan gerakan menyesatkan. Maka tentu saja ilmu pedangnya ini, ditambah dengan tenaga lweekang yang kuat dan ilmu ginkang yang tinggi, membuat ia lihai sekali.

   Sebaliknya, Siauw giam ong Le Chit mempunyai tingkat ke tiga dalam partai persilatan Go bi pai. Seperti juga Ouw bin cu, ia sudah banyak merantau dan bertemu dengan orang pandai, maka ilmu silatnya juga tak boleh dianggap ringan.

   Kedua orang tosu ini berkelahi sampai lima puluh jurus lebih dan telapak tangan yang memegang gagang senjata sudah terata panas dan sakit sakit, namun belum juga ada yang menang. Ini menandakan bahwa tingkat kepandaian masing masing berimbang, karena kekalahan Siauw giam ong dalam hal kehebatan ilmu senjata, tertutup oleh kemenangannya dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh). Mereka tahu bahwa agaknya lama sekali untuk dapat mencapai kemenangan, maka diam diam keduanya merasa gelisah sekali.

   "Ouw bin cu manusia goblok!" Siauw giam ong memaki sambil menggerakkan golok makin cepat lagi. "Kau benar benar bodoh! Tanpa bantuan ku tak mungkin kau dapat menemukan harta itu. Lain orang tentu akan membunuhmu dan merampas peta. Aku hanya menuntut setengahnya, masa tidak terbuka matamu?"

   Diam diam Ouw bin cu sedang memutar otaknya. Dalam menempuh perjalanan mencari pulau dan harta itu, ia memang membutuhkan bantuan seorang pandai.

   Dahulu ia hampir mati dikeroyok oleh ikan hiu. Siauw giam ong ini selain dapat menterjemahkan huruf huruf yang merupakan rahasia baginya, juga kepandaiannya lumayan.

   Mengapa ia harus berlaku serakah? Bagian setengahnya kiranya sudah melebihi kebutuhannya untuk dapat hidup mewah dan senang. Maka tertawalah dia dan melompat ke belakang menahan pedangnya.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus, bagus! Kau benar, Siauw giam ong. Memang akupun hanya ingin mencoba sampai di mana kepandaianmu dan ingin melihat apakah kau patut menjadi pembantuku mencari pulau rahasia Sam liong to. Ha, ha, ha!"

   Siauw giam ong Lie Chit yang jarang tertawa, kali inipun tertawa bergelak. Keduanya tertawa, namun keduanya juga maklum bahwa masing masing harus berlaku amat hati hati menghadapi kawan atau bekas lawan ini. Pendeknya, dalam hati Ouw bin cu maupun Siauw giam ong, penuh oleh kecurigaan terhadap satu sama lain.

   Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan, dua orang ini bermalam di atas sebuah pulau untuk melewatkan malam, menanti datangnya pagi untuk melanjutkan pelayaran mencari Pulau Kura kura dan dari situ mencari Pulau Tiga Naga yang amat mereka rindukan. Tentu saja bukan pulaunya yang dirindukan, melainkan harta yang tersimpan di situ.

   Karena dari percakapan mereka di sepanjang pelayaran selalu Siauw giam ong menyatakan betapa ia benar benar seorang patriot yang bercita cita mulia membela tanah air, akhirnya Ouw bin cu menjadi senang dan merasa agak rela memberikan setengah dari harta pusaka itu kepada Siauw giam ong. Sikapnya mulai baik dan ramah, bahkan kepercayaannya timbul kembali.

   Sama sekali ia tidak mengetahui bahwa sebetulnya, Siauw giam ong Lie Chit adalah seorang yang berhati licik dan jahat. Sudah beberapa kali ia mengakali orang orang, terutama sekali orang orang hartawan yang berhati cinta tanah air, untuk mengeduk keuntungan bagi diri sendiri dengan kedok membela bangsa dari penjajah. Memang, sering kali Siauw giam ong berteriak teriak mengatakan bahwa dia seorang patriot sehingga sering pula ia hendak ditangkap oleh pemerintah Boan, namun begitu ada uang masuk, bukannya dipergunakan untuk perjuangan, melainkan dipergunakan untuk kepentingan sendiri, yakni berfoya foya, karena dia adalah seorang mata keranjang yang gemar sekali pelesir.

   Malam itu terlewat dengan cepatnya. Ouw bin cu yang sudah mulai percaya kepada kawannya, tidur mendengkur. Tadinya Siauw giam ong ingin membunuh saja kawannya ini agar ia bisa mendapatkan harta itu untuknya sendiri. Akan tetapi setelah mengalami bahaya dengan ikan hiu dan ombak, ia tidak berani untuk berlayar seorang diri. Mudah pikirnya, kalau harta itu sudah berada di tangan, tidak sukar membunuh babi hitam yang gemuk ini!

   Pada keesokan harinya, pagi pagi setelah matahari muncul dari permukaan laut sebelah timur, dua orang tosu ini memanggul perahu mereka dan melanjutkan pelayaran. Beberapa jam kemudian, mereka melihat banyak pulau kehitaman berbaris di tengah samudera.

   

Rajawali Hitam Eps 9 Pemberontakan Taipeng Eps 5 Rajawali Hitam Eps 15

Cari Blog Ini