Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 36


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 36




"Tindakan yang sembrono untuk membebaskan tawanan hanya akan mendatangkan kerugian bagi perjuangan."

Lima orang muda perkasa itu terkejut sekali. Tak mereka sangka akan ada orang yang datang ke tempat itu dan melihat betapa orang itu bicara tentang tawanan, dapat diduga bahwa orang itu tentu sejak tadi telah mendengarkan percakapan mereka. Bagaikan berlumba, mereka lalu meloncat keluar dan ketika mereka tiba di ruangan depan, mereka melihat seorang laki-laki berpakaian serba putih dan memakai topi caping lebar telah berdiri di tengah ruangan yang butut itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi kurus, pakaiannya terbuat dan kain kasar putih bersih dan terawat baik walaupun potongannya sederhana sekali. Sepatunya penuh debu tanda bahwa dia datang dari tempat jauh, dan topi capingnya itu menyembunyikan mukanya. Dia berdiri tegak seperti patung dengan muka ditundukkan.

"Siapa engkau?" Siu Coan bertanya. Muka orang itu tertutup topi caping, dan juga dia berdiri di bagian yang masih gelap oleh bayangan karena matahari belum memancarkan sinar sepenuhnya.

"Apa artinya kata-katamu tadi?" Ci Kong juga menegur karena dia tertarik oleh ucapan orang itu tadi.

"Aku hanya memperingatkan agar kalian tidak sampai terjebak musuh. Para pimpinan pejuang memang tertawan, akan tetapi mereka tentu akan dipergunakan sebagai umpan oleh musuh agar kalian datang untuk membebaskan mereka, dan pihak musuh akan berusaha untuk menangkap juga atau membunuh kalian. Karena itu, berhati-hatilah, jangan sampai kalian tertipu dan terjebak.

"Kalian adalah orang-orang muda yang diharapkan oleh para patriot dan oleh guru-guru kalian untuk mewakili mereka memimpin para pejuang. Kalau kalian hanya sibuk dengan usaha pembebasan tawanan, maka perjuangan akan terhenti dan bahkan menjadi kacau karena tidak ada pemimpinnya lagi."

"Siapakah engkau yang hendak mencampuri urusan kami?" Siu Coan membentak lagi dan mendekati. Orang berpakaian putih itu lalu mengangkat mukanya.

"Aihhh...!!" Lima orang muda itu terkejut bukan main dan berlompatan ke belakang seperti hendak menghindarkan diri dari ular berbisa yang amat berbahaya. Tidak aneh kalau mereka terkejut setengah mati, karena orang berpakaian serba put"h yang memakai caping lebar itu bukan lain adalah Koan Jit.

"Kau...!!" Tiga orang gadis perkasa itupun berseru kaget.

"Dia tentu datang untuk memata-matai kita!" kata pula Kiki. Dan teman-temannya juga menduga demikian. Mereka semua mengenal siapa adanya Koan Jit yang pernah menjadi tokoh penjilat dan pembantu pasukan kulit putih, dan terkenal sebagai penentang para pejuang. Tempat persembunyian mereka telah diketahui orang ini dan hal itu amatlah berbahaya.

"Keparat ini harus dibasmi!" bentak Kui Eng yang membenci Koan Jit karena pernah ia hampir menjadi korban kejahatan dan kekejaman orang ini. Gadis ini sudah menerjang ke depan dan menyerang dengan pukulan kilat ke arah muka Koan Jit. Akan tetapi, dengan gerakan yang ringan sekali, Koan Jit mengelak sambil mundur dan berkata.

"Aku datang bukan dengan niat buruk, harap maafkan aku!" Melihat betapa Kui Eng telah maju menyerang, Lian Hong dan Kiki juga tidak tinggal diam. Mereka menerjang ke depan dan mengeroyok Koan Jit, karena mereka tahu betapa lihainya orang ini.

Koan Jit cepat menggerakkan tubuhnya dan mengatur langkah, dan tiga orang gadis itu terkejut bukan main. Tubuh Koan Jit bagaikan sesosok bayangan saja yang tak mungkin dapat dirobohkan. Agaknya, kemanapun mereka menyerang, tubuh itu selalu mendahului tangan kaki mereka dan selalu serangan mereka tidak mengenai sasaran. Yang amat aneh, gerakan Koan Jit itu kadang-kadang luar biasa sekali, tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang melakukan samadhi, bersembahyang dan sebagainya. Gerakan seorang pendeta yang melakukan ibadat! Dan berkali-kali mulut Koan Jit mengucapkan "Omitohud!" disambung dengan suara membujuk agar ketiga orang gadis itu suka bersabar dan bahwa dia tidak menghendaki kekerasan dan perkelahian! Sungguh seorang Koan Jit yang aneh sekali.

"Haiiiittt!" Kui Eng menyerang dengan cengkeraman, disusul oleh Lian Hong yang memukul ke arah dada, sedangkan Kiki tak mau kalah, sudah menghantam pula dengan jari telunjuk kanan ditekuk mengarah tengkuk.

Akan tetapi, Koan Jit membuat gerakan aneh untuk menghadapi tiga serangan yang amat berbahaya ini. Tiba-tiba dia memutar tubuh, meloncat ke atas dan turun dengan kaki kiri ditekuk berlutut, kaki kanan berjungkit di depan sehingga tubuhnya setengah berlutut dan kedua tangannya d"angkat ke depan dada seperti orang memberi hormat. Akan tetapi betapapun aneh gerakan ini, ternyata dia mampu menghindarkan serangan tiga orang gadis itu! Siu Coan mengeluarkan seruan. Tentu saja dia mengenal hampir seluruh iImu silat Koan Jit karena Koan Jit adalah toa-suhengnya. Akan tetapi apa yang dimainkan Koan Jit sekarang ini benar-benar membuat dia bengong, karena dia belum pernah melihat ilmu silat seperti itu!

Apalagi melihat wajah toa-suhengnya itu. Sungguh jauh sekali bedanya dengan dahulu. Dahulu, Koan Jit selalu berpakaian serba hitam, mukanya hitam gelap dan sepasang matanya kehijauan mencorong seperti mata kucing. Kini, wajah Koan Jit kehilangan warna gelapnya, menjadi cerah dan bibirnya selalu mengarah senyum penuh kesabaran, matanya mengeluarkan sinar lembut dan seperti orang yang penuh pengertian dan mengalah. Anehnya, ketika mainkan ilmu silat aneh yang hanya dipergunakan untuk menghindarkan diri dari serangan tiga orang gadis itu, Koan Jit tersenyum dan wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan. Hal ini tidaklah aneh, karena Koan Jit yang maklum bahwa dia dikeroyok oleh tiga orang gadis yang amat lihai, sudah mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dan Siauw-bin-hud, yaitu Ilmu Silat Kebahagiaan.

Dia menggerakkan tubuhnya sambil mengingat ujar-ujar dalam kitab Dharmapada, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk membalas dan sama sekali tidak marah. Dia menganggap tiga orang pengeroyoknya itu seperti tiga orang anak nakal yang tidak tahu apa yang mereka lakukan sehingga dia memandang penuh pengertian dan sama sekali tidak menjadi marah. Sementara itu, melihat betapa tiga orang gadis yang lihai itu sampai sebegitu jauh belum juga mampu merobohkan Koan Jit, Ci Kong lalu melompat ke depan dan membentak sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya, keras dan cepat sekali datangnya mengarah lambung Koan Jit. Pada saat itu, Koan Jit baru saja meloncat ke atas untuk menghindarkan tendangan Kaki Lian Hong, melihat datangnya pukulan Ci Kong yang amat berbahaya itu, dia lalu menggerakkan lengan kirinya menangkis.

"Dukkk...!" Tubuh Ci Kong terdorong mundur dan dia merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat. Kagetnya bukan kepalang karena dari pertemuan lengan itu saja dia tahu bahwa Koan Jit memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Siu Coan tadinya ragu-ragu, akan tetapi, melihat betapa empat orang itu tidak mampu mengalahkan Koan Jit yang selalu mengelak dan menangkis tanpa satu kalipun membalas, dia terpaksa meloncat maju dan ikut pula mengeroyok.

"Sute, kau juga?" seru Koan Jit dengan suara heran, akan tetapi diapun mengelak dan kini dia menghadapi pengeroyokan lima orang yang amat lihai! Akan tetapi, diam-diam Koan Jit harus mengakui kehebatan ilmu baru yang diterimanya dari Siauw-bin-hud. Betapapun lihainya, kalau saja dia tidak memiliki Ilmu Silat Kebahagiaan itu, baru menghadapi pengeroyokan tiga orang gadis itu saja dia tentu akan kalah, apalagi menghadapi pengeroyokan mereka berlima! Dan sebaliknya, lima orang pengeroyok itupun kagum bukan main. Sampai puluhan jurus lamanya, Koan Jit yang dikeroyok lima itu selalu mengelak dan andaikata ada pula beberapa kali pukulan menyerempet tubuhnya, maka pukulan itu meleset seperti mengenai tubuh seekor belut yang amat licin.

"Aihhh, kalian tidak percaya kepadaku...?" keluh Koan Jit, dan akhirnya tubuhnyapun mencelat dengan tiba-tiba jauh keluar dari ruangan depan kuil itu. Lima orang pengeroyoknya tertegun. Tak mereka sangka bahwa tubuh itu akan dapat keluar begitu saja dari kepungan mereka.

"Biarkan aku bicara dengan dia!" kata Siu Coan, dan tiba-tiba diapun meloncat dan melakukan pengejaran. Empat orang muda yang lain hanya memandang saja. Mereka tahu bahwa bagaimanapun juga, Koan Jit adalah murid Thian-tok dan toa-suheng dari Sui Coan, maka mereka berempat tidak ingin mencampuri urusan antara saudara seperguruan yang berlainan watak itu.

"Orang itu benar-benar memiliki kepandaian yang amat luar biasa," kata Lian Hong penuh kagum.

"Sayang aku tidak sempat mempergunakan ilmuku yang baru. Ingin aku menguji keampuhan ilmuku dengan lawan seperti dia," kata Kiki. Gadis ini telah mewarisi sebuah ilmu yang hebat ciptaan Tat Mo Couwsu, yaitu Ilmu Hui-thian Yan-cu (Walet Terbang ke Langit), semacam ilmu silat yang mengandalkan gin-kang yang amat tinggi, akan tetapi karena kesibukannya, ia belum sempat melatih ilmu ini dengan sempurna.

"Dia berbahaya sekali," kata Kui Eng yang harus mengakui bahwa ilmu kepandaian penjahat itu nampaknya bahkan lebih hebat dan pada dahulu. Dahulu, pernah Kui Eng dan Lian Hong mengeroyoknya, dan pengeroyokan mereka berdua saja sudah dapat mengimbangi kelihaian Koan Jit. Akan tetapi sekarang, biar dikeroyak oleh lima orang, penjahat itu tidak dapat dirobohkan, bahkan sempat pula melarikan diri.

"Akan tetapi, aku merasa ada keanehan pada dirinya," kata Ci Kong sambil mengingat-ingat gerakan-gerakan aneh dan orang yang mereka keroyok tadi.

"Aku seperti mengenal langkah-langkah kaki seperti itu, dan sikapnya itu! Gerakan-gerakannya mengingatkan aku akan gerakan seorang pendeta suci yang beribadat, dan dia sama sekali tidak pernah membalas serangan kita. Aku yakin, ada perubahan aneh pada diri Koan Jit dan mudah-mudahan Siu Coan dapat mengejarnya dan dapat memberi penjelasan pada kita."

"Bagaimanapun juga, tempat ini sudah tidak aman bagi bagi kita, sudah diketahui orang. Kita harus mencari tempat yang lebih baik lagi," kata Lian Hong.

"Setelah tempat ini diketahui orang dan percakapan kita tadi didengarkan orang, maka sebaiknya kalau kita mempercepat gerakan kita untuk mencoba lagi menyelamatkan dan membebaskan, para tawanan!" kata Kiki sambil mengepal tinju. Ci Kong menarik napas panjang.

"Munculnya Koan Jit memang aneh dan membuat kacau rencana kita. Akan tetapi sebaiknya kita menanti kembalinya Ong Siu Coan untuk mendengar apa yang diketahuinya dari Koan Jit." Sementara itu, Siu Coan berlari secepatnya untuk melakukan pengejaran terhadap Koan Jit. Dia merasa terheran-heran disamping juga kagum sekali menyaksikan sepak terjang bekas toa-suhengnya itu. Jelas bahwa toa-suhengnya itu memiliki ilmu silat yang luar biasa anehnya, agaknya ilmu baru yang luar biasa, yang membuat suhengnya mampu menandingi pengeroyokan mereka berlima! Bukan main. Dia tahu bahwa seorang di antara Empat Racun Dunia sekalipun, tidak akan mungkin mampu menghadapi pengeroyokan mereka berlima.

Akan tetapi hal itu tidaklah terlalu aneh karena memang dia tahu bahwa Koan Jit selain lihai juga cerdik sekali, dan mungkin telah menemukan ilmu yang aneh tadi, yang membuat dia terheran-heran adalah melihat sikap orang itu, terjadi perubahan lahir batin yang amat hebat. Koan Jit memang telah berubah. Hal ini kita ketahui semenjak dia berjumpa dengan Siauw-bin-hud dan menerima Ilmu Silat Kebahagiaan yang langsung mempengaruhinya lahir batin. Lahirnya, memperoleh ilmu silat yang luar biasa sekali, dan batinnya juga mengalami perubahan karena dia kini menjadi insyaf dan sadar akan semua kesesatannya. Ketika Koan Jit melarikan diri, meninggalkan lima orang muda yang tidak mau menerimanya dan bahkan salah sangka dan menyerangnya, dia tentu saja tahu bahwa seorang di antara mereka, yaitu bekas sutenya, Ong Siu Coan, melakukan pengejaran seorang diri.

Dia sengaja lari menjauhi kuil itu menuju ke tepi sungai yang sunyi, dan setelah melihat tempat ini amat baik dan sunyi, dia lalu berdiri di tepi sungai menanti. Siu Coan sampai di tempat itu dan melihat Koan Jit berdiri termenung di tepi sungai, berdiri tegak dengan muka yang tertutup gaping itu menunduk, dia menjadi ragu-ragu dan jerih. Bagaimana kalau bekas suhengnya itu kumat dan menyerangnya? Tentu dia tidak akan mampu mempertahankan diri. Apalagi bukankah dia dan suhunya baru-baru ini telah mengobrak-abrik sarang Koan Jit dan anak buahnya, bahkan suhunya telah berhasil melarikan semua pusaka yang dibawa Koan Jit? Bagaimana kalau Koan Jit mendendam atas serangan itu? Biarpun dia membelakangi bekas sutenya, namun pendengarannya yang tajam dapat menangkap gerak-gerik Siu Coan.

"Sute, ke sinilah dan jangan takut atau ragu. Aku memang ingin sekali bicara penting denganmu." Mendengar ini, wajah Sui Coan menjadi merah. Suhengnya telah mengetahui kedatangannya, bahkan tahu pula bahwa dia ragu-ragu dan agak takut. Diapun lalu melangkah menghampiri dan Koan Jit membalikkan badan. Mereka saling berpandangan dan kembali perasaan aneh menyelinap di hati Sui Coan. Suhengnya ini benar-benar berubah seperti telah menjadi seorang manusia lain.

"Suheng, aku mengejarmu karena hendak bertanya, apa sebenarnya keperluanmu mengunjungi kami di kuil tua itu?"

"Aku datang untuk mencarimu dan hanya kebetulan saja mendengar apa yang kalian percakapkan, maka aku memberi nasihat dan peringatan. Berbahaya sekali usaha membebaskan tawanan karena penjagaan amat ketat. Salah-salah tawanan tidak dapat dibebaskan dan kalian malah tertawan atau terbunuh."

"Suheng, kau mencariku ada urusan apakah?" Siu Coan bertanya dan bersikap waspada karena inilah yang ditakuti. Jangan-jangan mencari karena menaruh dendam atas penyerangan anak buahnya yang dibantu suhunya itu. Koan Jit melihat sikap ini dan dia tersenyum lembut.

"Jangan khawatir, sute. Aku sudah melupakan masa laluku, dan apa yang kulakukan sekarang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan masa laluku. Aku mencarimu untuk meminta penjelasanmu tentang harta pusaka Giok-liong-kiam." Wajah Siu Coan berubah dan matanya memandang tajam.

"Apa maksudmu, suheng?"

"Sute... mungkin orang lain tidak ada yang menyangka, akan tetapi aku sudah mendengar akan dongeng tentang gagalnya Empat Racun Dunia menemukan harta karun karena peti itu sudah kosong dan isinya yang tinggal seperempat sudah lenyap dalam keributan ketika terjadi perebutan di dalam guha itu. Dan aku mendengar pula betapa engkau mendirikan Pai Sang-ti Hwe, menyebarkan banyak uang untuk menyebarkan agamamu yang baru.

"Aku tahu akan kecerdikanmu sute, dan dapat menghubungkan satu peristiwa dengan yang lainnya. Nah, aku hanya mengharapkan kejujuranmu dan penjelasanmu. Apa maksudmu dengan pengangkangan atas harta pusaka itu untuk dirimu sendiri?" Siu Coan memandang tajam.

"Apakah suheng bermaksud merampas harta pusaka itu?"

"Omitohud... dijauhkan Tuhan aku dari pikiran seperti itu. Sudah kukatakan bahwa aku telah meninggalkan masa laluku dan tidak akan kembali lagi ke jalan sesat. Aku hanya ingin tahu, karena kalau engkau berlaku curang terhadap para pejuang, terpaksa aku akan menentangmu."

"Memang tak perlu kusangkal, suheng. Akan tetapi engkau tentu sudah dapat menduga akan cita-citaku. Aku akan mengembangkan Pai Sang-ti Hwe, bukan hanya sebagai sebuah perkumpulan agama, melainkan untuk menjadi batu loncatan agar aku dapat mempunyai pasukan yang kuat untuk menumbangkan pemerintah penjajah. Hanya itulah cita-citaku, karena itu, sebagian harta pusaka itu kuuangkan dan kupergunakan untuk memperbesar dan memperkuat perkumpulanku.

"Dan seperti yang kau lihat, akupun tidak tinggal diam melihat para pemimpin pejuang ditawan. Aku ingin mempersatukan semua pejuang agar menjadi suatu kesatuan yang amat kuat untuk menghadapi pemerintah penjajah dan orang-orang kulit putih." Siu Coan berhenti sebentar, lalu melihat betapa pandang mata suhengnya itu tidak berubah, dia berkata lagi.

"Suheng, kalau benar engkau kini membantu perjuangan, kuharap engkau merahasiakan ini dari orang lain. Kalau Empat Racun Dunia mengetahuinya, mungkin mereka akan berusaha merampasnya kembali dan cita-citaku yang tinggi akan mengalami kegagalan."

"Omitohud, semoga cita-citamu yang baik itu berhasil. Aku tidak akan membocorkan rahasiamu sute." Siu Coan menjadi girang, juga semakin terheran-heran. Dia mendekat dan menyentuh pundaknya.

"Koan-suheng, terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi aku sungguh merasa heran. Apakah yang telah terjadi pada dirimu, suheng? Bukan aku tidak merasa girang dengan perubahan ini, akan tetapi sungguh engkau telah mengalami perubahan yang luar biasa, seperti bumi dan langit kalau dibandingkan dengan keadaanmu dahulu. Apakah yang terjadi pada dirimu?" Koan Jit tersenyum dan Siu Coan melihat betapa keseraman sudah lenyap sama sekali dan wajah suhengnya itu. Matanya memandang lembut!

"Sute... segala sesuatu pasti ada akhirnya. Aku telah tersesat sejak kecil, dan sudah sepatutnya kalau semua masa lalu itu berakhir! Kuharap saja engkau kelak tidak akan mabok kemenangan kalau engkau berhasil sehingga engkau lupa diri, dan tidak akan menaruh dendam kalau engkau gagal.

"Nah, sekarang cobalah engkau membujuk orang-orang muda itu agar tidak terburu nafsu membebaskan para tawanan. Aku sendiri sudah menyelidiki tempat itu dengan seksama, dan kalau kalian percaya kepadaku, serahkan sajalah pembebasan para tawanan itu kepadaku." Setelah berkata demikian, Koan Jit mengangguk sebagai tanda hormat, lalu membalik dan sekali tubuhnya melayang, dia telah melompati anak sungai yang cukup lebar itu dan tiba di seberang, terus berlari cepat dan menghilang. Untuk beberapa lamanya Siu Coan hanya berdiri bengong, bukan hanya melihat kehebatan gin-kang orang itu, melainkan masih terheran-heran melihat sikapnya tadi. Akan tetapi dia teringat-akan teman-temannya dan segera kembali ke kuil.

"Apakah engkau dapat menyusulnya?" Ci Kong bertanya, sedangkan tiga orang gadis itupun memandang kepada Siu Coan dengan penuh perhatian. Karena Siu Coan juga murid Thian-tok seorang di antara Empat Racun Dunia dan kini bergabung dengan mereka untuk bersama-sama membebaskan tawanan, maka Ci Kong dan tiga orang gadis itu telah menerimanya sebagai seorang teman seperjuangan. Siu-Coan mengangguk, duduk di atas lantai dan menarik napas panjang.

"Dia telah menjadi yang aneh luar biasa, telah terjadi perubahan yang amat hebat atas dirinya. Aku berhasil bercakap-cakap sebentar dengan dia dan menurut pengakuannya, dia sama sekali tidak ingin memusuhi kita, hanya ingin memberi nasihat agar kita berhati-hati dan jangan sembarangan menyerbu penjara. Dia sendiri sudah menyelidiki tempat itu, dan katanya dialah yang akan membebaskan para tahanan."

"Siapa sudi percaya kepadanya? Dia orang jahat dan palsu, jangan-jangan dialah yang akan menjebak kita!" Kata Kui Eng yang tentu saja masih benci orang itu.

"Memang kita harus lebih berhati-hati terhadap orang seperti dia yang amat licik itu," kata pula Lian Hong.

"Benar... dia seperti Lee Song Kim, palsu, curang dan pengkhianat. Semua ini gara-gara Song Kim. Hemm... aku ingin sekali mengadu kepandaian dan nyawa kalau bertemu dengan jahanam busuk itu!" Kui Eng berkata sambil mengepal tinju.

"Siu Coan, apakah engkau dapat percaya kepada Koan Jit itu?" Ci Kong bertanya sambil menatap tajam wajah murid Thian-tok yang kini menjadi teman seperjuangan mereka. Siu Coan merasa ragu-ragu. Dia sendiripun terus terang saja takkan pernah dapat percaya kepada Koan Jit, sehingga dia selalu akan merasa ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau Koan Jit yang telah mengetahui akan rahasianya itu sekali waktu akan membocorkan rahasianya. Memang dialah orangnya yang dahulu menyamar sebagai perajurit kerajaan Ceng dan diam-diam menyelinap ke balik arca besar dan mengambil sisa isi peti harta karun itu, membungkusnya dengan kain dan membawanya pergi dengan diam-diam. Harta itu besar sekali, dan akan dipergunakannya untuk menghimpun pasukan yang kuat guna mewujudkan cita-citanya menggulingkan pemerintah Mancu.

"Sukar bagiku untuk percaya, akan tetapi kukira nasihatnya agar kita berhati-hati itu ada benarnya juga," akhirnya dia menjawab hati-hati.

"Jangan-jangan dia adalah mata-mata musuh," kembali Kui Eng berkata. Gadis ini sekarang kalau bicara berwibawa dan memang dara ini sudah biasa mengemukakan pendapatnya yang selalu diturut oleh para pejuang dan kelompok pekerja-pekerja pelabuhan yang telah mengangkatnya menjadi pemimpin dan penasihat.

"Karena itu, kurasa lebih baik kalau kita mempercepat gerakan kita, mendahului sebelum musuh membuat penjagaan yang semakin kuat lagi." Ci Kong mengangguk-angguk.

"Memang kurasa sebaiknya demikian. Nah, mari kita membuat rencana. Malam ini juga kita serbu lagi tempat itu. Akan tetapi kita harus mempergunakan siasat."

"Siasat apa yang akan kita pakai untuk menghadapi kekuatan para penjaga dan pengawal?" tanya Siu Coan tertarik, karena murid atau cucu murid Siauw-bin-hud itu memang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik dan berpemandangan luas.

"Kurasa sebaiknya kalau kita berpencar," kata Ci Kong sambil memandang kawan-kawannya bergantian.

"Kita berpencar dan memancing agar mereka meninggalkan tempat penjagaan mereka, atau setidaknya kekuatan mereka terpecah-pecah. Kalau sudah demikian, baru kita melihat kesempatan untuk menyelinap masuk. Tidak perlu semua, siapa yang melihat kesempatan baginya terbuka, dia harus cepat menyelinap masuk dan yang lain membantunya dengan terus mengacau dan mengalihkan perhatian para penjaga agar teman yang sudah masuk itu mendapat kesempatan untuk terus menuju ke tempat para tawanan dan membebaskan mereka.

"Sekali mereka bebas, tentu saja mereka dapat menyerbu keluar dan membantu kita. Akan tetapi, ini hanya pendapatku saja, kita bersama harus memperbincangkan dan bersama-sama mengatur dan merencanakan siasat yang akan kita pakai malam nanti." Lima orang muda itu lalu mengadakan perundingan. Mereka menggambarkan keadaan sudah mereka selidiki itu, Ci Kong membuatnya di atas lantai dan mereka lalu mempelajarinya dan mengatur siasat-siasat bersama. Pekerjaan ini hanya berhenti kalau mereka makan saja, dan akhirnya menjelang senja mereka telah menentukan siasat yang telah mereka atur bersama. Mereka membagi tugas masing-masing akan memasuki penjara itu dari lima jurusan.

Siu Coan dan Ci Kong bertugas membakari bagian-bagian penjara itu dari kanan kiri, dan selanjutnya mendatangkan kekacauan dengan menyerangi para penjaga dari jurusan yang berpindah-pindah. Selagi keadaan panik oleh kebakaran, Lian Hong dan Kiki menyerbu dari belakang dan depan, menyerang para penjaga. Dua orang pemuda dan dua orang gadis itu di waktu menyerbu harus berteriak-teriak seolah-olah memberi tanda kepada kawan-kawan mereka yang banyak dan berada di belakang. Hal ini untuk membuat keadaan para penjaga semakin panik. Dan yang ditugaskan untuk menyelinap ke dalam penjara adalah Kui Eng. Gadis ini memang mencalonkan dirinya, mengingat bahwa ia harus menolong gurunya, dan teman-temannya setuju, karena di antara mereka yang kesemuanya memiliki ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang luar biasa, Kui Eng yang paling hebat.

Dengan gin-kangnya yang istimewa, akan lebih mudah menyelinap dengan gerakan cepat, juga kalau keadaan membahayakan, ia dapat pula melarikan diri dengan lebih cepat dari pada kawan-kawannya. Malam itu keadaan di sekitar penjara kota Hang-couw sunyi seperti biasa. Bulan bersembunyi di balik awan dan kegelapan ini membantu lima orang muda yang sudah sejak tadi bersiap-siap untuk melaksanakan tugas mereka menyerbu penjara. Ci Kong dan Siu Coan, secara berpencar, telah mengumpulkan minyak tanah dan kain-kain untuk alat pembakaran, juga mereka membekali diri dengan gendewa dan anak panah. Setelah lewat tengah malam dan keadaan amatlah sunyinya, tiba-tiba nampak api berkobar di sebelah timur dan barat penjara, kemudian nampak api meluncur ke atas, ke arah atap bangunan bangunan penjara. Tentu saja keadaan menjadi geger.

"Kebakaran! Kebakaran!"

"Cepat padamkan api!"

"Ada yang sengaja melakukan pembakaran!"

"Mereka mempergunakan panah berapi!"

Para penjaga menjadi panik, berlarian ke sana sini dan berusaha memadamkan api yang mulai berkobar di sana-sini. Selagi orang-orang di dalam penjara menjadi panik dan berusaha memadamkan api, terdengar teriakan-teriakan para penjaga karena munculnya orang dari depan dan belakang yang mengamuk dan merobohkan banyak penjaga. Yang mengamuk itu adalah Lian Hong yang muncul dari belakang. Gadis ini mempergunakan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang kipas yang menyambar ke sana sini. Setiap kali kipasnya menyambar, seorang di antara penjaga yang mengepung dan mengeroyoknya tentu roboh. Sambil mengamuk, Lian Hong berteriak-teriak memberi semangat kepada kawan-kawan yang seolah-olah berada di belakangnya.

"Hayo kawan-kawan, serbu...!" Dari depan, seorang gadis lain juga mengamuk. Dia ini adalah Kiki yang mengamuk seperti seekor naga betina marah, tangan kakinya merupakan empat buah senjata ampuh dan setiap ada pengeroyok berani terlalu dekat, tentu roboh oleh tangan atau kakinya. Seperti juga Lian Hong, ia berteriak-teriak ke arah belakang. Pengamukan dua orang gadis perkasa ini tentu saja membuat para penjaga menjadi semakin panik. Ada di antara mereka yang memegang senapan dan pistol, akan tetapi karena pasukan itu membuat para penjaga mengeroyok kalang-kabut, tentu saja yang memegang senjata api tidak berani mempergunakan senjata api mereka, takut kalau-kalau mengenai kawan sendiri.

Lian Hong yang mengamuk dengan kipasnya, setelah merobohkan belasan orang, melihat betapa para pengeroyoknya mundur dan bahkan melarikan diri, agaknya jerih menghadapi pengamukan Kiki atau ikut membantu memadamkan api. Melihat betapa ia ditinggal tinggal musuh, gadis ini melihat kesempatan amat baik! Kenapa ia tidak menyelinap masuk dan membantu Kui Eng, pikirnya. Iapun cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk meloncat ke dalam, dan melihat betapa pintu menuju ke belakang terbuka dan di situ tidak nampak penjaga yang agaknya sudah menjadi panik, iapun cepat menyelinap masuk! Kiki mengalami hal yang sama. Iapun merobohkan beberapa orang penjaga dan melihat betapa para penjaga lainnya menjadi gentar atau sibuk memadamkan api, dan ia ditinggal sendiri, iapun cepat menyelinap dan berhasil memasuki pintu belakang yang ditinggalkan penjaga.

Ci Kong menghabiskan bahan bakarnya, membakari apa saja yang dapat dibakarnya. Ketika para penjaga melihatnya dan mengeroyoknya, dia mengamuk, merobohkan dua orang dan berlari ke bagian lain untuk memancing perhatian mereka. Diapun dikepung dan dikeroyok banyak orang, namun Ci Kong tidak menjadi gentar. Bagaikan orang mencabuti rumput saja, dia menangkap-nangkapi para pengeroyoknya dan melemparkan mereka ke kanan kiri, matanya mencari-cari untuk melihat apakah Kui Eng sudah berhasil menyelinap ke dalam dan ke belakang. Akan tetapi saatnya amat baik, pikirnya. Sambil berlari-larian ke sana sini menarik perhatian dan mengacaukan para penjaga, Ci Kong melihat betapa pintu yang menuju ke belakang ke arah penjara bawah tanah, terbuka dan ditinggalkan penjaga.

Apakah Kui Eng sudah masuk, pikirnya. Ah, kesempatan baik terbuka dan diapun ingin sekali membantu Kui Eng. Terlalu berbahaya bagi gadis itu kalau masuk sendiri, pikirnya. Dan selagi para penjaga sibuk memadamkan api dan kacau balau karena agaknya mengira bahwa markas mereka diserbu banyak musuh, tidak sukar baginya untuk menyelinap masuk. Diapun lalu meloncat dengan cepat menghilang dari depan para pengeroyoknya, dan selagi mereka kebingungan harus mencari kemana, diapun sudah menyelinap ke dalam pintu yang menembus ke belakang. Alangkah heran dan kaget hati Ci Kong ketika dia masuk ke bagian belakang, dia tiba di sebuah ruangan dan di situ dia melihat Siu Coan, Kui Eng, Lian Hong, dan Kiki, sudah lebih dulu sampai. Empat orang itupun heran melihat munculnya Ci Kong, dan tahulah Ci Kong bahwa mereka semua memang memiliki pendapat dan maksud yang sama.

"Ah, kiranya kita berkumpul di sini. Baik sekali, karena kita dapat segera menyerbu ke dalam ruangan bawah tanah." Akan tetapi, empat orang remannya itu hanya memandang ke kanan kiri dengan muka berubah agak pucat. Ketika Ci Kong memandang, kiranya nampak moncong-moncong senapan, menodong mereka dan lubang-lubang di dinding kanan dan kiri!

"Celaka!" serunya, tahu bahwa mereka telah terjebak ke dalam sebuah ruangan yang ditodong oleh pasukan senapan yang bersembunyi di balik dinding kanan kiri!

"Mari kita cepat keluar!" Akan tetapi pada saat itu, pintu tembusan dari luar itu telah penuh dengan orang. Kiranya puluhan perajurit dengan rapi telah berjajar di depan pintu dan seorang pria berpakaian panglima tertawa bergelak, diiringi suara ketawa belasan orang temannya yang masuk bersamanya. Lima orang muda itu memandang dengan muka merah dan mata bersinar penuh kemarahan ketika mengenal bahwa yang masuk ini bukan lain adalah Lee Song Kim! Tahulah mereka bahwa mereka memang sengaja dijebak! Siasat mereka itu ternyata telah dihadapi dengan siasat yang lebih licik dan licin dari Lee Song Kim, sehingga mereka itu digiring menjadi satu di depan pintu terowongan yang menuju ke penjara.

"Ha-ha-ha, kalian seperti lima ekor harimau yang telah digiring masuk ke dalam kandang! Hanya ada dua pilihan, maju kalian mampus atau mundur dan masuk ke dalam kamar tahanan seperti para pemberontak lainnya!" kata Lee Song Kim dengan gembira dan suaranya mengandung kepuasan karena siasatnya memancing lima orang ini berhasil baik. Kiki memandang kepada pemuda itu dengan mata mendelik. Kebenciannya memuncak terhadap pemuda itu yang dulu pernah akan memperkosanya, kemudian mengkhianati para tokoh dan Ayahnya sendiri ketika Ayahnya mengadakan pesta ulang tahun, bahkan mengkhianati para pimpinan pejuang sehingga sebagian besar dari mereka, termasuk Empat Racun Dunia, telah menjadi tawanan dan sekarang menjebak mereka berlima pula!

"Lee Song Kim jahanam keparat busuk! Engkaulah manusia tak tahu malu, pengkhianat dan pengecut paling besar di dunia!" Song Kim tertawa.

"Ha-ha-ha, sumoiku Kiki yang manis. Engkau makin marah semakin cantik saja! Terima kasih engkau mengangkat aku menjadi penjahat paling besar di dunia, cocok untuk menjadi murid Hai-tok, bukan? Dan cocok untuk menjadi suamimu.

"Jangan khawatir, biarpun engkau ditawan, kelak engkau akan kujadikan isteriku, dan dua orang temanmu ini patut pula menjadi selir-selirku. Kalian bertiga memang jelita dan menggairahkan, ha-ha-ha!"

"Manusia hina!"

Kiki membentak dan iapun tidak peduli lagi akan todongan senapan, langsung menubruk ke depan dan menyerang Song Kim dengan ganasnya. Song Kim tertawa dan cepat menangkis, bahkan bermaksud menangkap pergelangan tangan bekas sumoinya. Dia mengira bahwa Kiki masih seperti dulu dalam hal ilmu silat seimbang dengan dia, bahkan dia masih lebih kuat dalam hal tenaga sin-kang. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Kiki menyerangnya dengan pengerahan tenaga dan ilmu barunya, yaitu Hui-thian Yan-cu yang membuat tubuhnya seperti seekor burung saja, ringan cepat dan gesit. Maka, sebelum tangkisan tiba, Kiki sudah merubah gerakan tangannya dan tahu-tahu tangan itu sudah menampar ke arah leher Song Kim dengan cepat dan kuat bukan main. Song Kim terkejut, miringkan tubuhnya.

"Plakk...!" Tamparan itu tidak mengenai leher yang dapat mengakibatkan bahaya, melainkan meleset dan mengenai pundak, akan tetapi cukup keras membuat Song Kim terhuyung. Empat orang pembantunya maju menahan Kiki yang segera terdesak, karena empat orang itu selain lihai, memegang senjata golok yang diputar cepat membentuk empat gulungan sinar. Terpaksa Kiki mundur untuk menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok.

"Tembak!" terdengar aba-aba seorang perwira kulit putih.

"Tahan dulu! Jangan tembak. Aku menghendaki mereka tertawan hidup-hidup!" teriak Song Kim dengan gemas, dan dia lalu mengerahkan para perajurit untuk menyerang mereka dengan senjata tajam, bukan dengan senjata api. Terjadilah pengeroyokan yang ketat. Lima orang muda itu dengan gigih membela diri, akan tetapi karena jumlah lawan banyak, juga para pembantu Song Kim ternyata cukup lihai dengan permainan golok mereka.

Kiranya para pembantu Song Kim ini adalah jagoan-jagoan dan Kota Raja yang disohorkan dengan sebutan Cap-sha Toa-to (Tigabelas Golok Besar). Karena tempat itu sempit dan para pengeroyok amat banyak, setelah merobohkan beberapa orang perajurit pengawal, lima orang muda itu terpaksa mundur terus dan tiba di mulut terowongan yang menembus ke tempat penjara. Mereka tahu bahwa sekali mereka masuk ke dalam terowongan yang agaknya sempit itu, akan sukarlah bagi mereka untuk meloloskan diri. Terowongan itu lebarnya hanya satu meter lebih, dan tingginya dua meter dan agaknya agak gelap. Menurut penyelidikan yang mereka peroleh, terowongan itu menuju ruangan-ruangan tahanan yang berada di bawah bukit, di belakang rumah penjara besar di luar. Akan tetapi mereka tak berdaya.

Nekat menerobos kepungan, berarti mereka akan menghadapi bahaya barisan golok dan pasukan yang besar jumlahnya, dan andaikata mereka mampu membobol barisan ini, mereka masih akan melewati ruangan dimana terdapat pasukan senapan yang menodong dari kanan kin! Bahkan kinipun, di samping desakan Tigabelas Golok Besar, juga terdapat beberapa orang perajurit dan perwira kulit putih yang siap dengan pistol mereka, untuk berjaga-jaga kalau kalau lima orang yang terdesak itu dapat membobol kepungan. Sukarlah bagi mereka untuk meloloskan diri, dan agaknya satu-satunya jalan hanya mundur sampai akhirnya mereka tertawan dan menjadi satu dengan para pimpinan pejuang yang sudah menjadi tawanan.

"Biar aku mengadu nyawa dengan keparat itu!" Kiki hendak menerjang ke depan, akan tetapi Siu Coan menyambar lengan gadis itu.

"Apa kau sudah gila? Tidak perlu membunuh diri dan mati konyol selagi masih ada jalan untuk hidup!" kata Siu Coan. Sejenak mereka saling pandang, dan ada sinar mata aneh di dalam mata pandang Siu Coan yang membuat Kiki menundukkan muka dengan jantung berdebar.

"Mari kita mundur," kata Ci Kong yang melihat kebenaran pencegahan Siu Coan. Dalam keadaan seperti itu, maju berarti mati konyol dan mundur paling-paling tertawan. Tertawan belum berarti mati, dan dalam keadaan tertawan, masih ada harapan untuk dapat meloloskan diri. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras berturut-turut tiga kali yang datangnya dari belakang mereka. Lantai terowongan itu sampai tergetar dan bukan hanya lima orang muda itu yang merasa terkejut, bahkan Lee Song Kim dan teman-temannya, juga para perajurit, terkejut bukan main.
(Lanjut ke Jilid 36)

Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)

Jilid 36
"Apa yang terjadi di sana?" teriak Song Kim dengan bingung.

"Di sebelah dalam itu adalah ruangan penjara, bagaimana di sini bisa terdengar ledakan dahsyat tiga kali itu? Apa artinya ini?" Pada saat itu, dari dalam terowongan berkelebat bayangan putih yang ternyata bukan lain adalah Koan Jit! Melihat orang ini muncul dari dalam terowongan di belakang mereka, lima orang muda ini terkejut dan terheran-heran. Koan Jit muncul dengan pakaian robek dan di tangannya terdapat dua buah alat peledak bersumbu yang belum dinyalakan sumbunya. Sejenak Koan Jit memandangi mereka, terutama kepada sutenya.

"Ah... sudah kukatakan, aku yang akan membebaskan mereka dan kalian tidak percaya kepadaku, sekarang aku harus membebaskan kalian. Larilah, aku akan menahan mereka," katanya, dan diapun melangkah maju ke depan mulut terowongan.

Empat orang dan tigabelas Golok Besar menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan aneh, Koan Jit menghadapi empat batang golok itu, dan tiba-tiba saja kedua kakinya bergerak, dan empat orang itu roboh tak mampu berkutik lagi karena ujung kaki Koan Jit telah menendang bagian tubuh yang lemah. Seorang opsir yang berada di dekat mulut terowongan menusukkan pedangnya, akan tetapi Koan Jit menendang dan sungguh hebat gerakan ini, karena pedang itu tiba-tiba terlepas dari pegangan opsir itu dan menusuk dada si opsir kulit putih yang terbelalak karena lebih merasa terkejut dan terheran dari pada rasa sakit. Dia terhuyung dan bersandar pada dinding, tangan kanan mendekap dada yang tertusuk pedangnya sendiri sampai hampir tembus.

"Siapkan regu tembak!" Song Kim berteriak. Ketika melihat munculnya orang ini, Song Kim merasa terkejut bukan main. Dia tahu akan kehebatan ilmu kepandaian Koan Jit, maka diapun tidak mau mengambil resiko, apalagi melihat betapa empat orang di antara Tigabelas Golok Besar telah roboh dan opsir kulit putih itupun terluka parah. Seregu perajurit campuran sudah siap dengan senapan mereka, moncong senapan ditodongkan ke arah Koan Jit. Akan tetapi, Koan Jit berdiri tegak, lalu dengan tenang menyulut sumbu dua buah bom peledak itu. Dia menoleh lagi kepada lima orang muda yang masih berdiri bengong dan berdesakan di belakangnya.

"Kalian masih belum pergi? Larilah ke dalam dan bantu mereka membebaskan diri..."

Lima orang itu menjadi bengong dan ragu-ragu. Mereka adalah pendekar pendekar perkasa, pejuang-pejuang yang gigih dan pantang mundur. Kini, melihat Koan Jit berdiri seorang diri menghadapi lawan, bagaimana mungkin mereka dapat pergi meninggalkan Koan Jit menentang musuh dan menantang maut seorang diri begitu saja? Betapa pengecut sikap mereka kalau mereka membiarkan Koan Jit mati sedangkan mereka melarikan diri! Karena bimbang, lima orang muda itu memandang dengan mata terbelalak. Koan Jit berdiri tegak, dengan sikap tenang dan gagah, tangan kanan memegang sebuah peluru atau bom bersumbu, diangkat ke atas dan ditempelkan pada langit-langit terowongan, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah peluru lain yang sumbunya juga sudah bernyala.

"Tembaakkk!" Perintah Song Kim sambil mundur-mundur panik melihat peluru-peluru bersumbu itu, juga para perajurit menjadi panik dan ketakutan. Terdengarlah ledakan-ledakan ketika senapan-senapan itu memuntahkan peluru-pelurunya. Jelas nampak beberapa peluru itu menyengat tubuh Koan Jit yang tidak mampu mengelak lagi di tempat sempit itu, dan agaknya memang dia tidak mau mengelak lagi. Nampak bajunya penuh tanda lubang ketika peluru-peluru itu menembus kulit tubuhnya.

"Kalian cepat lariiii..." Tiba-tiba Koan Jit berseru, suaranya parau, dan pada saat itu dia melontarkan peluru bersumbu yang berada di tangan kirinya.

"Awaaassss!!" Siu Coan tiba-tiba menubruk empat orang temannya dan menyeret mereka untuk lari ke dalam terowongan lalu menjatuhkan diri bertiarap agak jauh dari mulut terowongan.

Baru saja tubuh mereka menyentuh lantai, terdengar suara ledakan keras sekali beruntun dua kali, bergemuruh suaranya memekakkan telinga sampai agak lama, sehingga mereka berlima itu tidak berani mengangkat muka. Kemudian sunyi! Tidak terdengar apa-apa lagi, kecuali rontoknya batu-batu kecil dan tanah di sekeliling mereka. Tidak ada suara manusia, tidak ada suara berisik. Lima orang itu bangun dan merangkak, terbatuk-batuk karena tempat itu penuh dengan asap dan debu, kemudian mereka bangkit dan setengah merangkul menghampiri mulut terowongan. Tidak ada mulut terowongan lagi, karena kini terowongan itu tertutup sama sekali. Kiranya terowongan itu, di bagian depan, telah runtuh sama sekali, menutupi mulut terowongan.

"Suheng..." terdengar Siu Coan memanggil, sambil meraba-raba di antara tumpukan tanah dan batu. Tentu saja tidak terdengar jawaban dan empat orang temannya kini juga mendekatinya. Mereka meraba-raba di tempat yang menjadi remang-remang gelap itu, dan akhirnya Siu Coan terdengar mengeluh.

"Suheng, ahhhh... Suheng!" Siu Coan terdengar menangis! Ci Kong dan tiga orang gadis itu menjadi terkejut dan heran, mereka mendekati, dan ketika mereka melihat pemuda gagah itu menangis sambil memegangi sebuah sepatu, mengertilah mereka.

Kiranya yang tertinggal dari Koan Jit hanyalah sebuah sepatu! Agaknya tubuhnya hancur lebur oleh ledakan tadi atau tertimbun. Terdengar Kiki juga menangis perlahan. Gadis ini hanya nampak di luarnya saja galak dan keras, namun sebenarnya hatinya lembut sekali sehingga ia merasa amat terharu melihat Siu Coan menangisi sebuah sepatu. Kematian Koan Jit memang amat mengesankan hati lima orang gagah itu. Kematian seorang patriot, seorang gagah perkasa yang rela mengurbankan nyawa demi menyelamatkan orang-orang lain. Biarpun Koan Jit pernah menjadi seorang tokoh sesat yang luar blasa kejamnya dan jahatnya, namun pada saat akhir-akhir hidupnya, dia adalah seorang gagah perkasa yang patut dikagumi.

"Cepat, mari kita membantu para tawanan," kata Ci Kong yang teringat akan hal yang lebih penting.

Mengingat akan ini, Siu Coan menyimpan sebelah sepatu itu di dalam saku bajunya dan merekapun melanjutkan perjalanan, setengah meraba-raba di dalam terowongan itu, terus menuju ke belakang. Tak lama kemudian, mereka melihat cahaya menerangi terowongan itu dari belakang, dan mereka mendengar pula suara orang. Ketika mereka tiba di bagian belakang, ternyata penjara. Mengertilah mereka bahwa tadi Koan Jit datang dari tempat itu, membongkar penjara bawah tanah dengan menggunakan bahan peledak yang amat kuat sehingga tempat itu terbongkar dan berlubang. Sungguh perbuatan yang amat berani dan cerdik! Ketika Empat Racun Dunia melihat murid-murid mereka, tentu saja mereka terheran-heran dan juga girang.

"Kiki, bagaimana kalian dapat muncul dari dalam sana? Tadi kami mendengar ledakan-ledakan yang keras!" kata Hai-tok kepada puterinya.

"Hai-tok, bicara bisa dilakukan nanti. Mari cepat keluar dan pergi, apa kau ingin tertawan kembali?" San-tok mencela rekannya dan mereka semuapun cepat-cepat melarikan diri dari tempat itu melalui lubang besar yang menembus lereng bukit. Ucapan San-tok ini memang benar. Tak lama kemudian, tempat itu telah didatangi ratusan orang perajurit, akan tetapi ketika mereka memasuki lubang besar memeriksa ruangan penjara bawah tahanan, semua tahanan telah lenyap. Sekali ini Lee Song Kim merasa kecewa dan marah bukan main.

Akan tetapi diapun harus mengakui kegagalannya, padahal semua telah diaturnya sedemikian rapinya bersama Peter Dull yang kini naik pangkat menjadi Kapten. Segala jerih payahnya yang berpura-pura membantu para pejuang, ternyata mengalami kegagalan setelah keberhasilan total berada di ambang pintu. Kalau saja dia berhasil menawan lima orang muda itu, maka berarti bahwa semua tenaga pimpinan para pemberontak yang paling tangguh telah berhasil ditawan, dan tentu pemberontakan-pemberontakan itu akan lebih mudah untuk dihancurkan. Akan tetapi kini kenyataannya malah sebaliknya. Semua tawanan telah berhasil meloloskan diri dan semua ini akibat campur tangan Koan Jit, orang yang tadinya pernah menjadi orang kepercayaan pasukan kulit putih. Kegagalan ini menimbulkan salah paham, saling mencurigai bahkan percekcokan antara Lee Song Kim dan Kapten Peter Dull.

"Lihat apa yang terjadi!" Lee Song Kim antara lain berkata marah kepada sekutunya itu.

"Semua gagal karena ulah si jahanam Koan Jit, orang yang pernah menjadi kepercayaanmu, kapten! Kalau dia tidak pernah menjadi kaki tanganmu, tentu dia tidak akan pandai bermain-main dengan alat peledak dan tidak dapat mengetahui rahasia lorong dalam tanah penjara Hang-couw!" Peter Dull memandang marah kepada panglima pasukan Ceng itu.

"Lee-Ciangkun, harap kau tahan sedikit kata-katamu! Memang benar Koan Jit pernah menjadi pembantuku. Akan tetapi ketika itu, diapun sudah banyak jasanya dalam menghadapi para pemberontak. Dan kalau diingat, bagaimanapun juga dia adalah bangsamu! Pengkhianat itu adalah bangsamu, jadi tanggung jawabmu lebih besar dari pada tanggung jawabku!" Percekcokan itu mengakibatkan kerenggangan hubungan dan kerja sama antara pasukan pemerintah Ceng dan pasukan orang kulit putih. Hal ini menguntungkan para pejuang, karena kalau dua kekuatan itu bersatu, memang berbahaya bagi para pejuang. Dan semenjak para pimpinan pejuang bebas dan penjara itu, kini mereka menjadi semakin bersemangat dan pemberontakan terjadi dimana-mana, memusingkan pemerintah penjajah Mancu,

Bahkan juga memusingkan orang-orang kulit putih yang selalu merasa terancam. Semenjak peristiwa kerja sama membebaskan para tawanan itu, Siu Coan seringkali menghubungi Kiki dan Ayahnya, sehingga di antara mereka terdapat hubungan yang akrab. Sering kali seorang diri, Siu Coan mengarungi lautan dan pergi mengunjungi Pulau Naga, tempat tinggal baru dari Hai-tok. Karena pemuda itu pandai membawa diri, dan royal sekali dengan hadiah-hadiah, maka dia dikenal baik oleh para bajak laut anak buah Hai-tok. Semenjak kerja sama di antara lima orang muda perkasa itu, Siu Coan sudah merasa amat tertarik kepada Kiki. Gadis itu lincah jenaka, nakal manja, akan tetapi memiliki watak lembut sehingga ketika Siu Coan menangisi kematian suhengnya, gadis itupun ikut pula menangis.

Biarpun Kiki sejak kecil hidup sebagai puteri Hai-tok yang kaya raya, namun ia selalu berpakaian ringkas sederhana, dan tidak jahat seperti Hai-tok walaupun kadang-kadang ia dapat bersikap keras hati. Akan tetapi bentuk tubuhnya padat menggiurkan dan wajahnya amat manis, terutama sekali tahi lalat di pipinya menjadi penambah kemanisan wajahnya. Siu Coan segera mengerti bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis ini, benar-benar jatuh cinta, bukan sekedar tertarik oleh kecantikan seorang gadis. Setiap gerak-gerik gadis itu menyentuh perasaannya, membuat dia merasa terharu dan juga sayang. Di lain pihak, Kiki yang pernah merasa tertarik dan kagum kepada Ci Kong, kinipun mulai tertarik karena perhatian Siu Coan yang berlebihan terhadap dirinya. Setiap kali datang, Siu Coan tentu membawa oleh-oleh yang aneh-aneh.

Buah-buahan segar dan selaian, makanan aneh-aneh dari orang kulit putih, juga alat-alat kecantikan dan perhiasan yang serba mahal dan langka. Ia tahu akan kegagahan Siu Coan dan biarpun Siu Coan, seperti juga ia yang menjadi puteri seorang di antara Empat Racun Dunia, adalah murid Thian-tok yang terkenal paling jahat di antara Empat Racun Dunia. Namun dia mengenal Siu Coan sebagai seorang pemuda gagah perkasa, seorang pejuang yang berani dan juga bukan seorang penjahat. Tubuh Siu Coan yang tinggi besar, dengan bentuk muka yang jantan dan gagah, kecerdikan dan kelihaiannya, cukup untuk menarik hati Kiki yang pada waktu itu masih bebas. Hai-tok Tang Kok Bu tentu saja dapat menduga akan isi hati Siu Coan, akan tetapi diapun rupa-rupanya tidak menaruh keberatan akan hubungan puterinya dan Siu Coan.

Hai-tok tadinya mengidamkan agar puterinya menjadi isteri Lee Song Kim, akan tetapi kemudian ternyata bahwa muridnya itu adalah seorang pengkhianat besar yang amat dibencinya. Sebaliknya, Siu Coan adalah murid Thian-tok yang telah membuktikan kegagahan dan juga jiwa patriotnya, dan di samping itu, Siu Coan pandai membawa diri, seringkali membawa oleh-oleh arak yang langka, makanan-makanan yang aneh-aneh sehingga hati orang tua inipun merasa tertarik dan suka. Kini bukan merupakan hal aneh lagi kalau Siu Coan datang berkunjung dan bersama Kiki dia berjalan-jalan di sepanjang pantai yang sunyi dan indah penuh dengan pasir putih di Pulau Naga. Semua anak buah Hai-tok tahu belaka bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang pandai dan gagah perkasa, menjadi sahabat baik nona mereka.

Pada suatu senja yang amat indah, Kiki dan Siu Coan duduk berdua saja di tepi pantai sebelah barat. Tempat itu sunyi dan senja itu seperti senja-senja biasanya di tempat itu, amatlah indahnya. Matahari tenggelam di barat, meninggalkan kebakaran di langit. Sukar melukiskan keindahan matahari tenggelam di senja hari. Sinar kemerahan yang amat indah membakar langit, dan awan-awan nampak seperti mahluk-mahluk ajaib yang hidup dengan bentuk yang menakjubkan dengan warna yang luar biasa pula. Puncak awan-awan itu seperti diselaput perak dan latar belakang biru keunguan di antara lautan merah. Bentuk-bentuk awan itu seperti mahluk-mahluk yang memenuhi semua khayal, seperti binatang purba, atau seperti raksasa dan iblis yang menyeramkan namun mempesona.

Ada pula sekelompok awan putih yang kalau dipandang dengan mata khayal menggambarkan keadaan sebuah kerajaan khayal, dengan bangunan-bangunan yang ajaib, keadaan sebuah alam lain. Dan kesemuanya itu demikian diam, demikian hening, penuh damai, tenteram dan dalam pada itu, demikian yang lebih hebat lagi, keadaan senja yang indah itu, tidak pernah sama setiap harinya. Tetap indah, tetap mempesona, dan tidak membosankan karena tidak pernah sama, tidak ada pengulangan. Berbahagialah orang yang dapat menikmati keindahan alam dimana saja, kapan saja, dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal ini mungkin dirasakan setiap manusia yang pikirannya tidak dibebani oleh segala macam keinginan sehingga ketika mata terbuka dan memandang dengan waspada, semua gambaran diterima dengan batin yang bersih dan kosong.

Batin yang selalu sibuk dan kacau oleh segala macam keinginan si aku, tak mungkin dapat menikmati apa yang ada. Dan menikmati apa yang ada ini merupakan kesenian hidup yang paling berharga. Pada waktu itu, Siu Coan mulai mempropagandakan agama barunya. Agama Kristen yang dipeluknya dan diterimanya itu hanya dipelajarinya setengah matang, bahkan dengan penafsiran-penafsiran yang sembarangan, bercampur aduk dengan tradisi dan ketahayulan lama. Siu Coan hanya mengambil bagian-bagian yang mengenakkan hatinya saja dalam Agama Kristen. Dia hanya mempropagandakan janji-janji muluk dan pahala-pahala yang ditawarkan, seperti pengampunan dosa dan sorga bagi mereka yang percaya.

Karena inilah, banyak pula orang yang tertarik dan mulai menjadi pengikutnya. Kita selalu condong untuk mencari enak saja, dalam segala perkara, dalam segala macam persoalan, bahkan di dalam keagamaan sekalipun! Pikiran kita sudah terbiasa sejak kecil, oleh pendidikan, oleh lingkungan, oleh masyarakat dan cara hidup masyarakat kita, untuk selalu mempergunakan perhitungan untung-rugi dalam segala macam hal. Dalam hubungan antara manusia, dalam agama sekalipun, bahkan dalam hubungan antara negara dan bangsa, kita selalu mendasarinya dengan perhitungan untung-rugi yang menguntungkan adalah sahabat kita, yang merugikan adalah musuh kita. Karena kebiasaan menghadapi segala sesuatu dengan untung-rugi inilah maka di dalam agama sekalipun, kita memasukinya dengan perhitungan.

Diampuni dosanya dan kelak mendapatkan sorga merupakan janji muluk yang diberikan oleh hampir semua agama, dan hal ini memang amat menarik hati orang. Siapakah yang tidak ingin diampuni dosanya, bebas dari siksa kelak dan memperoleh sorga yang digambarkan sebagai keadaan, yang amat enak? Apalagi kalau syarat memperolehnya hanyalah kepercayaan. Alangkah mudahnya. Hanya percaya, habis perkara, dan pahala-pahala itupun datanglah! Benarkah semudah itu untuk percaya? Kita tidak menyadari rupanya bahwa "Percaya di mulut" jauh sekali bedanya dengan "Percaya di hati." Dan kebanyakan dari kita condong untuk percaya di mulut saja. Setiap orang mengatakan bahwa dia percaya kepada Tuhan! Benarkah itu? Benarkah kita percaya kepada Tuhan dari lubuk hati kita, ataukah pengakuan itu hanya sebatas bibir dan lidah saja?

Karena, kalau orang percaya kepada Tuhan, setiap saat dia akan merasa adanya Tuhan, dan karena itu, diapun tidak akan pernah menyeleweng semenitpun. Akan tetapi biasanya, kita hanya ingat dan percaya kepada Tuhan kalau kita membutuhkan pengampunan-Nya, membutuhkan pertolongan-Nya, dan kita sama sekali melupakannya kalau kita tidak membutuhkan itu. Karena itu, kata "Percaya" tidaklah semudah yang kita kira. Siu Coan membawa pula propaganda agamanya ke Pulau Naga. Demikian pandai dia bicara, sehingga orang seperti Hai-tok sendiripun mulai terpengaruh dan tertarik! Juga Kiki merasa tertarik sekali kalau Siu Coan bicara tentang agamanya. Akan tetapi pada senja hari yang indah itu, Siu Coan bicara tentang hal lain. Dia bicara tentang cita-citanya, juga tentang rencananya kepada Kiki!

"Percayalah, Kiki, akan tiba saatnya aku berhasil memenuhi cita-cita yang telah ku pupuk sejak dahulu, yaitu memiliki sebuah pasukan yang amat kuat, untuk menjadi bala tentara yang akan menyerbu dan menghancurkan kerajaan penjajah. Untuk itu, segala kemampuanku telah ku kerahkan, dan kini aku diam-diam telah menghimpun banyak sekali orang yang suatu saat akan dengan suka rela masuk menjadi anggauta.


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Akulah orangnya yang kelak akan mampu meruntuhkan kekuasaan penjajah, Kiki... dan untuk tugas yang amat besar ini, aku membutuhkan dorongan dan bantuan batin yang amat kubutuhkan, yaitu dirimu." Kiki tersenyum dan memandang dengan mata terbelalak, ia merasa heran sekali mendengar kalimat terakhir itu. Ketika ia tersenyum, wajahnya nampak amat manis oleh Siu Coan. Memang Kiki amat manis, apalagi tahi lalat kecil di pipinya itu membuat wajahnya selalu nampak manis dalam keadaan apapun.

"Ong-Toako, apakah maksudmu dengan diriku?"

"Untuk mencapai cita-cita besar itu, aku hanya didampingi seorang yang merupakan dorongan batin yang amat kuat bagiku, yaitu seorang wanita yang ku cinta dan ku harapkan untuk mendampingiku selamanya. Dan wanita itu adalah engkau, Ki-moi.

"Engkaulah gadis yang ku cinta, dan aku tahu bahwa engkaulah jodohku, engkaulah yang patut menjadi calon isteriku. Tentu saja kalau engkau bersedia menerima uluran tanganku." Wajah yang manis itu seketika menjadi merah sekali. Kiki bukan seorang gadis pemalu dan sejak kecil ia biasa hidup bebas dan tanpa terikat oleh banyak peraturan dan pantangan. Namun, sebagai seorang gadis, naluri wanitanya tentu saja bekerja seketika pada pria yang menyatakan cinta secara langsung begitu, dan iapun merasa salah tingkah dan canggung karena malu. Sejenak ia hanya menundukkan mukanya yang berubah merah sekali, mulutnya setengah tersenyum dan pikirannya masih melayang jauh.



Dewi Ular Eps 11 Rajawali Hitam Eps 7 Gelang Kemala Eps 11

Cari Blog Ini