Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 26


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 26




   Setelah semua orang tenang kembali, Leng Li lalu mengeluarkan bungkusan kain putih dan ketika dibuka, ternyata bungkusan itu adalah sebatang tongkat merah yang bentuknya seperti seekor ular, Melihat itu, terdengar suara keluh kesah di antara semua pengemis seperti orang berduka. Pun Hui yang tidak mengerti apa artinya tongkat itu hanya memandang dengan hati penuh pertanyaan, apakah tongkat itu bukan seekor ular yang sudah kering.

   Leng Li lalu menaruh tongkat itu di atas meja sembahyang, kemudian ia menyalakan tiga batang hio, demikian pula kedua orang Lojin yang berdiri di sampingnya dan mereka mulai bersembahyang. Setelah selesai bersembahyang, tiga orang itu lalu berlutut di depan meja sembahyang dan menangis. Tangis mereka mendatangkan suasana mengharukan dan juga menggelikan karena suara si jangkuug kurus itu kecil sekali seperti tangis seorang anak kecil, sedangkan si gendut suaranya besar seperti kerbau menguak.

   Di antara dua suara tangis yang berlainan, terdengar isak tangis Leng Li. Suara tangis yang wajar dari seorang wanita, amat menyedihkan sehingga diam diam Pun Hui merasa amat kasihan kepada gadis muda itu. Ia belum tahu siapa adanya gadis ini dan setelah gadis itu berkata kata dengan suara nyaring dalam tangisnya, tahulah ia bahwa yang ditangisi itu adalah kematian ayah gadis itu sendiri.

   "Ayah, kami seluruh anggauta Ang kai tung Kai pang menyatakan duka atas kematianmu dan percayalah bahwa anakmu, didukung oleh semua kawan yang berada di sini, bersumpah hendak membalas dendammu kepada kakek buntung itu. Demi tongkat keramatmu yang berada di sini, kami bersumpah takkan berhenti berusaha sebelum dapat membunuh musuh besarmu, ayah!"
Setelah berkata demikian, kembali gadis itu menangis, kini diturut oleh semua pengemis yang hadir di situ sehingga keadaan menjadi riuh rendah. Hanya Pun Hui seorang yang berdiri menengok ke kanan kiri, merasa asing.

   Kemudian Leng Li dan dua orang kawannya bangun berdiri dan gadis ini berkata kepada semua orang yang berada di situ,

   "Kawan kawan sekalian. Mungkin di antara kalian ada yang belum jelas persoalan kematian ayahku atau juga ketua kalian. Dengarlah baik baik, Ji suheng (kakak ke dua) Sam thouw liok ciang kai baru saja datang membawa tongkat keramat dari ayah. Dia melihat sendiri betapa ayah telah bertempur melawan seorang kakek buntung kakinya yang amat lihai dan ayah telah kena dikalahkan sehingga tubuhnya terlempar ke dalam Sungai Huang ho dan tongkatnya terbawa air, Ji suheng mencoba untuk mencari jenazah ayah, namun sia sia dan ia hanya dapat menemukan tongkat keramat ini, lalu cepat membawanya ke sini dan mengabarkan kepadaku. Maka ingatlah baik baik, apabila ada yang melihat seorang kakek bermuka iblis dengan kaki kanan buntung dan bersenjata tongkat bambu, lekas beri tahu kepadaku atau cobalah untuk mengeroyok dan membunuhnya. Dialah yang telah menewaskan ayah."

   Semua pengemis menjawab dengan suara menyatakan marah kepada musuh besar ini. Kemudian Leng Li melanjutkan kata katanya,

   "Sekarang, sesuai dengan peraturan dan pesan ayah, perkumpulan kita tidak boleh dibiarkan kosong tak berketua. Oleh karena itu, kini setelah ayah meninggalkan kita, kita harus mengadakan pemilihan ketua baru sebagai pengganti ayah dan yang bertugas untuk memegang pucuk pimpinan. Tanpa kepala, apapun di dunia ini takkan dapat bergerak maju. Oleh karena itu, terserah kepada kawan kawan sekalian untuk memilih seorang ketua baru."

   Leng Li tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi, maka ia lalu menghentikan kata katanya dan sambil menangis ia lalu memeluk tongkat merah yang tadi diletakkan di atas meja, kemudian duduk bersimpuh di depan meja sembahyang sambil memeluki tongkat itu.

   Bu beng Sin kai lalu menghadapi para anggauta dan berkata dengan suaranya yang kecil tinggi seperti tubuhnya,

   "Kawan kawan sekalian, untuk menjadi ketua menggantikan kedudukan mendiang pangcu kita, tidak ada orang yang lebih tepat melainkan nona Leng Li sendiri, mengingat bahwa biarpun masih muda namun ia telah dapat mowarisi kepandaian pangcu kita dan di antara kita memiliki tingkat kepandaian yang paling tinggi!"

   Sorak sorai menyatakan tanda setuju menyambut ucapan ini. Leng Li berdiri dan air matanya mengucur deras. Dengan suara terputus putus ia berkata,

   "Saudara saudaraku sekalian yang tercinta. Terima kasih banyak atas penghargaan kalian terhadap diriku yang muda, bodoh, dan yatim piatu." ia berhenti sebentar untuk menyusut air matanya, kemudian ia dapat mengerahkan hatinya yang berguncang. "Kepandaianku tidak jauh selisihnya dengan kepandaian ji wi suheng. Dan kalau dibandingkan tentang pengalaman, aku jauh kalah oleh ji suheng yang sudah amat terkenal di kalangan kang ouw. Untuk memimpin perkumpulan kita ini amat diperlukan pengalaman dan hubungan yang luas dengan dunia kang ouw, dan kiranya ji suheng Sam thouw liok ciang kai paling tepat untuk menjadi ketua kita karena dia sudah amat luas hubungannya."

   Si gendut itu cepat cepat menggerak gerakkan kedua tangannya mencegah si nona bicara lebih lanjut. Kedua tangannya yang bundar itu berputar putar dan senyumnya makin lebar sehingga hampir mewek.

   "Tidak bisa, tidak bisa! Mana ada aturan seperti itu? Di atasku masih ada suheng Bu beng Sin kai, bagaimana meminta aku yang bodoh dan tidak tahu apa apa? Tdak, tidak, untuk menjadi ketua orang harus memiliki kebijaksanaan, kesabaran dan pemandangan yang luas. Tidak ada orang lain yang lebih cakap kecuali suheng Bu beng Sin kai. Aku sama sekali tidak bijaksana, tidak sabar dan pemandanganku cupat. Apa artinya hubungan dan pengalaman luas?"

   Akan tetapi sebaliknya, Bu heng Sin kai berkukuh memilih Leng Li dan Leng Li memilih si gendut yang sebaliknya juga tidak mau mengalah dan memilih Bu beng Sin kai! Tiga orang ini saling tunjuk dan saling tidak mau mengalah sehingga suasana menjadi tegang di depan meja sembahyang. Para anggota perkumpulan pengemis itu tidak ada yang berani campur bicara, hanya saling pandang dengan menggerakkan pundak dan menggeleng kepala.

   Leng Li lalu menghadapi para anggauta dan berseru keras,

   "Mengapa kalian diam saja? Sebagai anggauta anggauta perkumpulan kita, kalian berhak untuk menjatuhkan pilihan!"

   Akan tetapi oleh karena tiga orang Lojin yang dianggap mewakili pimpinan itu sudah ribut ribut dan tidak mau mengalah, para anggauta tidak ada yang berani mengangkat tangan menunjuk! Leng Li menjadi gemas sekali dan membanting banting kaki.

   "Twa suheng tidak mau menerima, ji suheng juga menolak, apakah kalian ini hendak memaksa aku memikul tugas dan tanggung jawab seberat ini? Apakah ji wi suheng tidak ingat bahwa aku hanya seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang sudah tak berayah ibu, yang hidup sebatangkara dan tidak dapat dibayangkan betapa akan jadi nya dengan nasib hidupku selanjutnya? Apakah ji wi suheng hendak mengikat aku dan menanam aku di sini sehingga selama hidupku sampai menjadi nenek nenek aku akan terus menjadi seorang ketua perkumpulan kita? Tidak kasihankah ji wi kepadaku?" kembali air mata mengalir deras ke luar dan kedua mata nona itu.

   Dua orang pengemis tua itu menjadi terharu, akan tetapi betapapun juga. karena menganggap bahwa kepandaian gadis itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian mereka, keduanya masih ragu ragu dan tidak berani menerima jabatan ketua. Keadaan menjadi kalut dan tiba tiba terdengar suara nyaring dan Pun Hui pemuda sasterawan yang untuk sementara waktu itu dilupakan orang, telah berdiri tegak dan bicara dengan lantang,

   "Cu wi sekalian. Maafkan kalau siauwte berani bersikap lancang, karena siauwte memang tahu bahwa seharusnya siauwte tidak berhak untuk bicara di sini sebagai seorang luar yang tidak tahu persoalannya. Akan tetapi mendengar pembicaraan sam wi bertiga, dan melihat keadaan tak menjadi baik dan kalut, perkenankan siauwte menyumbang sedikit pendapat siauwte."

   Tiga orang Lojin itu memandang kepadanya tanpa berkata kata, dan ini dianggap sebagai tanda oleh Pun Hui bahwa ia boleh bicara terus,

   "Biarpun siauwte seorang bodoh yang tak pernah mencampuri urusan perkumpulan, namun dari kitab kitab, siauwie pernah membaca banyak tentang perkumpulan dan tahu sedikit akan peraturan dan syarat syaratnya. Pendapat samwi bertiga tadi memang tepat sekali. Menjadi ketua harus memiliki kebijaksanaan dan ini dimiliki oleh Twa lo eng hiong (Orang tua gagah pertama). Juga harus memiliki pengalaman dan pergaulan yang luas dalam dunia, dan hal ini dimiliki oleh Ji lo eng hiong. Syarat ke tiga memang seorang ketua harus memiliki kepandaian yang sesuai dengan sifat perkumpulan dan dalam perkumpulan ini, ialah kepandaian bu (silat) dan menurut pendengaran siauwte tadi, hal ini dimiliki oleh siocia (nona). Maka apa sukarnya untuk mengaturnya? Daripada bertengkar dan saling tunjuk tidak mau mengalah, bukankah lebih baik kalau sekarang dibentuk ketua gabungan yang terdiri dan tiga orang? Sam wi bertiga dapat memegang jabatan sebagai ketua gabungan ini, selain lebih kuat, juga memperlambangkan kesatuan dan kerja sama yang baik dalam perkumpulan, memberi tauladan kepada semua anggota. Bagaimana pikiran sam wi dan cu wi sekalian? Maaf kalau sekiranya kata kata siauwte ini tidak berharga dan ngawur."

   Semua orang saling pandang, mengangguk angguk dan kemudian meledaklah sorak sorai dari para anggauta, "Akur! Akur! Inilah jalan yang terbaik Hidup Sam wi pangcu (Tiga Ketua)!" Otomatis sebutan Sam lojin (Tiga Orang Tua) berobah menjadi Sam pangcu (Tiga Ketua).

   Leng Li dan kedua orang tua itupun saling pandang dan wajah mereka berobah lega. Memang inilah jalan terbaik bagi mereka bertiga. Dengan penuh rata terima kasih mereka memandang ke arah pemuda sasterawan itu dan tiba tiba Bu beng Sin kai mengangkat kedua tangannya ke atas sehingga semua sorak sorai itu tiba tiba berhenti.

   "Kongcu," kata Bu beng Sin kai sambil menjura ke arah Pun Hui, "pendapat kongcu tadi benar dan dapat kami terima dengan baik. Banyak terima kasih atas nasihat dari kongcu yang amat berharga. Mendengar kongcu bicara dan sekaligus dapat menguasai pikiran dan kecocokan hati kami membuat kami teringat akan mendiang pangcu kami. Oleh karena itu, sekarang kami bertiga mohon bertanya siapakah nama kongcu dan dimana tempat tinggalnya!"

   Pun Hui merasa jengah dan malu sekali menerima penghormatan besar ini. Ia cepat membalas penghormatan itu dan menjawab sederhana,

   "Ah, lo enghiong. Pendapatku tadi hanya kebetulan saja cocok dengan pendapat cu wi sekalian, apa sih anehnya dan kiranya belum patut mendapat penghargaan. Siauwte bernama Liem Pun Hui, seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara, tiada tempat tinggal, tegasnya seorang perantau yang hidup dari belas kasih para sahabat."

   "Bagus, bagus! Tepat sekali kalau begitu!" kata Bu beng Sin kai. "Kalau begitu, kami bertiga mengangkat kongcu sebagai ketua perkumpulan kami menggantikan pangcu kami yang telah tewas, sedangkan kami bertiga tetap membantu di belakang."

   Kalau ada kilat menyambar kepalanya, agaknya Pun Hui takkan begitu terkejut seperti ketika ia mendengar ucapan ini. Matanya terbelalak dan ia cepat cepat menjawab,

   "Eh, eh, mana bisa begini? Siauwte ini orang macam apakah maka lo enghiong berkata seperti itu? Harap saja sudi menghentikan lelucon yang ditujukan kepada diri siauwte."

   "Kami bersungguh sungguh kongcu. Seperti kongcu lihat sendiri tadi, untuk membereskan persoalan kecil saja kami bertiga tidak becus dan bahkan saling menunjuk. Oleh karena itu, kami memerlukan seorang pemimpin yang cerdik dan berpemandangan luas untuk memberi petunjuk dan keputusan terakhir. Dan kongculah orangnya yang tepat. Bukankah begitu saudara saudara?"

   "Betul, cocok sekali!" terdengar teriakan para pengemis yang memang suka kepada pemuda ini.

   Tidak saja suka akan kesopanannya, juga suka bahwa pemuda ini tidak memandang rendah kepada para pengemis dan terutama sekali karena tadi pemuda itu telah memberi jalan yang amat baik dalam pemilihan ketua.

   "Celaka tigabelas," pikir Pun Hui yang menjadi merah dan sebentar pucat mukanya. Ia cepat menjura ke sekeliling dan berkata,

   "Cu wi, harap sudi maafkan siauwte! Bagaimanakah siauwte dapat menjadi ketua? Siauwte amat lemah, tidak bisa ilmu silat sehingga untuk menepuk lalatpun takkan kena. Bagaimana kalau datang bahaya dan bencana? Siauwte tidak mengerti sama sekali tentang perkumpulan, bagaimana kalau timbul kesulitan? Dan siauwte orang yang asing, sama sekali tidak mengenal dunia kang ouw, tidak tahu siapa adanya orang orang gagah di dunia kang ouw dan siapa pula perkumpulan perkumpulan ternama. Ah, siauwie benar benar tidak tepat kalau menjadi ketua, harap dipikir masak masak jangan nengambil keputusan serampangan belaka sehingga kelak akan menyesal."

   "Kalau datang bahaya, ada aku dan tongkatku yang menghadapinya," kata Leng Li dengan gagah dan sepasang matanya yang jeli dan bening itu menatap wajah Pun Hui dangan tajam,

   "Kalau datang kesulitan dalam perkumpulan, ada aku yang akan membereskan," kata pula Bu beng Sin kai cepat cepat,

   "Ha, ha, dan kalau ada bubungan dengan orang orang kang ouw akupun orangnya yang akan maju ke depan."

   Pun Hui merasa terdesak dan tak dapat bergerak lagi. Ia menjadi bingung sekali dan hanya menoleh ke sana ke mari seakan akan minta bantuan orang lain. Akan tetapi setiap wajah yang berada di situ memandangnya dengan menyatakan kebulatan tekad mengangkat dia sebagai ketua.

   Tiba tiba tubuh Bu beng Sin kai dan Sam Thouw liok ciang kai bergerak dan tahu tahu mereka telah berada di depan Pun Hui. Seorang memegang lengan pemuda itu dan sekali melompat mereka telah membawa Pun Hui ke depan meja sembahyang.

   "Kongcu kau lihat sendiri bahwa kami semualah yang kali ini betul dan tidak salah pilih. Maka harap kau jangan menolak lagi, karena penolakan terhadap para anggauta kami berarti penghinaan dan kau akan berada dalam keadaan berbahaya. Harap kau suka berlutut dan bersumpah di depan meja sembahyang mendiang Lo pangcu."

   Pun Hui masih ragu ragu dan bingung, akan tetapi sekali saja menekan pundaknya, Bu beng Sin kai telah dapat membuat tubuhnya menjadi lemas dan tak teras pula ia berlutut. Bu bong Sin kai memang sengaja memaksa pemuda ini menerima jabatan itu dan berada di tengah tengah mereka karena diam diam orang tua ini mempunyai maksud tertentu, ia suka kepada pemuda ini dan bermaksud menjodohkan pemuda ini dengan puteri mendiang ketuanya, yakni Leng Li.

   Leng Li segera menyalakan tiga batang hio dan memberikan kepada pemuda itu sambil tersenyum manis. Pun Hui hendak menolak, akan tetapi melihat pandang mata semua pengemis yang kini tertuju kepadanya, ia menjadi ngeri dan terpaksa ia bersembahyang.

   "Hidup ketua! Hidup Sam lojin!" teriak para anggauta setelah Pun Hui selesai bersembahyang, setelah kini mempunyai ketua baru, kembali tiga orang gagah itu mereka sebut Sam lojin lagi.

   "Ah, bagaimana ini? Siauwte benar benar tak dapat menerima pengangkatan yang berat ini." kata Pun Hui yang hampir menangis karena tidak tahu harus berbuat apa. Baru kali ini selama hidupnya ia benar benar merasa gelisah dan gugup, bukan takut.Akan tetapi penolakannya ini tenggelam dalam sorak sorai para anggauta pengemis. Kemudian Bu beng Sin kai berkata kepada orang banyak,
"Kami bertiga hendak berusaha mencari musuh besar mendiang lo pangcu. Oleh karena itu harap kalian suka memberi petunjuk dan keterangan kepada pangcu kita yang baru ini dan jagalah dia baik baik!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat dari situ, Bu beng Sin kai, Sam thouw liok ciang kai dan Leng Li lenyap dari situ, meninggalkan Pun Hui di tengah tengah para pengemis.

   "Pangcu, tongkat keramat di atas meja itu harus dibawa selalu oleh pangcu ke mana juga pangcu pergi. Pangcu tidak boleh terpisah dari tongkat itu, karena itulah tanda kedudukan pangcu," kata seorang pengemis.

   Pun Hui menandang ke arah tongkat merah yang setelah didekatinya ternyata adalah seekor ular merah yang kering. Tentu saja ia menjadi mengkirik dan tidak berani menjamahnya. Akan tetapi melihat pandang mata para pengemis, ia melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan lagi. Maka dipaksanya mengambil tongkat itu dan di pegangnya di tangannya. Ternyata ular kering itu telah mengeras dan dingin sekali. Para pengemis bersorak.

   "Nanti dulu, sahabat sahabat sekalian. Sesungguhnya, Sam lojin tadi terlalu sembrono dan gegabah memilih siauwte sebagai ketua. Siauwte tidak mengerti apa apa dan kalian hanya akan menemukan kekecewaan belaka kalau memilih siauwte sebagai pangcu. Oleh karena itu, harap kalian sudi menerima kembali tongkat keramat ini dan biarkan siauwte pergi."

   Akan tetapi, alangkah kaget hati pemuda itu ketika melihat akibat dari ucapannya ini. Semua mata memandangnya dengan marah sekali.

   "Dia menghina tongkat keramat kita."

   "Apakah maksud cu wi? Siauwte sama sekali tidak menghina tongkat ini!"

   "Tidak menghina? Kau sudah menerima pengangkatan pangcu, sudah sembahyang di depan arwah mendiang pangcu kami, sekarang setelah tongkat keramat berada di tanganmu, kau hendak memberikan itu kepada kami? Itu penghinaan namanya!" kata seorang pengemis tua.

   "Kalau dia kukuh menolak, pukul saja dia sampai tewas dengan tongkat keramat kita!" teriak pengemis pengemis muda dan melangkah maju dengan sikap mengancam.

   Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pada saat Lim Pun Hui terancam bahaya dan ia menghadapi dengan sabar dan tenang, datanglah Siauw Yang di hutan itu.

   Siauw Yang benar benar merasa kagum melihat Pun Hui. Jelaslah bahwa pemuda itu adalah seorang yang tidak mengerti ilmu silat, namun pemuda itu menghadapi para pengemis yang hendak mengeroyok dan membunuhnya dengan bibir tersenyum tenang dan sepasang mata tak pernah berkedip sama sekali tidak kelihatan takut takut.

   "Cu wi sekalian benar benar tidak adil dan tidak mau berpikir secara luas. Kalian memaksa orang menjadi pangcu, aturan manakah ini? Kalau siauwte menerima dan memaksa diri manjadi pangcu, kebaikan apakah yang dapat siauwte lakukan? Tentu hanya akan membikin kacau keadaan dan perkumpulan cu wi takkan dapat maju. Oleh karena itu, kalau cu wi memaksa dan hendak membunuh, nah, ini tongkat keramatnya, bunuhlah. Matinya seorang seperti siauwte takkan berarti apa apa bagi dunia."

   Seorang pengemis muda mengulur tangan hendak merampas tongkat itu dari tangan Pun Hui, akan tetapi tiba tiba orang ini memekik dan roboh pinggan di depan pemuda itu! Hal ini membuat semua orang terkejut sekali. Mereka mengira bahwa pemuda sasterawan ini tentu lihai sekali. Untuk beberapa lama mereka tertegun dan tak berani bergerak. Akan tetapi, melihat Pun Hui masih berdiri tegak dan pemuda inipun terheran melihat betapa pengemis muda yang tadi hendak merampas tongkat merah di tangannya tahu tahu terguling, tiga orang pengemis lain, kini yang tua tua dan yang memiliki kepandaian silat lumayan, menubruk maju hendak menangkapnya dan merampas tongkat merahnya. Mereka menggerakkan tongkat di tangan dan siap menyerang pemuda yang disangkanya memiliki kepandaian tinggi itu.

   Pada saat itu, dari atas pohon, melayang turun tubuh Siauw Yang. Dengan gerakan indah dan cepat yang disebut Burung Walet Menyambar Air, tubuhnya melayang dan benar benar seperti seekor burung walet cepatnya, ia menyambar ke arah tiga orang pengemis yang menyerang Pun Hui.

   Terdengar teriakan kesakitan dibarengi seruan seruan kaget ketika tiga batang tongkat merah yang dipakai menyerang Pun Hui itu melayang terlepas dari pegangan dan tubuh tiga orang kekek pengemis itu terlempar dan bergulingan pula.

   Kini Siauw Yang telah berdiri bertolak pinggang di depan para pengemis, membelakangi pemuda itu seakan akan menjadi pelidungnya.

   "Mengandalkan banyak orang mengeroyok seorang sasterawan yang lemah. Hmm, aturan manakah ini?" bentak Siauw Yang sambil tersenyum mengejek

   Di antara para pengemis itu terdapat seorang pengemis bartubuh tinggi besar bermuka hitam, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun. Dia ini terkenal dengan sebutan Hek bin kai (Pengemis Muka Hitam), bukan terkenal karena mukanya yang hitam, akan tetapi lebih terkenal karena ia memiliki ilmu silat tinggi. Hek bin kai ini adalah murid dari Sam thouw liok ciang kai, yakni pemimpin pengemis yang bertubuh gendut.

   Boleh dibilang di antara para anggauta Ang sin tung Kai pang di bawah tiga Sam lojin yang menjadi wakil ketua, kepandaian Hek bin kai ini yang paling tinggi. Selain ilmu silatnya memang sudah cukup tinggi dengan latihan belasan tahun lamanya, juga Hek bin kai memiliki tenaga besar. Pernah ia menimbulkan kegemparan di kota Kui cu ketika di sana terdapat seorang hartawan yang terkenal jahat, pelit, dan suka mengganggu anak bini orang mengandalkan kekayaannya dan pengaruhnya karena ia selalu dekat dengan para pembesar tinggi.

   Ketika Hek bin kai mendengar tentang hartawan ini, ia lalu datang ke tempat itu, membawa sebuah arca singa yang tadinya berada di depan pintu gerbang rumah gedung hartawan itu, dan meletakkan patung yang beratnya ada seribu kati itu di ambang pintu hartawan tadi. Ia menuntut uang sedekah sebanyak atau seberat patung itu.

   Tentu saja hartawan itu tidak mau memberinya sehingga Hek bin kai lalu mengamuk, merobohkan tiang tiang ruangan dan menghajar para pelayan hartawan itu yang mencoba untuk menyeretnya keluar. Akhirnya hartawan itu terpaksa membayar delapan ribu tail uang perak kepada Hek bin kai yang lalu menyebar nyebarkan uang itu di sepanjang jalan sehingga para petani dan rakyat miskin menjadi girang bukan main.

   Inilah Hek bin kai, pengemis muka hitam yang selain berkepandaian tinggi dan bertenaga besar seperti gajah, juga memiliki watak yang jujur, kasar, terus terang bicaranya tanpa tedeng aling aling lagi, akan tatapi juga keras kepala dan tidak mau mengaku kalah.

   Ketika tadi ia melihat Pun Hui akan dikeroyok ia diam saja karena mana mau ia turun tangan terhadap seorang sasterawan lemah? Ia tidak begitu perduli tentang peraturan perkumpulannya dan membiarkan saja kawan kawannya yang mengatur urusan dengan pemuda lemah itu. Akan tetapi ketika melihat kawan kawannya roboh dan melihat di sana tiba tiba muncul seorang gadis cantik dan gagah sekali, tergeraklah hatinya dan perutnya mulai terasa panas. Kawan kawannya roboh oleh seorang wanita muda yang melindungi sasterawan muda yang hendak menghina perkumpulannya, bagaimana ia tinggal diam saja sedangkan hal itu terjadi di depan hidungnya?

   Hek bin kai menggunakan kedua lengannya mendorong kawan kawannya ke kanan kiri sambil berkata,

   "Biarkan aku menghadapi mereka!" Biarpun ia hanya bermaksud mendorong ke kanan kiri para kawannya itu agar mereka minggir dan tidak menghalanginya memasuki lingkaran itu, namun beberapa orang kawannya yang terdorong itu terlempar ke kanan kiri seperti batang padi tertiup angin keras.

   "Perempuan liar dari mana dan siapakah kau begitu berani menghina kami anggauta anggauta Ang sin tung kai?" Suara Hek bin kai memang keras dan parau menyakitkan telinga, apalagi dipergunakan untuk mengeluarkan kata kata yang kasar.

   Merahlah wajah Siauw Yang. Namun gadis ini tidak puas kalau tidak membalas ucapan yang menghina dan memandang rendah ini, maka sambil tersenyum senyum mengejek ia berkata,

   "Hek gu (Kerbau hitam), apakah kau yang menjadi kepala dari segerombolan anjing kelaparan ini? Kau bilang aku berani menghina kawan kawanmu, sebalik nya kau diam saja tidak menyatakan sesuatu ketika kawan kawanmu menghina dan mengeroyok seorang siucai seperti dia ini!"

   Ia menunjuk ke arah pemuda itu sambil memutar tubuh nya, dan pada saat itu, barulah Siauw Yang dapat melihat pemuda itu dengan jelas. Juga Pun Hui baru sekarang setelah Siauw Yang memutar tubuhnya, dapat melihat wajah gadis gagah yang menolongnya ini.

   Seakan akan ada sesuatu yang pecah di dalam jatung masing masing, yang membuat pipi mereka menjadi merah dan yang membuat mereka tak sanggup melanjutkan bertemu pandang! Siauw Yang cepat cepat memutar tubuhnya lagi menghadapi si muka hitam.

   "Bocah ingusan! Urusan sasterawan muda ini dengan perkumpulanku, bukanlah urusanmu, mengapa kau turut campur? Apakah dia itu saudaramu, ataukah barangkali tunanganmu, tentu kau jatuh cinta kepadanya maka kau datang datang campur tangan dan menghina kawan kawanku tanpa bertanya dulu sebab sebab keributan ini terjadi!"

   Kalau saja Hek bin kai memakinya dan mengeluarkan kata kata kasar yang lain, agaknya Siauw Yang takkan begitu marah karena sekali pandang saja Siauw Yang sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang berangasan, kasar dan jujur.

   Akan tetapi karena orang kasar ini menuduhnya melindungi pemuda itu karena ia mencintanya, tersinggunglah perasaan halus kewanitaan dari gadis ini. Hampir saja ia kehilangan ketenangannya dan akan marah sekali. Baiknya ia teringat akan nasehat ayah bundanya yang sering kali menekankan kepadanya bahwa dalam menghadapi seorang lawan, pantangan pertama yang terpenting adalah nafsu amarah.

   "Kemarahan adalah musuh terbesar dari kewaspadaan dan ketenangan," kata ayahnya berkali kali, "oleh karena itu hati hatilah, jangan mudah dibakar oleh lawan, kerena orang orang kang ouw yang berpengalaman akan selalu berusaha membangkitkan kemarahan lawannya sebelum bertempur."

   Teringat akan nasehat ini, Siauw Yang lalu menekan kemarahannya, lalu tersenyum senyum kepada si muka hitam itu.

   "Muka hitam yang buruk rupa. Kita kesampingkan dulu urusan dengan anjing anjing kelaparan ini. Kau merasa bahwa aku menghina dan sebaliknya kata katamu yang kotor telah amat menghinaku. Hal ini hanya dapat diselesaikan dengan adu kepandaian. Apakah kau yang kasar ini masih memiliki keberanian untuk melawanku? Ataukah kata katamu yang kasar itu hanya gertak sambal belaka, akan tetapi sebetulnya hatimu bersifat pengecut besar?"

   "Bocah lancang, kau mencari penyakit sendiri. Kau belum mengenal kelihaian Hek bin kai, majulah!"

   "Hek bin gu (Kerbau Muka hitam), perlihatkan kepandaianmu!" kata Siauw Yang sambil tertawa mengejek.

   Sementara itu, para pengemis lalu sengaja mundur untuk memberi lapangan kepada dua orang yang hendak mengadu kepandaian ini. Mereka tadi telah menyaksikan kelihaian Siauw Yang sehingga banyak diantara mereka menjadi jerih. Akan tetapi mereka lebih percaya akan kelihaian Hek bin kai yang akan membalaskan hinaan yang dilakukan oleh dara cantik itu.

   Adapun Pun Hui ketika melihat betapa gadis muda itu hendak bertanding melawan Hek bin kai yang kelihatannya begitu kuat dan ganas, menjadi khawatir sekali.

   "Lihiap (nona pendekar), harap kau jangan layani mereka itu, hanya untuk membelaku. Pergilah jangan mencampuri urusan ini sebelum terlambat," katanya.

   Mendengar ini, Siauw Yang makin merah mukanya.

   "Siapa membelamu? Aku hanya tidak suka melihat anjing anjing ini main jago jagoan dan hendak merajalela, seakan akan tak ada orang lain berani menentang mereka. Hayo, muka hitam pengecut kau majulah!"

   "Awas pukulan!" seru Hek bin kai dan ia menubruk maju sambil mengayun pukulan tangan kanannya ke arah muka nona itu yang berdiri sembarangan saja.

   Melihat gerak pukulan tangan kanan sambil memperhatikan kedudukan kaki dan tangan kiri lawan, tahulah Siauw Yang bahwa pukulan tangan kanan itu hanya pancingan belaka, ia pura pura mengelak, akan tetapi sebetulnya ia memperhatikan serangan susulan yang pasti akan tiba.

   Benar saja dugaannya, karena Hek bin kai cepat sekali menarik kembali tangan kanannya yang memukul tadi, dan kini secepat kilat ia majukan sebelah kaki dan tangan kirinya terulur maju, memukul ke arah lambung lawannya. Inilah serangan yang disebut Pai in jut sui (Dorong Awan Keluar Puncak) yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya.

   Siauw Yang melihat gerakan lawan dan merasai sambaran angin pukulan, maklum bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga besar dan kecepatan yang dipaksakan, maka ia memandang ringan.

   Sebetulnya pukulan Pai in jut sui itu dilakunkan dengan pukulan ke arah dada. Kini dengan sengaja si muka hitam memukul agak ke bawah dan mengarah lambungnya menandakan bahwa si kasar ini masih mempunyai kesopanan dan merasa malu untuk memukul dada lawannya, karena lawannya seorang wanita. Mengingat ini, diam diam Siauw Yang merasa kasihan kepada si muka hitam dan gelora hatinya yang tadi agak mereda, ia tidak jadi berniat membunuh lawannya, hanya ingin mempermainkannya belaka.

   Dengan gerakan kaki Tut po lian hoan (Menggerakkan Kaki Melangkah Mundur Secara Berantai) Siauw Yang dapat mengelakkan diri dengan mudah sekali dari setiap pukulan yang menyambar ke arahnya.

   Hek bin kai penasaran sekali melihat betapa lawannya yang masih muda itu mengelak dengan gerakan seperti orang menari saja. Demikian lemas, lincah dan mudah gadis itu membuat setiap serangannya mengenai angin.

   Semua pengemis, terutama sekali yang ilmu silatnya sudah lumayan, mengeluarkan seruan memuji
(Lanjut ke Jilid 33)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 33
ketika menyaksikan betapa gadis itu gesit sekali gerakannya. Adapun Pun Hui juga memuji gadis itu karena ia melihat gadis itu seperti sedang menari nari dengan gerakan amat Indah.

   Diam diam ia memperhatikan gadis ini dan ia harus akui bahwa gadis itu selain gagah, juga cantik jelita sekali, ia teringat akan Siang Cu, gadis gagah yang dulu menolongnya dari korban bajak laut dan diam diam ia membandingkan kegagahan kedua orang gadis ini.

   Siang Cu gagah dan berani, juga cantik sekali Demikian pula gadis ini, bahkan dalam pandangannya, masih lebih cantik menarik daripada Siang Cu. Tentang kepandaian silatnya, ia tidak dapat mengetahui siapa yang lebih tinggi, hanya agaknya perbedaan yang menyolok sekali adalah dalam watak mereka. Biarpun baru bertemu satu kali, Pun Hui dapat melihat betapa Siang Cu berwatak keras dan galak, sedangkan gadis pembelanya ini adalah seorang dengan watak lincah dan lucu.

   Siauw Yang memang sengaja mempermainkan dan hendak menguji sampai di mana tingginya kepandaian lawannya si muka hitam itu. Oleh karena itu, gadis itu tidak mengeluarkan ilmu silatnya yang paling lihai, sebaliknya melayani lawannya dengan Ilmu Silat Thai lek kim kong jiu pada bagian Bian kua (Ilmu Silat Tangan Kapas).

   Dengan ilmu silat ini, setiap kali ia mendorong dan menyampok pukulan lawannya, Hek bin kai hanya merasa betapa pukulannya itu tergeser dan menyeleweng dan ia merasa tangannya bertemu dengan sesuatu yang empuk seperti kapas, namun yang mengandung tenaga aneh.

   Makin lama ia menjadi makin marah dan penasaran. Apalagi ketika Siauw Yang mulai membalas serangannya, bukan dengan memukul atau menendangnya roboh, melainkan hanya menowel dan menampar bagian bagian sambungan pundak, sambungan siku, atau pergelangan tangannya yang mendatangkan rasa sakit seperti ditusuk tusuk jarum.

   "Kerbau muka hitam, apakah kau belum mengaku kalah??" seru Siauw Yang. Gadis ini yang hendak mentaati pesan ayahnya bahwa ia tidak boleh menanam bibit permusuhan dengan orang orang kang ouw terutama sekali dengan golongan pengemis, tidak mau menjatuhkan tangan kejam.

   "Bocah sombong! Hek bin kai hanya mengaku kalah kalau ia sudah roboh tak dapat bangun kembali!" seru si muka hitam yang memang wataknya tidak mau kalah, apalagi terhadap seorang gadis muda seperti ini, ia merasa amat malu kalau harus mengaku kalah. Padahal ia sudah tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya.

   Menghadapi kebandelan Hek bin kai, Siauw Yang menjadi gemas juga. Ketika si muka hitam itu menubruk maju, Siauw Yang lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya dan tiba tiba saja ia lenyap dari depan Hek bin kai.

   Si muka hitam terkejut sekali, karena ia hanya melihat bayangan berkelebat di pinggirnya. Ia memutar tubuh sambil mengayun kaki dan menendang. Benar saja dugaannya, dengan gerakan ginkang yang luar biasa Siauw Yang tadi bukannya menghilang, melainkan melompat dan berada di belakang lawannya.

   Kini menghadapi tendangan Hek bin kai yang memutar tubuhnya, jadi tendangan ngawur saja tanpa mengetahui di mana kedudukan lawan, Siauw Yang mengulur tandannya dan secepat kilat dengan gerakan Ciang to thian bun (Telapak Tangan Menyangga Pintu Langit), ia menangkap pergelangan kaki dari bawah dan sambil meminjam tenaga tendangan yang keras sekali itu, ia mengerahkan tenaga lweekang mendorong ke atas dan". tubuh Hek bin kai mencelat ke atas, tinggi sekali dan jatuh di tengah tengah pohon besar yang tumbuh tak jauh dari tempat pertandingan itu. Hanya terdengar suara Hek bin kai berteriak saking kagetnya dan tahu tahu daun daun pohon bergoyang ketika tubuh itu menyangsang di antara ranting ranting dan daun daun.

   Di dekat puncak pohon yang tinggi itu, Hek bin kai dengan kedua tangannya memegangi cabang dan tubuhnya bergoyang goyang karena cabang itu terlalu kecil untuk dapat menahan tubuhnya. Celakanya, biarpun ia telah mempunyai kepandaian tinggi, namun Hek bin kai paling anti tempat tinggi. Hatinya berdebar ketakutan dan semangatnya melayang ketika ia memandang ke bawah, tubuhnya gemetar.

   "Kawan kawan, tolonglah aku turun"." katanya tanpa malu malu lagi. Kemudian ia teringat betapa keadaannya itu benar benar amat memalukan dan merendahkan namanya maka ia lalu berseru kepada Siauw Yang yang masih berdiri di bawah pohon sambil bertolak pinggang.

   "Bocah curang, tunggulah sampai aku turun. Tongkatku pasti akan dapat membikin benjut kepalamu dan kau akan minta minta ampun kepadaku."

   Siauw Yang tertawa geli dan berkata, "Eh, kerbau hitam kau sekarang lebih cocok kalau disebut lutung hitam."

   Sekalian pengemis, ketika melihat betapa Hek bin kai tak dapat turun, lalu sibuk mencoba untuk menolongnya.

   Beberapa orang telah mulai memanjat pohon itu, akan tetapi setelah dua orang tiba di dekat cabang di mana Hek bin kai bergantungan, cabang itu menjadi makin bergoyang goyang keras dan hampir patah.

   "Berhenti! Berhenti" kalau tidak patahlah cabang ini!" teriak Hek bin kai ketakutan.

   Melihat ini, Pun Hui tak dapat menahan gali hatinya, namun ia merasa khawatir kalau kalau si muka hitam itu jatuh ke bawah dan mati. Maka ia lalu berkata kepada Siauw Yang dengan penuh kepercayaan akan kepandaian gadis itu yang sudah disaksikannya sendiri.

   "Lihiap, kau dapat melontarkannya ke atas, tentu dapat menurunkannya kembali. Tolonglah dia sebelum cabang itu patah. Kalau ia mati karenanya, akulah yang merasa berdosa karena itu tolonglah, lihiap!"

   Siauw Yang tertegun. Tak disangkanya bahwa pemuda ini demikian luhur budinya, memohon pertolongan untuk pengemis yang tadinya hendak membunuhnya. Ia memandang dan dalam pandangan sekilas ini, keduanya dapat melihat kekaguman terbayang dalam pandang mata masing masing.

   Siauw Yang tidak menjawab permohonan ini, akan tetapi ia lalu berdongak keatas dan berkata,

   "Eh, lutung hitam. Kau mau turun? Nah, turunlah!"

   Tiba tiba tubuh gadis ini berkelebat dan melayang ke atas dengan pedangnya tercabut di tangan kanan. Sekali ia mengayun pedang ke arah cabang pohon yang digantungi tubuh Hek bin kai, terdengar suara hiruk pikuk. suara ini adalah suara patahnya cabang pohon, gemerisiknya daun daun terlanggar oleh cabang dan tubuh Kek bin kai dan seruan kaget dari para pengemis. Juga Pun Hui berseru,
"Celaka"!"
Akan tetapi, sebelum tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di atas tanah dengan bahaya kepala pecah, tiba tiba ia merasa lehernya tercekik dan kedua kakinya menyentuh tanah dengan lambat dan ringan. Ia selamat dan ternyata bahwa leher bajunya telah disambar oleh Siauw Yang sehingga leher bajunya itu mencekik lehernya namun ia terbebas duri cengkeraman maut.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hebat!" seru para pengemis melihat betapa tadi setelah membabat cabang pohon, gadis itu melayang turun menyusul cabang yang membawa tubuh Hek bin kai, kemudian bagaikan seekor garuda menyambar kelinci, ia telah dapat menangkap leher baju si muka hitam itu.

   Muka Hek bin kai yang sudah hitam itu, kini menjadi makin hitam karena darah mengalir naik ke arah mukanya, ia merasa malu, marah dan mendongkol sekali. Saking marahnya dan malunya, ia tidak dapat berkata kata lagi, hanya serentak ia mengambil tongkat merahnya dari atas tanah dan berseru keras kepada Siauw Yang.

   "Bocah sombong, cabut pedangmu dan mari kita bertempur mengadu kepandaian. Jangan takut, aku takkan membinasakanmu, hanya ingin memperkenalkan ilmu tongkat kami!"

   Tentu saja kata kata ini hanya terdorong oleh kekerasan kepala dan sifat yang tidak mau kalah. Bagaimana ia bicara besar kalau tadi sudah terang terangan ia tak dapat melawan gadis lihai itu?

   "Orang tak tahu diri, kau masih belum kapok? Baiklah, sekali ini nonamu akan memberimu tahu rasa. Majulah, jangan kira aku takut menghadapi tongkatmu itu. Karena aku masih kasihan melihat kedogolanmu, maka tak perlu pedangku ikut bekerja."

   "Kau mau menghadapiku dengan tangan kosong?" Hek bin kai melebarkan matanya dan mengangkat alisnya, benar benar ia merasa heran atas keberanian gadis ini. Jarang sekali ada orang kang ouw yang berani menghadapinya kalau ia sudah memegang tongkatnya, apalagi dengan tangan kosong seperti yang sekarang dilakukan oleh gadis muda itu.

   Siauw Yang menjadi habis sabar. "Monyet hitam, sudahlah jangan banyak cakap. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak mampu merampas tongkatmu, aku terima kalah!"

   "Betul betulkah?" Hek bin kai marah bukan main dan perutnya terasa panas. "Nah, awaslah!"

   Ia mulai menyerang dengan tongkatnya, ditusukkan ke arah leher Siauw Yang dengan gerak tipu Ang hong kan cu (Naga Merah Mengejar Mustika). Gerak tipu ini selain amat cepat dan lihai, juga berbahaya sekali karena dilanjutkan dengan serangan ujung tongkat yang membayangi tubuh lawan dan selalu mengarah jalan darah.

   Akan tetapi, dasar ginkang dari si muka hitam kalah jauh oleh Siauw Yang dan dasar ilmu silatnya memang kalah tinggi tingkatnya, maka sekali saja miringkan tubuh dan menggerakkan kedua tangan, Siauw Yang telah dapat mengelak dan berbareng tangan kirinya menotok ulu hati dan tangan kanannya merampas tongkat.

   Hek Bin Kai terkejut sekati karena tiba-tiba saja dengan gerakan yang tak dapat ia ikuti dengan pandangan mata, ulu hatinya hampir "termakan" tusukan jari tangan lawan. Cepat ia menangkis, akan tetapi sebelum ia mengerahui dengan jelas bagaimana terjadinya, tahu-tahu tongkatnya telah terlepas dan pegangan dan berada di tangan Siauw Yang yang berdiri sambil memandangnya tertawa-tawa.

   Siauw Yang merasa cukup memperlihatkan kepandaiannya dan kini ia merasa yakin bahwa tentu si muka hitam sudah percaya akan kelihaiannya dan sudah mau tunduk, maka tanpa banyak cakap, ia mengembalikan tongkat itu kepada pemiliknya.

   Hek-bin-kai menerima kembali tongkatnya, akan tetapi di luar dugaan Siauw Yang, karena tiba-tiba Hek-bin-kai setelah menarik kembali tongkatnya, tiada terduga-duga melakukan serangan yang hebat sekali kepada Siauw Yang. Kali ini ia menyerang dengan gerak tipu yang disebut Lut kong poa-thian-te (Malaikat Geledek Menyambar Langit-Bumi) Tongkat merahnya menyambar gesit dari kanan dan kiri ke arah kepala Siauw Yang dan kemudian diteruskan dengan sambaran dari kiri ke kanan ke arah kedua kaki nona itu. Serangan ini, biarpun sambaran pertama dapat, dielakkan, belum tentu lawan akan dapat menghindarkan diri dari gambaran ke dua yangdatangnyatak terduga-duga Namun Siauw Yang adalah puteri terkasih dari Thian-te Klam-ong yang berkepandaian tinggi bahkan ibunya juga seorang ahli silat murid orang sakti, maka tentu saja ia tahu akan sifat serangan lawannya ini.

   Ketika sambaran pertama tiba, ia sengaja rrengelak untuk memberi kesempatan kepada lawannya melanjutkan sambaran ka dua, yakni ke arah kakinya, akan tetapi ia mendahului tongkat itu dan sebelum tongkat bergerak menyambar kaki, ia telah mengangkat kakinya dan dengan gerakan luar biasa cepatnya, ia telah menginjak tongkat itu ke atas tanah! Hek-bin-kai amat terkejut dan sekuat tenaga ia membetot tongkatnya dengan maksud melepaskan senjatanya itu dari injakan Siauw Yang. Akan tetapi nona Itu telah mempergunakan tenaga Iwee-kang dan tongkat itu seakan akan berakar di tanah tak mungkin tercabut kembali.

   Sebelum Hek-bin-kai dapat mengelak. Jari tangan nona Itu cepat sekali mengirim pukulan dengan ilmu liam hwat, Terkena totokan jalan darahnya bagian seng sin hiat, tiba tiba tubuh Hek bin kai menjadi kaku seperti patung batu la masih memegangi tongkatnya dengan kedua tangan dalam sikap membetot, sehingga dilihat oleh orang lain, ia seperti sebuah patung de batu wi yang lucu sekali Mulutnya masih terbuka ketika tadi melepaskan napas saking lelahnya dan kini mulut itupun masib tetap terbuka.

   Siauw Yang melompat mundur sambil tertawa "Nah, demikianlah hukuman seorang lancang mulut. Masih adakah di antara kalian yang mau kurang ajar dan masih ada pulakah niat kalian untuk membunuh siucai (pelajar) ini?"

   Kini semua pengemis maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis pendekar yang tinggi kepandaianpya, maka tak seorangpun berani bergerak Bahkan beberapa orang, pengemis tua yang juga memiliki kepandaian lumayan dan maklum bahwa Hek-bin-kai telah kena ditotok, segera melangkah maju dan seorang di antaranya berkata, "Mohon lihiap sudi memaafkan kami dan terutama sekali memaafkan kelancangan Hek-bin-kal, saudara kami itu. Harap lihiap suka membebaskannya dari keadaannya itu. Kelak kalau Sam lojin datang, kami akan membuat laporan selengkapnya dan tentu Sum lojin akan menghaturkanterima kasih kepada lihiap"

   Melihat sikap para pengemis ini, Siau Yang tidak mau bersikap keras lagi. Akan tetapi ia masih mendongkol kalau teringat betapa berkait-kali Hek-bin-kai membandel, bahkan menyerangnya secara kasar dantiba-tiba.

   "Aku juga bukan datang untuk mencari permusuhan dengan kalian, karenanya akupun tidak mau menumpahkan darah. Akan tetapi kawanmu si muka hitam ini benar-benar jahat dan kurung ajar. Terhadapku saja ia berani bersikap seperti tadi, apalagi terhadap orang orang yang lebih lemah Karenanya ia perlu diberi pelajaran." Sambil berkata demikian, cepat kedua tangan gadis itu bergerak ke arah tubuhHek bin-kai yang masih berdiri seperti patung. Jari tangan kirinya membebaskan totokan seng-sin-hiat tadi, akan tetapi jari tangan kanannya menyusul cepat, menotok ke arah jalan darah siauw-jauw-hiat. Dan akibatnya membuat semua pengemis terlongong longong karena tiba-tiba saja tubuh yang tinggi besar dari Hek-bin-kai itu dapat bergerak, akan tetapi gerakan pertama adalah menekan perut dan kemudian terdengar suaranya ketawa terbahak-bahak.

   Suara ketawa amat mempengaruhi orang lain dan boleh dibilang menyerupai penyakit menular yang keras sekali. Mendengar suara ketawa yang demikian wajar dan keras seakan-akan Hek-bin kai tiba tiba menjadi kegirangan atau amal geli memikirkan sesuatu yang lucu, beberapa orang pengemis ikut pula tertawa bergelak. Bahkan Pun Hui sendiri ketika mendengar Hek-bin kai tertawa terbahak-bahak dan diikuti pula oleh beberapa orang pengemis sehingga suasana seakan akan berada dalam pesta yang menggembirakan iapun ikut tertawa. Hanya orang orang tua yang tadi mintakan ampun, mengerti bahwa suara ketawa dari Hek bin kai itu bukanlah ketawa sewajarnya, melainkan ketawa terpaksa karena jalan darahnyaterpengaruh oleh totokan yang luar biasa lihainya.

   Mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut menghadapi Siauw Yang dan berkatadengansuara memohon, "Harap lihiap sudi mengampuni Hek-bin-kai. Kami akan menjaga agar lain kali Hek-bin-kai tidak akan berlaku kasar dan kurang ajar kepada lain orang lagi."

   "Dia tidak pernah tertawa secara terbuka, selalu ketawanya mentertawakan orang dan menyombongkan kepandaian, maka biarkan ia tertawa sepuasnya dan belajar tertawadengan gembira."

   Mendengar percakapan ini barulah semua pengemis yang tadi ikut tertawa, menghentikan suara ketawa mereka, demikian pula Pun Hui. Semua orang memandang kepada Hek bin-kai yang masih tertawa terpingkal pingkal sambil memegangi perutnya dengan hati masih merasa geli melihat hal yang lucu ini, akan tetapi dengan pandang mata kasihan.

   Mereka beramai-ramai lalu berlutut, "Ampun, lihiap, ampun........." mereka ikut memohon.

   Tiba tiba Pun Hui berlari menghadapi Siauw Yang dan dengan muka merah ia berkata, "Lihiap, kau masih begini muda dan lihai, akan tetapi kau kejam dan suka main-main seperti anak kecil saja. Hayo lekatsembuhkandia"

   Mendengar Ini, Siauw Yang mengaggukkan kepalanya dan mukanya lebih merahdaripada muka Pun Hui, "Kau Ini pemuda lemah, masih hendak memberi teguran kepadaku? Kalau aku tidak keburu datang, agaknya kau akan tinggal namasaja."

   "Lebih baik meninggalkan nama bersih daripada hidup dengan nama kotor," jawab Pun Hui angkuh. "Lagi pula nama Liem Pun Hui tidak ada artinya, siapa perduli, baik aku mau atau hidup? Akan tetapi melihat kau menyiksa orang hanya karena urusanku benar benar membikin aku mati penasaran."

   Biasanya, Siauw Yang mempunyai watak yang sukar ditundukkan, baik oleh ayah bundanya maupun oleh kakaknya sendiri. Akan tetapi, kini mendengar teguran seorang pemuda sasterawan yang remah, entah bagaimana, ia merasa malu kepada diri sendiri dan tak terasa pula matanya membasah, ia merasa jengkel terhadap pemuda ini, namun diam-diam ta harus mengakui kebenaran kata-katanya. Tanpa banyak cakap lagi, ia lalu menghampiri Hek-bin kai.

   Akan tetapi pada saat itu, berkelebattiga bayanganorang dan seorang di antara tiga. orang yang datang itu, melompat ke dekat Hek - binkau yang masih tertawa-tawa dan dengan sekali tendang, tubuh si muka hitam itu terlempar dan roboh, akan tetapi ia tidak tertawa lagi, hanya memandang ke arah Siauw Yang densan mata terbuka tebar dan memandang mata penuh kekaguman dan menyerah.

   Yang menolongnya adalah Bi-si-tung Thio Leng Li, sedangkan yang dua orang lagi adalah dua orang kawannya. Ketiga Sam lojin dan Ang-sin tung Kai-pang telah datang kembali Mereka kini memandang kepada Siauw Yang dengan mata bersinar marah. Bagaimanakah tiga orang yang tadinya sudah pergi hendak mencari musuh besar, yakni kakek berkaki buntung, kini tiba-tiba bisa muncul di situ? Mengapa mereka kembali ke tempat ini?

   Seperti diketahui, Sam-lojin (Tiga Orang Tua) ini melakukan perjalanan cepat keluar dari hutan itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar hutan, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring yang datangnya dari tempat jauh, "Kalian bertiga mengapa meninggalkan perkumpulan?" Mendengar suara ini, Bu-beng Sin-kai si pengemis tinggi kurus dan Sam-thouw-liok-ciang kai si pengemis gendut, cepat menjatuhkandiri dengan muka pucat sekali.

   "Lo-pangcu......." kata mereka setengah berbisik.

   "Ayah... " Thio Leng Li juga berkatadan gadis ini berdiri seperti patung, kedua matanva segera mengucurkan air mata. Hampir saja ia tidak percaya kepada kedua telinganya sendiri. Apakah ayahnya yang sudah meninggal dunia itu mengirim suaranya dari alam baka? Tak mungkin! Tak salah lagi, pasti ayahnya masihhidup.

   "Ayah......." teriaknya sambil mengerahkan tenaga khikang, karena ia maklum bahwa pada saat itu, kalau benar masih hidup, ayahnya berada di tempat jauh dan tadi mengirim suaranya dengan pengerahan tenaga khikang yakni dengan penggunaan Ilmu Coan-im-jip-bit. "Kau orang tua benar-benarkah masih hidup? Anakmu mendengar bahwa ayah telah tewas! Ayah di manakah kau, ayah?"

   Hening sesaat, kemudian terdengar suara ketawa yang tinggal dari jauh. Yakin lah kim Leng 1i bahwa memang yang tertawa itu adalah ayah-nya, maka berserilah wajahnya yang semenjak tadi muram dan berduka. Ayahnya masih hidup

   "Ha. ha, ha, Leng Li Agaknya kau telah menemukan tongkatku yang hanyut di sungai. Kumpulkan kawan-kawan, bersiaplah karena tak lama lagi ayahmu akan datang"

   "Baik ayah!" jawab Leng U dengan suara girang sekalidan dengan bergembira ria, tiga orang tokoh perkumpulan pengemis ini lalu cepat cepat berlari kembali ke dalam hutan untuk menyampaikan warta menggembirakan ini kepada para anggauta. Demikianlah, maka mereka tiba di saat yang tepat sekali, yakni ketika Siauw Yang tengah memberi hajaran kepada Hek-bin-kai. Tentu saja, biarpun belum mengetahui persoalannya, tiga orang ini merasa penasaran dan tidak tenang sekali melihat seorang nona muda mempermainkanHek bin-kai.

   "Sam-lojin datang......." para pengemis itu Serentak berserudan memberi hormat. Sementara itu, mendengar seruan ini, Siauw Yang memandang dengan penuh perhatian. Melihat cara nona yang datang itu membebaakan Hek-bin-kai dari totokan, kaget jugalah dia dan maklum babwa nona itu tentu memiliki kepandaian tinggi, demikian pula dua orang kakek pengemis yang datang dengan gerakan demikian gesitnya. Gerakan menendang dari nona tadi membuktikan bahwa nona ini telah mahir mempergunakan Iimu Tendangan Liong cu twi-hwat yang amat sukar. Tendangan ini adalah tendangan khusus yang ditujukan kepada jalan darah di anggota tubuh lawan dan untuk memiliki kepandaian ini, orang harus memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya.

   Kemudian, melihat pandang mata tiga orang itu kepadanva, Siauw Yang dapat menduga bahwa ia telah menimbulkan marah kepada mereka bertiga. Ia tidak menghendaki permusuhan dengan perkumpulan yang ternyata dipimpin oleh orang orang pandai ini, namun sebagai orang muda yang bersemangat gagah Siauw Yang sama sekali tidak takut.

   "Sam-wi tentu menganggap bahwa aku datang sebagai seorang pengacau," ia mendahului mereka sambil menjura, "akan tetapi sesungguhnya, anak buahmulah yang berlaku tidak benar setelah sam wi tidak berada di sini."

   "Benar atau salah dapat diputuskan setelah kamimendengar duduknya perkara," kata Bu-beng Sin kai singkat, kemudian kakek pengemis jangkung kurus ini bertanya kepada Hek-bin-kai. "Hek-bin-kai (si Muka Hitam), mengapa kau sampai terlibat dalam pertempuran dengan nona ini? Apakah lagi lagi kau telah mengumbar nafsu dan kekasaranmu?"

   Menghadapi suhunya, Hek-bin kai hilang keberaniannya, ia lalu berlutut dan berkata, "Suhu, mohon ampun kalau tecu telah melakukan pelanggaran. Sesungguhnya, tadi kawan-kawan sudah siap menghajar ketua baru karena ketua baru itu hendak mengembalikan tongkat keramat yang berarti penghinaan bagi perkumpulan kita. Akan tetapi sebelum kami turun tangan, datanglah nona ini yang mengandalkan kepandaiannya mencampuri urusan kita dan merobohkan beberapa orang kawan. Teecu tentu saja tak tinggal diam dan mengajaknya mengadu kepandaian, akan tetapi...... tecu terlau bodohsehingga dapat dikalahkan" Bu-beng Sin-kai menghadapi Siauw Yang. Sikapnya halus, akan tetapi pandang matanya menyatakan ketidaksenanganhatinya.

   "Nona muridku yang bodoh telah memberi keterangan tantang keributan-d ini. Namun kami masih menanti keterangan dari fihakmu karena kami tidak biaaa berlaku berat sebelah"

   Sebetulnya Siauw Yang meraba mendongkol sekali. Harus ia akui bahwa-e keterangan dari Hek-bin-kai itu memang tidak dusta. Yang membuat ia mendongkol adalah sikap tiga orang yang disebut Sam lojin ini, karena seakan-akan memandang-w rendah kepadanya dan menganggap dia sebagai seorang terdakwa di depan pengadilan. Timbul keangkuhannya dan timbul pula keinginannya untuk mencoba kepandaian tiga orang ini, terutama sekali kepandaian nona itu yang nampaknya pendiam dan kini memandangnyadengan sikap kereng.

   Ia menaksir usia nona itu sebaya dengannya, dan kecantikan nona itu harus ia akui terutama kesederhanaannya yang membuat kecantikannya nampak lebih wajar lagi.. Yang paling menarik hati Siauw Yang adalah cara nona itu menggelung rambutnya yang hitam panjang. Itulah gelung model utara dan ia ingin sekali mempelajari cara menggelung rambutseperti itu.

   "Orang tua" katanya kepada Bu beng Sin kai sambil tersenyum manis. "jadi kau hendak mendengar keterangan dariku? Aku merasa seakan akan menjadi seorang terdakwa di depan hakim. Baiklah, namun sebelum aku mengakui dosa-dosa ku, aku harus tahu lebih dulu siapa-siapakah sebenarnya tiga orang hakim yang hendak memberi pengadilan kepadaku.?"

   Mendengar kelancaran bicara nona muda yang cantik ini, Bu-beng Sin kai dapat menduga bahwa nona ini tentulah seorang kang-ouw, murid orang pandai. Maka iapun tidak mau berlaku sembrono sebelum mendengar keterangannya, maka ia menjawab sabar, "Aku disebut Bu beng Sin-kai, ini suteku disebut Sam thouw- hok ciang kai, dan nona itu adalah Bi-sin-tung Thio Leng Li, puteri dari pangcu (ketua) kami. Kami bertiga mewakili pangcu mengurus perkumpulan kami dan karenanya kami bertiga disebut Sam lojin oleh para anggauta perkumpulan kami. Nah. aku sudah memperkenakan keadaan kami, sekarang giliranmu untuk bicara sejujurnya, karena kamipun bukan orang orang yang suka berlaku sewenang wenang."

   Mendengar nama-nama itu, Siauw Yang sama sekali tidak mengacuhkan, akan tetapi ketika ia mendengar bahwa nona itupun termasuk dalam sebutan Sam-lojin, diam-diam ia menjadi geli dan juga kaget. Kalau demikian, pikirnya, tentu kepandaiannona itu setingkai dengan yangdua ini.

   "Namaku Siauw Yang," katanya sederhana tanpa memperkenalkan she nya (nama keturunannya) "Memang apa yang dikatakan oleh si muka hitam itu tidak salah. Kau tadi menghendaki jawaban jujur maka aku mengaku bahwa memang aku sengaja mencampuri urusan anak buahmu, dan tentu saja aku mengandalkan kepandaianku. Kalau tidak, bagaimana aku bisa mencampurinya? Memang aku telah merobohkan beberapa orang anggautamu ketika mereka hendak memukul siucai itu, dan kemudian aku mengalahkan muridmu si muka hitam ini dalam pertandingan yang jujur"

   Mendengar jawaban ini, ketiga orang yakni Sam-lojin menjadi merah mukanya. Sungguhpun mereka bertiga maklum bahwa sebagai seorang kangouw, memang besar kemungkinan gadis itu tak dapat tinggal diam saja melihat seorang siucai dihajar oleh anggauta perkumpulan mereka. Akan tetapi cara Siauw Yang menyatakan pengakuannya ini sungguh memandang rendah sekali kepada mereka dan terang-terangan gadis cantik itu tidak menyatakan penyesalan maupun maaf.

   "Nona, agaknya memang ada kesalahpanaman di antara orang-orang kami dan kau, akan tetapi yang terang adalah fihakmu yang salah karena kau mencampuri urusan lain. Akan tetapi, mengingat bahwa kau masih muda sekali, pelanggaran itu tidak terlalu berat. Asalkan kau suka menyatakan penyesalanmu dan minta maaf kepada kami, akan kami habisi saja urusan ini."

   Siauw Yang senang mendengar dan melihat sikap tiga Sam-lojin ini yang dianggapnya cukup cengli (menurut aturan ), akan tetapi dasar dara ini paling suka mengadu kepandaian silatnya, mana ia mau menghabisi sampai di situ saja? Siauw Yang ingin sekali mencoba kepandaian Sam-lojin yang nama julukannya serem-serem itu. Sambil tersenyum ia menjawab.

   "Bagiku mudah saja minta maaf kalau aku merasa bersalah Akan tetapi bukan main sukarnya kalau aku merasa tidak bersalah. Sayangnya, Sam-lojin, pada saat ini aku tidak merasa bersalah! Melihat seorang pemuda lemah dikeroyok oleh orang banyak lalu menolong, bagaimana bisa disebut salah?"

   

Pedang Naga Kemala Eps 26 Pedang Naga Kemala Eps 25 Pedang Naga Kemala Eps 28

Cari Blog Ini