Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 35


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 35




   "Bagaimana rencanamu selanjutnya, Iblis Selatan?" tanya Tung hai Sian jin.

   "Kita membentuk sebuah perkumpulan yang kuberi nama Sam hiat ci pai (Perkumpulan Tiga Buah Jari Berdarah), dan untuk menjadi anggauta perkumpulan ini, kepanduan kalian telah cukup tinggi. Hanya saja, harus lebih dulu meyakinkan dan mempelajari ilmu pukulan tiga jari yang selama ini kulatih dan kuciptakan, agar perkumpulan kita menjadi lebih berpengaruh dan ternama."

   "Apa itu yang kau namakan Sam hiat ci hoat (Ilmu Pukulan Tiga Jari Berdarah)?" tanya pula Tung hai Sian jin ingin tahu sekali.

   Lam hai Lo mo tertawa bergelak lalu bertanya kepada Thio Kim yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja,

   "Thio ciangkun (Panglima Thio), bolehkah aku mempergunakan seorang di antara pengikutmu untuk ujian Sam hiat ci hoat?"

   Thio Kim memang seorang panglima yang dipercaya penuh oleh Pangeran Ciong. Ia telah menyaksikan kehebatan ilmu pukulan tiga jari dari kakek ini, maka ia berkata,

   "Mereka itu adalah orang orang kepercayaan Ciong Siauw ong ya, asal saja locianpwe tidak menewaskan mereka, tentu saja teecu tidak keberatan."

   Seorang pelayan dipanggil, dan masuklah seorang pelayan bertubuh tinggi besar dankelihatannya kuat sekali.

   "Eh, sahabat, apakah kau pernah mempelajari ilmu silat tinggi?" tanya Lam hai Lo mo kepada pelayan itu. Pelayan ini membusungkan dada dan menjawab,

   "Betapapun tinggi ilmu silat yang hamba pelajari, tentu bagi locianpwe tidak ada artinya apa apa. Akan tetapi, hamba pernah mempelajari ilmu silat dan Thio ciangkun sendiri dan di kota kami, hamba disebut Ngo jiauw houw (Harimau Lima Cakar)."

   Lam hai Lo mo tertawa bergelak lalu berkata, "Ngo jiauw houw, awas aku akan menyerangmu."

   Setelah berkata demikian, kakek buntung ini tiba tiba tubuhnya berkelebat maju dan ia memu kul ke arah kepala pelayan itu dengan menggunakan tiga buah jari tangan kirinya, yakni telun juk, jari tengah dan jari manis.

   Pukulan itu demikian lambat dan perlahan sehingga Ngo jiauw houw tidak menjadi gentar. Pelayan yang bertubuh tinggi besar ini mengangkat tangan kanan menangkis pukulan Lam hai Lo mo. Tiga buah jari tangan bertemu dengan lengan tangan yang besar dan berotot, akan tetapi akibat nya hebat sekali.

   Pelayan itu terpelanting, mengeluarkan pekik kesakitan dan ia roboh telentang berkelojotan dan pingsan dengan muka membiru.

   "Saudara saudara, lihatlah kehebatan Sam hiat ci hoat. Baiknya hanya lengannya yang terkena sehingga aku masih dapat mengobati dan menolong nyawanya, kalau bagian tubuh yang berbahaya yang terkena pukulan tadi, tentu ia akan binasa pada saat itu juga."

   Semua orang mendekati dan melihat bahwa pada lengan tangan yang tadi menangkis pukulan tiga jari, terlihat tanda tiga jari tangan yang merah sekali, merah seperti darah atau seperti lukisan tiga jari dari cat merah.

   "Hm, apa anehnya pukulan yang mengandung tenaga lweekang disertai Ilmu Totok Ci meh hoat itu. Hanya benar benar aku tidak mengerti mengapa ada tanda merah pada bekas jari tangan," kata Tung hai Sian jin yang memang seorang ahli dalam ilmu kiam hoat. Lam hai Lo mo tertawa.

   "Biarlah aku hidupkan dulu dia, agar Pangeran Ciong jangan kehilangan seorang tenaga pembantu," ia menghampiri orang yang telah menjadi kaku dan beku itu, menotok iga dan pangkal lengan, lalu mengurut lehernya. Orang itu mengeluh dan dapat bergerak lagi.

   "Kau telanlah tiga butir obat penolak racun ini!" kata Lam hai Lo mo yang segera menyuruh pelayan itu pergi ke luar.

   Semua orang kembali duduk mengelilingi meja.

   "Memang betul seperti dikatakan oleh Iblis Timur tadi, ilmu pukulan yang barusan kuperlihat kan memang tidak aneh bagi seorang ahli. Akan tetapi kalau Cat meh ci hoat biasa saja hanya melumpuhkan tubuh orang atau membikin kaku tidak bisa mendatangkan tanda merah dan terutama sekali tidak bisa mendatangkan hawa beracun ke dalam tubuh orang. Pukulan ini lihai sekali dan kalau kita sudah bersumpah menjadi anggauta Sam hiat ci pai, dalam tiga hari akan dapat mempelajari dari aku. Tentu saja hanya orang orang dengan kepandaian tinggi saja yang dapat mempelajarinya. Dengan ilmu pukulan ini patutlah seseorang menjadi anggauta Sam hiat ci pai."

   Mereka lalu makan minum dan ramai membicarakan pembentukan perkumpulan baru itu.

   Lam hai Lo mo menceriterakan bahwa perkumpulan ini adalah sebagai pengganti Perkum pulan Hiat jiu pai (Perkumpulan Tangan Merah) yang dulu didirikannya juga dan diantara anggota anggotanya, terdapat pula Sam thouw hud dan Pat jiu Giam ong.

   Mereka ramai membicarakan perkembangan perkembangan yang yang mungkin dialami oleh perkumpulan mereka, dan menyebut nama nama para tokoh kang ouw yang kiranya dapat mereka tarik untuk menjadi anggauta perrkumpulan mereka.

   Setelah makan minum selesai dan perut mereka sudah penuh, Lam hai Lo mo berkata,

   "Saudara saudara sekalian jangan khawatir. Pangeran dong berdiri di belakang kita dan sebagai langkah pertama karena Pulau Sam liong to dijadikan pusat perkumpulan, maka mulai seka rang akan dibangun sebuah rumah perkumpulan yang besar sekali, yang dapat menampu sedi kitnya duaratus orang anggauta yang akan bermalam di sini. Semua atas biaya Pangeran Ciong."

   Mendengar ini, semua orang menjadi gembira sekali.

   "Oleh karena itu, marilah sekarang kita resmikan berdirinya Sam hiat ci pai. Kita bersembilan, yakni aku sendiri, See san Ngo sian, Sam thouw hud dan sutenya, dan Tung hai Sian jin, meru pakan sembilan pendiri yang selanjutnya boleh menyebut dia menjadi tokoh tokoh pertama dari Sam hiat ci pai. Oleh karena itu, marilah kita sembilan orang bersembahyang untuk mela kukan sumpah menjadi dewan pengurus Sam hiat ci pai."

   Lam hai Lo mo lalu membagi bagi hio dari sebuah tempat hio dan di situ memang sudah disediakan meja sembahyang yang diatur oleh Thio Kim menurut petunjuk petunjuk dari Ang tung hud yang ahli dalam hal persembahyangan.

   Setiap orang dan sembilan kakek itu mendapat tiga batang hio.

   Lilin di atas meja sembahyang telah dipasang dan ketika Lam hai Lo mo hendak memimpin sembahyang itu, tiba-tiba Tung hai Sian jin berkata,

   "Nanti dulu!" Ia menyalakan tiga batang hio yang dipegangnya, lalu berkata kembali kepada semua orang, "tiga batang hio ini dipergunakan untuk bersembahyang kepada Tuhan, Langit dan Bumi. Karena kita akan sembahyang sebagai sumpah, cukup disaksikan oleh Langit dan Bumi, pusat tenaga Im dan Yang. Adapun untuk Tuhan, cukup untuk memohon berkah. Karena itu, harus ditaruh di tempat yang setinggi tingginya. Aku memberi contoh lebih dulu dan siapa yang tidak dapat menancapkan hio pertama di tempat itu, tidak cukup berharga untuk menjadi anggauta dewan pengurus Sam hiat cit pai!"

   Tanpa menanti jawaban, Tung hai Sian jin lalu melompat ke luar dan cepat sekali tubuhnya melayang ke atas mempergunakan ilmu lompat dengan gerakan It ho ciong thian (Burung Hong Terjang Langit), melayang ke arah puncak pendapa itu.

   Pendapa itu adalah buatan secara darurat, dan di bagian atasnya merupakan tenda kain yang disangga oleh bambu di tengahnya, tinggi sekali dan sukar didatangi orang. Tidak saja amat tinggi, akan tetapi juga tidak ada tempat untuk berpijak.

   Kain tenda itu mana kuat menahan berat tubuh seorang manusia? Oleh karena itu, semua orang memandang dengan penuh perhatian ketika Tung hai Sian jin melompat ke atas.

   Tung hai Sian jin mendemonstrasikan ginkangnya yang indah amat tinggi. Setelah tiba di dekat bambu penahan tenda di puncak pendapa itu, ia merobah gerakan It ho tung thian itu dengan gerakan Koai hong hoan sin (Naga Siluman Membalikkan Badan), tiba tiba tubuhnya terputar terjungkir balik.

   Tangan kirinya menyambar bambu dan dalam keadaan miring itu, ia dapat mempergunakan tangan kiri menahan badannya yang menjadi kaku seperti bambu lain disam bung pada bambu penahan tenda itu.

   Kemudian ia menancapkan sebatang hio di atas bambu penahan tenda dan semua gerakan ini sama sekali tidak membuat tenda maupun bambunya bergerak sedikitpun.

   Setelah sebatang hionya tertancap pada puncak bambu, ia lalu melepas kan pegangan tangan kirinya dan berjumpalitan ke bawah, lalu bergerak indah sekali dengan gerak tipu Sin eng kai ci (Garuda Sakti Membuka Sayap). Kedua lengannya dikembangkan dan kedua kakinya menyentuh tanah tanpa menimbulkan bunyi sesuatu.

   Melihat ini, semua orang memuji.

   Ang tung hud lalu berseru keras dan tubuhnyapun melayang naik, mencontoh perbuatan Tung hai Sian jin tadi.Biarpun ia tidak selihai Tung hai Sian jin, namun ia berhasil juga menancapkan hionya di atas puncak bambu itu dan hanya sedikit saja bambu itu bergoyang goyang.

   Sam thouw hud yang mengerti akan maksud Tung hai Sian jin, tertawa terkekeh kekeh, kemu dian tubuhnya berkelebat cepat sekali dan tahu tahu iapun telah benda di puncak pendapa.

   Kakek ini memang kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada sutenya dan agaknya tidak di sebelah bawah kepandaian Tung hai Sian jin melompat sampai ke puncak bambu lalu mem pergunakan dua kaki nya menjepit bambu itu bagaikan seekor capung saja sehingga dengan enaknya ia menancapkan hionya di puncak bambu.

   Semua ini ia lakukan tanpa menggetarkan bambu dan tenda!

   Lima tosu jubah hijau dari Tibet melihat semua pertunjukan ini dengan senyum dikulum. Seorang demi seorang lalu melompat dan dengan gayanya masing masing dan tersendiri, mereka berhasil menancapkan hionya ke puncak bambu.

   Akan tetapi yang paling hebat adalah Pat jiu sian Si Dewa Bertangan Delapan, orang tertua dari See san Ngo sian. Tidak seperti orang orang lain yang melakukan gerakan melompat memperlihatkan gin kang yang tinggi, ia dengan enaknya berjalan terus, melalui tanah dan kemudian melalui tambang yang mengikat tenda, terus merayap ke atas melewati tenda tenda dan sampai di puncak. Cara ia merayap itu seperu seekor cecak saja.

   Sungguh sukar untuk dapat dipercaya kalau tidak melihat sendiri betapa hebat dan mahirnya tosu dari Tibet ini mendemonstrasikan ilmu yang disebut Pek houw ju chong (Cicak Merayap di Tembok).

   Tidak sembarang orang dapat melakukan hal ini karena membutuhkan ginkang dan khikang yang tinggi sekali. Di samping ginkang dan khikang yang tinggi, juga disertai tenaga hoat sut (ilmu sihir) yang aneh.

   Melihat betapa semua orang dapat menancapkan hio di atas puncak bambu, Lam hai Lo mo tertawa geli,

   "Heh, heh, heh, heh! Iblis Timur memang seperti anak kecil, bisa saja menguji kepandaian orang sudah puaskah kau sekarang melihat punsu (kepandaian) dari sahabat sahabatku? Akupun hendak menyumbang pertunjukan ini!"

   Setelah ia berkata demikian, Lam hai Lo mo mencabut sebatang di antara tiga hionya, lalu mulutnya berkemak kemik membaca mantera. Setelah ia memandang ke arah puncak tenda, ia lalu melemparkan hio itu seperti seekor kunang kunang yang terbang melayang, terus melun cur ke atas dan mencari jalannya sendiri ke puncak bambu dan tahu tahu telah tertancap di atas bambu seakan akan ditancapkan oleh sebuah tangan yang tidak kelihatan.

   Tung hai Sian jin dan semua orang kakek yang berada di situ tersenyum. Mereda maklum bahwa itulah kepandaian hoat sut (ilmu sihir) yang tinggi dan yang hanya dapat dilakukan seorang pertapa yang khusus mempelajari ilmu sihir atau yang boleh disebut juga ilmu hitam. Adapun para pelayan atau pesuruh Ciong siauw ong ya yang kini dapat melihat semua pertunjukan itu, sama sama memandang dengan melongo.

   Satelah semua orang dapat melakukan usulnya, Tung hai Sian jin dan para tokoh besar itu kembali memasuki pendapa dan mulailah mereka bersembahyang, bersumpah akan setia kepada perkumpulan Sam hiat ci pai yang mereka dirikan.

   "Sekarang cu wi sekalian harap bermalam di sini selama tiga hari untuk membelajari ilmu pukulan Sam hiat ci hoat yang lihai," kata Lam hai Lo mo.

   Pada saat itu, terdengar para pelayan yang menanti di luar berteriak teriak seakan akan melihat sesuatu yang dan menakutkan. Kemudian disusul oleh suara "kraak!", di atas pendapa.

   Lam hai Lo mo, Tung hai Sian jin dan yang lain lain cepat melompat ke luar. Mereka meman dang ke atas dan..... di sana, di puncak tiang bambu penyangga tenda, dengan sebelah kaki berdiri tegak di atas bambu itu dan kaki yang lain diluruskan ke depan dan hio hio menyala di tagannya, tampak seorang nenek tua tegak tak bergerak bagaikan patung batu.

   "Mo bin Sin kun...!" Lam hai Lo mo, Sam thouw hud dan Ang tung hud berseni perlahan dengan wajah berobah.

   Tubuh nenek yang tadinya diam seperti patung itu mulai bergerak. "Pinni (aku) datang untuk berurusan dengan Tung hai Sian Jin. Yang lain lain boleh pergi!" Suara ini terdengar tajam mengiris jantung dan menyakitkan anak telinga karena Mo bin Sin kun mengerahkan khikangnya dan suara yang datang dari atas itu lebih nyaring terdengarnya.

   Wajah Tung hai Sian jin menjadi pucat. Ia maklum apa sebabnya nenek sakti itu mencarinya, tentu ada hubungannya dengan penahanannya terhadap Siauw Yang, puteri Thian te Kiam ong itu. Sebelum ia menjawab, Lam hai Lo mo menolongnya dengan suara ketawanya yang mengerikan, yakni seperti ringkik kuda.

   "Hi, hi, hi, hi, Mo bin Sin kun, kau masih sombong dan tinggi hati, tidak melihat orang lain. Ketahuilah bahwa kau sekarang berhadapan dengan sembilan orang dewan pengurus Sam hiat ci pai, dan oleh karena Tung hai Sian jin juga seorang di antara dewan pengunis, segala unisanmu dengan dia otomatis menjadi urusan kami sembilan orang pula!"

   Bergerak sepasang alis Mo bin Sin kun yang sudah berwarna putih, matanya mengeluarkan cahaya menakutkan, tanda bahwa ia marah sekali.

   "Bagus, Lam hai Lo mo, kau memang selalu curang dan pengecut! Kalau begitu, sembilan orang dewan pengurus Sam hiat ci pai boleh berhadapan dengan aku! Terimalah kembali hio kalian yang berbau busuk!"

   Sambil berkata demikian tangan nenek itu bergerak dan menyambarlah sembilan titik api ke bawah bagaikan sembilan buah bintang melayang jatuh, menyambar ke arah sembilan orang tokoh besar itu!

   Biarpun yang disabitkan oleh Mo bin Sin kun itu hanyalah hio hio kecil yang terbuat daripada biting bambu, namun karena dilakukan dengan tenaga lweekang yang lihai, maka bukan tidak berbahaya dan kalau mengenai tubuh seorang biasa saja tentu akan menancap masuk seperti sebatang pedang ditusukkan.

   Akan tetapi, sembilan orang itu bukanlah orang sembarangan. Sekali menggerakkan tangan atau menggerakkan tubuh sambaran hio itu dapat disampok runtuh atau dielakkan dengan amat mudahnya.

   Mo bin Sin kun mempergunakan kesempatan itu untuk melayang turun dengan gerakan yang amat ringan sehingga Lam hai Lo mo sendiri merasa terkejut sekali. Dahulu ia telah berkali kali mengukur tenaga dengan Mo bin Sin kun dan dapat mengetahui sampai di mana kepan daian wanita sakti itu yang membuat ia agak jerih.

   Sekarang tahulah dia bahwa kepandaian wanita ini, makin tua bukan makin lemah, bahkan menjadi makin hebat!

   "Tung hai Sian jin, siluman jahat, kauapakan Siauw Yang cucu muridku? Hayo lekas bilang dan kalau kau mengganggunya seujung rambutnya saja, ini hari kepalamu pasti akan kuhancurkan!!" bentak Mo bin Sin kun marah sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang amat ditakuti oleh banyak penjahat untuk puluhan tahun lamanya, yakni sehelai sabuk merah yang panjang dan sehelai cermin perak yang berkilauan.

   Melihat senjata senjata ini, diam diam berdiri bulu tengkuk Sam thouw hud dan Lam hai Lo mo, akan tetapi oleh karena mereka sekarang bersembilan, sebentar saja rasa takut dan ngeri dalam hati mereka lenyap kembali.

   Sembilan orang kakek itu lalu mengurung Mo bin Sin kun sambil mencabut senjata masing masing dengan sikap mengancam. Pada saat itu terdengar ribut ribut dan ketika semua orang menengok, ternyata bahwa seorang kakek gagah tengah dikeroyok hebat oleh Thio Kim yang berjuluk Si Tangan Seribu dan anak buahnya.

   Ternyata bahwa kakek itu adalah Sin pian Yap Thian Giok, murid Mo bin Sin kun yang datang bersama gurunya.

   Melihat muridnya sudah turun tangan, Mo bin Sin kun mengeluarkan bentakan nyaring dan sabuk merahnya bergerak menyambar ke arah Tung hai Sian jin dengan totokan maut ke arah leher. Tung hai Sian jin tidak berani berlaku lambat, cepat melompat mundur sambil meng gerakkan Liong thouw tung (Tongkat Kepala Naga) di tangannya sambil berkata,

   "Mo bin Sin kun, siapa mengganggu cucu muridmu? Dia kalah bertempur dan kini telah kulepaskan lagi."

   "Bohong! Siapa percaya omongan busukmu?" kata Mo bin Sin kun yang terus menyerang dengan hebatnya. Serangan kali ini bukan hanya dilakukan dengan sabuk merahnya, juga disu sul oleh serangan cermin perak yang selain membuat mata Tung hai Sian jin silau, juga amat berbahaya karena bingkainya yang terbuat daripada perak itu menghantam ke arah batok kepalanya.

   "Celaka!" seru Tung hai Sian jin sambil berusaha sedapat mungkin untuk mengelak dan me nangkis. Namun ia pasti dapat menghindarkan diri dari bahaya maut ini apabila yang lain lain tidak segera turun tangan.

   "Ganas, siluman wanita ganas!" seru Sin lo sian Si Dewa Golok Sakti, orang termuda dari See san Ngo sian sambil menggerakkan golok menyerang Mo bin Sin kun dari belakang.

   Juga yang lain lain segera menggerakkan senjata mereka mengeroyok Mo bin Sin kun yang terpaksa membatalkan serangan mautnya terhadap Tung hai Sian jin untuk menghadapi yang lain lain.

   Pertempuran pecah dengan hebatnya Mo bin Sin kun mengamuk seperti puluhan tahun yang lalu apabila ia menghadapi orang orang jahat. Akan tetapi selama hidupnya, biarpun ia seringkali menghadapi lawan lawan tangguh dan berbahaya, baru kali inilah ia bertempur melawan keroyokan sembilan orang yang rata rata sudah memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.

   Andaikata sembilan orang ini maju seorang demi seorang, tak dapat diragukan lagi bahwa tentu Mo bin Sin kun akan dapat merobohkan mereka satu demi satu, sungguhpun tingkat kepandaian mereka itu hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat kepandaian Mo bin Sin kun.

   Akan tetapi sekarang sembilan orang itu maju berbareng dan terutama sekali ilmu kepandaian Lam hai Lo mo dan Sam thouw hud telah meningkat jauh daripada dahulu. Akhirnya Mo bin Sin kun tak tahan menghadapi gempuran sembilan orang yang berkepandaian tinggi ini dan terdesak hebat sekali.

   Bagi seorang ahli silat setinggi Mo bin Sin kun tingkatnya, apabila menghadapi keroyokan ahli ahli silat yang tidak begitu lihai, makin banyak pengeroyok makin tenang dan untung, karena keroyokan yang dilakukan oleh orang orang yang tidak mengerti ilmu silat tinggi, bahkan mengacaukan jalannya pertempuran dan mengurangi kelihaian masing masing pengeroyok.

   Namun sembilan orang yang mengeroyok Mo bin Sin kun ini adalah tokoh tokah besar, pentolan pentolan aliran agama dan jago jago silat yang telah memiliki pengalaman berpuluh tahun.

   Biarpun mereka mengeroyok seorang lawan, namun gerakan mereka tidak kaku dan terhalang, bahkan mereka otomatis dapat mengatur pengepungan sedemikian rupa seakan akan lebih dulu mereka telah melatih diri untuk maju bersembilan menghadapi seorang lawan!

   Berbeda dengan keadaan Mo bin Sin kun yang payah didesak hebat, Thian Giok lebih berhasil.

   Biarpun ia juga dikeroyok dan kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepan daian gurunya, namun para pengeroyoknya hanya pelayan pelayan yang memiliki tenaga besar dan ilmu silat kasar belaka.

   Yang boleh di pandang hanya Thio Kim seorang, yang memiliki gerakan cukup cepat karena sesuai dengan julukannya, Si Tangan Seribu, ia adalah seorang tukang copet yang mahir.

   Namun, bagi Thian Giok tentu saja ia tidak ada artinya dan jago dari Sian hoa san inipun maklum bahwa di antara semua pengeroyoknya, hanya Thio Kim yang pandai.

   Oleh karena itu, ia sengaja mendesak dan mengerahkan kepandaiannya untuk menyerang Thio Kim sehingga dalam beberapa jurus kemudian, Thio Kim menjerit dan roboh dengan tulang pundak patah tersambar Pek giok joan pian senjata cambuk di tangan Thian Giok yang lihai.

   Para pelayan lain menjadi marah dan memperhebat keroyokan, namun seorang demi seorang dapat dirobohkan oleh jago Sian hoa san yang lihai itu. Senjata rantai atau cambuk Pek giok joan pian telah menjadi merah karena darah lawan yang roboh tewas atau terluka parah.

   Kemudian dengan pandangan mata beringas, Thian Giok melihat betapa gurunya terdesak hebat sekali oleh sembilan orang kakek yang amat lihai. Tanpa memoerdulikan tentang keselamatan diri sendiri, Thian Gok berseru keras dan tubuhnya menerjang ke arah kepungan itu!

   "Thian Giok, jangan maju. Pergi dan larilah dari pulau ini!" seru Mo bin Sin kun, karena wanita sakti ini maklum bahwa bantuan Thian Giok pun takkan dapat memungkinkan kemenangan bagi fihaknya. Ia mendapat kenyataan bahwa sembilan orang pengeroyoknya itu benar-benar merupakan lawan lawan yang tangguh dan lihai sekali.

   Akan tetapi, mana Thian Giok mau mendengar perintah gurunya ini? Ia selamanya taat kepada gurunya, yang dianggap sebagai penolong besar dan pengganti orang tua sendiri.

   Kini, melihat gurunya yang tua itu berada dalam keadaan amat berbahaya, berada di tepi jurang maut, bagaimana ia bisa meninggalkannya dan melarikan diri untuk mencari selamat?

   Tentu saja ia tidak mau dan ia bahkan memutar Pek giok joan pian dengan sengitnya, meme cahkan kepungan gurunya itu. Akan tetapi, Sam thouw hud dan sutenya yakni Ang tung hud segera menyambut kedatangannya dengan serangan hebat.

   Mana Thian Giok sanggup menghadapi dua orang tokoh besar dari Tibet, kepala dari aliran Jubah Hitam ini? Melawan seorang di antara mereka saja ia takkan menang, apalagi sekarang keduanya maju bersama. Setelah memutar Pek giok joan pian sehingga senjata ini putus dan batu batu kemalanya berhamburan, ia tidak dapat mengelak lagi ketika hud tim (kebutan) di tangan kiri Sam thouw hud menotok iganya yang membuat tubuhnya menjadi lemas, disusul pula oleh tongkat merah di tangan Ang tung hud yang menotok lambungnya.

   Thian Giok roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, pingsan dan berada dalam keadaan hampir mati! Melihat ini, Mo bin Sin kun yang amat terdesak itu, menjadi marah sekali.

   Terbangun semangatnya dan dengan kecepatan luar biasa, tanpa menghiraukan ancaman senjata senjata lawan, ia melompat dan menyerang Sam thouw hud dan Ang tung hud.

   Serangannya luar biasa sekali, cermin peraknya menghantam kepala Sam thouw hud sedangkan sabuk merahnya meluncur menotok jalan darah kematian di ulu hati Ang tung hud.

   Ketika itu dengan terkejut dua orang kakek ini mengelak, dua senjata di tangan Mo bin Sin kun tetap mengejar dan menyerang terus! Pada saat itu, beberapa pukulan telah mengenai tubuh Mo bin Sin kun.

   Pedang di tangan Koai kiam sian telah melukai pundaknya, golok di tangan Sin to sian juga telah melukai betisnya, sedangkan pukulan tangan Sin kun sian telah menghantam punggungnya. Akan tetapi semua itu seperti tidak dirasakan oleh Mo bin Sin kun yang terus menyerang kedua orang tokoh Jubah Hitam yang telah merobohkan muridnya itu.

   Dari samping, tongkat ular di tangan Lam hai Lo mo menyambar, terdengar suara keras, tongkat patah dan cermin perak juga pecah! Hampir berbareng, tongkat kepala naga dari Tung hai Sian jin menyambar, terlibat oleh sabuk merah, saling tarik akhirnya sabuk putus menjadi dua akan tetapi tongkat Tung hai Sian jin juga terlepas dari pegangan!

   Namun, Mo bin Sin kun yang sudah kehilangan kedua senjatanya itu masih saja dengan nekad mengejar Sam thouw hud dan Ang tung hud, kini mainkan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu yang hebat. Ketika tubuhnya berkelebat dan kedua tangannya menyambar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat, Sam thouw hud dan Ang tung hud terhuyung sambil menyeringai kesakitan.

   Mereka telah terkena pukulan itu dan menderita luka di dalam tubuh.

   Akan tetapi, karena Mo bin Sin kun mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada dua orang tokok Jubah Hitam dari Tibet itu, maka ia kurang memperkuat penjagaan diri dan memberi kesempatan kepada Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin untuk melancarkan pukulan tangan yang luar biasa hebatnya. Tung hai Sian jin mengerahkan tenaga lweekang pada kedua tangannya yang memukul ke arah dada, sedangkan Lam hai Lo mo juga memukul dengan hebat ke arah lambung nenek sakti itu.

   Mo bin Sin kun mengeluarkan keluhan panjang dan ia terhuyung huyung lalu roboh pingsan.

   Lam hai Lo mo dan yang lain lain lebih dulu menghampiri Sam thouw hud dan Ang tung hud yang duduk bersila mengatur napas, akan tetapi satelah memeriksa bahwa luka mereka tidak membahayakan Lam hai Lo mo lalu tertawa bergelak dan mengeluarkan tiga butir pel putih, diberikan kepada Sam thouw hud dua butir dan kepada Ang tung hud sebutir untuk ditelan.

   Memang luka yang diderita oleh Sam thouw hud lebih berat. Kedua orang hwesio itu sebentar kemudian sadar kembali dan nampak sehat.

   Dengan marah Sam thouw hud dan Ang tung hud hendak membunuh Mo bin Sin kun, akan tetapi Lam hai Lo mo mencegahnya.

   "Saudara saudara, lihatlah betapa pentingnya persatuan yang kita adakan. Baru saja Sam hiat ci pai dibuka, kita telah dapat mengalahkan dan merobohkan Mo bin Sio kun, orang yang amat berbahaya yang memusuhi kita. Dengan adanya Sam hiat ci pai, kita tidak takut menghadapi siapa pun juga. Biar Thian te Kiam ong sendiri maju, akan kita hancurkan dia seperti Mo bin Sin kun dan muridnya ini. Dan untuk lebih mendatangkan pengaruh, lihatlah kelihaian Sam hiat ci hoat yang akan kujatuhkan kepada dua orang musuh besar dan pengacau ini."

   Setelah berkata demikian, Lam hai Lo mo mengerahkan tenaga, menghampiri tubuh Mo bin Sin kim yang masih menggeletak pingsan di atas tanah, lalu menggunakan tiga jari tangannya memukul jidat nenek sakti itu.

   Mo bin Sin kun yang masih pingsan tidak merasa sesuatu, akan tetapi pada saat itu juga nyawa nya meninggalkan raganya. Wajah menjadi biru, demikian pula seluruh tubuhnya, dan pada jidatnya nampak gambar tiga buah jari tangan yang merah sekali.

   Biarpun ia telah tewas dan tubuhnya sudah menjadi mayat, namun warna merah pada gambar itu masih nampak nyata. Lam hai Lo mo tertawa bergelak dan kini ia menghampiri Thian Giok.

   Jago Sian hoa san ini telah siuman dari pinggannya.Ia melihat Lam hai Lo mo menghampiri nya, mencoba untuk menggerakkan tubuh. Akan tetapi ketika Lam hai Lo mo menyerangnya dengan Sam hiat ci hiat, ia tidak kuasa menangkis dan seperti gurunya, iapun tewas setelah berkelojotan sebentar. Keadaannya serupa dengan gurunya, tubuh dan wajahnya membiru sedangkan pada jidatnya terdapat bekas tiga jari yang merah.

   Lam ha Lo mo dan kawan kawannya memeriksa keadaan para pelayan yang diamuk oleh Thian Giok. Empat orang tewas dan yang lain lain luka berat, termasuk Thio Kim.

   "Hebat sekali," kata Pat jin san, orang pertama dari selatan sambil menggeleng geleng kepala.

   "Memang mereka itu ganas sekali," kata Lam hai Lo mo, "oleh karena itu, perkumpulan kita harus diperbesar dan diperkuat. Sekarang kita mengurus para jenazah dan mengobati kawan kawan yang terluka. Adapun mayat kedua orang musuh besar ini jangan dikubur, biar kita gunakan untuk memancing datang Thian te Kiam ong dan kawan kawannya. Ha, ha, ha! Akan ramailah Sam liong to dan pulau inilah yang akan merupakan tempat kehancuran musuh musuh besarku yang telah membuat aku menderita dan menjadi orang cacad."

   Lam hai Lo mo dan kawan kawanya lalu berunding dan sibuk mengatur segala rencana mereka. Mayat Mo bin Sin kun dan Thian Giok tidak dikubur, melainkan digeletakkan saja di dalam gua kosong.

   Mayat para pelayan dimakamkan dan yang terluka dirawat dan diobati. Pesuruh diutus pergi ke kota Tiong te untuk memberitahu kepada Ciong Pak Sui atau Sui Ciong Siauw ong ya agar pangeran ini tahu akan peristiwa hebat itu dan tahu pula bahwa orang kepercayaannya, yakni Thio Kim masih dirawat di Pulau Sam liong to.

   Juga diminta kepada pangeran itu agar mempercepat pembangunan di Pulau Sam liong to, karena perkumpulan San hiat ci pai perlu cepat cepat diperkuat. Adapun delapan orang tokoh atau anggota dewan pengurus Sam hiat ci pai, lalu selama tiga hari mempelajari Ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat yang amat lihai dan sudah mereka saksikan sendiri buktinya itu.

   Lam hai Lo mo mengajar mereka, dan memberi tahu pula akan penggunaan racun ular merah yang hams dipergunakan di jari jari mereka untuk melakukan pukulan Sam hiat ci hoat yang amat dahsyat itu.

   Bong Eng Kiat tidak mempelajari ilmu pukulan ini oleh karena ia tidak termasuk sebagai anggauta dewan pengurus perkumpulan itu. Memang tadi ayahnya, Tung hai Sian jin sengaja mengajukan syarat agar calon dewan pengurus dapat menancapkan hio di atas tiang bambu penahan tenda.

   Hal ini ia ajukan dengan dua macam maksud. Pertama tama agar ia yakin betul bahwa kawan kawan yang bekerja sama dengan dia, betul betul memiliki kepandaian yang tinggi. Kedua kalinya, ia memang hendak mencegah puteranya menjadi anggauta dewan pengurus yang berarti menjadi penanggung jawab pula. Ia maklum akan bahayanya setelah menggabungkan diri pada perkumpulan ini, biarpun bahaya itu dapat dihadapi bersama dengan banyak kawan pandai. Akan tetapi ia ingin agar supaya puteranya tinggal bersih di luar pekumpulan dan tidak terseret seret oleh arus permusuhan dengan tokoh tokoh sakti.

   Dua orang penunggang kuda keluar dari kota Cin an, menuju ke utara. Kuda mereka berjalan cepat di sepanjang jalan besar yang menuju ke kota raja.

   Mereka adalah seorang laki laki dan seorang wanita, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berpakaian rapi dan bersikap gagah. Apalagi kuda yang ditunggangi oleh laki laki itu, amat bagus dan kuatnya, berbulu putih dan larinya seperti tidak menginjak bumi agaknya.

   Gagang pedang yang kelihatan di belakang punggung masing masing, menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang kang ouw yang biasa merantau dikawani pedang. Siapakah dua orang setengah tua yang gagah dan nampak tampan dan cantik pula ini?

   Mereka itu bukan lain adalah Thian te Kiam ong Song Bun Sam dan isterinya yang bernama Can Sian Hwa. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, setelah kedata ngan Yap Thian Giok yang membawa surat peninggalan Pangeran Kian Tiongd an puteri Luilee tentang anak mereka yang diculik oleh seorang kakek berkaki satu, sepasang suami isteni pendekar ini lalu melakukan perantauan, meninggalkan rumah mereka di Tit le.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maksud perantauan mereka ini selain hendak menyelidiki keadaan kakek yang menculik anak sahabat sahabat mereka dan bahkan telah membunuh sahabat sahabat baik itu, juga mereka hendak mencari kedua orang putera puteri mereka yang telah lama meninggalkan rumah, yakni Song Tek Hong dan Song Siauw Yang.

   Oleh karena mereka pergi, maka mereka tidak tahu betapa rumah mereka di Tit le telah dibakar musnah oleh musuh besar mereka, Lam hai Lo mo, bahkan pelayan pelayan mereka telah ditewaskan pula. Memang ganjil sekali keadaan mereka itu.

   Mereka meninggalkan rumah untuk mencari kakek berkaki satu yang bukan lain adalah Lam hai Lo mo sendiri. Sedangkan rumah mereka didatangi dan dibakar oleh musuh besar ini!

   Kuda Pek hong ma (Kuda Angin Putih) yang ditunggangi oleh Song Bun Sam, meringkik ringkik dan melompat lompat tinggi sehingga pendekar pedang itu harus menahannya dengan tarikan pada kendali.

   "Eh, kudamu mengapa begim gembira? Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatiannya," kata Sin
(Lanjut ke Jilid 44)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 44
Hwa kepada suaminya.

   "Tidak terjadi sesuatu. Dia hanya gembira karena telah keluar dari kota yang berdebu dan sempit. Agaknya dia ingin dibawa membalap," jawab Bun Sam sambil tersenyum dan menepuk nepuk leher kudanya.

   "Hem, kuda liar itu selalu saja hendak main balap!" Sian Hwa mengomel, akan tetapi biarpun mulutnya mengomel, nyonya cantik ini lalu menepuk kudanya sendiri dan membalapkan kuda itu, semata mata untuk memberi kesempatan kepada pek hong ma kuda kesayangan suaminya im agar dapat mengejar dan membalap memenuhi seleranya!

   "Kau baik sekali, isteriku yang manis!" Bun Sam tertawa dan berkata kepada kudanya, "Pek hong ma, sekarang kau boleh lari sesukamu!"

   Pek hong ma meringkik dan tiba tiba tubuhnya meluncur cepat sekali, sebentar saja sudah dapat menyusul kuda yang ditunggangi oleh Sian Hwa. Terpaksa Bun Sam menahan sedikit larinya Pek hong ma, karena ia tidak mau meninggalkan isterinya.

   Demikianlah, suami isteri pendekar itu membalapkan kuda sehingga sebentar saja mereka telah tiba di puncak sebuah bukit kecil.

   "Lihat suamiku, alangkah indahnya pemandangan dari sini!" Tiba tiba Sian Hwa menghenti kan kudanya dan menunjuk ke timur. Bun Sam juga menghentikan Pek hong ma dan memandang ke jurusan itu. Memang indah luar biasa pemandangan alam dari tempat itu.

   "Bukit mi termasuk kaki Pegunungan Tai hang di perbatasan Propinsi Hopei dan Santung," kata Bun Sam. "Mari kita mengaso dulu sambil menikmati keindahan alam."

   Mereka berdua turun dari atas kuda yang di biarkan begitu saja. Dua ekor kuda yang sudah jinak itu lalu makan rumput yang hijau dan gemuk, sedangkan sepasang suami isteri itu lalu duduk di atas batu. Angin bukit bersilir mendatangkan hawa sejuk menimbulkan nafsu makan.

   Sian Hwa lalu mengambil bekal makanan roti kering dan arak dari sela kuda dan mereka lalu makan minum sambil mengobrol gembira seperti pengantin baru sedang bertamasya.

   "Lihat, puncak menjulang tinggi di sebelah barat itulah puncak Pegunungan Tai hang," kata Bun Sam sambil menunjuk ke arah barat.

   "Hebat "." kata Sian Hwa sambil memandang ke arah puncak yang dihias mega mega putih.

   "Di tempat sunyi dan penuh dengan tamasya alam ini, kita merasa begini kecil dan tidak berarti."

   Tanpa berpaling kepada isterinya dan dengan pandangan termenung ke arah pemandangan alam yang indah permai itu, Bun Sam mengangguk angguk lalu berkata,

   "Kau benar, isteriku. Alangkah indahnya alam semesta, alangkah besarnya kekuasaan Thian Yang Maha Tunggal dan alangkah sucinya cinta kasih Thian kepada kita manusia hingga seluruh yang ada di permukaan bumi ini, berguna belaka bagi manusia. Bahkan siliran angin pun mendatangkan kesejukan yang begini nyaman...."

   Sian Hwa mengangkat kedua alisnya, memandang kepada suaminya lalu tersenyum dan menggoda, "Eh, ucapanmu seperti syair saja!"

   Bun Sam sadar dan lamunannya, tersenyum dan memandang kepada isterinya dengan muka merah.

   "Tentu saja aku tidak becus sama sekali dalam hal membuat syair kalau dibandingkan dengan kau, isteriku yang pandai."

   "Hush, tak perlu memuji muji, bukankah pada pertemuan pertama kali kau juga membuat syair yang lucu?" Sian Hwa terkenang akan pertemuan pertama antara dia dan suaminya ini dan tak terasa pula ia tertawa geli.

   Memang pertemuan mereka dahulu itu lucu dan menggelikan.

   Bun Sam memandang wajah isterinya yang dalam pandangannya tetap cantik manis tak berubah itu, lalu berkata dengan sungguh sungguh, "Memang, isteriku. Pertemuan kita disaksikan dan diikat oleh syair."

   Keduanya sampai lama tidak mengeluarkan suara, terbenam dalam lamunan masing masing, lamunan penuh kebahagiaan.

   "Mari kita lanjutkan perjalanan kita," ajak Bun Sam.

   "Nanti dulu, kulihat ada orang datang ke tempat ini," kata Sian Hwa.

   Benar saja, seorang petani sebaya dengan mereka usianya, memanggul pacul berjalan terbung kuk bungkuk pada jalan menanjak itu. Pakaiannya sederhana dan kasar bajunya sebagian terbuka di dada karena kancingnya hilang, tubuhnya kurus akan tetapi penuh otot karena biasa bekerja berat dan mukanya agak hangus terbakar sinar matahari, ia bertelanjang kaki dan keadaannya miskin sekali, namun yang menarik perhatian suami isteri pendekar itu, adalah sinar kebahagiaan yang memancar dan wajah sederhana itu.

   "Selamat siang, sahabat!" tegur Bun Sam dengan suara riang dan ramah.

   Petani itu terkejut dan memandang heran serta ragu ragu, benar benarkah "orang kota" ini mau menegurnya begitu ramah? Ia tergopoh gopoh memberi hormat dan berkata,

   "Selamat siang, harap saja ji wi dapat enak beristirahat di tempat ini." Ia membungkuk bungkuk lagi, hendak melanjutkan perjalanannya,

   "Sahabat, duduklah dan mari minum arak dengan kami!" Sekali lagi mata petani itu terbelalak lebar. Benarkah pendengarannya? Benarkah nyonya cantik itu menawarkan duduk dan minum arak kepadanya?

   "Ha".? Hamba..... Hamba...." Akan tetapi ia melihat wajah suami isteri itu tersenyum dan berseri, lalu Bun Sam berkata ramah,

   "Betul, sahabat. Duduklah dan mari minum arak sambil mengobrol!"

   Dengan girang akan tetapi masih terheran heran, petani itu lalu meletakkan paculnya dan duduk di atas batu di hadapan suami isteri itu. Ia menerima cawan penuh arak dari Sian Hwa dan meminumnya dengan lahap.

   "Enak dan harum sekali arak ini," katanya. Sian Hwa memenuhi lagi cawan itu, diterima dengan penuh rasa terima kasih oleh si petani yang memegangi cawan itu sambil memandang kagum.

   "Ji wi amat baik, belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan orang kaya yang seramah ji wi. Terima kasih, terima kasih."

   "Kami bukan orang kaya," bantah Sian Hwa. Petani itu memandang ke arah pakaian Bun Sam dan Sian Hwa, lalu pandangannya melayang ke arah kuda.

   "Biarpun sederhana, namun ji wi berpakaian seperti orang kota, setidaknya ji wi adalah orang orang kota yang berbeda jauh dengan kami di gunung."

   "Di kota atau gunung, tetap saja kita sama sama manusia, sahabat yang baik. Sebetulnya saja, aku sengaja mengundangmu untuk menanyakan suatu hal," kata Bun Sam.

   Dengan sikap siap sedia untuk membantu segala hal yang dapat ia lakukan, petani itu menja wab cepat, "Apakah yang dapat kukerjakan untuk ji wi? Apakah ji wi hendak bertanya tentang jalan? Ataukah mencari rumah untuk bermalam."

   "Tidak, kami sudah hafal akan jalan di sini dan kamihendak melanjutkan perjalanan karena masih siang, belum waktunya bermalam. Yang hendak kutanyakan hanyalah, bagaimana kau yang kelihatan amat miskin dan serba kurangan, bisa kelihatan begitu gembira?"

   Petani itu tercengang, lalu tertawa dan giginya sebelah kiri telah ompong sehingga nampak lucu sekali.

   "Mengapa tidak gembira? Apa yang harus disusahkan?"

   "Apakah keadaan rumah tanggamu cukup?"

   Petani itu menggeleng kepala. "Kami tidak punya tanah, tidak punya kerbau atau kuda. Aku bekerja dengan kaki tanganku, dibantu oleh isteriku dan anakku laki laki berusia empatbelas tahun. Sayang dia sekarang sedang menderita sakit panas, sudah sebulan lebih."

   Bun Sam merasa makin heran. "Kau miskin dan anakmu sakit, bagaimana kau masih bisa bergembira?"

   "Habis, harus bagaimanakah? Penyakit menyerang anak kami bukanlah salah kami, dan kami sudah berusaha mengobatinya. Keadaan miskin memang betul, akan tetapi karena setiap hari aku dan isteriku bekerja, makan cukup dan udara bagus apa guna keluh kesah?"

   "Apakah kau tidak berduka memikirkan anakmu yang sakit?"

   Petani itu mengerutkan kening dan untuk sesaat ia nampak sedih sekali, akan tetapi disambung nya dengan senyum lagi.

   "Alangkah janggalnya pertanyaanmu ini. Orang tua manakah yang takkan hancur hatinya melihat anaknya sakit? Akan tetapi kami telah berikhtiar mengobatinya. Tentang nyawanya, mati atau hidupnya, terserah ke dalam tangan Thian. Keluh kesah dan kesedihan hanya akan menghalang pekerjaanku, membuat aku malas dan mungkin membuat aku sakit. Kalau aku dan isteriku sakit, bukankah lebih payah lagi?"

   Bun Sam dan Sian Hwa kagum mendengar filsafat yang amat sederhana i, namun yang hams mereka akui kebenarannya.

   "Jadi kau berbahagia, sahabat baik?" tanya Bun Sam.

   Petani itu termenung. "Bahagia.....? Apakah bahagia itu?"

   "Apakah kau merasa senang hidup di dunia ini?"

   "Tentu saja!" jawabnya tegas.

   "Kalau begitu kau berbahagia," kata Sian Hwa.

   "Entahlah, mungkin.... mungkin benar aku bahagia kalau begitu. Hm, arakmu enak sekali!" Ia menenggak habis arak ke dua. "Belum pernah aku merasai arak seenak ini Terima kasih, ji wi baik sekali. Wajah ji wi akan selalu kukenangkan dan adapun tentang pertanyaan mengenai kebahagiaan itu..... baiklah akan kurenungkan dan kalau kelak kita bertemu lagi, mungkin aku akan dapat menjawabnya."

   Petani itu lalu menjura, mengambil paculnya dan berjalan pergi dengan tindakan ringan. Bun Sam dan Sian Hwa saling pandang, penuh pengertian.

   Kata kata terakhir petani tadi yang menyatakan betapa enaknya arak yang selamanya belum pernah dirasakan itu, menyadarkan mereka.

   Arak itu biarpun enak bagi mereka, akan tetapi agaknya tidak pernah terasa senikmat petani tadi merasainya. Dan hal ini adalah karena petani itu tidak pernah meminum arak seperti ini!

   Pada saat itu, terdengar bunyi suling dan dan jauh kelihatan seorang anak kecil duduk di atas punggung seekor kerbau sambil meniup sulingnya.

   Anak itu pakaiannya tambal tambalan, tidak bersepatu dan keadaannya lebih miskin daripada petani tadi. Kerbaunya makan rumput sambil berjalan perlahan dan tiupan anak itu membayang kan kesenangan dan ketenteraman hati yang luar biasa, sesuai benar dengan keadaan yang indah di sekitarnya.

   Bun Sam menghela napas panjang dan ketika ia menengok, ia melihat dua butir air mata bertitik di atas pipi isterinya. Bun Sam memegang tangan isterinya tanpa bicara sesuatu, meremas jari jari tangan isterinya dan keduanya tanpa bicara lalu mengambil sisa makanan, dibawa ke kuda mereka dan berangkatlah mereka naik kuda perlahan lahan, turun dari puncak bukit.

   "Itulah kebahagiaan," kata Bun Sam perlahan. "Mereka yang menerima dengan sabar dan tenang segala sesuatu yang menimpa dirinya, yang menganggap pekerjaan sebagai tugas kewajiban hidup yang sewajarnya, yang tidak menginginkan hal hal yang berada di luar jangkauan tangan, yang merasa senang dan puas akan hasil pekerjaannya dan dapat menikmati segala sesuatu yang ada padanya, orang orang seperti itulah yang patut disebut berrbahagia!"

   "Kitapun orang orang berbahagia, suamiku."

   "Tentu saja. Aku punya engkau dan engkau punya aku, kita suami isteri saling mencinta, dan kita mempunyai seorang putera dan seorang puteri sedangkan anak anak kia...." sampai di sini berubah wajah Bun Sam dan alisnya dikerutkan.

   "Hm, tak perlu berkeluh kesah, suamiku. Mereka sudah pergi dan hal ini tak dapat kita robah lagi, kewajiban kita hanya berikhtiar sedapatnya mencari mereka. Apa guna keluh kesah yang hanya akan mengganggu tugas kita, memmbuat kita malas dan mungkin membuat kita sakit?" Sian Hwa mengulangi kata kata petani tadi.

   Bun Sam memandang isterinya, mereka tersenyum dan segera membalapkan kuda menuju ke utara, memasuki Propinsi Hopei. Percakapan dengan petani sederhana tadi bukan tiada gunanya bagi mereka!

   MENJELANG senja, Bun Sam dia Sian Hwa memasuki pintu gerbang kota Kim ke bun. Pada pintu gerbang itu terdapat sebuah ayam batu yang dipasang di atas pintu gerbang, dicat dengan warna kuning emas.

   Inilah lambang kota Kim ke bun yang kelihatannya cukup ramai, penuh dengan bangunan bangunan tembok yang besar.

   Dengan lambat suami isteri ini menjalankan kuda memasuki kota, hendak mencari rumah penginapan. Tiba tiba terdengar orang berseru memanggil dan ketika mereka menoleh, mereka melihat seorang laki laki tinggi besar bermuka hitam. Orang ini kelihatan kasar dan di punggungnya tergantung sebuah pedang, pakaiannya mewah sekali seperti pakaian seorang kaya raya,

   "Song taihiap.... alangkah bahagiaku bertemu dengan Song taihiap dan lihiap yang mulia"."

   Bun Sam dan Sian Hwa saling lirik sambil menahan senyum. Alangkah mudahnya orang berba hagia sungguhpun kebahagiaan yang diutarakan oleh orang muka hitam ini belum tentu aseli. Lagi pula, mereka saling pandang karena merasa heran. Orang ini belum pernah mereka kenal, bagaimana mereka dapat bersikap demikian gembira berjumpa dengan mereka di tempat itu?

   Melihat laki laki tinggi besar itu menghampiri mereka dan menjura dengan penuh sikap hormat, Bun Sam membalas penghormatannya dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.

   "Song taihiap dan lihiap kedatangan ji wi di kota ini bagi siauwte seakan akan bintang bintang jatuh dari langit! Siauwte mengundang dengan penuh hormat, sudilah kiranya ji wi menghadiri pesta pernikahan siauwte malam ini di rumah siauwte yang buruk."

   "Nanti dulu, sobat," Bun Sam tersenyum mendengar ucapan itu. "Sebelum kita melanjutkan percakapan, tolonglah kau memperkenalkan diri lebih dulu. Maafkan kami yang sama sekali tidak ingat lagi siapa adanya kau ini."

   Orang tinggi besar itu mengangkat ke dua alisnya yang lebat, kemudian tertawa sambil menampar kepalanya sendiri.

   "Aha, memang aku yang bodoh dan tolol! Tentu saja ji wi tidak kenal lagi kepadaku. Thian te Kiam ong, siauwte adalah Ouw bin cu Tong Kwat!"

   Kembali Bun Sam dan Sian Hwa saling pandang dengan mulut ternganga. Mereka memang kenal Ouw bin cu Tong Kwat, akan tetapi orang ini dahulu adalah seorang tosu. Bagaimana sekarang telah berobah pakaian seperti seorang hartawan biasa? Kini teringatlah mereka muka orang ini. Inilah orang yang dulu pernah mampir di Tit le dan yang kemudian menurut cerita Tek Hong dan Siauw Yang, telah merebut peta palsu yang dibawa oleh Coa Kim. Orang ini akan menikah? Hampir Bun Sam tertawa. Usia Ouw bin cu Tong Kwat ini sedikitnya sudah empatpuluh dua tahun.

   "Ah, maafkan kami, Ouw bin cu. Bukankah kau dahulu seorang tosu?" secara terang Bu Sam bertanya karena ia memang benar benar heran sekali. Dahulu tosu, sekarang hartawan dan hendak menikah!

   Muka yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi, tanda bahhwa warna merah menjalar di mukanya. Ketawanya masam tanda bahwa dia malu sekali.

   "Sudah lama aku membuang jubah pendeta dan menjadi seorang biasa, taihiap. Sekali lagi kuulangi, mohon ji wi sudi menjadi tamu kehormatan dalam pesta pernikahanku malam ini."

   Bun Sam menghela napas ia tidak tertarik sama sekali untuk menghadiri pesta pernikahan seorang bekas tosu yang sesungguhnya amat menarik hati dan luar biasa.

   "Maaf, Ouw biu cu. Kami lelah dan hendak beristirahat. Kami sedang mencari rumah penginapan."

   "Tak usah, taihiap. Tak usah! marilah bermalam di rumahku saja. Rumahku cukup besar, yang paling besar di kota ini!"

   "Hem, agaknya kau telah menjadi seorang hartawan besar sekarang, Ouw bin cu. Pantas saja kau tidak mau menjadi tosu! Sudahlah, biarkan kami mencari hotel saja, kami tidak mengganggumu, apalagi kau menikah malam ini," kata Bun Sam sambil tersenyum.

   "Apa boleh buat kalau taihiap berkukuh hendak bermalam di rumah penginapan. Mari siauwte antarkan."

   Sambil berkata demikian, Ouw bin cu lalu menuntun kuda Sian Hwa, membawa mereka ke sebuah rumah penginapan yang cukup baik. Sepasang suami isteri itu melihat betapa orang orang yang bertemu di jalan, memberi hormat Ouw bin cu dan mereka itu juga memandang heran melihat Ouw bin cu menuntun kuda yang ditunggangi oleh Sian Hwa.

   Pemilik rumah penginapan menyambut ke datangan mereka sambil membungkuk bungkuk penuh hormat, terutama sekali kepada Ouw bin cu.

   "Tong wangwe (hartawan Tong), selamst dstsng Apakah yang dapat kami lakukan untukmu?"

   "Beri kamar terbaik untuk dua orang tamuku yang terhormat ini. Layani mereka dengan baik baik dan penuh penghormatan."

   "Baik, wangwe, baik!" Para pelayan sibuk menyambut mereka dan kuda serta barang barang sepasang suami isteri ini diatur baik baik oleh mereka.

   "Taihiap, rumah penginapan telah didapatkan. Kuharap taihiap berdua sudi datang mengham piri malam pernikahanku sebentar lagi " Kembali Ouw bin cu mendesak.

   Bun Sam mengerutkan kening. Orang ini benar benar terlalu sekali, mana ada orang mengundang dengan cara memaksa seperti itu?

   "Maaf Ouw bin cu, malam ini kami, malam ini kami hendak beristirahat karena sehari melaku kan perjalanan"

   "Taihiap, ini urusan....urusan jiwa....! Siauwte terancam...."

   "Apa katamu?" Bun Sam memandang tajam.

   "Perkenankan aku menceritakan hal ini didalam kamar agar jangan terdengar oleh lain orang."

   Bun Sam dan Sian Hwa mengangguk dan ketiga orang ini memasuki kamar. Begitu tiba di dalam kamar, Ouw bin cu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun Sam dan Sian Hwa!

   "Eh, eh, Ouw bin cu, permainan apa yang kaulakukan ini?" Bun Sam menegur.

   "Taihiap, kasihanilah saya dan tolonglah saya daripada bencana ini. Sudah berpuluh tahun siauwte menderita, dan sekarang baru saja menikmati hidup sebagai orang biasa dan mau menikah, tiba tiba datang malapetaka."

   "Bangkit dan duduklah. Coba kauceritakan yang jelas," kata Bun Sam.

   Ouw bin cu duduk di atas bangku dengan muka sedih, lalu ia bercerita, ia meminang seorang gadis dusun di luar kota Kim ke bun, pinangannya diterima dan hari pernikahan sudah ditetapkan. Akan tetapi, tiga hari yang lalu, ketika ia dan beberapa orang kawannya sedang bermain catur sambil minum arak, berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu tahu dia dan tiga orang kawannya tertotok kaku.

   Ketika mereka sadar kembali, di tembok ruangan itu telah ada tulisan orang yang mengancam supaya pernikahannya dibatalkan dan supaya ia memberi uang seribu tail perak kepada calon isterinya.

   "Melihat gerakan penjahat itu, terang bahwa dia lihai sekali, taihiap. Tiga orang kawanku itu pun bukan orang sembarangan, akan tetapi berempat dengan siauwte, kami tak sempat bergerak dan tahu tahu telah tertotok. Oleh karena itu melihat kedatangan ji wi berdua, timbul harapan di dalam hati siauwte. Tolonglah siauwte dari ancaman penjahat itu, taihiap."

   Bun Sam dan isterinya terheran. Kepandaian Ouw bin cu ini biarpun bagi mereka tidak ada artinya, namun kalau dibandingkan dengan penjahat penjahat biasa saja, sudah termasuk tinggi. Bagaimana ada penjahat dapat menotoknya bersama tiga kawannya dalam waktu secepat itu? Dan Bun Sam juga merasa ragu ragu, ia maklum bahwa Ouw bin cu bukanlah orang yang mempunyai nama harum, dan tentu penjahat itu mempunyai alasan kuat untuk memaksa dia membatalkan penikahannya.

   "Hm, kalau ada persoalan ini, biarlah kami sekarang juga melihat tulisan d ruang dalam rumahmu itu," kata Bun Sam. Ouw bin cu girang sekali dan menjatuhkan diri berlutut.

   "Tentu, tentu, taihiap. Sebentar siauwte hendak menyuruh orang menjemput ji wi." Dengan girang ia lalu pergi meninggalkan suami isteri itu.

   "Heran sekali," kata Bun Sam kepada isterinya setelah si muka hitam itu pergi. "Siapakah penjahat yang begitu berani?"

   "Memang aneh dan amat menarik untuk diselidiki. Baik bagi kita, karena perjalanan tanpa terjadi sesuatu bisa membosankan," jawab isterinya.

   Setelah mandi dan tukar pakaian, mereka keluar. Benar saja, tiga orang pesuruh Ouw bin cu datang menjemput dan sepasang suami isteri pendekar itu lalu diantar ke rumah Ouw bin cu.

   Rumah itu sebuah gedung besar yang mentereng dan sudah dihias indah. Di ruang depan ada belasan orang tamu duduk menghadapi arak. Mereka ini adalah tamu tamu atau sahabat sahabat dari jauh yang datang lebih dulu.

   Ouw bin cu sendiri menyambut Bun Sam dan Sian Hwa, dan semua tamu berdiri sebagai penghormatan karena mereka sudah mendengar siapa adanya dua orang suami isteri itu. Mereka menandang kagum dan Bun Sam juga melihat bahwa semua tamu itu berpakaian sebagai orang orang kang ouw, maka iapun membalas penghormatan mereka.

   Ouw bin cu langsung membawa Bun Sam dan Sian Hwa ke dalam ruangan di mana penjahat itu datang. Lain orang tidak diperkenankan ikut Ouw bin cu memperlihatkan tulisan di tembok dan kagumlah Bun Sam dan Sian Hwa melihat tulisan yang amat indahnya di tembok yang penuh itu. Tidak sembarang orang dapat menulis huruf huruf demikian indahnya, dengan gaya yang gagah dan halus.

   "Bagus sekali tulisan itu!" Sian Hwa memuji.

   Mereka lalu membaca tulisan itu, sedangkan Ouw bin cu berdiri memandang dengan muka cemas.

   Ouw Bin Cu.

   Batalkan niatmu mengawini Siu Hiang, bebaskan dia dan beri seribu tail perak. Kalau kau membangkang malam hari perkawinan tiba, aku datang mengambil uang dan kepalamu.

   Tidak ada tanda tangan di bawah tulisan itu dan biarpun isinya mengancam, namun tulisan itu bagus seperti hiasan tembok dan cara mengatur kata katanya bukan seperti yang biasa dipergunakan oleh penjahat kasar. Lebih tepat tulisan seorang terpelajar tinggi.

   Bun Sam mengerutkan keningnya, "Ouw bin cu, apakah kau mengawini Siu Hiang ini dengan cara memaksa?"
"Ah, tidak sama sekali, taihiap. Aku melamarnya dengan baik baik dan juga orang tuanya sudah menerima sebagaimana mestinya."

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hm, kalau begitu, penjahat ini berlaku sewenang wenang. Di mana rumah tunanganmu itu?"

   "Di dusun Kan di sebelah barat kota ini, hanya tujuh li jauhnya," jawab Ouw bin cu.

   "Baiklah, aku tidak tinggal terlalu lama di sini, akan tetapi percayalah bahwa kami akan menyelidiki perkara ini dan berjanji akan menangkap penulis ini kalau ia datang. Akupun ingin sekali bertemu dan bicara dengan orangnya."

   Ouw bin cu sudah tahu akan watak pendekar besar ini yang sekali bicara takkan dapat dibantah lagi, dan iapun amat percaya bahwa malapetaka ini tentu akan dapat ditolak oleh Thian te Kiam ong, maka ia menjadi girang sekali dan mengantar kedua orang suami isteri itu sampai di luar gedungnya.

   Sebetulnya, belasan orang yang berada di ruang depan itu adalah jago jago silat kawan kawan Ouw bin cu yang ia datangkan dari pelbagai tempat untuk melindunginya. Namun, melihat kelihaian penjahat yang mengancam, ia masih merasa gelisah. Sekarang dengan adanya Thian te Kiam ong dan isterinya, ia menjadi lega dan beranilah ia minum arak dan bersenda gurau dengan kawan kawannya.

   Adapun Bun Sam dan Sian Hwa setelah keluar dari gedung itu lalu berunding.

   "Untuk mencari tahu akan rahasia ini, aku harus menyelidiki rumah Siu Hiang itu. Kalau memang Ouw bin cu berlaku sewenang wenang dalam pernikahannya, aku membenarkan ancaman penjahat itu, sungguhpun aku tidak setuju kalau ia membunuh Ouw bin cu tanpa ada kesalahan yang amat besar. Isteriku, kau naiklah ke atas genteng rumah Ouw bin cu dan berjaga sebentar di sana. Aku takkan pergi lama, hanya akan menyelidiki ke dusun Kan si."

   "Baik!" Sian Hwa mengangguk dari dengan gerakan lincah nyonya ini lalu melompat ke atas genteng rumah terdekat dan meloncat loncat menuju ke rumah Ouw bin cu.

   Bun Sam memandang sebentar ke arah bayangan isterinya, lalu ia berlari cepat sekali ke arah barat.

   Kepandaian ilmu lari cepat dari Thian te Kiam ong sudah mencapai tingkat tinggi sekali maka sebentar saja ia sudah tiba di dusun Kan si. Mudah saja baginya untuk mencari rumah dari Siu Hiang, karena di antara rumah rumah sederhana dan miskin di dusun itu, terdapat sebuah rumah yang dihias seperti kalau sedang merayakan pesta pernikahan, ia melihat beberapa orang tetangga rumah itu berkumpul di ruang depan. Segera Bun Sam melompat ke atas genteng dan mengadakan penyelidikan ke bagian belakang.

   Usahanya berhasil baik sekali karena tiba tiba ia mendengar suara isak tangis tertahan dari dalam sebuah kamar ia cepat menghampiri dan mengintai dari atas genteng. Dilihatnya seorang gadis muda yang memakai pakaian baru tengah duduk menangis di atas pembaringan, sedangkan di depan pembaringan duduk sepasang suami isteri petani di atas bangku. Suami isteri ini sedang memberi nasehat nasehat kepada puterinya itu.

   

Pemberontakan Taipeng Eps 5 Pedang Naga Kemala Eps 37 Pedang Naga Kemala Eps 12

Cari Blog Ini