Pedang Sinar Emas 4
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Bun Sam baru berusia enam tahun lebih. Mana bisa ia menangkap pelajaran ini dengan baik? Namun, samar samar ia dapat juga mengerti dan tiba tiba ia memandang pada suhunya dengan tajam dan bertanya,
"Kalau begini, suhu. Apakah tecu kelak tidak boleh membalas dendam kepada barisan Ang Bi Tin yang membunuh ayah? Apakah teecu tidak boleh menganggap mereka itu sebagai sebab yang mendatangkan kecelakaan kepada teecu sekeluarga?"
Mata kakek itu bersinar, ia girang bahwa muridnya yang masih kecil ini mempunyai kecerdikan luar biasa.
"Memang demikianlah maksudku, Bun Sam. Seperti halnya batu batu tadi, mereka itu terdorong oleh sesuatu, maka mereka melakukan pembunuhan terhadap ayah bundamu. Sebagai muridku, kelak kau hanya boleh melakukan sesuatu demi kebenaran sama sekali tidak boleh kau melakukan perbuatan berdasarkan perasaan sakit hati atau marah!"
Ketika Bun Sam masih berdiri bingung karena sesungguhnya kata kata suhunya ini merupakan pukulan hebat bagi perasaannya yang selalu mengandung dendam terhadap Ang bi tin.
Tiba tiba terdengar suara keras di sebelah kanan. Bun Sam cepat menengok dan ia menyaksikan sesuatu yang benar benar mendebarkan hatinya. Di tempat terbuka terjadi pertempuran mati matian dan hebat sekali antara Siauw liong ular peliharaan suhunya, melawar seekor burung rajawali besar dan gagah sekali.
Burung itu menyambar nyambar dari atas dengan sepasang cakar dan patuknya bergerak ke arah ular itu.
Akan tetapi Siauw liong ternyata bukan seekor ular biasa yang mudah menyerah terhadap serangan burung rajawalitu. Dengan cepat nya Siauw liong lalu melingkarkan tubuhnya dan kini hanya kepala dan ekornya saja yang berdiri di atas lingkaran tubuhnya, merupakan dua penjaga yang amat kuat!
Ular ini siap sedia dan tiap kali rajawali itu datang menyambar, selain mengelak ia pun lalu menyabetkan ekornya ke arah burung itu dan mulutnya yang terbuka lebar dengan gigi runcing membalas dengan serangan hebat!
Tentu saja pemandangan ini amat menarik hati Bun Sam. Ketika Siauw liong berhasil menyabetkan ekornya untuk menangkis terkaman rajawali, beberapa helai balu burung itu terlepas dan melayang ke bawah.
"Bagus, Siauw liong, bagus sekali! Pukul jatuh padanya!" Bun Sam berteriak girang sambil bertepuk tangan.
Burung rajawali yang sedang berkelahi dengan Siauw liong dan terkena sabetan ekor ular besar itu, ketika mendengar sorakan Bun Sam, agaknya menjadi marah sekali kepada anak ini!
Seakan akan mengerti ucapan Bun Sam yang menjadi lawannya, ia menjadi marah kepada anak ini dan cepat ia menyambar ke arah Bun San sambil mengeluarkan pekik nyaring.
Biarpun serangan itu cukup cepat namun mata Bun Sam yang sudah terlatih baik itu dapat melihatnya dengan baik dan dengan tenang ia dapat melompat untuk menghindarkan diri dari serangan ini.
Akan tetapi tetap saja ia menjadi pucat bukan karena serangan itu, akan tetap karena melihat betapa burung ini benar benar hebat dan menyeramkan. Setelah dekat barulah ia melihat betapa burung ini besar sekali dan matanya seperti emas berkilauan dan pekiknya nyaring memekakkan telinga.
Melihat serangannya dapat dielakkan, burung itu makin marah dan ia agaknya telah lupa kepada ular yang tadi diserangnya. Kemarahannya telah pindah kepada Bun Sam yang berdiri sambil tersenyum mentertawakannya.
Kembali ia menyambar anak itu, kini dengan cakar dan sayap memukul, akan tetapi Bun Sam yang gesit kembali melompat ke kiri dan burung itu menerkam tempat kosong.
Akan tetapi ternyata burung ini luar biasa sekali karena biarpun menubruk tempat kosong, ia dapat membalikkan tubuh di udara demikian cepatnya, sehingga sebelum Bun Sam dapat bersiap siap burung itu kembali telah menubruknya dari samping.
Kim Kong Taisu semenjak tadi hanya menonton saja sambil mengelus elus jenggotnya yang panjang. Bahkan sekarangpun ketika Bun Sam terancam bahaya serangan yang ketiga kalinya ini, kakek itupun masih tenang tenang saja.
Akan tetapi pada saat itu, bayangan hitam dari Yap Bouw menyambar dan burung itu terpental jauh ketika tangan Yap Bouw yang kuat mendorongnya ke belakang dalam usahanya menolong Bun Sam.
Burung itu mengeluarkan pekik lebih nyaring dari pada tadi dan kini ia melayang layang di atas kepala Yap Bouw, kembali berganti lawan.
"Yap Bouw, jangan bunuh dia! Tangkap hidup hidup!" kata Kim Koog Taisu dengan wajah berseri gembira.
Burung itu setelah melayang layang beberapa kali agaknya lebih berhati hati menghadapi si baju hitam yang ternyata sanggup mendorongnya sedemikian kerasnya.
Kemudian ia memekik keras dan tubuhnya menyambar ke bawah bagaikan batu besar jatuh dari atas, menuju ke arah kepala Yap Bouw.
Si muka tengkorak ini cepat mengejek, tidak seperti Bun Sam tadi dengan jalan melompat jauh, melainkan hanya miringkan tubuhnya, sehingga sayap dan ekor burung itu hanya lewat beberapa dim saja dari tubuhnya. Sambil miringkan tubuh, Yap Bouw mengulur tangan kirinya, merangkap kedua kaki burung itu.
Akan tetapi tak disangkanya bahwa burung itu demilikan cerdiknya. Ketika melihat lawan nya menyambar kaki, burung itu menarik kakinya, menyembunyikan di dalam bulu di bawah dada, sehingga Yap Bouw menangkap angin.
Burung itu terbang lagi melayang layang di atas kepala Yap Bouw sampai beberapa kali sambil mengeluarkan pekik pendek pendek yang bunyinya seperti suara ketawa orang yang tua mengejek.
Yap Bouw yang tidak bisa bicara itu nampak nya gemas juga. Ia mengepalkan tangan kanannya dan diacung acungkan ke atas, ke arah burung itu dalam sikap menantang. Tentu saja bekas jenderal ini marah dan mendongkol sekali.
Dia bekas jenderal yap Bouw yang pernah menjadi seorang panglima gagah perkasa dan telah merobohkan entah berapa banyak panglima besar musuh, seorang yang terkenal ahli siasat perang dan memiliki ilnu silat tinggi, yang pernah menjatuhkan Ulan Tanu dari Mongol yang tersohor, sekarang tidak berdaya menghadapi seekor burung.
Kembali burung rajawali bermata emas itu menyambar turun kini dengan kedua cakar terpentang di kanan kiri agak berjauhan dan selain itu juga sepasang sayapnya menyabet nyabet dan patuknya yang panjang besar dan kuat itu menyerang seperti sebatang tombak. Akan tetapi Yap Bouw tidak menjadi gugup.
Kalau saja burung itu tidak memiliki kelebihan daripadanya, yakni sepasang sayap yang membuat binatang itu dapat terbang, dalam segerakan saja Yap Bouw sanggup menangkap atau setidaknya mengalahkannya.
Yap Bouw menghadapi serangan yang hebat ini dengan menyuruk ke depan dan mengibaskan kedua lengannya melindungi kepala, sehingga ia berbasil menerobos melalui bawah tubuh burung itu dan berhasil pula menangkap kedua kaki yang mencengkeram.
Kemudian secepat kilat ia membalikkan tubuhnya dan sekali menggerakkan tangan, ia dapat menangkap ekor burung dengan tangan kanan dan leher burung itu dengan tangan kiri.
"Ha, sekarang tertangkaplah kau!"
Bun Sam yang semenjak tadi menonton pertempuran itu dengan mulut ternganga saking kagumnya, kini bersorak kegirangan. "Suhenng, jangan lepaskan ayam terbang itu!"
Sengaja Bun Sam menyebut burung itu ayam terbang untuk mengejeknya.
Akan tetapi benar benar di luar dugaan Yap Bouw bahwa burung itu masih dapat melepaskan diri.
Ketika merasa lehernya, terpegang oleh tangan yang amat kuat, kedua cakarnya lalu mencengkeram ke depan. Untuk melindungi kulit lengannya dari cakaran kuku yang lebih runcing daripada pedang itu, terpaksa Yap Bouw melepaskan leher dan berganti memegang sebelah kaki.
Akan tetapi kembali patuk yang kini lehernya telah bebas itu menyerang bukan ke arah tangan lawan, melainkan ke arah mata Yap Bouw. Bukan main hebatnya serangan itu.
Kalau bukan Yap Bouw yang diserang, mungkin orang akan menjadi buta atau sedikitnya rusak mukanya. Yap Bouw berlaku waspada. Ia melepaskan pegangannya pada kaki burung, menangkis.... sambil membetot ekor burung sekerasnya, sehingga serangan burung itu terbetot ke belakang dan tiga helai bulu pada ekornya yang panjang dan.... itu terlepas trcabut oleh Yap Bouw yang mempergunakan tenaganya.
Burung itu memekik keras seperti merasa kesakitan lalu meronta sekuat tenaga, sehingga tak tertahan lagi oleh Yap Bouw, kemudian terbang ke atas sambil melepas kotoran dari bawah ekornya. "Serangan" yang curang ini benar benar tak disangka oleh Yap Bouw, sehingga biarpun ia melompat pergi, tetap saja beberapa bagian dari kotoran yang cair menghitam itu masih mengenai lengan nya, menimbulkan bau yang tidak sedap.
Mau tak mau Bun Sam tertawa geli dan baru mendekap mulutnya ketika Yap Bouw memandang nya dengan mata mendelik. Kim Kong Taisu iuga tersenyum, lalu berkata,
"Benar benar seekor Kim gan tiauw (Rajawali Bermata Emas) yang cerdik dan kuat."
Selelah berkata demikian kakek ini mengulur tangannya dan tahu tahu kain pengikat kepala Bun Sam telah di renggutnya terlepas. Kakek ini lalu memutar mutar kain pengikat kepala itu dan tiba tiba dilontarkannya kain yang sudah berbentuk tali itu ke atas, ke arah Kim gan tiauw yang masih terbang berputaran sambi1 matanya memandang ke arah tiga orang manusia yang menggangunya.
Tali kain itu melayang cepat sekali bagaikan seekor ular terbang dan dengan tepat menyambar ke arah paruh Kim gan tiauw.
Burung itu mungkin mengira bahwa yang menyerangnya ini tentulah seekor ular, maka cepat ia mematuknya.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mematuk tengah tengah tali seperti ular itu, patuknya merasai tubuh yang lunak dan kepala serta ekor dari "ular" ini terus membelit kedua sayapnya.
Burung ini menggerak gerakkan sayap dan kedua kakinya, akan tetapi makin keras ia bergerak makin ruwetlah tali itu melibat leher dan sayap. Sambil memekik mekik ketakutan, bagaikan sebuah batu besar dilepaskan dari atas, burung itu jatuh ke bawah.
"Yap Bouw sambut dia! Kalau menimpa karang ia akan mati!" kata Kim Kong Taisu.
Si muka tengkorak cepat melompat dan dengan tepat sekali ia dapat menyambar kaki burung itu sebelum tubuh burung itu hancur menimpa batu karang.
Tanpa menanti perintah lagi, Yap bouw lalu melepaskan tali pengikat kepalanya yang panjang untuk diikatkan kepada kedua kaki binatang itu dan sambil memegangi lehernya agar patuk nya tidak menyerangnya, Ia memanggul binatang yang besar itu menghampiri gurunya.
Kim Kong Taisu memandang ke arah burung itu dan meneliti kepala dan sayapnya.
"Benar benar Kim gan tiauw yang datang dari utara. Bagaimana ia bisa sampai di sini? burung ini adalah raja burung di daerah utara dan dalam hal kecerdikan serta kekuatan, mungkin hanya Pek bin eng (Garude Muka Putih) saja yang dapat mengimbanginya. Berbeda dengan garuda, burung rajawali ini mudah dijinakkan."
Setelah berkata demikian, Kim Kong Taisu lalu menotok pangkal leher dan pangkal kedua sayap burung itu.
"Sekarang boleh dilepaskan ikatannya," kata nya kemudian.
Yap Bouw lalu melepaskan ikatan pada burung itu, burung itu berdiri di atas kedua kakinya dan Bun Sam menjadi makin kagum saja karena tinggi burung itu tidak kalah olehnya.
Dengan amat gagah burung itu berdiri dengan dada di angkat kedepan dan kepala tegak. Akan tetapi ketika ia hendak menggerakkan leher dan sayap untuk terbang ia kecele, karena sayapnya telah menjadi lumpuh oleh totokan tadi. Juga ketika ia hendak menverang dengan petuknya, lehernya terasa sakit sekali.
Maka tahulah dia bahwa kakek di depannya ini bukan tandingannya. Ia diam saja dan menurut saja ketika Yap Bouw mengajaknya pergi dari situ. Bahkan ketika Siauw liong merayap menghampri nya dan dengan hidungnya mencium cium kakinya burung ini hanya melirik dengan gelisah saja. Bun Sam mau tidak mau tertawa juga ketika melihat sikap Siauw liong, ular jinak ini yang seperti seekor anjing saja.
Berkat kesaktian Kim Kong Taisu, Kim gan tiauw ini dapat dijinakkan dan mulai hari itu Bun Sam mempunyai seorang sahabat baru lagi.
Oleh Kim Kong Taisu, burung rajawali itu diberi sama Sin tiauw (Rajawali Sakti). Datangnya burung ini merupakan keuntungan besar bagi Bun Sam karena pertempuran antara burung dan ular itu memberikan inspirasi kepada kakek ini untuk menciptakan sebuah ilmu silat yang diambil dari gerakan ular dan rajawali itu.
Setelah burung itu menjadi jinak benar, beberapa kali Kim Kong Taisu menyuruh kedua binatang itu bertempur dan dengan penuh perhatian ia menonton pertempuran ini untuk dipetik gerakan gerakan yang baik untuk memperlengkapi ilmu silat yang diciptakannya.
Beberapa bulan kemudian, terciptalah dua macam ilmu silat, keduanya ilmu silat tangan kosong yang disebut Ilmu Silat Sin tiauw ciang hwat dan Siauw liong kun hwat (Ilmu Silat Rajawali Sakti dan Ilmu Silat Naga Kecil).
Ilmu silat ini sama kuat, sungguhpun masing masing mempunyai keistimewaan sendiri dan Bun Sam menerimma latihan ilmu silat dua macam ini sebagai pemilik tunggal. Yap Bouw sendiri tidak mempelajari ilmu silat ini.
(Lanjut ke Jilid 05)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
Karena Setiap hari Bun Sam bermain main dengan Sin tiauw dan Siauw liong dan ada kalanya secara main main "bertempur" melawan kedua binatang yang telah jinak seperti kucing atau burung peliharaan ini, maka diam diam ia dapat menyempurnakan gerakan ilmu silatnya meniru gerakan kedua kawannya ini.
Bahkan ia menemukan gerakan gerakan kedua binatang ini yang benar benar lihai, gerakan gerakan yang terlewat oleh pandang mata kim Kong Taisu yang tidak begitu dekat perhubungannya dengan Siauw liong dan Sin tiauw.
Oleh karena itu, tanpa disadarinya ilmu silat Sin tiauw ciang hwat dan Siauw liong kun hwat yang dimiliki oleh Bun Sam menjadi lebih masak dan sempurna.
Kita tinggalkan dulu Bun Sam yang belajar ilmu kepandaian dengan amat tekun dan rajin di puncak Gunung Oei san di bawah gemblengan suhunya, Kim Kong Taisu dengan bantuan suheng nya, Yap Bouw bekas jenderal yang ternama itu.
Sian Hwa, puteri tunggal dari Can kauwsu (guru silat Can) atau Can Goan, semenjak berusia tiga tahun telah ditinggal mati oleh ibunya. Dan semenjak itu, sampai berusia empat tahun ia hidup berdua saja dengan ayahnya.
Can Goan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang dan semenjak anak ini dapat bicara, ia telah menceritakan segala macam dongeng tentang kegagahan pada Sian Hwa.
Can Goan sebagai seorang ahi silat yang gagah dan tabah sekali, tanpa disadarinya telah menjejali ketabahan dan keberanian yang luar biasa dalam diri puterinya. Bahkan ia sering kali menceritakan tentang pendekar pendekar wanita yang pantang menangis, sehingga Sian Hwa setelah berusia empat tahun merasa malu untuk menangis.
Memang anak ini kadang kadang menangis, akan tetapi tangisnya tidak bersuara. Hanya air matanya saja yang membasahi pipi akan tetapi ia menekan isak dan sedu sedan. Ayahnya sendiri sering kali merasa heran melihat kekerasan hati anaknya yang masih kecil itu.
Demikian pula, ketika ditangkap oleh Bucuci setelah ayahnya dibunuh dan rumahnya dibakar, Sian Hwa sama sekali tidak menangis. Memang betul air matanya mengalir saking menahan sakit ketika ia dibawa keluar dari rumahnya dengar rambut di jambak oleh Bucuci, seperti seekor kelinci. Akan tetapi tak pernah ia berteriak atau mengeluh. Sungguh seorang anak yang luar biasa dan jarang dicari duanya.
Ketika Bucuci memondongnya dan tidak jadi melemparnya ke dalam api, bahkan lalu membawanya lari, Sian Hwa tidak menjadi takut. Baru ia merasa ngeri ketika melihat betapa cepat larinya orang yang pakaiannya dipasangi kerincingan ini. Memang luar biasa sekali cepatnya, seakan akan kedua kaki Bucuci tidak menginjak tanah.
"Ha. ha, ha, kau patut menjadi anakku, kau tabah dan berani sekali," berkali kali Bucuci tertawa seorang diri sambil mempercepat larinya.
"Aku tidak mau menjadi anakmu. Aku anak ayah, aku ingin pulang kepada ayah!" tiba tiba Sian Hwa menjawab kata kata Bucuci dengan suara nyaring.
Bucuci tertawa lagi. "Ayahmu? Ha, ha, ha! Akulah ayahmu, kau harus menjadi puteri seorang yang gagah perkasa, harus mempunyai seorang ibu yang cantik jelita seperti Kui Eng."
"Ayahku seorang gagah perkasa," kata Sian Hwa lagi.
Mendengar ini, Bucuci menunda larinya. Ia memandang kepada wajah anak itu yang menentang matanya dengen berani.
"Anak tikus! Ayahmu itu orang apa Menghadapi Ngo jiauw eng saja sudah mampus. Kau mau lihat orang gagah? Inilah dia, aku Bucuci ayah mu. Lihat, apakah orang she Can itu sanggup menandingi tenaga dan kepandaianku?" ia menurunkan Sian Hwa di pinggir jalan, kemudian bagaikan seorang mabuk, Bucuci tertawa tawa dua menghampiri sebatang pohon yang besarnya melebihi tubuhnya sendiri.
Dengan cepat ia menggerakkan kedua tangannya sambil berseru keras sekali dan" batang pohon itu patah pada tengah tengahnya, lalu tumbang bagaikan ditebang saja.
"Ha, ha, ha, dapatkah dia menyamai tenagaku? Dapatkah dia menandingi kecepatanku?" Sambil berkata demikian, tubuhnya yang pendek tiba tiba lenyap dari pandangan mata Sian Hwa yang sejak tadi memandang dengan kagum.
"Ha, aku di sini, anakku!"
Ketika Sian Hwa menengadah, ternyata orang itu telah berada di puncak pohon yang tinggi, kemudian bagaikan seekor burung saja, Bucuci melayang turun, menyambar tubuh Sian Hwa yang dibawanya melompat naik ke atas pohon yang tadi pula.
Sian Hwa merasa seakan akan jantungnya hendak copot, mukanya pucat akan tetapi biarpun ia ketakutan sekali melihat tanah yang demikian dalamnya di bawah kakinya. ia tidak mau berteriak.
"Katakan sekarang, apakah aku tidak lebih gagah perkasa dari pada ayahmu yang telah mampus itu?"
Sian Hwa baru berusia empat tahun. Tentu saja belum begitu pandai menangkap pembicaraan orang. Akan tetapi harus diakui bahwa kepandaian orang ini benar benar hebat, melebihi ayahnya. Dia semenjak kecil telah dididik kejujuran oleh ayahnya, maka katanya terus terang,
"Memang kau lebih gagah perkasa."
Bukan main girangnya hati Bucuci. Sungguh mengherankan, ribuan orang dewasa setiap hari memuji muji kepandaiannya akan tetapi semua pujian itu diterimanya dengan perasaan jemu.
Akan tetapi sekarang, pujian yang keluar dari mulut anak kecil ini, membuat ia berdebar girang dan bangga, ia membawa Sian Hwa melompat turun lagi sehingga anak itu terpaksa memicingkan kedua matanya.
"Sekarang akulah ayahmu karena aku lebih gagah," kata Bucuci pula. "Dan kau akan mempunyai ibu yang bijaksana dan cantik seperti bidadari. Dan kau akan menjadi puteri Bucuci yang cantik seperti ibunya dan gagah seperti ayahnya."
Sambil berlari lari cepat, Bucuci berkata kata terus didengar tanpa dijawab oleh Sian Hwa yang hanya mengerti setengah setengah.
Bucuci membawa lari Sian Hwa sampai setengah malam lebih dan setelah fajar menyingsing barulah ia tiba di tempat tinggalnya, yakni di sebuah kota yang berada di sebelah barat kota raja Sian Hwa telah tidur nyenyak dalam gendongannya karena lelah.
Rumah Bucuci adalah sebuah rumah besar dan kuno, bekas rumah seorang panglima Han yang telah gugur dan semua penghuninya telah dibasmi habis.
Baru saja sampai di pekarangan depan, Bucuci telah berseru girang dengan suara yang amat keras dan nyaring.
"Kui Eng,... manis".! Keluarlah dan lihat apa yang kubawa untukmu".!"
Teriakannya ini amat keras, sehingga Sian Hwa yang tidur menjadi kaget dan terbangun. Akan tetapi, lebih cepat lagi adalah gerakan Bucuci karena baru saja gema suaranya lenyap, ia telah berada di ruang depan.
Memang Kui Eng, isterinya yang baru itu mendengar suaranya ini, akan tetapi sebelum ia keluar, Bucuci telah masuk ke dalam kamarnya.
Hal ini tidak mengherankan Kui Eng, karena ia tahu bahwa suaminya ini memang memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.
Kui Eng bukanlah seorang wanita yang keras hati dan yang berani berlaku nekat. Memang ia amat berduka karena suami dan keluarganya dibunuh dan ia dipaksa menjadi isteri Bucuci, akan tetapi ia tidak berani membunuh diri.
Dengan hati hancur ia menyerahkan diri kepada nasib dan berusaha sedapat mungkin untuk menjadi isteri yang baik dan untuk mencari kebahagiaan baru dalam pernikahan paksaan ini.
Ia akui bahwa terhadap dia, Bucuci amat menyayang, penuh perhatian dan cinta kasih, sehingga boleh dibilang suami baru ini akan suka minum arak dari sepatunya.
Akan tetapi, biarpun Kui Eng hidup mewah dan terkasih, ia selalu tak dapat melupakan anaknya yang terbunuh pula dalam amukan barisan Ang bi tin.
Biarpun bukan Bucuci yang membunuh anaknya, akan tetapi ta menganggap secara tidak langsung, suaminya yang baru inilah yang mengakibatkan kematian anaknya yang terkasih.
Kui Eng memang cantik jelita, benar seperti yang dikatakan oleh Bucuci terhadap Sian Hwa. Nyonya ini berusia antara duapuluh dua tahun dan selain cantik jelita, juga amat pandai membuat syair, melukis dan menyulam.
Wataknya halus dan lemah lembut maklum seorang wanita terpelajar dan bekas isteri seorang panglima.
Di pagi hari itu, Kui Eng nampak makin cantik dengan rambutnya yang kusut, sehingga untuk kesekian kalinya Bucuci berdiri di ambang pintu dengan mata terpesona. Untuk kesekian kalinya ia jatuh cinta kembali kepada isterinya yang baru ini.
Akan tetapi Kui Eng tidak melihat kepadanya karena nyonya ini sedang memandang dengan mata terbelalak kepada Sian Hwa.
"Siapakah dia"..?" ia bertanya dengan suara perlahan.
Bucuci tertawa girang. "Coba terka siapa dia? Dia adalah" anakmu, Kui Eng, anak kita. Manis bukan? Kau suka padanya?"
Kemudian sambil membelai rambut Sian Hwa. Bucuci berkata. "Nah itulah ibumu, nak. Cantik sekali bukan? Kalian memang cocok sekali menjadi ibu dan anak."
Akan tetapi Kui Eng telah melompat, turun dan setengah berian menghampiri mereka. Dipondong nya Sian Hwa dengan mata basah dan mulut tersenyum karena ia merasa terharu, girang dan sedih.
Ia dapat menduga bahwa anak ini tentulah anak yang dipilahkan dengan paksa dari orang ruanya. Ia telah mendengar tentang pekerjaan suaminya sebagai perwira Ang bi tin.
"Anakku manis, siapakah namamu?" sambil mencium jidat Sian Hwa, Kui Eng bertanya.
Sikap dan suaranya amat manis dan halus, sehingga San Hwa menjadi suka sekali. Anak ini sudah hampir lupa akan ibunya dan kini mendapatkan ibu yang demikian ramah tamah, tentu saja ia menjadi amat terhibur.
Hati yang kecil itu penuh oleh perasaan terharu dan ketika ia didekap oleh nyonya itu ke dadanya, tak dapat tertahan lagi menangislah Sian Hwa terisak isak.
Bucuci menjadi bengong menyaksikan hal ini. Anak itu tadi tak pernah menangis, bahkan ketika dijambak keluar dan rumah dan hendak dilempar ke dalam api, tak pernah mengeluh atau menangis, akan tetapi sekarang sekali saja dipeluk atau dicium oleh Kui Eng, lalu menangis sedemikian sedihnya.
"Aneh" aneh" perempuan memang makhluk aneh, masih sebegini kecilpun sudah merupakan teka teki bagiku!" kata orang kate ini sambil menggeleng gelengkan kepala.
"Keluarlah kau dulu, berganti pakaian. Biar aku membujuk anak ini." kata Kui Eng hulus kepadanya.
Bucuci tak pernah menolak permintaan Kui Eng, akan tetapi ketika hendak keluar dari pintu, ia mendekati isterinya itu dan menyentuh pipinya dengan mesra.
"Katakan bahwa kau senang dengan oleh oleh yang kubawa ini, manis."
Kui Eng mencium rambut Sian Hwa dengan penuh kasih sayang.
"Aku senang sekali, terima kasih". Aku senang sekali!"
Dengan hati sebesar gunung Bucuci lalu keluar dari kamar itu.
Memang amat mengherankan sekali pengaruh dari cinta kasih. Seorang manusia seperti Bucuci yang sudah bertahun tahun berkecimpung dalam peperangan, yang sudah banyak sekali membunuh lain manusia tanpa berkejap mata, membakar rumah, menganiaya orang, membinasakan keluarga perwira Han dan lain kebuasan lagi sambil tersenyum, seorang perwira yang sudah mengeras hatinya dan tidak mengenal kasihan lagi, setelah menjadi korban cinta kasih, dapat menjadi demikian lemah lembut dan mesra di depan kekasih nya!
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benar benar aneh kalau bagi orang lain mungkin Bucuci kelihatan seperti seekor harimau yang galak dan ganas, tapi dalam pandangan Kui Eng, laki laki ini merupakan seekor domba yang jinak dan penurut!
Sian Hwa masih terlalu kecil untuk dapat mengingat she nya (nama turunannya) yang sebenarnya, maka ketika Kui Eng mengganti shenya (nama keturunan) dari Can menjadi Tan, ia tidak mengetahui perbedaannya.
Semenjak hari ini, namanya menjadi Tan Sian Hwa. Nama keturunan ini adalah nama keturunan Kui Eng sendiri.
Bucuci mendapatkan kebahagiaan besar setelah Sian Hwa menjadi anak mereka. Benar saja, kini Kui Eng bagaikan sebuah lampu minyak mendapat tambahan minyak lagi.
Wajahnya berseri dan ia mulai tersenyum senyum, apalagi kalau ada Sian Hwa di sampingnya. Kini kehidupan nyonya ini ada isinya lagi, tidak kosong dan hampa, ia bahkan dapat membalas cinta kasih suaminya sebagai perasaan terima kasih bahwa Bucuci telah mendapatkan Sian Hwa.
Selain perobahan sikap Kui Eng, yang amat menyenangkan hatinya itu, Bucuci juga mengalami perasaan yang aneh sekali terhadap Sian Hwa. Ia menjadi sayang kepada anak yang mungil dan lucu itu, apalagi setelah Sian Hwa benar benar lupa kepada ayah bundanya sendiri dan menyebut Bucuci "ayah" dengan sepenuh hatinya. panglima Ang bi tin yang kate ini merasakan kebahagiaan seorang ayah sejati. Sering kali ia merasa bersukur bahwa dahulu ia tidak jadi membunuh Sian Hwa.
Suami isteri ini lalu berlumba untuk mendidik Sian Hwa.
Kui Eng mendidiknya dalam ilmu surat dan kerajinan tangan, adapun Bucuci mulai menurunkan ilmu silatnya yang lihai. Semenjak berusia empat tahun. Sian Hwa telah ia didik dengan dasar dasar ilmu silat, bahkan tidak pernah lupa untuk memberi minum obat obat yang besar sekali khasiatnya guna perkembangan jasmani dan penguat tulang serta pembersih darah.
"Aku akan membikin anakku kelak menjadi gadis yang cantik dan tergagah di seluruh dunia?" Sering kali Bucuci berkata kepada isterinya.
Kui Eng hanya tersenyum dan biarpun sakit hatinya terhadap pembasmian keluarganya yang dahulu telah mulai menghilang, ia masih saja merasa tidak senang melihat suaminya ini menjadi perwira dari barisan Ang bi tin yang ditakuti semua orang.
"Mengapa kau tidak mencari pekerjaan lain? Dengan kepandaianmu kau tentu dapat memilih kedudukan baru di kota raja, tidak seperti sekarang, menjadi perwira Ang bi tin yang pekerjaannya sama dengan algojo. Sungguh mengerikan! Sesungguhnya sering kali di waktu malam apabila aku teringat akan pekerjaanmu, aku menjadi takut dan merasa ngeri kepadamu!"
Bucuci tertawa geli. Lalu memegang tangan isterinya sambil berkata dengan halus, jauh sekali bedanya dengan suaranya yang keluar dari mulutnya apabila ia berada jauh dari isterinya.
"Isteriku yang kusayangi, memang dipandang sepintas lalu saja tuduhanmu itu ada betulnya juga. Akan tetapi kau agaknya tidak tahu bahwa Ang bi tin adalah pasukan yang sebetulnya dikendalikan oleh pemerintah juga. Ang bi tin merupakan pasukan rahasia, pasukan yang tugasnya mencari dan membinasakan orang yang dicurigai dan yang mempunyai kehendak akan memberontak. Kalau orang orang ini dibiarkan saja mereka yang terdiri dari orang orang berkepandaian silat itu tentu akan merupakan kesatuan yang amat kuat dan membahayakan ketenteraman pemerintah. Tunggulah saja, isteriku. Setelah pemberontak pemberontak itu dapat dibersihkan, sebuah pangkat yang tinggi telah tersedia untuk suamimu ini!"
Kui Eng yang tidak mengerti tentang siasat dan peraturan pemerintah baru itu, percaya saja.
Dan memang sebetulnya ucapan Bucuci tadi benar belaka. Ang bi tin walaupun bukan merupakan pasukan resmi, namun didukung dan dibantu oleh pemerintah Goan tiauw.
Kurang lebih setahun kemudian, ketika Sian Hwa sudah berusia lima tahun, anak ini telah diberi pelajaran ilmu silat yang lumayan juga.
Dan alangkah girangnya hati Bucuci setelah ternyata bahwa anak ini lebih suka melatih ilmu silat dari pada melatih kepandaian menyulam atau membaca buku.
Ternyata bahwa bakat ilmu silat anak ini amat baik. Sesungguhnya hal ini tidak amat mengherankan hati Bucuci karena ia ingat bahwa anak ini adalah puteri dari seorang guru silat.
Pada suatu hari yang cerah, di dalam kebun bunga yang terkurung tembok dari rumah gedung Bucuci, nampak Sian Hwa pagi pagi telah melatih diri dan memainkan ilmu silat yang dipelajarinya dari ayahnya.
Anak ini memang rajin sekali dan mempunyai kebiasaan yang amat baik, yakni pagi pagi benar pada waktu ayam berkokok telah bangun dan berlatih silat di dalam kebun.
Semenjak tadi ia melatih ilmu pukulan yang hanya beberapa jurus itu berulang ulang, sehingga tubuhnya menjadi basah oleh peluh. Karena hawa pagi itu dingin, maka peluh yang keluar dari tubuhnya itu dibarengi oleh uap putih yang keluar dan laher dan kepalanya.
Ketika untuk kesekian kulinya Sian Hwa mengulangi lagi latihannya, tiba tiba terdengar suara ketawa dan disusul oleh suara mengejek, "Ha, ha ilmu silat yang buruk sekali! Buruk dan lucu!"
Sian Hwa menjadi kaget dan marah, lalu cepat menengok, ia melihat seorang anak laki laki berusia. kurang lebih tujuh tahun berdiri di atas tembok yang mengurung kebun itu. Anak ini berpakaian indah, berwajah tampan dan rambutnya agak kemerahan.
"Monyet kurang ajar, ayoh kau pergi dari sini!" Sian Hwa memaki sambil menudingkan telunjuknya.
Akan tetapi anak laki laki itu tdak pergi, bahkan lalu melompat ke dalam kebun. Dari lompatan ini saja dapat diketahui bahwa ia telah mempelajari ilmu silat dan ilmu ginkang dari guru yang pandai.
Akan tetapi Sian Hwa belum dapat berpikir sejauh itu dan pula, dalam hal keberanian anak ini takkan kalah oleh anak laki laki yang manapun juga.
Melihat anak itu melompat ke dalam kebun dan berdiri bertolak pinggang di hadapannya, merahlah wajah Sian Hwa saking marahnya,
"Kau kurang ajar! Apakah kau masuk hendak mencuri?"
"Ya, aku memang hendak mencuri. Hendak mencuri kembang!" anak itu berkata sambil menghampiri sebatang pohon bunga cilan yang penuh dengan bunga.
"Tidak boleh, jangan mencuri kembangku!"
Sian Hwa membentak, akan tetapi anak laki laki itu telah memetik setangkai bunga cilan dan dengan sengaja ia menciumi bunga itu sambil mengejek dan tertawa,
"Hm, alangkah wanginya!"
"Kembalikan kembangku, maling jahat! Dan pergilah, kalau tidak, kupakui kau!" Kini Sian Hwa menjadi marah sekali. Gadis cilik berusia lima tahun ini melangkah maju dengan dua tangan terkepal.
"Kau hendak memukul aku? Ha, ha, ha kau mau memukul dengan kepalan tahu itu? Aduh....aya, jangan jangan tanganmu menjadi patah nanti!"
Anak laki laki itu mentertawakan sambil melempar bunga cilan yang tadi dipetiknya di atas tanah.
Makin marahlah Sian Hwa mendengar sindiran dan ejekan ini, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menerjang maju, memukul dengan ilmu pukulan yang tadi dipelajarinya.
Sungguhpun pukulun seorang anak kecil seperti Sian Hwa ini tentu saja amat lemah, namun oleh karena pukulan itu dilakukan dengan cara yang tepat, kedudukan kaki yang kuat dan datangnya mengarah bagian tubuh yang berbahaya, yakni di ulu hati, kalau mengenai sasaran akan lumayan juga.
Akan tetapi.anak laki laki itu sambil memperdengarkan suara ketawa menghina, memiringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak, ia telah menangkap pergelangan tangan Sian Hwa.
Gadis cilik ini marah sekali dan segera menggunakan tangan kiri untuk menyusul dengan sebuah pukulan pula, akan tetapi kembali tangan kiri ini dapat tertangkap.
Sian Hwa tidak berdaya lagi. Ia mendongkol dan marah sekali, akan tetapi betapapun juga ia meronta ronta untuk melepaskan kedua tangannya, tenaga laki laki itu jauh lebih besar dari padanya dan pegangan itu tak dapat dilepaskan.
"Lepaskan....! Lepaskan, kau bangsat! Awas, kalau ayah keluar kepalamu akan dipukul hancur!"
Sian Hwa berteriak teriak, memaki maki akan tetapi anak laki laki itu tidak mau melepaskan pegangannya dan berkata,
"Tidak akan kulepaskan sebelum kau mengaku bahwa ilmu silatmu buruk dan lemah sekali. Kalau aku tidak sayang melihat kulitmu lecet lecet dan berdarah, aku sudah melemparkan kau ke pohon kembang berduri itu!"
Akan tetapi tentu saja Sian Hwa yang keras hati dan berani itu tidak sudi mengaku bahwa ilmu ulat yang ia pelajari dari ayahnya itu buruk dan lemah,
"Ayah akan menghancurkan kepalamu membeset kulitmu, mengeluarkan isi perutmu!" berkali kali ia mengancam dengan marah sekali.
Akhirnya muncul juga Bucuci. Setelah seorang pelayan mengabarkan kepadanya tentang keributan yang terjadi di dalam kebun itu.
Bucuci marah sekali mendengar bahwa anaknya ada yang mengganggu. Sekali ia melompat, tubuhnya berkelebat keluar dari rumah dan tiba di dalam kebun itu.
Kerincingan kerincingan di bajunya berbunyi nyaring karena kalau Bucuci sedang marah, gerakan tubuhnya kasar dan kerincingan kecil kecil itu bergerak gerak terdengar dari jauh, Sian Hwa sudah kenal baik suara ini, maka ia lalu berseru,
"Ayah, ada maling kecil memasuki kebun kita. Lemparkan dia keluar, ayah!"
Akan tetapi sungguh aneh sekali. Ketika melihat anak laki laki ini, tiba tiba muka Bucuci yang tadinya muram dan marah, kini berubah menjadi terang, bibirnya tersenyum dan matanya berseri.
"Ah, tidak tahunya Liem kong cu (tuan muda Liem) yang datang! Sian Hwa, dia bukan maling, dia adalah kawan baik sendiri Liem kong cu, dengan siapa kau datang dan mengapa jalan dari belakang? Sementara itu, mendengar suara kerincingan baju Bucuci, anak laki laki yang tampan dan berpakaian mewah itu telah melepaskan kedua tangan Sian Hwa dan menjura kepada Bucuci.
"Paman Bucuci, aku mendahului ayah yang sebentar lagi tentu akan tiba di sini juga."
"Ayahmu....? Liem goanswe akan datang...." tanya Bucuci girang, akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara keras dari jauh.
"Bucuci, sediakan arak wangi dan daging harimau!"
Suara ini terdengar masih jauh, akan tetapi telah bergema seperti suara yang keluar dari mulut seekor singa.
Bucuci lalu bertepuk tangan tiga kali dengan kerasnya. Dua orang pelayan yang sudah tahu akan tanda dari majikannya ini cepat datang ke kebun itu dengan berlari lari.
"Lekas sediakan meja pertemuan di kebun ini. Ambillah arak wangi yang paling baik dan katakan kepada hujin (nyonya) untuk mengeluarkan daging harimau yang direndam dalam arak kemudian minta kepada hujin supaya keluar untuk menemani Liem goanswe beserta Liem kongcu!"
Dua orang pelayan itu berlari lari pergi untuk melakukan perintah ini.
Baru saja mereka pergi dari atas tembok yang mengurung kebun itu melayang tubuh seorang laki laki yang bertubuh tinggi besar sekali seperti seorang raksasa.
Iapun berpakaian baju perang yang amat gagah bernama hijau, pedangnya yang panjang menempel pada punggungnya dan mukanya yang lebar itu benar benar gagah, mengingatkan orang akan muka Kwan In Tiang, seoarang tokoh besar dari jaman Sam kok.
Sepasang matanya bundar seperti mata harimau galaknya, berputar putar memandang ke depan dengan berani dan gembira. Ketika kedua kakinya turun ke atas tanah. Tidak terdengar sesuatu, akan tetapi Sian Hwa merasa betapa tubuhnya tergetar terbawa oleh getaran tanah yang diinjaknya, seakan akan baru saja ada benda yang amat berat jatuh di dekatnya.
Bucuci cepat memberi hormat dengan menjura dalam dalam, dan laki laki tinggi besar yang berpakaian jenderal itu tertawa terbahak bahak.
"Tak usah banyak penghormatan Bucuci. Akupun datang bukan sebagai jenderal dan atasanmu, melainkan sebagai seorang kawan. Kalau sebagai jenderal, tentu banyak pengikutku dan masukkupun bukan dari tembok belakang. Ha, ha, ha!"
Kemudian ia mengusap usap rambut anak laki laki tadi sambil berkata lagi,
"Aku sedang berjalan jalan dengan Swee ji (anak Swee) dan kebetulan saja lewat di sini. Swee ji yang memaksaku untuk mampir di sini karena katanya sudah amat lama tidak berkunjung ke rumahmu."
"Kami girang sekali, Liem goanswe. Kami mendapat kehormatan besar sekali."
Dengan ramah tamah sekali Bucuci lalu mengatur meja kursi yang dibawa oleh pelayan lalu mempersilakan Jenderal Liem duduk di situ. Juga Liem Swee. Anak itu, yang tersenyum senyum memandang Sian Hwa duduk di samping ayahnya.
"Inikah anakmu itu, Bucuci?" tanya Liem Po Coan atau Jenderal Liem sambil menandang kepada Sian Hwa dengan matanya yang bundar.
"Betul, goanswe, betul. Inilah anak kami. Sian Hwa, lekaslah kau memberi hormat kepada Liem Goanswe." Ketika Bucuci melihat keraguan anaknya cepat cepat menambahkan, "Kau tidak tahu Sian Hwa, Liem goanswe adalah orang yang paling tinggi ilmu silatnya di kota ini! Kepandaian ayahmu tidak ada sepersepuluh bagian dari kepandaiannya, anakku!"
Bucuci mengerti betul watak anaknya. Sian Hwa memang angkuh dan tidak mau merendahkan diri kepada siapapun juga, akan tetapi anak itu sungguh tunduk kepada orang orang yang memiliki kepandaian silat tinggi!
Tiap kali ayahnya bercerita tentang orang orang yang gagah perkasa, matanya bersinar dan ia menyatakan penghormatan dan kekaguman.
Kini mendengar pengakuan ayahnya bahwa si raksasa yang baru tiba ini adalah orang terpandai diseluruh kota raja, dengan sendirinya sepasang matanya yang sudah berang itu menatap wajah jenderal itu dengan kepala mengadah, karena jenderal itu amat tinggi besar.
Kemudian anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Liem goanswee.
Liem Po Coan senang sekali melihat Sian Hwa.
Matanya yang tajam sekilas saja dapat melihat bahwa gadis cilik ini memiliki bakat yang luar biasa dan pula memiliki kecantikan yang amat mengagumkan, ia dapat membayangkan bahwa kelak gadis cilik ini tentu akan menjadi seorang wanita yang elok dan gagah.
Timbul pikiran baik dalam kepalanya. Ia hanya memiliki seorang putera, yakni Liem Swee dan biarpun anaknya itu bukan seorang bodoh dan juga memiliki bakat yang baik akan tetapi ia tahu bahwa anaknya takkan dapat mewarisi seluruh kepandaiannya.
Kalau saja anak perempuan yang berbakat baik sekali ini dapat menjadi muridnya dapat menjadi kawan baik atau saudara seperguruan dengan Liem Swee, alangkah baiknya hal itu.
Dan siapa tahu, kalau kalau mereka kelak berjodoh!
"Anak baik, anak baik...." ia berkata sambil maju dan mengangkat tubuh Sian Hwa dan dipandanginya muka anak yang manis itu.
"Benarkah kau memiliki kepandaian lebih tinggi dari ayah?"
Sian Hwa bertanya sambil memandang berani.
"Ha, ha, tentu saja! Kepandaian ayah tidak ada bandingannya di dunia ini!" Liem Swee berkata dengan bangga.
"Aah, ayahmu terlalu merendahkan diri, anak baik. Sampai di mana batas kepandaian seseorang?" kata jenderal raksasa itu.
"Ilmu pedangnya belum pernah ada yang mengalahkan," kata Bucuci sambil memandang kagum.
"Hal itu harus kuakui. Memang belum pernah pedangku ini dikalahkan orang," Liem Po Coan menepuk nepuk gagang pedangnya yang berada di atas pundak, di belakang punggungnya.
Pada saat itu, datang Kui Eng, diiringkan oleh beberapa orang pelayan wanita yang membawa hidangan. Kui Eng cepat memberi hormat kepada Liem goanswe, lalu berkata kepada Sian Hwa yang masih dipondong oleh jenderal itu.
"Sian Hwa, jangan kurang ajar! Kau nanti mengotorkan pakaian goanswe...."
Mendengar teguran ibunya ini, Sian Hwa lalu meronta minta diturunkan Liem goanswe menurunkannya, lalu tertawa girang sambil memandang kepada Kui Eng.
"Bagus, anak itu bagus sekali, baik seperti ibunya," ia memandang tajam kepada Kui Eng dan melihat betapa nyonya muda yang cantik itu sekarang makin cantik dan mukanya kemerahan tanda sehat badan dan pikiran, ia mengangguk anggukkan kepalanya kepada Bucuci.
"Kau seorang suami dan ayah yang beruntung!"
Bucuci tertawa senang lalu menuangkan arak di dalam cawan dan mempersilahkan tamunya minum arak dan makan daging harimau yang menjadi kesukaan jenderal itu.
Siapakah Jenderal Liem Po Coan yang tinggi besar dan berkepandaian tinggi ini? Dia ini sebetulnya adalah seorang tokoh kang ouw yang amat terkenal dengan julukannya yang seram, Pat jiu Giam ong (Dewa Maut Tangan Delapan).
Seperti juga Bucuci dia sebetulnya adalah seorang Mongol, akan tetapi semenjak kecil telah merantau dan hidup di dalam tombok besar, bahkan tetah menerima pendidikan silat tinggi dan seorang sakti bangsa Han.
Dia ini tak lain adalah adik sepeguruan (sule) dari Seng jin Siansu, tokoh aneh dan lihai dari selatan yang berjuluk Lam Hai Lo mo (Setan Tua Laut Selatan) itu. Dan selain menjadi sute dari Seng Jin Siansu, juga dia masih terhitung saudara misan dari Ulan Tanu Si Alis Merah.
Liem Po Coan telah menikah dengan seorang wanita Han atas dasar suka sama suka. Isteinya juga bukan seorang sembarangan, karena isterinya pun pandai ilmu silat dan masih menjadi murid dari cabang persilatan Hoa san pai.
Semenjak menikah dengan isterinya itu, Liem Po Coan lalu berubah menjadi seorang Han, bahkan namanyapun ia ganti dari nama Mongol menjadi Liem Po Coan! ia tadinya hidup bertani dan mengasingkan diri bersama isterinya dan sama sekali tidak mau muncul ketika bangsanya menyerbu Tiongkok.
Akan tetapi ketika ia mendengar tentang kematian Ulan Tanu, tergeraklah hatinya dan pergilah ia ke kota raja bersama isteri dan anaknya.
Kaisar yang mengetahui tentang kepandaiannya, menawarkan pangkat tinggi, yang segera di terimanya. Ia di angkat merjadi goanwse (jenderal) yang berkedudukan di kota raja menjadi pelindung kaisar dan bertanggung jawab keamanan di dalam kota raja.
Disamping itu, diam diam dialah yang memegang kendali pasukan Ang bi tin dan dia pulalah sebetulnya yang menggerakkan pasukan ini, Liem Po Coan sesungguhnya mengadakan atau melanjutkan gerakan pasukan Ang bi tin, yang dipelopori oleh keponakannya yakni putera dari Ulan Tanu yang bernama Salinga, bukan semata mata terdorong karena kebenciannya terhadap perwira perwira Han.
Ia mau membantu Salinga bukan untuk membalas dendam dari Ulan Tanu akan tetapi semata mata berdasarkan perhitungan yang masak dan demi kedudukannya sebagai penanggung jawab keselamatan kota raja.
Jenderal ini maklum bahwa di antara Bangsa Han yang besar itu terdapat banyak sekali orang orang sakti yang berkepandaian tinggi dan orang orang gagah yang merasa sakit hati kepada pemerintah yang baru, terutama sekali adalah bekas bekas perwira pemerintah lama. Oleh karena itu, pembasmian terhadap mereka ini dianggapnya suatu usaha yang baik dan tepat.
Putera tunggalnya yang tadi menggoda Sian Hwa, bernama Liem Swee dan semenjak kecil telah dilatih ilmu silat oleh ayahnya, sehingga di dalam usia enam tahun saja ia sudah memiliki kepandaian yang lumayan.
Liem Swe memiliki watak yang gembira dan jenaka seperti ibunya yang dulunya adalah seorang pendekar wanita perantau yang centil dan jenaka.
Akan tetapi agaknya diapun mewarisi watak ayahnya yang amat keras dan juga kejam. Ketika tadi melihat Sian Hwa yang mungil, Liem Swee.... suka sekali kepada anak perempuan ini, apalagi ketika melihat bahwa Sian Hwa juga suka.... dengan ilmu silat seperti kesukaannya juga.
Maka demi melihat betapa ayahnya juga tertarik dan suka kepada anak itu ia lalu berseru,
"Ayah tadi aku melihat Sian Hwa bersilat buruk sekali. Kalau dia suka ilmu silat mengapa tidak ayah ambil murid saja supaya aku bakal punya kawan belajar."
Mendengar kata kata Liem Swee yang jelas terang ini, semua orang saling pandang. Bucuci merasa tidak enak sekali karena merasa betapa ilmu silatnya dicela oleh Liem Swee, akan tetapi tentu saja ia tidak berani memperlihatkan ketidaksenangan hatinya.
Apalagi ia tahu bahwa memang kepandaiannya masih jauh dibawah kepandaian Jenderal Liem ini dan pula tidak terlalu adalah kalau ilmu silat Sian Hwa dicela, karena anak ini memang masih terlalu kecil untuk dapat memiliki kepandaian yang berarti.
Pat jiu Giam ong Liem Po Coan tertawa tawa mendengar kata kata puterinya itu. Memang kata kata ini cocok sekali dengan suara hatinya akan tetapi tentu saja ia tidak mau mendahului Bucuci karena hal itu akan berarti merendahkan ilmu kepandaian Bucuci sendiri. Ia hanya berkata,
"Anak bodoh! Enak saja kau bicara. Bagaimana anak ini bsa menjadi muridku kalau ayahnya sendiri sudah memiliki kepandaian cukup tinggi? Dan juga, belum tentu anak yang manis ini mau menjadi muridku! "
Bucuci menjadi serba salah. Biarpun ia tahu bahwa kalau puterinya menjadi murid Pat jiu Giam ong berarti bahwa puterinya menemukan guru yang terpandai, akan tetapi ia tidak ingin berpisah dari puterinya.
Demikianpun suara hati Kui Eng, yang merasa khawatir sekali kalau kalau ia harus berpisah dari Sian Hwa yang disayanginya.
Akan tetapi, sungguh tak dikira sama sekali, Sian Hwa telah mendahului mereka dan anak yang cerdik ini karena tahu bahwa orang tinggi besar itu kepandaiannya lebih tinggi dari ayahnya, tiba tiba maju dan berlutut di depan Pat jiu Giam ong sambil berkata.
"Aku suka sekali menjadi muridmu!"
Bucuci dan Kui Eng tertegun dan ibu yang khawatir ini segera berkata,
"Sian Hwa, bagaimana kau bisa meninggalkan ibumu?"
Adapun Liem Po Coan yang melihat sikap Sian Hwa menjadi makin tertarik hatinya, ia lalu berkata kepada Bucuci.
"Saudara Bucuci, rumah gedungku yang ke dua yang berada di ujung selatan kota raja, tidak kami pakai dan hanya untuk persediaan kalau ada tamu tamu datang. Gedung itu cukup baik, agaknya lebih menyenangkan daripada rumah ini. Kalau kau dan isterimu suka, kau boleh pindah ke kota raja dan tinggal di gedung itu. Dengan demikian anakmu tidak akan berpisah dari ayah bundanya, akan tetapi masih dapat belajar ilmu silat dariku. Bukankah ini baik sekali?"
Tentu saja Bucuci merasa girang sekali dan bersama isterinya cepat menghatur kan terima kasih. Setelah bercakap cakap beberapa lamanya. Pat jiu Giam ong Liem Po Coan lalu mengajak Liem Swee yang semenjak tadi bermain main dengan Sian Hwa pulang.
Beberapa hari kemudian, pindahlah keluarga Bucuci ke kota raja dan ternyata benar seperti ucapan Liem goanswe, rumah gedung yang disediakan untuk mereka itu jauh lebih baik dan baru dari pada yang ditinggalkan.
Semenjak saat itu, hubungan antara Bucuci dan Jenderal Liem lebih erat, kunjung mengunjungi lebih sering karena mereka sekarang tinggal sekota.
Tentu saja Sian Hwa menjadi kawan bermain Liem Swee yang suka kepadanya, lebih dari itu, Sian Hwa mulai menerima latihan dan petunjuk dari Pat jiu Giam ong dan ia menyebut jenderal itu "suhu" atau guru sedangkan kepada Liem Swee ia menyebut suheng (kakak seperguruan).
Dapat dibayangkan kemajuan Sian Hwa dalam ilmu silatnya karena anak ini menerima latihan dari dua orang gagah yang terkenal memiliki ilmu silat amat tinggi.
Di rumah ia masih tetap menerima petunjuk ilmu silat dari ayahnya dan ilmu surat dari ibunya, adapun dua hari sekali ia dikirim ke gedung Liem goanswe untuk bersama sama Liem Swee melatih ilmu silat yang mereka pelajari dari Pat jiu Giam ong.
Karena hidup dalam lingkungan keluarga bangsawan Sian Hwa menganggap bahwa ayahnya dan gurunya menduduki pangkat tinggi dan mempunyai tugas yang amat mulia yakni sebagai pembasmi orang orang jahat yang disebut oleh ayahnya pengacau dan perampok.
Iapun mulai menaruh pandangan tinggi terhadap pasukan Ang bi tin yang dipimpin oleh ayahnya dan juga gurunya. Dalam beberapa tahun saja, Sian Hwa sudah lupa sama sekali akan asal usulnya sendiri dan menganggap sebagai hal yang seharusnya bahwa ia adalah puteri dari panglima besar Bucuci.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepuluh tahun lewat cepat sekali tanpa terasa, menyeret insane makin mendekati kemusnahan tanpa ada yang merasa. Tahun demi tahun menyeret manusia sejengkal lebih dekat kepada makamnya dan manusia masih enak enak saja tidak berprihatin tidak bersedia masih melamun seakan akan ia akan hidup selamanya di dalam mayapada ini.
Sepuluh tahun lewatlah sudah semenjak semua peristiwa yang diturunkan di bagian depan itu terjadi.
Kota Lok yang di Propin Honan terkenal ramai dan makmur, banyak terdapat toko toko dan restoran restoran besar.
Akan tetapi di antara semua restoran yang terdapat itu, tidak ada yang menyamai restoran Lok thian yang berada di tengah kota. Restoran ini amat terkenal karena lengkap dan karena masakannya yang lezat lezat. Araknya terkenal arak tua dan wangi arak tulen yang tidak bercampur air.
Masakan masakannya istimewa. Karena di situ terdapat masakan bebek dari utara dan masakan ular dari selatan. Tentu saja tak perlu diceritakan lagi bahwa masakan di restoran Lok thian lebih mahal harganya daripada harga masakan di restoran lain. Dan karena inilah maka langganan restoran ini sebagian besar hanyalah para hartawan dan bangsawan saja.
Pemilik restoran itu bukanlah orang sembarangan ia adalah seorang gemuk pendek yang berkepala bulat seperti bal dan yang selalu tertawa ramah tamah terhadap para langganannya.
Biarpun orang hanya mengenal sebagai seorang pemilik restoran yang peramah, kaya raya dan suka menolong orang miskin dan mendermakan uang kepada kelenteng kelenteng, akan tetapi di kalangan kang ouw dia terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi.
Namanya Lai Seng, akan tetapi di kalangan kang ouw ia lebih terkenal dengan nama julukan Lo kun gu (Kerbau Tunggangan Nabi Lo Cu). Oleh karena Lai Seng termasuk orang yang selalu mengutamakan perbuatan baik, maka ia tidak mendapat gangguan dari pemerintah baru dan dianggap seorang pengusaha restoran yang pandai.
Tidak jarang pembesar pembesar di kota raja yang mendengar nama restorannya, sengaja memesan masakan masakan dari Lok yang atau mengundang Lai Seng ke kota raja untuk membikin masakan bagi mereka.
Hari itu masih pagi sekali Lai Seng telah duduk di depan restorannya, melihat pegawai pegawainya yang membuka pintu, mengatur meja kursi, membersihkaa meja meja dan ada pula yang menyapu lantai.
Lo kun gu Lai Seng ini duduk dengan senangnya mengisap huncwenya dan mengebulkan asap tembakau yang wangi dan mahal.
Diam diam ia memuji keuntungannya sendiri yang demikian baiknya. Tidak banyak orang orang kang ouw dapat hidup seperti dia dalam keadaan seperti sekarang ini. Sebagian besar orang orang kang ouw bahkan menjadi orang orang buruan pemerintah dan banyak pula yang telah menjadi korban keganasan pasukan Ang bi tin yang sekarang sudah tinggal namanya saja.
Akan tetapi dia, bahkan kini dapat menikmati kehidupan yang mewah, banyak untung dan sama sekali tidak dimusuhi oleh orang orang Mongol dan bangsawan bangsawan dari pemerintah Goan tiauw.
Lai Seng telah menjadi orang kaya, istrinya manis dan anaknya tiga orang, dua laki laki seorang perempuan, mau apa lagi hidup di dunia ini? Demikian Lai Seng menghisap asap tembakaunya dengan hati puas dan senang. Pada waktu hari sepagi itu, belum ada tamu datang untuk berbelanja.
Tiba tiba, ketika Lai Seng sedang mendekatkan mulut huncwenya kepada bibirnya untuk disedot ia memandang terbelalak ke arah jalan dengan muka pucat dan lupalah ia kepada huncwenya yang masih dipegang di depan mulutnya ia seperti tidak percaya kepada kedua matanya sendiri ketika melihat datangnya lima orang yang aneh aneh, baik bentuk tubuh maupun pakaiannya.
"Sin beng Ngo hiap (Lima Pendekar Malaikat)....." bibir pemilik rostorn itu bergerak tanpa mengeluarkan suara dan cepat ia bangkit berdiri, menjura dengan amat hormatnya kepada lima orang yang kini telah tiba di depan itu.
"Ngo wi locianpwe (lima orang orang gagah) yang mulia, sungguh merupakan penghormatan besar menganjungi rumah siauwte yang buruk. Silakan duduk..... silakan masuk....."
"Hai, kebetulan kau sendiri yang menyambut kami, Lo kun gu. Kami menanti datangnya tamu kami, Mo bin Sin kun. Sebelum kami pergi, jangan menerima tamu lain kecuali Mo bin Sin kun Mengerti?" seorang diantara lima orang tamu aneh ini berkata dengan suara menggetar seperti suara orang yang sudah tua sekali. Akan tetapi, Lo kun gu Li Seng yang terkenal sebagai tokoh kang ouw itu mengangguk anggukkan kepalanya seperti ayam makan padi.
"Baik, locianpwe. Baik....!"
Lima orang tua itu lalu bertindak masuk dan terus saia menaiki anak anak tangga menuju ke loteng. Semua pegawai yang sedang membereskan meja kursi, memandang dengan penuh keheranan ketika melihat betapa majikan mereka mengantar tamu tamu aneh ini ke atas dengan sikap yang sedemikian hormatnya.
Jika tihu sendiri yang datang bertamu, belum tentu majikan mereka akan menerimanya sedemikian hormatnya. Apalagi setelah lima orang tamu itu tiba di atas, para pegawai melihat majikan mereka berlari lari turun dan sekali melompat menginjak tiga tingkat anak tangga dan dengan gugup berkata,
"Sediakan masakan yang paling baik! Keluarkan arak yang paling tua. Arak simpanan kita! Layani kelima locianpwe di atas itu baik baik dan penuh penghormatan. Jaga di pintu, jangan diperbolehkan lain orang tamu masuk..... atau, tunggu dulu biar aku sendiri yang menjaga di depan pintu!"
Dan ketika ia melihat semua orangnya berdiri bengong ia membentak keras,
"Ayoh kerjakan perintahku, babi!!"
Tentu saja semua orang pegawai itu makin terheran heran. Siapakah lima orang tua yang aneh itu? Mungkin para pembaca akan bertanya demikian pula, maka marilah kita berkenalan dengan lima orang tamu yan membuat Lo kun gu Lai Seng demikian ketakutan.
Seperti telah dibisikkan oleh Lai Seng tadi, mereka itu adalah Sin beng Ngo hiap lima orang tokoh kang ouw yang dahulu menggemparkan dunia kang ouw dengan sepak terjang mereka yang aneh dan kepandaian mereka yang luar biasa tingginya.
Sin beng Ngo hiap atau Lima Pendekar Malaikat ini terdiri dari lima orang saudara seperguruan.
Yang pertama adalah seorang tua yang tinggi kurus seperti pohon bambu, memelihara rambut seperti seorang tosu dengan pakaian berkembang kembang merah kuning biru, sehingga nampak lucu sekali. Namanya Bouw Ek Tosu yang lebih terkenal denin julukan Hwa ie sianjin (Manusia Dewa Baju Kembang).
Orang ke dua dan ke tiga benar benar sukar diperbedakan, baik muka, potongan tubuh maupun pakaian. Mereka ini adalah sepasang sudara kembar yang kin telah menjadi hwesio berkepala gundul dan bertubuh gemuk pendek, lebih gemuk dan pendek dari pemilik restoran itu. Mereka ini lebih terkenal dengan sebutan Lam san Mi siang mo (Sepasang Iblis dari Gunung Selatan).
Sebagai orang ke dua dan ke tiga dari Sin beng Ngo hiap tentu saja kepandaian ke dua orang hwesio gundul pakaiannya serba kuning ini juga amat lihai sekali.
Orang ke empat adalah seorang yang berpakaian sebagai petani, mengenakan topi petani yang terbuat daripada bambu dan ia selalu membawa sebatang pacul di pundaknya.
Seperti juga ke tiga suhengnya (kakak seperguruannya), orang ini usianya sudah selengah abad dan
(Lanjut ke Jilid 06)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
biarpun tubuhnya kurus kering seperti cecak mati, namun gerakan kedua kakinya tegap dan gesit sekali. Orang ke empat ini bernama Kui Hok yang berjuluk Pacul Kilat.
Berbeda dengan empat orang dari Sin beng Ngo hiap, orang ke lima benar benar tidak pantas menjadi angouta dari Sin beng Ngo hiap, karena murid termuda ini adalah seorang nona yang berwajah cukup manis dan gagah. Dilihat sepintas lalu orang akan mengira bahwa usianya baru duapuluh tahun lebih. Sesungguhnya ia telah berusia tigapuluh lima tahun.
Pemberontakan Taipeng Eps 18 Pedang Naga Kemala Eps 32 Pedang Naga Kemala Eps 41