Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 12


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




Ketika mereka pindah ke Kanton, puteri tunggalnya baru berusia empat tahun. Kini Sheila, demikian nama puterinya, berusia tujuhbelas tahun. Karena Ayah dan ibunya pandai berbahasa daerah, maka Sheila juga mempelajari bahasa ini dari para pelayan sehingga iapun pandai berbahasa daerah. Bukan itu saja, Sheila seringkali mendengar dongeng dari para pelayannya, tentang pendekar-pendekar yang gagah perkasa, tentang ilmu silat yang tinggi, dan dari beberapa orang pengawal yang bekerja pada Ayahnya, ia malah sempat mempelajari ilmu silat, yang walaupun tidak terlalu mendalam, namun cukup membuat ia pandai menjaga diri dan tubuhnya juga selalu berada dalam keadaan sehat dan kuat.

Sheila telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan lembut. Rambutnya berwarna kuning emas, panjang dan berombak amat indahnya. Sepasang matanya biru laut, tubuhnya, seperti biasa tubuh wanita barat, padat dan tinggi semampai, lebih tinggi dari pada tubuh gadis-gadis pribumi. Juga ia tidak pemalu seperti gadis pribumi, melainkan berani menentang pandang mata pria dengan tenang walaupun keadaan keluarga membuat ia beranggapan bahwa bangsanya adalah bangsa yang lebih maju dan lebih pandai dari pada bangsa pribumi yang kadang-kadang aneh dan sukar untuk dapat dimengertinya itu. Akan tetapi karena ia bergaul erat dengan para pelayan, sedikit banyak ia tahu akan keadaan atau cara hidup bangsa pribumi yang penuh dengan tradisi dan ketahyulan itu.

Juga ia tahu bahwa Tiongkok berada dalam penjajahan Bangsa Mancu yang dahulunya hanya merupakan suku bangsa liar di utara yang kecil saja, namun yang kini telah menjadi kelompok yang kuat. Tahu pula ia bahwa di mana-mana terjadi pemberontakan dari para patriot rakyat yang tidak rela melihat tanah air dijajah oleh orang Mancu. Lebih lagi ia tahu segalanya tentang merajalelanya madat yang amat jahat, yang meracuni rakyat jelata dan yang membuat hatinya merasa amat tidak senang karena ia tahu bahwa madat itu didatangkan oleh bangsanya, oleh English East India Company. Lebih lagi, Ayahnya menjadi opsir, menjadi pembantu Kapten Charles Elliot, jelas bahwa Ayahnya mempunyai peranan besar sekali dalam masalah penyebaran madat yang diam-diam amat dibencinya itu.

Ketika ia mendengar cerita dari seorang pelayan tentang seorang suami yang menukarkan kehormatan isterinya dengan madat, tentang seorang Ayah yang menjual anak gadisnya karena ketagihan madat, dan orang yang membunuh diri karena ketagihan madat dan tidak mempunyai uang lagi untuk membelinya, hatinya memberontak dan pagi hari itu segera menemui Ayahnya. Opsir Hellway amat mencinta puterinya karena memang dia hanya mempunyai anak satusatunya itu. Dia sedang duduk bersama isterinya, siap untuk berangkat ke kantor ketika Sheila masuk ke dalam ruangan itu dengan wajah cemberut dan muka agak pucat karena semalam gadis itu tidak dapat tidur, gelisah membayangkan semua peristiwa mengerikan yang terjadi di antara rakyat jelata gara-gara madat.

"Selamat pagi, papa dan mama," katanya kurang gairah.

"Selamat pagi, sayang. Eh, kenapa wajahmu nampak muram dan agak pucat? Apakah engkau sakit, Sheila?" tanya Ayahnya dengan nada lembut dan ibunya lalu merangkul dan menciumnya. Gadis itu menggeleng kepala, lalu melepaskan diri dari rangkulan ibunya dan iapun duduk di atas kursi berhadapan dengan mereka.

"Papa, kemarin aku mendengar cerita yang mengerikan sekali," katanya. Papanya tersenyum memandang puterinya.

"Ah, mengapa engkau perlu memusingkan segala macam cerita burung?"

"Bukan cerita burung, papa, melainkan cerita tentang orang-orang gagah yang menjual isteri atau anak perempuannya, orang-orang yang membunuh diri dan melakukan kejahatan-kejahatan, semua itu karena gara-gara madat."

"Ehh...?" Opsir Hellway memandang tajam kepada anaknya dan mengerutkan alisnya.

"Apa maksudmu?"

"Papa, semua itu memang terjadi. Madat telah meracuni rakyat, madat telah membikin sengsara rakyat di sini..."

"Sheila!" ibunya berseru. Omongan apa yang kau keluarkan itu? Madat mendatangkan keuntungan besar kepada bangsa kita, mendatangkan kemakmuran kepada bangsa kita!"

"Mama, apa artinya keuntungan besar, kemakmuran kalau datang melalui kesengsaraan orang lain?"

"Sheila! Siapa yang bercerita kepadamu? Orang itu perlu kuhajar!" tiba-tiba Opsir Hellway berseru marah.

"Tidak! Tidak ada yang bercerita kepadaku. Aku mendengar omongan orang di jalan." Sheila cepat menjawab, tidak ingin melihat pelayan yang bercerita itu dihukum Ayahnya.

"Hemm, lalu apa maksudmu?" bentak opsir itu yang merasa tersinggung sekali dengan ucapan-ucapan puterinya tadi.

"Papa, aku sungguh merasa tidak rela melihat papa menjadi seorang pejabat yang mewakili English East India Company yang memperdagangkan candu, yang memasukkan madat beracun itu ke negeri ini, meracuni rakyat jelata dan..."

"Cukup!" Opsir Hellway membentak marah, mukanya menjadi merah sekali.

"Sadarkah kau akan omonganmu tadi? Segala yang kau makan dan pakai sampai kau dewasa ini, semua kebutuhan kita sekeluarga, dicukupi karena perdagangan madat, dan engkau berani berkata demikian? Sheila, mengertilah bahwa salah mereka sendiri yang suka menghisap madat kalau keadaan mereka menjadi demikian. Kita hanya melayani saja sebagai pedagang, melayani kebutuhan mereka dan mendapatkan keuntungan. Itu sudah wajar, bukan?"

"Tidak, papa! Kalau rakyat tidak dikenalkan dengan madat, mereka takkan menjadi pecandu! Madat itu datang dari India dan kalau kita tidak mendatangkannya dari India, tentu rakyat tidak pernah mengenalnya."

"Belum tentu! kau kira orang-orang India sendiri tidak akan membawanya ke sini? Dan orang-orang sini sendiri yang membutuhkannya dapat pula mencari ke India."

"Bagaimanapun juga, aku tidak senang melihat papa menjadi opsir yang mengurus perdagangan madat yang terkutuk itu..." Sheila lalu menangis.

"Hemm, engkau harus kami kirim ke Inggeris. Kalau dibiarkan tinggal terus di sini engkau akan menjadi rusak, pikiranmu akan diracuni oleh pikiran-pikiran pribumi. Engkau pun perlu melanjutkan pelajaran ke sana." Akhirnya Opsir Hellway berkata dan dia bertukar pandang dengan isterinya yang merasa setuju dengan pendapatnya.

"Biar berada di manapun juga, hatiku akan merana kalau mengingat betapa di sini papa melakukan pekerjaan yang amat tidak baik itu..."

"Kau tahu apa tentang baik dan tidak baik dalam suatu pekerjaan?" bentak Ayahnya dan melihat suaminya marah-marah, nyonya Hellway cepat mendekati suaminya dan menyabarkannya.

"Sheila, masuklah ke kamarmu, jangan membikin marah papamu," kata nyonya itu dan Sheila dengan mata masih merah karena tangisnya tadi, lalu lari memasuki kamarnya. Ia merasa berduka sekali melihat kenyataan bahwa Ayahnya mempunyai pekerjaan yang demikian kejam dan jahatnya.
Ketika Opsir Hellway yang masih marah karena ulah puterinya itu hendak berangkat ke kantor, tiba-tiba datang seorang utusan dari atasannya yang menyerahkan surat dari Kapten Charles Elliot. Opsir Hellway membaca surat itu dan seketika wajahnya menjadi pucat.

"Baik, aku akan segera pergi menghadap Kapten Elliot!" katanya kepada utusan itu yang segera memberi hormat dan pergi.

"Ada urusan apakah?" tanya isterinya yang merasa tidak enak melihat suaminya nampak terkejut dan gugup itu.

"Celaka! Kaisar laknat itu telah melakukan tindakan kekerasan! Kota Kanton ini telah dikepung oleh pasukan yang besar dari Kota Raja dan semua madat yang berada di kota ini harus diserahkan dengan ancaman hukuman mati! Ini perang! Perang...!" Sheila agaknya mendengar pula ribut-ribut itu dan ia datang berlari ke ruangan itu.

"Papa! Mama! Aku mendengar bahwa kota ini dikepung tentara kerajaan...!" Opsir Hellway teringat akan sikap puterinya tadi.

"Nah, puaslah sekarang hatimu. Kita semua akan celaka. Berkemaslah kau dan ibumu, siapkan pakaian dan barang berharga, siapa tahu kita harus pergi mengungsi. Aku mau ke kantor. Sheila, jangan kau keluar dari rumah, keadaan gawat dan berbahaya." Apakah yang telah terjadi? Kiranya malam tadi, panglima atau Gubernur Lin Ce Shu bersama pasukannya yang besar telah tiba dan mengurung kota Kanton, menguasai empat pintu gerbang dan memerintahkan kepada pasukan keamanan di kota Kanton untuk mengumumkan bahwa siapapun yang keluar masuk kota itu akan digeledah,

Bahkan semua gudang milik para pedagang, termasuk pula milik orang-orang kulit putih, akan diperiksa dan siapapun yang memiliki simpanan madat harus diserahkan! Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan hebat. Dan seperti lumrahnya setiap peristiwa kekerasan, tentu ada yang menyambut dengan gembira akan tetapi ada pula yang menyambut dengan duka. Yang merasa gembira adalah rakyat yang merasa tercekik oleh beredarnya candu, juga para pendekar yang membenci keadaan itu namun mereka tidak berdaya. Sebaliknya, yang gelisah adalah para pedagang candu, para pembesar yang melindungi mereka, dan tentu saja para pemadatan yang khawatir akan kehilangan benda yang amat disayang itu.

Inilah kesempatan yang dinanti-nantikan oleh Wang Taijin, Lai Taijin dan Ma-Ciangkun untuk dapat membalas dendam hati mereka kepada keluarga Ciu Wan-gwe! Mereka ini adalah penguasa-penguasa di Kanton yang tadinya merupakan orang-orang paling rajin mendukung orang-orang kulit putih dan para pedagang candu karena mereka itu menerima suapan dan sogokan yang luar biasa banyaknya. Merekalah yang tadinya seperti melindungi perdagangan candu itu. Akan tetapi, begitu pasukan Kota Raja datang mengepung kota Kanton dengan maksud menyita semua madat dan menentang perdagangan itu, para penguasa ini seketika merobah warna muka mereka, seketika mereka itu nampak gigih dan rajin sekali melaksanakan kebijaksanaan pemerintah ini!

Dan di dunia ini memang penuh dengan penguasa macam mereka ini, bisa didapatkan di mana-mana. Pejabat-pejabat seperti ini seperti ular-ular kepala dua yang dapat menggigit ke depan dan kebelakang, sikap mereka dapat berobah seperti angin, semua dilakukan demi kesejahteraan dan kesenangan mereka sendiri. Demikianlah, dengan dalih melakukan kegiatan merampas madat yang berada di luar kota Kanton, Ma Cek Lung membawa pasukannya pergi ke Tung-kang dan pasukan yang sudah menerima perintahnya itu, langsung saja menyerbu gedung keluarga Ciu Lok Tai! Tentu saja keluarga itu terkejut sekali dan keadaan menjadi geger ketika para penyerbu itu bertindak kejam, membunuhi pelayan-pelayan yang sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan.

Melihat ini, Ciu Lok Tai lalu mengerahkan pasukan pengawalnya dan terpaksa mereka itu melawan karena tidak melawanpun akan dibunuh. Ciu Lok Tai sendiri melawan dengan menggunakan pistolnya, dan tiga puluh orang lebih pasukan pengawalnya ikut melawan mati-matian. Tentu saja yang mengamuk paling hebat adalah Kui Eng. Gadis ini marah bukan main melihat pasukan keamanan yang bertindak seperti perampok itu. Mula-mula Ma Cek Lung menyatakan bahwa kedatangan pasukannya itu adalah untuk melakukan penggeledahan dan untuk menyita semua madat yang berada dalam gedung keluarga Ciu. Ciu Wan-gwe sudah mendengar akan gerakan pasukan dari Kota Raja, maka diapun tidak akan menentang dan tadinya dia menyerah,

Bahkan mempersilahkan perwira yang pernah menjadi sahabat baiknya itu untuk melakukan penggeledahan. Akan tetapi penggeledahan itu ternyata berobah menjadi pembantaian dan jelaslah bahwa pasukan itu memang datang untuk menghancurkan keluarga Ciu. Dan terjadilah perlawanan itu sehingga terjadi pertempuran mati-matian. Jumlah pasukan yang dibawa Ma Cek Lung ada seratus lima puluh orang, oleh karena itu tentu saja pasukan keamanan yang hanya tiga puluh orang itu tidak dapat berbuat banyak dan dalam waktu yang tidak lama mereka sudah roboh semua! Juga Ciu Wan-gwe, isterinya dan semua pelayannya dibantai oleh pasukan yang sudah keranjingan itu. Tinggal Kui Eng seorang yang masih mengamuk.

Melihat betapa orang tuanya tewas dan seluruh isi rumah binasa, hati Kui Eng seperti disayat-sayat rasanya. Ia tahu bahwa perwira Ma itu memang datang untuk membalas dendam karena pernah dikalahkannya dalam pesta tempo hari. Maka dengan kemarahan meluap-luap, gadis ini mengamuk dan bermaksud untuk membunuh perwira yang memimpin penyerbuan itu. Akan tetapi, sekali ini Ma-Ciangkun telah bersiap siaga. Dia maklum akan kelihaian gadis puteri Ciu Wan-gwe itu, maka diapun kini mengajak belasan orang anak buahnya yang memiliki ilmu silat lumayan untuk mengeroyok Kui Eng. Karena itu, usaha Kui Eng untuk dapat berhadapan dengan Ma Cek Lung sia-sia belaka. Ia dikurung dengan ketat oleh puluhan orang prajurit penjaga keamanan dari Kanton itu, di antaranya terdapat belasan orang yang memiliki ilmu silat yang cukup kuat.

Maka gadis inipun mengamuk dan sudah banyak anggauta pasukan musuh yang roboh dan tewas oleh tamparan atau tendangan kakinya. Akan tetapi, pengepungan dan pengeroyokan tetap ketat saking banyaknya pihak musuh sehingga setelah merobohkan tidak kurang dari tiga puluh orang, akhirnya gadis itu kehabisan tenaga. Apa lagi karena hatinya sedang gelisah dan berduka oleh kematian keluarganya. Maka, iapun mulai terkena senjata lawan yang datang bagaikan hujan itu. Namun, ia tidak menjadi gentar. Beberapa kali terdengar suara Ma-Ciangkun yang menyerukan agar gadis itu menyerah saja. Memang dia mempunyai niat kotor terhadap gadis cantik itu dan mengharapkan akan dapat menangkap gadis itu dalam keadaan hidup.

Akan tetapi, Kui Eng pantang menyerah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Memang hebat sekali sepak terjang gadis itu. Ia hanya bertangan kosong karena tadi penyerbuan itu terjadi dengan tiba-tiba. Tadinya ia sama sekali tidak mengira bahwa penggeledahan itu akan berakhir dengan pembantaian maka iapun tidak sempat mengambil sebatang tongkat yang menjadi senjata andalannya. Terpaksa ia melawan dengan tangan kosong, akan tetapi tanpa senjatapun gadis ini sudah merupakan lawan yang amat menggiriskan bagi para perajurit itu. Gerakannya seperti seekor burung walet saja, cepat dan setiap kali tamparan tangannya atau tendangan kakinya mengenai sasaran, tentu seorang pengeroyok roboh untuk tidak dapat bangkit kembali!

Tubuhnya seperti seekor burung beterbangan, menyelinap di antara bayangan puluhan batang golok dan pedang. Di antara limabelas orang ahli silat yang diperbantukan pada pasukannya oleh Ma Cek Lung, sudah ada sembilan orang roboh! Hal ini membuat para pengeroyok menjadi gentar, akan tetapi juga penasaran. Apa lagi karena dari belakang, Ma-Ciangkun melancarkan aba-aba dan mendorong anak buahnya untuk merobohkan gadis itu, menangkapnya hidup atau mati. Sebagian dari pasukan itu melakukan perampokan dengan dalih menggeledah dan mencari madat. Memang ada belasan peti madat murni yang disita, akan tetapi di samping madat ini, juga ikut pula disita benda-benda berharga yang terdapat di gedung itu dalam jumlah banyak!

Sehabis merampok mereka lalu membakar gedung itu! Melihat ini Kui Eng menjadi semakin marah dan sakit hati. Ia mengamuk semakin hebat, akan tetapi betapapun lihainya, ia dikeroyok oleh seratus lebih orang yang kesemuanya adalah perajurit-perajurit yang biasa berkelahi, yang semua memakai pakaian perang yang dilindungi baju besi dan semua memegang senjata tajam pula. Kui Eng memang seorang gadis yang telah menerima gemblengan seorang sakti dan ia telah memiliki kepandaian tinggi sekali, akan tetapi ia masih kurang terlatih. Kalau saja ia mau melarikan diri, kiranya tidak akan ada yang mampu menahannya. Akan tetapi, kesedihan karena kematian orang tuanya dan melihat keluarganya binasa dan rumahnya terbakar dan habis dirampok,

Kemarahan karena semua itu membuat ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk menyelamatkan diri sendiri. Satu-satunya keinginannya hanyalah membasmi semua perajurit ini dan juga membunuh Ma Cek Lung. Akan tetapi, tenaganya terbatas dan akhirnya karena selama berjam-jam mengerahkan sinkang untuk menghadapi puluhan orang bersenjata lengkap itu, tenaga Kui Eng mulai berkurang. Hal ini terutama sekali terdorong oleh kesedihan hatinya dan karena kurang cepat lagi gerakannya, mulailah dara ini terkena sambaran ujung golok dan pedang. Pangkal lengan kanan dan kedua pahanya telah tercium ujung senjata tajam yang membuat kulit dan sedikit dagingnya tergores dan berdarah. Melihat ini Ma Cek Lung menjadi girang.

"Kepung terus, bikin habis tenaganya. Kalau mungkin tangkap hidup-hidup, jangan bunuh!"

Perwira tinggi besar ini memang telah tergila-gila oleh kecantikan gadis ini dan sekarang dia mempunyai kesempatan sepenuhnya untuk dapat menguasai gadis itu, kalau perlu dengan kekerasan, bukan hanya untuk melampiaskan nafsu binatangnya, melainkan juga untuk memuaskan hatinya yang pernah sakit karena dibikin malu oleh gadis itu di depan orang banyak. Kui Eng yang lelah sekali itu, gerakannya mulai lambat dan kacau, pandang matanya berkunang-kunang dan ia sudah terhuyung-huyung. Sebuah tendangan dari Ma Cek Lung yang kini ikut mengeroyok, tepat mengenai lutut Kui Eng. Gadis ini mengeluh akan tetapi begitu tubuhnya roboh, ia menggulingkan tubuhnya dan seorang perajurit yang menubruk untuk memeluknya, disambut dengan tamparan yang amat dahsyat.

"Prokkk...!" Perajurit itu terpelanting dengan kepala retak dan tewas seketika. Akan tetapi, pengerahan tenaga terakhir ini membuat Kui Eng kehabisan tenaga dan iapun terkulai dalam keadaan setengah pingsan! Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan orang dan para perajurit itu terkejut sekali karena tiba-tiba muncul seorang pemuda yang menyambar tubuh gadis yang sudah terkulai itu dan memanggul tubuh itu lalu melarikan diri.

"Tangkap dia!" teriak Ma Cek Lung dengan marah. Gadis itu sudah tidak berdaya, tinggal menangkap dan membelenggu saja dan seperti sepotong daging sudah tinggal menyumpit dan memasukkan mulut, akan tetapi tiba-tiba terlepas dan tentu saja dia tidak mau membiarkan pemuda itu melarikan Kui Eng. Akan tetapi, gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya, dan setiap perajurit yang mencoba untuk menghadangnya, dirobohkan dengan pukulan-pukulan tangan kiri atau tendangan kaki, sedangkan lengan kanannya memanggul tubuh Kui Eng di atas pundak kanan.

"Keparat!" bentak Ma Cek Lung dan bersama seorang pembantunya, dia menubruk maju dengan golok terhunus.

"Lepaskan gadis itu!"

Akan tetapi, dengan sebuah tendangan kilat, pemuda itu merobohkan pembantunya dan Ma-Ciangkun sendiri terkena pukulan tangan kiri yang cepat dan kuat. Dadanya terpukul dan biarpun dada perwira itu dilindungi baju besi, tetap saja dia terpental dan roboh pingsan dengan napas sesak! Pemuda itu lalu berloncatan dan dengan cepat sekali menerobos kepungan para perajurit, merobohkan beberapa orang lagi tanpa membunuh mereka, dan akhirnya lolos dari kepungan. Beberapa orang perajurit mencoba untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu dapat berlari cepat bukan main walaupun sambil memondong tubuh Kui Eng dan akhirnya para perajurit tidak mengejar lagi. Mereka sibuk dengan mengumpulkan barang rampokan, mengurus teman-teman yang terluka atau tewas, dan mencoba untuk menyadarkan Ma Cek Lung yang pingsan.

Kui Eng sudah kehabisan tenaga dan tubuhnya lemas. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih dapat mengetahui bahwa ia telah ditolong oleh seorang laki-laki yang memondongnya dan membawanya lari. Pandang matanya sudah kabur dan ia tidak dapat melihat jelas wajah laki-laki ini, apa lagi ketika ia dipanggul, kepalanya berada di belakang tubuh orang itu akan tetapi ia tahu bahwa orang ini telah menyelamatkannya dan diam-diam ia bersyukur karena ia tahu bahwa tenaganya sudah habis dan nyawanya takkan tertolong lagi. Ia tidak takut mati, akan tetapi kalau ia mati, siapa yang akan membalaskan kematian Ayah ibunya? Ia berterima kasih kepada laki-laki ini yang sudah menyelamatkannya sehingga masih ada harapan dan kesempatan baginya untuk kelak membalas dendam kepada Ma Cek Lung dan anak buahnya.

Ia merasa aman dan ketika pemuda itu berlari cepat memanggul tubuhnya ke luar kota Tung-kang, diam-diam ia beristirahat dan menghimpun hawa murni untuk mengumpulkan kembali kekuatannya. Setelah tiba di luar kota, jauh dari tempat ramai, di sebuah bukit yang berada di sebelah barat kota Tung-kang, pemuda itu berhenti, lalu dengan hati-hati dia menurunkan tubuh Kui Eng ke atas tanah. Akan tetapi, Kui Eng yang kini sudah kuat kembali, lalu bangkit berdiri dan menghadapi pemuda itu, baru pertama kalinya ia ingin dan dapat melihat wajah penolongnya karena tadi ia mencurahkan semua perhatiannya untuk menghimpun hawa murni. Dua pasang mata yang sama tajamnya saling tatap dan tiba-tiba Kui Eng undur dua langkah dan berseru kaget.

"Kau...!!" Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, gadis ini lalu menerjang pemuda itu kalang kabut, mengerahkan lagi seluruh tenaga yang ada dan oleh karena itu serangannya dahsyat sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Tan Ci Kong! Seperti juga semua orang yang berada di sekitar daerah Kanton,

Ci Kong juga mendengar tentang pengepungan pasukan besar kerajaan terhadap kota Kanton dan diapun merasa heran dan ingin tahu apa yang terjadi. Ketika mendapat keterangan bahwa pasukan yang dipimpin oleh Panglima Lin Ce Shu itu adalah utusan kaisar untuk menyita semua madat, diam-diam dia merasa bersyukur sekali dan memuji tindakan itu yang dianggap akan menyelamatkan rakyat dari racun yang amat berbahaya itu. Akan tetapi Ci Kong melihat pasukan yang dipimpin oleh Ma Cek Lung keluar dari Kanton. Pasukan yang besarnya seratus lima puluh orang, membalapkan kuda keluar dari kota itu. Hatinya tertarik karena dia mengenal Ma Cek Lung sebagai perwira tinggi besar gendut yang pernah menyiksa dan hampir membunuh dia dan Ayahnya pada duabelas tahun yang lalu di dalam rumah Ciu Wan-gwe.

Karena hatinya tertarik, maka diapun mengikuti jejak pasukan ini yang ternyata menuju ke kota Tung-kang. Pasukan ini mendatangi rumah gedung hartawan Ciu dan ketika Ci Kong mendengar bahwa mereka akan menyita madat, diapun tidak mau mencampuri, bahkan diam-diam merasa girang. Memang hal itu sudah semestinya sejak dahulu dilakukan pemerintah, pikirnya sambil meninggalkan
(Lanjut ke Jilid 12)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)

Jilid 12
Tung-kang karena dia tidak ingin mencampuri. Akan tetapi, dia melihat asap mengepul dari dalam kota itu. Dia terkejut. Kebakaran? Apakah yang terjadi? Sudah berjam-jam dia meninggalkan kota itu dan tidak menduga akan terjadi kekerasan karena siapakah yang akan melawan dan menentang keputusan kaisar? Kebakaran itu menarik hatinya dan diapun cepat menggunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Tung-kang kembali.

Makin terkejut dia ketika mendengar berita di dalam kota itu bahwa rumah gedung keluarga Ciu Wan-gwe diserbu, dirampok dan dibakar oleh pasukan yang datang dari Kanton. Dia merasa heran dan ketika dia cepat datang ke tempat itu, dia melihat betapa gadis puteri Ciu Wan-gwe yang cantik dan lihai itu dikeroyok puluhan orang perajurit dan melihat pula banyaknya perajurit yang tewas dan juga betapa rumah itu terbakar dan banyak pengawal dan pelayan keluarga itu sudah berserakan menjadi mayat. Maka diapun cepat turun tangan menyambar tubuh Kui Eng yang setengah pingsan itu dan melarikannya ke luar kota. Kini, melihat kemarahan gadis itu yang tiba-tiba menyerangnya begitu mengenalnya, Ci Kong tidak merasa heran atau kaget. Cepat dia mengelak dan menjauhkan diri.

"Harap kau tenanglah, nona, karena sekali ini aku tidak memusuhi siapapun juga. Aku bahkan ikut bersedih melihat hancurnya keluargamu..." Akan tetapi, Kui Eng tidak pernah merasa kenal kepada pemuda ini yang hanya diketahuinya pada pagi hari itu mengacau di gedung keluarganya, dikeroyok oleh para pengawal sampai ia datang dari jalan-jalan pagi dan menyerang pemuda itu, hanya tahu bahwa pemuda itu, dengan seorang kawan lain, telah mengacau, bahkan mendatangkan banyak kematian di antara para pengawal dan anak buah pasukan keamanan kota Tung-kang yang datang membantu. Tentu saja, melihat pemuda ini, biarpun kenyataannya tadi menyelamatkannya, ia menduga bahwa tentu ada hubungan antara penyerangan pemuda ini beberapa hari yang lalu dengan penyerbuan pasukan sekarang ini.

"Manusia busuk, sekaranglah saatnya kita membuat perhitungan!" bentaknya dan dengan cepat Kui Eng sudah menyambar sepotong kayu dari dahan pohon yang berdekatan. Dengan kayu sebagai tongkat di tangannya, dara inipun menyerang kembali dengan dahsyat. Melihat betapa sepotong kayu itu kini berobah menjadi sinar kehijauan dan ujungnya bergetar menjadi banyak sekali menyerang ke arah jalan darah di bagian depan tubuhnya, Ci Kong kaget bukan main. Inilah serangan maut yang amat berbahaya, pikirnya dan cepat dia berloncatan mengelak.

Akan tetapi, gadis itu terus mendesaknya dengan tongkat istimewa itu dan memang gadis itu telah mengeluarkan ilmunya yang paling hebat yang dipelajarinya dari Tee-tok, yaitu Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa)! Ci Kong mengenal ilmu tongkat sakti, maka diapun harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang amat tangguh ini. Kedua lengannya seperti berobah menjadi baja sehingga setiap kali lengannya menangkis tongkat, Kui Eng merasa betapa lengannya yang memegang tongkat tergetar. Keduanya mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sama mahirnya sehingga tubuh mereka lenyap berobah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara sinar tongkat hitam kehijauan yang mengeluarkan suara mendengung-dengung.

Diam-diam Ci Kong merasa kagum sekali. Ilmu tongkat ini hebat bukan main dan untung baginya bahwa gadis itu sudah kehilangan banyak tenaga, andaikata tidak, ia akan terancam bahaya maut karena ilmu tongkat itu aneh dan sukar dilawan. Andaikata tadi gadis itu menggunakan tongkat, kiranya akan lebih banyak korban yang roboh di pihak para pengeroyok dan mungkin tidak perlu dibantunya. Akan tetapi, pemuda ini adalah murid Siauw-bin-hud dan telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi-tinggi sehingga dia masih mampu menghindarkan diri dan terpaksa untuk mengimbangi kedahsyatan serangan gadis itu, diapun kadang-kadang membalas dengan totokan-totokan untuk menghentikan serangan gadis itu.

"Nona, sabarlah. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Marilah kita bicara dulu sebelum melanjutkan perkelahian ini." Berkali-kali Ci Kong berkata, suaranya tetap sabar dan tenang. Kui Eng sudah merasa semakin penasaran sekali. Ia telah mempergunakan tongkat dan telah memainkan Cui-beng Hek-pang, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu mengalahkan pemuda ini, bahkan tenaganya sendiri mulai berkurang lagi dan napasnya mulai memburu. Ingin ia menangis saking jengkelnya. Ketika untuk kesekian kalinya pemuda itu mengajak bicara, ia mendapatkan kesempatan baik untuk beristirahat, untuk menghimpun tenaga baru dan menenangkan kembali pernapasannya. Maka iapun meloncat ke belakang, memandang tajam dan berusaha menguasai pernapasannya yang terengah-engah.

"Kau... kau mau bicara apa lagi?" katanya ketus.

"Nona, marilah kita bicara dengan baik. Aku mengerti bahwa nona memusuhi aku karena salah kira saja."

"Huh, aku masih belum buta untuk mengenal engkau sebagai pengacau yang pernah membikin ribut di rumah keluargaku beberapa hari yang lalu." Ci Kong mengangguk.

"Tidak kusangkal, nona. Akan tetapi, kedatanganku pada waktu itu hanya untuk mengingatkan Ciu Wan-gwe tentang buruknya pengaruh madat terhadap rakyat, dan ingin minta kepadanya agar dia menghentikan usaha pengedaran madat itu. Akan tertapi aku tidak diperkenankan bertemu dengan Ciu Wan-gwe, bahkan aku dikeroyok."

"Siapa sudi percaya omonganmu? Engkau mengatakan tidak bermaksud buruk dan hanya mau mengingatkan, akan tetapi engkau membunuh belasan orang pengawal!"

"Menyesal sekali, nona. Akan tetapi bukan aku yang membunuh mereka, melainkan orang yang datang membantuku..."

"Kawanmu, sekutumu, sama saja!"

"Tidak, aku sama sekali tidak pernah mengenal dia, nona. Dan aku tidak setuju dengan perbuatannya itu. Nona, kalau memang aku memusuhimu, perlu apa aku menyelamatkanmu dan membawamu ke luar Tung-kang?" Sejenak Kui Eng meragu. Benar juga apa yang dikatakan pemuda ini, akan tetapi ia masih merasa penasaran. Dalam sekejap mata saja ia telah kehilangan keluarga, harta benda, kehilangan segala-galanya dan kepada siapa ia akan menumpahkan kemarahannya? Betapapun juga, pemuda ini pernah berkelahi melawannya, pernah menjadi musuh keluarganya.

"Maaf, nona. Sungguh aku merasa ikut bersedih melihat nasib keluargamu..." Mendengar ucapan ini, seperti didorong keluar saja air mata dari sepasang mata yang indah tajam itu. Akan tetapi, Kui Eng mengusap air matanya dengan ujung lengan baju.

"Dulupun engkau tidak kasihan, kini tidak perlu kasihan, engkau pernah memusuhi kami, sekarangpun tetap musuh!" Dan iapun menerjang kembali, kini tenaganya sudah agak pulih dan napasnya tidak lagi memburu seperti tadi.

"Nona...!" Akan tetapi karena serangan itu memang hebat, Ci Kong terpaksa meloncat cepat mengelak dan balas menyerang agar gadis itu tidak terus mendesaknya karena kalau dia harus mengelak terus terhadap tongkat yang lihai itu, amat berbahaya. Terjadilah lagi perkelahian yang amat hebat antara dua orang muda yang lihai itu. Kui Eng menyerang matimatian dan mengerahkan segala-galanya, di lain pihak Ci Kong melayaninya tanpa maksud mencelakai gadis yang sedang marah-marah itu.

Dia lebih banyak melindungi dirinya dan kadang-kadang saja dia membalas serangan hanya untuk menahan gelombang serangan lawan. Dan serangannya hanya berupa totokan-totokan ke arah jalan darah untuk menghentikan gerakan gadis itu tanpa membahayakan keselamatan gadis itu. Kui Eng sebagai murid seorang guru yang sakti tentu saja tahu bahwa pemuda ini banyak mengalah kepadanya, dan hal ini membuatnya semakin penasaran, walaupun ia juga merasa kagum karena kini ia tahu benar betapa lihainya pemuda itu dan bahwa kalau pemuda itu juga berniat merobohkannya, kiranya ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Tiba-tiba bermunculan belasan orang yang sikapnya gagah dan seorang di antara mereka meloncat di antara dua orang yang sedang berkelahi itu sambil berseru,

"Tahan!" Dari gerakan orang itu melerai, baik Kui Eng maupun Ci Kong maklum bahwa orang inipun lihai sekali, karena goloknya yang menangkis dapat menahan tongkat Kui Eng sedangkan tangan kirinya menahan lengan Ci Kong dan mereka berdua ini merasa betapa orang ini memiliki tenaga yang amat kuat.

Mereka berdua menjadi kaget dan heran, lalu meloncat ke belakang. Ketika keduanya memandang, ternyata yang melerai itu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, bertubuh tegap dan kokoh membayangkan tenaga yang besar. Pemuda ini memegang sebatang golok yang tajam, dan pakaiannya kasar sederhana, sesuai dengan wajahnya yang membayangkan kejujuran dan kegagahan. Sebatang topi rumput bundar tergantung di punggungnya. Biarpun pemuda itu membayangkan kegagahan yang menimbulkan perasaan segan, namun Kui Eng yang galak itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan ia memandang pemuda itu dengan mata melotot, tidak peduli bahwa pemuda itu datang bersama belasan orang yang kesemuanya membayangkan kegagahan para pendekar.

"Mau apa kau mencampuri urusanku? Apakah kau datang mau membantunya? Kalau begitu majulah, aku tidak takut menghadapi pengeroyokan kalian semua!"

Dan Kui Eng sudah siap memalangkan tongkatnya di depan dada, siap menghadapi pengeroyokan, bukan sekedar gertakan saja. Pemuda yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Gan Seng Bu! Seperti kita ketahui, murid Thian-tok ini berpisah dari suhengnya, Ong Siu Coan. Akan tetapi dalam mengikuti jejak Koan Jit yang melarikan Giok-liong-kiam, diapun akhirnya tiba di daerah Kanton. Ketika terjadi pengepungan kota Kanton oleh pasukan kerajaan yang mulai bertindak hendak menumpas perdagangan madat, Gan Seng Bu menyambutnya dengan gembira sekali. Di daerah Kanton ini dia bertemu dengan para anggauta Thian-te-hwe atau Thian-te-pang, sebuah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot dan anti pemerintah penjajah Mancu.

Bahkan di sini dia bertemu pula dengan suhengnya, Ong Siu Coan yang telah mendahuluinya dan terkenal di perkumpulan itu sebagai seorang tokoh yang gagah perkasa! Biarpun dia tidak berambisi seperti suhengnya, namun Gan Seng Bu berjiwa gagah dan dia merasa cocok dengan para anggauta Thian-te-pang, maka diapun ikut dengan mereka menuju ke kota Kanton untuk melihat suasana dan kalau perlu membantu pasukan pemerintah untuk menghadapi orang-orang kulit putih. Memang mereka tidak suka kepada pemerintah Mancu yang dianggap sebagai penjajah yang harus diusir dari tanah air, akan tetapi sementara ini, kalau menghadapi orang-orang kulit putih yang lebih asing lagi dan yang jelas merusak dengan perdagangan candu mereka, mereka akan membantu pihak pemerintah untuk menentang orang kulit putih lebih dahulu.

"Kami melihat kalian berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dalam keadaan kacau seperti sekarang ini, alangkah sayangnya kalau kalian yang lihai ini saling serang dan bermusuhan. Tidakkah lebih baik kalau kalian ikut bersama kami ke Kanton, menyumbangkan tenaga untuk memihak rakyat, dan menghalau musuh rakyat? Kami adalah orang-orang Thian-te-pang yang selalu berjuang demi rakyat, kau m patriot yang pantang saling bermusuhan antara bangsa sendiri." Kui Eng sudah mendengar akan nama Thian-te-pang ini, maka ia cepat berkata,

"Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak yang menentang kekuasaan Ceng?"

"Kami adalah pejuang, dan penjajah memang menyebut kami pemberontak!" bentak seorang di antara para pendekar itu yang merasa tidak senang mendengar gadis itu menamakan mereka pemberontak.

"Bgus! Kalau begitu, aku akan membantu kalian menghadapi pemerintah Ceng yang biadab! Baru saja Ayah ibuku tewas oleh pasukan pemerintah!" kata Kui Eng penuh semangat sambil mengepal tinju.

"Akan tetapi, sementara ini yang penting adalah menghalau orang-orang kulit putih!" kata Gan Seng Bu.

"Merekalah yang merupakan penyakit utama pada saat ini. Nona yang gagah, kami akan gembira sekali kalau nona suka bergabung dengan kami karena kami melihat nona memiliki kepandaian tinggi. Dan bagaimana dengan engkau sobat?" Gan Seng Bu memutar tubuhnya menghadapi Ci Kong. Baru sekarang dia melihat Ci Kong karena sejak tadi dia berhadapan dengan Kui Eng, dan begitu bertemu pandang dengan Ci Kong, diapun terkejut.

"Eh..., bukankah engkau ini... murid Siauw-bin-hud...?" Semua orang, termasuk Kui Eng, terkejut bukan main mendengar ini. Nama Siauw-binhud adalah nama yang amat dikenal di dunia kang-ouw, apa lagi dengan adanya peristiwa Giok-liong-kiam itu.

Ci Kong sendiri juga sejak tadi sudah teringat siapa pemuda gagah perkasa ini dan diam-diam dia merasa terheran-heran. Dia tahu bahwa Thian-tok adalah seorang datuk sesat yang terkenal, seorang di antara Empat Racun Dunia yang amat jahat. Akan tetapi mengapa dua orang muridnya seperti orang-orang gagah? Murid yang pertama itu pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh para pengawal Ciu Wan-gwe dan para pasukan keamanan, dan biarpun murid yang bernama Ong Siu Coan itu teramat kejam dan menyebar maut, namun jelas telah membantunya walaupun tahu bahwa dia cucu murid Siauw-bin-hud. Dan murid ke dua dari Thian-tok ini malah bergaul dengan orang-orang Thian-te-pang yang terkenal sebagai para pendekar patriot! Maka diapun tidak mau menyebut nama Thian-tok di depan mereka dan dia hanya menjawab dengan singkat.

"Aku adalah cucu murid beliau." Seng Bu juga merasa tidak enak bertemu dengan pemuda ini. Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa gurunya adalah seorang datuk sesat dan hal ini sengaja dia sembunyikan dari para pendekar di Thian-te-pang. Kalau para pendekar ini tahu bahwa dia adalah murid Thian-tok, agaknya dia tidak akan diterima sebagai kawan seperjuangan!

"Nah, bagaimana? Kalian berdua adalah orang-orang gagah, apakah mau menggabungkan diri dengan kami dan pergi ke Kanton?" tanyanya. Kui Eng sendiri masih termangu memandang kepada Ci Kong yang baru diketahui bahwa pemuda itu adalah murid atau cucu murid Siauw-bin-hud. Pantas lihainya bukan main, pikirnya. Mendengar pertanyaan Seng Bu, ia berkata,

"Akan kuingat kalian di Kanton. Akan tetapi sekarang aku masih mempunyai urusan. Harap kalian berangkat lebih dulu."

"Aku lebih suka menyendiri," kata Ci Kong. Seng Bu mengangkat pundaknya dan menoleh kepada kawan-kawannya.

"Baiklah, asal kalian berdua jangan saling gebuk sendiri!" Lalu dia bersama belasan orang kawannya melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kanton. Ci Kong dan Kui Eng mengikuti bayangan orang-orang gagah itu dengan hati kagum. Betapapun juga, nama Thian-te-pang atau Thian-tehwe sebagai kumpulan para patriot sudah amat terkenal. Di waktu itu, perkumpulan pendekar-pendekar yang menentang pemerintah penjajah dengan gigih, yang paling terkenal adalah Thiante-pang atau perkumpulan Bumi Langit, lalu perkumpulan Tombak Merah, Pintu Sorga, Perkumpulan Toa-kiam (Pedang Besar). Mereka semua mengaku sebagai keturunan perkumpulan Sorban Kuning, yaitu sebuah perkumpulan pendekar patriot berbangsa Han di jaman Dinasti Han.

"Jadi engkau seorang murid Siauw-bin-hud?" Kui Eng bertanya sambil menatap wajah Ci Kong. Pemuda itu mengangguk.

"Benar, nona, dan namaku Tan Ci Kong."

"Aku adalah puteri tunggal keluarga Ciu, maka tentu engkau dapat membayangkan betapa sakit hatiku ketika engkau mengacau di rumah kami dan kini... Ayah ibuku telah tewas..." Suaranya mengandung isak. Akan tetapi dengan gagah gadis ini menahannya. Ci Kong menarik napas panjang.

"Kematian akan datang kepada keluarga manapun juga, nona, dan kematian bukan urusan kita manusia. Memang menyedihkan, akan tetapi kita tidak dapat berbuat sesuatu," katanya sederhana, bukan untuk menghibur, melainkan keluar dari lubuk hatinya karena pada saat itu diapun teringat bahwa Ayah ibunya juga telah tiada.

"Aku... aku harus mengambil jenazah mereka dan menguburnya baik-baik."

"Mari kubantu engkau, nona. Akan tetapi, kita harus masuk secara menyelundup, karena kalau secara berterang tentu akan menghadapi kesulitan." Gadis itu sejenak memandang tajam, agaknya merasa heran mendengar penawaran pemuda itu. Mengambil jenazah dua orang di tempat yang penuh dengan musuh tidaklah mudah kalau ia lakukan sendirian saja, maka mendengar penawaran itu ia mengangguk dan keduanya lalu berlari kembali ke Tung-kang.

Untunglah bagi mereka bahwa pasukan yang dipimpin Ma Cek Lung itu ternyata telah kembali ke markas pasukan keamanan Tung-kang untuk mengurus anggauta pasukan yang tewas dan luka-luka sehingga di tempat tinggal keluarga Ciu itu tidak nampak lagi pasukan. Gedung itu masih terbakar sebagian dan para tetangga yang melihat munculnya Kui Eng, segera datang membantu. Kui Eng berhasil menemukan mayat Ayah ibunya. Air matanya bercucuran akan tetapi ia tidak terisak. Bahkan dengan cepat ia lalu mengumpulkan tetangga dan minta pertolongan mereka untuk mengurus mayat para pelayan dan pengawal yang tewas. Kepada para tetangga itu ia berkata dengan suara sedih,

"Harap kalian suka menolongku, mengubur semua jenazah ini, dan semua barang yang masih ada di rumah ini boleh kalian pakai untuk biaya." Setelah berkata demikian, gadis ini dibantu oleh Ci Kong lalu membawa dua jenazah keluar kota. Tentu saja mereka harus cepat-cepat pergi membawa dua jenazah itu karena kehadiran mereka tentu akan segera diketahui dan mereka tidak ingin menghadapi kesulitan dalam usaha mereka mengubur jenazah Ciu Lok Tai dan isterinya. Jauh di luar kota Tung-kang, di kaki sebuah bukit yang sunyi, Kui Eng memilih sebuah tempat untuk mengubur jenazah Ayah ibunya, dibantu oleh Ci Kong yang melakukan semua itu tanpa banyak kata. Diapun hanya memandang saja ketika gadis itu berlutut di depan kuburan sederhana itu. Akhirnya kui Eng bangkit berdiri dan menghadapi Ci Kong, lalu menjura.

"Saudara Tan Ci Kong, engkau sungguh telah menolongku dan aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini. Terima kasih banyak."

"Tidak perlu berterima kasih, sudah sepatutnya kalau hidup di dunia ini tolong-menolong antara manusia," jawab Ci Kong dengan sikap sederhana.

"Akan tetapi, engkau seorang pendekar Siauw-lim-pai, engkau pernah hendak menegur mendiang Ayahku yang menjadi pedagang madat. Akan tetapi, kenapa kemudian engkau yang pernah kuserang dan kukeroyok, malah sebaliknya menyelamatkan aku dari pengeroyokan pasukan itu dan bahkan menolongku mengubur jenazah Ayah ibuku? Mengapa?" Ci Kong tersenyum.

"Nona..." Dia meragu karena belum mengenal nama gadis itu.

"Namaku Kui Eng, Ciu Kui Eng."

"Nona Kui Eng, apa yang kulakukan itu tidak ada artinya karena kalau dulu engkau tidak menolongku, agaknya aku tidak akan dapat hidup sampai sekarang ini." Kui Eng membelalakkan matanya yang indah dan memandang penuh selidik, lalu mengerutkan alisnya karena ia tidak ingat pernah menolong pemuda yang baru pertama kali dijumpainya itu.

"Menolongmu? Aku tidak merasa pernah menolongmu..."

"Tentu kau sudah lupa, nona. Terjadi kurang lebih duabelas tahun yang lalu ketika kita masih kecil. Kalau tidak engkau turun tangan mencegah, tentu aku dan Ayahku waktu itu telah tewas di tangan Ma-Ciangkun." Kui Eng mengerutkan alisnya, masih juga belum ingat.

"Siapakah Ayahmu?"

"Mendiang Ayahku adalah Tan Siucai..."

"Ahhh...!!" Mata yang indah itu terbelalak dan sejenak gadis itu menatap wajah Ci Kong penuh perhatian, lalu sinar matanya membayangkan kekaguman ketika ia teringat akan Tan Siucai yang namanya kemudian dikenal sebagai seorang patriot yang gagah perkasa, walaupun dia seorang sasterawan yang lemah tubuhnya.

"Kiranya engKau kah anak laki-laki itu...? Teringat aku sekarang. Engkau minta-minta ampun... dan aku mencelamu..."

"Benar, aku mintakan ampun untuk Ayahku, bukan untuk diriku."

"Aku mengerti. Ah, Ayahmu seorang gagah perkasa, aku kagum sekali, sedangkan Ayahku... Ayahku..." Kui Eng pernah ribut-ribut dengan Ayahnya ketika dulu ia mendengar akan nasib Tan Siucai yang dikaguminya. Nampaklah olehnya sekarang betapa Ayahnya adalah orang yang hanya mementingkan harta saja, hanya pandai mencari harta dan juga tidak segan-segan melakukan hal-hal yang buruk.

"Sudahlah, nona. Orang tua kita sudah tiada, tak perlu dibicarakan lagi. Sekarang, setelah engkau kehilangan keluargamu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Ci Kong bertanya dengan suara penuh iba, lupa bahwa dia sendiripun hidup sebatangkara.

"Engkau sudah tidak mempunyai tempat tinggal, hidup seorang diri..."

"Keluarga Ayah berada di Kanton. Aku adalah anak tunggal, ibuku isteri ke tiga. Aku masih mempunyai ibu-ibu tiri di Kanton... akan tetapi... aku tidak akan tinggal diam ebelum dapat kubunuh jahanam Ma Cek Lung itu. Setelah itu mungkin aku akan mengabungkan diri dengan orang-orang Thian-te-pang. Dan engkau sendiri, saudara Ci Kong? Apakah engkau juga akan bergabung dengan mereka?" Ci Kong menggeleng kepala.

"Aku tidak akan melibatkan diri dalam pemberontakan, nona, walaupun aku mengerti betapa mulia cita-cita mereka yang hendak membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah. Aku lebih suka menyendiri."

"Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini. Aku akan menyelundup ke Kanton. Sekali lagi terima kasih dan mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali!" Kui Eng berkata dan gadis ini lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat menuju ke Kanton.

"Mudah-mudahan..." Ci Kong mengguman sambil mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya. Ada keharuan aneh menyelinap di dalam hatinya. Gadis itu manis sekali, amat menarik dan juga amat gagah perkasa. Kasihan sekali gadis itu bernasib demikian malang. Biarpun Ayah gadis itu bukan seorang yang baik, akan tetapi agaknya gadis itu tidak memiliki sifat Ayahnya, bahkan memiliki kegagahan. Ah, kenapa dia tidak menanyakan siapa guru gadis itu? Ilmu silatnya demikian tinggi, apa lagi ilmu tongkatnya. Hebat! Tentu gurunya seorang yang sakti.

Setelah bayangan Kui Eng tidak nampak lagi, Ci Kong menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya. Tanpa disengaja kakinya juga bergerak menuju ke Kanton di mana dia mendengar terjadi hal-hal penting, yaitu pengepungan kota oleh pasukan pemerintah yang hendak menentang dan menghentikan perdagangan madat yang bersumber di Kanton. Memang terjadi hal-hal penting di Kanton. Panglima Lin Ce Shu mengepung dan menahan kota Kanton selama enam minggu dan setiap hari dilakukan penggeledahan dan penyitaan madat di seluruh kota. Kapten Charles Elliot yang memimpin perkumpulan English East India Company dan mengepalai semua pedagang, bahkan menjadi wakil pemerintahnya, menghadapi pukulan besar sekali. Segala usaha telah dilakukannya, dengan jalan melakukan bujukan dan penyogokan.

Namun, Panglima Lin Ce Shu tidak bergeming dalam tugasnya, tidak dapat dibujuk sama sekali! Dan akhirnya, secara terpaksa sekali kapten itu menyerahkan semua madat yang dimiliki para pedagang kulit putih. Lebih dari dua puluh ribu peti madat murni disita dari orang-orang kulit putih ini, dan seluruh madat yang disita oleh pasukan Lin Ce Shu berjumlah mendekati satu juta kilogram! Tumpukan-tumpukan peti madat yang amat besar jumlahnya ini oleh Panglima Lin Ce Shu lalu dibakar di depan umum, sehingga menimbulkan api besar bernyala-nyala dan bau yang menyengat hidung seluruh penduduk Kanton! Bahkan dalam kesempatan ini, Lin Ce Shu mengundang para pemuka orang kulit putih seperti Kapten Charles Elliot, Opsir Hellway dan lain-lain untuk datang menyaksikan "kembang api" luar biasa itu.

Mula-mula para pemuka orang kulit putih itu tidak tahu mengapa Panglima Lin yang mengadakan penyitaan madat itu mengundang mereka untuk makan malam dan berpesta. Mereka mengira bahwa tentu panglima itu merasa tidak enak hati dan kini menebus peristiwa itu dengan sikap lunak dan penghormatan dalam pesta. Walaupun hati mereka merasa mendongkol sekali karena peristiwa penyitaan madat itu mendatangkan kerugian yang tak terhitung besarnya, namun mereka datang pula dengan pakaian indah gemerlapan. Opsir Hellway datang bersama isterinya, dan Sheila juga ikut. Gadis ini nampak cantik jelita dengan gaun berwarna kuning emas itu berkilauan tertimpa sinar lampu warna-warni yang menerangi ruangan di atas benteng itu.


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Ternyata para pembesar sipil dan militer berkumpul di situ. Wajah-wajah tegang meliputi tempat itu karena bagaimanapun juga, peristiwa penyitaan madat itu mendatangkan kerugian yang bukan sedikit pula bagi beberapa orang pembesar yang tadinya menjadi pelindung para pedagang asing itu. Kini, para pembesar yang tadinya menjadi sahabat-sahabat baik kapten Charles Elliot dan anak buahnya, kini hanya dapat saling bertukar pandang dengan orang-orang kulit putih itu dengan muka yang suram dan pandang mata layu dicekam ketegangan. Akan tetapi, Panglima Lin Ce Shu melalui wakil dan juru bahasanya menyambut para tamu asing itu dengan ramah, dan mereka semua dipersilahkan duduk dan dijamu dengan meriah. Setelah mereka kenyang makan minum, Lin Ce Shu bangkit dari kursinya dan melalui seorang penterjemah dia berkata,

"Malam yang baik ini akan kami isi dengan pertunjukan indah bagi para tamu, terutama sekali para tamu bangsa asing yang malam ini berkumpul di sini memenuhi undangan kami. Kami persilahkan untuk menikmati keindahan kembang api istimewa!"

Panglima itu memberi isyarat dan tirai-tirai kain yang tadinya tertutup di depan jendela-jendela itupun dibuka. Nampak oleh orang-orang berkulit putih itu jauh di luar terdapat tumpukan peti-peti candu dan perajurit-perajurit yang sudah siap dengan obor di tangan. Panglima Lin Ci Shu memberi isyarat dengan tangan dan mulailah para perajurit membakar tumpukan candu yang puluhan ribu peti jumlahnya itu! Wajah orang-orang berkulit putih itu menjadi pucat ketika sinar api yang amat terang menimpa mereka. Mereka terbelalak. Sheila menahan pekik karena merasa ngeri ketika mencium bau candu dibakar, napasnya menjadi sesak dan cepat ia berlindung di belakang Ayahnya yang merangkulnya. Opsir Hellway mengepal tinju.

"Terkutuk...!" Dia menyumpah perlahan. Tak disangkanya bahwa mereka semua akan disuguhi tontonan yang menusuk perasaan itu. Panglima Lin Ce Shu mempunyai alasan kuat untuk melakukan hal ini.

Pertama, dia ingin membuktikan bahwa tidak ada permainan kotor dalam penyitaan candu itu, bahwa pemerintah bersungguh-sungguh untuk memberantas candu. Ke dua, dia ingin agar orang-orang kulit putih itu menjadi jera, dan ke tiga, dia ingin memperingatkan rakyatnya bahwa kebiasaan menghisap candu itu dilarang. Setelah para tamu dipersilahkan duduk kembali, dengan resmi Lin Ce Shu mengumumkan bahwa mulai hari itu, dilarang keras memasukkan candu ke Kanton. Semua kapal akan diperiksa dan siapa yang melanggar akan dijatuhi hukuman. Orang-orang asing, kalau kedapatan menyelundupkan candu, akan diusir dan semua harta bendanya disita, juga kapal yang membawa candu akan disita. Setelah mendengar peringatan keras ini, orang-orang kulit putih itu tentu saja merasa tidak enak untuk duduk di situ lebih lama lagi.

Kapten Charles Elliot lalu pamit dan para tamu asing itu meninggalkan tempat itu dengan wajah muram. Mereka semua merasa seperti menerima tamparan keras, selain dirugikan, juga mendapatkan malu dan ancaman. Masa depan mereka menjadi suram. Kalau tidak boleh memasukkan madat, berarti mereka kehilangan mata pencarian yang amat menguntungkan! Sepulang mereka dari pesta itu, para pedagang lalu berkumpul di rumah Kapten Elliot dan mereka berunding. Dengan nada kesal dan marah sekali para pedagang itu menyatakan protes mereka dan menuntut agar Kapten Elliot tidak mendiamkan saja penghinaan dari pemerintah Ceng itu. Akhirnya Kapten Elliot, setelah melalui perdebatan dan perundingan yang panas, menyanggupi.

"Demi kehormatan bangsa dan pemerintah kita, demi kelangsungan kehidupan dan perdagangan kita, demi keamanan kita di negeri ini, aku akan membuat pelaporan kepada pemerintah kita dan minta bantuan pasukan agar kita dapat membuat pembalasan," demikian katanya. Kemudian Kapten Charles Elliot menganjurkan agar mereka semua bersiap-siap untuk meninggalkan Kanton dengan kapal-kapal yang disediakan.

Sebelum datang bala bantuan, mereka dianjurkan tenang-tenang dan diam-diam saja dulu. Kalau pasukan bala bantuan sudah datang, sebelum pasukan itu bertindak, mereka akan diberitahu untuk meninggalkan Kanton dan mengungsi ke kapal yang akan menyelamatkan mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang kulit putih ada yang pemabokan dan beberapa hari kemudian, dalam keadaan mabok diapun mengoceh dan membual di luaran bahwa pasukan Inggeris akan datang dan menyerbu kota Kanton untuk memberi hukuman atas perlakuan yang diberikan pemerintah terhadap orang-orang Inggeris pada malam hari itu. Ada yang mendengar obrolan ini dan tentu saja berita itu didesas-desuskan orang. Pada waktu itu, terdapat banyak perkumpulan pendekar yang anti orang kulit putih yang menyebarkan madat itu.

Ada pula perkumpulan pendekar yang hanya anti pemerintah Ceng sebagai pemerintah penjajah Mancu. Di antara golongan ke dua ini adalah perkumpulan Thiante-pang. Perkumpulan ini hanya anti pemerintah Mancu. Walaupun mereka juga tidak suka melihat orang kulit putih menyebar madat, namun mendengar desas-desus bahwa pasukan Inggeris akan menyerbu Kanton dan memusuhi pemerintah Ceng, diam-diam mereka merasa senang. Penyerbuan pasukan asing itu akan mereka terima dengan baik, karena membuka kesempatan bagi mereka untuk melemahkan kekuatan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, para pendekar yang tergolong anti kulit putih, mendengar desas-desus itu, menjadi marah sekali kepada orang-orang asing.

Dan beberapa hari sebelum pasukan Inggeris tiba, meledaklah ketegangan yang terasa makin panas di Kanton. Dimulai dari pertengkaran antara seorang kulit putih setengah mabok dengan seorang pecandu yang ketagihan dan dalam keadaan setengah sadar pecandu ini mendatangi orang kulit putih itu dan nekat minta diberi madat. Orang kulit putih setengah mabok itu marah-marah dan memaki-maki, lalu terjadi perkelahian yang menjalar menjadi kerusuhan ketika golongan anti kulit putih menyerbu dan mengeroyok si pemabok dan beberapa orang kawannya. Pasukan penjaga keamanan cepat bertindak karena para pembesar tidak menghendaki terjadinya kerusuhan itu. Orang-orang kulit putih menjadi panik, apa lagi ketika mendengar bahwa pemerintah mereka telah mengirim armada yang kuat untuk menyelamatkan mereka dan menggempur Kanton!

Mulailah terjadi pengungsian besar-besaran menuju ke pelabuhan di mana terdapat kapal-kapal mereka. Karena gerakan pengungsian ini, maka golongan anti kulit putih mulai bergerak menyerang mereka yang berusaha melarikan diri. Tentu saja orang-orang kulit putih ini melakukan perlawanan dan mereka itu rata-rata memiliki senjata api sehingga terjatuh pula korban di antara para pendekar yang membenci mereka. Hal ini membuat perkelahian menjadijadi. Pasukan keamanan yang repot! Karena orang-orang kulit putih itu tidak melawan pemerintah, maka kewajiban pemerintah untuk melindungi mereka selama mereka masih berada di daratan. Lebih menggegerkan lagi ketika golongan pendekar yang menentang pemerintah Mancu, mempergunakan kesempatan selagi terjadi keributan itu untuk mengacau dan menyerang pasukan keamanan pemerintah sendiri!

Golongan ini bahkan ada yang melindungi orang-orang kulit putih karena mereka ini sengaja hendak mengadu domba antara pemerintah penjajah dan orang-orang kulit putih dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan penjajah dari tanah air. Pertempuran kecil-kecilan yang kacau balau terjadi dan penduduk yang tidak mau ikutikut dalam perkelahian-perkelahian itulah yang menjadi panik dan banyak pula yang lari mengungsi meninggalkan Kanton. Hal ini membuat suasana menjadi semakin gaduh dan kacau balau. Dan sudah biasa bahwa setiap kali sebuah kota mengalami kekacauan dan penjaga keamanan tidak mampu mengatasi keadaan, maka para penjahatpun keluar semua, merajalela mempergunakan kesempatan ini untuk mencari keuntungan seenaknya dan semudahnya.



Dewi Ular Eps 11 Dewi Ular Eps 1 Rajawali Hitam Eps 15

Cari Blog Ini