Pemberontakan Taipeng 10
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
"Yang terhormat Lee-Kongcu akan keluar untuk menyambut para tamu!" Semua orang memandang dan dari lorong yang menuju ke panggung itu muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan tampan. Laki-laki itu berusia kurang dari empat puluh tahun, wajahnya tampan dan pesolek, mulutnya dihias senyum, kumis dan jenggotnya teratur rapi, pakaiannya dari Sutera yang mahal dengan potongan seperti seorang terpelajar atau bangsawan. Akan tetapi gagang emas sepasang belati di pinggang dan sebatang pedang di punggung menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang pelajar yang lemah. Langkahnya tegap dan dia naik ke atas panggung sambil tersenyum dan mengangguk ke kanan kiri, lagaknya seperti seorang pembesar atau bahkan raja yang kedatangannya sudah dinanti oleh banyak orang!
Biarpun kini wajahnya yang tampan menjadi semakin gagah oleh kumis dan jenggot yang terpelihara baik, para pendekar yang hadir di situ masih mengenal bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Lee Song Kim, murid datuk sesat Hai-Tok Tang Kok Bu! Siauw Lian Hong mengepal tinju, juga Ciu Kui Eng, karena kedua orang wanita itu membenci Lee Song Kim. Tidak salah dugaan Ci Kong dan pendekar ini memandang tajam. Kalau Lee Song Kim sudah berani mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, maka tentu dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hal ini sudah dibuktikan dengan pembunuhan terhadap para tokoh Kun-Lun-Pai, bahkan wakil ketua Siauw-Lim-Pai juga dibunuhnya! Kini dia melihat bahwa Lee Song Kim yang berambisi untuk menjadi jago nomor satu di dunia itu sengaja melakukan pembunuhan-pembunuhan dengan maksud mengadu domba antara Siauw-Lim-Pai dan Kun-Lun-Pai.
Kalau kedua partai persilatan besar itu sampai bermusuhan, maka tentu akan menjadi lemah dengan sndirinya dan dialah yang akan mendapat keuntungan, karena akan lebih lancar jalannya menuju ke arah kedudukan yang dicita-citakan yaitu sebagai bengcu (pemimpin rakyat) di antara tokoh-tokoh persilatan, menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan! Melihat sinar mencorong keluar dari sepasang mata Lee Song Kim, Ci Kong dapat menduga bahwa orang ini sekarang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, dan tentu selama belasan tahun ini telah menggembleng dirinya. Teringatlah dia akan kematian Hai-Tok di tangan para tokoh Siauw-Lim-Pai ketika datuk sesat itu tertangkap basah mencuri kitab-kitab Siauw-Lim-Pai,
Dan diapun telah mendengar akan lenyapnya kitab-kitab pelajaran silat rahasia dari perkumpulan perkumpulan besar. Tak salah lagi, pikirnya. tentu Lee Song Kim dan gurunya, mendiang Hai-Tok, yang telah melakukan pencurian-pencurian itu, dan agaknya semua kitab itu telah dipelajari dan dilatih dengan baik oleh Song Kim. Dia dapat menjadi seorang lawan yang amat berbahaya, pikirnya. Sementara itu, Song Kim yang memandang ke sana-sini sambil tersenyum, tentu saja mengenal wajah-wajah mereka yang pernah menjadi musuhnya, akan tapi dia bersikap biasa, seolah-olah belum penah melihat mereka. Kemudian dia melangkah ke tepi panggung, menghadapi semua tamu dan berkali-kali dia memberi hormat dengan bersoja ke kanan kiri dan depan, terutama kepada para tamu kehormatan yang duduk di atas panggung.
"Selamat datang, cuwi yang mulia! Selamat datang dan terima kasih atas kunjungan cuwi memenuhi undangan kami. Sebelum membicarakan urusan penting yang menjadi maksud undangan kami, kami persilakan cuwi menikmati hidangan sekedarnya!" Setelah berkata demikian Lee Song Kim lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan untuknya dan para pelayan wanita yang kesemuanya adalah anggauta Ang-Hong-Pai, segera sibuk mengeluarkan hidangan yang masih panas. Yang oleh Lee Song Kim, dinamakan hidangan sekedarnya itu ternyata merupakan hidangan yang serba mahal dan lezat.
Sebentar saja meja-meja itu penuh hidangan, dan terciumlah di antara bau yang sedap dan gurih itu, bau arak yang keras dan harum. Tamupun tidak sungkan-sungkan lagi, menyerbu hidangan dan mereka makan minum dengan gembira. Bahkan para pembesar militer dari kota raja diam-diam merasa kagum melihat hidangan yang disuguhkan itu tidak kalah royalnya dibandingkan dengan hidangan yang keluar dalam pesta seorang bangsawan besar. Memang Lee Song Kim sengaja mengadakan pesta besar untuk mendapatkan kesan baik dari para tamunya. Setelah para tamu makan minum secukupnya, Lee Song Kim kembali bangkit berdiri di tepi panggung dan memberi hormat kepada para tamunya. Semua tamu maklum bahwa kini tuan rumah tentu akan mengumumkan maksud undangannya, maka semua orang memandang penuh perhatian.
"Cuwi yang mulia!" katanya yang suaranya lantang, didorong oleh Tenaga khikang yang kuat, wajahnya serius namun senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya.
"sekarang tiba saatnya bagi kami untuk membicarakan urusan penting, yaitu maksud dari undangan yang kami kirimkan dan sebarkan untuk cuwi. Kita semua mengetahui bahwa dewasa ini, kehidupan rakyat terancam oleh perang yang terjadi di mana-mana. negara mempunyai banyak musuh. dalam keadaan sekacau ini, sudah sepatutnyalah kalau kita, orang-orang kaum persilatan, bangkit untuk mengamankan keadaan dan membantu pemerintah mengatasi keadaan. Bagaimana pendapat cuwi? Tidak benarkah apa yang telah saya kemukakan tadi?"
"Akur, akur!"
"Setuju sekali!" Teriakan-teriakan menyambut ini dipelopori oleh mereka yang memang sudah tunduk kepada Song Kim, dan diturut oleh sebagian besar golongan sesat. Dan karena apa yang diucapkan Song Kim memang tak dapat dibantah kebenarannya, para pendekar juga banyak yang mengangguk menyatakan setuju. Song Kim dengan wajah berseri mengangkat kedua tangan ke atas memberi tanda kepada semua tamu agar tenang.
"Cuwi yang mulia. Biarpun kita kaum persilatan harus bangkit, namun kalau kebangkitan itu dilakukan secara liar dan sendiri-sendiri, tentu bahkan akan menimbulkan kekacauan dan persaingan. Oleh karena itu, perlu kiranya kalau kita bersatu dan untuk dapat terlaksananya persatuan di antara para tokoh dunia persilatan, sudah semestinya kalau perlu adanya seorang bengcu yang akan memimpin kaum kang-ouw. Tentu saja seorang pemimpin haruslah memiliki ilmu silat tertinggi. Setujukah cuwi?" Kembali sambutan dipelopori kaki tangan Song Kim dan diturut oleh sebagian besar para tamu. Akan tetapi banyak di antara para pendekar yang diam saja. Kembali Song Kim mengangkat kedua tangan minta tenang.
"Cuwi tentu telah mengetahui bahwa belasan tahun yang lalu, pernah terjadi geger ketika semua orang memperebutkan pusaka Giok-Liong-Kiam dan pusaka itu dianggap sebagai lambang keunggulan. Siapa yang memiliki pusaka itu dianggap memiliki kepandaian tinggi dan pantas menjadi seorang bengcu! Pemilik Giok-Liong-Kiam boleh diangkat menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan dingkat menjadi bengcu, karena kalau dia sudah berhasil memiliki Giok-Liong-Kiam, maka berarti bahwa dia tentu berkepandaian tinggi! Setujukah cuwi kalau kita memilih orang yang telah memiliki Giok-Liong-Kiam menjadi bengcu?"
"Setuju...!" Kembali anak buahnya memelopori dan diturut oleh beberapa orang golongan sesat.
"Nanti dulu...!" Tiba-tiba Yu Kiang, suami Ceng Hiang yang duduk dikursi kehormatan, berseru. Semua orang memandang kepadanya, juga Song Kim membalik menghadapi orang itu.
"Kami mendengar bahwa Giok-Liong-Kiam berada di tangan pemimpin pemberontak Tai Peng yang kini mengangkat diri menjadi raja, yaitu Ong Siu Coan. Apakah ini berarti bahwa kita harus mengangkat pemimpin pemberontak itu menjadi bengcu sehingga kita semua akan menjadi pengkhianat dan pemberontak?"
Para pendekar juga saling pandang dengan heran. Mereka yang pernah membantu gerakan Tai Peng sebelum mereka kemudian meninggalkan Tai Peng yang melakukan penyelewengan, tahu belaka bahwa Giok-Liong-Kiam memang berada di tangan Ong Siu Coan. Apalagi Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Suami isteri pendekar ini tentu saja tahu dengan jelas tentang Giok-Liong-Kiam, karena merekalah yang memberikan Giok-Liong-Kiam kepada Ong Siu Coan yang datang berkunjung kepada mereka yang meminjamnya. Bagimana kini Song Kim berani mengatakan bahwa para tamu harus memilih pemegang Giok-Liong-Kiam menjadi bengcu? Bukankah hal itu berarti bahwa orang itu mengusulkan agar mereka semua memilih Ong Siu Coan menjadi pemimpin dunia persilatan? Akan tetapi Song Kim tidak menjadi gugup mendengar semua pertanyaan itu. Dia bahkan tersenyum cerah.
"Justeru karena Giok-Liong-Kiam pernah dimiliki oleh pemimpin besar Tai Peng, maka siapa yang mampu mengambilnya dari istananya di Nan-king, berarti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan pantaslah kalau menjadi pimpinan atau bengcu. Saya yang tanggung bahwa Giok-Liong-Kiam bukan berada di tangan pemimpin Tai Peng itu, melainkan di tangan seorang yang ilmu kepandaiannya melebihi Ong Siu Coan! Pantaskah pemilik Giok-Liong-Kiam itu diangkat menjadi bengcu?"
"Pantas! Pantas!"
"Setuju! Setuju!" kembali kaki tangannya berteriak dan diikuti oleh banyak tamu dari golongan sesat.
"Akan tetapi siapakah yang kini menjadi pemilik Giok-Liong-Kiam?" teriak Siauw Lian Hong yang tidak sabar lagi menanti, melihat sikap Song Kim yang dianggap sombong dan menyebalkan. Lee Song Kim memandang kepadanya lalu menjura.
"Pertanyaan pendekar wanita Siauw Lian Hong itu memang tepat, dan agaknya menjadi pertanyaan dari cuwi yang hadir, maka baiklah saya jawab. Giok-Liong-Kiam kini berada di tangan Thian-He Te-It Bu-Hiap. Inilah dia!" Dan diapun mengeluarkan pedang Giok-Liong-Kiam itu dari balik jubahnya. Diangkatnya pedang pusaka itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Pedang kecil berukir tubuh naga dan terbuat dari batu giok (kemala) hujau kemerahan itu nampak mengkilap dan indah sekali ketika dicabut dari rangkanya. Semua orang memandang kagum dengan mata terbelalak dan Lian Hong hendak bangkit berdiri. Mukanya merah, matanya bernyala dan penuh kemarahan.
"Pencuri keparat...!" desisnya, akan tetapi suaranya tenggelam ke dalam kegaduhan yang terjadi setelah semua tamu melihat Giok-Liong-Kiam itu. Suaminya, Tan Ci Kong segera memegang lengannya dan menariknya dengan halus agar duduk kembali.
"Tenanglah, di sini kita tidak bisa mengaku pernah membantu Ong Siu Coan," bisiknya. Lian Hong mengangguk dan biarpun mukanya masih kemerahan dan matanya bersinar marah, ia diam saja. memang, tidak mungkin di tempat terbuka seperti itu, di mana hadir pula beberapa orang pembesar militer Kerajaan Ceng, mereka mengaku bahwa merekalah yang meminjamkna pedng Giok-Liong-Kiam kepada Ong Siu Coan, pemimpin pemberontak Tai Peng itu.
"Pedang itu palsu!" teriak seorang tamu.
"Semua orang tahu pedang Giok-Liong-Kiam yang aseli berada di tangan raja Tai Peng di Nan-king!" Mendengar teriakan ini, banyak pasang mata memandang ke arah pedang itu di tangan Song Kim itu dengan penuh keraguan. Akan tetapi, Ci Kong dan Lian Hong mengenal pedang itu dan mereka berdua merasa yakin bahwa pedang yang dipegang Song Kim itu memang Giok-Liong-Kiam aseli. Song Kim tertawa sopan mendengar pedang itu disangka palsu. Dia mengangkat pedang itu tinggi-tinggi di atas kepalanya.
"Cuwi, lihatlah baik-baik. Pedang Giok-Liong-Kiam ini aseli! Tanya saja kepada para pendekar yang pernah memperebutkannya belasan tahun yang lalu. Kalau palsu, tentu mereka akan menyangkalnya. Pedang ini aseli dan kalau ada Giok-Liong-Kiam lain, baik yang berada di tangan pemimpin Tai Peng sekalipun, maka pedang itu jelas palsu! Yang aseli berada di tangan Thian-He Te-It Bu-Hiap! Dan siapa yang menyangkal, berarti tidak percaya kepada Thian-He Te-It Bu-Hiap, dan tidak percaya sama dengan penghinaan. Nah, cuwi yang mulia. pemegang Giok-Liong-Kiam adalah jagoan nomor satu, dan pantas untuk menjadi bengcu. Apakah cuwi setuju?" Sorak-sorai menyambut kata-kata ini, tentu saja yang menjadi pelopor adalah orang-orang yang sudah takluk kepada Lee Song Kim, diikuti oleh mereka yang menjadi golongan sesat dan merasa kagum kepada orang she Lee itu.
"Terima kasih, cuwi. Akan tetapi, saya kira di antara para pendekar yang hadir, ada yang tidak setuju dan siapa yang merasa lebih pandai dari Thian-He Te-It Bu-Hiap dan hendak menguji kepandaiannya agar dapat percaya, silakan maju." Ini merupakan tantangan secara berterang! Diam-diam Ci Kong terkejut. Kalau Song Kim sudah berani mengajukan tantangan tanpa pandang bulu seperti itu, jelas bahwa orang ini sudah merasa bahwa dia tidak mempunyai tandingan lagi! Betapa sombongnya! Tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi besar meloncat ke atas panggung. Panggung itu sampai mengeluarkan bunyi dan agak bergoyang ketika tubuhnya yang berat dan kokoh kuat itu meloncat naik.
"Aku Yauw Kang mewakili Thian-He Te-It Bu-Hiap untuk menguji kelihaian orang yang berani memakai julukan Thian-He Te-It Bu-Hiap sebelum kami mengakuimu sebagai bengcu, orang she Lee!" katanya dan suaranya sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, karena suara ini nyaring dan besar. Lee Song Kim menyimpan kembali Giok-Liong-Kiam di balik jubahnya, lalu melangkah maju menghadapi raksasa bernama Yauw Kang itu, senyumnya melebar dan sikapnya tenang sekali, bahkan jelas memandang rendah.
"Saudara Yauw adalah seorang tokoh Thian-He Te-It Bu-Hiap? Akan tetapi, apakah tidak ada tokoh Thian-He Te-It Bu-Hiap lain yang lebih tinggi tingkatnya untuk maju agar para tamu yang terhormat dapat mengagumi ilmu kepandaiannya? Harap saudara Yauw mundur dan biarkan tokoh Thian-He Te-It Bu-Hiap yang paling lihai maju agar tidak membuang waktu." Ucapan itu dikeluarkan dengan suara hormat dan manis, namun sesungguhnya merupakan tamparan keras karena jelas bahwa Song Kim memandang rendah kepada laki-laki tinggi besar berusia kurang lebih empat puluh tahun itu.
"Lee-Kongcu terlalu memandang rendah Thian-He Te-It Bu-Hiap!" bentak Yauw Kang.
"Ketahuilah bahwa aku ditugaskan mewakili Thian-He Te-It Bu-Hiap dan aku adalah murid kepala pertama yang mewakili Suhu menggembleng para murid tingkat tinggi
"Bagus sekali kalau begitu," kata Song Kim tanpa melepas senyumnya.
"Saudara Yauw adalah tokoh tingkat dua dari Thian-He Te-It Bu-Hiap? Dan ingin menguji kepandaian Thian-He Te-It Bu-Hiap? Baik, majulah!" Yauw Kang yang sudah marah itu memasang kuda-kuda. Tubuhnya nampak kokoh kuat dan otot-ototnya mengembung. Tubuh yang tertutup pakaian itu seolah-olah membesar dan matanya mengeluarkan sinar.
"Lee-Kongcu, bersiaplah dan jaga seranganku!" Yauw Kang menyerang dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali, kedua telapak tangannya bertemu di udara mengeluarkan suara ledakan keras dan kedua tangan itu kini melancarkan pukulan, yang atas menghantam ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan telapak tangan, sedangkan yang bawah menyodok ke arah ulu hati. Cepat dan dahsyat serangan ini.
"Hemm, Cun-lui-tong-thian (Guntur Musim Semi Menggetarkan Langit)!" kata Lee Song Kim dan seperti yang sudah hafal akan jurus ini, kedua tangannya sudah menyambut dengan tangkisan perlahan. Kedua tangan Yauw Kang yang menyerang itu terpental dan kini Song Kim mengajukan kakinya, kemudian kedua tangannya menyerang dengan jurus yang persis sama!
"Uhhh...!" Tentu saja Yauw Kang kaget dua kali. Pertama kali ketika dia tadi mendengar jurus serangannya disebut dan ditangkis secara tepat oleh lawan dan kedua kali ketika lawan menyerangnya dengan jurus Cun-lui-tong-thian pula, dengan gerakan yang cukup cepat, kuat dan sempurna. Karena jurus itu amat berbahaya, sekaligus mengancam dua daerah berbahaya, yaitu ulu hati dan ubun-ubun kepala, maka cepat diapun menangkis pula seperti yang dilakukan oleh Song Kim radi. Akan tetapi, tiba-tiba saja lutut kirinya tercium ujung sepatu kanan Song Kim dan seketika itu menjadi lumpuh dan diapun jatuh berlutut dengan sebelah kaki! Song Kim tidak melanjutkan serangannya, melainkan membungkuk seperti membalas penghormatan orang.
"Saudara Yauw dari Thian-He Te-It Bu-Hiap tidak perlu sungkan- sungkan. berdirilah!" katanya, seolah-olah menolak penghormatan dengan berlutut! Tentu saja wajah Yauw Kang menjadi merah sekali. Dia merasa heran bukan main. Tuan rumah ini bukan saja dapat memainkan jurus ampuh dari Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan dapat menambah jurus itu dengan tendangan kaki ke arah lutut! Maklumlah dia bahwa orang yang mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu dan menjadi bengcu ini memang amat lihai dan dia bukanlah lawannya. Akan tetapi dia tetap merasa penasaran bagaimana orang yang bukan murid Thian-He Te-It Bu-Hiap mampu mengenal dan memainkan jurus simpanan radi. Dia bangkit dan terpincang, menjura,
"Lee-Kongcu memang lihai. Aku mengaku kalah." katanya jujur.
"Akan tetapi dari mana engkau bisa mendapatkan jurus ilmu silat kami tadi?"
"Dia mencuri dari kita!" tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan Kun-Lun-Pai. Song Kim tersenyum dan menoleh ke arah rombongan itu.
"Aku Lee Song Kim bukan tukang curi. Aku tidak mencuri jurus dari Thian-He Te-It Bu-Hiap, tidak pernah!"
"Hai-Tok, hurunya, yang mencuri!" Tiba-tiba terdengar Kui Eng berteriak marah. Seperti juga Lian Hong, sejak tadi wanita itu marah-marah dan kalau tidak disegah suaminya, tentu ia sudah maju dan menyerang Lee Song Kim. Kembali Song Kim tersenyum.
"Itu bukan urusanku, yang penting aku tidak mencuri. Tentu saja sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap, aku harus melengkapi pengetahuanku mengenai ilmu silat. Nah, siapa yang masih merasa penasaran dan hendak menguji ilmuku, silakan maju."
Sementara itu, kaum sesat yang memang sudah merasa kagum, ditambah semangat mereka oleh adanya Giok-liong- kiam di tangan Lee-Kongcu, kini menjadi semakin kagum dan gembira melihat betapa orang yang hendak mereka angkat mejadi pimpinan itu dalam segebrakan saja mampu mengalahkan tokoh kuat dari Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan dengan menggunakan jurus Thian-He Te-It Bu-Hiap pula! Hebat! Para ketua dan wakil partai-partai tadinya seperti Siauw-Lim-Pai, Kun-Lun-Pai dan lain-lain tidak ada yang mau maju. Mereka menganggap bahwa tidak perlu melayani seorang yang gila kehormatan seperti Lee Song Kim itu. Pula, mereka tidak memperebutkan sesuatu. biarlah orang ini menjadi bengcu, mereka toh tidak akan mengakui dan hanya golongan sesat saja yang agaknya mengakuinya. Maka,yang dinamakan "bengcu" ini sama sekali bukan pemimpin rakyat, bukan pemimpin para tokoh dunia persilatan,
Melainkan memimpin orang-orang jahat dari golongan hitam! Akan tetapi, karena tidak terikat oleh suatu aliran persilatan tertentu, dan karena merasa penasaran akan kesombongan orang she Lee yang mengangkat diri sendiri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan bengcu, masih ada dua orang ahli silat dari dunia persilatan yang bebas, berturut-turut maju dan menghadapi Lee Song Kim. Tingkat kepandaian dua orang ini tidak lemah, bahkan masih lebih lihai dibandingkan Yauw Kang tadi. Namun, mereka itupun bukan lawan tangguh bagi Lee Song Kim dan dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, seorang demi seorang dapat dirobohkan oleh Song Kim. Mereka tidak menderita luka parah, karena Song Kim yang cerdik dan sedang mencari dukungan itu tidak mau membuat orang membencinya dengan membuat lawan luka parah, apalagi tewas.
"Masih adakah di antara cuwi yang merasa bahwa aku tidak pantas menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap dan menjadi bengcu? Kalau masih ada yang ragu-ragu dan ingin menguji kepandaian, silakan maju sebelum pertemuan ini dibubarkan."
"Manusia sombong!" Kui Eng membentak. Biarpun bentakan itu bercampur dengan kegaduhan orang-orang yang memuji-muji Song Kim yang dengan amat mudahnya telah mengalahkan tiga orang lawan yang lihai itu, namun agaknya Song Kim dapat mendengarnya dan diapun menoleh ke arah Kui Eng. Memang terdapat perasaan suka dalam hati Song Kim terhadap Ciu Kui Eng ini.
Belasan tahun yang lalu, ketika Kui Eng masih seorang gadis cantik jelita, pernah ia bersama Lian Hong dan Ci Kong menyamar untuk melakukan penyelidikan ke kota raja. Mereka bertemu dengan Lee Song Kim yang jatuh cinta kepada Kui Eng dan melamarnya! Kui Eng tentu saja menolaknya dan Ci Kong yang marah-marah membuat penyamaran mereka terbuka dan mereka nyaris celaka. Kini, melihat wanita yang pernah dicintanya itu, diam-dim Song Kim tertarik. Dia sudah mendengar bahwa Ciu Kui Eng, murid Tee-tok itu, telah menikah dengan orang yang kini menjadi ketua Kang-Sim-Pang dan biarpun dia belum mengenalnya, namun dia dapat menduga bahwa pria yang gagah dan duduk di dekat Kui Eng itu tentulah ketua Kang-Sim-Pang yang menjadi suami Kui Eng itu. Dia tersenyum dan sengaja memandang kepada mereka ketika mengeluarkan kata-kata yang lantang.
"Benarkah tidak ada lagi orang gagah yang meragukan keunggulanku? Tidak ada lagi yang hendak menguji kepandaianku? Apakah karena tidak berani? Kami pernah mendengar bahwa perkumpulan Kang-Sim-Pang memiliki banyak orang gagah perkasa. Apakah tidak ada wakilnya di sini? Sudah lama sekali aku ingin bertemu, berkenalan dan membuktikan apakah kaki tangan mereka sama kerasnya dengan hati mereka!" Dengan ucapan ini Song Kim menyindir nama perkumpulan itu karena Kang-Sim-Pang berarti Perkumpulan Hati Baja! mendengar tantangn ini, tentu saja betapapun sabarnya, wajah Thio Ki menjadi merah sekali.
Dialah yang ditantang dan dia tidak percaya apakah Lee Song Kim mengeluarkan kata-kata itu hanya kebetulan saja, agaknya memang sengaja melontarkan kata-kata itu untuk menantangnya? Dialah orang Kang-Sim-Pang, bahkan ketuanya! Akan tetapi ada orang yang lebih panas hatinya dan lebih marah dari[ada dia ketika mendengar ucapan Song Kim itu. Orang itu adalah isterinya sendiri, Ciu Kui Eng! Memang sejak tadi Ku Eng sudahmarah kepada Song Kim. Apalagi ketika mendengar tantangan yang jelas ditujukan kepada suaminya itu. Ia mendahului suaminya, karena melihat kelihaian Song Kim, ia masih ragu apakah suaminya akan mampu menandingi manusia sombong itu. Song Kim adalah murid mendiang Hai-Tok, maka ialah tandingannya, ia murid Tee-tok sehingga dapat dibilang bahwa ia setingkat dengan Song Kim. maka, melihat sikap suaminya yang menjadi marah, ia segera bangkit dan berseru nyaring.
"Lee Song Kim, manusia sombong, akulah lawanmu!" dan iapun hendak meloncat ke atas panggung. Akan tetapi Thio Ki sudah memegang lengan isterinya danmencegah.
"Aku yang ditantang, biarlah aku yang akan menghadapinya!" kata Thio Ki.
"Tidak perlu engkau maju sendiri, akupun cukup untuk menghajarnya!" kata Kui Eng keras dan ia melepaskan pegangan tangan suaminya. thio Ki melepaskan tangan isterinya karena pada saat itu, banyak mata ditukukan kepada mereka. thio ki maklum bahwa icapan isterinya tadi sengaja untuk mengangkat dirinya karena banyak orang melihat dan mendengarnya.
Isterinya sengaja mengatakan bahwa tidak perlu dia maju sendiri, biar isterinya yang maju menghajar Lee Song Kim. dengan ucapan itu seolah-olah isterinya hendak mengakui bahwa tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkat isterinya. Padahal, di balik itu agaknya isterinya khawatir kalau-kalau dia tidak akan mampu menandingi song Kim! Kalau sampai dia kalah, tentu akan turun nama besar Kang-Sim-Pang! Dia tahu benar bahwa isterinya lebih lihai darinya dan kalau sampai isterinya tidak mampu mengalahkan Song Kim, apalagi dia! Kekalahan isteinya, andaikata sampai kalah, tidak akan mengganggu kebesaran nama Kang-Sim-Pang, tidak seperti kalau dia sendiri sebagai ketuanya yang kalah. Maka. dengan terharu dan khawatir, dengan kedua tangan terkepal, dia duduk kembali dan melihat saja ketika isterinya meloncat naik ke atas panggung.
Ciu Kui Eng adalah murid tunggal dari Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang menjadi datuk-datuk kaum sesat. Di antara ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, juga Tee-tok amat terkenal oleh kehebatan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa. Ketika Tee-tok tertarik kepada Kui Eng yang ketika itu baru berusia dua belas tahun, dan bermaksud mengambil gadis itu sebagai muridnya, Ayah Kui Eng, yaitu mendiang Ciu Lok Tai hartawan di Tung-kang, menguji Tee-tok dengan senjata api. Diserang dengan senjata api, Tee-tok dapat menyelamatkan diri, menghindar dengan ginkangnya yang luar biasa sehingga dia seolah-olah segesit burung walet yang sukar untuk ditembak!
Karena telah mewarisi ilmu dari gurunya, ketika melompat ke atas panggung, gaya lompatan Kui Eng bagaikan seekor burung walet melayang saja, demikian ringan dan cepatnya tubuh itu melayang ke atas lalu menyambar turun ke atas panggung tanpa mengeluarkan suara seolah-olah bukan tubuh manusia melainkan seekor burung yang hinggap di atas panggung, di depan Lee Song Kim! Semua orang terkejut dan kagum, bahkan di antara para pendekar yang sudah mengenalnya, bertepuk tangan dengan penuh harapan. Mereka mengenal siapa Ciu Kui Eng karena gadis perkasa ini pernah menjadi pemimpin pasukan pejuang yang terdiri dari pekerja- pekerja pelabuhan. Bahkan Thio Ki, yang kini menjadi suaminya, ketika itu menjadi pembantunya yang paling tangguh.
"Hidup Ciu-Lihiap!" terdengar beberapa orang berteriak gembira. Akan tetapi Song Kim tersenyum dan sejenak menatap wajah wanita itu dengan senyum yang khas, senyum memikat, juga sinis karena diapun memandang rendah kepandaian wanita ini. Karena dia hendak mengambil hati banyak orang, maka dia menahan diri, ridak mau mengeluarkan kata-kata kasar. Bahkan dia cepat menjura dengan sikap sopan dan ramah.
"Maaf, nyonya. tidak kelirukah ini? Suamimu berada di sana, dan dia adalah ketua Kang-Sim-Pang, kenapa tidak dia yang maju? Apakah engkau hendak mewakili dia karena engkau takut dia terluka? Ataukah engkau maju karena sebagai murid Tee-tok engkau hendak memperlihatkan kepandaian?" Ucapan itu dikeluarkan dengan halus dan ramah, namun bagi Kui Eng tajam bagaikan pisau menyayat perasaannya. Mukanya menjadi semakin merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi tanda bahwa ia menjadi marah sekali.
"Lee Song Kim, sejak dahulu engkau memang seorang manusia yang sombong, besar kepala, licik, curang. Aku yang naik kesini untuk mencoba kepandaianmu, mengapa engkau menyebut-nyebut suamiku? Kalau engkau takut menghadapi aku, katakan saja, jangan memakai banyak alasan!" Ucapan Kui Eng inipun tajam dan mengandung sindiran.
"Aku? Takut? Ha-ha-ha, Thian-He Te-It Bu-Hiap tidak perlu takut menghadapi siapapun juga, apalagi hanya seorang wanita seperti engkau, nyonya." kata Song Kim sambil tertawa menutupi persaan tidak enak di hatinya. Tentu saja dia tidak takut melawan Kui Eng, akan tetapi maksudnya tadi adalah untuk mengalahkan sumai wanita ini dan untuk memamerkan kepandaiannya kepada wanita yang pernah dicintanya ini, bukan untuk bertanding melawan Kui Eng! Dia tidak takut, sama sekali tidak. Dulupun dia tidak takut melawan murid Tee- tok ini, apalagi sekarang!
"Tak perlu banyak membual, nah, sambutlah seranganku ini!" bentak Kui Eng dan iapun sudah menerjang dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap dan hanya nampak bayangannya saja berkelebat ketika ia melakukan serangan ke arah Lee Song Kim. Song Kim tentu saja tahu akan lihainya wanita murid Tee-tok ini, maka diapun tidak berani main-main dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan keua tangannya menangkis dan balas menyerang. terjadilag serang menyerang yang seru dan sedemikain cepatnya sehingga hanya mereka yang memiliki ilmu tinggi saja dapat megikuti semua gerakan kedua orang itu. Ci Kong dan Lian Hong, juga Ceng Hiang, dan tentu saja Thio Ki, mengikuti jalannya petandingan itu dengan penuh perhatian. hati mereka terasa tegang karena memang perkelahian di atas panggung itu hebat sekalim berbeda sama sekali dengan ketika Song Kim melawan lawan-lawan yang tadi.
Ilmu silat Kui Eng sungguh tak boleh dipandang ringan, karena selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari Tee-tok, juga wanita ini telah mendapatkan banyak pengalaman ketika ia aktip dalam perjuangan melawan pemerintah. Dengan ginkangnya yang memang luar biasa, Kui Eng berusaha mendesak lawannya. Ia mengeluarkan jurus-jurus pilihan dari Ilmu Silat Cui-beng Sin-kun yang dipelajarinya dari Tee-tok. Ilmu silat ini merupakan ilmu silat andalan dari Tee-tok, gerakan-gerakannya amat dahsyat dan dimainkan mengandalkan kecepatan kilat disertai tenaga sinkang yang khusus dilatih untuk Ilmu Silat Cui-beng Sin-kun (Silat Sakti Pengejar Nyawa). Namun, biar dia tidak pernah mendapat kesempatan mempelajari ilmu simpanan dari Tee-tok itu, Song Kim selalu dapat menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan.
Harus diakuinya biarpun ia sudah menggembleng diri secara hebat selama ini, namun untuk dapat mengimbangi kecepatan dan keringanan tubuh Kui Eng, dia masih kalah setingkat. Namun, kekalahan dalam hal ginkang ini tertutup oleh kelengkapan ilmu silatnya yang beraneka ragam dan terutama tenaga sinkangnya yang lebih kuat daripada Kui Eng. Karena itu, semua serangan Kui Eng yang betapapun cepatnya, semua kandas oleh elakan danntangkisannya, bahkan ketika Song Kim mulai merobah-robah ilmu silatnya yang aneh-aneh dan serba tinggi, Kui Eng mulai terdesak. Wanita ini mengerahkan semua tenaga danmengeluarkan semua jurus simpanan, namun tetap saja ia sukar dapat membendung datangnya serangan yang serba aneh dan lihai itu.
"Lee Song Kim, lihat tongkatku!" tiba-tiba Kui Eng membentak dan nampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sebatang tongkat seperti sepotong ranting saja yang panjangnya kurang lebih tiga kaki, dan begitunia menggerakkan ranting hitam ini, terdengar bunyi suara mengaung dan Song Kim terkejut. Namun dia segera dapat menguasai dirinya dan mengelak ke sana sini, bahkan berusaha menangkap tongkat itu dengan tangannya yang kebal. Dia tentu saja sudah tahu bahwa keistimewaan Tee-tok adalah ilmu tongkat hitam yang disebut Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa) dan agaknya dalam keadaan terdesak, Kui Eng kini mempergunakan ilmu tongkat itu.
Namun, Song Kim tidak menjadi gentar. Selama ini dia telah banyak mempelajari ilmu tongkat bahkan berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Siauw-Lim-Pai yang terkenal tangguh, maka melihat permainan Kui Eng, diapun tahu bahwa ilmu yang dimainkan oleh Kui Eng mempergunakan sebatang ranting hitam itu adalah gabungan dari ilmu pedang dan ilmu tongkat pendek. Dan dengan tenang diapun menghadapi serangan lawan dengan kedua tangan kosong saja! Biarpun dinpinggangnya terselip sepasang belati dan di punggungnya tergantung sebatang pedang, namun dia sengaja menghadapi lawan bersenjata ini dengan tangan kosong. Selain dia tidak ingin melukai wanita yang pernah dicintanya ini, juga dalam kesempatan ini dia dapat memamerkan kelihaiannya!
Dan memang dia hebat sekali. Ci Kong sampai bengong menonton perkelahian itu. Dia tahu betapa lihainya tongkat di tangan Kui Eng, namun tenyata Song Kim mampu menghadapin Kui Eng dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak nampak terancam atau terdesak! Diam-diam dia membuat ukuran dan harus diakuinya bahwa dia sendiripun belum tentu akan mampu mengalahkan Song Kim dalam keadaannya sepeti sekarang ini. Laki-laki itu ternyata telah menggembleng diri dan memperoleh kemajuan yang hebat sekali, bahkan jauh lebih lihai dibandingkan dengan mendiang Hai-Tok sendiri. Apa yang dikhawaturkan Ci Kong menjadi kenyataan. Belum sampai tiga puluh jurus sejak Kui Eng mempergunakan tongkatnya menghadapi Song Kim,
Tiba-tiba Song Kim mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanan mencengkeram ke arah leher wanita itu, disusul tangan kiri merampas tongkat dan kaki kanan menendang ke arah perut. Hebat bukan main serangan ini, dilakukan dengan cepat dan dengan tenaga sinkang yang kuat. Kui Eng terkejut. Kalau ia menghindarkan diri dari serangan cengkeraman dan tendangan yang beruntun, tongkatnya akan terampas. Kalau dipertahankannya tongkatnya, ia mungkin akan terkena oleh satu di antara serangan itu. Akan tetapi untuk melepaskan tongkatnya, merupakan pantangan baginya. Terampas senjata tongkat yang diandalkannya sama saja dengan menyerah kalah! Maka, ia mengelak dengan menarik tongkatnya ke belakang, tangan kirinya menangkis cengkeraman, dan agar jangan sampai terkena tendangan, terpaksa ia menyambut tendangan itu dengan kakinya pula.
"Desss...!" Akibat adu tendangan ini, tubuh Kui Eng terlempar keluar dari atas panggung dan hanya dengan ginkangnya yang istimewa ini dapat berjungkir balik membuat salto sampai tiga kali maka ia tidak sampai terbanting dan dapat turun dengan kaki lebih dulu ke bawah panggung! terdengar sorak sorai menyambut kemenangan Song Kim ini. Kui Eng merasa penasaran dan hendak meloncat naik lagi, akan tetapi tiba-tiba suaminya sudah ada di dekatnya, menggandengnya dan mengajaknya kembali duduk ke tempat semula. Lee Song Kim merasa gembira akan kemenangan itu, apalagi ketika melihat betapa makin banyak di antara tamu yang ikut menyambut kemenangannya. Biarpun demikian, dia melihat betapa banyak pula pendekar yang memandang kepadanya dengan alis berkerut. Juga Ceng Hiang berbisik- bisik dengan para panglima, lalu bangkit bersama suaminya.
"Karena pesta telah bubar dan kami tidak banyak waktu untuk menonton pameran kepandaian dan petandingan, kami akan pulang lebih dahulu," katanya sambil menjura kepada Lee Song Kim. Tuan rumah ini hanya tersenyum dan membalas dengan ucapan terima kasih. Perbuatan Ceng Hiang dan suaminya ini diturut oleh panglima lainnya, juga para pendekar yang tidak suka melihat kecongkakan Lee Song Kim, kini bangkit dan berpamit. Tak ketinggalan pula Ci Kong, Lian Hong, Kui Eng, Thio Ki, dan banyak lagi pendekar yang tidak mau mengakui orang seperti Lee Song Kim menjadi pemimpin kaum persilatan. Akan tetapi yang masih tinggal di situ cukup banyak, lebih dari dua ratus orang tamu! Mereka ini adalah orang-orang yang termasuk golongan hitam.
Mereka sudah lama haus akan pimpinan seorang datuk yang lihai, semenjak mundurnya Empat Racun Dunia dari dunia persilatan. Mereka kini melihat sepak terjang Lee Song Kim, melihat betapa mudahnya Song Kim mengalahkan beberapa orang pendekar, bahkan telah mengalahkan pula pendekar Ciu Kui Eng yang terkenal amat lihai sebahai murid Tee-tok, mengalahkan dengan mudah pula, menghadapi pendekar wanita itu yang memegang senjata tongkat andalannya dengan tangan kosong saja. Timbullah kekaguman dan harapan dalam hati golongan hitam untuk mengangkat Thian-He Te-It Bu-Hiap itu sebagai pengganti para datuk, menjadi pemimpin dari kaum sesat sehingga golongan mereka akan menjadi jaya kembali. Melihat ini, Lee Song Kim kembali mengeluarkan Giok-Liong-Kiam dari balik jubahnya.
"Saudara-saudara, kalau kalian benar mengakui aku sebagai Thian-He Te-It Bu-Hiap dan menjadi bengcu yang akan memimpin kalian, maka kalian harus memandang Giok-Liong-Kiam ini sebagai lambang kedudukanku, dan menghormati Giok-Liong-Kiam seperti menghormati diriku sendiri. Apakah kalian setuju?" Dengan suara gemuruh, semua orang yang hadir di situ berseru,
"Setujuu!!"
"Kalau kalian setuju, mulai sekarang, setiap kali Giok-Liong-Kiam ini nampak, kalian harus memberi hormat dengan berlutut!" kata pula Song Kim.
"Siapa yang tidak setuju, boleh pergi dari sini atau boleh menentangku dan naik ke panggung ini. Yang setuju agar cepat berlutut, dan aku akan memimpin kalian membangkitkan kembali golongan kita seperti yang belum pernah terjadi selama ini!" Seratus orang lebih itu lalu menjatuhkan diri berlutut, menghadap kepada Lee Song Kim, yang mengangkat Giok-Liong-Kiam tinggi-tinggi di atas kepalanya. Melihat ini, Song Kim tersenyum gembira. Tercapailah apa yang diidam-idamkannya. Dia telah diakui menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, bahkan diakui pula sebagai bengcu,
Biarpun masih ada para pendekar yang tidak atau belum mengakuinya, namun dia tadi telah memperlihatkan kepandaiannya dan buktinya tida ada lagi pendekar yang berani menentangnya. Andaikata kelak dia menghadapi tantangan mereka, dengan anak buah yang demikian banyak, dengan para tokoh golongan hitam di belakangnya, dia akan membasmi mereka semua! Pada sat itu, melihat orang-orang yang berkepandaian tinggi dari golongan hitam menjatuhkan diri berlutut kepadanya, dia merasa seperti menjadi seorang raja besar yang menerima kehormatan dari semua anak buahnya! Dengan hati penuh kebanggaan Song Kim menyompan kembali Giok-Liong-Kiam dengan hati-hati ke dalam jubahnya. Benda itu junu merupakan lambang kekuasaannya dan dia harus menjaganya dengan hati-hati.
"Bangkitlah kalian dan duduklah kembali. Kita lanjutkan pesta ini sampai semalam suntuk." Semua orang bangkit dan bersorak kegirangan, apalagi ketika Song Kim memerintahkan para anggauta Ang- hong-pai untuk melayani para tamu, juga mengeluarkan gadis- gadis penyanyi dan penghibur sehingga suasana pesta berbeda dari tadi. Kini pesta itu penuh kegembiraan di mana beberapa orang tamu yang sudah mabok tidak mali-malu untuk menggoda anggauta Ang-Hong-Pai yang masih muda-muda dan berparas lumayan itu. Para tamu dari golongan sesat itu rata-rata adalah golongan kasar dan menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri, golongan yang suka mengejar kesenangan melalui cara apapun juga.
"Aih, kenapa engkau mencegah aku melanjutkan pertandingan itu? Biar dia memang lihai sekali, akan tetapi aku tidak takut dan aku belum roboh!" Kui Eng menegur suaminya ketika mereka berada di kaki bukit bersama Ci Kong dan Lian Hong.
"Thio-pangcu benar," kata Ci Kong kepada Kui Eng.
"Dia sengaja hendak menimbulkan kesan dan memamerkan kepandaiannya. tidak baik kalau tadi kita berkeras karena pertandingan yang diadakan hanya untuk menguji kepandaian saja, bukan untuk berkelahi mati-matian. jugaa, di sana terdapat banyak panglima dan pembesar, dan kulihat Song Kim mempunyai banyak sekali anak buah. bahkan sebagian besar para tamu adalah golongan sesat yang berpihak kepadanya."
"Akan tetapi, sudah gatal-gatal pula tanganku hendak menghajar jahanam sombong itu!" kaya pula Lian Hong yang sama keras jatinya dengan Kui Eng.
"Apakah kita harus pergi begitu saja membiarkan dia menjadi bengcu dan menjadi seorang yang berani berjuluk Thian-He Te-It Bu-Hiap?" Ditegur oleh isterinya, Ci Kong tersenyum. Dia mengenal watak isterinya yang keras dan membenci kejahatan, juga mengenal watak Ciu Kui Eng yang kini menjadi isteri Thio Ki, pangcu (ketua) dari Kang-Sim-Pang itu.
"Tentang dia mengangkat diri menjadi Thian-He Te-It Bu-Hiap, dan menjadi bengcu, biarkanlah saja. Dia boleh berjuluk apa saja, hal itu setiap orang mempunyai kebebasan, dan semakin tinggi dia menggunakan julukan, semakin nyeri kalau dia jatuh kelak. Juga dia boleh saja menjadi bengcu, karena hanya merupakan bengcu dari golongan hitam, bukan dalam arti kata pemimpin takyat yang sebenarnya. Akan tetapi ada dua hal yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pertama, dia telah menguasai Giok-Liong-Kiam..."
"Hemm, bukankah pedang pusaka itu dulu milik kalian?" Kui Eng bertanya.
"Benar sejak dahulu pedang itu milik kami dan berada pada kami. Akan tetapi, pada suatu hari muncul Ong Siu Coan, beberapa tahun yang lalu. Dia meminjam pedang pusaka itu dan diberikan oleh suamiku," kata Lian Hong, kini merasa menyesal mengapa pedang pusaka itu dipinjamkan kepada Ong Siu Coan.
"Kalianpun mengerti mengapa aku memberikan pedang itu kepadanya ketika dia meminjamnya," kata Ci Kong kepada Thio Ki dan Kui Eng.
"Ketika itu, dia bercita-cita untuk berjuang menumbangkan kekuasaan Pemerintah Mancu. Bukan hanya pedang pusaka Giok-Liong-Kiam kami pinjamkan untuk menarik bantuan para pendekar, bahkan kita semua juga ikut pula menyumbangkan tenaga, bukan? Baru setelah kita melihat penyelewengan pasukan Tai Peng, yang dibiarkan saja oleh Ong Siu Coan yang mulai menjadi gila kekuasaan, kita mengundurkan diri. Pedang itu masih ada padanya. Maka, sungguh mengherankan bagaimana Giok-Liong-Kiam dapat berada di tangan Lee Song Kim!"
"Dia mengatakan bahwa yang berada di tangan Ong Siu Coan itu palsu! Agaknya yang berada di tangannya itulah yang palsu," kata Thio Ki. Ci Kong menggeleng kepala.
"Tidak, keduanya salah. Yang berada di tangan Ong Siu Coan jelas yang aseli karena dia menerimanya dari kami sendiri. dan yang berada di tangan Song Kim tadipun bukan palsu!"
"Kalau begitu dia telah mencurinya dari Ong Siu Coan!" kata Kui Eng.
"Kurasa bukan begitu," kata Lian Hong.
"Lebih banyak kemungkinannya bahwa Song Kim diberi pinjam oleh Ong Siu
Coan..."
"Mana mungkin? Bukankah antara Song Kim dan Kiki, bekas sumoinya itu, terdapat permusuhan?" Kui Eng membantah.
"Siapa tahu apa yang telah terjadi antara mereka? Mereka adalah orang-orang jahat dan tidak akan mengherankan kalau terjadi kerja sama antara Ong Siu Coan dan Lee Song Kim." jawab Lian Hong.
"Bagaimanpun juga, kita harus merampas kembali Giok-Liong-Kiam. Selain itu, ada satu hal lagi yang harus kuselesaikan. Jelaslah kini bahwa orang she Lee yang melakukan pembunuhan atas diri orang-orang Kun-Lun-Pai dan Siauw-Lim-Pai, yang melakukan hal itu untuk mengadu domba antara kedua perkumpulan persilatan besar itu, bukan lain adalah Lee Song Kim. Aku tidak dapat membiarkan saja kejahatannya itu"
"Kalau begitu kalian hendak menentangnya? Kami akan membantu kalian!" kata Kui Eng penuh semangat. Suaminya mengangguk, setuju dengan pernyataan isterinya. Ci Kong menarik napas panjang.
"Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian adalah sahabat-sahabat baik kami sejak dahulu! Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali. Lee Song Kim sekarang bukanlah yang dahulu. Dia telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan beraneka ragam. Melihat perkelahian tadi saja, aku sendiri meragukan apakah akan mampu menandinginya."
"Aku tidak takut!" Lian Hong penasaran.
"Kalau kita maju berdua, apalagi berempat, tentu dia akan mampus!"
"Kita tidak boleh sembrono menurutkan perasaan marah," kata pula Ci Kong.
"Ingat bahwa dia mempunyai banyak anak buah, dan aku melihat Theng Ci di sana. Dan mengingat bahwa Theng Ci adalah tokoh besar Ang-Hong-Pai, melihat pula gerak-gerik para pelayan wanita yang gesit-gesit, maka aku menduga bahwa merekapun adalah para anggauta Ang-hong- pai. Agaknya Song Kim telah bekerja sama dengan Ang-Hong-Pai, atau kalau melihat sikapnya, boleh jadi dia telah menguasai Ang-Hong-Pai Dan para anggauta itu menjadi anak buahnya. Nah, sekarang dia dibantu lagi oleh banyak orang sesat yang lihai, bagaimana kita boleh sembarangan saja? Kita harus menanti saat yang baik, untuk merampas kembali Giok-Liong-Kiam dan kalau mungkin membasminya." Mereka lalu berunding dan mengatur siasat, akan tetapi belum juga mendapatkan cara terbaik untuk menyerbu tempat tinggal sementara Lee Song Kim yang penuh dengan orang-orang golongan hitam itu. Mereka dapat menduga bahwa tempat itu hanya merupakan tempat sementara saja dan mereka belum tahu di mana letaknya sarang yang sesungguhnya dari Lee Song Kim. Selagi mereka berunding nampak bayangan berkelebat.
Empat orang pendekar itu berloncatan, siap siaga menghadapi musuh. Akan tetapi ternyata yang muncul adalah seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian mewah. Wanita yang sudah mereka kenal baik karena ia adalah Ceng Hiang, puteri pangeran yang menjadi isteri Yu Kiang itu. Mereka merasa lega dan gembira. Biarpun ia keluarga bangsawan tinggi yang tinggal di kota raja, namun Ceng Hiang merupakan seorang kenalan lama yang mereka kagumi. Ceng Hiang ini merupakan satu-satunya orang yang mewarisi beberapa macam ilmu keluarga Pulau Es yang mereka kenal, dan di luar pengetahuan mereka, Ayah wanita inipun telah menemukan kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang kemudian dipelajari dan dilatih oleh Ceng Hiang, yaitu kitab yang berisikan Ilmu Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang).
"Ah, kiranya kalian sedang berbincang-bincang di sini!" kata Ceng Hiang.
"Pantas aku menanti kalian di bawah sana tetap juga belum muncul. Agaknya urusan amat penting yang kalian bicarakan di sini!" Ci Kong dan lain-lain saling pandang dan melalui pandang mata, mereka mufakat untuk membuka rahasia mereka kepada wanita yang mereka hormati ini.
"Kami sedang bicara tentang jahanam Lee Song Kim itu!" kata Lian Hong.
"Tentang pedang Giok-Liong-Kiam yang berada di tangannya?" tanya Ceng Hiang dan kini ci Kong yang menjawab.
"Bukan hanya tentang pedang itu, akan tetapi juga tentang perbuatannya membunuh orang-orang Kun-Lun-Pai dan Siauw- lim-pai untuk mengadu domba. Kami sedang mencari siasat untuk dapat menyerbu ke tempatnya, merampas kembali pedang dan membasmi manusia jahat itu."
"Aih, kalau begitu sungguh kebetulan sekali!" Ceng Hiang berseru gembira sambil duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah.
"Mari kita duduk dan berunding. Aku memang mencari kalian untuk minta bantuan kalian menghadapi Lee Song Kim!"
"Ehhh?" Kui Eng berseru.
"Apa maksudmu?"
"Duduklah, dan dengarkan rencana kami." semua orang duduk dan memandang wajah yang cantik jelita itu ketika Ceng Hiang mulai bercerita.
"Tadi ketika meninggalkan tempat pesta, aku dan suamiku mengajak para panglima berunding dan kami bersepakat untuk mencurigai Lee Song Kim sebagai sekutu Tai Peng. Aku sudah mendengar bahwa Giok-Liong-Kiam terjatuh ke tangan Ong Siu Coan, dan kini melihat kenyataan bahwa pedang pusaka itu berada di tangan Lee Song Kim, maka kami merasa yakin bahwa dia tentu bersekongkol dengan Ong Siu Coan. Agaknya orang gila itu menugaskan Lee Song Kim untuk menarik para tokoh dunia persilatan agarndapat membantu gerakan Tai Peng yang kini macet sampai di selatan Sungai Yang-ce-kiang saja setelah ditinggalkan oleh para pendekar yang pernah membantunya." Sampai di sini, Ceng Hiang memandang kepada mereka dan empat orang pendekar itu merasa tidak enak. Bagaimanapun juga, mereka pernah juga membantu Ong Siu Coan dan ucapan Ceng Hiang itu seperti menyindir mereka.
"Aku tahu bahwa para pendekar telah tertipu oleh Ong Siu Coan," sambung Ceng Hiang yang agaknya mengerti akan isi hati mereka.
"Dan karena ditinggal oleh para pendekar, Ong Siu Coan agaknya hendak mengumpulkan kekuatan dengan perantaraan Lee Song Kim." Thio Ki mengangguk-angguk.
"Agaknya dugaan itu memang memiliki kemungkinan besar sekali." Yang lain-lain juga mengangguk.
"Lalu apa maksudnya bantuan kami dibutuhkan?" tanya Ci Kong meragu.
"Kami telah bersepakat dengan para panglima bahwa Lee Song Kim harus dibasmi, agar kekuatan Tai Peng tidak bangkit kembali. Malam ini kami akan menyerbu dengan menggunakan pasukan besar, dan kuharap kalian suka membantu kami, mengingat betapa lihainya Lee Song Kim dan dia mempunyai banyak pembantu yang berilmu tinggi."
"Akan tetapi... bagaimana mungkin kami harus membantu pasukan pemerintah...?" Kui Eng berseru.
"Maaf, engkau tentu mengerti kedudukan kami," katanya sambil memandang kepada puteri yang cantik itu. Cheng Hiang tersenyum manis.
"Engkaupun tentu tahu pula bagaimana pandanganku tentang penjajahan dan perjuangan rakyat yang gagah, kalau tidak begitu, bagaimana kita dapat menjadi sahabat? Akan tetapi, aku bukan minta kalian untuk membantu pasukan pemerintah, melainkan untuk bekerja sama karena bukankah kita mempunyai kepentingan masing-masing? Kalian hendak merampas kembali Giok-Liong-Kiam dan membasmi orang jahat, sedangkan pasukan pemerintah hendak melumpuhkan Tai Peng yang kalian juga tahu bukan merupakan pasukan pejuang rakyat yang bersih. Nah, dua kepentingan yang berbeda ini, apa salahnya kalau mendekatkan kedua pihak untuk menghadapi lawan yang tangguh?" Empat orang itu saling pandang, kemudian Ci Kong yang mengangguk.
"Kurasa ada benarnya pendapat itu. Kalau kita bergerak bersama pasukan pemerintah menyerbu malam ini, bukan berarti kita membantu pasukan pemerintah, melainkan kita menghadapi Lee Song Kim. Kita tidak bekerja sama melainkan kebetulan saja mempunyai kepentingan masing-masing untuk menentang Lee Song Kim. Aku setuju, terserah kepada yang lain." Lian Hong, Kui Eng, dan Thio Ki akhirnya menyetujui juga. Mereka tadi sedang kebingungan, belum mendapatkan siasat yang tepat untuk menghadapi Lee Song Kim dan anak buahnya yang banyak, dan kini tiba-tiba saja mereka seperti mendapat bantuan yang amat kuat, yaitu pasukan besar tentara, bahkan tentu saja dibantu oleh Ceng Hiang yang mereka tahu amat lihai ilmu silatnya!
"Akan tetapi kenapa harus malam nanti? Tidakkah lebih baik sekarang saja kita menyerbu?" Kui Eng mengajukan usul.
"Para panglima kini sedang mempersiapkan pasukan. Tanpa pasukan, kita kalah kuat karena menurut penyelidikan yang kusuruh lakukan, sekarang ini sisa para tamu, lebih dari seratus orang, masih berada di sana dan mereka itu adalah golongan hitam yang telah setuju mengangkat orang she Lee itu menjadi pemimpin mereka." Terpaksa Kui Eng dan yang lain-lain bersabar, dengan kekuatan mereka saja, biar ditambah oleh Ceng Hiang sekalipun, mana mungkin menghadapi Lee Song Kim yang sudah mempunyai anak buah yang kuat, kini ditambah lagi orang-orang golongan hitam yang seratus orang lebih jumlahnya?
"Mengingat akan kekuatan pihak lawan, kami akan mengerahkan sedikitnya lima ratus orang. Pasukan itu akan menyerbu, sedangkan kita akan menghadapi Lee Song Kim bersama para pembantunya," kata pula Ceng Hiang.
"Nah, sekarang aku harus kembali dulu untuk membantu para panglima mengatur pasukan, dan mengabarkan bahwa kalian sudah siap untuk membantu..."
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh... nyonya Yu, maafkan," kata Ci Kong.
"Harap jangan katakan apa-apa kepada para penglima. Kami akan menentang Lee Song Kim, akan tetapi bukan berarti membantu pasukan Ceng, maka biarlah kami bersiap-siap di dekat sarang musuh dan menanti tibanya penyerbuan, baru kami akan bertindak." Ceng Hiang tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Kalian tidak mau dikatakan membantu pasukan pemerintah. Aku mengerti dan baiklah. Sampai jumpa malam nanti, di tempat pertempuran." Wanita cantik itu lalu berkelebat dan lenyap di antara pohon-pohon. Setelah Ceng Hiang pergi, dua pasang suami isteri itu lalu mendaki bukit dan menyusup-nyusup di antara semak-semak belukar dan pohon-pohon agar jangan sampai kelihatan dari atas.
"Harap ingat baik-baik, kita sama sekali tidak boleh membantu perajurit pasukan kerajaan Ceng, dan kita hanya menyerang Song Kim dan mereka yang membantunya, berusaha merampas kembali Giok-Liong-Kiam dan kalau dapat membunuh orang jahat itu. Sebelum dia mati, tentu ada saja ulahnya untuk mendatangkan kekacauan di dunia ini," pesan Ci Kong kepada yang lain. Setelah tiba di luar perkampungan itu, mereka bersembunyi sambil mengintai, menanti sampai pasukan pemerintah datang menyerbu. Sampai lama mereka menanti, dan setelah cuaca menjadi gelap benar, pendengarn mereka yang tajam mulai menangkap pergerakan dari bawah bukit. Gerakan itu datang dari empat penjuru dan diam-diam mereka merasa girang.
Sekali ini Lee Song Kim pasti tidak akan dapat lolos lagi karena tempat itu telah dikepung dari empat penjuru oleh pasukan yang amat besar jumlahnya, sedikitnya lima ratus orang menurut pemberitahuan Ceng Hiang tadi. Mereka menanti dan makin mendekati pintu gerbang karena mereka ingin cepat-cepat menyerbu dan mencari Lee Song Kim. Dari luar pintu gerbang masih terdengar suara alat musik mengiringi nyanyian suara gadis-gadis penyanyi, diseling suara ketawa dan jerit-jerit kecil suara wanita, tanda bahwa pesta itu mulai kasar dan banyak yang sudah mabok bersikap terlalu bebas dengan para pelayan wanita. Mendengar jerit-jerit wanita dan suara ketawa-ketawa itu, Lian Hong dan Kui Eng saling pandang dengan muka merah dan mereka merasa semakin marah kepada Lee Song Kim. Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Lee Song Kim bukan orang sekasar itu,
Bahkan tidak suka mabok-mabokan dan menggoda wanita di depan umum seperti yang dilakukan para tamu yang kini menjadi anak buahnya itu. Namun, dia hendak menyenangkan hati orang-orang itu, maka diapun tidak melarang, hanya mengundurkan diri ke dalam kamarnya dan membiarkan mereka bersenang-senang sesuka hatinya semalam suntuk. Selagi dia duduk termenung, menikmati keberhasilannya hari itu, tiba-tiba dia mendengar suara dari luar jendela kamarnya. Jendela itu diketuk orang. Diam-diam dia terkejut. Kalau ada orang mampu mendekati jendela kamarnya tanpa dia mendengarnya sejak tadi, jelas bahwa orang itu memiliki ginkang yang cukup hebat. Dia menghampiri jendela, akan tetapi menahan diri untuk membuka daun jendela. Jangan- jangan seorang musuh yang datang pikirnya.
Pedang Naga Kemala Eps 7 Pedang Naga Kemala Eps 28 Dewi Ular Eps 6