Pemberontakan Taipeng 11
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"Siapa di luar jendela?" tanyanya perlahan. Sejenak tidak ada jawaban, lalu terdengan suara yang parau namun terdengar jelas dari dalam kamar,
"Apakah Lee-Kongcu yang berada di dalam? Aku ingin bicara dengan Lee-Kongcu, penting sekali, karena Lee-Kongcu berada dalam bahaya maut. Song Kim terkejut, akan tetapi dia lalu mengeluarkan suara ketawa.
"Hemmm, siapa engkau? Jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku! Hayo jawab, siapa engkau?"
"Aku she Lui, Kongcu tidak mengenalku, akan tetapi aku mengenalmu, Lee-Kongcu. Aku adalah satu di antara tangan kanan dan kepercayaan Sri Baginda Raja Yang Mahabesar di
Nan-king."
"Tai Peng...??" Song Kim bertanya heran dan kaget. Mau apa orang Tai Peng malam-malam begini menyusup ke sini? Dia lalu teringat akan Giok-Liong-Kiam dan otomatis tangannya meraba benda pusaka yang berada di balik jubahnya itu. Tentu Ong Siu Coan mengutus orang pandai untuk mencoba merampas kembali pusaka itu, tentu mata-mata Tai Peng melihatnya dan kini Tai Peng mulai bertindak. Akan tetapi dia tidak takut.
"Benar, Kongcu. Aku she Lui adalah seorang perwira tinggi Tai Peng yang memimpin pasukan mata-mata Tai Peng. Aku menjadi utusan pribadi Sri Baginda dan perlu sekali bicara denganmu, sebelum terlambat. Biarkan aku masuk!"
"Hemm, takut apa?" Timbul kecongkakan hati Song Kim dan diapun berkata.
"Kalau engkau berkepandaian tentu dapat masuk sendiri. Aku menanti di dalam kamar ini!" Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara tadi berkata.
"Baiklah, Lee-Kongcu. Maafkan aku!" Tiba-tiba saja daun pintu itu terdorong dari luar dengan amat mudah, tahu-tahu terbuka dan sesosok bayangan berkelebat loncat ke dalam kamar. Begitu bayangan itu tiba di tengah kamar, sebatang pedang sudah menodong lambungnya dari samping. Orang itu sama sekali tidak bergerak, juga tidak menoleh kepada Song Kim yang telah menodongkan pedangnya itu, melainkan berkata,
"Ah, aku datang untuk menyelamatkan nyawa Lee- Kongcu, akan tetapi malah disambut dengan menodongkan pedang!" Song Kim melihat orang itu masuk tanpa memegang senjata dan tidak mencurigakan sama sekali, maka diapun menarik kembali pedangnya. Akan tetapi dia belum menyarungkan pedangnya ketika berkata,
"Maaf, aku tidak mengenalmu dan engkau datang begini mengejutkan dan tiba- tiba. Tentu saja aku menjadi curiga.
" Dia lalu menuding ke arah sebuah kursi dan orang itupun duduk berhadapan dengan tuan rumah yang duduk pula di atas kursi. Mereka berhadapan dan Song Kim melihat bahwa orang itu usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya tajam bersinar-sinar, didahinya terdapat bekas luka memanjang dan melintang.
"Nah, ceritakan, engkau she Lui dan menjadi utusan Sri Baginda Raja di Nan-king, Maksudmu utusan Ong Siu Coan pemimpin balatentara Tai Peng?"
"Benar, Lee-Kongcu."
"Nah, katakan ada keperluan apa?"
"Kongcu, Sri Baginda sendiri yang memerintahkan aku untuk cepat menolong Kongcu dan semua tamunya, akan tetapi dengan syarat bahwa kalau Kongcu dan para tamu dapat diselamatkan, terutama Kongcu sendiri, Kongcu harus ikut dengan kami menghadap Sri Baginda Raja di Nan-king. Beliau ingin sekali bertemu dengan Thian-He Te-It Bu-Hiap yang menjadi bengcu baru!" Song Kim
(Lanjut ke Jilid 10)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
tersenyum dan membayangkan wajah Ong Siu Coan. Seorang yang hebat, dapat mengangkat diri sedemikian tingginya sampai menjadi raja besar! Dan terbayang pula wajah Tang Ki atau Kiki, sumoinya yang manis itu, dan senyumnya melebar.
"Akan tetapi sebelum aku menerima syarat itu, perlu aku mengetahui lebih dahulu, bahaya apa yang mengancam diriku dan bagaimana engkau akan dapat menyelamatkan aku?" Song Kim masih tidak percaya dan mengira banwa tentu Ong Siu Coan hendak menipunya!
"Kongcu, tidak ada banyak waktu. Ketahuilah bahwa tempat ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah Mancu!"
"Apa...!" Song Kim meloncat dan mendekati jendela untuk menjenguk keluar.
"kami akan melawan...
"Jangan tergesa-gesa, Kongcu. Yang dikepung adalah bukit ini dan sebanyak paling sedikit lima ratus orang perajurit mengepung dari empat penjuru. Berapa banyaknya anak buah Kongcu? Paling banyak seratus orang lebih! Bagaimana akan mampu menahan serbuan ratusan, mungkin mendekati seribu orang pasukan yang sudah terlatih perang? Dan jangan lupa, ada pendekar-pedekar sakti yang ikut membantu, dan pasukan itu sendiri dipimpin oleh Nyonya Yu Kiang yang sudah terkenal kelihaiannya!"
"Ceng Hiang...!"
"Benar, Kongcu."
"Aku tidak percaya!" Akan tetapi tiba-tiba terdengar lapat- lapat bunyi terompet dan wajah Song Kim berubah pucat.
"Nah, agaknya tidak banyak waktu pula untuk mengadakan pemilihan, Kongcu. Kalau Kongcu menerima syarat itu, aku akan mengerahkan pasukan mata-mata Tai Peng yang sudah siap untuk membantu sampai Kongcu dapat meloloskan diri, kalau tidak, aku akan meninggalkan Kongcu dan teman-teman dibasmi oleh pasukan Mancu, Bagaimana?" Memang tidak ada pilihan lain bagi Song Kim. Dia tahu benar. Tentu saja dia merasa sungkan dan khawatir untuk dibawa menghadap Ong Siu Coan yang kini telah menjadi seorang raja besar, akan tetapi dia adalah seorang yang amat cerdik. Kalau Ong Siu Coan sampai mau bersusah payah mengirim orang-orangnya untuk menolongnya dari ancaman bahaya ini, tidak mungkin raja itu mengandung niat jahat terhadap dirinya. Tidak ada lain pilihan.
"Baik. aku menerima syarat itu, lalu bagaimana sekarang? Bagaimana engkau akan dapat menolongku?"
"Biarkan para tamu yang rata-rata memiliki kepandaian itu mengadakan perlawanan dari dalam. Padamkan semua api dan penerangan dan melakukan pertempuran dengan berpencar agar kekuatan musuh yang lebih besar menjadi kacau. Ingat bahwa kekuatan kamipun hanya seratus orang lebih pasukan kita melawan musuh yang tiga empat kali lebih banyak. Kami akan menyerang dari luar sehingga kita menjepit pasukan musuh. Kongcu sendiri agar menyamar dan menyusup ke arah barat. Dengan kepandaian Kongcu, hal itu tidak akan sukar kalau saja Kongcu tidak dikenal. Di bawah bukit, kami akan menyiapkan kuda untuk Kongcu pakai. Ada apalagi yang ingin Kongcu tanyakan?" Suara pasukan musuh kini makin terdengar gemuruh dan keadaan para tamu mulai panik karena merekapun mendengar suara itu.
"Tidak ada apa-apa lagi," kata Song Kim.
"Ingat, kalau Kongcu melarikan diri lalu tidak memenuhi janji, pasti Sri Baginda tidak akan berhenti sebelum dapat menangkap Kongcu dan menjatuhkan hukuman!" Setelah berkata demikian, orang tinggi kurus itu meloncat keluar jendela dan lenyap. Daun pintu diketuk orang dari luar, Song Kim cepat membuka daun pintu dan Theng Ci sudah berada di depan pintu bersama beberapa orang pembantunya, yaitu Tiat-pi Kim- wan, Seng-jin Sin-Touw, dan Sin-Kiam Mo-Li, juga beberapa orang tamu. mereka nampak gelisah.
"Kongcu, menurut penyelidikan kami, kita telah dikepung oleh pasukan pemerintah Mancu yang jumlahnya besar sekali, dikepung dari empat penjuru dan mereka kini sedang mendaki, sudah sampai di lereng terakhir," kata Theng Ci. Setelah daun pintu terbuka, nampak oleh Song Kim betapa semua tamu sudah bangkit berdiri dengan wajah tegang, suara musik dan nyanyian sudah terhenti. Para gadis penyanyi berjongkok dan berkumpul dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Akan tetapi, para anggauta Ang-Hong-Pai nampak tetap tenang dan tabah, demikian pula para tamu walaupun wajah mereka membayangkan ketegangan. Song Kim mengangguk.
"Tenanglah, aku sudah tahu!" katanya dan diapun cepat keluar, berdiri di atas meja menghadapi para tamunya dan anak buahnya.
"Pasukan pemerintah mengepung tempat ini. Jangan khawatir, walaupun jumlah mereka lebih banyak, kita tidak perlu takut. Bahkan kita akan memperlihatkan tindakan kita pertama kali sejak kalian mengangkat aku menjadi bencu! Kita tidak akan kalah, karena kita akan dibantu oleh pasukan sahabat yang akan bergerak dari luar. Kalau pertempuran sudah berlangsung, selanjutnya kalian harap bergabung dengan pasukan pembantu dan bersama mereka melawan pasukan Mancu. Dan kalian harus mentaati siasat yang diperintahkan oleh komandan pasukan pembantu. Sekarang, padamkan semua penerangan dan api, kemudian menyebarlah. bersembunyi dan menyerang secara tiba-tiba jika ada tentara musuh mendekat. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat melakukan penyerbuan terarah. Sudah mengerti semua?" Semua orang mengangguk.
"Akan tetapi, dalam pertempuran berpencaran, bagaimana kami dapat menghubungi Kongcu?" Theng Ci bertanya khawatir.
"Ikuti saja petunjuk komandan pasukan pembantu dan kita akan bertemu lagi setelah lolos dari ancaman bahaya. Nah, lakukanlah perintahku sekarang juga, mereka sudah dekat!" Theng Ci dan para pembantu lainnya, juga para tamu, cepat memadamkan api dan lampu penerangan, sedangkan Lee Song Kim cepat lari ke dalam untuk mengumpulkan barang-barang yang perlu dibawa. Akan tetapi karena tempat itu hanya merupakan tempat sementara yang dipakainya untuk mengadakan pertemuan, tidak banyak yang dibawanya.
Pedang Giok-Liong-Kiam disembunyikan di balik jubahnya yang kini ditutup oleh jubah lain yang agak tua sehingga pakaiannya yang serba indah tertutup. Juga dia menanggalkan hiasan rambut dari emas permata, lalu mengikat rambutnya dengan pita biasa, bahkan menyembunyikan sepasang belati dan pedangnya agar dia tidak dikenal orang. Setelah itu, dia memadamkan lampu di dalam rumah itu dan menyelinap keluar. Ternyata di luar sudah mulai terjadi pertempuran! Para perajurit Kerajaan Ceng menjadi terkejut juga menghadapi penyambutan yang gigih itu. Karena orang-orang yang mereka serbu itu berpencar dan tidak bergerombol, bahkan menyerang mereka dari tempat-tempat tersembunyi, pasukan itu terkejut dan banyak di antara mereka yang menjadi korban serangan mendadak dari tempat tersembunyi. Apalagi keadaan amat gelap sehingga sukarlah mengenal mana kawan mana lawan.
Menghadapi perlawanan musuh, Ceng Hiang dan para panglima segera memberi aba-aba kepada para perajurit yang berada di belakang untuk menyalakan obor. Keadaan menjadi terang dan kini mulailah terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Segera setiap orang dari golongan hitam yang menjadi anak buah Lee Song Kim, dikepung oleh tiga empat orang dan terjadi perkelahian mati-matian di bawah sinar ratusan buah obor. Ci Kong, Lian Hong, Thio Ki dan Kui Eng tidak mempedulikan pertempuran antara pasukan pemerintah melawan orang-orang golongan hitam itu. Mereka tidak mau membantu, bahkan cepat berloncatan masuk ke dalam perkampungan itu untuk mencari Song Kim. Setelah mereka tiba di depan rumah, di taman mana tadi diadakan pesta, rumah yang gelap, Ci Kong membentak,
"Lee Song Kim, keluarlah, dan kembalikan Giok-Liong-Kiam kepadaku!" Sunyi saja di rumah yang gelap itu. Thio Ki menyambar sebatang obor dari tangan seorang perajurit dan berkata,
"Mari kita serbu!" Dia berada di belakang membawa obor agar tidak diserang secara mendadak dari dalam rumah. Ci Kong menendang daun pintu depan dan mereka berempat menyerbu masuk. Akan tetapi, rumah itu kosong. Mereka cepat mencari keluar, di antara mereka yang berkelahi, namun tidak nampak bayangan Song Kim! Sementara itu, pasukan pemerintah menjadi kacau ketika mendadak mereka mengalami penyerbuan dari bawah puncak bukit, dan pertempuran menjadi semakin seru.
"Ah, jahanam itu tidak ada lagi!" kata Ci Kong dengan heran, penasaran dan juga kecewa.
"Si licik pengecut itu tentu sudah tahu akan bahaya dan telah melarikan diri," kata Lian Hong.
"Bedebah!" Kui Eng memaki dengan kecewa. Mereka berempat masih terus berputar-putar mencari, sama sekali tidak mau mencampuri pertempuran, akan tetapi seperti yang mereka khawatirkan, sama sekali tidak nampak bayangan Lee Song Kim. Ketika mereka melihat bahwa dari luar datang pasukan orang-orang lihai menyerbu, dan biarpun mereka yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu tidak berpakaian perajurit, dari cara merela melakukan penyerangan dengan teratur menunjukkan bahwa mereka adalah sebuah pasukan yang terlatih dan teratur.
"Hemm, agaknya mereka adalah pasukan mata-mata Tai Peng," kata Thio Ki dan yang lain menyetujui.
"Kita tidak perlu terlibat dalam pertempuran di antara mereka. Mari kita pergi, turun bukit dan mencari jahanam she Lee itu," kata Ci Kong. mereka lalu berlari turun gunung merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalangi mereka, baik perajurit Tai Peng maupun perajurit pemerintah. Akan tetapi, usaha mereka mencari Lee Song Kim sia-sia. Orang itu sudah hilang entah ke mana, mereka sama sekali tidak menduganya. Akan tetapi, Ci Kong mendekati kenyataan ketika dia berkata kepada tiga orang lainnya.
"Sungguh aneh sekali munculnya pasukan Tai Peng itu. Mereka membantu Lee Song Kim dan anak buahnya! Agaknya dugaan Ceng Hiang memang tepat. Lee Song Kim tentu telah bersekongkol atau menjadi pembantu Ong Siu Coan yang sengaja meminjamkan Giok-Liong-Kiam kepadanya untuk dapat menarik tenaga bantuan golongan hitam yang memiliki ilmu silat tinggi. Kalau begitu halnya, agaknya dia melarikan diri ke Nan-king!"
"Wah, kalau dia sudah berada di istana raja baru itu, mana mungkin kita dapat menyusulnya?" kata Thio Ki. Ci Kong mengepal tinju.
"Sungguh merupakan kebodohan besar bagiku yang dulu percaya kepada Ong Siu Coan dan menyerahkan Giok-Liong-Kiam untuk dipinjamnya. Bagaimanapun juga, aku harus dapat merampas kembali pedang pusaka itu, entah dengan cara bagaimana!"
"Kita tidak perlu datang ke sana, karena orang seperti dia berhati palsu. Kalau kita datang berkunjung dan meminta kembali pedang itu dari Ong Siu Coan, tentu kita akan ditangkap. Dan diistananya, kita tidak akan mampu berbuat apapun," kata Lian Hong yang merasa khawatir kalau-kalau suaminya akan nekat mengejar ke Nan-king.
"Aku mendengar bahwa kini terdapat gerakan baru dari rakyat jelata yang menentang Kerajaan Tai Peng karena ternyata pasukan-pasukan Tai Peng banyak menyengsarakan rakyat dengan perbuatan mereka yang tiada ubahnya seperti para perampok biasa." kata Kui Eng. Ci Kong menarik napas panjang.
"Sungguh menyedihkan sekali nasib rakyat jelata. Sudah dihisap oleh pemerintah Mancu yang menjajah, dirongrong dan diracun pula orang-orang kulit putih dari barat, kini bahkan ditambah lagi dengan penindasan perampok-perampok Tai Peng. Begitu banyaknya penindasan yang diderita rakyat. Bangkit dan berjuangpun amatlah beratnya karena hanya menghadapi tiga kekuatan yang besar dan menekan itu." thio ki menarik napas panjang.
"memang berat sekali. Kalau rakyat bangkit berarti ada empat kekuatan yang saling serang, dan akibatnya, rakyat sendirilah yang paling menderita. Orang kulit putih yang paling beruntung, menjual senjata je kanan kiri, membiarkan bangsa kita terpecah belah dan saling bunuh. Ah, kita hanya dapat mengharapkan munculnya seorang pemimpin besar yang ditunjuk oleh Thian untuk dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan yang bertumpuk." Dengan hati kecewa dan menyesal empat orang itu akhirnya saling berpisah, pulang ke tempat tinggal masing- masing setelah berjanji untuk bertemu lagi kalau tiba saatnya di mana tenaga mereka dapat disumbangkan untuk perjuangan membela rakyat. Sementara itu pertempuran antara pasukan pemerintah Ceng melawan pasukan Tai Peng yang kini bergabung dengan anak buah Lee Song Kim, berlangsung dengan serunya. Biarpun para pembantu Lee Song Kim rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi,
Namun di pihak pasukan pemerintah terdapat Ceng Hiang yang mengamuk bagaikan seekor naga betina, dan jumlah pasukan pemerintah kurang lebih tiga empat kali lipat banyaknya, akhirnya pasukan Tai Peng bersama golongan sesat terpaksa melarikan diri meninggalkan lebih dari sepertiga bagian orang mereka yang tewas dan terluka parah. Juga di pihak pasukan pemerintah banyak korban jatuh dalam pertempuran hampir setengah malam lamanya itu. Pasukan Tai Peng melarikan diri ke selatan dan setelah tiba di perbatasan, pasukan Kerajaan Ceng yang melakukan pengejaran terpaksa mundur kembali karena di perbatasan terdapat penjagaan pasukan Tai Peng yang kuat. Bagaikan seorang dusun yang baru pertama kali memasuki kota, Sheila dan Han Le yang dikawal oleh Tang Ciangkun memasuki istana di Nan-king itu.
Sheila adalah seorang wanita kulit putih yang tenu saja sudah sering melihat gedung-gedung mewah, bahkan di waktu gadisnya ia tinggal di rumah orang tuanya yang cukup mewah. Namun, begitu memasuki istana ini, ia takjub bukan main. segala benda yang berada di dalam istana ini demikian antik dan tentu berharga mahal sekali. Guci-guci bergambar yang kuno dan indah, tempat-tempat bunga dan patung-patung dari batu kemala, dinding berukir dan ada pula dari marmer berkembang mengkilap, cerrnin-cermin besar, lukisan-lukisn kuno dan tulisan-tulisan sajak berpasangan yang amat indah. Lantainya dari marmer yang dapat dipakai bercermin saking mengkilapnya, gantungan kain- kain Sutera beraneka warna dan tirai-tirai yang halus menambah semaraknya ukiran-ukiran pada jendela, pintu, bahkan langit-langit.
Para pengawal yang berjaga di situpun mengenakan pakaian seragam yang indah dan mewah, rata-rata memiliki tubuh tegap dan wajah tampan, sedangkan di bagian dalam nampak pelayan-pelayan wanita yang canti-cantik. Sungguh merupakan sebuah istana besar yang megah, mewah dan indah. Sheila dan Han Le harus menanti sampai beberapa lamanya di ruangan tunggu untuk para tamu sebelum akhirnya mereka di ijinkan masuk dikawal oleh Tang Ciangkun dan beberapa orang pengawal istana mengiringkan mereka memasuki ruangan besar di mana Sri Baginda Kaisar dari kerajaan Sorga sudah menanti mereka! hal ini diumumkan oleh pengawal yang memberitahu kepada mereka di kamar tunggu tadi. Kaisar dari Kerajaan Sorga! Sheila tersenyum di dalam hatinya. Betapa sombongnya orang yang pernah menjadi Suheng mendiang suaminya itu.
Ketika mereka bertiga, dikawal oleh empat orang pengawal, memasuki ruangan itu, Sheila merasa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana juga, suasana mewah gemerlapan di dalam ruangan itu sungguh menegangkan dan amat berwibawa. Han Le nampak gembira sekali, memandang ke kanan kiri penuh kagum. Melihat betapa empat orang pengawal dan Tang Ciangkun menjatuhkan diri berlutut begitu mereka melangkahi ambang pintu, Sheila yang sudah mempelajari adat istiadat dan sopan santun, cepat memegang tangan puteranya dan diajaknya berlutut pula. Dengan suara sopan dan lantang, kepala pengawal melapor kepada raja Tai Peng itu bahwa Tang Ciangkun datang membawa dua orang tamu yang bernama Nyonya Gan Seng Bu dan puteranya, Gan Han Le. Sheila segera mengenal pria yang duduk setengah rebah di atas kursi panjang berkasur dan berbantal itu. Dia mengenal Ong Siu Coan,
Walaupun sudah belasan tahun berpisah dan kini Ong Siu Coan telah menjadi seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, mengenakan pakaian raja yang gemerlapan, dan mukanya yang dulu licin kini dipenuhi cambang, jenggot dan kumis sehingga berwibawa dan menakutkan walaupun masih menarik dan tampan. Mendengar laporan itu, Ong Siu Coan bangkit duduk dan dengan alis berkerut memandang ke arah Sheila dengan penuh perhatian, kemudian kepada Han Le hanya sekelebatan saja, dan mengangguk, memberi isyarat dengan tangan dan empat orang pengawal itupun mengundurkan diri, keluar dari ruangan itu dan menutupkan daun pintu. Dua orang pengawal pribadi yang berdiri di sudut ruangan itu, di belakang sang raja, diam saja tak bergerak bagaikan patung, namun semua urat syaraf mereka siap siaga untuk bergerak melindungi junjungan mereka.
"Tang Ciangkun, mendekatlah dan ajak mereka, lalu ceritakan apa artinya semua ini," terdengar Ong Siu Coan berkata, dan walaupun dia masih ingat kepada wanita kulit putih yang menjadi isteri Sutenya ini, namun dia merasa acuh saja. Dia merasa terlalu tinggi untuk berurusan dengan segala macam wanita, walaupun berkulit putih dan bermata biru sekalipun!
"Ampunkan hamba, Sri Baginda. Hamba melihat Ibu dan anak ini tertawan oleh pasukan kita dan disangka menjadi mata-mata orang asing kulit putih. Akan tetapi mereka mengaku sebagai isteri dan putera mendiang pendekar pejuang Gan Seng Bu dan karena hamba mengetahui bahwa mendiang pendekar itu berada di bawah naungan kemuliaan Paduka, maka hamba membawa mereka untuk menghadap Paduka. Terserah kebijaksanaan Paduka untuk memutuskan tentang diri mereka." Hening sejenak dan Ong Siu Coan menatap ke arah wajah Sheila yang sejak tadi menundukkan mukanya saja. Laporan Tang Ciangkun dengan suara demikian merendah menambah kewibawaan raja itu, mengingatkan Sheila bahwa yang berada di depannya bukanlah seorang Suheng dari mendiang suaminya seperti dahulu lagi, melainkan seorang raja yang berkuasa dan ia merasa menyesal telah datang ke sini karena merasa terasing dan demikian rendah diri terhadap segala kebesaran ini.
"Hemm, aku ingat sekarang. Engkau isteri Seng Bu yang bernama... bernama... eh, siapa lagi aku lupa..."
"Nama saya Sheila, Sri Baginda," kata Sheila merendah.
"Oya, Sheila! Hemm, apakah tak pernah kubaca dalam Kitab Suci nama wanita seperti itu? Hemm, ada Delila, hampir sama akan tetapi berbeda. Dan ini anakmu? Anak Seng Bu?"
"Benar, Sri Baginda. Dia ini anak hamba bernama Gan Han Le? Kini Ong Siu Coan memandang kepada Han Le.
"Gan Han Le? Hemm anak muda, coba angkat mukamu agar aku dapat melihatmu."
"Baik, supek...
"
"Henry...!" Sheila berseru lirih.
"Jangan menyebut seperti itu, beliau adalah Sri Baginda Kaisar! Sebut Sri Baginda." Ong Siu Coan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia suka akan keberanian dan kejujuran anak itu, akan tetapi sebagai seorang Kaisar, dia harus memperlihatkan kewibawaannya.
"Gan Han Le, mukamu memang seperti muka Seng Bu, kecuali matamu yang kebiruan. Sheila, setelah engkau menghadap kami, apa yang kau kehendaki sekarang ini?" Dalam keadaan seperti itu, ketika Kaisar berkenan menawarkan apa yang dikehendaki orang yang menghadapnya, tentu biasanya orang-orang akan mengajukan permintaan-permintaan mereka. Akan tetapi tidak demikian dengan Sheila.
"Ampun, Sri Baginda. Bukan maksud hamba berdua anak hamba untuk mengganggu Paduka. Hamba berdua tidak mohon sesuatu, dan hamba akan merasa berbahagia kalau anak hamba ini dapat mempelajari ilmu di kotaraja ini, agar kelak dia dapat menjunjung nama mendiang Ayahnya sebagai seorang pendekar seperti Ayahnya."
Ong Siu Coan tersenyum. Ketika berkata-kata, Sheila nampak cantik menarik, kecantikan yang aneh. Dia sudah jemu dengan kecantikan para selir dan dayang yang tidak sah karena Kiki tidak mengijinkan dia memiliki isteri lain. Dan kecantikan wanita ini memang luar biasa. Mata yang biru itu, rambut yang seperti benang Sutera emas! Pada sat itu, muncullah seorang wanita dari pintu belakang. Seorang wanita yang usianya sebaya dengan Sheila, hanya satu dua tahun lebih tua, dan melihat pakaiannya yang demikian mewah dan penuh dengan tanda kebesaran, dapat diduga bahwa ia adalah sang permaisuri sendiri. Berbeda dengan para puteri bangsawan yang kelihatan lemah lembut dan kalau melangkah perlahan-lahan seperti langkah tarian yang diatur,
Wanita ini melangkah dengan gerakan yang gesit tegap. Wajahnya manis, dengan tahi lalat di pipi. Inilah Tang Ki atau yang lebih dikenal dengan nama Kiki, puteri mendiang Hai-Tok Tang Kok Bu, seorang di antara empat datuk besar, yaitu Empat Racun Dunia. Kiki adalah pembantu paling setia dari Ong Siu Coan ketika berjuang, dan kemudian menjadi isterinya dan kini menjadi permaisuri dari Kerajaan Sorga! Wanita itu memang Kiki, yang kini menjadi permaisuri. Akan tetapi, sikapnya terhadap suaminya masih biasa saja, tidak seperti sikap permaisuri terhadap raja. Tanpa banyak peraturan, ia duduk di dekat suaminya di atas kursi panjang itu, tanpa mengabaikan penghormatan Tang Ciangkun yag ditujukan kepadanya. Ong Siu Coan juga bersikap biasa saja, bahan tersenyum memperkenalkan Sheila kepada permaisurinya.
"Lihat, ia adalah isteri mendiang Gan Seng Bu! Namanya Sheila! Cantik, ya? cantik seperti Delila! Tahukah engkau siapa Delila? Wanita cantik jelita yang sudah meruntuhkan iman dan semangat seorang laki-laki gagah perkasa seperti Samson! Ha-ha-ha!" Kiki cemberut. Sudah lama ia merasa jemu dan tidak suka kepara pria yang menjadi suaminya dan menjadi raja ini. Suaminya ini sekarang jarang mendekatinya, bahkan jarang memperhatikan seolah-olah ia hanya satu di antara perabot kamar saja. Suaminya mabok kemenangan dan mabok kedudukan, gila hormat dan berambisi, Kini melihat betapa suaminya menaruh perhatian akan kecantikan seorang wanita lain di depannya, tentu saja hatinya menjadi panas.
"Hemmm, mudah-mudahan ia tidak menjadi Delila baru dan Paduka Samsonnya!" kata Kiki dengan senyum mengejek. Kalau tidak ada orang lain di situ, ia tidak pernah menyebut Paduka, hanya engkau biasa saja! Suami isteri ini memang tidak pernah merubah sikap terhadap masng-masing biarpun mereka telah menjadi raja dan permaisurinya, kecuali di depan orang lain. Ong Siu Coan memandang isterinya dengan mata terbelalak.
"Apa? Gilakah engkau? Aku bukan Samson, melainkan putera Tuhan yang bungsu! Engkau tahu bahwa aku adalah adik Yesus yang lebih berkuasa daripada segala macam tokoh dan nabi seperti Samson!" Kiki menarik napas panjang, merasa tidak ada gunanya dan hanya akan memalukan saja berdebat soal yang kuno itu di depan orang lain. Suaminya selalu bersikap sungguh-sungguh dan marah-marah kalau sampai disangkal bahwa dia bukan putera Tuhan, bukan adik Yesus.
"Sudahlah, mau apa wanita ini datang ke sini?" tanyanya sambil lalu, jelas memandang rendah dan membayangkan sikap tidak suka kepada Sheila.
"Biar ia di sini menjadi dayang, dan anaknya diperbolehkan belajar sastera dan silat agar kelak dapat menjadi seorang yang tangguh dan berguna bagi kerajaan kita. Tang Ciangkun, bawalah Ibu dan anak ini dan serahkan kepada kepala bagian rumah tangga, sampaikan perintahku agar Sheila diajari semua pekerjaan agar ia dapat menjadi dayang dan pelayan dalam yang baik, dan Gan Han Le ini serahkan kepada bagian pendidikan agar dia dapat belajar surat dan silat." Ketika Tang Ciangkun memberi hormat menerima perintah, raja itu menambahkan, teringat bahwa tentu bukan tanpa pamrih pembantunya yang setia dan baik ini datang menghadapkan Ibu dan anak itu kepadanya.
"Oya, dan sebagai hadiah, engkau kuangkat menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas di utara, menggantikan panglima yang akan kutarik kembali ke kota raja dan kunaikkan pangkatmu menjadi panglima muda, Besok akan kukirim surat keputusan dan pengangkatanku itu!" katanya sambil melambaikan tangan mengusir mereka pergi dari hadapannya. Tang Ciangkun tentu saja menjadi girang bukan main. Selama ini, dia memperoleh kedudukan yang cukup tinggi, bukan hanya karena ilmu silatnya yang cukup tangguh dan kesetiannya membantu perjuangan Tai Peng sampai pemimpin itu menjadi raja, juga karena dia masih bersamaan she (nama keturunan) dengan permaisuri, walaupun tidak ada hubungan keluarga apapun. Dan kini, mendadak dia menjadi seorang pamglima muda, seorang jenderal, komandan pasukan penjaga tapal batas utara!
Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih, lalu dengan wajah berseri mengundurkan diri mengiringkan Sheila dan Han Le. Akan tetapi, sikap Ong Siu Coan yang ramah dan manis terhadap Sheila, yang memuji kecantikannya, telah mendatangkan perasaan cemburu dan panas di dalam hati Kiki. Diam-diam ia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengusahakan agar Sheila jangan diberi tugas sebagai dayang di dalam istana melayani keluarga raja, melainkan diberi tugas di dapur dan di bagian belakang yang tidak mungkin wanita berkulit putih itu memperlihatkan diri di depan Kaisar. Tentu saja perintah rahasia ini tidak ada yang berani membantah karena semua orang tahu belaka betapa keras dan kejamnya tangan permaisuri itu. Hal ini bahkan melegakan hati Sheila.
Baginya, yang paling penting adalah kemajuan dan pendidikan puteranya. setelah anaknya kehilangan gurunya, guru yang paling baik di dunia ini pikirnya dengan hati duka, maka Henry perlu mendapatkan pendidikan yang baik. Dia kelak harus menjadi seorang yang pandai. Dirinya sendiri tidak dipikirkannya. Biar ia dipekerjakan di dapur atau di kebun, bekerja berat sekalipun ia tidak akan mengeluh asal saja puteranya memperoleh pendidikan yang baik seperti yang diharapkan. Dan hal ini mungkin dilakukan karena bantuan perwira Tang yang kini menjadi panglima muda dengan kedudukan komandan di perbatasan. Tang Ciangkun itu merasa gembira sekali dengan kenaikan pangkatnya, dan ketika dia mengundurkan diri keluar dari ruangan di mana mereka diterima raja tadi, dia mendengar Sheila mengeluh.
"Tang Ciangkun, aku merasa menyesal sekali telah ikut bersamamu ke sini. Engkau melihat dan mendengar sendiri tadi, kehadiranku bahkan mendatangkan suasana tidak enak saja kepada Sri Baginda dan Permaisuri. Aku sendiri tidak perduli akan keadaan diriku, akan tetapi aku amat mengkhawatirkan keadaan puteraku. Ciangkun, aku akan berterima kasih sekali kepadamu kalau engkau suka membantu sehingga anakku akan dapat belajar bun dan bu (sastera dan silat) seperti yang kami citakan." Tang Ciangkun yang merasa gembira dan berterima kasih karena Ibu dan anak ini mendatangkan keuntungan besar dan kenaikan pangkat kepadanya, segera berkata,
"Baik, jangan khawatir, Toanio, Kebetulan sekali kepala pengawal istana adalah sahabat baikku, Dia memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dariku, dan dia dapat mengajarkan ilmu silat kepada puteramu. Adapun tentang pelajaran sastera, dia tentu akan bisa mendapatkan seorang guru di antara para karyawan di istana ini." Demikianlah, berkat bantuan Tang Ciangkun, kepala pengawal yang bernama Giam Ci, mencarikan guru sastera dan dia sendiri melatih ilmu silat kepada Han Le.
Melihat ini, Sheila merasa lega sekali, apalagi karena ia jarang atau hampir tidak pernah diperintah ke bagian dalam istana berhadapan dengan raja dan permaisuri seperti yang dikhawatirkan. Sudah satu bulan ia berada di situ dan belum juga ia bertemu dengan raja dan permaisuri. Akan tetapi, pada suatu hari, ia terkejut sekali ketika ada petugas datang ke bagian belakang dan pengawal ini menyampaikan perintah Raja bahwa ia diharuskan menghadap sekarang juga! Dengan hati gelisah dan jantung berdebar Sheila memasuki ruangan di mana Raja Ong Siu Coan sudah menanti. Begitu melihat Sheila, Ong Siu Coan bangkit dan menyuruh pengawal itu mundur. Akan tetapi seperti biasa, dua orang pengawal pribadi yang seperti patung itu tetap berdiri di sudut kamar.
"Aih, kenapa sejak berada di sini, sudah satu bulan aku tidak pernah melihatmu? Aku sampai lupa bahwa engkau berada di sini!" Sheila berlutut dan memberi hormat.
"Hamba sibuk bekerja di dapur selama ini."
"Ah, engkau mana pantas bekerja di dapur?" Dengan hati khawatir sekali Sheila berkata,
"Akan tetapi hamba sudah merasa suka sekali dengan pekerjaan hamba dan hamba berterima kasih kepada Paduka."
"Hemm, kalau begitu bolehlah. Akan tetapi sewktu-waktu kalau kupanggil engkau harus datang. Aku butuh sekali bantuanmu, Sheila." Kembali Sheila menahan jantungnya yang berdebar keras.
"Apakah yang dapat hamba lakukan untuk Paduka, Sri Baginda?"
"Aku ingin lebih mendalami isi Alkitab, dan karena bahasa Inggrisku masih dangkal, amat sukar aku mengerti benar isinya. Tejemahan yang ada dalam bahasa daerah juga tidak lengkap. Kau bangkitlah dan duduklah di kursi di dekatku sini. Engkau harus membantu aku memahami isi Alkitab." Sheila tidak berani membantah, bangkit dan menghampiri kursi lalu duduk tak jauh dari Ong Siu Coan yang sudah mengeluarkn sebuah kitab, yaitu Alkitab yang sudah lusuh dan usang. Tiba-tiba Sheila mendapat suatu kekuatan yang keluar dari dalam lubuk hatinya. Raja ini seperti orang gila saja, menganggap dirinya sebagai putera Allah dan sebagai adik Yesus. Jelaslah bahwa raja ini mempelajari Alkitab dengan keliru dan menyeleweng daripada kebenaran, Kalau hanya menterjemahkan dan mengajarkan isi Alkitab saja, tanpa lebih dahulu mengubah pandangannya yang menyeleweng tentang dirinya sendiri, kiranya tidak akan ada gunanya.
"Ampunkan hamba, Sri Baginda. Sebelum mempelajari Alkitab, hamba mohon bertanya, apakah Paduka ini pemeluk Agama Kristen?"
"Tentu saja! Kau pikir bagaimana? Bukan saja beragama Kristen, bahkan aku adalah utusan Tuhan untuk mengamankan dunia dan mendatangkan berkah bagi manusia, aku adalah putera Tuhan yang diturunkan terakhir, aku adik bungsu dari Yesus sendiri! Karena itu aku harus mempelajari isi Alkitab dengan sempurna!" Kata-kata yang kacau, pikir Sheila. Orang ini mabok dalam kemenangan dan kemuliaan, memandang diri sendiri sedemikan tingginya sehingga terdengar mengerikan!
"Akan tetapi, yang mulia Sri Baginda. Umat Kristen dalam kepercayaannya mendasarkan isi Alkitab. Bagaimana Paduka dapat mengharapkan agar semua orang percaya akan keadaan Paduka kalau tidak terdapat di dalam Alkitab?"
"Aha, ternyata engkau masih bodoh! Tentu saja ada di dalam Alkitab! Nanti kuperlihatkan kepadamu, sejak dahulu sudah terlihat tanda-tanda dan ramalan-ramalan bahwa aku akan turun ke dunia, walaupun tidak disebut sebagai putera Tuhan dan adik Yesus. Akulah yang akan mengubah seluruh dunia dengan kekuasaanku, membasmi yang lalim dan mengangkat yang percaya ke dalam surga!" Sheila merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Ia merasa seperti berhadapan dengan seorang yang miring otaknya, seorang gila yang amat berbahaya. Dengan sekuat keberaniannya iapun mencoba untuk menyadarkan.
"Maaf, yang mulia. Agama Kristen adalah agama yang berdasarkan Cinta Kasih, yang tidak akan mempergunakan kekerasan, apalagi membasmi..."
"Kau keliru! Yesus sendiri marah-marah melihat kelaliman. Dan kau kira Tuhan tidak akan marah melihat kelaliman manusia? Lihat saja di dalam Alkitab dan ingat akan peistiwa Nabi Nuh ketika banjir besar membasmi semua manusia yang lalim, ingat pula kota Sodom dan Gomorah yang hancur lebur dan semua orang yang lalim binasa terbasmi habis oleh kemurkaan Tuhan. Akupun menjadi putera utusan Tuhan yang menjalankan perintah Tuhan, membasmi penjajah Mancu yang lalim, dan membasmi semua orang lalim di dunia ini! Lihat betapa Tuhan marah dan menjatuhkan berbagai penyakit kepada manusia, bencana alam, kesengsaraan. Semua itu untuk menghukum orang-orang yang lalim dan jahat!" Dia berhenti sebentar untuk mengambil napas dan memandang ke atas, seolah-olah menanti "ilham" yang datang dari atas dan melanjutkan.
"Tuhan pendendam dan pemarah, dan semua orang akan digilas oleh kemarahanNya dan akan dihancur-binasakan kalau tidak cepat bertaubat dan percaya kepada Tuhan melalui aku puteraNya!" Gila, pikir Sheila. Ia mencoba lagi untuk meluruskan yang bengkok,
"Ampun beribu ampun, Sri Baginda. Bukan hamba membantah atau tidak percaya, akan tetapi karena hamba Paduka panggil untuk bicara soal agama, maka hamba berani mengajukan pendapat hamba untuk bahan pertimbangan Paduka dalam mempelajari Agama Kristen. Hamba berpendapat bahwa Tuhan bersifat Maha Pemurah, Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Pengampun. Seperti telah disebutkan di dalam kitab, demikian Maha Kasih dan Maha Pemurah sehingga Dia menurunkan puteranya ke dalam dunia untuk membimbing semua umat manusia, untuk mencuci dosa manusia dengan darahNya..."
"Memang benar! Akan tetapi sampai kini manusia tidak mau bertaubat. Karena itu, sekarang Tuhan menurunkan aku sebagai putera kedua, untuk melanjutkan perjuangan kakakku Yesus, menyelamatkan umat manusia, membasmi sumber kesengsaraan manusia, membasmi yang berdosa!" Ong Siu Coan memotong. Wah, semakin menjadi gilanya, pikir Sheila. Sejak memasuki ruangan yang khas di sebelah dalam ini tadi, ia sudah merasa ngeri dan bergidik. Ruangan itu dibuat seperti keadaan bukan di bumi lagi, seperti yang pernah ia baca digambarkan dalam kitab Wahyu. Tempat duduk raja itu terbuat dari emas permata, dan raja sendiri mengenakan sebuah mahkota tipis dari emas yang gemerlapan dengan taburan batu permata. Di belakangnya nampak dinding yang dilukisi awan sedemikian indah seolah-olah hidup dan bergerak, sehingga raja itu nampak seperti duduk di atas awan!
Yang hebat, singgasana raja itu diukir dengan amat indah, berbentuk seekor binatang yang berkepala tujuh. Binatang itu menyerupai ki-lin atau semacamnya, tubuh dan kepalanya seperti seekor harimau, kakinya seperti kaki beruang dan mulutnya seperti mulut singa! Teringatlah Sheila akan bunyi sebuah nubuat atau ramalan di dalam kitab Wahyu tentang seekor binatang yang keluar dari dalam laut, keadaannya seperti yang terukir pada singgasana yang diduduki raja itu. Betapa kemudian binatang yang disebut juga naga itu memerangi dan mengalahkan orang-orang kudus dan menjadi berkuasa disembah oleh setiap bangsa di dunia! Teringat akan ini dan mendengar ucapan raja itu, diam- diam timbul rasa takut di dalam hati Sheila. Apalagi ketika Ong Siu Coan mengambil sebuah pedang yang berada di atas meja sembahyang, pedang aneh bentuknya ketika dicabutnya dari sarungnya, karena pedang itu terbuat dari batu giok dan berbentuk Naga.
"Lihat ini, Sheila. Inilah pengganti sabit seperti yang disebutkan di dalam ayat suci. Bukalah Alkitab itu dan cari dalam kitab Wahyu, yaitu ramalan yang diberikan kepada Yohanes, dan carilah Wahyu 14 ayat 14 sampai dengan 16." Dengan jari agak gemetar Sheila membuka kitab suci itu dan mencari bagian yang disebutkan Ong Siu Coan.
"Coba baca dan terjemahkan!" kata pula raja itu dengan nada memerintah, wajahnya berseri, sepasang matanya mencorong dan dia nampak gembira sekali. Sheila mencoba untuk menenangkan hatinya sehingga suaranya tidak begitu gemetar walaupun ia merasa serem seperti kalau orang berhadapan dengan seorang gila yang sukar dimengerti. Iapun membaca sambil menterjemahkan.
"Dan aku melihat dengan sesungguhnya, ada awan putih dan di atas awan putih itu duduklah seorang seperti anak manusia dengan sebuah mahkota emas di atas kepalanya dan sebuah sabit tajam di dalam tangannya, Maka keluarlah seorang malaikat lain dari Bait Suci, dan dia berseru dengan suara nyaring kepada dia yang duduk di atas awan itu : Ayunkanlah sabitmu dan tuailah, karena sudah saatnya untuk menuai, karena tuaian di bumi sudah masak. Dan dia yang duduk di atas awan itu, mengayunkan sabitnya ke atas bumi, dan bumipun dituailah!" Sheila berhenti membaca, mengangkat muka memandang kepada raja itu dengan mata terbelalak, tengkuknya terasa dingin. Ong Siu Coan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, dan akulah anak Allah. Akulah dia yang duduk di atas awan putih itu, dan naga berkepala tujuh itu sudah kutaklukkan, dan akulah yang akan melaksanakan perintah Bapakku, akulah yang akan membabat semua yang bersalah, dan melalui akulah semua manusia akan memperoleh keselamatan, termasuk engkau, Sheila!" Dan kini berubahlah sikap Ong Siu Coan. Dia sudah meletakkan kembali pedang Giok-Liong-Kiam, tentu saja yang palsu karena yang aseli telah dicuri oleh Lee Song Kim, dan dengan muka kemerahan dan mulut menyeringai dia mendekati Sheila, lalu merangkulnya. Tentu saja Sheila terkejut bukan main karena hal ini tak disangkanya. Iapun meronta ketika kedua tangan raja itu bergerak dengan kasar dan hendak menanggalkan pakaiannya, sedangkan muka raja itu mendekatinya hendak menciumnya.
"Ah, Sri Baginda! Ingatlah, hamba adalah isteri Sute Paduka sendiri!" Sheila memperingatkan sambil meronta dengan sia-sia dari kedua tangan yang amat kuat kokoh itu.
"Heh-heh, karena itulah engkau harus melayaniku, Sheila. Sute telah tidak ada lagi, dan engkau begini cantik, matamu begini biru, rambutmu seperti benang emas, aahhh...!"
"Lepaskan, Sri Baginda, kalau tidak hamba akan menjerit!" kata pula Sheila ketika pipinya telah diciumi walaupun ia sudah berusaha untuk menjauhkan mukanya, dan kancing-kancing baju atasnya sudah terlepas.
"Ha-ha-ha, engkau telah dipilih oleh putera Tuhan sendiri, mengapa engkau menolak? Dan siapa yang akan berani menentang aku kalau aku menghendaki dirimu?" Ong Siu Coan kini semakin nekat. Pada saat itu muncullah sang permaisuri, Tang Ki! Wanita ini muncul dari sebuah pintu belakang dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa suaminya sedang berusaha menggauli Sheila dengan paksa.
"Hemmm, bagus sekali!" katanya, suaranya lirih namun mengandung desis kemarahan. Mendengar suara ini, Ong Siu Coan terkejut dan cepat melepaskan Sheila dan bangkit lalu undur ke belakang. Sheila sendiri juga bangkit dan cepat membereskan pakaiannya yang sudah separuh terbuka, mengusap air matanya dengan ujung lengan baju tanpa mengeluarkan suara tangis.
"Bagaimana engkau berani masuk begitu saja menggangguku?" bentak Ong Siu Coan marah. Akan tetapi isterinya tidak menjawab, melainkan memandang kepada Sheila dan membentak.
"Engkau tidak lekas kembali ke dapur?" Dan telunjuknya menuding ke arah pintu. Sheila menjura dengan wajah penuh duka dan segera meninggalkan ruangan itu. Setelah tiba di luar, ia cepat berlari menuju ke kamarnya di bagian belakang. Setelah Sheila pergi, barulah Tang Ki membalikkan tubuhnya menghadapi suaminya dengan muka merah dan sikap marah.
"Hemm, begini ya kalau engkau berada di belakangku? Sudah berani menghinaku dengan bermain perempuan di tempat ini!" Kalau mendengar dan melihat sikap permaisuri itu, tentu para menteri dan hulubalang akan menjadi terkejut dan heran sekali.
Memang Tang Ki tidak pernah bersikap hormat kepada suaminya ini kalau tidak hadir orang ketiga. Biarpun Ong Siu Coan telah menjadi raja, namun bagi Tang Ki, dia hanyalah laki-laki yang telah dibantunya, sejak dari manusia biasa sampai kini terangkat menjadi seorang raja besar di daerah selatan Sungai Yang-ce. Ong Siu Coan diam saja, hanya memandang kepada isterinya dengan cemberut. Dia dapat berlagak di depan orang lain, mengaku sebagai putera Allah, adik Yesus dan sebagainya, namun di depan Kiki atau Tang Ki, dia mati kutu. Isterinya itu telah mengetahui akan semua rahasianya, mengalami pahit getirnya semenjak mereka berjuang dan Kiki selalu menjadi isterinya, pembantu setia, dan tangan kanannya.
"Kenapa diam saja? Katakan saja bahwa engkau sudah bosan padaku!" Tang Ki sambil menjatuhkan diri duduk di atas kursi di dekat singgasana suaminya. Ong Siu Coan juga duduk di atas singgasana itu. perlahan-lahan, nafsu berahi yang tadi menguasai dirinya, menjadi surut dan dia memandang kepada isterinya dengan alis berkerut.
"Aku ataukah engkau yang bosan? Yang jelas, aku merasa bosan karena sampai sekarangpun engkau belum mempunyai keturunan! Siapa kelak yang akan menggantikan aku menjadi raja kalau engkau tidak melahirkan seorang putera? Dan engkau tidak membolehkan aku mengambil isteri lain untuk menyambung keturunan!" Seperti biasa, kalau Ong Siu Coan sudah menyinggung soal keturunan dan isteri muda, terjadilah percekcokan. Sebetulnya, diam-diam Kiki sudah merasa jemu dan tidak suka kepada suami ini, yang dianggapnya seperti orang yang telah menjadi gila dan ingin menganggapnya sebagai hamba sahaya saja. Akan tetapi bagaimanapun harus diakuinya bahwa kini iapun terangkat naik ke dalam kemuliaan, menjadi seorang permaisuri yang disembah-sembah oleh rakyat jelata!
"Hemm, tak perlu merengek. Kalau memang engkau membutuhkan wanita lain agar memperoleh keturunan, akupun tidak akan menghalangi. Akan tetapi bukan perempuan bule itu. Aku yang akan memilihkan, berapa saja kau suka. Akupun sudah bosan kepadamu!" Biarpun ucapan itu amat menusuk perasaan, karena di situ tidak ada orang lain dan isterinya menjanjikan untuk membolehkan dia mengambil selir-selir, Ong Siu Coan tidak menjadi marah, bahkan merasa gembira sekali. Akan tetapi, percakapan mereka atau lebih tepat percekcokan mereka itu terhenti seketika dengan munculnya seorang pengawal yang melaporkan bahwa Lui-Ciangkun, seorang kepercayaan Ong Siu Coan yang bertugas sebagai seorang di antara komandan-komandan pasukan mata-mata yang banyak disebarkan di perbatasan utara, mohon menghadap.
Ong Siu Coan merasa lega karena kemunculan perwira itu berarti menyudahi kedaan tidak enak itu, apalagi dia teringat bahwa Lui-Ciangkun pernah mengirim laporan tentang Lee Song Kim dan dia memerintahkan agar Lee Song Kim dihubungi dan kalau mungkin dihadapkan kepadanya karena dia ingin menarik orang lihai ini sebagai pembantunya. Apalagi ketika mendengar dari pengawal yang datang melapor bahwa Lui-Ciangkun datang dan mohon menghadap bersama seorang yang bernama Lee Song Kim, raja itu menjadi gembira sekali. Tang Ki yang mendengar disebutnya nama Lee Song Kim, juga menjadi tegang, gembira dan penuh perhatian. Suhengnya datang! Dan biarpun ia pernah bermusuhan dengan Suhengnya itu, namun ada sesuatu yang amat menarik pada diri Suhengnya,
Dan hal itu sekarang semakin terasa olehnya semenjak timbul perasaan tidak suka kepada suaminya. Raja dan permaisuri ini lalu membereskan pakaian mereka, mengatur sikap seanggun-anggun dan seagung-agungnya ketika mereka menanti munculnya Lui-Ciangkun dan Lee Song Kim. Dengan cerdik Ong Siu Coan tidak meneima tamunya di ruangan di mana tersimpan Giok-Liong-Kiam itu, melainkan di ruangan di mana dia biasa menerima para tamu dan para menterinya. Pedang pusaka Giok-Liong-Kiam biasanya kalau malam disimpan di meja sembahyang yang berada di kamar tidurnya, sedangkan kalau siang disimpan di ruangan yang disebutnya Ruangan Awan Putih itu. Lee Song Kim semdiri merasa heran akan tetapi juga lega ketika melihat sikap raja dan permaisurinya itu. Mereka nampak sama sekali tidak marah, dan tidak kelihatan seperti orang yang membencinya.
Bahkan jantungnya berdebar ketika dia melihat sinar mata Kiki yang masih cantik jelita seperti dulu, memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh baginya karena dia melihat kekaguman membayang dalam sinar mata itu! Dan raja itupun nampak ramah dan tersenyum dengan wajah berseri ketika melihatnya. Seperti juga Lui-Ciangkun, Song Kim menjatuhkan diri berlutut di depan raja dan permaisuri itu. Lui-Ciangkun dengan singkat namun jelas melaporkan kepada raja tentang peristiwa pertemuan di mana Lee Song Kim mengangkat diri menjadi bengcu dengan julukan Thian-He Te-It Bu-Hiap, betapa banyak tokoh persilatan menerimanya dengan gembira. Kemudian betapa pertemuan itu ditinggalkan sebagian para tamu yang agaknya tidak menerima Song Kim sebagai bengcu dan kemudian penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan besar pemerintah Mancu.
"Sayang bahwa kekuatan pasukan yang hamba pimpin hanya kurang lebih seratus orang, sedangkan kekuatan musuh sedikitnya lima ratus orang, dipimpin oleh orang pandai, sehingga hamba hanya berhasil menyelamatkan sebagian saja dari anak buah Lee-Kongcu yang kini telah berada di markas." Lui-Ciangkun menutup lapornnya. Ong Siu Coan mengangguk-angguk,
"Engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik, Lui-Ciangkun. sekarang mundurlah dan biarkan kami bercakap-cakp dengan Thian-He Te-It Bu-Hiap." Lee Song Kim mengangkat muka memandang, ingin melihat apakah dalam menyebutkan julukan itu sang raja hendak mengejeknya, namun dia melihat raja itu mengedipkan sebelah matanya kepadanya.
Song Kim menunduk dan merasa lega, juga kagum karena Ong Siu Coan ternyata masih merupakan seorang yang cerdik dan berbahaya, walaupun sudah menjadi raja. diapun cepat memutar otaknya untuk mengatur siasat, siap menghadapi segala pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang tepat sambil menduga-duga apa yang tersembunyi di balik sikap yang bersahabat dari raja ini, padahal dia pernah datang dan mencuri Giok-Liong-Kiam dari kamar raja. Lui-Ciangkun mengundurkan diri dan raja lalu memerintahkan semua pengawal, juga para pengawal pribadinya, untuk mundur. Akhirnya hanya dia, permaisuri dan Lee Song Kim saja yang tinggal di ruangan itu. Pintu-pintu ruangan itu telah ditutup rapat dari luar oleh para pengawal atas perintah raja. Setelah mereka tinggal bertiga saja, raja dan permaisuri seoah-olah baru melepaskan kedok mereka.
"Lee Song Kim, sungguh engkau berani mati sekali muncul di sini! Tahukah kau bahwa sekali aku memberi aba-aba, seratus orang pengawal akan mengepungmu dan menghancurkan seluruh tubuhmu sekarang juga?" Permaisuri itu membentak sambil bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Song Kim. Akan tetapi, Lee Song Kim merasa heran melihat betapa wajah yang cantik itu sama sekali tidak cocok dengan suaranya. Suaranya seperti orang marah dan benci, akan tetapi wajah itu, sinar mata itu! Maka diapun maklum. Dia adalah seorang laki-laki yang berpengalaman, dan melihat sikap sang permaisuri ini, diapun tersenyum dan dalam keadaan masih berlutut diapun berkata dengan suara halus.
"Hamba telah berada di sini, dan hamba telah menyerahkan jiwa raga hamba di dalam kekuasaan Paduka. Kalau memang Paduka tega untuk membunuh hamba, silakan, hamba akan mati dengan rela dan mata terpejam di bawah tangan Paduka." Mendengar ucapan itu, dan melihat sikap itu, sang permaisuri menjadi merah mukanya dan ia tersenyum.
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengingat engkau dahulu adalah Suhengku, biarlah sekali ini kuampuni kau. Akan tetapi awas kalau lain kali berani kurang ajar lagi!" Diam-diam Song Kim tersenyum. Bekas sumoinya itu tentu menyindir perbuatannya mengusap paha ketika malam-malam datang mencuri pedang itu. Heran! Kenapa bekas sumoi yang dahulu membencinya itu tidak marah dan agaknya tidak mengatakan hal itu kepada suaminya?
"Lee Song Kim, kami mengajakmu bicara tanpa dihadiri para pengawal karena aku hendak bertanya kepadamu. Engkaukah yang malam-malam itu datang mencuri Giok-liong- kiam dari kamar kami?" Tadi ketika berhadapan untuk pertama kali dengan raja dan permaisuri ini, Song Kim telah mempersiapkan diri untuk menjawab semua pertanyaan dan pertanyaan yang kini diajukan oleh raja termasuk pertanyaan pertama yang telah dia persiapkan jawabannya. Maka begitu ditanya, dia tidak nampak terkejut atau khawatir, melainkan menjawab dengan suara lantang dan lancar, sedikitpun tidak kelihatan gugup.
"Sebelumnya saya harap dapatkah kiranya Paduka memberi ampun kepada hamba atas kelancangan hamba. Sesungguhnya sejak dahulu hamba merasa kagum sekali atas kemajuan yang dicapai oleh pasukan Tai Peng dan hamba bercita-cita untuk membantu gerakan yang Paduka pimpin. akan tetapi, hamba belum memperoleh kesempatan dan timbul gagasan dalam hati hamba untuk mengumpulkan orang-orang pandai di dunia persilatan. kalau hamba telah nerhasil menjadi bengcu, memimpin tokoh persilatan, maka baru hamba akan menghambakan diri kepada pasuka berikut anak buah hamba. Untuk keperluan menghimpun orang-orang di seluruh dunia persilatan dan kang-ouw, hamba membutuhkan Giok-Liong-Kiam. Kalau hamba terang-terangan minta pinjam kepada Paduka, tentu Paduka tidak akan percaya kepada hamba. Oleh karena itu, mohon ampun sebelumnya, hamba telah berani berlancang tangan mencuri Giok-Liong-Kiam untuk hamba pinjam sebentar, yaitu untuk mempengaruhi para tokoh kang- ouw. semua ini hamba lakukan secara terpaksa, semata-mata untuk dpat mengumpulkan orang-orang pandai dan kemudian menghambakan diri, membantu Paduka." Song Kim berhenti sebentar, mencuri pandang ke arah wajah raja dan permaisuri itu. Melihat betapa Ong Siu Coan tersenyum dan tetap tidak memperlihatkan kemaraha, bahkan wajahnya berseri cerah, dia menjadi lega dan melanjutkan.
"Sekarang hamba telah berhasil menghimpun tokoh-tokoh kang-ouw dan hamba bermaksud menghambakan diri bersama kawan-kawan ke hadapan kaki Paduka, dan hamba tidak lagi memerlukan Giok-Liong-Kiam. Oleh karena itu, hamba telah membawa Giok-Liong-Kiam bersama hamba, hendak hamba kembalikan kepada Paduka dengan terima kasih yang sedalam- dalamnya dan maaf yang sebesar-besarnya." Lee Song Kim mengeluarkan Giok-Liong-Kiam dari balik jubahnya dan menyerahkan pedang itu dengan gagang terlebih dahulu kepada Ong Siu Coan. Raja ini sambil tersenyum menerima pedang Giok-Liong-Kiam, mencabutnya untuk memeriksa sejenak. Dia merasa yakin bahwa iu adalah pedang yang aseli, maka disarungkannya kembali pedang itu.
Rajawali Hitam Eps 8 Pedang Naga Kemala Eps 36 Pedang Naga Kemala Eps 28