Pemberontakan Taipeng 14
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Engkau orang jahat!" Tahu-tahu gadis remaja yang berbaju biru, yang tadi menarik perhatian Bun Hong, telah datang dan menyambar ke arah Bun Hong dengan cepat sekali, menyerang dengan tamparan ke arah kepala Bun Hong dan tusukan jari tangan yang lain ke arah dada.
"Ehhh...?" Bun Hong mengelak. Aka tetapi, serangan pertama yang luput itu disusul oleh tonjokan tangan ke arah lambung Bun Hong, cepat dan keras bukan main serangan susulan ini sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Bun Hong untuk mengelak. Dia terpaksa menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk...!" Dua lengan bertemu dan gadis itu mengeluarkan jerit tertahan karena lengannya terasa nyeri. Ia meloncat ke belakang dengan muka merah karena marah sedangkan Bun Hong sendiri juga harus mengakui betapa lengan yang kecil berkulit halus itu mengandung tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi, Bun Hong juga merasa penasaran dan kini timbul dugaannya bahwa gadis remaja yang lihai itu tentulah seorang mata-mata pula,
Agaknya sahabat dari orang yang telah dirobohkannya. Mungkin saja percakapan antara mereka di luar kuil tadi hanya sandiwara belaka, atau dalam percakapan tadi mengandung kata-kata rahasia yang hanya diketahui mereka berdua saja. Pikiran ini membuat Bun Hong penasaran dan ketika gadis remaja itu menyerangnya lagi, dia mengerahkan tenaga menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya sehingga gadis itu terkejut, terdorong ke belakang dan terpaksa gadis itu meloncat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan susulan. Agaknya gadis inipun baru sekarang yakin akan kelihaian Bun Hong. Akan tetapi serangan susulan itu tidak datang karena Bun Hong sudah menyambar tubuh orang yang dirobohkannya tadi, mengempitnya dan membawanya meloncat dan lari ke belakang
"Demikianlah, Ayah." Bun Hong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh Ayah Ibunya dan para pendekar.
"Aku membawa mata-mata ini ke sini, aku yakin dia memata-matai pertemuan ini." Pada saat itu, terdengar bentakan halus dan nampak bayangan biru berkelebat masuk,
"Penjahat busuk, engkau hendak lari ke mana?" Dan muncullah gadis remaja yang tadi dan tanpa memperdulikan banyak orang yang berada di situ ia langsung saja menyerang Bun Hong. Melihat gadis remaja ini Bun Hong menjadi marah. Dia menangkis dan balas menyerang sehingga mereka berdua segera bekelahi dan saling serang dengan seru dan ternyata bahwa gadis itu memang lihai dan dapat bergerak cepat sekali. Tiba-tiba Ciu Kui Eng sudah meloncat dan menengahi kedua orang muda yang sedang berkelahi itu sambil membentak.
"Eng Hui, kiranya engkau gadis remaja itu!" Gadis itu terkejut ketika melihat Ibunya tahu-tahu menahan serangannya.
"Ibu...!" Kemudian ia melihat Thio Ki hadir di antara semua orang gagah yang berada di situ.
"Ayah...!" Suami isteri pendekar ini tentu saja merasa heran bukan main melihat puteri tunggal mereka. tadi mereka mendengar cerita putera dari sahabat mereka Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong tentang gadis remaja yang disangkanya sahabat mata- mata, sama sekali mereka tidak menyangka bahwa gadis itu ternyata adalah Thio Eng Hui, puteri mereka sendiri.
"Ayah! Ibu! Orang ini jahat sekali, membunuh orang tak berdosa!" teriak gadis itu.
"Nah, inilah gadis yang menjadi mata-mata itu!" Bun Hong yang balas berteriak dan keduanya sudah saling pandang dengan mata melotot lagi.
"Eng Hui, diam kau!" Ciu Kui Eng membentak puterinya, kemudian menghadapi para pendekar yang masih memandang bingung dan memperkenalkan.
"Cuwi, gadis ini adalah Thio Eng Hui, puteri tunggal kami. Agaknya terjadi kesalah pahaman di antara ia dan pemuda ini. Kita sudah mendengar cerita pemuda ini. Dan biarlah kini giliran anak kami yang bercerita. Eng Hui, hayo ceritakan mengapa engkau sampai datang ke sini dan tiba-tiba menyerang pemuda ini?" Eng Hui sejenak memandang Bun Hong, kemudian ke arah orang kurus yang masih rebah di atas lantai dengan muka pucat dan memandang dengan mata mengandung ketakutan.
"Ayah dan Ibu, setelah kalian pergi, aku merasa tidak betah di rumah, maka aku memberi tahu kepada para murid di rumah untuk menjaga rumah dan aku sendiri pergi menyusul Ayah dan Ibu. Tadi, ketika aku tiba di depan kuil, aku bertemu dengan orang kurus itu yang mengajak bicara dan dia amat ramah dan baik. Karena aku hendak menyelidiki apakah Ayah dan Ibu benar berada di kuil ini, diam-diam aku menyelinap masuk. Ketika sedang mencari-cari di dalam, aku melihat betapa pemuda ini memukul roboh orang kurus yang ramah itu, maka akupun segera turun tangan membelanya. Pemuda itu membawa si kurus lari ke belakang dan aku mengejar sampai sini." Mendengar penjelasan ini, semua pendekar tersenyum. Memang telah terjadi kesalah-pahaman di antara dua orang muda itu. Ciu Kui Eng sendiri tertawa dengan hati lega karena ternyata puterinya tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan keributan. Hanya kesalah-pahaman biasa saja. Siauw Lian Hong juga girang mendengar penuturan puteri sahabatnya itu, maka iapun lalu menghampiri puteranya.
"Bun Hong, ketahuilah bahwa gadis manis ini adalah puteri dari sahabat kami. Ayahnya adalah Thio Ki atau Thio-pangcu ketua Kang-Sim-Pang, sedangkan Ibunya adalah Ciu Kui Eng yang sudah seringkali kaudengar namanya. Ternyata Thio Eng Hui ini menyangka engkau seorang penjahat maka menyerangmu." Bun Hong memandang kepada Eng Hui dengan muka merah. Sementara itu Kui Eng juga berkata kepada puterinya.
"Pemuda itu Tan Bun Hong, putera dari Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong, dua orang sahabat kami yang paling baik dan yang sudah sering kaudengar namanya. Dia menangkap orang ini karena orang ini agaknya seorang mata-mata yang menyelundup dan kini kami akan memeriksanya."
"Ah, begitukah?" Eng Hui juga menjadi merah mukanya dan tidak berani lagi memandang langsung kepada pemuda itu.
"Eng Hui, engkau yang bersalah dalam hal ini. Lekas minta maaf kepada kakakmu Tan Bun Hong. Bagaimanapun juga, engkau lebih muda dan engkau yang kurang teliti."
"Nanti dulu, Ibu," kata Eng Hui penasaran.
"Orang kurus itu belum diperiksa dan belum ternyata bahwa dia memang bersalah, jadi masih belum terbukti bahwa dia yang benar dan aku yang bersalah. Kita tunggu sampai orang ini diperiksa." lalu ia melirik ke arah Bun Hong.
"Kalau kemudian ternyata aku memang bersalah, biarlah aku akan minta maaf." Bun Hong merasa tidak enak.
"Sudahlah, bibi. Sebaiknya urusan ini tidak diperpanjang karena kesalah-pahaman bukanlah suatu kesalahan, tidak perlu minta maaf. Ayah, sebaiknya orang ini segera diperiksa," sambungnya kepada Ayahnya. Tan Ci Kong mengangguk, lalu menghampiri orang yang rebah di lantai itu dan diapun berjongkok di dekatnya.
"Nah, sobat. lebih baik engkau mengaku sekarang, apa artinya perbuatanmu yang mencurigakan itu? Engkau menyelinap masuk ke dalam kuil seperti seorang pencuri, dan engkau bahkan telah menotok roboh seorang Tosu. Siapa engkau dan apa maksud perbuatanmu yang mencurigakan itu?" Orang kurus itu kini sudah mulai dapat menggerakkan kaki tangannya dan dengan agak sukar dia bangkit duduk di atas lantai, sepasang matanya memandang ke kanan kiri dan melihat betapa dia berada di tengan kerumunan para pendekar dia merasa gentar sekali. Akan tetapi mendengar perkataan Ci Kong tadi, dia mendapatkan harapan dan segera berpegang kepada harapan itu.
"Benar Taihiap, saya... saya memang pencuri, saya masuk ke dalam kuil ini karena mendengar bahwa di dalam kuil terdapat banyak harta yang disimpan para Tosu. Karena ketahuan seorang Tosu, saya merobohkannya, akan tetapi... sial, perbuatan saya diketahui oleh orang muda ini..."
"Cukup!" Ci Kong membentak, karena sebagai seorang pendekar yang sudah seringkali menghadapi mata-mata dan sudah banyak kali terjun dalam perjuangan, dia sudah berpengalaman sehingga tidak mudah dibohongi begitu saja.
"Mengaku saja terus terang bahwa engkau sudah tahu akan pertemuan kami ini dan datang untuk memata-matai kami. Hayo katakan, kau mata-mata pihak mana dan siapa yang mengutusmu, dan apa saja tugasmu?"
"Saya... saya betul pencuri, akan tetapi belum mencuri apa-apa, harap Taihiap suka memberi ampun dan membebaskan saya..."
"Ah, aku ingat sekarang!" Tiba-tiba seorang di antara para pendekar itu berseru dan dia bukan lain adalah tokoh Tiat-Pi Kai-Pang tadi.
"Bukankah engkau ini yang berjuluk Pek-ci Sin-to (Maling Sakti Tikus Putih) yang terkenal di kota Pao-ting? Tan-Taihiap, dia ini jelas mata-mata pemerintah Mancu! Sudah lama aku mendengar betapa maling hina ini menghambakan diri kepada pemerintah Mancu dan menjadi mata-mata!" Tan Ci Kong mencengkeram rambut orang itu dan mengguncangnya.
"Nah, sekarang telah kelihatan belangmu! Hayo mengaku saja apa yang kaulakukan di sini!" Orang kurus itu kelihatan semakin ketakutan, apalagi ketika dia merasa betapa kuatnya cenkeraman tangan Tan Ci Kong. Para pendekar ini tentu akan memaksa dan kalau perlu menyiksanya agar dia mengaku, pikirnya. Tiba-tiba dia berusaha meronta dan memandang kepada seorang di antara pendekar itu sambil berseru,
"Toako, kenapa kau diam saja? Tolonglah aku... aughhhh..." Semua orang, termasuk Ci Kong terkejut bukan main karena tiba-tiba saja seorang di antara para pendekar menggerakkan tangannya dan sebuah piauw (senjata rahasia runcing) telah menyambar dan menancap di ulu hati tawanan itu. Selagi semua orang terkejut, orang tinggi besar itu telah melompat dan keluar dari ruangan itu. Semua orang yang terkejut dan bingung itu disadarkan oleh Bun Hong yang berteriak.
"Dia tentu pemimpinnya. Kejar...!" Semua orang baru sadar bahwa tentu si tinggi besar yang mereka kenal sebagai Ciang Koai, seorang pendekar yang dulu pernah berjuang bersama mereka membantu Tai Peng, kini menjadi kaki tangan pemerintah Mancu dan tentu dia membunuh pembantunya, si kurus itu, agar si kurus tidak membuka rahasia.
Maka, semua orang lalu berserabutan mengejar keluar kuil. Akan tetapi ketika semua orang tiba di luar kuil, ternyata kuil itu telah dikepung oleh sedikitnya seratus orang tentara kerajaan! Ternyata gerakan si kurus tadi memang sengaja dilakukan untuk memancing kalau-kalau ada penjaga pihak para pendekar di luar kuil itu tanpa diketahui para pendekar! Melihat hal ini, Ci Kong mengepal tinju. Baru saja para pendekar mengambil keputusan untuk bergabung dengan pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, bukan untuk melawan pemerintah Mancu melinkan untuk menenteramkan keadaan dengan menghadapi Tai Peng dan para pemberontak lain, dan kini mereka malah dikepung oleh pasukan pemerintah!
"Kita berpencar dan lari mencari jalan masing-masing! Ingat akan keputusan rapat pertemuan kita!" teriaknya dan mereka lalu berpencaran. Ci Kong bersama Lian Hong dan putera mereka, Bun Hong, segera menyerbu ke arah kiri. Mereka disambut oleh tombak-tombak para perajurit, akan tetapi mereka mengamuk dan menerjang terus, merobohkan siapa saja yang menghalang jalan keluar mereka. Para pendekar yang lain juga menyerbu ke semua jurusa. Thio Ki juga disertai Kui Eng, dan puteri mereka Eng Hui, menerjang ke arah kanan dan mmerekapun mengamuk untuk membuka jalan keluar. terjadilah pertempuran yang sengit di luar kuil. Para Tosu dan para tamu kuil itu menjadi ketakutan dan berjongkok di belakang meja-meja sembahyang untuk bersembunyi.
Biarpun jumlah para pendekar itu hanya kurang lebih dua puluh orang sedangkan para perajurit ada seratus orang, namun tidak mudah bagi pasukan itu untuk menangkap para pendekar yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi itu. Setelah terjadi pertempuran yang tidak terlalu memakan waktu lama, sebagian besar dari para pendekar itu dapat lolos, hanya meninggalkan tiga orang yang tewas dan beberapa orang di antara mereka membawa lari luka, akan tetapi di pihak pasukan perajurit Mancu, tidak kurang dari lima puluh orang roboh dan terluka, bahkan ada beberapa orang yang tewas pula! Karena para pendekar itu melarikan diri berpencar, sukar bagi para perajurit yang sudah merasa jerih untuk melakukan pengejaran. Mereka hanya menyerbu kuil, menangkapi para Tosu, bahkan para tamu yang datang hanya untuk bersembahyang, ikut pula ditangkap!
"Han Le, muridku dan juga anakku yang baik, duduklah di sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang amat penting denganmu."
Han Le tersenyum. semenjak gurunya ini menjadi suami Ibunya, selalu gurunya menyebutnya murid dan anak, dan kasih sayang gurunya menjadi semakin jelas dilimpahkan kepadanya. Kini dia sudah berusia sembilan belas tahun dan selama ini dia menerima gemblengan yang tak mengenal lelah dari Bu Beng Kwi. Menurut keterangan Suhunya, hampir semua ilmu silat yang dimiliki Suhunya telah dia kuasai dengan baik. Dan dia amat sayang kepada Suhunya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan betapa terdapat cinta kasih yang besar antara gurunya atau Ayah tirinya dan Ibunya.. Dia melihat betapa Ibunya hidup berbahagia sebagai isteri Suhunya, nampak dari wajah Ibunya yang selalu berseri cerah penuh kebahagiaan, bagaikan setangkai bunga yang terpelihara baik dan tak pernah haus dari siraman air yang menghidupkan dan menyegarkan.
Untuk Ibunya itu saja dia sudah amat berterima kasih kepada Suhunya dan diam-diam dia kagum kepada Ibunya, yang demikian waspada dan bijaksana, tidak keliru memilih walaupun pada lahirnya, Ibunya amat cantik dan Suhunya amat buruk rupa. Dia yakin benar bahwa Suhunya adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang sukar dicari keduanya. bahkan kini kedua orang Suhengnyapun telah menjadi pemimpin-pemimpin rakyat yang gagah perkasa, pejuang-pejuang kenamaan dan patriot-patriot yang membela kepentingan rakyat. Diapun berniat untuk mengikuti jejak kedua orang Suhengnya yang bercerita banyak tentang perjuangan ketka dua tahun yang lalu berkunjung ke tempat itu.
"Suhu, bagiku, Suhu merupakan guru dan Ayah yang amat baik dan setiap yang dibicarakan Suhu selalu penting bagiku. Sekarang ada kepentingan apakah yang membuat Suhu bersikap demikian sungguh-sugguh?" katanya sambil duduk di atas bangku depan Suhunya, terhalang sebuah meja di mana terdapat minuman air teh yang tadi dihidangkan Ibunya untuk orang tua itu. Bu Beng Kwi memandang kepada murid yang juga menjadi anak tirinya itu dengan sepasang mata yang mencorong penuh kasih sayang, juga penuh perhatian. Anak itu kini telah menjadi seorang dewasa, pikirnya puas, seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dalam hal ilmu silat, murid ini sudah melampaui tingkat Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang muridnya yang kini telah menjadi pejuang-pejuang kenamaan.
Muridnya ini telah berusia sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi besar, tingginya sama dengan dia, dengan dada yang bidang dan perawakan yang gagah sekali. Bangga dia mempunyai murid seperti Gan Han Le ini. Dan bukan saja Han Le pandai ilmu silat tinggi, bahkan oleh Ibunya dia diajari ilmu mempergunakan senjata api, yaitu sebuah pistol. Isterinya itu, Sheila, adalah seorang wanita kulit putih yang pernah mempelajari cara menembak dan ia sendiri yang melatih puteranya itu menjadi seorang penembak mahir! Bu Beng Kwi berhasil mendapatkan sebuah pistol dan senjata inilah yang dipergunakan oleh Han Le untuk belajar menembak sehingga dia menjadi seorang penembak mahir yang amat jitu tembakannya. Dan pistol itu kini tersimpan oleh Han Le, kadang-kadang diselipkan di pinggang tertutup baju, dan dengan adanya senjata api ini, tentu saja Han Le menjadi seorang ahli silat yang amat hebat dan berbahaya bagi lawannya.
"Han Le, ada suatu rahasia besar yang selama ini kusembunyikan darimu, dan aku sengaja menanti sampai engkau menjadi dewasa baru rahasia itu kubuka dan kuberitahukan padamu. Akan tetapi sebelum hal itu kulakukan, lebih dulu aku ingin sekali mengetahui apa yang akan kau lakukan sekarang, setelah kunyatakan bahwa sudah habis waktunya engkau mempelajari ilmu dariku. Engkau telah dewasa, telah matang dan cukup kuat untuk membela diri, untuk menentukan langkah hidupmu nanti, Nah, apakah yang akan kau lakukan, anakku?"
"Suhu, aku ingin sekali pergi turun gunung dan ikut dalam perjuangan membela rakyat jelata agar segala yang pernah kupelajari dari Suhu tidak akan tersia-sia." jawabnya dengan tegas dan sungguh-sungguh.
"Apa yang mendorongmu untuk berjuang?"
"Suhu, aku... tertarik untuk mengikuti jejak kedua Suheng, dan... bahkan mendiang Ayah kandungku juga seorang pejuang, bukankah begitu? Jadi, sudah selayaknyalah kalau akupun menjadi seorang pejuang. Bukankah Suhu akan menyetujuinya?" Bu Beng Kwi mengangguk-angguk,
"Tentu saja, tentu saja aku setuju. Akan tetapi, apakah tidak ada lain cita-cita lagi dalam hidupmu, hal yang amat ingin kaulakukan?" Bu Beng Kwi ingin mengetahui semua isi hati muridnya ini, karena sebelum dia membuka rahasia yang mungkin akan menghabisi hidupnya, dan dia sudah siap siaga menghadapi hal ini, dia ingin lebih dahulu memberi pengarahan kepada muridnya untuk melakukan apa yang diinginkannya. Han Le mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, lalu dia menggeleng kepala perlahan.
"Kiranya tidak ada lagi, Suhu. Aku hanya mempunyai Ibu dan Suhu, dan kini Ibu telah hidup berbahagia bersama Suhu di sini. Dulu, di waktu aku belum mengetahuinya, ada cita-cita di hatiku untuk membalas kematian Ayah! Akan tetapi setelah Ibu memberi tahu bahwa yang membunuh Ayah ternyata sudah tewas pula, padamlah cita-cita itu... eh, kenapa Suhu? Kenapa Suhu memandangku seperti itu?" Han Le terkejut ketika melihat perubahan pada pandang mata Suhunya. Sepasang mata yang besar sebelah yang biasanya mencorong itu kini tiba-tiba saja seperti lampu kehabisan minyak, dan pandang mata Suhunya itu aneh sekali.
"Han Le, tahukah engkau siapa nama Ayahmu?"
"Tentu saja! Ayah bernama Gan Seng Bu."
"Tahukah engkau siapa pembunuh Ayahmu, yang masih Suheng dari Ayahmu sendiri?" Han Le merasa heran, akan tetapi dia menjawab juga.
"Ibu pernah memberi tahu. Pembunuh Ayah itu adalah Suhengnya sendiri yang bernama Koan Jit, akan tetapi ada apakah...?"
"Gan Han Le, apakah engkau ingin melihat bagaimana wajah Koan Jit, pembunuh Ayah kandungmu itu?" Han Le tekejut sampai bangkit berdiri, memandang kepada Suhunya dengan mata terbelalak penuh selidik, alisnya berkerut. Apakah gurunya hendak main-main dengan dia? Kalau bermain-main, keterlaluan sekali permainan ini!
"Suhu, apa artinya ini? Bukankah di sudah meninggal dunia?" Bu Beng Kwi menggeleng kepala, meraba mukanya dan berkata.
"Dia masih hidup, sayang sekali, dan kau boleh memandang wajahnya dengan baik-baik. Inilah orangnya!" Tangannya bergerak cepat dan tiba-tiba saja wajah buruk Bu Beng Kwi itu berobah sama sekali! Bukan lagi wajah seorang Kakek yang mukanya pletat-pletot, matanya besar sebelah, hidungnya menyerong dan mulutnya mencong telinganya kecil. Sama sekali bukan, melainkan wajah seorang laki-laki yang dapat dibilang tampan, dengan muka penuh kerut-merut dan membayangkan kedukaan, kulit mukanya agak kehitaman dan sepasang matanya yang tajam itu kini diliputi kedukaan besar.
"Inilah wajah Koan Jit, pembunuh Ayahmu itu!" Sampai beberapa amanya Han Le berdiri terbelalak,wajahnya berubah pucat sekali, tak mampu mengeluarkan kata- kata. kemudian dia berteriak,
"Suhu! Harap jangan main-main!" Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu tersenyum sedih dan menggeleng kepalanya.
"Gan Han Le, aku tidak main-main. Aku adalah Koan Jit, pembunuh Ayah kandungmu, dan aku sudah siap untuk menerima pembalasan dendam darimu, aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Nah, balaslah kematian Ayahmu itu dan bunuhlah aku!" Dengan kakinya, Bu Beng Kwi menendang meja yang menghalangi mereka ke samping sehingga kini mereka berhadapan. Bu Beng Kwi masih duduk di atas kursinya dan Han Le sudah berdiri sejak tadi.
"Tapi... tapi... bagaimana ini? Apa artinya ini? Mengapa Suhu melakukan semua itu? Mengapa? Ah, Suhu... aku tidak percaya! Jangan permainkan aku, jangan membikin bingung aku... dan diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suhunya.
"Bangkitlah, Han Le, dan hadapi kenyataan. Engkau bukan mimpi dan aku tidak berbohong. Dahulu aku bernama Koan Jit dan aku pernah membunuh Suteku yang bernama Gan Seng Bu. Kemudian, karena malu akan sepak terjangku sendiri aku mematikan nama Koan Jit dan aku berubah menjadi Bu Beng Kwi. Akhirnya aku berjumpa dengan Ibumu, jatuh cinta dan... engkau tahu sendiri. Aku sengaja menunggu sampai engkau dewasa, baru memberi tahu akan hal ini agar engkau dapat mengambil keputusan secara dewasa pula. Nah, aku sudah siap. Akulah Koan Jit pembunuh Ayahmu dan engkau boleh melakukan apa saja!" Sambil mendengarkan keterangan Suhunya, Han Le menangis dan tiba-tiba dia meloncat berdiri tegak, memandang wajah orang di depannya itu dengan muka beringas dan sepasang mata berkilat. Air matanya masih mengalir turun membasahi kedua pipinya ketika dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Bu Beng Kwi.
"Kau...! Engkau telah membunuh Ayahku, kemudian... engkau menggunakan muslihat... engkau pergunakan kelemahan hati Ibuku dan engkau malah mengawininya! Engkau sungguh kejam, keji dan tidak berperikemanusiaan!... Engkau bunuh Ayahku dan menipu Ibuku!" Han Le mengepal tinju dan napasnya tersengal-sengal saking marahnya.
"Dan engkau menipu aku, menjadikan aku muridmu... kau kira dengan kebaikan-kebaikan berselubung itu kau sudah menebus dosamu terhadap Ayahku? Kau keji, kau kejam"
"Aku siap menerima hukuman, Gan Han Le..." kata Koan Jit dan suaranya lirih sekali, mukanya kini tunduk dan kedua matanya basah. Bukan main sakitnya rasa hati dimaki-maki oleh anak yang dicintanya, disayangnya seperti anak sendiri. Akan tetapi dia merasa bahwa memang sudah semestinya demikian, dan hal ini sudah seingkali dibayangkannya selama bertahun-tahun ini, bahkan seringkali membuat dia tidak mampu tidur. Dengan kedua tangan terkepal Han Le memandang wajah laki-laki tua di depannya itu, penuh kebencian.
"Memang! Engkau harus mampus. Engkau binatang berwajah manusia, engkau iblis busuk, jahanam keparat, pembunuh Ayahku, penipu Ibuku...!"
Kedua tangannya sudah menggetar, penuh terisi tenaga sinkang karena Han Le sudah siap untuk menerjang dan mengirim pukulan maut kepada orang di depannya itu. Dia lupa bahwa orang itu adalah gurunya. Lupa karena memang wajah orang itu berbeda, dan yang teringat hanyalah bahwa orang itu pembunuh Ayahnya dan penipu Ibunya yang patut dibunuh! Diapun menerjang ke depan dan mengirim pukulan ke arah dada orang tua itu. Akan tetapi detik terakhir, pakaian serba putih seperti yang biasa dipakai Bu Beng Kwi, seperti mengingatkan Han Le bahwa orang ini adalah Bu Beng Kwi, gurunya, maka ditahannya gerakan pukulannya dan dikurangi tenaganya. namun pukulan itu sudah mengenai dada Bu Beng Kwi alias Koan Jit.
"Bruukkk...!" Koan Jit terkena pukulan, akan tetapi pukulan keras dari tenaga otot saja, bukan pukulan sinkang sehingga dia tidak terluka parah, hanya terengah saja dan dia masih bangkit berdiri, diam-diam dia merasa heran mengapa muridnya yang marah sekali itu memukul seperti itu, bukan pukulan maut yang sekali saja akan dapat mengantar nyawanya ke alam baka. Dia berdiri dengan terhuyung dan menghampiri lagi muridnya yang berdiri bingung.
"Hukum dan bunuhlah aku, jangan kepalang tanggung, Gan Han Le," katanya.
"Baik, aku akan, membunuhmu! Sebagai Koan Jit, engkau telah membunuh Ayahku! Sebagai Bu Beng Kwi, engkau telah menipu Ibuku, menodai Ibuku!" Sekali ini Han Le sudah mengambil keputusan untuk membunuh orang di depannya itu. Dia sudah mengerahkan tenaga dan siap menerjang, akan tetapi pada saat itu dia tersentak kaget karena jeritan Ibunya.
"Henry!!" Ibunya datang berlari dan menubruk Koan Jit yang berdiri limbung sambil mengusap darah dari ujung mulutnya.
"Henry, apa yang kau telah lakukan? Dan apa yang akan kau lakukan ini?" Ibunya membentak sambil menghadapi puteranya. Tentu saja Han Le merasa heran bukan main melihat Ibunya menubruk Koan Jit dan tidak heran melihat bahwa Bu Beng Kwi telah berubah menjadi Koan Jit.
"Ibu, tidak tahukah Ibu siapa dia ini? Dia ini Koan Jit, pembunuh Ayahku, pembunuh suami Ibu! Dan dia menyamar sebagai Bu Beng Kwi, menipu kita, bahkan menodai Ibu dan mengawini Ibu!"
"Ahhh, ini semua gara-gara engkau tidak membiarkan aku memberi tahu anakku sejak dulu, menanti sampai dia dewasa dan engkau sendiri yang memberi tahu keadaanmu." Sheila menegur Bu Beng Kwi yang kini duduk kembali dengan kepala ditundukkan seperti anak kecil yang merasa bersalah.
"Henry, dengarlah. memang dia ini Koan Jit. Ingatkah engkau ketika engkau kuajak pergi meninggalkan Bu Beng Kwi? Nah, ketika itulah akupun mengajakmu meninggalkannya. Akan tetapi...engkau tahu sendiri... betapa baiknya dia, dan aku... Ibumu ini, maafkan aku, nak, aku telah jatuh cinta kepadanya, kepada pembunuh Ayahmu. Akan tetapi, engkau sendiri mengenal siapa adanya Bu Beng Kwi, orang macam apa. Koan Jit memang telah mati, yang hidup adalah tubuhnya, akan tetapi hatinya, namanya telah menjadi Bu Beng Kwi. Bu Beng Kwi telah membunuh Koan Jit, maka engkau tidak boleh membunuh Bu Beng Kwi, anakku, karena dia gurumu, dia Ayah tirimu, dia mencinta kita berdua dengan sepenuh jiwa raganya"
"Tidak, Ibu! Tidak boleh begitu! Ah, mengapa Ibu begitu keji? Mau saja menikah dengan pembunuh Ayah? Ibu tidak cinta padaku, Ibu... kejam dan mengkhianati Ayah kandungku...! Aku harus bunuh dia, Ibu. harus!" Dengan tubuh menggigil Sheila menghadang di depan puteranya.
"Jangan, Henry! Engkau dilatih silat sejak kecil, apakah dengan kepandaian yang kau peroleh dari dia itu kini hendak kau pergunakan untuk membunuh dia, orang yang selama ini melatihmu, mengasihimu?"
"Baik, aku tidak mempergunakan ilmu silat yang dia ajarkan kepadaku. persetan dengan ilmu-ilmunya itu! Aku akan membunuh dengan ini, tanpa kepandaian yang kuperoleh darinya!" Dan Henry mencabut pistol jenis revolver itu dari balik bajunya dan menodongkannya ke arah Bu Beng Kwi yang masih diam saja sambil memandang kepada Ibu dan anak itu.
"Henryyyy...!" Sheila menjerit dan mendekat sehingga ujung pistol itu menempel di dadanya sendiri.
"Engkau tidak boleh lakukan itu! Tidak, dia adalah suamiku yang kucinta, kalau engaku berkeras hendak membunuhnya, engkau harus lebih dulu membunuhku!!" Mendengar ucapan Ibunya ini, terbelalak mata Han Le dan dia melangkah mundur, pistolnya menunduk, mukanya pucat
sekali.
"Ibu... Ibu bahkan membelanya, melindunginya? Padahal dia... dia pembunuh Ayahku...! Ibu... Ibu sungguh tidak patut... ahhhh...!" Han Le meloncat keluar dan melarikan diri pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
"Henry...! Henry...!" Sheila mengejar, akan tetapi puteranya itu telah berkelebat cepat sekali dan lenyap dari situ. Sheila yang terus mengejar, akhirnya terpelanting jatuh ketika kakinya tersentuh batu dan pada saat tubuhnya roboh, kedua lengan Bu Beng Kwi yang kokoh kuat menyambarnya dan tubuh yang terkulai pingsan itu lalu dipondongnya masuk kembali ke dalam rumah.
"Henry... ahh, Henry...!" Sheila mengeluh ketika ia siuman kembali dan melihat suaminya duduk di tepi pembaringan dengan wajah sedih, wajah Koan Jit tanpa topeng. Sheila menangis sesenggukan. Koan Jit mengelus rambut kepala isterinya penuh kasih sayang.
"Kita harus berani menghadapi semua ini, isteriku. Sudah kubayangkan akan begini jadinya. bagaimanapun juga, dia tidak akan tega membunuhku."
"Tapi dia... dia pergi dan lari dari sini... ah, bagaimana kalau aku kehilangan anakku lahir batin...?" Koan Jit menggeleng kepala sambil tersenyum, lalu menarik bangun isterinya yang menyandarkan kepala sambil menangis di dadanya.
"Jangan khawatir. Biarkan dia mengambil keputusan sendiri. Biar peristiwa hebat ini menambah kematangan jiwanya, meupakan gemblengan baginya. Tidak, dia tidak mungkin membencimu, Sheila. Dia hanya merasa bingung, seperti yang kaurasakan dahulu itu. Biarkan dia melihat kenyataan dan memutuskan langkahnya sendiri. Aku sudah rela, apapun yang akan dilakukannya. Kita tunggu saja..."
"Tapi... bagaimana kalau dia tidak kembali ke sini? Aku... aku akan merana dan sengsara memikirkan dia. Kalau kepergiannya untuk berjuang dan untuk suatu tujuan tertentu, aku sudah rela karena dia sudah dewasa. Akan tetapi kalau dia pergi meninggalkan aku dengan hati mengandung penasaran dan kebencian, ahhh..." Sheila tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis lagi dengan sedihnya.
"Baiklah, kita tunggu sampai satu bulan. Kalau dalam satu bulan dia belum kembali, biar kita juga pergi mencarinya sampai berjumpa dan dia harus mengambil keputusan tentang diriku, sebagai laki-laki seperti yang selalu kuajarkan kepadanya." Dengan janji ini, legalah hati Sheila. Ngeri ia memikirkan bahwa puteranya itu pergi untuk selama-lamanya dari sisinya, pergi dengan perasaan benci terhadap dirinya. Mencinta kalau diuntungkan, membenci kalau dirugikan! Beginilah selalu yang terjadi. Cinta dan benci saling berganti tempat, sebagai akibat untung dan rugi yang selalu datang silih berganti. Segala perbuatan seperti itu selalu palsu dan hanya mendatangkan duka belaka.
Selama ada si aku yang menimbang-nimbang untung rugi sehingga menimbulkan cinta atau benci, maka batin akan selalu diguncang konflik. Kalau sudah tidak ada pamrih, tidak ada perasaan diuntungkan dan dirugikan, maka perbuatan akan dituntun oleh cinta kasih, bukan "cinta" yang menjadi kebalikan dari "benci", karena cinta seperti itu bukan lain hanyalah nafsu ingin menyenangkan diri sendiri belaka. Dan justeru keinginan untuk senang inilah yang membawa kita kepada kecewa, bosan, dan duka. Sekali ini pasukan kulit putih yang menyerbu ke arah Peking terdiri dari pasukan Inggris dan Perancis yang amat kuat. Perang terjadi di sepanjang jalan dan karena pasukan kulit putih memiliki persenjataan yang lengkap, dengan senjata api, maka pertahanan balatentara kerajaan Mancu mengalami kekalahan di mana-mana.
Apalagi ketika itu pasukan-pasukan kerajaan sudah menjadi lemah dengan adanya pergolakan sejak Tai Peng memberontak. Dengan cepatnya pasukan kulit putih yang mendarat di teluk Pohai dan menyerbu ke barat itu telah mengepung kota besar di Tian-cin. Pasukan Kerajaan Mancu mempertahankan diri sekuatnya. Setelah terjadi pertempuran berpekan-pekan lamanya, di mana pasukan kulit putih menghujani kota Tian-cin dengan peluru meriam dan senapan, akhirnya bobollah pertahanan pasukan kerajaan Mancu. Tian-cin diduduki dengan mengambil korban yang tidak sedikit, terutama sekali rakyat jelata. Seperti ulah semua anak buah pasukan yang memperoleh kemenangan, pasukan kulit putih itupun tidak terkecuali, melakukan pembunuhan, perampokan, pembakaran dan perkosaan yang semena-mena terhadap rakyat kecil.
Sisa pasukan kerajaan sendiri dapat melarikan diri, mundur dan membuat pertahanan baru di kota Wu-cing yang menjadi benteng pertama dari pertahanan di kotaraja Peking. Keadaan pasukan kerajaan Mancu amatlah lemahnya, bukan hanya karena pada waktu ini terjadi banyak pemberontakan yang didahului oleh pemberontakan Tai Peng, akan tetapi juga terutama sekali karena pasukan pemerintah penjajah ini sama sekali tidak memperoleh dukungan dari rakyat jelata. Dan pasukan yang tidak memperoleh dukungan rakyat tentu menjadi lemah. Pada waktu itu, rakyat sudah cukup menderita karena kekorupan para pejabat pemerintah penjajah sehingga diam-diam tertanam perasaan benci yang mendalam dalam hati rakyat terhadap penjajah. Oleh karena itu, ketika pasukan asing kulit putih melakukan penyerbuan, rakyat sama sekali tidak mau membantu melainkan lari cerai berai dan mengungsi.
Pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, yang mendapat bantuan banyak sekali pendekar yang pandai, tidak dapat membantu pasukan pemerintah yang terus didesak mundur oleh pasukan kulit putih, karena pasukan rakyat ini sedang sibuk membendung pasukan Tai Peng yang tadinya berniat pula menyerbu ke utara mempergunakan kesempatan selagi pemerintah Mancu terancam pasukan kulit putih itu. Terjadilah perang yang seru antara laskar rakyat ini dengan pasukan Tai Peng yang juga dibantu oleh orang-orang pandai dari golongan sesat yang diketuai oleh Lee Song Kim. Dengan dipelopori pasukan gabungan Inggris dan Perancis, pasukan-pasukan asing itu mendesak terus ke utara, benteng demi benteng dibobolkan, dan akhirnya dalam tahun 1860, pasukan orang kulit putih itu, dibantu banyak mata-mata pribumi yang menerima upah besar, berhasil membobolkan benteng pertahanan terakhir di kotaraja dan mereka menyerbu Peking! Bagaikan perampok-perampok ganas,
Pasukan itu menyerbu istana, bahkan mereka merampok Taman Terang Sempurna yang indah, membakarnya dan merampok harta benda istana-istana yang terdapat di situ, membunuh banyak pengawal, menculik dan memperkosa banyak wanita dayang dan puteri! Harta benda yang amat luar biasa, yang bahkan belum pernah dilihat oleh orang-orang kulit putih itu sendiri, dirampok habis-habisan, istana dirusak dan dibakar. Kaisar Hsian Feng terpaksa melarikan diri bersama dua orang permaisurinya dan juga pangeran mahkota yang masih kecil, dalam tiga buah kereta besar, membawa harta benda dan dikawal oleh sepasukan perajurit pengawal. Rombongan ini keluar dari pintu gerbang sebelah barat ketika pasukan asing mulai menyerbu kotaraja. Tujuan rombongan Kaisar ini adalah Yehol di mana Kaisar memiliki sebuah istana perburuan yang besar.
Akan tetapi ketika rombongan pengungsi ini tiba di tepi sebuah hutan, mereka tersusul oleh pasukan kulit putih dan mata-mata mereka yang telah mengetahui akan pengungsian ini dan melakukan pengejaran cepat. Terjadilah pertempuran sengit di tepi hutan itu. Kaisar dan keluarganya bersembunyi dan berlindung di dalam kereta-kereta itu, takut kalau terkena peluru nyasar. Biarpun pasukan asing yang mengejar itu hanya terdiri dari dua puluh empat orang saja, namun lima puluh orang perajurit pengawal Kaisar merasa kewalahan melawannya. Para pengawal ini membawa senjata api, namun senjata api mereka itu kuno sekali kalu dibandingkan dengan senapan dan pistol yang dipergunakan pasuka kulit putih yang lebih modern dan dapat memuntahkan peluru lebih gencar dan tepat. Hal ini tidaklah aneh, karena senjata api yang dimiliki oleh sebagian keadaan pasukan-pasukan pengawal Kaisar itu adalah senjata yang dapat dibeli dari orang kulit putih,
Dan orang kulit putih yang cerdik itu memang sengaja menjual senjata api dari mutu yang rendah saja! Dalam waktu sebentar saja, dua ekor kuda penarik kereta roboh, dan sedikitnya lima belas orang perajurit pengawal roboh, tewas atau terluka, sedangkan di pihak orang kulit putih belum seorangpun yang terkena! Selagi keadaan pasukan pengawal itu terancam bahaya yang dapat mengakibatkan celakanya Kaisar dan keluarganya, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat. Bayangan putih dari seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung. Sejak tadi, tidak ada perajurit pengawal Kaisar yang berani meloncat keluar. Mereka berlindung di balik pohon-pohon, karena begitu keluar sedikit saja mereka tentu menjadi makanan peluru yang diberondongkan oleh pihak musuh.
Kini, melihat ada bayangan putih berani keluar bahkan mendekati tempat mereka bertiarap dan berlindung, senapan-senapan dan pistol-pistol memberondongkan peluru panas ke arah bayangan itu. Akan tetapi bayangan putih itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya. Dia menyelinap ke balik pohon, berloncatan tinggi dan kadang-kadang bertiarap sehingga sukar sekali dijadikan sasaran peluru dan bayangan itu makin dekat saja. Ketika dua orang serdadu kulit putih yang merasa penasaran bangkit berlutut dan membidikkan senapan mereka lebih seksama ke arah bayangan itu, tiba-tiba terdengar letusan dua kali dan nampak api berpijar di tangan bayangan putih itu, disusul teriakan kesakitan dan robohnya dua orang serdadu itu yang ternyata roboh karena tembakan pistol yang dilepas oleh bayangan putih!
Terkejutlah para serdadu itu. Kiranya bayangan itu adalah sorang yang mahir sekali mempergunakan pistol dan begitu muncul telah merobohkan dua orang di antara mereka! Sementara itu, para perajurit pengawal Kaisar ketika melihat munculnya si baju putih yang telah merobohkan dua orang lawan, dan kini masih berloncatan di antara hujan peluru musuh, menjadi girang dan bangkit kembali semangat mereka. Merekapun kini menggunakan kesempatan selagi pihak musuh memberondongkan senjata mereka ke arah si baju putih, merekapun menyergap dan menghujankan peluru senapan-senapan mereka ke arah musuh. Dua orang kulit putih roboh lagi oleh sergapan ini. Akan tetapi berondongan mereka yang kini ditujukan kepada pasukan pengawal membuat pasukan itu kembali harus bersembunyi.
Bayangan putih itu lenyap pula di antara pohon-pohon dan tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda disusul kutukan para serdadu kulit putih karena tiba-tiba saja semua kuda tunggangan mereka yang tadi ditambatkan pada batang pohon, tahu-tahu telah terlepas semua dan lari ketakutan! Kiranya ini perbuatan si bayangan putih tadi yang nampak lagi menyelinap berloncatan di antara pohon-pohon! Kadang-kadang nampak wajah orang itu dan pasukan kedua pihak dapat melihat bahwa bayangan putih itu ternyata seorang pemuda berpakaian serba putih yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berwajah tampan. Memang gerakannya hebat bukan main, cepat seperti seekor burung sehingga dia seperti mampu mengelak dari sambaran peluru-peluru yang berdesingan!
Bahkan kini kembali dia telah berloncatan mendekati pasukan asing itu dan setiap kali pistol di tangannya meledak, tentu ada seorang sedadu kulit putih yang roboh dan tewas! Ternyata kemahirannya menembak cepat amat mengejutkan dan juga menggentarkan hati para serdadu yang masih terus berusaha memberondongkan peluru mereka ke arah si baju putih itu. Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya si baju putih itu. Dia adalah Gan Han Le atau Henry! Setelah melarikan diri dari Bukit Awan Merah, dari gurunya dan Ibunya, Henry melakukan perantauan dan petualangannya. Hatinya masih penuh luka. Dia merasa bingung. Harus diakuinya bahwa tidak mungkin baginya untuk membenci Bu Beng Kwi yang buruk rupa itu. Sudah terlalu banyak kebaikan dan kasih sayang dia terima dari Kakek buruk rupa itu.
Akan tetapi, melihat Koan Jit, mengingat bahwa Koan Jit ini musuh besar yang telah membunuh Ayahnya, dia merasa benci sekali. Dan melihat betapa Ibunya mnjadi isteri dari musuh besar itu, hatinya kecewa, penasaran dan juga malu. Tadinya dia memang berniat untuk mencari kedua orang Suhengnya, ingin membantu perjuangan mereka melawan pasukan Tai Peng. Akan tetapi, setelah melihat kenyataan bahwa kedua orang Suhengnya itu adalah murid-murid dari Koan Jit, musuh besarnya timbul pula perasaan tidak suka kepada kedua orang Suheng itu dan diapun tidak jadi mencari mereka. Diapun merantau sampai ke kotaraja dan ketika terjadi penyerbuan pasukan asing kulit putih ke kotaraj a, kebetulan dia berada di kotaraja. Dari gurunya, Bu Beng Kwi, Han Le banyak mendengar tentang tujuan perjuangan rakyat.
Tidak suka kepada pemberontak Tai Peng yang ternyata banyak menindas rakyat dan bersekongkol dengan golongan sesat, juga menentang orang kulit putih yang menyelundupkan candu dan jelas hendak menguasai bandar-bandar besar, dan tentu saja menentang pemerintah penjajah Mancu. Oleh karena itu, melihat penyerbuan pasukan kulit putih ke kotaraja, diapun bersikap dingin saja. Dia tidak membantu orang kulit putih, juga tidak membantu pemerintah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat sepak terjang para serdadu kulit putih, membakari rumah dan istana, membunuh orang, merampok barang-barang dan bahkan memperkosa wanita, jiwa pendekarnya memberontak! Diapun lalu bergerak dan setiap kali melihat serdadu melakukan kejahatan, dia turun tangan membunuhnya!
Demikianlah, ketika dia melihat istana dirampok dan dibakar, kemudian keluarga Kaisar melarikan diri, diam-diam diapun membayangi. Bagaimanapun juga, dia merasa kasihan kepada keluarga Kaisar yang terancam bahaya. Ketika ada pasukan kulit putih mengejar dan terjadi pertempuran, dia hanya menonton saja, karena di situ terdapat lima puluh orang pengawal Kaisar. Akan tetapi, ketika melihat betapa pasukan pengawal itu tidak mampu menang bahkan terdesak dan keadaan keluarga Kaisar terancam, Han Le turun tangan dan memperlihatkan kemahirannya bermain dengan pistolnya untuk menghadapi pasukan yang bersenjata api dengan lengkap itu. Han Le mengamuk dengan pistolnya dan sedikitnya tiga belas orang serdadu kulit putih roboh terkena peluru pistolnya dan peluru yang diberondongkan pasukan pengawal.
Sisanya menjadi panik dan mereka lalu melarikan diri melalui hutan, berlindung pada pohon-pohon. Han Le mengejar dan masih merobohkan dua orang lagi sebelum dia kembali ke tempat pertempuran. Sementara itu, permaisuri kedua, Cu Si atau Yehonala, sejak tadi mengintai dan menonton pertempuran itu dengan hati gelisah. Akan tetapi ia sempat melihat bayangan putih yang dengan gagah berani membantu pasukan pengawal sehingga akhirnya pihak musuh dapat dihalau pergi dan sebagian roboh. Setelah keadaan aman, ia lalu memanggil pengawal terdekat dan memerintah agar orang berpakaian putih itu dihadapkan kepadanya di dalam kereta. Ketika Han Le keluar dari hutan setelah melakukan pengejaran, komandan pasukan pengawal yang bermuka brewokan telah menantinya dan cepat komandan ini memberi hormat kepadanya.
"Terima kasih atas bantuan Taihiap kepada kami," katanya agak heran ketika melihat betapa pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah ini memiliki sepasang mata yang mencorong akan tetapi agak kebiruan seperti mata orang kulit putih!
"Tidak perlu menghaturkan terima kasih," jawab Han Le dengan sikap dingin saja karena memang dia tidak ingin bersahabat dengan pasukan pengawal Kerajaan Mancu.
"Sekarang sudah aman, harap lanjutkan perjalanan." Berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
"Nanti dulu, Taihiap!" tiba-tiba komandan itu berseru. Han Le mengerutkan alisnya dan membalikkan tubuh menghadapinya.
"Taihiap, saya diutus oleh Sang Permaisuri Kedua untuk memanggil Taihiap menghadap, beliau ingin bicara dengan Taihiap." Makin dalam kerut di antara alis mata Han Le. Dia memandang ke arah kereta dan pada saat itu, tirai kereta tersingkap dan nampak wajah seorang wanita yang amat cantik tersembul dari balik tirai, sepasang mata yang jeli dan berwibawa memandang kepadanya.
"Baiklah," katanya, tertarik karena dia ingin sekali tahu apa yang hendak dibicarakan seorang permaisuri kepadanya. Dengan langkah gagah diapun mengikuti komandan itu dan ternyata dia dihadapkan kepada wanita yang tadi memandang kepadanya dari balik tirai! Ketika pintu kereta dibuka dan dia berhadapan dengan wanita itu, dia mendapat kenyataan bahwa wanita itu memang cantik sekali, dengan pakaian yang mewah, dan usianya kurang dari tiga puluh tahun, cantik dengan senyum dan pandang mata memikat.
"Paduka memanggil hamba ada keperluan apakah?" tanya Han Le sambil memberi hormat tanpa berlutut. Dia tidak berpengalaman, namun di samping ilmu silat tinggi, dia juga diberi pelajaran baca tulis dan tata cara sopan santun oleh gurunya. Akan tetapi, di depan seorang permaisuri Mancu, tentu saja dia tidak mau berlutut walaupun kata-katanya cukup sopan sebagai seorang rakyat terhadap isteri Kaisar! Sepasang mata Cu Si bersinar-sinar dan seperti menggerayangi tubuh pemuda yang berdiri di depannya. Kalau saja bukan pemuda yang tampan dan gagah perkasa, yang sudah menyelamatkan keluarganya, yang menghadapinya dengan sikap seperti itu, kurang hormat dan tidak berlutut, tentu ia akan marah. Akan tetapi ia teringat bahwa saat itu, biarpun masih menjadi permaisuri kedua, ia hanyalah seorang pengungsi, keluarga Kaisar yang sedang kalah dan melarikan diri!
"Orang muda yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan kami sekeluarga Sri Baginda Kaisar dari malapetaka. Harap jangan kepalang tanggung menolong kami, kawallah kami sampai selamat tiba di Yehol. Untuk itu kami akan memberi hadiah besar kepadamu." Karena yang minta pertolongan kepadanya seorang wanita yang demikian cantiknya, juga dengan suara yang memohon, bukan memerintah seperti layaknya seorang permaisuri, Han Le merasa tidak enak kalau menolak. Pula, setelah pasukan pengawal itu kehilangan banyak anak buah, memang berbahaya sekali bagi keselamatan Kaisar itu melanjutkan perjalanan tanpa pengawalan yang kuat.
"Lihatlah, Sri Baginda sedang sakit dan lemah, harap kau suka mengasihani kami, orang muda yang gagah." kata pula Cu Si dengan suara merayu. Han Le melihat seorang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah Kaisar sendiri, duduk bersandar dengan tubuh lemah, muka pucat dan mata terpejam. Mereka sekarang hanyalah keluarga lemah yang membutuhkan bantuan, bukan keluarga Kaisar penjajah yang lalim, pikir Han Le.
"Baiklah, hamba akan mengawal sampai ke Yehol," katanya memberi hormat. Cu Si girang sekali, meneriaki pengawal agar memberi kuda terbaik kepada pemuda itu dan membiarkan pemuda itu menjalankan kudanya di dekat kereta yang ditumpangi keluarga Kaisar. Ketika malam tiba, terpaksa keluarga Kaisar itu menghentikan perjalanan di luar sebuah hutan, karena selain kuda mereka sudah lelah, juga jalan di sepanjang hutan itu buruk sekali, apalagi sehabis hujan kemarin,
Jalan itu berlumpur dan melakukan perjalanan melalui jalan seburuk itu pada malam hari berbahaya sekali. Kereta bisa terperosok, bahkan terguling kalau salah memilih jalan. Ketika para pengawal sedang mengaso dan membuat api unggun, mengelilingi kereta yang ditumpangi keluarga Kaisar, juga para pelayan dan dayang yang berkumpul di dekat kereta, banyak di antara para pengawal saling mengobati luka yang mereka derita, Han Le duduk menyendiri di luar kurungan perajurit pengawal. Dia membuat api unggun sendiri dan menerima pembagian ransum, makan dengan sunyi sambil melamun. Betapa nasib manusia tidak tentu, seperti hari yang sebentar terang sebantar gelap, sebentar hujan sebentar cerah. Lihat saja nasib Kaisar dan keluarganya, pikirnya. Biasanya mereka itu hidup bergelimang kemewahan, kemuliaan dan kehormatan.
Akan tetapi sekarang mereka melarikan diri, seperti pengungsi-pengungsi yang melarikan diri dari bahaya, mencari keselamatan, melewatkan malam di dalam kereta yang sempit, di tepi hutan yang gelap gulita dan banyak nyamuknya! Nasibnya sendiripun telah mengalami perubahan hebat sekali. Dia mengenang Ibunya, juga gurunya. Sukar dia membayangkan bagaimana keadaan mereka, apa yang mereka lakukan semenjak dia meninggalkan mereka. Dia merasa amat kasihan kepada Ibunya, akan tetapi belum juga dia dapat mengerti mengapa Ibunya mau saja diperisteri musuh besar yang dulu membunuh Ayahnya! Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan tempat itu telah dikepung oleh banyak sekali orang yang semua memegang senjata tajam. Ada yang memegang golok, pedang, ruyung atau tombak dan sikap mereka itu kasar-kasar.
"Bunuh keluarga Kaisar Mancu!"
"Permaisuri untuk aku, ha-ha!"
"Barang-barangnya tentu banyak!"
"Bunuh semua anjing-anjing pengawalnya!" Dari ucapan dan melihat sikap mereka, mudah diduga bahwa mereka itu adalah segerombolan perampok yang jumlahnya banyak, sedikitnya ada lima puluh orang! Memang pada waktu itu, banyak gerombolan perampok yang menamakn diri mereka pejuang dan menentang pemerintah Mancu. Akan tetapi tujuan mereka sesungguhnya bukan demi memebela kepentingan rakyat, melainkan kepentingan diri pribadi. Dengan menamakan diri "pejuang" penentang penjajah, mereka dapat mengangkat diri, bukan seperti gerombolan perampok!
Mereka mendengar bahwa keluarga Kaisar melarikan diri dari kotaraja dan mereka dapat menduga bahwa keluarga Kaisar melarikan diri itu tentu membawa banyak sekali barang berharga, juga puteri-puteri cantik jelita! Karena itu, malam itu mereka nekat menyerbu. mereka bukanlah gerombolan perampok biasa, kalau demikian halnya tak mungkin mereka berani menyerang keluarga Kaisar yang dilindungi pasukan pengawal. Mereka itu dipimpin oleh Yan-san Ngo-coa (Lima Ular Gunung Yan), lima orang kakak beradik seperguruan yang terkenal sekali sebagai perampok yang malang melintang di sebelah utara kotaraja Peking, memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan mereka telah berhasil menghimpun anak buah mereka yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Para perajurit tentu saja terkejut bukan main. Mereka masih lelah dan kini diserbu secara tiba-tiba, di malam gelap yang hanya diterangi oleh beberapa buah api unggun di sana-sini.
"Kurung kereta dan pertahankan! Jangan pergunakan senapan, lindungi Kaisar dengan golok!" bentak komandan pasukan yang merasa khawatir kalau anak buahnya menggunakan senapan. Selain akan terlambat karena perampok sudah menyerbu, juga peluru bisa kesasar mengenai teman sendiri. Terjadilah pertempuran hebat dan segera terdengar suara senjata tajam saling beradu, menimbulkan suara nyaring mengerikan. Apalagi para perampok itu banyak yang mengeluarkan suara ketawa mengejek, menyerankan dan memang segera dapat dilihat bahwa dalam adu senjata tajam, para pengawal itu agaknya bukanlah tandingan para anggauta perampok.
"Keparat, perampok busuk!" Han Le memaki dan diapun cepat menerjang ke arah para perampok. Terjangan Han Le hebat sekali. Biarpun dia bertangan kosong, namun setiap kali tangannya menampar, tentu ada seorang anggauta perampok yang berteriak dan terguling roboh. Akan tetapi, para perajurit pengawal juga terdesak hebat dan banyak di antara mereka yang roboh sehingga Han Le terpaksa harus berloncatan ke sana-sini untuk membantu perajurit yang kewalahan. Han Le teringat akan keselamatan keluarga Kaisar yang berada di dalam kereta. Yang terpenting harus melindungi mereka, pikirnya dan diapun mulai membuka jalan menghampiri kereta yang oleh pasukan pengawal secara mati-matian coba dipertahankan. Akan tetapi agaknya para perampok lebih kuat dan mereka mulai mendekati kereta sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak.
Pintu kereta-kereta itu tertutup rapat dan Han Le dapat membayangkan betapa panik dan takutnya keluarga Kaisar yang berada di dalam kereta-kereta itu. Hatinya merasa lega melihat bahwa tiga buah kereta itu belum terjamah oleh para perampok, akan tetapi diapun dapat melihat betapa akan repotnya kalau dia sendiri harus melindungi tiga kereta itu yang dapat diserang dari semua jurusan. ketika telah tiba dekat, dia terkejut dan tertarik sekali melihat perkelahian hebat yang terjadi di dekat kereta antara seorang gadis melawan pengeroyokan lima orang perampok yang memiliki gerakan lihai bukan main. Lima orang perampok ini masing-masing memegang sepasang golok besar, sedangkan gadis itu, yang melihat bentuk tubuhnya, hanya seorang gadis remaja, memegang sebatang pedang tipis.
Akan tetapi, Han Le merasa kagum bukan main melihat cara gadis itu menggerakkan pedang melawan para pengeroyoknya. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata tertimpa sinar api unggun yang masih bernyala terang tak jauh dari situ. Siapakah gadis lihai ini, pikirnya, dan kenapa tadi tidak nampak? Dan siapa pula lima orang perampok yang lihai itu? Dia tidak sempat menyelidiki untuk menjawab kedua pertanyaan itu, melainkan cepat turun tangan, terjun ke dalam perkelahian karena bagaimanapun lihainya, gadis itu agaknya mulai kewalahan juga menghadapi pengeroyokan lima orang yang merupakan lawan tangguh. Sepuluh gulung sinar golok itu mulai menekan dan mengepung dan gadis itu terpaksa harus berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan ancaman bacokan golok.
"Penjahat-penjahat curang!" bentak Han Le dan diapun menerjang masuk sambil memainkan Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang gerakannya cepat, berubah-ubah dan amat kuat itu. Apalagi dia telah melindungi kedua lengannya dengan kekebalan sehingga kalau perlu dia berani menangkis golok lawan dengan lengan tanpa khawatir lengannya akan terluka. Begitu dia menyerbu masuk, buyarlah kepungan terhadap gadis itu, karena tamparan tangan dan tendangan kaki Han Le sedemikian cepat dan kuatnya sehingga lima orang perampok itu terkejut sekali karena hampir saja menjadi korban pukulan dan tendangan, mereka mencelat mundur dan kini maju lagi terpecah menjadi dua. Dua orang mengeroyok gadis remaja itu, sedangkan yang tiga lagi mengeroyok Han Le yang bertangan kosong.
Pedang Naga Kemala Eps 36 Pedang Naga Kemala Eps 2 Dewi Ular Eps 9