Jodoh Si Naga Langit 3
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Ia teringat bahwa tadi ia berada di depan sebuah kuil ketika tiba-tiba segalanya menjadi gelap. Ia dapat menduga bahwa ia tadi tentu jatuh pingsan dan entah siapa yang telah menolongnya. Lalu teringatlah ia akan keadaan dirinya. Suami mati dan anak, meninggalkannya! Datang lagi kesedihan menyelimuti hatinya. Ah, mengapa ia ditolong orang? Mengapa tidak dibiarkannya saja ia mati menyusul suaminya? Betapa akan berbahagianya mati bertemu dan bersatu kembali dengan suaminya tercinta!
Langkah kaki lembut membuat ia menengok ke arah pintu. Seorang nikouw (Pendeta wanita Buddhis) memasuki kamar. Usianya sekitar enampuluh tahun, namun wajahnya masih tampak belum ada keriput dan sinar matanya lembut, mulutnya tersenyum penuh kesabaran. Sepotong wajah yang cerah, sabar dan penuh pengertian. Jubahnya kuning dan sederhana sekali. Kepalanya yang gundul ditutupi sebuah topi kain berwarna kuning pula.
Melihat nikouw itu, Liang Hong Yi lalu turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, lalu meratap.
"Mengapa saya ditolong? Mengapa saya tidak dibiarkan mati saja? Saya ingin mati, saya ingin berkumpul kembali dengan suami saya yang tercinta""!"
"Omitohud! Anak yang baik, lahir dan mati tidak dapat ditentukan oleh keinginan kita! Kalau engkau dalam kehidupan ini merasa sengsara, apakah kaukira setelah mati akan terlepas daripada sengsara? Kalau suamimu sudah meninggal dunia lalu engkau menyusul mati, apakah kaukira kalian akan dapat berkumpul seperti ketika di dunia? Anak yang baik, mengapa engkau menjadi putus asa seperti ini? Tidak ada di dalam kehidupan ini kesusahan yang tidak dapat diatasi. Kesusahan dan kesenangan hanya permainan sementara saja dalam kehidupan manusia."
"Akan tetapi tidak ada gunanya lagi saya hidup! Suami dibunuh orang, anak satu-satunya meninggalkan saya karena marah mendengar bahwa ibunya, saya ini, adalah seorang bekas pelacur. Hidup saya hanya akan mencemarkan nama baik anak saya dan tidak ada orang yang sudi mengambil anak pelacur menjadi mantunya. Ah, dosa saya yang saya lakukan di waktu muda dulu kini akibatnya ditanggung oleh anak saya! Hanya suami saya seorang yang menghargai saya, tidak memandang rendah saya yang bekas pelacur. Maka saya ingin ikut dia, saya......"
"Omitohud! Tidak ada manusia sempurna tanpa dosa di dunia ini. Berbahagialah manusia yang menyadari akan dosa-dosanya, bertaubat lahir batin tidak akan mengulang kesalahannya. Akan tetapi sebaliknya celakalah orang yang merasa dirinya suci sendiri, angkuh dan pongah, karena sewaktu-waktu dia dapat terjeblos ke dalam jurang dosa yang lebih parah lagi." Kemudian nikouw itu berkata dengan suara penuh wibawa.
"Liang Hong Yi, angkat mukamu dan lihat, siapa pin-ni (aku)?"
Liang Hong Yi terkejut dari heran mendengar nikouw itu menyebut namanya. Ia mengangkat muka mengamati wajah wanita itu dan matanya terbelalak melihat wajah yang tersenyum itu, ingatannya melayang kembali keduapuluh lima tahun yang lalu ketika ia bertemu dengan seorang nikouw yang kemudian mengajar ilmu silat kepadanya.
"Subo (Ibu Guru)!" ia lalu merangkul kedua kaki nikouw itu dan menangis.
"Subo, ""teecu (murid) mohon ampun, Subo""!"
"Omitohud! Hong Yi, orang yang mengakui dosanya dan mau bertaubat, sudah pasti diberi ampun oleh Yang Maha Pengampun. Semua yang terjadi menimpa dirimu bersumber kepada dirimu sendiri, muridku. Karena itu, kalau benar engkau mengakui dosa dan mohon ampun dari Yang Maha Kuasa, terimalah segala yang terjadi padamu dengan hati ikhlas. Anggaplah sebagai penebus dosamu yang dijatuhkan Yang Maha Adil kepadamu. Tahukah engkau, bahwa keinginanmu untuk mati itu pun merupakan sebuah dosa baru yang tidak kalah buruknya?"
"Aduh, Subo....... teecu tidak berani lagi, teecu mohon agar Subo memenuhi sebuah permohonan terakhir dari teecu"..."
"Ahh, seorang guru sama dengan ayah ibu sendiri. Permohonan murid pasti akan dipenuhi asalkan permohonan itu masuk akal, pantas dan tidak melanggar kebenaran."
"Subo, teecu ingin menjadi biarawati. Biarlah teecu menebus dosa dan mendekatkan hati kepada Yang Maha Suci agar kelak teecu dapat membantu memberi petunjuk dan penerangan kepada orang-orang yang berada dalam kegelapan seperti yang teecu alami sekarang ini."
"Bangkit dan duduklah. Untuk menerimamu menjadi nikouw, pinni harus mengetahui dulu keadaanmu, keluargamu dan apa yang mendorongmu ingin menjadi nikouw. Duduklah dan ceritakan keadaanmu."
Liang Hong Yi bangkit dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi Bian Hui Nikouw yang sudah duduk bersila di atas pembaringan. Dulu, ketika ia dilatih ilmu silat oleh Bian Hui Nikouw, pendeta wanita itu baru berusia hampir empatpuluh tahun. Kini sudah berusia enampuluh tahun, akan tetapi wajahnya masih segar seperti dulu, hanya ada garis-garis ketuaannya.
Setelah hatinya tenang terpengaruh oleh sikap gurunya yang tenang penuh damai itu, Liang Hong Yi lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dari ketika ia terpaksa menjadi pelacur untuk membalas budi kepada bibinya sampai akhirnya ia menikah dan mempunyai seorang anak perempuan yang kini sudah dewasa. Ia menceritakan tentang perjuangannya ikut suaminya membantu mendiang Jenderal Gak Hui, tentang kehidupannya sebagai suami isteri terhormat. Lalu ia menceritakan tentang Bi Lan yang diculik orang, sampai akhirnya anak yang hilang dalam usia tujuh tahun itu kembali setelah berusia sembilanbelas tahun. Akan tetapi kembalinya terlambat karena suaminya dan ia terluka oleh dua orang murid Ouw Kan yang membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si dari Kerajaan Kin dalam perang.
"Demikianlah, Subo. Karena teecu amat berduka kematian suami, maka teecu mengajak Bi Lan pergi ke kota raja untuk menemui keluarga Panglima Kwee Gi yang dulu menjanjikan akan menjodohkan putera mereka dengan Bi Lan. Akan tetapi setibanya di rumah mereka"" keluarga Kwee telah mengetahui akan masa lalu teecu sebagai seorang pelacur di kota Cin-koan dan mereka tidak mau mengambil Bi Lan sebagai mantu yang sah, hanya mau menerima Bi Lan untuk menjadi selir putera mereka. Teecu merasa malu sekali, Subo dan terpaksa teecu mengaku kepada Bi Lan, menceritakan semua itu kepada Bi Lan. Anak teecu itu menjadi marah sekali dan tadinya hendak mengamuk kepada keluarga Kwee akan tetapi teecu melarangnya. Ia lalu pergi meninggalkan teecu, katanya hendak membalas dendam kematian ayahnya. Teecu ditinggal seorang diri, suami dan anak telah pergi, teecu merasa kehilangan, kesepian dan putus asa. Teecu berjalan terus tanpa tujuan dan akhirnya, tidak kuat lagi dan roboh di depan kuil. Begitulah riwayat teecu, Subo."
"Omitohud! Semoga saja penderitaanmu sebagai hukuman ketika masih hidup ini akan meringankan perjalananmu, pulang kelak, Hong Yi. Ternyata sampai sekarang, Toat-beng Coa-ong Ouw Kan datuk utara itu masih belum sadar dari jalan sesat yang ditempuhnya. Karena engkau kini hidup sebatang kara, dan niatmu menjadi nikouw didasari keinginan untuk menebus dosa, baiklah pinni menerima permintaanmu."
Liang Hong Yi menjatuhkan diri berlutut.
"Terima kasih, Subo. Subo telah membuka jalan ke arah kehidupan baru bagi teecu."
"Duduklah, Hong Yi dan sekarang ketahuilah bahwa pinni secara kebetulan memang memimpin para nikouw yang berada di biara (kuil) Kwan-im-bio (Kuil Dewi Kwan Im) ini. Sudah lima tahun pinni tinggal di kuil ini dan menghentikan perantauan pinni. Agaknya memang kita sudah berjodoh, Hong Yi sehingga kebetulan pula engkau jatuh pingsan di luar kuil dan dibawa masuk oleh para nikouw."
Demikianlah, mulai hari itu, Liang Hong Yi diberi pelajaran tentang keagamaan, mempelajari kitab suci dan setelah pengetahuannya tentang agama dirasa cukup, iapun menjalani upacara cukur rambut sampai menjadi gundul dan menjadi nikouw dan diberi nama biarawati Tiong Ceng Nikouw (Biarawati Lurus Bersih), tinggal bersama limabelas orang nikouw yang berusia dari tujuhbelas sampai limapuluh tahun, dipimpin Bian Hui Nikouw. Karena Bian Hui Nikouw melihat bahwa Liang Hong Yi atau yang sekarang bernama Tiong Ceng Nikouw memiliki bakat besar dalam ilmu silat, maka ia menambahkan pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi sehingga murid itu dapat memperdalam ilmu silatnya. Liang Hong Yi seolah sebuah perahu yang tadinya diombang-ambingkan badai lautan dan hampir tenggelam, kini telah menemukan pelabuhan yang aman dan tenteram. Kwan-im-bio itu berdiri di lereng Bukit Awan, tak jauh dari kota raja.
Han Bi Lan melakukan perjalanan cepat sekali menuju kota Cin-koan. Selama dalam perjalanan itu, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, tanda bahwa hatinya dihimpit berbagai perasaan yang mendatangkan perasaan marah besar, malu dan juga kecewa. Seperti terngiang di kedua telinganya suara orang-orang di sepanjang perjalanan itu meneriakinya.
"Anak pelacur! Anak pelacur! Anak pelacur hina!"
"Keparat! Jahanam! Setan busuk!" Ia memaki lalu berlari kencang sekali bagaikan seekor kijang muda, melompat-lompat sehingga mereka yang kebetulan lewat itu terbelalak keheranan bercampur takjub melihat seorang gadis cantik berpakaian merah lari seperti angin cepatnya!
Begitu memasuki kota Cin-koan yang cukup ramai, di mana terdapat banyak toko penuh barang kebutuhan sehari-hari, toko pakaian dan sebagainya. Juga terdapat rumah makan dan losmen-losmen, gedung-gedung besar milik para hartawan dan bangsawan. Ketika Bi Lan berjalan-jalan sepanjang jalan raya yang ramai, dalam hatinya diam-diam merasa terharu karena kota inilah tempat tinggal ibunya di waktu kecil sampai dewasa, ia memperhatikan kanan kiri dan akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Sebuah rumah yang cukup besar, dicat merah dan tampaknya terpelihara, bahkan pekarangannya bersih dan rapi, terdapat pot-pot tanaman bunga. Di depan rumah itu ada tulisan yang membuat ia berhenti melangkah dan memperhatikan.
"Rumah Hiburan Bunga Merah" demikian bunyi tulisan itu. Inilah yang dicarinya, pikir Bi Lan. Sebuah rumah hiburan, tentu rumah seperti ini yang dimaksudkan sebagai rumah pelesir di mana para pelacur menjajakan tubuhnya. Ia melihat banyak kuda yang bagus ditambatkan di kebun samping rumah. Tentu itu kuda tunggangan para tamu. Melihat kuda-kuda yang besar dan bagus itu, Bi Lan dapat menduga bahwa pemiliknya tentu golongan hartawan atau bangsawan. Tanpa ragu-ragu ia memasuki pekarangan yang cukup luas itu.
Tiga orang tukang pukul penjaga rumah hiburan itu, tiga orang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh tahun, segera menyambut kedatangan Bi Lan. Melihat yang datang seorang gadis yang cantik jelita, tiga orang jagoan itu menjadi heran. Apakah ini seorang "bunga" baru? Belum pernah mereka melihatnya dan sebagai jagoan penjaga rumah hiburan di mana terdapat banyak wanita cantik, mereka tidak biasa menggoda wanita karena hal itu dilarang oleh pemilik rumah hiburan. Akan tetapi mereka curiga kalau-kalau yang datang ini isteri seorang "tamu" yang berada di rumah hiburan. Kalau benar demikian, maka wanita ini dapat menimbulkan keributan di dalam.
"Tunggu dulu, Nona," kata seorang di antara mereka.
"Siapakah engkau dan ada keperluan apakah Nona masuk ke tempat ini? Kami tidak biasa menerima tamu wanita, hanya menerima tamu pria."
Biarpun hatinya sedang gundah, namun karena ia datang untuk mencari keterangan tentang ibunya, Han Bi Lan menahan kesabaran dan menjawab singkat.
"Aku datang untuk bertemu dengan pemilik rumah hiburan ini. Harap antarkan aku kepadanya atau laporkan kepadanya aku ingin bertemu dengannya."
Tiga orang jagoan itu tersenyum. Hemm, agaknya seorang calon "bunga" baru, pikir mereka. Hebat juga gadis ini. Kalau menjadi bunga di situ, pasti dapat mengalahkan semua bunga yang berada di situ!
"Baik, tunggu sebentar, akan kulaporkan kepada Ciu-ma," kata jagoan yang hidungnya pesek itu dan dia bergegas masuk ke dalam.
Dua jagoan yang menanti di luar bersama Bi Lan, memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang matanya agak juling bertanya, "Nona, siapakah namamu?"
"Aku hanya akan memperkenalkan namaku kepada pemilik rumah ini," jawab Bi Lan dengan suara datar dan sambil lalu, sama sekali tidak memandang orang itu.
"Hei, Nona engkau cantik sekali. Kalau engkau menjadi bunga di sini, aku akan mencarikan seorang kongcu (tuan muda) yang kaya raya. Akan tetapi jangan lupa memberi uang jasa kepadaku."
Bi Lan tidak mengerti jelas maksud kata-kata itu, akan tetapi ia dapat mengira-ngira dan wajahnya sudah berubah merah. Baiknya sebelum ia naik darah, penjaga pertama tadi muncul dengan wajah menyeringai lebar.
"Nona dipanggil ke dalam. Ciu-ma menanti di serambi sebelah kiri sana." Dia menuding ke samping bangunan di mana terdapat serambi kecil. Ia mengangguk lalu berjalan menuju ke tempat itu.
Begitu ia memasuki serambi, seorang wanita berusia sekitar limapuluh tahun, berpakaian mewah, berhiaskan emas permata dan wajahnya berbedak dan bergincu tebal, keluar dari dalam. Begitu melihat Bi Lan, matanya terbelalak, wajahnya berseri dan senyumnya melebar dan ia tidak menyembunyikan kekagumannya. Pandang matanya yang berpengalaman itu mengamati wajah dan bentuk tubuh Bi Lan seperti seorang saudagar kuda meneliti seekor kuda yang akan dipilihnya. Dalam hati ia mencatat bahwa dalam diri gadis yang kini berdiri di depannya itu terdapat sumber uang yang deras mengalirkan uang memasuki koceknya! Maka, dengan ramah ia lalu menyambut gadis itu.
"Ah, selamat datang, Nona. Silakan duduk, mari-mari......!"
Bi Lan duduk berhadapan dengan wanita yang tubuhnya gembrot dan sikapnya genit itu, yang kalau bicara mengangkat-angkat sepasang alisnya yang dicukur kelimis lalu digambari garis hitam kecil melengkung.
"Nona, siapakah engkau dan bantuan apakah yang dapat kuberikan kepadamu?" Manis sekali ucapan itu, belum apa-apa sudah menawarkan bantuan!
"Namaku Han Bi Lan. Apakah Bibi ini yang dipanggil Ciu-ma dan pemilik rumah hiburan ini?"
"Betul, Nona. Akulah yang. dipanggil Ciu-ma, dan engkau pun mulai sekarang boleh menyebut aku Ciu-ma. Nah, katakan, apa yang engkau inginkan?"
"Sudah lamakah engkau mengusahakan rumah hiburan ini, Ciu-ma?"
"Eh? Mengapa engkau bertanya begitu, Nona jelita?"
"Aku hanya ingin tahu saja."
"Tentu saja sudah lama. Semenjak aku tidak menjadi gadis penghibur lagi, aku lalu menjadi penguasa rumah hiburan, sudah lebih dari duapuluh tahun."
Girang rasa hati Bi Lan. Tentu orang ini akan mengetahui dengan jelas keadaan dunia pelacuran pada duapuluh tahun yang lalu.
"Ciu-ma, aku ingin bertanya kepadamu. Apakah kurang Iebih duapuluh tahun yang lalu di kota ini terdapat seorang...... pelacur yang bernama Liang Hong Yi?"
"Duapuluh tahun yang lalu? Liang Hong Yi......, Hemm, kaumaksudkan Liang Hong Yi yang kabarnya kini menjadi isteri panglima perang di kota raja itu? Tentu saja aku tahu! Siapa yang tidak mengenal Liang Hong Yi pada waktu itu? Ia adalah ratunya bunga hiburan di kota Cin-koan ini! Langganannya hanya terdiri dari para bangsawan dan hartawan! Ia yang menjadi bintang di rumah hiburan Bunga Seruni yang dipimpin Lu-ma, yang kabarnya sekarang ikut keponakannya, Liang Hong Yi itu, tinggal di kota raja. Kenapa engkau menanyakan ia, Nona manis? Ia memang pelacur pilihan, cantik jelita dan jikalau seorang gadis seperti Nona ini suka, aku akan dapat membuatmu menjadi bintang seperti Liang Hong Yi itu!"
Hati Bi Lan mulai panas, akan tetapi ia tahu bahwa wanita ini tidak mempunyai kesalahan apapun, juga tidak ada sangkut pautnya dengan ibunya. Hatinya panas karena kini ia yakin bahwa ibunya benar-benar dahulu seorang pelacur tersohor di kota ini! Melihat Bi Lan terdiam dan hanya menundukkan mukanya, Ciu-ma mengira bahwa gadis itu mulai tertarik dengan tawarannya.
"Nona Han Bi Lan, engkau ingin melihat-lihat keadaan di dalam, silakan. Kehidupan di rumah ini penuh dengan kegembiraan, bergelimang kemewahan dan seorang gadis penghibur yang cantik dapat berenang di lautan uang. Mari ikut aku!"
Dalam keadaan hati tertekan oleh kenyataan pahit itu, Bi Lan menurut saja diajak masuk ke dalam oleh Ciu-ma. Ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas sekali di mana terdapat banyak meja seperti di restoran besar, dan ada bangku-bangku panjang terhias kain beraneka warna, lantainya juga ditutupi permadani, perabot-perabotnya serba indah, terdapat banyak orang. Bi Lan menyapu ruangan itu dengan pandang matanya dan ia bergidik.
Ada belasan orang gadis di situ, rata-rata cantik dan pesolek, sikap mereka genit, dan mereka melayani belasan orang laki-laki yang kesemuanya berpakaian indah. Ada yang masih muda, ada pula yang setengah tua, akan tetapi kesemuanya jelas menunjukkan bahwa mereka itu orang kaya atau bangsawan.
Suasana di dalam ruangan itu ramai dan meriah. Setiap orang memiliki pasangan. Ada dua pasang sedang makan minum di sebuah meja, tampaknya dua orang laki-laki muda itu sudah mulai mabok dan tertawa-tawa, sedangkan dua orang pasangannya dengan genit merayu mereka. Ada pula yang duduk berpasang di atas bangku panjang sambil berpelukan dan saling berbisik mesra. Ada pula empat pasangan yang sedang bermain kartu di sebuah meja lain. Malah ada yang bercumbu di bangku yang terletak di sudut. Ada beberapa yang memasuki kamar yang banyak berderet di bagian belakang sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Melihat semua ini, Bi Lan menjadi muak.
"Hei, Ciu-ma! Barang barukah itu? Cantik nian!" Seru seorang pria sambil menyeringai memandang Bi Lan. Semua orang menoleh dan memandang Bi Lan yang melangkah masuk dituntun Ciu-ma yang menyeringai lebar.
"Eh, Ciu-ma! Be!um pernah tersentuhkah ia? Kalau belum pernah, berikan kepadaku. Aku mau membayar berapa saja yang kauminta!"' seru seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang bertubuh gendut sekali sehingga kelihatan pendek. Tentu dia itu seorang yang kaya raya, melihat jari tangannya penuh cincin emas dengan batu-batu permata indah dan mahal. Dia sedang duduk dan memangku seorang gadis yang usianya belum ada duapuluh tahun.
Tiba-tiba Bi Lan merasa kepalanya pening. Ia memandang kepada gadis yang dipangku laki-laki gendut itu. Ia menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan akan tetapi tetap saja yang dilihat dipangku dan dicumbu laki-laki gen-dut itu adalah ibunya, Liang Hong Yi!
Tiba-tiba ia tidak dapat menahan gejolak hatinya. Ibunya dipangku dan dicumbu laki-laki gendut itu! Bi Lan mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah berkelebat, tahu-tahu sudah berada di depan Si Gendut itu.
"Jahanam! Kamu sampah masyarakat!" Tangannya menampar.
"Prokkk......!" Tubuh laki-laki gendut itu terpelanting dan gadis yang dipangkunya juga terpental. Laki-laki itu mengaduh-aduh sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan dan darah berlepotan di kedua tangannya karena bukit hidungnya telah remuk kena ditampar Bi Lan sehingga darahnya bercucuran. Bi Lan mendengar suara para gadis menjerit dan ketika ia memutar tubuh memandang ke sekeliling, ia semakin marah karena wajah para gadis itu berubah menjadi wajah ibunya. Ibunya dipeluk, dicumbu, dipangku dan diajak bersenang-senang oleh para pria di ruangan itu. Bi Lan mengeluarkan pekik melengking berulang-ulang.
"Jahanam semua! Kalian ini laki-laki yang mengotori dunia! Sudah sepatutnya laki-laki macam kalian ini dihajar!" Dan gadis itu bergerak cepat sekali, tubuhnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar suara laki-laki mengaduh dan darah pun muncrat.
Ada yang bukit hidungnya hancur, ada yang daun telinganya tercabut putus ada yang sebelah matanya buta karena biji matanya tercokel keluar oleh jari tangan Bi Lan. Dalam waktu beberapa detik saja, tigabelas orang laki-laki yang kesemuanya adalah para bangsawan dan hartawan hidung belang yang menjadi langganan rumah pelesir itu, tidak seorang pun terluput dari hajaran Bi Lan. Muka mereka dibikin cacad dan dibiarkan tidak ada yang dibunuh, namun mereka menjadi orang-orang yang cacad mukanya untuk selama hidup. Para gadis pelacur itu tidak diganggu oleh Bi Lan. Mereka menjerit-jerit ngeri, bahkan Ciu-ma roboh pingsan.
Setelah pria terakhir dihajarnya dan Bi Lan yang kedua tangannya ternoda darah hendak melompat keluar, tiga orang jagoan yang berada di pekarangan tadi, tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu karena mendengar jerit ketakutan para gadis pelacur.
Begitu memasuki ruangan dan melihat para tamu sudah roboh malang-melintang sambil merintih-rintih dan muka mereka berdarah, para jagoan itu terkejut bukan main. Melihat Bi Lan di situ dan kedua tangan gadis itu berlepotan darah, tiga orang jagoan ini segera dapat menduga apa yang terjadi. Gadis itu telah membuat kekacauan dan menyerang para tamu pria! Tiga orang jagoan cepat mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka bertiga lalu maju menerjang Bi Lan dengan bacokan golok mereka. Akan tetapi dengan sigap Bi Lan berkelebat lenyap. Selagi tiga orang itu kebingungan, tahu-tahu seorang dari mereka berteriak karena tiba-tiba tangan kanannya lumpuh dan goloknya telah dirampas Bi Lan. Dua orang yang lain cepat membalik dan menyerang.
"Trang-trang......!" Golok dua orang jagoan itu terpental dan terlepas dari pegangan mereka saking kuatnya Bi Lan menangkis dengan golok rampasannya.
"Hemm, kalian suka bertindak sewenang-wenang dengan tangan kanan kalian, maka tidak patut kalian mempunyai tangan kanan lagi!" Tiga kali sinar golok berkelebat disusul teriakan tiga orang itu dan ternyata lengan kanan mereka telah buntung sebatas siku! Bi Lan membuang golok ke atas lantai lalu sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari rumah itu.
Tentu saja rumah hiburan Bunga Merah itu menjadi gempar. Ketika berita tentang peristiwa mengerikan yang terjadi di rumah hiburan Bunga Merah itu tersiar keluar, pada saat itu terdengar pula berita bahwa di Rumah Hiburan Bunga Mawar dan Rumah Hiburan Teratai juga terjadi keributan dan peristiwa yang sama. Semua tamu pria dari kedua rumah hiburan itu, yang masing-masing jumlahnya belasan orang, terdiri dari laki-laki bangsawan dan hartawan, telah dirusak mukanya sehingga cacad oleh seorang gadis cantik jelita yang mengamuk seperti orang gila tanpa alasan apapun!
Tentu saja seluruh kota Cin-koan menjadi gempar. Para perwira keamanan juga geger dan mereka cepat mengerahkan pasukan keamanan untuk melakukan pengejaran hendak menangkap gadis pengacau itu. Akan tetapi Bi Lan sudah jauh meninggalkan kota Cin-koan. Berita ini mengejutkan sampai terdengar di kota raja karena banyak laki-laki bangsawan yang menjadi korban.
Ketika berita itu sampai ke rumah keluarga Panglima Kwee Gi, mereka menjadi terkejut sekali. Panglima Kwee Gi duduk terhenyak di atas kursi, berhadapan dengan isteri dan puteranya. Kwee-ciangkun menghela napas berulang-ulang, lalu berkata, "Ah, tidak salah lagi. Berita itu menyebutkan bahwa gadis cantik yang mengamuk itu berpakaian serba merah muda. Siapa lagi kalau bukan Han Bi Lan? Agaknya ia pergi ke Cin-koan dan setelah mendapat berita tentang ibunya, ia marah kepada semua laki-laki yang berkunjung ke rumah pelacuran dan menghajar mereka dengan membikin cacad wajah mereka! Tigapuluh orang lebih, hampir empatpuluh orang bangsawan dan hartawan ia hajar. Betapa mengerikan!"
"Aih jangan-jangan ia akan mengamuk di sini!" kata Nyonya Kwee dengan suara gemetar.
"Tidak mungkin ia mau melakukan itu karena ia tahu bahwa kita tidak menuduh palsu, tahu bahwa kita tidak bersalah. Kasihan gadis itu. Aku dapat merasakan betapa hancur hatinya, mengetahui bahwa ia anak bekas pelacur. Maka ia mendendam kepada semua pria yang berkunjung ke rumah pelacuran. Aih, kalau tahu akan begini jadinya, pasti kularang engkau membuka rahasia tentang Liang Hong Yi sehingga rahasia itu akan tetap tertutup dan tidak diketahui Bi Lan."
Kwee Cun Ki diam saja, hanya menundukkan mukanya. Karena dengan tegas Bi Lan sudah mengatakan bahwa gadis itu tidak sudi menjadi selir atau isterinya yang sah sekalipun, maka dia telah melepaskan perasaan cintanya terhadap gadis itu. Malah diam-diam dia bersyukur bahwa ikatan perjodohan itu tidak jadi karena biarpun dia sendiri seorang yang berjiwa pendekar, mempertahankan keadilan dan kebenaran, namun hatinya merasa ngeri juga mendengar sepak-terjang Bi Lan yang dianggap terlalu sadis!
Sementara itu, Bi Lan melarikan diri dari kota Cin-koan. Ia berhenti di tepi hutan dan mencuci tangan yang ternoda darah dengan air anak sungai. Di dalam hatinya terdapat kepuasan telah menghajar para pria hidung belang itu.
"Akan kuhajar semua laki-laki di dunia yang menyebabkan ibuku menjadi pelacur!" bisiknya kepada diri sendiri.
Kemudian, ia merasa lelah sekali, lelah karena tadi telah mengumbar nafsu amarahnya. Lelah, lapar dan haus. Ia duduk melamun di tepi anak sungai. Ia kini benar-benar sebatang kara, kehilangan ayah dan kehilangan ibu. Ayahnya dibunuh orang dan ibunya...... ah, ia tidak mau kembali kepada ibunya! Ia anggap ibunya sudah mati, bersama ayahnya! Sejak kecil Bi Lan dididik oleh Jit Kong Lhama, seorang pendeta Lhama dari Tibet yang memasuki dunia sesat. Karena itu, Bi Lan tumbuh menjadi dewasa dengan watak yang keras liar dan pemberani. Namun, karena pada dasarnya ia bukan seorang yang berhati jahat, tidak mau menuruti tarikan nafsu, apalagi setelah ia diaku sebagai murid Kun-lun-pai, ia menyesuaikan dirinya dan meniru tindakan para pendekar.
Bi Lan mengepal tinju. Ia akan membalas dendam kematian ayahnya. Akan dicarinya Ouw Kan dan kedua orang muridnya yang bernama Bong Siu Lan dan Bouw Kiang itu dan ia akan membunuh mereka bertiga. Ia akan membalas dendam ibunya yang ia anggap sudah mati. Ibunya dirusak dan "dibunuh" oleh para lelaki hidung belang. Ia akan memberi hajaran kepada semua lelaki hidung belang. Ia anggap bahwa para lelaki hidung belang itulah biang keladi pelacuran, karenanya semua harus dihajar dan dibikin cacad mukanya!
Ia juga masih mempunyai musuh yang harus dihajarnya, yaitu Souw Thian Liong! Kalau teringat betapa pemuda yang semula dikaguminya dan yang menarik hatinya itu telah menghinanya dan memukuli pinggulnya seperti seorang yang menghukum anaknya yang nakal, hatinya menjadi panas sekali. Akan tetapi untuk dapat membalas pemuda itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya karena Thian Liong merupakan lawan yang amat tangguh!
Ia hanya mempunyai sebungkus pakaian, tidak mempunyai uang sedikit pun untuk membeli makanan dan minuman. Mudah, pikirnya. Gurunya, Jit Kong Lhama, selalu mengatakan bahwa kalau ia membutuhkan uang, ia boleh mencuri uang para pembesar atau hartawan. Para pembesar itu mengumpulkan uang dengan cara korupsi atau memeras rakyat. Adapun para hartawan itu lupa bahwa di kanan kirinya banyak orang demikian miskinnya sehingga untuk makan setiap hari saja tidak mempunyai cukup uang! Mereka itu kebanyakan pelit, lupa bahwa keuntungan banyak yang diperolehnya itu asalnya juga dari uang rakyat! Apalagi sekarang, para bangsawan dan hartawan itu yang lebih senang menghambur uang di rumah pelacuran daripada menolong rakyat yang kelaparan. Sudah sepatutnya kalau sebagian hartanya dikurangi, diambil untuk keperluan biaya perjalanan hidupnya!
Demikianlah, mulai peristiwa yang terjadi di kota Cin-koan dan yang menggegerkan itu, di dunia kang-ouw muncul seorang tokoh baru dengan sebutan Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah). Han Bi Lan disebut demikian karena ia dianggap sadis dan kejam seperti iblis betina yang selalu merusak muka pria yang melacur dan karena ia selalu berpakaian serba merah muda.
Sejak nama ini muncul, rumah-rumah pelacuran di kota-kota besar menjadi sepi. Para kongcu (tuan muda) hidung belang merasa ngeri kalau-kalau Ang I Mo-li muncul sewaktu mereka sedang berpelesir di rumah pelacuran. Adapun para hartawan yang kecurian uangnya, tidak begitu acuh karena yang dicuri hanya tidak seberapa baginya, walaupun bagi Bi Lan uang yang diambilnya dari kamar seorang hartawan cukup untuk biaya hidup selama tiga bulan!
Mereka bertiga duduk di luar pondok yang berdiri di puncak bukit itu. Pondok kayu, yang kokoh dan cukup besar, dengan pekarangan yang cukup luas mengelilingi pondok. Di pekarangan kanan kiri pondok ditanami pohon-pohon buah, dan di pekarangan depan ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat dipakai untuk pengobatan dan ada pula bunga-bunga beraneka warna. Nyaman sekali duduk di depan pondok di waktu pagi itu. Matahari tersenyum cerah, sinarnya menyengat, hanya mendatangkan kehangatan yang membangkitkan semangat. Pemandangan dari puncak Bukit Pelangi itu amat indah. Sebuah di antara ratusan bukit yang terdapat di Pegunungan Gobi. Orang menamakannya Bukit Pelangi karena seringkali tampak pelangi di bukit. itu.
Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh dua tahun. Wajahnya masih tampak segar dan jauh lebih muda dari usianya. Rambutnya, sudah dihias uban namun terawat bersih seperti juga tampak pada wajah, kaki tangan, dan pakaiannya yang tampak terawat dan bersih. Sepasang alisnya hitam agak tipis, sepasang matanya tajam berwibawa namun sinarnya lembut. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu menyungging senyuman penuh pengertian. Wajah yang agak bulat itu tampak masih tampan. Tubuhnya sedang namun berisi dan tegak sehingga dia tampak gagah.
Wajah itu bersih tanpa kumis dan jenggot. Pakaiannya yang bersih itu sederhana sekali, hanya kain kuning yang melibat-libat tubuhnya seperti yang biasa dipakai para pertapa. Sepatunya dari kain yang bawahnya berlapis besi. Rambutnya yang dihias uban panjang dan diikat ke atas dengan pita kain kuning pula.
Dia amat dikenal oleh penduduk pedusunan di sekitar bukit karena dia selalu mengulurkan tangan memberi pengobatan kepada mereka yang sedang sakit. Obatnya yang dari daun-daun dan rempa-rempa amat manjur sehingga dia dikenal sebagai Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Di dunia kang-ouw dia terkenal dengan nama Tiong Lee Cin-jin. Namanya dihormati dan disegani semua tokoh dan aliran silat di dunia kang-ouw karena selain dia ahli pengobatan dan ahli silat yang sakti, juga dia terkenal baik dan bersikap adil dan bersahabat kepada semua golongan.
Bahkan belasan tahun yang lalu dia pernah merantau jauh ke dunia barat, melalui Pegunungan Himalaya, melalui Tibet untuk memperdalam ilmu-ilmunya. Ketika dia merantau itulah dia bisa mendapatkan kembali beberapa buah kitab milik perguruan-perguruan silat terkenal seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Bu-tong-pai yang puluhan tahun lalu dicuri orang, dan dia mengembalikan semua kitab-kitab ilmu silat itu kepada mereka yang berhak.
Dua orang gadis yang duduk berhadapan dengan Tiong Lee Cin-jin itu berusia duapuluh tahun dan orang-orang tentu merasa terpesona karena kagum dan juga heran apabila melihat mereka bersama. Dua orang gadis itu cantik jelita dan mereka itu persis sama, baik wajah maupun bentuk tubuh mereka. Wajah mereka berbentuk bulat dengan dagu meruncing, kulitnya putih mulus dan kulit wajah mereka itu dihias warna merah pada kedua pipi bawah mata. Warna merah alami, bukan dengan alat kecantikan sehingga tampak segar dan manis sekali seperti bunga mawar yang sedang mekar. Mata mereka bersinar seperti bintang, hidung mancung dan bibir mereka merah membasah tanpa gincu. Bibir yang penuh berkulit tipis itu hidup, dapat bergerak-gerak dengan lincah dan manis bukan main. Mata dan mulut mereka itulah mengandung daya tarik yang amat kuat, terutama bagi mata pria yang memandangnya.
Tak mungkin ada orang dapat membedakan di antara mereka kalau saja mereka memakai pakaian dan menyanggul rambut dengan bentuk yang sama. Akan tetapi mereka memang sengaja tidak memakai pakaian yang sama, bahkan tatanan rambut mereka berbeda. Mereka sebetulnya adalah dua orang gadis kembar!
Yang seorang adalah Puteri Moguhai, puteri dari Raja Kin beribu seorang wanita pribumi Han yang bernama Tan Siang Lin dan menjadi selir Raja Kin (bangsa Nuchen). Sejak kecil ia belajar silat dan memiliki kepandaian tinggi sehingga di dunia persilatan ia dikenal sebagai Pek Hong Niocu (Nona Burung Hong Putih). Julukan ini ia dapatkan karena puteri ini selalu mengenakan hiasan rambut seekor burung Hong dari perak di rambutnya. Juga pakaiannya terbuat dari sutera serba putih. Sabuknya dari sutera merah itu juga menjadi senjata yang ampuh. Jubahnya dihias dengan, bulu indah di bagian lehernya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir tebal dengan ikatan pita merah sehingga tampak lucu dan di atas kepalanya terhias burung Hong perak itu. Di pinggangnya tampak sebatang pedang bengkok dengan gagang dan sarung pedang terukir indah, ukiran naga emas sebagai tanda Kerajaan Kin.
Adapun gadis yang kedua, yang lahir terakhir, adalah Thio Siang In. Ia pun terkenal sebagai pendekar wanita yang lihai. Ayahnya bernama Thio Ki dan ibunya adalah seorang puteri kepala suku Uigur yang bernama Miyana. Karena sepak-terjangnya gadis ini juga amat gagah perkasa dan ilmu silatnya juga lihai karena sesungguhnya ia adalah murid datuk Suku Uigur yang terkenal, yaitu Ouw Kan, maka namanya dikenal di dunia persilatan sebagai Ang Hwa Sian-li (Dewi Bunga Merah). Nama julukan ini karena selain ia cantik seperti dewi, juga ia selalu memakai setangkai bunga merah di rambutnya.
Kecantikannya sama persis dengan Puteri Moguhai, akan tetapi sanggul rambutnya seperti sanggul wanita Han. Mungkin karena ayahnya seorang pribumi Han, maka gadis ini juga berpakaian seperti seorang gadis Han, hanya pakaiannya serba hijau. Sebagai murid Ouw Kan, selain ilmu silat tinggi, juga Ang Hwa Sian-li Thio Siang In menguasai ilmu tentang racun. Karena gurunya Ouw Kan, tingkat kepandaiannya masih di bawah tingkat Paman Sie guru Puteri Moguhai, maka kepandaian Siang In juga masih sedikit kalah tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Puteri Moguhai, yaitu sebelum mereka berdua selama satu tahun digembleng oleh Tiong Lee Cin-jin di Puncak Pelangi itu. Kini, tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya kalau Puteri Moguhai memiliki ilmu silat yang bersih, karena sejak dulu ia mempelajari ilmu-ilmu dari kitab pemberian Tiong Lee Cin-jin.
Sebetulnya, dua orang gadis ini adalah saudara kembar dan ayah kandung mereka bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin sendiri. Di waktu mudanya, Tiong Lee Cin-jin yang bernama Sie Tiong Lee saling mencinta dengan Tan Siang Lin. Akan tetapi karena dia seorang pemuda miskin, orang tua Tan Siang Lin tidak mau menerimanya sebagai mantu, bahkan menyerahkan Siang Lin menjadi selir Raja Kin!
Siang Lin tidak berdaya menolak kehendak orang tuanya, akan tetapi karena ia sudah jatuh cinta benar kepada Sie Tiong Lee, maka ia lalu menyerahkan diri kepada pemuda itu. Sie Tiong Lee mula-mula menolak, akan tetapi karena Siang Lin mengancam akan membunuh diri kalau kekasihnya menolak, terpaksa Sie Tiong Lee menanggapi. Dari hubungan inilah, Siang Lin mengandung ketika ia diboyong ke istana Raja Kin. Ketika ia melahirkan, maka yang terlahir adalah sepasang anak perempuan kembar. Itulah Puteri Moguhai dan Thio Siang In.
Tentu saja Tan Siang Lin menjadi panik karena menurut kepercayaan Raja Kin, anak kembar berarti akan mendatangkan malapetaka dan mungkin kedua anak kembar itu akan dibinasakan, maka Tan Siang Lin lalu menyerahkan seorang di antara anak kembar itu kepada sahabat baiknya, yaitu puteri kepala Suku Uigur bernama Miyana yang telah menjadi janda muda tanpa anak. Miyana menerima dengan senang lalu melarikan anak kembar kedua, setelah secara diam-diam ia menyuruh bunuh bidan yang menolong kelahiran itu agar rahasia itu tersimpan rapat. Miyana lalu membawa anak itu pergi dan ia kemudian menikah dengan seorang Han bernama Thio Ki yang dapat menerima anak itu sebagai anak tirinya dan disayang seperti anak kandung. Anak itu lalu diberi nama Thio Siang In, sedangkan anak kembar yang pertama menjadi puteri Raja Kin dan diberi nama Puteri Moguhai!
Rahasia itu baru diketahui sepasang anak kembar itu setelah Tiong Lee Cin-jin menceritakan kepada mereka. Kemudian Tiong Lee Cin-jin membawa mereka berdua, yaitu puteri kembarnya, ke Puncak Pelangi untuk digembleng dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi, setelah dia memberi kabar kepada Raja Kin dan kepada Thio Ki bahwa dia ingin mengajarkan ilmunya kepada dua orang gadis itu. Raja Kin mau pun Thio Ki rela saja mendengar bahwa tokoh besar yang terkenal sakti dan dihormati semua orang itu menjadi guru anak mereka.
Demikianlah, selama setahun Tiong Lee Cin-jin menurunkan ilmu-ilmunya kepada dua orang puterinya. Dia pun memberi nama alias kepada Puteri Moguhai, yaitu Sie Pek Hong, sedangkan Thio Siang In menjadi Sie Siang In. Akan tetapi nama--nama ini hanya menjadi rahasia mereka karena di luar mereka masih bernama Puteri Moguhai dan Thio Siang In, atau lebih terkenal dengan sebutan Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li. Setelah digembleng selama satu tahun, kini kedua orang gadis kembar itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dan pada pagi hari itu, ayah dan dua orang puterinya itu bercakap-cakap di depan pondok.
"Nah, kuulangi sekali lagi, Pek Hong dan Siang In. Kalian berdua sudah selama satu tahun berada di sini memperdalam ilmu. Sekarang tiba saatnya bagi kalian untuk kembali kepada orang tua kalian masing-masing."
"Akan tetapi, Ayah. Berilah kami waktu untuk melayani Ayah di hari tua Ayah sekarang ini!" kata Pek Hong Niocu.
"Hemm, Pek Hong, kau lihat sendiri, Ayahmu ini masih kuat untuk mengurus diri sendiri, belum jompo, maka tidak perlu engkau mengkhawatirkan diriku."
"Ayah adalah Ayah kandung kami dan budi kebaikan Ayah sudah banyak sekali Ayah berikan kepada kami. Kalau tidak sekarang kami diberi kesempatan untuk sedikit membalas budi kebaikan Ayah dengan pelayanan kami, lalu kapan? Kami tidak ingin menjadi anak-anak yang tidak berbakti, Ayah!" bantah pula Ang Hwa Sian-li.
Mendengar bantahan adik kembarnya ini, Pek Hong Niocu mengangguk-angguk membenarkan.
Tiong Lee Cin-jin tertawa.
"Heh-he-he! Anak-anakku, ketahuilah bahwa berbakti berarti menyenangkan hati orang tua, dan menyenangkan hati orang tua berarti menaati semua perintah dan petunjuknya. Aku menghendaki kalian berdua kembali ke rumah orang tua kalian masing-masing, kalau kalian tidak menaati, berarti tidak membikin senang hatiku. Juga, orang tua kalian masing-masing yang menyayang kalian akan menjadi susah hatinya. Selama setahun di sini kalian sudah memperdalam ilmu silat, juga telah memperluas wawasan dan pandangan kalian tentang kehidupan. Nah, sekarang untuk yang penghabisan kalinya, aku memberi kesempatan kepada kalian untuk bertanya kepadaku apa yang kalian belum mengerti tentang kehidupan ini."
"Ayah, mengapa dalam kehidupan manusia di dunia ini begitu banyak terdapat kejahatan? Kalau Tuhan membenci kejahatan, mengapa Tuhan dengan kekuasaanNya tidak membasmi saja segala bentuk kejahatan itu?" tanya Pek Hong Niocu.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum.
"Sian-cai (damai)......! Jangan menggunakan akal pikiran kita yang terbatas dan sempit, Pek Hong. Ketahuilah, segala sesuatu di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan dan memang sudah menjadi kehendaknya bahwa segala sesuatu itu ada dua sifat yang saling bertentangan namun saling menunjang keberadaan masing-masing. Bahkan perkembangan keadaan hasil ciptaan itu diadakan karena kedua sifat itu bertemu dan bersatu. Semua digerakkan oleh kekuasaan Tuhan yang disebut Im dan Yang (Positive dan Negative). Karena itu, terdapatlah kebaikan dan kejahatan, karena tanpa adanya yang satu, tidak akan ada pula yang lain. Keadaan mereka saling menunjang walaupun sifat keduanya saling bertentangan.
"Ada siang ada malam, ada panas ada dingin, ada pria ada wanita, dan selanjutnya. Kepada manusia telah dikaruniai hati akal pikiran dan kebebasan untuk menyesuaikan diri dan memilih, karena itu manusia diberi pengetahuan baik dan buruk untuk dapat menentukan pilihannya ini. Kalau malam gelap, kita mempergunakan akal pikiran untuk mengatasi kegelapan, kalau siang terang dan panas kita pun harus berupaya untuk mengatasinya dengan menjaga agar jangan langsung menatap matahari, kalau kepanasan kita berlindung kalau kehujanan kita berteduh.
"Demikian pula dengan adanya kejahatan. Kejahatan harus ada kalau ada kebaikan, karena kalau tidak ada yang jahat, mana mungkin ada yang baik? Kalau tidak ada perasaan susah, mana bisa merasakan senang? Nah, kita diberi kebebasan untuk memilih. Kalau kita melihat kejahatan dan kebaikan, mana yang kita pilih? Engkau tentu tahu, Pek Hong, bahwa engkau memilih kebaikan karena itu menentang kejahatan. Karena itu, kejahatan itu bagi kita ada manfaatnya juga, yaitu kejahatanlah yang membawa manusia berusaha untuk menjadi baik."
"Lalu bagaimana agar semua orang bersikap baik kepada kita, Ayah?" tanya pula Pek Hong Niocu.
"Sebabnya keluar dari kita dan akibatnya akan kembali kepada kita, Anakku. Menghormati, mengasihi, bersikap baik kepada orang lain berarti menanam sesuatu yang baik dan buahnya pasti baik pula dan menjadi bagian kita, karena orang lain tentu akan menghormati, mengasihi dan bersikap baik juga kepada kita. Kalau kita bersikap buruk kepada orang lain, tentu saja akibatnya orang lain pun akan bersikap buruk kepada kita. Melempar batu ke atas akan jatuh kembali kepada kita juga, menanam pohon kita mendapatkan buahnya sebaliknya menanam semak belukar kita mendapatkan durinya."
"Ayah," kini Ang Hwa Sian-li berkata.
"Saya melihat betapa kehidupan dalam dunia ini amat tidak adil. Ada orang-orang yang kaya raya ada pula yang miskin, ada pula pembesar yang berkuasa, ada pula rakyat kecil yang tak berdaya. Di mana adanya keadilan itu, Ayah?"
'Siang In, justeru keadaan itu menandakan adanya dua sifat Im dan Yang tadi. Justeru adanya perbedaan yang bertentangan itulah segalanya dapat berjalan baik. Coba bayangkan bagaimana kalau semua rakyat ini kaya raya? Kita semua akan kelaparan karena tidak ada yang mau bertani, tidak ada yang mau bekerja, tidak ada yang berjualan bahan makanan. Kalau semua orang kaya raya, maka kalau seseorang ingin makan dia harus menanam padi sendiri, lalu menumbuknya sendiri, memasaknya sendiri dan selanjutnya. Dapatkah kehidupan berlangsung seperti itu? Sebaliknya kalau semua rakyat miskin, kita semua akan menderita kekurangan dan kelaparan, karena tidak ada uang sama sekali untuk membeli dan mendatangkan segala keperluan hidup dari daerah lain.
"Si kaya membutuhkan si miskin dan si miskin membutuhkan si kaya. Si kaya sebagai pemilik modal memberi lapangan kerja bagi mereka yang miskin, sebaliknya si miskin sebagai tenaga kerja untuk melaksanakan terputarnya roda perusahaan si kaya. Mereka saling membutuhkan karena itu harus dapat bekerja sama yang baik karena kedua pihak saling menolong. Siapa yang lebih seyogianya menolong yang kurang, atau tepatnya, yang mendapat berkah yang berlebihan itu memang diadakan untuk menyalurkan berkah dari Tuhan itu kepada mereka yang membutuhkan. Tuhan yang menolong dan memberi kepada mereka yang membutuhkan itu, dan si kaya hanya menjadi perantara atau pembagi rejeki yang kesemuanya datang dari Tuhan.
"Adanya pembesar berkuasa atau kita sebut saja Raja yang berkuasa dan rakyat jelata yang lemah, itu pun sudah semestinya karena keduanya ada bukan untuk bertentangan, melainkan untuk saling menunjang demi kebaikan semuanya. Apa artinya Raja kalau tidak ada rakyatnya? Sebaliknya bagaimana jadinya dengan rakyat kalau tidak ada yang memimpin? Keduanya saling membutuhkan."
"Akan tetapi, Ayah. Saya melihat betapa banyaknya pembesar melakukan kecurangan dan korupsi untuk memperkaya diri sendiri, hampir semua pejabat kerajaan melakukan hal buruk itu, dari yang tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah. Bagaimana caranya untuk mengatasi hal ini dan untuk memberantas hal ini agar kerajaan menjadi kuat tidak digerogoti para punggawanya sendiri sehingga kehidupan rakyat menjadi makmur?"
"Siang In, keadaan seperti itu memang selalu menjadi kelemahan kerajaan ini," Tiong Lee Cin-jin menarik napas panjang teringat akan mendiang Perdana Menteri Chin Kui dan seluruh bawahannya yang melakukan korupsi besar-besaran.
"Sebetulnya mudah saja. Pertama sekali, yang berada paling atas, yaitu Kaisar, haruslah membersihkan dirinya. Kalau Kaisar bersih tidak korup, tentu dia berani menegur dan menghukum para menterinya yang bertindak korup. Kemudian, Sang Menteri yang sudah bersih juga menindak bawahannya yang korup. Demikian seterusnya menurun ke bawah. Sang Atasan yang bersih pasti berani menindak bawahan yang kotor sampai kepada pejabat yang paling rendah kedudukannya. Kalau semua pejabat dan pemimpin sudah benar-benar bersih, maka akan mudah mengatur rakyatnya agar tertib dan makmur. Sebaliknya kalau atasan kotor, bagaimana mungkin dapat menindak bawahan yang kotor? Manusia membutuhkan tauladan, dan tauladan harus dimulai dari yang paling atas, terus menurun ke bawah."
"Akan tetapi yang paling atas itu menaulad siapa?" Pek Hong Niocu bertanya.
"Tentu saja menaulad Yang Paling Atas yang telah memberi petunjukNya melalui wahyuNya yang terdapat dalam kitab suci agama-agama di dunia. Setiap orang manusia telah diberi pengertian tentang perbuatan baik dan perbuatan jahat. Perbuatan baik adalah perbuatan yang bermanfaat dan membahagiakan orang-orang lain tanpa pamrih demi keuntungan diri sendiri. Sebaliknya perbuatan jahat bersumber kepada keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dengan mencelakakan dan menyusahkan orang-orang lain.
"Sesungguhnya, anak-anakku, perbuatan baik atau jahat itu hanyalah penyaluran dari keadaan dalam hati kita. Kalau kita menyadari bahwa Tuhan menciptakan kita hidup di dunia ini mempunyai kewajiban yang harus kita laksanakan, yaitu berguna bagi manusia dan dunia, maka perbuatan baik itu hanyalah pelaksanaan kewajiban itu, sedangkan perbuatan jahat adalah pengingkaran diri dari kewajiban itu. Melakukan kebaikan kepada orang lain berarti melaksanakan kewajiban manusia hidup sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Pengingkaran terhadap kewajiban manusia hidup timbul dari kelemahan kita sendiri yang menghambakan diri kepada nafsu-nafsu kita sendiri yang dipergunakan Iblis untuk membujuk dan menjerat kita.
"Terserah kepada kita yang diberi kebebasan oleh Tuhan, hendak menjadi alat Tuhan ataukah menjadi alat iblis! Kalau menjadi alat Tuhan berarti dalam hati ini penuh rasa kasih sayang kepada sesama hidup dan buah daripada kasih sayang itu pasti perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna bagi sesama kita. Sebaliknya, menjadi alat Iblis berarti dalam hati ini penuh dengan rasa cinta kepada diri sendiri, keinginan untuk menyenangkan diri sendiri terlalu besar sehingga terkadang tega mengorbankan dan mencelakai orang lain demi tercapainya kesenangan yang diinginkannya."
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah, ada satu hal lagi yang ingin saya ketahui. Sering sekali saya mendengar orang berkata bahwa Thian (Tuhan) itu Maha Adil. Akan tetapi kenapa saya melihat banyak orang yang jahat keadaan hidupnya penuh kebahagiaan, kaya raya, terhormat dan tidak pernah kekurangan sesuatu, sebaliknya lebih banyak lagi orang yang dalam hidupnya menjadi orang baik-baik, tidak pernah melakukan kejahatan, akan tetapi hidupnya selalu sengsara, miskin dan serba kekurangan, banyak menderita kesusahan? Bukankah keadaan ini amat tidak adil, Ayah?"
Tiong Lee Cin-jin tersenyum.
"Pek Hong, mungkin pertanyaanmu ini menjadi pertanyaan jutaan orang manusia yang hidup di dunia ini dan yang merasa hidupnya serba kekurangan. Camkan baik-baik, Pek Hong, dan engkau juga, Siang In. Sudah menjadi anggapan umum yang salah bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan hidup manusia ini dinilai dari kekayaan dan kemiskinan. Kita menganggap bahwa orang yang kaya itulah yang di berkahi Tuhan, sedangkan orang miskin tidak! Benarkah bahwa berkah dari Tuhan itu yang terpenting adalah harta kekayaan? Sehingga manusia mengukur berkah Tuhan itu dari kaya dan miskinnya seseorang?
"Anggapan itu sungguh picik dan bodoh sekali, anak-anakku. Berkah Tuhan itu berlimpahan kepada semua orang, bahkan semua mahluk yang hidup, bergerak maupun tak bergerak, semua itu sudah, sedang dan akan menerima berkah Tuhan, Sumber Abadi segala berkah! Berlimpah dan bermacam-macam, tak terhitung banyaknya! Dan ketahuilah, sadarlah bahwa harta kekayaan itu hanya menjadi sebagian saja dari berkah yang tak terhitung banyaknya.
"Kita menganggap hanya orang kaya saja yang mendapat berkah dan hidup senang karena hati kita sudah dibuat buta oleh kemilaunya harta benda! Bagaimana kalau orang kaya itu pendek umur? Tentu dia tidak mau karena di samping harta dia membutuhkan umur panjang. Bagaimana kalau si kaya menderita sakit berat? Hartanya tidak dapat menolong, berarti di samping harta benda dia membutuhkan pula kesehatan! Bukan hanya kesehatan dirinya, melainkan kesehatan seluruh keluarganya karena seorang saja di antara mereka sakit atau mati, kesenangannya karena memiliki harta benda takkan terasa lagi. Apakah hanya harta benda, sehat walafiat dan panjang umur saja yang bisa dianggap berkah. Apakah kalau orang sudah memiliki ketiganya itu dapat hidup bahagia? Juga tidak!
"Di samping kaya, sehat dan panjang umur, masih ada kebutuhan lain. Misalnya kerukunan rumah tangga, kerukunan antar manusia. Apa artinya kaya raya dan sehat kalau setiap hari suami cekcok dengan isterinya? Rumah gedung akan terasa seperti neraka! Harta banyak hanya akan memusingkan saja! Orang kaya raya akan rela mengorbankan seluruh kekayaannya asalkan dia sembuh dari penyakit yang berat dan mengancam nyawanya. Orang sehat berani mengorbankan kesehatannya untuk mengejar sesuatu yang dikehendakinya. Karena itu, keliru kalau dianggap bahwa kaya raya berarti berkah istimewa dari Tuhan sehingga kalau ada orang jahat kaya dan orang baik-baik miskin lalu dianggap bahwa Tuhan tidak adil! Keliru sama sekali. Tuhan Maha Adil, akan tetapi keadilanNya tidak dapat diukur, apalagi diukur dengan keadilan bagi manusia karena setiap orang manusia mengukur keadilan dari kepentingan diri sendiri. Kalau menguntungkan aku, namanya adil dan baik, kalau merugikan aku, adalah tidak adil dan buruk!"
"Wah, kalau direnungkan, kebenaran yang Ayah ungkapkan itu tidak dapat dibantah lagi!" kata Siang In.
"Kalau begitu, kekayaan itu berkah, akan tetapi kesehatan juga berkah yang tidak kalah nilainya! Akan tetapi, Ayah, mengapa pada umumnya orang kaya menganggap orang miskin sengsara, sebaliknya orang miskin menganggap orang kaya bahagia? Siapa yang benar dalam anggapan ini?"
"Anggapan itu sama salahnya. Anggapan itu muncul karena hati mereka telah dikuasai nafsu kebendaan sehingga kedua-duanya mengagung-agungkan harta benda saja, atau kesehatan saja, atau kerukunan saja. Ada yang mengagungkan kepandaian saja, atau kedudukan saja, dan sebagainya. Padahal kesemuanya itu hanya merupakan sebagian saja dari berkah Tuhan, hanya manusia yang menerima segala macam keadaan sebagai berkahNya dan bersyukur kepadaNya lalu menyalurkan segala berkah itu kepada sesamanya, dialah yang berhak merasakan apa sesungguhnya hidup tenteram, damai dan berbahagia itu."
"Menyalurkan segala berkah kepada sesama? Bagaimana maksud Ayah?"
"Segala berkah itu datang dari Thian, berarti segala sesuatu itu milik Thian. Kita hidup sebagai manusia mempunyai kewajiban, yaitu membawa kesejahteraan dalam dunia, khususnya terhadap sesama manusia dan umumnya kepada segala mahluk dan lingkungan. Kalau berkah harta yang dilimpahkan kepada kita, kita sepatutnya bersyukur dengan cara menyalurkan berkah itu kepada mereka yang benar-benar amat membutuhkan sehingga yang kaya menolong yang miskin. Kalau berkah itu berupa kepandaian yang berlebihan, sudah sepatutnya kita bersyukur dengan cara menyalurkan berkah itu kepada mereka yang memerlukannya sehingga yang pintar menolong yang bodoh. Kalau berkah itu berupa kekuatan, sudah sepatutnya kita menolong yang lemah. Yang kaya menolong yang miskin, yang pintar menolong yang bodoh, yang kuat menolong yang lemah. Demikianlah keadilan yang kiranya sesuai dengan kehendak Thian.
"Kami mengerti, Ayah," kata Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu sambil memegang tangan kiri ayahnya dengan sikap manja dan tatapan mata penuh hormat dan kasih sayang.
"Akan tetapi, Ayah pernah mengatakan bahwa manusia hidup harus saling tolong, saling memberi. Lalu bagaimana dengan dia yang miskin, bodoh dan lemah. Apakah dia itu hanya tahunya minta saja tanpa mampu memberi apa pun? Apa yang dapat dia berikan kepada sesama manusia kalau dia miskin, bodoh dan lemah?"
"Pertanyaan yang bagus! Dan jawabnya semoga dapat menghilangkan rasa rendah diri dan rasa tiada guna bagi mereka yang merasa miskin, bodoh dan lemah. Mereka ini pun dapat memberi, bahkan memberi yang tidak kalah besar nilainya dibandingkan pemberian yang lain tadi. Yaitu, mereka dapat memberi kejujuran, kesetiaan, dan terutama sekali memberi sikap ramah, manis budi bahasa, senyum yang tulus, yang keluar dari hati penuh kasih kepada sesama manusia.
"Justeru pemberian ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan semua orang, kaya miskin, pintar bodoh, kuat lemah tanpa kecuali. Andaikata engkau diberi harta kepandaian dan tenaga akan tetapi semua itu diberikan oleh orang dengan muka cemberut, dengan sikap menghina dan membenci, apakah engkau dapat menerimanya dengan senang? Bukankah lebih senang menerima tegur sapa yang ramah dan hormat, disertai senyum yang tulus dari seorang yang tidak mampu memberi harta dan sebagainya itu? Jadi, hati yang penuh kasih yang membuahkan ketulusan, kejujuran, kesetiaan dan keramahan itu bahkan jauh lebih tinggi nilainya daripada harta benda dan lain-lain yang hanya menyenangkan badan namun tidak mendatangkan kenyamanan di hati."
Pedang Ular Merah Eps 16 Pedang Pusaka Naga Putih Eps 5 Kisah Si Naga Langit Eps 14