Kisah Si Naga Langit 14
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Hemm, kalau begitu, apakah orang macam itu dibiarkan saja mengkhianati tanah air dan bangsa?" Bi Lan penasaran.
"Tidak, Bi Lan. Kami, orang-orang setia kepada Kerajaan Sung, tidak tinggal diam. Kami sudah menyusun kekuatan dan kami sedang berusaha untuk mendapatkan bukti-bukti penyelewengannya, baik penyelewengannya dalam korupsi uang negara, pemerasan terhadap para bangsawan dan hartawan, pajak-pajak gelap yang dilakukannya, yang hasilnya masuk kantungnya sendiri, juga kami sedang mengumpulkan bukti penyelewengannya tentang persekongkolannya dengan Bangsa Kin. Bukti bahwa dia menerima banyak hadiah dari Bangsa Kin. Semua itu, kalau sudah dapat dikumpulkan, akan kami haturkan kepada Sribaginda Kaisar. Dengan demikian maka kaisar yang akan bertindak. Kecuali dengan jalan itu, amat sukar untuk mengalahkan Chin Kui yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar sekali. Satu-satunya orang yang akan mampu menundukkan hanyalah kaisar sendiri."
Bi Lan mengangguk-angguk.
"Ah, begitukah, paman? Kalau begitu, dalam hal ini aku tidak dapat membantu. Aku ingin segera keluar dari kota raja, paman, untuk mencari ayah dan ibuku."
"Tentu saja, akan tetapi bersabarlah. Sekarang sedang hangat-hangatnya pasukan mencarimu. Perdana Menteri Chin Kui sendiri tentu marah dan merasa kehilangan karena Jenderal Ciang dan Perwira Lui merupakan pembantu-pembantunya yang setia. Tunggu sampai beberapa hari, kalau suasananya sudah dingin dan mereka semua mengira bahwa engkau pasti sudah lolos dari kota raja, barulah aku akan mengatur agar supaya engkau dapat keluar dari kota raja."
"Baiklah paman. Akan tetapi, apakah paman dapat memberi petunjuk kepadaku, di manakah kiranya orang tuaku sekarang?"
Panglima Kwe menggeleng kepala dan menghela napas.
"Aku sudah berusaha menyebar orang-orangku untuk mencari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Aku hanya mempunyai satu perkiraan, yaitu besar sekali kemungkinannya mereka pergi ke utara untuk mencari Ouw Kan karena mendengar akan ciri-ciri penculik itu dari tukang kebun yang belum terbunuh mati, kami sudah dapat menduga bahwa pelakunya adalah Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa ong. Dia adalah seorang suku bangsa Hui dan berasal dari Sin-kiang. Kini dia membantu pemerintah bangsa Kin di utara. Karena itu besar kemungkinan ayah ibumu mencarinya ke utara, atau ke Sin-kiang."
Sampai seminggu lamanya Bi Lan bersembunyi di dalam rumah Panglima Kwee dan dalam waktu seminggu itu, hubungannya dengan keluarga itu menjadi akrab. Terutama sekali Kwee Cun Ki. Pemuda itu nampak benar-benar tertarik kepada Bi Lan, bahkan berulang kali dia mengatakan kepada gadis itu bahwa dia ingin menemani gadis itu mencari orang tuanya di utara dan Sin-kiang.
Ketika pada hari kedelapan Panglima Kwee mengatakan kepada Bi Lan bahwa waktunya sudah tiba bagi Bi Lan untuk diselundupkan keluar kota raja, Cun Ki mengulangi keinginannya itu kepada Bi Lan, di depan ayah ibunya.
"Lan-moi, sekali lagi aku minta agar engkau suka kutemani untuk mencari orang tuamu. Melakukan perjalanan seorang diri di daerah musuh itu sungguh amat berbahaya bagimu."
Panglima Kwee dan isterinya sudah maklum bahwa putera tunggal mereka itu jatuh cinta kepada Bi Lan. Di dalam hati, mereka setuju sekali kalau Bi Lan menjadi mantu mereka. Kwee Gi segera berkata,
"Kami setuju kalau Cun Ki menemanimu, Bi Lan. Dengan bantuannya, tentu akan lebih mudah menemukan orang tuamu."
"Benar, Bi Lan," kata Nyonya Kwee.
"Dengan adanya Cun Ki yang menemanimu, hati kami tidak akan merasa gelisah seperti kalau engkau pergi seorang diri. Seorang gadis merantau seorang diri tanpa kawan di tempat yang jauh itu, apalagi di daerah musuh, sungguh hatiku akan merasa gelisah selalu. Engkau sudah kuanggap seperti anak sendiri, Bi Lan."
Ucapan nyonya ini sebetulnya sudah merupakan isyarat yang jelas bahwa ia ingin Bi Lan menjadi anak mantunya. Akan tetapi Bi Lan tidak mengerti dan ia cepat menjawab.
"Terima kasih atas kebaikan hati paman, bibi dan juga Ki-twako. Kalian telah menolongku dan bersikap baik sekali kepadaku. Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, aku ingin melakukan perjalanan seorang diri. Terima kasih atas penawaranmu untuk menemaniku, Ki-twako. Ketahuilah bahwa aku masih mempunyai tugas pribadi yang harus kuselesaikan. Kelak, kalau semua tugas dan urusanku sudah selesai, aku pasti akan datang berkunjung untuk mengucapkan terima kasihku."
Karena Bi Lan bersikeras menolak, maka Cun Ki tidak berani memaksa, hanya dia merasa kecewa bukan main. Dia tadinya mengharapkan bahwa kalau melakukan perjalanan bersama, gadis yang membuatnya tergila-gila itu akan tergerak hatinya dan akan membalas cintanya. Akan tetapi melihat Bi Lan berkeras tidak mau ditemani, tentu saja dia tidak berani memaksa yang akan membuat gadis itu marah.
Usaha membawa Bi Lan keluar kota raja dipersiapkan. Sebuah kereta berhenti di depan gedung keluarga panglima Kwee. Kusirnya seorang laki-laki yang masih muda, berwajah tampan. Tak lama kemudian, Panglima Kwee masuk ke dalam kereta dan di belakang kereta terdapat belasan orang perajurit pengawal menunggang kuda. Rombongan kecil ini lalu berangkat dan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah utara.
Para perajurit yang menjaga di pintu gerbang segera memberi hormat ketika melihat bahwa penumpang kereta itu adalah Panglima Kwee Gi dan isterinya.
Pada hari-hari kemarin, tentu ada perwira anak buah Perdana Menteri Chin Kui yang ikut menjaga dan mengawasi. Kalau ada mereka, biarpun yang lewat itu Panglima Kwee, tentu mereka akan melakukan pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi, pencarian pembunuh itu kini sudah tidak ketat 1agi. Seminggu telah lewat dan pembunuh itu tidak ditemukan jejaknya. Dianggap sudah kabur dari kota raja, maka kini di pintu gerbang hanya dijaga para perajurit keamanan biasa.
Panglima Kwee adalah komandan pasukan keamanan, maka tentu saja para perajurit percaya kepadanya dan setelah memberi hormat, para penjaga itu membiarkan kereta dan pengawalnya lewat keluar dari pintu gerbang.
Belasan orang perajurit itu adalah orang-orang kepercayaan Panglima Kwee. Setelah rombongan tiba jauh dari pintu gerbang, di jalan yang sunyi, rombongan berhenti. Seorang pengawal muda turun dari atas kudanya, menanggalkan pakaian luarnya dan kini mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai kusir, lalu menggantikan kedudukan kusir. Kusir itu bukan lain adalah Bi Lan yang menyamar sebagai kusir. Semua perlengkapannya telah dibungkus dalam buntalan pakaian yang disembunyikan dalam kereta. Dalam buntalan itu, selain pakaiannya, juga ada sekantung uang emas sebagai bekal, merupakan hadiah dari Panglima Kwee.
Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi hormat kepada Panglima Kwee Gi dan isterinya, Bi Lan lalu menunggangi kuda yang tadi ditunggangi pengawal yang kini menjadi kusir, dan gadis itupun membedal kudanya, membalap ke arah utara, diikuti pandang mata Panglima Kwee Gi dan isterinya. Kekecewaan dan keharuan membayang dalam pandang mata suami isteri itu. Mereka lebih senang melihat gadis itu berada di rumah mereka, sebagai anak mantu mereka! Kini gadis itu telah pergi, menuju ke seberang utara yang dikuasai bangsa Kin, tempat berbahaya sekali dan entah mereka akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu ataukah tidak.
Thian Liong menuruni lereng bukit itu sambil melamun. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali karena sebuah di antara tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya telah gagal. Dia telah berhasil menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Cu Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, bahkan telah beruntung diberi kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu oleh ketua Siauw-lim-pai sehingga dia memperoleh kemajuan besar dalam ilmu silatnya. Kemudian dia juga telah menyerahkan kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Ciang Losu ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi kitab yang ketiga, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia berikan atau kembalikan kepada Kun-lun-pai seperti yang diperintahkan gurunya, telah lenyap dicuri gadis liar berpakaian merah muda itu.
Dia harus bertanggung jawab. Dia harus dapat merebut kembali kitab itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu kepada Kun-lun-pai. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa gadis itu, siapa namanya dan ke mana harus mencarinya!
Kalau dia tidak dapat menemukan gadis maling itu dan mengembalikan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai, dia belum mau sudah karena dia mengabaikan perintah gurunya dan dia merasa "berhutang" kepada Kun-lun-pai. Wah, gadis berpakaian merah muda itu! Gemas sekali dia! Awas kau, kalau dapat kutemukan, bukan saja kitab itu kurampas darimu, juga engkau patut diberi hajaran. Akan kupukul pantatmu sampai sepuluh kali, seperti yang dia seorang bapak memukul pantat anaknya yang nakal ketika dia berkunjung ke dusun kaki bukit dulu. Biar tahu rasa kau! Demikian gemas rasa hati Thian Liong sehingga dia bersungut-sungut sendiri. Gadis liar! Rampok, maling! Kurang ajar betul.
Tiba-tiba wajah gadis berpakaian merah muda yang tadinya dia membayangkan sebagai wajah setan, berubah dan tampaklah wajah lain. Wajah seorang gadis lain yang berpakaian serba hijau dan memakai bunga mawar merah di rambutnya. Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sianli! Gadis yang satu ini sama liarnya, juga sama lihainya, sama kurang ajarnya. Masa ingin pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dan pinjamnya pakai memaksa lagi!
Hemm, bagaimanapun juga dia telah menghajar gadis itu dengan mengalahkannya sehingga ia pergi dengan marah marah. Tidak sekurang ajar gadis baju merah muda yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai! Ah, kenapa nasibnya begini? Bertemu dengan dua orang gadis liar yang sama-sama membikin dia pusing dan marah. Tiba-tiba terbayang wajah seorang gadis lain! Nah, yang ini lagi! Tiada hujan tiada angin, menyerangnya mati-matian dan setelah dia berhasil mengalahkannya, dia harus mengawininya! Gila! Kalau dia menolak, gadis bernama Kim Lan itu harus membunuhnya dan kalau gagal, harus membunuh diri sendiri atau akan dibunuh gurunya! Aturan mana ini? Si nenek yang menjadi guru Kim Lan dan sumoinya yang bernama Ai Yin itu boleh jadi sudah gila, mengadakan peraturan seperti itu kepada murid-murid wanitanya. Gila! Apakah para wanita itu sudah gila semua?
Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, Thian Liong mengambil keputusan untuk melaksanakan dua kewajiban yang dipesan oleh gurunya. Pertama, dia harus merebut kembali kitab pusaka milik Kun-1un-pai itu. Dan kedua, gurunya pesan agar dia membantu Kerajaan Sung menghadapi musuh-musuhnya. Dia mengingat-ingat. Suhunya pernah menyebut nama Perdana Menteri Chin Kui sebagai orang jahat dan berkhianat dan yang telah mempengaruhi kaisar. Dia diberi tugas untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh para pembesar yang jahat. Akan tetapi, yang lebih dulu harus dia kerjakan adalah mencari gadis setan berbaju merah itu untuk merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai!
Dia mengenang kembali pertemuannya dengan gadis berpakaian merah itu. Hemm, cantik jelita dan lincah jenaka memang. Tapi galaknya minta ampun. Dan kejam. Begitu saja membunuh orang, biarpun yang dibunuhnya itu seorang penjahat. Akan tetapi ilmu silatnya amat hebat. Hanya dengan sebatang ranting, ia mampu mempermainkan si gendut, perampok lihai itu, bahkan membunuhnya. Permainan rantingnya mirip ilmu pedang.
Thian Liong menghentikan langkahnya, memejamkan matanya untuk membayangkan kembali gerakan gadis baju merah itu ketika bertanding melawan perampok gendut. Dia banyak tahu akan aliran ilmu silat dari gurunya. Gurunya pernah membeberkan rahasia dasar gerakan silat perguruan-perguruan besar, bahkan ilmu silat dari aliran luar pedalaman Cina seperti ilmu silat yang berdasar pada aliran Tibet, Gobi, Mancu, Mongol dan lain-lain.
Sekarang dia teringat benar. Gerakan kedua kaki gadis baju merah itu ketika bergeser, dengan berjingkat dan berputar. Itu adalah gerakan dasar ilmu silat aliran Tibet yang diajarkan pendeta Lhama di Tibet. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin sudah pernah bertahun-tahun tinggal di Tibet dan mempelajari ilmu silat dari suku bangsa itu.
Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu ada1ah seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin ia murid seorang tokoh pendeta Lhama yang sakti. Karena itu, dia harus mencari ke daerah utara, daerah yang diduduki bangsa Kin karena besar kemungkinan gadis maling itu melarikan diri ke sana. Pula, dalam perjalanan dia mendengar betapa bangsa Kin di utara itu melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi Han. Agaknya di sanalah dia akan lebih banyak dibutuhkan rakyat yang terjajah daripada di selatan.
Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang dikuasai pemerintah bangsa Kin. Sesungguhnya, kerajaan Kin tidaklah begitu kuat. Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini bertahta di kota raja baru Nan-king mengerahkan para panglimanya seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke utara dan melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah air. Akan tetapi, Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan antek-anteknya yang menakut-nakuti kaisar, yang mengatakan bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan sebagainya, maka Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah melakukan perlawanan. Dia hanya puas dengan daerah di sebelah selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan daerah utara, namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini menyuramkan kebesaran Kerajaan Sung yang pernah berjaya.
Benar saja seperti yang telah didengar dalam perjalanannya, ketika memasuki daerah jajahan itu, Thian Liong melihat keadaan rakyat yang hidup menyedihkan. Bukan hanya banjir besar di musim hujan dan kekeringan di musim panas yang membuat mereka hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup untuk makan secara hemat sekali, akan tetapi yang, lebih daripada itu adalah tekanan dari para pembesar yang membuat mereka dicekam rasa ketakutan. Di kota kota, para pedagang ditekan dengan pajak yang luar biasa besarnya, yang memaksa banyak pedagang kecil menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang besar dan mampu menyogok para pembesar saja yang dapat hidup.
Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik. Hampir setiap orang kepala dusun, sikapnya seolah menjadi raja kecil yang menentukan mati hidupnya tiap warga dusun! Sang kepala dusun berhak menentukan apa saja. Keputusan pribadinya menjadi hukum tak tertu1is yang harus dipatuhi. Tidak ada satupun yang salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar dan harus ditaati setiap warga dusun. Dia bisa merampok terang-terangan yang disebut menyita barang mereka yang berdosa, bisa memperkosa anak gadis orang yang disebutnya menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun berani menentang kehendaknya kalau orang itu masih ingin hidup. Kalau kepala dusunnya seperti itu, kaki tangannya lebih mengerikan lagi!
Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian Liong bangkit dan di mana saja dia berada, dia tentu turun tangan memberi hajaran kepada mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan dan kekerasan, dan menolong mereka yang tertindas dan lemah tak berdaya. Dia tidak pernah menyembunyikan namanya dan mengaku bernama Thian Liong setiap kali perbuatan gagahnya menggegerkan sebuah dusun atau kota. Sebentar saja dia dianggap sebagai Si Naga Langit (Thian Liong) seolah-olah mahluk yang menjadi lambang kebesaran dan kesaktian itu turun dari langit untuk membela dan menolong rakyat yang menderita!
Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong bertanya-tanya, mencari keterangan tentang seorang gadis yang cantik jelita dan yang pakaiannya serba merah muda. Akan tetapi sampai hari ini, ketika dia menuruni lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san, tidak ada orang yang dapat memberi keterangan kepadanya tentang gadis itu.
Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai di kaki bukit, Thian Liong segera memasukinya. Dusun itu tampak cukup ramai dan tidak seperti yang dia lihat di dusun-dusun yang pernah dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak tampak begitu dicekam ketakutan seperti dusun-dusun lain sebelah selatan. Mungkin semakin dekat tempat itu dengan pemerintah pusat di Peking, semakin baiklah pembesarnya karena takut kepada atasan yang sewaktu-waktu dapat melakukan pemeriksaan, tidak seperti dusun-dusun yang jauh, yang tak pernah dilalui pejabat pejabat yang memeriksa keadaan di dusun-dusun.
Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena tampak ramai, banyak toko dan bahkan ada rumah makan dan rumah penginapan, walaupun sederhana. Dia mendapat harapan untuk mendengar berita tentang gadis baju merah di tempat ini. Hari sudah siang dan Thian Liong merasa perutnya lapar karena sejak kemarin malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat makan karena dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang kosong, tidak ada tamunya, dia lalu masuk.
Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, menyambutnya dengan senyum ramah.
"Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa? Dan minum?"
"Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air teh saja."
"Air teh? Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang lezat!" pelayan itu menawarkan.
"Terima kasih, paman. Aku...... eh, aku tidak biasa minum arak, takut mabok," jawab Thian Liong sambil tersenyum.
"Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah minum arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal sekali anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa"" bikin jengkel orang tua saja!" Pelayan itu menggeleng-geleng kepala lalu pergi untuk menyediakan makanan yang dipesan Thian Liong.
Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul niatnya untuk mengajak pelayan yang suka bicara itu untuk bercakap-cakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis yang dicarinya. Apalagi saat itu, rumah makan sepi tidak tampak tamu lain.
Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk sayur, sepoci teh dengan cawannya, Thian Liong mengajaknya bicara sambil makan.
"Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh. Nanti kalau ada tamu boleh paman tinggalkan aku."
Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang dan setelah minum teh secawan, Thian Liong bertanya,
"Paman, aku ingin sekali bertanya. Apakah paman pernah melihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah muda, punya lesung pipit di kanan kiri bibirnya dan...... gadis itu pandai ilmu silat?"
Pelayan itu mengerutkan alisnya.
"Gadis cantik jelita dan pandai ilmu silat? Wah, ada, benar tentu ia yang kau maksudkan itu! Masih muda belia, senyumnya semanis madu, kerling matanya seperti kilat menyambar, kalau tertawa semua bunga bermekaran, matahari bersinar semakin terang!"
"Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia, paman?"
"Tapi pakaiannya bukan serba merah muda, melainkan putih, sutera putih halus dengan perhiasan gemerlapan. Memang ada yang merah, akan tetapi bukan pakaiannya melainkan sabuknya, sabuk sutera merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun seperti burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya Pek hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!"
Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah makan dan pelayan itu cepat bangkit.
"Maaf, siauw-ko, ada tamu!" Bergegas dia menyambut rombongan terdiri dari empat orang itu. Seorang laki-laki muda berusia duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, dan suami isteri setengah tua sekitar limapuluh tahun.
Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk menghadapi sebuah meja sebelah dalam, terhalang tiga meja dari tempat Thian Liong makan. Thian Liong tidak memperhatikan mereka yang tampaknya seperti penduduk biasa. Dia sedang melamun, merenungkn cerita pelayan tadi.
Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong Putih itu gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Walaupun sama cantik dan sama pandai silat, namun pakaiannya jauh berlainan. Maling wanita itu berpakaian serba merah muda, kalau yang diceritakan pelayan itu pakaiannya serba putih. Pula, maling wanita itu tidak memegang senjata, ketika membunuh perampok, hanya mempergunakan sebatang ranting. Akan tetapi Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai sabuk sutera merah!
Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia merasa tertarik. Siapa tahu gadis maling itu berganti warna pakaiannya? Atau, setidaknya, mungkin sebagai sama-sama wanita pandai ilmu silat, Burung Hong Putih ini mengenal gadis berpakaian merah muda.
Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara duapuluh lima sampai duapuluh tujuh tahun memasuki rumah makan itu. Melihat betapa mereka berdua berjalan terhuyung sambil menyeringai dan tertawa-tawa, mudah diduga bahwa keduanya sudah mabok.
"Kita baru saja minum, masa mau minum lagi......?" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
"Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling enak di dunia""! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi bakso komplit dua porsi! Cepat......!!" Dua orang itu lalu mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja rombongan pertama. Pelayan setengah tua itu agaknya mengenal mereka karena dia bergegas menghampiri meja itu dan menggunakan kain lap untuk membersihkan meja itu.
"Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Ban-kongcu (Tuan Muda Ban). Silakan duduk, silakan duduk......" kata pelayan itu dengan sikap hormat.
"Cerewet!" bentak si tinggi kurus yang disebut Bouw-kongcu.
"Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua mangkok, bodoh!" bentak Ban-kongcu yang tubuhnya tinggi besar dan sikapnya kasar.
"Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)......" pelayan itu ialu cepat-cepat mengambilkan pesanan dua orang muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia berbisik,
"hemm...... mereka putera kepala Dusun Bouw dan Kepala Keamanan Ban......"
Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka mengeluarkan sebuah guci yang tadi dibawa Ban-kongcu dan bergantian minum lagi sambil tertawa-tawa.
"Ehh? Manis sekali!" Tiba-tiba Bouw-kongcu yang tinggi kurus itu memandang kepada gadis cantik yang duduk bersama rombongan pertama tadi. Gadis itu menundukkan mukanya.
"Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita makan minum," kata Ban-kongcu sambil bangkit berdiri.
"Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini...... si manis itu...... heh-heh."
Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja rombongan empat orang itu. Dia langsung menghampiri nona tadi dan berkata.
"Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau makan minum bersama kami. Hayo, manis!"
Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geteng kepala.
Pemuda itupun bangkit berdiri, diikuti laki-laki setengah tua.
"Sobat, apa artinya ini? Kami tidak mengenal anda, jangan paksa adik saya untuk makan bersama, itu tidak sopan namanya!" kata pemuda itu dengan sikap marah. Juga laki-laki setengah tua itu marah.
"Jangan ganggu anakku!" bentaknya.
Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan dusun itu, membelalakkan matanya yang sudah lebar, memandang kepada ayah dan puteranya itu berganti-ganti.
"Ha-ha, kalian berani menentangku, ya? Kalian belum mengenal siapa aku dan siapa Bouw-kongcu itu?"
"Sabarlah, sobat," ayah pemuda itu mencoba untuk menyabarkan Ban Gu.
"Kami sekeluarga baru saja tiba di kota Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian berdua dan kamipun tidak melakukan kesalahan apapun. Karena itu, harap jangan ganggu puteri saya, jangan ganggu kami yang hanya ingin makan di sini."
"Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan Keamanan di sini dan Bouw-kongcu adalah putera kepala daerah yang berkuasa di sini, tahu? Hayo! nona ini harus menemani kami makan minum dan siapapun tidak boleh menghalangi!" Setelah berkata demikian, Ban Gu menangkap pergelangan tangan gadis itu dan menariknya berdiri.
Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah.
"Engkau kurang ajar, hendak menghina adikku?" Dia maju dan hendak menangkap pundak Ban Gu untuk ditariknya agar terlepas dari adiknya. Akan tetapi agaknya Ban Gu seorang yang pandai ilmu silat. Sekali dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting roboh.
Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu menarik puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu mengayun tangan dan laki-laki setengah tua itupun terpelanting menabrak kursi. Sambil terbahak Ban Gu menangkap lagi tangan gadis itu dan menyeretnya menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu sambil menyeringai senang.
"Ting-yi......!" Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Gu membuat nyonya itu terjengkang. Gadis itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu mengangkatnya dan memaksanya duduk di atas kursi di samping Bouw-kongcu.
Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia menahan diri karena terdengar derap kaki kuda di luar rumah makan dan seorang gadis berpakaian serba putih berkilau melompat turun dari punggung kuda. Thian Liong yang tadinya sudah bangkit berdiri untuk menghajar dua orang pemuda berandalan itu duduk kembali saking heran dan kagumnya. Gadis ini benar-benar mengingatkan dia akan gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Bentuk tubuh yang denok semampai itu sama, wajahnya memang agak beda, akan tetapi keduanya sama cantik dan sepasang mata itupun sama-sama mencorong, bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali. Tanpa disadarinya, Thian Liong mengamati dengan penuh perhatian.
Gadis itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, pakaiannya dari sutera putih bersih berkilauan, pinggang ramping itu dililit sabuk merah. Rambutnya dikuncir tebal panjang diberi pita merah dan di atas kepalanya terhias sebuah perhiasan berbentuk burung Hong putih dari perak bermata mirah yang indah sekali. Agaknya gadis itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan julukan yang diberikan orang, atau orang-orang memberi julukan kepadanya karena di antaranya melihat perhiasan itu.
Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti biasa kulit wanita dari utara. Matanya mencorong seperti bintang dan senyumnya yang manis itu mengandung kenakalan. Tubuhnya yang ramping padat itu amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang wanita bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu indah pada leher dan pada sepatunya yang terbuat dari kulit berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi membungkus betis (sepatu boot). Gadis itu melompat turun dan berlari memasuki rumah makan dan tangan kanannya masih memegang sebatang pecut kuda.
"Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang membikin ribut?" suaranya nyaring dan merdu dan biarpun ia bicara dalam bahasa pribumi Han, namun terdengar lucu karena aksennya asing suku bangsa Kin.
Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan mereka bertiga yang melihat wanita itu datang dengan sikap demikian anggun dan berwibawa, mereka bertiga hanya dapat menuding ke arah gadis yang masih duduk ketakutan, apalagi dua orang pemuda yang duduk di kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel-nowel dan meraba-raba dengan tangan mereka.
Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga orang itu dan kini alisnya berkerut melihat gadis yang duduk di antara dua orang pemuda yang jelas sedang berbuat tidak sopan kepadanya, meraba-raba dada dan menowel dagu dan pipi.
"Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang membikin ribut di sini?" bentak gadis itu sambil menghampiri meja di mana Bouw Kui, putera kepala daerah, dan Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu.
Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara wanita memaki mereka sebagai buaya darat. Cepat mereka bangkit dan memutar tubuh menoleh dan memandang. Keduanya terbelalak kagum.
"Huihhh! Alangkah cantiknya!" kata Bouw Kui sambil menyeringai kagum.
"Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya yang itu, yang ini untukku!" kata Ban Gu.
"Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan penakut itu untukmu, aku memilih yang baru datang dan pemberani ini!" kata Bouw Kui.
Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di dekat meja Thian Liong.
"Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan celaka""!" bisiknya dan Thian Liong menonton dengan ingin tahu sekali.
"Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun seratus kali, atau, aku akan menyiksa kalian sampai mampus!" bentak gadis itu sambil bertolak pinggang.
Ban Gu yang merasa dimaki-maki itu menjadi marah juga.
"Heh, jaga mulutmu, perempuan liar! Tahukah engkau siapa kami? Toako, ini adalah Bouw-kongcu, putera kepala daerah Bouw! Dan aku adalah Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota ini. Berani engkau memaki kami? Kau bisa kutangkap dan kumasukkan penjara!"
"Memaki kalian? Menyiksa dan membunuh kalian pun aku berani," kata gadis itu dan tiba-tiba cambuk kuda di tangannya menyambar ke depan. Cepat sekali ujung cambuk itu menyambar, seperti kilat menyambar.
"Tar-tarrr......!!" dua kali cambuk itu menyambar dan dua orang pemuda itu mengaduh, kedua tangan mendekap muka mereka yang tampak ada balur memanjang merah dan berdarah! Tentu saja mereka marah sekali. Mereka berdua pernah belajar silat, apalagi Ban Gu yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan dia terkenal sebagai pemuda ugal-ugalan yang suka mengandalkan kekuatannya dan terutama kedudukan ayahnya.
"Perempuan gila......!!" Dia membentak dan tangan kanannya sudah mencabut sebatang. golok, lalu dia melompat ke depan dan menyerang dengan goloknya.
Bouw Kui juga tidak tinggal diam. Diapun sudah mencabut goloknya dan menerjang ke depan pula. Gadis yang ketakutan itu segera berlari menghampiri orang tuanya dan mereka berempat segera pergi dari situ, keluar dari rumah makan tanpa pamit karena merekapun belum makan apa-apa. Mereka merasa lebih cepat mereka meninggalkan Leng-ciu lebih baik.
"Tar-tar-tar-tarrrr......!" Pecut itu meledak-ledak.
Thian Liong memandang kagum. Bukan main gadis itu. Gerakan perutnya itu bukan gerakan sembarangan, melainkan gerakan tangan yang memiliki tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga pecut yang hanya terbuat dari bambu itu kini berubah menjadi senjata yang kuat menangkis sambaran golok tanpa menjadi rusak!
"Trang-tranggg......! Dua kali pecut itu meledak lagi, tepat mengenai pergelangan tangan kedua orang pemuda yang memegang golok. Golok itu terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai. Kini pecut itu menari-nari, meledak-ledak dan tubuh dua orang pemuda menjadi bulan-bulanan pecut.
Dua orang kongcu itu meloncat-loncat seperti dua ekor monyet menari karena tubuh mereka dihujani lecutan cambuk yang merobek-robek pakaian dan kulit tubuh mereka sehingga tubuh mereka itu kini mandi darah! Mereka merasa betapa tubuh mereka nyeri semua perih-perih dan panas, sakit sampai menusuk ke dalam tulang sumsum. Mereka jatuh terguling dan tanpa malu-malu lagi mereka berlutut dan menyembah-nyembah sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam makan padi sambil merintih-rintih.
"Aduh...... ampun...... ampun".. jangan bunuh......!!" Keduanya minta-minta ampun.
Gadis itulah yang oleh banyak orang di banyak tempat dijuluki Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih! Ia menghentikan cambukannya, hidungnya mendengus dan ia segera berkata kepada Ban Gu.
"He, kamu tikus she Ban! Cepat engkau panggil Kepala Daerah Bouw dan Kepala Pasukan Keamanan datang ke sini. Cepat dan tikus she Bouw ini biar berlutut terus di sini sampai kamu kembali bersama dua tikus yang kupanggil itu!"
Mendengar ini, Ban Gu diam-diam merasa girang sekali, akan memanggil ayahnya dan Bouw-taijin, baru tahu rasa engkau, perempuan iblis, pikirya. Dia mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berlari dengan terhuyung-huyung karena tubuhnya terasa nyeri semua, seperti disayat-sayat rasa seluruh tubuhnya.
Banyak orang kini menonton peristiwa itu. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mendekat, hanya menonton dari jarak agak jauh sehingga rumah makan itu tampak sepi ditinggalkan orang. Bahkan mereka yang melalui jalan di depan rumah makan itu tidak berani lewat.
Semua orang berbisik-bisik dan merasa tegang karena kalau sang pembesar yang merupakan raja dan panglimanya itu muncul bersama pasukannya, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi mereka yang sudah pernah melihat sepak terjang Burung Hong Putih, diam-diam merasa gembira sekali dan tahu bahwa mereka akan memperoleh tontonan yang menyegarkan hati mereka yang selama ini banyak mengalami penindasan itu.
Tak Iama kemudian, datanglah rombongan dua orang pembesar itu. Agaknya karena tergesa-gesa dan agar mereka cepat tiba di tempat itu, kedua orang pembesar itu naik sebuah kereta dan di belakang kereta terdapat duapuluh orang lebih perajurit penjaga keamanan yang biasanya suka dipergunakan untuk melakukan "pembersihan" kepada rakyat jelata untuk memaksa mereka membayar pajak atau melakukan apa saja yang dikehendaki kepala daerah atau komandan pasukan itu.
Begitu kereta berhenti di depan rumah makan, Ban Gu yang tidak sempat berganti pakaian, masih berpakaian koyak-koyak dan tubuh berlumuran darah, turun diikuti oleh ayahnya yang bertubuh tinggi besar berperut gendut sekali, berpakaian sebagai seorang perwira yang serba gemerlapan dan gagah. Wajah Ban Ho Tung, kepala pasukan keamanan ini, penuh brewok sehingga tampak menyeramkan, dan wajah itu sudah membayangkan bahwa dia biasa bersikap keras dan galak. Orang kedua, usianya sebaya dengan Ban Ho Tung, adalah Bouw Ti, kepala daerah Leng-ciu yang berpakaian sebagai seorang bangsawan, tubuhnya tinggi kurus, kumisnya seperti tikus dan sikapnya angkuh dan sombong sekali, jalannya saja dibuat-buat segagah mungkin, namun malah tampak lucu karena tubuhnya yang kerempeng seperti seorang pemadat berat itu.
"Mana ia perempuan iblis, penjahat dan pemberontak itu?" tanya Ban-ciangkun (Perwira Ban) kepada puteranya, sikapnya petentang-petenteng (membusungkan dada menantang).
"Ia tadi berada di dalam rumah makan ini, ayah," kata Ban Gu sambil menuding ke dalam.
"Siapa mencari aku?" terdengar bentakan nyaring merdu dan dari dalam rumah makan itu melangkah keluar gadis berpakaian putih itu. Tangan kanannya memegang pecut dan ujung pecut melingkar di leher Bouw Kui yang diseret sehingga pemuda itu berjalan dengan kaki tangannya seperti seekor anjing.
"Tikus kecil Ban, kamu ke sini. Berlutut!" Gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya kepada Ban Gu.
Pemuda ini memang merasa sakit hati dan marah sekali. Dia kini tidak merasa takut lagi. Bukankah ada ayahnya dan ada Bouw-taijin beserta duapuluh lebih perajurit di belakangnya?
"Perempuan iblis, engkau akan tahu rasa nanti"""
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wuuuttt...... tarrrr......!!" Pecut itu sudah melayang dan tepat membelit kaki Ban Gu, kemudian sekali tarik tubuh Ban Gu terseret ke depan kaki gadis itu dalam keadaan berlutut! Ban Gu menjadi pucat dan dia berteriak-teriak.
"Tolooonggg......, ayah, toloonggg......!"
"Hemm, kalian ini dua orang pemuda brengsek, mengandalkan kedudukan orang tua untuk menghina wanita-wanita. Kalian sudah sepantasnya dihajar!" Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan cambuknya dua kali.
"Tarrrr!! Tarrr!!"
Dua orang itu menjerit dan tangan mereka mendekap pinggir kepala yang berdarah-darah karena daun telinga kanan mereka telah putus terpenggal ujung cambuk dan kini dua potong daun telinga itu menggeletak di atas tanah! Keduanya lalu merangkak melarikan diri ke arah orang tua mereka.
"Perempuan jahat! Berani engkau menyiksa dan menghina putera kami? Kami adalah kepala daerah di Leng-ciu ini!"
"Keparat! Dan aku adalah kepala pasukan keamanan di Leng-ciu. Engkau telah berani menghina kami, berarti engkau sudah bosan hidup!" bentak pula Ban Ho Tung sambil mencabut pedangnya lalu dia memberi isyarat kepada duapuluh empat orang anak buahnya untuk menangkap atau mengeroyok gadis berpakaian putih itu. Para perajurit yang sudah turun dari kuda masing-masing maju mengepung.
Gadis itu mengeluarkan suara melengking seperti suara burung dan tiba-tiba tangannya sudah melolos ikat pinggang, yang berupa sabuk sutera merah. Ketika para perajurit menyerbu, ia bergerak bagaikan seekor burung cepatnya. Tubuhnya melesat dan seolah lenyap, merupakan bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar. Terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan para perajurit itu roboh berpelantingan ketika mereka disambar sinar merah dari sabuk sutera merah yang digerakkan secara amat lihai itu. Diam-diam Thian Liong yang keluar dan ikut nonton perkelahian itu merasa kagum sekali. Tingkat kepandaian silat gadis ini, biarpun gerakannya aneh dan asing, namun dibandingkan tingkat ilmu silat yang dimiliki gadis maling berpakaian merah muda atau tingkat Ang Hwa Sian-li Thio Siang In, agaknya tidak kalah atau sukar ditentukan siapa yang paling lihai di antara mereka!
Setelah merobohkan duapuluh empat orang perajurit itu, Si Burung Hong Putih melihat betapa dua orang pembesar itu ketakutan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi ia melompat mengejar, dan sinar merah sabuk suteranya meluncur ke depan. Tahu-tahu leher kedua orang itu telah terbelit ujung sabuk yang ternyata menjadi panjang sekali dan sekali tarik, dua orang itu roboh terguling-guling ke arah kakinya!
Dua orang itu bangkit berdiri dengan leher masih terbelit ujung sabuk merah. Pembesar Bouw yang berwatak angkuh dan sombong, biarpun ketakutan setengah mati melihat puteranya terpotong daun telinga kanannya dan semua perajurit pengawalnya dihajar sampai berjatuhan, namun masih mencoba untuk menggertak gadis itu.
"Nona, engkau telah berdosa besar sekali! Pasukan kerajaan akan datang, menangkapmu sebagai seorang pemberontak yang jahat!"
"Srattt......!" Gadis itu menggerakkan tangan kirinya dan ia telah mencabut sebatang pedang bengkok diukir gambar seekor naga, mengkilap saking tajamnya dan ukiran naga itu terbuat dari emas!
"Kalian ingin kupenggal leher kalian dengan ini?"
Ketika Bouw Ti dan Ban Ho Tung melihat pedang bengkok yang diukir gambar naga dari emas itu, seketika mata mereka terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat, tubuh mereka gemetar dan kedua kaki menggigil. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu, membentur-benturkan dahi di tanah sambil berkata dengan suara penuh ketakutan.
"Ampun beribu ampun, hamba sama sekali tidak tahu bahwa paduka yang mulia adalah......"
"Tidak perduli aku siapa! Apakah kalian berdua mengakui dosa-dosa kalian?" bentak gadis itu sambil mengancam dengan pedang bengkoknya dan melepaskan sabuk sutera merahnya dari leher mereka.
"Hamba...... hamba...... tidak tahu kesalahan dan dosa apakah yang telah hamba perbuat, yang mulia......" Bouw Ti meratap dan melihat sikap dua orang pejabat itu yang berlutut lalu menyebut yang mulia kepada nona itu, Bouw Kui dan Ban Gu yang masih kesakitan terkejut dan ketakutan, lalu ikut berlutut mendekam di atas tanah, tidak berani bergerak, bahkan menahan napas agar tubuh mereka tidak membuat gerakan.
Demikian pula para perajurit pengawal, mereka juga ketakutan dan berlutut di atas tanah. Ada pula di antara mereka yang sudah lama menjadi perajurit mengenal pedang bengkok dengan ukiran naga emas itu. Itu adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan oleh Sribaginda Kaisar sendiri. Pemegang pedang itu boleh menghukum dan membunuh pembesar mana saja tanpa lebih dulu minta ijin dari Kaisar!
"Hemm, orang she Bouw dan orang she Ban. Kalian berdua adalah orang-orang pribumi yang dipercaya oleh Sribaginda, diberi kedudukan dan kekuasaan untuk mengatur rakyat di daerah kalian, menjaga keamanan dan mengusahakan kesejahteraan dan ketenteraman bagi rakyat. Akan tetapi ternyata kalian menindas rakyat, bangsamu sendiri, dan membiarkan anak-anak kalian menjadi pemuda berandalan yang jahat dan kejam. Dan sekarang kalian masih bertanya dosa apa yang kalian lakukan? Hayo jawab!"
Dua orang pembesar itu menjadi semakin ketakutan.
"Hamba layak dihukum...... akan tetapi hamba mohon beribu ampun dan hamba berdua berjanji tidak akan melakukan penindasan lagi, akan melaksanakan tugas kewajiban hamba sebaik-baiknya."
"Hemm, benarkah itu? Kalian akan berusaha agar kehidupan rakyat di daerah ini menjadi sejahtera dan makmur? Kalian akan bertindak seadil-adilnya?"
"Hamba bersumpah!" Dua orang pembesar itu menjawab dengan berbareng.
"Baik, sekarang disaksikan oleh semua orang yang melihat kejadian ini dari jauh itu," ia menuding ke arah banyak orang yang berdiri di kejauhan,
"biarlah sekarang aku memberi hukuman ringan kepada kalian!" Berkata demikian, secepat kilat sinar pedang berkelebat dan dua orang pembesar itu mengaduh dan memegangi tangan kiri mereka yang sudah kehilangan jari kelingking masing-masing, terbabat putus oleh pedang yang amat tajam itu.
"Sekarang hanya jari kelingking kiri kalian yang kuambil, lain kali kalau aku masih mendengar atau melihat kalian berlaku sewenang-wenang kepada rakyat, kalian akan kutangkap dan kuseret ke pengadilan kota raja, atau kalau aku tidak sabar, akan kupenggal leher kalian di sini juga!"
"Ampunkan hamba""!" Dua orang itu menyembah-nyembah. Dua orang putera mereka juga menyembah-nyembah ketakutan.
Gadis itu menyarungkan lagi pedangnya dan melibatkan sabuk sutera merah di pinggangnya, lalu menghampiri kudanya, melompat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya meninggalkan tempat itu. Ketika ia melewati orang-orang yang berkerumun nonton dari kejauhan, ada yang berseru,
"Hidup Pek Hong Nio-cu".!"
Serentak semua mulut, seperti dikomando, berseru,
"Hidup Pek Hong Nio-cu""!!"
Akan tetapi, gadis itu hanya tersenyum dan membedal kudanya meninggalkan kota Leng-ciu. Ia tidak tahu bahwa ada bayangan orang berkelebat dan mengikutinya keluar dari pintu gerbang kota sebelah utara.
Yang dijuluki Pek Hong Nio-cu itu sebetulnya adalah seorang puteri kaisar yang lahir dari seorang selir kaisar yang cantik. Selir ini adalah seorang pribumi (bangsa China aseli yang menyebut dirinya bangsa Han). Biarpun ia hanya puteri seorang selir, namun karena selir itu menjadi kesayangan kaisar Dinasti Kin, maka tentu saja anak perempuan ini juga amat disayang dan dimanja kaisar.
Ia diberi nama Moguhai dan sejak kecil ia memiliki watak yang begal dan lincah seperti seorang anak laki-laki. Dalam usia lima tahun saja, ia sudah berani menunggang kuda dan membalapnya, berlumba dengan para putera bangsawan, bahkan yang usianya lebih tua dari padanya. Ia suka pula bermain panah-panahan sehingga sejak kecil dapat melepaskan anak panah dengan jitu.
Ketika para putera bangsawan yang sudah berusia sepuluh tahun ke atas mulai berlatih ilmu silat, Puteri Moguhai yang berusia enam tahun juga tidak mau ketinggalan, ikut-ikutan berlatih ilmu silat. Tentu saja guru silatnya tidak berani melarang karena ia puteri kaisar, pula ketika guru-guru silat melihat betapa bocah perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa, mereka bahkan bersemangat untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya. Maka tidak mengherankan apabila Puteri Moguhai memperoleh kemajuan pesat dan setelah berusia sepuluh tahun, dalam latihan, ia dapat mengalahkan murid-murid pria yang usianya lebih beberapa tahun dari padanya! Para gurunya tentu saja menjadi girang dan bangga dan mereka seolah berlumba untuk menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada sang puteri, bukan hanya karena senang mempunyai murid demikian cerdiknya, melainkan tentu saja ada pamrih untuk menyenangkan hati sang kaisar!
Ketika Puteri Moguhai berusia sepuluh tahun, pada suatu hari, ketika itu senja telah tiba, ia berjalan-jalan ke dalam taman istana yang luas. Cuaca remang-remang, akan tetapi ia masih dapat menikmati bunga-bunga yang bermekaran karena waktu itu musim semi telah tiba. Ketika ia mendekati sebuah pondok yang berada di tengah taman itu, pondok kecil tempat peristirahatan keluarga kaisar, ia dari jauh melihat ibunya memasuki pondok itu bersama seorang laki-laki. Jelas tampak olehnya bahwa laki-laki itu bukan kaisar, bukan ayahnya!
Puteri Moguhai baru berusia sepuluh tahun dan belum dapat menduga apa-apa yang melanggar susila. Ia hanya merasa heran sekali, akan tetapi tidak berani mendekati pondok, hanya merunduk-runduk lebih dekat lalu bersembunyi di balik semak-semak di samping pondok untuk mengintai ke arah pintu dengan maksud agar dapat melihat siapa laki-laki itu, kalau nanti keluar dari pondok. Di atas pondok itu tergantung sebuah lampu sehingga ia akan dapat melihat wajah laki-laki itu nanti. Ia mendekam di situ, hati-hati sekali tidak berani banyak bergerak, bahkan ketika ada nyamuk menggigitnya, ia hanya mengusir nyamuk itu, tidak berani menamparnya.
Sementara itu, yang memasuki pondok itu memang Ibu Puteri Moguhai yang dulu adalah seorang wanita pribumi bernama Tan Siang Lin. Kini ia adalah seorang selir terkasih dari Kaisar Kin. Usianya sekitar duapuluh delapan tahun namun masih tampak cantik jelita dan gerak-geriknya lembut, seperti seorang gadis muda.
Selir kaisar itu memasuki pondok yang diterangi lampu gantung itu bersama seorang pria. Laki-laki itu berpakaian sederhana, tubuhnya sedang namun tegap, wajahnya bersih, tampan dan senyumnya menawan, sikapnya juga lembut dan sinar matanya mencorong. Begitu memasuki pondok dan daun pintunya ditutup, selir kaisar itu lalu mengeluh.
"Sie-koko (Kanda Sie)""!" Dan ia sudah menubruk hendak merangkul pria itu. Akan tetapi pria itu menyambut dengan memegang dan menahan kedua pundak wanita itu, lalu berkata dengan suara halus namun penuh wibawa.
"Tidak, Lin-moi. Jangan lakukan itu. Ingat, engkau adalah isteri seorang pria bahkan seorang kaisar! Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang isteri yang melakukan hal tidak pantas dan mengkhianati suami. Mari, duduklah, kita bicara baik-baik dan pantas." Dia mendorong wanita itu duduk di atas buah kursi, sedangkan dia duduk di kursi depan wanita itu. Tan Siang Lin atau yang kini menjadi selir kaisar itu menggigit bibir dan mengusap beberapa butir air mata yang menetes di atas kedua pipinya.
"Akan tetapi, Sie-ko, aku...... aku rindu padamu...... apakah engkau tidak cinta lagi padaku, koko?" Dalam suara itu terkandung kesedihan yang ditahan-tahan.
Laki-laki itu menghela napas panjang.
"Lin-moi, justeru karena aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, maka aku tidak ingin melihat engkau menyimpang dari kebenaran. Aku ingin melihat engkau bahagia sebagai seorang isteri kaisar yang dimuliakan, dihormati, dan bersih dari pada noda."
"Lalu, kenapa engkau datang berkunjung ke taman ini, koko? Pada hal kunjunganmu ini berbahaya sekali, kalau sampai ketahuan, pasti nyawamu taruh-annya. Apa maksudmu berkunjung ini, kalau bukan karena"" rindu padaku seperti juga aku merindukanmu?"
Laki-laki itu tersenyum.
"Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa engkau hidup bahagia di sini, Lin-moi. Aku mendengar dan kini melihat sendiri bahwa engkau menjadi seorang selir yang dikasihi kaisar, dihormati dan dimuliakan orang, walaupun engkau seorang pribumi Han. Juga aku mendengar tentang...... siapa lagi nama anak itu""?"
"Puteri Moguhai"""
"Ya, nama yang indah, walaupun agak asing terdengarnya. Aku mendengar pula tentang anak itu. Kabarnya ia cerdik sekali dan berbakat baik dalam ilmu silat. Karena itu, kedatanganku ini untuk menyerahkan kitab-kitab ini kepadamu. Kelak, setelah anak itu berusia empatbelas tahun dan sudah memiliki dasar ilmu silat yang baik, kau berikan kitabkitab ini dan suruh ia melatih sendiri. Sudah kuberi petunjuk-petunjuk jelas dalam kitab-kitab ini. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadanya, Lin-moi, dan ini, suruh ia kelak selalu memakai ini dan semoga Tuhan selalu melindunginya."
Selir kaisar itu menerima tiga buah kitab dan sebuah perhiasan rambut berbentuk burung Hong dari perak dengan mata mirah. Ia menerimanya dengan terharu sekali.
"Sekarang aku harus pergi, Lin-moi. Hati-hatilah engkau menjaga diri dan hati-hati pula mendidik dan menjaga puterimu." Pria itu bangkit berdiri dan hendak melangkah ke pintu.
"Nanti dulu, koko. Masih ada satu hal yang ingin kuceritakan padamu...... ini...... merupakan rahasia pribadiku...... dan hanya engkau saja yang boleh mendengarnya."
Pria itu duduk kembali dan menatap wajah Tan Siang Lin dengan sinar mata mencorong.
"Apakah itu, Lin-moi?"
"Ketika aku melahirkan...... sebetulnya anakku itu terlahir kembar, keduanya perempuan......"
Pria itu membelalakkan kedua matanya.
"Kembar? Dan...... yang seorang lagi""?"
"Ketika aku melahirkan, yang membantu adalah seorang wanita tua yang menjadi bidan, dan ditemani seorang sahabat baikku. Ia seorang janda pangeran, suaminya sudah mati dan ia tidak mau menikah lagi, pada hal ia masih muda, sebaya dengan aku. Kami menjadi sahabat yang akrab sekali, bahkan telah bersumpah mengangkat saudara. Ia seorang puteri kepala suku bangsa Uigur, namanya Miyana. Ketika melihat aku melahirkan bayi perempuan kembar, Miyana menangis dan mengatakan kepadaku bahwa kaisar adalah seorang yang percaya bahwa anak kembar wanita akan membawa malapetaka maka besar kemungkinan anak kembarku akan dibunuh! Maka, atas usul Miyana, anak yang satunya lagi ia selundupkan keluar dari kamarku sehingga aku dianggap melahirkan seorang anak perempuan saja, yaitu Moguhai itulah. Bidan tua itupun dipesan menyimpan rahasia, akan tetapi beberapa hari kemudian ia mati karena sakit mendadak. Aku menduga bahwa itu perbuatan Miyana yang takut kalau-kalau bidan itu membuka rahasia."
Pria itu mengangguk-angguk.
"Hemm, lalu...... anak yang satunya lagi itu?"
"Tak lama kemudian Miyana yang sudah janda, pulang kepada orang tuanya, kepada ayahnya yang menjadi kepala suku Uigur. Tentu saja anak itu diam-diam dibawanya dan sampai sekarang aku tidak pernah lagi, mendengar tentang ia dan anak itu. Nah, itu, koko, dan hanya engkau seorang yang mengetahui."
Pria itu menghela napas panjang.
"Aih, sungguh nasib mempermainkan keturunan kita, Lin-moi. Inikah hukuman akibat dosa kita herdua? Nah, terima kasih atas semua ceritamu, Lin-moi dan jangan lupa berikan kitab-kitab itu kepada Moguhai. Sekarang aku pergi."
Pria itu melangkah keluar, diikuti oleh selir kaisar itu. Moguhai yang mengintai di luar melihat mereka keluar dan ia menatap wajah pria itu dengan penuh perhatian. Ia melihat mereka berdiri berhadapan di luar pintu, lalu pria itu memegang pundak ibunya dan berkata dengan suara lirih,
"Nah, selamat tinggal, Lin-moi, semoga engkau hidup berbahagia. Selamat tinggal!"
"Selamat jalan, Sie-koko...... jaga dirimu baik-baik!" kata ibunya dengan suara mengandung isak.
Tiba-tiba pria itu mengerakkan kedua kakinya, sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ. Moguhai terbelalak! Setankah yang dilihatnya tadi? Kalau manusia, mana mungkin menghilang begitu saja? Ibunya bergaul dengan setan yang disebutnya Sie-koko?
Saking tidak dapat menahan keheranannya, gadis cilik itu lalu lari menghampri ibunya.
"Ibu""!"
"Eh, engkau Moguhai? Dari mana engkau......?" Ibunya bertanya kaget, sama sekali tidak mengira anaknya muncul begitu tiba-tiba. Jangan-jangan anak itu telah melihat......
"Ibu, apakah ibu mempunyai sahabat setan?"
"Ehh? Setan......?"
"Aku tadi melihat ibu dengan seorang laki-laki yang ibu sebut Sie-koko, akan tetapi dia menghilang seperti setan!"
Siang Lin segera merangkul anaknya dan diajaknya masuk ke dalam pondok itu. Dia memeluk dan berkata dengan nada suara serius.
"Anakku, dia itu bukan setan, melainkan seorang pendekar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dia seorang sakti, Moguhai dan dia...... dia itu dahulu menjadi sahabat baik ibumu. Lihat, dia meninggalkan kitab-kitab dan perhiasan rambut ini untukmu. Kalau kelak engkau mempelajari tiga buah kitab ini, berarti dia itu juga gurumu, Moguhai. Akan tetapi ingat, anakku, jangan katakan tentang dia itu kepada siapapun juga. Kalau sampai diketahui Kaisar, ibumu ini tentu akan dihukum mati, dan mungkin engkau juga tidak akan terluput dari hukuman."
"Akan tetapi kenapa, ibu? Ayahanda Kaisar tentu tidak akan marah mendengar aku mendapatkan seorang guru yang sakti."
"Engkau tidak mengerti, anakku. Dia itu seorang pendekar bangsa Han, tentu ayahmu akan menaruh curiga dan mengira dia itu mata-mata dari kerajaan Sung yang akan menyelidiki istana. Karena itu, demi keselamatan kita sendiri, jangan katakan kepada siapapun juga. Engkau berjanji?"
Moguhai mengangguk-angguk.
"Baik, ibu."
Demikianlah, Moguhai hanya tahu dari ibunya bahwa laki-laki, yang memberi kitab kepadanya itu adalah "Paman Sie" dan ia tidak pernah bertemu lagi dengannya. Tiga kitab itu merupakan kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang ampuh dan tinggi. Yang pertama mengajarkan cara berlatih untuk menghimpun sin-kang (tenaga sakti) sehingga ia selain memiliki tenaga dalam yang hebat, juga dapat mengerahkan tenaga sakti, untuk membuat dirinya ringan dan dapat bergerak cepat seperti terbang. Kitab kedua berisi pelajaran ilmu silat yang menggunakan senjata sabuk dan ilmu ini dilatih Moguhai dengan sehelai sabuk sutera panjang merah.
Adapun kitab ketiga berisi pelajaran ilmu pedang yang aneh akan tetapi hebat sekali. Itulah ilmu pedang Sin-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Sakti) yang dimainkan dengan pedang bengkoknya, pedang khas bangsa Kin sehingga kini, setelah berusia sembilanbelas tahun, Moguhai menjadi seorang gadis yang lihai bukan main sehingga ia mendapat julukan Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih karena perhiasan rambutnya juga berupa burung Hong perak bermata mirah!
Kisah Sepasang Naga Eps 7 Kasih Diantara Remaja Eps 15 Kasih Diantara Remaja Eps 6