Jodoh Si Naga Langit 4
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Dua orang gadis itu mendengarkan penuh perhatian sambil memegang tangan ayah mereka. Pek Hong Niocu memegang tangan kiri dan Ang Hwa Sian-li memegang tangan kanan.
"Ayah, saya ingin tinggal di sini, bersama Ayah saja!" kata Ang Hwa Sian-li Thio Siang In atau sesungguhnya Sie Siang In dengan suara gemetar karena ia terharu.
"Saya juga, Ayah! Rasanya hanya dekat Ayah saya dapat merasa tenteram, penuh damai dan kehidupan terasa nyaman, nikmat dan penuh kebahagiaan," kata pula Pek Hong Niocu Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai, juga ia merasa terharu dan rasanya ingin menangis karena harus berpisah dari ayah kandung yang mendatangkan kasih sayang amat mendalam di hatinya, setelah selama setahun tinggal bersama ayahnya di tempat sunyi itu.
"Aih, marilah kita belajar jangan terlalu menurutkan keinginan hati, akan tetapi harus menggunakan pertimbangan demi kebaikan semua pihak. Kalian merasa senang di sini, juga aku akan merasa senang kalau berdekatan dengan kalian kedua anak-anakku. Akan tetapi kesenangan kita itu menyusahkan hati kedua orang tua kalian! Aku sudah terbiasa merantau seorang diri, maka jangan mengkhawatirkan tentang diriku. Juga jangan lupa kalian sejak kecil telah bersusah payah mempelajari ilmu silat. Apa artinya menguasai ilmu kalau tidak dipergunakan dalam kehidupan? Maka, kalian harus kembali ke dunia ramai dan mengamalkan kepandaian kalian, tentu saja jangan lupa, mengamalkan demi kebaikan, membebaskan orang dari penindasan, membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat. Nah, sekarang kalian pergilah, aku sendiri pun sudah terlalu lama di sini dan ingin merantau lagi."
Akan tetapi dua orang gadis itu masih memegangi kedua tangan ayah mereka, enggan melepaskannya.
"Ayah, saya belum ingin berpisah darimu!" kata Pek Hong Niocu.
"Kalau kita berpisah, kapan kita dapat saling bertemu kembali, Ayah?" kata Ang Hwa Sian-li.
Tiong Lee Cin-jin tertawa. Hati ayah mana yang tidak merasa senang melihat anak-anaknya demikian sayang kepadanya? "Ha-ha-ha, kalian tidak boleh cengeng begini! Ada waktu bertemu, ada waktu berkumpul, tentu akan diakhiri dengan waktu berpisah! Akan tetapi, setelah berpisah, bukan hal yang mustahil untuk bertemu kembali. Kita harus percaya bahwa ada saatnya kita akan dapat saling bertemu kembali, anak-anakku. Nah, sekarang berkemaslah. Kumpulkan pakaian kalian dan bersiaplah untuk berangkat!"
Kini dua orang gadis itu menyadari betul bahwa mereka berdua harus pergi meninggalkan ayah atau guru mereka, maka dengan patuh mereka lalu memasuki pondok dan berkemas dalam kamar mereka. Mereka membungkus pakaian mereka dengan kain lalu menggendong bungkusan masing-masing dan keluar dari pondok.
Setibanya di beranda, mereka melihat ayah mereka sedang duduk bersamadhi dan mereka berdua tahu bahwa dalam keadaan seperti itu ayah mereka tidak bisa diganggu karena apa pun yang mereka lakukan tidak akan mampu mem-buat ayah mereka terbangun! Mereka tahu bahwa ayah mereka tidak ingin terpengaruh oleh perasaan sendiri karena perpisahan dengan dua orang anaknya yang terkasih, maka sebelum mereka berangkat dia sudah tenggelam ke dalam samadhi. Pek Hong Niocu menahan isak, lalu merangkul leher ayahnya dan mencium kedua pipi ayahnya, baru melepaskannya. Perbuatan ini ditiru oleh Ang Hwa Sian-li.
"Selamat tinggal, Ayah." Mereka berkata hampir berbareng, lalu mereka melompat dari atas lantai beranda dan keluar. Demikian cepat gerakan mereka sehingga mereka seolah pandai menghilang! Kedua orang gadis ini ingin cepat meninggalkan ayah mereka karena kalau berlama-lama, mereka tentu tidak akan tega meninggalkan orang tua yang mereka kasihi itu.
Setelah tiba di kaki bukit, keduanya berhenti berlari dan memutar tubuh, memandang ke arah Puncak Pelangi dan keduanya menghela napas panjang.
"Kasihan Ayah, di sana seorang diri, kesepian," Ang Hwa Sian-li mengeluh.
"Ya, akan tetapi sudahlah. Kita tahu betapa bijaksana Ayah. Dia benar, kita tidak mungkin tinggal di sana terus. Orang tua kita pasti sudah amat menanti-nanti kita. Siang In, sekarang engkau hendak ke mana?"
"Tentu saja pulang, Pek Hong. Orang tuaku tinggal di kota Kang-cun, di lembah Sungai Kuning. Dan engkau?"
"Aku juga akan pulang ke kota raja. Kalau begitu, kita sama-sama menuju ke timur. Kita dapat melakukan perjalanan bersama sampai ke kota Kang-cun, di mana engkau akan berhenti dan aku melanjutkan perjalanan ke kota raja."
"Wah, bagus sekali. Kalau begitu, engkau harus singgah dulu di rumah kami dan engkau akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku."
"Ah, senang sekali!" kata Pek Hong Niocu.
"Aku pun ingin sekali bertemu dengan Ibumu. Bibi Miyana itu adalah sahabat baik Ibuku, dan ialah yang menolong Ibu, bahkan menolong kita karena kalau tidak ada ia yang memisahkan kita, mungkin kita berdua sudah dibunuh oleh Kaisar Kin yang mempunyai kepercayaan aneh tentang orang kembar!"
"Aku pun kelak akan mengunjungimu, Pek Hong. Aku juga ingin dan rindu sekali untuk bertemu dengan ibumu...... eh, ibu kandungku juga!"
"Ya, datanglah, Siang In! Pertemuan itu pasti akan membahagiakan kita semua!"
Dua orang gadis itu sebentar saja sudah pulih lagi dalam sifat mereka yang memang biasanya selalu cerah ceria, cerdik dan lincah. Keharuan yang agak menyedihkan hati mereka karena harus berpisah dari ayah mereka, hanya sebentar saja menjadi mendung. Akan tetapi hanya mendung tipis yang mudah ditiup pergi angin lalu.
Souw Thian Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Akan tetapi sebelum ia memasuki dusun itu, dia melihat puluhan penduduk dusun, laki-laki dan perempuan, berbondong keluar dari dusun menuju ke bukit yang berada tidak jauh dari dusun itu, hanya sekitar dua lie (mil) jaraknya. Yang amat menarik hati Thian Liong adalah ketika dia melihat dua orang gadis muda, berusia sekitar enambelas tahun, berjalan di depan rombongan itu sambil menangis.
Dua orang gadis remaja itu mengenakan pakaian dari sutera merah dan wajah mereka cukup cantik. Rambut mereka diberi hiasan yang indah, mengingatkan Thian Liong akan pakaian pengantin wanita. Apakah dua orang gadis itu pengantin-pengantin yang sedang diantar rombongan itu menuju ke rumah calon suami mereka di dusun lain? Akan tetapi tidak mungkin kalau mereka itu hendak menikah karena selain dua orang gadis itu di sepanjang perjalanan menangis sedih, juga wajah rombongan yang terdiri dari sekitar empatpuluh orang itu semua tampak muram dan murung. Bahkan ada beberapa orang wanita dalam rombongan itu juga menangis! Rombongan itu lebih pantas sedang mengiringkan jenazah yang akan dimakamkan daripada mengiringkan pengantin wanita!
Tentu saja Thian Liong merasa tertarik sekali. Agaknya bukan rombongan pengiring pengantin, pikirnya. Atau, kalau benar mengiringkan pengantin, agaknya dua orang pengantin wanita itu dipaksa menjadi pengantin dan para penduduk itu tidak berani membantah. Apakah ada hartawan atau orang berpangkat yang memaksa gadis-gadis itu agar diantarkan ke rumahnya, mungkin di dusun atau kota lain, untuk dijadikan selir-selirnya? Dan para penduduk dusun ini tidak berani menolak paksaannya? Diam-diam Thian Liong membayangi, siap menolong kalau dua orang gadis itu benar-benar dipaksa orang untuk menikah di luar kehendak mereka. Siap pula untuk menentang orang yang menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada para penduduk dusun!
Rombongan itu ternyata menuju ke bukit, lalu mendaki bukit itu perlahan-lahan seolah merasa ragu atau takut. Dua orang gadis remaja tetap menangis sambil melangkah perlahan-lahan.
Ketika rombongan itu tiba di lereng bukit, mereka berhenti di depan sebuah kuil tua. Kuil itu agaknya kuil kuno yang tidak terpelihara. Temboknya ditumbuhi lumut dan sebagian ada yang retak, dan gentingnya juga banyak yang pecah. Thian Liong yang membayangi dari belakang mengintai dari balik sebatang pohon besar. Dia merasa semakin heran melihat betapa rombongan itu semua berhenti di depan kuil, di pekarangan kuil yang luas dan penuh daun kering. Dua orang gadis berpakaian merah itu tidak menangis lagi, akan tetapi dengan muka pucat dan mata terbelalak seperti dua ekor domba yang dibawa ke depan tempat penjagalan mereka memandang ke arah pintu kuil yang besar. Daun pintu kuil itu, dari kayu tebal yang pinggirnya sudah lapuk, tertutup.
Thian Liong juga memandang ke arah daun pintu yang tertutup itu dengan hati tegang. Dia belum dapat menduga apa yang akan dilakukan rombongan orang dusun itu dan mereka semua tampak begitu ketakutan. Apa yang sudah, sedang dan akan terjadi? Dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh, Thian Liong menyelinap dari pohon ke pohon dan mendekati mereka sehingga dia tidak hanya dapat melihat mereka, akan tetapi juga akan dapat mendengarkan percakapan mereka. Akan tetapi semua orang itu berdiam diri, tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, bahkan agaknya kebanyakan dari mereka menahan napas!
Bunyi berderit pada daun pintu mengejutkan semua orang yang segera memandang ke arah pintu. Daun pintu dibuka dari dalam dan kini pintunya ternganga lebar. Thian Liong juga memandang ke arah pintu dengan penuh perhatian. Tampak remang-remang sebuah meja sembahyang besar dengan hidangan sembahyang sebagai korban terdiri dari buah-buahan. Di belakang meja itu terdapat sehelai kain putih yang digambari seekor ular hitam besar dengan mata seolah bernyala mencorong dan moncongnya terbuka mengeluarkan api! Akan tetapi semua itu hanya tampak remang-remang karena ruangan itu dipenuhi asap yang mengepul keluar dari banyak hio (dupa) yang dibakar. Baunya harum-harum memusingkan, tercium sampai di tempat di mana Thian Liong mengintai.
Kemudian muncullah tiga orang dari dalam kuil dan mereka berdiri di depan pintu. Mereka adalah tiga orang laki-laki berusia sekitar tigapuluh tahun. Rambut mereka semua diikat ke atas dengan pita putih, akan tetapi pakaian mereka serba hitam. Di bagian dada terdapat lingkaran besar dengan dasar putih dan di tengah lingkaran terdapat gambar ular seperti yang dipasang di belakang meja sembahyang. Sepatu mereka juga hitam dan di punggung tiga orang itu tergantung sebatang pedang. Tubuh mereka tinggi besar dan kokoh. Wajah mereka tampak kaku menyeramkan, akan tetapi tampak serius seperti seorang yang agaknya tidak acuh lagi terhadap urusan dunia!
Seorang laki-laki berusia enampuluh tahun yang menjadi wakil penduduk karena dia adalah kepala dusun, melangkah maju dan segera memberi hormat kepada tiga orang berpakaian, hitam itu sambil membungkuk dalam.
"Sam-wi To-tiang (Bapak Pendeta Bertiga), kami datang untuk memenuhi perintah yang mulia Hek-coa-sian (Dewa Ular Hitam), menyerahkan dua orang gadis kami untuk menjadi pengantin Dewa Penjaga Bukit," kata kepala dusun dengan suara gemetar.
Seorang di antara tiga orang berpakaian hitam-hitam yang disebut bapak pendeta itu berkata, suaranya tegas dan lantang.
"Pimpin dua calon pengantin untuk sembahyang, baru kita akan mendengar sendiri dari Kauw-cu (ketua agama) Hek-coa-kauw (Perkumpulan Agama Ular Hitam) apakah persembahan ini dapat diterima oleh Hek-coa-sian ataukah tidak!"
"Baik, To-tiang. Mari, anak-anak, kita bersembahyang."
Kepala dusun itu lalu menggandeng tangan kedua orang gadis remaja yang wajahnya menjadi pucat sekali, dituntunnya memasuki pintu lebar setelah tiga orang pendeta perkumpulan Ular Hitam itu mundur memasuki ruangan sembahyang kuil itu. Para penduduk hanya melihat dari luar. Karena pintu itu memang lebar sekali, maka mereka dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di ruangan sembahyang. Bahkan Thian Liong yang bersembunyi dan mengintai, juga dapat melihat ke dalam ruangan asap itu.
Dua orang gadis itu lalu disuruh bersembahyang, mengacungkan hio-swa (dupa biting) yang ujungnya membara, kemudian setelah dupa biting itu ditancapkan di hio-lou (tempat abu dupa), mereka berdua disuruh berlutut dan pai-kwi (menyembah dengan dahi menyentuh lantai) sampai delapan kali.
Setelah upacara sembahyang selesai, dua orang gadis itu dan si kepala dusun diminta agar keluar kembali dan berdiri di depan pintu seperti tadi.
"Kalian tunggu di sini. Kami akan mengundang Ketua kami yang akan memutuskan apakah Hek-coa-sian berkenan menerima dua orang gadis korban ini atau tidak." Setelah berkata demikian, tiga orang pendeta itu bersembahyang di depan meja sembahyang dan membakar banyak dupa sehingga di ruangan itu kini tertutup asap yang mengepul tebal. Terdengar seruan mereka.
"Kami mengundang, yang mulia Kauw-cu (Kepala Agama) untuk datang dan memberi penjelasan dan perintah!"
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan dan tampak asap hitam mengepul di tengah asap putih. Lalu dari asap hitam itu muncul seorang laki-laki yang tubuhnya seperti raksasa, matanya lebar mencorong. Tiga orang pendeta itu tampak kecil dibandingkan raksasa ini. Mukanya hitam menakutkan dan dia pun mengenakan pakaian hitam dengan tanda gambar ular hitam seperti tiga orang anak buahnya. Akan tetapi ada seekor ular hitam sebesar lengannya mengalungi leher dan tangan kirinya memegang leher ular itu dan kepala ular itu menjulur ke depan, moncongnya dan matanya kemerahan, lidahnya yang bercabang itu keluar masuk moncong. Semua orang merasa ngeri dan hampir tidak berani memandang raksasa hitam yang disebut sebagai kauw-cu (kepala agama) dari Hek-coa-kauw (Agama Ular Hitam) itu.
Kemudian terdengar raksasa hitam itu bicara. Suaranya parau dan besar, dengan logat asing.
"Hek-coa-sian dapat menerima korban dua orang gadis ini dan mau mengampuni semua penduduk. Akan tetapi Hek-coa-sian minta agar mereka menjalani dulu pembersihan diri dan berganti pakaian yang sudah disediakan, baru kita semua akan mengantar mereka ke puncak bukit. Kami minta dua orang wanita untuk memandikan mereka. Air kembang sudah tersedia di dalam, dan setelah dimandikan bersih, mereka harus diasapi dupa harum agar layak berdekatan dengan Dewa Ular Hitam!"
Seorang wanita setengah tua disuruh maju oleh kepala dusun. Dengan gemetar wanita itu menghampiri dua orang gadis. Akan tetapi dua orang gadis itu tiba-tiba menjerit dan menangis sehingga para penduduk menjadi terkejut dan ketakutan. Mereka takut kalau-kalau kerewelan dua orang gadis yang hendak dikorbankan itu akan membuat sang dewa marah dan mereka semua akan ditumpas binasa seperti yang telah diancamkan kepada mereka.
"Ah, diamlah kalian!" bentak kepala dusun, lalu dia memberi hormat kepada Hek-coa-kauwcu.
"Kauwcu, maafkan kami......"
Laki-laki bertubuh raksasa dengan muka hitam itu tertawa dan menghampiri dua orang gadis yang menangis tersedu-sedu. Kepala ular itu terjulur mendekati dua orang gadis, moncongnya agak terbuka dan lidahnya menjilat-jilat. Dua orang gadis ketakutan. Kepala ular mulai bergerak terayun ke kanan kiri. Dua orang gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan mereka berhenti menangis. Hanya air mata mereka saja yang masih berlinang.
"Heh, dua orang Nona pengantin! Kalian taat dan akan melakukan segala perintah kami dengan senang hati. Mengerti?"
Aneh! Dua orang gadis itu mengangguk dan mereka tampak begitu penurut ketika wanita setengah tua itu, atas petunjuk seorang di antara tiga orang pendeta tadi menuntun mereka masuk. Mereka berdua dimandikan dengan air kembang kemudian diasapi dupa harum dan mereka taat dan sama sekali tidak membantah, juga tidak menangis lagi! Setelah mandi dan diasapi sehingga seluruh tubuh mereka selain bersih juga berbau harum bunga dan dupa, mereka lalu disuruh mengenakan pakaian dari sutera putih yang halus dan tembus pandang. Ketika mereka dituntun keluar, semua orang memandang dengan heran dan kagum. Dua orang gadis remaja itu tampak seolah dewi dari kahyangan, dengan pakaian sutera putih tipis itu.
Ketua agama Hek-coa-kauw itu lalu menggandeng tangan kedua orang gadis, di kanan kirinya, lalu mengajak mereka berdua berjalan keluar dari kuil dan mendaki ke puncak bukit. Para penduduk dusun diperbolehkan ikut untuk menyaksikan bahwa benar-benar dua orang gadis itu dikorbankan kepada Dewa Ular Hitam penjaga bukit. Berbondong-bondong semua orang mengikuti Hek-coa-kauwcu yang menggandeng dua orang gadis "pengantin" itu dengan kagum dan heran karena kini dua orang gadis itu sama sekali tidak sedih dan takut, tidak menangis lagi bahkan ada senyum berkembang di bibir mereka! Tiga orang pendeta atau anggauta Hek-coa-kauwcu tadi tidak ikut mendaki bukit. Semua orang mengira bahwa mereka bertiga bertugas di kuil dan tidak ikut naik ke puncak.
Karena letak kuil itu memang sudah dekat puncak, maka sebentar saja mereka sudah tiba di puncak. Semua orang memandang ngeri ke sebuah lubang besar seperti sumur yang dikelilingi batu-batu hitam. Itulah lubang yang oleh Hek-coa-kauwcu dinamakan pintu istana Dewa Ular Hitam! Sudah beberapa kali selama tiga bulan ini mereka menyaksikan korban dijatuhkan ke dalam lubang yang lebar itu. Bahkan kerbau pun dapat dimasukkan lubang itu!
Setelah Hek-coa-kauwcu dan dua orang gadis berdiri di tepi lubang dan dua orang gadis itu sama sekali tidak tampak takut, Hek-coa-kauwcu lalu mengadakan upacara sembahyang singkat. Dia membakar dupa sembahyang memberi hormat ke arah lubang dan berseru lantang sekali.
"Oh, Dewa Ular Hitam yang mulia! Terimalah korban persembahan penduduk dusun ini dan berkahi mereka semua!"
Setelah bersembahyang, raksasa muka hitam itu lalu menggunakan kedua tangannya yang besar, menangkap dua orang gadis itu dan...... melempar kedua orang gadis itu dalam lubang! Terdengar suara menggelegar dari bawah, suara yang bergema seperti guntur.
"Kami terima persembahan!"
Semua orang menundukkan muka. Ada yang berkemak-kemik sembahyang.
Hek-coa-kauwcu lalu melangkah menuruni puncak, diikuti oleh semua penduduk yang merasa ngeri dan tidak berani berlama-lama berada di puncak itu yang menjadi "istana" Dewa Ular hitam!
Akan tetapi kalau semua orang terburu-buru mengikuti Hek-coa-kauwcu menuruni puncak, ada dua orang wanita setengah tua turun tertatih-tatih lemas sambil menangis mereka tertinggal jauh sekali oleh orang-orang lain.
Tiba-tiba mereka berhenti melangkah dan terbelalak memandang seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Pemuda ini adalah Thian Liong. Dia menyaksikan semua yang terjadi. Sejak munculnya tiga orang pendeta tadi, dia sudah merasa curiga sekali. Apalagi setelah muncul Hek-coa-kauwcu yang menggunakan asap hitam tebal untuk muncul secara ajaib, lalu melihat betapa Hek-coa-kauwcu menggunakan sihir untuk membuat dua orang gadis itu menjadi penurut, hatinya sudah menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat yang berkedok agama sesat. Akan tetapi dia tidak segera turun tangan karena ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ketika dia melihat dua orang gadis itu benar-benar dilempar ke dalam sumur, dia terkejut. Tadinya dia mengira bahwa penjahat-penjahat itu akan mengambil dua orang gadis itu untuk mereka sendiri. Tidak tahunya mereka dilempar ke dalam sumur yang dinamakan "Pintu Istana Dewa Ular Hitam"! Dia menjadi ragu-ragu dan melihat dua orang wanita setengah tua itu pergi dengan lemas sambil menangis, dia cepat menghadang mereka.
"Jangan takut, Bibi!" katanya lembut melihat dua orang wanita itu memandang kepadanya dengan wajah ketakutan.
"Aku bukan penduduk sini, akan tetapi aku berniat menolong. Ceritakanlah mengapa kalian menangis?"
Melihat penampilan dan mendengar suara lembut Thian Liong, dua orang wanita itu tidak takut dan ragu-ragu lagi.
"Kami sedih karena dua orang gadis yang dikorbankan itu adalah puteri kami."
"Hemm, mengapa puteri kalian yang dikorbankan?"
"Karena anak-anak kami berdua itu termasuk cantik, dan juga karena kami sudah janda, maka kepala dusun dapat memaksa kami dua orang janda yang tidak berdaya untuk merelakan anak kami dijadikan korban."
"Akan tetapi apa yang terjadi? Siapakah Hek-coa-kauwcu itu dan mengapa para penduduk dusun menyerahkan anak gadis kalian sebakal korban kepada Dewa Ular Hitam? Siapa pula dewa itu?"
Secara bergantian, saling bantu dan saling melengkapi, dua orang janda itu bercerita. Dimulainya pada tiga bulan yang lalu. Tiga orang pendeta berpakaian hitam dengan gambar ular hitam di dada itu memasuki dusun dan memperkenalkan agama baru yang mereka namakan Hek-coa-kauw (Agama Ular Hitam) kepada mereka. Para pendeta itu mengatakan bahwa mereka menggunakan kuil tua di lereng bukit sebagai kuil mereka dan mereka mengundang para penduduk untuk bersembahyang ke kuil untuk mendapatkan bantuan berupa apa saja! Penyembuhan orang sakit, memperbanyak rejeki, mempermudah datangnya jodoh, meramal nasib dan sebagainya.
Para penduduk percaya, apa lagi setelah kabarnya banyak penduduk terkabul keinginan mereka. Dan yang lebih mengesankan, mereka melihat kemunculan ketua agama, yaitu Hek-coa-kauwcu secara gaib, melihat pula betapa ketua itu sakti dan pandai, semua orang semakin percaya dan tunduk. Kemudian mulailah Hek-coa-kauwcu, melalui tiga orang anak buahnya, mengajukan permintaan yang bukan-bukan.
"Mula-mula mereka minta agar korban berupa emas dan perak dihaturkan kepada Dewa Ular yang berdiam di puncak sebagai penjaga bukit. Kemudian mereka minta korban berupa ternak kerbau, kambing atau ayam, yang katanya perintah itu datangnya dari Dewa Ular Hitam.
"Kami percaya karena semua korban itu dilempar ke dalam sumur mengerikan itu!"
"Mengapa penduduk dusun menurut saja dan tidak menolak?" tanya Thian Liong heran.
"Mula-mula kami menolak, akan tetapi setiap kali ada satu permintaan tidak dipenuhi, pasti ada seorang penduduk yang tewas secara aneh, tanpa luka sedikit pun dan para pendeta itu mengatakan bahwa itu adalah kutuk dari Dewa Ular Hitam! Setelah ada lima orang yang tewas akibat penolakan kami, semua orang tidak berani lagi menolak. Bahkan ketika ada permintaan agar dikorbankan gadis-gadis cantik, tidak ada yang berani menolak. Sudah empat orang gadis dikorbankan, enam orang termasuk anak kami tadi." Dua orang janda itu menangis 1agi.
Thian Liong menekan hatinya agar jangan meledak kemarahannya. Sungguh jahat para penjahat yang menggunakan kedok agama baru itu! Harta benda dan hewan ternak para penduduk dusun yang hidupnya tak dapat dibilang berlebihan itu mereka minta dengan paksaan, bahkan enam orang gadis para penduduk dusun itu mereka ambil. Juga ada beberapa orang mereka bunuh untuk membuat para penduduk menjadi takut dan mulai menaati segala perintah para penjahat itu, memenuhi segala tuntutannya.
"Pulanglah, Bibi. Aku akan membebaskan anak-anak kalian dan membawa mereka pulang ke dusun kalian."
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat tubuh Thian Liong sudah lenyap dari depan dua orang janda itu. Mereka terbelalak, saling pandang, lalu menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih kepada Thian karena mereka merasa yakin bahwa Tuhan yang mengutus seorang dewa penolong untuk menyelamatkan dua orang anak mereka dan seluruh penduduk dusun!
Kemudian, setelah menghaturkan terima kasih, kedua orang janda ini berlari secepatnya pulang ke dusun mereka dan menceritakan kepada semua orang tentang pertemuan mereka dengan seorang dewa yang berjanji akan menolong dan memulangkan dua orang anak gadis mereka. Mendengar cerita ini, kepala dusun, lalu beramai-ramai melakukan sembahyang, menghaturkan terima kasih kepada Thian dan mendoakan semoga "pemuda dewa" yang akan menolong mereka itu akan berhasil membasmi Hek-coa-kauw yang jahat itu sehingga dusun mereka akan terbebas dari ancaman dan pemerasan pendeta itu.
Sementara itu, Thian Liong berlari cepat mendaki puncak itu dan setelah tiba di puncak, dia menghampiri lubang yang disebut sebagai pintu istana Dewa Ular Hitam! Dia melihat ke bawah. Gelap dan tidak tampak sesuatu karena bayangan batu-batu menutupi lubang itu sehingga gelap. Tadi, ketika dua orang gadis itu dilempar ke dalam sumur ini, tidak terdengar bunyi benda jatuh karena saat itu terdengar suara yang menggelegar dari bawah sehingga tentu saja suara itu menutupi semua suara lain yang keluar dari sumur itu.
Thian Liong mengambil sepotong batu dan melempar ke dalam sumur sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Pendengarannya sangat peka dan terlatih. Dalam waktu pendek dia mendengar suara, bukan berdebuknya suara batu jatuh di tanah, akan tetapi suara batu itu jatuh di tempat yang lunak karena yang tertangkap pendengarannya hanya suara "wutt!" yang lemah.
Mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, dia melayang ke dalam sumur sambil mencabut Thian-liong-kiam (Pedang Naga Terbang) untuk menjaga kalau kalau ada serangan menyambutnya. Akan tetapi serangan itu tidak ada, dan kakinya menyentuh tali temali. Cuaca di dasar sumur itu ternyata tidak terlalu gelap dan remang-remang dia dapat melihat bahwa dia hinggap di dalam kantung dari jala atau jaring terbuat dari tali yang kuat! Ah, kedua orang gadis itu tadi tentu tidak terluka dan terjatuh ke dalam jaring ini, pikirnya. Hemm, tidak salah dugaannya. Pelemparan korban ke dalam sumur itu hanya tipuan saja untuk mengelabuhi para penduduk dusun agar mereka percaya bahwa yang minta disediakan korban-korban itu benar-benar Dewa Ular Hitam penunggu bukit!
Akan tetapi Thian Liong mendengar langkah kaki mendatangi tempat itu. Ah, jaring ini pasti dihubungkan dengan suatu alat yang menggerakkan sesuatu yang menimbulkan suara atau tanda bahwa ada yang terjatuh ke dalam jaring. Dia mendengarkan dan tahu bahwa yang datang ada tiga orang. Dari langkah mereka itu dia dapat mengukur ilmu meringankan tubuh mereka. Memang lebih dari orang biasa, namun tidak berapa mengkhawatirkan bagi dia. Cepat dia menyarungkan pedangnya lalu menyembunyikan pedang itu di balik bajunya, diselipkan di balik baju di ikat pinggangnya. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan penjahat-penjahat itu.
Bersama dengan datangnya tiga orang itu, tampak sinar menerangi tempat itu. Ternyata seorang di antara mereka bertiga membawa sebatang obor yang bernyala terang. Thian Liong segera mengenal tiga wajah pendeta-pendeta yang tadi menyambut orang-orang dusun yang mengantar dua orang gadis ke kuil. Tiga orang tinggi besar yang memakai pakaian serba hitam dengan gambar ular hitam pada latar belakang lingkaran putih di dada.
Melihat bahwa yang terjatuh ke dalam jaring adalah seorang pemuda yang tidak mereka kenal, tiga orang itu mengerutkan alis dan dengan wajah beringas mereka mendekati Thian Liong yang seperti seekor ikan besar dalam jaring itu.
"Hei, siapa engkau?" seorang dari mereka membentak.
"Aku......?" Thian Liong bersikap ketakutan.
"Saya...... saya dimasukkan pintu istana Dewa Ular Hitam oleh penduduk dusun, dijadikan korban untuk menyenangkan hati Dewa yang mulia. Barang kali Dewa Ular Hitam membutuhkan seorang laki-laki sebagai pelayan."
"Hemm, boleh juga. Kita memang membutuhkan pelayan untuk disuruh-suruh," kata seorang dari mereka yang hidungnya besar seperti disengat tawon sehingga membengkak, kepada dua orang kawannya.
"Aaahh! Lebih baik kita bunuh saja orang lancang ini! Dia dapat membocorkan rahasia kita!" kata orang kedua yang kepalanya botak sehingga licin mengkilap ketika ditimpa sinar obor.
"Eh, kalian jangan tergesa-gesa mengambil keputusan seenaknya sendiri. Yang berhak mengambil keputusan adalah Gu-twako...... eh, Kauwcu. Mari kita bawa tawanan ini kepada Kauwcu, terserah kepadanya mau diapakan bocah ini. Mau di jadikan pelayan, atau dibunuh, kita tinggal melaksanakan. Kalau kita mendahului mengambil keputusan di luar tahunya, dia akan marah dan celakalah kita."
Dua orang yang lain membenarkan ucapan orang ketiga yang memakai jenggot pendek kaku seperti kawat dan matanya lebar. Mereka lalu melepaskan ikatan jaring sehingga Thian Liong terlepas dari jaring yang tergantung sekitar lima kaki (1,5 meter) dari tanah itu. Thian Liong membiarkan dirinya lemas sehingga dia jatuh berdebuk di atas tanah. Melihat betapa pemuda itu seorang lemah, maka tiga orang pendeta atau anak buah Hek-coa-kauw itu tidak merasa perlu untuk meringkus atau membelenggunya.
"Hayo jalan kau!" bentak Si Hidung Bengkak yang memegang obor sambil mendorong Thian Liong dengan tangan kiri. Tenaga dorongan itu cukup kuat dan tentu saja bagi Thian Liong tidak ada artinya. Akan tetapi dia pura-pura huyung, lalu dia melangkah maju memasuki terowongan yang jalannya menurun.
Diam-diam Thian Liong memperhitungkan. Terowongan itu cukup jauh, merupakan terowongan yang tingginya sekitar dua meter, lebarnya satu setengah meter. Hemm, kalau tidak salah perkiraannya, terowongan itu terus menurun menuju ke arah kuil! Setelah cukup jauh mereka berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas dan Si Hidung Bengkak memadamkan obornya karena ruangan itu terang, selain mendapat cahaya matahari yang datang dari bagian atas yang berlubang-lubang dan berbatu, juga di situ terdapat penerangan lampu-lampu gantung yang cukup banyak.
Memasuki ruangan yang luas itu, segera Thian Liong mendengar isak tertahan dari sebelah kiri. Dia menoleh dan melihat sebuah kamar yang pintunya berterali (memakai kisi-kisi) sehingga dia dapat melihat keadaan dalam kamar itu. Tampak ada empat orang gadis muda duduk di atas sebuah pembaringan dan keempatnya menangis tanpa suara, hanya terisak-isak. Wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan mereka kelihatan ketakutan dan berduka. Thian Liong teringat akan cerita dua orang janda bahwa selain dua orang gadis anak mereka, lebih dulu sudah ada empat orang gadis yang dijadikan korban dilempar ke dalam pintu istana Dewa Ular Hitam itu. Tentu inilah empat orang gadis yang dijadikan korban itu.
"Hayo jalan terus, jangan berhenti dan memandang ke mana-mana!" bentak Pendeta yang kepalanya botak sambil mendorong punggung Thian Liong sehingga pemuda itu terhuyung ke depan.
Setelah melewati ruangan itu, mereka tiba di sebuah ruangan lain dan dalam ruangan itu terdapat sebuah meja besar, empat buah kursi dan sebuah pembaringan besar. Di sudut terdapat dua buah bangku dan panaslah hati Thian Liong melihat betapa di setiap bangku rebah telentang seorang gadis yang kaki dan tangannya terikat pada bangku. Itulah dua orang gadis remaja yang tadi dilempar ke dalam sumur! Dua orang gadis itu juga menangis tanpa suara, tampak ketakutan dan tidak berdaya.
Thian Liong merasa lega karena dia dapat melihat bahwa dua orang gadis remaja yang baru saja ditawan itu belum terganggu. Kedatangannya tidak terlambat! Dia melihat seorang laki-laki raksasa yang tadi mengaku sebagai Hek-coa-kauwcu, duduk menghadapi meja yang besar di mana terhidang beberapa mangkok masakan dan seguci arak dengan cawannya. Dan di sudut ruangan itu Thian Liong melihat sebuah peti besar. Pasti itu tempat penyimpanan harta benda yang mereka dapatkan dari para penduduk, pikir Thian Liong.
"Hemm, bagaimana kalian dapat menangkap anjing ini?" Hek-coa-kauwcu itu bertanya sambil memandang rendah kepada Thian Liong.
"Dia terjatuh ke dalam jaring, Kauw-cu. Katanya dia memang dijadikan korban agar menjadi pelayan di sini," kata Si Kepala Botak.
"Bohong! Tidak mungkin penduduk dusun memberikan sesuatu yang tidak kita minta. Paksa dia untuk mengaku!" kata raksasa bermuka hitam itu.
"Berlutut kau!" bentak Si Hidung Besar sambil mendorong Thian Liong agar berlutut menghadap raksasa muka hitam itu. Akan tetapi sekarang setelah Thian Liong tahu bahwa gerombolan penjahat itu hanya terdiri dari empat orang itu, dia segera bertindak. Ketika Si Hidung Besar mendorongnya, tubuhnya sama sekali tidak terguncang dan dia cepat membalik, menangkap lengan orang yang mendorongnya dan sekali tarik dengan pengerahan tenaga, Si Hidung Besar itu yang roboh berlutut!
Melihat ini, dua orang kawannya, yaitu Si Botak dan Si Mata Lebar berjenggot menjadi marah. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka berdua menerjang Thian Liong sambil mencabut pedang yang tergantung di pungung mereka. Thian Liong cepat mengelak. Si Hidung Besar sudah bangkit pula dan dengan pedang di tangan dia pun mengeroyok Thian Liong.
Pemuda ini tidak mau memberi hati lagi. Tubuhnya bergerak cepat sekali sehingga yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat, kaki dan tangannya menyambar-nyambar dan terdengar teriakan tiga orang pengeroyok itu dan satu demi satu mereka roboh dengan tubuh terluka berdarah oleh pedang mereka sendiri. Ternyata Thian Liong dapat menangkap pergelangan tangan para pengeroyok yang memegang pedang dan membalikkan tangan itu sehingga pedangnya melukai si pemegang sendiri. Ada yang pundaknya terbacok, ada yang lengan kirinya terbacok, dan ada yang pedangnya meluncur ke bawah melukai paha sendiri. Tiga orang itu terpelanting dan mengaduh-aduh dengan bagian tubuh yang terluka itu bercucuran darah.
Hek-coa-kauwcu menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan main. Dia bangkit berdiri dan membuka lingkaran ular hitam yang melilit pinggangnya. Entah apa yang dilakukannya terhadap ular hitam itu karena tiba-tiba ular hitam itu mengangkat kepala tinggi-tinggi dan mengeluarkan suara mendesis-desis marah dan dari moncongnya menyambar uap kehitaman yang mengeluarkan bau amis!
Thian Liong maklum bahwa ular itu berbisa dan berbahaya sekali, maka sekaIi kakinya mencuat, meja yang berada di depan raksasa muka hitam itu ditendangnya sehingga meja itu melayang ke arah Hek-coa-kauwcu, didahului oleh mangkok-mangkok sayur, guci dan cawan arak! Akan tetapi ternyata raksasa muka hitam itu, biarpun memiliki tubuh tinggi besar dengan perut gendut, dapat bergerak dengan gesit sekali. Tubuhnya sudah mencelat ke kiri sehingga serangan meja itu tidak mengenai dirinya.
"Anjing kecil, mampus kau!" bentaknya dan sinar hitam menyambar leher Thian Liong. Itu adalah ular yang dipegang ekornya oleh Hek-coa-kauwcu dan diayun menyerang Thian Liong. Moncong ular itu terbuka siap menggigit leher pemuda itu. Akan tetapi dengan mudah saja Thian Liong menghindar dengan langkah kakinya, kemudian dari samping dia membalas dengan serangan kakinya yang mencuat dalam sebuah tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat ke arah perut gendut lawan. Hek-coa-kauwcu menggerakkan tangan kirinya yang besar dan panjang, mengerahkan tenaga menangkis ke arah kaki yang menyambar dengan maksud untuk memukul patah kaki lawan.
"Syuuuttt...... dukkk!!" Hebat sekali benturan antara kaki dan lengan yang besarnya berimbang dengan kaki Thian Liong. Seluruh ruangan itu seperti tergetar oleh pertemuan dua tenaga dahsyat itu dan akibatnya, tubuh Hek-coa-kauwcu terhuyung ke belakang dan lengannya yang menangkis terasa panas dan nyeri! Hek-coa-kauwcu menjadi semakin marah, juga dia menyadari bahwa pemuda itu bukanlah seorang korban seperti pengakuannya, melainkan seorang pendekar yang jelas hendak menentangnya.
Melihat bahaya mengancam dan tiga orang murid yang membantunya dalam aksi kejahatan yang berkedok agama baru Hek-coa-kauwcu itu kini telah terkapar dan terluka sehingga tidak dapat membantunya lagi, dia menjadi nekat. Akan tetapi, dia pun mencari jalan untuk dapat mempergunakan ilmu sihirnya, maka setelah adu tenaga tadi, dia berseru.
"Tahan dulu! Orang muda, jelas bahwa engkau bukan seorang penduduk dusun dan engkau sengaja datang hendak mengganggu kami! Katakan, siapa engkau?"
"Namaku Souw Thian Liong. Jangan katakan bahwa aku datang hendak mengganggu karena kalau bicara tentang gangguan, engkau dan tiga pembantumulah yang mengganggu penduduk dusun selama tiga bulan ini! Engkau dapat membodohi penduduk dusun tentang Dewa Ular Hitam itu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau telah membohongi rakyat. Aku datang untuk menghentikan kejahatanmu yang keji itu! Engkau bukan saja memeras rakyat untuk menyerahkan harta benda dan ternak mereka, akan tetapi juga mengganggu gadis-gadis mereka!"
Diam-diam Hek-coa-kauwcu membaca mantera, mengerahkan kekuatan sihir dalam pandang matanya, lalu membentak.
"Souw Thian Liong! Aku tidak berbohong. Lihat baik-baik, aku adalah penjelmaan Dewa Ular Hitam!"
Raksasa itu membuat gerakan dengan kedua tangannya ke arah Thian Liong, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis-desis dan mengalungkan ular hitamnya di leher. Kedua matanya mencorong dan mengandung getaran tenaga sihir yang amat kuat! Thian Liong kagum juga karena getaran tenaga sihir itu sedemikian kuatnya sehingga mendadak dia melihat betapa kepala laki-laki tinggi besar itu berubah menjadi kepala ular raksasa yang amat mengerikan!
Akan tetapi Thian Liong adalah murid Tiong Lee Cin-jin yang sakti dan yang tahu akan segala macam ilmu sihir yang berasal dari negara barat (India) dan tahu pula bagaimana untuk mengatasinya. Maka, melihat perubahan kepala itu, Thian Liong tersenyum tenang dan begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kepala raksasa itu pulih kembali seperti biasa.
Hek-coa-kauwcu tidak menyadari bahwa Thian Liong tidak terpengaruh oleh sihirnya dan mengira bahwa pemuda itu telah dapat dia pengaruhi, dia lalu berseru nyaring dengan suara memerintah.
"Souw Thian Liong, berlututlah engkau dan beri hormat kepada Hek-coa-sian (Dewa Ular Hitam)!"
Thian Liong dapat merasakan getaran kuat menyerangnya dan hendak memaksanya menjatuhkan dirinya berlutut. Akan tetapi dengan pengerahan tenaga dalamnya dia dapat menangkis serangan ini, bahkan dia tersenyum dan berkata suaranya lembut namun mengandung wibawa yang kuat.
"Hek-coa-kwi (Setan Ular Hitam)! kalau engkau ingin berlutut, berlututlah sendiri, tidak perlu mengajak aku!"
Tiba-tiba kedua kaki raksasa itu bertekuk lutut! Dia menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa akan begini jadinya! Baru dia menyadari bahwa pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh sihirnya, akan tetapi bahkan dapat menyerang balik sehingga dia sendiri yang berlutut. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya dengan cepat dan dia sudah melompat berdiri lalu melepaskan ular hitam itu dari lehernya, kemudian menyerang Thian Liong dengan ularnya yang dia pergunakan sebagai cambuk. Kepala ular itu menyambar dengan moncong terbuka. Akan tetapi dengan mudah Thian Liong dapat menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Ular itu menyambar-nyambar, mengeluarkan suara mendesis-desis dan bercuitan saking cepat dan kuatnya ular itu digerakkan tangan raksasa muka hitam itu. Thian Liong bergerak dengan tenang, mengelak ke sana-sini, berloncatan dan ketika dia mendapat kesempatan, kaki kirinya menendang.
"Bukk!" Perut gendut itu terkena tendangan. Raksasa yang nama aselinya Gu Pang itu melindungi perutnya dengan kekebalan sehingga tidak terluka dalam, namun tetap saja tubuh yang tinggi besar dan amat berat itu terlempar oleh tendangan itu sampai menabrak dinding!
Gu Pang mengeluarkan gerengan seperti seekor singa marah. Mukanya yang hitam menjadi semakin hitam karena darah telah naik ke kepalanya. Dia tidak menderita rasa nyeri, hanya kemarahan yang semakin berkobar. Dia bangkit berdiri dan kini dia memutar-mutar ular hitam itu di atas kepalanya. Thian Liong mengira bahwa Iawannya itu akan menyerangnya lagi dengan Ular hitam itu sebagai senjata. Akan tetapi ternyata tidak Gu Pang memutar-mutar ularnya, lalu tiba-tiba dia melepas ekor ular yang dipegangnya sehingga ular itu meluncur seperti sebatang tombak yang dilontarkan ke arah Thian Liong!
"Hemmm......!" Thian Liong dengan tenang menggeser kaki ke kanan, lalu ketika ular itu meluncur lewat, dia menggerakkan tangan kanan yang miring, memukul ke arah kepala ular itu.
"Prakk!" Ular itu terlempar menabrak dinding dan jatuh berkelojotan dengan kepala remuk.
Melihat ini, raksasa itu semakin kaget dan mulai gentar. Akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dan tiga orang pembantunya masih tidak berdaya, duduk dan merintih, dia menjadi nekat. Dicabutnya pedang dari punggungnya dan dengan lompatan buas dia menerjang ke arah Thian Liong, pedangnya diputar, menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar!
Melihat gerakan pedang orang itu cukup cepat dan kuat sehingga berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing, Thian Liong juga mengambil pedang Thian-liong-kiam dari balik bajunya.
Terjadilah pertandingan ilmu pedang yang seru. Sebetulnya, bagi Thian Liong, tingkat kepandaian lawannya itu tidaklah berapa kuat dan kalau dia menghendaki, dalam sepuluh jurus saja dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, Thian Liong tidak ingin membunuh lawan. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin, mengajarnya agar dia tidak membunuh lawannya, betapa jahat pun lawan itu. Sedapat mungkin dia harus berusaha untuk menyadarkan orang yang tersesat ke dalam jalan kebenaran. Kalau perlu mengalahkannya dengan kekerasan dan memberi hajaran agar bertaubat, akan tetapi dia dianjurkan oleh gurunya agar tidak membunuh orang. Maka, kini pun Thian Liong tidak mau membunuh Iawannya dan hanya ingin membuatnya tidak berdaya tanpa melukainya dengan parah. Karena laki-laki raksasa ini memang bukan lawan sembarangan, memiliki tenaga yang amat besar, maka tidaklah amat mudah bagi Thian Liong untuk merobohkannya tanpa melukainya dengan berat. Setelah lewat tigapuluh jurus, barulah Thian Liong berhasil mendapat kesempatan.
"Hyaaaatttt""!" Dia berseru dan ketika pedang lawan menyambar, dia menangkis dan dengan penggunaan tenaga sakti, dia membuat pedang lawan menempel pada pedangnya dan pada saat Hek-coa-kauwcu Gu Pang itu bersitegang mencoba untuk menarik lepas pedangnya, Thian Liong sudah memukul dengan tangan kirinya, mengenai pundak lawan.
Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Krek!" Tubuh Gu Pang terjengkang. Pedangnya terlepas dari tangan kanan yang menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main karena tulang pundak kanannya telah patah-patah oleh pukulan tangan kiri Thian Liong! Raksasa itu hanya dapat bangkit duduk sambil meringis dan merintih, memegang pundak kanan dengan tangan kirinya. Rasa nyeri yang menusuk membuat dia tidak mampu berdiri lagi.
Thian Liong tidak memperdulikan empat orang penjahat itu. Dia cepat membebaskan dua orang gadis remaja, juga membobol daun pintu kamar di mana empat orang gadis lain dikurung. Enam orang gadis remaja itu berkumpul dan mereka menjatuhkan diri berlutut kepada Thian Liong, menghaturkan terima kasih dengan suara gemetar dan tubuh menggigil ketakutan.
Tiba-tiba Thian Liong mendengar suara banyak orang di atas ruangan itu. Thian Liong memandang kepada enam orang gadis itu dan bertanya, "Di mana pintu jalan keluar tempat ini?"
Seorang di antara empat gadis yang sudah dua bulan dikurung di situ, menuding ke atas dan berkata, "In-kong (Tuan Penolong), mereka biasanya turun dari atas langit-langit itu dapat dibuka dan ditutup."
Thian Liong melompat ke atas dan menggunakan tangan memukul langit-langit ruangan itu yang tampak jelas terbuat dari papan kayu.
"Braakkkk......!" langit-langit itu jebol dan ternyata bahwa langit-langit itu, menembus sebuah bangunan dapur yang menjadi bagian bangunan sebelah belakang dari kuil tua! Kiranya inilah jalan rahasia para penjahat sehingga mereka dapat keluar masuk ruangan bawah tanah itu melalui lantai dapur yang dapat dibuka dan ditutup dengan menggunakan alat rahasia yang kini menjadi rusak karena langit-langit dari papan tebal itu dijebol dengan paksa oleh pukulan Thian Liong tadi!
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tampak banyak kepala menjenguk ke bawah. Itu adalah kepala para penduduk dusun yang ternyata telah berkumpul di kuil itu, seratus orang lebih banyaknya. Tadi mereka, dipimpin oleh kepala dusun yang mendengar laporan dua orang janda ibu dua orang gadis remaja yang dijadikan korban bahwa ada seorang manusia sakti seperti dewa hendak menolong, menjadi berani dan nekat. Berbondong-bondong mereka mendekati kuil itu dan melihat kuil itu kosong, mereka mengobrak-abrik kuil dan mencari-cari. Akan tetapi tiga orang pendeta itu tidak dapat mereka temukan.
Selagi mereka mencari-cari di bagian belakang, mereka mendengar suara pecahnya lantai dapur. Segera mereka menyerbu masuk dan menjenguk ke bawah lantai yang sudah jebol itu. Mereka melihat Thian Liong berdiri di situ bersama enam orang gadis, dan melihat pula tiga orang pendeta dan Hek-coa-kauwcu yang tinggi besar sudah duduk sambil merintih dan terluka. Orang-orang itu bersorak dan berbondong mereka turun menggunakan tali berebutan memasuki ruangan bawah tanah.
Melihat semua orang memasuki ruangan itu dan dengan beringas mereka itu menyerang empat orang penjahat dengan berbagai senjata yang mereka bawa, Thian Liong berusaha mencegah. Namun suaranya hilang ditelan suara begitu banyak orang. Dia melihat betapa empat orang penjahat itu minta-minta ampun, akan tetapi suara mereka segera berubah menjadi teriakan kesakitan yang makin lama semakin melemah. Suara mereka tertutup oleh suara orang-orang yang dengan geram memaki-maki dan senjata mereka berdebukan menghantami tubuh empat orang penjahat yang sudah tidak mampu melawan itu.
Thian Liong menghela napas. Dia tidak berdaya menolong nyawa empat orang itu karena para penduduk dusun memenuhi ruangan itu dan mereka seperti kesetanan menghujani tubuh empat orang penjahat itu dengan hantaman bermacam senjata yang mereka bawa dari rumah tadi. Ada yang menggunakan golok, pisau, linggis, sekop, tongkat, bahkan ada yang menggunakan cangkul untuk menghajar tubuh empat orang penjahat itu.
Karena tidak ada hal yang dapat dia kerjakan lagi dan dia tidak ingin repot karena penduduk dusun itu pasti akan menyanjung dan menghormatinya, Thian Liong menggunakan kesempatan selagi mereka berpesta pora itu, dia melompat naik melalui langit-langit yang sudah jebol lalu meninggalkan bukit itu dengan cepat, melanjutkan perjalanannya.
Ketika dia melewati dusun yang dikacau oleh empat orang penjahat yang menyamar sebagai pendeta Hek-coa-kauwcu itu, dia sedang dalam perjalanan menuju ke dusun Kian-cung di dekat Telaga Barat (See-ouw) karena dia ingin mengunjungi suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang sudah dikenalnya dengan baik. Dia harus menemui mereka, orang tua Han Bi Lan itu, untuk menjelaskan mengapa dia sampai menghajar Bi Lan dengan menampar pinggulnya selama sepuluh kali. Dia harus menceritakan hal itu kepada mereka untuk mencegah timbulnya kesalah-pahaman karena kalau Bi Lan lebih dulu bercerita kepada mereka, tentu dia akan dianggap kurang ajar, tidak sopan dan menghina seorang gadis!
Dengan melakukan perjalanan cepat, kurang lebih dua pekan kemudian tibalah dia di See-ouw (Telaga Barat) dan langsung saja dia memasuki dusun Kian-cung dan menuju ke rumah Han Si Tiong yang pernah dia kunjungi bersama Puteri Moguhai. Rumah itu tampak sunyi dan ketika Thian Liong menghampiri pintu depan, dari dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun. Dari pakaian dan sikapnya yang membungkuk dengan hormat, Thian Liong dapat menduga bahwa orang itu tentu seorang pelayan keluarga Han itu.
"Paman, saya ingin bertemu dengan Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Tolong laporkan bahwa saya, Souw Thian Liong, ingin bertemu."
"Maaf, Kongcu (Tuah Muda), rumah ini kosong, hanya ada saya yang bertugas menjaga rumah ini."
"Bukankah ini rumah keluarga Han?"
"Benar, Kongcu."
"Lalu ke mana perginya Paman Han Si Tiong?"
"Pendekar Han Si Tiong telah...... telah meninggal dunia."
Thian Liong terkejut dan memandang penjaga rumah itu dengan mata terbelalak.
"Meninggal dunia? Apa...... apa maksudmu, Paman?"
Laki-laki itu dengan tajam mengamati wajah Thian Liong, lalu bertanya, "Souw-kongcu (Tuan Muda Souw), apakah engkau masih ada hubungan dengan mendiang Han-enghiong (Pendekar Han)?"
"Saya bukan keluarga, akan tetapi sahabat keluarga Han, Paman, sahabat baik."
"Kalau begitu, masuk dan duduklah, Kongcu. Kita bicara di dalam saja," ajak penjaga rumah itu.
Setelah mereka duduk di ruangan depan, menghadapi sebuah meja kecil, penjaga rumah itu berkata.
"Perkenalkan, Kongcu. Saya biasa disebut A-siong, penduduk dusun ini semua mengenal saya. Ketika Toanio (Nyonya) meninggalkan rumah ini sebulan lebih yang lalu, ia menugaskan saya untuk menjaga rumah ini."
Thian Liong bertanya, tidak sabar lagi.
"Paman A-siong, cepat ceritakan apa yang telah terjadi? Bilakah Paman Han Si Tiong meninggal dan apakah penyakitnya sehingga dia meninggal dunia?"
"Sebulan yang lalu, menurut kabar beberapa orang tetangga dekat yang menyaksikan peristiwa itu sambil bersembunyi dan mengintai dari rumah mereka, Han-enghiong dan Toanio kedatangan dua orang muda, seorang pemuda dan seorang gadis datang berkunjung. Lalu Han-enghiong dan isterinya berkelahi melawan pemuda dan gadis itu. Para tetangga ketakutan dan bersembunyi sambil mengintai."
"Mengapa mereka berkelahi, Paman?"
"Saya tidak tahu, Kongcu. Tidak ada orang yang tahu karena tidak ada yang berani bertanya kepada Toanio. Keluarga Han amat disegani dan dihormati di sini. Dalam perkelahian itu, Han-enghiong roboh terluka parah dan Toanio juga terluka. Setelah Han-enghiong dan Toanio roboh, pemuda dan gadis itu melarikan diri. Toanio yang terluka pundaknya berusaha mengangkat tubuh Han-enghiong yang berlumuran darah, dibantu oleh Bibi Ji, pelayan mereka yang kini sudah pulang ke kampung semenjak Toanio pergi. Pada saat itu, datang seorang gadis yang ternyata adalah puteri Han-enghiong."
"Han Bi Lan?"
"Jadi Kongcu mengenalnya? Benar, Nona itu bernama Han Bi Lan. Kemudian Han-enghiong meninggal dunia karena lukanya yang parah, akan tetapi isterinya selamat. Beberapa hari kemudian, Nona Han Bi Lan dan Ibunya memanggil saya dan memberi tugas kepada saya untuk menjaga rumah mereka ini dan mereka berdua lalu pergi."
"Pergi ke mana, Paman A-siong?"
"Kalau saya tidak salah ingat, Han-toanio (Nyonya Han) berkata bahwa ia hendak pergi ke kota raja."
Thian Liong teringat akan peristiwa ketika dia bersama Puteri Moguhai, Han Si Tiong, dan Liang Hong Yi, berada di rumah Panglima Kwee Gi di kota raja. Ketika itu, Panglima Kwee dan isterinya mengajukan usul kepada Han Si Tiong dan isterinya untuk menjodohkan Han Bi Lan dengan putera mereka, Kwee Cun Ki, dan ayah-bunda Bi Lan setuju. Akan tetapi ketika itu dia sama sekali belum tahu bahwa Han Bi Lan adalah gadis yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu. Kalau dia mengetahui bahwa gadis pencuri kitab itu puteri mereka, pasti dia tidak akan menghukum Bi Lan dengan menampari pinggulnya sampai sepuluh kali.
Dan sekarang setelah Bi Lan kembali kepada orang tuanya, ia mendapatkan ayah ibunya terluka dan ayahnya lalu tewas! Sungguh kasihan gadis itu dan semakin menyesal rasa hatinya bahwa dia telah menampari pinggul gadis itu!
Kini, Bi Lan diajak ibunya pergi ke kota raja. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka pergi berkunjung ke rumah Panglima Kwee Gi. Dia sendiri tidak tahu apa sebabnya ketika berpikir sampai di sini, hatinya terasa hampa. Bi Lan hendak dijodohkan dengan Kwee Cun Ki! Hal itu baik sekali karena dia melihat bahwa Kwee Cun Ki adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, putera seorang panglima yang bijaksana, setia kepada Kaisar, dan terhormat pula. Ditambah lagi keadaan keluarga Kwee itu kaya raya. Bi Lan pasti akan hidup bahagia sebagai isteri Kwee Cun Ki, sebagai mantu Panglima Kwee Gi. Mengapa ada perasaan hampa dan perih dalam hatinya?
"Souw-kongcu, engkau tidak apa-apa?" tanya penjaga rumah itu ketika melihat Thian Liong sejak tadi diam saja seperti orang melamun dengan alis berkerut.
Thian Liong sadar dari lamunannya.
"Aku terkejut dan sedih mendengar akan kematian Paman Han Si Tiong karena dia itu sahabatku yang baik sekali. Paman A-siong, di manakah makamnya? Saya ingin mengunjungi makamnya."
"Oh, memang Han-enghiong seorang yang amat baik hati dan sudah sepatutnya kalau dikenang dan dikasihi sahabat-sahabatnya. Sayang ada juga yang memusuhinya sampai membunuhnya. Mari kuantar mengunjungi makamnya, Souw-kongcu."
Mereka keluar dan A-siong mengunci pintu depan, lalu berangkatlah mereka ke tanah kuburan yang tidak jauh letaknya dari dusun Kian Cung. Makam itu masih baru, karena belum ada dua bulan jenazah Han Si Tiong dikubur di situ. Tadi dengan petunjuk A-siong, Thian Liong telah membeli perlengkapan sembahyang dan di depan makam itu dia melakukan sembahyang dengan khidmat.
Sembahyangan itu dia lakukan bukan sekedar untuk memberi hormat kepada almarhum sahabat baiknya yang sudah sama-sama dengan dia menghadapi ancaman maut ketika melawan Perdana Menteri Chin Kui dan mereka ditahan dalam penjara istana. Akan tetapi diam-diam Thian Liong mendoakan untuk arwah Han Si Tiong semoga arwah pendekar itu akan mendapatkan tempat yang baik di alam baka. Selain itu juga diam-diam dia menceritakan tentang perlakuannya terhadap Bi Lan dan menceritakan mengapa dia sampai memukuli pinggul gadis itu! Setelah melakukan sembahyang, baru dia merasa lega dalam hatinya.
Setelah selesai sembahyang dan mengucapkan terima kasih kepada A-siong, Thian Liong lalu meninggalkan dusun Kian-cung.
Ketika tiba di tepi Telaga Barat, pemandangan dari tempat agak tinggi di mana dia berada, Thian Liong melihat pemandangan alam yang amat indah. Matahari amat cerahnya, sinarnya menimpa permukaan telaga sehingga berkilauan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi telaga tampak terbalik di permukaan air, namun lebih hidup daripada aselinya karena kalau pohon-pohon di darat itu diam tak bergerak karena tidak ada angin, pohon-pohon terbalik di permukaan air telaga itu bergoyang-goyang seperti menari-nari.
Dari tempat itu Thian Liong melihat betapa di sebelah kiri sana terdapat sebuah dusun di tepi telaga dan di dusun itulah tempat para tamu yang berdatangan dari luar daerah dan dari kota-kota besar berkumpul untuk pesiar di telaga yang terkenal itu. Banyak terdapat perahu-perahu di situ dan para pelancong dapat menyewa perahu. Perahu-perahu besar kecil yang di sewa pelancong berluncuran di atas telaga.
Kasih Diantara Remaja Eps 10 Kisah Si Naga Langit Eps 16 Kasih Diantara Remaja Eps 10