Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 16


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 16




"Apa? maksudmu, seorang puteri bangsawan kerajaan Kin?" tanya Ai Yin penasaran.

"Ya, aku melihatnya sendiri. Dia sekarang berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari sini dan dia telah menyewa kamar di sebuah penginapan bersama puteri bangsawan Kerajaan Kin itu."

"Tak tahu malu!" kata Ai Yin, hatinya ikut panas mendengar betapa pemuda yang telah mengalahkan sucinya dan menolak menikah dengan Kim Lan itu kini bergaul dengan seorang wanita Kin, bahkan bersama-sama menginap di sebuah rumah penginapan.

"Cia-twako, tolonglah tunjukkan tempatnya. Aku harus menemuinya untuk memenuhi sumpahku!" kata Kim Lan dengan muka berubah kemerahan karena hatinya juga mulai merasa panas.

Cia Song memang tidak berbohong. Dia melihat betapa Thian Liong berkenalan dengan Pek Hong Nio-cu. Biarpun dia sendiri tidak mengenal Pek Hong Nio-cu, akan tetapi dari pakaiannya dan dari keterangan orang di jalan yang dia tanyai, tahulah dia bahwa Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri bangsawan yang selain lihai silatnya, juga memiliki kekuasaan besar sehingga ditakuti dua orang pembesar di kota Leng-ciu itu.

Diam-diam dia membayangi dan melihat Thian Liong bergaul akrab dengan Pek Hong Nio-cu. Diam-diam dia sendiri juga kagum kepada gadis cantik jelita yang lihai itu. Pula, kedatangannya di daerah yang diduduki Kerajaan Kin juga bukan semata-mata hendak membayangi Thian Liong dan kalau mungkin dapat menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai yang katanya dicuri seorang gadis baju merah itu. Akan tetapi dia memiliki tugas pribadi yang teramat penting.

"Baiklah, aku akan mengantarkan kalian ke sana, akan tetapi kalian harus menaati petunjukku karena kalau tidak, keadaannya malah tidak menguntungkan, bahkan berbahaya sekali untuk kita semua. Ketahuilah, Souw Thian Liong seperti kalian sudah mengetahui, adalah seorang yang lihai sekali. Biarpun aku kiranya dapat dan mampu menandinginya, akan tetapi temannya itu, gadis bangsawan Kin itu, ia juga seorang yang lihai bukan main. Ia berjuluk Pek Hong Nio-cu dan memiliki ilmu kepandaian tinggi."

"Kami tidak takut!" kata Kim Lan.

"Biar kami hajar sekalian gadis kerajaan musuh itu!" kata pula Ai Yin.

"Wah, kalian ini agaknya sudah lupa berada di mana!" kata Cia Song sambil tersenyum.

"Kita berada di daerah yang dikuasai Kerajaan Kin, hal ini harus kalian ingat benar. Di mana-mana terdapat pasukan Kin. Kalau kita bentrok begitu saja melawan puteri bengsawan Kin itu, kemudian ia mendatangkan pasukan yang besar jumlahnya, celakalah kita!"

Dua orang gadis itu saling pandang dan baru menyadari kesalahan mereka.

"Habis, lalu apa yang harus kita lakukan, twako?" tanya Kim Lan, bingung.

"Nah, karena itu kukatakan tadi bahwa kalian harus menaati petunjukku. Kalian jangan tergesa-gesa turun tangan. Nanti kita memasuki kota Kiang-cu, kita menyewa kamar rumah penginapan, lalu aku akan menemui Thian Liong yang sudah kukenal baik. Aku akan membujuk dia agar dia mau menerimamu sebagai isterinya sehingga engkau tidak akan melanggar sumpahmu, Lan-moi. Kalau dia dapat kubujuk, maka segalanya menjadi beres. Kalau dia menolak, aku akan mencoba memancingnya keluar kota dan di tempat sunyi, tanpa ditemani Pek Hong Nio-cu, kita dapat memaksa dan menyerang dia."

"Kita?" Kim Lan bertanya.

"Ya, aku akan membantumu, Lan-moi. Kalau tidak, bagaimana kalian akan mampu mengalahkannya?"

Diam-diam Kim Lan berterima kasih sekali kepada Cia Song dan Ai Yin menjadi semakin kagum kepadanya. Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan menuju kota Kiang-cu yang jaraknya hanya belasan lie (mil) dari situ.

"Souw-sute (adik seperguruan Souw)"..!"

Mendengar seruan itu, Thian Liong yang bersama Pek Hong Nio-cu berjalan keluar dari rumah penginapan itu terkejut dan menengok.

"Eh, suheng (kakak seperguruan) Cia Song......!" Dia berseru heran sekali ketika mengenal Cia Song. Sejak dia diberi pelajaran ilmu silat dari kitab Sam-jong Cin-keng oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, Thian Liong diakui sebagai murid Siauw-lim-pai dan karena itu Cia Song menyebutnya sute (adik seperguruan) dan dia menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Cia Song.

Cia Song melangkah cepat menghampiri Thian Liong yang berdiri di samping Pek Hong Nio-cu. Gadis inipun memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada pemuda tampan gagah yang menegur Thian Liong sebagai sutenya.

"Aih, Souw-sute, senang sekali kejutan ini bagiku, bertemu denganmu di tempat ini!" kata Cia Song, kemudian seolah baru melihat Pek Hong Nio-cu yang berdiri di samping Thian Liong, dia menyambung ragu,

"dan...... maaf, kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona yang terhormat ini?"

Melihat di ruangan depan rumah penginapan itu terdapat tamu-tamu yang mulai memperhatikan mereka, Thian Liong segera berkata,

"Suheng, marilah kita bicara di dalam. Marilah Nio-cu." Ajaknya kepada Pek Hong Nio-cu. Mereka bertiga lalu memasuki rumah penginapan dan tak lama kemudian mereka bertiga memasuki kamar Thian Liong dan duduk berhadapan terhalang meja.

"Cia-suheng, lebih dulu perkenalkan. Ini adalah Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang terkenal di daerah ini. Nio-cu, ini adalah suheng Cia Song, murid suhu Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai."

Dengan sikap lembut dan hormat Cia Song bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu yang dibalas oleh Pek Hong Nio-cu dengan sikap anggun dan angkuh. Melihat sikap wanita itu, makin yakinlah hati Cia Song bahwa Pek Hong Nio-cu tentulah puteri seorang pembesar tinggi kedudukannya.

"Souw-sute, tidak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini. Engkau...... eh, kalau boleh aku bertanya, engkau dan nona Pek Hong Nio-cu hendak pergi ke manakah?"

"Saudara Cia Song tidak usah sungkan, sebut saja aku Nio-cu," kata gadis itu dengan sikap wajar. Kembali Cia Song mendapat kenyataan betapa dalam ucapannya itu gadis ini memiliki wibawa dan keanggunan yang amat kuat.

"Ah, terima kasih, Nio-cu," katanya.

"Cia-suheng, tentu engkau masih ingat bahwa kitab pusaka milik Kun-lun-pai dicuri orang""."

"Ah, pencuri wanita baju merah yang tidak kaukenal siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya itu?" sambung Cia Song.

"Benar, suheng. Aku hanya ingat bahwa gerakan silatnya memiliki dasar ilmu silat Tibet. Karena itu, aku hendak mencari ke daerah barat dan kebetulan Pek Hong Nio-cu ini juga hendak melakukan perjalanan ke perbatasan Sin-kiang, maka kami melakukan perjalanan bersama. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah suheng?"

"Ah, aku...... aku hanya hendak melihat-lihat keadaan di utara ini saja. Akan tetapi tiba-tiba aku mendapatkan suatu urusan yang teramat penting, yang menyangkut pribadimu. Aku".. hem, agaknya urusan ini hanya dapat kaudengarkan sendiri saja, sute......"

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Pek Hong Nio-cu bangkit berdiri dan berkata kepada Thian Liong,

"Thian Liong, engkau bicarakanlah urusan pribadimu dengan saudara Cia Song. Aku hendak keluar sebentar. Nanti kita bertemu lagi!"

"Maafkan aku, Nio-cu," kata Cia Song.

"Ah, tidak mengapa!" kata Pek Hong Nio-cu dan gadis ini segera melangkah keluar dari kamar itu.

Thian Liong mengerutkan alisnya, merasa tidak enak karena dia maklum bagaimana perasaan Pek Hong Nio-cu mendengar kata-kata Cia Song yang jelas hendak membicarakan sesuatu yang dirahasiakan bagi orang lain itu.

"Cia-suheng, sebetulnya ada apakah maka engkau bicara seperti ada rahasia besar?" tanya Thian Liong.

"Tentu saja Nio-cu menjadi tidak enak dan pergi meninggalkan kita."

"Maafkan aku, Souw-sute. Akan tetapi aku tidak mengada-ada. Memang ada hal yang harus kuberitahukan kepadamu seorang diri saja dan amat tidak enak kalau sampai terdengar orang lain, apa lagi oleh seorang gadis seperti Nio-cu tadi."

"Akan tetapi ada urusan apakah, suheng? Aku tidak merasa mempunyai urusan pribadi yang harus disembunyikan dari orang lain!" kata Thian Liong penasaran.

"Hemm, Souw-te, ingatkah engkau akan nama Kim Lan dan Ai Yin?"

"Kim Lan dan Ai Yin?" Thian Liong mengingat-ingat. Tentu saja mudah baginya mengingat dua nama gadis itu yang membuatnya penasaran setengah mati. Kim Lan dan Ai Yin pernah mengeroyoknya, bahkan dibantu guru mereka, Biauw In Su-thai, dan hendak memaksanya untuk menikah dengan Kim Lan! Sumpah aneh dan gila itu!

"Maksudmu...... dua orang murid wanita dari Biauw In Su-thai, tokoh Kun-lun-pai itu?"

"Hemm, ternyata engkau masih ingat dengan baik. Ya, mereka itu mencarimu dan ingin memaksamu menikah dengan Kim Lan dan kalau engkau tidak mau menjadi suaminya, mereka berdua hendak membunuhmu!"

"Hemm, sumpah gila itu? Aku sudah tahu, suheng, dan aku tidak perduli. Salah mereka sendiri kenapa mereka mau membuat sumpah gila itu? Aku tidak ingin menjadi suaminya Kim Lan atau suami siapapun juga. Biarkan saja mereka mengancam akan membunuhku. Bagaimanapun mereka berada jauh di Kun-lun-pai!"

Cia Song tersenyum.

"Siapa bilang mereka berada jauh di Kun-lun-pai? Mereka berada dekat sekali, sute. Mereka berada di sini, di kota ini!"

Thian Liong terkejut. Berita ini benar-benar mengejutkan, tidak pernah disangkanya.

"Di sini? Di mana mereka? Biar kutemui mereka dan akan kujelaskan, kusadarkan mereka bahwa sumpah mereka itu benar gila dan tidak ada artinya!"

"Sssttt, tenanglah, Souw-sute. Aku telah bertemu secara kebetulan dengan mereka. Mereka dikeroyok segerombolan penjahat dan aku kebetulan lewat dan membantu mereka. Mereka lalu menceritakan semuanya tentang urusan Kim Lan denganmu dan Kim Lan sudah mengambil keputusan nekad, yaitu mengajak engkau menikah dan kalau engkau tidak mau, ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu dan membunuhmu!"

"Aku tidak takut, Cia-suheng. Engkau bantulah aku menyadarkan mereka dari sumpah gila itu. Kalau mereka hendak mengeroyokku, aku dapat mengatasi mereka."

"Hemm, mudah saja kau bicara. Dan apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri?"

Thian Ltong terbelalak,

"Membunuh diri""?"

"Nah, ini agaknya yang kau tidak ketahui, Souw-sute. Kim Lan mengatakan kepadaku bahwa kalau engkau menolak. Ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu. Kalau mereka kalah, mereka akan membunuh diri di depanmu, karena kalau tidak, mereka juga akan dibunuh oleh guru mereka."

"Gila betul"..!!"

"Gila atau tidak, apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri? Berarti mereka mati karena engkau, sute. Sama saja dengan engkau yang membunuh mereka."

"Wah-wah, cialat (celaka) kalau begitu!" Thian Liong bingung.

"Lalu apa yang harus kulakukan, suheng?"

"Apa lagi? Ya harus menjadi suami Kim Lan, itu jalan yang paling aman."

"Aih, mana bisa begitu, Cia-suheng. Kalau setiap ada gadis mengancam bunuh diri kalau tidak dinikahi, bisa repot! Tolonglah, suheng, berikan aku nasihat, bagaimana sebaiknya yang harus kulakukan. Apakah tidak baik kalau kutemui mereka dan kubujuk dan nasihati agar mereka tidak usah memenuhi sumpah mereka yang gila-gilaan itu?" tanya Thian Liong yang benar-benar merasa bingung sekali.

Cia Song meraba-raba dagunya dan berpikir-pikir.

"Kukira itu tidak baik, sute. Engkaulah orang yang mereka cari. Kalau engkau yang menemui mereka dan menasihati, jelas mereka menganggap engkau terang-terangan menolak dan hal itu akan membuat mereka menjadi sakit hati dan lebih marah lagi. Soal membujuk dan menasihati mereka, kurasa aku akan lebih berhasil. Pertama, bukan aku orang yang mereka kejar, kedua kalinya, bagaimanapun juga mereka berhutang budi padaku."

"Dan aku? Bagaimana dengan aku? Apa yang harus kulakukan?"

"Hemm, tidak ada jalan lain, sute. Sebaiknya engkau cepat pergi meninggalkan kota ini. Jangan sampai mereka mengetahui bahwa engkau berada di sini. Jangan sampai mereka melihatmu! Lebih cepat engkau lari lebih baik, lebih jauh dari mereka lebih baik!"

"Begitukah, suheng? Hemm, agaknya memang sebaiknya begitu. Terima kasih, Cia-suheng, engkau telah menolongku!" kata Thian Liong dengan girang.

"Sudahlah, Souw-sute. Sekarang aku mau cepat menghampiri mereka dan akan kujaga agar mereka jangan meninggalkan rumah penginapan sehingga tidak akan bertemu denganmu. Akan tetapi, sore ini juga engkau harus meninggalkan kota ini."

"Baik, akan kuusahakan, suheng. Terima kasih!"

Cia Song segera meninggalkan rumah penginapan itu dan bergegas dia pergi ke rumah penginapan di mana dia dan kedua orang murid wanita Kun-lun-pai menyewa dua buah kamar, untuk dia dan untuk mereka berdua. Rumah penginapan itu berada di sudut kota Kiang-cu, jauh dari rumah penginapan di mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bermalam.

Tak lama setelah Cia Song pergi, muncullah Pek Hong Nio-cu. Ternyata gadis itu tidak pergi jauh, hanya duduk di rumah makan yang berada di depan rumah penginapan itu. Setelah ia melihat Cia Song pergi, cepat ia menemui Thian Liong.

"Thian Liong, biarpun Cia Song itu suhengmu, akan tetapi terus terang saja aku tidak suka padanya," kata Pek Hong Nio-cu sejujurnya.

"Eh, Nio-cu. Kenapa begitu? Dia memang bukan suhengku secara langsung, hanya karena kebetulan Hui Sian Hwesio melatih sebuah ilmu kepadaku, maka aku lalu dianggap sebagai sutenya. Akan tetapi, dia orang baik, Nio-cu, bahkan baru saja dia telah menolong aku keluar dari keadaan yang amat menyulitkan diriku."

"Hemm, kalau engkau juga hendak merahasiakan urusan besar dan penting pribadimu itu, tidak perlu kaubicarakan denganku!" kata Pek Hong Nio-cu ketus.

"Pendeknya aku tidak suka padanya, mungkin kata-katanya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu sopan, dan pandang matanya yang terkadang aneh. Aku tidak percaya orang itu, Thian Liong."

"Maafkan dia kalau tadi dia merahasiakan urusan itu, Nio-cu. Akan tetapi aku tidak perlu merahasiakannya kepadamu karena urusan itu aneh dan lucu dan juga terpaksa aku harus mengajak engkau untuk meninggalkan kota ini sekarang juga."

"Hemm, kenapa begitu?" Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.

"Nio-cu, mari kita bicara di dalam agar jangan terdengar orang lain." Thian Liong mengajak dan Pek Hong Nio-cu tanpa rikuh-rikuh lagi lalu mengikuti Thian Liong masuk kamar pemuda itu dan membiarkan daun pintu kamar terbuka sehingga mereka akan dapat melihat kalau ada orang mendekati kamar itu. Setelah mereka duduk, Thian Liong lalu menceritakan tentang sumpah Kim Lan pada subonya dan betapa sekarang Kim Lan, dibantu su-moinya yang bernama Ai Yin, mencarinya sampai ke kota Kiang-cu itu dan hendak memaksa dia mengawininya, kalau dia menolak, mereka akan mengeroyok dan membunuhnya!

"Hemm, dan engkau tidak mau menjadi suami Kim Lan itu?" tanya Nio-cu.

"Tentu saja aku tidak mau. Aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikatkan diriku dengan sebuah perjodohan. Kalau aku mau tentu aku tidak akan melarikan diri dari mereka."

"Dan engkau takut menghadapi pengeroyokan dua orang gadis itu? Apakah mereka lihai sekali?"

"Tidak, aku tidak takut. Kurasa aku dapat mengatasi mereka, Nio-cu," kata Thian Liong sejujurnya.

"Hemm, kalau begitu mengapa engkau harus cepat-cepat melarikan diri? Kalau mereka menyerangmu, lawan saja dan hajar perempuan-perempuan tidak tahu malu itu!"

"Ah, engkau tidak tahu, Nio-cu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Tadi suheng Cia Song memberi tahu bahwa Kim Lan sudah mengatakan kepadanya bahwa kalau ia dan su-moinya tidak dapat membunuhku, mereka akan membunuh diri di depanku."

"Perempuan-perempuan gila!" desis Pek Hong Nio-cu.

"Mereka itu terpaksa, Nio-cu. Mereka sudah bersumpah kepada guru mereka dan andaikata mereka tidak membunuh diri, merekapun akan dibunuh guru mereka sendiri."

"Huh, orang-orang gila! Mengapa engkau perduli amat? Kalau mereka mau bunuh diri, biarkan saja, bukan urusanmu!"

"Ah, bagaimana aku dapat membiarkan hal itu terjadi, Nio-cu? Kalau mereka membunuh diri karena tidak dapat mengalahkan aku, berarti mereka mati karena aku. Sama saja dengan aku yang membunuh mereka."

"Huh, habis apakah selama hidupmu engkau akan terus berlari-larian menjadi buruan mereka? Gila!"

"Tidak, Nio-cu. Suheng Cia Song sudah berjanji bahwa dia akan membujuk mereka untuk tidak melanjutkan pelaksanaan sumpah mereka itu."

"Perempuan dari manakah mereka itu? Begitu tidak tahu malu!"

"Mereka bukan perempuan sembarangan, Nio-cu. Mereka adalah murid-murid Kun-lun-pai dan subo merekalah yang gila, menyuruh mereka bersumpah seperti itu."

"Tidak perduli mereka itu murid partai mana, kelakuan mereka itu memalukan! Jadi engkau tetap akan melarikan diri meninggalkan kota ini sekarang?"

"Benar, Nio-cu. Terpaksa, maafkan aku."

"Tidak, aku tidak mau pergi sekarang!" kata wanita itu dengan suara tegas.

"Nio-cu, sekali ini harap engkau suka mengalah," pinta Thian Liong.

"Tidak, aku baru mau berangkat besok pagi-pagi. Kalau engkau takut bertemu mereka, malam ini tinggal saja di kamar, jangan keluar-keluar. Aku ingin sekali melihat orang-orang macam apa sih murid-murid Kun-lun-pai itu!"

"Aih, Nio-cu, harap jangan membuat gara-gara dengan mereka. Urusanku dengan mereka sudah cukup membuat aku pusing."

"Siapa mau cari gara-gara dengan mereka? Aku hanya ingin melihat macam apa mereka itu dan aku hanya mau pergi besok pagi-pagi. Terserah kalau engkau mau pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, dengan sikap marah Pek Hong Nio-cu meninggalkan kamar itu.

Thian Liong menghela napas dan menutup daun pintu kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Pikirannya pusing! Para wanita itu, selalu membikin pusing saja!

Mula-mula gadis baju merah. Lalu Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kemudian Kim Lan dan sekarang diapun pusing melihat sikap keras Pek Hong Nio-cu! Mengapa mereka semua keras kepala? Terpaksa dia mengalah kepada Pek Hong Nio-cu. Malam ini dia tidak akan keluar kamar. Dia akan bersembunyi saja di dalam kamarnya dan besok pagi-pagi berangkat meninggalkan kota Kiang-cu itu bersama Pek Hong Nio-cu. Puteri itu telah membeli seekor kuda untuknya dan dua ekor kuda mereka berada di kandang rumah penginapan.

Terpaksa dia juga tidak keluar untuk makan malam. Akan tetapi malam itu daun pintu kamarnya diketuk pelayan yang mengantarkan makanan dan minuman untuknya.

"Nio-cu yang memerintahkan untuk mengantar ini kepada sicu (tuan)," kata pelayan itu.

Thian Liong tersenyum dan kejengkelannya terhadap Pek Hong Nio-cu mereda. Puteri itu ternyata memperhatikan kebutuhan makannya juga. Akan tetapi malam itu dia tidak mau keluar kamar, khawatir kalau-kalau sampai ketahuan oleh Kim Lan dan Ai Yin.

Kembalinya Cia Song ke rumah penginapan disambut oleh dua orang gadis murid Kun-lun-pai dengan hati ingin tahu sekali. Apa lagi Kim Lan, ia segera menyongsong kedatangan Cia Song dengan pertanyaan yang dilakukan dengan hati berdebar tegang.

"Bagaimana, Cia-twako? Apakah engkau berhasil bertemu dia?"

Cia Song tersenyum dan mengangguk.

"Beres! Aku sudah bertemu dengan Souw Thian Liong dan setelah aku membujuk dan berbantahan dengan dia, akhirnya dia menyatakan bersedia bertemu denganmu, Lan-moi."

"Ah, dia mau menikah dengan suci, twako?" tanya Ai Yin girang.

"Dia tidak mengatakan begitu, akan tetapi dia bersedia mengadakan pertemuan dengan kalian untuk membicarakan hal itu baik-baik. Aku yakin akhirnya dia akan mau menerimanya juga."

"Mana dia sekarang, Cia-twako? Kenapa tidak datang bersamamu?" tanya Kim Lan tidak sabar karena ia ingin segera mendapat keputusan akan masa depannya.

"Dia tidak dapat datang sekarang seperti kukatakan kepada kalian, dia bersama puteri bangsawan Kin itu. Akan tetapi dia bilang bahwa malam ini dia pasti datang mengunjungi kalian. Karena itu, kalian siap saja menerima kunjungannya malam ini. Setelah berkata demikian, Cia Song mengajak dua orang gadis yang sudah mandi dan berganti pakaian itu untuk makan malam.

"Mari kita makan minum untuk merayakan keberhasilanku membujuk Souw Thian Liong!" katanya dan mereka memasuki rumah makan.

Pemuda itu memesan bermacam masakan dan arak wangi. Untuk menyenangkan hati Cia Song yang mereka anggap sudah menolongnya dengan sungguh-sungguh itu, Kim Lan dan Ai Yin memaksa diri ikut merayakan keberhasilan itu. Bahkan mereka tidak dapat menolak ketika beberapa kali Cia Song mengajak mereka minum arak sehingga setelah perjamuan makan itu selesai, dua orang gadis itu merasa agak pening karena pengaruh arak yang cukup keras. Wajah mereka menjadi kemerahan dan keadaan setengah mabok membuat mereka gembira dan mudah terkekeh senang. Dengan langkah agak tidak tetap kedua orang gadis itu lalu diajak kembali ke rumah penginapan oleh Cia Song.

"Sekarang kalian tunggu saja dalam kamar. Nanti kalau keadaan sudah agak sepi, tentu dia akan datang berkunjung. Sebaiknya pintu kamar kalian ditutup saja, jangan dipalang dari dalam sehingga kalau dia datang, aku mudah memberitahu kalian tanpa harus menggedor daun pintu. Maklum, Souw Thian Liong menghendaki agar orang lain tidak ada yang tahu akan persoalan dia dan kalian."

Dua orang gadis itu mengangguk, kemudian mereka memasuki kamar dan menutupkan daun pintu kamar tanpa memalangnya dari dalam. Pengaruh arak membuat mereka agak pening dan mengantuk. Mereka lalu merebahkan diri di atas pembaringan tanpa mematikan lilin besar yang bernyala menerangi kamar itu, dan tanpa membuka sepatu. Karena merasa yakin bahwa Cia Song tidak berbohong dan bahwa pemuda itu tentu menunggu kedatangan Souw Thian Liong dan akan memberitahu mereka, maka dua orang gadis itu berbaring dengan santai dan akhirnya tak kuasa menahan kantuk dan tertidur.

Cia Song memang tidak tidur. Dia duduk di dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar dua orang gadis itu.

Dia menelan sebutir obat pulung berwarna merah. Obat ini adalah obat penawar minuman keras sehingga minuman beberapa cawan arak di rumah makan tadi tidak mempengaruhinya dan dia tetap sadar. Tiba-tiba pendengarannya yang terlatih dapat menangkap suara lembut yang datangnya dari atas genteng. Dia terkejut dan menduga-duga. Benar-benarkah Thian Liong datang berkunjung? Kalau benar, gila orang itu. Bukankah dia sudah memesan agar Thian Liong segera melarikan diri meninggalkan kota Kiang-cu?

Dia tetap waspada dan segera menyelinap keluar lalu melompat ke atas genteng melalui bagian belakang. Dia akhirnya dapat melihat sesosok bayangan mendekam di atas kamar Kim Lan dan Ai Yin. Jantung Cia Song berdebar tegang. Benarkah Thian Liong datang berkunjung? Dan kalau benar dia yang datang, kenapa caranya seperti itu, mengintai dari atas dan membuka genteng seperti kelakuan seorang pencuri?

Dia hendak menegur dengan bentakan, akan tetapi ditahannya karena setelah dapat melihat lebih jelas, dia mendapatkan bahwa orang itu berpakaian serba putih dan ketika berjongkok, pinggulnya berbentuk bulat indah dan pinggangnya ramping. Seorang wanita! Ah, dia teringat sekarang. Bayangan itu tentulah Pek Hong Nio-cu, gadis bangsawan Kin itu! Mau apa dara itu datang seperti pencuri? Karena cuaca memang gelap, dia tidak melihat betapa Pek Hong Nio-cu melemparkan sesuatu ke dalam kamar dari lubang genteng yang dibuatnya.

Cia Song bergerak mendekati. Gerakannya itu agaknya terdengar oleh Pek Hong Nio-cu. Gadis ini cepat menutupkan kembali genteng yang dibukanya dan tubuhnya berkelebat cepat menghilang dari tempat itu.

Cia Song kagum melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dari gadis itu. Akan tetapi dia tidak melakukan pengejaran. Untuk apa? Dia mempunyai rencananya sendiri dan kemunculan orang tadi bahkan membantu rencananya. Tak lama kemudian, menjelang tengah malam setelah keadaan menjadi sunyi sekali dan dia yakin bahwa dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu tertidur dalam penantian mereka, dia menghampiri kamar itu, mendorong daun pintu terbuka, menggunakan sin-kang (tenaga sakti) dari jauh meniup padam lilin di atas meja, menutupkan daun pintu, memalangnya dari dalam, lalu berjingkat menghampiri pembaringan.

Kim Lan dan Ai Yin terbangun dan terkejut. Mereka hendak meronta, akan tetapi mereka hanya dapat menggerakkan kaki tangan dengan lemah sekali, tanpa tenaga. Jalan darah mereka telah tertotok secara lihai sekali sehingga mereka tidak mampu mengerahkan tenaga dan tubuh mereka menjadi lemas! Mereka hendak berteriak, akan tetapi dengan kaget mendapat kenyataan bahwa leher mereka telah tertotok sehingga mereka tidak mampu mengeluarkan suara! Keadaan kamar dan sedikit cahaya yang menerobos melalui celah-celah di atas jendela, yang datangnya dari sinar lampu di luar, hanya membuat keadaan dalam kamar itu remang-remang, namun terlalu gelap untuk melihat jelas.

Kemudian, dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati kedua orang gadis Kun-lun-pai itu ketika mereka berdua melihat bayangan seorang laki-laki dalam kamar mereka. Biarpun mereka tidak dapat melihat jelas wajah dan bentuk tubuh orang itu, namun mereka dapat melihat garis bayangan seorang laki-laki. Kemudian, bayangan itu mendekati mereka. Mereka hendak melompat dan meronta, namun hanya mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan lemah saja, tanpa tenaga.

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Dan ketika laki-laki itu menyentuh mereka, dunia bagaikan kiamat bagi dua orang gadis itu! Mereka tidak dapat melawan, tidak dapat menggunakan tenaga. Mereka hanya mampu menangis tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya air mata yang bercucuran dan akhirnya mereka jatuh pingsan. Terlalu ngeri malapetaka yang menimpa diri mereka sehingga tak tertahankan lagi. Sebelum ketidak-sadaran menyelimuti mereka, kedua orang gadis itu mendengar suara laki-laki itu berbisik sinis.

"Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?" Suara itu disusul tawa lirih laki-laki itu dan selanjutnya mereka tidak mendengar apa-apa lagi karena keduanya jatuh pingsan.

Kalau keadaan sudah terbalik, yaitu kalau manusia yang sesungguhnya menjadi majikan dari nafsu-nafsunya sendiri yang menjadi hamba atau pelayannya itu malah menjadi hamba dari nafsu-nafsunya maka segala macam perbuatan keji dan terkutuk dapat saja dilakukan manusia itu! Manusia terlahir di dunia memang sudah disertai nafsu-nafsunya sebagai pelayan, sebagai penggerak hidupnya, pendorong semangat dan memberi kemungkinan manusia menikmati kehidupannya di dunia.

Kita tidak mungkin dapat hidup wajar tanpa disertai nafsu-nafsu kita, alat-alat hidup atau hamba-hamba kita yang amat penting ini. Akan tetapi, kita sama sekali tidak boleh lengah. Iblis mengetahui bahwa kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, karena itu iblis mempergunakan nafsu-nafsu ini untuk menyeret kita ke dalam lembah dosa. Dengan umpan kesenangan-kesenangan duniawi, yang serba enak dan nikmat, maka nafsu-nafsu manusia berkobar dan dari keadaan sebagai hamba, nafsu berbalik menjadi majikan.

Manusia menjadi hamba, hidupnya sepenuhnya bergantung kepada ulah nafsu sehingga untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seperti yang dipamerkan dan dibisikkan iblis melalui nafsu akal pikiran, manusia tidak segan-segan melakukan apa saja. Rusaklah semua pertimbangan, patahlah semua ukuran manusiawi, dan manusia tiada ubahnya sebagai binatang yang hanya bergerak dalam hidup sebagai abdi nafsu-nafsunya sendiri.

Seperti juga nafsu lain, nafsu berahi merupakan nafsu alami yang murni, bahkan suci karena nafsu berahi selain menjadi puncak pernyataan rasa kasih sayang yang paling dalam, juga menjadi sarana perkembang-biakan segala mahluk hidup termasuk manusia. Tidak ada yang buruk atau kotor dalam nafsu ini. Akan tetapi ia akan menjadi buruk, kotor, busuk dan keji apabila ia telah menjadi alat iblis untuk menguasai manusia. Yang tadinya bersih murni seperti malaikat berubah menjadi kotor dan jahat seperti iblis! Kalau manusia yang diperhamba nafsu berahi, iblis menang dan si manusia melakukan segala hal yang amat keji seperti perjinahan, pelacuran, bahkan perkosaan!

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, begitu mereka dapat mempergunakan tenaga, kedua orang gadis murid Kun-lun-pai itu berloncatan turun dari pembaringan. Air mata mereka sudah terkuras habis sepanjang malam setelah mereka siuman dari pingsan. Tangis tanpa suara, bercucuran seperti hujan. Setelah dapat menggunakan tenaga dan dapat bersuara lagi, keduanya sambil terisak cepat membereskan pakaian mereka, kemudian sambil menahan jerit mereka saling berangkulan. Saling bertangisan dan menangisi nasib diri sendiri yang terkutuk!

"Jahanam Souw Thian Liong"..!" Ai Yin menangis tersedu-sedu namun menjaga agar supaya tangisnya jangan sampai terdengar orang.

"Lebih baik aku mati saja......!" Kim Lan tiba-tiba melompat ke dekat meja, mencabut pedangnya yang terletak di atas meja dan berniat menghabisi nyawanya sendiri.

Akan tetapi Ai Yin melompat dan merangkulnya, memegangi lengan yang memegang pedang.

"Tunggu suci. Kenapa engkau begitu bodoh? Kita harus membalas dendam ini! Kita harus membunuh iblis itu, baru boleh membunuh diri. Mari kita selidiki!"

Kim Lan teringat dan ia meletakkan pedangnya di atas meja. Wajahnya pucat sekali dan ia mengepal tinju.

"Engkau benar, su-moi. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuh iblis busuk Souw Thian Liong!"

Ai Yin sudah berdiri dekat jendela.

"Lihat, suci. Jendela ini dipaksa terbuka dari luar, kaitannya putus. Jahanam itu tentu masuk dan keluar dari jendela." Ia membuka daun jendela sehingga cahaya lampu kini menyinar ke dalam.

"Lihat, ini ada surat!" kata Kim Lan.

Ai Yin menghampiri. Kini setelah kamar agak terang oleh sinar lampu dari luar jendela, mereka melihat sehelai kertas bersurat di atas meja, tertancap sebilah pisau runcing. Keduanya lalu membaca kertas itu.

"Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu! Memaksa seorang menjadi suaminya. Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?"

Demikian bunyi surat itu, tanpa tanda tangan. Kim Lan hendak meremas surat itu, akan tetapi Ai Yin berkata,

"Jangan merusak surat itu, suci. Itu dapat kita jadikan bukti dan kita perlihatkan kepada para suhu dan subo di Kun-lun-pai!"

Kim Lan lalu melipat dan menyimpan surat itu.

"Sekarang mari kita cari Cia-twako! Barangkali dia mengetahui sesuatu tentang jahanam itu!" kata Kim Lan.

"Benar juga," kata Ai Yin.

"Kenapa Cia-twako tidak memberi tahu kita tentang kedatangan jahanam itu?"

"Mungkin dia tidak tahu. Bukankah jahanam itu datang masuk dan keluar melalui jendela? Mari kita tanya Cia-twako!" Dua orang gadis itu setelah membereskan pakaian mereka lalu bergegas keluar dan mengetuk daun pintu kamar Cia Song.

Karena dua orang gadis itu mengetuk pintu dengan gencar, Cia Song terkejut dan ketika dia membuka pintu, dua orang gadis itu melihat wajah yang pucat dan rambut pemuda itupun kusut.

"Eh, Lan-moi dan Yin-moi, ada apakah......?" tanyanya dengan kaget.

"Cia-twako, apakah engkau melihat dia?" tanya Kim Lan yang matanya masih merah dan bengkak, seperti juga mata Ai Yin karena keduanya terlalu banyak menangis.

"Ah, maksudmu Souw Thian Liong? Hemm, keparat itu tidak memegang janji. Dia tidak jadi datang, bukan? Semalam aku sempat melihat dia."

"Di mana? Di mana engkau melihat dia, twako?" tanya Ai Yin.

"Semalam aku mendengar suara di atas genteng. Aku naik ke atas dan melihat sesosok bayangan di atas genteng, tepat di atas kamar kalian. Akan tetapi begitu melihatku, dia menutup kembali genteng lalu pergi menghilang dalam gelap. Dia tidak jadi berkunjung kepada kalian, bukan?"

Dua orang gadis itu saling pandang dan keduanya merasa yakin bahwa yang dilihat Cia Song itu pastilah Souw Thian Liong yang kemudian berhasil memasuki kamar mereka, menotok mereka sehingga mereka tidak berdaya lalu melakukan kekejian terkutuk terhadap mereka.

"Eh, kenapa kalian....... heran, kalian begini pucat dan....... mata kalian itu. Kalian habis menangis? Apakah yang telah terjadi, Lan-moi dan Yin-moi?"

Melihat dua orang gadis itu tampak kebingungan dan seperti hendak menangis lagi, Cia Song berkata,

"Mari, kita masuk saja dan bicara di dalam." Dua orang gadis yang juga khawatir kalau ada orang lain melihat keadaan mereka itupun tidak membantah dan memasuki kamar Cia Song. Mereka duduk di sekeliling meja dan kembali Cia Song bertanya.

"Sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Kalian tampak begitu pucat, bingung dan menangis. Ada apakah?"

Dua orang gadis itu kini tidak dapat menahan lagi tangis mereka. Mereka menangis sesenggukan dan menahan agar tidak bersuara. Kim Lan mengeluarkan lipatan kertas dan menyerahkannya kepada Cia Song tanpa berkata-kata.

Cia Song membaca tulisan di surat itu dan alisnya berkerut.

"Jahanam busuk! Berani dia menghina kalian dengan mengirimkan surat ini kepada kalian?" kata Cia Song dengan nada suara marah sekali.

"Bukan hanya itu, twako," Ai Yin berkata sambil menangis.

"Lebih celaka lagi......"

"Apa maksudmu, Yin-moi? Apa yang terjadi?" tanya Cia Song.

"Dia...... dia memasuki kamar kami dari jendela".. dan....... dan dia telah memperkosa kami......."

Cia Song melompat bangun.

"Apa?? Dan kalian tidak melawan?"

"Bagaimana kami dapat melawan? Dia telah lebih dulu menotok kami sehingga kami tidak mampu melawan, tidak mampu berteriak""" kata Kim Lan.

"Dan surat ini?" tanya Cia Song.

"Dia tinggalkan surat di atas meja, ditusuk dengan pisau ini," kata Kim Lan, mengeluarkan pisau runcing yang disimpannya. Cia Song mengamati pisau itu.

"Hemm, kalian melihat dia?"

"Lilin dipadamkan, keadaan dalam kamar gelap, hanya remang-remang kami melihatnya." kata Ai Yin.

"Begaimana kalian dapat yakin bahwa dia adalah Souw Thian Liong?" desak Cia Song.

"Kami yakin dia itu jahanam Souw Thian Liong. Dia bahkan mengaku sendiri," kata Kim Lan gemas.

"Mengaku? Bagaimana dia mengaku?" kejar Cia Song.

"Dia berbisik "Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?" begitulah bisiknya lalu dia tertawa. Iblis jahanam terkutuk itu. Aku harus membunuhnya!" kata pula Kim Lan penuh dendam.

"Keparat busuk! Betapa keji dan jahatnya dia! Ah, kalau saja aku tahu dia begitu jahat! Lalu, apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Cia Song.

"Kami akan laporkan penghinaan ini kepada suhu dan subo di Kun-lun-pai. Penghinaan ini bukan hanya urusan pribadi, melainkan sudah menghina pula Kun--lun-pai!" kata Ai Yin.

"Benar sekali itu! Aku juga akan melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ini kepada suhu di Siauw-lim-pai. Bagaimanapun dia sudah diakui sebagai murid Siauw-lim-pai, maka berarti dia telah mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Jangan khawatir, kelak aku yang akan menjadi saksi tentang kejahatannya itu, Lan-moi dan Yin-moi!" kata Cia Song penuh semangat.

"Terima kaslh, Cia-twako. Dengan bukti surat ini, kesaksian kami berdua dibantu kesaksianmu, semua orang tentu percaya. Jahanam busuk itu harus membayar kejahatannya!" kata Kim Lan.

"Kelau begitu, sekarang klta saling berpisah, Lan-moi dan Yin-moi. Aku akan pergi melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ke Siauw-lim-pai, sedangkan kalian kembali ke Kun-lun-pai untuk melaporkan kepada para guru kalian," kata Cia Song.

Dua orang gadis itu menerima baik usul ini dan pada pagi hari itu juga, mereka saling berpisah. Kim Lan dan Ai Yin melakukan perjalanan ke Kun-lun-pai. Mereka menanggung derita batin yang hebat, dan gairah hldup mereka hanya terdorong oleh keinginan membalas dendam kepada Souw Thian Liong.

Cia Song memasuki kota Ceng-goan yang merupakan kota besar kedua setelah kota raja Peking di sebelah utaranya. Tanpa ragu-ragu dia memasuki halaman sebuah gedung besar yang berada di ujung barat kota. Dua orang perajurit Kin keluar dari gardu penjagaan dan menghadangnya. Cia Song tersenyum, mengeluarkan sebuah kartu merah dari saku bajunya dan memperlihatkan kepada mereka. Dua orang perajurit itu memberi hormat dan mempersilakan Cia Song masuk ke ruangan depan gedung besar itu. Seorang perajurit lain menyambutnya dan setelah melihat kartu merah yang diperlihatkan Cia Song, perajurit itu lalu mengantarkan Cia Song memasuki sebuah ruangan tamu di sebelah kanan depan gedung itu. Kemudian perajurit itu melaporkan ke dalam.

Cia Song memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah sekali. Dia memandang kagum kepada hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan tulisan bersajak. Tak lama kemudian dua orang muncul dari pintu sebelah dalam. Cia Song cepat memutar tubuh dan setelah berhadapan dengan mereka, dia cepat memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam dan merangkap kedua tangan di depan dada kepada seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagai seorang bangsawan tinggi bangsa Kin.

"Hamba mohon beribu ampun kalau berani datang menghadap tanpa paduka panggil sehingga mengganggu waktu paduka yang amat berharga, Pangeran."

Laki-laki berpakaian bangsawan tinggi itu bertubuh tinggi kurus dan pakaiannya mewah, usianya sekitar limapuluh tahun, wajahnya tampan namun tampak licik dan cerdik pada pandang mata dan senyumnya yang khas. Jenggotnya panjang dan kumisnya dicukur pendek. Jari-jari tangannya berkuku panjang terpelihara. Dia adalah Pangeran Hiu Kit Bong, kakak dari kaisar Kerajaan Kin yang berkedudukan tinggi karena sebagai kakak tiri kaisar yang terlahir dari ibu selir, dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan dan juga Penasihat kaisar.

Gedung di kota Ceng-goan merupakan rumah peristirahatannya dan sering kali Pangeran Hiu Kit Bong ini beristirahat di gedungnya itu, meninggalkan kota raja yang bising di mana dia sibuk dengan tugas-tugasnya. Adapun orang kedua yang muncul bersamanya berpakaian sebagai seorang panglima perang, usianya sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, tampak bertubuh kuat.

"Ah, Cia-sicu (orang gagah Cia), selamat datang. Kami girang menerima kunjunganmu. Silakan duduk, sicu!" kata Pangeran Hiu Kit Bong dengan ramah. Mereka bertiga lalu duduk mengelilingi sebuah meja besar.

"Cia-sicu lebih dulu perkenalkan. Ini adalah panglima Kiat Kon seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Dan Kiat-ciangkun, inilah sicu Cia Song, orang kepercayaan yang menjadi utusan rahasia Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung Selatan." Pangeran itu memperkenalkan.

Cia Song cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada panglima tinggi besar itu.

"Terimalah hormat saya, ciangkun. Sudah lama saya mendengar dan mengagumi nama besar ciangkun!"

Jenderal tinggi besar itu tersenyum, senang melihat sikap Cia Song yang demikian ramah.

"Ha-ha, terima kasih, Cia-sicu. Akupun sudah banyak mendengar tentang jasamu. Silakan duduk!"

Cia Song duduk kembali. Seorang pelayan masuk membawa minuman sehingga percakapan mereka terhenti. Setelah pelayan pergi, Pangeran Hiu Kit Bong bertanya kepada Cia Song.

"Cia-sicu, kabar apa yang kaubawa dari selatan? Kalau engkau datang barkunjung secara tiba-tiba begini, tentu engkau membawa berita penting sekali."

Cia Song yang menjadi murid yang disayang oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, yang dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai itu, ternyata memiliki peran ganda dalam hidupnya. Di satu pihak, umum mengenalnya sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai yang suka membela kebenaran dan keadilan, sebagai murid Hui Sian Hwesio. Akan tetapi di lain pihak, secara rahasia dan sama sekali tidak diketahui, bahkan tidak pernah disangka oleh para golongan bersih, diam-diam Cia Song telah berguru kepada Ali Ahmed, seorang datuk bangsa Hui yang berasal dari Mongolia Dalam.

Dengan ilmu-ilmu yang dlpelajarinya dari datuk bangsa Hui itu, yaitu ilmu silat dan sihir, Cia Song menjadi semakin lihai. Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak pernah dia menonjolkan atau memperlihatkan ilmu-ilmu asing itu. Hanya dia pandai memasukkan tenaga-tenaga yang dahsyat dari ilmu barunya ke dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang dikuasainya, pandai menggabung ilmu-ilmu dari Ali Ahmed dengan ilmu silatnya sendiri sehingga tidak kentara bahwa dia mempergunakan ilmu yang asing. Dan mulailah dia dikenalkan oleh Ali Ahmed kepada Pangeran Hiu Kit Bong.

Pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba nafsu, orang-orang yang selalu hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan daging dan dunia, menyeret Cia Song ke lembah hitam. Dia sudah mengesampingkan pelajaran tentang ke-bajikan yang dulu dia pelajari dari Hui Sian Hwesio dan mulailah dia menjadi hamba nafsunya, sering melakukan perbuatan-perbuatan yang sesat.

Bahkan dia kemudian oleh pergaulan itu diperkenalkan kepada Perdana Menteri Chin Kui yang bersekutu dengan Kerajaan Kin, yang telah mempengaruhi Kaisar Sung agar berbaik dengan Kerajaan Kin, bahkan tidak segan-segan Kaisar Sung mengirim upeti sebagai tanda damai dengan Kerajaan penjajah itu! Sebentar saja Cia Song telah menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dan menjadi utusan rahasia. Tidak ada yang tahu kecuali para sekutunya bahwa Cia Song telah menjadi antek perdana menteri korup yang telah mempengaruhi dan menguasai kaisar Sung itu!

Mendapat pertanyaan dari Pangeran Hiu Kit Bong, Cia Song mengangguk-angguk. Kini terjadi perubahan besar dalam hubungan gelap antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kaisar Kerajaan Kin. Karena Kaisar Kerajaan Kin mulai tidak percaya kepada Perdana Menteri Chin Kui, maka diam-diam timbul kerenggangan. Dalam keadaan seperti itu, terjalinlah persekutuan antara Perdana Menteri Chin Kui dengan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran ini sudah lama merencanakan hendak menggulingkan Kaisar Kin, yaitu adik tirinya dan menduduki tahta kerajaan Kin sendiri! Untuk itu, dia sudah menghimpun tenaga di kota raja Peking, bersekutu dengan beberapa orang perwira yang dipimpin oleh Jenderal Kiat Kon.

Jenderal ini hanya memperoleh kedudukan yang paling rendah di antara jajaran para panglima. Karena inilah maka dia tergiur oleh bujukan Pangeran Hiu Kit Bong yang menjanjikan kedudukan Panglima tertinggi kepadanya kalau usaha mereka merebut tahta kerajaan berhasil. Bahkan Pangeran Hiu Kit Bong mengadakan persekutuan gelap dengan Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung Selatan melalui Cia Song yang lebih dulu mengenal Pangeran Hiu Kit Bong.

"Berita dari selatan yang hamba bawa kurang begitu menggembirakan, Pangeran. Saat ini banyak para pendekar mulai memperlihatkan sikap menentang Perdana Menteri Chin Kui secara berterang. Semua ini sesungguhnya disebabkan kekeliruan Perdana Menteri sendiri yang dulu tergesa-gesa mengusahakan pembunuhan terhadap Jenderal Gak Hui. Akibatnya, para pendekar dan juga banyak pejabat tinggi yang menghormati dan kagum kepada Jenderal Gak Hui, merasa sakit hati kepada Perdana Menteri Chin Kui. Hal ini bukan saja menyurutkan pengaruhnya, bahkan juga Sribaginda mulai berubah sikapnya terhadap Perdana Menteri."

Mendengar laporan ini, Panglima Kiat Kon berkata dengan suaranya yang besar parau.

"Ah, mudah saja itu! Kenapa pusing-pusing? Bukankah Perdana Menteri Chin Kui mempunyai banyak jagoan yang lihai? Suruh saja para jagoannya itu bertindak dan membunuhi mereka yang menentangnya. Habis perkara!"

"Hemm, tidak begitu mudah, ciangkun. Di antara para pendekar itu terdapat banyak orang yang lihai," kata Cia Song.

"Ah, memang repot menghadapi ahli-ahli silat petualang itu!" kata Pangeran Hiu Kit Bong.

"Kami sendiri di sini pusing oleh seorang puteri yang pandai ilmu silat. Ilmu silatnya tinggi dan puteri itu benar-benar merupakan batu sandungan bagi kami. Kalau ia berada dekat dengan ayahnya, yaitu Sribaginda, akan sukarlah untuk mengganggu Sribaginda."

Diam-diam Cia Song menjadi heran. Seorang puteri raja Kin memiliki ilmu silat tinggi?

"Siapakah puteri itu, Pangeran? Hamba tertarik sekali mendengar bahwa ada puteri Sribaginda Raja Kin amat lihai ilmu silatnya."

"Namanya Puteri Moguhai. Akan tetapi kami kira nama itu tidak ada artinya dan tidak terkenal bagimu. Akan tetapi ada julukannya yang lain dan mungkin saja engkau pernah mendengar nama julukan itu. Puteri Moguhai adalah Pek Hong Nio-cu. Pernahkah engkau mendengar nama itu?"

"Ohhh""!" Cia Song terkejut. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Pek Hong Nio-cu yang pernah dilihatnya itu adalah Puteri Moguhai, puteri Raja Kin! "Jadi Pek Hong Niocu itu Puteri Moguhai, puteri Sribaginda Kerajaan Kin?"

"Nah, engkau mengenalnya, Cia-sicu. Gadis itu sungguh membuat kami pusing. Ia bahkan pernah menghajar beberapa orang pejabat yang menjadi pembantu--pembantuku. Ia tidak takut siapapun dan ini tidak aneh karena ia memegang pe-dang emas dari Kaisar sebagai tanda kekuasaan. Tidak ada pejabat yang berani menentangnya karena sebagai pemilik pedang emas, ia mewakili kehadiran kaisar sendiri. Dan beberapa kali ia memperlihatkan sikap tidak suka dan menentangku. Kalau gadis itu tidak dibinasakan, kelak ia akan menjadi penghalang besar bagi gerakan kita bersama."

"Ah, hamba tahu di mana adanya Pek Hong Nio-cu, Pangeran! Belum lama ini hamba bertemu dengannya. Ia sedang melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang hamba kenal. Mereka sedang menuju ke barat, hamba bertemu dengan mereka di kota Kiang-cu."

"Hemm, menuju ke barat. Ah, tidak salah lagi. Puteri Moguhai tentu akan berkunjung ke perbatasan Sin-kiang di mana adik tiriku, Pangeran Kuang, menjadi komandan pasukan yang menjaga di tapal batas barat. Wah, harus dicegah! Moguhai tentu mempunyai maksud tertentu hendak menghubungi Pangeran Kuang dan ini berbahaya. Pangeran Kuang merupakan orang yang amat setia kepada Sribaginda. Cia-sicu, maukah engkau membantu kami?"

"Tentu saja, Pangeran. Bukankah selama ini hamba membantu paduka dan Perdana Menteri Chin Kui?"

"Ya, kami menghargai semua bantuanmu, Cia-sicu. Akan tetapi permintaan bantuan kami kali ini istimewa, penting dan juga berat. Yaitu maukah engkau mengejar dan membunuh Puteri Moguhai yang berarti akan melancarkan jalannya semua rencana kami?"

Cia Song terkejut bukan main. Kalau dia disuruh membunuh orang lain, tentu akan segera dia sanggupi dan baginya merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sukar dilaksanakan. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu? Dia belum tahu sampai di mana kelihaian gadis yang kecantikannya pernah membuat dia tergila-gila begitu melihatnya itu. Akan tetapi ketika Pek Hong Nio-cu berada di atas genteng penginapan, ketika gadis itu melemparkan surat dan pisau ke atas meja Kim Lan dan Ai Yin, dia melihat gerakan Pek Hong Nio-cu ketika melarikan diri begitu cepat dan ringan. Harus diakui bahwa gadis bangsawan itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan mungkin saja ilmu silatnya juga lihai sekali.

"Bagaimana, Cia-sicu? Sanggupkah engkau?" Pangeran Hiu Kit Bong mendesak.

Cia Song menghela napas panjang lalu menjawab,

"Tugas itu berat sekali, pangeran."

"Hemm, engkau hendak mengatakan bahwa engkau merasa jerih kepada Puteri Moguhai?" tanya pangeran itu.

"Sama sekali tidak, Pangeran. Mungkin ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi hamba tidak takut kepadanya. Akan tetapi, hamba melihat bahwa Pek Hong Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda, dan pemuda inilah yang merupakan lawan yang amat berat karena hamba sudah mengenalnya dan tahu betapa tangguhnya dia."

"Hemm, siapakah pemuda itu?" tanya Pangeran Hiu Kit Bong dengan alis dikerutkan.

"Namanya Souw Thian Liong, Pangeran. Dia adalah murid Tiong Lee Cin jin."

"Cia-sicu jangan takut. Kami tidak ingin engkau turun tangan seorang diri. Kami selalu ingin keyakinan bahwa kami pasti berhasil sebelum melakukan sesuatu. Kami akan mempersiapkan sebuah pasukan khusus, pasukan istimewa terdiri dari dua losin orang yang dipimpin oleh lima orang jagoan kami yang lihai dan boleh diandalkan kemampuannya. Mereka bukan saja pandai ilmu silat dan amat tangguh, akan tetapi juga merupakan ahli-ahli mengatur siasat pertempuran. Dengan bantuan mereka, engkau tidak perlu ragu dan khawatir. Pasti rencana kita berjalan dengan baik dan lancar."

Cia Song sudah tahu benar betapa tinggi ilmu kepandaian Thian Liong. Bahkan pemuda itu masih menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng dari Hui Sian Hwesio, hal yang membuat dia merasa iri hati sekali. Dan walaupun dia belum mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu, dia dapat menduga bahwa gadis itu pasti bukan lawan yang mudah dikalahkan. Karena itu, untuk memperoleh keyakinan, dia harus menguji dulu sampai di mana kelihaian lima orang jagoan yang hendak diperbantukan padanya itu. Sedikitnya lima orang pembantu itu harus mampu menandinginya, barulah bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan akan ada artinya.

"Maaf, pangeran. Akan tetapi siapakah lima orang jagoan yang akan diperbantukan kepada hamba itu? Hamba tetap merasa ragu sebelum menguji sampai di mana kemampuan mereka."

Pangeran Hiu Kit Bong tidak marah, malah tersenyum. Kehati-hatian Cia Song itu menyenangkan dia karena ini berarti bahwa pemuda itu seorang yang teliti dan boleh diandalkan akan berhasil dalam melaksanakan tugasnya.

"Mereka adalah bekas pengawal-pengawal pribadi Sribaginda sendiri. Karena melakukan pelanggaran kesusilaan di istana, mereka diusir dari istana. Kami menampung mereka dan mereka memang mempunyai perasaan dendam kepada Sribaginda, maka dapat merupakan pembantu-pembantu yang setia. Mereka adalah jagoan-jagoan yang telah menguasai banyak ilmu, bukan saja ilmu silat aliran utara, akan tetapi juga menguasai ilmu gulat dari Mongolia dan ilmu silat dari Jepang. Dan mudah saja untuk menguji mereka karena dapat segera dipanggil ke sini." Setelah berkata demikian, Pangeran Hiu Kit Bong mengutus seorang perajurit untuk memanggil lima orang jagoannya itu. Sambil menanti datangnya lima orang jagoan itu, mereka bertiga bercakap-cakap dan mengatur siasat selanjutnya, bukan hanya untuk membunuh Pek Hong Nio-cu, melainkan juga untuk gerakan pemberontakan dan menggulingkan kedudukan Kaisar Kin.

Cia Song yang teringat akan kecantikan Pek Hong Nio-cu yang membuat dia tergila-gila dan bangkit gairahnya, mengajukan usul kepada Pangeran Hiu Kit Bong.

"Pangeran, menurut pendapat hamba, akan lebih baik apabila Puteri Moguhai itu tidak dibunuh, melainkan ditawan saja."

"Eh? Kenapa begitu? Ia akan menjadi batu sandungan bagiku, mengganggu kelancaran rencanaku. Tidak, ia harus dibunuh, Cia-sicu. Untuk membunuh puteri itulah kami minta bantuanmu!"

"Harap paduka pertimbangkan dulu usul hamba. Kalau puteri itu dibunuh paduka hanya mendapatkan satu keuntungan yang tidak begitu berharga. Akan tetapi kalau ia ditawan, berarti paduka memperoleh dua keuntungan, seperti sebatang pedang yang tajam kedua sisinya, satu kali bergerak mendapatkan dua yang amat baik."
"Hemm, apa maksudmu, sicu?"

"Begini, Pangeran. Hamba akan menawan Puteri Moguhai itu dan dengan tawanan yang amat penting itu, paduka dapat menjadikan ia sebagai sandera dan paduka dapat mengancam agar Sribaginda suka menyerahkan tahta kepada paduka untuk ditukar dengan nyawa puteri Sribaginda. Dengan demikian, paduka akan dapat mengambil alih singasana tanpa banyak kesukaran lagi."

Mendengar usul ini, Pangeran Hiu Kit Bong tertegun dan saling pandang dengan Panglima Kiat Kon yang menjadi sekutu utamanya dalam ambisinya merebut kekuasaan kerajaan Kin. Keduanya saling pandang lalu mengangguk-angguk.

"Siasat itu sungguh hebat dan baik sekali, Pangeran!" kata Panglima Kiat Kon.

Pangeran Hiu Kit Bong juga mengangguk-angguk dan tersenyum kepada Cia Song.

"Bagus, Cia-sicu, gagasanmu itu cemerlang sekali! Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? Ha-ha-ha, tidak percuma Perdana Menteri Chin Kui mengangkatmu menjadi penghubung antara kami! Baik, siasatmu itu baik dan harus dilaksanakan begitu. Puteri Moguhai, keponakan tiriku itu, si cantik yang liar itu, jangan dibunuh, melainkan ditangkap dan dijadikan sandera! Bagus sekali!"

"Akan tetapi, Pangeran. Biarpun gagasan itu bagus dan sudah sepatutnya dilaksanakan, akan tetapi tetap saja kita harus menyusun kekuatan pasukan yang besar. Siapa tahu Sribaginda akan nekat dan tidak mau menyerahkan mahkota sehingga kita terpaksa harus menggunakan kekerasan, menyerbu istana dan untuk itu kita memerlukan pasukan yang amat kuat," kata Panglima Kiat Kon.

Pangeran Hiu Kit Bong mengangguk-angguk setuju. Mereka lalu bercakap cakap dan berunding, mencari siasat-siasat terbaik. Ada dua tujuan terpenting yang hendak dicapai oleh persekutuan antara Pangeran Hiu Kit Bong dan Perdana Menteri Chin Kui. Pertama, mahkota kerajaan Kin harus terjatuh ke tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan kedua, kedudukan Perdana Menteri Chin Kui harus diperkuat dengan disingkirkannya mereka yang menentang kekuasaannya sehingga dia dapat makin kuat mencengkeram Kaisar Sung dalam kekuasaannya. Dengan demikian, maka Kerajaan Kin akan dapat tetap bersahabat dengan Kerajaan Sung Selatan.

Percakapan mereka terhenti ketika muncul lima orang memasuki ruangan itu. Mereka segera memberi hormat kepada Pangeran Hiu Kit Bong dengan membungkuk dalam-dalam.

Pangeran Hiu Kit Bong tersenyum gembira menyambut mereka.

"Ah, kalian telah datang? Duduklah!" Dia mempersilakan mereka duduk dan lima orang itu lalu duduk di atas kursi-kursi yang sudah tersedia di depan pangeran itu. Cia Song memandang mereka dengan penuh perhatian.

Pangeran Hiu Kit Bong lalu memperkenalkan Cia Song kepada mereka.

"Nah, kalian berlima kenalkanlah. Ini adalah pendekar besar Cia Song yang menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung!"

Lima orang itu agaknya sudah pernah mendengar nama Cia Song, maka mereka lalu bangkit dan memberi hormat kepada Cia Song, juga dengan membungkuk dalam-dalam. Cia Song membalas dengan merangkap kedua tangan depan dada. Dia pernah melihat cara penghormatan membungkuk seperti itu, yakni kebiasaan orang-orang Jepang. Agaknya lima orang ini pernah berguru kepada orang Jepang, pikirnya dan perkiraan ini agaknya tidak salah karena diapun melihat betapa di pinggang mereka berlima itu tergantung sebatang pedang samurai, yaitu pedang bangsa Jepang yang bentuknya agak melengkung, gagangnya agak panjang sehingga dapat dipegang kedua tangan dan hanya bermata sebelah seperti golok.

Pangeran Hiu Kit Bong memperkenalkan lima orang jagoannya kepada Cia Song. Cia Song memperhatikan mereka. Orang pertama bernama Con Gu, berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya panjang dan berwarna kuning sekali. Orang kedua bernama Koi Cu, usianya empatpuluh tiga tahun, bertubuh pendek gendut dan kepalanya botak. Orang ketiga bernama Jiu Hon, berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok menyeramkan. Orang keempat bernama Kian Su, usianya tigapuluh lima tahun, tubuhnya sedang dan wajahnya bersih tampan. Adapun orang kelima bernama Hayasi, berusia tigapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan kaki tangan pendek akan tetapi kokoh berotot.

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Kasih Diantara Remaja Eps 6 Kisah Sepasang Naga Eps 11 Kasih Diantara Remaja Eps 15

Cari Blog Ini