Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Naga Langit 7


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




Sebaliknya kalau atasannya bersih, bawahannya tidak berani menyeleweng, demikian pula bawahannya lagi dan bawahannya lagi seterusnya, para pembesar itu dari yang besar sampai yang kecil, bekerja dengan setia, jujur dan bersih. Dalam keadaan seperti itu, dapat dipastikan bahwa pemerintahannya menjadi kuat, semua penghasilan dapat masuk dengan sempurna tidak ada yang bocor di jalan sehingga pemerintah menjadi kaya. Kalau pemerintah kaya, sudah pasti ia dapat menyejahterakan rakyat jelata. Keadilan akan terlaksana di mana-mana. Yang jahat akan dihukum berat, yang baik dan berjasa mendapat tempat yang layak. Alangkah akan bahagianya rakyat yang hidup di bawah pemerintahan yang seperti itu! Tidak ada penggerogotan uang pemerintah yang berasal dari rakyat, tidak ada penindasan, tidak ada sogok dan suap yang melahirkan ketidak-adilan. Alangkah indahnya!

Pangeran Cin Boan berusia sekitar limapuluh tahun. Seperti semua bangsawan dan pembesar di jaman itu, Pangeran Cin Boan selain seorang isteri juga mempunyai beberapa orang selir. Akan tetapi dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang lahir dari isterinya. Pangeran itu bertubuh sedang, wajahnya tampan sikapnya halus dan dia ramah terhadap siapa saja, mulutnya selalu tersenyum namun sikap yang lembut itu mengandung wibawa. Isterinya juga cantik dan lembut, seorang wanita bangsawan Kin yang terpelajar, berusia empatpuluh tahun.

Anak tunggal mereka itu bernama Cin Han. Dari nama ini saja sudah tampak betapa Pangeran Cin Boan menyesuaikan diri dengan pribumi yang dijajah Kerajaan Kin. Nama marganya Cin dan puteranya itu diberi nama Cin Han. Pemuda berusia duapuluh dua tahun ini tampan sekali, seperti ibunya. Seorang pemuda yang telah lulus ujian sastra dan mendapat ijazah siu-cai (Sastrawan). Tampan, terpelajar, lemah lembut dan bijaksana seperti Ayahnya sehingga siapa pun yang mengenalnya tentu merasa kagum dan suka. Akan tetapi sudah sejak dua tahun yang lalu Ayah Ibunya mendesak pemuda itu untuk menikah, dia selalu menolak.

Baru setahun yang lalu Ayahnya hendak menjodohkannya dengan Thio Siang In yang juga terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li, Cin Han tidak menolak. Dia pernah melihat gadis itu dan diam-diam mengaguminya. Akan tetapi, sekali ini dia yang ditolak! Pinangan itu tidak diterima oleh Thio Ki dengan alasan bahwa puterinya belum mau dijodohkan! Tentu saja Pangeran Cin Boan dan isterinya kecewa sekali. Akan tetapi Cin Han yang bijaksana dapat memaklumi penolakan Siang In.

Gadis itu sama sekali tidak mengenalnya, bahkan melihatnya pun belum pernah. Bagi seorang gadis pendekar seperti itu, tentu saja tidak mau di jodohkan secara "tabrakan" begitu saja. Pemuda ini memaklumi penolakan Thio Siang In. Akan tetapi sejak penolakan itu, sudah setahun lebih, dia selalu menolak kalau orang tuanya hendak menjodohkannya. Bahkan, tidak seperti pemuda bangsawan lainnya, dia pun menolak ketika hendak dicarikan selir.

Pada pagi hari di waktu matahari telah naik semakin tinggi, Pangeran Cin Boan duduk di ruangan dalam bersama isteri dan puteranya.

"Ayah, aku mendengar bahwa Paman Thio Ki beberapa hari yang lalu dirampok penjahat habis-habisan, bahkan dia terluka dan dua orang pengawalnya tewas. Bukankah Ayah ada menitipkan kiriman barang ke kota raja kepada Paman Thio Ki?"

"Benar, Han-ji (Anak Han), aku pun sudah mendapat laporan dari utusan Thio Ki. Barang-barang kita ikut terampas penjahat," jawab Pangeran Cin Boan.

"Hemm, padahal barang-barang itu amat berharga dan penting yang dikirim ke kota raja untuk Nenekmu dan para Pamanmu. Sekarang hilang! Thio Ki itu harus bertanggung jawab!" kata Nyonya Cin sewot (marah-marah).

"Jangan begitu, kejadian itu kan merupakan kecelakaan? Thio Ki sendiri sudah habis-habisan, bahkan terluka. Jangan kita menambahkan penderitaannya dengan tergesa-gesa menuntut barang-barang kita yang hilang agar dipertanggung-jawabkan."

"Salahnya sendiri. Dulu menolak pinangan kita, sekarang barang kita yang berharga mahal dibikin hilang. Enak dia dan rugi kita kalau didiamkan saja!" Agaknya isteri pangeran ini masih merasa kecewa, penasaran dan marah karena pinangannya setahun yang lalu ditolak oleh keluarga Thio Ki.

"Ibu, kiranya tidak perlu lagi membicarakan tentang pinangan itu. Yang penting sekarang, bagaimana caranya untuk membantu Paman Thio mengatasi keadaannya yang terluka dan habis-habisan itu."

"Hemm, mengapa kita jadi ikut repot? Bukankah puteri mereka yang cantik seperti dewi, bahkan julukannya juga Ang Hwa Sian-li (Dewi Bunga Merah), adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai? Biarlah gadis itu yang merampas kembali harta yang telah dirampok penjahat!" kata Nyonya Cin yang masih marah.

Sebelum suami dan anaknya menjawab, daun pintu ruangan itu diketuk orang.

"Siapa?" Pangeran Cin bertanya sambil mengerutkan alisnya karena tak senang percakapannya dengan isteri dan puteranya ada yang mengganggu.

"Hamba, yang mulia. Hamba hendak melaporkan bahwa di luar datang seorang gadis yang ingin menghadap paduka," terdengar suara pengawal yang mereka sudah kenal.

"Siapa ia? Siapa namanya?" tanya Pangeran Cin Boan dengan heran. Dia tak pernah ada urusan dengan seorang gadis. Belum pernah ada gadis minta menghadap padanya.

Suara pengawal itu menjawab.

"Ia tidak mau mengatakannya, Yang Mulia. Ia hanya berkata bahwa paduka pasti akan mengenalnya kalau ia sudah menghadap Paduka."

"Ayah, biar aku yang keluar dulu melihat siapa yang hendak menghadap Ayah."

"Baiklah, Cin Han, keluarlah dan lihat siapa gadis itu."

Cin Han keluar dan diantar pengawal itu dia melangkah keluar. Setelah di serambi depan, dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih dari sutera halus, kepalanya dihias burung Hong perak, berdiri dan menyongsongnya dengan pandang mata yang mencorong tajam. Gadis yang luar biasa cantiknya. Akan tetapi setelah berhadapan, Cin Han berseru terkejut.

"Eh, engkau...... engkau...... Thio-siocia (Nona Thio)??"

Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu diam-diam kagum sekali kepada pemuda yang tampan sekali dan sikapnya lemah lembut itu. Ia menduga bahwa inilah agaknya putera Pangeran Cin Boan itu. Rasanya dulu ia pernah bertemu dengan pemuda ini, sekitar enam tahun lebih yang lalu. Tentu saja ketika mereka masih remaja dan ia sudah tidak ingat lagi wajah pemuda itu.

"Engkau siapakah, Kongcu?" tanyanya.

"Aku bernama Cin Han, putera Pangeran Cin Boan." Ucapan pemuda itu seolah mengingatkan dan dia menatap tajam wajah yang jelita itu.

"Ah, Cin-kongcu. Apakah Pangeran Cin Boan berada di rumah? Aku ingin bertemu dengannya."

"Mari, silakan, Thio-siocia. Silakan menunggu di ruangan tamu, aku akan memanggil Ayah ke sini."

Mereka memasuki ruangan tamu dan Pek Hong lalu duduk di situ menunggu sedangkan Cin Han masuk ke ruangan dalam menemui Ayah Ibunya.

"Ayah, gadis itu adalah Nona Thio Siang In!" kata pemuda itu yang masih merasa tegang hatinya bertemu dengan gadis yang pernah menundukkan hatinya itu.

Pangeran Cin Boan menaikkan alisnya dengan heran dan isterinya mengerutkan alis dan berkata, "Hemm, mari kita temui!"

Suami isteri dan putera mereka itu lalu keluar dari ruangan dalam, memasuki ruangan tamu. Pek Hong segera bangkit berdiri dan ia berhadapan dengan mereka bertiga.

"Nona Thio......!" kata Pangeran Cin Boan dan memandang penuh selidik. Dia merasa kagum akan kecantikan gadis itu. Pantas puteranya tergila-gila, pikirnya.

"Engkau yang bernama Thio Siang In?" tiba-tiba Nyonya Cin bertanya, nada suaranya ketus.

"Dulu engkau menolak pinangan kami. Sekarang datang berkunjung ada keperluan apakah?"

Pek Hong tersenyum melihat Pangeran Cin Boan dan Cin Han memandang Nyonya Cin dengan alis berkerut tanda tidak senang mendengar ucapan yang ketus itu. Akan tetapi ia pun tidak merasa marah mendengar teguran nyonya itu karena ia maklum betapa kecewanya seorang ibu mendengar pinangan puteranya ditolak.

"Kalian bertiga keliru. Aku bukan Thio Siang In," katanya sambil tersenyum.

Tiga orang itu terbelalak.

"Harap Siocia (Nona) tidak main-main. Aku mengenalmu dengan baik dan jelas bahwa engkau adalah Nona Thio Siang In!" kata Cin Han sambil tersenyum pula, mengira gadis itu main-main.

"Aku tidak main-main. Memang aku mirip Thio Siang In, akan tetapi aku bukan ia. Paman Pangeran, apakah Paman sudah lupa kepadaku?"

Pangeran Cin Boan memandang penuh perhatian.

"Siapakah engkau sesungguhnya, kalau engkau bukan Thio Siang In?"

"Aku sering bertemu Paman di kota raja sekitar enam tahun yang lalu."

"Enam tahun yang lalu di kota raja? Ah, aku tidak ingat......"

Pek Hong Niocu lalu mengeluarkan pedang bengkok berukir naga emas dari pinggangnya dan memperlihatkannya kepada pangeran itu.

"Paman tentu mengenal ini, bukan?"

Melihat pedang bengkok tanda kekuasaan itu, sepasang mata Pangeran itu terbelalak.

"Dan apakah Paman tidak mengenal hiasan rambutku ini?"

"Ahh...... engkau...... Puteri Moguhai yang dikenal sebagai Pek Hong Niocu??"

Pek Hong tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.

"Nah, Paman mengerti sekarang bahwa aku bukan Thio Siang In."

"Ah, maafkan kami...... kiranya keponakanku yang amat terkenal yang datang berkunjung! Selamat datang, Ananda Moguhai. Kami merasa girang sekali mendapat kesempatan menerima kunjungan ini."

Lalu kepada isteri dan puteranya yang masih memandang terheran-heran dia berkata.

"Mengapa kalian bengong saja? Ini adalah keponakanku sendiri, puteri Sri Baginda Kaisar yang bernama Puteri Moguhai yang akhir-akhir ini terkenal sebagai Pek Hong Niocu, pemilik pedang pusaka tanda kekuasaan tertinggi mewakili Sri Baginda?"

Nyonya Cin Boan seketika mengubah sikapnya, ia bersikap hormat dan ramah sekali.

"Aih, harap memaafkan kami yang tidak mengenalmu."

Cin Han masih terpesona. Kiranya gadis yang wajahnya persis Thio Siang In ini adalah puteri kaisar! "Ah, Nona Puteri, harap maafkan aku......" katanya gagap.

Pek Hong tersenyum kepada pemuda itu.

"Kita adalah saudara misan, mengapa masih memakai sebutan sungkan seperti itu? Engkau bernama Cin Han, bukan? Tentu lebih tua daripada aku maka akan kusebut Kanda Cin Han saja."

Wajah pemuda yang tampan dan berkulit putih itu menjadi agak kemerahan.

"Baiklah, Adinda Moguhai, dan terima kasih atas keramahan sikapmu."

"Aku akan menyuruh menyiapkan minuman......"

"Tidak usah, Bibi. Aku datang untuk membicarakan suatu hal penting."

"Ada urusan apakah, Moguhai? Persamaanmu dengan Thio Siang In sungguh membuat kami terkejut dan heran."

"Memang benar, Paman Pangeran. Thio Siang In adalah saudara seperguruanku yang akrab dengan aku. Kedatanganku ini pun atas namanya untuk membicarakan tentang peristiwa perampokan atas diri Paman Thio Ki, Ayah Siang In."

"Ya, kami juga sudah mendengar akan peristiwa yang menyedihkan itu. Kabarnya Thio Ki terluka parah. Benarkah itu?"

"Benar, akan tetapi keadaannya sudah tidak berbahaya lagi, Paman Pangeran. Dua orang piauw-su yang membantunya tewas dan banyak yang terluka. Semua harta benda yang dikawal Paman Thio Ki dirampas perampok."

"Kami sudah mendengar dan mendapat pelaporan karena titipan barang kami juga ikut dilarikan perampok."

"Banyakkah barang yang Paman titipkan itu?"

"Hemm, cukup banyak dan berharga karena kiriman kami itu kami tujukan kepada Ibu kami dan adik-adik kami di kota raja."

"Tentu Paman Pangeran akan menuntut kepada Paman Thio Ki agar mengganti semua kehilangan itu, bukan?"

"Ah, sama sekali tidak, Moguhai. Thio Ki mendapatkan kecelakaan yang membuat harta bendanya habis dan dia sendiri terluka. Kehilangan harta yang kami titipkan itu adalah karena kecelakaan."

"Itu benar, Adinda, Paman Thio Ki sedang menderita, bagaimana kami tega untuk menambahi penderitaannya? Kami malah kasihan sekali mendengar akan peristiwa itu."

Moguhai atau kita sebut saja Pek Hong, memandang tiga orang itu bergantian. Wajah Pangeran Cin Boan dan wajah Cin Han tampak wajar membayangkan bahwa ucapan mereka tadi sejujurnya. Akan tetapi ia melihat betapa wajah Nyonya Cin yang cantik itu agak muram dan sepasang alisnya berkerut.

"Paman Pangeran, aku mendengar bahwa setahun lebih yang lalu, Paman mengajukan pinangan kepada keluarga Paman Thio Ki, untuk menjodohkan Kan-da Cin Han ini dengan Thio Siang In, benarkah itu?"

"Ya, benar."

"Dan pinangan itu ditolak?"

Pangeran Cin Boan menghela napas panjang.

"Ya, ditolak karena Nona Thio Siang In belum mau terikat perjodohan. Kami dapat menerima alasan itu karena kami tahu bahwa gadis itu adalah seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya dan tentu saja soal perjodohan tidak dapat dipaksakan kepadanya."

"Hemm, tentu Paman sekeluarga menjadi kecewa dan penasaran, bukan?"

"Tentu saja kami kecewa, akan tetapi penasaran? Tidak! Mengapa mesti penasaran? Pinangan hanya mempunyai dua keputusan, diterima atau ditolak."

"Apakah keluarga Paman tidak merasa terhina oleh penolakan pinangan itu dan mendendam sakit hati?"

"Puteri Moguhai! Mengapa engkau bertanya seperti itu? Kami bukan orang-orang sepicik itu!" kata Pangeran Cin Boan dengan suara mengandung kemarahan.

"Ayah, Adinda Moguhai mengajukan pertanyaan itu pasti ada sesuatu yang dimaksudkan dan dikehendaki. Dinda Moguhai, harap engkau suka berkata terus terang saja kepada kami. Sebetulnya ada persoalan apakah pada keluarga kami yang sedang kau selidiki?"

Pek Hong memandang kakak misannya yang tampan itu sambil tersenyum. Pemuda ini cerdik juga, pikirnya kagum.

"Begini, Paman, Bibi, dan Kanda. Sesungguhnya, keluarga Paman Thio Ki mendengar berita yang tidak baik, yang membayangkan seolah-olah urusan penolakan pinangan itu ada hubungannya dengan terjadinya perampokan terhadap Paman Thio Ki itu."

"Dinda Moguhai! Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau menyangka kami yang mendalangi perampokan itu karena kami hendak membalas dendam atas ditolaknya pinangan kami itu?" tanya Cin Han penasaran, walaupun suaranya masih lembut.

Pek Hong tersenyum lebar.

"Tenang, Kanda. Itu bukan persangkaanku. Justeru aku datang ini untuk menyelidiki tentang persangkaan itu. Sekarang, harap Paman Pangeran suka menjawab sejujurnya. Apakah Paman mengenal seorang bernama Bhe Liang yang berjuluk Twa-to (Si Golok Besar)?"

"Bhe Liang?" Sepasang alis pangeran itu berkerut dan sinar matanya membayangkan kemarahan.

"Tentu saja kami mengenalnya. Dahulu, dia menjadi seorang di antara para pengawal kami di sini. Akan tetapi kami telah menghentikan dan mengusirnya!"

"Mengusirnya......? Akan tetapi mengapa, Paman? Mengapa Paman mengusirnya?"

Pangeran itu bertukar pandang dengan isterinya dan dengan alis masih berkerut dia bertanya kepada Pek Hong.

"Hemm, apakah pertanyaan itu perlu dijawab?"

"Perlu sekali, Paman! Untuk melengkapi penyelidikanku, harap Paman suka menjawab pertanyaan itu sejujurnya. Ini demi kebaikan keluarga Paman sendiri."

Pangeran Cin Boan memandang isterinya.

"Bagaimana? Apakah kita akan memberitahu kepada Puteri Moguhai?"

Isterinya termangu sejenak, lalu mengangguk.

"Boleh saja kalau itu demi kebaikan keluarga kita."

"Begini, Moguhai. Sebetulnya penyebabnya hanya urusan kecil saja, namun cukup menjengkelkan kami. Bhe Liang memperlihatkan sikap yang kurang ajar kepada isteriku. Pandang matanya kurang ajar dan dia berani tersenyum-senyum penuh arti......" Pangeran itu memandang kepada isterinya.

"Keparat itu memang kurang ajar sekali. Pandang matanya dan senyumnya itu jelas menjadi tanda bahwa dia mengajak main gila! Dikiranya wanita macam apa aku ini! Maka aku memberitahu suamiku dan dia lalu diusir."

Mendengar keterangan suami isteri itu, Pek Hong mengangguk-angguk lalu ia bangkit berdiri.

"Terima kasih banyak atas semua keterangan Paman, Bibi, dan Kanda Cin Han. Sekarang aku mohon diri, hendak kembali ke rumah Paman Thio Ki."

Pangeran Cin Boan, isterinya dan puteranya mencoba untuk menahannya, akan tetapi Pek Hong mengucapkan terima kasih.

"Biarlah lain kali saja kita berjumpa lagi. Sekarang aku harus kembali ke sana menemui Siang In."

Keluarga pangeran itu mengantar Pek Hong sampai ke pintu depan.

Thio Ki, Miyana dan Siang In menyambut kedatangan Pek Hong dan Siang In segera menggandeng tangan Pek Hong, diajak masuk.

"Pek Hong bagaimana hasilnya? Benarkah mereka yang mendalangi semua itu?" Siang In bertanya ketika mereka berempat sudah berada di ruangan dalam.

Pek Hong tersenyum.

"Sabar dulu, Siang In. Penyelidikanku belum tuntas. Sekarang, aku harap Paman Thio Ki dun Bibi Miyana suka berterus terang kepadaku karena jawaban yang jujur dari Paman berdua mungkin akan dapat membawa kita kepada dalang perampokan ini."

"Aih, Pek Hong. Kenapa malah kami yang harus menjawab dengan jujur?" tanya Miyana heran.

"Ya, Pek Hong. Seolah kami yang akan kau selidiki?" kata pula Thio Ki penasaran.

"Tenanglah, Paman dan Bibi. Percayalah padaku dan harap suka jawab sejujurnya pertanyaanku ini. Paman, pengawalmu yang bernama Bhe Liang itu, apakah pekerjaannya di sini baik-baik saja?"

Thio Ki memandang heran dan mengangguk.

"Ya, pekerjaannya cukup baik. Beberapa kali dia mengawal kiriman barang dan tidak pernah gagal. Juga dia memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Julukannya sebagai Twa-to agaknya cukup dikenal oleh golongan sesat sehingga pengawalannya tidak pernah diganggu.

"Apakah dia tidak pernah melakukan sesuatu yang tercela?"

"Kurasa tidak."

"Dan Paman tidak pernah memarahinya karena suatu tindakan yang tercela?"

Thio Ki menggeleng kepala.

"Seingatku tidak. Akan tetapi apa maksudmu dengan semua pertanyaan itu?"

"Nanti kujelaskan, Paman. Sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Bibi Miyana dan kuharap Bibi akan menjawab sejujurnya dan jangan menyembunyikan sesuatu."

Miyana mengerutkan alisnya dan wajahnya yang masih cantik itu tampak tegang.

"Tanyalah, Pek Hong!"

"Begini, Bibi. Apakah Bhe Liang itu pernah berbuat atau bersikap yang tidak wajar terhadap Bibi?"

Miyana membelalakkan matanya.

"Tidak wajar? Apa...... apa maksudmu?"

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Hemm, misalnya dia melakukan sesuatu atau bersikap yang tidak sopan atau kurang ajar terhadap Bibi."

Miyana menundukkan mukanya yang berubah merah dan sejenak ia diam saja.

"Ibu, jawablah pertanyaan Pek Hong sejujurnya. Percayalah, ia bermaksud baik, Ibu."

Miyana kembali memandang kepada suaminya dan Thio Ki yang kini menduga tentu ada apa-apa yang hendak dikatakan isterinya, ia berkata, "Benar, Miyana. Ceritakan saja apa yang telah terjadi dengan sejujurnya."

Setelah Miyana menghela napas panjang beberapa kali, ia berkata.

"Memang pernah beberapa kali dia bersikap kurang ajar kepadaku, merayuku. Mula-mula aku tidak perduli, akan tetapi ketika dia semakin berani, malah pernah memegang tanganku, aku menjadi marah dan memaki-makinya."

"Keparat!" bentak Siang In.

"Kuhajar jahanam itu!"

"Nanti dulu Siang In. Bersabarlah," kata Pek Hong, lalu ia menoleh kepada Miyana yang kini menundukkan mukanya.

"Bibi, mengapa Bibi tidak melaporkan kekurang-ajaran itu kepada Paman Thio Ki?"

Miyana memandang suaminya yang juga memandang kepadanya dengan alis berkerut.

"Ketika peristiwa itu terjadi, engkau belum pulang Siang In. Kalau ada engkau, pasti langsung kuberitahukan kepadamu. Akan tetapi engkau tidak ada dan aku takut memberitahukan hal itu kepada Ayahmu. Bhe Liang itu orangnya menyeramkan dan kabarnya dia lihai sekali. Aku takut kalau kuberitahukan Ayahmu, mereka berkelahi dan Ayahmu akan celaka di tangannya......"

"Terima kasih, Bibi. Sekarang jelaslah sudah. Paman dan Bibi, dan Siang In, ketahuilah. Aku telah melakukan penyelidikan kepada Paman Pangeran Cin Boan sekeluarga, akan tetapi tidak ada tanda-tandanya mereka mendalangi perampokan itu. Pangeran Cin Boan terlalu baik hati untuk melakukan kekejaman itu. Bahkan dia tidak ingin menuntut Paman Thio untuk membayar barang-barangnya yang dirampok. Akan tetapi aku mendapatkan keterangan penting. Ketika Bhe Liang menjadi pengawal mereka, jahanam itu pun pernah bersikap kurang ajar kepada isteri Paman Pangeran sehingga dia dipecat dan diusir. Dan sekarang dia pula yang memberi kabar yang mendalangi perampokan adalah Pangeran Cin Boan! Jelas bahwa dia hendak membalas dendam kepada Pangeran Cin Boan karena pernah memecat dan mengusirnya, dan juga membalas dendam kepada keluarga ini karena Bibi Miyana pernah memakinya dan menolak rayuannya. Jadi, mudah diduga siapa kira-kira yang mendalangi perampokan ini, bukan?"

Siang In bangkit berdiri.

"Jahanam, kuhajar dia!"

Pek Hong juga bangkit dan memegang lengan Siang In.

"Siang In, tenanglah, jangan menuruti nafsu amarah. Kalau engkau emosi lalu membunuhnya, akan sukarlah bagi kita untuk menemukan kembali barang-barang yang dirampok itu. Mari kita cari dia dan kita paksa dia mengakui perbuatannya dan memberitahu di mana adanya barang-barang rampokan itu. Paman, di manakah kami dapat menemukan jahanam itu?"

"Rumahnya tak jauh dari sini. Dia tidak mau tinggal di sini dan menyewa rumah sendiri, rumah kecil di sebelah kiri dari rumah ini. Biar pelayan mengantar kalian ke sana."

Dua orang gadis itu lalu pergi menuju rumah sewaan Bhe Liang, diantarkan seorang pelayan. Setelah tiba di luar rumah itu, Siang In menyuruh pelayan itu pulang. Lalu mereka berdua menghampiri pintu depan rumah itu dan mengetuknya.

Daun pintu dibuka dari dalam dan Bhe Liang yang tinggi besar dan bermata lebar melotot itu muncul di ambang pintu. Dia membelalakkan kedua matanya yang lebar ketika melihat dua orang gadis cantik jelita berdiri di depannya. Karena pada dasarnya dia seorang mata keranjang dan dia mengandalkan ketangguhannya sehingga membuat dia berani, melihat sepasang gadis cantik jelita itu dia menyeringai lebar sehingga tampak giginya yang besar-besar menguning.

"Heh-heh, nona-nona manis, kalian mencari aku?" tiba-tiba dari dalam muncul pula seorang wanita muda yang wajahnya menor, seperti topeng dibedak dan digincu tebal, dengan lagak genit berkata.

"Orang she Bhe, dengan aku pun engkau belum membayar sekarang sudah mendatangkan dua orang pelacur lain?"

"Plak-plakk!" Bhe Liang terhuyung ke dalam dan wanita itu menjerit dan terpelanting roboh. Ia menangis memegangi pipinya yang bengkak, lalu ia berlari keluar dari pintu sambil menangis. Sementara itu, Bhe Liang marah bukan main, memandang Siang In yang tadi menampar dia dan pelacur langganannya. Darah mengalir dari ujung bibirnya dan sepasang matanya yang lebar itu kini melotot. Hampir dia tidak percaya ada seorang gadis berani menamparnya!

"Keparat! Berani engkau memukul aku?" bentaknya dan sambil mengeluarkan gerengan menyeramkan dia mengembangkan kedua lengannya yang panjang, lalu menerjang Siang In dengan terkaman karena dia hendak mendekap gadis cantik yang berani menamparnya itu.

"Wirrrr...... plakk!" Tangan Siang In sudah menyambar dengan cepat sekali, menampar pundak Bhe Liang. Seperti disambar petir tubuh Bhe Liang terpental dan terputar, lalu dia jatuh terpelanting.

Bhe Liang merangkak bangkit. Hampir dia tidak dapat percaya. Dia tadi menyerang akan tetapi tahu-tahu pundaknya seperti dihantam palu godam yang amat kuat. Rasanya nyeri menyusup tulang! Bagaimana mungkin ini? Dia adalah seorang laki-laki perkasa yang sukar dicari tandingannya di kota Kang-cun. Akan tetapi kini menghadapi seorang gadis muda dia seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya!

Tentu saja dia menjadi penasaran dan menganggap kejadian tadi hanya kebetulan saja. Bagaimanapun juga, dia menyadari bahwa gadis cantik ini bukan seorang yang lemah. Maka setelah dapat bangkit berdiri, Bhe Liang lalu mencabut golok besarnya, senjatanya yang amat diandalkan dan yang selama ini mengangkat namanya sebagai jagoan dengan julukan Si Golok Besar. Begitu dicabut, dia memutar-mutar golok yang besar, berat dan mengkilap tajam itu di depan tubuhnya dengan wajah bengis mengancam.

"Perempuan jahanam, kini mampuslah!" Dia membentak dan tiba-tiba dia menerjang maju, goloknya menyambar ke arah leher Siang In dengan cepat dan kuat.

Akan tetapi bagi Siang In yang kini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi setelah selama setahun digembleng ayah kandungnya, gerakan hebat itu tampak lamban dan hanya merupakan serangan ringan saja. Ia miringkan tubuh ke kiri. Ketika golok menyambar lehernya ia merendahkan tubuhnya dan golok itu menyambar lewat atas kepalanya. Pada saat itu kakinya mencuat dan menendang perut Bhe Liang. Tentu saja ia membatasi tenaganya karena ia tidak ingin membunuh orang itu.

"Wuuuttt...... ngekk!!" Tubuh Bhe Liang terjengkang dan sebuah tendangan menyusul, mengenai pergelangan tangan kanan dan goloknya terlepas dan terlempar.

Sekali ini Bhe Liang tidak dapat menahan rasa nyeri dalam perutnya. Agaknya usus buntunya terkena tendangan, rasanya mulas dan nyeri bukan main. Dia pun tidak tahan sehingga mengaduh-aduh sambil memegangi dan menekan-nekan dengan kedua tangan. Dia bangkit berjongkok dan kini dia menjadi ketakutan. Sadar sepenuhnya bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang sakti dan amat tangguh!

"Aduh...... aduh...... Nona, mengapa Nona menyerangku? Apa kesalahanku kepadamu?" Dia mengeluh.

"Manusia busuk Bhe Liang! Apa yang kauketahui tentang perampokan terhadap barang-barang Ayahku? Hayo jawab!" Siang In membentak.

Bhe Liang terkejut dan terheran. Ketika dia bekerja pada perusahaan Thio Ki, Siang In tidak berada di rumah. Dia sudah mendengar bahwa Thio Ki mempunyai seorang anak perempuan yang lihai, akan tetapi dia tidak percaya dan menertawakan. Selihai-lihainya, apa sih yang dapat dilakukan seorang gadis? Dan kini gadis yang amat tangguh ini, yang dapat merobohkan dia yang memegang goloknya hanya dalam satu gebrakan, tadi menyebut Thio Ki sebagai Ayah!

"Nona...... Nona...... siapakah?"

Kini Pek Hong Niocu yang menjawab setelah tertawa mengejek.

"He-he-he, cacing lumpur! Buka matamu lebar-lebar, juga telingamu! Gadis ini adalah puteri Paman Thio Ki yang bernama Thio Siang In dan berjuluk Ang Hwa Sian-li. Nah, cepat menjawab pertanyaannya tadi. Apa yang kau ketahui tentang perampokan terhadap barang-barang Paman Thio Ki?"

"Saya...... saya tidak tahu apa-apa......" Bhe Liang yang sekarang mati kutu dan kehilangan kegarangannya itu berkata dengan muka masih menyeringai menahan rasa mulas di perutnya.

"Dengar, Cacing!" bentak Pek Hong Niocu.

"Engkau mendendam kepada Pangeran Cin Boan karena dipecat dan diusir! Kemudian engkau mendendam kepada Paman Thio Ki karena engkau menggoda isterinya akan tetapi engkau ditolak dan dimaki-maki! Maka, lalu mengatur perampokan itu, bukan?"

"Tidak......! Tidak......!" kata, Bhe Liang, akan tetapi mukanya menjadi pucat dan tubuhnya yang tinggi besar itu menggigil.

"Hayo mengaku, di mana barang-barang rampokan itu?" Pek Hong membentak.

Bhe Liang menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saya...... saya tidak...... tahu...... saya tidak tahu......"

"Pek Hong, bangsat seperti ini sebaiknya dicokel kedua matanya agar jangan berbohong!" Siang In berkata, sengaja untuk mengancam pengawal Ayahnya itu.

Tentu saja Bhe Liang menjadi ketakutan mendengar ancaman ini.

"Ampun, Nona...... ampun, saya tidak bersalah...... saya tidak tahu......!"

Pek Hong Niocu menggerakkan jari tangan kanannya dua kali, cepat sekali.

"Tuk! Tuk!" Jari tangan itu telah menotok kedua pundak Bhe Liang, di kanan kiri leher.

"Aduhh......! Ahhh, ampun...... aduuuhhh""!" Tubuh Bhe Liang bergulingan di atas lantai. Kedua tangannya menekan seluruh tubuhnya yang terasa nyeri semua, seperti ditusuk-tusuk jarum. Kakinya, lengannya, perutnya, dadanya, bahkan kepalanya. Dia mengaduh-aduh, bergulingan, bangkit dan rebah kembali, mulutnya minta-minta ampun, seluruh tubuh menggigil saking nyerinya, kiut-miut rasanya seluruh tubuh, terutama kepalanya yang rasanya hendak pecah. Keringat dingin sebesar kedele memenuhi muka dan lehernya dan wajahnya menjadi pucat sekali. Dia menggigit bibirnya yang sudah berdarah sambil mendengus-dengus dan merintih-rintih, napasnya terengah-engah.

"Kalau engkau tidak mau mengaku, kami akan membiarkan engkau tersiksa begini sampai mampus!"

"Aduh...... ampun, Nona...... ampun, saya tidak berani lagi......!"

Siang In melihat sebuah arca singa di sudut ruangan itu, arca sebesar kepala orang. Diambilnya arca itu dan dibawanya ke depan Bhe Liang.

"Lihat, engkau masih belum mau mengaku?" Gadis itu lalu menampar arca yang berada di atas telapak tangan kirinya.

"Pyarrr......!" Arca itu pecah dan kedua tangannya mengambil beberapa pecahan arca lalu sekali meremas, pecahlah batu itu hancur menjadi tepung! Bhe Liang terbelalak melihat ini. Wajahnya pucat sekali.

"Jawab, mau tidak engkau mengaku!" bentak Siang In.

"Mau...... mau...... ampunkan saya......"

Pek Hong menepuk kedua pundaknya dan rasa nyeri itu pun tak terasa lagi oleh Bhe Liang. Dia jatuh terduduk dan menggunakan kedua tangannya untuk mengelus pundaknya. Kedua matanya masih basah karena tadi tanpa terasa dia menangis saking nyerinya. Dia menghela napas berulang-ulang.

"Duduk dan ceritakan semua!" bentak Siang In.

Bhe Liang benar-benar mati kutu karena kini dia tahu bahwa dua orang gadis yang wajahnya serupa ini keduanya ternyata memiliki kesaktian hebat. Dia bangkit dan duduk di atas sebuah kursi, dihadapi dua orang gadis yang berdiri dengan sinar mata mencorong.

"Saya...... saya memang merasa sakit hati kepada Pangeran Cin Boan karena saya dipecat dan diusir. Juga saya merasa sakit hati kepada Thio-twako karena...... karena......"

"Hayo bicara terus terang!" Siang In membentak lagi.

"Karena...... isterinya menghina dan memaki saya......"

"Engkau berani menggoda Ibuku? Kamu anjing babi, wajahmu buruk seperti monyet hatimu seperti iblis begini berani menggoda Ibuku? Kau layak mampus!" Siang In yang marah sekali mengayun tangan memukul kepala Bhe Liang, akan tetapi Pek Hong cepat menangkap lengannya.

"Siang In, ingat, kita masih membutuhkan monyet ini."

Siang In teringat, lalu membentak Bhe Liang yang sudah begitu ketakutan sehingga tubuhnya menggigil lagi seperti kedinginan.

"Hayo lanjutkan keteranganmu. Awas, kalau berani berbohong, kucokel keluar matamu!"

"Baik, Nona. Ampunkan saya. Ketika Thio-twako sendiri mengawal barang-barang berharga, apalagi di situ terdapat titipan barang Pangeran Cin Boan, saya lalu menghubungi teman-teman saya dan...... dan mereka melakukan penghadangan dan perampokan itu......"

"Hemm, siapa pemimpin perampokan itu?"

"Seorang pemuda yang baru saya kenal melalui teman-teman, namanya Kui Tung."

"Di mana barang-barang itu?" tanya Siang In.

"Sekarang disembunyikan di kuil tua yang kosong, di kaki bukit di luar kota ini. Sengaja dibawa ke dekat kota ini agar jangan ada yang menduga."

"Kuil tua di kaki bukit sebelah utara kota itu?" tanya Siang In.

"Betul, Nona."

"Hayo antar kami ke sana! Sekarang juga!" bentak Pek Hong.

Bhe Liang yang sudah ketakutan itu tidak berani membantah. Dia bangkit berdiri dan diikuti oleh dua orang dara perkasa itu, dia berjalan keluar kota melalui pintu gerbang utara. Mereka bertiga berjalan cepat ke arah bukit kecil yang tak jauh dari situ. Bukit ini sunyi karena tidak berada di tepi jalan raya. Setelah dekat, sudah tampak sebuah bangunan kuil yang sudah tua dan tak terpakai lagi.

Setelah mereka tiba di depan kuil, tiba-tiba, pada saat dua orang tadi mencurahkan perhatian pada kuil tua, Bhe Liang melompat ke depan dan berlari ke arah kuil sambil berteriak, "Kawan-kawan, awas! Musuh datang......!"

"Tikus busuk!" Siang In memaki dan sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke arah orang yang melarikan diri itu, tubuh Bhe Liang terguling dan dia tidak mampu bergerak lagi. Tewas! Pukulan jarak jauh Siang In itu memang dahsyat bukan main dan ini membuktikan betapa kini Siang In telah memiliki tenaga sakti yang amat kuat.

Dua orang gadis itu lalu melompat dengan ringan memasuki kuil yang bagian depannya terbuka itu. Kuil itu sudah tua dan dindingnya sudah banyak yang runtuh. Akan tetapi masih bersih dan pintunya yang menuju ke bagian dalam masih berkosen kokoh walaupun tidak berdaun lagi. Dari bagian depan yang dulunya menjadi ruangan sembahyang, tampak bagian dalam melalui lubang pintu menganga itu. Bagian dalam itu pun tampak bersih namun sunyi, tidak tam-pak seorang pun manusia!

"Hemm, tidak ada orangnya. Mungkin tikus itu telah membohongi kita dan barang-barangnya tidak disimpan di sini."

"Hemm, kukira dia tidak akan berani. Pasti di sini bersembunyi teman-temannya maka dia berani membawa kita ke sini dan teriakannya tadi merupakan peringatan bagi teman-temannya agar membantunya dan menyerang kita. Akan tetapi heran, mengapa mereka tidak muncul?"

"Mari kita periksa ke dalam, Pek Hong."

"Mari, akan tetapi kita harus waspada dan hati-hati terhadap serangan gelap. Tempat ini terpencil, memang pantas untuk dijadikan tempat persembunyian para penjahat."

Dengan tenang namun waspada, dua orang gadis itu memasuki ruangan dalam melalui lubang pintu tanpa daun itu. Ruangan sebelah dalam itu luas dan bersih dan di sudut sana barulah tampak tumpukan peti yang cukup banyak.

"Hemm, benar juga. Barang-barang itu disembunyikan di sini!" kata Siang In girang.

Mereka cepat menghampiri tumpukan peti itu dan mulai memeriksa dengan membuka tutup peti. Ketika mereka membuka tutup dua buah peti dan melihat bahwa peti itu memang berisi barang-barang dagangan berupa kain-kain, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di belakang mereka. Mereka cepat membalikkan tubuh dan tampak debu mengepul dan suara tadi adalah turunnya sehelai daun pintu baja dari atas, menutup lubang pintu yang menyambung ruangan itu dengan ruangan depan tadi! Mereka terjebak!

Kiranya kuil tua kosong itu kini dijadikan sarang penjahat yang memasang pintu rahasia. Akan tetapi tentu saja dua orang dara perkasa itu tidak merasa gentar dan mereka menutupkan kembali dua peti itu dan bersikap menanti dengan waspada.

Tiba-tiba dua benda melayang masuk ke dalam ruangan itu. Terdengar ledakan dan asap putih tebal mengepul memenuhi ruangan itu! Bau yang keras menyengat memenuhi ruangan yang penuh asap itu. Perlahan-lahan asap membubung dan keluar dari ruangan melalui atap. Saking tebalnya asap, orang tak dapat melihat keadaan ruangan itu dan kalau ada orang di luar kuil melihat asap tebal membubung keluar dari atas kuil, tentu akan mengira bahwa di situ terjadi kebakaran.

Banyak orang berkumpul di ruangan depan dan ruangan belakang, dan mereka itu siap dengan senjata di tangan, menghadang kalau-kalau dua orang gadis itu dapat lolos melalui ruang belakang atau depan. Akan tetapi tidak ada gerakan apa pun di dalam ruangan tengah yang dilempari bahan peledak yang mengandung pembius kuat yang membuat orang pingsan itu. Mereka adalah gerombolan perampok yang diceritakan Bhe Liang sebagai teman-temannya kepada dua orang gadis itu.

Setelah asap meninggalkan ruangan itu melalui atap, mereka mengintai ke dalam dan bersorak melihat betapa dua orang gadis itu telah roboh, menelungkup di atas lantai ruangan itu, pingsan!

"Dua ekor ikan itu sudah terjaring!"

"Mereka sudah roboh pingsan!"

"Aduh, cantik-cantik bukan main!"

Ketika mereka membuka pintu yang menembus ruangan depan dan ruangan belakang lalu memasuki ruangan itu, menghampiri dua orang gadis yang menggeletak pingsan, tiba-tiba terdengar suara nyaring penuh wibawa yang menggetarkan.

"Kalian mundur semua! Siapa berani menyentuh tubuh dua orang gadis itu, akan kusiksa sampai mati. Mereka itu milikku! Hayo kalian keluar semua dan jaga di luar kuil. Jangan ada yang berani masuk kalau tidak kupanggil!"

Suara orang itu sungguh memiliki wibawa yang amat kuat. Gerombolan itu sedikitnya ada tigapuluh orang dan mereka itu rata-rata bertubuh kekar dan berwajah bengis dengan sinar mata kejam. Akan tetapi begitu mendengar suara itu, mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan wajah mereka dicekam ketakutan, lalu mereka keluar dari ruangan itu sambil menundukkan muka, seperti gerombolan anak-anak yang takut kepada ayah atau guru yang galak dan yang menegur mereka karena perbuatan mereka yang salah.

Sebentar saja ruangan itu telah ditinggalkan semua anggauta gerombolan yang kini tinggal di luar kuil. Ada yang duduk-duduk di depan kuil, ada pula yang melakukan penjagaan di belakang kuil di mana terdapat sebuah kereta kosong dan beberapa ekor kuda, dan ada pula yang berjaga di kanan kiri kuil. Kuil itu telah dikepung penjagaan mereka. Ruangan di mana dua orang gadis itu rebah menelungkup kini sudah bersih dari asap putih.

Seorang laki-laki memasuki ruangan itu dari pintu yang menembus ruangan belakang. Dia seorang pemuda yang usianya sekitar duapuluh tujuh tahun. Tu-buhnya jangkung kurus, langkahnya dibuat gagah dengan dada dibusungkan. Akan tetapi karena tubuhnya memang kerempeng maka lagak gagah itu malah tampak lucu. Wajahnya sebetulnya tampan juga, akan tetapi karena bentuk mukanya agak panjang ke depan seperti muka seekor kuda, maka ketampanannya juga lucu. Sepasang matanya sipit dengan sinar mata mencorong, bola matanya bergerak liar ke kanan kiri. Hidungnya mancung dihias kumis tipis. Mulutnya cemberut seperti orang marah. Yang aneh adalah pakaiannya.

Pakaian itu ringkas dan bentuknya seperti pakaian yang biasa dipakai pendekar silat, akan tetapi pakaian itu terbuat dari kain yang ditambal-tambal, padahal kainnya bersih dan tampak baru! Jelas bahwa tambal-tambal itu bukan dilakukan karena pakaiannya sudah robek, melainkan pakaian baru yang sengaja, ditambal-tambal dengan kain yang kembang dan warnanya berlainan sehingga tampak ramai dan aneh.

Di punggungnya terselip sebatang tongkat hitam. Biarpun pakaiannya bermodel pakaian pengemis, namun orang ini pesolek sekali. Rambutnya mengkilat karena diminyaki, digelung ke atas dan diikat dengan pita sutera merah. Seuntai kalung emas tergantung di lehernya. Sepatu botnya dari kulit hitam mengkilat dan baru. Pendeknya, dia tampak seperti seorang pengemis aneh yang pesolek dan sama sekali tidak mencerminkan kemiskinan.

Pemuda aneh ini memasuki ruangan lalu berdiri memandang kepada dua orang gadis yang rebah menelungkup. Lalu dia bicara lirih seperti berbisik.

"Bukan main! Tubuh dua orang gadis yang denok, ramping dan padat, seperti dua kuntum bunga yang sedang mekar!" Dia memandang kagum kepada tubuh belakang dua orang gadis itu yang memang denok dan indah. Tubuh dua orang gadis yang sedang dewasa dan karena sejak kecil selalu berlatih olah raga silat, maka tentu saja bentuk tubuh itu indah dan padat.

Akan tetapi agaknya pemuda ini hendak memperlihatkan bahwa dia bukan orang yang mudah terpikat tubuh wanita indah, maka dia menghampiri dan membungkuk lalu mendorong tubuh Pek Hong dan Siang In sehingga kini tubuh mereka telentang dan tampak jelas tubuh bagian depan yang lebih indah lagi, dan wajah mereka yang cantik jelita dan sama. Kini sepasang mata yang sipit itu dibelalakkan, walaupun tetap saja sipit.

"Amboi......! Mimpi apa aku semalam? Belum pernah selama hidupku melihat dua orang gadis yang begini cantik jelita dan sama pula! Kui Tung......, sekali ini engkau memang beruntung bukan main!"

Akan tetapi sebelum dia melakukan sesuatu yang sudah pasti amat keji, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang pemuda! Masuknya pemuda ke dalam ruangan itu sungguh mengejutkan hati pe-muda muka kuda bernama Kui Tung itu dan dia cepat melompat ke belakang. Mereka saling berhadapan, saling pandang dengan sinar mata mencorong dan penuh selidik.

Pemuda yang baru muncul ini berusia duapuluh tiga tahun, bertubuh sedang dan tegap. Wajahnya bulat dengan kulit putih. Alis matanya hitam tebal berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Matanya mencorong aneh. Rambutnya dikucir dan pakaiannya mewah.

Kui Tung merasa heran sekali. Dia tahu bahwa kuil itu sudah dikepung dengan ketat dan dijaga anak buahnya yang jumlahnya lebih dari tigapuluh orang. Akan tetapi bagaimana mungkin orang ini masuk ke ruangan itu tanpa diketahui anak buahnya? Akan tetapi kemarahannya lebih besar dari keheranannya. Dia marah karena merasa terganggu sekali. Maka, menurutkan wataknya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain, tanpa bertanya lagi dia lalu menerjang maju dengan pukulan kuat yang mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang dahsyat.

Namun dengan tidak kalah cepatnya pemuda tampan itu bergerak, mengelak dan cepat membalas dengan serangan tamparan ke arah kepala Kui Tung. Si Muka Kuda ini terkejut bukan main karena gerakan lawan sungguh aneh dan hebat. Dia dapat merasakan sambaran angin pukulan dahsyat itu, maka cepat dia melompat ke samping sambil mencabut tongkat hitam yang terselip di pungungnya! Kemudian dia mainkan tongkat itu seperti orang bermain pedang dan tongkat itu sudah berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat!

Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat lawan itu dapat menghindarkan diri dari semua serangannya. Tongkatnya itu sebetulnya merupakan pedang yang disembunyikan dalam tongkat bambu agar lebih tepat dibawa seorang berpakaian pengemis. Dia memainkan ilmu pedang simpanannya, namun hebatnya, pemuda itu seolah mengenal baik semua gerakannya sehingga dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kui Tung mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya. Ilmu silatnya adalah ciptaan gurunya sendiri, bukan merupakan ilmu dari aliran yang mungkin dipelajari banyak orang. Akan tetapi alangkah herannya ketika lawannya itu mampu menghindarkan diri dan bahkan ketika lawannya itu membalas dengan serangan-serangan yang dahsyat, dia mengenal bahwa lawannya juga menggunakan ilmu yang sama!

"Hei......! Ini...... ini ilmuku......!" Kui Tung berseru. Pada saat itu, sebuah tendangan dari lawannya menyambar. Sebetulnya Kui Tung mengenal jurus tendangan ini karena sama dengan ilmu yang selama puluhan tahun dia pelajari, akan tetapi datangnya tendangan itu demikian cepatnya sehingga perutnya terkena tendangan. Cepat dia melindungi perutnya dengan tenaga saktinya.

"Wuuutt...... bukkk!!" Biarpun perutnya sudah terlindung tenaga sakti dan tidak terluka, namun tenaga tendangan yang kuat itu membuat tubuhnya terlempar menabrak dinding ruangan itu sehingga jebol. Biarpun tidak terluka, namun tetap saja Kui Tung merasa kepalanya agak pening. Cepat dia bangkit dan memandang pemuda tampan itu dengan terheran-heran.

"Siapakah engkau? Mengapa engkau mengenal ilmu silatku?"

Pemuda itu tersenyum lebar dan pandang matanya mengejek.

"Hemm, engkau tentu murid Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin, betulkah?"

"Engkau mengenal Suhu? Memang benar, aku murid Suhu Lam-kai Gui Lin, namaku Kui Tung. Engkau siapakah?"

"Namaku Can Kok."

"Ah, aku pernah mendengar tentang dirimu! Bukankah engkau yang menjadi murid Empat Datuk Besar. Lam-kai Gui Lin adalah seorang di antara Empat Datuk Besar. Pantas engkau menguasai ilmu yang kupelajari darinya! Kalau begitu, di antara kita masih ada hubungan seperguruan! Biarpun ilmu kepandaianmu lebih tinggi daripada aku, namun karena aku lebih dulu menjadi murid Lam-kai, dan usiaku juga lebih tua daripada usiamu, maka aku adalah suhengmu dan engkau adalah Suteku."

"Huh, engkau bukan Suhengku (Kakak seperguruanku)! Kalau aku tadi tidak mengenal ilmu silatmu, tentu sekarang engkau telah menjadi mayat! Kui Tung, kalau engkau ingin berteman dengan aku, engkau harus menyebut aku Tai-hiap (Pendekar Besar), karena aku adalah Bu-tek Tai-hiap Can Kok (Pendekar Besar Tanpa Tanding Can Kok)! Kalau engkau tidak mau, pergi dari sini sebelum kubunuh!"

Kui Tung merasa penasaran sekali. Pemuda ini begitu sombongnya! Akan tetapi Kui Tung adalah seorang yang cerdik. Dia tahu betul bahwa Can Kok adalah seorang yang Iihai bukan main, bahkan menurut cerita gurunya yang baru-baru ini dia jumpai, murid Empat Datuk Besar ini tingkat kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Empat Datuk Besar! Juga gurunya bercerita bahwa Can Kok kini menjadi orang sakti yang jalan pikirannya aneh karena otaknya guncang akibat penyatuan empat macam aliran tenaga dalam yang digabungkan. Orang begini lihai sebaiknya kalau dijadikan kawan, bukan lawan!

"Ah, baiklah, Can-taihiap (Pendekar Besar Can)! Lihat, aku telah dapat menangkap dua orang bidadari yang cantik molek. Engkau boleh memiliki seorang dari mereka!" Untuk mengambil hati kawan baru ini, Kui Tung menunjuk ke arah tubuh dua orang gadis yang masih menggeletak telentang di atas lantai ruangan itu.

Can Kok menyapu kedua tubuh gadis itu dengan pandang matanya yang aneh.

"Mereka ini mengapa?"

"Mereka adalah dua orang gadis yang lihai sekali dan mereka datang untuk merampas kembali barang-barang yang kami rebut dari tangan Pedagang Thio Ki dari kota Kang-cun, dan sebagian adalah barang-barang berharga milik Pangeran Cin Boan yang menjadi pembesar tinggi di kota itu. Dan selain engkau boleh memilih seorang di antara mereka berdua, engkau juga boleh memilih di antara barang rampasan ini, mana yang kau sukai, ambillah."

Can Kok tersenyum mengejek.

"Kui Tung, engkau memang tolol! Kalau aku menghendaki sesuatu, wanita atau benda apa saja, tidak perlu ditawarkan akan kuambil sendiri. Siapa yang berani melarang aku berbuat sesukaku? Dan ketololanmu yang kedua, Kui Tung, engkau menganggap dua orang gadis ini sudah tidak berdaya. Begitukah? Heh-heh-heh!"


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Apa maksudmu, Can-taihiap? Dua orang gadis ini memang sudah tidak berdaya, sedikitnya selama seperempat hari mereka akan tinggal pingsan karena mereka telah terbius oleh asap pembius kami yang amat manjur," kata Kui Tung.

"Inilah yang membuktikan ketololanmu! Aku sama sekali tidak melihat mereka berdua itu terbius atau pingsan! Sejak tadipun mereka itu tidak apa-apa. Engkau telah terkena tipu mereka, Kui Tung!"

"Ah, benarkah itu, Taihiap?" Kui Tung membelalakkan kedua matanya.

"Tidak percaya, perhatikan ini!" Can Kok menendang sebuah kursi dan benda itu melayang cepat ke arah tubuh dua orang gadis yang rebah telentang itu.

"Wuuttt...... krekkk!" Kursi itu hancur berkeping-keping ketika Siang In, yang rebah terdekat, tiba-tiba melompat bangkit dan sekali tangan kirinya bergerak menghantam, kursi itu pun hancur berantakan! Pek Hong juga sudah melompat bangkit dan berdiri di samping Siang In. Mereka berdua tersenyum mengejek.

Kedua orang dara perkasa ini memang sama sekali tidak pingsan! Ketika terjadi ledakan dan asap putih tebal memenuhi ruangan, mereka berdua cepat bertiarap. Kedua gadis ini adalah gadis-gadis yang sudah banyak pengalaman menghadapi penjahat-penjahat dan mereka berdua tahu akan bahayanya asap beracun itu. Mereka tahu bagaimana cara mengatasinya. Bisa saja mereka menerjang keluar untuk menghindarkan diri dari serangan asap pembius itu. Akan tetapi mereka ingin melihat kemunculan para penjahat yang telah merampok harta benda Thio Ki dan Pangeran Cin Boan, ingin tahu siapa yang menjadi pemimpin.

Kalau menerjang keluar, besar kemungkinan pimpinan gerombolan akan melarikan diri. Maka mereka cepat merebahkan diri menelungkup. Mereka tahu bahwa asap pasti akan membubung ke atas sehingga tidak akan tersedot oleh mereka karena mereka menelungkup dan hidung mereka berada di bawah menempel pada lantai. Biarpun begitu, mereka menahan napas dan meniup dari mulut mereka untuk mengusir kalau-kalau ada asap mendekat. Sebagai seorang yang sudah mahir olah pernapasan, tentu saja dua orarg gadis ini mampu menahan napas jauh lebih lama daripada orang biasa. Setelah asap menghilang dan ketika gerombolan itu menyerbu masuk, mereka sudah hendak bergerak menyambut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Kui Tung melarang dan para anak buah gerombolan itu keluar dari ruangan. Mereka menanti, hendak melihat siapa pemimpin mereka.

Ketika Kui Tung masuk dan membalikkan tubuh mereka sehingga telentang, mereka masih pura-pura pingsan, walaupun tangan mereka sudah gatal-gatal untuk turun tangan membekuk pimpinan gerombolan itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul pemuda tampan bernama Can Kok itu. Mereka berdua menonton perkelahian itu dan diam-diam terkejut. Orang yang bernama Kui Tung dengan tongkatnya itu sudah hebat sekali kepandaiannya, namun yang datang belakangan, yang mengaku bernama Can Kok, ternyata lebih lihai lagi!

Tahulah mereka bahwa mereka menghadapi orang orang yang tangguh. Apalagi ketika mereka melihat kedua orang pemuda itu kini berteman, berarti mereka harus menghadapi dua orang pemuda lihai itu. Mereka juga terkejut ketika mereka menyebut nama Lam-kai dan Empat Datuk Besar. Lebih kaget lagi ketika ternyata Can Kok mengetahui bahwa mereka hanya pura-pura pingsan dan menendang kursi untuk memaksa mereka bangkit!

Kini Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li berdiri tegak berhadapan dengan dua orang pemuda itu. Mereka berempat saling beradu pandang mata, seolah hendak mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata mereka. Dua orang dara perkasa itu melihat betapa pandang mata pemuda yang bernama Can Kok itu luar biasa sekali. Mencorong seperti mata kucing dalam kegelapan, namun bergerak-gerak aneh dan menyeramkan, tidak wajar dan seperti mata orang yang miring otaknya.

Sementara itu, Can Kok juga memperhatikan mereka berdua dan dia merasa heran dan kagum.

"Bukan main!" katanya sambil tersenyum sehingga wajah yang tampan itu, kalau saja sinar matanya tidak begitu aneh menyeramkan, tampak menarik.

"Bagaimana mungkin ada dua orang wanita yang begini sama kecuali kalau mereka kembar! Hei, Nona berdua, kalian tadi sudah mendengar nama kami. Kui Tung ini adalah murid Lam-kai Gui Lin, datuk besar selatan. Dan aku Can Kok adalah seorang yang telah menguasai semua ilmu dari Empat Datuk Besar! Nah, sekarang katakan, siapa nama kalian?"

Biarpun wataknya aneh dan dia pun terpesona oleh kecantikan dua orang gadis itu, namun dia tetap bersikap "sopan" dan lembut, tidak memuji kecantikan secara kasar seperti para pria yang ugal-ugalan.

Pek Hong Niocu yang tahu bahwa dua orang calon lawannya ini memang lihai, ingin pula menggertak mereka yang sudah memamerkan nama guru-guru mereka yang terkenal di dunia kang-ouw. Ia tersenyum mengejek dan pandang matanya berkilat.

"Hemm, kalian murid-murid datuk sesat. Pantas kalian sebagai murid mereka juga menjadi penjahat-penjahat busuk! Kalian ingin tahu nama kami? Terlalu bersih nama kami untuk diperkenalkan kepada manusia-manusia busuk macam kalian. Ketahuilah saja bahwa aku dikenal sebagai Pek Hong Niocu dan ini adalah Ang Hwa Sian-li. Kami berdua adalah murid-murid Yok-sian Tiong Lee Cin-jin!"

Kui Tung yang sudah mendengar julukan dua orang gadis itu yang memang amat terkenal, terkejut bukan main. Apalagi mendengar mereka murid Tiong Lee Cin-jin. Mukanya menjadi pucat dan jantungnya berdebar tegang.

"Tai-hiap, Pek Hong Niocu ini adalah puteri Kaisar Kin!" bisiknya gentar kepada Can Kok.

Akan tetapi ketika Can Kok mendengar bahwa yang berdiri di depannya ini adalah dua orang murid Tiong Lee Cin-jin, tiba-tiba dia tertawa bergelak. Dia digembleng oleh Empat Datuk Besar untuk mewakili mereka membunuh Tiong Lee Cin-jin dan kini, dua orang murid musuh besar itu berada di depannya! Dia tertawa, akan tetapi bukan sembarang tawa karena dia mengerahkan sin-kang dalam tawanya itu dan dia menyerang dengan suara seperti yang diajarkan oleh See-ong Hui Kong Hosiang. Dalam suara tawa itu terkandung hawa sakti bercampur kekuatan sihir yang memaksa orang yang mendengarnya tak dapat bertahan untuk tidak ikut terbawa, terseret pula ke dalam tawa. Getaran yang terkandung dalam tawa Can Kok itu datang bergelombang, atau seperti angin topan yang amat kuat!

Yang segera terpengaruh adalah Kui Tung. Walaupun murid Lam-kai ini juga seorang yang lihai dan dia memiliki sin-kang kuat yang sudah cepat dia kerahkan, namun tetap saja dia tidak mampu bertahan. Pertahanannya seolah bobol dan dia pun segera tertawa-tawa, bahkan lebih terbahak-bahak dibandingkan tawa Can Kok. Dia tertawa sampai terbongkok-bongkok menekan perutnya dan air matanya bercucuran!

Pek Hong dan Siang In, sebagai murid Tiong Lee Cin-jin yang dikenal sebagai manusia setengah dewa, tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan suara tawa yang dahsyat kekuatannya itu. Mereka berdua segera menggunakan ilmu yang disebut Tho-hun (Sukma Tanah), yang sifatnya membiarkan diri menerima tanpa melawan seperti tanah, namun yang melarutkan segala yang menerjangnya. Mereka berdua menghadapi angin topan seolah bersikap seperti rumput, lentur, lemas dan rendah sehingga biarpun tergoyang namun sama sekali tidak dapat dirusak. Tubuh mereka bergoyang-goyang perlahan seperti menari, mata terpejam dan getaran dahsyat suara tawa itu lewat begitu saja.

Dalam puncak pertahanannya, Pek Hong bahkan dapat berkelakar dengan Siang In dan berkata, "Lihat, dia tertawa-tawa seperti orang gila!"

Siang In menjawab.

"Memang otaknya miring!"

Mendengar ejekan ini, Can Kok menjadi marah sekali. Mukanya berubah merah dan dia menghentikan tawanya. Untung dia menghentikannya karena keadaan Kui Tung sudah payah. Tubuhnya lemas karena tertawa terbahak-bahak tak dapat ditahan, air matanya bercucuran dan napasnya mulai memburu. Kalau dibiarkan terus, tentu dari lubang telinga, hidung, mata dan mulutnya akan keluar darah dan kalau sudah terlalu parah, nyawanya tidak akan tertolong lagi! Dia lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaga dalamnya yang tadi dia kerahkan untuk melawan pengaruh suara dahsyat itu.

"Hei, orang she Can yang berotak miring. Engkau dapat tertawa, mengapa engkau sekarang tidak menangis?" Siang In mengejek.

"Hemm, gadis-gadis sombong. Sebelum mati, berdoalah dulu kepada arwah nenek moyangmu karena kalian akan mati di tanganku!"

Mendadak Kui Tung berkata, "Can-taihiap, sayang kalau dibunuh langsung. Bunga-bunga harum seperti ini, sebaiknya dinikmati dulu baru dibunuh!"



Kisah Si Naga Langit Eps 5 Kisah Si Naga Langit Eps 15 Kasih Diantara Remaja Eps 1

Cari Blog Ini