Kisah Si Naga Langit 5
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Mendengar ucapan itu, Kaisar Kao Tsung menoleh kepada Jenderal Gak Hul. Wajah Jenderal Gak Hul menjadi merah dan hatlnya yang keras dan penuh kesetiaan kepada Kerajaan Sung menjadi panas.
"Hamba tidak akan gagal, Yang Mulia!" katanya kepada kaisar yang memandang kepadanya.
"Akan tetapi tidak ada yang pasti di dunia ini, Gak Ciangkun. Hidup kitapun tidak bisa dipastikan kapan berhentinya. Bagaimana kalau engkau gagal, kalah dalam perang melawan balatentara Kin? Bagaimana pertanggungan jawabmu terhadap Yang Mulia, terhadap bangsa dan terhadap kerajaan?" Suara Perdana Menteri Chin Kui mengandung tantangan dan ejekan. Jenderal Gak Hui merasa dadanya seolah hendak meletus saking marahnya. Akan tetapi di depan kaisar dia tidak berani memperlihatkan kemarahan dan menahan perasaannya. Apa yang hendak dia lakukan adalah demi kepentingan kerajaan dan bangsa, akan tetapi kegagalannya akan ditimpakan kepada dia seorang!
"Kalau saya gagal, saya bersedia untuk dipecat dan dijatuhi hukuman yang pallng berat, Chin-taijin (Pembesar Chln)l" katanya sambll memandang wajah Perdana Menterl itu dengan sinar mata tegas dan keras.
"Bagus! Tentu saja kalau gagal engkau tidak cukup mengucapkan maaf lalu lepas tangan. Engkau mempermainkan nasib kerajaan dan bangsa dalam usulmu ini, Ciang-kun!"
"Sudahlah, Perdana Menteri Chin Kui!" kata Kaisar Kao Tsung.
"Jenderal Gak Hui sudah menyatakan pendapat dan kesanggupan pertanggungan jawabnya dan kami mengenal dia sebagai seorang gagah yang selalu memegang teguh kata-katanya. Kami juga percaya bahwa dia tentu akan berhasil. Karena itu, kami memutuskan menerima usulmu, Jenderal Gak Hul. Laksanakanlah seperti yang kaurencanakan itu!"
"Terima kasih atas kepercayaan paduka dan hamba siap melaksanakan perintah, Yang Mulia!" Kata Jenderal Gak Hui dengan suara tegas yang mengandung kegembiraan. Persidangan dibubarkan dan Jenderal Gak Hui cepat kembali ke markasnya. Dia segera memanggll semua pembantunya, yaltu para perwira yang menjadi komandan dari pasukan-pasukannya. Setelah mereka berkumpul, di antara mereka terdapat Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, Jenderal Gak menceritakan tentang persetujuan kaisar yang menerima usulnya untuk melakukan penyerbuan ke utara, mengusir penjajah Kin.
"Aku peringatkan kepada kalian bahwa kita semua adalah pengemban-pengemban tugas yang mulia, yaitu membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Hidup yang sempurna berarti melaksanakan tugas dengan baik karena hidup ini sendiri berarti memikul tugas-tugas. Untuk dapat menjadi seorang manusia seutuhnya kita, harus dapat melaksanakan semua tugas itu dengan sebaik-baiknya. Tugas pertama dan utama adalah tugas seorang manusia terhadap Tuhannya, yaitu menaati semua perintah Tuhan melalui kitab agama masing-ma-sing yang tentu bersumber kepada kebaikan dan hidup bermanfaat bagi manusia dan dunia. Dalam tugas utama ini tercakup tugas-tugas lain yang banyak macamnya, misalnya tugas kewajiban sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, sebagai anak terhadap orang tuanya, sebagai suami terhadap isterinya dan sebaliknya, sebagai anggauta keluarga terhadap sanak keluarganya, sebagai guru terhadap muridnya dan sebaliknya, sebagai anggaUta masyarakat, sebagai sahabat, sebagai warga negara terhadap negaranya dan sebagainya lagi. Termasuk tugas yang sekarang kalian emban, yaitu tugas seorang perajurit terhadap atasan dan pasukannya, sebagai seorang patriot terhadap bangsa dan tanah airnya. Kalau hendak menjadi seorang manusia seutuhnya, maka, semua tugas itu harus dilaksanakan dengan baik. Satu saja tugas itu diabaikan, tentu dia tidak dapat menjadi manusia baik yang seutuhnya! Biarpun semua tugas yang kusebutkan tadi telah kalian laksanakan dengan baik, namun kalau kalian tidak memenuhi tugas kalian sebagai seorang perajurit dan patriot, maka kalian tetap akan menjadi orang yang tercela. Apa lagi kalau ada di antara kalian yang mengkhianati perjuangan, nama seorang pengkhianat akan dikutuk rakyat selama hidupnya. Aku percaya bahwa kalian adalah patriot-patriot yang gagah perkasa, yang siap mempertaruhkan nyawa demi keselamatan bangsa dan tanah air, demi kehormatan Kerajaan Sung."
Setelah memberi peringatan kepada para perwira itu, Jenderal Gak lalu membagi-bagi tugas kepada mereka. Setelah pertemuan itu dibubarkan, Jenderal Gak memanggil Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ke dalam kantornya.
"Kalian telah berjasa besar dalam menggembleng Pasukan Halilintar sehingga pasukan yang kalian pimpin dapat dijadikan pasukan inti yang akan mempelopori dan memberi dorongan semangat kepada seluruh barisan. Akan tetapi jasa kalian itu belum terbukti manfaatnya bagi kerajaan. Sekarang tiba saatnya kalian membuktikan bahwa kalian dan pasukan kalian benar-benar boleh diandalkan dan menjadi tulang punggung seluruh barisan. Apakah kalian berdua sudah siap lahir batin untuk melaksanakan tugas yang amat penting akan tetapi juga amat berbahaya ini?"
Dengan sikap tegak dan suara tegas suami isteri itu menjawab serentak,
"Kami siap melaksanakan tugas, Tai-ciangkun!"
Gak Hui memandang suami isteri itu dengan kagum dan bangga. Tidak salah penilaiannya terhadap suami isteri ini ketika pertama kali dia melihat mereka dalam rumah Panglima Ciang Sun Bo. Han Si Tiong kini telah menjadi seorang pria gagah perkasa berusia tiga puluh tiga tahun, sedangkan Liang Hong Yi yang juga berpakaian sebagai seorang perwira Itu tampak gagah dan cantik manis dalam usianya yang dua puluh enam tahun.
"Sekarang kalian pulanglah dan membuat persiapan. Seperti telah kita rencanakan tadi, besok pagi-pagi benar sebelum fajar menyingsing, kita akan berangkat"
"Baik, tai-ciangkun!" kedua orang suami isteri itu memberi hormat lalu bergegas pulang ke rumah mereka. Sebagal perwira, mereka telah mendapatkan rumah tinggal sendiri di mana mereka tinggal bersama anak tunggal mereka, Han Bi Lan yang kini sudah berusia tujuh tahun dan Lu-ma yang kini tampak selalu gembira dan tubuhnya menjadi gemuk. Lu-ma inilah yang mengasuh Bi Lan dengan penuh kasih sayang seorang nenek apabila ayah ibu anak itu meninggalkan rumah untuk bertugas.
Ketika Si Tiong dan Hong Yi melangkah masuk melalui pintu depan, Bi Lan, anak perempuan berusia tujuh tahun yang mungil dan manis itu, tiba-tiba menyambut ayah ibunya dengan bentakan nyaring,
"Ayah ibu awas seranganku!" Dan anak itu dengan gerakan yang gesit sekali telah menyerang ayah ibunya dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan. Mulutnya yang kecil mungil berseru berulang-ulang,
"Haiiittt.... yaaattt?"
Si Tiong dan Hong Yi mengelak dan membiarkan anak mereka melakukan serangan bertubi-tubi sampai tujuh jurus. Kemudian Si Tiong menangkap lengan Bi Lan dan mengangkat tubuh anak itu dan dipondongnya,
"Bagus, Bi Lan. Akan tetapi engkau harus berlatih lebih tekun lagi." kata Si Tiong sambil mencium pipi anaknya.
"Akan tetapi engkau juga tidak boleh melalaikan pelajaranmu membaca dan menulis, Bi Lan." kata Hong Yi.
Lu-ma muncul dari dalam. Badannya gemuk dan sehat dan wajahnya penuh senyum.
"Mana berani ia melalaikan pelajarannya? Selama ada aku di sisinya, ia tidak akan berani bermalas-malasan!" Bi Lan cemberut dan melapor kepada ibunya.
"Ibu, nenek Lu galak dan kejam! Kalau aku tidak menurut, ia tidak mau melanjutkan dongengnya!"
"Bukan galak dan kejam, melainkan itu karena ia sayang sekali kepadamu, Bi Lan. Nenek ingin engkau menjadi seorang yang pandai dan berguna bagi manusia dan dunia kelak." kata Hong Yi.
"Baiklah, nenekmu yang galak dan kejam ini malam nanti akan melanjutkan dongengnya tentang nenek sihir yang jahat itu." kata Lu-ma sambil tersenyum.
Bi Lan turun dari pondongan ayah-nya dan lari menghampiri Lu-ma lalu memeluknya."Nenek Lu tidak galak dan kejam, melainkan baik hati sekali! Aku sayang padamu, nek. Malam nanti lanjutkan donggengnya, ya?"
Mereka semua tertawa menyaksikan kemanjaan anak itu. Si Tiong dan Hong Yi lalu berkemas dan setelah makan malam mereka mengatakan kepada Lu-ma dan Bi Lan bahwa besok pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing mereka akan berangkat bertugas dan sekali ini mereka akan pergi untuk waktu yang lama dan belum dapat ditentukan berapa lamanya.
"Kalian akan pergi ke mana dan melakukan tugas apakah maka membutuhkan waktu lama?" tanya Lu-ma.
"Kami akan memimpin pasukan menuju ke utara untuk berperang mengusir bangsa Kin." kata Hong Yi.
Lu-ma melompat bangkit dari duduk-nya.
"Berperang....? Ahhh....!" Mata nenek itu terbelalak dan alisnya berkerut, wajahnya membayangkan kekhawatiran besar.
"Engkau kenapakah nek? Ayah dan ibu adalah prajurit-prarajurit patriot yang gagah perkasa, tentu saja mereka pergi berperang untuk mengusir penjajah", kata Bi Lan yang memang sejak kecil telah diberi pengertian oleh ayah ibunya tentang kependekaran dan kepahlawanan.
"kita sepatutnya merasa bangga, nek".
Lu-ma masih tampak gelisah.
"Akan tetapi.... bertempur....??"
"Bibi ucapan Bi Lan. tadi benar sekali. Kami harus bertempur membela bangsa dan tanah air. Karena itu kami titip Bi Lan agar kau amati ia baik-baik selama kami pergi."
"Ibu, aku ingin ikut berperang melawan Bangsa Kin !" tiba-tiba Bi Lan berkata lantang.
Si Tiong tersenyum bangga.
"Engkau masih terlalu kecil. Bi Lan. Engkau harus belajar dan berlatih dengan giat agar menJadi kuat dan mampu melawan musuh. sekarang belum waktunya karena di pihak musuhpun tidak ada anak kecilnya."
Kalau sudah besar aku boleh ikut bertempur, ayah?"
"Tentu saja! Engkau akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa dan ditakuti musuh."
Setelah Bi Lan tidur, malam itu Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bicara lebih serius kepada Lu-ma.
"Kalau terjadi apa-apa dengan kami, andaikata kami gugur dalam perang, rawatlah Bi Lan baik-baik bibi. Di almari itu kami tinggalkan seluruh harta milik kami, dapat engkau pergunakan untuk membesarkan Bi Lan. Jangan lupa untuk mengundang guru silat dan guru sastra untuk mendidiknya." pesan Liang Hong Yi.
Lu-ma mengangguk-angguk sambil mengusap air matanya. la tidak dapat menyembunyikan kegelisahan hatinya. Ia amat sayang kepada Hong Yi, menganggap wanita itu seperti anak kandungnya sendiri. Membayangkan Hong Yi bertempur dalam perang, terluka atau bahkan tewas, hatinya merasa gelisah bukan main. Melihat nenek itu menahan isak dan mengusap air mata, Hong Yi merangkulnya"
"Tenanglah dan jangan khawatir, bibi. Kami akan menjaga diri dengan hati-hati dan percayalah, Jenderal Gak Hui akan membawa kami mencapai kemenangan yang gemilang." kata Si Tiong dengan nada menghibur dan membesarkan hati.
"Benar, bi. Jangan khawatir dan jangan memperlihatkan kesedihan kepada Bi Lan agar anak itu tidak ikut khawatir dan bersedih. Kami berdua pasti akan pulang dengan selamat." kata Hong Yi.
Akhirnya Lu-ma dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi malam itu ia tidak mau berpisah dari Bi Lan dan menemani anak itu tidur di kamar Bi Lan
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suami isteri itu sudah selesai berkemas. Ketika saatnya keberangkatan tiba, mereka memasuki kamar Bi Lan dan ternyata Lu-ma juga sudah bangun sejak tadi. Mereka menggugah anak itu. Anak itu malam tadi sudah memesan dengan sangat kepada ayah ibunya agar dia digugah kalau mereka hendak berangkat.
Bi Lan terbangun. Hong Yi merangkul anaknya.
"Anakku Bi Lan, engkau baik-baik menjaga dirimu di rumah. Taati semua petunjuk nenekmu dan jangan lupa untuk belajar dengan tekun, baik sastra maupun silat."
"Jangan khawatir, Ibu." Dan ketika ia melihat Lu-ma mengusap air matanya, Bi Lan menegur.
"Eh, nenek kenapa menangis? Jangan cengeng, nek dan Jangan khawatir. Selama ayah dan ibu pergi, akulah yang akan menjagamu!"
Si Tiong juga merangkul anaknya.
"Bi Lan, ingat, selama ayah dan ibu tidak berada di rumah, engkau jangan nakal. Jangan suka berkelahi dengan anak-anak lain."
"Ayah, ibu, kalau pulang jangan lupa membawa oleh-oleh!"
Hong Yi tersenyum.
"Baik, akan tetapi oleh-oleh apa yang kau inginkan, Bi Lan?"
"Aku ingin ayah dan ibu pulang membawa oleh-oleh sebatang pedang bengkok milik seorang panglima Bangsa Kin!"
Han Si Tiong saling bertukar pandang dengan Liang Hong Yi. Keduanya mengangguk.
"Baiklah, Bi Lan, aku akan mengusahakan agar dapat merobohkan seorang panglima Kin dan merampas pedangnya untukmu."
Suaml isterl Itu lalu meninggalkan rumah, diantar sampai keluar pekarangan oleh Bi Lan dan Lu-ma. Bi Lan mengantar ayah ibunya dengan wajah cerah dan pandang mata bangga, tidak sepertl Lu-ma yang niengusap air matanya yang selalu mengalir keluar dari sepasang matanya.
Setelah suami isteri yang sering nengok dan melambaikan tangan menghilang di tikungan jalan, Bi Lan menggandeng tangan neneknya dan mengomel.
"Aih, nenek ini cengeng benar sih! Sudah tua menangis! Ayah dan ibu kan pergi berjuang, sepatutnya bergembira dan berbangga, bukan menangis."
Lu-ma menyusut air matanya dan tersenyum, mengelus rambut kepala cucunya yang amat disayangnya.
"Aku juga gembira dan bangga, Bi Lan."
"Lalu kenapa nenek menangis?"
"Hemm, karena cengeng itulah!"
"Ehh....,?". Bi Lan.tldak mengerti bingung.
"Sudahlah, mari kita masuk ke rumah, mandi yang segar, berganti pakaian lalu sarapan." Lu-ma lalu menggandeng tangan cucunya dan mereka memasuki rumah yang bagi Lu-ma tiba-tiba terasa sepi itu.
* * *
Sepasang suami isteri itu memang tampak gagah sekali ketika mereka menunggang kuda memimpin Pasukan Halilintar yang mereka bentuk. Terutama sekali Liang Hong Yi tampak cantik dan juga gagah perkasa. Dengan pakaian perang wanita yang baru berusia dua puluh enam tahun ini tampak gagah dan melihat isteri komandan mereka ini ikut memimpin pasukan di samping suaminya, para perajurit anggauta Pasukan Halilintar menjadi gembira dan bersemangat sekali!
Balatentara Kerajaan Sung itu dipimpin sendiri oleh Jenderal Gak Hui. Setelah barisan keluar dari kota raja, Jenderal Gak Hui lalu membagi barisan besar itu menjadi lima pasukan, di antaranya Pasukan Halilintar yang bertugas sebagal pendobrak di garis terdepan. Pasukan-pasukan itu berpencar dan dimaksudkan untuk menyerang benteng pertahanan tentara Kin di utara dari beberapa jurusan. Siasat inl dilakukan untuk memecah perhatian musuh, membuyarkan pemusatan kekuatan musuh dan menimbulkan kesan seolah-olah yang melakukan penyerbuan ke utara itu jauh lebih besar jumlahnya dari pada yang sebenarnya.
Penyerbuan besar-besaran yang dilakukan barisan yang dipimpin Jenderal Gak Hui Ini mengejutkan barisan Kin. Apa lagi karena serbuan itu dilakukan dari berbagai jurusan. Mereka melakukan perlawanan mati-matian dan terjadilah pertempuran di mana-mana, pertempuran yang dahsyat
Han Si Tiong memperlihatkan kegagahannya. Pasukan Halilintar yang dipimpinnya merupakan pasukan yang membuat pihak musuh berantakan dan terpaksa mendatangkan bala bantuan lebih besar untuk menghadapi pasukan istimewa yang dipimpin Han Si Tiong dan isterinya. Liang Hong Yi bertempur di samping suaminya, di setiap pertempuran wanita muda ini mengamuk dengan pedangnya. Gelung rambutnya terlepas dan rambutnya riap-riapan ketika ia mengamuk dan merobohkan banyak lawan.
Ketika pertempuran sedang memuncak, tiba-tiba Hong Yi melihat suaminya bertanding melawan seorang lawan yang bertubuh tinggi besar dan melihat pakaiannya dapat diketahui bahwa dia seorang panglima. Panglima Kin ini memainkan sebatang pedang bengkok dan dia lihai bukan main. Han Si Tiong sendiri sampai kewalahan menghadapi lawan yang amat tangguh ini. Dan sepak terjang panglima Kin ini agaknya mendatangkan semangat yang berkobar di pihak pasukan Kin. Apa lagi datang pasukan lain yang membantu sehingga selain jumlah pasukan Kin lebih besar, juga kedudukan mereka jauh lebih kuat. Pada saat itu, Pasukan Halilintar berada di lereng sebuah bukit dan mereka terkepung ketat oleh pasukan musuh. Mereka terdesak hebat dan melihat ini, Han Si Tiong bermaksud untuk mencari jalan terobosan agar pasukannya dapat diselamatkan dan untuk sementara mundur dulu dari kepungan dari pada pasukannya hancur dibinasakan pihak lawan yang amat kuat. Juga dia melihat betapa pasukannya sudah tampak kelelahan dan semangat mereka sudah mulai lemah. Karena perhatiannya terpecah, hampir saja lehernya terkena sabetan pedang panglima musuh yang dilawannya. Dia cepat melompat ke belakang dan memutar pedangnya sehingga tubuhnya terlindung dan terpaksa dia mencurahkan seluruh perhatiannya lagi menghadapi lawan yang tangguh itu. Karena desakan ini, maka Han Si Tiong belum mendapat kesempatan untuk memerintahkan pasukannya mundur.
Liang Hong Yi juga melihat keadaan Pasukan Halilintar yang sudah terjepit dan terdesak itu. la merasa khawatir sekali melihat pasukan yang tampak kelelahan dan kehilangan semangat. la tahu bahwa hanya ada satu cara untuk menyelamatkan diri dan memenangkan pertempuran berat sebelah itu, ialah dengan meningkatkan semangat pasukannya sehingga berapi-api. Maka, ia lalu cepat berlari ke arah para perajurit yang bertugas membawa bendera Pasukan Halilintar. Setelah tiba dekat, ia berseru,
"Berikan bendera dan genderang itu!" la merampas begitu saja bendera pasukan dan sebuah genderang perang, lalu berlari ke arah puncak bukit kecil tak jauh dari situ. Setelah tiba di puncak, la menancapkan tihang bendera di puncak, kemudian ia memukul gendereng dengan sekuat tenaga, mengisyaratkan penyerbuan. Bunyi genderang bertalu-talu, nyaring sekali, mengejutkan Pasukan Halilintar sendiri dan juga pihak lawan. Ketika pasukan Kin melihat bahwa yang memukul genderang itu seorang wanita yang rambutnya riap-riapan dan berpakaian sebagai perwira, mereka menghujankan anak panah ke arah Liang Hong Yi. Namun, Hong Yi mempergunakan pedang di tangan kanan untuk menangkisi semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya sedangkan tangan kirinya tetap memukuli genderang.
Melihat kegagahan Hong Yi, para perajurit Pasukan Halilintar menjadi kagum dan bangga. Semangat mereka terbakar berkobar-kobar dan mulut mereka mengeluarkan teriakan-teriakan nyaring, kemudian bagaikan kesetanan mereka mengamuk! Hebat bukan main sepak terjang para perajurit Pasukan Halilintar ini, bagaikan halilintar menyambar-nyambar dan para perajurit Kin roboh bergelimpangan! Biarpun Hong Yi sudah menghentikan pemukulan genderang, namun bunyi genderang masih bertalu-talu karena ada perajurit penabuh genderang yang menggantikannya. Hong Yi sendiri lalu berlari menuruni bukit kecil itu. la melihat betapa suaminya masih bertanding seru melawan panglima Kin dan kini suaminya mulai terdesak dan keadaannya berbahaya sekali. Maka, dengan pedang di tangan Hong Yi melompat dan menerjang, membantu suaminya menyerang panglima itu. Panglima itu terkejut karena gerakan pedang Hong Yi cukup dahsyat. Dia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun menghadapi pengeroyokan suami isteri itu, akhirnya dia roboh terkena tusukan pedang di tangan Han Si Tiong. Tusukan itu mengenai dadanya dan diapun roboh dan tewas.
"Pangeran Cusi gugur....lt" terdengar seruan beberapa orang perajurit Kin yang bertempur tdak jauh dari situ. Berita ini terus menjalar dan robohnya panglima Kin yang ternyata seorang pangeran ini membuat pasukan Kin menjadi kacau dan panik.
Han Si Tiong teringat akan pesan puterinya. Dia lalu mengambil pedang bengkok milik panglima atau pangeran yang tewas. itu. Sebatang pedang yang indah sekali, bergagang emas! Setelah membuka sarung pedang yang tergantung di pinggang pangeran itu dan menggantung pedang itu di pinggangnya sendiri, bersama Hong Yi dia lalu terus memimpin pasukannya untuk mendesak pihak lawan yang sudah menjadi panik Itu. Akhirnya pasukan Kin mundur melarikan diri, meninggalkan banyak kawan yang tewas. Pasukan Halilintar yang mula-mula mengejar, berhenti atas perintah Han Si Tiong. Mengejar terus di daerah lawan, selain membuat pasukannya yang sudah lelah sekali itu kehabisan tenaga, juga ada bahayanya mereka akan terjebak, Pasukan Halilintar bersorak menggegap-gempita sebagai pernyataan kegembiraan mereka. Hong Yi yang telah berhasil meningkatkan semangat pasukannya dengan cara yang gagah berani itu menjadl bahan percakapan pasukan yang merasa kagum dan bangga sekali.
Kemenangan demi kemenangan diperoleh barisan yang dipimpin Jenderal Gak Hui dan Pasukan Halilintar memegang peran penting dalam pertempuran yang berhasil ini. Tentu saja Jenderal Gak Hui mencatat semua jasa Han Si Tiong dan juga Liang Hong Yi.
Akan tetapi, selagi Jenderal Gak Hui mulai berhasil dengan gerakan serangannya ke arah utara yang dikuasai kerajaan Kin, tiba-tlba saja datang utusan Kaisar Sung Kao Tsu yang membawa surat perintah kaisar untuk Jenderal Gak HUl. Alangkah terkejut rasa hatl Jenderal Gak Hul ketika membaca surat perintah Itu. Kalsar memerintahkan agar dia menghentikan serangannya dan segera menarlk barisannya kembali ke selatan. Rasa kaget, heran, penasaran dan marah memenuhi hati jenderal inl. Dia sudah mulai menyerang dan mendapatkan banyak kemenangan dan kemajuan. Kalau dia diberi kesempatan, bukan mustahil dia akan mampu mengusir penjajah Kin keluar dari seluruh daerah Sung yang dirampasnya karena di sepanjang daerah yang dapat direbutnya, seluruh rakyat menyambutnya dengan hangat dan siap membantunya! Dia dapat memperbesar dan memperkuat barisannya sambil berperang. Akan tetapi, tlba-tiba tanpa alasan apapun, Kaisar merintahkan agar dia menghentikan gerakannya dan menarik kembali pasukan-pasukannya ke selatan! Biarpun hatinya penuh penyesalan, namun Gak Hui adalah seorang panglima yang amat setia kepada Kerajaan Sung. Berarti dia harus setia kepada Kaisar! Apapun perintah kaisar harus dia taati, bahkan dia siap memberikan nyawanya kalau hal itu dikehendaki oleh kaisar! Demikianlah kesetiaan Jenderal Gak Hui yang disanjung dan dipuji rakyat jelata. Jenderal Gak Hui sempat menitikkan air mata ketika dia berada seorang diri dalam kamarnya pada saat dia memerintahkan para perwiranya untuk menarik kembali pasukan-pasukan di bawah komandonya.
Apakah yang terjadi di kota raja, terutama di istana Kaisar? Mengapa Kaisar Sung Kao Tsu memerlntahkan Jenderal Gak Hul untuk menghentikan gerakan penyerbuannya mengusir penjajah Kin yang sudah mulai tampak hasilnya?
Semua ini adalah hasll persekutuan antara Raja Kin dan Perdana Menteri Chin Kui yang sudah dijalin selama bertahun-tahun. Perdana Menteri Chin Kui yang sudah bersahabat dengan Raja Kin Ini selalu berusaha untuk mencegah Kaisar Kao Tsu memerangi kerajaan Kin di Sung Utara. Akan tetapi sekali ini dia tldak berhasil sehingga Kaisar Kao Tsu mengijinkan Jenderal Gak Hui untuk mengadakan gerakan penyerbuan ke utara seperti yang diusulkan Jenderal Gak itu.
Serangan mendadak itu mengejutkan Raja Kin. Apa lagi ketika seorang pangeran tewas dalam pertempuran itu. Dia menjadi marah sekali dan segera dia memerintahkan seorang menterinya untuk memanggil seorang datuk yang tinggal dl Sln-kiang, Datuk ini bukan lain adalah Ouw Kan, peranakan Uigur-Cina yang berilmu tinggi dan datuk ini memang sudah seringkali dimintai bantuan untuk melaksanakan tugas yang berat dengan imbalan besar. Pada bagian awal kisah ini kita sudah mengenal Ouw Kan datuk darl Sin-kiang ini yang mencoba untuk merampas kitab-kitab yang dibawa Tiong Lee Cin-jin dari hegara India.
Tak lama kemudian Ouw Kan sudah datang menghadap Raja Kin. Usianya sekitar enam puluh dua tahun. Rambut kumis dan jenggotnya sudah berwarna putih. Tubuhnya sedang saja namun masih tegak dan tegap seperti tubuh seorang muda. Tangannya selalu membawa sebatang tongkat dari ular cobra kering. Wajahnya tidak buruk, akan tetapi menyeramkan dan sepasang matanya yang lebar itu bergerak liar. Raja Kin menyambutnya dengan girang dan datuk ini dihormati, diperbolehkan menghadap raja sambil duduk di atas kursi, menghadap Raja Kin.
"Apakah yang dapat saya lakukan untuk paduka?" tanya Ouw Kan tanpa banyak upacara lagi. Memang sikap datuk ini terhadap Raja Kin berbeda derigan sikap para pembesar pada umumnya. Dia tidak pernah memberl hormat secara berlebihan kepada siapapun juga dan hal inipun dlmaklumi oleh Raja Kin.
Kami membutuhkan bantuanmu, Ouw-sicu (orang gagah Ouw), untuk urusan yang teramat penting. Engkau akan kami beri surat kuasa dan pergilah ke Selatan ke kota raja Hang-couw dan jumpal Perdana Menteri Chin Kui. Atas nama kami tegurlah dia mengapa balatentara Sung Selatan yang dlpimpin Jenderal Gak Hui sampal menyerang ke utara. Katakan bahwa dla harus dapat membujuk kaisar menghentlkan serangan itu, kalau tldak kami akan memutuskan hubungan dan akan menyerang ke selatan."
"Tugas itu mudah sekali, Sribaginda. Kenapa untuk tugas sesederhana itu harus saya yang melakukannya? Paduka dapat mengutus sembarang orang." kata Ouw Kan yang merasa betapa tugas itu terlalu kecil tak berarti bagi dirlnya yang biasa melakukan tugas-tugas yang lebih besar dan sukar.
"Itu baru tugas pertama, Ouw-sicu. Ada tugas ke dua yang amat penting dan berat. Kami kira hanya engkau yang akan dapat melaksanakan dengan baik, Ouw-sicu." kata Raja Kin.
"Nah itu yang saya sukai, Sribaginda. Apakah tugas ke dua itu?"
"Ketahuilah bahwa dalam penyerbuan barisan Kerajaan Sung Selatan, putera kami telah gugur dalam pertempuran. Dia tewas di tangan perwira yang bernama Han Si Tiong bersama isterinya yang bernama Liang Hong Yi. Nah, engkau carilah mereka dan engkau tentu tahu apa yang harus kaulakukan terhadap mereka untuk membalas sakit hatlku karena kematian puteraku di tangan mereka."
Ouw Kan mengangguk-angguk. Wajah-nya berseri dan mulutnya yang dikelilingi kumis dan jenggot itu tersenyum, hati-nya gembira.
"Baik, Sribaginda. Harap paduka tidak khawatir. Dua tugas Itu pasti akan dapat saya laksanakan dengan baik. Kapan saya harus berangkat?"
"Sekarang juga berangkatlah. Pilihlah kuda terbaik dan di sepanjang perjalanan sampai ke tapal batas, setiap orang pejabat tentu akan mengganti kudamu dengan yang baru asal engkau tunjukkan surat kuasa dari kami. Akan tetapi, Ouw sicu, jangan engkau melibatkan diri dalam pertempuran karena hal itu akan menghambat terlaksananya tugasmu yang penting. Berangkatlah dan hadiah besar menantimu setelah engkau menyelesaikan tugas itu dengan baik."
Ouw Kan menerima surat kuasa dari Raja Kin dan berangkatlah dia menunggang seekor kuda pilihan yang baik. Demikianlah, selagi di perbatasan masih terjadi pertempuran, Ouw Kan memasuki kota raja Hang-couw dan tidak sukar baginya untuk menemukan gedung istana tempat tinggal Perdana Menteri Chin Kui.
Perdana Menteri Chin Kui tergopoh-gopoh menerima utusan Raja Kin itu dan mengajaknya bercakap-cakap dalam ruangan rahasia yang tertutup rapat. Dia pernah bertemu dengan Ouw Kan sebagai utusan Raja Kin, apa lagi ketika Ouw Kan memperlihatkan surat kuasanya, Chin Kui percaya sepenuhnya kepada datuk itu. Dia menyambut tamunya dengan jamuan makan. Setelah mereka makan minum, Perdana Menteri Chin Kui lalu menanyakan maksud kunjungan Ouw Kan.
"Saya datang diutus oleh Sribaginda Kerajaan Kin yang marah sekali karena barisan Sung telah menyerang daerah Kin dan saya diutus untuk menegur dan me-nanyakan kepada Chin-taijin (Pembesar Chin) mengapa hal seperti itu dapat ter-jadi. Sribaginda minta agar saya menyampaikan kepada Chin-taijin bahwa kalau taijin tidak segera membujuk Kaisar Sung agar cepat menghentikan serangan dan menarik kembali pasukan dari daerah Kerajaan Kin, maka Sribaginda akan memutuskan hubungan dengan taijin dan akan menyerang dan membasmi Sung Selatan!"
Wajah Chin Kui agak berubah pucat dan dia menelan ludah beberapa kali sebelum menjawab.
"Ouw-slcu, harap sampalkan kepada Sribaginda. Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas penyerangan Itu. Percayalah, saya sudah berusaha sekuatnya untuk mencegah penyerangan itu, akan tetapi semua ini gara-gara si kepala batu Jenderal Gak Hui. Dia dapat mempengaruhi Kaisar sehingga Kaisar menyetujui penyerbuan itu. Akan tetapi, saya akan berusaha mati-matian untuk membujuk Kaisar agar barisan itu ditarik kembali. Tunggu dan lihatlah saja, saya yakin pasti akan berhasil."
"Hemm, saya harap saja janjimu ini akan dapat dipenuhi dengan cepat, Chin-taijin. Karena kalau tidak, tentu Sribaginda akan menganggap bahwa taijin mengkhianati persahabatan. Nah, sekarang setelah saya menyampaikan pesan Sribaginda, saya mohon dirl akan melak-sanakan tugas lain. Saya minta tolong kepada taijin agar suka memberitahu dl mana adanya rumah seorang perwira yang bernama Han Sl Tiong, seorang perwira dalam barisan yang tkut menyerbu ke utara."
"Han Sl Tiong? Ah, aku Ingat. Dia adalah perwira baru yang ditugaskan membentuk Pasukan Halilintar. Rumahnya berada dl sebelah barat Jembatan Rembulan, di ujung selatan kota, Ouw-sicu."
"Terima kasih, taijin dan saya mohon pamit." Ouw Kan bangkit berdiri dan merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.
"Sebentar, sicu!" Perdana Menteri Chin Kui mengambil sebuah kantung kain yang sejak tadi telah dipersiapkan dan memberikan kantung itu kepada tamunya.
"Ini ada sedikit hadiah dari kami iintuk sicu."
Hadiah atau bingkisan seperti ini sudah biasa diterima Ouw Kan, maka diapun tidak sungkan lagi, menerima kantung kain yang cukup berat itu, lalu membungkuk dan keluar dari gedung besar itu.
Tak lama kemudian Ouw Kan sudah tiba di depan rumah Han Si Tiong. Dia menambatkan kudanya di sebatang pohon, kemudian dia memasuki pekarangan rumah itu. Seorang lakl-lakl setengah tua yang bekerja di pekarangan Itu sebagai tukang kebun menghampirinya. Melihat seorang kakek menggendong buntalan kain kuning dan kepalanya memakai topi bulu, tukang kebun itu segera bertanya dengan sikap hormat.
"Tuan mencari siapakah?"
Ouw Kan memandang tukang kebun jg itu lalu menjawab,
"Aku mencari tuan rumah, ada urusan penting sekali."
-
"Wah, sayang sekali, tuan. Majikan, saya bersama isterinya sedang pergi memimpin pasukan untuk berperang mengusir penjajah Kin!" kata tukang kebun itu dengan nada bangga.
Ouw Kan mengerutkan alisnya.
"Hemm, mereka pergi dan belum pulang? Kalau begltu, siapa saja yang tinggal di rumah?"
"Tinggal nyonya tua dan nona kecil.
"Tolong panggll mereka keluar. Aku dapat menyampaikan urusan penting ini kepada mereka saja."
Mellhat tamu itu sudah tua dan agaknya mempunyai urusan penting, tukang kebun tidak curlga.
"Baiklah, tuan. Slla-kan duduk menunggu dl ruang tamu, sa-ya akan melaporkan kepada nyonya tua."
Tukang kebun mengantar Ouw Kan fcgiemasuki ruangan tamu yang berada di bagian luar rumah itu, kemudian dia masuk ke dalam untuk melaporkan kedatangan tamu itu kepada Lu-ma. Ketika itu, Lu-ma sedang bereda di dapur membantu pelayan wanita setengah tua yang menjadi pelayan dalam keluarga itu. Bi Lan juga membantu. Anak berusia tujuh tahun ini memang ingin membantu segala pekerjaan yang dilakukan neneknya. Mereka mempersiapkan masakan untuk makan siang nanti. Ketika tukang kebun melaporkan bahwa di ruang tamu menunggu seorang tamu lakl-laki tua yang mengatakan ada urusan sangat penting untuk dlsampaikan kepada Lu-ma, nenek ini lalu mencuci tangannya.
"Slapakah, nek?"
"Tidak tahu siapa, mungkin tamu kenalan ayahmu." kata Lu-ma, lalu ia melangkah keluar dari dapur menuju ke ruangan tamu di depan. Bi Lan tidak mau ketinggalan, menggandeng tangan neneknya, ikut pergi ke ruangan tamu.
Setelah Lu-ma dan Bi Lan memasuki ruangan tamu, mereRa1 meiihat seorang laki-laki tua duduk di atas kursi dan memandang kepada mereka dengan sinar mata penuh selldlk. Ouw Kan bangklt berdlrl. dan segera bertanya.
"Aku ingin bertemu dengan Han Si Tlong dan laterl-nya. Dl mana mereka?"
Lu-ma menduga bahwa tentu kakete Inl kenalan balk Haa Si Tiong, maka ia-pun menjawab,
"Han Si Tlong dan isteri-nya tldak ada di rumah, mereka pergl perang dan belum pulang."
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan siapakah kalian ini?"
"Saya Lu-ma, bibi mereka dan ini Han Bi Lan, anak tunggal mereka."
Ouw Kan memandang anak perempuan, Itu. Sungguh seorang anak perempuani yang manis dan mungil sekali. Kalau dia membunuh anak ini, hal Itu sudah merupakan pembalasan hebat yang akan menghancurkan hati Han Sl Tiong dan isterinya. Akan tetapi dia meragu. Mungkin Sribaginda Raja Kin mempunyai rencana lain dengan anak musuh-musuhnya ini. Mungkin juga dapat dipergunakan untuk memaksa suaml isteri itu datang! Sebaiknya dia cullk dan bawa saja anak ini dan diserahkan kepada Sribaginda Raja Kln. Setelah berpikir demikian, tiba-tiba dia menjulurkan tangan kanannya hendak menangkap lengan Bi Lan.
"Eh....?" Ouw Kan terbelalak, kaget dan heran. Anak perempuan kecil itu dapat mengelak sehingga tangkapannya luput.
"Mau apa engkau?" bentak Bi Lan dan ia sudah memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi! "Nek, dia ini orang jahat, nek. Hati-hati, dia orang jahat!"
Ouw Kan merasa kagum juga. Hebat anak ini, pikirnya. Selain memiliki ba-kat gerakan yang amat gesit, juga tam-paknya cerdik bukan main. Maka dia lalu melangkah maju dan RembaH tangannya menyambar. Bl Lan mengelak, akan teta-pi apa artinya kegesitan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun terhadap datuk yang sakti itu? Sekali jari tangan Ouw Kan menyambar, Bi Lan sudah tertotok dan. terkulai. Akan tetapi Ouw Kan menangkapnya sehingga anak itu tidak sampal roboh dan sekali angkat, Bl Lan sudah berada dalam pondongan lengan kinnya, terkulai lemas, tak mampu bergerak atau bersuara!
Melihat ini, Lu-ma terbelalak dan ia marah sekali. Tadi ketika cucunya berteriak mengatakan bahwa laki-laki itu jahat, ia tentu saja tidak percaya. Akan tetapi sekarang ia marah sekali. Bagaikan seekor singa betina direbut anaknya, ia menyerbu dengan kedua tangan mem-bentuk cakar ke arah Ouw Kan.
"Mau apa engkau dengan cucuku? Le-paskan ia! Lepaskan Bi Lan, engkau penjahat!"
Akan tetapi tangan kanan Ouw Kan yang memegang tongkat ular cobra kering bergerak dan robohlah Lu-ma tanpa dapat bersuara lagi karena totokan tongkat itu mengenai ulu hatinya dan ia tewas seketika. Biarpun tidak mampu bergerak dan bersuara, Bi Lan masih sadar dan ia melihat dengan mata terbelalak betapa neneknya roboh dan tak bergerak lagl. la tidak dapat mengeluarkan suara tangis, akan tetapl dari kedua matanya bercucuran air mata.
Pembantu wanita yang tadl dlpesan oleh Lu-ma untuk mengeluarkan minuman untuk tamu, muncul di pintu. la terbelalak melihat Lu-ma menggeletak di atas tanah dan Bi Lan dipondong seorang kakek yang memegang sebatang tongkat u-lar, dan anak itu menangis tanpa suara. Po-ci dan cawan minuman yang dibawanya di atas baki terlepas dari tangannya dan jatuh tnengeluarkan bunyi berkerontang-an. Melihat ini, sebelum pembantu vyani-ta jitu melarikan diri, Ouw Kan kembali menggerakkan tongkatnya yang menyambar dan mengenai leher wanita itu. Tanpa mengeluarkan suara lagi wanita itupun roboh dan tewas seketika.
Setelah membunuh dua orang wanita lemah itu, Ouw Kan lalu melangkah ke-luar sambil memondong Bi Lan yang ma-kln deras tangisnya setelah melihat Lu-ma dan pembantu rumah tangga itu di-bunuh kakek yang menculiknya" Karena khawatir kalau-kalau ada yang melihat-nya dan menjadi curiga melihat anak yang dipondongnya itu mencucurkan air mata dan wajahnya Jelas menunjukkan tangls walaupun tldak ada suara keluar dari mulutnya, Ouw Kan menepuk tengkuk Bi Lan ddn anak perempuan itu terkulai dan pingsan, seperti tidur. Ouw Kan menyimpan tongkatnya, diselipkan di ikat pinggangnya, kemudian dengan langkah lebar hendak keluar dari pekarangan itu.
Akan tetapi, tukang kebun yang tadi pertama kali menyambutnya, melihat dia tergesa-gesa keluar sambil memondong Bi Lan. Tukang kebun itu tentu saja menjadi curiga. Dia mengejar dan rnenghadang di depan kakek itu.
"Heii! Mau kaubawa ke mana Nona'i Bi Lan itu? Lepaskan!" Tukang kebun itu menerjang untuk merampas Bi Lan dari tangan Ouw Kan. Datuk ini melihat bahwa gerakan tukang kebun itu cukup" kuat, menunjukkan bahwa dia pandai bermain silat. Akan tetapi tentu saja tingkat kepandaian tukang kebun itu tidak ada artinya dibandingkan tingkat Ouw Kan. Menghadapi terjangan tukang kebun itu, Ouw Kan menyambutnya dengan ten-dangan kaki kanannya. Cepat dan kuat sekali tendangan itu. Biarpun tukang kebun itu sudah berusaha mengelak, tetap saja ujung sepatu Ouw Kan masih menyambar iganya.
"Krekk....!" Tukang kebun itu terpelanting keras dan roboh tak dapat bergerak lagi. Tulang-tulang iganya patah-patah dihantam tendangan kaki Ouw Kan! Karena khawatir kalau banyak orang akan rnelihatnya, dan merasa yakin bahwa tukang kebun itu juga tewas, Ouw Kan lalu cepat keluar dari pekarangan itu. Dengan cepat dia menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah utara. Melihat seorang kakek menggendong seorang anak perempuan yang agaknya sakit atau tertidur dipondong dengan sikap penuh kasih sayang, tentu saja tidak ada orang yang mencurigainya dan Ouw Kan dapat keluar dari kota raja dengan aman.
Sementara itu, sepergi Ouw Kan, Perdana Menteri Chin Kui lalu berusaha keras untuk membujuk Kaisar Sung Kao Tsu, memperingatkan kaisar bahwa gerakan penyerbuan yang dilakukan Jenderal Gak Hui itu sesungguhnya salah sama sekali. Bangsa Kin yang berada di utara selama ini tidak pernah mengganggu daerah Sung di selatan sehingga kita berada dalam keadaan tenteram penuh damal, dapat bekerja membangun kembali kerajaan di daerah yang tanahnya lebih subur. Mengapa sekarang mencari permusuhan? Kalau nanti Kerajaan Kin membalas dan menyerbu ke selatan, bukankah hal itu i akan mendatangkan kesengsaraan?
"Hamba yang akan mengusahakan minta maaf dan hamba berani menanggung bahwa Sribaginda Raja Kin tidak akan melakukan balas dendam terhadap penyerbuan itu, asalkan paduka segera memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan penyerbuan dan menarlk kembali balatentara." Demikian Pefdana Menterl Chln Kul mengakhlri bujukannya. Kalsar Kao Tsu menurut, apa lagi ketika para menteri lain juga mendukung usul Perdana Menteri Chin Kui. Juga pada dasarnya Kaisar Kao Tsu mernang seorang yang tidak suka perang. Maka, diapun segera mengambil keputusan dan dikirimlah utusan dengan perintahnya kepada Jenderal Gak Hui untuk menghenti-kan penyerbuan ke utara dan menarik kembali barisannya ke daerah selatan.
Jenderal Gak Hui merasa kecewa, marah dan menyesal sekall. Dla telah memenangkan pertempuran dl banyak tempat dan sudah menguasal daerah yang luas. Akan tetapi karena kesetiaannya, terpaksa dla menlnggalkan daerah yang telah dlkuasainya itu dan kemball ke se-latan, diiringi tangis kecewa penduduk daerah yang ditinggalkannya. Akan tetapi dia masih ragu untuk pulang ke kota ra-Ja dan mendirikan perkemahan di dae-rah tapal batas. Dia hanya mengutus pa-ra perwiranya kembali ke kota ra|a dan mengantar laporan tertulis yang dltujukan kepada Kaisar Kao Tsu.
Karena sudah tldak ada pertempuran lagi, Han Si Tiong dan Liang Hong Yl Juga Ikut pulang dengan sebagian darl pasukan dan para perwlranya. Kalau di sepanjang perjalanan, pasukan yang pulang ke kota raja membawa kemenang" an ini disambut oleh rakyat dengan gem-bira, setelah memasuki kota raja, dari ( pihak pemerintah malah tidak ada pe-nyambutan dan suasananya dingin saja. Hal ini adalah karena perintah dan pengaruh Perdana Menterl Chtn Kul yang menganggap barlsan yang menang perang itu bahkan meruglkan kerajaan!
Betapapun juga, ketika menerima para perwira yang pulang dan menghadapnya, Kaisar Kao Tsu menerima mereka dengan baik. Bahkan dla lalu memberi anugerah pangkat kepada para perwira yang namanya disebut dalam daftar Jasa yang dikirlm Jenderal Gak Hui. Karena Han Sl Tiong dan Isterinya dipuji-puji oleh Jenderal Gak Hul, maka Kaisar Kao Tsu memberl anugerah keduduk-an pangllma muda kepada Han Si Tiong dan isterlnya dan keduanya diangkat menjadi bangsawan! Suaml isteri inl ialu pulang ke rumah mereka. Tadl bersama para perwira lain, begitu masuk kota raja mereka langsung menghadap kaisar. Ini merupakan peraturan datt tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Tentu saja mereka merasa gembira sekali, teruta-ma sekali Hong Yi. Kalau diingat bahwa tadinya ia hidup dalam rumah pelesir asuhan Lu-ma dan walaupun ia tidak diperas, namun tetap saja ia pernah menjadi seorang pelacur! Dan sekarang, ia memperoleh seorang suami yang baik dan yang mencintainya, tidak memandang rendah walaupun suaminya tahu bahwa ia seorang bekas pelacur! Dan ia telah mempunyai seorang anak yang manis pula. Sekarang ditambah lagi anugerah dari Kaisar yang mengangkat ia dan suaminya menjadi bangsawan! Bangsawan yang ber-kedudukan terhormat sebagai panglima muda! Semua ini sungguh cocok sekali dengan ramalan yang ia dapatkan dari Kwan Im Bio, kuil dari Sang Dewi Welas Asih itu. Dengan hati dipenuhi kebanggaan dan kebahagiaan, bersama suaminya ia pulang membawa hadiah pedang bengkok bergagang emas untuk anak mereka.
Akan tetapi, alangkah heran rasa hatl mereka ketika mereka tiba di depan rumah mereka. Keadaan tempat tinggal mereka itu hampir tak dapat mereka kenali lagi. Pekarangannya tak terawat, penuh dengan rumput liar dan daun-daun, kering. Agaknya sudah lama sekali tidak' pernah disapu dan dibersihkan. Dinding rumah itupun kotor dan semua pintu dan jendela di depan tertutup. Rumah itu tampak sunyi sekali. Sungguh aneh. Seluruh penduduk kota raja sudah mendengar bahwa sebagian pasukan yang pergi ber-perang sudah pulang. Mustahil kalau Lu-ma, pelayan wanita, tukang kebun dan Bi Lan belum mendengar akan kepulangan rnereka. Mereka tidak ada yang menyambut?
Dengan hati merasa heran dan tidak enak suami isteri itu berlari memasuki pekarangan. Setelah hampir tiba di pin-tu depan, tiba-tiba muncul seorang perajurit dari pintu samping. Melihat Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, perajurit itu memberi hormat. Tentu saja suami isteri ini bertambah heran melihat adanya seorang perajurit di situ.
Han Si Tiong cepat melompat ke depan perajurit itu.
"Hei, siapa engkau dan mengapa berada di sini?"
"Han-ciangkun, saya memang hari ini bertugas menjaga rumah ciangkun ini." jawab perajurit itu.
"Menjaga rumah kami? Kenapa? Dan di mana puteri kami? Di mana Lu-ma dan para pembancu?" tanya Sl Tiong sambil mengerutkan alisnya.
Perajurit itu tampak bingung. Dia mengerti bahwa suami isteri perwira ini belum tahu akan malapetaka yang menimpa keluarga mereka dan agaknya d"a| menjadi orang pertama yang harus rneo-j ceritakannya! Dia merasa tidak enak sekali harus menyampaikan berita yang menyedihkan itu.
"Tidak ada siapa-siapa di rumah ini, ciangkun. Hanya ada saya yang bertugas jaga hari ini. Kwe-ciangkun atasan saya yang memerintahkan kami inelakukan penjagaan di sini secara bergantian dan hari ini tiba giliran saya."
"Akan tetapi kenapa? Apa yang telah terjadi? Ke mana perginya semua peng-hunl rumah Ini? Di mana anakku?" Liang Hong Yl yang sudah tldak sabar lagt bertanya, suaranya mengandung kegelisahan.
Perajurlt itu menelan ludah beberapaj kali sebelum menjawab, kemudian memberanikan diri menjawab,
"Ciangkun dan hujin, telah terjadi hal yang menyedihkan di rumah ini, kurang lebih sebulan yang lalu...."
Han Si Tiong menangkap lengan perajurit itu dan mengguncangnya.
"Apa yang telah terjadi? Hayo cepat ceritakan!"
Perajurit itu mengangguk - angguk.
"Kurang lebih sebulan yang lalu, di ru-mah ini telah ditemukan Lu-ma dan pelayan wanita telah tewas, dan tukang kebun terluka parah...."
"Dan anakku? Puteriku Bl Lan....??" teriak Hong Yi wajahnya menjadi pucat sekali.
"Ia.... ia.... hilang. Tidak ada yang tahu ke mana...."
"Aihhh....!" Hong Yi sudah melompat ke serambi depan dan mendorong dauh plntu depan. Pintu itu terpalang dari dalam, akan tetapl dorongari kedua tangan Hong Yl yang disertal tenaga saktl itu membuat palang pintu jebol dan daun pintunya terbuka. Hong Yi berlari-lart memerlksa semua bagian dalam rumah. Kosong! Benar-benar telah kosong, tidak ada seorangpun di situ. Anakoya tidak ada di rumah itu!
"BiLan....! Bi Lan....!! Bibi Lu-ma...!!" la menjerit-jerit mernanggil sambil ber-lari ke sana-sini mencari-cari, akan te-tapi tidak ada yang menjawab. Tiba-tiba Si Tiong merangkulnya dan melihat su-aminya, Hong Yi merangkul dan menangis.
"Tiong-ko.... di mana Bi Lan? Dan BiBi Lu-ma? Apa yang terjadi dengan me-reka?" la menangis tersedu-sedu di atas dada suaminya.
Han Si Tiong mendekap kepala iste-rinya.
"Yi-moi, tenangkanlah hatimu, Yi-moi. Dalam keadaan seperti ini kita harus menguatkan perasaan hati. Ingat sepak terjangmu dalam pertempuran. Engkau seorang wanita gagah perkasa, harus mampu dan kuat menghadapi apapun juga. Tenangkanlah hatimu."
Hong Yi menumpahkan kegelisahan-nya melalui tangis. Setelah tangisnya mereda dan ia mampu menguatkan hati-nya, ia melepaskan rangkulannya. Dengan wajah pucat dan sepasang mata merah, ia bertanya kepada suaminya.
"Tiong-ko, bagaimana dengan Bi Lan? Apa yang terjadi dengan anak kita itu?"
"Tenangkan hatimu, Yi-moi. Aku sudah mendengar cerita perajurlt itu. Bi-bi Lu-ma dan pelayan wanita telah dibunuh orang. Tukang kebun kita terluka parah akan tetapi kata perajurit itu, sebelum tukang kebun tewas, dia sempat dibawa oleh Kwee-ciangkun. Dan anak kita agaknya dibawa lari pembunuh itu."
"Ahh....! Siapakah yang melakukan ini? Aku bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Bi Lan, anak kita.... bagaimana nasibnya....?"
"Tenangkan hatimu. Setidaknya, aku yakin Bi Lan masih hidup. Kalau penculik itu berniat membunuhnya, tentu sudah dilakukannya seperti ketika dia membunuh yang lain. Kalau dia menculik anak kita, itu berarti dia menginginkan anak kita hidup-hidup dan selama Bi Lan masih hidup, ada harapan bagi kita untuk dapat berjumpa lagi dengannya."
,
"Akan tetapi, siapakah yang melakukan kekejian ini? Siapa yang memusuhi kita seperti ini?"
"Kita tunggu saja. Aku sudah memerintahkan perajurit tadi untuk mengundang Kwee-clangkun ke sini. Engkau tahu, Kwee-ciangkun adalah sahabat kita yang baik. Tentu dia mengetahui lebih banyak dari tukang kebun kita itu."
Tak lama kemudiari muncullah Kwee-clangkun. Perwira Kwee ini tldak ikut pergi berperang karena dia bertugas sebagal perwira pasukan penjaga kota raja. Dia bersahabat balk dengan Han Si Tiong dan biarpun dia tldak termasuk anak buah Jenderal Gak Hul seperti halnya Sl Tlong, akan tetapl Perwlra Kwee Inl-pun seorang yang tidak suka kepada Perdana Menterl Chin Kui.
Begitu diterima oleh Si Tlong dan Hong Yi, Kwee-ciangkun merangkul sahabatnya itu..
"Han-ciangkun, aku merasa ikut prihatin atas malapetaka yang menimpa keluargamu selagi kalian pergi berjuang melawan penjajah Kin." katanya terharu.
"Terima kasih, Kwee-fciangkuit. Duduklah dan ceritakanlah sejelasnya kepa-da kami apa yang telah terjadi dalam rumah kami ini ketika kami pergi bertempur." kata Han Si Tiong.
Moreka bertlga duduk bertiadapan. Mirang lebih sebulan yang lalu, tepat-nya mungktn srdah tiga puluh lima hari, padu suatu pagi aku mendengar laporan dari anak buahku yang melakukan peron-dten bahwa telah terjadi pernbunuhan di rumahmu ini. Mula-mula yang mengetahuinya adalah seorang tetanggamu yang melihat tukang kebunmu menggeletak di pekarangan. Mendengar bahwa pembunuhan itu terjadi di rumahmu, aku sendiri lalu bergegas datang melakukan pemeriksaan. Ternyata bukan hanya tukang kebun yang menggeletak dalam Keadaan terluka parah, melainkan juga Lu-ma, bibi kallan Itu, dan wanita pembantu rutnah tangga kallan telah menggeletak tewas di kamar tamu."
"Kwe-ciaogkun, siapa yang melakukan pembunuhan keji ini? Dan apa yang terjadi dengan anakku Bi Lan?" Hong Yi bertanya tak sabar.
"Tenanglah. Yl-mol. Biarkan Kwee-ciangkun melanluthan ceritanya." suaminya menenangkannya
Kwee-ciangkun yang bernama Kwee Gi itu, seorang pria tinggi besar gagah berusia kurang lebih empat puluh tahun, menghela napas panjang. dan memandang dengan sinar mata penuh iba kepada Hong Yi.
"Pada saat itu, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Bi Lan yang tidak berada di rumah. Akan tetapi aku meli-hat tukang kebun itu masih hidup, maka aku lalu menyuruh orang memanggil tabib dan merawatnya. Setelah dia siuman dari pingsannya, aku segera bertanya ke-padanya apa yang telah terjadi. .Sebelum dla tewas karena luka parah, semua tulang iganya patah-patah, dia bercerita kepadaku. Katanya pagi hari itu datang seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, rambut, kumis dan jeriggotnya le-bat dan sudah putih semua, mengenakan topl aslng sepertt yang biasa dipakal suku-suku asing di utara dan barat, memegang sebatang tongkat ular kobra kering, wajahnya menyeramkan dengan mata lebar dan liar, tubuhnya sedang dan tegap. Tamu itu datang mencari kalian berdua. Ketika dijawab bahwa kalian pergi, dia minta bertemu dengan siapa saja yang berada di rumah. Tukang kebun itu lalu memberitahu Lu-ma dan tukang kebun itu kembali ke pekarangan depan, tldak tahu lagi apa yang terjadi di dalam. Akan tetapi, tak lama kemudian dia me-lihat laki-laki tua itu keluar dari dalam rumah sambil memondong Bi Lan yang tampak lemas dan anak itu me sangis tanpa suara. Tukang kebun berusaha untuk merebut kembali anak itu, akan tetapi penculik itu lihai sekali. Sebuah tendangan yang amat kuat mematahkan tulang-tulang iga tukang kebun itu sehing-ga dia roboh pingsan. Nah, demikianlah ceritanya. Setelah menceritakan semua itu, diapun menghembuskan napas terakhlr. Ketika aku memeriksa Jenazah Lu-ma dan pelayan Itu, mereka berdua tewas dengan luka di ulu hati dan di leher. Luka itu kecil saja, agaknya tertusuk benda tumpul, akan tetapi di sekitar luka itu berwarna menghitam. Tentu mereka keracunan hebat sekali dan tewas seketika. Dari kenyataan itu, jelas bahwa laki-laki tua itu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi."
Sunyi sekali setelah Kwee-ciangkun menyelesaikan ceritanya. Suami isteri itu saling berpandangan dan perlahan-lahan dari kedua mata Hong Yi kemba-li menetes-netes air mata.
"Tiong-ko, kenalkah engkau dengan jahanam itu?" tanya Hong Yi sanrbil menahan isak tangisnya.
Sambil mengerutkan alisrtya, Han Si Tiong menggeleng kepala.
"Aku tidak mengenalnya, tidak pernah melihatnya, mendengarpun belum. Kenapa orang yang tidak dikenal reelakukan semua kekejaman ini?"
"Akupun tidak mengenal orang dengan gambaran seperti itu. Akan tetapi kenapa dia menculik anakku?" Hong Yi mengepal kedua tangannya, kegelisahan, kedukaan dan kemarahan memenuhi hatinya.
Kwee-clangkun menghela napas panjang.
"Kiranya tldak salah lagi kalau aku mengira bahwa perbuatan orang yang keji ini tentu merupakan suatu balas dendam"
"Akan tetapi kami berdua tidak mengenal orang macam itu! Bagaimana dia dapat membalas dendam kalau kita mengenalnyapun tidak? Ada urusan apa antara orang itu dengan kami?" kata Hong Yi penasaran sekali.
"Tidak selamanya orang yang menden-g dam kepada kita turun tangan sendiri. Bisa saja dia menyuruh orang lain yang lihai untuk melaksanakan balas dendamnya itu. Mungkin saja orang yang membunuh bibi kalian dan menculik puteri kalian adalah orang suruhan, seorang pembunuh bayaran." kata Kwee Gi.
Han Si Tiong mengangguk-angguk "Apa yang dikatakan Kwee-ciangkun itu benar sekali, Yi-moi. Tentu ada orang yang sakit hati kepada kita, yang secara pengecut membalas dendam kepada keluarga kita. Betapapun Juga, masih ada harapan bagl kita bahwa mereka tidak akan mengganggu Bi Lan yang tidak bersalah apapun kepada mereka."
"Perkiraanmu itu kurasa benar sekali Han-ciangkun. Kalau pembunuh itu menginginkan kematian anakmu, tentu hal itu telah dilakukannya di sini, tidak perlu bersusah payah menculik anak itu keluar dari kota raja yang tentu saja mengandung resiko ketahuan."
"Aku bersumpah akan mencari penculik itu, membunuhnya dan merampas kembali anakku' Aku tidak akan berhenti sebelum dapat menemukannya!" Hong Yi berkata dengan tegas dan penuh kemarahan.
Si Tiong menghela napas panjang.
"Tentu hal itu akan kita lakukan, Yi-moi, akan tetapi harus dengan persiapan matang dan sebagai seorang yang memegang kewajiban, kita harus mengembalikan dulu kedudukan yang dianugerahkan kepada kita. Ahh, sungguh bertubi-tubi malapeta-ka menimpa diri kami, Kwee-ciangkun. Pertama, kami harus ikut berduka dan prihatin karena Jenderal Gak dipaksa menghentikan gerakannya dan menarik mundur pasukannya yang sudah mulai memperoleh kemenangan. Kemudian setelah kami pulang dengan hati berat, kami bahkan dihadapkan dengan. peristlwa pembunuhan bibi daa dua orang pembantu kami dan penculikan anak kami." Han Si Tiong menarik napas panjang lagi dengan wajah diliputi kedukaan.
"Aku mengerti, Han-ciangkun. Biar-pun engkau dan isterimu mendapat anu-gerah pangkat panglima muda dan men-jadi bangsawan, namun hati kalian diliputi kedukaan. Aku juga mengerti akan keputusan Sribaginda Kaisar yang mengejutkan itu, yang memerintahkan Jenderal Gak menghentikan gerakan penyerbuan ke utara dan menarik mundur tentara-nya. Semua ini gara-gara bujukan perdana Meteri Chin Kui dan antek-anteknya sehingga Sri Baginda Kaisar mengambil keputusan seperti itu. Djam-diam aku sendi-ri sudah mengirim orang yang dapat ku-percaya untuk mengabarkan tentang per-j buatan Perdana Menteri Chin Kui ini kepada Jenderal Gak Hul." kata Perwira Kwee Gi.
"Hemm, begitukah?" Han 'Sl Tiong mengepal tinjunya.
"Kasihan Jenderal Gak yang gagah perkasa dan budiman. Kasihan rakyat yang tinggal di sekitar perbatasan sebelah utara yang tadinya sudah dibebaskan oleh pasukan kita. Mereka mengantar penarikan mundur pasu-kan di bawah pimpinan Jenderal Gak de-ngan ratap tangis. Kalau begitu, untuk apa kami lebih lama lagi bertugas sebagai perwira? Kwee-ciangkun, kami berdua akan mengundurkan diri, kami akan pergi mencari puteri kami sampai dapat kami temukan."
Pedang Ular Merah Eps 10 Pedang Ular Merah Eps 4 Kisah Sepasang Naga Eps 11