Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Naga Langit 9


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




Bi Lan melihat betapa dua orang pengurus rumah makan dan rumah penginapan itu bangkit sendiri untuk menyambut empat orang tamu itu. Sambil membungkuk-bungkuk mereka menyambut dan seorang di antara mereka berkata dengan suara merendah dan ramah.

"Selamat datang, Hiu-kongcu (Tuan Muda Hiu)! Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami untuk menyambut kunjungan Kongcu. Silakan mengambil tempat duduk di sebelah dalam, Kongcu!"

Akan tetapi pemuda yang disebut Hiu-kongcu itu kebetulan memandang kepada Bi Lan. Wajahnya berseri dan senyumnya melebar, pandang matanya seolah melekat pada tubuh Bi Lan yang dijelajahinya dengan penuh perhatian. Dia lalu berkata kepada dua orang pengurus rumah makan itu.

"Aku ingin duduk di meja itu!" Dia menuding ke arah meja tepat di depan Bi Lan yang sudah diduduki empat orang laki-laki.

"Akan tetapi meja itu......"

"Suruh mereka pindah ke meja lain!" bentak seorang di antara tiga pengawal itu, yang berkumis tebal sambil memandang dua orang pengurus itu dengan mata melotot.

Dua orang pengurus itu saling pandang, lalu keduanya bergegas menghampiri meja yang diminta itu dan dengan suara berbisik-bisik mereka berdua membujuk kepada empat orang laki-laki untuk pindah meja. Empat orang laki-laki itu adalah tamu dari luar kota dan mereka tidak mengenal rombongan tamu yang baru masuk, maka mereka tentu saja merasa tidak senang harus pindah meja dan memberikan meja mereka kepada orang lain. Akan tetapi dua orang pengurus itu membujuk akan memberi potongan setengah harga dari harga makanan yang mereka pesan dan ketika mereka memandang ke arah tiga orang tinggi besar yang melotot kepada mereka, akhirnya mereka tidak berani membantah lagi. Mereka terpaksa pindah ke meja lain dan masakan di meja mereka diangkut dan dipindahkan pelayan.

Meja itu lalu dibersihkan dan pemuda bersama tiga orang pengawalnya dipersilakan duduk. Pemuda itu mengambil tempat duduk yang menghadap ke arah Bi Lan sehingga dia dapat saling pandang dengan gadis itu. Dia tersenyum-senyum kepada Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan sudah menundukkan pandang matanya dan tidak mengacuhkan mereka lagi. Ia melihat betapa rombongan baru ini dengan semena-mena memaksa tamu untuk pindah, akan tetapi karena hal itu bukan urusannya, maka ia pun tidak perduli sama sekali.

Semenjak pengalaman pahit menimpa dirinya, apalagi setelah mempelajari ilmu dari Si Mayat Berjalan, Bi Lan tidak perduli apapun juga yang tidak menyangkut dirinya. Kalau dulu, melihat kejadian ini ia tentu akan merasa penasaran sekali dan sudah menghajar rombongan yang sewenang-wenang ini! Akan tetapi sekarang ia sama sekali tidak memperdulikannya. Juga pandang mata yang penuh gairah dari pemuda berpakaian mewah itu dianggapnya seperti angin lalu saja, sama sekali tidak ditanggapinya.

Biarpun ia tidak mengacuhkan mereka, namun tetap saja ia merasa dongkol juga ketika beberapa orang pelayan datang menghidangkan belasan macam masakan di meja rombongan itu, padahal ia yang lebih dulu datang dan memesan belum juga dilayani! Mengertilah ia bahwa tentu pemuda. itu merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di kota raja sehingga pengurus rumah makan itu menghormatinya secara berlebihan. Bi Lan mulai mengerutkan alisnya, merasa disepelekan. Ketika ia melihat pelayan tua tadi, ia menggapai dan pelayan itu cepat menghampirinya.

"Bagaimana ini? Aku yang memesan sejak tadi belum dilayani, orang lain baru datang sudah didahulukan pelayanannya!"

"Aih, maafkan kami, Nona. Baiklah, akan saya ambilkan pesanan Nona sekarang juga! Pelayan itu bergegas pergi ke dapur.

Hiu-kongcu berbisik kepada seorang di antara tiga orang pengawalnya dan pengawal yang berkumis tebal itu tersenyum mengangguk-angguk lalu menghampiri Bi Lan.

Sambil menyeringai pengawal tinggi besar berkumis tebal ini lalu mengangguk sebagai penghormatan dan berkata, "Nona, Kongcu kami ingin mengetahui siapakah nama Nona dan di mana Nona tinggal?"

Tanpa memandang kepada siapapun juga Bi Lan berkata, suaranya datar dan dingin.

"Tidak ada nama dan rumah. Pergilah!"

Pengawal itu memandang heran, lalu berkata, "Nona, engkau tidak tahu siapa Kongcu kami. Agaknya engkau bukan orang sini. Ketahuilah, Kongcu kami adalah Kongcu Hiu Kan, putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong, keponakan Sri Baginda Kaisar sendiri! Dan kami bertiga adalah Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) yang menjadi pengawal Hiu-kongcu!"

"Aku tidak perduli. Pergilah!"

Jiu To, pengawal pertama berkumis tebal berusia empatpuluh tahun itu, makin terheran akan tetapi juga marah. Hanya dia tidak berani memperlihatkan kemarahannya sebelum mendapat perintah majikannya, maka sambil menggerakkan kedua pundaknya dia terpaksa memutar tubuh kembali ke meja rombongannya. Dia lalu berbisik-bisik dengan Hiu Kan atau Hiu-kongcu dan dua orang rekannya yang bernama Kai Ek dan Lee Song.

Sementara itu, pelayan tua datang menghidangkan makanan yang dipesan Bi Lan. Hidangan itu hanya nasi dan tiga macam sayur sederhana, amat tiada harganya dibandingkan masakan serba daging yang dihidangkan di atas meja putera pangeran itu.

Bi Lan mulai makan hidangannya tanpa mengacuhkan lagi empat orang yang duduk di meja sebelah depannya itu. Akan tetapi baru sedikit ia makan, Si Kumis Tebal itu sudah menghampirinya lagi.

"Nona, Kongcu kami merasa kasihan melihat Nona makan seorang diri dengan sayuran sederhana itu. Maka Hiu-kongcu mengundang Nona dengan hormat untuk makan bersama beliau. Mari, silakan, Nona, harap jangan malu-malu. Jarang Hiu-kongcu memberi penghormatan kepada seorang gadis yang tidak dikenalnya dan mengundangnya makan bersama."

"Jangan ganggu aku lagi. Enyahlah!" Bi Lan menghardik dan suaranya mengandung ancaman.

Jiu To Si Kumis Tebal itu merasa malu karena bentakan Bi Lan itu terdengar oleh para tamu lain, maka dia bergegas menghampiri Hiu-kongcu. Mereka bicara bisik-bisik dan tidak terdengar oleh para tamu lainnya, akan tetapi pendengaran Bi Lan yang terlatih dan amat peka itu, dapat menangkap pembicaraan mereka.

"Kongcu, ia menolak dengan tegas. Agaknya ia bukan gadis sembarangan," kata Jiu To.

"Jiu-ko (Kakak Jiu), kenapa susah-susah amat? Kalau ia membandel, tarik saja ia ke sini, apa sukarnya?" kata Kai Ek, pengawal kedua yang pipinya codet bekas luka bacokan.

"Hushh, jangan bikin ribut di tempat umum begini. Apa engkau mau merusak namaku?" bentak Hiu Kan, putera pangeran itu.

"Barangkali kalau Kongcu sendiri yang mengundang, tentu ia akan menerima dengan senang hati. Gadis mana yang tidak akan suka memenuhi undangan Kongcu? Barangkali sikap Jiu-twako terlalu kasar sehingga ia tersinggung dan menolak."

"Hemm, aku pun tidak mau merendahkan diri mengundang sendiri. Kalau ia tetap menolak, bukankah aku akan menjadi malu sekali? Akan tetapi, aku menginginkannya, aku harus mendapatkan gadis ini. Aku sudah tergila-gila padanya. Kalau aku tidak bisa mendapatkannya secara halus, aku akan menda-patkannya secara kasar!" kata pemuda bangsawan itu.

"Maksud Kongcu, sekarang juga kami harus menangkapnya?" tanya Jiu To.

"Bodoh kau! Aku tidak ingin membuat keributan yang akan mencemarkan namaku. Kalian harus menangkapnya dan membawanya ke kamarku, akan tetapi hal itu harus terjadi tanpa pengetahuan orang lain. Mengerti?"

"Kami mengerti, Kongcu, dan jangan khawatir, malam nanti pasti Kongcu akan dapat bersenang-senang dengannya." Mendengar ucapan Jiu To ini, Hiu-kongcu menjadi girang dan dia tertawa. Tiga orang pengawalnya juga ikut tertawa gembira dan mereka lalu makan minum sepuasnya.

Semua pembicaraan tadi terdengar jelas oleh Bi Lan. Kebencian memenuhi hatinya. Kalau menuruti hatinya, ingin ia membunuh empat orang laki-laki itu di situ pada saat itu juga. Akan tetapi ia cerdik dan tahu betul bahwa kalau ia melakukan hal ini, kota raja tentu geger karena pemuda itu adalah putera seorang pangeran. Dan kalau terjadi keributan sehingga ia diburu pasukan ke-amanan, hal ini akan menghalangi niatnya membalas dendam kepada Ouw Kan dan dua orang muridnya, juga kepada Kaisar Kerajaan Kin! Ia pasti akan membunuh mereka, akan tetapi tidak di sini, di tempat umum begini. Ia akan membunuh mereka tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.

Bi Lan sengaja memperlambat makannya sehingga ia mengakhiri makannya setelah melihat empat orang itu selesai makan. Ia lalu bangkit berdiri dan memberi isyarat kepada pelayan tua untuk menyingkirkan perabot makan. Pada saat itu ia mendengar pemuda bangsawan itu berbisik kepada tiga orang pengawalnya.

"Kita bayangi ia, aku ingin tahu di mana ia tinggal."

Mendengar ini, Bi Lan lalu berjalan meninggalkan rumah makan itu, tidak kembali ke kamarnya melainkan pergi ke jalan raya depan rumah makan. Biarpun ia tidak pernah menengok, ia tahu benar bahwa empat orang laki-laki itu mengikutinya. Bi Lan lalu berjalan perlahan menuju ke pintu gerbang sebelah selatan. Ketika ia memasuki kota raja tadi, ia melihat bahwa di luar pintu gerbang sebelah selatan itu, di tepi jalan raya, terdapat sebuah hutan, mungkin hutan buatan di mana kaisar suka pergi berburu. Tempat itu sepi, apalagi di waktu malam. Dan malam ini kebetulan bulan telah muncul sejak lewat senja sehingga cuaca tidak terlampau gelap.

Empat orang itu merasa heran sekali ketika melihat gadis yang mereka bayangi itu keluar dari pintu gerbang selatan! Beberapa orang perajurit yang berjaga di situ segera memberi hormat kepada Hiu-kongcu. Pemuda bangsawan itu menanggapinya dengan acuh tak acuh. Ketika mereka keluar dari pintu gerbang selatan dan melihat gadis itu berjalan terus menuju ke hutan yang berada di tepi jalan, Hiu-kongcu terheran-heran. Kalau saja tidak ada tiga orang pengawalnya yang menemaninya, tentu dia akan kembali ke kota raja, tidak berani melanjutkan.

"Ah, Kongcu sungguh beruntung. Ia menuju ke tempat sunyi sehingga kita dapat menangkapnya tanpa ada orang lain melihatnya," kata Jiu To sambil menyeringai.

Mendengar ini, Hiu Kan tersenyum dan hatinya senang sekali. Dia sudah membayangkan betapa senangnya kalau dia dapat mendekap gadis yang cantik jelita itu.

Setelah tiba di tempat yang dituju, Bi Lan meninggalkan jalan raya dan memasuki hutan! Melihat ini, empat orang itu menjadi semakin heran, akan tetapi mereka terus mengikuti gadis itu.

Sebelum hilang rasa heran mereka, tiba-tiba Bi Lan berhenti melangkah. Tempat itu agak terbuka dan sinar bulan dapat menerangi mereka sehingga mereka dapat saling memandang dengan jelas. Melihat gadis itu berhenti melangkah dan memutar tubuh menghadapi mereka, empat orang itu pun berhenti dan mereka berdiri di depan Bi Lan, dalam jarak hanya tiga meter. Di bawah sinar bulan yang redup dan lembut, gadis itu tampak bagaikan seorang bidadari.

"Mau apa kalian mengikutiku?" tanya Bi Lan dengan suara datar, suara yang tidak memperdengarkan perasaan hatinya, bukan suara marah atau girang atau malu, hanya datar dan dingin saja.

Karena mereka berada di tempat sunyi dan dia sendiri dijaga tiga orang pengawalnya, timbullah keberanian hati Hiu Kan. Dia tersenyum semanis mungkin, lalu melangkah maju mendekati Bi Lan sambil berkata, "Duhai Nona yang cantik jelita seperti bidadari! Aku cinta padamu, Nona. Marilah engkau ikut de-nganku dan hidup berbahagia di istanaku, menjadi selirku yang tercinta. Aku akan memberi pakaian sutera paling halus, perhiasan emas yang lengkap. Manisku, engkau hidup berbahagia. Marilah, manis!"

Dalam pandangan Bi Lan, putera pangeran ini tidak lebih baik daripada para pria bangsawan dan hartawan yang diamuk dan dihajarnya di rumah-rumah pelesir. Apalagi orang ini berani kurang ajar kepadanya.

"Laki-laki jahanam, kotor dan busuk. Engkau tidak layak hidup!" kata Bi Lan dan sekali tangan kirinya bergerak, hawa pukulan yang dahsyat menyambar dari telapak tangannya, menghantam dada Hiu Kan.

"Dess......!" Tubuh Hiu Kan terlempar ke belakang dan dia terjengkang roboh, tidak mampu bangkit atau bergerak lagi karena dia tewas seketika terkena pukulan maut Bi Lan.

Sam-pak-liong, Tiga Naga Utara itu terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya gadis itu akan memukul majikan mereka dan cepat Jiu To berjongkok memeriksa keadaan Hiu Kan. Matanya terbelalak dan wajahnya menjadi pucat ketika melihat majikan mudanya itu telah tewas dengan baju dan dadanya menghitam seperti terbakar!

"Keparat! Kongcu telah mati......!" teriaknya.

Kai Ek dan Lee Song terkejut sekali, terkejut dan marah mendengar majikan mereka tewas dipukul gadis itu. Lee Song yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, menerkam gadis itu dengan marah. Kedua tangannya membentuk cakar dan dia hendak menangkap kedua tangan gadis itu. Gadis pembunuh majikannya ini harus ditangkap dan dihadapkan kepada keluarga Hiu Kan lalu diseret ke pengadilan untuk mendapat hukuman berat.

"Plakkk!" Bi Lan menggerakkan kedua tangan menangkis dan ketika kedua tangannya bertemu dengan lengan Lee Song, ia mendapat kenyataan bahwa laki-laki brewok itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Benturan tenaga itu hanya membuat Lee Song terpental ke belakang akan tetapi tidak merobohkannya. Di lain pihak Lee Song terkejut setengah mati. Dia dan dua orang suhengnya (kakak seperguruannya) adalah murid-murid Pak-sian Liong Su Kian, datuk utara yang terkenal sakti dan mereka bertiga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia sendiri memiliki tenaga sinkang yang amat kuat dan tadi dia sudah mengerahkan tenaganya dan sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat meringkus pembunuh majikannya itu. Akan tetapi siapa sangka, tangkisan gadis itu membuat dia terpental!

Kai Ek dan Jiu To juga terkejut melihat sute (adik seperguruan) mereka terpental ketika beradu tangan dengan gadis itu. Mereka berdua tidak memiliki niat yang sama dengan Lee Song. Kalau orang termuda dari Tiga Naga Utara ini ingin menangkap Bi Lan, dua orang kakak seperguruannya ini ingin langsung membunuh gadis yang telah berani membunuh majikan mereka. Maka tanpa banyak bicara lagi, mereka berdua sudah mencabut pedang mereka. Mereka maklum bahwa gadis yang mampu membuat sute mereka terpental dengan tangkisannya itu tidak boleh dipandang ringan, maka mereka langsung menyerang dengan pedang mereka.

"Singgg...... singgg......!"

"Syuuuttttt......!"

Pedang dua orang ini memang dahsyat sekali. Kedua pedang itu menyambar dengan amat cepat seperti kilat dan mengandung tenaga yang besar.

Diam-diam Bi Lan menjadi waspada. Ia melihat gerakan pedang yang dahsyat dan maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang tangguh. Kalau diingat. menurut pengakuan mereka tadi bahwa mereka adalah murid-murid Pak-sian (Dewa Utara), maka tidak aneh kalau ketiganya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Ketika ia baru tamat belajar silat dari guru pertamanya, yaitu Jit Kong Lhama, mungkin tingkat kepandaiannya hanya lebih menang sedikit dibandingkan seorang dari mereka. Akan tetapi semenjak itu, ia telah mendapat tambahan ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari kitab milik Kun-lun-pai yang dicurinya dari Souw Thian Liong, kemudian ia malah yang terakhir digembleng Si Mayat Berjalan sehingga tingkat kepandaiannya sudah berlipat ganda.

Kalau Tiga Naga Utara ini maju satu demi satu, dalam beberapa jurus saja ia pasti akan dapat merobohkan mereka. Akan tetapi mereka kini maju bertiga dan semua memegang pedang yang menyambar-nyambar dahsyat dari segala penjuru. Maka, terpaksa Bi Lan harus mengerahkan semua tenaganya dan menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya seolah berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tiga batang pedang itu.

Hebatnya, dengan kedua lengan telanjang gadis itu berani kadang-kadang menangkis pedang lawan! Tentu saja tiga orang jagoan itu menjadi kaget setengah mati. Sama sekali mereka tidak pernah mengira bahwa gadis yang membuat majikan mereka tergila-gila itu adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian seperti iblis betina!

Setelah perkelahian itu berlangsung selama limapuluh jurus lebih dan ia belum mampu merobohkan lawan walaupun tiga orang pengeroyoknya juga tidak dapat melukainya, Bi Lan menjadi marah sekali. Tiba-tiba ia berkelebat menjauhi tiga orang lawannya, lalu mulutnya mengeluarkan pekik melengking dan kedua lengannya dikembangkan, lalu perlahan-lahan kedua tangan itu disatukan dan diangkat seolah ia menyembah langit. Itulah pembukaan dari ilmu silat Sin-ciang Tin-thian yang ia pelajari selama satu tahun dari Si Mayat Berjalan!

Suara lengkingan itu meninggi dan dengan kaget tiga orang pengeroyok itu mengerahkan sin-kang mereka sekuatnya menahan serangan suara yang seolah menyerbu telinga mereka dan langsung menyerang jantung.

"Hyaaaaahhh!!" Tubuh Bi Lan berubah menjadi bayangan yang meluncur ke depan.

Tiga orang jagoan itu berusaha untuk menyambut dengan pedang mereka. Akan tetapi jurus pukulan ilmu Sin-ciang Tin-thian itu dahsyat luar biasa dan amat aneh. Dua buah tangan terbuka Bi Lan menyambar dan mengeluarkan suara bercicit seperti suara kelelawar kesakitan. Tiga orang itu mencoba bertahan, namun tetap saja pukulan-pukulan kedua tangan itu mengenai dada mereka.

Kai Ek dan Lee Song terpental dan terjengkang roboh dengan mata mendelik dan tewas seketika. Akan tetapi Jiu To hanya roboh dan mengeluh, duduk di atas tanah sambil menahan napas dan kedua tangan menekan dadanya. Selain Jiu To memiliki tenaga sin-kang yang lebih kuat daripada kedua orang sutenya, juga Bi Lan memang sengaja tidak membunuhnya, maka dia masih terhindar dari maut. Akan tetapi wajahnya pucat ketika dia melihat gadis itu menghampirinya.

Jiu To adalah murid pertama dari Pak-sian dan dia seorang yang biasanya mengandalkan kekuatan dan kelihaiannya untuk menindas orang lain. Dia dapat bertindak kejam dan semenjak menjadi pengawal Hiu-kongcu, dia tidak segan melakukan apa saja untuk mentaati perintah majikannya. Akan tetapi, selama hidupnya baru sekarang dia merasa ketakutan. Melihat Hiu-kongcu tewas, juga kedua orang sutenya tewas secara mengerikan, dan dia terluka dan tidak ber-daya, dia memandang kepada gadis cantik itu seperti melihat setan yang hendak mencabut nyawanya! Matanya terbelalak, mukanya pucat dan kumisnya yang tebal itu tergetar.

"Ampun...... ampunkan saya......" katanya lirih karena biarpun dia ketakutan, akan tetapi juga ada perasaan malu dalam hatinya bahwa sekarang dia harus minta ampun kepada seorang gadis muda!

"Hemm, orang macam engkau ini tidak patut diampuni."

"Ah, ampunkan saya, jangan bunuh saya......" Jiu To meratap dengan lirih seolah jangan sampai terdengar orang lain.

"Aku tidak akan membunuhmu kalau engkau mau memenuhi permintaanku."

"Katakan, Li-hiap (Pendekar Wanita), permintaan apa yang Nona inginkan? Saya pasti akan memenuhi permintaan itu," kata Jiu To penuh harapan. Tadi sedikit sekali harapan bahwa dia akan dapat terbebas dari kematian. Akan tetapi mendengar ucapan gadis aneh ini, muncul harapan baru dalam pikirannya.

"Katakan, di mana aku dapat menemukan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dua orang muridnya."

"Li-hiap...... kalau saya memberitahu, maukah engkau mengampuni saya dan tidak membunuh saya?"

"Aku tidak akan membunuhmu kalau engkau memberitahu di mana mereka."

"Tentu, Li-hiap. Tentu saya akan memberi tahu di mana mereka. Toat-beng Coa-ong kini tinggal di kota Ceng-goan, sebelah selatan kota raja. Dua orang muridnya adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, akan tetapi saya tidak tahu di mana adanya mereka. Mungkin saja mereka berada di Ceng-goan pula, atau kalau mereka tidak berada di sana, tentu Ouw Kan mengetahui di mana dua orang muridnya itu berada."

"Awas, kalau engkau bohong, aku akan mencarimu dan membunuhmu!"

Tiba-tiba Bi Lan menggerakkan tangannya. Sinar hitam menyambar ketika tangannya meluncur ke arah lengan Jiu To.

"Krekk!" Jiu To terguling dan merintih. Lengan kirinya lumpuh karena tulang lengannya di bawah siku remuk dan terasa amat panas. Ketika dia mengangkat muka, gadis itu telah lenyap dari situ.

Jiu To mencoba untuk menggerakkan lengan kiri dan dia terkejut sekali karena lengan kirinya, dari siku ke bawah, tidak dapat merasakan apa-apa. Rasa nyeri hanya dari siku ke atas, akan tetapi dari siku ke bawah tidak ada perasaan apa-apa seolah setengah lengannya bagian bawah itu telah mati! Dia lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja untuk minta bantuan untuk mengangkat mayat Hiu-kongcu, Kai Ek dan Lee Song.

Gegerlah para bangsawan di kota raja ketika mendengar akan kematian Hiu Kan `dan dua orang pengawalnya yang terkenal lihai. Akan tetapi, kematian Hiu Kan itu tidak mengguncangkan keluarga kaisar karena Hiu Kan memang tidak disuka oleh keluarga kaisar. Hal ini karena pertama, Hiu Kan adalah putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang dulu memberontak terhadap kaisar dan kedua karena pemuda itu terkenal sebagai pemuda tidak berguna, hanya berfoya-foya menghabiskan harta peninggalan ayahnya.

Jiu To yang lengan kirinya tidak dapat digerakkan lagi, segera pergi ke Cin-ling-san untuk menghadap gurunya, yaitu Pak-sian Liong Su Kian, dan melaporkan tentang kematian dua orang sutenya.

Kota Ceng-goan adalah sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Letak kota ini di sebelah selatan kota raja. Karena kota ini berada di daerah perbukitan yang berhawa sejuk dan berpemandangan indah, maka banyak para bangsawan kota raja mendirikan rumah peristirahatan di situ. Maka, di daerah perbukitan itu ter-dapat banyak rumah-rumah yang mungil dan indah, yang hanya dipergunakan terutama di musim panas ketika hawa udara di kota raja luar biasa panasnya.

Di antara rumah-rumah peristirahatan yang terdapat di dalam dan di luar kota Ceng-goan, terutama di lereng-lereng perbukitan, terdapat sebuah rumah mungil yang berdiri di lereng. Rumah itu agak terpencil, tidak mempunyai tetangga dekat dan letaknya di tepi jurang. Pemandangan alam dari lereng ini memang amat indahnya. Tempatnya sunyi dan tenang, hawanya sejuk. Tempat yang amat baik bagi mereka yang hendak menjauhkan diri dari semua keramaian yang bising, sibuk, dan panas. Tempat yang diidamkan para pertapa yang ingin mengasingkan diri dari keramaian dunia.

Pemilik rumah yang merupakan pondok mungil sederhana ini adalah Ouw Kan. Datuk yang berjuluk Toat-beng Coa-ong (Raja Ular Pencabut Nyawa) ini sudah berusia sekitar tujuhpuluh lima tahun. Dia adalah seorang suku Uigur yang amat terkenal, bukan hanya di kalangan sukunya sendiri, akan tetapi juga di seluruh wilayah Kerajaan Kin, bahkan namanya sebagai Datuk Sesat terkenal pula sampai jauh di selatan, di wilayah Kerajaan Sung. Dia terkenal sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi, sakti dan ditakuti banyak tokoh persilatan.

Selama puluhan tahun Ouw Kan bertualang di dunia persilatan dan sebagai seorang Datuk Sesat hampir tidak ada kejahatan yang tidak pernah dia lakukan! Akan tetapi tidak ada kesenangan apapun di dunia ini yang tidak berakhir dengan kebosanan. Dalam usianya yang sudah tua itu, Toat-beng Coa-ong Ouw Kan mulai merasa bosan dengan kegiatan dalam hidupnya. Dia merasa jemu dengan segala perbuatan jahatnya. Bahkan dia mulai menyesali semua perbuatan jahat yang pernah dia lakukan. Dia mulai merasa takut akan masa depannya, takut akan bayangan keadaan dirinya setelah dia mati nanti.

Dia menyadari bahwa usianya yang semakin tua itu makin mendekatkan dirinya dengan akhir kehidupannya. Sesudah itu, bagaimana? Dia mulai merasa takut, apalagi kalau teringat akan cerita bahwa dosa-dosa yang dilakukan manusia sewaktu hidupnya akan diadili dan si pelaku kejahatan akan menerima hukuman atas segala perbuatannya yang jahat. Dia mulai merasa ngeri karena setelah mati dia tidak akan mampu lagi mengandalkan kesaktiannya. Selagi hidup, dia tidak takut menghadapi segala akibat dari perbuatannya. Dia dapat menggunakan segala kemampuannya untuk membela diri. Akan tetapi bagaimana sesudah dia mati dan tidak lagi dapat mempergunakan segala macam ilmu yang pernah dia pelajari? Dalam keadaan tidak berdaya dia akan berhadapan dengan Giam-lo-ong (Raja Akhirat). Ouw Kan mulai merasa ngeri dan mulailah dia mengasingkan diri di tempat sunyi itu, merenungkan segala perbuatannya di masa lalu dan mulai merasa menyesal.

Demikianlah keadaan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang kini sudah berusia tujuhpuluh lima tahun. Dia kini lebih banyak duduk bersamadhi, dan tidak mencampuri urusan duniawi. Segala keperluannya sehari-hari dilayani oleh seorang pembantu wanita setengah tua, penduduk dusun di bawah lereng, seorang janda dusun sederhana. Kakek ini tidak pernah kekurangan karena semua kebutuhannya dicukupi oleh Kaisar Kerajaan Kin. Bahkan rumah itu pun merupakan pemberian kaisar kepada datuk ini.

Pada pagi hari itu, Ouw Kan duduk bersila di atas bangku yang berada di pekarangan depan rumahnya. Setiap pagi, setelah matahari bersinar, dia selalu duduk bersila di atas bangku depan rumah itu untuk membiarkan dirinya bermandi sinar matahari yang menyehatkan. Kehangatan sinar matahari membuat hawa udara yang dingin menjadi sejuk dan nyaman. Di depannya terdapat sebuah meja kecil dan tadi, pelayannya menghidangkan minuman air teh hangat dengan poci dan cangkirnya yang diletakkannya di atas meja.

Ouw Kan sedang tenggelam dalam Siu-lian (samadhi) sehingga dia tidak melihat dan tidak tahu bahwa ada seorang gadis yang berpakaian serba merah muda dan kepalanya tertutup caping lebar memasuki pekarangan, berhenti dan berdiri memandang kepadanya penuh perhatian. Gadis ini bukan lain adalah Han Bi Lan. Setelah mendapatkan keterangan Jiu To bahwa Ouw Kan tinggal di Ceng-goan, Bi Lan segera langsung saja menuju ke kota itu. Di Ceng-goan ia mencari keterangan tentang Ouw Kan.

Ternyata tidak sukar mencari keterangan ini karena hampir semua penduduk kota Ceng-goan tahu akan nama datuk besar itu dan dengan mudah Bi Lan mendapatkan keterangan bahwa orang yang dicarinya itu tinggal di lereng bukit itu. Setelah tiba di situ, ia langsung memasuki pekarangan dan melihat seorang laki-laki tua duduk bersila di atas bangku bermandi sinar matahari, ia berhenti melangkah dan berdiri memandang penuh perhatian.

Kakek itu tampak tua sekali. Rambut dan jenggotnya yang panjang sudah putih semua. Badannya masih tegak namun kurus. Biarpun kini Ouw Kan sudah jauh lebih tua daripada belasan tahun yang lalu, namun Bi Lan masih dapat mengenalnya. Kakek inilah yang dulu menculik dan melarikannya. Inilah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Keyakinannya bertambah kuat ketika ia melihat sebatang tongkat dari ular kobra kering berada di atas meja depan kakek itu.

"Ouw Kan......!" Bi Lan berseru memanggil.

Kakek yang duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu segera membuka matanya. Setelah sepasang mata itu dibuka, wajah Ouw Kan tampak menyeramkan. Mata itu lebar dan bersinar tajam dan liar, biji matanya bergerak berputar-putar. Dia memandang kepada gadis yang berdiri dalam jarak sepuluh meter di depannya itu dan mengerutkan alisnya, meragu apakah benar pendengarannya tadi menangkap suara gadis itu memanggil namanya. Rasanya tidak mungkin ada seorang gadis berani memanggil namanya begitu saja!

"Hemm, engkaukah yang tadi memanggil namaku?"

"Ouw Kan, aku datang untuk mencabut nyawamu!"

Ouw Kan merasa semakin heran dan dia melihat betapa sinar mata gadis itu luar biasa dinginnya sehingga menyeramkan. Akan tetapi dia merasa geli dan aneh. Dia yang berjuluk Raja Ular Pencabut Nyawa, kini malah akan dicabut nyawanya oleh seorang gadis muda!

"Bocah lancang! Siapakah engkau yang begitu kurang ajar kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan?"

"Hemm, tua bangka keparat! Lupakah engkau akan anak perempuan yang belasan tahun lalu kau culik dan kau larikan dari Lin-an (kota raja Kerajaan Sung Selatan)?"

Ouw Kan membelalakkan matanya dan memandang penuh perhatian. Tentu saja dia tidak pernah melupakan peristiwa yang memalukan hatinya itu. Dia mendapat tugas dari Kaisar Kin untuk membalaskan kematian Pangeran Cu Si yang tewas dalam perang di tangan suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah Han Si Tiong, suami isteri yang dicarinya itu tidak ada yang ada hanya anak tunggal mereka, seorang anak berusia tujuh tahun. Dia lalu menculik anak itu untuk diserahkan kepada Kaisar Kin, akan tetapi di tengah perjalanan, anak itu dirampas oleh Jit Kong Lhama. Dia terpaksa melarikan diri meninggalkan anak perempuan itu karena dia tidak mampu menandingi kelihaian pendeta Lhama dari Tibet itu.

Dalam penasarannya, dia masih berusaha membunuh suami isteri itu, namun gagal. Akhirnya dia menugaskan dua orang muridnya, Bouw Kiang dan Bong Siu Lan untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Hatinya puas mendengar keterangan dua orang muridnya bahwa mereka berhasil merobohkan suami isteri itu yang akhirnya membuat Han Si Tiong tewas. Akan tetapi dua orang muridnya tidak berhasil membunuh Liang Hong Yi karena mereka merasa jerih menemukan surat yang terselip di ikat pinggang wanita itu, surat yang ditulis oleh Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai!

Akan tetapi hati Ouw Kan sudah puas karena Han Si Tiong dikabarkan tewas oleh dua orang muridnya itu. Dan Kini, tiba-tiba saja anak perempuan yang dulu diculiknya lalu dirampas oleh Jit Kong Lhama itu muncul di depannya dan mengancam hendak membunuhnya!

Ouw Kan mengangguk-angguk dan tersenyum.

"Ho-ho, aku ingat sekarang! Engkau bocah nakal itu! Hemm, siapa pula namamu? Aku sudah lupa lagi."

"Namaku Han Bi Lan, ingat itu agar engkau tidak menjadi setan penasaran dan tahu siapa yang membunuhmu."

Tiba-tiba Ouw Kan tertawa, suara tawanya bergaung dan mengandung getaran dahsyat yang memiliki wibawa amat kuat.

"Ho-ho-ho-ha-ha! Han Bi Lan bocah nakal, hayo tertawa bersamaku, ha-ha-ha!"

Akan tetapi, suara tawa kakek itu makin melemah dan akhirnya berhenti, matanya terbelalak memandang ke arah gadis itu, terheran-heran melihat gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihir yang terkandung dalam suara tawanya. Tawanya tadi merupakan serangan pertama yang hebat. Biasanya, lawan yang cukup tangguhpun akan terpengaruh oleh kekuatan sihir dalam tawa itu sehingga ikut tertawa sampai terpingkal-pingkal dan kalau tidak dia hentikan, bukan mustahil lawan yang terpengaruh itu akan tertawa sampai rusak isi perutnya dan mati. Akan tetapi gadis muda itu tetap berdiri tegak dan wajahnya tetap dingin tanpa ada bayangan perasaan apa pun, sinar matanya tetap mencorong namun dingin seperti membeku. Serangan sihirnya itu gagal sama sekali, menerpa gadis itu seperti semilirnya angin lalu.

Tentu saja Ouw Kan sebagai seorang datuk besar merasa penasaran sekali. Dia terkenal sebagai seorang datuk besar yang tidak saja tinggi ilmu silatnya, namun juga terkenal sebagai ahli racun dan ahli sihir. Melihat serangan sama sekali tidak terasa oleh Bi Lan, dia merasa terhina.

"Rasakan gigitan ularku!" Dia membentak sambil mengerahkan seluruh tenaga sihirnya, lalu melemparkan tongkat dari ular kobra kering itu ke atas. Tongkat itu melayang ke atas lalu meluncur ke arah Bi Lan, menjadi seperti seekor ular terbang yang menyerang ke arah leher gadis itu dengan moncong terbuka!

Melihat serangan dahsyat ini, Bi Lan bersikap tenang saja. Tadi ketika diserang gelombang suara tawa, ia hanya mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) yang dilatihnya dari Si Mayat Berjalan dan suara tawa itu lewat begitu saja tanpa dapat menyentuh perasaannya sehingga ia sama sekali tidak terpengaruh.

Kini ia menghadapi serangan tongkat yang menjadi ular terbang yang ia tahu juga merupakan serangan yang didorong kekuatan sihir. Selain tenaga sihir, juga tongkat ular itu mengandung racun sehingga kalau terkena serangan moncong ular itu, dapat mendatangkan maut. Namun Han Bi Lan sama sekali tidak merasa gentar atau gugup. Begitu tongkat itu menyambar bagaikan anak panah ke arah lehernya, ia menggerakkan tangan kiri yang dimiringkan untuk menangkis dan sekaligus menyerang ular jadi-jadian itu dengan sabetan tangannya yang membuat gerakan membacok.

"Wuuttt...... plakk!"

Tongkat yang berubah menjadi ular itu terpukul dan terbanting ke atas tanah, lalu mental dan melayang kembali ke tangan Ouw Kan yang cepat menyambut dan memegangnya. Dia kini marah sekali. Tubuhnya yang sudah tua renta itu dengan cekatan sekali telah melompat ke depan. Gerakannya ringan dan gesit.

Karena kini menyadari bahwa gadis muda itu benar-benar merupakan lawan yang tangguh dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, maka Ouw Kan ti-dak berani main-main lagi. Dia maklum bahwa ilmu sihir tidak akan dapat mengalahkan gadis ini, maka kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus simpanannya untuk menyerang dengan tongkatnya. Karena memang datuk ini memiliki ilmu silat tingkat tinggi, maka serangannya juga dahsyat sekali. Tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan bunyi berdengung ketika menyambar-nyambar ke arah tubuh Bi Lan dengan serangan beruntun dan bertubi-tubi.

Bi Lan juga mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa karena gemblengan Si Mayat Berjalan membuat semua ilmunya maju pesat. Tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan cepat sekali, menyelinap di antara sambaran gulungan sinar tongkat.

Akan tetapi serangan-serangan Ouw Kan memang dahsyat sekali, maka beberapa kali hampir saja tubuhnya menjadi sasaran sambaran tongkat maut itu. Bi Lan maklum bahwa ia tidak akan menang jika hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak terus. Untuk menangkis tongkat itu dengan tangan, ia tidak berani melakukannya. Tongkat itu berada di tangan Ouw Kan, maka menjadi berbahaya sekali dan kalau ditangkis, bukan tidak mungkin tangannya akan terluka atau keracunan. Juga kalau hanya mengelak, ia tidak mempunyai kesempatan untuk membalas dan dalam sebuah perkelahian, tidak mungkin mengandalkan pertahanan saja tanpa penyerangan. Karena itu, setelah lewat limapuluh jurus lebih, tiba-tiba Bi Lan menanggalkan mantel dan capingnya dan kini ia melawan Ouw Kan dengan dua macam senjata.

Mantelnya itu berada di tangan kirinya dan caping berada di tangan kanannya. Ketika ia menggerakkan dua buah benda itu, Ouw Kan terkejut bukan main. Mantel itu ketika digerakkan seolah berubah menjadi perisai lebar dan amat kuat, yang mampu menangkis dan membendung hujan serangan tongkatnya. Dan caping itu pun mulai menyambar-nyambar dengan serangan yang dahsyat!

Setelah menjadi murid Si Mayat Berjalan, tingkat kepandaian Bi Lan telah menjadi sedemikian tinggi dan anehnya sehingga ia tidak perlu membawa senjata tajam lagi karena segala benda dapat saja dijadikari senjata yang ampuh!

Kini pertandingan itu menjadi seru bukan main karena Ouw Kan tidak lagi hanya menyerang seperti tadi. Kini mulailah dia harus melindungi dirinya dari caping lebar yang menyambar-nyambar itu. Sebaliknya Bi Lan tidak hanya menghindar terus melainkan kini membalas serangan lawan dengan sama gencarnya. Perkelahian itu menjadi seru dan mati-matian. Setiap serangan kedua pihak merupakan cengkeraman tangan maut.

Bi Lan memang telah mendapatkan ilmu silat yang amat aneh dan hebat. Gurunya yang pertama, Jit Kong Lhama telah mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi, juga mengajarnya tentang racun dan ilmu sihir. Kemudian, ia telah mempelajari sampai sepenuhnya menguasai ilmu silat sakti dari Kun-lun-pai, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Setelah itu, semua ilmunya diperkuat oleh gemblengan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) yang selain memperdalam ilmu-ilmu yang telah ia miliki, ia juga diberi ilmu Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menjagoi Kolong Langit) yang biarpun hanya tigabelas jurus namun merupakan jurus-jurus aneh dan ampuh sekali. Maka dapat dibayangkan betapa lihainya Bi Lan sekarang.

Akan tetapi lawannya juga bukan orang sembarangan. Kakek Ouw Kan adalah seorang datuk besar, terkenal dengan julukan Toat-beng Coa-ong. Selama ini dia tidak pernah berhenti berlatih dan memperdalam ilmu-ilmunya sehingga tentu saja dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh dan berbahaya sekali bagi Bi Lan.

Bagaimanapun kuat dan tangguhnya seseorang, dia harus tunduk terhadap kodrat alam yang menguasai pula tubuhnya sendiri, yaitu usia tua. Usia tua menggerogoti kekuatan tubuh dari sebelah dalam dan tidak ada ilmu yang dapat menolak kodrat ini. Kenyataan ini berlaku pula atas diri Ouw Kan. Dia memang seorang yang berilmu tinggi, kuat dan tangguh. Akan tetapi menghadapi usianya sendiri, mau tidak mau dia harus tunduk. Tenaganya makin berkurang dan terutama sekali daya tahannya jauh merosot.

Kalau tadi dia masih dapat melakukan perlawanan gigih, bahkan mendesak Bi Lan, kini setelah perkelahian itu lewat seratus jurus, napasnya mulai terengah, tubuhnya basah keringat dan tenaganya semakin melemah. Sebaliknya, gerakan Bi Lan semakin dahsyat sehingga kini setiap tongkat bertemu gulungan kain jubah, Ouw Kan terdorong mundur dan merasa betapa seluruh lengannya yang memegang tongkat tergetar hebat!

Menyadari bahwa tenaganya semakin lemah dan dia pun tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri, Ouw Kan menjadi nekat. Dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya, menyerang dengan jurusnya yang paling ampuh.

"Hyaaaahhhh!" Dengan memekik nyaring dia menyerang dengan tongkatnya yang menghantam ke arah kepala Bi Lan dengan dahsyat sekali.

Bi Lan menggerakkan kain mantel di tangan kirinya untuk menangkis dan begitu kedua senjata itu bertemu, dengan gerakan pergelangan tangannya Bi Lan dapat membuat ujung gulungan mantelnya itu melibat tongkat di tangan kanan Ouw Kan. Pada saat itu, tangan kanannya yang memegang capingnya menyambar ke arah dada Ouw Kan. Dalam keadaan seperti itu, Ouw Kan tidak dapat menghindarkan diri lagi. Maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangan kirinya menyambut dan menangkap caping yang meluncur ke arah dadanya itu.

"Wuuttt...... plakk......!" Dia berhasil menangkap caping itu dan kini sepasang tangan kedua orang itu tidak bebas lagi! Mereka mengerahkan tenaga untuk saling mendorong melalui kedua tangan yang memegang senjata. Terjadilah adu tenaga sakti dengan saling mendorong!

Tenaga Ouw Kan memang sudah hampir habis, maka adu tenaga sakti ini tentu saja amat menyiksanya. Tubuhnya mulai basah oleh keringat, wajahnya pucat dan uap mengepul dari ubun-ubun kepalanya, menembus topi bulunya. Melihat keadaan lawan sudah payah dan tenaga itu semakin melemah, Bi Lan berkata dengan suara datar dan pandang mata dingin.

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Jahanam Ouw Kan, bersiaplah untuk menghadap arwah Ayahku agar dia dapat menghukummu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Bi Lan mengeluarkan suara melengking yang aneh dan menyeramkan. Suara itu terdengar sampai jauh, tiba-tiba kedua tangannya melepaskan caping dan mantel dan secepat kilat kedua tangan itu mendorong ke depan, ke arah dada Ouw Kan.

"Dessss""!!" Tubuh yang kurus itu terlempar ke belakang dan terbanting roboh, tewas seketika dan dari semua lubang di mulut hidung dan telinganya mengalir darah.

Bi Lan berdiri memandang mayat musuh besarnya itu dengan wajah dingin tanpa menunjukkan perasaan apa pun...... Hati gadis yang dahulu gembira, lincah jenaka penuh gairah hidup itu kini seolah membeku dan dingin. Perubahan ini terjadi semenjak ia meninggalkan ibunya. Wajahnya masih cantik jelita, akan tetapi seperti kecantikan sebuah topeng!

Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan ia sudah melompat masuk pondok itu dan memegang lengan wanita setengah tua yang menjadi pembantu Ouw Kan. Wanita itu menjadi ketakutan, tubuhnya menggigil dan ia berkata dengan suara gemetar, "Ampun, Nona. Saya...... saya hanya seorang pelayan......"

Ketika merasa betapa lengan yang dipegangnya itu sama sekali tidak mengandung tenaga, Bi Lan melepaskannya dan wanita itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut. Tadi ia hanya mengintai dari balik pintu dan tidak berani keluar melihat majikannya berkelahi. Melihat majikannya yang sudah tua itu roboh, ia menjadi semakin ketakutan dan menahan tangisnya. Suaranya itulah, biarpun lirih, yang membuat Bi Lan melompat dan menangkap lengannya.

Ketika mendapat kenyataan bahwa wanita pelayan itu seorang lemah, Bi Lan segera melepaskannya. Biarpun ia menjadi seorang yang berhati kaku keras dan dingin, namun Bi Lan tidak menjadi orang jahat yang suka mengganggu orang. Hanya mereka yang bersikap kurang ajar kepadanya, yang mengganggunya, akan dibunuhnya tanpa mengenal ampun. Akan tetapi ia tidak akan mengganggu sedikit pun orang yang tidak bersalah kepadanya.

"Aku tidak akan menyakitimu, Bibi. Akan tetapi katakan, di mana adanya Bouw Kiang dan Bong Siu Lan?"

"Maafkan saya, Nona. Saya sungguh tidak tahu di mana adanya mereka."

"Kenalkah engkau kepada dua orang murid itu?"

"Saya pernah melihat mereka datang menghadap Guru mereka di sini, Nona."

"Tahukah engkau apa yang mereka bicarakan?"

"Saya tidak tahu dan tidak berani ikut mendengarkan."

"Seperti apa mereka itu? Coba gambarkan."

"Murid laki-laki bernama Bouw Kiang itu bertubuh tinggi besar, mukanya tampan dan kulitnya hitam, usianya sekitar duapuluh enam tahun. Adapun murid perempuan itu berusia sekitar duapuluh tahun, wajahnya cantik kulitnya putih, mata dan mulutnya lebar."

Seperti itu pula penggambaran ibunya tentang dua orang murid Ouw Kan yang menyerang orang tuanya itu.

"Apakah dulu mereka itu tidak tinggal di sini bersama guru mereka?"

"Tidak, Nona. Pernah saya mendengar bahwa mereka tinggal di kota raja, akan tetapi tepatnya entah di mana karena saya sendiri orang dusun, belum pernah pergi ke kota raja."

Bi Lan mengangguk.

"Keteranganmu itu sudah cukup, Bibi. Terima kasih. Sekarang beritahukanlah kepada pendudukdusun terdekat agar mereka membantu penguburan mayat itu. Aku pergi."

"Nona tunggu sebentar."

"Hemm, apa lagi?"

"Nona, kasihanilah saya. Bagaimana kalau orang-orang bertanya kepada saya tentang kematian majikan saya ini? Kalau saya tidak memberi keterangan yang jelas, saya takut kalau malah dicurigai."

"Hemm, beritahu saja seperti apa yang kaulihat. Ouw Kan ini adalah musuh besarku. Katakan bahwa dia dibunuh seorang gadis yang mengaku sebagai musuh besarnya."

"Kalau mereka menanyakan nama Nona?"

"Hemm, katakan saja bahwa aku adalah Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah)!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Bi Lan telah lenyap dari depan wanita setengah tua itu. Tentu saja wanita itu terbelalak dan menggigil ketakutan, percaya bahwa gadis cantik pembunuh majikannya itu benar-benar seorang iblis betina!

Beberapa bulan yang lalu Ouw Kan yang sedang berada seorang diri di pon-doknya dan wanita pembantunya sedang pergi berbelanja bumbu dan bahan masakan, Puteri Moguhai muncul di depannya. Ouw Kan terkejut mengenal gadis itu sebagai orang yang pernah bersama seorang pemuda Iihai melawan dan mencegahnya ketika dia hendak membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Dia sudah bersiap-siap untuk menyerang gadis itu, akan tetapi Puteri Moguhai mencabut pedang bengkok terukir naga emas pemberian kaisar dan berkata.

"Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, apakah engkau tidak mengenal ini?"

Ouw Kan terbelalak dan menatap wajah jelita itu penuh perhatian.

"Siapakah engkau?"

"Aku Puteri Moguhai dan di luar aku disebut Pek Hong Niocu!"

Ouw Kan terkejut.

"Aih, kiranya Paduka Tuan Puteri? Maaf, saya tidak mengenal Paduka karena seingat saya, saya dulu melihat Paduka sebagai seorang puteri yang masih kecil, masih remaja. Jadi......, Padukalah yang dulu melindungi Han Si Tiong dan isterinya di tepi Telaga Barat?"

Puteri Moguhai mengangguk.

"Benar, akulah yang ketika itu mencegah engkau membunuhnya!"

"Akan tetapi, Tuan Puteri, mengapa? Sri Baginda Kaisar sendiri yang dulu mengutus saya untuk membunuh suami isteri itu, demi membalas kematian Pangeran Cu Si."

"Perintah itu diberikan Ayahanda Kaisar dahulu, belasan tahun yang lalu. Aku sudah menanyakan kepada Beliau dan sekarang Beliau tidak lagi bermaksud membalas dendam kematian Pangeran Cu Si. Kematian itu terjadi dalam perang, jadi tidak ada dendam pribadi. Akan tetapi mengapa engkau masih bersikeras dalam usahamu membunuh suami isteri itu?"

"Saya...... saya merasa malu kepada Sri Baginda karena kegagalanku dahulu dan ingin menebus kegagalan itu, Tuan Puteri."

"Hemm, mulai sekarang harap engkau hentikan usaha pembunuhan itu, karena akulah yang akan menentangmu! Ketahuilah bahwa suami isteri itu kini merupakan sahabat baikku dan aku akan melindungi mereka!"

"Baik, Tuan Puteri. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan pergi mencari dan memusuhi Han Si Tiong dan Liang Hong Yi."

Demikanlah, Puteri Moguhai meninggalkan Ouw Kan dan kembali ke istana. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ketika berjanji, dalam hatinya Ouw Kan menertawakannya karena beberapa bulan yang lalu dia sudah memberi perintah kepada Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang muridnya, untuk mewakili dia pergi mencari suami isteri itu dan membunuh mereka!

Seperti kita ketahui, dua orang murid itu berhasil melukai Han Si Tiong sehingga tewas tak lama kemudian, akan tetapi mereka tidak berani membunuh Liang Hong Yi karena menemukan surat yang ditulis oleh Puteri Moguhai dan terselip di ikat pinggang Liang Hong Yi.

Dua orang murid itu sudah memberi tahu akan hal ini kepada Ouw Kan, maka ketika Moguhai datang kepada Ouw Kan dan melarang Ouw Kan memusuhi suami isteri itu, tanpa ragu-ragu Toat-beng Coa-ong menyanggupi! Dia tahu bahwa Han Si Tiong telah tewas oleh dua orang muridnya itu.

Akan tetapi, sama sekali dia tidak pernah bermimpi bahwa dua bulan setelah Puteri Moguhai memperingatkannya, muncul Han Bi Lan, bocah yang dulu diculiknya dan dia tewas di tangan gadis yang kini menjadi luar biasa lihainya itu!

Ketika Moguhai pulang ke istana, ayah ibunya, yaitu Sri Baginda Kaisar Kerajaan Kin dan Tan Siang Lin yang menjadi selir kaisar, menyambutnya dengan gembira. Mereka merasa rindu sekali kepada puteri mereka yang terkasih ini, yang telah meninggalkan istana selama setahun. Sri Baginda Kaisar dan selirnya itu segera mendesak agar puteri mereka itu menceritakan semua pengalamannya.

Sudah lama Kaisar mendengar akan nama Tiong Lee Cin-jin yang berjuluk Dewa Obat dan dia mengaguminya karena Tiong Lee Cin-jin juga berjasa menyelamatkan kaisar ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mendiang Pangeran Hiu Kit Bong. Maka, ketika mendengar bahwa puterinya yang dia tahu telah memiliki ilmu silat tinggi itu hendak digembleng oleh Dewa Obat selama setahun, tentu saja dia menyetujuinya. Adapun Tan Siang Lin sendiri, tentu saja merasa girang dan rela membiarkan puterinya meninggalkannya selama setahun untuk berguru kepada Tiong Lee Cin-jin karena itu berarti bahwa Moguhai berguru kepada ayah kandungnya sendiri!

Moguhai bercerita kepada Ayahnya betapa selama setahun ia digembleng ilmu oleh Tiong Lee Cin-jin dan bersama ia ada seorang gadis lain yang menjadi murid Si Dewa Obat.

"Ah, ada murid wanita lain? Apakah ia juga memiliki tingkat kepandaian tinggi? Siapa namanya, Moguhai?" tanya Kaisar Kin.

"Ia juga lihai sekali. Sebelum menjadi murid...... Suhu, ia juga sudah lihai dan di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li, namanya Thio Siang In. Usianya sebaya dengan saya dan kata orang-orang, kami berdua mirip satu sama lain. Ia ingin sekali berkunjung ke sini. Bolehkah, Ayah?"

Sejak kecil Moguhai amat manja kepada ayahnya dan terhadap ayahnya itu, ia tidak menggunakan banyak aturan sebagaimana keluarga kaisar yang lain. Kaisar yang amat menyayang puterinya itu pun membiarkannya saja.

"Tentu saja boleh! Kapan saja ia boleh datang berkunjung ke istana," kata Sri Baginda Kaisar.

Puteri Moguhai menceritakan tentang pengalamannya ketika belajar ilmu dari Si Dewa Obat. Tentu saja ia sama sekali tidak menyinggung tentang rahasia yang telah ia ketahui mengenai riwayatnya dan Siang In dan tentang Gurunya yang sesungguhnya adalah Ayahnya sendiri dan dalam kesempatan itu ia bercerita pula akan pengalamannya ketika bertemu dengan Han Si Tiong dan Liang Hong Yi.

"Ayah, mereka adalah suami isteri pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Karena itu, ketika Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerang dan hendak membunuh mereka, saya melindungi mereka. Saya tahu bahwa Ayah sudah tidak menaruh dendam kepada suami isteri itu dengan tewasnya Pangeran Cu Si dalam perang. Akan tetapi Ouw Kan masih saja memusuhi dan hendak membunuh mereka karena merasa malu atas kegagalannya membunuh mereka belasan tahun yang lalu."

Kaisar itu menghela napas panjang.

"Kami sesungguhnya bukan anak kecil yang tidak tahu bahwa gugur dalam perang bukan merupakan dendam pribadi. Akan tetapi pada waktu itu, mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang memanaskan hatiku sehingga aku utuskan Ouw Kan untuk membalas dendam. Setelah dia gagal, sebetulnya aku sudah menghapus dendam yang sesungguhnya salah itu. Aku tidak lagi mendendam, apalagi hubungan antara kerajaan kita dengan Kerajaan Sung kini sudah menjadi baik. Aku tidak pernah menyuruh Ouw Kan untuk membunuh suami isteri bekas pimpinan Pasukan Halilintar. Kalau dia masih berusaha membunuh mereka, itu adalah urusannya sendiri."

Biarpun di depan Kaisar ia tidak bercerita tentang rahasia ibunya, akan tetapi ketika ia berada berdua dengan ibunya, Puteri Moguhai tidak dapat menahan diri lagi untuk merahasiakan semua itu. Tan Siang Lin, selir kaisar itu, agaknya sudah menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan puterinya yang selama setahun hidup bersama gurunya yang juga merupakan ayah kandungnya itu. Ia dapat merasakan sesuatu telah terjadi melihat sinar mata puterinya ketika memandang kepadanya semenjak anak itu pulang.

Kini, Moguhai agaknya sengaja menemuinya berdua dalam kamar itu. Dengan jantung berdebar tegang ia lalu duduk di atas pembaringan, setengah merebahkan diri dan memandang puterinya yang setelah memasuki kamar lalu menutupkan daun pintu dengan hati-hati.

Setelah menutupkan daun pintu Moguhai menghampiri ibunya dan duduk di atas tepi pembaringan. Dua orang wanita itu saling pandang dan sampai lama keduanya tidak bicara, hanya saling pandang dan keduanya tersenyum dengan sinar mata membayangkan kasih sayang yang besar. Melihat betapa sinar mata Moguhai mengandung keraguan, Tan Siang Lin berkata lirih sambil memegang lengan puterinya.

"Anakku, agaknya engkau akan menceritakan sesuatu kepada Ibumu. Jangan ragu-ragu, anakku, kalau ada sesuatu, ceritakanlah saja."

"Ibu, aku sekarang mempunyai nama baru atau nama alias, pemberian...... Suhu Tiong Lee Cin-jin."

Ibunya memandang tajam dan mulutnya tersenyum.

"Nama baru? Engkau diberi nama apakah, Moguhai?"

"Aku diberi nama Sie Pek Hong, Ibu."

Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak.

"...... Sie......?"

"Benar, Ibu. Pakai nama marga Sie dan nama Pek Hong adalah nama julukanku, Pek Hong Niocu."

"Akan tetapi, mengapa marga Sie?"

"Karena Guruku juga bermarga Sie, Sie Tiong Lee, Ibu."

Wajah wanita itu berubah kemerahan.

"Akan tetapi...... mengapa engkau ikut-ikutan bermarga Sie?"

"Ibu, bukankah nama marga seorang anak harus mengikuti marga Ayahnya? Ibu bermarga Tan, tidak mungkin aku memakai marga Tan."

Wajah ita menjadi semakin merah.

"Moguhai......!" Ia memegang lengan pu-terinya dengan kuat.

"Kau...... kau...... tahu......?"

Moguhai tersenyum dan mengangguk.

"Dia...... dia yang bercerita padamu?"

Kembali Moguhai mengangguk.

"Ohhh......!" Tan Siang Lin bangkit duduk dan memegang kedua tangan puterinya. Moguhai merasa betapa jari-jari tangan ibunya menjadi dingin dan gemetar.

"Apa...... apa saja yang dia ceritakan......?"

"Semuanya, Ibu. Tentang Ayah...... eh, Paman Sie...... eh, Suhu dan Ibu. Aku merasa terharu sekali mendengar akan nasib dia dan Ibu."

Moguhai merangkul ibunya karena jelas ibunya menahan tangisnya. Tan Siang Lin merangkul puterinya dan sejenak mereka berangkulan. Wanita itu tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi pundaknya bergoyang perlahan. Akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. Ia melepaskan rangkulannya, menghapus beberapa tetes air mata yang membasahi pipinya, lalu menghela napas panjang dan berkata lirih.

"Akan tetapi engkau tahu bahwa aku hidup cukup bahagia di istana ini. Sri Baginda amat baik terhadap kita berdua, Moguhai."

"Hal itu tidak kusangkal, Ibu. Dan sudah kuceritakan dengan terus terang kepada Suhu. Karena itu, nama Sie Pek Hong juga hanya untuk aku dan Ibu saja, kepada orang luar aku tetap bernama Puteri Moguhai dan berjuluk Pek Hong Niocu. Selain rahasia yang kuceritakan tadi, Ibu, masih ada hal lain yang tentu akan membuat Ibu berbahagia kalau aku ceritakan."

Tan Siang Lin yang masih berdebar jantungnya karena tegang dan haru mendengar bahwa puterinya telah mendengar pengakuan Sie Tiong Lee tentang rahasianya kini memandang kepada wajah Moguhai dengan kedua mata masih basah. Hatinya sudah terlalu tegang sehingga keharuan membuat ia tidak mampu bicara, hanya bertanya lirih dengan satu kata saja.

"Apa......?"

Moguhai memegang kedua tangan ibunya dan berkata dengan wajah berseri gembira.

"Ibu, tahukah Ibu siapa gadis yang menjadi saudara seperguruanku dan yang bernama Thio Siang In? Ia adalah puteri Bibi Miyana!"

Sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Moguhai.

"Puteri...... puteri...... Miyana......?" Suara itu gemetar dan bibir itu menggigil.

"Ya, Ibu dan Siang In itu serupa benar dengan aku, tidak ada yang dapat membedakan kalau kami mengenakan pakaian yang sama. Ia adalah adik kembarku yang dulu dibawa pergi Bibi Miyana."

Wajah Tan Siang Lin menjadi agak pucat.

"Ia...... ia tahu ! pula akan hal itu?"

"Tahu, Ibu. Suhu...... Ayah...... menceritakan semua kepada kami berdua. Aku sudah singgah ke rumahnya dan bertemu Bibi Miyana yang sekarang menjadi Nyonya Thio Ki di kota Kang-cun. Ibu, Siang In akan berkunjung ke sini untuk bertemu dengan Ibu!"



Kisah Si Naga Langit Eps 15 Pedang Ular Merah Eps 6 Kasih Diantara Remaja Eps 26

Cari Blog Ini