Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 10


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




Ciang Losu tersenyum lebar memperlihatkan rongga mulut yang sudah tidak ada giginya lagi.

"Nona Thio Siang In, pinto lihat bahwa di balik kekerasan hatimu terdapat kerendahan hati dan kejujuran. Maafkanlah ulah kedua orang mu-rid Bu-tong-pai kami."

"Tidak mengapa, locianpwe. Mereka sudah dihukum dan kalau mereka dapat mengubah sikap, saya ikut merasa girang."

"Sekarang, pinto ingin mendengar darimu, Souw-slcu. Tiong Lee Cin-Jln mengutus engkau datang menemul plnto, sebetulnya membawa keperluan apakah?"

"Locianpwe, saya diutus suhu untuk menyerahkan sebuah kitab kepada lecianpwe, karena menurut suhu, kitab itu adalah hak milik Bu-tong-pal." Setelah berkata demikian, Thian Llong menurunkan buntalan pakalannya dari punggung dan membuka buntalan itu.

"Ah, bukan main! Tiong Lee Cin-jin menemukan kitab kami dan mengembalikan kepada kami? Sungguh mulia, sungguh bljaksana!" kata Ciang Losu dengan wajah berseri, tampaknya gembira sekali.

Thian Liong mengambll Kitab Kiauw-ta Sin-na dari dalam buntalan. Kitab ini agak tebal dan sudah tua sekali.

"Inilah kitab itu, locianpwe, harap sudi menerimanya."

"Terima kasih....!" Kakek itu menerima kltab, lalu dibuka. Setelah melihat islnya, dia berkata,

"Sian-cai..... Kiranya Kitab Kiauw-ta Sin-na yang hilang lima puluh tahun yang lalu!"

"Loclanpwe telah menerima kembali kltab yang telah lama hilang, kenapa malah tampak kecewa?" tiba-tiba Siang In bertanya.
"Eh.... ahh....? Nona Thio Siang In sungguh memiliki penglihatan yang amat tajam!" seru Clang Losu sambil tersenyum dan memandang kagum.

"Sesungguhnyalah, pinto merasa kecewa melihat bahwa yang dikirim oleh Tiong Lee Cin-jin adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na, bukan Kitab Thal-kek Sin-kiam yang hilang seratus tahun yang lalu sepertl yang tadi kusangka dan harapkan."

"Suhu pernah bercerita kepada saya, locianpwe, bahwa dalam perjalanannya, suhu jUga berusaha mendapatkan kembali kitab pusaka milik Bu-tong-pai itu, akan tetapi menurut suhu, tidak ada seorangpun di dunia barat yang tahu tentang Kitab Thai-kek Sin-kiam itu." Kata Thian Liong.

"Ah, tidak mengapa, Souw-sicu. Kitab Kiauw-ta Sin-na ini juga merupakan kitab pusaka kami yang penting. Harap sampaikan ucapan terima kasih dan seluruh anggauta dan pipipinan Bu-tong-pai."

"Baik, locianpwe, akan saya sampaikan kepada suhu pesan locianpwe." Kata Thian Liong.

"Bu-tong-pai tidak dapat membalas apa-apa atas kemuliaan hati dan kebijaksanaan Tiong Lee Cin-jin. Kami hanya dapat mendoakan semoga Tiong Lee Cin jin berusia panjang dan hidup penuh kebahagiaan." kata pula kakek itu.

"Terima kasih, lo-cian-pwe." Dua orang muda itu laki berpamlt dari Ketua Bu-tong-pai yang sudah tua itu. Di pintu depan mereka disambut oleh Pek Mau San-jin yang mengantar mereka sampai keluar pintu gerbang Bu-tong-pai. Setelah mengucapkan terima kasih atas sambutan Bu-tong-pai yang baik, Thian Liong dan Siang In lalu meninggalkan perguruan silat yang terkenal itu dah menuruni puncak bukit.

Setelah tiba di kaki bukit, Siang In mengajak pemuda itu berhenti dan la bertanya.

"Liong-ko, urusan di Bu-tong pai sudah beres. Sekarang, engkau hendak pergi ke manakah?"

"Aku sekarang akan pergl ke Siauw-Lim-pal." jawab Thian Liong sejujurnya.

"Wah? Bukankah kuil Siauw-Lim-pai itu jauh sekali dari sini? Mau apakah engkau pergi ke perguruan-pergurUan silat? Tadl ke Bu-tong-pai dan sekarang hendak ke Siauw-lim-pi. Apakah juga engkau ke sana untuk menyerahkan kitab pusaka Siauw-lim-pai?"

Thian Liong mengangguk.

"Tldak salah dugaanmu, In-moi. Aku memang sedang melaksanakan perlntah suhu untuk menyerahkan kltab-kitab pusaka kepada pemiliknya yang berhak."

"Suhumu Tiong Lee Cin-jin ttu aneh sekali! Aku sudah mendengar bahwa dla merantau ke dunia barat selama puluhan tahun dan berhasil mendapatkan banyak kitab penting. Kenapa sekarang kitab-kitab itu dibagi-bagikan?"

"Bukan begitu, In-moi. Dalam perantauannya ke barat untuk memperdalam ilmu, suhu menemukan kitab-kitab para perguruan silat yang dulu dicuri orang. Suhu berhasil merampasnya kembali dan karena kitab-kitab itu ada yang berhak memiliki, maka suhu mengutus aku untuk mengembalikan kitab-kitab itu kepada yang berhak. Bukankah hal itu sudah wajar dan semestinya?"

"Sama sekali tidak wajar. Kalau suhumu yang menemukan dan merampasnya kembali, semestinya kitab-kitab itu menjadi hak milik suhumu! Enak saja para ketua perguruan silat itu menerima kembali kitab mereka tanpa merasa bersusah payah! Ah, sudahlah, memang aku sudah mendengar bahwa Tiong Lee Ctn-jin itu orangnya aneh luar biasa. Tapi kulihat engkau ini orang biasa saja, seperti juga aku. ngomong-omong, berapa banyak sih kitab yang harus kau kembalikan kepada para ketua perguruan silat itu, Liong-ko?"

"Hanya tiga buah kitab, In-moi. Sebuah untuk diserahkan kepada Ketua Kun-lun-pai, sebuah untuk Ketua Bu-tong-pai dan yang sebuah lagi harus kuserahkan kepada Ketua Siauw-lim pai."

"Hemm, baglan Bu-tong-pal gudah kauserahken. Apakah kiinb untuk Kun-lun-pal juga sudah kauberikan kepada ketuanya?" Thian Llong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

"Itulah yang merisaukan hatiku, In-mol. Kltab untuk Kun-lun-pai Itu dicuri orang dalam perjalananku."

"Waah...! Dicuri orang? Apa namanya kitab pusaka Kun-lun-pai itu, Liong-ko? Siapa tahu aku dapat membantumu mencarinya."

"Kitab itu berjudul Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat."

"Dan siapa pencurinya?" "Itulah yang memusingkan. Pencurinya seorang gadis, aku akan dapat mengenal wajahnya, akan tetapi sayang, aku tidak tahu namanya."
"Hemm, bagaimana seorang gadis mampu mencuri kitab pusaka itu darimu? Coba gambarkan bagaimana gadis itu. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengannya dan dapat merampas kitab yang dicurinya itu!" kata Siang In penuh semangat.

"la masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Pakaiannya serba merah muda. la lincah jenaka, bengal, galak dan cerdik."

"Wajahnya, bagaimana rupanya?" '

"Hemm, wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang, kalau tertawa timbul lesung pipit di kedua pipinya...."

"la cantik?"

"Cantik sekali, pinggangnya ramping, dagunya meruncing, kulitnya putih......."

"Hemm, cantik mana kalaU dibandingkan....... aku?"

Thian Liong menatap wajah di depannya.

"Wah..... sukar menilai, In-moi. Engkau juga cantik sekali, sukar rnengatakan siapa di antara kalian yang lebih cantlk. Usia kalian juga sebaya dan ilmu silat kalian juga sama lihainya."

"Tentu Kun-lun-pai marah sekali mendengar kitab pusaka mereka dicuri orang. Apakah mereka sudah tahu?"

"Memang mereka tadinya marah sekali. Akan tetapi akhirnya Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun-pai dapat menerima kenyataan dan akupun sudah berjanji kepadanya untuk berusaha mencari dan menemukan kembali kitab pusaka, Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu."

"Kitab pusaka Bu-tong-pai tadi adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na. Lalu sekarang tinggal sebuah, yaitu kitab pusaka yang akan kauserahkan kepada Siauw-lim-pai. Apakah nama kitab itu, Liong-ko?" Sepasang mata bintang itu memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Thian liong.

"Namanya Kitab Sam-jong Cin-keng."

Menurut keterangan suhu, kitab ini mengandung ilmu yang diciptakan sendiri oleh Dewa Ji-lai-hud!"

"Wah, aku ingin sekali melihatnya! Liong-ko yang baik, tolong perlihatkan kitab itu padaku, sebentar saja!" Gadis itu mendekat

"Wah, tidak boleh, In-moi!"

"Aih! Masa hanya melihat saja tidak boleh?"

"Suhu memesan agar aku jangan memberikan kitab-kitab itu kepada siapa saja kecuali kepada para ketua yang berhak menerimanya."

"Akan tetapl aku hanya ingin pinjam sebentar, melihat-lihat lainnya untuk menambah pengetahuan dan pengalamanku. Sebentar saja, nantl kukemballkan,"

"Maaf, In-mol, aku tidak dapat memenuhl permlntaanmu. Suhu berpesan agar aku menjaga kitab-kitab Itu dengan taruhan nyawaku."

Walah gadis Itu berubah merah, matanya bersinar-sinar mengandung kemarahan.

"Hemm, buktlnya sebuah di antara tiga buah kitab itu hilang!"

"Hal itu terjadl karena aku lengah dan gadis Itu mencurlnya."

"Benarkah? Apakah tidak karena engkau tergila-gila oleh kecantikannya dan engkau meminjamkan kltab itu kepadanya lalu ia melarlkan diri membawa kitab itu?"

"Sama sekali tidak, In-mol. Engkau, juga cantik, akan tetapi tetap saja aku tidak berani meminjamkan kitab ini padamu. Maafkan saja."

"Bagaimana kalau ada orang menggunakan kekerasan untuki merampas kitab"

"Tentu saja akan kulawan dan kupertahankan."

"Kalau begitu karena engkau tidak mau meminjamkannya, aku akan merampasnya dengan kekerasan. Lawanlah aku!" Setelah berkata demikian, dengan cepat sekall Siang In sudah menerjang pemuda itu dan tangan kirinya menotok ke arah dada sedangkan tangan kanahnya mencengkeram ke arah buntalan yang tergantung di punggung Thlan Liong.

Thian Liong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia merasa kecewa dan marah. Kenapa setiap kali bertemu dengan gadis cantik, selalu dia menghadapi kesulitan dan persoalan? Pertama bertemu gadis Jelita berpakaian merah muda itu yang kemudian mencuri kitab pusaka Kun-lun-,pai dari buntalan pakaiannya sehingga dia mengalami kesulitan. Kemudian dfa bertemu dengan Kim Lan, murid Kun-lun-pai yang cantik itu, yang hendak memaksanya agar dia menjadl suami gadis itu! Dan sekarang ini, dia menghadapi Ang-hwa Sian-Ii Thlo Siang In yang ayu manls, dan lagi-lagi dla menghadapi kesulitan karena gadis inl hendak memaksanya meminjamkan kitab pusaka StauW-lim-pai!

"In-moi, jangan begitu! Kitab ini bukan milik klta. Kita tidak berhak......".

"Cukup! Berikan kepadaku atau aku terpaksa akan merampasnya dengan kekerasan!"
.
"Tidak boleh, In-moi!" kata Thian Liong yang mulai merasa panas juga perutnya.

Hyaaaattt...." Slang In menerjang dengan cepat. Serangannya kuat bukan main dan kedua lengannya dikembangkan dan menyerang secara tiba-ttba dari samping, sepertl sepasang sayap, kedua kakinya berjingkat dan berloncatan, sepertl gerakan seekor burung. Memang gadis ini telah menyerang dengan memainkan ilmu silat Kong-ciak Sin-kun, (Silat Sakti Burung Merak). Gerakannya indah dan aneh, akan tetapl berbahaya sekali karena kedua tangan dan kedua kaki itu menyerang secara bergantian secara tiba-tiba dan tak tersangka-sangka!

Thian Llong berslkap hati-hatl. Gerakan serangan gadis ini dahsyat juga walaupun ketika diam-diam dia membandingkan, belumlah sedahsyat tingkat kepandaian gadis baju merah yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai Itu. Dia mengerahkan ilmu meringankan diri dan mengelak dari semua serangan. Tubuhnya berkelebatan, berubah menjadi bayangan yang tidak mungkin dapat dilanda pukulan atau tendangan. Siang In terkejut. Belum pernah la melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehebat ini. Kedua matanya sampai menjadi kabur saking cepatnya bayangan Thian Llong bergerak.

Siang In menjadi periasaran. Tiba-tiba ia sudah mencabut saputangan merah dan sekali mengebut dengan saputangan, belasan batang jarum kecil lembut menyambar ke arah tubuh Thlan Liong.

"Haiiit!"

"Ahhh!" Thian. Liong mendorong dengan telapak tangannya dan Jarum-jarum itupun runtuh semua. Akan tetapi kini gadis itu telah menyerangnya dengan cepat dan sekali ini kedua tangannya melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah maut di seluruh tubuh Thian Liong. Itulah ilmu totok Im-yang Tiam-hoat, yang dtpergunakan Siang In setelah Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa Racun) yang dikebutkan dengan saputangan merah tadi gagal.

"Hemm....!" Thian Liong menghadapi serangan baru ini dengan kagum. Gadis tni memang lihai, memiliki beberapa macam ilmu silat yang ampuh. Akan tetapi, seperti juga jarum-jarum beracunnya, ilmu totok inipun bersikap kejam karena setiap serangan merupakan serangan maut. Dia mengelak dan terkadang menangkis dengan membatasi tenaganya sehingga Siang In hanya merasa betapa lengannya tergetar hebat kalau tertangkis lengan pemuda, akan tetapi ia tidak sampai cidera patah tulang. Setelah setnua serangannya gagal sama. sekali dan pemuda itu belum juga satu kali membalas serangahriya, tahulah Siang In bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh. Semua serangannya tadi gagal dan sampai sekilan lamanya Thian Liong tidak pernah membalas. Hal ini berarti pemuda itu mengalah terhadapnya. Akan tetapi ia memang keras hati, tidak mau mengaku kalah begitu saja.

"Srat-sing....!" Dua sinar berkelebat dan gadis itu sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) yang tergantung di punggungnya. Dua batang pedang yang Berkilauan berada di kedua tangannya.

Akan tetapi ia tidak segera menyerang.

"Hayo, cabut pedangmu! Hendak kulihat apakah engkau mampu menandingi sepasang pedangku!" tantang Siang In sambil mengerutkan alisnya karena ia masih marah oleh penolakan Thian Liong yang tldak mau meminjamkan kitab pusaka Siauw-lim-pai untuk dilihatnya.

"Sudahlah, In-moi, mengapa engkau berkeras menantangku bertanding? Kita Inl bukan musuh, melalnkan sahabat, bukan? Aku girang dan berterilma kaslh sekall atas semua slkapmu kepadaku yang amat balk dan bersahabat selama ini. maka, kuminta kepadamu, hentikanlah pertandlngan inl."

"Hemm, Souw Thtan Llongl Engkau mengaku bahwa aku bersikap balk dan. bersahabat, akan tetapi seballknya, bagaimana sikapmu? Engkau pelit dan tldak percaya kepadaku seliingga memperlihatkan kitab pusaka itu engkau tolak? apakah artinya persahabatan bagimu?"

"In-moi, kitab ini bukan milikku dan aku harus mentaati pesan dan perintah suhu. (Bagaimana aku dapat disebut seorang berbakti kalau aku melanggar pesan, suhu yang tidak boleh memperlihatkan kitab ini kepada orang lain kecuali kepada Ketua Siauw-lim-pai? In-moi, maafkan aku. Engkau boleh minta yang lain, akan tetapi jangan minta aku melanggar larangan suhu."

"Cukup. Aku tetap ingin menguji kepandaianmu dan engkau coba bandingkan, siapa di antara aku dan gadls yang mencurl kitab pusaka Kun-lun-pai yang lebih lihai Pergunakan pedangmu. Aku tldak sudi bertanding dengan orang yang bertangan kosong melawan sepasang pedangkul"

Thian Liong menghela napas panjang. Gadis Inl sama keras hatinya dengan gadis baju merah yang mencurl kltab pusaka Kun-lun-pal itu. Kalau tldak dlturutl tantangannya, la tentu akan mendesak terus. Diapun mencabut Thian-liong-kiam dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.

Kalau demikian kukuh kehendakmu, baiklah, In-moi. Akan kulayani permainan pedangmu." kata Thian Liong dengan sikap tenang.

"Lihat , seranganku. Haaaiiiit" Dua batang pedang di kedua tangan Siang In itu berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar ke arah Thian Llong. Pemuda ini cepat melangkah mundur dan mengelebatkan pedangnya, membentuk sebuah lingkaran, sinar yang melindunginya. Dia melihat betapa gerakan pedang di kedua tangan gadis itupun ganas sekali. Sepasang pedang itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular cobra yang liar dan ganas. Setiap tusukan atau bacokan mengarah bagian tubuh berbahaya sehingga setiap serangan merupakan ancaman maut bagl lawan. Inilah Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas.

Akan tetapi Thian Liong menghadapi serangkaian serangan gadis itu dengan tenang. Gerakannya tenang dan mantap dan setiap kali sinar pedangnya bertemu dengan dua gulungan sinar pedang lawan sepasang pedang di tangan Siang In terpental. Akan tetapi hal ini bahkan membuat Siang In menjadi semakin penasaran dan ia mengamuk terus, menyerang dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.

Seperti tadi ketika mereka bertanding dengah tangan kosong, kini Thian Liong juga selalu mengalah, hanya mengelak dan menangkis saja. Tiga puluh jurus telah lewat dan selalu Siang In yang menyerang sedangkan Thian Liong hanya melindungi dirinya. Hal ini membuat Siang In menjadl semakin penasaran. la merasa dipandang rendah dan hal ini menyinggung harga dirinya.

"Hayo balas, pertandingan macam apa ini kalau engkau hanya mengelak dan menangkis saja?" bentaknya dan darl suaranya terdengar bahwa ia marah dan penasaran sekali.

Thian Llong merasa serba, salah. Untuk menyerang tentu saJa dia tidak tega, akan tetapl kalau dia tldak menyerang, dia tahu bahwa gadis Itu menjadi penasaran dan merasa dipandang rendah.

"In-moi, jaga seranganku!" Thian Liong berseru dan gulungan sinar pedangnya menjadi lebar sekali. Angin mendesir-desir dan pedang Thian-liong-kiam, mengeluarkan suara berdesing-desing, bagaikan gelombang samudera dalam badai menerjang ke arah Siang In. Gadis itu terkejut bukan main dan cepat Ia mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya dari hantaman gelombang sinar pedang yang amat dahsyat itu.

Akan tetapi begltu kedua pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang yang menerjangnya, hampir Siang In menjerit karena kedua pedangnya terasa seperti tergutung gelombang sinar, dlputar dan dlrenggut dari kedua tanganhya, la mempertahankan dengan pengerahan tenaga, namun tetap saja kedua pedangnya terenggut lepas dari kedua tangannya. Tentu saja ia terkejut dan cepat melompat ke belakarig dan ia melihat Thian Llong yang memutar pedangnya itu tlba-tlba menggerakkannya ke bawah dan....... cappp! Dua batang pedangnya meluncur dan menancap di atas tanah, dl depan kakinya!

"Ilmu silat sepasang pedangmu hebat, In-moi, membuat aku cukup kerepotan." kata Thlan Llong sejujurnya tanpa bermaksud mengejek karena memang dia menganggap ilmu pedang tadi berbahaya sekali.

Akan tetapi Stang In tidak menjawab, melainkan cepat la mengambil sepasang pedangnya dengan kedua tangan, kemudian ia meloncat dan berlari pergi meninggalkan Thlan Llong. Pemuda itu hanya dapat mengikutl bayangan gadls Itu dengan pandang matanya dan dia mendengar isak tertahan. Gadls itu meninggalkannya sambll menangls! Thian Liong menyimpan pedangnya dan dla berdlrl termenung. Dla merasa heran dan tldak mengertl, Dua kall dia bertemu dangan dua orang gadis yang cantlk jelita dan berkepandalan tinggi dan kaduanya rnemiliki watak yang aneh.

Keduanya keras hati, ganas dan kejam, akan tetapi keduanya Juga menentang kejahatan seperti pendekar-pendekar wanita! Sungguh sukar menyelami watak kedua orang gadis itu. Akan tetapi dla-pun harus mengakui dalam hati bahwa bflru sekarang secara berturut-turut dla rnerasa tertarik kepada wanlta. Wajah gadis baju merah dan wajah Slang In silih berganti membayang di depan matanya. Dia mengheia napas dan melanjut" kan perjalanannya" menuju ke Siauw-lim"

Siauw-lim-pai merupakan perguruan silat yang terkenal sekali, bukan saja sebagai sebuah perguruan silat yang dipimpin orang-orang saktl, akan tetapi juga sebagai pusat perkembangan Agama Buddha yang dlpimpin para hwesio (pendeta) yang beribadat. Biarpun para murld yang sudah lulus dan tldak tinggal lagi di perumahan Siauw-llm-si (Kuil Siauw-lim) yang biasa. Itu tidak diharuskan jadi pendeta, namun semua murid yang masih belajar ilmu silat dl Kuil Siauw-lim dlharuskan hidup sebagai murid Buddha yang patuh dan baik. Selagi mereka belajar dalam kuil besar yang merupakann kornpleks perumahan luas itu, para murid harus merelakan kepala mereka digunduli seperti para pendeta dan hldup sederhana, pantang raakanan berjiwa dan minuman keras.

Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-llin-pai adalah Hui Sian Hwesio yang usianya sudah enam puluh lima tahun. Hwesio ini bertubuh tinggi besar dan gemuk, berkulit putih dengan muka bulat dan alisnya tebal. Sikapnya lemah lembut dan walaupun dla merupakan orang nomor satu di Slauw-Lim-pai namun dia jarang ikut membimblng para murld dalam hal llmu sllat. Dla leblh mengutamakan pelajaran Agama Buddha dan lebih sering duduk bersamadhi seorang dlri. Adapun yang sibuk mewakilinya mengurus persoalan Slauw-lim-pal dan mengawasi para murid kepala adik-adik seperguruannya melatlh llmu silat kepada para murid, adalah Cu Slan Hweslo. Dia menjadi wakll ketua dan adlk seperguruan Hul Slan Hweslo. Cu Slan Hwealo yang berusla enam puluh tahun ini berkullt agak hitam, hldungnya mancung dan bentuk waJahnya leblh mlr(p orang India. Memang dla merupakan seorang peranakan India, bahkan lama dia memperdalam pengetahuan agamanya di India. Tubuhnya tinggi kurus dan walaupun dia merupakan sute (adik seperguruan) Hut Slan Hwesto dan tingkat kepandaian silatnya masih di bawah tingkat sang ketua, namun Cu Slan Hwesip terkenal sebagai seorang hwesio yang tangguh dan lihai sekall ilmu sllatnya.

Pada auatu pagi, seperti blasa, sudah terjadl keslbukan dalam kompleks perumahan Slauw-llm-pal yang luas itu. Para murld yang tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya, seJak pagi sudah mengerjakan kewajlban masing-maslng. Mereka bekerja secara bergiliran. Yang mendapat tugas mengangkut alr darl sumber alr ke dapur dan tempat mandi sudah bekerja keras memikul air rnenggunakan tong-tong alr. Ada pula yang membelah batang pohon menjadi potongan kayu-kayu bakar. Ada pula yang bertugas mencarl kayu di hutan sebelah. Ada yang bekerja di ladang di mana mereka menanam sayur-sayuran, Ada pula yang bertugas membersihkan seluruh komplteks, ada yang menyapu, ada yang membersihkan jendela-jendela dan pintu-pintu. Pendeknya, sejak pagi tidak ada murldnya yang menganggur. juga di dapur terdapat keslbukan dari mereka yang bertugas memasak makanan. Ada pula rombongan yang pagi Itu bertugas untuk mempelajari kltab-kitab agama dan menghafalkan doa-doa, dan ada pula rombongan yang bertugas untuk berlatih silat di lian-bu-thla (ruangan berlatih silat), sebuah ruangan yang luas di mana puluhan murld dapat berlatih secara berbareng. Dari ruangan ini terdengar suara-suara bentakan mereka. Akan tetapl dalam ruangan laln, agak jauh darl ruangan berlatlh silat, terdapat sebuah ruangan yang khusus untuk berlatlh samadhi dan ruangan ini tenang sekali.

Setelah matahari naik agak tlnggl, Ilma orang murld Slauw-lim-pal yang bertugas Jaga di plntu gapura kompleks perumahan Siauw-llm-sl menerima kunjungan seorang tamu. Lima orang murld yang berusia antara dua puluh sampal tiga puluhi tahun itu menyambut datangnya tamu tak dikenal ini dengan slkap hormat dan ramah, sikap yang diajarkan oleh para pimpinan mereka. Orang-orang muda dengan kepala gundul dan pakaian sederhana kini bangkit dari duduknya di dalam gardu penjagaan dan melangkah keluar gardu menyambut tamu itu. Tamu itu adalah seorang pria berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya sedang namun tampak kokoh kuat. Wajahnya. yang dihias kumls tipis Itu gagah perkasa, sinar matanya mencorong. Pakaiannya rlngkas, sepertl yang blaaa dlpakai kaum persllatan. Sebatang padang beronce biru tergantung dl punggunnya sehihgga mudah sekali diduga bahwa pria Itu tentulah seorang ahll silat atau sebutan umumnya orang kang-ouw (sungal telaga) atau orang bu-lim (rimba persilatan). Seorang murid tertua darl llma orang Itu, berusia tiga puluh tahun, cepat mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan dan dia bertanya.

"Slapakah saudara yang datang berkunjung dan keperluan apakah yang membawa saudara datang ke Siauw-Lim-Si?"

Akan tetapi pria Itu tidak membalas penghormatan murid Siauw-lim-pal itu, bahkan dia memandang dengan alls berkerut, tanda bahwa hatinya tidak merasa senang.'

"Kalian berlima tentu murid-murid Siauw-lim-pai, benarkah?" Suaranya juga terdengar tidak ramah, bahkan agak ketus.

"Benar, kami adalah murid-murld Siauw-llm-pal." jawab lima orang muda itu, mulal merasa penasaran melihat sikap tamu yang tidak ramah Itu.

"Nah, cepat panggil Ketua Siauw-Lim-pai ke sini untuk menemul aku! Aku ingin bicara dengan dial"

Lima orang murld, Siauw-lim-pai Itu tentu saja mengerutkan alis dan merasa tidak senang. Tamu ini sungguh lancang dan tidak sopanl Masa berani mengeluarkan perintah memanggil ketua mereka begitu saja? Memangnya siapa sih dia. Akan tetapi, murld tertua mewakili teman-temannya karena dialah yang bertugas sebagai kepala jaga. Dia masih dapat bersikap sabar.

"Sungguh tidak mudah untuk menghadap ketua kami. Seorang tamu harus memberitahu nama dan alamat, apa keperluannya agar kami dapat melapor ke dalam, kemudian tergantung keputusan ketua kami apakah beliau dapat menerima tamu itu menghadap atau tidak."

"Aku bukan tamu!" Pria itu membentak marah.

"Tidak perlu menghadap ketua kalian. Dialah yang harus keluar menemui aku karena aku hendak menuntut dia! Hayo, kalian beritahukan ketua kalian agar keluar menemui aku. Ketua kalian Hui Sian Hwesio, bukan?" Murid-murid Siauw-lim-pai itu rnulai marah. Orang ini sudah keterlaluan.

"Tidak bisa! Kami tidak blsa memenuhi permintaanmu yang melanggar peraturan kami itu!" kata kepala jaga dengan suara mulai ketus.

"Kalian tidak blsa memanggil ketua kalian keluar? Kalau begitu, aku akan memanggilnya sendiri!" Setelah berkata demikian, pria itu memasuki pintu gapura dan melangkah memasuki pekarangan kuil yang luas itu. Akan tetapi dengan tangkas lima orang murid penjaga itu melompat dan menghadang didepannya.

"Maaf, sobat. Sesual dengan peraturan kami, tak seorangpun orang luar boleh memasukl pekarangan sebelum memperoleh persetujuan. Dan kaml tldak dapat menyetujui engkau menyelinap masuk begltu saja tanpa memperkenalkan dlrl dan tanpa memberi tahu keperluanmu!"

"Hemm, kalian berani melarangku? Coba hendak kulihat bagaimana kalian dapat menghalangiku. Murld Slauw-llm-pai sekarang memang sudah menjadi orang-orang jahat yang patut dihajar!" Setelah berkata demlkian, orang itu melangkah maju terus tanpa menghiraukan mereka berlima yang menghadangnya.

Tentu saja lima orang murid Siauw-lim-pai itu menjadi marah sekali, Mereka menggerakkan tangan untuk mencegah dan menangkap orang yang tidak tahu aturan itu. Akan tetapi orang itu menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan.... lima orang murid Siauw-llm-pal itu berpelantingan roboh ke kanan kiri, Cepat sekall gerakan kaki tangan orang Itu yang sudah membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga tidak dapat dihindarkan oleh lima orang murid Slauw-lim-pai itu. Setelah merobohkan lima orang murid Slanw-llm-pal, dia melangkah terus menuju ke anak tangga yang merupakan bagian terdepan dari kuil besar.

Setelah tlba dl bawah kuil, dia berhenti dan mendengar teriakan-teriakan para murid yang tadl dirobohkan. Dia tidak perduli berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangannya bertolak plnggang dan dia berteriak. Suaranya terdengar nyaring sekali karena dla mengerahkan khi-kang yang membuat| suaranya melengklng.

"Hui Sian Hwesio, keluarlah untuk berbicara!!"

Keadaan menjadl gempar, Para murid Siauw-lim-pai meninggalkan pekerjaan masing-masing dan berbondong mereka menuju ke pekarangan kuil. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan dan hanya berdiri menanti perintah dari pimpinan mereka. Tidak kurang dari empat puluh orang murid telah berkumpul di anak tangga serambi depan dan di pekarangan. Namun pria itu tidak tampak takut, bahkan tersenyum mengejek dan mengulang teriakannya tadi.

Tiba-tiba muncul seorang hwesio berusia kurang lebih lima puluh tahun dl serambi depan dan dengan langkah lebar hwesio itu menuruni anak tangga. Para murid Siauw-lim-pai merasa lega karena hwesio pendek gendut yang muncul ini adalah pelatih mereka dalam ilmu silat. Hwesio ini bernama Ki Sian Hwesio, merupakan sute (adik seperguruan) termuda dl antara para plmplnan Slauw-llm-si, akan tetapl karena ilmu silatnya tangguh, maka dia dipilih oleh Hui Sian Hwesio sebagai pelatih, membantu Cu Slan Hwe-sio. Mellhat ribut-ribut Ki Sian Hweslo cepat keluar dan klnl berhadapan dengan pria itu. Lima orang murid yang tadi berjaga dan dirobohkan tamu aneh itu, segera mendekati Ki Sian Hwesio dan kepala Jaga itu melapor.

"Suhu tamu ini tidak memperkenalkan dirinya, memaksa masuk untuk menemui ketua dan telah merobohkan teecu (murid) berlima."

Ki Slan Hwesio mengerutkan alisnya menatap wajah pria yang masih tampak marah itu.

"Sobat, seorang tamu sepatut-nya tunduk terhadap tata tertib pihak tuan rumah, bukan memaksa masuk dan berterlak-teriak di sini. Siapakah engkau dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke Siauw-lim-pai?"

"Aku Ingin bertemu dan bicara sendiri dengan Ketua Siauw-lim-pai! Apakah engkau ini wakil dari ketua?" orang itu bertanya.

Ki Sian Hwesio menggeleng kepalanya.

"Bukan, akan tetapi...."

"Kalau begltu pergilah dan panggil ketua atau wakil ketua kalian untuk bicara denganku!" potong prla itu ketus.

"Pinceng (aku) memang bukan ketua atau wakll ketua, akan tetapi plnceng berhak dan berkewajiban untuk atas nama Siauw-lim-pai mengusir orang tidak tahu aturan yang berani lancang mengacau dl sini!"

Sinar mata tamu itu mencorong ketika dia mendengar ucapan ini. Dia menatap wajah hwesio yang pendek gendut itu dan berkata,

"Hemm, ingin kulihat bagaimana engkau akan mampu mengusir aku dari tempat ini!"

Karena sudah jelas bahwa tamu ini melanggar peraturan Siauw-lim-pal, bahkan telah merobohkan lima orang murid, Kl Slan Hwesio tidak ragu-ragu lagl untuk bertlndak.

"Manusia sombong, sambutlah serangan pinceng ini!" bentak hweslo gendut pendek Itu dan dla sudah menyerang dengan dahsyatnya. Blarpun tubuhnya pendek gendut, Ki Stan Hwesio dapat bergerak dengan cepat sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar. Hwesio ini lebih suka melatlh ilmu sllat Siauw-lim-pai aliran utara yang mengutamakan kecepatan dan kekuatan, maka serangannya itu cepat namun dahsyat sekali. Sambaran kepalan tangannya mendatangkan angin bersuitan.

Akan tetapi agaknya tamu yang belum juga memperkenalkan namanya itu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Pantas kalau dia berani bersikap demikian kasar dan berkunjung ke Siauw-lim-pai yang menjadi pusat para pendekar silat. Menghadapi serangan Ki Sian Hwesio itu, dengan tenang namun Hncah sekali dia mengelak ke samping dan se-lagi tangan hwesio itu meluncur luput, dia sudah membalas dengan tamparan tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala Ki Sian Hwesio yang jauh lebih pendek itu.

"Wuuuttt....... dukk!" Kl Sian Hwesio menangkis ke atas dan dua lengan ber-temu dengan kuatnya. Aklbat benturan kedua lengan ini, dua orang itupun terhuyung ke belakang. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga mereka seimbang.

Ki Slan Hwesio menjadi penasaran dan diapun melakukan serangan dengan gencar dan bertubi-tubi, memainkan ilmu silat Slauw-lim-pai yang kokoh kuat. Akan tetapi ternyata lawannya juga lihai sekali, mampu menandinginya, bukan saja mampu menghindarkan kakinya dari tangkapan, akan tetapi lawannya bergulingan dan ketika kakinya turun kembali, tak dapat dihindarkan lagi kakinya dapat dicengkeram! Sebelum dia sempat meronta, de-ngan gerakan yang aneh namun kuat sekali lawannya menggeliat, kedua- ta-ngannya disentakkan dan tubuh Ki Sian Hwesio terlempar beberapa meter dan jatuh (erbanting di atas tanah. Demikian kuat bantingan itu sehingga tulang pundak kirinya patah! Itu adalah ilmu gulat dari bangsa Mancu! Melihat betapa pelatih mereka terbanting keras dan hanya dapat bangkit duduk sambil mengeluh, para murid Siauw-lim-pai menjadi marah dan mereka sudah siap untuk mengeroyok tamu itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara nyaring berwibawa.

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Semua murid mundur!"

Ternyata yang membentak Inl adalah Cu Sian Hwesio yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka hitam. Mendengar ini, para murld tidak jadl mengepung dan melangkah mundur, memberi ruangan ke-pada wakil ketua SiauW-lim-pal. Cu Sian Hwesio melangkah maju turun dari anak tangga dan berdiri berhadapan dengan tamu itu.

"Omitohud!" kata Cu Sian Hwesio sambil merangkap kedua tangan di depan dada memberi salam sembah.

"Pinceng melihat ada gerakan silat Kong-thong-pai dalam permainan sicu (orang gagah). Selama ini tidak pernah ada permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Kong-thong-pai, kenapa sicu datang membikin ribut di sini?",

"Ini adalah urusan pribadiku dengan orang Siauw-lim-pai, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perguruan silat manapun!" kata pria itu ketus.

"Omitohud, agaknya sicu marah sekali! Siapakah nama sicu yang terhormat, dan ada urusan apakah antara sicu dengan Siauw-lim-pai?" tanya Cu Sian Hwesio, suaranya tetap tenang dan sabar.

"Engkau siapa?" tanya orang itu, suaranya masih mengandung kemarahan.

"Aku hanya Ingin bicara dengan Ketua Siauw-lim-pai!"

"Ketua Siauw-llm-pat sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Pinceng adalah Cu Sian Hwesio, Wakil Ketua Siauw-lim-pai dan semua urusan dengan Siauw-lim-pai dapat diselesaikan dengan pinceng. Suheng Hui Sian Hwesio selaku Ketua Siauw-lim-pai telah menugaskan pinceng untuk menangani semua urusan mengenai Siauw-lim-pai."

Sikap orang itu agak berubah. Dia kini mengangkat kedua tangan membalas salam Cu Sian Hwesio dan berkata, tidak seketus tadi.

"Bagus, kalau begitu, aku boleh berurusan denganmu. Namaku Kwee Bun To dan baru beberapa bulan tinggal di dusun kaki bukit ini untuk mengundurkan diri dari keramaian kota dan hidup tenteram dengan anak tunggalku, seorang gadis. Kami memilih tinggal di kaki bukit ini karena mengira bahwa dekat dengan Siauw-lim-pai, tentu kehidupan di sini aman dan tenteram. Siapa kira justeru Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup kami dan menghancurkan kehidupan anak kami yang telah dewasa!" Orang yang mengaku bernama Kwee Bun To Ini mengepal tinju dan mengamang-amangkan ke atas "Aku bersumpah untuk menangkap murid Siauw-Lim-pai itu, membelah dadanya mengeluarkan jantungnya dan menginjak-injak kepalanya sampai hancur lebur!"

Para murid Siauw-lim-pai bergidik mendengar sumpah yang mengerikan itu. Akan tetapi Cu Sian Hwesio tetap tenang dan dia tersenyum sabar.

"Omitohud! Agaknya Kwee-sicu menderita dendam saklt hati yang teramat besar. Akan tetapi, apakah sebenarnya yang telah terjadi dan apa hubungannya dengan murid Siauw-lim-pai?"

"Hemm, agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai hanya dapat mengajarkan siiat dan doa-doa saja, akan tetapi tidak mampu mengawasi kelakuan para muridnya. Nah, dengarlah kalian semua, orang-orang Siauw-lim-pai! Malam tadi, seorang laki-laki telah menyelinap masuk kamar anak perempuanku, menotoknya kemudian memperkosanya! Dan jahanam keparat busuk itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai!"

Semua orang terkejut.

"Omitohud!" seru Cu Sian Hwesio.

"Nanti dulu, Kwee-sicu. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai?"

"Kebetulan aku terbangun malam tadi dan aku mendengar gerakan orang dalam rumah. Aku keluar dari kamarku dan sempat melihat sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar anakku. Aku mengejarnya dan setelah tiba di luar, aku menyerangnya. Kami berkelahi dan dia dapat melarikan diri Keparat!"

"Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa dia murid Siauw-lim-pai? Apakah slcu dapat mengenal mukanya?"

"Tidak, cuaca terlalu gelap, aku hanya dapat menduga bahwa dia tentu seorang lakl-laki yang masih muda."

"Akan tetapl bagaimana sicu mengetahul bahwa orang itu telah..... menodai anakmu?"

"Aku kemudian mendapatkan anakku dalam keadaan tertotok dan menjadi korban perkosaan. Ah, aku harus dapat menemukan jahanam terkutuk itu!"

"Nanti dulu, Kwee-sicu. Engkau tadi menceritakan hahwa keadaan cuaca gelap sehingga engkau tidak dapat mengenal mukanya. Akan tetapi bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa pemerkosa itu adalah murid Siauw-lim-pai?"

"Buktinya sudah jelas! Ketika aku berkelahi dengan dia, aku mengenal jurus-jurusnya. Jelas dia mempergunakan Jurus sllat Lo-han-kun (Silat Orang Tua Gagah) dari Slauw-lim-pai. Tidak salah lagi! Aku berani bersumpah!"

"Omitohud, urusan ini menjadl amat ruwet dan sulit. Kalau engkau tldak mengenal mukanya, lalu bagaimana pinceng dapat menerima tuduhanmu bahwa dia itu murid Siauw-lim-pai? Bukti ilmu silat itu sama sekali tidak kuat, sicu. Semua orang, biarpun bukan murid resmi Siauw-lim-pai, dapat saJa mempelajarinya."

"Tidak, aku yakin dia murid di sini. Pertama, jurus silatnya tadi. Ke dua, bukankah Siauw-lim-si yang paling dekat dengan dusun kami? Karena itu, aku sengaja datang ke sini untuk menuntut kepada ketua atau kepadamu sebagai wakil ketua, untuk menangkap dan menyerahkan muridmu yang Jahanam itu kepadaku!

"Akan tetapi bagaimana plnceng dapat menangkap orangnya kalau pinceng tidak tahu siapa orang itu? Rasanya tidak mungkin menangkapnya karena engkau tidak memberi tanda-tanda tertentu dari orang itu. Kami tidak dapat memenuhi permintaanmu itu, Kwee-sicu. Permintaanmu itu tidak masuk akal. Kami tak mungkin melakukan penangkapan atau tuduhan kepada murid-murid kami sendiri tanpa adanya bukti yang nyata."

"Hemm, kalau begitu, terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan cara-ku sendiri. Sebulan sekali aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai dan aku baru berhenti kalau Siauw-lim-pai sudah menyerahkan jahanam keparat ter-kutuk itu kepadakui"

"Omitohud! Engkau saitta sekall tidak boleh melakukan hal itu, sicu! Itu kejam dan tidak adil namanya dan pinceng pasti akan mencegahya!" seru Cu Sian Hwe-sio.

"Bagus engkau hendak melindungi dan membela Jahanam busuk itui' Jangan dikira aku takut kepadamu, Cu Sian Hwe-sio!" Kwee Bun To bersikap siap untuk bertandlng.

Pada saat itu, seorang pemuda menghampiri Cu Sian Hwesio dan memberi hormat kepada hwesio bermuka hltam tinggi kurus itu.
"Susiok!"

Cu Sian Hwesio memandang. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, wajahnya bulat dengan kulit muka putih bersih, alisnya tebal hitann. Seorang pemuda bertubuh sedang tegap yang berslkap lembut dan wajahnya tampan gagah. Sepasang matanya tajam dan mulutnya selalu dihias senyum ramah.

"Ah, kiranya engkau, Cia Song!" seru Cu Sian Hwesio gembira. Cia Song adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berbakat dan yang dulu dilatih oleh Hul Sian Hwesio sendiri sehingga tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada murid-murid lain.

"Tunggulah dulu, pinceng hendak menyelesaikan urusan dengan Kwee-sicu ini."

"Teecu (murid) sudah mendengar semua yang dipertengkarkan tadi, susiok (paman guru). Perkenankanlah teecu mewakili susiok dan Siauw-lim-pai untuk menghadapi Kwee-kauwsu (guru silat Kwee) ini.

Cu Sian mengangguk. Dia memang segan untuk berurusan dengan seorang yang sedang dimabok dendam dan kemarahan itu dan dia mengenal Cia Song sebagai seorang pemuda yang pandai dan bijaksana sehingga suhengnya, yaitu Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio sering memuji-muji muridnya itu. Dia mengangguk-angguk lalu mundur beberapa langkah, membiarkan Cia Song mewakilinya.

Pemuda itu kini dengan tenang talu berdiri menghadapi Kwee Bun To, ditonton oleh semua murid Siauw-lim-pai yang mengenal pemuda yang mereka kagumi sebagal seorang jagoan muda Siauw-lim-pal itu. Kwee Bun To juga memandang penuh perhatian. Pemuda Itu tampan gagah, slkapnya tenang dan lembut, wajahnya ramah, pakaiannya tidak terlalu mewah namun bersih sekali dan rapi, sepatunya dari kulit hitam mengkilap dan dipunggungnya tergantung pedang beronce merah.

Cia Song memberl hormat dengan merangkap tangan di depan dada.

"Kwee-kauwsu, saya harap engkau suka bersikap tenang dan sabar, karena hanya dengan sikap seperti itu persoalan dapat diselesaikan dengan baik."

Kwee Bun To mengerutkah alisnya. Baru beberapa bulan dia pindah ke dusun di kaki bukit, dusun yang menjadi tempat asalnya. Tadinya dia memang seorang guru silat yang cukup terkenal di wilayah utara. Akan tetapi, ketika wilayah Cina Utara dikuasai oleh bangsa Yucen yang mendirikan Kerajaan Kin, sedangkan Kerajaan Sung terpaksa pindah ke sebelah selatan Sungal Yang-ce, guru silat Kwe Bun To terpaksa membubarkan perguruannya. Dia tldak mau tunduk kepada bangsa Yucen dan melarlkan diri. Dalam pelarlan yang dilakukan bersama isteri dan anak tunggalnya itu, isterinya meninggal dunia karena menderita kaget dan sakit berat. Akhlrnya dia tinggal di dusun di kaki bukit itu, berdua dengan Bi Hwa, puterinya yang sudah berusla tujuh belas tahun. Tak pernah dia memperkenalkan diri sebagai guru silat, akan tetapi bagaimana pemuda ini dapat menyebutnya kauw-su (guru silat)?

"Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang guru silat? Siapakah engkau, orang muda?" tanya Kwee Bun To sambil memandang tajam penuh selidik.

Cia Song tersenyum ramah.

"Nama saya Cia Song dan sebagai seorang murid Siauw-lim-pai, saya merasa berkewajiban untuk mewakill suhu, susiok dan semua saudara di Siauw-lim-pai untuk membereskan persoalan ini denganmu, Kwee-kauwsu. Selama ini saya merantau ke wilayah utara dan mendengar banyak hal, juga tentang Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) yang anda pimpin di kota raja akan tetapi terpaksa dibubarkan setelah bangsa Yucen menguasai daerah utara."

"Hemm, engkau mengetahui banyak hal. Akan tetapi, apa yang dapat kau lakukan mengenai persoalanku ini, sedangkan para plmpinan Slauw-lim-pai sendiri agaknya tidak mampu memecahkannya? Keluargaku telah tertimpa malapetaka dan aku hanya menghendaki agar Siauw-Lim-pai menyerahkan jahanam terkutuk itu. Kalau hal itu tidak dapat dilakukan terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan caraku sendiri, yaitu setiap bulan aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pal untuk melampiaskan dendam keluargaku!"

"Kwee-kauwsu, saya harap anda da-pat menyabarhan dan menenangkan hati, tidak menuruti nafsu amarah karena dendam yang membakar hati. Jalan yang anda tempuh itu hanya akan memperbebar dendam mendendam dan permusuhan yarig tldak akan menguntungkan kedua pihak. Ketahuilah, Kwee-kauwsu, para murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang digembleng lahir batinnya, kiranya tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Lebih besar lagi kemungkinannya bahwa pelakunya adalah orang yang memusuhi Siauw-lim-pai. Dia telah nrempelajari Lo-han-kun dan mengunakan itu untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pal dan anda, Juga untuk merusak nama baik Siauw-lim-pai. Karena itu, saya mempunyai usul yang jauh lebih baik daripada apa yang hendak anda lakukan sebagai balas dendam itu.,"

Sikap sopan dan ucapan yang ramah lembut itu agak mendinginkan hati Kwee Bun To yang dibakar api keirtarahan.

"Hemm, orang muda, usul apakah yang hendak kauaampalkan kepadaku?"

"Begini, Kwee-kauwsu. Aku berjanji akan mencari pemerkosa itu sampai dapat kubekuk batang lehernya! Kalau aku berjanji untuk menangkap dan menyeret orang itu kepadamu, maukah engkau membatalkan ancamanmu untuk membunuhi para murid Siauw-lim-pai itu?"

"Hemm, Cia Song, jawabanmu ini ja-E uh lebih baik daripada jawaban mereka tadi. Setidaknya engkau berjanji untuk menangkap jahanam itu, tidak perduli itu murid Siauw-lim-pai atau bukan. Baik, aku memberi waktu satu bulan kepadamu. Kalau dalam waktu sebulan engkau belum mampu menyerahkan jahanam itu, terpaksa aku menggunakan caraku sendiri untuk mernbalas dendaml"

"Baik, Kwee-kauwau. Akan tetapi untuk mencari pemerkosa itu, saya harus bisa mendapatkan keterangan dan penjelasan dari puterimu tentang orang itu setidaknya ciri-ciri yang dapal diceritakan puterimu agar mudah bagiku untuk mencari orangnya."

"Baik, hal itu mudah diilakukan. Akan tetapi aku masih belum yakin engkau akan mampu menangkap jahanam itu sebelum menguji kemampuanmu. Karena itu, terimalah seranganku sekali saja. Kalau engkau mampu menahan, baru aku dapat menerima usulmu. Beranikah engkau menyambut seranganku?"

Cia Song tersenyum.

"Kalau itu yang anda kehendaki, silakan, Kwee-kauwsu. Saya siap menyambut pukulannlu."

"Cia Song berhati-hatilaht" Seru Cu Sian Hwesio khawatir. Akan tetapi murid keponakannya itu menoleh sambil tersenyum kepadanya.

"Susiok, teecu hendak membantu Kwee-kauwsu, tentu dia tidak ingin mencelakai teecu."'

"Cia Song, bersiaplah dari sambut seranganku ini!" Kwee Bun To membentak nyaring. Cia Song cepat menghadapinya dan melihat guru silat itu, menyerangnye dengan dorongan kedua telapak tangan, diapun cepat menekuk kedua lututnya dan membuat gerakan serupa, yaitu rnendorongkan kedua telapak tangannya ke depan untuk menyambut serangan jarak jauh yang mengandung hawa pukulan dahsyat itu.

"Wuuuuttt.... blarr'r....!" Dua hawa pukulan yang dahsyat dan kuat bertemu di antara mereka dan Kwee Bun To terdorong mundur sampai tiga langkah! Dia terkejut sekali. Biarpun dla tadl tidak ingin membunuh pemuda yang bermaksud membantunya itu, namun dia telah mengerahkan tiga perempat bagian tenaganya, dan ternyata pemuda itu mampu mendorongnya sampai tiga langkah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga saktl pemuda itu lebih kuat darlpada tenaga Ki Sian Hweslo yang tadi bertanding melawannya. Hal ini menimbulkan kepercayaan dalam hatinya. Siapa tahu, mungkin pemuda ini yang akan mampu menangkap jahanam yang telah memperkosa puterinya.

"Cia Song, aku menanti kunjunganmu untuk mendengar keterangan dari anakku. Cu Sian H.vesio, sampaikan pernyataan maafku kepada Ketua Siauw-lim-pai atas gangguanku yang terpaksa kulakukan ini." Setelah berkata begitu, guru silat yang menderita pukulan batin hebat itu lalu memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.

"Omitohud!" Cu Sian Hwesio berseru.

"Orang yang sedang penuh duka dan kemarahan, ditekan dendam sakit hati yang hebat seperti dia, menggelapkan semua pertimbangan dan dia dapat menjadi orang yang berbahaya sekali! Untung engkau dapat meredakan kemarahannya dan menanamkan kepercayaan dalam hatinya. Cia Song. Mari, mari kuhadapkan engkau kepada suheng Hui Sian Hwesio."

"Baik.'susiok."

Akan tetapi baru saja kedua orangitu melangkah hendak memasuki kuil, dua orang rnurid Siauw-Iim-pai yang tadi melakukan penjagaan di pintu gerbang, datang berlari-lari dan melapor kepada Cu Sian Hwesio bahwa ada seorang tamu hendak menghadap Ketua Siauw-lim-pai.

"Ehh? Siapa lagi yang akan menghadap ketua?" tanya Cu Sian Hwesio dengan heran.

"Tamu yang ini mematuhi aturan, suhu. Dia masih muda, mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia adalah murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin mohon menghadap ketua karena membawa pesan penting dari Tiong Lee Cin-jin."

Wajah yang berkulit hitam itu berseri dan sepasang rnata itu bersinar-sinar.

"Tiong Lee Cin-jin? Omitohud....! Kalau dia murid manusia bijaksana itu, tentu saja suheng Hui Sian Hwesio mau menerimanya! Persilakan dia masuk dan sekalian akan pinceng hadapkan suheng bersama Cia Song."

Dua orang murid itu berlari menuju ke luar dan tak lama kemudian mereka mengantar Thian Liong ke depan Cu Sian Hwesio. WakUketuaini mengamat?" orang muda yang datang dan memberi hormat kepadanya. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, bertubuh sedang dan berwajah tampan dengan kulit putih bersih. Mata pemuda itu mencorong namun bersinar lembut, hidungnya mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Pakaiannya sederhana dan dia menggendong sebuah buntalan pakaian. Pemuda ini mirip Cia Song, pikir Cu Sian Hwesio, hanya lebih muda.

"Locianpwe, mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan saya mengganggu ketenteraman di sini. Kalau tidak membawa perintah suhu, sungguh saya tidak berani mengganggu tempat suci ini."

Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada dan tersenyum.

"Omi tohud!" Dia berseru. Pinceng merasa berbahagia sekali. Siauw-lim-pai telah mendapat kehormatan besar menerima kunjungan murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin! Mari, Souw-taihiap (pendekar besar Souw), mari pinceng antarkan engkau menghadap suheng Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai."

"Mari, Souw-siauwte (Saudara Muda Souw), kita menghadap suhu. Kebetulan sekali saya iuga hendak menghadap beliau dan kita dapat bersama-sama menghadap suhu. Perkenalkan, saudara Souw Thian Liong, saya bernama Cia Song, seorang di antara murid-murid Suhu Hui Sian Hwesio."

Sikap yang ramah terbuka itu menye-hangkan hati Thian Liong dan dia merangkap kedua tangan di depan dada dengan hormat. Pemuda itu menyebutnya saudara muda, dan memang pemuda tampan gagah murid ketua Siauw-lim-pai itu! tentu beberapa tahun lebih tua darinya.

"Saya senang sekali dapat berkenalanj denganmu Cia-twako (kakak Cia), dan saya merasa terhormat sekali akan dapat menghadap locianpwe Hui Sian Hwesio."

"Marilah, Souw-taihiap dan Cia Song. Biarpun suheng Hui Sian Hwesio jarang sekali mau bertemu dengan orang lain, akan tetapi pinceng yakin bahya sekali ini dia akan suka sekali untuk bertemu dengan kalian." kata Cu Sian Hwesio. Mereka bertiga memasuki kompleks bangunan Siauw-Lim-pai yang luas dan setelah tiba di sebuah ruangan tertutup yang sunyi, di mana tidak tampak seorangpun hwesio, Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada, berdiri agak mem-bungkuk dengan hormat di luar pintu ia-lu berkata dengan nada suara lembut.

"Suheng yang mulia, perkenankanlah pinceng menghadapkan murid Cia Song dan talhiap Souw Thlan Liong murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin kepada suheng!"

Sunyi menyambut ucapan Cu Sian Hwesio itu. Kemudian terdengar jawaban suara yang lembut sekali dari dalam, namun suara lembut Itu terdengar oleh Thlan Liong seolah ada orang berblsik di dekat telinganya. Dengan kagum dia mengerti bahwa suara itu dibawa tenaga dalam yang amat kuat, menembus segala apa yang menghalang di depan.

"Omltohud! Mimpi apa plnceng semalam sehingga yang mulia Tiong Lee Cin-Jin mengutus murldnya datang ke slni?"

Belum habis kalimat itu terucapkan, daun pintu itupun bergerak sepertl terbuka dari dalam. Akan tetapi Thian Liong tldak melihat adanya orang yang membuka daun pintu itu dan hembusan angin lembut namun kiiat terasa olehnya. Tahulah dla bahwa pintu itu dibuka dengan dorongan angin itu dari jauh. Dan ketika dia memandang ke dalam ruangan itu, jauh di tehgah ruangan yang luas itu tampak duduk seorang hWesio. Usianya sekitar enam puluh tahun lebih, sedikitnya enam puluh lima tahun, tubuhnya gemuk tinggi besar seperti tubuh Arca Ji-lai-hud, mukanya bulat penuh senyum cerah dan alisnya tebal, matanya bersinar lembut. Hwesio itu duduk bersi-la di atas dipan kayu. Agaknya hwesio itu tadi membuka daun pintu dengan dorongan tangan yang menimbulkan angin lembut yang kuat. Hal ini saja membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian hwe-sio itu yang sudah mampu mengatur tenaga saktinya sedemikian rupa seolah tenaga saktinya itu merupakan sebagian anggota tubuhnya yang dapat melakukan apa-apa dari jarak jauh.

"Silakan masuk, Souw-taihiap dan kalian juga, Cia Song dan Cu Sian Hwe-sio." kata hwesio tua itu sambil menggapai dengan tangan kanannya.

Tiba-tiba Thian Liong menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah hwesio tua yang dia yakin tentu Hui Sian Hwe-sio adanya. Tadi ketika Cu Sian Hwesio menyebutnya taihiap (pendekar besar), walaupun hatinya merasa tak enak, dia menerima saja. Akan tetapi ketika ketua Siauw-lim-pai menyebutnya demikian, dia merasa berat sekali untuk menerimanya, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut.

"Harap iocianpwe sudi memaafkan teecu (murid). Sungguh teecu tidak berani menerima sebutan taihiap dari locianpwe. Nama teecu Souw Thian Liong dan teecu akan merasa senang sekali kalau locianpwe menyebut naroa teecu begitu saja.

Hwesio tua itu tertawa lembut dan mengelus jenggotnya yang menutupi le-hernya. Dia tidak berkumis dan gundul, akan tetapi jenggotnya yang sudah, berwarna dua itu cukup panjang.

"Omitohud! Yang mulia Tlong Lee Cin-jin telah memberi bimbingan luar dalam kepadamu, membuat pinceng merasa kagum sekali. Bangkit dan masuklah Thian Lioug dan jangan banyak sungkan. Sebagai murid yang mulia Tiong Lee Cin-jin, engkau patut kami anggap sebagai golongan sendiri."

"Terima kasih, locianpwe." kata Thian Liong dan diapun mengikuti Cu Sian Hwe-sio dan Cia Song memasuki ruangan itu. Setelah berhadapan dengan hwesio itu, Hwesio berdiri di pinggiran sedangkan dua orang muda itu langsung berlutut di depan Hui Sian Hwesio.

Hul Slan Hweslp memandang kepada dua orang pemuda yang berlutut sambll menundukkan muka mereka Itu dan mengangguk-angguk sambil tersenyuin dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

"Cia Song coba angkat mukamu dan pandang pinceng! perintahnya dengan suara lembut. Cia Song menurut, mengangkat mukanya dan menatap wajah suhunya, bertemu pandang mata sejenak lalu dia menunduk kembali.

"Omitohud! Bagus sekali, engkau telah mendapatkan banyak sekali kemajuan, hanya saja engkau harus banyak mengurangi kekerasan hatimu dengan banyak melakukan latihan siu-lian (samadhi) dan pengendalian nafsu."

"Baik, suhu. Teecu menaati perintah? suhu." jawab Cia Song lirih.

"Sudah bertahun-tahun engkau pergi berkelana. Sekarang datang ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim) membawa keperluan penting apakah?"

"Teecu merasa rindu kepada Siauw-lim-si, kepada suhu, para su-siok (paman guru) dan semua saudara, maka teecu sengaja datang berkunjung, suhu." jawab Cia Song dengan hormat.

"Maaf, suheng. Pinceng ingin menyampaikan laporan tentang jasa murid Cia Song yang telah menyelamatkan Siauw-lim-pai dari keributan yang baru saja terjadi." kata Cu Sian Hwesio.

"Keributan? Apakah yang telah terjadi, sute (adik seperguruan)?"

"Baru saja kita kedatangan seorang guru silat dari Pek-eng Bu-koan bernama Kwee Bun To. Dia marah-marah dan menuntut agar kita menyerahkan seorang murid Siauw-lim-pai yang katanya telah memperkosa seorang puterinya."

"Omitohud! Semoga Tuhan mengampuni kita! Siapakah murid Siauw-lim-pai yang melakukan perbuatan hina itu, sute?"

"Kauwsu (guru silat) Kwee Bun To itu tidak mengetahui siapa orangnya."
"Hemm, kalau begitu bagaimana dla dapat mengatakan bahwa pelakunya adalah murid Siauw-lim?"

"Menurut ceritanya, malam itu puterinya diperkosa orang dan dia bertemu dengan pelakunya. Di malam gelap itu dia menyerang dan orang muda yang melakukannya itu melawannya dengan menggunakan ilmu silat Lo-han-kun yang dikenalnya. Maka dia mengatakan dengan pasti bahwa pelakunya adalah murid Siiauw-lim-pai."

"Omitohud! Bagaimana dapat terjadi hal seperti ini? Lalu bagaimana sute?"

Pedang Ular Merah Eps 2 Kasih Diantara Remaja Eps 10 Pedang Ular Merah Eps 1

Cari Blog Ini