Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 13


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




Bi Hwa melakukan pengejaran ke puncak Bukit Angsa. Di puncak la menemukan sarang gerombolan yang merupakan sebuah perkampungan dengan rumah-rumah kayu sederhana.' Ketika ia memasuki perkampungan itu, di situ tampak sepi. Semua-pondok tertutup pintu dan jendelanya. Akan tetapi ia maklum bahwa para anggauta gerombolan itu masih berada di situ, bersembuyi dalam rumah-rumah yang tertutup.

Bi Hwa mellhat sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lain. la menghampiri rumah besar itu, berdirl di depannya lalu berseru sambll mengerahkan sin-kangnya sehlngga suaranya terdengar melengklng nyarlng dan menggetar dl seluruh perkampungan itu.

"Hel, semua anggauta gerombolan Macan Terbang, keluarlah Aku tidak Ingin mencelakai kalian. Kedatanganku hanya ingin minta keterangan dari kalian! Hayo keluar, kalau tidak aku akan marah dan akan kubakar seluruh perkampungan ini!"

Gertakannya berhasil. Rumah-rumah mulai membuka pintunya dan bermunculanlah para anggauta gerombolan yang tadi mengeroyoknya dan bersama mereka keluar pula wanita-wanita dan kanak-kanak, yaitu keluarga mereka. Setelah pemimpin mereka menjatuhkan diri berlutut, semuanya lalu berlutut bersama keluarga mereka. Jumlah para anggauta gerombolan itu sebanyak dua puluh orang lebih dan keluarga mereka lebih banyak lagi.

"Li-hiap (pendekar wantta), ampunkan kami...." kata pemimpin gerombolarr itu. Bi Hwa memperhatikan seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh llma tahun yang menuntun seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun keluar dari rumah besar, diikuti beberapa orang wanita berpakaian. pelayan. Wanita inipun mengajak anaknya menjatuhkan diri berlutut.

"Aku tidak akan mencelakai kalian asalkan kalian mau memberitahu padaku dengan sejujurnya tentang Hui-houw-ong Giam Ti. Siapa di antara kalian yang dapat memberi keterangan yang lengkap tentang dia?

"Saya dapat, lihiap. Saya Giam Kui, adik kandung kakak Giam Ti." kata laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang tadi bersikap sebagai pimpinan gerombolan itu.

"Saya juga bisa, lihiap. Saya adalah isteri Hui-houw-ong Giam Ti." kata wanita cantik tadi dengan suara lembut.

"Baik, kalian berdua boleh menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya. Dan yang lain bubarlah, lakukan pekerjaan kalian masing-masing."

Semua anggauta gerombolan tampak lega dan mereka lalu bubaran. Isteri Giam Ti bangkit dan berkata,

"Li-hiap, mari silakan masuk rumah agar kita lebih leluasa bicara."

Bl Hwa mengangguk dan ia laiu diiringkan Nyonya Giam Ti yang memondong anaknya, dan Giam Kui. Para pelayan terus masuk ke belakang untuk mempersiapkan minuman, sedangkan Bi Hwa dipersilakan duduk di ruangan depan.

"Sekarang katakan, di mana adanya Hui-houw-ong Giam Ti?" tanya Bi Hwa sebagai pancingan.

Isteri dan adik mendiang Giam Ti itu tampak terkejut dan saling pandang dengan heran.

"Akan tetapi...., lihiap.... dia sudah mati...." kata Nyonya Giam Ti dengan suara terisak.

"Apa yang telah terjadi dengan dia? Coba ceritakan dengan sejelasnya Jangan berbohong!"

Nyonya Giarii Ti menoleh kepada adik iparnya dan berkata,

"Adik Giam Kui, engkau yang lebih tahu duduk persoalannya. Engkau ceritakanlah kepada lihiap." Giam Kui mengangguk lalu berkata.

"Kejadian itu baru beberapa hari yang , lalu, lihiap. Seorang pemuda yang amat lihai datang ke perkampungan kami ini dan dia mengamuk, merobohkan kami semua, termasuk kakak saya Giam Ti. Kemudian dia memaksa kakak saya untuk ikUt dengannya dan melaksanakan semua perintahnya dengan ancaman bahwa kalau kakak saya tidak mau menurut, dia bukan saja akan membunuh kakak Giam Ti, akan tetapi dia juga akan menyiksa dan membunuh kakak ipar ini dan anaknya. Karena tidak mampu melawan dan takut akan ancaman itu, kakak Giam Ti pergi dengan dia." Giam Kui menghentikan ceritanya dan memandang wajah Bi Hwa seolah dia sebetulnya tidak perlu bercerita karena gadis perkasa di depannya itu tentu telah mengetahui semua peritiwa itu.

"Hemm, begitukah? Tahukah engkau siapa nama pemuda itu?" tanya Bi Hwa.
Dua orang itu saling pandang lagi dan menggeleng kepala.

"Kami semua tidak ada yang tahu siapa dia, li-hiap. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah sikap dan gerak geriknya halus, akan tetapi dia lihai bukan main. Usianya sekitar dua putuh. lima tahun." kata Giam Kui.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Bi Hwa.

"Kakak saya tidak pulang malam itu dan pada keesokan harinya, ada utusan dari Siauw-lim-si yang mengabarkan bahwa kakak saya telah tewas dan kami disuruh mengambil jenazahnya yang telar berada di luar kuil." kata Giam Kui dan kakak iparnya menangis terisak.

"Sekarang katakan, bagaimanakah tingkat ilmu silat Giam Ti itu? Apakah dia lihai sekali? Apakah tingkatnya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkatmu?" tanya Bi Hwa kepada Giarn Kui.

"Li-hiap, dia adalah kakak saya dan juga kakak seperguruan saya. Memang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat saya, akan tetapi tidak jauh selisihnya."

Mendengar ini Bi Bwa mengerutkan alisnya. Tingkat ilmu silat Giam Kui ini tidak berapa tinggi, dalam dua tiga gebrakan saja roboh olehnya. Kalau tingkat kepandaian Giam Ti hanya sedikit lebih tinggi dari adiknya ini, tidak mungkin di malam itu mampu memasuki kamarnya tanpa terdengar dan dapat menotoknya.

"Jawablah sejujurnya, apakah lebih sebulan yang lalu dia pernah menyerbu rumah Kwee Bun To yang berada di puncak bukit sana itu? Pada malam hari dia melakukan penyerbuan itu?"

Giam Kui mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.

"Ah, tidak sama sekali, lihiap. Terus terang saja, walaupun kami suka melakukan pekerjaan merampok, namun kami tidak pernah menggapggu penduduk sekitar pegunungan ini. Kami takut kepada Siauw-lim-pai dan kami hanya minta sumbangan dari orang-orang luar yang kebetulan lewat di daerah ini."

"Hemm,! pertanyaan terakhir dan kuharap kallan menjawab dengan terus terang karena Jawaban ini penting bagi penyelidikanku. Apakah Glam Tl seorang laki-laki yang mata keranjang dan suka mengganggu wanlta?"

"Ah, sama sekall tidak" Nyonya Glam Ti tiba-tiba berterlak.

"Mendiang suamlku adalah seorang suaml yang baik. Dia amat mencinta saya dan mencinta anak kami!"

Bi Hwa merasa sudah cukup mendapatkan keterangan yang memuaskan hatinya. la bangkit berdiri dan berkata kepada Giam Kui.

"Nah, cukuplah keterangan kalian. Terima kasih dan aku berpesan kepada semua ahggauta gerombol-an ini untuk mengubah cara hidup dan cara kerja kalian. Hentikanlah pekerjaan kalian merampok itu. Giam Kui, engkau pimpinlah anak buahmu untuk bekerja sebagai petani dengan rajin. Kulihat bukit ini memiliki tanah yang amat subur. Kalau kalian rajin dan tekun, bertani di sini tentu akan mendatangkan hasil yang cukup baik. Juga terdapat banyak binatang buruan dalam hutan-hutan di pegunungan ini. Kalian dapat juga menjadi pemburu binatang. Kulit dan daglngnya dapat kalian jual. Jangan melakukan kejahatan lagi karena kalau kalian masih tidak mau mengubah jalan hidup kalian, pada suatu hari tentu akan muncul pendekar yang membasmi kalian. Bahkan aku sendlrl kalau kelak mendapatkan kalian masih menjadi gerombolan perampok, tentu takkan tlnggal diam dan takkan memberi ampun."

"Baik, lihlap, kami akan mentaati pesan lihiap." kata Giam Kui yang memang sudah merasa jerih melihat kematian kakaknya.

Bi Hwa meninggalkan Buklt Angsa dengan hatl puas. Yakinlah kini hatinya bahwa yang memperkosanya dahulu Itu jelas bukan Hul-houw Giam Tl.

Sambil berjalan menuruni bukit itu Bi Hwa termenung. Akan tetapi mengapa Giam Ti mengaku di depan ayahnya bahwa dia yang melakukan pemerkosaan itu? pan mengapa murid Siauw-lim-pai itu menangkapnya? Kemudian malah membunuhnya? Tidak salah lagi, pikirnya. Pasti ada rahasia di balik peristiwa ini dan satu-satunya orang yang patut dicurigainya adalah murid Siauw-lim-pai itu. la sudah melihat pemuda itu. Pemuda yang tampan dan halus budinya. Dan menurut ayahnya, pemuda itu yang bernarna Cia Song, memiliki tingkat ilmu silat amat tinggi!

Bi Hwa mengepal kedua tangannya. Tak salah lagi! Tentu Cia Song itulah pelakunya! Ketika ayahnya menuntut ke Siauw-lim-pai, Cia Song berjanji kepada ayahnya untuk dalam waktu sebulan menangkap pelaku pemerkosaan itu. Cia Song juga datang ke rumahnya untuk mendengar sendiri keterangan dari mulutnya. Semua itu hanya untuk mengelabuhi ayahnya saja. Tentu pemuda itu menangkap Giam Ti dan memaksa kepala gerombolan itu untuk mengaku bahwa dialah pelakunya. Agaknya Giam Ti terpaksa membuat pengakuan palsu karena takut kalau-kalau isteri dan anaknya dibunuh seperti yang diancamkan Cia Song ketika datang dan menangkapnya. Setelah Giam Ti terpaksa mengakui perbuatannya yang sebenarnya tidak dilakukan-nya untuk melindungi isteri dan anaknya, Cia Song lalu membunuhnya agar rahasianya tidak ada yang rnengetahui dan membocorkannya.

"Pasti begitulah yang telah terjadi'" desis mulut Bi Hwa dan ia. mengepal lagi tangan kanannya.

"Cia Sohg, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu. Aku akan mencarimu dan sampai mati aku tidak akan berhenti mencarimu sampai aku dapat bertemu dengan-mu!" Setelahimengambilkeputusan ini dalam hatinya, Bi Hwa lalu melanjutkannya berlari cepat, dan kedua matanya menjadi basah.

* * *

Bi Lan memasuki kota raja Lin-an yang merupakan ibu kota Kerajaan Sung Selatan dengan berjalan perlahan-lahan. la tidak mengacuhkan pandang mata pa-ra pria di jalanan yang ditujukan kepadanya karena hal itu sudah biasa baginya. Semenjak berpisah dari Jit Kong Lama dan turun gunung, di setiap kota dan dusun yang dilewatinya, ia selalu melihat mata para pria yang memandang kepadanya dengan kagum.- Ia tidak memperdulikan lagi pandang mata mereka itu karena ia sendiri sedang asik terkagum-kagum melihat bangunan-bangunan besa? di kota raja Lin-an. Ketika ia menlnggalkan kota raja, dilarikan oleh kakek Ouw Kan yang menculiknya, ia baru berusia tujuh tahun. Selama lebih dari sebelas tahun la meninggalkan kota ini, dan sekarang ia memasuki kota ini dengan rasa kagum brkan main. Segalanya sudah berubah. Bangunan-bangunan besar dan indah. Taman-taman yang luas. Toko-toko penuh bermacam-macam barang. rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan. la menjadi bingung dan tidak mengenal jalan. la sudah lupa di mana letak rumah orang tuanya! "

Kemudian ia teringat. Rumah orang tuanya berada di sebelah barat istana raja. Tidak begitu jauh dari istana, sekitar satu kilometer saja jauhnya. Teringat akan ini, ia lalu mencari istana kaisar. Dengan bertanya-tanya, mudah saja.! ia menemukan bangunan-bangunan megah istana itu. Dari sini diambilnya jalan yang menuju ke barat. Setelah berjalan sekitar satu kilometer, ia menjadi bingung lagi karena rumah-rumah di situ sudah banyak berubah ia tak dapat mengenal lagi yang mana rumah orang tuanya. Hatinya yang tadinya semakin tegang setelah ia mengambil jalan inl, berubah menjadi bingung. Yang mana rumah orang tuanya?

la berhenti di depan sebuah rumah besar yang tampaknya baru. Pekarangan rumah itu mirip dengan pekarangan rumah orang tuanya dahulu. Dan bentuk rumahnya juga sama, hanya yang ini tampak baru. Ah, tak salah lagi. Inilah ru-mah orang tuanya. Pohon tua di sebelah kiri itu, di mana ia sering bermain, masih ada.

Dengan hati gembira penuh harapan Bi Lan memasuki pekarangan itu. Karena hatinya tegang dan pandang matanya ditujukan penuh perhatian ke arah bangunan, ia tidak tahu bahwa sejak tadi beberapa pasang mata menatap dan mengikuti gerak-geriknya dari sebuah gardu penjagaan yang terdapati di peka-rangan itu.

Bi Lan melangkah masuk.

"Hei, nona! Berhenti!" terdengar bentakan dan tiba-tiba dari sebelah kanannya muncul litna orang berpakaian perajurit yarig membawa tombak, langsung mereka itu berdiri .menghadang di depannya, memandang dengan sikap keren akan tetapi mulut mereka menyeringai secara kurang ajar.

Bi Lan memandang mereka dengan heran. Dahulu, rumah orang tuanya tidak dijaga oleh perajurit, maka ia menjadi ragu lagi apakah ia memasuki pekarangan rumah, yang kellru.

Seorang perajurit jangkung dan agak-pya menjadi kepala penjaga, mengamati wajah dan tubuh Bi Lan dengan pandang mata "lapar", kemudian bertanya dengan suara keren.

"Nona manis, engkau tidak boleh memasuki pekarangan ini begitu saja tanpa ijln dari kami! Engkau siapakah dan apa kehendakmu memasuki pekarangan ini?"

Melihat sikap yang ceriwis itu, Bi Lan tldak mau memperkenalkan namanya. Langsung saja ia bertanya.

"Bukankah ini rumah Perwira Han Si Tiong?"

Si jangkung itu memandang kepada Bl Lan dengan mata terbuka lebar karena heran, lalu menoleh kepada teman-temannya dan tertawa, diikuti suara tawa teman-temannya. Mereka adalah perajurit-perajurit yang berusia antara dua puluh dua dan dua puluh lima tahun,

Tentu saja mereka tidak mengenal nama itu karena pada waktu Perwira Han Si Tiong tinggal di situ, belasan tahun yang lalu, mereka masih kecil dan belum menjadi perajurit.

"Ha-ha-ha, nona manis, apakah engkau bermimpi?" kata si jangkung sambil menengok ke arah rumah yang ditunjuk oleh Bi Lan.

"Gedung ini adalah milik dan tempat tinggal Ciang Kongcu (Tuan Muda Ciang) dan kami tidak mengenal Siapa itu Perwira Han Si Tiong!"

Bi Lan mengerutkan alisnya. Setelah klni melihat keadaan pekarangan dan ru-mah gedung itu, walaupun terdapat banyak perubahan, namun ia merasa yakin bahwa inilah rumah orang tuanya. la memandang lima orang perajurit dan maklum bahwa mungkin mereka inl tidak tahu apa yang terjadi sebelas tahiin lebih yang lalu karena pada waktu itu mereka ini tentu belum menjadl perajurlt. Akan tetapl, penghunl baru rumah inl tentu tahu di mana adanya orang tuanya. Mungkin saja orang tuanya sudah plndah tempat atau dltugaskan di kota lain.

"Kalau begitu aku akan bertemu dengan Ciang Kongcu." kata Bl Lan.

Mendengar Ini, lima orang perajurit itu menyerinyai semakin lebar.

"Wah, ini namanya domba muda gemuk menghampiri harimau yang sedang lapar! Engkau akan ditelannya bulat-bulat!" kata seorang perajurit.

Si jangkung tertawa,

"Ha-ha, itu benar, nona. Engkau begini cantik, begini lembut. Daripada daglngmu yang lembut dicabik-cabik harimau kelaparan, lebih baik engkau kujadikan isteriku. AKU ftasih perjaka ting-ting dan sebentar lagi naik pangkat. Marl kita bicara di dalam gardu, biar lebih bebas, leluasa aan asik."

Si jangkung itu menjulurkan tangan-nya menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu dan hendak menarlknya untuk diajak memasuki gardu penjagaan, ditertawakan oleh empat orang temannya. Bi Lan menjadi marah Sekali. Sekali menggerakkan tangan kanannya, ia sudah menusuk lambung orang itu dengan jari-jari tangannya.

"Hukk....!" Tubiih si jangkung ditekuk ke depan karena perutnya terasa nyeri bukan main dan ketika dia membungkuk itu, Bi Lan menangkap dan menjambak rambutnya sehingga topi seragamnya terlepas dan rambutnya terurai. Bi Lan menjarnbak rambut dan menekan kepala itu sehingga si jangkung mengaduh-aduh dan kepalanya tertekan ke bawah, tak dapat meronta karena dia masih menderita nyeri hebat pada perutnya yang disodok tadi! Empat orang temannya terkejut dan cepat mereka itu menerjang maju, hendak memukul dengan tombak mereka. Akan tetapi, Bi Lan menggerakkan tangan kiri dan kaki kanait enipat kali. Empat orang perajurit itupun roboh terbariting dengan keras, tombak mereka. terpental dan terlepas. Sekali sambar, Bi Lan telah merampas tombak dari tangan si jangkung, kemudian melepaskan jambakan dan menggunakan kaki kiri menginjak kepala itu dari belakang sehingga muka si jangkung tertekan dan mencium tanah!

Bi Lan menodongkan ujung toitibak runcing itu pada punggung si jangkung, menghardik.

"Berani engkau kurang ajar kepadaku?"

Si jangkung ketakutan dan tanpa terasa celananya menjadi basah.

"Ampun, nona, ampunkan saya.... saya tidak beranl lagi...."

Empat perajurit lain merangkak bangun dan merekapun tidak berani menye-rang melihat betapa nona itu ternyata lihai bukan main dan kini mengancam komandan mereka dengan tombak.

"Hayo cepat antar aku menewui penghuni rumah ini. Jangan banyak tingkah kalau engkau tldak ingin tombakmu . Ini menembus dadamu!" Bi Lan menghardik sambil melepaskan tekanan kakinya pada kepala orang Itu.

"Baik.... baik.;..nona....'" Si jangkung merangkak dan bangkit berdiri sambil meringis dan memegangi perutnya yang masih nyerl, Mukanya, terutama bibir dan hidungnya, berlepotan tanah.

"Hayo maju!" Bi Lan menodongkan tombaknya di punggung si jangkung Itu yang berjalan menuju ke gedung dengan agak terpincang dan muka ditundukkan. Dia merasa takut sekali karena ujung tombak yang runcing itu terasa benar menekan punggungnya.

Setelah mereka tiba di pendapa, tiba-tiba pintu depan rumah gedung itu terbuka dari dalam dan muncullah empat orang laki-laki dari dalam. Bi Lan memandang penuh perhatian. Seorang dari mereka adalah pria berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian gagah dan indah, pakaian seorang panglima perang, bertu-buh tinggi besar dan pandang matanya angkuh seperti pandang mata seorang yang sadar dan bangga akan kedudukan dan kekuasaannya. Orang ke dua juga berpakaian seperti seorang panglima, ha-nya tidak sementereng pakaian panglima tlnggi besar itu. Usia orang ke dua itu sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus, mukanya begitu kurus mirtp muka tikus, akan tetapi matanya tajam dan bergerak-gerak membayangkan kecerdikan. Orang ke tiga berpakaian seperti seorang tosu (pendeta Agama To) tubuhnya pendek gendut, tampak lucu. Usianya sekitar enam puluh lima cahun, mukanya berwarna kekuningan, muiutnya tersenyum mengejek dan pandang mata-nya agak memandang rendah segala sesuatu. Adapun orang ke empat masih muda, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah dengan alisnya yang hitam tebal.

Dia berpakaian seperti seorang pemuda bangsawan, pakaiannya indah dan dia pesolek, rambutnya licin berminyak, bahkan kulit mukanya ada tanda-tanda bekas bedak. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya cerukir indah.

"Apakah aku berhadapan dengan pemilik dan penghuni rumah ini?" tanya Bi Lan sambil memandang empat orang itu.

Orang muda bangsawan itu melangkah maju.

"Nona, akulah pemilik rumah ini. Nona slapakah dan ada keperluan apakah mencarl aku?"

Mendengar ini, Bi Lan mengayunkan kaki menendang dan perajurit jangkung itu terlempar dan jatuh terbantihg bergulingan. Bi Lan melemparkan-tombak itu ke dekat orang itu sambil membentak,

"Pergilah!" Tombak itu menancap di atas tanah, dekat si jangkung yang terlempar keluar ke pekarangan.
Setelah itu Bi Lan menghadapi empat orang itu. Sikapnya tenang saja biar" pun ia berhadapan dengan orang-orang yang melihat pakaiannya tentu merupakan orang-orang berkedudukan tinggi.

"Jadi engkaukah yang sekarang menempati rumah ini?" tanya Bi Lan sambil memandang kepada pemuda tinggi besar itu. la sudah dapat menduga agaknya orang inl yang tadi oleh para perajurit penjaga disebut sebagai Ciang Kongcu.

"Benar aekali, nona. Aku, Ciang Ban, yang menjadi penghuni rumah ini. Apakah yang dapat aku bantu untukmu?" Ciang Ban, atau lebih dikenal sebagai Ciang Kongcu, berkata sambil tersenyum ramah setelah dia melihat jelas betapa cantik jelitanya gadis itu. Diapun melihat betapa gadis itu lihai dan kuat sekali, tidak hanya dapat memaksa kepala jaga mengantarnya, akan tetapi juga dari tendang-annya tadi tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang tangguh.

"Aku ingin mengetahui tentang penghuni lama rumah ini, yaitu Perwira Han Si Tiong dan isterinya. Kalau mereka tidak tinggal di sini lagi, di mantakah mereka sekarang berada?"'

Mendengar pertanyaan ini, Ciang Kongcu menoleh kepada tiga orang lain yang keluar bersamanya, kemudian panglima yang tinggi besar dan berpakaian indah mewah itu berkata,

"Perwira Han Si Tiong? Ah,, tentu saja kami mengenalnya dengan baik, nona. Dia adalah rekan dan sahabat kami. Akan tetapi, siapakah engkau, nona?"

Mendengar bahwa panglima tua tinggi besar itu mengaku sebagai sahabat ayahnya dan hal ini sewajarnya karena mereka sama-sama perwira kerajaan, Bi Lan segera menjawab,

"Saya adalah Han Bi Lan, dan saya ingin mengetahui di mana adanya ayah dan ibu saya."

"Ahh! Kiranya engkau puteri Han ciangkun yang diculik penjahat ketlka masilh kecil? Senang sekall kami mellhat engkau dalam keadaan selamat, nona Han. Akan tetapl marllah klta masuk dan bicara di dalam tldak pantas kita bicara sambil berdiri di luar."

"Terima kasih, kata Bi Lan dan ia mengikuti mereka masuk ke ruangan dalam yang luas. Begitu memasuki rumah itu, Bi Lan merasa terharu karena rumah di mapa ia dilahtrkan dan dibesarkan sampai berusia tujuh tahun. Setelah memasuki rumah itu, ia yakin benar bahwa ini rumah orang tuanya dahulu walaupun prabot rumahnya telah diganti dengan barang-barang yang indah dan mahal.

Setelah mereka Han Bi Lan dan empat orang itu duduk, Ciang Ban atau Ciang Kongcu memperkenalkan tiga, orang lainpya kepada gadis itu.

"Han Siocla (Nona Han), perkenalkan. Ini adalah ayahku bernama Ciang Sun Bo atau disebut Ciang Goan-swe (Jenderal Ciang), sekarang menduduki jabatan panglima besar." Bi Lan memandang kepada panglima yang tinggi besar itu. Ciang Goan-swe mengangguk dan tersenyum kepadanya.

"Ha-ha, Han Siocia. Aku adalah sahabat baik ayahmu. Agaknya engkau telah lupa kepadaku, akan tetapi aku masih ingat kepadamu yang ketika itu masih kecil. Engkau baru berusia tujuh tahun ketika engkau dilarikan penculik. Kami telah mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencarimu, namun tidak berhasil."

"Dan ini adalah Lui Ciangkun (Perwira. Lui), pembantu ayahku." Ciang Kongcu memperkenalkan perwira tinggi kurus bermuka tikus itu.
"Nama lengkapnya Lui Wan

"Han Soicia, akupun mengenal baik ayahmu, Perwira Han Si Tiong yang gagah itu." kata Lui Ciangkun dengan pandang matanya yang cerdik. Bi Lan hanya mengangguk karena semua itu tidak ingin ia ketahui. Yang ingin ia ketahui adalah di mana ia dapat bertemu dengan orang tuanya.

"Dan totiang (bapak pendeta) ini adalah Hwa Hwa Cin-jin. Dia adalah guruku, Han Siocia." Clang Kongcu memperkenalkan pendeta itu.

"Siancai! Han siocia adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkass sekali. Pinto (aku) senang dapat bertemu denganmu."

"Terima kasih atas perkenalan ini, Ciang Kongcu. Akan tetapi saya ingin sekali mengetahui di mana saya dapat bertemu dengan ayah ibu saya."

Ciang Kongcu tidak menjawah melainkan menoleh kepada ayahnya. Ciang Goanswe kini yang menjawab pertanyaan Bi Lan, sedangkan Ciang Kongcu memberi isarat kepada tiga orang itu. Lul Ciangkun segera bangkit dan berkata,

"Saya akan menyampalkan perintah Ciang Kongcu." Perwira tinggi kurus ini lalu pergi ke belakang.

"Han Siocla," kata Ciang' Goanswe.

"Kiranya akulah yang lebih tahu akan keadaan orang tuamu daripada sernua orang yang berada di sini karena ayahmu masih terhitung pembantuku. Kurang lebih sebelas tahun yang lalu, Han-ciang-kun dan isterinya berangkat ke perbatasan utara untuk memimpin Pasukan Halilintar berperang melawan musuh di utara."

Bi Lan mengangguk tak sabar.

"Saya masih ingat akan semua itu, Ciang Goanswe, Ketika ayah ibu pergi berperang, datang si jahanam Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa-ong Itu ke rumah ini, membunuh Luma dan tukang kebun yang tidak berdosa, lalu menculik saya.

Ciang Goan-swe mengangguk-angguk.

"Benar, agaknya orang tuamu mempunyai musuh yang hendak membalas dendam, akan tetapi karena orang tuamu tidak berada di rumah, maka musuh itu lalu menculikmu. Kami telah mengerahkan pasukan untuk mencari, namun sia sia sehingga kami putus asa. Maka, bukan main girang rasa hati kami ketika hari ini tiba-tiba engkau muncul dalam keadaan sehat dan selamat, Han Siocia. kami sudah menganggap keluargamu seperti keluarga sendiri!"

"Tapi di manakah sekarang orang tua-ku, Ciang Goan-swe?" tanya Bi Lan tak sabar.

Jenderal Ciang menghela napas panjang.

"Sesungguhnya, hal itu kami tidak mengetahuinya. Ketika mereka pulang setelah menang dalam perang, mereka kami beritahu tentang peristiwa di rumah Ini, bahwa engkau diculik penjahat tanpa kami ketahui siapa penculik itu. Ayah ibumu lalu pergi dari sini, katanya hendak mencarimu dan ayahmu bahkan mengembalikan pangkatnya kepada Sribaginda Kaisar karena dia akan pergi mencarimu. Dan sampai sekarang orang tua-mu itu tidak pernah kembali ke sini. Kami prihatin sekali, Han Siocia, akan tetapi setelah kini engkau kembali dalam keadaan selamat kami merasa girang bukan maln. Tentang orang tuamu, jangan khawatir, kami tentu akan menyebar penyelidik ke seluruh penjuru untuk mencari mereka sampai dapat ditemukanl"

Bi Lan merasa girang dengan janji ini. Memang akan sukarlah baginya mencari orang tuanya kalau ia tidak tahu ke mana mereka pergi. Kalau Jenderal Ciang menyebar banyak penyelidik, tentu hasilnya akan jauh lebih baik.

la bangkit berdiri dan merangkap ke-dua tangan depan dada.

"Terima kaslh, Goan-swe."

Jenderal Ciang melambaikan tangan menyuruh gadis itu duduk kembali.

"Aih, nona, atau lebih baik kusebut Bi Lan saja. Orang tuamu sudah seperti saudara denganku, maka engkau kuanggap sebagai keponakanku sendiri. Jangan sebut aku Goanswe, cukup dengan Paman Ciang saja!"

Kalau begitu, aku adalah toa-ko (kakak) bagimu dan pngkau siauw-moi (adik perempuan) bagiku!" kata Ciang Kongcu sambil tersenyum,

Pada saat itu, Kui Ciangkun memasuki ruangan itu diikuti beberapa orang pelayan wanita yang membawa hidangan yang maslh mengepul,

Melihat ini, Bi Lan berkata,

"Aih, Paman Ciang, tidak perlu repot-repot...." ,

"Sama sekali tidak repot, Bi Lan. Saking gembiranya hati kami, melihat engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat seolah-olah kami melihat seorang keponakan yang telah mati hidup kembali, maka kami ingin menyambutmu dengan pesta dan piakan bersama! Mari, jangan sungkan-sungkan!" kata Jenderal Ciang dengan gembira sambil menuangkan anggur ke dalam cawan di depan Bk Lan.

Bi Lan bangkit berdiri.

"Maafkan saya, paman. Saya.... saya ingin ke kamar mandi sebentar."

Jenderal Ciang tersenyum dan mengangguk maklum. Tentu gadis itu ada keperluan ke kamar mandi, mungkin hendak membuang air kecil. Maka dia menoleh kepada seorang pelayan wanita.

"Antarkan Nona Han ke kamar mandi".

Pelayan itu lalu menghampiri Bi Lan yang bangkit berdiri dan mengikuti pelayan itu masuk ke bagian dalam. Kamar mandi rumah gedung itu masih di tempat yahg dulu. Ada dua buah. Yang besar untuk keluarga dan yang kecil untuk para pelayan. Bi Lan memasuki kamar mandi yang besar dan menutup daun pintunya.

Setelah Bi Lan kembali ke ruangan tamu, hidangan sudah lengkap di atas meja. Uap yang sedap memenuhi ruangan itu. Bau sedap masakan bercampur dengan bau harum minuman anggur dan arak.

"Mari kita minum untuk menyambut keponakanku Han Bi Lan dan imengucapkan selamat datang!" kata Jenderal Ciang sambil mengangkat cawan araknya. Semua prang mengangkat cawan masing-masing dan minum untuk kehormatan Bi Lan. Gadis ini merasa gembira juga mendapatkan penyambutan seramah itu, Maka, iapun tidak sungkan-sungkan lagi ketika mereka mulai makan minum dengan gembira.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Makan minum bersama lima orang itu berlangsung gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa Hwa Hwa Cin-jin makan daging dan minum arak dengan lahapnya! Akan tetapi ia teringat akan gurunya sendiri. Gurunya juga seorang pendeta Lhama yang lajimnya berpantang makan makanan berjiwa dan minum-minuman keras, akan tetapi gurunya melanggar pantangan itu. Banyak pendeta yang melanggar pantangan, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Agaknya Hwa Hwa Cin-jin ini seperti gurunya, melanggar pantangan secara terbuka dan seenaknya saja. Sambil makan minum, Jenderal Ciang bertanya kepada Bi Lan.

"Kami ingin sekali mengetahui pengalamanmu, Bi Lan. Kami tadinya sudah putus asa mendengar engkau dilarikan penculik dan kami tidak berhasil mencarimu. Tahu-tahu setelah sebelas tahun engkau hilang, hari ini engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat. Apakah yang terjadi denganmu?"

Melihat keramahan dan kebaikan sikap tuan rumah, Bi Lan tidak keberatan untuk menceritakan pengalamannya.

"Saya dilarikan penculik itu dengan cepat keluar kota raja."

"Apa engkau tahu siapa penculik itu dan mengapa pula dia menculikmu?" tanya Jenderal Ciang.

Bi Lan mengangguk.

"Dia mengaku terus terang bahwa dia adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dia diutus oleh Raja Kin untuk membunuh ayah dan ibu sebagai balas dendam karena ayah telah menewaskan Pangeran Cu Si, putera Raja Kin, dalam perang. Karena ayah dan ibu tidak ada, maka Ouw Kan lalu menculikku dengan niat untuk menyerahkan saya kepada Raja Kin."

"Hemm, jahat......, jahat""!" kata Jenderal Ciang.

"Kemudian bagaimana Bi Lan?"

"Dalam perjalanan itu, saya ditolong oleh Suhu Jit Kong Lhama yang mengalahkan Ouw Kan dan selanjutnya saya ikut suhu untuk mempelajari ilmu silat sampai sebelas tahun lamanya. Setelah selesai belajar, saya lalu berpisah dari suhu dan datang ke ibu kota Lin-an ini untuk mencari ayah ibu."

"Hemm, jadi engkau selama ini menjadi murid Jit Kong Lhama? Ke mana saja engkau dibawanya?"

"Suhu mengajak saya mengasingkan diri di sebuah bukit di pegunungan Kun-lun-san."

"Ah, begitu jauh? Pantas saja usaha kami mencarimu tidak berhasil. Dan di mana sekarang adanya Jit Kong Lhama?"

"Suhu sudah kembali ke Tibet."

"Siancai......! Kiranya nona menjadi murid Jit Kong Lhama!" kata Hwa Hwa Cin-jin.

"Pantas nona amat lihai pinto (saya) sudah mendengar akan nama besar gurumu itu, nona!"

Akhirnya perjamuan makan itu selesai. Bi Lan makan sampai kenyang dan ia sudah minum cukup banyak anggur, minuman yang tidak biasa memasuki perutnya. Tiba-tiba gadis itu mengangkat tangan kiri menutupi mulutnya yang menguap. Tak dapat ia menahan untuk tidak menguap. Rasa kantuk yang kuat sekali menguasainya. Ia bangkit akan tetapi terkulai dan jatuh terduduk kembali. Kantuknya tak tertahankan dan akhirnya gadis itu merebahkan kepalanya di atas meja, berbantal lengannya sendiri dan dari pernapasannya yang lembut mudah diketahui bahwa ia telah tertidur!

Jenderal Ciang bertepuk tangan, lalu dia menjulurkan tangannya dan mengguncang pundak gadis itu. Namun Bi Lan tetap tidur pulas, agaknya tidurnya nyenyak sekali.

"Ha-ha-ha, bagus sekali, Cin-jin. Pekerjaanmu berhasil baik sekali!" dia memuji sambil memandang kepada Hwa Hwa Cin-jin karena dia tahu bahwa tosu itulah yang menaburkan bubuk putih ke dalam cawan anggur gadis itu ketika tadi Bi Lan pergi ke kamar mandi.

"Ha-ha, racun pembius pinto tidak akan ada yang mampu menahannya, Ciang-goanswe. Biar seekor gajah sekali pun akan tertidur pulas kalau menelan racun pembius buatan pinto," kata Hwa Hwa Cin-jin dengan bangga.

"Goanswe, saya kira gadis ini sebaiknya cepat dibunuh saja. Ia puteri Han Si Tiong dan ini berbahaya sekali. Kalau sampai ia mengetahui bahwa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu ada hubungannya dengan kita dan bahwa kita memusuhi Han Si Tiong, tentu ia hanya akan menimbulkan kesulitan bagi kita," kata Lui To.

Jenderal Ciang mengangguk-angguk.

"Ya, engkau benar, Lui-ciangkun. Sejak dulu Han Si Tiong menentangku, bahkan dia menjadi pembantu setia dari mendiang Jenderal Gak Hui. Tadinya aku mengira dia sudah mati atau menjadi tawanan Raja Kin, karena Toat-beng Coa ong Ouw Kan tidak pernah memberi kabar. Kiranya gadis ini ditolong dan menjadi murid Jit Kong Lhama! Ia lihai sekali berbahaya, memang sebaiknya kalau dibunuh saja."

"Tapi, ayah, di manakah sebetulnya ayah ibu gadis ini?" tanya Ciang Ban, matanya memandang gadis yang tertidur itu dengan mata lahap.

"Siapa tahu mereka di mana? Mereka mengembalikan pangkat kepada Sribaginda Kaisar, mengundurkan diri dan sampai sekarang tidak ada yang tahu mereka berada di mana. Kalau saja kita tahu, tentu aku telah mencari jalan untuk membasmi mereka. Perdana Menteri Chin Kui sendiri pernah membicarakan mereka dan beliau juga menghendaki agar para pengikut mendiang Jenderal Gak yang setia itu dibasmi semua karena hanya akan mendatangkan kesulitan saja."

"Goanswe, tak perlu repot-repot membunuh gadis ini. Sekali menggerakkan tangan saja ia akan mati. Biarlah pinto membunuhnya sekarang juga selagi ia masih tidur pulas," kata Hwa Hwa Cin-jin sambil bangkit berdiri dan dia sudah mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk menotok jalan darah maut di tubuh Bi Lan.

"Nanti dulu, suhu!" tiba-tiba Ciang-kongcu bangkit dan menjulurkan tangan mencegah niat gurunya.

"Ayah, aku merasa sayang sekali kalau gadis sejelita ini, dibunuh begitu saja. Berikan ia kepadaku, ayah. Setelah aku merasa puas dengannya, tentu akan kubunuh!"

Jenderal Ciang memandang puteranya dan mengelus jenggotnya sambil tersenyum. Dia ingat kepada putera tunggalnya ini dan dia tahu bahwa puteranya itu memiliki kesukaan yang tiada bedanya dengan kesukaannya sendiri di waktu muda.

"Akan tetapi hati-hatilah, Ciang Ban. Gadis ini adalah murid Jit Kong Lhama dan ia lihai dan berbahaya sekali!"

Ciang-kongcu menyeringai lebar.

"Ha-ha, ayah. Aku mempunyai banyak cara untuk dia membuat ia tak berdaya dan tunduk kepadaku. Dengan totokan, dengan mengikat tangannya, atau dengan memberinya obat perangsang......"

"Hemm, sesukamulah. Hanya jangan engkau lengah. Nah, bawalah ia pergi ke kamarmu!" kata Jenderal yang mewariskan watak jahatnya kepada anak tunggalnya itu.

Ciang Ban yang sudah terlalu banyak minum arak sehingga mukanya merah itu tersenyum senang. Dia bangkit dan menghampiri Bi Lan yang masih tidur.

"Marilah, manisku. Mari kita bersenang-senang!" kata Ciang Ban dan tanpa malu-malu kepada ayahnya, Lui-ciangkun dan gurunya, pemuda ini hendak merangkul gadis itu, memondongnya dan membawanya ke kamar tidurnya yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dia mendorong daun pintu terbuka lalu masuk dan mendorong daun pintu kamar itu tertutup kembali dari dalam tanpa menguncinya.

Tubuh Bi Lan terasa lunak, kenyal, hangat dan menyebarkan keharuman dari pakaian dan rambutnya yang membuat Ciang Ban merasa semakin terbakar dan berkobar oleh nafsu berahinya. Melihat ulah puteranya itu, Jenderal Ciang malah tertawa geli.

Lui-ciangkun atau Lui To yang memang berwatak penjilat itu ikut tertawa bergelak dan Hwa Hwa Cin-jin yang memang berwatak cabul dan mata keranjang diam-diam merasa iri kepada Ciang-kongcu atau Ciang Ban. Tentu kalau bisa, ingin sekali dia menggantikan pemuda itu, mempermainkan gadis muda belia itu sepuasnya-puasnya dulu sebelum dibunuh!

Dengan muka kemerahan dan napas terengah-engah terbakar nafsu, Ciang Ban melempar tubuh Bi Lan ke atas pembaringan, kemudian bagaikan seekor singa kelaparan menerkam seekor domba, dia melompat dan menubruk ke arah gadis yang terlentang di atas pembaringan itu.

"Wuuuuttt...... desss""!!" Ciang Ban mengaduh ketika perutnya disambut tendangan sebatang kaki yang mungil namun yang kekuatannya seperti sepotong baja. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh berdebuk ke atas lantai kamar! Kiranya Bi Lan sama sekali tidak pingsan atau mabok seperti yang mereka semua kira.

Han Bi Lan adalah murid Jit Kong Lhama yang amat disayang datuk ini. Maka, selain ilmu-ilmu silat tinggi ia juga telah mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat dari datuk itu, termasuk ilmu tentang penolakan segala macam racun yang biasa dipergunakan oleh golongan sesat untuk menjatuhkan lawan secara licik. Ilmu sihirpun dikuasai oleh gadis ini. Dan iapun seorang gadis yang amat cerdik. Maka, ketika ia diterima dengan amat ramah oleh Ciang Ban dan Jenderal Ciang, juga melihat wajah Lui To dan terutama Hwa Hwa Cin-jin yang sinar matanya penuh kelicikan dan kepalsuan, ia sudah merasa curiga.

Diam-diam ia merasakan dan menyelidiki dengan lidahnya sebelum ia makan minum dan ia mendapat kenyataan bahwa makanan dan minuman itu tidak mengandung racun. Bagaimanapun juga, ia tetap berhati-hati, maka ketika ia permisi ke kamar mandi, di sana ia menelan sebutir pel merah, yaitu obat penolak racun untuk berjaga-jaga. Maka ketika ia minum lagi dan lidahnya merasakan sesuatu yang tidak wajar pada minumannya itu, ia menelannya saja seolah-olah tidak tahu apa-apa.

Setelah yakin bahwa minumannya mengandung obat pembius, Bi Lan pura-pura tertidur atau pingsan. Ia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka bicarakan. Setelah ia pura-pura pingsan, barulah ia mendengar pembicaraan mereka dan dengan kemarahan yang ditahan-tahan ia mengetahui bahwa mereka semua adalah orang-orang yang memusuhi ayahnya, bahkan mereka mempunyai hubungan dengan Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh neneknya dan menculiknya.

Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan Ciang Ban terhadap dirinya, ketika pemuda bangsawan itu menerkam dirinya, Bi Lan menyambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai perut pemuda itu. Ciang Ban mengaduh dan terjengkang lalu terbanting ke atas lantai. Akan tetapi pemuda ini bukan seorang lemah. Dia adalah murid dari Hwa Hwa Cin-jin, maka biarpun dia merasa perutnya mulas, dia memaksa diri melompat bangun sambil mencabut pedangnya yang belum keburu dia tanggalkan saking nafsunya sudah memuncak tadi.

Bi Lan sudah melompat turun dari atas pembaringan. Ciang Ban berteriak memberi isyarat kepada mereka yang berada di luar kamar, lalu dia membentak dan menyerang gadis itu dengan pedangnya. Dia menusukkan pedangnya lurus ke depan mengarah dada gadis itu dengan jurus serangan Tit-ci-thian-lam (Tudingkan Telunjuk ke Arah Selatan). Pedangnya meluncur cepat sekali dan seolah sudah pasti akan menembus dada Bi Lan. Namun Bi Lan merendahkan diri sehingga pedang itu meluncur ke atas kepalanya dan dari bawah, kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor ular menyambar ke atas. Tangan kanannya memukul ulu hati lawan dan tangan kirinya merampas pedang.

"Ngekk".. uhhh"..!" Betapapun lihainya Ciang Ban, namun sekali ini dia bertemu lawan yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu silatnya. Dia merasa ulu hatinya seperti ditotok toya baja, membuat dia tak dapat bernapas dan tiba-tiba saja pedang di tangan kanannya sudah direnggut lepas dari tangannya. Totokan pada ulu hatinya itu mendatangkan rasa nyeri yang hebat sehingga tubuhnya terhuyung ke arah pintu.

Bi Lan melompat ke depan, pedang rampasannya menyambar, disusul tendangan kakinya.

"Crakk...... desss......!"

Jenderal Ciang, Lui-ciangkun, dan Hwa Hwa Cin-jin, ketiganya adalah orang-orang yang tangguh, terutama sekali Hwa Hwa Cin-jin, terkejut mendengar teriakan Ciang Ban tadi. Mereka bertiga lari menuju ke pintu kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar tertabrak sesuatu dan terbuka". Dan tubuh Ciang Ban melayang dan roboh di depan kaki tiga orang itu, disusul melayangnya kepala pemuda itu yang sudah terlepas dari lehernya. Darah membanjiri lantai dan tiga orang itu terbelalak.

Dapat dibayangkan betapa marah hati Jenderal Ciang melihat puteranya sudah menggeletak menjadi mayat dengan kepala terpisah. Demikian pula dengan Hwa Hwa Cin-jin dan Lui To. Otomatis mereka bertiga mencabut pedang masing-masing dan hendak menyerbu ke dalam kamar.

Akan tetapi pada saat itu, Bi Lan yang tidak ingin dikeroyok dalam sebuah kamar sempit, sudah melayang keluar dari dalam kamar. Tanpa banyak cakap saking marahnya, Jenderal Ciang sudah menerjangnya dengan pedangnya yang panjang dan tebal.

Bi Lan dengan mudahnya mengelak, akan tetapi pada saat itu Hwa Hwa Cin-jin sudah menyerang pula dan serangan tosu sesat ini jauh lebih berbahaya dibandingkan serangan Jenderal Ciang Sun Bo bahkan lebih berbahaya daripada gerakan Lui To yang juga mulai menyerang Bi Lan. Namun, setelah mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, kitab yang dicurinya dari tangan Thian Liong itu, Bi Lan memiliki gerakan kaki yang aneh dan gesit luar biasa. Dengan beberapa lingkaran gerakan kaki saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan pedang tiga orang pengeroyoknya.

Kini, gadis yang tidak pernah memegang senjata, akan tetapi yang pandai mempergunakan senjata apa saja itu, telah merampas pedang milik Ciang Ban yang dibunuhnya. Kini ia memainkan pedang rampasan itu dengan Kwan Im Sin-kiam (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im). Ilmu ini walaupun disebut ilmu pedang, namun Bi Lan dapat mempergunakan senjata apa saja, misalnya sebatang ranting kayu, untuk mainkan ilmu silat itu. Juga ia mahir ilmu Kim-bhok Sin-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Sakti, akan tetapi ia pun dapat mempergunakan segala macam benda untuk memainkan ilmu silat ini.

Setelah pedangnya bergulung-gulung dalam permainan Kwan Im Sin-kiam, tiga orang pengeroyoknya terkejut. Bayangan gadis itu lenyap dan yang tampak hanya gulungan sinar pedang yang seperti gelombang samudera menggulung ke arah mereka.

Hwa Hwa Cin-jin masih dapat melindungi dirinya dengan putaran pedangnya sambil terus mundur, akan tetapi tidak demikian dengan Ciang Sun Bo atau jenderal Ciang. Dia menjerit ketika pedang puteranya yang dipegang Bi Lan itu menusuk ke dalam dadanya yang mengakibatkan dia roboh dan tewas seketika. Robohnya jenderal ini disusul robohnya Lui To atau Lui-ciangkun yang tersabet lehernya dan roboh mandi darah, tewas pula. Melihat ini, Hwa Hwa Cin-jin berteriak-teriak sambil melompat jauh melarikan diri.

Bi Lan melihat banyak perajurit pengawal berlarian datang, maka iapun lalu melompat ke ruangan samping yang terbuka, lalu tubuhnya melayang ke atas genteng. Para perajurit melakukan pengejaran, namun sebentar saja Bi Lan sudah lenyap dari tempat itu.

Namun di dalam gedung Jenderal Ciang terjadi kegemparan dan karena yang terbunuh adalah Jenderal Ciang, Perwira Lui, dan Ciang-kongcu, tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan tak lama kemudian, kota raja penuh dengan perajurit yang melakukan pencarian dan pengejaran. Setiap Iorong jalan dijaga, sehingga Bi Lan menjadi bingung, tak ada jalan sama sekali untuk keluar dari kota raja.

Karena rumah gedung bekas tempat tinggal ayahnya yang kini ditempati Jenderal Ciang itu tidak jauh dari istana, maka ketika ia dihadang di sana-sini, terpaksa ia menyelinap ke sebuah lorong yang menembus ke arah istana. Di lorong ini tidak ada perajurit mencari atau berjaga karena siapa mengira bahwa si pengacau yang melakukan pembunuhan besar-besaran di rumah Jenderal Ciang akan berani melarikan diri ke daerah istana?

Sejak tadi udara diliputi mendung dan pada saat Bi Lan memasuki lorong itu, masih bingung bagaimana ia akan dapat melarikan diri keluar kota raja, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hal ini agak menolongnya karena para perajurit penjaga keamanan kota yang dikerahkan untuk mengejar dan menangkap pembunuh, banyak yang berteduh di emper-emper rumah dan menghentikan pencarian mereka. Akan tetapi Bi Lan harus bergerak hati-hati, sambil sembunyi-sembunyi karena ia tahu bahwa biarpun mereka tidak mencari dan berlalu lalang di jalan, mata para perajurit itu tentu dengan penuh perhatian melihat ke arah orang-orang yang berani menempuh hujan di jalan.

Tiba-tiba saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun yang berpakaian sebagai seorang panglima. Inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari kota raja, pikir Bi Lan. Ia masih memegang pedang rampasan dari tangan Ciang-kongcu tadi. Bagaikan seekor burung ia melompat keluar dan tahu-tahu ia sudah berada di depan panglima itu dan ujung pedangnya sudah menempel di tenggorokan orang itu. Sang panglima terkejut bukan main, terbelalak memandang, akan tetapi setelah melihat wajah gadis itu, wajahnya berseri-seri penuh harapan.

"Bi Lan......, engkau tentu Han Bi Lan puteri Han Si Tiong, bukan? Engkau yang telah mengamuk di rumah Jenderal Ciang?"

Tentu saja Bi Lan terkejut dan heran bukan main.

"Eh......, bagaimana engkau bisa tahu......?"

"Bi Lan, lupakah engkau kepadaku? Aku Kwee Gi, Panglima Kwee Gi, sahabat baik Han Si Tiong. Mari, mari cepat ikut aku, engkau harus bersembunyi, nanti saja kita bicara. Cepat pakai ini!" Panglima itu melepaskan mantelnya yang lebar lalu menyerahkannya kepada Bi Lan.

Gadis itu menutupi kepala dan badannya dengan mantel yang lebar ini, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia membiarkan dirinya digandeng panglima itu melewati lorong-lorong yang sepi, kemudian memasuki rumah gedung dari pintu belakang.

Kini ia teringat akan Panglima Kwee Gi yang dulu seringkali datang bertamu ke rumah orang tuanya, bahkan sudah beberapa kali ia diajak ibunya berkunjung ke rumah sahabat ayahnya itu. Setelah teringat, tentu saja ia percaya sepenuhnya kepada panglima yang ia tahu merupakan sahabat baik ayahnya.

Setibanya di ruangan dalam, seorang pemuda tinggi besar muncul dan dia memandang heran melihat ayahnya bersama seorang gadis memasuki ruangan dalam itu.

"Ayah, siapa nona ini, dan mengapa""!"

"Cun Ki, ini adalah Bi Lan, puterinya pamanmu Han Si Tiong pemimpin Pasukan Halilintar yang terkenal itu. Ingat? Bi Lan, ini adalah Kwe Cun Gi, anak kami. Kalian sudah bersahabat dulu ketika masih kecil."

"Oh......! Kau Bi Lan...... yang dulu nakal dan manja itu?" seru pemuda tinggi besar berwajah tampan yang usianya sekitar duapuluh tahun itu.

"Dan engkau...... kakak Cun Ki yang dulu suka menggodaku. Engkau yang nakal sekali!" kata pula Bi Lan.

"Akan tetapi kabarnya engkau hilang diculik dan......"

"Cun Ki, tahan dulu bicaranya. Keadaan genting sekali. Bi Lan sedang dikejar-kejar seluruh perajurit penjaga keamanan di kota raja. Cepat kau keluar dan jaga agar jangan ada orang memasuki rumah kita. Atur para pengawal untuk berjaga ketat dan kalau ada yang mencariku, katakan aku sibuk memimpin pasukan di luar untuk mencari pembunuh."

Cun Ki membelalakkan matanya.

"Ah, aku mendengar tentang itu...... jadi".. engkaukah yang telah mengamuk dan melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Ciang, Ciang Ban, dan Perwira Lui To itu?"

"Cun Ki, jangan banyak cakap! Cepat laksanakan perintahku! Nanti saja kalau mau bicara!"

"Baik, ayah." Pemuda itu lalu dengan gerakan yang gesit keluar dari ruangan dalam.

Panglima Kwee Gi membawa Bi Lan memasuki sebuah kamar, lalu berkata.

"Engkau tinggallah di sini sebentar, aku akan memanggil bibimu."

Bi Lan mengangguk. Ia tahu bahwa keadaannya berbahaya sekali. Kalau tidak ada Panglima Kwee yang melindunginya, kiranya akan sukar lolos dari kota raja yang kini semua pintu gapuranya pasti sudah terjaga ketat.

Tak lama kemudian, nyonya Kwee bersama suaminya muncul. Bi Lan segera mengenal wanita setengah tua yang masih tampak cantik itu. Nyonya Kwee juga mengenalnya dan mereka berangkulan.

"Aih, Bi Lan. Engkau lenyap begitu saja sebelas tahun yang lalu dan kini muncul secara mengejutkan pula." Nyonya itu lalu mengajak Bi Lan duduk di atas kursi dan daun pintu kamar itu ditutup rapat-rapat.

"B Lan, mulai hari ini engkau bersembunyi dulu di sini. Kepada para pelayan, kami akan memberitahukan bahwa engkau adalah seorang keponakan kami bernama Kwee Ciok Li. Ayahmu adalah adikku yang tinggal jauh di dusun sebelah selatan. Engkau tidak usah keluar dari rumah agar tidak berjumpa orang lain. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita mencari jalan agar engkau dapat keluar dari kota raja."

"Ah, Paman Kwee, sungguh beruntung sekali aku bertemu dengan paman dan bibi. Paman telah menolong dan menyelamatkan nyawaku."

"Hemm, jangan berkata begitu. Tadi, begitu mendengar berita bahwa jenderal Ciang dan puteranya, juga Perwira Lui mati terbunuh seorang gadis cantik, aku segera dapat menduga bahwa agaknya engkaulah orangnya. Karena itu, ketika mendapat perintah untuk mengerahkan pasukan melakukan pencarian, aku sendiri lalu memisahkan diri dan mencarimu. Beruntung aku menemukan engkau sebelum yang lain menemukanmu. Sekarang, ceritakanlah siapa yang dulu membunuh nenekmu dan melukai tukang kebun dan apa yang terjadi selanjutnya denganmu?"

"Maaf, paman. Sebelum aku menceritakan pengalamanku, aku ingin lebih dulu mendengar tentang ayah ibuku. Untuk itulah aku datang ke kota raja, untuk mencari orang tuaku."

Pada saat itu Kwee Cun Ki melangkah masuk dan dengan singkat melaporkan bahwa penjagaan telah diatur sebaik mungkin. Setelah itu dia mengambil tempat duduk untuk ikut mendengarkan.

Panglima Kwee Gi menghela napas ketika, mendengar pertanyaan gadis itu tentang orang tuanya. Dia menggeleng kepala dan berkata.

"Bi Lan, ketika ayah dan ibumu pulang dari perang mereka mendapatkan engkau telah hilang diculik orang. Mereka lalu berusaha mencarimu. Bahkan akhirnya ayahmu, Han Si Tiong mengembalikan pangkatnya kepada pemerintah dan bersama isterinya lalu meninggalkan kota raja. Kepadaku mereka hanya mengatakan bahwa mereka hendak mencarimu sampai dapat. Sungguh menyesal sekali, Bi Lan, aku sendiri tidak dapat mengatakan di mana mereka berada karena sudah bertahun-tahun mereka tidak memberi kabar kepadaku."

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya kecewa akan tetapi ia tidak dapat menyalahkan panglima yang menjadi sahabat ayahnya itu.

"Biarlah aku akan membantumu mencari mereka, Lan-moi," kata Cun Ki.

"Terima kasih, Ki-ko (kakak Ki)," kata Bi Lan.

"Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi dengan dirimu, Bi Lan. Kami semua ingin sekali mengetahuinya."

"Ketika itu, aku diculik dan dilarikan oleh datuk sesat Ouw Kan. Dia menculikku untuk membalas dendam atas perintah Raja Kin karena ayah telah membunuh puteranya, Pangeran Cu Si, dalam perang. Ouw Kan hendak menyerahkan aku kepada Raja Kin. Di tengah jalan kami bertemu dengan Jit Kong Lhama dan pendeta Lhama itu berhasil mengalahkan Ouw Kan dan sejak itu aku menjadi murid Jit Kong Lhama."

"Pantas engkau menjadi lihai sekali, Lan-moi!" Cun Ki memuji, padahal dia belum melihat sampai di mana kelihaian gadis itu.

"Aku juga menjadi murid Kun-lun-pai," kata Bi Lan cepat agar diketahui bahwa ia bukan hanya menjadi murid datuk sesat itu, namun juga murid partai Ku-lun-pai yang terkenal! "Setelah tamat belajar, aku lalu cepat pergi ke kota raja untuk pulang ke rumah orang tuaku. Akan tetapi ternyata yang tinggal di sana adalah keluarga Jenderal Ciang Sun Bo. Bersama puteranya yang bernama Ciang Ban, dan seorang perwira bernama Lui To dan seorang pendeta tosu guru Ciang Ban bernama Hwa Hwa Cin-jin. Jenderal Ciang menyambutku dengan ramah. Dia mengatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayah, maka dia menerimaku dengan baik, bahkan lalu mengadakan perjamuan makan untuk menyambut kedatanganku. Kami makan minum dan minumanku dicampuri obat bius."

"Jahat sekali!" Kwee Cun Ki berseru marah.

"Aku sudah menaruh kecurigaan maka diam-diam aku telah menjaga diri dan minum obat penawar racun. Aku lalu pura-pura pingsan terbius. Dalam keadaan itulah aku mendengar mereka bicara dan aku tahu bahwa mereka itu sebetulnya bersekutu dengan datuk jahat Ouw Kan yang dulu menculikku, berarti bersekutu dengan Raja Kin dan mereka adalah orang-orang yang memusuhi ayahku. Mereka hendak membunuhku, akan tetapi Ciang Ban yang terkutuk itu lalu memondongku ke dalam kamar dengan maksud kotor dan hina. Aku tidak dapat menahan kemarahanku lagi dan kubunuh pemuda itu. Jenderal Ciang, Perwira Lui To dan Pendeta Hwa Hwa Cin-jin menyerangku. Aku berhasil membunuh jenderal Ciang dan Perwira Lui, akan tetapi Hwa Hwa Cin-jin dapat melarikan diri. Karena banyak perajurit pengawal bermunculan, aku lalu melarikan diri."

Kwee Gi mengangguk-angguk.

"Hemm, akhirnya mereka menerima hukuman juga dan tewas di tanganmu, Bi Lan. Jenderal Ciang itu memang merupakan antek Perdana Menteri Chin Kui."

"Siapa itu Perdana Menteri Chin Kui, paman?"

"Dialah yang menjadi biang keladi semua ketidak-amanan dan kekacauan. Dia berhasil mempengaruhi kaisar dan perdana menteri itu bersekongkol dengan bangsa Kin di utara. Bahkan dia pula yang telah melakukan fitnah kepada jenderal Gak Hui pahlawan besar yang amat dihormati dan dibantu ayahmu. Han Si Tiong dan isterinya mengundurkan diri dari jabatannya, bukan hanya karena kehilangan engkau, akan tetapi terutama sekali karena kecewa melihat jenderal Gak Hui difitnah dan Kaisar berpihak kepada pengkhianat macam Chin Kui."

"Pantas Ouw Kan diutus raja Kin untuk mencelakakan ayahku, kiranya juga dikarenakan ayah menjadi pembantu setia Jenderal Gak Hui," kata Bi Lan gemas.

"Begitulah. Kita semua mengetahui bahwa Chin Kui seorang pengkhianat yang bersekongkol dengan penjajah Kin yang menguasai daerah utara Sungai Yang-ce. Bangsa Kin menguasai daerah itu dan Chin Kui telah membujuk kaisar agar tidak melawan, bahkan berbaik dengan penjajah mengirim upeti setiap tahun. Semua itu tentu ada imbalannya dan semua orang tahu betapa kaya rayanya Perdana Menteri Chin Kui itu."

"Hemm, kenapa ada pengkhianat macam itu di kerajaan tidak ada yang menentang? Kenapa kaisar begitu bodoh? Apa tidak ada pejabat tinggi yang setia kepada negara dan berusaha menentang perdana menteri jahat itu?" tanya Bi Lan penasaran.

Kwee-ciangkun menghela napas panjang.

"Apa yang dapat kami lakukan? Dia memiliki kekuasaan yang besar, bahkan kaisar sendiri selalu menuruti kata-katanya. Menentang dia, bisa berarti menentang pemerintah, menentang kaisar sendiri, dan akan berhadapan dengan pasukan pemerintah."

"Kalau begitu, sebaiknya orang seperti itu dibinasakan saja! Aku sanggup melakukannya, paman!" kata Bi Lan penuh semangat.

Panglima Kwee tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Engkau memang pantas menjadi puteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, Bi Lan! Semangatmu besar dan keberanianmu menakjubkan. Akan tetapi aku harus melarangmu. Entah sudah berapa banyak orang-orang gagah melakukan usaha itu, namun semua gagal dan bahkan mereka yang tewas. Perdana Menteri Chin Kui menjaga dirinya dengan ketat. Pasukan pengawal khusus yang terdiri dari jagoan-jagoan, di antaranya didatangkan dari utara, selalu melindunginya siang malam. Betapapun tinggi kepandaian silatmu, tidak mungkin menembus pertahanan yang amat kuat itu."

Kisah Sepasang Naga Eps 2 Kasih Diantara Remaja Eps 26 Pedang Pusaka Naga Putih Eps 3

Cari Blog Ini