Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 18


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 18




Akhirnya tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tertangkap jaring! Thian Liong mengerahkan tenaga saktinya, meronta dan menggerakkan pedangnya. Dua orang yang berhasil menangkapnya dengan jaring dan memegangi tali jaring itu, disambar sinar pedangnya yang mencuat keluar dari jaring. Dua orang ftu terpelanting roboh. Thian Liong meronta keluar dari selimutan jaring-jaring itu.

Dia melihat betapa Pek Hong Nio-cu juga tertangkap oleh dua jaring dan dara itu meronta-ronta, mengamuk dengan pedangnya namun tidak dapat melepaskan dirinya. Melihat ini, Thian Liong mengeluarkan pekik melengking dan getaran suara pekik yang amat lantang ini membuat pengeroyok mundur beberapa langkah. Dia lalu melompat mendekati Pek Hong Nio-cu. Pedangnya digerakkan menangkis sambaran pedang Cia Song.

'Tranggg......!" Bunga api berpijar dan Cia Song terpental mundur beberapa langkah. Biarpun tubuhnya sudah diselimuti jaring, namun Pek Hong Nio-cu masih dapat melindungi dirinya dengan pedangnya yang dapat keluar dari sela-sela tali jaring. Thian Liong mendesak maju dan begitu pedangnya berkelebat, dua orang perejurit yang menangkap Pek Hong Nio-cu dengan jaring mereka terpelanting roboh. Thian Liong cepat membuka tali jaring dan menyambar tangan Pek Hong Nio-cu. Keadaannya terlalu berbahaya setelah para perajurit mempergunakan senjata jaring itu.

"Kita pergi!" katanya dan dia mengajak Pek Hong Niocu melompat ke tepi sungai lalu sekali menggerakkan kaki, mereka berdua melompat ke atas perahu di mana kakek tadi masih memegang tangkai pancingnya dengan tenang seolah tidak mendengar atau melihat adanya pertandingan di dekat sungai. Dengan ginkangnya yang tinggi, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu dapat hinggap di atas perahu pengail ikan itu tanpa mengakibatkan perahu itu oleng terlalu kuat.

"Maafkan, paman. Kami menumpang di perahumu......" kata Thian Liong.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pengail ikan yang tua itu tiba-tiba saja menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dorongan itu mendatangkan angin yang dahsyat. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha menangkis, namun karena mereka berdiri di atas perahu yang kecil, maka tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terdorong dan keduanya terjengkang dan terjatuh ke dalam air!

Mereka memang tidak sampai terluka oleh serangan pukulan jarak jauh, akan tetapi mereka terjatuh ke dalam air yang dalam. Keduanya hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam saja. Akan tetapi ketika mereka berusaha berenang, para perajurit berloncatan ke dalam air dan tak lama kemudian, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu merasa betapa kaki mereka dipegang orang dari bawah dan tubuh mereka diseret ke dalam air!

Tentu saja mereka terkejut bukan main dan berusaha melepaskan kaki mereka yang dipegang orang. Akan tetapi, kini yang memegangi kaki mereka bertambah banyak. Di darat boleh jadi mereka merupakan orang-orang yang amat lihai. Akan tetapi dalam air, mereka tak mampu berbuat banyak karena melawan air agar tidak tenggelam saja sudah membutuhkan sebagian besar tenaga mereka. Karena itu, ketika kaki mereka dipegang banyak orang yang memang merupakan pakar dalam air, mereka tidak berdaya. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha untuk menahan napas, namun mereka menjadi lemas dan akhirnya tak dapat meronta lagi dan mereka berdua dibelit-belit tali yang kuat lalu dinaikkan ke darat dalam keadaan setengah pingsan!

Karena Cia Song tidak menghendaki mereka mati, maka dia lalu memerintahkan para perajurit yang ahli dalam menolong orang yang hanyut dalam air untuk menyelamatkan dua orang tawanan itu. Tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ditelungkupkan dan banyak air yang tertelan dapat dikeluarkan melalui mulut. Akhirnya kedua orang tawanan itu sadar betul.

Thian Liong melihat bahwa dia dan Pek Hong Nio-cu sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan tubuh mereka tidak dapat digerakkan karena agaknya telah ditotok secara lihai sekali. Dia menduga bahwa yang menotok jalan darah mereka tentulah Cia Song. Dia tidak berkata apa-apa hanya memandang mereka yang berdiri menghadapinya. Dia melihat lima orang yang membentuk Ngo-heng Kilam-tin yang tadi mengeroyoknya dan di samping mereka berdiri Cia Song yang memandang kepada Pek Hong Nio-cu dengan mulut menyeringai.

Dan di sebelah murid Siauw-lim-pai yang menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dengan para pengkhianat kerajaan Kin itu berdiri seorang kakek yang bukan lain adalah tukang pancing tadi! Kiranya kakek tukang pancing itu merupakan seorang di antara mereka, bahkan yang mengejutkan hati Thian Liong adalah ketika Cia Song bicara kepada kakek itu dan menyebutnya suhu. Jadi, di samping menjadi murid Siauw-lim-pai, diam-diam Cia Song telah berguru kepada kakek ini yang belum dia ketahui siapa orangnya.

"Suhu, sungguh kebetulan sekali suhu berada di sini. Teecu (murid) tadi sama sekali tidak mengenal suhu yang teecu kira seorang pemancing ikan biasa. Maafkan teecu dan terima kasih atas bantuan suhu sehingga mereka berdua ini dapat ditangkap," kata Cia Song yang membuat Thian Liong keheranan dan kini dia mengamati kakek itu.

Kakek yang memakai caping lebar itu sudah tua, kurang lebih delapanpuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya lemah lembut. Dia memegang sebatang tongkat bambu.

Kakek itu tertawa lirih.

"Heh-heh, memang akhir-akhir ini aku sedang suka hidup di atas perahu dan setiap hari memancing ikan. Cia Song, aku dengar tadi semua pembicaraan. Jadi Pek Hong Nio-cu yang namanya terkenal itu adalah puteri Kaisar kerajaan Kin? Bukan main! Dan pemuda ini, ilmu silatnya hebat sekali. Murid siapakah dia?"

"Suhu, dia itu Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin-jin," jawab Cia Song.

"Eh? Murid Tiong Lee Cin-jin? Kalau begitu mengapa tidak kau bunuh saja dia? Kalau dibiarkan hidup, kelak akan menjadi bahaya besar bagimu. Ilmu kepandaiannya lihai sekali, engkau tidak akan menang melawannya. Kalau tidak dibantu air sungai ini, mustahil engkau dapat menangkapnya." Kakek itu menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang tebal dan sudah berwarna putih.

"Tidak, suhu. Teecu akan membawanya menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang akan mengadili dan menghukumnya."

"Lalu apa yang hendak kaulakukan dengan puteri ini?" tanya pula kakek itu.

"Ia akan kami bawa kepada Pangeran Hiu Kit Bong untuk dijadikan sandera. Suhu, kalau suhu tidak ada urusan sesuatu, marilah suhu ikut dengan teecu. Sebaiknya kalau suhu membantu Pangeran Hiu Kit Bong agar kelak di hari tua suhu akan mendapatkan kemuliaan dan kehormatan."

"Ha-ha, baiklah, Cia Song. Akupun sudah mulai bosan memancing ikan setiap hari. Aku ikut denganmu," kata kakek itu lalu dia membuang pancing dan capingnya. Ternyata di bawah capingnya itu dia memakai sebuah sorban berwarna putih.

Pada saat itu Pek Hong Nio-cu baru sadar betul dan begitu ia sadar, ia lalu mencaci maki.

"Jahanam keparat kalian para pengkhianat! Kalau Sribaginda mendengar, kalian tentu akan mendapatkan hukuman siksa sampai mati! Dan kamu, tua bangka keparat, aku tahu siapa kamu! Kamu adalah Ali Ahmed, datuk bangsa Hui yang sudah terkenal jahat dan kejam. Engkau manusia terkutuk, sudah tua bangka mau mati masih tidak mencari jalan terang. Matimu tentu akan tersiksa dan engkau akan masuk neraka jahanam!"

Cia Song memerintah anak buahnya.

"Bawa kereta itu ke sini!"

Ternyata rombongan itu sudah mempersiapkan sebuah kereta untuk mengangkut kedua tawanan mereka. Setelah kereta yang ditarik dua ekor kuda itu datang, Cia Song berkata kepada Con Gu.

"Paman Con Gu, kau angkat Thian Liong dan aku yang mengangkat sang puteri, kita masukkan mereka dalam kereta. Dan suhu, teecu harap suka duduk dalam kereta agar tidak lelah dalam perjalanan dan sekalian suhu menjaga dua orang tawanan ini agar tidak sampai lolos."

"Hu-hu-ha-ha, baik, baik. Aku senang naik kereta," kata kakek itu yang bukan lain adalah Ali Ahmed yang sepuluh tahun lebih yang lalu pernah mencoba untuk merampok kitab-kitab dari Tiong Lee Cin-jin. Dia memang menjadi guru dari Cia Song selama beberapa tahun.

Thian Liong diangkut oleh Con Gu, dibantu oleh Koi Cu, dan memasukkan pemuda itu ke dalam kereta. Cia Song sendiri memondong tubuh Pek Hong Nio-cu dan dia sengaja mendekap tubuh yang lunak hangat itu kuat-kuat ke dadanya, membuat jantungnya berdebar keras dibakar gairah berahinya.

Pek Hong Nio-cu tidak dapat meronta karena seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke dada, dibelit tali dan kaki tangannya diborgol kuat-kuat. Hanya matanya yang memandang kepada Cia Song dengan kebencian yang meluap-luap. Melihat sinar mata ini, kuncup juga hati Cia Song dan dia mencoba mengambil hati.

"Pek Hong Nio-cu, kalau engkau bersikap manis kepadaku, aku jamin engkau akan diperlakukan dengan baik dan tidak akan ada yang berani mengganggumu."

"Siapa sudi mendengar ocehanmu!" kata sang puteri dengan marah.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu didudukan di dalam kereta, berdampingan menghadap ke belakang sedangkan Ali Ahmed duduk di bangku di depan mereka. Begitu duduk dan bersandar, kakek tua renta itu segera tertidur sambil memegang tongkat bambunya. Akan tetapi baik Thian Liong maupun Pek Hong Nio cu maklum bahwa kakek itu tidak kehilangan kewaspadaannya dan selalu memperhatikan gerak gerik mereka berdua.

"Nio-cu aku menyesal sekali bahwa engkau sampai menjadi tawanan seperti ini. Semua ini gara-gara orang yang selama ini kuanggap sebagai suhengku (kakak seperguruanku). Tidak tahunya dia seorang murid Siauw-lim-pai yang berkhianat, tidak saja terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi bahkan terhadap bangsa dan negara."

"Tidak usah menyesal, Thian Liong. Kalau ada yang menyesal, maka akulah orangnya. Kalau engkau tidak melakukan perjalanan bersama aku, engkau tentu tidak akan mengalami seperti sekarang ini."

"Hemm, aku masih tidak mengerti mengapa jahanam itu menangkap aku. Engkau...... tidak takut, Nio-cu?"

Dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan tidak berdaya seperti puteri yang gagah perkasa itu masih dapat tersenyum manis sekali.

"Takut? Bukankah engkau pernah rnengatakan bahwa hidup atau matinya seseorang itu berada di tangan Yang Maha Kuasa? Mengapa mesti takut? Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki kita mati, siapa yang akan mampu mencegahnya, dan kalau Dia menghendaki kita hidup, siapa yang akan mampu membunuh kita?"

"Bagus! Engkau benar, Nio-cu. Akan tetapi, apakah engkau tidak putus harapan?"

"Mengapa putus harapan? Selama masih hidup, kita masih dapat berusaha untuk mengatasinya. Putus harapan berarti sudah menyerah sebelum berusaha. Aku tidak akan pernah putus harapan selagi masih hidup."

Thian Liong merasa kagum akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir bukan main. Bukan khawatir kalau puteri itu akan dibunuh, melainkan khawatir akan bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri. Cara Cia Song memandang sang puteri tadi, cara dia memondong dan mendekapnya yang sempat dilihatnya, membuat dia merasa khawatir sekali. Dia dapat merasakan betapa pemuda sesat itu memandang Pek Hong Nio-cu seperti seekor serigala memandang seekor kelinci!

Setelah rombongan itu berjalan sekitar dua jam mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Akan tetapi terdapat sebuah jalan yang cukup lebar dalam hutan itu, jalan yang dibuat oleh pasukan kerajaan Kin untuk membuat hubungan dari daerah perbatasan sampai ke kota raja menjadi lancar. Juga para pedagang yang suka melakukan perjalanan dalam rombongan besar, yaitu dalam kafilah, membawa barang-barang dagangan dari timur ke barat dan sebaliknya, amat memerlukan jalan raya ini sehingga merekapun turun tangan mengeluarkan biaya untuk memperbaiki jalan itu sehingga kini jalan itu merupakan jalan yang cukup lebar dan nyaman.

Akan tetapi, baru kurang lebih satu lie (mil) rombongan pasukan yang dipimpin Cia Song itu memasuki hutan, tiba tiba saja terdengar suara berisik di depan dan mereka segera menahan kuda masing-masing. Kereta yang berada di tengah-tengah rombongan itupun dihentikan karena mereka semua melihat sebatang pohon besar tumbang menimbulkan suara berisik dan jatuh berdembum melintang dan menghalangi jalan!

Semua orang merasa heran dan mendekati pohon yang tumbang itu. Pohon itu besar dan cabangnya malang melintang memenuhi jalan. Bagi kuda-kuda tentu dapat mengambil jalan melalui pohon-pohon di tepi jalan, akan tetapi karena pohon-pohon itu berdekatan dan lebat sekali, juga banyak semak belukar, maka tidak mungkin bagi kereta untuk mendapatkan jalan lain kecuali jalan yang terhalang pohon roboh itu,

"Cepat singkirkan pohon itu!" Cia Song memberi perintah.

Para perajurit segera turun tangan dan beramai-ramai mereka memotongi batang pohon dan menariknya ke tepi jalan. Pekerjaan itu memakan waktu satu jam lebih, barulah kereta dapat lewat. Akan tetapi, baru saja kereta bergerak, belum ada duapuluh tombak jauhnya, kembali sebatang pohon di depan mereka roboh melintang di jalan!

Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin mulai curiga. Robohnya pohon pertama mereka anggap sebagai hal yang kebetulan saja karena mungkin batang pohon itu sudah keropos. Akan tetapi robohnya pohon kedua ini tak mungkin hanya kebetulan saja. Mereka berenam, juga para perajurit, memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak tampak bayangan seorangpun manusia lain di sekitar tempat itu.

Karena tidak dapat ditemukan orang lain yang mungkin menjadi penyebab tumbangnya pohon itu, terpaksa Cia Song kembali memerintahkan para perajurit untuk menyingkirkan pohon kedua yang roboh itu. Dia kini melihat hal yang membuat dia bergidik dan merasa seram. Kalau pohon pertama itu tumbang dan patah batangnya, pohon kedua ini tumbang dan jebol berikut akar-akarnya! Tenaga apa yang mampu merobohkan pohon sebesar itu sampai jebol berikut akarnya? Seekor gajahpun belum tentu mampu melakukannya!

Kembali waktu lebih dari satu jam dipergunakan untuk menyingkirkan pohon kedua. Akan tetapi baru saja pohon itu disingkirkan, terdengar lagi bunyi berisik dan pohon berikutnya di depan yang lebih besar lagi tumbang melintang di pinggir jalan!

Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada yang merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi, kiranya tidak mungkin ada manusia yang sanggup merobohkannya. Dia cepat menghampiri kereta di mana gurunya masih duduk dan agaknya Ali Ahmed tidak begitu perduli akan robohnya dua batang pohon tadi.

Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga sang puteri tersenyum karena mereka berdua merasa yakin bahwa robohnya pohon-pohon secara berturut-turut itu bukan hal kebetulan dan jelas merupakan halangan bagi pasukan itu. Halangan bagi pasukan yang menawan mereka berarti harapan pertolongan bagi mereka.

"Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu! Harap suhu suka keluar dan melakukan pemeriksaan," katanya.

Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta sambil ditopang oleh tongkat bambunya. Dia menggeleng kepalanya yang bersorban lalu berkata,

"Memang aneh. Kiranya sukar mencari orang yang kuat merobohkan pohon-pohon itu, dengan tenaga lahir maupun batin, kecuali......."

"Kecuali siapa, suhu?"

"Hemm, kecuali setan itu."

Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin merinding. Mereka adalah orang-orang yang percaya sekali akan setan-setan dan ketahyulan semacam itu seperti hampir semua orang pada umumnya di jaman itu. Mendengar ini, Cia Song segera menghadap ke arah depan, ke arah pohon yang tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap maafkan kami kalau melanggar wilayah paduka. Hamba berjanji akan mengirim orang untuk membakar dupa dan bersembahyang di sini kelak. Ijinkanlah kami melewati jalan ini!"

Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua perajurit yang juga tahyul ikut pula berlutut di belakang Cia Song. Juga kusir kereta sudah turun dan berlutut menghadap ke arah pohon ke tiga yang tumbang. Hanya Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia berdiri, bertopang pada tongkat bambunya dan sepasang matanya yang masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan kiri. Ketika menyebut setan tadi, dia sama sekali tidak maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja muridnya dan para perajurit itu keliru menafsirkannya dan menyangka bahwa yang menumbangkan pohon-pohon benar-benar setan atau mahluk halus.

Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta maaf dan berjanji akan mengirim orang untuk menghormati "penguasa hutan" itu, Cia Song kembali menyuruh orang-orangnya untuk menyingkirkan pohon ketiga itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar suara Pek Hong Nio-cu.

"Pengkhianat-pengkhianat jahanam!"

Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh mereka dan alangkah kaget dan heran hati mereka melihat Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sudah berdiri di atas tanah dan telah bebas dari semua belenggu. Bahkan yang membuat Cia Song terkejut sekali adalah ketika melihat betapa dua orang tawanan itu sudah memegang pedang masing-masing! Padahal, dia sudah merampas kedua pedang mereka itu dan menaruhnya di atas punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda. Otomatis dia menoleh ke arah kudanya yang ditambatkan di tepi jalan dan melihat betapa pedang-pedang itu sudah tidak berada di sela kudanya!

Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang merasa heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sendiri merasa terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed turun dari kereta, tiba-tiba saja mereka melihat sinar berkelebat menyambar ke dalam kereta dan tahu-tahu ikatan tangan mereka telah putus dan pedang mereka dilempar ke atas pangkuan mereka! Tentu saja dengan tangan bebas dan pedang di pangkuan mereka, dengan mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang mengikat tubuh dan kaki mereka. Kemudian mereka turun dari kereta dengan pedang masing-masing di tangan, lalu Pek Hong Nio-cu mengeluarkan bentakan marah itu.

Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat betapa dua orang tawanan itu telah lolos bahkan telah memegang pedang mereka kembali. Dia segera berkata dengan gurunya.

"Suhu, harap suhu cepat robohkan mereka!"

Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek itupun ikut memutar tubuh dan diapun merasa terkejut melihat dua orang tawanan itu sudah bebas dari belenggu. Diam-diam dia merasa gentar juga karena sejak pohon pertama tadi dia sudah mempunyai dugaan yang membuat hatinya merasa jerih. Kini, mendengar permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri sendiri mengandalkan bantuan banyak orang, dia lalu menudingkan tongkatnya ke arah dua orang muda itu. Tongkatnya terbuat dari Bambu Sisik Naga, semacam bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantra dan dia mengerahkan ilmu sihirnya.

"Bummm......!" Tampak asap hitam mengepul dan tiba-tiba saja tongkat itu terlepas dari tangannya, dan dalam pandangan semua orang, tongkat itu telah berubah menjadi seekor naga yang terbang melayang ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengerikan sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong dan moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan mahluk itu menyemburkan api!

Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah bola api sebesar tangan. Bola api itu tepat menghantam kepala naga jadi-jadian itu.

"Darrr""!" Naga itu terpental dan asap hitam mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik naga itu terlempar ke dekat Ali Ahmed.

Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah seorang laki-laki berusia enampuluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mengenakan pakaian yang hanya terdiri dari kain kuning dilibatkan di tubuhnya, memakai sepatu dari kain yang berlapis besi dan rambutnya diikat pita kuning. Matanya tajam, hidung mancung dan mulut penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan itu bulat telur dengan dagu agak runcing, bersih tanpa kumis atau jenggot.

Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu berkemak-kemik membaca mantra lalu kedua tangannya didorongkan ke depan. Asap hitam bergulung-gulung menyambar ke arah laki laki itu, membawa angin pukulan yang dahsyat sekali dan berhawa panas.

"Siancai......!" Laki-laki itu berkata lirih dan tangan kirinya didorongkan seperti hendak menahan serangan jarak jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed.

"Blarrrr......!" Hawa pukulan berasap hitam yang dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia tidak bergerak lagi.

Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan alangkah kagetnya melihat gurunya telah tewas! Agaknya kakek yang sudah delapanpuluh lebih usianya itu dan sudah lemah daya tahannya, tidak kuat menerima tenaganya sendiri yang membalik.

"Suhu......!" Thian Long berseru ketika melihat laki-laki berpakaian kuning itu.

"Paman Sie......!" Pek Hong Nio-cu juga berseru.

Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, lalu mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya bahagia sekali, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari sana.

Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiam-tin segera mengerahkan semua perajurit untuk menerjang dan mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mengamuk dengan pedang mereka.

Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu mencari-cari, akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak batang hidungnya lagi. Diam-diam pemuda ini sudah melarikan diri ketika melihat gurunya tewas dan Thian Liong menyebut "suhu" kepada laki-laki setengah tua yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia bahwa kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan dia menjadi ketakutan, diam-diam terus kabur dari situ!

Demikianlah memang watak seorang yang berbudi rendah. Paling penting menyelamatkan diri sendiri dan tidak perduli kepada orang-orang yang menjadi sahabat, rekan dan sekutunya. Bahkan dia tidak perduli kepada gurunya yang tewas!

Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka andalkan, bahkan yang menjadi pemimpin mereka itu tidak muncul dan jelas sudah melarikan diri, lima orang Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan gentar. Tentu saja mereka menjadi "makanan lunak" bagi Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong, walaupun lima orang itu dibantu sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit yang tadi menjadi kusir kereta.

"Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka hidup-hidup untuk dijadikan saksi akan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong!" Tentu saja Thian Liong berseru begini terutama sekali untuk mencegah puteri itu menyebar maut.

Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran ucapan Thian Liong, maka ketika ia mengamuk, pedangnya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan banyak orang dan tak lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh tamparan, tendangan, atau terluka oleh pedang.

Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa oleh pasukan itu untuk mengikat kedua tangan mereka semua di belakang tubuh. Mereka menurut saja karena sudah terluka dan merasa sudah tidak mungkin dapat melawan dua orang muda sakti itu. Terutama terhadap Pek Hong Nio-cu mereka merasa takut sekali. Dari sikap puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah Thian Liong, mereka semua pasti akan dibunuh oleh Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada mereka yang menjadi kaki tangan pemberontak.

Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu membawa mereka ke markas pasukan penjaga tapal batas yang dipimpin oleh Pangeran Kuang sebagai komandannya. Benteng pasukan itu tidak berapa jauh lagi dari situ sehingga setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore harinya mereka tiba di benteng itu.

"Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu suhumu?" tanya Pek Hong Nio-cu dalam perjalanan menggiring para tawanan itu menuju markas pasukan penjaga perbatasan.

"Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa kepada guruku sendiri? Akan tetapi, mengapa engkau menyebutnya paman Sie? Benarkah itu Paman Sie seperti yang pernah keuceritakan kepadaku itu?"

"Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku melihatnya dia berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak melupakan wajahnya. Dialah orangnya yang oleh ibu diakui sebagai sahabat baik dan yang disebut Paman Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala yang kupakai ini dan memberi tiga buah kitab pelajaran ilmu silat. Akan tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu dan bicara dengannya?"

"Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang yang arif bijaksana. Mungkin belum saatnya kita dapat berbicara dengan beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah tiba saatnya, tentu aku dapat bertemu dengan guruku dan engkau dapat bertemu dengan pamanmu itu. Akan tetapi sungguh aku heran, bagaimana guruku itu menjadi sahabat ibumu dan dikenal sebagai Paman Sie? Sungguh aku tidak mengerti."

"Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga) gurumu itu?" tanya Pek Hong Nio-cu.

Thian Liong menggeleng kepalanya.

"Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya. Yang aku tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan berjuluk Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau juga tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya."

"Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa heran sekali, bagaimana gurumu yang namanya juga sudah sering kudengar itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata adalah seorang yang oleh ibuku diaku sebagai sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya Paman Sie yang juga menjadi guruku."

"Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti akan mau menceritakan tentang hal itu. Sekarang, engkau hendak membawa orang-orang ini ke mana?"

"Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang bentengnya tidak jauh lagi dari sini. Engkau benar, orang-orang ini dapat menjadi saksi penting bagi pengkhianatan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak. Aku akan minta Paman Kuang secepatnya kembali ke kota raja membawa pasukannya untuk menumpas para pemberontak."

Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang yang menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas menyambut mereka dengan gembira akan tetapi juga heran.

"Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan begitu jauh! Dan sekarang engkau membawa tawanan begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula"" pemuda ini?" Pangeran Kuang yang berusia empatpuluh tahun lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan berwajah tampan, bertubuh tinggi besar.

Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum.

"Paman, apakah paman tidak menyuruh kami duduk dulu dan memerintahkan orang-orangmu menahan orang orang yang kutawan itu? Kami lelah sekali, paman."

Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya.

"Ah, sampai lupa aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba ini sungguh mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam dan engkau juga, orang muda." Dia menyuruh para pengawal untuk mengurus tawanan.

Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk berhadapan. Pek Hong Nio-cu segera bercerita karena ia tahu bahwa waktunya mendesak sekali.

"Paman, orang yang kutawan itu...... oya, aku lupa, ini adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang membantuku menghadapi para pengkhianat itu! Ketahuilah, paman. Orang-orang yang kami tawan itu adalah anak buah Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang berkhianat dan merencanakan pemberontakan!"

Pangeran Kuang membelalakkan matanya.

"Apa? Kanda Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?"

"Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan kuduga. Akan tetapi sekarang sudah terbukti. Mereka ini diutus oleh Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap aku, untuk dijadikan sandera dan memaksa sri baginda untuk menyerahkan tahta kepadanya. Orang-orang ini dapat dijadikan saksi. Kalau tidak ada bantuan Souw Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh mereka. Cepat, paman. Hanya Paman Kuang saja yang dapat menyelamatkan kerajaan dan membasmi para pemberontak. Cepat paman kerahkan pasukan dan kembali ke kota raja bersama kami. Aku khawatir kalau-kalau kita terlambat. Aku khawatir akan keselamatan ayah."

Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah bukan main. Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak tirinya, seayah berlainan ibu. Dia diangkat menjadi panglima oleh kaisar, juga kakak tirinya, sesuai dengan kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit Bong sudah diberi kedudukan sebagai Menteri Kebudayaan merangkap penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit Bong hendak memberontak, sungguh dia merupakan seorang yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka dan pengkhianat!

"Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran Hiu Kit Bong akan melakukan tindakan terkutuk seperti itu!" kata Pangeran Kuang.

"Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan dan kita berangkat sekarang juga!"

Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan sebagian dari pasukannya berjumlah limaribu orang dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin pasukan itu berangkat menuju ke Kota raja. Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong mendahului pasukan, membalapkan kuda pilihan yang diberikan Pangeran Kuang kepada mereka berdua.

Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong dan Pek Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah terbang begitu dia melihat munculnya kakek sakti yang membuat gurunya tewas terpukul tenaganya sendiri yang membalik. Datuk Hui itu saja yang menjadi gurunya, sekali menyerang Tiong Lee Cin-jin roboh sendiri. Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu saja dia akan sukar mendapatkan kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah dewa yang sakti itu!

Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan Kin dan menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat malam-malam Cia Song datang menghadapnya dengan muka pucat dan basah keringat, Pengeran Hiu Kit Bong menjadi kaget dan heran. Lalu dia menggebrak meja dengan marah sekali.

"Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah tempat, Cia-sicu! Melakukan tugas begitu saja engkau gagal sama sekali, malah semua anak buahmu terancam bencana. Celaka!"

"Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa di sana akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran! Tadinya kami sudah berhasil menangkap Souw Thian Liong dun Puteri Moguhai, sudah kami belenggu dan hendak kami bawa pulang ke sini. Siapa kira di tengah jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru saya sendiri, tewas ketika menyerangnya!

Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil pengawal dan memerintahkan pengawal mengundang para panglima sekutunya untuk malam itu juga datang berkumpul. Mereka itu datang satu demi satu. Setelah semua berkumpul lengkap, Pangeran Hiu Kit Bong berkata.

"Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi ke perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang. Tentu ia bermaksud mengadu dan minta bantuan pasukan yang berjaga di perbatasan. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Malam ini juga kita mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi kita serbu istana, kita tangkap Kaisar. Jangan sampai kita terlambat. Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun Pangeran Kuang datang bersama pasukannya, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa demi keselamatan Kaisar."

Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan orang-orangnya menangkap Puteri Moguhai karena hal itu akan membuat sekutunya gentar dan patah semangat.

Setelah berunding bagaimana caranya melakukan pengepungan terhadap istana, para Panglima yang dipimpin Panglima Kiat Kon itu lalu meninggalkan gedung Pangeran Hiu Kit Bong untuk mempersiapkan pasukan masing-masing. Mereka terdiri dari empat orang perwira, dikepalai Panglima Kiat Kon.

Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai pengawal pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya Cia Song segan menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan dia sudah ingin pulang saja ke selatan untuk melapor kepada Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi dia merasa sungkan juga karena dia telah gagal menangkap Puteri Moguhai, malah semua anak buahnya mungkin tertawan dan hal itu tentu saja membahayakan karena rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena itulah maka Pangeran Hiu Kit Bong hendak melakukan serangan mendadak sebelum terlambat.

Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu mengumpulkan pasukan mereka, ada perajurit yang diam-diam masih setia kepada Kaisar dan malam itu juga dia meloloskan diri dari kesatuannya dan pergi melaporkan persiapan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang setia kepada Kaisar kerajaan Kin.

Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari itu juga dia mengumpulkan teman-teman yang masih setia kepada Kaisar lalu mengerahkan pasukan seadanya untuk ditarik menjaga istana! Juga diam-diam Panglima Muda Ceng melaporkan kepada kaisar yang tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan marah sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang tinggal di kota raja menjadi geger. Banyak sekali tentara mengepung istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana muncul pasukan lain yang menghadang. Terjadilah pertempuran hebat di sekeliling luar istana. Pangeran Hiu Kit Bong terkejut dan marah sekali melihat betapa istana dijaga banyak perajurit. Dia memerintahkan pasukannya bergerak dan menyerbu. Pertempuran hebat terjadi dan rakyat yang menjadi penduduk kota raja berserabutan melarikan diri mengungsi keluar dari kota raja!

Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong keluar dan memimpin sendiri pasukannya, yang dipimpin Panglima Kiat Kon dan para perwira sekutunya. Cia Song yang ingin menebus kegagalannya memperlihatkan kepandaiannya. Di depan mata Pangeran Hiu Kit Bong dia mengamuk dengan pedangnya dan banyak tentara pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas di tangannya.

Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, namun pasukan yang dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekan-rekannya itu melakukan perlawanan mati-matian! Maka, setelah pertempuran berlangsung sampai satu hari lamanya, pasukan pemberontak belum juga dapat menduduki istana.

Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng istana dan biarpun banyak perajurit mereka yang tewas, semangat mereka masih besar dan mereka memperkuat benteng istana dengan balok-balok yang kokoh. Malam itu mereka melakukan penjagaan ketat dengan bergiliran, memberi kesempatan kepada pasukan untuk beristirahat dan merawat luka-luka mereka.

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir sekali. Mereka tahu bahwa pasukan yang melindungi mereka kalah besar jumlahnya dibandingkan pasukan para pemberontak. Mereka mendengar pula bahwa kalau siang tadi pertempuran masih terjadi di luar istana, maka sekarang semua perajurit pembela kaisar sudah mundur memasuki benteng istana dan pintu gerbang sudah ditutup. Mereka hanya akan mempertahankan benteng istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti pasukan pembela kaisar kalah dan pasukan pemberontak tentu akan menyerbu istana!

Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di langit juga tak tampak, tertutup mendung tebal. Hawa udaranya dingin. Pasukan kedua pihak mempergunakan kesempatan itu untuk melepas lelah setelah sehari tadi bertempur mati matian. Benteng istana dijaga ketat oleh pasukan pembela kaisar. Ronda berjalan sepanjang malam dan para penjaga itu bergiliran.

Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu, tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu meringankan tubuh mereka sungguh amat hebat karena saking cepatnya mereka bergerak, tidak ada penjaga dalam benteng yang sempat melihat mereka. Tubuh kedua bayangan itu melayang ke atas tembok benteng lalu meluncur turun ke sebelah dalam. Mereka menyelinap di antara kegelapan yang pekat dan tak lama kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas wuwungan istana!

Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat Kon sendiri! Mereka berdua menerima tugas istimewa dari Pangeran Hiu Kit Bong.

Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan mati matian, Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak sabar. Dia memanggil Cia Song dan mengingatkan pemuda ini akan kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.

"Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini engkau akan melaksanakan dengan baik dan berhasil, Cia-sicu, untuk menebus kegagalanmu menangkap Puteri Moguhai," kata Pangeran itu.

Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia sudah memperlihatkan jasanya dengan merobohkan banyak perajurit pembela kaisar, namun tetap saja pangeran ini masih penasaran karena kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.

"Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?"

"Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan lengah. Karena itu, aku perintahkan engkau dan Panglima Kiat Kon untuk menggunakan kepandaian kalian, menyusup masuk istana dan menawan Sri Baginda dan membawanya ke sini. Kalau kalian berhasil, berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok. Juga kalau pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menyerang kita yang sudah menyandera Sri Baginda Kaisar."

"Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!" kata Panglima Kiat Kon dengan tegas.

"Kalau Cia-sicu menemani saya, tugas itu pasti akan dapat kami lakukan dengan berhasil baik!"

"Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu?" tanya Pangeran Hiu Kit Bong sambil menatap wajah pemuda itu dengan tajam.

Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali, akan tetapi Cia Song tidak dapat menolak. Dia mengangguk dan menjawab,

"Saya sanggup, hanya tidak berani memastikan hasilnya karena di istana tentu diadakan penjagaan kuat."

Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia Song dan Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka yang tinggi, mereka berhasil melompati benteng tanpa diketahui perajurit pembela kaisar dan mereka berdua berhasil tiba di wuwungan istana!

Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk Panglima Kiat Kon yang mengenal daerah itu, meneliti di mana kiranya kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu mereka melangkah, kaki mereka terpeleset genteng wuwungan istana yang agaknya bergerak sendiri! Mereka terkejut dan merasa aneh. Akan tetapi ketika mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka tidak mendengar apapun.

Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa langkah, kembali genteng yang mereka injak bergerak dan mereka terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih mampu bertahan agar tidak terjatuh.

"Eh, apa ini, sicu?"

Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang.

"Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja"..."

Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada benda kecil menyambar ke arah mereka. Mereka cepat mengelak, akan tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu tetap saja mengenai pundak mereka seolah benda hidup yang terbang mengejar ketika mereka mengelak.

Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang terkena benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak itu untuk beberapa detik lamanya menjadi kesemutan dan lumpuh. Ketika dua buah benda kecil itu terjatuh ke atas genteng, terdengar suara berketikan seperti batu kerikil yang jatuh ke atas genteng. Mereka terkejut bukan main. Penyambit batu kerikil itu pasti memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga mereka tidak mampu mengelak. Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti yang sengaja mengganggu mereka dan kalau tadi dua kali kaki mereka terpeleset, tentu juga akibat ulah orang yang mengganggu mereka itu.

"Ciang-kun, kita pergi. Cepat!" kata Cia Song yang menjadi ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu muncul dan mereka berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang perajurit, akan celakalah mereka! Keduanya lalu cepat meninggalkan wuwungan istana dan dengan gin-kang mereka yang tinggi, mereka berlompatan dan keluar dari benteng istana itu. Akan tetapi setibanya di luar benteng, dalam kegelapan malam itu Panglima Kiat kon tidak dapat menemukan Cia Song.

Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak menjawab. Tahulah panglima itu bahwa Cia Song diam-diam telah meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali. Tentu Cia Song takut bertemu Pangeran Hiu Kit Bong karena lagi-lagi gagal melaksanakan tugasnya malam ini.

Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong, menceritakan tentang kegagalannya.

"Entah siapa yang mengganggu kami berdua, akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Terpaksa kami tidak dapat melanjutkan rencana itu, Pangeran, karena dengan adanya orang yang demikian saktinya, tentu usaha kami akan gagal, bahkan tidak mustahil kalau kami akan tertangkap atau terbunuh. Maka kami segera meninggalkan wuwungan istana."

Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju.

"Sialan, gagal lagi! Mana orang she Cia itu?"

"Ketika saya melompat keluar dari benteng istana, Cia-sicu tidak ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja pergi meninggalkan kota raja karena tidak berani bertemu dengan paduka."

Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu memerintahkan sekutunya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi pagi melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berpendapat bahwa besok benteng istana harus dapat dibobolkan dan kaisar harus dapat ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan Pangeran Kuang keburu datang dan menyerang mereka.

Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya rencana jahat lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi yang besar sekali harapannya akan lebih berhasil daripada tugas yang gagal dilaksanakan oleh Cia Song dan Kiat Kon tadi. Diam-diam pangeran yang licik ini telah berhasil memperalat dua orang pengawal pribadi kaisar. Dengan menyandera keluarga dua orang pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan membunuh isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu memerintahkan mereka untuk membunuh kaisar malam itu. Kalau hal ini tidak dilakukan, seluruh keluarga mereka yang disandera akan dibunuh!

Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan semua isteri dan anak anaknya di ruangan dalam. Mereka tidak berani tidur di kamar sendiri-sendiri seperti biasa. Mereka semua duduk di dalam ruangan itu dengan wajah membayangkan ketakutan, bahkan di antara para isteri dan puteri istana ada yang terisak perlahan. Mereka semua maklum bahwa kalau pasukan yang melindungi mereka kalah, mereka akan terjatuh ke tangan pemberontak.

Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali tidak tampak ketakutan. Hanya penasaran dan kemarahan yang tampak membayang di wajahnya yang gagah dan keren. Dia merasa penasaran sekali mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong, kakak tirinya, orang yang telah diberikan kedudukan tinggi, memimpin pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya. Dia kini merasa menyesal mengapa dia tidak mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang kini tidak berada di istana.

Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia berhati-hati terhadap kakak tirinya itu dan jangan terlalu percaya kepadanya. Akan tetapi dia malah menertawakan puterinya itu yang dia anggap terlalu berprasangka buruk. Sekarang, peringatan puterinya itu menjadi kenyataan! Dia menghela napas panjang dan ketika dia melayangkan pandang matanya kepada belasan orang selir-selirnya, dia melihat Tan Siang Lin, ibu kandung Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya selir keturunan pribumi Han ini sajalah yang kelihatan tabah dan tidak membayangkan ketakutan. Ia tetap tenang dan anggun sehingga kaisar teringat kembali kepada puteri mereka.

"Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak berada di sini. Tahukah engkau ke mana ia pergi?" tanya kaisar dengan suara lembut kepada selirnya tercinta ini.

Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi wanita ini seringkali menengok dan memandang kepada suaminya. Dalam hati ia merasa kagum dan juga bangga melihat pria yang menjadi suaminya itu sama sekali tidak tampak khawatir atau takut menghadapi keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu.

"Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui sendiri betapa puteri kita itu suka sekali berkelana."

Kaisar mengangguk-angguk.

"Aku percaya bahwa Moguhai pasti mendengar akan peristiwa di kota raja ini dan ia pasti akan datang untuk menyelamatkan kita semua."

"Semoga saja demikian, Sri Baginda," kata Tan Siang Lin.

Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar yang melindungi keluarga istana itu. Mereka berdiri dengan pedang di tangan, menjaga di pintu dan jendela jendela yang terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang, karena mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga kaisar dengan taruhan nyawa.

Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu, yang berdiri menjaga di sebelah belakang kaisar, dalam jarak lima meter, bergerak maju sambil mengangkat pedang menyerbu ke arah Kaisar!

"Ampunkan hamba, Sri Baginda!" seru yang seorang.

"Ampunkan hamba, hamba...... terpaksa membunuh paduka!" seru orang kedua.

Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit pengawal lainnya juga terpukau, tidak sempat mencegah karena dua orang itu sudah menyerang kaisar.

Seorang membacokkan pedang dari atas, orang kedua menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua sinar hijau kecil meluncur dari arah jendela dan dua sinar hijau ini menyambar ke arah tangan dua orang perajurit pengawal yang memegang pedang. Mereka berdua berteriak mengaduh dan pedang mereka terlepas dari pegangan, jatuh berdenting ke atas lantai dan dengan tangan kiri mereka memegangi lengan kanan masing masing di mana menancap sehelai daun hijau! Para perajurit segera berlompatan dan meringkus dua orang perajurit pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar itu.

Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya, memandang ke arah jendela dari mana sinar hijau tadi meluncur masuk. Wajahnya berseri, kedua matanya bersinar dan ia berseru girang.

"Sie-ko (kanda Sie)......!" Akan tetapi ia sadar dan menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas.

"Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku!" kata kaisar dengan tegas, sama sekali tidak menjadi panik oleh peristiwa itu. Dua orang itu lalu didorong berlutut di depan kaisar di mana mereka menyembah-nyembah dan menangis!

"Ampun, Yang Mulia"..! Ampunkan hamba berdua yang terpaksa......" mereka mengeluh dalam tangisan mereka.

"Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan pengkhianatan hendak membunuh kami?" bentak kaisar.

Seorang dari mereka menyembah dan berkata ketakutan,

"Hamba berdua terpaksa melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh paduka karena kalau hamba tidak mau, seluruh keluarga hamba berdua yang sudah disandera akan dibunuh."

Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai daun menancap di pergelangan kedua orang itu dan lengan mereka berdarah. Semua orang merasa takjub. Bagaimana mungkin sehelai daun dapat menancap pada lengan tangan dua orang itu sehingga mereka gagal membunuh kaisar? Pada hal daun hijau basah itu lunak dan lentur!

"Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh," kata kaisar kepada para pengawalnya.

Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai menghaturkan terima kasih kepada kaisar. Akan tetapi dua orang perajurit memegang lengan mereka dan menarik mereka keluar dari ruangan itu.

Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin,

"Dinda Siang Lin, tadi engkau memandang ke arah jendela dan memanggil seseorang. Siapakah yang kau panggil itu? Apakah engkau melihat seseorang?"

Wajah Siang Lin berubah kemerahan.

"Hamba tidak melihat seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba dapat menduga siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia pasti guru puteri kita Moguhai, karena hanya dialah kiranya yang mampu melukai dua orang tadi hanya dengan menggunakan sehelai daun."

"Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu?" tanya kaisar dan sedikit banyak kehadiran seorang manusia sesakti itu membesarkan hatinya dan dia merasa terlindung oleh suatu kekuatan yang hebat.

Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa serba salah, akan tetapi harus menjawab pertanyaan kaisar yang menjadi suaminya itu.

"Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu bermarga Sie, Sri baginda."

"Hemm, mengapa dia melindungiku secara diam-diam? Kalau saja dia mau muncul, mungkin dia dapat memberi tahu kami di mana adanya Moguhai sekarang ini."

Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari jendela. Seorang perajurit pengawal cepat menangkapnya dan ternyata benda itu sehelai kertas putih.

"Apa itu?" tanya kaisar.

"Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia," kata pengawal itu.

"Cepat bawa ke sini!" perintah Sri Baginda dan perajurit itu segera menyerahkan kertas itu kepada kaisar.

Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri. Dia menengok ke arah jendela dan berkata dengan suara lantang.

"Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami berterima kasih sekali padamu!"

Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat itu kepada Siang Lin yang segera membacanya. Sepasang mata selir kaisar ini menjadi basah saking bahagia dan terharunya membaca isi kertas bertulis itu.

"Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka datang."

Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula Siang Lin memberikannya kepada permaisuri yang setelah membacanya menyerahkan kepada para selir. Mereka bergantian membaca dan semua wajah menjadi berseri gembira. Timbul harapan dalam hati mereka. Pasukan penolong yang dipimpin pangeran Kuang dan Pureri Moguhai akan menolong mereka!

"Biar aku sendiri yang memimpin pertahanan istana!" Kaisar timbul semangatnya dan diapun keluar dari ruangan itu menemui para perwira yang setia kepadanya untuk mengawasi sendiri pasukan yang mempertahankan istana. Dengan munculnya kaisar sendiri ke tengah-tengah mereka, para perajurit yang membela kaisar bersorak gembira dan semangat mereka berkobar, apalagi ketika mereka mendengar bahwa bala bantuan segera datang!

Pada keesokan harinya, diiringi sorak yang gegap gempita dan bunyi terompet, tambur dan canang, pasukan pemberontak menyerbu dan berusaha mendobrak pintu gerbang tebal yang terbuat dari baja itu. Ada pula yang mempergunakan tangga untuk naik ke atas tembok benteng istana. Pasukan pembela kaisar menyambut dari dalam dan terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian.

Anak panah meluncur dari luar dan dari dalam seperti hujan. Bunyi denting beradunya senjata bercampur sorak-sorai dan teriakan-teriakan marah, jerit-jerit kesakitan membubung bersama debu yang mengepul tebal. Darah mulai berceceran membasahi bumi. Perang! Puncak ulah nafsu yang menguasai hati dan pikiran manusia, membuat manusia bahkan lebih ganas daripada binatang.

Karena jumlah pasukan pemberontak hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, maka tentu saja pihak pembela kaisar mulai kewalahan dan terdesak hebat. Bahkan pihak penyerang sudah banyak yang dapat naik ke atas tembok benteng dan di sana sudah terjadi pertempuran seru. Pintu gerbang mulai didekati pasukan pemberontak dan mereka mempergunakan kayu balok besar yang digotong beramai-ramai untuk mendobrak pintu gerbang baja. Suaranya nyaring menggelegar setiap kali ujung balok itu menghantam pintu gerbang.

Para perajurit pembela kaisar menggunakan segala daya untuk mempertahankan pintu gerbang itu dengan mengandalkan benda-benda berat. Namun, mereka kalah kuat karena kalah banyak dan akhirnya, pintu gerbang yang tebal dan besar itu jebol dan roboh ke dalam mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan belasan orang perajurit di sebelah dalam yang tadi mempertahankan pintu itu, tertimpa pintu besi yang amat berat itu sehingga tewas terhimpit.

Para perajurit pemberontak menyerbu melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu bagaikan air bah mengamuk. Perajurit pembela kaisar yang berada di sebelah dalam menyambut dan terjadilah pertempuran seru. Karena lubang pintu itu tidak terlalu besar, hanya sekitar tiga tombak lebarnya, maka para penyerbu itu tidak dapat masuk terlalu banyak dan hal ini membuat pertahanan sebelah dalam masih kuat. Puluhan orang perajurit penyerbu yang berhasil masuk disambut oleh ratusan orang perajurit pembela kaisar dan yang di luar terhalang oleh yang berada di depan.

Karena itu untuk sementara pertahanan masih kuat. Betapapun juga keadaan sudah sangat gawat karena dapat diramalkan bahwa tidak lama lagi pasti pasukan pemberontak akan dapat menyerbu ke dalam bangunan istana.

Kaisar memimpin sendiri para perajurit yang setia kepadanya. Dia memberi komando. Ada yang menyambut serbuan lewat pintu gapura atau gerbang yang sudah roboh daun pintunya, ada yang diperintahkan tetap menjaga di atas tembok benteng untuk menghalau musuh yang memasuki benteng lewat tembok.

Pada saat yang amat gawat itu, tiba tiba terdengar sorak-sorai bercampur suara terompet, genderang dan canang. Para perajurit pemberontak terkejut sekali dan tiba-tiba mereka menjadi kacau-balau ketika diserang oleh pasukan yang baru datang, pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuang dan Puteri Moguhai bersama Thian Liong!

Puteri Moguhai didampingi Thian Liong mengamuk, membuka jalan berdarah memasuki kerumunan perajurit-perajurit pemberontak, merobohkan siapa saja yang menghalangi mereka. Melihat betapa pintu gerbang yang sudah terbuka itu penuh orang, mereka berdua lalu melompat ke atas tembok benteng.

Para perajurit pembela kaisar yang bertempur di atas tembok benteng melihat datangnya pasukan penolong itu. Ketika mereka melihat dua orang melompat ke atas benteng dan mengenal seorang di antara mereka adalah Puteri Moguhai, mereka bersorak dan semangat mereka berkobar. Apalagi ketika Puteri Moguhai dan Thian Liong mengamuk, merobohkan banyak perajurit pemberontak yang berhasil naik ke atas benteng, mereka pun bersorak sambil mengamuk.

Pedang Ular Merah Eps 3 Kisah Sepasang Naga Eps 7 Kisah Sepasang Naga Eps 9

Cari Blog Ini