Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 2


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




Teringat akan ini, Jit Kong Lama mengerutkan alisnya, memandang kepada pria setengah tua yang berdiri dengan senyum lembutnya itu dengan gentar. Kemudian, dengan tangan kanan meme-gang tongkat kepala naga, dan tangan kiri dimi'ringkan ke depan dada, dia ber-kata,

"Tiong Lee Cin-jin, biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi ingat, aku adalah seorang yapg tidak dapat begitu saja menerima kekalahan. Tunggulah saatnya aku menemuimu atau muridmu untuk membalas kekalahan hari ini!" Setelah berkata demikian, tanpa menantl jawaban, tubuhnya melompat dan terdengar bunyi ledakan. Asap mengepul tebal dan ketika asap membuyar, pendeta Lama itu sudah tidak tampak lagi bayangannya!

Tlong Lee Cin-jin menghela napas panjang, mengambil buntalan kain kuning dan menggendongnya kembali dengan sikap tenang dan tidak tergesa-gesa. Kemudian dia menghela napas panjang lagl dan berkata seorang diri, lirih.

"Sayang, orang-orang yang telah menguasai banyak ilmu setinggi itu tidak mempergunakan ilmunya untuk menyebar benih kebaikan di dunia. Sungguh sayang.....!' Dia lalu melangkah menurum lereng seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika melangkah ini, kcpalanya bergoyang-goyang perlahan, matanya menerawang jauh dan dia sendiri mendengar detak jantungnya berbisik "Tuhan Tuhan Tuhan ......" tiada henti-hentinya.

**********

Anak-anak laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Dia duduk di atas punggung seekor kerbau betina dengan santai sambil meniup sebatang suling bambu. Lagunya lagu kanak-kanak dusun yang sederhana. Namun karena ditiup di lereng pegunungan yang sunyi itu, terdengar mengalun indah. Di tempat yang sunyi hening seperti itu, suara anjing menggonggong di kejauhanpun terdengar menyenangkan hati. Bahkan suara daun di puncak pohon bergoyang-goyang me-nlmbulkan desah gemerisikpun terdengar merdu menenangkan hati.

Tubuh anak itu sedang saja, kulitnya yang tampak pada tubuh bagian atas yang telanjang itu karena dia hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, tampak kecoklatan terbakar terik matahari. Rambutnya dipotong pendek. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar sehingga mukanya teftutup bayangan caping. Wa-jah anak itu tampan dan cerah, berben-tuk bulat telur dengan dagu agak meruncing. Sepasnng alis matanya hitam tebal melindungi sepasang mata yang bersinar terang dan yang memandang dunia ini dengan berseri, sepasang mata yang putihnya jernih dan hitamnya legam. Hidung nya mancung dan mulutnya membayangkan kemauan yang kuat. Seperti kebanyakan anak dusun, anak inipun membayangkan kejujuran dan keterbukaan sehingga tampak bodoh.

Dia meniup suling dan tenggelam dalarn suara sulingnya sendiri sehingga dia seperti lupa akan keadaan dirinya, membiarkan kerbau yang ditungganginya itu berjalan sendiri. Anak kerbau di belakangnya mengikuti induk kerbau sambil terkadang berloncatan dan mencoba segala macam rumput dan daun-daun yang ditemui di jalan.

Tiba-tiba anak itu menghentikan tiupan sulingnya. Kerbau induk itu berhenti dari makan rumput yang amat subur dan gemuk yang tumbuh di situ. Anak ltu terbelalak memandang ke kanan kiri. Baru dia menyadari bahwa dia dlbawa kerbaunya sampai ke tepi hutan! Hutan yang ditakuti semua penduduk dusun di kaki pegunungan. Hutan terlarang dan yang kabarnya dihuni oleh para siluman. Pimpinannya adalah seekor naga siluman yang amat jahat!

"Belang, cepat klta turun, kita kembali!" Anak Itu menendang-nendang dengan kakinya ke perut kerbau. Akan tetapi dia melihat anak kerbau itu berloncatan dan berlari memasuki hutan.

"Heii, Kecil! Cepat kembali, jangan masuk ke sana!" teriaknya dan dia melompat turun dari punggung kerbaunya dan berlari mengejar anak kerbau yang berloncatan dan berlari masuk ke dalam hutan seperti anak kecil yang manja dan nakal.

Tiba-tiba anak yang mengejar kerbaunya itu terbelalak dan tersentak, berhenti dari larinya, memandang dengan wajah pucat ke depan. Tangan kirinya masih menggapai ke depan untuk memanggil kerbaunya dan tangan kanannya menutup mulut agar tidak mengeluarkan teriakan. Apa yang dilihatnya mendatangkan kengerian hebat dalam hatinya.

Selagi anak kerbau itu berloncatan, tiba-tiba dari atas pohon besar yang tumbuh di situ, meluncur kepala seekor ular yang luar biasa besarnya. Ular itu tergantung pada dahan pohon, tubuhnya yang besar itu terjulur ke bawah dan moncongnya yang terbuka lebar itu menyambar dan menggigit leher anak kerbau yang mengeluarkan suara parau penuh kesakitan dan ketakutan. Ular yang menggigit anak kerbau itu menariknya ke atas dan anak kerbau itu meronta ronta lemah dengan keempat kakinya.

Anak itu hampir berhenti bernapas. Ular itu besar sekali. Panjangnya belasan meter dan tubuhnya sebesar pohon siong. Setelah anak kerbau itu dibawa sampal ke atas dahan, tubuh ular itu segera melingkarinya dan menghimpitnya dengan kuat. Agaknya anak kerbau Itu tewas seketika oleh tekanan himpitan yang kuat itu dan tidak bersuara lagi, hanya ada dua kaki belakangnya yang masih tampak itu berkelojotan dalam sekarat.

Anak itu menangis dan berlari keluar dari hutan, naik ke atas punggung induk kerbau dan turun lagi seperti yane kebingungan, lalu menarik tanduk kerbau itu dan diajaknya beriari cepat memnggalkan tepi hutan menuruni lereng sambil menangis sesenggukan.

Setelah menuruni sebuah lereng, anak itu melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di tengah jalan setapak sambil memandangnya. Melihat ada orang dewasa, anak itu menghentikan lari kerbaunya, menghampiri orang itu dan berkat dengan suara bercamlpur tangls.

"Paman, tolonglah saya, paman .... tolonglah anak kerbau saya...;"

Laki-laki itu adalah Tiong Lee Cin-Jin. Dia baru saja turun dari lereng bagian atas setelah ditinggal pergl Jit Kong Lama. Mellhat seorang anak laki-laki berlari-lari menuntun kerbaunya sambil menangis, dia cepat menghadang. Mendengar ucapan anak itu yang minta tolong, dia menjulurkan tangan, mengelus kepala anak itu dan bertanya dengan suara lembut.

"Tenanglah, anak yang baik. Apa yang terjadi dengan anak kerbaumu?"

"Anak itu menengok ke belakang lalu menuding ke arah hutan yang berada di lereng sebelas atasnya.

"Ada naga jahat ..... naga itu menangkap anak kerbau saya...... di sana, di hutan itu.....!"

"Naga,..?" Tlong Lee Cln-Jln mengulang sambil tersenyum. Mana mungkin ada naga di hutan itu atau di mana saja? Sepanjang pengetahuannya, naga hanya terdapat dalam dongeng jaman dahulu, beribu tahun yang lalu. Lalu dia menduga.

"Maksudmu ular?"

"Bukan, bukan ular, akan tetapi naga. Mana ada ular yang besarnya seperti itu? Paman, tolonglah saya. Kalau saya tidak membawa pulang anak kerbau itu, tentu majikan akan membunuh saya...."

"Hemm, mari kita lihat ke sana. Tambatkan saja kerbaumu di slnl," kata Tiong Lee Cin-jin, Karena tidak ingin kehilangan Induk kerbaunya, anak itu lalu mengikat kerbau itu kepada sebatang pohon. Setelah Itu, bersama Tiong Lee Cin-jin dia mendaki lereng menuju ke hutan tadi.

Ular itu masih berada dl atas dahan pohon. Moncongnya terbuka lebar-lebar seperti akan robek dalam usahanya me nelan badan anak kerbau yang terlampau besar untuk moncongnya Itu. Tubuh kerbau itu sudah tertelan setengahnya dan. sedikit demi sedikit badan anak kerbau itu tergeser masuk. Agaknya akan makan waktu lama sebelum anak kerbau itu dapat masuk seluruhnya ke dalam perut ular. Tampak lehernya, di mana bagian badan anak kerbau itu masuk, menggembung besar.

Anak itu menudingkan 'telunjuknya ke atas.

"Itu dia! Naga jahat itu mulai menelan anak kerbauku! Tolonglah anak kerbauku, paman!"

Tiong Lee Cin-Jln memandang dan dia merasa kagum. Ular itu memang besar sekali, jarang dia melihat ular sebesar itu dan gambar dan warna kulitnya indah.

"Itu bukan naga, itu seekor ular kembang," katanya.

Rasa ngeri lenyap dari hati anak itu ketika mendengar bahwa binatang yang makan anak kerbaunya itu bukan naga melainkan ular. Pada masa itu, naga merupakan mahluk keramat bagi rakyat, mahluk yang dihormati dan ditakuti, maka ketika tadi anak itu menduga bahwa anak kerbaunya dimakan naga, dia menjadi ketakutan setengah mati. Sekarang setelah dia mendengar bahwa yang makan anak kerbaunya itu hanya seekor ular, walaupun besar sekali, dia menjadi berani dan marah.

"Ular? Ular keparat, ular jahat, lepaskan anak kerbauku! Kubunuh engkau!" Dia mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan menyambitkan batu itu ke atas, mengarah ular yang tampak nya sama sekall tidak bergerak Itu, Sambitan itu luput dan anak itu sudah mengambll sebuah batu lagi. Akan tetapi Tiong Lee Cln-jin memegang lengannya.

"Sabarlah, anak baik. Jangan ganggu dia! Lihat, dia sedang menikmati makannya, mengapa diganggu? Andaikata engkau sedang makan masakan daging ayam lalu datang seekor ular mengganggumu, bagaimana?"

Anak itu tercengang mendengar ucapan yang dianggapnya aneh ini. Dia segera membantah.

"Akan tetapi, paman. Ular itu jahat sekali! Dia makan anak kerbauku, dia kejam buas dan jahat!"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum.

"Bagaimana kalau ular itu mengatakan kepadamu ketika engkau sedang makan daging ayam, Manusia itu jahat, kejam dan buas sekali. Dia menyembelih ayam dan memasak lalu makan dagingnya!' Nah, bagaimana jawabmu?"

"Akan tetapi, paman. Ayam memang makanan manusia!"

"Begitukah? Dengar, anak baik. Hewan-hewan kecil seperti anak kerbau, kijang, kelinci dan yang lain-lain itu memang makanan ular itu. Kalau dia. tidak mendapatkan makanan itu, dia akan mati kelaparan karena dia tidak dapat makan rumput atau buah atau daun-daunan. Dia makan anak kerbaumu bukan karena buas, kejam, rakus atau jahat. Sama sekali tidak, melainkan dia makan anak kerbaumu itu karena memang itulah jenis makanannya dan dia makan itu agar dia tidak mati kelaparan. Ular, singa, harimau dan sejenisnya hidup karena makan binatang lain yang lebih lemah dan kecil. Lembu, kerbau, gajah dan sejenisnya makan rumput dan sayur-sayuran. Kera, tupai dan sejenisnya makan buah-buahan. 'Sudah demikian kehendak Yang Menciptakannya. Kalau tidak mendapatkan makanan khas mereka, mereka akan mati kelaparan. Coba ingat baik-baik, hanya manusia yang rakus, karena hampir semua tumbuh-tumbuhan, semua buah-buahan, semua binatang yang ada di dunia ini menjadi makanannya, baik yang berada di darat, di udara, maupun di laut. Siapa yang lebih buas dan kejam?"

Anak itu menjadi bengong dan sejenak lupa akan anak kerbaunya. Dia menatap wajah Tiong Lee Cin-jin dengan pandang mata polos dan penuh keheranan.

"Akan tetapi..... engkau sendiri makan apa, paman?"

Tiong Lee Cin-jin tertawa. Suara tawanya lembut dan sopan, tidak terbahak.

"He-he-he, anak baik. Aku juga seorang manusia, tentu saja makananku sama dengan manusia-manusia lainnya."
,
"Kalau begitu mengapa paman mencela makanan manusia?"

"Aku tidak bermaksud mencela, hanya ingin mengingatkan engkau agar tidak menganggap ular itu jahat dan buas karena dia sudah makan apa yang semestinya dia makan. Dia tidak akan suka makan bakmi atau cap-cai!"

"Akan tetapi dia mengambil anak kerbau milik saya! Bukankah itu berarti dia telah merampas dan merampok?"

"Dia tidak mengenal istilah hak milik, anak baik. Semua hewan yang berada di hutan, yang dapat menjadi mangsanya, bukan milik siapa-siapa. Dia tentu menganggap anak kerbau itu bukan milik siapa-siapa dan sudah Sewajarnya kalau menjadi mangsanya untuk mencegah dia kelaparan." Jadi sesungguhnya kesalahanmu sendiri mengapa engkau menggembalakan kerbau di hutan ini, anak baik. Tempat inl penuh binatang liar, bukan tempat untuk menggembala ternak."

Anak itu termanggu, lalu mengerutkan alisnya dan dia menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah, tampak bingung dan sedih.

Tiong Lee Cin-jin juga ikut duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari anak itu. Diam-diam dia memperhatikan. Seorang bocah yang berwajah tampan, membayangkan watak yang jujur dan bersih, seperti sebuah batu mulia aseli yang belum digosok. Sinar mata dan lekukan mulut itu menandakan bahwa anak ini mempunyai dasar watak yang baik. Tubuhnya juga membayangkan tubuh yang sehat, berdarah bersih. Perawakannya tegak lurus, dadanya bidang dan pundaknya rata.

"Akan tetapi, paman. Biarpun sekarang saya dapat mengerti bahwa ular itu ! memang sudah sewajarnya makan anak kerbau saya dan dia tidak dapat dipersalahkan, bahwa hal ini terjadi karena kesalahan saya sendiri, akan tetapi perbuatannya itu menimbulkan korban. Korbannya adalah diri saya sendiri. Karena dia menjadlkan anak kerbau itu sebagai mangsanya, maka sayalah yang akan menanggung akibatnya, kalau tidak mati saya sedikitnya akan mengalami dan siksaan. Bahkan mungkin sekali lebih daripada itu. Akibatnya dapat pula menyengsarakan kehidupan nenek saya yang sudah tua itu."

"Bagaimana bisa begitu?" tanya Tiong Lee Cin-jjn.

"Saya hanya bekerja sebagai penggembala kerbau milik kepala dusun kami, paman. Kalau nanti saya pulang tidak membawa anak kerbau itu, majikan saya tentu akan marah sekali. Dia seorang yang amat galak dan keras, mempunyai banyak tukang pukul. Saya tentu akan disiksa dan mungkin dibunuh. Nenek saya juga bekerja sebagai tukang cuci di rumah majikan saya itu tentu akan menanggung akibatnya pula. takut untuk pulang, paman." Anak tidak menangis lagi, akan tetapi menggunakan punggung tangan kirinya untuk mengusap beberapa tetes air mata yang mengalir keluar dari pelupuk matanya.

Hemm, dan ayah ibumu?"

"Mereka sudah tiada, paman. Ayah dan ibu telah meninggal sejak saya berusia lima tahun dan sejak itu saya hanya hidup berdua dengan nenek saya."

Tiong Lee Cin-jin menghela napas panjang. Betapa banyaknya manusia yang hidup menderita karena kemiskinan di dunia ini, disamping hanya beberapa gelintir orang yang hidup berlebihan. Padahal, manusia diciptakan hidup di dunia ini seharusnya dapat mengisi hidupnya dengan saling mengasihi, saling membantu, menjadi alat dari Kekuasaan Tuhan agar bermanfaat bagi orang-orang lain. Yang pandai rhembantu yang bodoh dengan pemikiran, yang kuat membantu yang lemah dengan kekuatan, sedangkan yang kaya membantu yang miskln dengan hartanya. Akan tetapi apa yang dilihatnya sejak dari India ke Cina? Yang pintar menipu yang bodoh, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin.

"Sekarang bagalmana? Engkau harus pulang, setidaknya untuk mengembalikan kerbau ini kepada pemiliknya."

"Memang seharusnya begitu, paman. Akan tetapi saya tidak berani pulang karena saya pasti akan dipukuli, mungkin dibunuh oleh para tukang pukul Lurah Coa, bahkan nenekku tentu tidak akan luput dari hukuman pula."

"Jangan khawatir. Mari kuantar kau piilang darr aku yang akan menjadi saksi bahwa anak kerbau itu dimakan ular. Hayolah!"

Biarpun masih takut, mendengar ucapan dan melihat sikap Tiong Lee Cin-jin yang meyakinkan hatinya itu, dia menganggyk dan mengikuti orang tua itu keluar dari hutan. Beberapa kali dia menenggok dan memandang ke arah ular besar yang berusaha dengan tenahg untuk menelan anak kerbau yang terlalu be-sar untuk moncongnya itu.

Setelah tiba di lereng di mana tadi mereka berjumpa, anak itu melepaskan ikatan kerbaunya dan menuntunnya menuruni lereng bersama Tiong Lee Cin-jin. Pemandangan di bawah sana masih tetap indah mempesona, Sawah ladang yang luas hijau menguning terbentang di bawah sana dan dari atas itu tampak rumah-rumah dusun sederhana di antara pohon-pohonan.

Tiong Lee Cin-jin memandang ke a-tas dan dia tersenyum, matanya bersinar, wajahnya berseri. Dia melihat awan putih yang membentuk seekor naga sedang terbang melayang, seperti seekor Naga Langit yang perkasa.

"Anak baik, siapa namamu?" tanya-nya sambil berjalan di samping anak itu nieniti jalan setapak menuruni lereng.

"Marga saya Souw dan nama saya Thian Liong, paman."

Pria setengah tua itu melebarkan matanya dan berdongak ke atas memandang awan yang berbentuk naga itu.

"Thian Liong (Naga Langit)? Souw Thian Liong....?" Betapa kebetulan. Dia melihat Naga Langit di angkasa yang dibentuk oleh awan dan nama anak ini berarti Naga Langit pula!

"Ya benar, paman. Dan paman sendiri, siapa nama paman?" tanya Thian Liong.

"Orang menyebutku Tiong Lee Cin-jin. Kulihat engkau mempunyai sebatang suling yang terselip di ikat pinggangmu.

Maukah engkau meniupnya dan memainkan sebuah lagu untukku, Thian Liong?"

Anak itu memandang ke arah suling di pinggangnya dengan sedih, lalu berdongak memandang laki-laki itu dan berkata,

"Paman, bagaimana aku dapat rneniup suling kalau hatiku sedih dan dihimpit perasaan takut seperti ini?"

Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala Thian Liong.

"Jangan bersedih dan jangan takut, anak baik. Segala urusan yang tidak mampu kau atasi, serahkan saja sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang akan mengaturnya dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat mengubah apa yang telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan'"

"Tuhan? Siapakah itu Tuhan, paman?" Mereka sallng pandang dan slnar mata Tlong Lee Cln-jln bertemu dengan sinar mata yang demikian polos dan jernih. Dia tersenyum. Ketidak-tahuan yang murni dan suci. Seperti seorang bayi. Manusia lahir tanpa disertai pengetahuan, bahkan tidak mengenal Tuhan. Setelah pikirannya bekerja, mulailah dia bertanya-tanya dan jalan plkirannya dlpengaruhi dari pemberitahuan dari luar.

"Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, yang telah menciptakan bumi, langit, angin, tumbuh-tumbuhan, mahluk hidup, bulan, matahari dan bintang. Segala yang ada, segala yang tampak dan tidak tam-pak, semua ini adalah ciptaan Tuhan. Bahkan engk'au dan aku inipun ciptaan-Nya, Thian Liong. Mengertikah engkau?"
Thian Liong menggaruk kepalahya dan mengerutkan alisnya, meniandang heran.

"Akan tetapi orang-orang bercerita kepada saya bahwa semua itu ada dewa yang menjaganya, paman. Ada dewa mataharl, dewa bulan, dewa bintang, dewa gunung, dewa sungal dan seterusnya, demikian yang saya dengar.

Tiong Lee Cln-jln mengangguk-angguk. Dia harus memberi jawaban yang sesuai dengan apa yang telah didengar dan dipercaya anak ini, agar tidak membingungkan hatinya.

"Katakanlah bahwa ada para dewa dan para malaekat yang menjaga semua itu, akan tetapi mereka itu adalah pelaksana dari kekuasaan Tuhan, Thian Liong. Mereka adalah hulubalang, pembantu dan hamba Tuhan."

"Ah, paman. Kalau begitu Tuhan itu seperti Rajanya dan para dewa itu para perajuritnya!"

Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan mengangguk. Biarlah, anak yang masih polos ini menganggopnya begitu agar pikirannya tjdak menjadi bingung.

"Ya, begitulah kira-kira. Tuhan adalah. Raja dari segala raja, penguasa langit dan bumi serta sekalian isinya."

Mereka tiba di dusun dan mulailah Thian Liong merasa takut lagi. Wajahnya pucat dan dia tampak kebingungan. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin berhenti di depan dusun itu dan bertanya,

"Thian Liong, takutkah engkau akan ancaman majikanmu?"

"Paman, aku tidak perduli akan keadaan diriku sendiri. Biarlah kalau dia mau merighukum aku, menyiksa atau membunuh sekalipun. Akan tetapi aku khawatir kalau nenek yang sudah tua i-tu akan dihukumnya pula. Aku kasihan .kepada nenekku, satu-satunya orang yang kumiliki?"

Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala anak itu.

"Jangan takut, Thian Liong. Ingatkah engkau akan Raja di atas segala raja tadi?"

"Maksud paman.... Tuhan?"

"Benar. Serahkan segalanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Adil Maha Kasih dan Maha Murah. Dia yang akan melindungi engkau dan nenekmu kalau engkau mau berserah kepadaNya."
"Benarkah itu, paman?"
"Tentu saja benar dan aku yang akan menanggung bahwa hal itu benar adanya. Kalau engkau percaya dan berserah diri, Tuhan tentu akan mengutus para dewa itu untuk melindungimu dari gangguan orang jahat."

Wajah anak itu tampak lega dan sinar matanya tidak ketakutan lagi.

"Kalau begitu, aku akan berserah di-ri kepadanya, paman."

"Engkau tidak takut lagi?"

"Tidak, bukankah paman ada bersamaku? Dan para Dewa diutus Tuhan untuk melindungi aku dan nenek. Aku tidak takut lagi".

"Kalau begitu mari kita masuk dan menemui majikanmu." Mereka memasuki dusun. Thian Liong menuntun kerbaunya berjalan di depan sebagai penunjuk jalan.

Majikan anak itu adalah Lurah Coa Lun, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Lurah Coa ini seolah menjadi seorang raja k6cil di dusunnya, merupakan orang paling kaya di situ. Semua orang di dusun itu takut kepadanya, bahkan kehidupari mereka bergantung kepada lurah ini. Hal itu karena semua penduduk telah terikat hutang kepada lurah Coa. Ketika tiba musim kemarau panjang, para petani itu terpaksa berhutang kepada Lurah Coa untuk dapat menyambung hidup dan sejak itu, hutang mere-ka tidak pernah dapat terlunasi karena bunganya yang tinggi. Pencicilan hutang dan bunganya berkejaran. Karena itu, semua penghuni dusun itu seolah-olah telahy berada dalam cengkeraman tangan Lurah Coa dan karena itu mereka semua mera-sa takut dan hanya dapat menaati semua perintah sang lurah. Selain itu, Lurah Coa juga memperkuat kedudukannya dengan memelihara dua belas orang jagoan tukang pukul sehingga tidak ada yang berani mencoba untuk menentangnya.

Lurah Coa mempunyai tiga orang isteri. Akan tetapi tiga orang isteri ini agaknya masih belum mampu memuaskan nafsunya. Dia seorang mata keran-jang yang gila akan wanita muda dan cantik. Karena itu, kehidupan para wanita muda yang memiliki wajah cantik di dusun itu, baik ia masih gadis maupun sudah menjadi isteri orang, tidak aman. Siapa yang diincar dan dikehendaki sang lurah, pasti akan menjadi mangsanya. Secara halus maupun kasar, lurah bejat moral itu pasti akan mendapatkan wanita itu untuk beberapa lama sampai dia merasa bosan dan melepaskannya kembali. Karena itu, banyak suami yang merasa memiliki isteri muda dan manis, diam-diam pergi mengungsi, pindah dari dusun itu. Juga banyak keluarga yang memiliki anak gadis cantik, mengungsikan gadis itu keluar dusun.

Hampir semua sawah ladang yang berada di dusun itu dan sekitarnya, sudah menjadi milik Lurah Coa. Mereka yang dibebani hutang yang semakin membengkak, terpaksa merelakan tanahnya disita oleh sang lurah dan mereka hanya menjadi buruh tani sang lurah saja sehingga kehidupan mereka semakin bergantung kepada sang lurah.

Ayah Souw Thian Liongbernama Souw Ki sudah meninggal dunia sejak Thian Liong berusia lima tahun. Juga ibu anak itu sudah meninggal dunia. Kedua orang suami Isteri itu meninggal dalam keadaan miskln dan terserang penyaklt perut yang waktu itu menjadl wabah di dusun-dusun sekltar daerah pegunungan itu. Mereka terserang penyakit dan meninggal dunia secara berturut-turut. Yang selamat hanya' Thlan Liong dan neneknya, yaitu Nenek Souw ibu dari mendiang Souw Ki. Sejak itu, dalam usia lima tahun, Thian Liong hidup bersama neneknya. Nenek Souw yang sudah amat itu bekerja keras untuk dimakan berdua dengan cucunya. Ia bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah keluarga Lurah Coa, dan setelah Thian Liong berusia delapan tahun, Nenek Souw mintakan pekerjaan untuk cucunya itu kepada sang lurah. Kebetulan lurah itu baru menyita seekor kerbau dari seorang warga dusun yang tidak mampu membayar hutangnya, maka Thian Liong diberi pekerjaan menggembala kerbau itu. Sebelumnya, Lurah Coa tidak memelihara kerbau karena dia telah iriempunyai banyak buruh tani yang bekerja di sawah dan tidak memerlukan kerbau lagi.

Kerbau itu dipelihara dengan baik oleh Thian Liong, gemuk dan sehat. Thian Liong amat menyayang kerbau itu dan lebih-lebih lagi ketika kerbau itu melahirkan seorang anak kerbau. Karena Itu, dapat dlbayangkan betapa sedlh dan juga takut rasa hati Thlan Llong menghadapi kemarahan Lurah Coa ketika kerbaunya yang kecil dimakan ular raksasa. Dia amat mengkhawatirkan nasib neneknya. Apalagi kalau neneknya sampai dihukum, bahkan baru dipecat saja kehidupan mereka berdua akan terancam bahaya kelaparan!

Lurah Coa menjadi marah sekali ketika dia dilapori bahwa Thian Liong pulang tanpa anak kerbaunya. Dia segera melangkah keluar dan matanya terbuka lebar, mukanya menjadi kemerahan ketika dia melihat Thian Liong berdiri di halaman rumah sambil menuntun induk kerbau tanpa anak kerbau dan ditemani seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti seorang pendeta, menggendong sebuah buntalan besar.

"Thian Liong, mana anak kerbaunya?" tanya sang lurah dengan suara bentakan dan matanya melotot. Lurah itu bertubuh tinggi kurus, matanya sipit, daun telinganya kecil seperti telinga tikus, hidungnya pesek dan mulutnya lebar, dihias kumis kecil panjang menggantung di kanan kiri mulut dan jenggotnya hanya beberapa helai saja.

Karena setiap kali diharuskan memberi penghormatan yang berlebihan terhadap Lurah Coa, maka Thian Liong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang lurah.

"Ampunkan saya, tai-jin (tuan besar), anak kerbau itu dimakan ular di hutan...."

"Apaa,? Dimakan ular di hutan? Gila kamu! Mana bisa anak kerbau dimakan ular ..di hutan. Memangnya kamu menggembala kerbau di dalam hutan?"

"Ampun, taijin. Anak kerbau itu berlompatan dan berlari memasuki hutan. Ketika saya mengejarnya, tahu-tahu ada ular menangkapnya dan memakannya."

"Bohong! Mana ada ular bisa makan anak kerbau yang begitu besar? Tentu engkau sudah menjual anak kerbau itu atau kausembunyikan! Hayo mengaku saja atau dicambuki lebih dulu agar mau mengaku?"

Pada saat itu, dari dalam rumah tampak berlari keluar seorang nenek yang sudah tua. Rambutnya sudah putih semua, tubuhnya kurus kering seperti je-rangkong, pakaiannya tua dan lusuh. Usianya tentu sudah hampir delapan puluh tahun. la lari menghampiri Thian Liong yang berlutut dan menubruk anak itu sambil menangis.

"Adub cucuku Thian Liong....! Apa yang telah terjadl? Orang bllang anak kerbau yang kaugembalakan hilang dimakan ular? Betulkah itu, cucuku....?"

"Benar, nek," kata Thian Liong mengangguk sambil memandang wajah neneknya yang sudah basah air mata itu dengan sedih.

"Aduh celaka, Thian Liong....!" Ia lalu berlutut di dekat kaki Lurah Coa dan berkata dengan suara gemetar.

"Taijin.... ampunkan hambamu ini.... ampunkan cu-cu hamba Thlan Liong....! Dia maslh kecll, dia masih bodoh..., ampunkan dia taljin...."

"Minggir kau! Thian Liong harus mengembalikan anak kerbau itu atau aku akan mencambukinya sampai dia mengaku di mana dia menyembunyikan anak kerbau itu!" hardlk Lurah Coa dengan geram.

"Thian Liong....!" Nenek Souw menjerit dan menubruk cucunya. Akan tetapi ia bergulingan dan roboh. Thian Liong cepat merangkul neneknya.

"Nenek....!" Anak itu berseru bingung melihat neneknya megap-megap seperti ikan dilempar di daratan.

"Thian Liong.... jaga.... dirimu.... baik..,. baik...." lapun terkulai lemas da-lam rangkulan cucunya.

"Nenek...,?" Thian Liong berteriak.

Tiong Lee Cin-jin mendekati anak itu, berjongkok dan dia meraba leher,Nenek Souw.

"Thian Liong, nenekmu meninggal...." katanya terharu.

"Me....ninggal....?" Thian Llong me-mandang wajah Tiong Lee Cin-jin terbelalak.

Tiong Lee Cin-jin mengangguk.

"la meninggal karena jantungnya lemah. la mati karena memang ia sudah tua dan lemah, Thian Liong."

"Nenek....! Ahh, nenek....!!" Thian Liong menubruk dan menanglsi neneknya, meratap-ratap.

Lurah Coa mengerutkan alisnya dan menjadi semakin marah. Kematian nenek itu saja amat merugikannya! Selain kehilangan tenaga kerja, diapun terpaksa harus mengeluarkan uang untuk mengubur Jenazah nenek itu. Semua ini gara-gara Thian Liong yang melenyapkan anak kerbaunya!

"Beri hukuman anak keparat ini dengan dua puluh kali cambukan!" bentaknya kepada dua belas orang tukang pukulnya yang sudah berkumpul di situ. Dua orang di antara mereka melangkah maju. Mereka adalah dua orang algojo yang sudah biasa melaksanakan perintah untuk mencambuki orang. Mereka berdua menyeringai dan masing-masing memegang sebatang cambuk yang besar. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin melangkah maju.

"Nanti dulu!" tegurnya dengan suara yang lembut namun penuh wibawa.

"Coa-chung-cu (Lurah Coa), anak kerbau itu memang benar dimakan seekor Coa (ular), kenapa anak ini yang dipersalahkan dan hendak dicambuk? Dicambuk dua puluh kali dia akan mati. Sepatutnya engkau sendiri yang dicambuk!"


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Apa kaubilang? Keparat, berani engkau menghinaku?" Lurah itu merasa disindir seolah-olah orang berpakaian pendeta itu mengatakan bahwa dia yang telah memakan anak kerbaunya. Nama marganya Coa memang berbunyi sepertl huruf ular.

"Kalau begitu, biar engkau yang menanggung setengahnya. Hayo, kalian hukum cambuk mereka berdua, masing-masing sepuluh kali cambukan yang kuat agar pecah-pecah kulit punggung mereka, biar tahu rasa!"

Dua orang algojo itu mengangkat cambuk mereka, siap untuk memukul Thian Liong dan Tiong Lee Cin-Jin dengan cambuk mereka.

"Tar-tarrr!!" Dua batang cambuk me-ledak di udara lalu turun menyambar dengan cepat ke arah.... Lurah Coa!

"Pratt! Pratt!! Aduh.... aduhh, gila kalian! Kenapa aku yang dicambuk?" Lurah Coa mengaduh dan berloncatan, akan tetapi cambuk-cambuk itu terus melecutinya dan dua orang algojo itu melecut penuh semangat!

"Aduh-aduh.... bunuh mereka! Bunuh mereka!" Lurah Coa memerintahkan sepuluh orang jagoannya yang lain untuk bertindak sambil dia menggeliat-geliat kesakitan.

Sepuluh orang tukang pukul itupun merasa terheran-heran melihat dua orang rekan mereka malah mencambuki majikan mereka. Mendengar perintah itu, mereka menjadi bingung. Ada yang menganggap perintah itu untuk membunuh dua orang rekan mereka, ada pula yang menganggap perintah itu untuk membunuh Thian Liong dan Tiong Lee Cln-jin. Mereka, sepuluh orang, serentak bergerak. Mereka menganggap bahwa dengan tangan kosong saja mereka akan mampu membereskan orang-orang yang harus dibunuhnya. Sepuluh orang itu serentak menerjang maju akan tetapi kembali terjadi keanehan luar biasa yang disaksikan oleh orang-orang yang sudah mulai berkumpul di halaman rumah Lurah Coa meli-hat keributan itu. Sepuluh orang itu sama sekali tidak menyerang Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin, juga tidak menyerang dua orang algojo yang masih mencambuki Lurah Coa, melainkan mereka itu saling gebuk dan saling tendang di antara mereka sendiri! Terdengar suara bak-bik-buk dan teriakan-teriakan kesakitan dan kemarahan menjadi satu, hiruk pikuk dan para penonton terbelalak keheranan. Sementara itu, dua orang algojo masih asyik menggerakkan cambuknya ke arah tubuh Lurah Coa sambil menghitung.

"Tarr-tarrr! Ke enam! Tar-tarrr! Ke tujuh! Tar-tarrr!! Ke delapan....!!"

Pemandangan itu sungguh luar biasa sekali. Thian Liong masih merangkul dan menangisi neneknya. Tiong Lee Cin-jin masih berjongkok dekat anak-anak itu dan menoleh memandang orang-orang yang sedang sibuk sendiri itu. Lurah Coa masih mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat, bajunya robek-robek dan punggung-nya beriepotan darah karena kulit punggungnya pecah-pecah oleh cambukan. Teriakannya sudah melemah dan kini dia mengaduh sambil menangis. Sedangkan sepuluh orang itu saling genjot, saling tonjok dan saling tendang. Ramai sekali keadaannya, ramai dan kacau.

"Tarr-tarrr! Ke sembilan! Tarr-tarrr!! Ke sepuluh....!!" Setelah dua orang algojo itu masing-masing memukul sepuluh kali, merekapun menghentikan cambukan mereka. Kini mereka berdlri memandang kepada Lurah Coa dengan mata terbelalak seolah tldak percaya kepada pandangan mata mereka sendlrl, Lurah Coa Itu bergulingan di atas tanah dengan tubuh berkelopotan darah dan agaknya mereka berdua baru menyadari dengan kaget sekali bercampur heran dan bingung bahwa mereka tadi telah mencambuki Lurah Coa!

Sementara Itu, sepuluh orang yang sallng gebuk itu kinipun sudah lemas. Muka mereka benjol-benjol dan matang biru, tidak ada seorangpun yang masih utuh karena tadi mereka saling gebuk tanpa memilih kawan maupun lawan. Siapa saja yang berada dl dekatnya diserang. Dengan sendirinya mereka semua kebagian pukulan atau tendangan. Dan anehnya, berbareng dengan berhentinya dua orang tukang cambuk tadi, sepuluh orang itupun berhenti saling serang dan mereka mengerang kesakitan dengan mata terbelalak keheranan karena baru sekarang mereka menyadari bahwa mereka tadi telah sallng pukul antara rekan sendiri!

Lurah Coa sekarang telah bangun. Melihat dua orang yang tadi mencambukinya berdiri dengan menundukkan muka dan tampak ketakutan, kemarahannya memuncak. Biarpun seluruh tubuhnya nyerh dan pedlh perih, dia lalu merampas sebatang cambuk di tangan seorang di antara dua algojo itu dan dia lalu mengayun cambuk, mencambuki mereka berdua sekuat tenaganya!

"Tar-tar-tarrr....!!" Dia terus mencambuki sekuat tenaga, mencambuki dua orang tukang pukulnya itu sekenanya, muka, kepala, dada sehingga dua orang itu menggeliat-geliat dan melindungl muka mereka dengan kedua tangan. Baju mereka berdua cabik-cabik dan kulit mereka pecah-pecah, darah mulai mewarnai baju mereka.

"Ampun, taijin.... ampun....!" Mereks berdua meratap-ratap akan tetap Lurahj Coa mencambuki terus sampai dla kehabisan tenaga dan napasnya hampir putus barulah dia berhenti karena tidak kuat lagi. Dia melempar cambuknya dah dengan tubuh lunglai dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah kursi.

Kini dia menyadari keadaan sepenuhnya. Biarpun masih tiada habis herannya melihat peristiwa yang telah menimpa dirinya dan dua belas orang jagoannya, namun kini dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin. Dia masih belum menyadari bahwa kehadiran pendeta asing itulah yang menimbulkan peristiwa aneh tadi.

"Thian Liong! Engkau telah membikin hilang anak kerbauku, untuk itu engkau akan dihukum! Dan engkau pendeta asing, engkau inemasuki dusun kami dan membuat onar di sini, membela anak yang bersalah ini. Mungkin engkau telah bersekongkol dengan dia untuk mencuri anak kerbauku. Karena itu engkaupun akan dihukum!

"Lurah Coa, engkau masih belum menyadari sikapmu yang sewenang-wenang itu? Perbuatanmu yang suka menyiksa orang kini berbalik menimpa dirimu sendiri dan engkau masih juga belum jera?" kata Tiong Lee Cin-jin kepada kepala dusun itu.

Akan tetapi kepala dusun yang sudah terlanjur merasa seperti seorang raja kecil di dusunnya dan tidak pernah ada orang berani menentangnya, menudingkan telunjuknya kepada Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong, lalu berseru kepada anak buahnya.

"Hayo kalian tangkap dua orang ini! Cepat!!"

Akan tetapi dua belas orang tukang pukul yang masih belum hilang kaget mereka dan masih merasa nyeri-nyeri seluruh tubuh mereka itu, hanya memandang dan tidak ada yang berani bergerak. Mereka adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah mempunyai pengalaman di dunia kang-ouw dan mereka kini sudah dapat menduga bahwa orang berpakaian seperti pendeta itu tentu seorang sakti maka terjadi peristiwa aneh-aneh seperti yang tadi mereka alami. Maka, mendengar perlntah majlkan mereka itu, tidak ada seorangpun dl antara mereka yang berani bergerak.

"Hayo tangkap dua orang inl! Apakah kalian semua sudah tuli?" bentak lagi lurah yang masih menggigit bibir menahan rasa nyeri yang terasa di seluruh tubuhnya.

Mendengar perintah ulangan ini, dua belas orang tukang pukul tidak berani membangkang lagi dan mereka sudah meraba gagang golok yang tergantung di pinggang.

Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin memandang kepada mereka dan berkata,

"Kalian ini sebetulnya adalah penjaga keamanan dusun, menjaga keamanan semua penduduk dusun, bukan melaksanakan perintah Lurah Coa untuk memukul dan menyiksa orang. Apakah kalian masih belum mau bertaubat dan hendak melanjutkan perkelahian di antara kalian sendiri menggunakan golok?"

Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, dua belas orang tukang pukul klni yakln bahwa tadi mereka bergontok-gontokan sendiri adalah karena dlpengaruhi pendeta ini. Mereka menjadi jerih, menggeleng kepala dan otomatis melepaskan lagl gagang golok mereka. Mereka membayangkan betapa ngerinya kalau mereka saling serang seperti tadi, kini mempergunakan golok. Tentu akan banyak di antara mereka yang luka parah atau bahkan tewas.

"Kalian masih belum turun tangan?" bentak pula Lurah Coa.

"Lurah Coa, engkau sudah mendengar pengakuan kami bahwa anak kerbau itu dimakan ular dan engkau masih belum mau percaya. Sekarang lihatlah sendiri, juga kalian para tukang pukul! Ular raksasa itu kini datang memperlihatkan diri kepada kalian agar kalian dapat percaya!"

Tiong Lee Cin-jin menggapai dengan tangannya dan Lurah Coa bersama dua belas orang tukang pukulnya terbelalak, muka mereka pucat dan tubuh mereka menggigil. Mereka melihat ada seekor ular yang besar sekali, sebesar batang pohon siong, merayap datang menghampiri mereka! Para penduduk dusun yang berkumpul di situ tldak melihat ular ini. Mereka menjadi terheran-heran melihat dua belas orang tukang pukul itu menggigil ketakutan menghampiri Lurah Coa lalu berdiri di belakangnya. Lurah itupun menggigil ketakutan. Mereka mundur-mundur dan akhirnya menjatuhkan diri berlutut,

"Ampun.... ampunkan saya...." Lurah Coa meratap.

"Ampunkan kami.... kami tldak berani lagl...." Dua belas orang Itupun berseru ketakutan, menghadap ka arah Tiong Lee Cin-jln.

Tlong Lee Cin-jln mengibaskan tangannya dan ular itupun lenyap. Dla lalu bertanya kepada Lurah Coa dan anak buahnya.

"Benarkah kalian semua telah bertobat dan tidak akan mengulangi lagi sikap dan perbuatan kalian yang menindas rakyat dusun ini?"

"Saya tidak berani ....". ratap lurah Coa.

"Kami bertobat...." Dua belas orang tukang pukul itu serempak berseru ketakutan.

"Bagus. Bertaubat berarti membuka pintu yang menuju jalan kebenaran. Namun bertobat tidak ada artinya sama sekall kalau hanya dlucapkan dengan mulut, melainkan harus menerima dalam hati sanubari dan tercermin dalam perbuatan. Tanpa pelaksanaan dalam perbuatan, bertobat hanya merupakan pemanis bibir dan palsu belaka. Lurah Coa, seorang lurah bukan seorang pembesar yang hanya memperbesar perut sendiri, juga bukan seorang penguasa yang mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain dan mencari enaknya dan benarnya sendiri. Seorang lurah adalah seorang pemimpin rakyat yang berkewajiban iintuk membimbing rakyatnya ke arah pembangunan dusun demi kesejahteraan rakyatnya, menjadi seorang bapak yang selalu memberi teladan kepada rakyat, kalau berdiri di depan memberi teladan, kalau berdiri di tengah bekerja sama dengan rakyat, kalau di belakang mengawasi dan memberi pengarahan. Ingat, engkau bisa menjadi lurah karena ada rakyat dusun, tanpa mereka engkau bukan apa-apa. Mulai sekarang, jadilah pemimpin rakyat yang baik. Kembalikan sawah ladang mereka. Bebaskan hutang-hutang mereka. Ulurkan tangan dan bantulah kalau ada rakyat yang kekurangan. Kalau sudah begitu, seluruh rakyat di dusun akan cinta dan taat kepadamu, bukan taat karena terpaksa dan takut. Sanggupkah engkau membuktikan rasa bertobatmu dengan semua anjuran itu?"

"Saya sanggup," jawab Lurah Coa sambil menundukkan kepalanya. Entah mengapa, mendengar ucapan yang lembut namun penuh wibawa dan menggores hatinya itu, Lurah Coa terlngat akan semua tindakannya yang lalu, sadar akan semua perbuatannya yang sewenang-wenang dan diam-diam dia menangis.

"Dan kalian, orang-orang gagah yang tadinya dianggap sebagai tukang-tukang pukul anak buah Lurah Coa. Kalian adalah orang-orang yang sudah mempelajari ilmu silat, orang-orang yang memiliki tenaga yang kuat. Akan tetapi sayang, kalian meinpergunakan kelebihan itu untuk mendukung kesewenang-wenangan Lurah Coa. Kalian menakut-nakuti rakyat dusun, kalian bahkan tidak segan untuk memukuli dan menyiksa mereka. Kalau benar-benar kallan sudah bertaubat, mulai sekarang jadilah pembantu lurah yang baik. Menjadi penjaga keamanan dusun, keamanan rakyat dusun sehingga kehidupan di sini menjadi aman tenteram tidak ada perbuatan kejahatan. Dengan demikian kalian akan menjadi sahabat bahkan saudara dari rakyat dan mereka akan me-rasa sayang dan segan kepada kalian, bukan takut lagi. Mereka tidak akan mellhat lagi kalian sebagai iblis-iblis mengganggu, melainkan sebagai malaikat-malaikat pelindung. Nah, sanggupkah kalian menjadi pelindung rakyat?"

"Kami sanggup!" seru dua belas orang itu serentak.

"Bagus, senang dan suka sekali hatiku mendengar kesanggupan kalian semua. Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, Lurah Coa. Engkau tahu bahwa Thian Liong hanya hidup berdua dengan neneknya dan keadaan mereka miskin sekali. Mereka mengandalkan makan sehari-hari dari hasil bekerja mereka di rumahmu. Sekarang Nenek Souw telah meninggal dunia, apa yang akan kaulakukan?"

Lurah Coa mengangkat mukanya dan Tiong Lee Cin-jin melihat berapa muka yang masih ada bilur-bilur bekas cambukanitu kini tampak cerah dan tidak tertutup hawa gelap seperti tadi.

"Sebelum saya menjawab, bolehkah kami semua mengetahui lebih dulu siapa sebenarnya saudara pendeta ini?"

"Orang menyebutku Tiong Lee Cin Jin seorang perantau yang kebetulan lewat di sini."

Lurah Coa merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat lalu bangkit berdiri.

"Kiranya Cin-jin seorang pendeta yang sakti dan bijaksana. Maafkan kami sekalian yang telah bersikap kurang hormat dan telah berani bertindak jahat. Saya sudah bertaubat dan menyadari dosa-dosa saya, Cin-jin. Saya akan mengurus penguburan jenazah Nenek Souw sebaik-baiknya. Adapun mengenai Thian Liong, saya akan memberinya pekerjaan dan menganggap seperti anak angkat saya."

Tlong Lee Cin-jln mengangguk-ang-guk.

"Bagus, terima kasih atas kebaikanmu, Lurah Coa. Kalau untuk selanjutnya engkau bersikap dan berbuat seperti ini aku percaya bahwa engkau akan dapat mencuci kotoran yang timbul dari perbuatanmu yang sudah-sudah dengan perbuatan baikmu yang akan datang. Nah, selamat tinggal, aku harus melanjutkan perjalananku." Setelah berkata demillian Tiong Lee Cin-jin membahkan tubuhnya dan melangkah keluar dari pekarangan rumah Lurah Coa.

Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Lee Cin-jin.

"Suhu, perkenankanlah saya ikut suhu!" katanya sambil membentur-benturkan dahinya di atas tanah.

"Thian Liong, jenazah nenekmu masih belum dikebumikan," kata Tiong Lee Cin-jin.

"Sudah ada Lurah Coa yang menyanggupi untuk mengurusnya, suhu. Biarkan saya ikut suhu."

"Akan tetapi aku hanyalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Engkau akan lebih senang tinggal di sini" kata pula Tiong Lee Cin-jin.

"Benar Thian Liohg. engkau tinggallah di sini bersama kaml. Aku akan menganggapmu sebagai anak angkatku," kata Lurah Coa.

"Tidak, suhu. Satu-satunya orang yahg kumiliki di dunia ini hanyalah nenekku. Sekarang ia sudah meninggal dunia. Suhu telah menyelamatkan saya, maka sekarang saya ingin ikut dan melayani suhu untuk selamanya. Saya bersedia hidup melarat bersama suhu." Anak itu meratap.

Tiong Lee Cln-jin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah merasa bahwa anak ini berjodoh dengannya dan amat baik kalau menjadi muridnya.

"Baiklah, engkau boleh ikut denganku, Thian Liong."

"Terima kasih, suhu!" Thian Liong lalu bangkit dan lari menghampiri jenazah Nenek Souw dan berlutut di sampingnya.

"Nenek, perkenankan aku ikut dengan suhu Tiong Lee Cln-jin. Jangan khawatir, nek, jenazahmu akan diurus sebaiknya oleh Lurah Coa. Selamat tinggal, nek." Setelah mencium muka neneknya, dia lalu bangktt dan berlarl mengejar Tiong Lee Cln-jin yang sudah berjalan meninggalkan pekarangan itu.

Lurah Coa mengikuti mereka dengan pandang matanya sampai dua orang itu tak tampak lagi. Dia lalu inemerintahkan orang-orangnya untuk mengurus jenazah Nenek Souw baik-baik dan dia masuk ke dalam rumah untuk mengobati luka-luka lecutan di tubuhnya. Semenjak hari itu, Lurah Coa berubah sama sekali. Dla berubah menjadi seorang lurah yang baik dan kehidupan rakyat di dusun itu menjadi benar-benar sejahtera dan berbahagia. Dua belas orang jagoan itu kini menjadi sahabat rakyat, menjadi penjaga keamanan dalam arti yang sebenarnya. Setelah mengubah sama sekali jalan hidup mereka, kini mereka mendambakan suatu kebahagiaan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Mereka merasa aman tenteram dalam hidup mereka, sikap dan pandang mata semua penduduk terhadap mereka demikian ramah tulus dan hormat yang tidafc dibuat-buat. Baru sekarang mereka merasakan betapa membikin senang orang lain jauh lebih menyenangkan daripada membikin susah orang lain.

* * *
Setelah berpuluh tahun berada dalam kekacauan dan pertentangan karena Cina dikuasai Lima Dinasti yang saling berperang dan berebutan kekuasaan, akhirnya pada tahun 960 M lahirlah Dinasti Sung yang berhasil mempersatukan Cina kembali. Pendiri Dinasti Sung adalah seorang panglima dari satu di antara dinasti-dinasti yang pada jaman Lima Dinasti berkuasa di Cina, yaitu Dinasti Chou. Panglima ini bernama Chao Kuang Yin. Panglima Chao Kuan Yin ini menjadi kaisar yang mendirikan Dinasti Sung dengan cara yang unik, aneh dan lucu. Pada masa itu, Dinasti CHou membutuhkan seorang yang tepat untuk menjadi kaisar karena kaisarnya yang sudah tua berada dalam keadaan sakit payah. Yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah se-orang pangeran yang masih kecil, seorang anak-anak! Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan tidak puas dalam hati para perwira, Mereka lalu diam-diam mengadakan perundingan dan mengadakan pemilihan siapa kiranya yang pantas ditunjuk untuk menjadi kaisar baru. Mereka dengan suara bulat memilih Panglima Chao Kuang Yin yang mereka kenal sebagai seorang panglima besar ahli perang yang pandai dan yang juga bijaksana dalam pergaulannya dengan para pembesar lainnya.

Pada suatu malam, selagi Panglima Chao Kuang Yin masih tidur, para perwira bawahannya dan para pejabat tinggi memasuki kamarnya dan membangunkannya.

Panglima itu terbangun dan merasa kaget dan heran sekali melihat para perwira dan pembesar mengerumuninya.

"Heii, apa-apaan ini? Apakah terjadi. Mau apa kalian menggugah ku??" tanya Panglima Chao Kuang Yin yang lalu duduk di atas kursi, memandang kepada mereka semua. Ternyata mereka telah menyalakan lampu sehingga kamar itu menjadi terang. Dengan heran dia melihat bahwa semua perwlra tinggi yang menjadi pembantunya berada di situ, juga para pejabat tinggi yang berkedudukan penting di pemerintahan.

Seorang perwira yang paling tinggl kedudukannya di antara semua perwira, yaitu Perwira Ciang yang menjadi pembantu utama Pangllma Chao Kuang Yin, mengeluarkan sebuah jubah dan mengembangkan jubah itu hendak menyelimutl kedua pundak Panglima Chao Kuang Yin. Ketika melihat bahwa jubah itu adalah pakaian kebesaran Kaisar, panglima itu cepat bangkit berdiri dan menolak.

"Apa artinya ini? Apa maksud kalian?"

"Panglima Chao Kuang Yin, atas kesepakatan kami semua, malam ini juga kami mengangkat paduka menjadi kaisar kami yang baru!" kata Perwira Ciang Sui.

Panglima Chao Kuang Yin membela-akkan matanya dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah.

"Apa kalian semua sudah menjadi gila? Aku adalah seorang panglima Kerajaan Chao yang setia kepada Kaisar! Aku tidak ingin menjadi pengkhianat!"

"Panglima Chao, tenanglah dan pikirkan baik-baik, justru karena paduka adalah seorang patriot sejati, seorang yang setia kepada kerajaan, maka paduka harus menolong dan melindungi kerajaan kita. Kaisar yang baru diangkat adalah seorang kanak-kanak, mana mungkin dia dapat memerintah dengan baik dan semestinya? Kalau dibiarkan saja keadaan ini, kerajaan kita pasti akan ambruk dan siapa lagi yang dapat menyelamatkan kerajaan ini kecuali paduka?"

"Tidak, aku tetap tidak mau!" bantah Panglima Chao Kuang Yin.

Seorang perwira tinggi lain berseru,

"Kalau Panglima Chao Kuang Yin tidak mau, berarti dia. ingin melihat kerajaan ini hancur dan ini berarti dia seorang pengkhianat yang harus dlhukum mati!" Dia mencabut pedangnya dan belasan orang perwira itu semua mencabut pedang, termasuk para pejabat tinggi. Mereka menodongkan pedang mereka kepada Panglima Chao Kuang Yin yang terbelalak keheranan.

Seorang pejabat tinggi bagian Sastra dan Budaya yang bernama Can Siong Tek berkata dengan suara yang lembut, Panglima Chao Kuang Yin, harap paduka suka memperhatikannya baik-baik. Keadaan kerajaan dalam bahaya. Kaisar yang diangkat masih kanak-kanak dan tentu dia akan dipengaruhi dan terjatuh ke dalam tangan para menteri korup dan para thai-kam (laki-laki kebiri) penjilat sehingga pemerintahan jatuh ke tangan mereka. Dapat dipastikan kerajaan ini akan ambruk. Sekarang paduka tinggal pillh. Mau menjadi kaisar untuk menyelamatkan negara dan rakyat, atau kalau paduka menolak terpaksa kami bunuh karena paduka berarti menentang keputusan kami."

Chao Kuang Yin berdiam sampai lama, mempertimbangkan dan berpikir-pikir. Dia tahu benar bahwa kalau dia menolak dan melawan, dia pasti akan tewas di tangan mereka ini. Bukan dia takut mati, akan tetapi apa artinya kematiannya? Hal itu tidak akan menolong keadaan kerajaan. Sebaliknya kalau dia hidup dan mau menerima kedudukan kaisar, dia dapat berusaha untuk mempersatukan seluruh negeri dan menyudahi perang saudara yang tiada henti-hentinya menghantui dan menyengsarakan rakyat jelata.

Akhirnya dia berkata,

"Baiklah. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk membantu aku memperkuat kerajaan dan mempersatukan semua kekuatan yang tadinya saling bertentangan."

"Hidup Kaisar!" Serentak mereka berseru dan mengenakan jubah kaisar pada tubuh Panglima Chao Kuang Yin.

Demikianlah, Panglima Chao Kuang Yin menjadi kaisar dan dia mendirikan Dinasti Sung. Dia menggunakan nama Kaisar Sung Thai Cu (960-976 M) dan menjadi pendiri Dinasti Sung sebagai kaisar pertama. Mulai saat itulah Dinasti Sung berdiri sampai tlga abad lebih (960-1279 M).

Ternyata kemudian bahwa pilihan para perwira tinggi dan pejabat tinggi itu tidak keliru. Panglima Chao Kuang Yin yang kini menjadi Kaisar Sung Thai Cu ternyata adalah seorang Kaisar yang amat cerdik pandai dalam persoalan politik, seorang yang bijaksana, tidak kejam dan tidak sewenang-wenang. Pula, dia adalah seorang bangsa Han. Hal ini ditambah sikap dan sepak terjangnya yang bijaksana membuat para kerajaan dan pemerintahan lain tunduk kepadanya. Apalagi rakyat sudah bosan dengan peperangan yang tiada hentinya selama puluhan tahun, bosan dengan pengaruh kekuasaan suku-suku bangsa liar yang berebutan kekuasaan. Para penguasa daerah yang tadinya, di masa kekuasaan Lima Dinasti herdin sendiri sebagai kerajaan-kerajaan kecil, ini satu demi satu menyatakan takluk dan berdiri di bawah panji kerajaan Sung yang dipimpin oleh Kaisar Sung Thai Cu. Kaisar Sung tetap memberi kedudukan kepada para penguasa itu sebagai pejabat tinggi dari Kerajaan Sung, Sebagai semacam gubernur. Ada beberapa daerah yang tidak mau tunduk. Mereka ini dengan mudah diserang dan dltaklukkan. Akan tetapi, bahkan kepada mereka yang menentang inipun Kaisar Sung Thai Cu bermurah hati. Para pemimpinnya tidak dihukum, bahkan setelah daerah itu ditaklukkan, mereka tetap diangkat menjadi pejabat. Demikianlah, dalam waktu beberapa tahun saja, seluruh Cina telah dapat dipersatukan, dan sebagian besar dari mereka ditundukkan dengan cara halus. Hanya beberapa daerah saja yang terpaksa ditaklukkan dengan kekuatan pasukan tentara.

Semenjak Dinasti Sung berdiri dengan kokohnya, gangguan dari bangsa yang oleh rakyat Cina dlsebut "bangsa liar" banyak berkurang. Gangguan yang masih ada hanya datang dari bahgsa Tartar yang mendirikan Liao (sekarang Mancuria), dan juga dari bangsa Hsia Hsia di Barat Laut.

Kebesaran Dinasti Sung yang dapat mempersatukan seluruh Cina itu hanya bertahan satu setengah abad lamanya. Kemakmuran dan gangguan keamanan, yang hanya sedikit itu membuat Kaisar Hui Tsung lengah. Jerih payah yang dilakukan Kaisar Sung Thai Cu itu akhirnya kandas dalam tahun 1121. Kaisar Hui Tsung lengah, tidak begitu memperhatikan ketika tetangganya yang berada di utara, yaltu kerajaan Liao, telah diserbu dan dikuasai oleh bangsa Kin yang kuat. Setelah Bangsa Kin menguasai kerajaan Liao (Mancuria), mereka menghimpun kekuatan besar sekali dan menyerbu kerajaan Sung. Bala tentara Sung mengadakan perlawanan hebat, namun akhirnya mereka dikalahkan dan seluruh wilayah Sung bagian utara telah dikuasai bangsa Kin. Kaisar Hui Tsung bahkan ditawan oleh pasukan Kin.

Pemerintah Sung lalu melarikan diri ke selatan dan kota raja pindah ke Lin-an (sekarang Hang-chow). Karena kepindahan ini, maka Dinasti ini juga disebut Sung Selatan.

Wilayah Dinasti Sung Selatan ini berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce dan karena tanah di daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan tanah di utara, maka kerajaan Sung Selatan ini tidaklah dapat dikatakan mundur dalam hal kesejahteraan.

Kisah ini terjadi pada jaman Dinasti Sung Selatan dan yang menjadi kaisarpun pada waktu itu adalah Kaisar Kao Tsung, seorang keponakan dari Kaisar Hui Tsung yang ditawan oleh suku bangsa Khitan dari Kerajaan Kin. Kaisar Kao Tsung bertekad untuk membalas dendam dan melakukan perang terhadap Bangsa Tartar Khitan yang telah menguasai daerah utara Sungai Yang-ce. Kaisar Kao Tsung menghimpun kekuatan, mengumumkan dan mengundang para muda untuk masuk menjadi tentara dan ikut berjuang mengusir bangsa liar yang menguasai tanah air bagian utara itu.

Demikianlah sekilas tentang keadaan Dinasti Sung Selatan. Jatuhnya daerah utara dan kota raja yang tadinya menja-di pusat kerajaan Sung, yaitu kota raja Tiang-an atau Kaifeng, terjadi dalam tahun 1121 M.

* * *

Di lembah Sungai Yang-ce sebelah selatan, terdapat sebuah kota kecil Cin-koan. Kota kecil ini cukup ramai karena merupakan persinggahan para pedagang yang mengangkut barang dagangan mereka melalui Sungai Yang-ce. Daerah itu terkenal dengan rempa-rempanya. Banyak pedagang datang ke kota Cin-koan untuk membeli rempa-rempa dan ada pula yang datang membawa dagangan ke kota itu berupa bahan pakaian dan segala macam keperluan lagi. Tidak mengherankan kalau kota Cin-koan berkembang rnenjadi kota yang ramai dan mulailah rumah penginapan dan rumah makan bermunculan untuk menampung para pendatang dan pedagang yang setiap hari memenuhi kota Cin-koan. Dan tidak aneh pula kalau bermunculan pula tempat-tempat hiburan seperti rurnah perjudian dan rumah pelacuran. Para pedagang yang berada jauh darl rumah dan yang memperoleh banyak keuntungan itu haus akan pelesiran dan mereka biasa membuang uang secara royal.

Kasih Diantara Remaja Eps 7 Kisah Sepasang Naga Eps 7 Pedang Ular Merah Eps 4

Cari Blog Ini