Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 6


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 6




Kwee-ciangkun dapat memaklumi ke-adaan sahabatnya. Demikianlah, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi lalu mohon ijin untuk mengundurkan diri dan berhenti dari jabatan mereka dengan alasan harus mencari puteri mereka yang hilang diculik orang. Permohonan berhenti Ini hanya sampai di tangan Jenderal Ciang Sun Bo yang berhak menangani urusan Ini. Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang itil adalah anak buah Perdana Menteri Chin Kui dan dia pernah bentrok dengan Si Tiong dan Liang Hong Yi karena dia tertarik oleh kecantikan Hong Yi. Dlu tidak berani mengganggu, suumi isteri itu karena mereka menjadl para pembantu Jenderal Gak Hul, Oleh karena itu membaca permohonan suami isteri itu untuk berhenti dari pekerjaan mereka, tentu saja dia segera menyetujui.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yl la-lu berkemas, menjuali harta miliknya lalu meninggalkan kpta raja. Mereka berdua merantau, mencari-cari puteri mereka. Akan tetapi penculik itu sama sekali ti-dak meninggalkan jejak sehingga mereka tidak tahu harus mencari ke mana. Dari ciri-ciri penculik itu seperti yang diceritakan oleh tukang kebun mereka kepada Kwee-clangkun, mereka mendengar keterangan dari orang-orang kang-ouw (su-ngai telaga, dunia persilatan) bahwa yang dimaksud itu mungkin seorang datuk yang bernama Ouw Kan dan berjuluk Toat-beng Coa-ong (Raja Lllar Pencabut Nyawa). Akan tetapl selama bertahun-tahun Inl datuk Itu hanya dlkenal ssbagai seorang yang datang darl Sln-klang dan riamanya amat terkenal dl utara, dl daerah yang klni dtduduki Kerajaan Kln. Karena itu Si Tiong dan Hong Yi pergl merantau ke utara, lalu ke Sin-kiang. Sampai hampir dua tahun mereka merantau dan mencarl-carl, akan tetapi semua usaha mereka sla-sia. Mereka tldak dapat me-nemukan datuk yang mereka curigai Itu, bahkan akhirnya di daerah Sin-kiang mereka mendengar bahwa datuk itu mung-kin sekali sudah tewas, walaupun tak se-orangpun dapat memastikan akan hal itu dan tidak ada pula yang tahu di mana kuburnya. Juga tidak ada orang yang da-pat mengatakan di mana adanya Bi Lan yang diculik itu.

Akhirnya setelah semua usaha mereka sia-sia, Si Tiong dan Hong Yi meng-hentikan usaha mereka mencari puterl mereka. Dengan kecewa dan duka mere-ka lalu membeli sebidang tanah di dekat See-ouw (Telaga Barat) dan hldup sebagai petani, mengasingkan diri dari dunla ramai. Mereka hidup sederhana. Sang Waktu akhirnya mengobati sakit hati dan kedukaan mereka. Mereka menerima nasib dan hidup sebagai petani, mendapatkan ketenterartian dan kedamaian di tempat yang sunyi dan indah itu. Penduduk sekitar telaga yang indah itu kadang melihat sepasang suami isteri ini menunggartg keledai mereka di sepanjang tepi telaga sambil menikmati pemandangan yang indah sekali dari 'tempat itu. Mereka hidup terasing dan jauh dari dusun, seperti dua orang pertapa. Bah-kan para penduduk dusun di sekitar tela-ga tidak pernah tahu bahwa sepasang suami isteri itu adalah bekas panglima dan telah memperoleh gelar bangsawan darl Kaisar Sung Kao Tsu!

* * *

Apa yang terjadi dengan Bi Lan? Mari kita ikuti perjalanan Ouw Kan datukr yang dikenal dengan julukan Toat-beng Coa-ong itu, yang berhasil membawa Bi Lan yang ditotok pingsan dan dipondongnya itu keluar pintu gerbang kota raja sebelah utara. Orang-orang yang melihatnya tentu menduga bahwa kakek itu memondong cucunya yang sedang tldur.

Setelah tiba jauh darl kota raja, Ouw Kan menurunkan Bi Lan dan membebaskan totokannya. Bi Lan yarig merasa tubuhnya kaku dan lemah, jatuh terduduk. Kini ia terbebas dari totokan, mampu bergerak dan mengeluarkan suara. Begitu ia dapat menggerakkan tangan kakinya, tanpa memperdulikan tubuhnya yang masih terasa lemah, ia sudah meloncat bangun.

"Kakek jahat, engkau telah membu-nuh nenek, pelayan dan tukang kebun ka-n"i! Aku harus niembalaskan kernattan mereka!" Setelah mengeluarkan suara bentakan ini, ia lalu menerjang dan menyerang kakek itu kalang kabut!

Akan tetapi apa artinya serangan se-orang anak berusia tujuh tahun? Biarpun Bi Lan sejak kecil telah digembleng dasar-dasar ilmu silat oleh ayah ibunya, na-mun tentu saja inenghadapi seorang datuk seperti Ouw Kan, kepandaiannya itu sama sekali tidak ada artinya. Sekali tangan kiri kakek itu menyambar, anak itu telah terpelanting dan terbanting roboh.

"Hemm, anak bandel! Kalau engkau tidak mau menaatiku dan berjalan sendiri dengan baik-baik, aku akan membuatmu tidak dapat bergerak seperti tadi kemudian aku akan menyeretmu!"

Bi Lan adalah seorang anak yang memiliki keberanian besar. Mendengar ancaman itu ia sama sekali tidak merasa takut, bahkan kini ia sudah bangkit dan dengan nekat ia inenyerang lagi! Ouw Kan menangkap lengan Bi Lan, akan tetapi anak itu cepat mendekatkan mukanya dan menggigit tangan kakek itu!

"Uhh'" Ouw Kan yang tidak mengira tergigit tangannya. Karena merasa nyeri dia lalu mengibaskan tangannya dan kembali Bi Lan terpelanting. Akan tetapi ia bangkit lagi, mukanya merah karena marah dan ia sama sekali tidak menangis,

"Kakek iblis! Kubunuh engkau!" teriaknya dan kembali ia menerjang.

Ouw Kan diam-diam merasa kagum akan kenekatan dan keberanian anak itu akan tetapi dia juga merasa terganggu. Kini dia menggerakkan tangan dan sekali jari tangannya menotok, Bi Lan roboh dengan tubuh lemas dan kaki tangan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat mengeluarkan suara dan lapun memaki maki.

"Kakek Jahat! Kakek Iblls! Muka jelek, hatimu lebih jelek lagi!"

"Hemm, engkau memang bandel dan keras kepala. Engkau mencari sakit sendiri. Disuruh berjalan sendiri baik-baik tidak mau, rasakan sekarang aku akan menyeretmu!"
Ouw Kan melepaskan pita rambut Bi Lan sehingga rambut yang panjang itu terurai lepas. Kemudian kakek itu menjambak rambut Bi Lan yang lebat dan hitam, lalu menyeret tubuh yang telentang itu di belakang.

Tentu saja Bi Lan merasa tersiksa sekali. Belakang kedua lengan dan kakinya, juga punggung dan pinggulnya, terasa sakit-sakit karena terseret dan terantuk batu-batu di jalan. Tubuh bagian belakang itu lecet-lecet, pakaiannya bagian belakang juga pecah-pecah. Rasa pe-dih menusuk tulang. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, tidak mau berteriak, tidak mengeluh. Hanya matanya yang menjadi basah dan alr mata turun ke atas kedua pipinya.

Setelah berjalan agak jauh, Ouw Kati merasa kesal juga harus menyeret tubuh anak itu. Sama tldak enaknya dengan memondong. Dia berhenti dan menoleh. Dilihatnya anak itu sama sekali tidak mengeluh, melainkan mengertakkan gigi dan kedua matanya mengeluarkan air mata namun sedikitpun tidak terdengar tangisnya. Anak yang luar biasa, pikirnya kagum. Bagian belakang tubuh anak itu sudah lecet-lecet berdarah, akan tetapl la tldak pernah mengeluh, dan sepasang mata yang jeli itu memandang ke-padanya penuh kemarahan!

"Nah, tidak enak bukan kalau kuseret? Apa sekarang engkau masih keras kepala dan tidak mau berjalan sendiri?"

Bi Lan adalah seorang anak yang pemberani dan keras hati, akan tetapi di samping itu ia juga seorang anak yang cerdlk bukan main. Pikirannya berjalan cepat. la sudah melihat untung ruginya. Kalau la berkeras tidak menaati perintah penculikya, ia akan tersiksa, terluka dan mungkin akan tewas. Kalau begitu, tentu ia tldak beri kesempatan lagi untuk membalas semua kejahatan yang telah dilakukan kakek itu. Sebaliknya kalau ia menaati, selain penyiksaan yang menghina itu tidak perlu ia rasakan, juga masih terbuka kesempatan baginya untuk membalas dan kalau mungkin membunuh kakek ini. Setelah pikiran secepat kllat ini bekerja, ia lalu mengatakan keputusan hatinya.

"Baik, aku akan berjalan sendiri." Ouw Kan tersenyum, merasa menang dan dia lalu membebaskan totokannya sehingga Bi Lan mampu bergerak kembali. Bi Lan maklum bahwa menyerang lagi dengan nekat akan sia-sia belaka. la harus menekan kemarahannya dan mena-han kesabarannya, menanti terbukanya kesempatan yang baik untuk membalas dendam. la bangkit dan merasa betapa bagian belakang tubuhnya nyerl sekall, panas dan pedih sehingga tak tertahankan lagi la menyeringai kesakltan.

Melihat inl, Ouw Kan yang merasa kagum dan suka mellhat anak perempuan yang pemberanl dan tahan uji itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari sakunya.

"Menghadaplah ke sana, akan kuobati lecet-lecet itu!"'

Bi Lan tidak membantah, lalu berdirl membelakangi kakek itu. Ouw Kan membuka bungkusan yang terisi obat bubuk berwarna kuning. Dia menaburkan bubuk kuning itu pada luka-luka di bagian be-lakang tubuh Bi Lan. Anak itu merasa betapa panas dan pedih di tubuhnya se-gera hUang terganti rasa dingin dan nyaman.

"Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita." kata Ouw Kan. Dia melangkah dan Bi Lan berjalan di sampingnya. Setelah berjalan tanpa bicara beberapa lamanya, Bi Lan lalu bertanya, mengatur agar kemarahan tidak muncul dalam suaranya.

"Engkau ini siapakah, Kek?"

Ouw Kan tersenyum dan mengelus jenggot putihnya yang lebat. Dari suaranya, anak ini sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Sungguh seorang anak yang luar biasa!

"Hemm, mau tahu slapa aku? Aku bukan orang biasa saja. Namaku Ouw Kan, akan tetapi dunia persilatan mengenal aku sebagai Toat-beng Coa-ong!"

"Pantas tongkatmu ular kering!" kata Bl Lan sambll memandang ke arah tongkat yang kinl dipegang tangan kanan kakek itu.

"Ha-ha, engkau cerdlk. Siapa nama-mu?"

"Namaku Han Bi Lan, kek."

"Han Bi Lan? Nama yang bagus." Ouw Kan mengangguk-angguk. Datuk Ini adalah seorang yang berwatak aneh dan terkenal kejam sekali. Dia dapat membunuhi orang tanpa berkedipi Akan tetapi, betapapun jahatnya, ada juga saatnya dia bersikap seperti seorang manusia biasa yang dapat tertarik dan merasa suka kepada seseorang seperti sekarang dia merasa suka sekali kepatfa anak perempuan yang dlcullknya ini. Sikap Bl Lan yang pemberanl Itu membuat dia kagum dan suka.

"Akan tetapi, kek. Engkau yang tidak mengenal aku, kenapa sekarang menculikku? Dan nenek Lu-ma, pembantu rumah tangga dan tukang kebun kami, apa kesalahan mereka terhadapmu? Kenapa mereka kau bunuh?"

Dihujani pertanyaan ini, Ouw Kan tertawa. Dia adalah seorang manusia yang tak pernah menyadari akan kesalahannya. Dia percaya bahwa segala yang dia lakukan adalah benar, tidak jahat, karena semua perbuatannya itu ada alasannya! Nafsu daya rendah memang menjadlkan hati akal pikiran sebagai sarang-nya dan melalui hati akal pikiran inilah nafsu setan membisikkan alasan-alasan untuk membenarkan segala perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran. Setan itu cerdik bukan main. Dia niembela se-mua perbuatan sesat dengan alasan-alas-an yang tampaknya masuk akal dan benar!

"Hemm, engkau ingin tahu mengapa aku melakukan penculikan dan pembunuhan itu, Bl Lan? Semua Itu untuk menghukum dosa yang dllakukan ayah ibumu? Mereka telah membunuh Pangeran Cu Sl dalam pertempuran, maka Sribaginda Raja Kin lalu menyuruh aku untuk membalas dendam kematian puteranya."

"Akan tetapi, kenapa aku yang kau culik dan mereka yang kau bunuh? Kami tidak mempunyai kesalahan apapun!" Bi Lan membantah.

"Kalau ayah ibumu berada di rumah, tentu mereka yang akan kubunuh. Akan tetapi mereka tidak berada di rumah. Yang ada hanya engkau puteri mereka dan orang-orang itu. Maka engkau yang kuculik dan mereka kubunuh sebagai pembalasan atas kematian Pangeran Cu Si."

Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda datang dari belakang. Ouw Kan berhenti melangkah dan menengok. Bi Lan juga memutar tubuh. Mereka melihat seorang laki-laki menunggang kuda datang dari arah belakang. Ouw Kan lalu berdiri di tengah jalan menghadang dan mengangkat tangan kiri ke atas sebagai tanda menghentikan penunggang kuda itu. Kuda dihentikan, debu mengepul dan laki-laki itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Dia seorang laki-laki kurang lebih empat puluh tahun dan me-lihat sebatang golok yang terselip di punggungnya dapat diduga bahwa dia se-orang yang siap menghadapi gangguan dengan kekerasan. Seorang tokoh kang-ouw yang mengandalkan ilmu silatnya untuk membela diri. Mukanya bulat, tubuhnya kokoh dan sinar matanya mencorong.

Alisnya berkerut ketika ia memandang kakek yang menghentikannya di tengah jalan itu.

"Paman tua, ada keperluan apakah engkau menghadang perjalananku?" tanya laki-laki itu sambil memandang kepada Bi Lan yang berdiri di tepi jalan.

"Apakah ada sesuatu yang perlu kubantu?"

"He-he, memang ada yang perlu Kau-bantu, sobat. Aku sudah tua dan cucuku ini masih kecil. Kami membutuhkan kudamu untuk melanjutkan perjalanan kami. Maka, engkau lanjutkan perjatanan dengan jalan kaki dan tinggalkan kudamu untuk kami pakai." kata Ouw Kan dengan senyum.

"Dia bohong! Aku bukan cucunya. Dia bukan kakekku, dia menculikku!" tiba-tiba Bi Lan berteriak. la melihat sikap gagah laki-laki itu dan mengharapkan pertolongan darinya.

Laki-laki itu mengerutkan alisnya semakin dalam dan memandang kepada Ouw Kan dengan tajam penuh selidik.

"Ehh? Benarkah itu, paman tua?"

Sikap lembut Ouw Kan lenyap, ter-ganti pandang mata mencorong dan sua-ranya juga ketus.

"Jangan mencampuri urusanku. Berikan saja kudamu itu kepadaku!"

"Hemm, engkau sudah menculik seorang anak perempuan dan kini hendak merampas kudaku? Orang tua, jangan engkau berani main-main di depanku! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah orang yang disebut Hui-liong Sin-to (Go-lok Sakti Naga Terbang)! Minggirlah dan jangan ganggu. aku lagi dan biarkan aku mengantarkan anak ini kembali ke orang tuanya. Barulah aku mau mengampunimu!"

"Heh-heh-heh, kalau begitu terpaksa gku harus membunuhmu!" kata Ouw Kan tertawa sambil menggerakkan tongkat ularnya. Tongkat itu meluncur ke arah dada laki-laki itu. Akan tetapi orang yang mengaku berjuluk Hui-liong Sin-to itu dengan tangkas dan gesitnya mengelak ke belakang dan sekali tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan sebatang golok yang amat tajam telah berada dl tangan kanannya.

Ouw Kan tidak perduli. Serangan pertamanya yang dapat dihindarkan lawan itu membuatnya penasaran dan diapun menyerang lagi. Kini tongkat ular kobra itu membuat gerakan melayang dan melingkar-lingkar menyerang ke arah titik-titik jalan darah maut di bagian tubuh lawannya. Hui-llong Sin-to terkeJut bukan main, mengenal serangan yang amat berbahaya. Dia cepat memutar goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan maksud untuk mematahkan tongkat ular kobra kering itu.

"Tranggg.....!!'' Tampak bunga apl berpijar dan bukan tongkat ular itu yang patah, melainkan golok itu terpental dan hampir saja terlepas dari tangan pemegangnya. Laki-laki itu terkejut bukan main. Dia adalah seorang ahli silat yang kenamaan dan tergolong jagoan sehingga memperoleh julukan Golok Sakti Naga Terbang. Goloknya amat terkenal dan jarang menemukan tanding. Akan tetapi sekali ini berhadapan dengan seorang kakek, tongkat ular kering kakek itu dapat membuat goloknya terpental! Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan sakti. Akan tetapi dia tidak mendapat kesempatan untuk berpikir karena tongkat yang sudah berubah menjadi gulungan sinar hitam itu sudah menyambar lagi ke arahnya.

Hui-Liong Sin-To terpaksa menangkis lagi sambil terhuyung ke belakang. Ouw Kan menggerakkan tangan kirinya, dengan telapak tangannya dia mendorong ke arah dada lawan.

"Robohlah!" bentaknya.

Serangkum tenaga dahsyat menyambar dan tubuh orang itu terpental ke belakang dan terbanting roboh. Goloknya terlepas darl tangannya dan tubuh itu terkulal lemas. Matanya terbelalak memandang Ouw Kan yang berdiri sambil tersenyum mengejek. Telunjuk tangan kanannya diangkat menuding dan mulutnya yang mengeluarkan darah segar bertanya,

"Siapa.... siapa..... engkau.....?"

"Toat-beng Coa-ong Ouw Kan namaku!" kata Ouw Kan. Orang Itu tampak terkejut sekali. ,

"Toat-beng Coa-ong.....? Ahhhh .... mati aku.....!" Dia terkulai lagi dan diam tak bergerak, tewas seketika karena pukulan Ouw Kan tadi mengandung hawa beracun yang amat dahsyat.

Bi Lan menonton dengan mata terbelalak dan hati merasa ngeri. Kini sadarlah anak ini bahwa penculiknya adalah seorang yang sakti dan berbahaya sekali. Tahulah ia bahwa ia tidak mungkin akan dapat terlepas darl cengkeraman kakek ini mempergunakan kekerasan. la menahan kebenciannya yang makin mendalam melihat betapa kakek itu demikian mudahnya membunuh orang, hanya untuk merampas kudanya.

Ouw Kan menghampiri Bi Lan dan tersenyum, lalu berkata dengan nada bangga.

"Hah, orang macam itu berani melawan aku! Mencari mampus sendiri. Hayo, Bi Lan, kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda."

Bi Lan tldak membantah ketika ia diangkat dan didudukkan di atas punggung kuda. Kemudian kakek itu melompat dan duduk di belakangnya. Kuda dilarikan meninggalkan tempat itu. Bi Lan menoleh memandang ke arah pemilik kuda yang menggeletak tanpa nyawa di atas tanah dan ia mulai merasa ngeri.

"Bi Lan, kalau engkau bertemu orang mengatakan bahwa aku menculikmu lalu orang itu menantangku, dia tentu akan mati di tanganku dan engkaulah yang menyebabkan kematiannya itu," kata Ouw Kan.

Bl Lan merasa ngerl, Kakek inl lihal bukan maln dan ia tahu bahwa ucapen kakek itu bukan sekedar gertak kosong belaka.

"Habls, apa yang harua kukatakan kepada orang? Engkau memang menculikku." Jawabnya.

"Engkau akan membawaku ke mana, kek? Apa yang akan kaulakukan denganku? Kalau engkau hendak membunuhku, kenapa tldak kaulakukan sekarang?"

"Heh-heh, aku suka melihatmu dan sayang kalau engkau dibunuh, Bl Lan. Aku akan membawamu ke utara dan menyerahkanmu kepada Sribaginda Raja Kin yang kematian puteranya. Terserah kepadanya apa yang akan dilakukannya terhadap dirimu."

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa khawatir sekali. Raja Kin itu mendedam sakit hati kepada ayah ibunya yang telah membunuh puteranya dalam perang. Kalau ia terjatuh ke tangan raja itu, tentu akan celaka hidupnya. Raja itu tentu akan melampiaskan dendamnya. Mungkin ia akan dibunuh, atau disiksa. Atau la akan disandera dan dijadikan umpan untuk memancing datangnya ayah ibunya! Ah, gawat sekali kalau begitu. Akan tetapi ia diam saja.

Siang hari itu panasnya bukan main. Ouw Kan menghentikan kudanya dan mereka turun dari atas punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya pada sebatang pohon, Ouw Kan mengajak Bl Lan duduk dl bawah pohon yang teduh. Jalan pegunungan itu sunyi sekali.

"Perutku lapar, kita makan dulu." katanya dan dia mengeluarkan ssebuah bungkusan yang berisi roti kering dan daging kering.

"Kita makan seadanya dan minum anggur ini." Ternyata kakek itu membawa seguci anggur.

"Aku tidak suka minum anggur. Di sana ada alr, aku ingln minum air." kata Bi Lan, menunjuk ke arah alr yang mengucur darl celah-celah batu padas.

Karena ia tidak Ingin kelaparan dan, kehabisan tenaga, Bl Lan makan rotl dan daglng kerlng, dan mlnum alr yang ditampung dengan kedua tangannya. Ouw Kan "endlrl makan rotl dan daging kerlng lalu la minum anggur sampai habls setengah guci.

Dalam. keadaan hampir mabuk dia lalu merebahkan diri di atas rumput dl bawah pohon Itu dan sebentar saja dia sudah tldur mendengkur!

Bi Lan duduk dl rumput dan memandang kakek Itu dengan Jantung berdebar. Inilah aaatnya, piklrnya. Saat yang memberl kesempatan kepadanya untuk meloloskan diri, untuk melarlkan diri! la menanti sampai dengkur kakek itu terdengar teratur dan panjang-panjang, tanda bahwa tidurnya sudah pulas benar. la bangkit berdirl, perlahan-lahan sambil terus mengamati kakek itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa kakek itu memperhatikannya. la memutar tubuhnya, kemu-dian berjingkat rnelangkah meninggalkan tempat itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan yang taktam-pak sehingga ia terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk di tempatnya yang tadi! la memutar tubuh melihat betapa kakek itu masih mendengkur! Bi Lan menjadi penasaran sekali. Kembali ia bangkit berdiri dengan hati-hati dan kini ia melangkah meninggalkan tempat itu sambil mundur, matanya tetap memandang ke arah kakek yang masih tidur mendengkur.

Setelah mundur belasan langkah, la melihat kakek yang masih mendengkur itu tlba-tiba menggerakkan tangan ke arahnya dan .... kembali ada tenaga yang amat kuat menariknya ke depan. Betapapun ia berusaha untuk bertahan, tetap saja tubuhnya tertarlk kembali ke depan dan ia jatuh terduduk di tempatnya yang tadi, tak jauh dari tubuh kakek yang rebah telentang dan tidur mendengkur itu!

Hati Bi Lan menjadi gemas sekali. Mengertilah ia bahwa kakek sakti itulah yang membuat tubuhnya selalu tertarik kembali. Entah bagaimana, dalam keadaan tidur mendengkur kakek itu mampu mencegahnya melarikan diri! Kemarahan membakar hatinya. Sekaranglah kesempatan itu terbuka baginya. Makin lama ia akan semakin jauh di daerah utara dan akan makin kecilah harapan untuk dapat meloloskan diri. Kalau kakeK ini, biarpun dalam tidur, dapat menghalanginya melarikan diri, satu-satunya jalan harus membunuhnya lebih dulu! Bi Lan menjadi nekat. Di dekatnya terdapat seborgkah batu sebesar kepalanya. la mengambil. batu itu dan mengangkatnya dengan ke-dua tangannya. Lalu ia menghampiri Ouw Kan. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia membanting batu itu, menimpakannya ke arah muka Ouw Kan yang tidur telentang di atas rumput!

"Wuuuttt.... bukkkk!" sungguh aneh. Dia masih mendengkur, akan tetapi ketika batu itu menlmpa, kepalanya bergerak ke samping sehingga batu itu menghantam tanah, tidak mengenai mukanya! Bi Lan menjadi penasaran sekali. Diambilnya lagi batu itu dan ditimpakan lagi ke arah muka. Namun, sampai tiga kali ia mengulang, tetap saja hantamannya itu tidak pernah mengenai muka kakek itu. Bi Lan menjadi penasaran sekali dan untuk ke empat kalinya ia menimpakan batu itu sekuat tenaga ke atas dada Ouw Kan! Sekali ini kakek itu tidak dapat mengelak dan batu itu tepat menehantam dadanya.

"Bukkk....!!" Bi Lan terpental sampai tiga meter, seperti dilontarkan tenaga yang amat kuat dan batu itu terlepas dan kedua tangannya, terpental lebih jauh lagi. Tubuh Bi Lan terbanting keras ke atas tanah sehingga pinggulnya terasa nyeri.

Ouw Kan bangkit duduk, menggosok-gosok kedua matanya seperti orang baru bangun tidur, memandang kepada Bi Lan. lalu bangkit berdiri. Bi Lan juga bangkit berdin walaupun pinggulnya terasa nyeri. la maklum bahwa ia tidak mungkin dapat terbebas dari kakek ini. Kesempatan baik tadi telah ia pergunakan, akan tetapi ternyata kakek itu seorang yang amat sakti. Sedang dalam keadaan tidur saja kakek itu dapat menggagalkan usahanya menyferang untuk membebaskan diri, apalagi dalam keadaan sadar. Dan ia dapat membayangkan betapa ngeri nasibnya kalau terjatuh ke dalam tangan Raja Kin yang mendendam kepada ayah ibunya.

"Tidak! Aku tidak mau kaubawa lagi! Biar kaubunuh aku, aku tetap tidak mau ikut denganmu!" teriak Bi Lan dengan nekat.

Ouw Kan tertawa bergelak. Dia merasa semakin suka kepada anak yang pemberani, nekat dan tidak takut mati ini.

"Ha-ha-ha, Bi Lan. Apa kaukira engkau akan dapat menolak kalau aku membawamu pergi?" Dia lalu berkemak-kemik membaca mantera dan mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu berkata dengan suara yang lembut namun mengandung wibawa yang kuat sekali.

"Bi Lan, anak baik! Ke sinilah, engkau harus patuh dan ikut denganku, ke manapun kubawa engkau pergi!"

Ada sesuatu yang teramat kuat mendorong Bi Lan, baik mendorong hatinya dan kedua kakinya sehingga ia melangkah maju, menghampiri kakek itu. Akan tetapi baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara tawa yang nyaring dan tiba-tiba saja kekuatan yang mendorong Bi Lan itu lenyap.

"Tidak, tidak!" Bi Lari berhenti dan menggeleng kepalanya.

"Aku tidak sudi ikut denganmu. Engkau kakek jahat, telah membunuh nenek, pelayan dan tukang kebun kami. Aku benci padamut"

Ouw Kan merasa terkejut sekali melihat betapa pengaruh sihirnya atas diri anak itu punah. Dia tahu bahwa suara tawa tadilah yang memunahkan kekuatan sihirnya. Dia merasakan getaran hebat terkandung dalam suara tawa itu.

"Omitohud! Toat-beng Coa-ong Ouw Kan di mana-mana mendatangkan kekacauan belaka. Anak sekecil inipun hendak dipaksanya. Uih, sungguh mernalukan sekali seorang datuk besar sampai dimakl-maki anak kecil!"

Ouw Kan cepat memutar tubuh ke kanan dan dia melihat kakek itu! Seo-rang kakek yang berusia sekitar enam puluh tahun, berjubah kuning dengan kotak kotak merah, kepalanya gundul mengenakan peci kain kuning. Tubuhnya tinggi besar berperut gendut dan bajunya tidak terkancing sehingga dadanya tampak. Mukanya bulat dan semua anggauta tu-buh kakek ini tampak kebulat-bulatan. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat panjang berkepala naga. Tentu saja Ouw Kan menjadi terkejut dan juga marah sekali. Baru beberapa bulan dia bertemu dengan kakek ini yang bukan lain adalah Jit Kong Lama, pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti itu. Pernah dia dan Ali Ahmed datuk suku Hui itu berhadapan dengan Jit Kong Lama dan memperebutkan kitab-kitab yang dibawa Tlong Lee Cin-jin dan dia bersama Ali Ahmed kalah melawan kakek gundul dari Tibet Inl.

"Jit Kong Lama!" Ouw Kan membentak marah.

"Tidak malukah engkau sebagai seorang datuk besar hendak mencampuri urusan orang lain? Urusanku dengan anak ini sama sekali tidak ada sangkui pautnya dengan dirimu, karena itu pergilah dan jangan mengganggu kami!"

"Ha-ha-ha! Ouw Kan, pinceng (aku) tidak sudi mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi pinceng ingin inencampuri urusan anak ini. Kalau ia memang suka kaubawa pergi, pinceng tidak akan peduli. Akan tetapi kalau ia tidak mau kau bawa pergi, setelah ada pinceng di sini, engkau tidak boleh memaksanya."

Mendengar ucapan hwesio gundul berjubah aneh itu, Bi Lan cepat berkata dengan lantang.

"Losuhu yang baik, dia itu orang jahat sekali!" Telunjuknya menuding ke arah muka Ouw Kan.

"Aku tidak sudi ikut dengan dial" .
Jit Kong Lama tertawa lagi.

"Ha-ha-ha, Ouw Kan, engkau sudah mendengar sendiri dengan jelas! Anak Ini tidak mau ikut denganmu, maka pergilah tinggalkan ia dan jangan menggunakan paksaan

Ouw Kan menjadi marah bukan main. la amat membutuhkan diri Bi Lan untuk dijadikan bukti keberhasilan tugasnya kepada Raja Kin. Dia tidak berhasil membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, sekarang harus gagal lagi menculik anak mereka. Membunuhi nenek dan dua pela-yan itu, tentu saja tidak ada artinya bagi pembalasan dendam kematian Pangeran Cu Si. Akan tetapi diapun bukan seorang bodoh. Baru beberapa bulan yang lalu, bersama Ali Ahmed sekalipun mere-ka tidak mampu menandingi Jit Kong Lama. Apalagi sekarang harus melawan seorang diri! Dia tidak sebodoh itu untuk mencari penyakit melawan orang yang jauh lebih, kuat dari padanya.

"Anak ini aku yang membawanya sampai di sirai. Kalau ia tidak mau ikut, biar ia mampus saja!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali tubuhnya sudah melompat ke arah Bi Lan dan tongkat ular kobra itu meluncur ke arah kepala anak perempuan itu.

"Trakkk!" tongkat itu bertemU ujung tongkat naga di tangan Jit Kong Lama sehingga terpental dan tubuh Ouw Kan agak terhuyung ketika ia terdorong ke belakang.

"Omitohud! Apa kaukira pinceng ini patung? Anak ini tidak sudi kau bawa, apalagi kaubunuh! Karena ia tidak mau, pinccng harus membelanya!" Jit Kong Lama melintangkan tongkat kepala naga di depan dadanya.

Ouw Kan memandang dengan mata berapi, akan tetapi dia menahan diri dan tidak berani menyerang.

"Jit Kong Lama, sekali ini aku mengalah kepadamu. Akan tetapi ingatlah bahwa aku bertugas sebagai utusan Sribaginda Raja Kin dan campur tanganmu ini berarti engkau telah berdosa terhadap KeraJaan Kin!"
"Ha-ha-ha, ancamanmu itu tidak ada artinya bagi pinceng. Pinceng bukan warga negara Kin, maka pinceng tidak berdosa kepada kerajaan manapun!"

Setelah melotot kepada pendeta Lama dan Bi Lan, Ouw Kan lalu memutar tubuhnya, berlari ke arah kuda yang dltam-batkan pada batang pohon, melepas kendali kuda lalu melompat ke atas punggung binatang itu dan cepat meninggalkan tempat itu.

Kini pendeta Lama itu berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Mereka saling pandang dan memperhatikan. Sebagai anak Cerdik Bi Lan tahu bahwa kakek gundul ini telah menolongnya dan ia harus berterima kasih kepadanya. Maka iapun maju menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Jit Kong Lama.

"Losuhu telah menolong saya dan membebaskan saya dari tangan pembunuh dan penculik itu. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada losuhu."

Jit Kong Hwesio membungkuk dan menggunakan tangan kirinya untuk meraba-raba dan menekan-nekan kepala, kedua pundak dan punggung Bi Lan. Anak itu merasa heran dan tidak enak diraba-raba seperti ku, akan tetsipi ia diam saja.

"Bangkitlah, anak baik. Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"

Bi Lan bangkit berdiri.

"Saya bernama Han Bi Lan dan tempat tinggal saya dl kota raja Hang-chou."

"Omitohud! Begitu jauhnya dia membawamu? Dari Hang-chou ke sini? Wah, perjalanan dari sini ke Hang-chou dengan berjalan kaki akan makan waktu puluhan hari! Bagaimana engkau akan dapat pulang sendiri, Bi Lan? Di dalam perjalanan sejauh itu, engkau tentu akan bertemu banyak orang jahat. Engkau mungil dan cantik, tentu banyak orang jahat tidak akan melepaskanmu begitu saja."

Mendengar ini, kembali Bi Lan menjatuhkap dirinya berlutut.

"Lo-suhu, mohon losuhu jangan kepalang menolong saya. Kalau losuhu sudi menolong saya mengantarkan saya pulang ke Hang-chou, pasti saya akan sampai di rumah dengan selamat dan kedua orang tua saya tentu akan berterima kasih sekali kepada losuhu." Bi Lan belum mau menyebutkan nama ayah dan ibunya, karena la beluin mengenal slapa sebenarnya kakek Inl dan la tldak tahu apakah kakek ini tidak memusuhl ayah Ibunya.

"Omltohud...... untuk melindungimu engkau harus menjadi muridku dan pinceng melihat engkau bertulang baik, pantas menjadi muridku....."

"Teecu suka menjadi murid suhu!" Cepat Bi Lan menyambar tawaran ini.

"Omitohud! Tidak ringan syaratnya untuk menjadi muridku, Bi Lan. Sampai hari ini pinceng belum pernah menerinia murid dan kalau engkau memang berjodoh menjadi muridku, engkau harus memenuhi syarat itu."

"Apakah syarat itu, suhu? Teecu (murid) tentu akan bersedia untuk memenuhl-nya!" kata Bi Lan dengan penuh semangat.

"Ada dua syarat yang harus kaupenuhi. Pertama, engkau harus mengikuti aku selama sepuluh tahun dan selama itu engkau tidak boleh pergi ke manapun juga, tidak boleh pulang ke rumah orang tuamu. Dan syarat ke dua, setelah sepuluh tahun menjadi muridku, engkau boleh pergi dan pulang kepada orang tuamu, akan tetapi engkau harus mencari sampai ketemu dan membunuh seorang musuh besarku yang bernama Tiong Lee Cin jin. Nah, sanggupkah engkau memenuhi. kedua syarat itu?"

Bi Lan yang masih berlutut itu tertegun. Syarat ke dua itu tidak perlu ia ragukan lagi. Siapapun musuh gurunya, sudah menjadi kewajibannya untuk menentang musuh besar gurunya. Akan tetapi syarat pertama itulah yang berat. la tadi mau menjadi murid Lama itu agar ia dapat cepat diantar pulang. Akan tetapi syarat itu menghendaki agar selama sepuluh tahun ia tidak boleh pulang ke rumah orang tuanya! la mempertimbangkan syarat itu. Kalau ia menolak, ia harus pulang sendiri, padahal Hang-chou begitu jauh, perjalanan begitu lama dan hampir dapat dipastikan ia akan celaka di tangan orang-orang jahat di sepanjang perjalanan jauh itu. Kalau ia menerinna, biarpun selama sepuluh tahun ia berpisah dari orang tuanya, akan tetapi setelah sepuluh tahun lewat, ia akan dapat bertemu kembali dengan mereka. Selain itu, ia akan mendapatkan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya.

"Hei, bagaimana ini? Kenapa diam saja? Kalau tidak mau, sudahlah, pinceng inau pergi."

"Mau, suhu, teecu mau dan sanggup!" teriak Bi Lan cepat

"Benarkati engkau sanggup? Kalau begitu, bersumpahlah, disaksikan Langit dan Bumi!"

Sejak kecil Bi Lan sudah diajar sastra oleh kedua. orang tuanya, maka ia pernah membaca tentang orang bersumpah. Sambil masih berlutut ia merangkap kedua tangan dan mengangkatnya ke atas, lalu bersumpah dengan suara lantang,

"Disaksikan Langit dan Bumi, saya Han Bi Lan bersumpah akan menjadi murid dari suhu ..... Jit Kong Lama...." Sampai di sini Bi Lan menoleh kepada kakek itu dan Jit Kong Lama menganggukkan kepala membenarkan.

".....saya akan menaati semua perintahnya, selama sepuluh tahun tidak akan meninggalkannya dan setelah tamat belajar saya akan pergl mencarl dan membunuh musuh besar suhu yang bernama Tiong Lee Cin-jin!"

Jlt Kong Lama tertawa dan mengangguk-angguk dengan gambira sekali. Tadi dia telah meraba dan menekan kepala dan tubuh anak itu dan dia mendapat kenyataan bahwa Bi Lan adalah seorang anak perempuan yang bertulang baik dan berbakat sekali. la akan menjadi seorang murld yang baik sekali. Watak datuk ini memang aneh. Dia tidak ingin tahu siapakah orang tua anak itu. Dia tidak peduli. Yang penting baginya adalah anak itu, bukan orang tuanya. Maka diapun tidak bertanya lagi siapa ayah ibu anak itu dan Bi Lan juga diam saja.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Mari kita pergi, Bi Lan." Jit Kong Lama menggandeng tangan anak itu dan dia berlari cepat sambil menggandeng. Bi Lan terkejut sekali. la merasa tubuh-nya seperti melayang karena kedua kakinya kadang tidak menginjak tanah. Saking cepatnya mereka meluncur, Bi Lan memejamkan kedua matanya, apa lagi kalau kakek itu membawanya melompatl jurang yang lebar dan dalam.

Jit Kong Lama tldak berani kembali ke Tlbet dan dia membawa Bi Lan ke sebuah di antara puncak-puncak yang terpencll di Pegunungan Kun-lun-san. Dusun-dusun kecil di sekitar tempat itu dihuni sedikit penduduk yang bekerja sebagai petani dan mereka menganggap Jit Kong Lama sebagai seorang pendeta yang bertapa di puncak itu, ditemani seorang murid perempuan. Jit Kong Lama dan Bi Lan hidup secara sederhana di puncak itu dan mulai hari itu dia menggembleng muridnya dengan tekun. Bi Lan juga berlatih dengan rajin sekali. Anak perempuan kecil itu sudah mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang pendekar wanita agar kelak, selain dapat membalas dendam gurunya terhadap musuh besarnya, juga ia ingin mencari Ouw Kan untuk membalaskan kematian neneknya, juga pelayan dan tukang kebun mereka. Cita-cita inilah yang membuat anak itu bertahan dan belajar dengan penuh semangat walaupun terkadang ia merasa rindu sekali kepada ayah ibunya,

* * *

Kalau tidak diperhatikan tidak dlrasakan, sang waktu melesat dengan amat cepatnya, lebih cepat daripada apapun Juga. Tanpa terasa, bertahun-tahun lewat seolah baru beberapa hari saja. Seorang tua yang mengenang masa kanak-kanaknya, merasa seolah masa itu baru iewat beberapa hari saja, padahal sudah puluhan tahun berlalu. Sebaliknya kalau diperhatikan dan dirasakan, sang waktu merayap lebih lambat daripada siput sehingga sehari rasanya seperti sebulan. Menanti? sesuatu atau seseorang yang terlambat satu jam saja rasanya seperti sudah terlambat sehari!

Demikianlah, tanpa terasa sepuluh tahun telah lewat sejak Souw Thian Liong mengikuti Tiong Lee Cin-jin sebagai murid pertapa yang sudah berkelana itu. Tiong Lee Cln-jin mengajak Thlan Liong pergi ke Puncak Pelangi, sebuah di antara banyak puncak di Pegunungan Gobi. Di puncak yang indah namun sunyi ini Tiong Lee Cln-Jin membangun sebuah pondok dari kayu dan barnbu yang sederhana namun kokoh kuat. Dlbantu Thlan Liong, dia membersihkan pondok itu dan bekerja mencangkul dengan tekun setiap hari sehingga beberapa bulan kemudian di depan dan kanan kiri pondok terdapat taman yang penuh tanaman bunga beraneka warna dan belakang pondok terdapat sebuah kebun yang luas. Dia menanam segala macam sayuran, pohon-pohon buah dan juga tanaman obat-obatan.

Tiga empat tahun kemudian, karena kebiasaan dan kesukaan Tiong Lee Cin-jin menolong dan mengobati penduduk dusun sekitar puncak itu yang menderita sakit, dan pengobatannya itu selalu berhasil menyembuhkan, maka dla dikenal sebagai Tabib Dewa! Kemudian berdatanganlah para penduduk membawa orang sakit ke Puncak Pelangi untuk minta obat kepada Tabib Dewa. Setelah dibutuhkan banyak orang, Tiong Lee Cin-jin menanam lebih banyak lagi tumbuh-tumbuhan yang mengandung ,obat.

Thian Liong digembleng ilmu silat setiap hari. Anak ini memang rajln sekali, bukan hanya rajin berlatih silat, melainkan juga rajin membantu suhunya sehingga diapun hafal akan semua jenis tanaman obat. Akhirnya Thian Liong juga mempelajari ilmu pengobatan dan suhunya yang bijaksana juga mengajarkan ilmu sastra kepadanya.

Demikianlah, setelah lewat sepuluh tahun, Thian Liong telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya putih karena sejak kecil tinggi di puncak bukit. Rambutnya hitam panjang dan lebat, alisnya berbentuk golok, matanya tajam mencorong namun bersinar lembut, hidungnya mancung dan mulut-nya selalu membayangkan senyum penuh pengertian dan kesabaran. Mukanya agak bulat namun dagunya runcing. Lang kahnya tenang dengan tubuh tegak. Pa-kaian dan sikapnya yang bersahaja dan rendah hati itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa pemuda ini seorang yang telah memiliki ilmu yang tinggi, yang membuat dia menjadi seorang sakti yang lihai sekall. Kerendahan hatinya itu wajar, sudah lahlr batin dan mendarah daglng, karena sudah meresap benar ke dalam Jiwanya nasihat gurunya yang beru-lang kali sejak dia pertama kali menjadi muridnya.

"Ingat selalu, Thian Liong. Kita manusia ini hanya merupakan seonggok darah daging dan tulang yang lemah dan tidak bisa apa-apa kalau tidak ada Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita. Karena itu ingatlah selalu bahwa apapun yang dapat kita lakukan dalam hidup ini, baik melalui pikiran, kata-kata dan perbuatan, semua itu hanya mungkin kare-na Kemurahan Tuhan. Tuhanlah yang Maha Kuasa, Maha Pintar, Maha Bisa, Maha Ada, dan Maha Segalanya sejak dahulu, sekarang, kelak dan selama-lamanya. Kita ini hanya menjadi alatNya. Maka ingatlah selalu agar engkau menjadi alat Tuhan yang baik, karena kalau tidak, besar bahayanya onggokan darah daging dan tulang ini akan diperalat oleh Iblis."

Nasihat ini sudah meresap dalam jiwa dan hati sanubari Thian Liong, maka dia selalu merasa bahwa dirinya tidak bisa apa-apa dan kalaupun ada yang dapat dia lakukan, hal itu dapat terjadi karena Kekuasaan Tuhan yang membimbingnya.

Thian Liong mendapat kemajuan pesat dalam ilmu, sastra karena gurunya memiliki banyak kitab kuno yang harus dibacanya sampai habis. Kitab pelajaran filsafat dan agama telah dibacanya semua dan sering kali Tiong Lee Cin-jin mengajak dia merenungkan dan mempelajari inti pelajaran kitab-kitab itu. Thian Liong tahu bahwa gurunya itu condong kepada To-kauw (Agama To) dan pandangan hidupnya banyak dipengaruhi filsafat dalam Kitab To-tek-keng. Akan tetapi gurunya juga tidak mengesampingkari ajaran-ajaran dari semua agama lain. Diambilnya ajaran-ajaran yang seirama, dan ini banyak sekali, dari agama-agama itu dan dikesampingkannya sedikit perbedaan yang ada mengenai sejarah, kepercayaan, dan upacara.

"Ketahuilah Thian Liong. Yang kita sebut Thian, Tuhan Yang Maha Kuasa itu mutlak Maha Ada dan Maha Benar. Kalau orang-oraog saling membicarakan dan mempertentangkan maka akan timbul bentrokan dan perselisihan. Hal ini terjadi karena mempertentangkan itu adalah hati akal pikiran kita yang sudah diperalat nafsu. Hati akal pikiran kita terlalu kecil sekali untuk dapat mengukur Keberadaan, Kebesaran, dan KebenaranNya. Hati-akal-pikiran hanya akan membentuk aku yang selalu minta dibenarkan, aku yang selalu merasa pintar, selalu merasa benar sendiri, paling mengerti. Si-aku yang sesungguhnya bukan lain adalah nafsu, kuasa iblis. Bagaimana mungkin kebenaran hendak diperebutkan? Memperebutkan kebenaran itu sendiri sudah jelas tidak benar! Semua agama mengajarkan manusia untuk hidup baik dan bermanfaat bagi dunia dan manusia dan semua agama itu benar adanya karena merupakan wahyu dari Tuhan untuk membimbing manusia agar tidak tersesatdan agar tidak melakukan kejahatan. Tentu saja ketika wahyu dlturunkan, manusia menerimanya disesualkan dengan jamannya, kebudayaan bangsanya pada waktu itu, dengan tradisinya dan segalanya. Hal ini tentu akan membuat wahyu-wahyu itu tampak berbeda pada lahirnya. Pakaiannya saja yang berbeda, bahasanya, dan setelah lewat ratusan atau ribuan tahun mungkin pula terjadi perubahan-perubahan dalam bahasa dan penafsirannya. Kenapa mesti dicari perbedaannya? Kenapa mesti dipertentangkan? Kenapa mesti membenarkan agama sendiri dan menyalahkan agama yang lain? Tuhan hanya satu. Bahkan satu dl antara jutaan ciptaanNya, yaitu matahari, manfaatnya untuk semua manusia di permukaan bumi, apalagt Tuhan sendiri! Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan semua manusia, tak perduli berbangsa atau beragama apapun, bahkan Tuhan semua mahluk, yang tampak maupun yang tidak tampak, yang bergerak maupun yang tidak bergerak! Lihatlah sebintik lumut. Begitu kecil tak berarti, namun Kekuasaan Tuhan berada dalam dirinya, karena itu ia hidup!"

"Suhu, semua itu telah dapat teecu mengerti. Yang membuat teecu masih belum jelas adalah ucapan suhu dahulu bahwa kita tidak akan dapat merasakan bekerjanya Kekuasaan Tuhan dengan jelas, tidak akan dapat mengerti kalau ? menggunakan hati akal pikiran kita. Lalu untuk mengerti kita harus bagaimana?"

"Hati akal pikiran itu hanya merupakan gudang penyimpan segala macam pengalaman. la hanya akan mengetahui dan rnengerti apa yang tersimpan dalam ingatannya saja. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa. Coba kau cari seorang yang belum pernah kau kenal, tidak kau ketahui namanya, tidak kauketahui di mana tinggalnya, dapatkah engkau? Tidak mungkin, bukan? Itu baru mencari seorang manu-sia! Apalagi mencari Tuhan dan KekuasaanNya! Bagaimana hati akal pikiran akan dapat menemukannya? Nah, karena itu hentikanlah mencari dengan hati akal pikiran, biarkan hening dan rohmu yang akan dapat berhubungan dengan Tuhan. Tuhan itu ROH adanya, bukan mahluk. Melihat kekuasaannya? Buka saja panca inderamu dan perhatikan sekelilingmu. Dl mana-mana di luar dirimu dan di dalam dirlmu, Kekuasaan itu tak pernah berhenti bekerja! Berkah itu terus mengalir tiada hentinya. Lihatlah betapa sebentar saja Kekuasaan itu, atau yang disebut To (Jalan) itu berhenti, akan musnalah alam semesta ini! Matamu dapat melihat, hidungmu dapat mencium, telingamu dapat mendengar, jantungmu berdetik, rambutmu tumbuh dan segalanya itu, pekerjaan siapakah? Dapatkah engkau menghentikan tumbuhnya sehelai saja dari rambut di tubuhmu?"

Percakapan seperti inilah yang membuat Thian Liong menjadi rendah hati menghadap Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam bimbingan KekuasaanNya.

Pada pagi hari itu, setelah melayani gurunya makan pagi dan telah selesai mencucl peralatan makan, Tiong Lee Cin jin memanggilnya. Suhunya sudah duduk di serambi depan pondok mereka, duduk di atas sebuah bangku bambu Tiong Lee Cin-Jin tampak termenung. Thian Liong menghampiri gurunya dan duduk dl atas bangku di depan kakek itu sambil memandang gurunya. Gurunya sekarang tampak segar dan sehat walaupun usia-nya sudah enam puluh tahun. Sepahang matanya tajam bersinar penuh wibawa, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Rambutnya sudah, dlhiasi uban, diikat dengan pita kuning. Pakaian-nya sederhana sekali, hanya kain kuning yang dilibatkan di tubuhnya. Wajah itu tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Thian Liong tahu bahwa ini adalah hasil dari ketenangan batin yang tak pernah dilanda permasalahan hidup. Bukan berarti bahwa gurunya tidak pernah menghadapi kesukaran-kesukaran hldup. Sama sekali bukan. Seperti ucapan guru-nya. Manusia hidup tak mungkin terbebas daripada masalah susah senang selama dia masih mempergunakan pikiran ! karena susah senang ini memang permainan pikiran. Apabila hati akal pikiran tidak bekerja, misalnya di waktu tidur, maka manusia tidak akan lagi merasakan susah atau senang. Gurunya sudah memiliki batin yang kokoh kuat, tenang dan seperti gunung karang, tidak tergoyahkan oleh hantaman gelombang suka dan duka. Gurunya menghadapi semua peristiwa yang menimpa dirinya sebagai suatu hal yang wajar saja sehingga da-pat menerimanya sambil tersenyum, tidak mempengaruhi perasaan batinnya. Tidak ada lagi rugi untung bagi Tiong Lee Cin-jin. Bahkan tidak ada lagi susah senang yang mengikuti batinnya. Semua keadaan diterima dengan tenang dan seperti gunung karang menerima gelombang, susah senang lewat begitu saja tanpa bekas.

"Suhu memanggil teccu?'" tanya Thian Liong.'

Tiong Lee Cin-jin memandang muridnya dengan sinar mata penuh sayang dan tersenyum. Ada kebanggaan sedikit memancar dari sinar matanya. Bagaimanapun juga, tentu saja kebanggaan dalam hati kakek itu. Selama sepuluh tahun dia menggembleng murid tunggalnya ini dan dia melihat kemajuan yang luar biasa pada diri muridnya ini. Harus dia akui bahwa dia sendiri di waktu muda tidak memiliki bakat sehebat muridnya ini. Dalam sepuluh tahun, Thian Liong hampir dapat menguasal semua ilmu yang diajarkannya dengan baik. Bukan hanya ilmu silat lahiriah, melainkan juga batiniah. Pemuda itu dapat menghimpun tenaga sakti yang amat kuat. Selain itu, juga batinnya kuat, pengetahuannya men-dalam mengenai soal kerohanian. Bagaimanapun juga, kebanggaan ini hanya terdorong oleh kepuasan hatinya melihat kemajuan muridnya, sama sekali tidak membuat dia menjadi sombong atau tinggi hati, lebih tepat sebagai perasaan bangga dan puas dari seseorang yang melihat hasil pekerjaannya berbuah baik dan memuaskan.

"Thian Liong, engkau tentu sudah dapat menduga apa maksudku memanggilmu. Kalau engkau lupa menghitung, aku ingatkan engkau bahwa telah sepuluh tahun engkau mempelajari ilmu dariku."

Thian Liong menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar. Tentu saja dia mengerti dan masih ingat akan ucapan gurunya dahulu bahwa gurunya akan membimbingnya mempelajari ilmu selama sepuluh tahun.

"Apakah suhu maksudkan bahwa waktunya telah tiba bagi teecu untuk berpisah dari suhu?" tanyanya dengan suara tenang dan sikap biasa saja.

Gurunya mengangguk-angguk.

"Benar, Thian Liong. Seperti pepatah dahulu mengatakan bahwa ada waktu berkumpul pasti akan tiba waktu berpisah. Tiada yang abadi di dunia ini dan perubahan memang perlu bagi kehidupan ini. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah, Thian Liong. Erigkau perlu untuk turun gunung dan mempraktekkan semua teori pelajaran yang pernah engkau terima dariku. Tanpa diamalkan, apa gunanya semua ilmu yang kaukuasai itu? Dan tanpa diamalkan, sia-sia sajalah engkau bersusah payah selama sepuluh tahun mempelajarinya, Selain itu, aku juga akan memberi beberapa tugas untuk itu."

"Teecu akan senantiasa menaati semua perintah suhu dan teecu akati selalu ingat akan semua nasehat suhu dan akan melaksanakannya dalam langkah kehidupan teecu. Tugas apakah yang hendak suhu berikan kepada teecu?"

"Tentu engkau masih ingat akan tugas hidupmu setelah engkau menguasai ilmu yang seiama sepuluh tahun ini kau pelajari dengan tekun di sini. Tugas seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, membela mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang kuat kuasa dan sewenang-wenang. Terutama sekali engkau jangan lupa untuk berbakti kepada bangsa dan kerajaan Sung, membantu kerajaan menghadapi kemurkaan bangsa Kin. Itu merupakan tugas umum bagimu yang dapat kaulaku-kan sepanjang hidupmu. Aku masih mem-punyai dua buah tugas untukmu. Pertama, ada beberapa bingkisan kitab yang harus kauserahkan kepada Ketua Kuil Siauw-lim-pai, Ketua Partai Kun-lun-pai, dan ketua partai Bu-tong-pai. Kitab-kitab itu ada hubungannya dengan ilmu silat mereka, untuk memperdalam dan mematangkan ilmu mereka. Kemudian, sisa kitab-kitab agama dan filsafat agar kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar Sung Kao Tsu. Dan yang terakhir, dan ini penting sekali, engkau harus berusaha untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh buruk Perdana Menteri Chin Kui".

"Apakah kesalahan Perdana Menterl Chin Kui maka teecu harus menentangnya, suhu?"

"Aku belum menceritakan kepadamu tentang Jenderal Gak Hui, patriot dan pahlawan sejati itu, Thian Liong. Ketahuilah, Jenderal Gak Hui berhasil membujuk Sribaginda Kaisar untuk memberi ijin kepadanya melakukan penyerbuan ke utara untuk merampas kembali daerah Sung yang telah dikuasai bangsa Kin. Sribaginda telah memberi ijinnya, dan Jenderal Gak Hui telah berhasil menyerbu ke utara dan menang dalam banyak pertempuran. Akan tetapi apa yang terjadi? Perdana Menteri Chin Kui membujuk Kaisar untuk memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan serbuan ke utara dan menarik mundur pasukannya!"

"Akan tetapi mengapa begitu, suhu?"

"Menurut berita rahasia yang sempat kudengar, agaknya antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kerajaan Kin terdapat persekutuan rahasia. Karena itulah maka perdana menteri yang khianat itu membujuk kaisar dan karena dia memiliki pengaruh yang amat besar maka kaisar berhasil dibujuknya.

"Akan tetapi apakah Jenderal Gak Hui mau menarik mundur pasukannya?" tanya Thian Liong penasaran.

"Jenderal Gak Hui adalah seorang pang lima yang amat setia dan jujur, maka apapun yang diperintahkan kaisar dia pasti tidak mau menolaknya. Dia mematuhi perintah kaisar dan menarik mundur pasukannya walaupun ditangisi rakyat yang tadinya daerahnya dibebaskan dari cengkeraman bangsa Kin. Tentu saja hal itu menghancurkan hati Jenderal Gak Hui sehingga dia tidak segera membawa kembali sebagian dari barisannya ke selatan, melainkan membuat perkemahan di perbatasan."

"Kasihan sekali rakyat yang ditinggalkan dan kasihan Jenderal Gak Hui." kata Thian Liong sambil menarik napas panjang.

"Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, suhu?"

"Kisah selanjutnya sungguh membuat hati menjadi terharu, Thian Liong. Setelah pasukan Jenderal Gak Hui ditarik mundur, pasukan kerajaan Kin melampiaskan dendamnya kepada rakyat yang tadinya menyambut pasukan Sung dengan gembira. Mereka dianggap membantu pasukan Sung dan setelah mereka ditinggalkan, pasukan Kin menghukum rakyat daerah yang telah dibebaskan kemudian ditinggalkan itu dengan kejam dan sewenang-wenang. Banyak rakyat tidak berdosa dibunuh. Para serdadu Kin mendapat kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka dengan alasan mereka menghajar musuh. Mereka merampok, memperkosa dan tidak ada kekejaman yang pantang mereka lakukan."

"Hemm, begitukah kiranya kalau nafsu sudah menguasai manusia, mengubah manusia menjadi lebih kejam daripada binatang buas yang tidak mempunyai akal pikiran."

"Benar, Thlan Liong. Ketika Jenderal Gak Hui mendengar laporan ini dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. ia lupa diri bahkan berani melupakan perintah kaisar yang melarangnya menyerbu ke utara. Dia sendiri memimpin pasukannya dan mengamuk, membasmi dan membunuh banyak sekali pasukan Kerajaan Kin."

"Sungguh seorang panglima yang mencinta bangsanya dan gagah perkasa." Thian Liong memuji dengan kagum.

"Memang begitulah. Akan tetapi akibatnya menyedihkan sekali, Thian Liong. Perdana Menteri Chin Kui menjadl marah sekali dan siap menghasut kaisar, mengatakan bahwa Jenderal Gak Hui telah menentang perintah kaisar, berarti telah memberontak dan pantas dihukum mati."

"Ah, suhu! Akan tetapi Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu tentu tidak mudah ditangkap. Selain gagah perkasa, diapun memiliki pasukan yang amat kuat dan setia, Juga didukung rakyat yang mencintanya." kata Thian Liong penuh harapan,

Gurunya menggeleng kepala dan meng hela napas panjang.

"Kenyataannya tidak demikian, Thlan Liong. Jenderal Gak Hui di waktu mudanya pernah disumpah oleh ibunya untuk bersetia sampai mati, kalau perlu berkorban nyawa. Karena itu, ketika Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Gak Hui, dia menerinianya dengan hati-rela dan menyerahkan diri walaupun para pendukungnya berusaha keras untuk mencegahnya. Bahkan kawan-kawannya terdekat yang bertekad hendak menyelamatkannya dari hukuman mati, bahkan dibentak dan dimarahi oleh Jenderal Gak Hui sebagai orang- orang yang tidak setia kepada kaisar! Demikianlah, panglima besar yang setia dan patriotik itu, panglima yang benar-benar seorang pahlawan, telah menemui kematiannya secara menyedihkan, menjadi korban kelicikan Perdana Menteri Chin Kui."

Thian Liong menghela napas panjang.

"Ahh, sekarang teecu mengerti mengapa suhu menugaskan teecu untuk menentang pembesar lalim itu dan menyelamatkan kerajaan dari tangannya yang kotor. Teecu akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas yang suhu berikan kepada teecu."

"Sekarang kauambillah peti dari kolong pembaringanku dan bawa peti itu ke sini." kata Tiong Lee Cin-jin. Thian Liong mengangguk lalu memasuki kamar gurunya dan membawa sebuah peti hitam diletakkan peti itu di depan gurunya.

Tiong Lee Cin-jin membuka peti kayu hitam itu. Ternyata peti itu berisi banyak kitab yang sudah tua. Dia mengeluarkan tiga buah kitab.

"Ini adalah sebuah kitab Sam-jong Cin keng berisi pelajaran dari Ji-lai-hud. Kitab ini harus kauserahkan kepada Ketua Siauw-lim-pai karena Kuil Siauw-lim yang berhak memiliki dan merawatnya, juga mempelajari isinya. Yang ke dua ini kitab Kiauw-ta Sin-na dan pelajaran ini sealiran dengan ilmu cengkeraman dari Bu-tong-pai, maka harus kauserahkan Ketua Bu-tong-pai. Yang ke tiga ini adalah kitab inti ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, agar kauserahkan Ketua Kun-lun-pai. Dan ini," kakek itu mengeluarkan sebatang pedang dan belasan buah kltab.

"Belasan kitab agama dan fllsafat ini harap kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar untuk menambah pelajaran akhlak para pejabat, sedangkan pedang ini, lihat nama pedang itu yang terukir di pangkalnya."

Thian Liong mencabut pedang itu. Pedang itu ternyata tumpul, tidak tajam dan tidak runcing! Terbuat dari baja yang berwarna putih gelap seperti kapur. Dia melihat tiga huruf yang terukir pada pangkal pedang itu dan memba-ca tiga huruf itu, mata Thian Liong terbelalak lebar karena keheranan. Dia membaca namanya sendiri di situ. Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit)! Mengapa pedang itu bernama presis seperti namanya? Dia menyarungkan pedang itu kembali dan memandang kepada gurunya dengan sinar mata mengandung pertanyaan.

Pedang Ular Merah Eps 3 Kisah Sepasang Naga Eps 2 Kasih Diantara Remaja Eps 7

Cari Blog Ini