Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 8


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




"Souw-sicu, apakah penjelasanmu tentang ini semua?"

Thian Liong menghela napas panjang.

"Saya tadi belum selesai bercerita, loclanpwe. Tadi ketika saya melakukan perjalanan dan tiba di jalan raya di lereng bukit sebelah bawah, saya melihat serombongan lima orang saudagar dlkawal belasan orang piauwsu sedang diganggu dua orang perampok. Dua orang perampok ttu lihai dan para piauwsu agaknya akan kalah dan terbunuh semua. Saya lalu membela mereka yang dlrampok dan pada saat itu muncul pula ae-or.ang gadls yang llhai, la Juga membantu para piauwsu dan menewaskan seorang di antara dua perampok itu. Perampok ke dua melarikan sekantung emas dan saya mengejarnya dan berhasil mengambil kembali kantung yang dibawanya lari. Ketika saya mengembalikan kantung emas itu kepada para saudagar, mereka lalu menyerahkan setengah isi kantung itu kepada kami berdua, yaitu saya dan nona itu. Setelah para saudagar dan rombongannya meninggalkan tempat itu, saya lalu mengubur mayat perampok yang terbunuh oleh gadis itu. Di antara kami terjadi perselisihan paham karena saya mencelanya yang telah membunuh perampok itu. la marah-marah dan pergl membawa separuh uang yang ditinggalkan saudagar, yang separuh lagi ia berikan kepada saya. Nah, ketika saya sibuk menggali lubang untuk mengubur jenazah itulah, saya lengah. Tahu-tahu kantung uang emas yang tadinya saya tolak itu telah berada dalam buntalan pakaian inl dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada di tumpukan paling atas, telah lenyap."

"Gadis Itu tentu cantik jelita, bukan?" Tiba-tiba Biauw In Suthai bertanya, nadanya mengejek.

"Memang ia cantik jelita dan usianya kurang lebih tujuh belas tahun," kata Thian Liong sejujurnya.

"Nah Itulah, laki-laki semua mata keranjang! Tentu mellhat gadis cantlk itu, dia tergila-gila dan untuk menyenangkan hatinya, dia memberikan kitab itu kepadanya. Suci, pemuda ini harus bertanggung jawab, dia harus mengembalikan kitab itu kepada kita!"

"Sumoi, tidak malukah engkau berkata seperti itu? Kitab itu memang millk Kun-lun-pai, akan tetapi telah ratusan tahun hilang dan kita tldak dapat menemukannya kembali. Tlong Lee Cin-jin berhasil mendapatkannya kembali dan hendak menyerahkan kepada kita. Souw-alcu kehilangan kitab itu, dlcuri oleh orang laln. Bagalmana kita dapat menimpakan tanggung jawab kepadanya untuk mengemballkan kitab itu kepada kita? Sudahlah, aku melarangmu bicara lagi"

Mendengar teguran keras dari Hui In Siankouw, Biauw In Suthai mengerutkan alishya dan mukanya menjadi buruk sekali karena ia cemberut.

"Suci terlalu membela laki-laki ini. Biar aku melapor kepada toa-suheng (kakak seperguruan pria tertua)!" Setelah berkata demikian, pendeta wanita yang galak itu lalu meninggalkan tempat itu untuk pergi ke asrama baglan putera di balik bukit.

Hui In Siarikouw menghela napas panjang.

"Souw-sicu, maafkan sikap sumoi Biauw In Suthai. la memang keras hati. Sungguh aku merasa tidak enak kepadamu, sicu."

"Tidak mengapa, locianpwe. Memang sudah sewajarnya kalau ia marah karena saya memang bersalah. Saya telah le-ngah sehingga kitab itu lenyap dicuri orang. Sudah semestinyalah kalau saya bertanggung jawab. Saya berjanji akan mencari kitab itu sampal dapat dan setelah saya temukan, tentu akan saya serahkan kepada locianpwe di slni."

Pendeta wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Dari sikapmu sebagai murid, kami dapat menilai betapa bijaksananya Tlong Lee Clnjln, Souw-sicu, Siapakah nama gadis yang mencuri kiiab itu?"

"Saya tidak tahu namanya, locianpwe, kaml tidak sempat berkenalan. Akan tetapi sayapun tidak berani mengatakan bahwa ia yang mencuri kitab itu karena tldak ada buktlnya. Bagaimanapun juga, saya akan berusaha sekuat kemampuan saya untuk mencari kitab itu."

"Kami percaya bahwa engkau akan berhasil, sicu, dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas usahamu mencari kitab itu. Tldak lupa, sampaikan terima kasih Kun-lun-pai yang sebesar-besarnya kepada gurumu Tiong Lee Cin-Jln yang sudah menemukan kitab kaml yang hilang itu dan berusaha mengembalikannya kepada kami. Sampaikan hormat ku kepada beliau."

"Baik, loclanpwe, akan saya sampaikan kalau saya sudah menyelesaikan tugas-tugas saya dan bertemu lagi dengan suhu. Sekarang, saya mohon pamit dan terima kaslh atas pengertlan locianpwe yang sudah memberl maaf atas kelengahan saya sehingga kltab untuk locianpwe itu sampai hilang."

"Selamat jalan, sicu, dan berhati-hatilah dalam perjalanan. Semua prang mengetahui bahwa para datuk dan tokoh kang-ouw ingin sekali merampas kitab-kitab yang didapatkan oleh Tiong Lee i! Cin-jin dari dunia barat. Sicu yang masih membawa dua kitab, tentu tidak akan terlepas dari incaran mereka."

"Terima kaslh, loclanpwe, atas nasihat itu. Selamat tinggal."

Thian Liong menggendong buntalan-nya" memberi hormat lalu pergi menuruni puncak itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di lereng gunung ke dua dari'puh-cak, dia melihat Biauw In Suthai meng-hadang perjalananh^a dan pendeta wanita itu ditemani dua orang gadis yang berpa-kaian serba kuning. Dua orang gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, keduanya bertubuh rarnping berkulit pu-tih mulus dan keduanya cantik manis. Hanya bedanya, yang seorang lebih jang-kung dengan wajah bulat dan yang kedua agak lebih pendek dan lebih muda dengan wajah bulat telur. Rambut mereka di gelung ke atas dengan kain berwarna kuning yang lebar. Di panggung mereka tergantung sebatang pedang.

Blarpun Blauw In Suthal tadl berslkap galak kepadanya, Thian Liong tidak mendendam dan mellhat nenek Itu berdirl menghadang perjalanan bersama dua orang gadis itu, dla cepat menghampirl dan memberi hormat.

"Locianpwe, saya mohbn diri hendak meninggalkan Kun-lun-san, harap locianpwe suka memberi jalan."

Akan tetapl Biauw In Suthal bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan marah.

"Souw Thian Liong, engkau sudah tahu akan kesalahanmu! Engkau sebagai seorang laki-laki telah berani lancang datang ke asrama puteri Kun lun-pai. Karena itu sebelum kami menguji kepandaianmu, kami tidak akan membiarkanmu pergi. Tadi kami melihat sebatang pedang dalam buntalanmu. Hayo keluarkan pedangmu. Kami menantangmu untuk mengadu silat pedang!" Nenek itu menantang.

Thian Liong mengerutkah alisnya.

"Akan tetapi, loclanpwe, saya tidak ingin bertanding dengan siapapun, saya tidak ingin bermusuhan dengan siapapun."

"Enak saja! Engkau melanggar daerah terlarang bagi prla, dan engkau telah membikin lenyap kttab pusaka Kun-lun-pai Engkau harus menerima tantangan kaml ini. Aku tldak ingln dlanggap sebagai orang tua yang menghina anak muda. Karena itu, muridku inl akan mewaklll aku mengujl llmu pedangmu. Kim Lan, bersiaplah engkau!"

Gadis yang lebih tinggi bermuka bulat itu tiba-tiba menjadi merah wajahnya dan ia tampak semakin cantik. Ia mengangguk menerima perintah gurunya dan sekali tangan kanannya bergerak, tampak sinar berkelebat dan Thian Liong segera mengenal pedang itu sebagai pedang bersinar putih yang tadi dipergunakan Biauw In Suthai. Dengan gerakan indah dan gagah gadis cantik bernama Kim Lan ini menggerakkan pedangnya menunjuk ke atas, lalu pedangnya berkelebat seperti kitat menyambar, menjadi sinar menyilaukan dan ia sudah rnemasang kuda-kuda dengan pedang bersenibu-nyi di bawah lengan kanan, tangan kiri melingkar depan dada. Gayanya indah dan gagah sekali.

"Sicu, silakan!" kata Kim Lan, suaranya merdu namun mengandung tanteng-an dan kekerasan hati, sinar matanya tajam menyambar ke arah wajah Thian Liong. Tentu saja pemuda itu menjadi ragu. Dia tidak ingin berkelahi, apa lagi melawan seorang gadis yang tidak dike-nalnya sama sekali, yang tidak mempunyai urusan apapun juga dengan dirinya. Melihat keraguan ini, Biauw In Suthai segera berkata nyaring.

"Souw Thian Liong, engkau mengaku murid Tiong Lee Cin-jin yang terkenal, akan tetapi engkau pengecut kalau tidak berani menghadapi tantangan muridku Klm Lan. Ambil pedangmu dan coba kita sama mellhat apakah engkau mampu menandingi Tian-lui-kiam-sut , (Ilmu Pe-dang Kilat Guntur)! Kalau engkau dapat menang melawan Kim Lan, berarti engkau pantas berkunjung ke markas puteri Kun-lun-pai karena engkau menjadi keluarga sendiri. Akan tetapi kalau engkau kalah, kami akan membiarkan engkau pergi dan ternyata nama besar Tiong Lee Cin-jin hanya kosong belaka!"

Wajah Thian Liong berubah agak merah. Terlalu sekali nenek ini, pikirnya! Dia dipaksa untuk melawan karena kalau tidak, dia akan dianggap sebagai pe-ngecut dan berarti dia akan merendahkan nama besar gurunya yang amat dihormat di dunia kang-ouw. Dia terpaksa, mau tidak mau, harus melayani tantangan itu. Dia merasa serba salah. Dilayani, dia merasa tidak semestinya karena dia tidak mempunyai permusuhan dengan mereka dan tidak ingin menghina Kun-lun-pai dengan mengalahkannya. Kalau tidak dllayani, dia dianggap pengecut dan na-ma besar gurunya terseret turun. Selain itu, dia juga ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan Ilmu Pedang Kilat Guntur itu. Dia pernah mendengar dari gurunya bahwa ilmu pedang Itu merupakan llmu puiaka dan andalan Kun-lun-pai dan bahwa hanya murld-murld tertinggl saja yang berhak menguasal llmu pedang itu. Gadis ini masih amat muda paling banyak sembilan belas tahun usianya, akan tetapi sudah menguasai Tian-lui-kiam-sut, berarti ia seorang murid Kun-lun-pai yang sudah tinggi tingkatnya. Timbul keinginannya untuk menguji kehebatan ilmu pedang itu!

Setelah menghela napas panjang, Thian Liong melepaskan gendongannya ke atas tanah, membuka buntalan, mengambil pedangnya dan mengikatkan lagi buntalan itu dengan teliti karena dia tidak mau lagi kehilangan dua buah kitab untuk Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai itu, kemudian ia mencabut pedangnya, melempar sarung pedang di atas buntalan pakaian dan menghampiri Kim Lan dengan pedang di tangan. Pedang Thian-liong-kiam itu adalah sebatang pedang kuno, berbentuk seekor naga gagangnya merupakan ekornya. Dia berdiri santai, pedang di tangan kanan itu tergantung ke bawah. Sama sekall dla tldak membu-at pasangan kuda-kuda,

"Baiklah, kalau locianpwe memaksa. Sllakan, nona, saya sudah slap melayani nona." katanya.

Biauw In Suthai dan gadis ke dua melangkah mundur dan menonton di pinggir. Melihat Thian Liong sudah mencabut pedang dan mengatakan siap wa-laupun sikapnya masih santai, Kim Lan lalu membentak dengan suara nyaring.

"Lihat serangan pedangku!" Setelah memberi peringatan, barulah ia bergerak. Dan serangannya memang hebat sekali. Begitu ia menerjang maju, pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar seperti kilat dan ia telah menghujani Thian Liong dengan serangkai serangan kilat yang dahsyat! Thian Liong merasa kagum. Cepat dia menggunakan ginkang untuk berkelebatan mengelak dari semua serangan. Timbul kegembiraan hatinya. Ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Kim Lan itu memang hebat sekali dan gadls Itu benar-benar telah menguasai llmu pedangnya dengan baik. Pedang kilat itu seolah telah menyatu dengan dirlnya.

Sampai belasan jurus Thlan Liong menghindarkan dirl dari sambaran pedang dengan elakan-elakan cepat. Namun dia tahu bahwa dla tidak mungkin meng-andalkan elakan saja untuk menghindarkan diri dari serangan yang bertubi-subi datangnya Itu. Maka, ketlka dla terdesak, mulallah dla menggerakkan Thian-Liong-kiam di tangan kanannya. Akan tetapi tentu saja dla membataal tenaganya karena dia tidak ingin membikin rusak pedang lawan, juga tidak ingin membikin malu gadis itu dengan tolakan tenaga saktinya. Dia menangkls dengan tenaga terbatas.

"Tranggg....!" Dua pedang bertemu dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Gadls itu cepat memeriksa pedangnya. la merasa lega melihat pedangnya tidak rusak, juga lega karena merasa betapa tenaganya seimbang dengan tenaga lawan. Pertandingan dilanjutkan dan kini Thian Liong terkadang membalas dengan serangan pedangnya. Pertandingan itu tampak ramai dan seimbang. Hal ini terjadi tentu saja karena Thian Liong banyak mengalah. Dia tidak ingin membikin malu gadis itu maka sengaja membuat pertandingan itu tampak seru dan ramai seolah kepandalan mereka seimbang. Tentu saja dlapun tldak mau kalau sampai dia kalah, karena hal iu akan merendahkan nama besar gurunya. Tldak, dia harus menang, akan tetapl kemenangan melalul pertandlngan yang seimbang dan ramai.

"Hailiiittt....!!" Tlba-tiba Kim Lan merendahkan tubuhnya setengah berjong-kok dan pedangnya menyambar-nyambar ke arah kedua kaki Thian Liong. Pedang itu diputar-putar merupakan gulungan sinar putlh yang mengancam kedua kaki lawan. Thlan Liong berloncatan untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah kedua kakinya itu. Untuk menghentikan desakan lawan, dia menyerangkan pedang nya dari atas dan pedang Thian-liong-kiam berkelebat. Ujung kain pengikat ke-pala Kim Lan terbabat putus dan sehelai kain kuning melayang ke bawah. Gadis itu terkejut dan mengubah serangannya. Kini ia berdiri lagi dan pedangnya menyambar-nyambar ke arah leher lawan.

"Trang-trang-tranggg..., tiga, kali berturut turut kedua pedang bertemu dl udara dan keduanya melompat ke belakang. Lima puluh jurus telah lewat dan Thlan Llong merasa bahwa sudah cukup lama dla mengalah. Ketika pedang kilat itu meuncur menyambar dengan tusukan ke arah dadanya, dia hanya sedikit miringkan tubuhnya dan mengangkat lengan kirinya. Pedang itu meluncur dekat sekali dengan iga kirinya dan pada saat itu, lengan kirinya turun mengempit pedang lawan! Kim Lan terkejut dan mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya yang tampaknya seolah menancap di dada lawan itu. Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong mengetuk siku kanannya. Seketika lengan kanannya kehilangan tenaga dan sebelum gadis itu dapat mengatasi keadaannya tangan Thian Liong yang memegang pedang itu telah mendorong pundak kiri Kim Lan sehingga tubuh gadis itu terhuyung ke belakang dan pedangnya tertinggal, dikempit oleh lengan kiri pemuda itu!

Keadaan ini jelas membuktikan bahwa Kim Lan telah kalah. Thian Liong cepat mengambtl pedang gadis itu, memegang ujungnya dan menyodorkan gagangnya kepada Kim Lan.

"Terimalah pedangmu dan maafkan aku, nona." ucapannya itu dikeluarkan dengan tulus. Kim Lan menerima pedang itu dan tiba-tiba ia menjatuhkan diri bersimpuh di atas tanah dan menangis tentu saja Thian Liong menjadi bengong melihat hal ini.

Anehnya, Biauw In Suthai menghampirinya. Thian Liong sudah bersiap siaga untuk melindungi dirinya kalau diserang tiba-tiba oleh pendeta wanita yang galak ini. Akan tetapi anehnya, Biauw In Suthai tersenyum dan berkata dengan suara girang.

"Souw Thian Liong, kiong-hi (selamat)! Kami mengucapkan selamat!"

"Selamat? Untuk apa?" Thian Liong bertanya, tidak mengerti.

"Selamat karena engkau telah membuktikan bahwa engkau murid yang mengagumkan dari Tlong Lee Cln-jln, engkau telah menang dalam pertandingan ini dan engkau telah memperoleh seorang isteri yang baik dan cocok sekali bagimu."

Thian Liong terbelalak semakin heran.

"Isteri? Apa.... apa maksud locianpwe?" Nenek itu menunjuk Kim Lan yang masih bersimpuh dan menangis menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Lihat itu, calon isterimu menangis karena haru dan bahagia!"

"Locianpwe, apa maksudmu? Saya.... saya tidak...." dia bingung harus berkata apa.

Biauw In Suthai tertawa dan melihat nenek itu tertawa Thian Liong merasa aneh sekali. Nenek yang galak dan keras seperti batu karang itu dapat terta-wa, akan tetapi hanya mulutnya yang menyeririgai tertawa, matanya sama sekali tldak ikut tertawa. Mata itu tetap memandang dengan sinar yang keras.

"Heh-heh-hl-hl-hlk. Makaudku....? Itu urusan orang muda. Engkau boleh bicara sendtrl dengan Klm Lan!" Setelah berkata demikian, pendeta wanita itu melangkah pergi meninggalkan Thian Liong yang masih berdiri bengong.

Setelah nenek itu pergi, Thiar Liong memandang kepada gadis yang masih duduk bersimpuh dan menangis tanpa suara itu. Kemudian dia memandang kepada gadis ke dua yang berdiri di dekat gadis yang menangis dan kebetulan gadis itu juga sedang memandang kepadanya Gadis yang bermuka bulat telur dan bertubuh mungil ini wajahnya sama cantik dengan gadis pertama. Bedanya, gadis yang lebih pendek ini wajahnya tidak membayangkan kekerasan seperti yang lain. la bahkan memandang kepada Thian Liong dengan sinar mata kagum dan lembut, dan bibirnya mengembangkan senyum. Melihat sikap ini, Thian Liong yang tidak berani bertanya kepada gadis yang menangis, lalu bertanya kepada gadis ke dua itu.

"Nona, apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh loclanpwe tadi? Sungguh mati saya tldak mengertl sama sekali"

Gadis itu menoleh kepada gadls yang masih duduk bersimpuh dan biarpun sudah tidak menangs lagi namun masih menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti orang yang merasa malu.

"Sucl (kakak seperguruan, bolehkah aku mewakilimu menceritakan apa artinya semua ini kepada Souw-sicu?"

Gadis yang bernama Kim Lan mengangguk. Gadis mungil itu lalu melahgkah maju rnenghampiri Thian Liong dan la berkata dengan suara merdu.

"Kami berdua adalah murid Kun-lun-paii di bawah asuhan guru karni Biauw In Suthai. Inl adalah enci Kim Lan dan aku bernama Ai Yin. Ketahuilah, sicu, kami berdua telah disumpah oleh guru kami ketika kami menerima pelajaran ilmu pedang Tian-lui-kiam-sut (Ilmu Pedang Kilat Gun-tur) bahwa kami hanya boleh menikah kalau...."

"Sumoi....!" Kim Lan menegur sumoinya dan ia kini bangkit berdiri, akan tetapi tidak berani menatap wajah Thian Liong, melainkan memandang wajah sumoinya.

"Suci, kalau aku tldak menceritakan semuanya, bagaimana Souw-sicu akan dapat mengertl persoalannya? Karena dia merupakan orang yang tersangkut, tiada salahnya dia mengetahui rahasia kita."

Sejenak Kim Lan termangu-mangu, lalu melirik malu-malu ke arah Thian Liong, kemudlan mengangguk dan berkata lirih,

"Balk, teruskanlah."

Thian Llong merasa tidak enak.

"Nona, kalau kalian mempunyai rahasia, tidak perlu kalian ceritakan padaku. Akupun tidak ingin mendengar tentang rahasia orang lain."

"Souw-slcu, rahasia kami ini sekarang telah melibatkan dirimu, maka engkau harus mendengarnya."

"Hemm, kalau engkau dengan suka rela hendak menceritakan kepadaku, silakan." kata Thian Liong yang sebetulnya ingin sekali tahu akan sikap 8iauw In Suthai tadi.

"Seperti kukatakan tadi, kami berdua telah disumpah oleh guru kami. Kami tidak boleh berhubungan dengan pria, bahkan tldak boleh berdekatan. Subo (ibu guru) mungkin akan rnembunuh kami kalau melihat kami akrab dengan pria. Kami disumpah bahwa kami hanya boleh menikah kalau ada pria yang dapat mengalahkan Ilmu Pedang Kilat Guntur kami. Pria yang dapat mengalahkan kami harus menjadi suami kami. Karena itu, ketika engkau mengalahkan suci Kim Lan, berarti engkau menjadi jodoh atau calon suami suci Kim Lan, Souw-sicu."

Thlan Liong terbelalak, terkejut dan heran.

"Akan tetapi....., bagaimana mungkin ada aturan seperti itu? Pernikahan tidak dapat dipaksakan oleh satu pihak, harus ada persetujuan kedua pihak. Sedangkan aku.... aku sama sekali belum mempunyai keinginan bahkan belurn pernah berpikir untuk menikah!"

"Akan tetapi engkau harus menerima suci Kim Lan menjadi isterimu, sicu. Harus!" kata Ai Yin. Kata terakhir itu mengandung tekanan kuat sekali.

"Harus?" Thian Liong mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang Ai Yin dengan sinar mata mengandung rasa penasaran.

"Siapa yang mengharuskan?"

"Sumpah , kami yang mengharuskan. Tidak ada pllihan lain bagi suci Kim Lan. Menurut sumpah kaml, kami harus menikah dengan lakl-lakl yang mampu mengalahkan llmu pedang kami!"

"Aturan gila! Sumpah macam apa itu? Bagaimana kalau laki-laki yang mengalahkan kalian itu sudah tua dan sudah beristeri?"

"Itu merupakan kekecualian. Sumpah kami hanya menyangkut pria yang belum berkeluarga, tua muda tidak masuk hitungan. Dan kami percaya bahwa eng-kau belum berkeluarga, sicu."

"Hemm, aneh. Bagaimana kalau pria yang mengalahkan kalian Itu tidak bersedia menikah dengan kalian?"

"Menurut sumpah kaml, kalau begltu masalahnya, kaml harus membunuh pria itu! Jadi tldak ada pilihan laln bagl suci Kim Lan. la harus menlkah denganmu atau kalau sicu menolak, la harus mem-bunuhmu!" kata Ai Yln.

Thian Llong terkejut sekall.

"Gila be-narl Belum pernah aku mendengar aturan yang leblh gila darl pada Inl. Aku sama sekall tldak ada kelnglnan untuk menlkah, bagalmana mungkln aku dlpaksanya? Tentu aaja aku menolak untuk memenuhl aturan glla-gilaan Ini. Aku tldak mau menlkah dengan siapapun!"

Tlba-tlba Klm Lan memandangnya dan berkata, suaranya mengandung kekerasan.

"Kalau engkau menolak, Souw Thian Liong, berartl penghinaan yang tlada taranya bagiku. Aku akan membunuhmu atau engkau harus membunuhku karena engkau telah menodai dan mencemarkan nama dan kehormatankul"

Thian Llong membelalakkan matanya.

"Aih! Apa pula ini? Aku tidak pernah menyentuhmu, bagalmana engkau dapat mengatakan bahwa aku menodal dan mencemarkan kehormatanmu?"

"Ini sudah menjadl sumpahku. Tidak ada plllhan lain baglku. Aku harus menjadl isterimu atau terpaksa aku akan mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian Kim Lan mencabut pedangnya.

"Wah. ini gllal Nona Klm Lan. engkau tldak aan memang melawan aku, dan aku dapat lari meninggalkanmu dengan mudah. Engkau tldak akan dapat mengejar atau membunuhku."

"Aku akan terus mencarlmu, memperdalam llmuku dan selalu berusaha untuk membunuhmu!" kata Kim Lan.

"Dan aku akan membantu suci untuk membunuhmul" kata pula Ai Yin sambil inencabut pedangnya.

"Wah-wah, kalian inl sudah tidal waras lagl. Nona-nona, kalian adalah, orang-orang muda, bagaimana berpendirian begini kolot? Perjodohan hanya ditentukan oleh cinta atau kesepakatan kedua pihak, sama sekali tidak boleh main paksa."

"Kita diikat oleh sumpah!" jawab kedua orang gadis cantik itu berbareng.

"Kalau engkau tetap gagal dalam usahamu untuk membunuhku, bagaimana, nona Kim Lan?" Thian Liong bertanya.

"Kalau selalu tetap gagal, tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuh diri atau dibunuh guruku."

"Gila....! Thian Liong berteriak.

"Kalian gadis-gadis muda sudah menjadi korban keganasan seorang nenek gila!"

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Biauw In Suthai sudah berada di depan Thlan Llong.

"Bocah she Souw! Engkau berani memaki aku nenek glla? Murld-muridku memenuhi sumpahnya, berarti mereka adalah orang-orang gagah sejatl yang setia kepada gurunya. Akulah yang akan membantu Kim Lan membunuhmu kalau engkau menolak menjadi suaminya!"

"Dunia sudah miring! Kalian orang-orang tidak waras!" Thian Liong berseru sambil menyambar buntalan pakaiannya dengan tangan kiri dan siap membela dlri dengan pedang Thlan-llong-klam di tangan kanan.

"Bunuh Jahanam ini" Biauw In Suthai berteriak dan tlga orang wanlta itu menggerakkan pedang di tangan mereka. Tampak tiga sinar kilat menyambar dengan dahsyat ke arah Thian Liong. Demikian cepat seperti kilat menyambarnya tiga pedang itu sehingga Thian Liong terpaksa membuang diri ke belakang lalu bergulingan menjauh dan cepat dia melompat bangkit kembali. Melihat tiga orang wanita Itu sudah hendak menerjangnya lagi dengan pedang diputar di atas kepala, Thian Liong cepat menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga sakti, mendorong ke arah mereka dengan kedua telapak tangan.

"Wuuutttt....!!" Angin yang kuat sekali menerpa tiga orang wanita itu. Mereka merasa terkejut sekali dan berusaha menahan, namun mereka tidak kuat dan tetap saja tubuh mereka terdorong angin dan terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan Ai Yin yang agaknya paling lemah dl antara mereka bertiga, terguling roboh. Walaupun mereka tldak terluka, namun mereka terkejut sekali dan ketlka mereka memahdang ke depan, ternyata pemuda itu telah menghilang dari sltu.

Melihat itu, Kim Lan menjatuhkan diri berlutut dl depan kaki subonya dan menangis.

"Subo, teecu (murid) dltolak seorang iaki-laki dan teecu tidak mampu membunuhnya. Sllakan subo menghukum dan membunuh teecu, teecu pasrah...."

Blauw In Su-thai menghela napaa panjang. tangan kanan maslh memegang pedangnya. Pada saat itu, Ai Yin yang mencinta suclnya Juga ikut berlutut di depan kaki Biauw In Suthai dan berkata,

"Subo, sucl tidak bersalah. Ia sudah berusaha membunuh Souw Thlan Liong, bahkan teecu dan subo sendirl juga sudah membantunya. Namun, orang itu terlalu tangguh."

"Hemm, menurut sumpahmu sendlri, laki-lakl itu adalah jodohmu dan kalau dla menolak, engkau berusaha untuk membunuhnya. Pergilah dan usahakanlah agar engkau dapat membunuh dia, dan jangan sekali-kali engkau berani kembali menghadapku di sini sebelum engkau mampu membunuhnya!" kata nenek itu, kemudian sambil mendengus marah, ia memutar tubuhnya dan menlnggalkan tempat itu.

Kim Lan masih terisak dan mengha-pus air matanya. Mukanya menjadi pucat dan ia memandang wajah sumoinya de-ngan sedih.

"Sumoi, selamat tinggal, aku hendak pergi dan berusaha memenuhi sumpahku, sampai aku berhasil atau mati." Setelah berkata demikian, Klm Lan memballkkan tubuhnya dan berlart cepat meninggalkan sumolnya.

"Sucl, tunggu....ll" Ai Yln melompat dan melakukan pengejaran.

Klm Lan berhentl. Mereka berdlri berhadapan.

"Ada apakah, sumoi?"

"Sucl, aku Ikut pergl denganmu."

Kim Lan membelalakkan matanya, kemudian mengerutkan allsnya yang Indah bentuknya.

"Ah, sumol! Engkau tidak boleh! Subo akan marah sekali kepadamu'"

"Biarlah, suci. Aku tidak tahan lagi dihantui sumpah kita itu, apalagi setelah melihat akibatnya kepadamu! Aku tidak mau kelak sepertimu, suci. Dan ingat, yang disumpah subo hanyalah kita berdua, karena itu aku harus membantu-mu dan membelamu. Bukankah engkau akan membelaku juga kalau aku tertimpa masalah seperti engkau sekarang ini? Suci, kita berdua sudah yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Kita berdua sudah seperti saudara sendiri, sejak kecil hidup bersama. Ah, kalau aku tahu akan begini jadinya, dahulu aku tidak akan mau bersumpah, biar tidak menguasai Tian-lui-kiam-sut juga tidak mengapa."

"Sumoi....!" Kedua orang gadis itu berangkulan dan menangis. Tak lama kemudian, dua orang gadis Itu sudah menuruni lereng pegunungan Kun-lun-san. Ai Yin ikut pergi bersama sucinya untuk. membantu sucinya mencari Thian Liong, untuk membunuh pemuda itu atau kalau: gagal mereka yang akan dibunuh guru mereka! Tentu saja, kecuali kalau pemuda itu mau menikahinya.

Sementara itu, dl balik sebuah batu besar, Biauw In Suthai berdiri dan dengan punggung tangan kirinya ia mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang membasahi pelupuk matanya. Nenek yang keras hati seperti baja itu menangis, walaupun tak bersuara dan hanya beberapa butir air mata membasahi pelupuk matanya! Kalau saja ada murid Kun-lun-pai melihatnya, pasti mereka akan menjadi gempar dan terheran-heran. Hati Biauw In Suthai terkenal keras dan kaku, bahkan ketika ia kematian gurunyapun tak sebu-tir alr mata keluar dari matanya yang selalu bersinar keras. Akan tetapi pada saat itu, di mana tidak ada orang lain menyaksikannya, ia merasa hatinya se-perti ditusuk-tusuk pedang dan ia tidak dapat menahan ketika beberapa butir air mata membasahi kedua matanya. Itupun cepat-cepat butir-butir air mata itu dihapusnya. Kemudlan dengan tubuh terasa lemah lunglal ia menjatuhkan dlrl duduk dl atas tanah berumput dan berslla. Plklrannya melayang-layang ke masa la-lu.

Ia pernah muda. Lama sebelum menjadi pendeta dan tokoh besar tingkat tiga Kun-lun-pal. la pernah Jatuh clnta. Bahkan tlga kali la jatuh clnta! Namun ke tiga kallnya gagal. Selalu saja la dlsila-siakan, ditinggal pergi suaminya yang menikah dengan wanlta lain. la merasa seakan bunga layu yang dibuang setelah sarl madunya dihlsap habis. la tldak pernah mempunyai anak darl tlga kali menjadi isteri orang. Mulailah la merasa bencl kepada laki-laki. Demiklan mendalam rasa sakit hatinya sehingga la memperdalam ilmu silatnya dan setelah menjadi seorang ahli silat yang pandai, ia mencari ketiga orang laki-lakl bekas suaminya yang menyia-nyiakan dan membunuh mereka! Kemudian sebagai seorang pendekar wanita, ia melanglang-buana dan selalu membunuh penjahat tanpa ampun. Akan tetapi yang dibunuhnya selalu prial Prla yang menjadl penjahat, terutama sekall la selalu memburu para jai-hwa-cat (penjahat pametik bunga atau pemerkosa wanlta) dan tanpa ampun membunuhnya dengan sadis!

la baru menghentikan kebiasaannya yang menggemparkan dunla perailatan itu setelah ta bertemu dengan Kut Beng Thalsu yang sekarang menjadl Ketua Umum Kun-lun-pal. la dlkalahkan dengan mudah oleh pendeta Kun-lun-pal itu, bahkan lalu menerlma bimblngan dalam llmu silat dan juga tentang kerohanlan. Akhirnya, karena ia maJu sekali, bukan saja dalam llmu sllat, melainkan juga dalam soal kerohanian sehlngga la tldak lagi menjadl ganas dan kejam, bahkan pantang untuk sembarangan membunuh, Kui Beng Thaisu yang melihat bakat baik darl wanlta ini untuk menjadl pelatlh llmu sllat, alu mengangkatnya sebagai pimpinan bagian murid Kun-lun-pai wanita, menjadi pembantu Hui In Siarikouw yang menjadi ketua bagian murld wanita.

Kemudian Biauw In Suthai memilih dua orang gadis yatlm piatu menjadi murid pribadinya, yaitu Kim Lan dan Ai Yin. Selama hampir sepuluh tahun ia mendidik dua orang gadis ini, bahkan menurunkan ilmu pedang Tian-lui-kiam-sut yang tidak dapat diajarkan kepada sembarang murid. Untuk itu, ia mengharuskan dua orang murid ini melakukan sumpah seperti yang telah kita ketahui. Sumpah itu menunjukkan betapa benci ia kepada kaum pria dan sesungguhnya ia tidak rela kalau dua orang murid yang disayangnya seperti anak-anaknya sendiri itu menjadi isteri orang hanya dengan bahaya kelak akan mengalami nasib seperti dirinya, yaitu disia-siakah suami dan ditinggal pergi! Kalau ada pria yang mampu mengalahkan Thian-lui-kiam-sut, berarti pria itu sakti dan hal ini dapat menguntungkan ia atau pihak Kun-lun-pai. Pria yang menjadi suami muridnya itu dapat mengajarkan ilmu-ilmunya yang sudah dapat mengalahkan Tian-lui-kiam-sut sehingga mutu ilmu silat Kun-lun-pai dapat meningkat. Akan tetapi kalau pria itu menolak mengawini murid yang dikalahkannya, muridwa harus membunuh laki-laki itu. Inilah merupakan jalan baginya untuk membalas dendamnya kepada kaum pria yang dibencinya! Juga untuk menguji kesetiaan dua orang murid yang dikasihinya itu. Semua ilmunya telah ia berikan dan ia menuntut agar dua orang muridnya itu berbakti dan setia kepadanya.

Akan tetapi, ketika diam-diam ia mengintai dan melihat betapa dua orang muridnya itu pergi meninggalkannya untuk berusaha mengejar dan membunuh Souw Thian Liong. hati pendeta wanita itu merasa sedih sekali.

Dendam sakit hati merupakan racun jahat yang akan merusak batin sendiri. Dendam sakit hati menimbulkan kebencian dan nafsu kebencian membuahkan kekejaman, menghilangkan prikemanusiaan karena kebencian bagaikan api baru dapat dipadamkan oleh tindakan buas untuk menda-tangkan siksaan bahkan pembunuhan ter~ hadap orang yang dibenci. Namun yang diderita oleh Biauw In Suthai bukan ha-nya dendam kebenclan karena disia-siakan pria selama tlga kali saja, terutama sekali dendam ini dikobarkan karena pada terakhir kalinya, yaitu ketika ia bertemu dengan pria ke empat dan ia jatuh cinta secara mendalam, pria itu tidak membalas cintanya karena medgetahui bahwa ia telah menjadi janda tiga kali! Kekecewaan ini merupakan puncak pen-deritaannya karena harus diakuinya bah-wa pada pria ke empat ini ia benar-be-nar jatuh cinta.

Selagi Biauw In Suthai tenggelam ke dalam kesedihan, tiba-tiba ia mendengar teguran suara yang lembut.

"Biauw In, ada apakah dengan engkau ?".

Nenek itu terkejut bukan maln. Orang datang begitu dekat dl belakangnya dan ia tldak mengetahuinya! Hal Ini menunjukkan betapa hebat gin-kang (ilmu merlngankan tubuh) orang Itu. Akan tetapi ketlka ia bangkit dan memutar tubuh, la melihat bahwa dl situ telah berdiri seorang kekek yang Jangkung kurus, berJenggot panjang, berambut putlh, yang bukan lain adalah Kul Beng Thaisu sendirl, Ketua Umum Kun-lun-pai, penolong dan juga pembimbingnya. la maklum bahwa kepada kakek ini ia tidak dapat menyembunyikan sesuatu. Kakek iitu andah berada di situ, tentu telah mengetahui akan kepergian dua orang muridnya tadi, bahkan mungkin sudah mengetahui pula tentang Souw Thian Liong! Maka, iapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, menahan tangisnya. Saking sedihnya, ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata.

"Sumoi, tenangkan batlnmu dan ceritakanlah kepadaku, apa yang telah cerja-di sehingga engkau tenggelam dalam kesedlhan?" Kul iBeng Thalsu adalah orang yang menyadarkan nenek itu yang dahulu maalh seorang wanlta muda berusla tlga puluh tahun bernama Blauw In. Juga dla yang memberl pendidlkan dan blm-blngan kepadanya. Akan tetapl karena pada waktu Itu gurunya maslh hldup dan Blauw In diterima sebagal murld Kun-lun-pai, mellhat tlngkat kepandaiannya sudah tinggl, maka dia menyebut sumol (adik perempuan seperguruan) kepada Blauw In Suthai dan nenek inl menyebutnya suheng (kakak laki-laki seperguruan). Dan setelah guru mereka meninggal, Kui Beng Thaisu menggantikan kedudukan ketua dan dia mengangkat Biauw In Suthai menjadi wakil ketua bagian murid wanita.

Biauw In Suthai menenangkan hatinya dan beberapa kali menghirup napas panjang sambil mengheningkan cipta. Se-telah merasa hatinya tenang, ia bangkit berdiri dengan perlahan.

"Mari duduk di sana dan engkau ke-luarkanlah semua masalah yang merlsau-kan hatimu, sumoi," kata kakek itu. Biauw In Suthai mengangguk dan kedua-nya lalu menghampiri sekumpulan batu tak jauh dari situ lalu masing-masing du-duk di atas sebuah batu.

"Maafkan kelemahanku, suheng. Semua itu terjadi demikiah cepatnya dan dalam waktu singkat terjadi demikian banyak perubahan. Mula-mula aku melihat munculnya seorang pemuda di depan asrama puteri para murid Kun-lun-pai. Tentu saja aku curiga kepadanya dan selain menergurnya aku juga menguji ilmu kepandaiannya karena kulihat dia memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."

"Sian-cai (damai)..... Kenapa engkau masih juga belum dapat melunakkan hatimu yang keras itu, sumoi?"

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Aku berniat mengujinya saja, suheng. Ternyata dia memang lihai sekali. Suci Hui In Siankouw datang dan melerai. Atas pertanyaan suci, pemuda itu mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia murid Tiong Lee Cin-jin."

"Murid Tiong Lee Cin-jin? Ahh, tidak aneh kalau dia lihai sekali. Akan tetapi apa keperluan murid Tiong Lee Cin-jin datang berkunjung?"

"Tadinya dia memang hendak menghadap suheng, akan tetapi dia tersesat ke asrama bagian puteri. Suci Hui In mewakili suheng dan dia bercerita kepada suci, bahwa dia diutus Tiong Lee Cin-jin untuk menyerahkan sebuah kitab kepada suheng. Kitab itu bukan lain adalah Kitab Ngo-heng Llan-hoan Kun-hoat,"

"Siancai....!" Kui Beng Thaisu berseru kagum.

"Jadi Tiong Lee Cin-jin telah berhasil menemukan kitab pusaka kita yang telah hilang ratusan tahun yang lalu itu dan mengembelikan kepade klta? Bukan malnl Sungguh beliau seorang yang sakti den bljakaana sekali!"

"Akan tetapl kelanjutan ceritaku tidak begltu menyenangkan, suheng. Pemuda she Souw itu mengatakan bahwa baru saja kitab pusaka kita itu dicuri orang."

"Sian-cai;...! Slapa yang mencurinya?"

"Itulah, suheng, Dla sendiri tidak tahu slapa yang mencurinya. Aku menganggap dia berbohong dan hendak menyembunylkan kitab itu. Aku hendak menyerangnya dan memaksanya mengaku dl mana kitab itu, akan tetapi sucl Hui In melarangku."

"Sucimu benar, sumoi. Pemuda Itu tidak mungkin menyembunyikannya. Dia sudah berani datang menceritakan tentang kehilangan kitab itu, berarti dia jujur. Apakah dia tidak mengatakan pertanggungan-jawabnya atas kehilangan itu?"

"'Dia mengatakan bahwa dia akan mencari kitab itu sampai dapat."

"Nah, Itu sudah cukup. Kltab pusaka Itu sudah ratusan tahun lenyap. Tlba-tlba saja ditemukan Tlong Lee Cin-Jln yang mengutus murldnya untuk mengembalikan kepada klta. Kalau kltab itu dlcurl orang, hal itu merupakan sebuah kecelakaan. Tiong Lee Cln-Jin adalah seorang yang sakti dan bijak, tentu murid-nya juga seorartg yang gagah perkasa. Lalu, apa yang menyebabkan engkau bersedih?"

Biauw In Suthai menduga bahwa suhengnya tentu sudah tahu akan kepergian dua orang muridnya, bahkan mungkin tahu pula akan pertandingan tadl.

"Ketika Souw Thian Llong turun dari puncak, aku bersama Kim Lan dan Ai, Yin sengaja menghadangnya, suheng."

"Hemm, apa lagi yang kaulakukan bersama dua orang muridrnu itu, sumoi?"

"Aku menantang pemuda itu untuk bertanding pedang melawan muridku Kim Lan. Muridku itu sudali dewasa, sudah berusia sembilan belas tahun, dan pemu-da murid Tiong Lee Cin-jtn itu memiliki ilmu kepandaian tlnggi, suheng. Aku yakin bahwa pemuda itu pasti dapat meng-alahkan Kim Lan dan aku ingin dia menjadi jodoh Kim Lan."

Kui Beng Thaisu mengerutkan alisnya yang putih. Dia memandang sumoinya dengan sinar mata lembut namun penuh keheranan.

"Hemm, kalau hendak menjodohkan muridmu, kenapa harus mengadu 'mereka? Apakah maksudmu sebenarnya, sumoi?"

Nenek itu menundukkan mukanya. Terpaksa ia harus menceritakan rahasia-nya dengan dua orang muridnya itu. Suaranya lirih ketika ia menjawab,

"Ketika dua orang muridku berlatih Tian-lui-kiam-sut mereka telah bersumpah bahwa mereka hanya mau menikah dengan pria yang mampu mengalahkan ilmu pedang mereka itu."

"Hemm, bagaimana engkau dapat menyuruh mereka bersumpah seperti itu? Bagaimana kalau pria yang mengalahkan mereka itu tidak mau menikah dengan mereka?"

Suara Biauw In Suthai semakin lirih ketika menjawab,

"Kalau pria yang mengalahkan mereka tldak mau memperistri mereka, maka mereka harus membalas penghinaan itu dengan membunuhnya!"

"Siancai....!" Kui Beng Thaisu berseru dan alisnya berkerut.

"Kemudlan bagaimana?"

"Kim Lan bertanding dengan Souw Thian Liong dan la kalah. Karena pemuda itu menolak untuk berjodoh dengannya, Kim Lan, menyerangnya dan hendak membunuhnya memenuhi sumpahnya, akan tetapi pemuda itu melarikan diri. Kini Kim Lan dan Ai Yin...., mereka.... pergi untuk mencari dan membunuh pemuda itu...."

Kui Beng Thaisu terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya sambil mengelus jenggotnya yang putih panjang. Kemudian dia mengangguk-angguk.

"Hemm, tidak kusangka bahwa penyakit dendammu terhadap kaum pria ternyata telah berakar dalam batinmu sehingga diam-diam telah meracunimu. Racun itu pada akhirnya akan merusak dirimu sendiri. Buktinya sekarang telah mengorbankan kedua muridmu yang kau-sayang seperti anak-anakmu sendiri. Ah, Biauw In sumoi, kiranya semua pelajaran yang tclah kuberikan kepadamu sela-ma puluhan tahun ini, hanya mampu menghilangkan kebuasanmu saja, akan tetapi tidak pernah dapat melenyapkan dendanimu terhadap pria. Alangkah sayangnya. Aku, aingguh merasa kecewa sekali, sumoi. Engkau tega mengorbankan muridmu sendiri untuk melamplas-kan dendam hatlmu terhadap prla."

Mendengar ucapan suhengnya yang sudah dlanggapnya sebagal gurunya sendlri, penolongnya dan orang yang selama kurang teblh dua puluh tahun memblm-blngnya, yang cllkeluarkan dengan nada ledlh Itu, Biauw In Suthai menundukkan mukanya yang menjadi pucat dari la menguatkan perasaannya agar jangan sampal menangis.

"Maafkan aku, suheng. Maafkan aku. Setelah kedua orang muridku pergl, baru aku menyadarl bahwa aku telah membuat mereka menderital Aku telah membuat dua orang yang kusayang seperti anak-anakku sendiri itu hidup merana. Sesungguhnya, selama ini aku sudah berusaha untuk menekan nafsu dendam kebencianku. Aku menyumpah kedua orang muridku itu hanya untuk menjaga agar mereka berdua memperoleh suami yang berilmu tinggi, yang lebih tangguh daripada mereka. Aku ingin mereka mendapatkan suami seorang pendekar. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa Souw Thian Liong itu murid Tiong Lee Cin-jin.... ah, aku menjadi lupa diri, terbakar oleh perasaan sakit hatiku...."

"Eh? Apa hubungan sakit hatimu dengan Tiong Lee Cin-jin?" tanya ketua Kun-lun-pai itu dengan heran.

Biauw In Suthai tetap menundukkan mukanya dan menjawab dengan lirih.

"Tiong Lee .... Bu Tiong Lee.... dialah laki-laki terakhir dalam hidupku, dialah yang mengobarkan sakit hatiku terhadap tiga orang suamiku yang terdahulu seperti yang pernah kucerltakan kepada suheng...."

"Siancai....! Jadl Tlong Lee Cin-jin di waktu beliau masih muda itukah pria yang pernah membuat engkau jatuh cinta, kemudian engkau kecewa dan patah hati karena dia tidak membalas cintamu, bahkan meninggalkanmu begitu saja? Biauw In, Biauw In! Sungguh engkau telah tersesat jauh. Bagaimana mungkin engkau dapat mengharapkan seorang pemuda arif bijaksana sepertl Tiong Lee Cin-lin untuk jatuh cinta padamu? Beliau adafah seorang yang menyerahkan seluruh kehidupannya untuk mengembangkan pelajaran tentang agama, tentang rohaniah, dan beliau adalah seorang manusia yang telah mampu menundukkan semua nafsu daya rendah dalam dirinya. Jadi, engkau ingin murid-muridmu dapat membunuh Souw Thian Liong karena dia itu murid Tiong Lee Cin-jin, untuk melampiaskan sakit hati dan kekecewaanmu?"

"Maafkan aku, suheng. Sesungguhnya, bukan itu satu-satunya tujuanku. Andaikata pemuda itu menerima dan mau menJadi suami KlmLan, berartl aku ber-besan murid dengan Tiong ! Lee Cin-jin dan Kun-lun-pal menjadi bertambah kuat karena mendapat tambaha'n tlmu mela-lui suami Kim Lan,j Akan tetapi pemuda itu menolak sehingga Kim Lan pergi hendak mencari dan membunuhnya, dan Ai Yin ikut sucinya untuk membantu."

"Hemm, dorongan nafsu dendam kebencianmu telah membuat engkau men-jadi seorang wanita yang tidak berperasaan dan tidak berperikemanusiaan lagi, membuat engkau tega untuk mengorban-kan murid-murid sendiri, tega pula un-tuk menyuruh murid-muridmu membunuh orang-orang tidak berdosa. Sekarang nafsu jahatmu telah terlaksana, engkau membuat murid-muridmu bermusuhan dengan murid Tiong Lee Cin-jin. Seharusnya engkau merasa puas dan setan dalam dirimu bersorak-sorai kegirangan, mengapa engkau malah menjadi sedih dan menangis?"

Biauw In Suthal tidak kuat bertahan lagi. la turun dari atas batu dan menja-tuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki Kui Beng Thaisu sambil menangis. Kini tangisnya adalah tangis aseli, tangis wajar seorang wanita tua yang merasa sedih dan penuh penyesalan diri, terisak-isak dan alr mata bercucuran darl kedua matanya, mengallr di sepanjang pipinya yang pucat. Seolah-olah bendungan yang dibentuk oleh kekerasan hatl se-jak bertahun-tahun dan menjadi bepdung-an baja yang amat kuat itu tiba-tiba pe-cah dan wanita itu menangis sampai se-senggukan. Beberapa lamanya Kui Beng Taisu hanya memandang sambil mengelus jeriggotnya yang putih panjang, meng-angguk-angguk sendiri karena diam-diam dia maklum bahwa akhirnya dia berhasil mencairkan hati yang mengeras seperti baja itu. Dia maklum bahwa tangislah merupakan obat yang amat manjur bagi penyakit yang diderita sumoi-nya itu. Kalau tidak dapat menangis, terdapat ancaman bahaya besar bagi kesehatan wanita itu. Kehancuran perasaan sehe-bat itu dapat membuat ia jatuh sakit berat atau bahkan mendatangkan gun-cangan dan tekanan batin yang dapat membuat ia menjadi gila.

Blauw In Suthal sepuasnya menumpah-kan semua penyesalan dan kesedihan hatlnya mclalul tanglsnya. Satelah hatlnya terasa rlngan dan tangianyra meredo, la. mengusap mukanya yang basah Itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah pula, kemudian ia berkata llrih.

"Suheng, anipunkan aku, suheng...."

"Engkau tahu, sumoi bahwa engkau tidak bersalah kepadaku. Engkau bersalah kepada Thian (Tuhan) dan kepadanyalah engkau harus minta ampun. Akan tetapl minta ampun saja tidak ada gunanya, sumoi. Permohonan arnpun kepada Tuhan haruslah disertai pertaubatan dan taubat yang sesungguhnya bukan hanya timbul dalam hati dan pikiran, bukan hanya terucapkan oleh mulut, melainkan harus dibuktikan dalam tindakan, dalam perbu-atan. Hati dan pikiranmu haruslah dicucl bersih dari dendam saklt hati itu dan pertaubatanmu harus terbukti dengan tidak mengulangi lagi plkiran dan perbuatan yang telah kaulakukan itu. Inipun belum cukup. Kesadaranmu dan penyesalang hatimu harus dibuktikan dengan relanya engkau menerlma hukuman atas segala kesalahanmu Itu dalam bentuk keprihatinan. Kalau tidak, maka semua penyesalanmu itu tidak ada gunanya karena akar kebencian masih tetap hidup daiarn batinmu dan sewaktu-waktu dapat menumbuhkan tunas baru."

"Aku mengerti, suheng, dan aku siap menerima hukuman apapun yang suhertg berikan kepadaku."

"Bagus kalau begitu. Mulai hari ini engkau harus tinggal dalam pondok peng-asingan selama tiga tahun!"

Biauw In Suthai menundukkan muka-nya.

"Aku menerima hukuman itu dengari rela, suheng."

"Sukurlah kalau begitu. Nah" pergilah ke pondok pengasingan' kita dan sampai gbertemu kembali tiga tahun kemudian."

Biauw In Suthai memberi hormat lalu berjalan pergi mendaki puncak sambil iinenundukkan mukanya. Tentu saja ia mengenal pondok pengasingan itu. Merupakan sebuah pondok terpencil agak jauh di belakang kompleks bangunan Kun-lun-pai, sebuah pondok sederhana dan kosong di mana seorang murid yang terhukum harus melewatkan hari-harinya dengan berprihatin dan bersamadhi, tldak diperkenankan meninggalkan pondok yang sunyi itu sebelum masa huk'umannya ha-bis. Menyepi sendiri dan untuk makanan-nya yang sederhana, setiap pagi seorang murid bertingkat paling rendah mengantarkan makanan itu dan menaruhnya di depan pintu.

Kui Beng Thaisu merigikuti bayangan sumoinya dengan pandang mata, kemu-dian dia mengelus jenggotnya dan menghela napas panjang.

"Sian-cai...., semoga Thian menolongnya dan membebaskannya dari tekanan nafsu kebencian."

Thian Liong tiba di daerah Pegunungan Bu-tong-san. Karena senja telah tiba, ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan di sltu terdapat sebuah rumah pengihapan sederhana, dia memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan Itu. Tadinya dia mengira bahwa tempat Itu hanya merupakan rumah ma kan dan dia hanya ingin makan dan bertanya-tanya di mana dia bisa mendapat-kan tempat untuk bermalam. Pelayan yang menyambutnya tersenyum mendengar pertanyaannya.

"Tuan mencari tempat untuk menginap? Di sinilah tempatnya. Kami mem-punyai beberapa buah kamar yang kartii sewakan kepada para tamu dari luar dusun. Selain di sini tidak ada tempat lain yang menyewakan kamar!"
Thian Liong menjadi girang. Dia tidak jadi memcuri makanan karena hendak mandi lebih dulu, dan dia minta diantar ke sebuah kamar yang akan disewanya untuk malam itu. Ternyata kamar itu walaupun kecil namun, bersih dan tempat tidurnya yang sederhana Juga cukup bersih. Ada pula karriar mandi di situ dan Thian Liong segera mandi dan ber-ganti pakaian bersih. Dia bersiap-siap untuk keluar dari kamar menuju ke rumah makan yang berada di ruangan depan. Dia harus membawa kantung uang emas dan pedangnya, karena kalau ditinggalkan di dalam kamar, ada kemungkinan barang-barang berharga itu akan dicuri orang. Dia mengikatkan pedang di belakang punggungnya dan mengikatkan kantung emas di pinggangnya, meninggalkan buntalan pakaiannya dl atas meja dalam kamar. Pada saat itu dia mendengar suara merdu wanita di luar kamarnya, bicara dengan suara pelayan yang telah menerimanya tadi.

Berdebar rasa jantung Thian Liong. Segera dla teringat akan gadis yang dijumpainya di Kun-lun-san dahulu Itu, maka cepat dia membuka daun pintu kamarnya dan melangkah keluar. Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang gadis berpakaian serba hljau. Namun dengan gerakan ringan dan gesit sekall gadis Itu inengelak dan mencondongkan tubuh ke klri sehlngga tidak terjadl tabrakan. Thian Llong menclum bau harum bunga mawar ketlka gadls Itu membuat gerakan menghindar.

"Ah, maafkan aku, nona!" katanya dan dia melihat bahwa gadls ini bukan gadis yang dljumpalnya dl Kun-lun-san dahulu itu. Memang keduanya sebaya, kurang lebih delapan belas tahun, sama-sama cantik jelita, wajahnya agak bulat, me-miliki daya tarik yang kuat, terutam.a sekali sepasang matanya yang indah dengan kerling tajam memikat dan bibirnya yang menggairahkan dengan senyumnya yang semanis madu.

Gadis itu memandang wajah Thian Liong yang tampan dan ia tersenyum. Manis sekali! Thian Liong memandang, dalam hatinya merasa kagum dan juga heran bagaimana dalam sebuah dusun di kaki pegunungan itu dia dapat bertemu dengan seorang gadis seperti itu. Jelas bukan seorang gadis dusun yang sederhana. Rambut yang hitam lebat itu digelung indah ke atas dan dihias setangkai bunga mawar merah. Kalung, anting-anting dan gelang emas bertabur permata meng-hias tubuhnya yang padat langsing. Di punggungnya, di bawah sebuah buntalan pakaian dari kain kuning, tampak ga-gang sepasang pedang.

"Tidak mengapa," kata gadis itu dengan suara merdu dan senyumnya meng-hias bibir yang merah basah,

"masih un-, tung kita tidak bertabrakan!"

"Maafkan," kata lagi Thian Liong dan dia melanjutkan langkahnya menuju ke depan. Dia mendengar pelayan itu berkata kepada gadis tadi.

"Inilah kamar nona," kata pelayan itu.

"Sunyi benar rumah penginapan ini" kata gadis itu.

"Hari ini memang sepi, nona. Tamunya hanya nona dan tuan tadi, yang hampir bertabrakan dengan nona. Biasanya ramai, sampai sepuluh buah karnar kami penuh semua."

"Sudah, tinggalkanlah aku."

"Baik, nona. Kalau nona hendak makan, silakan pergi ke rumah makan kami, di bagian depan bangunan ini." kata pelayan itu yang segera pergi.

Thian Liong tidak memperdulikan mereka lagi dan memasuki rumah makan sederhana itu. Dia duduk menghadapi meja dan memesan nasi dan dua macam masakan sayur dan daging ayam. Untuk mlnumnya dia memesan alr teh.

Ketika dia duduk termenung menanti datangnya makanan yang dipesannya, ti-ba-tiba terdengar suara merdu di belakangnya.

"Wah, agaknya tamunya hanya klta berdua! Bagaimana kalau aku juga makan di meja ini? Agar ada teman bercakap-cakap."

Thian Liong menoleh dan bangkit ber-dlri ketika melihat bahwa yang bicara adalah gadis tadi. Buntalannya sudah ti-ak ada, tentu ditinggalkan di dalam kamar seperti yang dia lakukan. Siang-kiam (sepasang pedang) itu kini tergantung di pungungnya dan di pinggangnya tergantung beberapa buah kantung kain. Pakaiannya yang serba hijau itu bersih dan terbuat dari sutera yang halus. Bunga mawar merah di rambutnya ,serasi sekali dengan pakaiannya yang hijau.

Thian Liong tercengang keheranan mendengar gadis itu ingin duduk semeja dengan nya untuk makan dan bercakap-cakap. Darl sikap yang berani dan tidak malu-malu ini dia dapat mengambil kesimpulan bahwa gadis ini seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan di dunia per-silatan dan seorang gadis yang sikapnya terbuka dan tidak terikat oleh segala macam peraturan dan peradatan.

"Oh, silakan, nona. Silakan!"

Gadis itu tampak gembira sekali dan ia lalu menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan dengan Thian Liong, terha-lang meja yang tldak berapa besar se" hingga mereka saling berhadapan dalam jarak dekat, hanya satu meter lebih. Berdebar juga rasa jantung dalam dada Thian Liong. Gadis itu demikian dekat dengannya dan kembali hidungnya tnenang-kap keharuman bunga mawar. Bagaima-na mungkin setangkai bunga mawar yang menghias kepala gadis itu dapat mena-burkan keharuman demikian semerbak? Gadis itu menggapaikan tangan memang-gil pelayan yapg segera datang meng-hampiri.

"Aku memesan makanan yang sama dengan yang dipesan tuan ini. Dan ja-ngan lupa, sediakan seguci kecil anggur yang paling baik."

Pelayan itu mengangguk dan pergi meninggalkan mereka.

"Akan tetapi aku hanya memesan minuman air teh, nona."

Gadis itu mengerling dengan matanya yang indah. Kerling tajam memikat disertai senyum manis, alisnya bergerak tanda heran.

"Akan tetapi mengapa? Hawanya begini dingin, sebaiknya minum arak atau anggur yang dapat mengha-ngatkan badan."

"Aku.... aku tidak pernah minum arak."

Sepasang alis itu kini bergerak naik bersama kedua matanya yang terbelalak lebar.

"Sungguh aneh! Baru sekarang aku mendengar seorang laki-laki tidak pernah minum arak! Padahal melihat engkau membawa sebatang pedang di punggungmu, mestinya engkau seorang kang-ouw (dunia persilatan) yang tidak asing dengan arak atau anggur."

Thian Liong tersenyum.

"Arak dapat membuat orang mabok dan mabok membuat orang kehilangan akal dan pertimbangan sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang tidak baik."

"Hi-hi-hik!" Gadis itu tertawa, tawanya lepas sehlngga kedua biblr Itu merekah, tampaklah deretan gigi yang rapl dan putih bersih.

"Orang minum arak harus dapat menyesuaikan dengan kekuatan minumnya sehingga tidak dapat sampai mabok; Aku sendiri selama hidupku bekum pernah mabok, beberapa banyakpun anggur atau arak yang kuminum!"

"Silakan nona kalau hendak minum anggur, bagiku cukup air teh hangat saja!" kata Thian Liong yang tidak ingin mencela kebiasaan minum arak gadis itu.

Beberapa lamanya mereka hanya duduk, menanti datangnya makanan yang dlpesan, tidak bicara apapun, Gadis itu mengamati wajah Thian Liong dengan penuh perhatian. la melakukan itu tanpa pura-pura dan dengan terang-terangan. Dl lain pihak, Thian Liong yang tahu bahwa gadis itu memandangnya penuh perhatian, menjadi salah tlngkah. Dia selalu mengelak untuk beradu pandang dan diam-diam dia memperhatikan bajunya, apakah ada yang tidak beres dengan pakaiannya. Dia merasa rikuh, canggung dan tidak enak diamati seperti itu. Maka, dla menghela napas lega ketika pelayan datang membawa pesanan nasi dan masakan untuk mereka.

Melihat bahwa yang dipesan pemuda Itu hanyalah nasi dan dua macam masakan sayur dan daging ayam, gadis itu mengerutkan alisnya.

"Hanya ini?" .tegurnya kepada pelayan.

"Itulah yang dipesan oleh tuan Inl, nona." kata pelayan.

"Hayo cepat tambah masakan Ikan sirip kuning saus tomat, goreng burung dara, udang masak jamur, kepiting goreng telur. Cepat, berapapun akan kubayar!"

Kasih Diantara Remaja Eps 22 Kasih Diantara Remaja Eps 7 Kasih Diantara Remaja Eps 1

Cari Blog Ini