Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Kilat 10


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tentu tidak akan dikenal sebagai seorang di antara Empat Datuk besar kalau wataknya tidak aneh, di samping ilmu silat tinggi yang dimilikinya. Dia aneh, wataknya keras dan kadang amat kejam, akan tetapi juga adil, bahkan kadang dapat lembut seperti seorang gagah atau seorang pendekar sejati. Sikapnya selalu tengantung dari keadaan perasaannya pada saat itu yang berubah-ubah seperti pasang surutnya air laut.

Saat itu hatinya sedang kesal dan marah karena mustika Akar Bunga Gurun Pasir miliknya yang dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko belum dapat kembali kepadanya. Dalam keadaan kecewa dan marah ini, dia bertemu Bun Houw yang dianggapnya berani memusuhi puterinya dan puteranya. Tentu saja timbul perasaan benci terhadap pemuda itu.

"Engkau benar-benar sudah bosan hidup! Baik, akan kuantar engkau ke neraka!" bentak datuk itu dan begitu tubuhnya bergerak, tangan kirinya sudah menyambar ke arah pelipis kanan Bun Houw. Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga sebelum pukulan tiba, angin pukulan dahsyat telah menyambar.

Bun Houw menjadi serba salah. Dia mengenal serangan maut yang berbahaya, maka cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia tidak berani menggunakan senjata, mengingat bahwa yang dihadapinya adalah ayah Hui Hong, gadis yang telah menarik hatinya itu. Maka, mengandalkan kelincahan tabuhnya, dia mengelak. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, kaki datuk itu sudah menyusul dengan sambaran tendangan yang lebih berbahaya lagi.

Kembali Bun Houw berbasil menghindarkan diri dengan elakan.

Makin gagal, kakek itu menjadi semakin penasaran dan marah. Serangan susulannya semakin ganas sehingga dalam waktu sepuluh jurus saja, Bun Houw sudah merasa kewalahan, terdesak dan terhimpit oleh serangkaian serangan yang kalau mengenal sasaran berarti maut! Akan tetapi tetap saja dia tidak berani mempergunakan senjata untuk melindungi dirinya, karena mempergunakan senjata berarti balas menyerang. Walaupun dia tahu bahwa dalam sebuah perkelahian, sikap menghindar tanpa membalas merupakan suatu kelemahan yang membahayakan diri sendiri, Apalagi menghadapi lawan yang jauh lebih kuat.

"Hyaanattt ...!" Untuk kesekian kalinya Ouwyang Sek menyerang dan sekali ini, kedua tangannya itu bergerak secara beruntun, saling susul menyusul sehingga tidak sempat bagi Bun Houw untuk mengelak terus. Terpaksa dia lalu mengerahkan tenaga pada telunjuknya dan menyambut serangan talapak tangan kiri lawan itu dengan totokan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk melindungi dirinya dari sambaran telapak tangan yang ampuh itu.

"Tukk ...!" Ouwyang Sek mengeluarkan seruan tertahan dan melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Bun Houw meloncat ke samping dan merasa betapa tangannya tergetar hebat saking kuatnya telapak tangan lawan yang ditotoknya tadi.

"It-sin-ci (Satu Jari Sakti) ...!" Ouwyang Sek berseru dan pandang matanya menjadi semakin marah.

"Bagus, memang engkau layak mati di tanganku!" Dan kini dia menyerang dengan semakin bebat, bagaikan gelombang dahsyat yang hendak menelan dirinya.

Biarpun Bun Houw sudah siap siaga dan menggunakan kedua tangannya ditambah kegesitan tubuhnya untuk menangkis dan mengelak, tetap saja dia tidak kuat menahan dan angin pukulan yang kuat sekali membuat dia terjengkang dan terguling-guling.

"Mampuslah!" Ouwyang Sek membentak dan menyusulkan serangan maut. Karena tubuh Bun Houw bengulingan, agaknya pukulan maut itu akan benar-benar mengantar nyawanya ke alam baka. Pukulan datang menyambar ke arah dada pemuda yang sedang terguling-guling itu.

"Dukk ...!" Ouwyang Sek berseru kaget dan terhuyung ke belakang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pada detik pukulannya mendekati dada lawan, sebatang tongkat telah menangkis sedemikian kuatnya sehingga dia merasa lengannya yang tertangkis nyeri dan tubuhnya terhuyung ke belakang karena tongkat itu menotok pula lutut kirinya!

Kini mereka berhadapan dan Bun Houw sudah berdiri dengan tongkat di tangan.

"Lo-cian-pwe, bagaimanapun juga, saya adalah seorang manusia yang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya. Kalau lo-cian-pwe mendesak terpaksa saya bersikap tidak hormat dan menggunakan senjata saya."

Datuk besar itu memandang tajam penuh selidik, dan Bun Houw yang maklum bahwa dia berada di ambang maut karena lawan sungguh amat lihai, tidak mau bersikap sungkan lagi dan begitu tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) telah terlolos dari sarungnya yang merupakan sebatang tongkat butut itu. Kini tangan kanan memegang pedang dan tangan kirinya memegang tongkat.

Ouwyang Sek mengangguk-angguk ketika melihat pedang itu,

"Orang muda, apa hubunganmu dengan Tiauw Sun Ong? tiba-tiba dia bertanya.

Bun Houw mengerutkan alisnya, dia sudah dipesan oleh gurunya agar tidak menyebut namanya karena tidak mau berurusan dengan dunia ramai.

"Lo-cian-pwe, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan beliau, dan saya tidak mau menyebut-nyebut tentang beliau."

Tiba tiba datuk besar itu tertawa.

"Ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong telah menjadi pengecut yang menyembunyikan diri dan nama. Kwa Bun Houw, sekarang tidak ada siapa-apalagi yang dapat menyelamatkan nyawamu! Hari ini engkau akan mati di tanganku dan nyawamu boleh memberitahu kepada Tiauw Sun Ong!" Setelah berkata demikian, tiba tiba datuk itu menyerang dengan tubrukan seperti seekor beruang.

Bun Houw mengelebatkan pedang dan tongkatnya dan sekarang dia melawan mati-matian. Untuk dapat terhindar dari malapetaka, satu-satunya jalan adalah balas menyerang. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang karena bagaimanapun juga, dia tidak mau mati konyol di tangan datuk ini, walaupun mengingat Hui Hong, dia tidak senang harus bermusuhan dengan orang tua ini.

Akan tetapi, tingkat kepandaian datuk betar itu memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bun Houw, maka biarpun pemuda itu menggunakan pedang dan tongkat, tetap saja dia terdesak hebat setelah lewat limabelas jurus. Sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat dia terhuyung dan sebelum dia dapat sempat mengatur keseimbangan dirinya, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya terpukul. Pedang itu terlepas dan pindah tangan, dan sebuah hantaman keras mengenai dadanya. Tubuh Bun Houw terjengkang, tongkatnya terlepas dari tangan kiri dan diapun muntah darah. Dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main.

"Ha-ha-ha, bersiaplah engkau untuk mati melalui Pedang Kilat!" Ouwyang Sek berseru sambil tertawa-tawa, lalu mengelebatkan pedang rampasan tadi untuk memenggal leher Bun Houw yang sudah tidak berdaya, Pemuda itu hanya dapat bangkit duduk dan dia memejamkan mata, maklum bahwa dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari maut.

"Ayah, jangan bunuh dia!" Tiba-tiba Hui Hong meloncat dan tahu-tahu tubuhnya sudah menghadang di depan Bun Houw, menghadapi ayahnya.

"Hong-moi, jangan lancang kau!" Ouwyang Toan meloncat mendekati adiknya dan menyentuh pundaknya, hendak menarik adiknya itu agar jangan menghalangi ayah mereka membunuh Bun Houw.

Akan tetapi Hui Hong mengibaskan tangan kakaknya yang menyentuh pundak dan berkata ketus,

"Toan-koko, ini urusanku pribadi dengan ayah, jangan kau mencampuri!" Kemudian dia menoleh kepada ayahnya dan suaranya terdengar tegas,

"Ayah, aku minta agar ayah jangan membunuh Kwa Bun Houw!"

"Hui Hong, apakah engkau sudah gila? Engkau berani menghalangi ayahmu dan membela anak setan ini?" Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya dengan bengis.

Berjodoh dengan Ilmu Sakti Im Yang Butek Cin Keng
"AYAH, maukah ayah menukar nyawa Kwa Bun Houw dengan nyawa puterimu?"

"Ehh? Apa maksudmu?"

"Ayah, tanpa adanya pertolongan pemuda ini, saat ini anakmu tentu telah mati. Ketika aku nyaris diperkosa Suma Hok dan pada saat akan membunuh diri dengan menggigit lidah sendiri, Kwa Bun Houw muncul dan menyelamatkan aku. Aku berhutang nyawa kepadanya, ayah. Oleh kerena itu, aku minta ayah jangan membunuhuya."

"Hemm, sekali aku mengambil keputusan, tidak dapat diubah lagi. Aku akan membunuh dia, apalagi dengan adanya pedang ini!"

"Ada apa dengan pedang itu, ayah '!"

"Kau tak perlu tahu!" Tiba-tiba suara datuk besar itu terdengar kaku dan marah.

"Minggirlah dan aku akan membunuhnya!"

"Hong-moi. minngirlah dan jangan membikin ayah marah!" tegur Ouwyang Toan kepada, adiknya.

Akan tetapi Hui Hong tetap berdiri tegak menghadang.

"Ayah, kalau ayah memaksa hendak membunuhnya, biarlah aku yang mati lebih dulu. Aku akan malu hidup kalau berhutang nyawa tanpa mampu membalas. Ayah bebaskanlah dia, berarti ayah telah membayar hutangku kepadanya!"

Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, lalu mendengus dan memandang kepada Kwa Bun Houw. Sekali pandang saja dia tahu bahwa pemuda itu telah menderita luka parah yang akhirnya akan membawanya ke lubang kubur juga. Pukulannya tadi hebat sekali, kalau bukan pemuda yang memiliki kekuatan tubuh yang hebat, tentu sudah mati seketika.

"Baiklah, biar dia pergi!" akhirnya dia berkata.

"Biar pedang ini menjadi pengganti nyawanya, ha-ha-ha!"

"Terima kasih, ayah!" Hui Hong berkata dengan girang, lalu membalik dan menghadapi Bun Houw ...

"Nah, engkau telah bebas, Kwa Bun Houw, pergilah cepat selagi ada kesempatan." Suara Hui Hong dingin, akan tetapi Bun Houw melihat betapa pandang mata gadis itu kepadanya membayangkan perasaan iba. Biarpun dadanya terasa amat nyeri, akan tetapi sikap Hui Hong tadi sudah mendatangkan perasaan senang yang membuat dia lupa akan kenyeriannya. Gadis itu membelanya! Bahkan mempertaruhkan nyawanya!"

"Sampai ... jumpa ...

" Bun Houw berkata lirih, membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hui Hong.

"Ha ha ha-ha!" Tiba-tiba Ouwyang Sek tertawa bergelak setelah bayangan Bun Houw lenyap ditelan pohon-pohon.

"Tiauw Sun Ong, bocah itu tentu ada hubungan dekat denganmu. Biar belum dapat menemukan dan membunuhmu, setidaknya aku telah dapat menghajar orang yang dekat denganmu. Hatiku puas, ha-ha ha!"

"Ayah, siapakah Tiauw Sun Ong?" Hui Hong bertanya.

"Tak perlu kautahu!" Ouwyang Sek membentak dengan suara ketus dan diapun melangkah pergi dari situ, diikuti Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong.

Bun Houw menahan rasa nyeri dan terhuyung huyung keluar dari dalam hutan. Dadanya sesak dan ada rasa panas dan pedih menghentak-hentak. Rasa hatinya bahkan lebih sakit dibanding tubuhnya. Dia dihajar oleh ayah gadis yang dicintanya. Bahkan pedang pemberian garunya juga disita. Ayah Hui Hong membencinya. Juga kakak Hui Hong. Gadis itu sendiri? Hanya mengenal budi. Kalau gadis itu juga mencintanya, tentu takkan membiarkan dia dihajar seperti itu. Cintanya bertepuk tangan sebelah! Satu hal lagi yang membuat dia semakin sakit adalah kenyataan bahwa ayah Hui Hong telah mengenal gurunya dan agaknya amat membenci gurunya itu.

Suara orang dari belakang membuat Bun Houw cepat menyusup ke dalam semak-semak. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun dalam keadaan seperti itu. Begitu dia menyusup ke dalam semak-semak, Ouwyang Sek dan kedua orang anaknya lewat. Dia merasa beruntung sudah bersembunyi. Dia tidak sudi bertemu lagi dengan mereka, sekarang maupun kapan saja. Keluarga Ouwyang itu bukan keluarga orang baik-baik.

"Ayah, yang mengambil mustika itu tentu seorang di antara tiga datuk lainnya." terdengar suara Ouwyang Hui Hong suara yang membuat jantungnya berdebar. Hemm, gadis itupun tentu sekejam ayahnya, bantah hatinya sendiri untuk meredakan rasa rindunya.

"Akan kucari mereka! Kalau seorang di antara mereka berani menguasai benda milikku itu, akan kurampas dengan kekerasan!" suara Ouwyang Sek masih terdengar olehnya sebelum mereka lenyap sama sekali.

Setelah mereka pergi jauh, barulah Bun Houw keluar dari semak belukar dan melanjutkan perjalanan menuruni lembah. Dia harus mencari obat. Setidaknya dia harus mencari tempat yang aman untuk melakukan siu-lian (samadhi), untuk mencoba menyembuhkan atau mengurangi lukanya.

Beberapa jam kemudian, setelah dengan susah payah menuruni lereng, dari tempat itu dia melihat genteng-genteng rumah sebuah dusun kecil. Dia lalu mengerahkan sisa tenaganya menuju ke dusun itu karena matahari telah condong jauh ke barat. Dia harus mendapatkan tempat berlindung melewati malam, karena dalam keadaan terluka dalam separah itu, amat berbahaya kalau dia melewatkan malam di tempat terbuka. Apalagi kalau sampai diserang binatang buas atau orang jahat. Dia takkan mampu membela diri sama sekali. Sedikit saja dia mengerahkan tenaga, lukanya akan makin menghebat dan mungkin nyawanya akan melayang saat itu juga.

Tiba-tiba dia terkejut melihat dua sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pria berusia limapuluh lima tahun yang bertubuh kecil kurus dan seorang pemuda tampan. Pemuda inilah yang mengejutkan hatinya karena dia mengenalnya sebagai pemuda yang lihai, yang nyaris memperkosa Hui Hong.

Suma Hok juga mengenal Bun Houw dan dengan muka merah dan mata melotot dia berkata kepada pria kecil kurus yang ternyata adalah ayahnya.

"Ayah, orang ini pasti tahu siapa yang mengambil mustika itu! Mungkin dia sendiri yang mengambilnya!"

Pria kurus itu memang Suma Koan yang berjuluk Kui-siauw Kiam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang di antara Empat Datuk Besar yang ditakuti dunia kang-ouw. Melihat orangnya, sungguh takkan ada yang mengira bahwa dia datuk besar yang ditakuti itu. Namanya sejajar dengan Ouwyang Sek dan para datuk lainnya. Akan tetapi tubuhnya yang kecil kurus, penampilannya yang tidak mengesankan, akan membuat siapapun memandang rendah kepadanya. Entah berapa banyaknya orang yang mati konyol hanya karena memandang rendah datuk itu!"

Suma Koan menyeringai mendengar ucapan puteranya itu. Sudah beberapa orang dibunuhnya tadi karena dia dan puteranya mengira orang itu yang mengambil Akar Bunga Gurun Pasir yang diperebutkan dan yang lenyap ketika diperebutkan.

"Begitukah? Kalau begitu, geledah seluruh badannya!" katanya.

Akan tetapi, Suma Hok kelihatan ragu-ragu. Dia sudah merasakan kelihaian Kwa Bun Houw, maka menggeledah badan merupakan pekerjaan yang berbahaya. Ayahnya melihat keraguan ini dan dia mengerutkan alisnya.

"Kenapa ragu-ragu?"

"Ayah, orang ini lihai sekali, sebelum kurobohkan bagaimana dapat menggeledahnya?"

"Hemm, ada aku di sini, takut apa?" bentak ayahnya marah karena sikap takut-takut dari puteranya itu merupakan tamparan bagi keangkuhannya.

Suma Hok menghampiri Bun Houw, tangannya mencengkeram ke arah baju, menduga bahwa Bun Houw tentu akan mengelak atau menangkis. Akan tetapi, ternyata dia dapat mencengkeram baju itu dengan mudah dan sekali tarik, terdengar suara memberebet dan baju itupun koyak-koyak! Nampaklah dada Bun Houw dan melihat kulit dada yang matang biru itu, Suma Hok tertawa.

"Ha-ha-ha, kiranya engkau telah terluka parah!" Dan timbullah kesombongan Suma Hok. Dengan sikap gagah dia lalu merobek-robek pakaian Bun Houw sehingga tinggal cawat saja yang menutupi tubuh pemuda itu. Akan tetapi, Suma Hok tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kantung kecil berisi beberapa potong emas, yaitu emas pemberian gurunya yang masih bersisa. Melihat isi kantung itu sambil menyeringai Suma Hok memasukkannya ke dalam saku bajunya sendiri.

"Dia tidak membawa akar itu, ayah. Tentu dia sembunyikan entah ke mana. Orang ini licik sekali, ayah."

"Hemm, terhadap aku dia tidak dapat licik!" kata Suma Koan sambil menghampiri Bun Houw. Sepasang matanya yang tajam dan mengandung kekejaman itu menyelidiki wajah Bun Houw.

"Hayo katakan, di mana engkau simpan akar itu!" Dia bertanya, langsung saja menuduh seperti yang dilakukannya tadi terhadap banyak orang yang dibunuhnya satu demi satu karena mereka tidak mampu menunjukkan di mana adanya benda yang amat diinginkannya itu.

Bun Houw sudah menderita luka parah. Dia tahu bahwa kalau tidak mendapatkan obat yang amat manjur, dia akan terancam maut. Kini, dia ditelanjangi dan dihina tanpa mampu membalas karena begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dia akan mati seketika. Maka, tentu saja dia tidak mengenal lakut lagi. Dia tahu dengan siapa dia berhadapan. Sudah pernah didengarnya tentang Kui-siauw Giam-ong. Karena tadi dia telah mendengar bahwa pemuda yang nyaris memperkosa Hui Hong adalah Suma Hok putera Kui-siauw Giam-ong, siapa lagi kakek kecil kurus ini kalau bukan si datuk sesat itu? Dia merasa penasaran sekali dan biarpun terancam maut. Sebelum mati dia harus memperlihatkan keberaniannya dan menyatakan perasaan hatinya.

Dengan pandang mata berani dia menatap wajah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, lalu tersenyum mengejek.

"Orang tua, apakah engkau tidak malu dengan sikapmu ini?"

Sepasang mata Suma Koan terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. Beraninya anak ini! "Hei, setan. Apakah engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan?" bentaknya, sedangkan puteranya. Suma Hok, juga marah sekali. Akan tetapi melihat kemarahan ayahnya, dia tilak berani lancang turun tangan membunuh Bun Houw dan membiarkau ayahnya yang akan menangani sendiri pemuda itu.

Senyum di bibir Bun Houw melebar.

"Tentu saja aku tahu, paman. Namamu disohorkan orang sebagai Kui-siauw Giam-ong, seorang di antara datuk sesat yang besar dan berkepandaian tinggi, dihormati dan ditakuti orang. Siapa kira orangnya hanyalah pengecut besar!"

"Apa kaukata? Orang muda, engkau benar-benar sudah bosan hidup!" datuk besar itu membentak, kemarahannya sudah memenuhi kepala sampai ke ubun-ubun.

"Mati hidup di tangan Tuhan! Engkau dihormati sebagai seorang datuk besar, akan tetapi engkau hanya pandai memaksa dan menghina seorang muda yang sudah tertuka parah! Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu tentang akar itu, bahkan melihatpun belum. Kalau engkau tidak percaya, sudahlah mau bunuh tinggal bunuh. Lebih senang aku yang mati dari pada engkau yang hidup akan tetapi sebagai seorang pengecut besar yang namanya akan ditertawakan orang sampai tujuh turunan!"

"Jahanam busuk, tutup mulutmu! Ayah, biar kuhabiskan saja keparat ini!" Suma Hok melangkah maju dan mengangkat tangannya, akan tetapi ayahnya mendelik kepadanya,

"Jangan bunuh! Kau ingin ucapannya yang menghina tadi terbukti? Aku tidak akan membunuhnya, aku akan membuat dia tetap hidup, menderita dan tersiksa, dan biar dia tahu betapa lihainya Kui-siauw Giam-ong yang dihinanya!" Suma Koan mengerahkan tenaga dan sekati dia menepuk punggung Bun Houw, pemuda itu terpelanting dan roboh, tak mampu bangkit kembali, terengah-engah seperti ikan dilempar ke darat, seluruh tubuh terasa nyeri seperti ditusuki seribu batang jarum dan napasnya makin sukar seolah dadanya terhimpit kuat.

Kui-siauw Giam-ong Suma Koan tertawa, diikuti oleh puteranya dan Suma Hok berkata,

"Jahanam sombong, rasakan kau sekarang. Pukulan ayah itu akan membuat engkau mati perlahan-lahan. Tidak ada tabib di dunia ini mampu menyembuhkanmu dan dalam waktu tiga bulan atau paling lama seratus hari, engkau akan mampus dalam keadaan yang amat tersiksa!"

"Sudah, biarkan dia mengenang kelihaianku. Mari kita pergi!" kata datuk sesat itu dan mereka berdua berkelebat lenyap dari situ, meninggalkan Bun Houw yang masih terengah-engah di atas tanah.

Sementara itu, hari semakin gelap. Bun Houw mencoba bangkit berdiri, akan tetapi terpelanting lagi. Kepalanya pening, napasnya sesak dan kedua kakinya menggigil, tubuhnya sebentar panas sebentar dingin. Dia berusaha untuk meninggalkan tempat itu. Dia harus dapat mencapai dusun di depan. Sambil merangkak-rangkak, kadang-kadang harus berhenti terengah-engah, Bun Houw menuju ke dusun. Sudah nampak ada sinar lampu berkelap-kelip dan sinar itulah yang menjadi pedoman ke arah mana dia harus merangkak.

Malam tiba dengan cepatnya.

Dengan susah payah, dalam keadaan setengah mati, akhirnya Bun Houw dapat mencapai depan pintu sebuah rumah sederhana yang terpencil, merupakan rumah pertama dari dusun yang kecil itu. Dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk mengetuk daun pintu.

Di dalam gubuk terdengar gerakan dan api penerangan yang tadi berkelap kelip ditiup padam. Di sebelah dalam, di kamar rumah sederhana itu, So Kian, pemburu yang tadi mengintai orang-orang kang-ouw bertempur, berpelukan dengan isterinya. Isterinya ketakutan setengah mati! Sore tadi suaminya pulang dengan pakaian yang kotor penuh lumpur dan debu, dengan tubuh gemetar dan muka pucat. Dengan ketakutan So Kian menceritakan kepada isterinya apa yang dilihatnya di dalam hutan dekat puncak Bukit Merpati Hitam itu. Betapa banyak orang-orang kang-ouw yang menyeramkan dan berkepandaian tinggi sekali saling serang. Betapa akhirnya setelah mereka saling serang, dia dapat pula melarikan diri dan terus pulang.

Dalam keadaan tegang dan ketakutan, kini setelah malam tiba mendengar daun pintu di luar diketuk orang, tentu saja So Kian dan isterinya menjadi semakin ketakutan. So Kian adalah seorang pemburu yang biasa hidup di tengah hutan dan sering menghadapi bahaya dan kekerasan. Dia seorang pemberani. Akan tetapi sekali ini, setelah melihat banyak orang kang-ouw yang berilmu tinggi mengadu kepandaian, dia merasa dirinya kecil dan lemah, dan dia tahu bahwa kalau ada orang kang-ouw yang melihatnya dan menyerangnya, tentu dia akan tewas dan tidak berdaya melawannya. Kini, dia dan isterinya saling peluk di atas pembaringan, dalam kamar mereka dan hanya berdoa agar orang di luar itu segera pergi.

Ketukan itu terdengar beberapa kali, makin lama semakin lemah dan akhirnya tidak terdengar lagi. So Kian dan isterinya merasa lega. akan tetapi semalam itu mereka gelisah dan tidak berani keluar dari dalam kamar.

Baru pada keesokau harinya, pagi-pagi sekali So Kian suruh isterinya berindap-indap menuju ke depan dan mengintai dari celah-celah di balik pintu depan. Mereka berdua terkejut bukau main melihat seorang laki-laki muda, hanya bercawat, rebah terlentang di depan pintu. Muka pemuda itu pucat agak kebiruan, seperti muka mayat.

"Celaka ...! Ada orang mati di sini ...!"

So Kian berbisik dengan suara gemetar.

"Kita harus cepat minggat dari sini. Jangan ada yang menyangka kami yang membunuhnya!

"Celaka ... ah, sungguh celaka ...-!" katanya kebingungan dan hendak lari ke dalam.

Akan tetapi, isterinya yang masih terus mengintai, memegang lenganuya.

"Ihh, kenapa engkau sekarang menjadi seperti anak kecil ketakutan?" isterinya mengomel.

"Lihat, orang itu belum mati. Dia kelihatan sakit keras dan membutuhkan pertolongan."

"Ah. aku tidak berani. Jangan-jangan iblis-iblis itu akan datang semua ke sini dan hancurlah kita ...

"

'Tolol kau! Mana ada iblis jahat seperti orang itu? Dia masih muda dan sedang menderita. Mau kita tolong dia!" Wanita itu karena merasa kasihan, timbul keberaniannya dan ia membuka daun pintu. Terpaksa So Kian mengikuti isterinya dan mereka berlutut di dekat tubuh Bun Houw. Setelah dekat, baru mereka tahu bahwa pemuda yang hampir telanjang itu memang belum mati Bun Houw roboh pingsan setelah ketukan pintu itu dibukai orang.

"Dia pingsan. Mari kita angkat ke dalam. Kasihan sekali, dia membutuhkan pertolongan." kata isteri So Kian. Kini So Kiao tidak takut lagi dan pada dasarnya dia seorang yang baik budi. Diangkatnya tubuh lunglai itu di kedua lengannya yang kuat dan dibawanya ke dalam kamar sebelah yang kosong. Dia meletakkan lubuh yang pingsan itu ke atas sebuah pembaringan.

"Cepat ambilkan pakaianku. Dia harus diberi pakaian agar tidak kedinginan." kata So Kian kepada isterinya.

Tak lama kemudian, Bun Houw sudah berpakaian dan diselimuti. Akan tetapi melihat wajah yang pucat kebiruan, dada dan punggung yang menghitam dan membengkak, napas terengah-engah, suami isteri itu menjadi bingung sekali.

"Cepat kau pergi mengundang tabib atau membeli obat. Aku akan menunggunya." kata isterinya dan So Kian mengangguk, kemudian diapun pergi karena dia tidak ingin orang itu mati di dalam rumahnya.

Belum lama So Kian pergi, Bun Houw merintih dan bergerak. Isteri So Kian yang tadi duduk, kini bangkit berdiri menghampiri. Bun Houw tidak membuka mata, akan tetapi bibirnya bergerak-gerak seperti orang mengigau.

"Akar ... Akar Bunga Gurun Pasir ... harus didapatkan mustika itu ...

"

Isteri So Kian membungkuk.

"Akar Bunga Gurun Pasir apakah yang kau maksudkan, kong-cu (tuan muda)?" Ia menyebut Bun Houw "kong-cu" karena ia mengira bahwa tentu pemuda itu seorang pemuda kota yang pantas disebut kongcu. Akan tetapi Bun Houw tidak menjawab, bahkan tidak pula membuka matanya, seperti orang tertidur. Isteri So Kian merasa lega melihat si sakit seperti tidur nyenyak, maka ia pun merasa tidak enak berdua saja dengan seorang pemuda. Ditinggalkannya Bun Houw ke belakang dan iapun hendak mencuci pakaian suaminya yang kotor berlumpur, yang ditanggalkannya kemarin sore dan belum sempat dicuci karena mereka sudah ketakutan mendengar cerita suaminya tentang orang-orang kang-ouw yang saling serang.

Ketika ia mencuci baju suaminya yang kotor, tiba-tiba tangannya memegang benda keras di saku baju itu. Diambilnya benda itu. Ternyata sebuah kantung sutera kecil yang terisi benda keras sebesar tangan. Diambilnya benda itu dan ia mengamatinya dengan heran. Seperti kayu atau akar, bentuknya seperti tangan, ada jari-jarinya dan akar rambut bergantungan. Nampaknya agak mengerikan seperti tangan manusia kering. Dimasukkannya kembali benda itu ke dalam kantung dan disimpannya. Setelah selesai mencuci pakaian dan dijemurnya, dibawanya kantung itu dan ia kembali ke kamar.

Bun Houw bergerak gelisah dalam tidurnya.

"Akar ... Akar Bunga Gurun Pasir ... ah, di mana mustika itu? Aku harus mendapatkannya ...

" dia mengigau.

Mendengar ini, dan melihat betapa wajah pemuda itu menjadi kebiruan, napasnya terengah-engah, wanita itu mengambil benda dari dalam kantung dan mengamatinya. Akar Bunga Gurun Pasir? Inikah benda yang dicarinya Memang seperti akar, akar yang aneh. Orang yang sakit parah itu selalu menanyakan Akar Bunga Gurun Pasir, kalau benar ini barang yang dicarinya, tentu akar inilah obatnya! Karena melihat keadaan Bun Houw semakin parah, napasnya tinggal satu-satu dan mukanya biru kehitaman mengerikan, wanita itu takut kalau-kalau Bun Houw mati sebelum suaminya kembali. Dalam bingungnya, ia lalu membawa akar itu ke dapur dan memasaknya dengan air.

Ketika api mulai panas, ia terkejut mendengar ledakan-ledakan kecil dan akar itu bergerak-gerak dalam air seperti hidup. Dan lebih aneh lagi, air itu cepat sekali mendidih. Ia tidak tahu bahwa akar itu memang Akar Bunga Gurun Pasir, benda mustika yang langka sekali. Di dalam akar bunga yang dapat hidup di Gurun Pasir itu terdapat hawa dingin yang merupakan inti dingin sehingga dapat membuat tanaman itu bertahan di gurun yang panas. Darah atau getah akar itu mengandung hawa dingin akan tetapi karena luarnya terselubung hawa panas, maka ketika ditemukan dengan air panas, hawa dingin di dalam itu melawan sehingga terjadi ledakan-ledakan kecil. Setelah hawa dingin itu terserap oleh hawa panas dari api, maka air itu cepat sekali mendidih.

Seperti biasanya kalau ia menggodok obat, air itu dibiarkan sampai tinggal sepertiga bagian, baru ia tuangkan air yang kini menjadi kehijauan itu ke dalam mangkok dan terjadi keanehan lain. Air yang tadinya mendidih itu setelah diangkat dari atas api, sebentar saja menjadi dingin kembali. Isteri So Kian cepat membawa mangkok obat itu ke dalam kamar.

"Akar ... ah. akar ... Akar Bunga Gurun pasir ...

" Bun Houw masih mengerang dan mengeluh.

"Inilah obat akar itu. Minumlah." kata isteri So Kian sambil membantu Bu Houw bangkit duduk dan memberi minum obat dari dalam mangkok. Dalam keadaan tidak sadar Bun Houw menelan air obat hijau itu sampai habis berteguk-teguk. Wanita itu lalu merebahkannya kembali dan ia melangkah hendak keluar dari dalam kamar, untuk mempersiapkan masakan di dapur. Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras mengejutkan di belakangnya. Ketika ia membalik, ia terbelalak dan mangkok kosong itupun terlepas dari tangannya, terbanting pecah di atas lantai kamar. Ia memandang dengan mata terbalalak dan muka pucat, takut dan bingung.

Memang hebat akibat dari obat yang diminum habis oleh Bun Houw itu. Kini tubuhnya bergerak-gerak aneh, menegang, bergerak-gerak seperti sepotong benda aneh, tangan dan kakinya mencakar-cakar, memukul menendang dalam keadaan masih rebah, matanya terbelalak merah, mulutnya terbuka dan mengeluarkan suara yang aneh seperti seekor binatang disiksa, jari-jari tangannya terbuka, dan terdengar suara berkerotokan di tubuhnya, seolah-olah semua tulangnya hendak rontok, dan perlahan-lahan, tubuhnya menjadi kemerahan seperti kepiting direbus, dan mengeluarkan uap panas!"

Agaknya teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Bun Houw terdengar pula oleh So Kian yang datang berlari-lari. Dia mendengar suara aneh di dalam rumahnya, dan diapun lari memasuki rumah. Dilihatnya isterinya berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak di luar pintu kamar di mana tamu yang sakit itu berada.

"Apa yang terjadi ...?" tanyanya sambil cepat menghampiri isterinya. Wanita itu tadi tidak mampu bergerak saking kaget dan khawatir, juga takutnya. Kini mendengar suara suaminya ia membalik dan hampir pingsan roboh dalam rangkulan suaminya. Ia tidak mampu bicara, hanya menuding ke arah dipan dalam kamar.


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


So Kian cepat memandang dan diapun terbelalak. Sambil merangkul Isterinya, dia melangkah masuk ke dalam kanar itu, hendak menghampiri tamu mereka yang kini berkelonjotan dan menggeliat-geliat aneh. Akan tetapi, baru tiga langkah mereka mendekat, mereka terpaksa mundur lagi dengan cepat. Hawa panas yang menyerang mereka, yang keluar dari tubuh di atas dipan itu. sungguh tak tertahankan! Tamu mereka itu seperti dalam keadaan terbakar tanpa nampak ada apinya! Agaknya terbakar dari dalam oleh hawa panas yang melebihi api!

"Apa ... apa yang lelah terjadi ...

" So Kian bertanya kepada isterinya, Isterinya menggigil dan memandang ke arah tubuh yang berkelonjotan itu dengan hati ngeri.

"Aku ... aku meminumkan obat ...

"

"Obat? Obat apakah?" Suaminya bertanya. Kini mereka hanya berdiri di luar pintu kamar. Di tempat itu pun masih terasa panas yang keluar dari dalam kamar, seolah kamar itu kebakaran.

Aku menggodok akar itu dan memberi minum. Dia selalu mengigau menanyakan akar itu. Maka, ketika aku menemukan akar dalam kantung itu di dalam saku bajumu, kukira itulah obat yang dicarinya, dan kugodok lalu kuminumkan.

"Akhh! Benda itukah?" So Kian termenung. Kemarin sore ketika dia bersembunyi menonton para tokoh kang-ouw bertempur hebat, ada benda yang jatuh menimpa pundaknya. Dia terkejut dan mengambil benda itu yang ternyata sebuah kantung sutera. Tanpa disadarinya, karena dalam keadaan tegang dan ngeri, dia mengantongi benda itu, tanpa mengetahui apakah benda itu dan kenapa pula dia mengantungnya. Kalau dia tahu bahwa benda itu yang dijadikan perebutan antara para tokoh kangouw yang lihai itu, tentu menjamahpun dia tidak berani. Kini baru dia teringat. Mereka memperebutkan Akar Bunga Gurun Pasir!"

"Benda apakah itu?" tanya isterinya.

Suaminya menggeleng kepala.

"Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi agaknya benda itulah yang disebut Akar Bunga Gurun Pasir itu dan dijadikan rebutan. dan kenapa engkau menggodok dan meminumkannya? Lihat, dia sekarat mengerikan!"

Wanita itu menutupi mukanya dengan tangan.

"Ah, kukira ... dia mencari obat itu, dan aku ... aku tidak tega melihat dia tersiksa ... aku tidak tahu obat itu akan membunuhnya ...

" Dan wanita itu menangis.

Suaminya merangkulnya.

"Sudahlah, bukan kau sengaja. Maksudmu baik. dan aku sendiri tidak tahu benda apa Akar Bunga Gurun Pasir itu. Kebetulan saja kudapatkan dan dia sudah meminumnya. Sudahlah, kita harus cepat pergi dari sini. Cepat kumpulkan semua pakaian dan barang berhanga yang dapat kita bawa."

"Eh? Ke mana kita akan pergi? Dan kenapa harus pergi!"

"Sudahlah, cepat lakukan apa yang kuminta, bahaya maut mengancam kita. Kita pergi mengungsi untuk sementara, kalau kelak sudah aman kita kembali lagi."

"Tapi ... tapi orang itu sakit ...

"

Suaminya menghela napas panjang.

"Memang dia sakit, mungkin akan mati. Akan tetapi apa yang dapat kita lakukan? Akupun gagal mencari tabib, satu-satunya tabib sedang pergi untuk beberapa hari lamanya. Kita harus cepat mengungsi."

"Tapi ... bagaimana kita dapat meninggalkan dia dalam keadaan seperti itu? Dia akan mati ...!"

"Sudahlah! Kebaikan hatimu mungkin akan menyeret kita berdua ke dalam maut!" Suaminya membentak dan wanita inipun tidak berani membantah lagi. Tak lama kemudian, mereka pergi meninggalkan rumah itu sambil membawa buntalan pakaian.

Bun Houw dapat mendengar dan melihat semua itu! Dia mengalami hal amat aneh. Ketika dia ditemukan oleh So Kian dan Isterinya. dia benar-benar dalam keadaan pingsan dan tidak ingat apa-apalagi, tidak merasakan apa-apalagi. Akan tetapi, pagi tadi, dia siuman dan merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, kemudian perasaan panas dingin menyerangnya silih benganti. Ketika wanita itu datang membawa mangkok dan membantunya minum, dia masih sadar dan tahu bahwa wanita itu telah menolongnya dan kini berusaha mengobatinya. Karena dia memang membutuhkan obat. obat apa saja untuk mengusir rasa nyeri yang menusuk-nusuk, tanpa membantah diapun menelan cairan yang dituangkan ke dalam mulutnya, meneguk sampai habis isi mangkok itu.

Dan mulailah dia terbakar! Terjadi kebakaran hebat di dalam tubuhnya. Rasa panas menyerangnya sedemikian hebatnya sehingga dia tidak mampu menguasai tubuhnya lagi. Tubuh itu meregang dan menggelepar, menggeliat dan berkelonjotan tanpa dapat dia kuasai lagi. Bahkan kerongkongannya mengeluarkan suara di luar kehendaknya, lepas dari pengendaliannya. Anehnya, matanya yang melotot itu dapat melihat segala dengan jelas, dan juga telinganya dapat menangkap semua suara sehingga dia dapat melihat dan mendengar ketika suami isteri penolongnya itu bercakap-cakap. Akan tetapi dia tidak dapat bicara, tidak dapat membuat gerakan kecuali hanya menyerah saja dan membiarkan hawa panas yang teramat kuat di dalam tubuhnya itu menguasainya. Tubuhnya kini menjadi seperti medan perang di mana terjadi pertempuran hebat antara dua kekuatan yang menguasai dirinya. Kekuatan racun dan kekuatan obat.

Bun Houw tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tidak tahu obat apa yang telah diminumnya tadi. Dia masih teringat bahwa dua kali dirinya telah menjadi bulan-bulan pukulan orang-orang sakti, yaitu datuk sesat Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, kemudian terjatuh ke tangan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan menerima siksaan pula. Nyawanya sudah bergantung kepada sehelai rambut. Dan kini, setelah minum obat dari mangkok yang diberikan isteri orang yang menolongnya, tubuhnya kebakaran dari dalam! Dan tadi dia masih mendengar percakapan mereka, akan tetapi dia masih belum mengerti benar. Mereka bicara tentang Akar Bunga Gurun Pasir! Benarkah dia telah diberi minum Akar bunga Gurun Pasir? Benarkah mustika yang dijadikan perebutan semua orang kang-ouw itu kini telah masuk ke dalam perutnya dan mengakibatkan tubuhnya kebakaran seperti itu? Dia tentu akan mati! Belum pernah selama hidupnya dia merasakan siksaan yang sedemikian hebatnya. Bahka siksaan dua orang datuk sesat itupun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi dalam tubuhnya setelah dia minum obat itu.

Saking panasnya. Bun Houw membuat gerakan untuk melepas bajunya. Terdengar suara berebrebetan dan baju itu koyak-koyak.

Baru membuat sedikit gerakan saja, bajunya koyak-koyak. Untung dia masih teringat untub tidak membuka celananya. Biarpun sudah bertelanjang baju, masih saja dia merasa terbakar. Dadanya seperti akan meledak rasanya dan ketika dia memandang ke arah dadanya, ternyata tanda menghitam bekas pukulan dua orang datuk itu telah lenyap! Kulit dadanya halus dan bersih, akan tetapi kini seluruh tubuhnya berwarna kemerahan seperti kepiting direbus!

Setelah berkelojotan selama setengah jam, akhirnya Bun Houw dapat mengendalikan kekuatan hebat yang mencengkeram dirinya dari dalam itu. Di dalam dirinya seperti ada gas yang hendak keluar, mencari jalan keluar dan bagaikan liar. Akan tetapi, setelah rasa nyeri di tubuhnya perlahan-lahan lenyap, yang ada hanyalah perasaan panas, dia mulai dapat mengendalikan hawa yang amat kuat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi yang pernah digembleng oleh orang sakti, diapun dapat merasakan betapa dirinya telah dikuasai oleh tenaga dalam yang amat dahsyat. Diapun dapat bangkit duduk, lalu bersila.

Kini dia dapat merasakan benar hawa yang dahsyat itu berputar-putar di seluruh tubuh melalui jalau darahnya. Mula-mula, memang kekuatan itu tak terkendalikan olehnya, berputar-putar liar dan tak menentu. Akan tetapi, akhirnya, perlahan-lahan dia dapat mengendalikannya. Ketika dia mengendalikan tenaga dahsyat itu dan membiarkan berputaran secara teratur, hampir saja dia pingsan. Begitu cepatnya hawa itu berputar sehingga dia merasa seperti akan terapung ke atas. Setelah dia dapat membiarkan diri dengan keliaran tenaga dalam tubuh itu, dapat juga dia menghentikannya ke dalam pusar di perut bawah dan di situ, tenaga dahsyat itu masih berputar-putar dan beberapa kali sukar dikuasai, akan tetapi akhirnya dapat bergabung dengan tenaga sin-kang yang selama ini terhimpun di situ dan dapat diam.

Setelah tenaga itu tidak liar lagi, dia mulai dapat mempengunakan ingatannya. Mula-mula Hui Hong marah-marah dan cekcok dengan dia karena Hui Hong nampaknya cemburu kepada Ling Ay, menuduhnya masih mencinta bekas tunangannya itu yang telah menjadi isteri orang. Kemudian muncul Ouwyang Toan yang memaksanya untuk berkelahi, dan sesudah itu, ayah Hui Hong, datuk sesat Ouwyang Sek memaksanya berkelahi. Dan agaknya Ouwyang Sek telah mengenal gurunya, Tiauw Sun Oug, bahkan amat membenci gurunya itu. Dalam perkelahian yang terpaksa dia layani itu, akhirnya dia terkena pukulan pada dadanya, pukulan keras mengandung racun yang amat hebat, dan Pedang Kilat, pedang pusaka bersarung tongkat yang dia peroleh dari gurunya itu, dirampas Ouwyang Sek. Kemudian, Hui Hong yang menyelamatkannya, ketika Ouwyang Sek hendak membunuhnya.

'Heran, bagaimanapun juga, ada pula perasaan iba dan sayang dalam hati Hui Hong kepadaku," keluh Bun Houw ketika mengenang, paristiwa itu. Dia melanjutkan lamunannya, mengingat-ingat.

Dalam keadaan terluka oleh pukulan Ouwyang Sek, dia diperbolehkan pergi dan dalam perjalanan itu, dia bertemu dengan datuk sesat yang lain, yaitu Suma Koan bersama puteranya Suma Hok. Dia pernah membebaskan Hui Hong dari cengkeraman Suma Hok yang nyaris memperkosanya. Tentu saja Suma Hok mendendam kepadanya. Ayah dan anak itu menuduh dia menyembunyikan Akar Bunga Gurun Pasir. Mereka menghinanya, menelanjanginya, bahkan menyiksanya, kemudian datuk sesat yang kejam itu sengaja memukulnya sehingga dia keracunan dan akan mati perlahan-lahan. Dalam keadaan tiga perempat mati itu dia merangkak-rangkak ke dusun dan akhirnya dia tiba di depan pintu sebuah pondok, lalu tidak ingat apa-apalagi.

Dia memejamkan mata, lalu mengingat-ingat lagi. Dia kini tahu bahwa dia telah ditolong oleh wanita itu dan suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Kemudian, entah bagaimana, dia merasa seperti dalam mimpi, dalam keadaan setengah sadar dia merasa dibantu wanita itu bangkit duduk dan diberi minum dari sebuah mangkok. Minuman yang terasa amat dingin di mulut akan tetapi amat panas di perut. Dan setelah obat itu diminumnya sampai habis, mulailah dia kebakaran! Kemudian dia mendengar percakapan suami isteri itu, melihat pula mereka berdiri di ambang pintu. Mendengar mereka menyebut tentang Akar Bunga Gurun Pasir.

"Ah, tidak salah lagi. Orang itu telah menemukan Akar Bunga Gurun Pasir secara kebetulan dan Isterinya menemukan mustika itu, lalu memasaknya dan memberikan kepadaku sebagai obat! Mustika yang diperebutkan orang seluruh dunia kang-ouw itu secara aneh dan kebetulan, tidak disangka-sangka dan tidak disengaja, telah masuk ke dalam perutku!" Dan tiba-tiba, karena merasa geli, Bun Houw tertawa dan begitu tertawa, dia terkejut bukan main karena hawa dahsyat yang tadi sudah agak jinak berdiam di dalam dian-tin (pusat bawah perut), kini bangkit lagi dan meliar, dan suara ketawanya tak terkendalikan lagi, bergelak-gelak menggelegar dan didorong oleh tenaga sakti yang dahsyat itu.

Akhirnya, setelah dengan susah payah, Bun Houw berhasil meredakan tawanya, mengembalikan tenaga itu ke dalam pusar dan diapun mengatur pernapasannya. Tenaga yang berdiam di dalam tubuhnya itu. Sungguh dahsyat akan tetapi juga liar dan berbahaya. Dia bisa bersikap seperti orang yang tidak waras pikirannya kalau tidak mampu mengendalikan hawa sakti itu. Kini dia dapat menduga bahwa itulah hawa yang ditimbulkan oleh mustika Akar Bunga Gurun Pasir! Dia tentu saja tidak tahu bahwa tenaga sekti itu menjadi liar setelah bengulat dan bercampur dengan hawa beracun di tubuhnya akibat pukulan dua orang datuk esat. Tenaga bawa sakti itu menjadi semakin dahsyat, akan tetapi juga menjadi liar.

Kemudian dia teringat. Suami Isteri pemilik pondok ini telah melarikan diri. Dia tidak menyalahkan mereka. Tentu saja mereka ketakutan, bukan saja melihat keadaan dirinya, akan tetapi juga takut, kepada orang-orang kang-ouw. Dan ketakutan mereka itu beralasan. Besar sekali kemungkinannya, dia yang akan menjadi perebutan oleh orang-orang kang-ouw, kalau mereka tahu bahwa dia telah minum habis sari Akar Bunga Gurun Pasir! Dan suami isteri itu tentu saja takut kalau mereka menjadi korban kekejaman orang-orang kang-ouw.

"Aku tidak boleh berada di sini," pikirnya.

"Jangan sampai para datuk menemukan aku di rumah ini. Suami isteri itu telah menanam budi kepadaku, bukan saja menolongku, memberi pakaian, bahkan juga wanita itu telah menyelamatkan nyawaku dengan memberi Akar Bunga Gurun Pasir, walaupun secara tidak disengaja. Aku harus pergi!"

Setelah berkata demikian kepada diri sendiri, Bun Houw lalu turun dari pembaringan. Begitu dia turun, kembali dia terkejut. Gerakannya demikian ringannya, seperti melayang-layang. Dia merasakan dirinya seperti sehelai bulu, ringan dan seperti akan terapung! Melihat betapa tubuh atasnya telanjang, dan di atas meja masih tersangkut sebuah baju milik tuan rumah yang agaknya tertinggal. Dipakainya baju itu dan Bun Houw keluar dari dalam rumah. Matahari telah naik cukup tinggi dan keadaan di luar rumah itu sunyi saja. Agaknya dusun itu hanya kecil dan para penghuninya sudah pergi ke sawah ladang mereka. Bun Houw merasa lega bahwa tidak ada orang lain melihat dia berada di rumah itu. Dengan demikian, maka setelah dia meninggalkan rumah itu, pemiliknya akan terhindar dari bahaya tersangkut dalam urusan perebutan Akar Bunga Gurun Pasir.

Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang melihatnya, Bun Houw lalu menyelinap keluar dari dusun itu dan pergi menuju ke sebuah bukit yang nampak tak jauh dari tempat itu.

Bun Houw memasuki hutan di lereng bukit itu. Perutnya terasa lapar sekali setelah dia terbebas dari siksaan rasa nyeri. Kini tubuhnya terasa enak, hangat dan nyaman. Ternyata setelah dia berjalan kaki dan tubuhnya berkeringat, rasa panas yang amat hebat itu makin lama semakin mereda, berubah menjadi rasa hangat. Dia merasa tubuhnya sehat sama sekali. Tidak ada lagi sisa rasa nyeri akibat pukulan dan siksaan dua orang datuk sesat itu. Dia telah sembuh sama sekali! Hanya masih ada perasaan aneh karena tubuhnya kadang-kadang masih terasa ringan bukan main. seolah-olah kalau ada angin besar bertiup, tubuhnya akan dibawa melayang ke angkasa. Dan kini perutnya lapar bukan main. Sanggup rasanya dia untuk menghabiskan daging seekor kijang gemuk!

Bun Houw mengharapkan untuk menemukan buah apa saja untuk mengisi perutnya yang amat lapar. Akan tetapi, sampai jauh memasuki hutan, dia tidak melihat pohon buah, tidak pula bertemu dengan binatang buruan. Tidak bertemu manusia yang dapat dimintai tolong memberi makanan. Dan ketika dia menghentikan langkahnya dan menghapus keringat, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan lima orang muncul di depannya. Lima orang laki-laki tinggi besar dan kokoh kuat, antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun usia mereka. Setiap orang memegang sebatang golok yang besar dan sikap mereka bengis, wajah mereka membayangkan kekerasan dan kejahatan.

Sialan, pikir Bun Houw. Dia mengharapkan bertemu makanan, malah bertamu lima orang penjahat! Mereka ini jelas penjahat, pikirnya. Dari sikap seseorang, kita dapat menduga wataknya. Dan sinar mata lima orang ini amat kejam dan bengis. Akan tatapi, dia pura-pura tidak perduli dan tidak melihat mereka lalu melanjutkan langkahnya ke kiri.

"Tunggu ...!" Tiba-tiba terdengar bentakan dan lima orang itu, dengan gerakan cepat yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, lima orang itu telah mengepung Bun Houw dalam setengah lingkaran di depannya.

Bun Houw bersikap tenang. Ketika hendak membuka mulut bicara, dia merasa lagi betapa hawa yang amat kuat bergerak dari pusarnya, mendorong ke atas dan hampir saja dia mengeluarkan teriakan atau pekikan nyaring. Dia masih mampu menahan dirinya, menarik napas panjang untuk menenteramkan hawa liar yang masih mencengkeramnya dari dalam.

"Ngo wi (anda berlima) menahan parjalananku ada urusan apakah?"

"Tak perlu banyak tingkah. Engkau melanggar wilayah kekuasaan kami. Cepat serahkan segala yang kaumiliki sebagai pajak jalan kepada kami, baru kami perbolehkan engkau melanjutkan perjalanan." bentak seorang di antara mereka yang codet (berbekas luka) pipi kanannya.

Tak salah dugaannya. Mereka ini penjahat, perampok! "Maafkan aku, sobat. Terus terang saja, aku orang miskin tidak mempunyai apa-apa, bahkan saat ini perutku lapar sekali karena sejak kemarin belum makan apa-apa." katanya tenang sambil mengerahkan kemauannya untuk mengendalikan hawa dahsyat dari pusarnya.

"Enak saja bicara!" bentak orang ke dua yang mukanya hitam.

"Engkau tahu dengan siapa berhadapan? Kami adalah Hek-san Ngo-houw (Lima Harimau Bukit Hitam) yang menguasai wilayah ini. Kalan engkau tidak punya apa-apa, hayo tinggalkan semua pakaianmu berikut sepatu itu!"

Bun Houw tersenyum. Aneh mereka ini. Mengaku sebagai Hek-san Ngo-houw dan bersikap garang. Padahal, baru kemarin orang-orang kang-ouw, bahkan para datuk besar, muncul di Bukit Merpati Hitam. Apakah lima orang ini demikian beraninya memperlihatkan kekuasaannya pada saat seperti itu?

"Sobat, apakah Bukit Merpati Hitam juga merupakan daerah kekuasaan kalian?" pancingnya.

Lima orang itu saling pandang, kemudian mereka mengamati Bun Houw dengan penuh perhatian, pandang mata mereka menyelidik. Kemudian si codet melangkah maju, menatap wajah Bun Houw dan bertanya,

"Apa hubunganmu dengan Bukit Merpati Hitam?"

"Tidak ada hubungan apa-apa. Sobat, mari kita baik-baikan saja. Punyaku hanya pakaian yang menempel di tubuh ini, pakaian sederhana yang tidak ada harganya. Kalau kalian memintanya, apakah aku harus bertelanjang dan tidak bersepatu? Harap jangan keterlaluan." kata Bun Houw dengan alis berkerut karena dia menganggap sikap para perampok ini keterlaluan. Mana ada perampok tega merampok seorang miskin yang tidak punya apa-apa?

"Cerewet amat sih engkau?" bentak orang ke tiga yang mukanya kekuningan.

"Cepat tanggalkan pakaian dan sepatumu, atau terpaksa kubikin engkau menanggalkan kepalamu dari tubuhmu!" Orang itupun maju dan goloknya menempel di leher Bun Houw dengan sikap bengis mengancam.

Bun Houw menahan diri agar tidak sampai terbakar perasaan marah. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan penjahat-penjahat kecil .yang biasanya hanya berani menindas yang lemah, menggunakan gertakan dan memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan. Tidak semestinya dia melayani orang-orang semacam ini.

"Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani orang-orang seperti kalian!" katanya sambil membalikkan tubuhnya, dan melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.

"Heh, kurang ajar! Engkau ingin mampus!" bentak mereka dan lima orang itu sudah menyerang sambil memaki-maki. menggerakkan golok mereka seperti hendak berlumba membunuh pemuda yang berani memandang rendah mereka.

Mendengar gerakan kaki mereka dan sambaran golok. Bun Houw membalikkan tubuh dan kedua tangannya bergerak seperti orang mengusir lalat. Akan tetapi akibatnya hebat. Dari kedua tangannya menyambar keluar hawa yang dahsyat dan panas dan lima orang itu seperti ditiup badai panas yang membuat mereka terjengkang dan terguling-guling dengan senjata mereka terlepas dari tangan. Mereka terkejut bukan main dan begitu dapat bangkit mereka segera melarikan diri tanpa di komando lagi, lintang pukang dan jatuh bangun. Akan tetapi Bun Houw ingin memberi pelajaran kepada mereka agar jangan mereka melanjutkan perbuatan jahat itu mengganggu orang-orang yang tidak bersalah. Sekali lagi tangannya mendorong ke depan, ke arah orang yang terdekat dan orang itupun terpelanting roboh. Dengan beberapa langkah saja Bun Houw sudah menghampirinya dan menginjakkan kaki pada dadanya. Biarpun injakan itu tidak disertai pengerahan tenaga, namun orang itu merasa betapa dadanya tertindih benda yang amat berat.

"Am ... pun ... taihlap ...

" Dia mencoba untuk berseru dengan napas terengah-engah.

Melihat seorang kawannya roboh dan tertawan, empat orang perampok yang sudah lari itu menoleh dan mereka pun kembali, menghampiri Bun Houw yang siap menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi setelah dekat, empat orang itu sama sekali tidak mengeroyok, melainkan menjatuhkan diri berlutut pula.

"Taihiap, ampunkan kawan kami." kata mereka berulang-ulang.

Tergerak perasaan Bun Houw. Bagaimanapun Juga, orang-orang itu masih mempunyai perasaan setia kawan, pikirnya.

"Kalau kalian mengharapkan ampun, berjanjilah bahwa kalian tidak akan mengganggu orang tak berdosa, Apalagi kalan dia miskin."

"Kami berjanji ... kami berjanji ...

" kata mereka berulang-ulang.

Bun Houw melepaskan injakannya dan ternyata yang ditangkapnya tadi adalah pimpinan gerombolan itu. Mereka berlima menghaturkan terima kasih dan pimpinan perampok itu berkata dengan sungguh-sungguh.

"Percayalah, taihiap. Dahulu kami adalah pemburu-pemburu. Akan tetapi, setelah hasil baruan makin berkurang sehingga tidak cukup untuk makan kami sekeluarga, kami mulai minta sokongan kepada rombongan pedagang yang lewat. Akan tetapi, kemudian rombongan pedagang itu tidak lewat di sini lagi, semenjak banyak orang kang-ouw berkeliaran di sini dan mereka itu menjadi korban siluman Guha Setan."

Bun Houw mengerutkan alisnya.

"Siluman Guha Setan? Apa dan siapakah itu?"

Kepala perampok itu mengeluarkan makanan dari buntalan mereka.

"Marilah kita makan dulu, taihiap. Bukankah taihiap tadi mengatakan sejak kemarin belum makan? Kamipun lapar. Kita makan dan kami akan menceritakan tentang guha itu."

Melihat kesungguhan hari mereka, walaupun makanan dan minuman yang dikeluarkan hanya roti kering dan dendeng bersama seguci arak, Bun Houw tidak sungkan lagi. Dia mengangguk dan merekapun duduk di atas tanah berumput, makan makanan sederhana namun terasa nikmat dan lezat bagi perut yang lapar.

Sambil makan, mereka bercerita dan Bun Houw mendengarkan dengan mata penuh keheranan. Menurut cerita mereka, di puncak Bukit Hitam itu terdapat sebuah guha yang besar. Tadinya tak pernah ada orang berani memasuki guha itu yang menurut kepercayaan penduduk dnsun di sekitar kaki bukit, guha itu dihuni setan, dan karenanya guha itu diberi nama Guha siluman. Akan tetapi akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu. orang-orang kang-ouw berdatangan ke bukit itu, mendaki sampai ke guha di dekat puncak

"Yang mengerikan, setiap orang kang-ouw. betapapun tingginya ilmu kepandaiannya, setelah memasuki guha itu, tahu-tahu menjadi gila dan mati di depan guha. Di depan guha itu kini berserakan rangka manusia. Kami sendiri hanya berani nonton dari jauh, sama sekali tidak berani mendekat karena kami masih sayang nyawa," si kepala perampok mengakhiri ceritanya.

Biarpun tertarik dan heran, namun Bun Houw tidak mau menelan mentah-mentah cerita itu. Dianggapnya bahwa cerita itu hanya kepercayaan orang-orang tahynl belaka.

"Ketika kalian melakukan pengintaian itu. apa yang kalian lihat? Apakah orang-orang-kang-ouw itu dibunuh oleh setan atau siluman?"

"Kami pernah melihat dua orang kang-ouw yang gagah keluar dari dalam guna itu setelah mereka bertapa beberapa minggu lamanya. Begitu keluar, mereka saling serang dengan ilmu silat yang gerakannya aneh sekali, entah mereka itu berkelahi ataukah latihan karena pertandingan itu bagi kami amat seru. Akan tetapi, keduanya roboh dan tewas tanpa terluka!"

Bun Houw semakin tertarik.

"Dan kalian sudah melihat adanya siluman itu? Kalau tidak pernah melihatnya, bagaimana kalian dapat mengatakan bahwa orang-orang kang-ouw itu dibunuh siluman?"

"Memang tidak ada yang pernah melihatnya, taihiap. Akan tetapi kematian orang-orang itu aneh. Ada yang melihat seorang kang-ouw keluar dari guha, lalu bersilat seperti orang gila dan kemudian roboh sendiri dan mati. Siapalagi kalau bukan siluman yang membunuhnya? Guha itu memang dihuni siluman, siapa yang masuk ke sana tentu keluarnya akan menjadi gila dan mati konyol."



Pedang Pusaka Naga Putih Eps 7 Jodoh Si Naga Langit Eps 13 Kasih Diantara Remaja Eps 21

Cari Blog Ini