Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Kilat 17


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 17




"Dan selama ini, saya hanya mendengar bahwa bekas pangeran itu menjadi seorang tokoh persilatan yang tidak pernah, mempunyai isteri."

Siauw Tek menoleh kepada Suma Hok.

"Bagaimana jawabanmu dengan pertanyaan itu, toako? Berilah keterangan agar hati Kami tidak menjadi bimbang, dan meragukan keterangan itu."

Suma Hok tersenyum.

"Pertanyaan Pouw-lo-enghiong memang tepat sekali, dan sudah sepatutnya kalau kongcu dan lo-enghiong mengetahuinya. Ketahuilah. Kongcu bahwa selir yang menjadi kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong itu, ketika melaksanakan hukuman buang, dalam perjalanan ia dibebaskan oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, kemudian menjadi isterinya. Ketika menjadi isteri datuk itu, selir itu telah mengandung yang kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Nah, anak perempuan itu adalah anak kandung Pangeran Tiauw Sun Ong! Anak perempuan itulah yang akan menjadi isteri Kwa Bun Houw, Kongcu."

Kalau bekas kaisar itu mengangguk-angguk, sebaliknya bekas panglima Pouw Cin mengerutkan alisnya,

"Kalau demikian, maka gadis itu bukan lagi puteri Pangeran Tiauw Sun Ong! Ia adalah puteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek!"

"Memang tadinyapun begitu, Pouw-lo-enghiong. Bahkan gadis itu sendiri tidak tahu bahwa ayah kandungnya adalah Tiauw Sun Ong. Akan tetapi akhir-akhir ini rahasia itu terbuka dan Tiauw Sun Ong mendatangi keluarga Ouwyang, dan menuntut agar puteri kandungnya itu dijodohkan dengan muridnya, yaitu Kwa Bun Houw itulah!"

"Nah, bagaimana, Paman, Pouw?" tanya Siauw Tek.

"Kurasa memang pemuda itu berbahaya sekali, apalagi mengingat bahwa dia amat lihai. Siapa tahu dia memang, ditugaskan oleh gurunya untuk menyelidiki, atau mungkin untuk memata-matai kita."

"Bukan mustahil tugasnya lebih jahat lagi, yaitu membunuh Kongcu." kata Suma Hok. Mendengar ini, Siauw Tek terkejut dan wajahnya berubah agak pucat.

"Kita tidak boleh terburu-buru menuduh orang, akan tetapi juga sebaiknya siap menjaga segala kemungkinan. Biarlah kita melihat perkembangannya besok pagi di waktu makan pagi. Kalau dia sudah mengaku sendiri bahwa dia akan berjodoh dengan puteri gurunya, kemudian kita bujuk agar dia suka bekerja sama membantu kita. Kalau dia menolak, baru kita turun tangan menangkapnya. Saya akan mempersiapkan pasukan untuk mengepung tempat di mana kita menjamunya makan pagi, Kongcu."

"Akan tetapi dia lihai bukan main, kalau hanya dikeroyok pasukan saja, mungkin dia akan dapat lolos." kata Suma Hok.

"Aku masih meragukan apakah Pouw-lo-enghiong akan mampu menangkapnya." Suma Hok sengaja berkata demikian untuk membakar perasaan bekas panglima itu dan dia berhasil.

Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dan dia mengepal tinju.

"Boleh jadi dia lihai dan aku tidak dapat menandinginya, akan tetapi kalau aku mempergunakan pasukan, jangan harap dia akan mampu meloloskan diri, kecuali kalau dia membunuh diri terjun dari atas tebing!"

Mereka bertiga lalu mengatur siasat dan tentu saja diam-diam Suma Hok gembira bukan main. Orang yang dibencinya, yang juga menjadi saingannya dalam memperebutkan Hui Hong, besok pagi-pagi akan terbunuh atau tertawan! Diapun kembali ke kamarnya dan tidur dengan pulas karena kelegaan hatinya.

Kiok Lan cepat menyelinap di balik sudut tembok, mengintai ke depan, ke arah kamar seorang di antara dua orang tamunya, yaitu Kwa Bun Houw. Ia merasa heran sekali melihat Yo Leng Hwa, seorang di antara selir-selir kakaknya yang cantik, dengan langkah ringan seperti seekor kucing, menghampiri pintu kamar Kwa Bun Houw. Kiok Lan merasa heran bukan main. Mau apa malam-malam begini selir kakaknya itu menghampiri lalu mengetuk daun pintu kamar tamu mereka? Padahal, Kwa Bun Houw adalah seorang tamu, seorang pemuda pula. Sungguh tidak pantas kalau selir kakaknya itu mengetuk pintu pemuda itu malam-malam. Andaikata kakaknya mempunyai keperluan kepada tamunya, masih ada pelayan lain yang dapat diutusnya untuk memberitahu pemuda itu, bukan selirnya. Kiok Lan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan ia mengintai terus.

Wajah gadis bekas puteri istana ini menjadi kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan ketika ia melihat betapa daun pintu dibuka dan selir kakaknya itu memasuki kamar! Akan tetapi, daun pintu itu tetap terbuka sehingga Kiok Lan masih dapat mengintai dan mendengarkan percakapan antara Bun Houw dan Leng Leng. Mendengar betapa Leng Leng disuruh kakaknya untuk membujuk rayu Bun Houw, bukau main marahnya hati gadis itu. Kakaknya sungguh keji dan, tidak tahu malu! Dan-melihat Bun Houw menolak dengan sikap yang tegas, iapun merasa kagum sekali. Seorang pendekar muda yang hebat, pikirnya, ia melihat betapa Leng Leng meninggalkan kamar Bun Houw, dengan air mata berlinang sehingga ia diam-diam merasa kasihan kepada selir kakaknya itu yang dipaksa oleh kakaknya untuk menyeleweng dengan tamu, dan kemarahannya tertuju kepada kakaknya. Daun pintu kamar Bun Houw, ditutup kembali dan kini Kiok Lan membayangi Leng Leng yang meningalkan kamar Bun Houw ...!"

Kiok Lan, melihat selir itu memasuki ruangan dalam. Ia mengintai dari balik pintu dan melihat Leng Leng melapor kepada Siauw Tek bahwa tugasnya telah dilaksanakan, akan tetapi gagal karena Bun Houw menolaknya. Siauw Tek dengan sikap kecewa menyuruh Leng Leng keluar dari ruangan itu di mana dia sedang bercakap-cakap dengan Pouw Cin dan Suma Hok. Dan iapun mengintai dan mendengarkan. Gadis ini terkejut mendengar rencana kakaknya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi akan menangkap Bun Houw kalau pemuda itu tidak mau diajak bekerja sama, karena Bun Houw dicurigai sebagai mata-mata setelah Suma Hok menceritakan siapa adanya pemuda itu. Murid Pangeran Tiauw Sun Ong, bahkan calon mantunya! Cepat-cepat Kiok lan kembali ke kamarnya sendiri setelah mendengar semua rencana itu.

Liu Kiok Lan duduk melamun. Ia tahu bahwa kakaknya menghimpun pasukan untuk dapat merebut kembali tahta kerajaannya yang dirampas oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan baru Chi. Sebagai seorang bekas puteri istana, tentu saja ia menyetujui rencana kakaknya ini dan dengan sepenuh hati ingin membantunya. Hal ini dianggap sebagai kewajibannya pula. Akan tetapi, kalaupun mereka harus merebut kembali kerajaan dan membangun kembali dinasti Liu-sung yang sudah jatuh, harus dilakukan dengan cara yang gagah dan wajar. Ia selalu cocok dengan sikap yang diambil oleh bekas Panglima Pouw yang selalu bertindak dengan gagah perkasa. Ia pulang tidak suka dengan cara yang curang dan licik. Kini, melihat betapa kakaknya hendak menyuguhkan selirnya sendiri kepada Kwa Bun Houw untuk menjatuhkan hati pendekar itu dari menariknya sebagai pembantu, tentu saja ia merasa amat tidak senang. Apalagi mendengar rencana kakaknya yang agaknya terbujuk oleh Suma Hok untuk menangkap atau membunuh, Kwa Bun Houw dengan pengeroyokan kalau pendekar itu tidak mau membantu, sungguh amat mengganggu hatinya dan menekan perasaannya.

Akhirnya ia meneambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw. Bukan karena ia merasa berat kepada pemuda yang baru saja dikenalnya itu, melainkan ia hendak mencegah kakaknya bertindak curang. Cepat ia bertukar pakaian yang ringkas dan membawa pedang. Ia harus dapat memabuki kamar Bun Houw sebagai pencuri agar tidak sampai terlihat kakaknya, Kalau ia masuk sebagai pencuri, andaikata ia ketahuan kakaknya, ia dapat mengambil alasan bahwa ia berniat untuk menyerang tamu itu, karena ia sudah tahu bahwa tamu itu adalah murid Paigeran Tiauw Sun Ong dan ia mencurigainya.

Dengan ilmu kepandaiannya, tidak sukar bagi Kiok Lan untuk meloncat ke atas genteng dan berada di atas kamar Bun Houw. Setelah membiarkan peronda lewat, ia melayang turun dan mencokel jendela kamar dengan pedangnya. Ia tahu bagaimana bentuk jendela itu. maka tanpa banyak kesukaran ia dapat mencokel jendela sehingga terbuka dan cepat ia meloncat ke dalam kamar, lalu menutupkan lagi daun jendela dari dalam, ia merasa lapang dada karena agaknya tidak ada orang mengetahui perbuatannya, dan agaknya tamu itupun sudah tidur. Ia menghampiri pembaringan yang kelambunya tertutup. Cuaca dalam kamar itu remang-remang karena lilin di atas meja sudah dipadamkan, akan tetapi ada sinar masuk dari luar melalui lubang-lubang angin di atas jendela, yaitu sinar lampu gantung di luar kamar!"

Tiba-tiba kelambu tersingkap dan sesosok tubuh meloncat keluar. Karena Kiok Lan tidak nenyerang, maka Bun Houw juga hanya meloncat dan berdiri di tengah kamar, memandang kepada gadis yang membawa pedang di tangan kanan itu.

"Kwa-twako ...!" bisik Kiok Lan yang mencontoh kakaknya, menyebut twako (kakak) kepada pemuda itu. Baru sekarang Bun Houw tahu bahwa bayangan hitam membawa pedang yang mencokel daun jendela dan memasuki kamarnya itu adalah Liu Kiok Lan, bekas puteri istana, adik bekas kaisar! Kalau tadinya dia terkejut karena sudah tahu ada orang mencokel jendela kamarnya, kini kekagetan itu bertambah dengan keheranan setelah mengetahui bahwa yang masuk seperti pencuri ke dalam kamarnya adalah bekas puteri itu.

"Nona itu ... apa ... apa artinya ini ...?"

"Dia bertanya gagap, namun menahan suaranya sehingga berbisik karena dia sama sekali tidak ingin ada orang lain melihat gadis, bangsawan ini memasuki kamarnya seperti itu. Sekilas lantas dia mengira bahwa jangan-jangan bekas kaisar itu, setelah tadi usaha selirnya gagal, kini begitu tega mengutus adiknya sendiri untuk merayunya! Akan tetapi segera dia mengusir prasangka ini karena biarpun dia baru saja mengenal Kiok Lan ketika sama-sama makan di meja makan, dan ketika gadis itu bersama Pouw Cin mengantar dia dan Suma Hok berkeliling melihat benteng yang disusun, namun dia sudah dapat menduga bahwa gadis bangsawan ini memiliki kegagahan dan keangkuhan, memiliki harga diri yang tinggi. Tidak mungkin gadis seperti itu sudi melaksanakan tugas yang sehina itu.

"Maafkan kalau aku mengejutkanmu, twako. Akan tetapi jawab dulu pertanyaanku. Benarkah engkau murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, dan benar pulakah bahwa engkau akan menjadi mantu Tiauw Sun Ong? Jawab sejujurnya, ini mengenai mati-hidupmu!"

Tentu saja Bun Houw terbelalak. Mengenai mati hidupnya? Biarpun dia tidak ingin bercerita tentang gurunya dan apalagi tentang Hui Hong, namun melihat betapa gawatnya keadaan dari sikap aneh bekas puteri istana ini, diapun mengaku terus terang seperti yang dikehendaki gadis itu.

"Benar, nona. Aku murid suhu Tiauw Sun Ong dan dicalonkan menjadi mantunya. Lalu, kenapa?"

"Jawab lagi sejujurnya, demi iktikad baikku terhadap dirimu! Apakah engkau datang ke sini sebagai mata-mata. diutus oleh suhumu atau oleh kerajaan Chi?"

Sekarang mengertilah Bun Houw. Dia dicurigai! Akan tetapi kalau gadis ini mencurigainya, kenapa malam-malam datang mengajukan pertanyaan itu? Kalau benar dia mata-mata, sungguh tindakan gadis ini bodoh sekali.

"Tidak sama sekali, nona! Secara kebetulan saja aku bertemu dengan kakakmu, lalu aku diundang ke sini. Sebetulnya, aku tidak ingin berdiam di sini, akan tetapi kakakmu yang mendesakku sehingga aku merasa sungkan, melihat sikapnya yang ramah. Kenapa nona menyangka yang bukan-bukan?"

"Nah, ada satu pertanyaan yang harus kaujawab sejujurnya. Kakakku menghendaki agar engkau suka membantunya dalam perjuangannya merebut kembali tahta kerajaan. Bersediakah engkau membantunya?"

Tanpa ragu lagi Bun Houw menggeleng kepala dan menjawab,

"Tidak, nona. Aku tidak mau melibatkan diriku dalam perang saudara memperebutkan kekuasaan."

"Nah, inilah sebabnya aku malam-malam-memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Besok pagi-pagi, kakakku dalam perjamuan makan pagi akan meminta keputusanmu. Kalau engkau suka membantunya, tentu tidak akan terjadi apa-apa. Akan tetapi sebaliknya, kalau engkau menolak, engkau akan ditangkap, mungkin dibunuh karena mereka sudah tahu bahwa engkau murid Tiauw Sun Ong."

Bun Houw terkejut, akan tetapi tidak merasa heran. Tentu Suma Hok yang membuka rahasia dirinya dan diapun tahu mengapa. Suma Hok membencinya, dan agaknya hendak mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakakannya.

"Hemm, lalu apa maksudnya nona datang memberitahukan semua ini kepadaku?"

"Aku tidak suka dengan cara yang diambil kakakku kepadamu. Enci Leng disuruh merayumu. Sungguh tak tahu malu! Dan kalau engkau tidak mau membantunya, besok engkau akan dikepung pasukan dan dikeroyok, inipun tindakan curang dan licik yang tidak kusukai. Karena itu, aku datang memberitahu kepadamu agar malam ini juga engkau cepat melarikan diri dari tempat ini. Cepat!"

Pada saat itu, terdengar suara kaki orang di luar kamar dan melalui sinar lampu, nampak bayangan beberapa orang seperti mendekati jendela.

"Cepat, akan kuserang kau!" bisik Kiok Lan dan gadis ini segera menendang daun jendela terbuka dan berseru,

"Mata-mata laknat, engkau akan mati di tanganku!"

Bun Houw sudah menyambar buntalan pakaiannya dan ketika diserang oleh Kiok Lan, tubuhnya sudah mencelat ke belakang. Kemudian, dia membalik dan mengerahkan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek cin-kang, mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah daun pintu.

"Braaaakkk ...!!" Daun pintu jebol dan dia lalu meloncat ke luar, dan sebelum para peronda yang terkejut dan tercengang itu dapat bergerak, Bun Houw sudah meloncat naik ke atas genteng.

"Mata-mata jahat, akan lari ke mana kau!" bentak Kiok Lan yang sudah meloncat keluar pula melalui pintu yang jebol, dengan pedang di tangan dan iapun melayang naik ke atas genteng melakukan pengejaran.

Namun, Bun Houw sudah menghilang dalam kegelapan malam. Kiok Lan merasa lega dan ia berpura-pura masih mencari-cari sambil berteriak-teriak, menyuruh para penjaga melakukan pencarian di sekitar tempat itu. Tiba-tiba nampak Pouw Cin, Suma Hok dan tiga orang perwira dari pasukan yang dihimpun Siauw Kongcu, berloncatan ke atas genteng.

"Nona, apa yang terjadi?" tanya Suma Hok dan Pouw Cin yang terkejut mendengar ribut-ribut itu. Mereka keluar dari kamar dan mendengar ada mata-mata dari para penjaga yang berada dalam keadaan panik.

Kiok Lan mengerutkan alisnya.

"Sialan! Aku gagal menangkapnya! Dia telah berhasil melarikan diri. Cepat kita kejar dan cari dia, tangkap! Bunuh!" Tanpa memberi kesempatan kepada lima orang itu untuk bicara, Kiok Lan sudah meloncat jauh ke depan, lalu melakukan pengajaran ke sana sini. Tentu saja lima orang itupun bingung. Mereka kini tahu bahwa yang melarikan diri adalah Kwa Bun Houw, akan tetapi ke mana mereka harus mengejar?

Pengejaran dan pencarian itu gagal dan kini mereka semua sudah berada di ruangan depan menghadap Siauw Tek yang sudah terbangun dan siap untuk mendengar laporan mereka.

"Paman Pouw, apa yang telah terjadi, kenapa ribut-ribut ini dan aku mendengar keterangan yang tidak jelas dari para pengawal. Kwa Bun Houw melarikan diri? Bagaimana pula ini."

Pouw Cin memberi hormat dan nampak gelisah.

"Maaf, Kongcu. Saya sendiri juga tidak mengetahui dengan tepat apa yang telah terjadi. Ketika terdengar suara ribut-ribut, saya terbangun dan lari keluar dari kamar bertemu dengan Suma-taihiap dan tiga orang perwira. Melihat Siocia berada di atas genteng, kami berlompatan naik dan membantu Siocia melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Kwa Bun Houw, akan tetapi sia-sia. Dia telah lenyap."

"Siauw-moi, apa yang telah terjadi?"

"Begini, koko. Tadi ketika aku kebetulan lewat didepan kamar di mana koko bersama Paman Pouw dan Suma-toako ini bicara, aku mendengar bahwa Kwa Bun Houw adalah murid dan calon mantu Pangeran Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita. Aku menjadi marah dan setelah kuanggap dia tidur pulas, aku memasuki kamarnya untuk membunuhnya. Aku berhasil masuk, aku melihat dia sudah siap dengan buntalannya untuk melarikan diri. Aku menyerangnya, kami berkelahi dalam kamar akan tetapi dia terlalu lihai, koko. Dia menjebol pintu dan melarikan diri. Aku berusaha mengejarnya namun tidak berhasil."

"Ahh, Siauw-moi, kenapa engkau begitu lancang? Kami sudah mengatur rencana untuk menangkapnya besok pagi-pagi. Kenapa engkau telah mendahului kami sehingga dia berhasil melarikan diri?" tegur bekas kaisar itu.

Adiknya memandang dengan alis berkerut dan bibir cemberut.

"Aku tidak tahu akan rencana itu, koko. Salahmu sendiri kenapa aku tidak diajak berunding? Begitu mendegar dia murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita, aku sudah tidak sabar lagi dan aku ingin membunuhnya.

"Hemm, engkau lancang, siauw-moi. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bagaimana mungkin engkau mampu menandingi seorang diri saja? Kalau kau memberitahukan kami, tentu kita tidak akan gagal untuk menangkapnya," kembali bekas kaisar itu mengomeli adiknya.

"Saya kira, belum tentu Kwa Bun Houw itu memata-matai kita, Kongcu. Siapa tahu, dia malah dapat kita bujuk untuk membantu perjuangan kita," kata Pouw Cin.

"Itulah yang mengesalkan hatiku, paman! Kalau dia tidak melarikan diri karena diserang Kiok Lan, besok kita dapat membujuknya dan kalau dia mau membantu, berarti kita mendapatkan tenaga yang boleh diandalkan. Sekarang dia telah pergi, kita kehilangan seorang pembantu tangguh."

"Harap Kongcu tidak terlalu kecewa. Andaikata Bun Houw mau menjadi pembantu Kongcu, tetap saja hal itu amat berbahaya. Sebagai murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong, bagaimana dia dapat dipercaya? Sekali waktu tentu akan menjadi pengkhianat. Sudahlah, ada baiknya dia pergi dan tidak membahayakan kita lagi. Tentang tenaga bantuan, harap Kongcu tidak khawatir, Aku akan membujuk agar ayahku bersama semua anak buah kami suka membantu Kongcu. dan tenaga bantuan ayahku dan anak, buah kami tentu jauh lebih kuat dan boleh diandalkan dari pada tenaga Bun Houw."

Mendengar ucapan ini, wajah bekas kaisar itu berseri gembira dan dia memandang kepada Suma Hok dengan mata bersinar-sinar.

"Ah, benarkah itu, Suma toako? Alangkah baiknya kalau ayahmu suka membantu kami. Aku sudah mengenal baik Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan sudah tahu akan kehebatannya. Kami akan merasa gembira dan beruntung sekali kalau dia suka membantu kami!"

Suma Hok tersenyum.

"Aku akan berusaha sedapatku Kongcu. Akan tetapi harus kuakui bahwa memang tidak mudah membujuk ayah. Ayah memiliki watak yang keras dan kalau bukan keluarga sendiri, atau orang yang memiliki hubungan erat atau hubungan keluarga dengan dia, agak sukar dia mau membantu."'

"Hemm, kami mengenal siapa ayahmu. Kalau datuk besar itu mau membantu perjuangan kami, kelak kalau kami berhasil tentu tidak akan melupakan jasanya dan kami akan memberi kedudukan yang tinggi."

"Sebagai panglima besar, Kongcu?" cepat Suma Hok mendesak.

Siauw Tek tersenyum, akan tetapi senyumnya agak dingin dan dia menoleh kepada Pouw Cin.

"Kedudukan yang tinggi, akan tetapi tentu saja bukan panglima besar karena kami sudah memiliki seorang panglima besar, yaitu Paman Pouw Cin."

"Hemm, saudara muda Suma Hok, belum juga jasa dibuat, bagaimana hendak bicara tentang pahala? Harap jangan khawatir! Kongcu tidak akan melupakan jasa para pembantunya, dan aku sendiri yang akan mencatat semua jasa agar kelak dapat dipertimbangkan, pahala apa yang patut diterima?" kata Pouw Cin dengan nada suara menegur.

Tadi mendengar ucapan bekas kaisar yang sudah menentukan bahwa panglima besarnya adalah Pouw Cin, hati Suma Hok sudah merasa iri dan tidak senang kepada bekas jenderal itu. Kini ditambah lagi dengan ucapan Pouw Cin sendiri, dia merasa direndahkan, akan tetapi dia berpura-pura tidak merasa tersinggung dan tersenyum saja. Pada saat itupun dia sudah mengambil keputusan untuk mencari jalan lain agar derajatnya naik dalam pandangan bekas kaisar itu. Jalan itu adalah melalui Liu Kiok Lan! Kalau saja dia dapat merayu gadis bekas puteri yang cantik jelita itu, dan dapat menarik gadis itu menjadi isterinya, sudah pasti bekas kaisar yang menjadi kakak ipar itu akan lebih mementingkan dia dari pada Pouw Cin!

Pagi yang cerah dan indah sekali, apalagi di dalam taman yang terpelihara baik-baik dan penuh dengan bermacam bunga itu. Musim semi telah berumur sebulan lebih, telah memberi waktu cukup bagi para tanaman untuk mengembangkan bunga-bunga yang indah dan harum. Kupu-kupu ikut bergembira ria, beterbangan di antara bunga-bunga indah. Mereka hinggap dari satu ke lain bunga, dengan rajin mencari dan menghisap madu yang manis dan wangi.

Kiok Lan duduk termenung seorang diri di dalam taman, duduk di atas bangku panjang dekat kolam ikan emas. Ia baru saja memberi makan ikan emas dan kini ia melihat ikan yang berenang memperebutkan makanan, kemudian termenung, tenggelam dalam lamunan.

Ia telah mengkhianati kakaknya sendiri! Ia telah membebaskan orang yang akan ditawan oleh kakaknya. Lamunan membawanya kepada masa lampau, sejak lima tahun yang lalu ia ikut kakaknya melarikan diri dari kota raja Nan-king karena kerajaan kakaknya, yaitu dinasti Liu-sung, diserbu dan dikalahkan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dan mendirikan kerajaan baru, yaitu dinasti Chi. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun. Kehancuran kekuasaan kakaknya yang membuat kakaknya menjadi pengembara ini membuat ia bertekad untuk menjadi seorang wanita tangguh dengan mempelajari banyak macam ilmu silat, bahkan gurunya yang terakhir adalah Paman Pouw, pembantu setia kakaknya. Keluarga kerajaan Liu-sung cerai berai dan iapun selalu mengikuti kakaknya merantau dan akhirnya menetap di daerah Kui-cu, di mana kakaknya mencoba untuk menghimpun kekuatan dan membangun pasukan dengan bantuan Pouw Cin. Iapun dengan penuh semangat hendak membantu kakaknya dan bertekad bahwa kalau kelak terjadi perang dalam usaha kakaknya merebut kembali tahta kerajaan, ia akan membantu dan kalau perlu siap mengorbankan nyawa untuk kebangkitan kerajaan Liu-sung.

Akan tetapi, apa yang dilakukan kakaknya terhadap Kwa Bun Hou merupakan tamparan besar baginya, tamparan yang membuat hatinya terasa sakit, yang menghimpit perasaannya dan menghancurkan semua kebanggaan hatinya terhadap kakaknya, bekas kaisar yang sedang berusaha untuk merampas kembali tahta kerajaan yang sudah hilang itu. Kakaknya melakukan hal-hal yang amat rendah, yang tidak pantas dilakukan searang raja yang besar! Menyuguhkan selir sendiri kepada tamu! Hanya untuk merayu dan membujuk tamu agar suka membantunya. Bahkan, kalau yang dibujuk menolak untuk membantu, akan ditangkap, dibunuh! Betapa keji dan curangnya. Ia sama sekali tidak setuju, dan kenyataan itu membuat ia merasa berduka sekali. Kakaknya telah berubah. Dalam usahanya mengejar cita-cita, kakaknya telah tidak segan mempergunakan segala macam cara, yang kotor dan hina sekalipun. Dan ia tahu bahwa Pouw Cin sudah pasti tidak menyetujui tindakan kakaknya itu. Ia tahu benar betapa gagah dan jantan pembantu utama kakaknya yang juga menjadi gurunya itu. Ia merasa bersedih sekali, dan juga khawatir.

Duka dan takut timbul dari pikiran yang mengenang masa lalu dan membayangkan masa depan. Kalau kita membayangkan apa yang telah terjadi, apa yang telah lewat atau peristiwa masa lalu, membanding-bandingkan dan merasa betapa kita kehilangan, bahwa kita dirugikan, akan timbul duka, baik dari iba diri, kecewa atau kesepian. Demikian pula dengan rasa khawatir atau takut, selalu timbul kalau kita membayangkan masa depan, yang dihubungkan dengan saat ini, lalu kita merasa bahwa keadaan kita akan tidak enak, tidak baik atau merugikan dan membahayakan kita. Tidak akan timbul duka dan takut kalau kita hidup saat demi saat, menganggap yang sudah terjadi itu wajar saja dan sesuatu yang sudah dikehendaki Tuhan, membiarkannya lalu seperti hembusan angin tanpa bekas, sebagai sesuatu yang sudah lewat dan sudah mati, kalau kita tidak membayangkan hal yang belum terjadi, menganggap bahwa masa depan hanya kelanjutan dari saat ini, masa depan adalah saat ini juga kalau saatnya tiba, maka tidak perlu dibayangkan. Yang ada hanya berikhtiar sebaik mungkin dalam kehidupan ini, dalam bekerja, dalam berhubungan dengan manusia lain, hubungan dengan masyarakat, dengan pemerintah. Berikhtiar sebaik mungkin berarti bekerja sebaik mungkin, dengan didasari penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Tugas kita hanyalah mengerjakan segala pemberian Tuhan berupa seluruh anggauta badan termasuk hati akal pikiran, memanfaatkannya untuk hidup sebaik mungkin, dan dengan dasar penyerahan kepada Tuhan berarti bahwa apapun yang kita lakukan adalah suatu persembahan kepadaNya. Kalau sudah begini, penyerahan itu seperti menggerakkan kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita sehingga nafsu kita sendiri tidak akan merajalela memperhamba kita, sehingga apapun yang kita lakukan tentu baik dan benar, tidak menyeleweng!

"Nona Liu, selamat pagi." Kiok Lan terkejut, sadar dari lamunannya, dan menoleh. Dilihatnya Suma Hok sudah nampak rapi sekali pagi itu, wajahnya yang tampan segar karena habis mandi, pakaiannya juga indah dan rambutnya disisir mengkilap dan digelung ke atas dengan rapi, diikat kain sutera biru. Pemuda ini memang tampan dan pesolek, dan wajahnya kini nampak berseri dengan senyum yang memikat.

"Ah, Suma-toako, selamat pagi. Pagi-pagi engkau sudah nampak rapi, hendak ke manakah?" tanya Kiok Lan yang juga dapat bersikap lincah dan gembira.

"Ah, tidak kemana-mana, nona. Sehabis mandi, aku melihat betapa indahnya taman ini di pagi yang cerah, maka aku memasukinya, dengan maksud mencari tempat sunyi untuk berlatih silat. Tidak tahu bahwa engkau berada di sini, nona. Maafkanlah kalau aku mengganggu."

"Pemuda yang mengagumkan ini selalu bersikap sopan," pikir Kiok Lan. Dan mendengar bahwa Suma Hok hendak berlatih silat. Kiok Lan segera menjadi tertarik sekali.

"Toako, kebetulan sekali kalau engkau hendak berlatih silat. Aku ingin sekali belajar silat darimu toako!"

"Aih, nona. Engkau sudah cukup lihai dengan ilmu silat yang kau kuasai, bagaimana aku berani mengajarmu?"

Kiok Lan cemberut, mengambil sikap seperti orang kecewa.

"Hemm, engkau tidak mau mengajarkan silat padaku, toako? Agaknya engkau menganggap aku terlalu bodoh dan tidak berharga untuk menerima pelajaran silat darimu, ya?"

"Ah, sama sekali tidak, nona!" kata Suma Hok dengan melebarkan matanya,

"Bukan begitu maksudku. Aku hanya khawatir bahwa engkau akan kecewa, karena ilmu kepandaianku masih rendah ...

"

"Nah-nah. ... sekarang engkau merendahkan diri. Kaukira aku belum tahu? Ketika engkau mengalahkan Ngo-liong Sin-kai, aku sudah melihat betapa lihainya engkau! Bahkan aku merasa yakin bahwa guruku terakhir, yaitu Paman Pouw seniiri tidak akan menang melawanmu. Bagaimana, toako, engkau, masih tidak mau mengajarkan silat kepadaku?"

"Baiklah, nona. Aku akan mengajarkan apa yang aku bisa, akan tetapi dengan satu syarat bahwa aku tidak mau kauanggap sebagai guru, apalagi kalau engkau menyebut suhu kepadaku, aku tidak mau menerimanya!"

Kiok Lan tertawa dan Suma Hok terpesona. Dia seorang pemuda yang memiliki watak mata keranjang dan gila kecantikan wanita, maka tentu saja Kiok Lan yang lincah dan cantik jelita, juga memiliki pembawaan agung ini membuat dia mengilar. Akan tetapi dia memang pandai membawa diri dan berpura-pura alim.

"Hi-hik, engkau lucu, toako! Bagaimana mungkin aku menyebut suhu kepadamu? Usiamu hanya beberapa tahun saja lebih tua dariku. Bahkan kepada guruku terakhir, yaitu Paman Pouw Cin, aku menyebut paman, tidak memanggilnya suhu. Akupun enggan kalau harus menyebut suhu kepadamu!"

Suma Hok tertawa pula, memperlihatkan giginya yang dia tahu berbaris rapi dan putih terpelihara.

"Sungguh aku merasa berbahagia sekali memperoleh seorang murid yang pandai, cerdik, dan cantik jelita seperimu nona." Sebelum gadis itu terkesan oleh pujaan atau rayuannya, dia cepat menyambung.

"Nah, sebaiknya kita mulai sekarang, nona. Pagi ini cuaca baik sekali untuk berlatih."

Kegembiraan karena akan dilatih silat oleh pemuda itu membuat Kiok Lan tidak begitu memperhatikan lagi rayuan tadi, dan iapun cepat mengajak Suma Hok ke belakang pondok di taman. Belakang pondok itu, di tempat terbuka memang disediakan untuk berlatih silat. Lantainya dari ubin batu lebar yang rata dan cukup luas.

Suma Hok yang cerdik ingin mengambil keuntungan sebanyaknya dari kesempatan ini. Dia memang sudah mengambil keputusan untuk merayu gadis bekas puteri ini. Kalau gadis ini sudah jatuh ke tangannya dan menjadi isterinya atau setidaknya menjadi tunangannya, maka barulah dia akan membantu perjuangan bekas kaisar kerajaan Liu-sung dengan sepenuh tenaga, bahkan akan membujuk ayahnya untuk membantu pula. Dan untuk dapat mencapai cita-citanya memperisteri bekas puteri ini, terlebih dahulu dia harus dapat menjatuhkan hati Kiok Lan! Oleh karena dia telah memperhitungkan segalanya dengan cepat, pemuda yang cerdik dan licik ini lalu berkata sambil tersenyum.

"Nona, karena engkau telah mempelajari banyak ilmu yang cukup tinggi, maka kiranya tidak perlu mempelajari ilmu silat baru dariku. Sebaiknya kalau aku mencoba memberi petunjuk kepadamu dalam ilmu silat yang sudah kaukuasai, menunjukkan kelemahan dan kekurangannya, dan menambah daya serangannya sehingga engkau akan memperoleh kemajuan cepat. Caranya adalah engkau berlatih silat denganku, engkau keluarkan jurus-jurus ilmu silatmu dan kalau aku melihat jurus yang lemah, akan kuberi petunjuk. Dengan demikian maka engkau akan cepat maju."

Kiok Lan mengangguk.

"Rencanamu itu baik sekali, toako. Nah, mari kita mulai. Aku akan menyerangmu dengan ilmu silat yang paling kuandalkan."

"Baik, aku sudah siap. nona." kata pemuda itu. Dengan cara yang diambilnya itu, selain dia tidak perlu mengajarkan ilmu-ilmunya kepada gadis ini, juga dalam latihan bersama, dia akan mendapat, kesempatan lebih banyak untuk beradu lengan, untuk menyentuh gadis itu, dan berdekatan, juga untuk memamerkan kepandaiannya membuat gadis itu tidak berdaya. Diapun memasang kuda-kuda dengan gagahnya, kaki kiri ditekuk di depan, kaki kanan di belakang, tangan kiri diangkat ke atas dan tangan kanan ditekuk di pinggang, mukanya menoleh ke kanan menghadap ke arah Kiok Lan.

"Toako, lihat seranganku! Haiiittt ...!!"

Kiok Lan yang kini merasa gembira karena mendapat kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang ia tahu amat lihai itu segera mengerahkan tenaganya. Cepat sekali tubuhnya bergerak ke depan dan ia sudah menyerang dengan totokan-totokan kilat yang bertubi-tubi ke arah berbagai jalan darah di bagian depan tubuh lawan.

"Bagus!" Suma Hok mengelak ke sana-sini, berloncatan dan kadang menangkis sambil mengamati gerakan gadis itu. Ketika melihat kesempatan, pada saat jari tangan kanan gadis itu menotok ke arah pundaknya, dia memutar tubuh ke kiri dan menangkap dengan tangan kanan pada pergelangan tangan Kiok Lan yang kanan, lalu tangan kirinya menotok pundak kiri gadis itu sambil memuntir lengan kanan Kiok Lan ke belakang. Gadis itu sama sekali tidak berdaya, lengan kanannya terbekuk ke belakang dan kini lengan kiri Suma Hok melingkari lehernya dengan jari-jari tangan mengancam tenggorokannya! Tentu saja hanya sebentar Suma Hok menelikung gadis itu, lalu melepaskannya lagi.

"Nah, di sini engkau melakukan gerakan yang lemah, nona, sehingga engkau mudah dapat tertekan," kata Suma Hok, dengan lembut dan sopan dia memberi penjelasan, minta kepada gadis itu mengulang lagi serangannya yang tadi dan menjelaskan bagian mana yang lemah dan harus diadakan perbaikan. Demikianlah, dengan cerdiknya Suma Hok memberi petunjuk dan dia mendapat banyak kesempatan untuk meringkus, merangkul dan memeluk tubuh gadis itu ketika menundukkannya, namun tidak membuat Kiok Lan merasa rikuh karena semua itu dilakukan Suma Hok untuk memberi petunjuk kepadanya.

Kedua orang muda ini sama sekali tidak tahu betapa sepasang mata mengamati mereka dari jauh, sepasang mata yang berkilat dan sepasang alis yang berkerut tanda bahwa si pemilik mata tidak berkenan hatinya melihat apa yang mereka lakukan itu.

Sejak pagi hari itu, hubungan antara Suma Hok dan Liu Kiok Lan menjadi semakin akrab. Kiok Lan merasa senang dan puas karena harus ia akui bahwa sejak ia diberi petunjuk oleh Suma Hok, ia memperoleh kemajuan pesat sekali. Iapun menjadi semakin tertarik dan kagum saja kepada pemuda itu. Suma Hok nampaknya memberi petunjuk dengan sungguh hati dan sikap pemuda itupun selalu sopan dan ramah, membuat gadis itu terpikat dan senang sekali. Apalagi ketika Suma Hok berjanji akan mengajarkan suatu cara menghimpun tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang istimewa untuk memperkuat tubuh, Kiok Lan menjadi semakin bersemangat.

"Latihan itu merupakan cara bersamadhi yang harus dilakukan dalam tempat tertutup dan tidak boleh kelihatan orang lain! Kurasa latihan itu dapat dilakukan di dalam pondok taman, nona. Dan untuk dapat melakukan latihan itu dengan baik, engkau harus minum ramuan obat dari keluarga Suma yang sengaja dibuat untuk melengkapi latihan itu."

"Ah, aku senang sekali, toako. Mari kita lakukan latihan itu, aku telah siap. Kapan kita melakukannya, Suma-toako?" tanya Kiok Lan penuh semangat.

Mereka baru habis berlatih dan beristirahat di belakang pondok. Kiok Lan menghapus keringatnya dengan saputangan, wajahnya yang berkeringat nampak kemerahan dan segar seperti buah tomat yang sedang ranum, matanya bersinar-sinar dan bibirnya yang merah basah itu tersenyum manis.

Suma Hok menelan ludah.

"Secepatnya lebih baik, nona, akan tetapi aku khawatir kalau-kalau engkau akan berkeberatan dan terutama kalau-kalau Kongcu akan tidak mengijinkan latihan itu kaulakukan ..."

"Eh, kenapa, toako? Koko sudah tahu, bahwa engkau memberi petunjuk ilmu silat kepadaku dan dia sama sekali tidak berkeberatan, bahkan ikut bergembira melihat kemajuanku. Kalau latihan itu untuk memperkuat sin-kang dalam tubuhku, kenapa dia tidak akan mengijinkan?" Sepasang mata yang bening itu mengamati wajah Suma Hok dengan penuh selidik.

"Begini, nona. Latihan sin-kang dari keluarga kami itu merupakan latihan rahasia yang tidak boleh dilihat atau diketahui orang lain. Dan si pelatih tidak akan berhasil tanpa bantuan seorang di antara kami yang telah ahli, dan dalam hal ini, nona harus kubantu kalau ingin berhasil. Dan latihan ini baru dapat dilakukan kalau matahari sudah tenggelam, yaitu pada malam hari, semalam suntuk. Inilah yang membuat aku ragu apakah nona tidak akan berkeberatan, dan apakah Kongcu akan memberi ijin kalau nona berlatih sin-kang dalam pondok dengan kutemani selama semalam suntuk. Karena itu, lebih baik kalau engkau tidak berlatih sin-kang keluarga kami itu, nona."

Sepasang alis itu berkerut. Memang agak aneh cara latihan itu, pikirnya. Memang tentu saja kakaknya tidak akan mengijinkan kalau ia berlatih sin-kang berdua saja semalam suntuk dengan Suma Hok dalam tempat tertutup. Hal itu memang tidak semestinya dan tidak pantas. Akan tetapi, ia melihat kesungguhan dalam cara Suma Hok mengajarkan ilmu kepadanya. Selama ini, Suma Hok mengajar dengan sungguh hati dan tidak pernah pemuda itu memperlihatkan sikap atau melakukan perbuatan yang tidak sopan kepadanya. Ia percaya sepenuhnya kepada Suma Hok dan ia merasa yakin bahwa biarpun mereka berdua akan berlatih dalam pordok tertutup selama semalam suntuk, pasti pemuda itu tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Ia melihat betapa lihainya Suma Hok dan ia ingin sekali mendapatkan kekuatan sin-kang yang hebat.

"Jangan khawatir, toako. Kalau latihan itu hanya dilakukan dalam waktu semalam suntuk, aku akan dapat mengaturnya agar kita melakukan latihan itu tanpa diketahui oleh kakakku atau oleh siapapun juga."

Diam-diam Suma Hok merasa girang bukan main. Dia sudah melihat tanda-tanda bahwa gadis itu mulai tertarik dan percaya kepadanya dan sekali gadis itu menyerahkan diri, maka sudah dapat dipastikan bahwa mau atau tidak mau, bekas puteri istana ini akan menjadi isterinya! Bagaikan seekor laba-laba yang memasang jerat, dia telah melihat betapa kupu-kupu yang indah dan berdaging lunak itu sudah mulai mendekati jeratnya!

"Akan tetapi, bagaimana caranya, nona? Dan aku ... sungguh aku merasa takut kalau-kalau kelak mendapat marah dari Kongcu."

"Jangan takut, aku yang tanggung kalau sampai koko mengetahui dan memarahimu, akan kukatakan bahwa aku yang menghendaki latihan itu, bukan engkau! Dan caranya mudah saja. Kita tentukan waktunya, kemudian setelah semua orang tidur dan keadaan sunyi, kita ketemu di pondok dan melakukan latihan itu sampai pagi. Mudah saja, bukan?"

"Tapi ... tapi ... benarkah engkau yang akan bertanggung jawab kalau sampai kakakmu mengetahui dan marah?"

"Tentu saja. Dan pula, kita berdua hanya akan berlatih sin-kang, tidak melakukan hal-hal yang melanggar garis kesopanan, andaikata ada yang mengetahui sekalipun, apa salahnya?"

Hemm, dia harus berhati-hati, pikir Suma Hok. Gadis ini ternyata lebih sukar ditundukkan dari pada yang dia kira. Kalau menghadapi gadis lain, tentu tidak sesukar itu dia menundukkannya, Liu Kiok Lan ini seorang gadis yang tegas, berani, memiliki harga diri yang tinggi. Seorang gadis seperti ini, walau misalnya sudah tertarik dan jatuh cinta padanya sekalipun, belum tentu akan suka menyerahkan diri begitu saja karena ia selalu menjunjung tiaggi adat istiadat dan kesusilaan, amat menghargai kehormatannya sebagai seorang bekas puteri istana. Buktinya, gadis itu begitu benci kepada Tiauw Sun Ong karena Tiauw Sun Ong pernah berjina dengan selir ayahnya, pada hal Tiauw Sun Ong adalah pamannya sendiri. Dia harus berhati-hati dan dia harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin agar tidak sampai gagal. Gagal menundukkan gadis ini berarti akan gagal semua cita-citanya.

Mereka lalu menentukan waktu untuk melaksanakan latihan itu. Suma Hok memilih waktu tiga malam lagi. Dia memperhitungkan bahwa malam itu cuaca akan gelap tanpa adanya bulan sedikitpun sehingga tentu malam itu keadaan di luar akan sunyi sekali. Kiok Lan menyetujui dan mereka berjanji akan saling bertemu di pondok itu yang oleh Kiok Lan akan dibiarkan tidak terkunci daun pintunya.

Tiga malam kemudian. Malam itu memang gelap seperti sudah diperhitungkan Suma Hok. Agaknya keadaan malam itu membantu rencana siasatnya. Selain tidak ada bulan, langit pun tertutup mendung sehingga bintang-bintangpun tidak nampak. Malam gelap pekat dan udara dingin, membuat orang segan untuk keluar pintu. Taman rumah besar bekas kaisar itupun sunyi sekali. Yang terdengar hanya bunyi kerik jangkerik dan belalang malam.

Karena sunyinya, tidak ada yang tahu bahwa kerik jangkerik itu sempat terhenti sejenak dua kali karena adanya orang yang lewat memasuki taman menuju ke pondok dalam waktu yang sebentar saja selisihnya, kemudian sekali lagi kerik jangkerik terganggu dan terhenti.

Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Selamat malam, nona." kata Suma Hok dengan sikap hormat ketika dia melihat Kiok Lan memasuki pintu pondok. Dia sudah berada di situ lebih dahulu. Ruangan pondok itu cukup luas, dengan sebuah meja dan delapan buah kursi, juga sebuah dipan di sudut. Tidak banyak peabot di ruangan itu karena memang pondok itu dibuat hanya untuk istirahat bagi Siauw Tek dan keluarganya kalau siang terlampau terik.

Melihat pemuda yang menjadi guru tidak resmi itu sudah siap dan berada di situ, Kiok Lan tersenyum manis dan legalah hatinya. Hadirnya Suma Hok lebih dahulu di situ berarti bahwa suasana aman dan tidak ada seorangpun mengetahui rahasia mereka malam itu!

"Selamat malam, toako. Sukurlah, engkau sudah berada di sini. Nah, kita dapat segera mulai dengan latihan kita, toako." Bagaimanapun juga, berada berdua saja dengan pemuda itu di dalam pondok yang hanya diterangi lampu gantung dari luar sehingga keadaan ruangan itu remang-remang, pada malam hari pula, mendatangkan perasaan rikuh di hatinya, maka ia pun hendak menutupi perasaan itu dengan cepat-cepat melaksanakan latihan yang dijanjikan Suma Hok kepadanya.

"Nanti dulu, nona. Seperti telah kukatakan, ilmu ini merupakan ilmu keluarga Suma, ilmu rahasia atau simpanan yang biasanya hanya diajarkan kepada anggauta keluarga turun temurun, dan yang melatih ilmu ini haruslah minum ramuan obat untuk penguatnya, kalau tidak, dapat membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat-syaratnya, nona harus berjanji dan mengakui keluarga seperti lajimnya, lalu minum ramuan obat yang sudah kupersiapkan."

"Baik, toako, aku sudah siap."

Dengan tenang Suma Hok lalu mengeluarkan sebuah guci, sebuah cawan dan sebungkus obat bubuk. Dia menuangkan isi guci yang menyiarkan bau anggur yang harum ke dalam cawan, kemudian memasukkan bubuk putih dari bungkusan.

"Nona, mari kita berlutut untuk mengucapkan janji seperti yang diharuskan bagi anggauta keluarga yang melatih ilmu ini." Katanya dan dia sendiripun berlutut menghadap ke utara, arah Bukit Bayangan Setan tempat tinggal keluarga Suma. Kiok Lan dengan patuh mengikutinya dan berlutut di sampingnya.

"Nah, peganglah cawan ini dan tirukan ucapanku, nona." katanya. Kiok Lan menerima cawan itu dan sambil berlutut, ia menirukan ucapan Suma Hok.

"Saya Liu Kiok Lan, mengaku sebagai anggauta keluarga Suma, berjanji akan merahasiakan ilmu Lui-kong ciang (Tangan Halilintar) dan tidak mengajarkan kepada orang lain kecuali anggauta keluarga Suma. Bumi dan Langit menjadi saksi dan saya memperkuat janji ini dengan minum obat penguat dari keluarga Suma!" Lalu Suma Hok memberi isarat kepada Kiok Lan untuk minum isi cawan sampai habis.

Kiok Lan meminumnya dengan taat. Anggur itu manis dan berbau harum bercampur bau yang aneh dan keras, membuat ia tersedak, akan tetapi isi cawan itu sudah habis diminumnya. Suma Hok menerima kembali cawan kosong dan berkata lembut.

"Engkau akan merasa pening sedikit, akan tetapi hanya sebentar. Duduklah di atas dipan itu, nona. Kalau peningmu sudah lenyap, bersilalah di atas dipan, menghadap ke dalam.

Aku akan berdiri di tepi dipan dan mambantumu menghimpun sin-kang dari belakang. Sikapmu dalam samadhi harus seperti ini, dan pernapasan harus begini." Pemuda itu memberi petunjuk dan penjelasan.

Kiok Lan memperhatikan petunjuk itu dengan seksama, kemudian benar saja, ia merasa agak pening maka cepat ia bangkit dan menghampiri dipan, lalu duduk bersila di atas dipan, menghadap ke dalam. Ia masih mendengar betapa Suma Hok juga bangkit dan pemuda itu agaknya duduk di kursi.

Tak lama kemudian, pemuda itu bertanya,

"Apakah peningnya sudah hilang, nona?"

"Susudah ... toako ...

" kata Kiok Lan dan mendengar suara gadis itu berbisik dan tersendat, dengan napas memburu, Suma Hok tersenyum. Obat itu sudah mulai memperlihatkan pengaruhnya! Dia tahu benar bahwa tidak lama lagi, paling lama sejam lagi, obat itu sudah mempengaruhi seluruh tubuh dan juga hati dan pikiran gadis itu, membuatnya seperti dibakar gairah berahi, dan dia boleh berbuat apa saja terhadap gadis itu yang tentu akan disambut dengan penuh semangat tanpa penolakan sedikitpun!

"Bagus!" katanya sambil menghampiri dipan, kemudian dengan lembut dia lalu menjulurkan kedua lengannya, dan kedua telapak tangannya dia tempelkan punggung Kiok Lan sambil berkata,

"Sekarang, tariklah napas perlahan-lahan seperti kuterangkan tadi, dan terima saja penyaluran hawa dari kedua tanganku, biarkan berkumpul di dalam tan-tian (titik tiga inci di bawah pusar), lalu gerakkan kedua tangan seperti yang kuajarkan tadi, mulailah menghimpun tenaga sakti Lui-kong-ciang!"

Kiok Lan yang sudah tidak merasa pening kini merasa seperti dalam mimpi. Mula-mula tubuhnya seperti terbang atau terapung tanpa bobot dan rasanya nikmat bukan main, seperti diayun-ayun, kemudian ia merasa betapa dua telapak tangan yang menempel di punggungnya, mengeluarkan hawa yang hangat dan mendatangkan getaran yang menggetarkan seluruh tubuhnya, membuat ia merasa seperti digelitik dan mula-mula bulu tengkuknya meremang, lalu seluruh tubuh dan pikirannya mulai tidak karuan, tidak dapat dikendalikan. Sedikit demi sedikit, bagaikan api yang mulai membakar, ia merasakan suatu rangsmgan yang luar biasa, yang membuat ia merasa tubuhnya panas, makin lama semakin panas seperti dibakar.

"Auhhh ... panas ... panas, ... gerah ...

" ia mulai mengeluh, napasnya memburu dan suaranya seperti merintih.

Dan suara yang halus lembut itu terdengar dekat sekali dengan telinganya, berbisik lembut. Ia tidak ingat lagi suara siapa itu akan tetapi suara itu terdengar jelas dan halus,

"Kalau panas dan gerah mengganggumu engkau boleh membuka pakaianmu, agar terasa nyaman, agar tidak mengganggu latihanmu ...

"

Kiok Lan menggeleng-geleng kepala. Nalurinya membantah dan berkeras tidak mau memenuhi keinginan hatinya yang timbul oleh bujukan itu, diperkuat oleh kegerahan yang membuat ia berkeringat. Akan tetapi karena tubuhnya seperti dibakar, akhirnya ia tidak tahan dan mulailah ia merenggut dan melepaskan pakaiannya bagian atas.

Pada saat yang amat gawat itu. tiba-tiba daun jendela ruangan dalam pondok itu terbuka dan sesosok tubuh manusia meloncat masuk ke dalam.

"Keparat jahanam!" terdengar teriakan,

"Nona Kiok Lan ...!" Bayangan itu bukan lain adalah Pouw Cin. Tentu saja Suma Hok terkejut bukan main dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang dan berjungkir balik. Melihat keadaan Kiok Lan yang tubuh bagian atasnya hampir telanjang dan yang bergoyang-goyang dan merintih-rintih, Pouw Cin yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga. Gadis itu terbius dan terangsang! Cepat dia meloncat dekat dan begitu tangannya menotok tengkuk Kiok Lan. gadis itu mengeluh dan terguling jatuh roboh miring di atas dipan. Kemudian Pouw Cin membalikkan tubuh karena dia mendengar angin menyambar dahsyat. Dia cepat membuat gerakan menangkis, namun terlambat. Ketika dia tadi menotok tubuh Kiok Lan, tentu saja keadaannya dari belakang terbuka dan perhatiannya masih tercurah kepada Kiok Lan sehingga tangkisannya agak terlambat.

"Dukkk!!" Suling di tangan Suma Hok telah menotok dadanya, tepat di ulu hatinya.

"Hukkk ...!!" Pouw Cin terjengkang. napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri bukan main karena suling itu memang mengandung racun yang amat hebat. Suling itu yang membuat Suma Hok di dunia kaug-ouw dijuluki Tok-siauw-kwi (Suling Setan Kecil). Pouw Cin mengerahkan tenaganya bergulingan, lalu melompat berdiri, matanya terbelalak, mukanya pucat, tangannya menuding ke arah Suma Hok.

"Kau ... kau ...!" Akan tetapi Suma Hok sudah menerjangnya lagi, menyerang dengan suling mautnya.

Pouw Cin mencoba untuk melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena totokan pertama tadi telah membuat dia terluka berat, membuat napasnya sesak dan dadanya sakit sekali, perlawanannya tidak berarti bagi Suma Hok. Berulang kali ujung sulingnya menemui sasaran dan tubuh Pouw Cin kembali terjengkang atau terpelanting beberapa kali. Akhirnya, sebuah hantaman suling yang mengenai kepalanya membuat Pouw Cin roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Mukanya berubah kehitaman karena keracunan, dari mata, telinga, mulut dan hidungnya keluar darah. Akan tetapi matanya masih melotot memandang kepada Suma Hok, dan bibirnya masih bergerak-gerak,

"kau ... kau ... terkutuk kau ...

" dan diapun terkulai, seorang jenderal atau panglima besar yang amat setia kepada rajanya, menemui kematian secara menyedihkan sekali.

Sejenak Suma Hok berdiri, bergantian memandang ke arah mayat Pouw Cin yang menggeletak telentang di atas lantai, ke arah tubuh Kiok Lan yang rebah miring di atas dipan. Dia lalu mengganguk-angguk dan mulutnya tersenyum. Senyum iblis! Dia masih tersenyum ketika menghampiri dipan sambil kedua tangannya membuka kancing bajunya, matanya berkilat dan senyum di mulutnya semakin keji!

Menjelang pagi, gegerlah seluruh penghuni rumah besar milik bekas kaisar itu ketika Suma Hok berteriak-teriak,

"Ada pembunuh ...! Ada penjahat keji ...!!"

Semua orang berdatangan, dan tak lama kemudian Siauw Tek sendiri muncul bersama beberapa orang yang bertugas menjadi pengawalnya. Mereka melihat Suma Hok berdiri di depan pondok dengan suling di tangan dan muka babak belur, pakaian robek-robek dan pemuda ini kelihatan kebingungan. Begitu melihat Siauw Tek, pemuda itu cepat maju dan berlutut di depan bekas kaisar itu.

"Ahh ... Kongcu, celaka ... sungguh celaka ...!"

Ketika melihat para pengikut Siauw Tek hendak memasuki pondok, dia meloncat dan menghalangi mereka.

"Jangan masuk! Tak seorangpun boleh masuk kecuali Kongcu!"

Ketika semua orang mundur, kembali Suma Hok menghampiri Siauw Tek dan dengan suara bercampur tangis dia berkata,

"Kongcu malapetaka telah menimpa orang yang paling Kongcu percaya ...

"

"Suma toako, tenanglah dan ceritakan apa yang telah terjadi?" Siauw Tek memegang pundaknya dan mengguncangnya tidak sabar. Guncangan ini agaknya membuat Suma Hok menjadi tenang.

"Kongcu, harap perintahkan semua orang mundur, dan marilah kongcu bersama saya saja yang masuk melihat ...

"

Biarpun merasa heran. Siauw Tek memberi isarat kepada semua pembantunya untuk menjauh, kemudian diapun memasuki pondok bersama Suma Hok.

Dan apa yang dilihatnya di ruangan itu, yang kini nampak jelas karena Suma Hok membawa lampu penerangan dari luar masuk, membuat bekas kaisar itu terbelalak dan hampir saja dia terhuyung jatuh. Suma Hok cepat memegang lengannya.

"Kuatkan hati paduka, Kongcu ...

" katanya hormat,

"dan sebaiknya tidak membuat ribut agar tidak semua orang mengetahui terjadinya aib ini, biar kita berdua saja yang mengetahuinya ...

"

Dengan bergantung kepada lengan Suma Hok, bekas kaisar itu terbelalak melihat pemandangan mengerikan di kamar itu. Pouw Cin menggeletak di lantai, tewas dengan mata melotot, dari telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Dan yang lebih mengejutkan hatinya lagi, pakaian bekas panglimanya itu tidak karuan, celana turun dan dia hampir telanjang. Kemudian, ketika dia mengarahkan pandang matanya ke arah dipan, dia mengeluh. Adiknya, Liu Kiok Lan, dengan pakaian setengah telanjang pula, telentang di atas dipan dan sekilas pandang saja tahulah dia bahwa adiknya telah diperkosa orang dan kini dalam keadaan mati, pingsan atau tidur.

"Apa ... apa yang telah terjadi ... teriaknya lirih karena dia masih ingat untuk tidak membuat ribut.

"Nanti kuceritakan, Kongcu. Sekarang yang terpenting menolong Nona Liu. Kita harus membereskan letak pakaiannya agar tidak kelihatan orang lain sebelum ia sadar dari pingsannya."

"Ia ... ia tidak mati ... ?"

"Tidak, Kongcu. Hanya pingsan, tidak berbahaya." kata Suma Hok dan dibantu oleh Siauw Tek, dia lalu membereskan pakaian di tubuh Liu Kiok Lan yang setengah telanjang itu.

Setelah pakaian gadis itu beres, Siauw Tek mengguncang-guncang pundak adiknya dan memanggil-manggil namanya. Suma Hok berpura-pura ikut menggugah, akan tetapi diam-diam dia menotok pungggung gadis itu dan Kiok Lan bergerak, sadar dan membuka matanya.

Begitu melihat dirinya rebah di atas dipan dan di situ nampak kakaknya, ia bangkit duduk dan terkejut, memandang kepada Suma Hok.

"Koko ...!" serunya bingung karena seingatnya, tadi ia melakukan latihan Lui-kongciang, dipimpin dan dibantu oleh Suma Hok lalu tiba-tiba jendela terbuka, Pouw Cin masuk dan iapun tidak ingat apa-apalagi. Dan kini tahu-tahu kakaknya telah berada di situ bersama Suma Hok.

"Tenanglah, adikku, tenanglah, jangan ribut agar orang-orang di luar tidak tahu apa yang telah terjadi. Jahanam busuk itu ...!" Dia menuding ke arah tubuh Pouw Cin. Kiok Lan yang masih agak nanar itu memandang dan iapun terbelalak.

"Dia ... dia kenapa ... ?" Ia menoleh kepada Suma Hok.

"Toako, apa yang telah terjadi? Kuingat tadi dia meloncat memasuki kamar dan sekarang ... dia ... dia mati ...?"

Kiok Lan meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba ia menahan jeritnya dan wajahnya menyeringai kesakitan. Ia merasa nyeri dan tahu bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya!

"Ihhh ... aku ... kenapa ...? Toako, apa yang telah terjadi?" tanyanya, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.

"Benar, ceritakan, Suma-toako, apa yang telah terjadi tadi?" tanya pula Siauw Tek.

"Kongcu, nona, sebaiknya kalau kita suruh angkat dulu jenazah ini dan kita ceritakan bahwa dia tewas karena perbuatan mata-mata. Semua orang tahu bahwa Kwa Bun Houw mempunyai ilmu silat tinggi dan bahkan telah mengalahkan Paman Pouw, maka mereka tentu akan percaya kalau dikabarkan bahwa yang membunuhnya adalah Kwa Bun Huow, mata-mata kerajaan Chi. Dengan demikian, tidak akan terjadi banyak dugaan dan kecurigaan."

Kakak beradik itu hanya dapat mengangguk setuju, karena mereka masih terkejut dan tegang, apalagi Kiok Lan yang kenyerian itu kini pucat sekali dan dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal mengerikan pada dirinya!"

Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik. Dia sendiri lalu mengajak Siauw Tek dan Kiok Lan kembali ke dalam rumah. Di dalam ruangan sebelah dalam yang tertutup, di mana tidak ada orang lain dapat mendengarkan percakapan mereka, mereka bertiga duduk dan kakak beradik itu mendesak agar Suma Hok menceritakan apa yang telah terjadi.

Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu berkata dengan suara tenang.

"Kongcu, sebelumnya saya harap Kongcu suka memaafkan saya dan juga Nona Liu Kiok Lan. Malam tadi. Nona Liu sedang berlatih semacam ilmu menghimpun tenaga sakti dari saya. Karena ilmu itu harus dilatih di waktu malam dan, tidak boleh-dilihat orang lain, terpaksa kami melakukan di dalam pondok di taman itu. Selagi kami berlatih, tiba-tiba Paman Pouw Cin menerobos masuk melalui jendela. Dia menotok roboh Nona Liu dan saya demikian terkejut sehingga tidak dapat menjaga diri dan sayapun roboh tertotok dan tidak mampu bergerak sama sekali." Dia memandang kepada Kiok Lan yang matanya terbelalak.



Kisah Si Naga Langit Eps 14 Kisah Si Naga Langit Eps 23 Kasih Diantara Remaja Eps 24

Cari Blog Ini