Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 5
tongkatnya dia berkata, "He, pelayan, tahukah kau, dia berada di urutan ke
berapa dari capji shio?"
"Huuuh, tentu saja ular menempati urutan keenam, anak kecil pun tahu!"
"Hahaha, ternyata kau memang pintar, nah, bahas saja nomornya dari situ."
Pelayan itu berpikir sebentar, mendadak teriaknya, "Ya ampun, Losianseng,
ternyata kau memang baik hati, kalau aku benar-benar menang pasangan, pasti
akan kutraktir dirimu."
Selesai bicara dia membungkukkan badan memberi hormat.
"Hahaha, pelayan," kata Bwe Si-jin lagi sambil tertawa, "semoga kau menang
banyak, nah, sekarang aku mau pesan masakan."
Bab II. Cau-ji memasuki Jit-seng-kau.
Pelayan yang sudah lama bekerja di rumah makan pasti tahu kalau tamu
yang berkunjung ke rumah makan biasanya terbagi menjadi beberapa jenis, di
antaranya ada dua jenis tamu yang paling susah dihadapi.
Jenis pertama adalah tamu yang kelewat memilih.
Biasanya tamu semacam ini mempunyai satu ciri khas yang sama, mereka
selalu mengeluh terhadap setiap jenis hidangan yang disajikan, kalau bukan
kelewat asin tentu mengeluh kelewat tawar rasanya.
Pokoknya bagi mereka tak ada hidangan yang mencocoki selera.
Jenis kedua adalah jenis manusia yang gemar makan besar, biasanya mereka
akan melahap setiap jenis makanan hingga ludes.
Tamu jenis ini rata-rata suka menggunakan lagu lama, yaitu memanggil sang
Ciangkwe dan memakinya di hadapan orang banyak, mereka selalu mengkritik
hidangan ini kurang anu, hidangan itu kelebihan anu, tujuannya hanya ingin
memamerkan kehebatan pengetahuan mereka tentang masakan.
Biasanya Ciangkwe yang pintar hanya akan membungkukkan badan, berlagak
tertawa dan mengakui kesalahan, asal kau bersikap begitu tanggung tak bakal
ada urusan lagi.
Ada jenis tamu lain yang lebih memusingkan kepala, yaitu tamu yang suka
memilih jenis hidangan secara berlebihan, tamu semacam ini biasanya bukan
untuk mengkritik masakannya tapi ingin mencari sedikit keuntungan dari
keributan yang terjadi.
Tamu semacam ini biasanya gampang diketahui.
Biasanya jurus pembukaan yang mereka gunakan adalah perkataan, "Kalau
kelewat banyak nanti tak habis dimakan, siapkan saja porsi yang paling kecil
untuk setiap jenis hidangan".
Tapi begitu hidangan sudah tersaji, mereka akan berteriak kalau porsi
hidangannya kelewat sedikit. Ujung-ujungnya mereka pun minta korting
sebesar-besarnya
Ada pula jenis tamu lain yang meski tidak berkunjung setiap hari namun
mendatangkan kesan sangat baik bagi para pelayan.
Kedatangan tamu semacam ini tujuannya bukan minum arak, juga bukan
untuk menikmati hidangan.
Mereka hanya ingin ngobrol dengan teman sambil membuang waktu.
Tamu jenis ini biasanya akan memberikan dua keuntungan besar, pertama,
persen mereka pasti besar dan kedua, kalau pesan hidangan pasti satu meja
penuh, terlepas hidangan itu habis dimakan atau tidak.
Bwe Si-jin adalah jenis tamu semacam ini.
Pelayan itu bukan saja sudah mendapat nomor Ciaji untuk 'semua senang'
yang bakal dibuka dua hari lagi, bahkan tamunya sangat ramah, tentu saja dia
amat kegirangan.
"Lote, kau senang minum arak jenis apa?" tanya Bwe Si-jin kemudian.
Cau-ji tersenyum sambil menyahut, "Baru pertama kali ini aku berkunjung
kemari, terserah Loko saja, asal bukan arak beras, apapun pasti aku suka."
"Ooh, kalau soal ini tak perlu Loya kuatirkan," segera pelayan itu menimpali.
"Baiklah, pelayan, arak apa yang dijagokan rumah makan ini?"
"Tan-nian Pak-kan!"
"Baik, siapkan enam kati arak Tan-nian Pak-kan."
Begitu mendengar tamunya pesan enam kati arak, pelayan itu segera sadar
gelagat tidak beres, meski dia menyahut namun wajahnya mulai nampak tidak
leluasa. Arak Tan-nian Pak-kan adalah jenis arak sangat keras, belum pernah ada
orang bisa menghabiskan satu kati arak, tapi kedua orang itu langsung
memesan enam kati arak, memangnya mereka siap minum sampai mabuk
berat" Kalau tamunya sampai mabuk berat, siapa yang akan membayar
rekeningnya"
Kalau rekening pun tidak terbayar, jangan harap ia bisa mendapat tip dari
tamunya. Dari perubahan mimik muka pelayan itu, Bwe Si-jin segera mengerti apa yang
sedang dipikirkan, dia sengaja tertawa terbahak-bahak sambil berseru, "Hahaha,
pelayan, enam kati arak, angka enam ini rasanya bagus sekali."
Tergerak hati pelayan itu, sambil menyahut segera dia berlalu.
Hidangan dengan cepat tersaji.
Pelayan yang cerdik pasti akan berusaha memberi servis yang bagus untuk
tamunya, dia anggap kalau hidangan tersaji dalam waktu singkat maka tamunya
akan sibuk makan dan lupa minum arak.
Sayang dugaannya keliru, biarpun hidangan tersaji dalam waktu singkat
namun kedua orang itu bersantap sangat lambat.
Malah ada beberapa macam hidangan yang sama sekali belum tersentuh.
Waktu yang tersisa nyaris digunakan untuk menenggak arak sebanyak enam
kati itu, akhirnya belum lagi kedua belas macam hidangan termakan
setengahnya, arak yang enam kati beratnya itu sudah ludes tak berbekas.
Di luar dugaan, biarpun enam kati arak sudah habis ditenggak, bukan saja
kedua orang tamunya tidak mabuk, malah wajahnya nampak masih tenang
sekali. Melihat kehebatan takaran minum tamu-tamunya, beberapa orang pelayan itu
diam-diam menjulurkan lidahnya, baru pertama kati ini mereka saksikan ada
orang sanggup minum arak sebanyak itu tanpa mabuk.
Cara minum tamunya juga sangat istimewa, bukan saja mereka menenggak
arak itu seperti minum air putih, bahkan biarpun sudah meneguk lima enam
cawan pun mereka sama sekali tak menyentuh hidangan yang tersaji.
Kata Cau-ji, "Hidangan angsio ikan ini enak sekali."
Bwe Si-jin segera mengangkat cawannya sambil menukas, "Jangan, jangan
makan dulu, kita habiskan arak ini lebih dulu."
Akhirnya dalam waktu singkat mereka sudah memesan enam kati arak lagi.
Tapi dengan cara yang sama kembali arak itu habis ditenggak.
Jangan kan mabuk, paras muka Cau-ji sama sekali tak nampak seperti orang
minum, merah pun tidak.
Pada saat itulah sambil tertawa Bwe Si-jin baru berkata, "Pelayan, kemari,
mari kita bicarakan soal lotere 'semua senang' yang akan dibuka di kota Tiangsah."
Mendengar itu semangat si pelayan segera berkobar kembali, sahutnya, "Loya,
mungkin baru pertama kali ini kau berkunjung kemari" Tahukah anda,
sekarang sudah enam puluh persen penduduk kota yang kecanduan lotere
'semua senang*!"
"Waah, begitu banyak?" seru Cau-ji sambil meleletkan lidahnya.
"Benar, baik laki maupun perempuan, dari pedagang sampai kaum begundal,
asal orang punya uang, mereka semua kecanduan pasang nomor."
Kemudian sambil merendahkan suaranya ia menambahkan, "Konon ada juga
Hwesio dan Nikoh yang ikut pasang nomor... hihihihi!"
"Benarkah begitu" Lantas siapa saja yang tidak bermain 'semua senang'?"
"Orang pemerintahan setiap hari kerjanya hanya menangkap orang yang
berjudi, tentu saja mereka tidak pasang, tapi ada juga di antara mereka yang
memberi uang kepada sanak keluarganya dan minta mereka yang memasangkan
nomor." "Selain itu orang persilatan dari aliran lurus serta orang sekolahan ada juga
yang tidak ikut main, bukan saja mereka pantang berjudi, bahkan selalu
membujuk orang lain agar jangan berjudi, benar-benar pekerjaan orang
pengangguran!"
"Tadi kau bilang ada bocah yang ikut pasang nomor?"
"Benar, kalian tahu, seorang bocah berusia delapan tahun, putra Ciangkwe
kita dari gundiknya yang ketiga, dua minggu berselang dengan pasangan satu
tahil perak berhasil meraih keuntungan sebesar seratus tahil perak, betul-betul
bocah itu seorang bocah ajaib, seorang sin-tong!"
"Ohh, benarkah begitu" Bagaimana sih cara mainnya?"
"Loya, permainan 'semua senang' di kota Tiang-sah ini dipusatkan di rumah
makan Jit-seng-lau, semua orang yang ingin pasang nomor bisa berkunjung ke
situ, kau boleh memilih angka satu sampai angka sembilan, mau dipilih semua
pun boleh."
"Setiap tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima, lotere 'semua senang'
akan dibuka, siang itu akan ada sembilan orang penunggang kuda dengan
sembilan ekor kuda melakukan pertandingan lomba kuda di luar kota sana.
"Setiap kuda diberi nomor berbeda, kuda mana yang mencapai finis duluan,
dialah yang menjadi pemenangnya dan nomor di punggung kuda itulah yang
dianggap sebagai nomor lotere yang keluar.
"Minggu kemarin kuda nomor tujuh yang menang, konon total ada sepuluh
ribu orang lebih yang memasang nomor tujuh, sehingga mereka pun mendapat
keuntungan yang banyak. Cuma rumah makan Jit-seng-lau akan memotong
uang kemenangan mereka sebesar sepuluh persen."
"Kenapa harus dipotong sepuluh persen?"
"Loya, kau masakah tak tahu, kan banyak orang yang harus bekerja
mengurusi uang pasangan, mengumumkan pemenang dan membayar uang
kemenangan, katanya setiap kali bukaan, mereka butuh beberapa puluh laksa
tahil perak sebagai ongkos."
"Haah, potongan sepuluh persen" Berapa sih perputaran uang pasangan
setiap kali bukaan?"
"Setiap kali mengumumkan hasil undian, mereka pun melaporkan jumlah
perputaran uang dari pasangan nomor waktu itu, konon mencapai dua juta tahil
lebih, malah minggu lalu sempat mencapai tiga juta tahil, berarti bila nomor
enam yang kupasang benar-benar keluar angkanya, aku bisa meraih
keuntungan tiga juta tahil perak, wouw...."
"Tiga juta tahil, berarti sepuluh persennya tiga ratus ribu tahil," gumam Cauji,
"taruh kata dipotong ongkos seratus ribu tahil, berarti mereka masih
mengantongi keuntungan dua ratus tahil, jika sebulan ada tiga kali penarikan
berarti mereka mengantungi laba enam ratus ribu tahil perak."
Bwe Si-jin yang selama ini hanya tersenyum segera berkata, "Bayangkan
sendiri, mana ada pekerjaan di dunia ini yang bisa meraih laba sebesar itu" Ayo,
kita bersulang demi kesuksesan mereka!"
Cau-ji meneguk habis secawan arak, lalu kepada si pelayan tanyanya, "He,
pelayan, kalau memang usaha ini mendatangkan laba besar, kenapa tak ada
orang menyaingi pekerjaan rumah makan Jit-seng-lau?"
Mendengar pertanyaan itu segera si pelayan merendahkan suaranya dengan
setengah berbisik katanya : " Sttt Loya, perkecil suaramu, kalau sampai
kedengar orang-orang Jit-seng-lau kalian bakal mendapat kesulitan".
"Memangnya mereka bisa memukuli orang ?"
"Soal ini.... aku aku sendiri kurang jelas, tapi pernah ada mengkritik
pekerjaan mereka, akibatnya nyaris orang itu kehilangan nyawa, dia mesti
beristirahat setengah tahun lebih sebelum dapat berjalan kembali".
Berkilat sepasang mata Cau-ji mendengar perkataan itu.
Segera Bwe Si-jin berdehem, selanya "Pelayan, bukankah di kota ini terdapat
beberapa bandar besar ?"
"Soal ini... coba aku hitung dulu, ahhh benar, sebenarnya terdapat tiga puluh
dua orang bandar besar, tapi dalam setengah tahun mereka telah menutup
usahanya secara sukarela, tapi beginipun jauh lebih baik, daripada Ciaji nya
kelewat banyak, yang pasang jadi bingung ".
"Apa sih Ciaji itu ?" tanya Cau-Ji keheranan.
"Yang dimaksud dengan Ciaji adalah ramalan nomor pasangan yang bakal
keluar " "Coba jelaskan."
"Pada mulanya semua pemasang lomba kuda hanya menganalisa kuda mana
yang lebih kuat dan joki mana yang bisa diandalkan, tapi kemudian orang
merasa dengan cara begitu saja kurang bisa dipercaya.
"Maka orang pun secara diam-diam pergi ke kuil mengambil Ciamsi, angka
Ciamsi itu dipakai sebagai Ciaji, adapula yang pergi ke kuburan mencari ilham
supaya dapat Ciaji, ada yang bertanya pada pohon besar, batu keramat dan lain
sebagainya. "Malahan ada orang yang pasang nomor berdasarkan mimpi, pokoknya semua
orang berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan Ciaji itu!"
"Benar-benar aneh, benar-benar aneh ...." gumam Cau-ji sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Lote, ayo minum arak dulu," seru Bwe Si-jin kemudian.
Pada saat itulah mendadak terdengar sang Ciangkwe bangkit berdiri dari
tempat duduknya sembari menyapa dengan nada hormat, "Jit-koh, angin apa
yang membawamu datang kemari" Tak disangka orang terhormat pun mau
berkunjung ke kedai kami."
Mendengar itu Cau-ji berdua segera berpaling dan menengok ke bawah loteng,
tampak seorang perempuan cantik berbaju merah, berusia tiga puluh tahunan,
bermuka bulat telur, bermata indah dengan pinggang ramping berjalan masuk
ke dalam rumah makan.
Terdengar perempuan itu menegur dengan suara genit, "Yu-ciangkwe, aku
dengar tempat ini kedatangan dua orang tamu agung?"
Sambil berkata matanya melirik ke atas loteng.
"Jit-koh, ada dua orang Loya sedang bersantap di atas, silakan ikut aku ke
atas." Dengan ilmu coan-im-jit-bit Bwe Si-jin segera berbisik, "Cau-ji, yang mencari
dagangan sudah datang, perempuan itu adalah seorang Hiocu perkumpulan Jitsengkau, kau diam saja, biar aku yang menghadapi perempuan ini!"
Sambil berkata dia mengambil sebatang sumpit dan diletakkan di atas sendok.
Terendus bau harum semerbak berhembus, Jit-koh dengan langkah lemah
gemulai sudah berjalan mendekat.
Dengan sorot matanya yang genit dia melirik Cau-ji berdua, wajahnya
kelihatan agak tertegun, kemudian katanya cepat, "Loya berdua, apakah kalian
datang ke kota Tiang-sah untuk mencari orang?"
Sambil berkata dia melirik sekejap ke arah sumpit di atas sendok itu.
Bwe Si-jin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, Lohu berdua hanya ingin mencicipi arak di tempat ini yang konon
sangat istimewa, padahal sebentar lagi akan berkunjung ke tempatmu, hahaha!"
"Aku tak percaya," seru Jit-koh, "kalau bukan orang lagi birahi, mana
mungkin aku datang kemari, mestinya kalian langsung datang mencari aku."
Sembari berkata dia langsung duduk dalam pangkuan Bwe Si-jin.
"Hahaha, jangan menuduh yang bukan-bukan," seru Bwe Si-jin sambil
mencium pipi perempuan itu, "hehehe, siapa bilang aku lagi mencari pondokan
di rumah orang?"
Kemudian kepada Ciangkwe itu serunya, "Hahaha, baiklah, Lohu akan pergi
dulu." Selesai berkata dia peluk tubuh Jit-koh dan bangkit berdiri.
Ciangkwe itu segera mengembalikan uang yang dibayar sembari berkata
dengan hormat, "Loya, kami sudah merasa terhormat karena Loya berdua sudi
singgah di sini, soal uang ini, silakan disimpan kembali."
"Hahaha, Jit-koh, pernahkah kau melihat Lohu menyesal keluar duit?"
Segera Jit-koh berseru kepada Ciangkwe itu, "Kalau memang Loya berniat
tulus, simpan saja uang itu."
Segera Ciangkwe itu mengucapkan terima kasih. Dia membungkukkan
badannya terus hingga ketiga orang tamunya pergi jauh.
Tentu saja ia harus berbuat begitu, sebab ia sadar kalau kedua orang kakek
itu bukan orang yang luar biasa, tak mungkin Jit-koh sebagai pemilik rumah
makan Jit-seng-lau sudi membiarkan dirinya berada dalam pelukan kakek itu.
0oo0 Di bawah perhatian banyak orang, Cau-ji berdua dibimbing Jit-koh langsung
menuju ke rumah makan Jit-seng-lau.
Begitu memasuki ruangan rumah makan itu, mereka berdua langsung
terperangah dibuatnya.
Perkampungan Hay-thian-it-si sudah terhitung sebuah perkampungan
mewah, tapi dibandingkan dengan Jit-seng-lau, ternyata segala sesuatunya
masih kalah jauh.
Bwe Si-jin memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian ujarnya
sambil tertawa, "Sayangku, ternyata kau pandai menikmati hidup, markas besar
pun tidak semewah dan semegah ini, hehehe?"
"Tongcu ?" dengan ketakutan Jit-koh berbisik.
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayangku, hati-hati di balik dinding ada telinga!"
Mendengar bisikan itu, segera Jit-koh melirik sekejap ke arah belasan orang
pecandu 'semua senang' yang sedang membahas nomor serta beberapa orang
pegawainya, diam-diam ia terkesiap.
Kembali Bwe Si-jin berbisik dengan ilmu menyampaikan suaranya, "Coba kau
perhatikan dua orang yang berada di sudut kanan!"
Jit-koh berpaling dan keningnya bekernyit
la lihat ada dua orang lelaki bermata tajam berhidung bengkok dan
mengenakan baju hijau sedang celingukan kian kemari, ternyata kedua orang ini
tak lain adalah Ho-ha-siang-tau, sepasang pencoleng kenamaan dalam tiga
puluh tahun terakhir.
Jelas kehadiran mereka mempunyai maksud dan tujuan tertentu.
Sebenarnya sepasang pencoleng itupun terkesiap ketika melihat sepasang
malaikat bengis dari In-lam masuk ke dalam rumah makan, mereka semakin
terkesiap lagi setelah mendengar Jit-koh menyebut Ho Ho-wan sebagai Tongcu.
Menyaksikan keadaan ini, Jit-koh segera mengambil keputusan untuk
menghabisi nyawa mereka.
Tapi Bwe Si-jin segera berbisik lagi, "Sementara waktu jangan ganggu mereka
dulu, bagaimanapun mereka pasti akan datang mengantar diri!"
Jit-koh manggut-manggut, maka dia pun mengajak kedua orang tamunya
masuk ke ruang belakang.
Baru saja Cau-ji berdua mengambil tempat duduk di bangku berlapis kulit
yang ada di ruang tengah, mendadak bangku itu secara otomatis bergerak
sendiri ke kiri kanan, atas dan bawah.
Kontan Bwe Si-jin tertawa tergelak, serunya, "He, sayang, darimana kau
dapatkan kursi istimewa macam ini?"
Sambil menempelkan sepasang payudaranya di lengan kanan Bwe Si-jin yang
sedang memegang sandaran bangku, sahut Im Jit-koh manja, "Tongcu, bangku
ini dibuat secara khusus oleh seorang ahli tukang kayu, memang khusus
disediakan untuk para Toaya."
"Hahaha, dapat dipastikan bangku ini sudah terlalu sering dikotori oleh cairan
busuk mereka, lebih baik Lohu cepat berdiri saja."
Sambil berkata dia pun bergaya akan bangkit berdiri.
"Aaah, Tongcu jahat, lagi-lagi kau sedang menggoda aku," seru Jit-koh manja.
Selesai berkata dia segera mementang kakinya lebar-lebar dan duduk di atas
pangkuan Bwe Si-jin, sementara tangannya memukuli dadanya dengan
perlahan, tubuh bagian bawahnya mulai bergoyang ke sana kemari menggosokgosokkan
bagian rahasianya di atas 'barang' milik lelaki itu.
Tanpa sungkan Bwe Si-jin mulai meremas-remas sepasang payudaranya yang
masih tersembunyi di balik pakaian, katanya lagi sambil tertawa terkekeh,
"Sayangku, kenapa sih makin hari kau nampak semakin menggemaskan" Coba
lihat sepasang tetekmu, woouw, makin lama makin montok dan besar."
"Hihihi, kau memang tega sekali, sejak memerawani aku tempo hari, sampai
sekarang belum pernah menjamah diriku lagi!"
"Kau jangan salahkan Lohu, belakangan aku memang kelewat sibuk."
"Hmm, aku tidak percaya, masa urusan partai mesti merepotkan kau seorang"
Kau sedang repot dengan urusan dinas atau sedang sibuk memerawani gadisgadis
berbau kencur?"
"Hahaha, tampaknya kau memang sangat memahami seleraku."
Seraya berkata dia mulai menelanjangi pakaian Im Jit-koh, kemudian mulai
menghisap puting susunya yang kanan dan menggigitnya perlahan.
"Aaaaah... aaaah ... Tongcu, kenapa mesti terburu napsu ... aduh ... geli...
jangan begitu dong ...."
Cau-ji yang menonton dari samping, pada mulanya menonton saja dengan
perasaan tertarik, tapi kemudian setelah melihat kedua orang itu mulai berbugil
ria kemudian langsung bertarung sengit di atas bangku, tak tahan jantungnya
ikut berdebar keras.
Tampak Im Jit-koh memeluk punggung Bwe Si-jin dengan kuat, tubuh bagian
bawahnya menggenjot terus ke atas dan ke bawah.
"Plookk, ploook ... ngiik ... nggiik" suara beradunya daging berkumandang
tiada hentinya.
Bangku itu memang dirancang secara khusus dan istimewa, sekalipun Im Jitkoh
bergoyang dan menggenjotkan badannya kuat-kuat, namun bangku itu
hanya bergoyang kian kemari, bukan saja sama sekali tak roboh, malah
menambah kenikmatan.
Bwe Si-jin tertawa terkekeh-kekeh berulang kali, sambil tangannya meremas
sepasang payudara perempuan itu, serunya, "Sayangku, kau jangan biarkan Hotongcu
menonton sambil gigit jari, coba carikan beberapa gadis perawan untuk
suguhannya!"
"Hahaha, Ho-tongcu, maafkan kelancangan hamba, sebab kau selalu tampil
serius, aku sangka kau orang tua tak suka main cewek, harap tunggu sebentar."
Sambil berkata dia segera menarik seutas tali yang ada di depan kursi
beberapa kali. "Sayangku," kembali Bwe Si-jin berkata, "dulu lantaran harus melatih sejenis
ilmu sakti, maka Ho-tongcu tak suka main perempuan, tapi sekarang ilmunya
telah selesai dilatih, dia justru suka sekali perempuan muda."
Berkilat sepasang mata Im Jit-koh, serunya kegirangan, "Benarkah itu" Waah,
kelihatannya harus kupanggil Siau-si untuk melayaninya!"
Pada saat itulah pintu kamar diketuk orang, lalu terdengar seseorang berseru
dengan suara merdu, "Jit-koh, Siau-si datang menunggu perintah."
"Masuklah!"
Ketika pintu dibuka, muncullah seorang gadis berbaju putih bergaun hijau
yang memiliki wajah cantik, dia berusia sekitar delapan belas tahun, matanya
bening, hidungnya mancung, bibirnya tipis dan badannya sangat ramping.
"Siau-si menjumpai Loya berdua," kata gadis itu kemudian.
Bwe Si-jin melirik gadis itu sekejap, kemudian serunya sambil tertawa,
"Sayangku, tak kusangka kau masih mempunyai kartu as, aku lihat Siau-si
masih perawan ting-ting?"
"Hahaha, Loya, matamu memang luar biasa tajamnya, sekarang Siau-si sudah
menempati ranking paling top di kota ini, selaput perawannya berharga lima ribu
tahil emas murni, tapi aku memang enggan melepas dengan harga segitu,
karenanya lebih baik kusuguhkan untuk Toaya berdua."
"Hmmmm, sayang, pandai amat kau merayu."
"Loya, kau jangan menuduh aku, sejak kalian meninggalkan bukit Wu-san,
semua orang percaya kalau suatu saat nanti kalian pasti akan melakukan
pengawasan di wilayah ini, maka kami tolak semua tawaran orang untuk
membuka perawannya, karena aku memang sudah menyiapkan suguhan kepada
Loya." "Baik, baiklah, akan kucatat dalam hati kebaikanmu ini."
"Terima kasih Tongcu!"
Kemudian dengan suara setengah berbisik tambahnya, "Tongcu, bagaimana
kalau kau membeli sebuah villa di kota Tiang-sah" Dengan memiliki tempat
sendiri, setiap saat kau bisa bersantai di sini."
Bwe Si-jin segera berlagak termenung, seakan-akan dia sedang
mempertimbangkan sesuatu.
"Tongcu tak usah kuatir," kembali Im Jit-koh membujuk, "tak bakal ada yang
membocorkan rahasia ini, bukan hanya itu, selama aku masih buka usaha di
kota ini, kau orang tua pun akan mendapat uang saku sebesar lima puluh laksa
tahil perak setiap bulannya, bagaimana" Setuju?"
Tergerak pikiran Bwe Si-jin setelah mendengar ucapan itu, katanya kemudian
dengan suara dalam, "Sayangku, kau harus tahu, ada banyak orang dari markas
besar yang ingin mencicipi juga ladang gemuk di tempat ini!"
Lekas Im Jit-koh merayu, "Loya, asal kau buka harga, aku tak akan
membantah sepatah kata pun."
"Hmmm, jadi kebaikan itu berlaku untuk Lohu berdua?"
"Hahaha, tentu saja, tentu saja, kalian adalah idolaku, tentu saja Ho-tongcu
pun akan memperoleh pelayanan yang sama."
Ketika Siau-si yang berdiri di samping mendengar sebutan 'Tongcu', tubuhnya
nampak gemetar keras, sepasang matanya berkilat tajam, tapi hanya sekejap
kemudian ia sudah pulih kembali dengan mimik wajah semula.
Dari gerak-geriknya, besar kemungkinan gadis ini memiliki ilmu silat.
Waktu itu sebenarnya Cau-ji sedang memperhatikan gadis itu, bahkan sedang
membuat perbandingan antara gadis itu dengan Jin-ji, oleh sebab itu perubahan
wajah nona itu segera terlihat pula olehnya, hanya saja tidak sampai diungkap.
Dalam pada itu Bwe Si-jin telah berseru lagi dengan lagaknya yang dibuatbuat,
"Sayangku, aku lihat 'semua senang' sedang menggila di kota ini."
"Bagaimana kalau sepuluh laksa tahil setiap bulannya?" teriak Im Jit-koh
sambil mengertak gigi.
Mendengar jumlah angka yang begitu fantastis, hampir saja Cau-ji berteriak
keras. Setiap bulan sepuluh laksa tahil perak, sebuah jumlah pemasukan yang luar
biasa. Tiba-tiba tubuh Siau-si gemetar lagi, bahkan kali ini gemetar sangat keras.
Bwe Si-jin sendiri meski terkejut bercampur girang, namun lebih jauh dia
segera menghardik dengan nada berat, "Cepat laporkan situasi yang sebenarnya
di tempat ini!"
Im Jit-koh sangat ketakutan, dia sadar kedua orang Tongcu ini selain berhati
buas dan telengas, sama sekali tak kenal arti rikuh.
Cepat dia melompat turun dari tubuh Bwe Si-jin dan berlutut di tanah sambil
berseru dengan gemetar, "Tongcu, ampuni jiwaku!"
Siau-si pun ikut-ikutan berlutut ke tanah.
Melihat perempuan itu ketakutan setengah mati, kembali Bwe Si-jin tertawa
tergelak, "Hahaha, jangan takut, aku hanya ingin tahu apakah kau sanggup
membayar uang sogokan itu atau tidak, ayo, cepat berdiri."
Lekas Im Jit-koh menyahut dan bangkit berdiri, kemudian ia melapor, "Tongcu
berdua, dewasa ini setiap tiga periode pembukaan dalam sebulannya,
pendapatan kami mencapai tujuh juta tahil perak.
"Kecuali untuk membayar pengeluaran rutin kantor cabang sebesar dua juta
tahil, kemudian dipotong ongkos untuk penyelenggaraan lomba kuda dan uang
sogok bagi kalangan pemerintah, sisanya lebih kurang empat juta tahil perak.
"Oleh sebab itu hamba berniat menyerahkan dua juta tahil perak untuk
Tongcu berdua, tapi bila Tongcu anggap jumlah itu masih kurang, aku bersedia
menambah lagi!"
Bwe Si-jin tidak menyangka kalau perkumpulan Jit-seng-kau mempunyai
tambang emas sehebat itu, segera ujarnya sambil tertawa, "Cukup, cukup! Kau
hanya mendapat dua juta tahil perak, rasanya Lohu berdua tak boleh kelewat
tamak." Dengan penuh kegirangan Im Jit-koh segera menjura berulang kali, gara-gara
gerakannya itu, sepasang payudaranya yang menongol keluar pun ikut
bergoncang keras.
Cau-ji yang menyaksikan itu menjadi degdegan, tangannya terasa gatal sekali,
ingin segera maju menubruk dan meremas payudara itu.
Bukan cuma payudaranya, yang lebih merangsang lagi adalah gua kecil
berwarna merah yang tersembunyi di balik hutan belukar nan hitam, bagian itu
benar-benar membuat Cau-ji merasa jantungnya berdebar keras, bahkan
tombaknya langsung berdiri tegak.
Melihat itu Bwe Si-jin segera berseru, "Sayangku, cepat suruh Siau-si
mengajak Ho-tongcu beristirahat di kamarnya."
Sambil tertawa cekikikan Im Jit-koh menghampiri Siau-si dan membisikkan
sesuatu di telinganya, kemudian kepada Cau-ji katanya, "Tongcu, Siau-si masih
muda dan tidak berpengalaman, harap kau banyak memberi petunjuk
kepadanya."
"Tak usah kuatir," jawab Cau-ji hambar, "besok kau pasti akan menjumpai
Siau-si yang tersenyum terus."
Sambil berkata ia segera merangkul Siau-si dan melangkah keluar dari situ.
Sebenarnya Bwe Si-jin kuatir kalau Cau-ji 'demam panggung', tapi melihat
sikapnya yang cukup dewasa, ia pun lega.
Kepada Im Jit-koh serunya kemudian, "Sayangku, ayo, kita lanjutkan
pertarungan."
Sambil tertawa Im Jit-koh segera melompat naik ke dalam pangkuannya.
"Cruuuppp!", begitu dia melompat, ujung tombak yang tegang keras seketika
menghujam ke dalam liang surganya hingga tertelan seakar-akamya.
"Aduuh!" tak tahan perempuan itu menjerit kesakitan.
Dengan kaget Siau-si berpaling.
Cau-ji segera berseru dengan suara dingin, "Rasakan kalau tak bisa menahan
diri, kalau sudah bernapsu pun mesti bisa mengendalikan diri."
Bwe Si-jin ikut tertawa tergelak.
"Sayangku, jangan terburu napsu, kalau sampai terluka bisa berabe."
"Loya, aku tidak menyangka kalau 'anu'mu begitu panjang," kata Im Jit-koh
sambil menjulurkan lidahnya, "sudah tentu milikku jadi kesakitan karena
terbentur sampai ke dasarnya, kau malah menertawakan aku."
"Hahaha, tahu rasa sekarang!" sambil berkata dia peluk pinggulnya dengan
kuat, lalu menekannya ke bawah lebih keras sehingga tombaknya benar-benar
terbenam hingga ke dasar.
"Aaaah," sekali lagi Jit-koh menjerit kesakitan, saking pedihnya, air mata
sampai bercucuran membasahi pipinya.
Kalau dilihat dari tampangnya, kelihatan kalau kali ini dia benar-benar
kesakitan. Melihat perempuan itu menjerit kesakitan, Bwe Si-jin bertambah napsu,
sambil tertawa tergelak dia melanjutkan tekanannya ke atas.
Kontan saja Im Jit-koh menjerit kesakitan, sambil berulang kali mengaduh,
peluh dingin makin deras membasahi tubuhnya.
Cau-ji tahu paman Bwe sedang memberi kisikan kepadanya agar bersikap
buas dan sekasar sepasang malaikat dari In-lam.
Maka sambil mencolek pinggul Siau-si, dia pun ikut tertawa seram.
Waktu itu Siau-si sedang berdiri tertegun, dia tak menyangka Jit-koh yang
terkenal jalang dan sangat berpengalaman dalam hubungan badan pun akan
menjerit kesakitan setelah 'dinaiki' Tongcu ini, cubitan yang mendadak kontan
membuatnya menjerit keras.
Sambil menahan perasaannya Cau-ji kembali berseru, "Ayo, jalan!"
Dengan air mata bercucuran dan menundukkan kepala rendah-rendah Siau-si
menyahut dan berjalan meninggalkan ruangan.
Diam-diam Bwe Si-jin manggut-manggut, teriaknya cepat, "Aduh, sayangku,
begitu baru nikmat rasanya!"
"Ya, memang nikmat, nikmat sekali," sahut Im Jit-koh sambil menahan rasa
sakit, "Loya, aku lihat tombakmu makin hari makin bertambah panjang saja."
"Hehehe, selama beberapa tahun terakhir ini kau sudah terbiasa hidup
makmur di sini, tentu saja kau tak bakal tahan dengan barangku, begini saja,
biar aku cari perempuan lain untuk menggantikan dirimu."
"Jangan, jangan," lekas Im Jit-koh berseru, wajahnya berubah hebat, "hamba
pasti dapat memuaskan napsumu!"
Bwe Si-jin meletakkan sepasang tangannya di sisi bangku, kemudian sambil
memejamkan mata, ia tertawa cabul tiada hentinya.
Segera Im Jit-koh menekan sebuah tombol di sisi kanan bangkunya,
"Kraaaak!", bangku itu segera berubah menjadi sebuah pembaringan, Im Jit-koh
pun mulai mempraktekkan berbagai macam teknik senggama untuk memuaskan
napsu lelaki itu.
Bwe Si-jin merasakan juga betapa empuk dan nyamannya pembaringan itu,
selain lentur juga hebat.
Maka mengikuti gerakan tubuh Im Jit-koh, tombaknya berulang kali menusuk
hingga mencapai ke dasar liang perempuan itu.
Kenikmatan yang berbeda-beda membuat dia harus mengagumi bahwa
perempuan ini memang amat canggih dalam teknik bermain cinta.
Tanpa sadar sekulum senyuman mulai menghiasi ujung bibirnya.
Melihat itu, diam-diam Im Jit-koh menghembuskan napas lega, dia pun
melanjutkan kembali berbagai gayanya, berusaha memuaskan lawannya.
Tak selang satu jam kemudian, Bwe Si-jin merasakan tubuh bagian bawahnya
sudah basah kuyup, liang surga milik perempuan itupun mulai gemetar sangat
keras, ia tahu perempuan itu sudah hampir mencapai puncaknya.
Dia memang berniat mengendalikan perkumpulan Jit-seng-kau, terhadap
tingkah laku anak buahnya yang jalang dan porno, ia memang berniat untuk
menertibkan, maka untuk itu dia ingin menaklukkan dulu perempuan itu.
Tiba-tiba ia membalik badannya, setelah menaikkan sepasang kaki
perempuan itu di atas bahu sendiri, dia mulai memainkan tombaknya
melancarkan serangkaian tusukan berantai.
"Plook, ploook", diiringi suara gesekan nyaring, terdengar dengus napas Im Jitkoh
yang mulai tersengal dan jeritan serta rintihan yang menggoda hati.
Bwe Si-jin tertawa seram, ujung tombaknya mulai menggesek di dalam liang
surga dengan kuat.
"Aaaah ... aaaah ... aduh ... sakit... aku ... Loya... aku ... aku tak tahan ...
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aduh.." "Hehehe?"
"Aaah ... aaaah ... ahhh ..."
Di tengah jeritan keras, akhirnya perempuan itu mencapai puncaknya.
Bwe Si-jin segera menggunakan teknik 'menghisap' dan mulai menyedot inti
sari kekuatan tubuh perempuan itu.
Im Jit-koh segera merasakan liang surganya kaku dan kesemutan, dia tak
bisa mengendalikan diri lagi, cairan dalam liang senggamanya segera mengalir
keluar dengan sangat deras.
Perempuan itu segera sadar kalau sang Tongcu sedang menghisap tenaga
negatip tubuhnya, dengan ketakutan dan nada gemetar segera rengeknya,
"Tongcu... ampun... ampun?"
Untuk sesaat Bwe Si-jin menghentikan hisapan-nya, dengan nada seram
ujarnya, "Sayangku, sekarang laporkan semua perbuatan yang pernah kau
lakukan selama beberapa tahun terakhir ini."
Melihat keselamatan jiwanya sudah berada dalam cengkeraman 'tombak' milik
sang Tongcu, dia tak berani berkutik lagi, mengira semua perbuatan busuknya
sudah terbongkar maka secara jujur dia mengakui semua perbuatannya.
Bwe Si-jin hanya mendengarkan tanpa bicara. Tapi makin didengar, ia merasa
hatinya semakin bergidik, pikirnya, "Tak kusangka pengaruh Su Kiau-kiau
sudah berkembang menjadi begitu besar dan kuat, untung perbuatan busuknya
keburu ketahuan, kalau tidak, sebuah bencana besar pasti akan melanda dunia
persilatan."
Selesai melakukan pengakuan dosa, dengan suara gemetar kembali Im Jit-koh
merengek, "Tongcu, ampunilah jiwaku!"
"Hmm! Nyalimu benar-benar amat besar, siapa sih yang menjadi 'backing'mu
selama ini?"
"Soal ini...."
"Hmm, kau sudah bosan hidup?"
"Tongcu, ampun ... ampun ...." teriak Im Jit-koh, "yang mendukungku selama
ini adalah Biau-hukaucu!"
"Apa" Dia" Kenapa dia berbuat begitu?" tanya Bwe Si-jin keheranan.
"Hamba sendiri pun tak tahu, hamba hanya tahu melaksanakan semua
perintahnya, sebab tubuh hamba sudah keracunan dan setiap tahun butuh
menelan sebutir pil penawar racun darinya, bila aku tidak memperoleh pil
penawar itu, maka peredaran darahku akan mengalir terbalik, akibatnya mati
tak bisa hidup pun susah."
"Ooh, rupanya kau sudah menelan pil Si-sim-wan (pil penghancur hati), tak
kusangka dia masih menggunakan racun semacam ini untuk mencelakai orang,
apakah dia ada perintah lain yang harus kau laksanakan?"
"Dulu tidak ada, tapi sejak sebulan berselang, dia perintahkan aku untuk
mengawasi gerak-gerik Giok-long-kun Bwe Si-jin!"
"Kenapa?" teriak Bwe Si-jin tak tahan.
"Tongcu, dia sama sekali tidak mengemukakan alasannya!"
Kini pikiran Bwe Si-jin menjadi kalut, dia segera bangkit dari pembaringan
dan duduk di depan meja sambil termenung.
Ketika Im Jit-koh menyaksikan 'tombak panjang' miliknya masih berdiri tegak,
lekas ia berjongkok dan memasukkan tombak itu ke dalam mulutnya kemudian
mulai menghisapnya perlahan-lahan.
Kontan Bwe Si-jin merasakan kenikmatan yang luar biasa, ia tahu perempuan
itu sedang berusaha mengambil hatinya, maka dia biarkan perempuan itu
menghisap tombaknya dengan leluasa.
"Jit-koh!" ujarnya kemudian, "hampir saja Lohu salah sangka terhadapmu,
harap kau jangan marah."
Dengan rasa terharu Im Jit-koh mendongakkan kepalanya.
"Tongcu," katanya, "hamba tahu kalau selama ini telah berbuat salah, asal
kau dapat memaklumi, hamba pun merasa berterima kasih sekali."
Selesai berkata, dia melanjutkan hisapannya.
Sembari membelai rambutnya dan meremas puting susunya, Bwe Si-jin
memejamkan mata sambil menikmati hisapan itu, sementara otaknya pun mulai
berputar, merencanakan langkah berikut.
0oo0 Cau-ji telah diajak Siau-si memasuki sebuah ruang kamar, ia lihat di depan
pembaringan tersedia sebuah bangku yang aneh sekali bentuknya, tanpa terasa
ia berseru tertahan.
Dengan lirih Siau-si segera menjelaskan, "Loya, bangku itu dinamakan Hapkehhuan (seluruh keluarga gembira), sebentar budak akan memanggil beberapa
orang saudara untuk mempraktekkannya!"
Sambil berkata dia merangkul Cau-ji untuk naik ke atas pembaringan.
Dengan tangan gemetar dia siap membantu Cau-ji melepas pakaian, tiba-tiba
pemuda itu berseru dengan suara dalam, "Coba panggil beberapa orang lagi!*
"Baik!"
Memandang bayangan tubuhnya yang indah, kembali Cau-ji berpikir, "Tak
kusangka gadis cantik yang begitu anggun ternyata anggota dari Jit-seng-kau,
Hmm! Tunggu saja, sebentar akan kuberi pelajaran kepadamu."
Sejak tahu paman Bwe pernah disiksa oleh Jit-seng-kau, Cau-ji amat
membenci setiap anggota perkumpulan itu, dia berhasrat akan melenyapkan
perkumpulan itu hingga ke akar-akarnya.
Tak lama kemudian Siau-si sudah muncul kembali dengan membawa dua
belas orang gadis berusia belia.
Cau-ji hanya merasakan harum semerbak berhembus, matanya menjadi
terang dan dua belas orang gadis cantik sudah berdiri berjajar di depan pembaringan.
Satu per satu Cau-ji memperhatikan kedua belas gadis itu, terlihat olehnya
sepuluh orang pertama berdandan menor dan bertubuh ramping menggiurkan,
hanya ada seorang gadis terakhir yang berdandan sederhana berdiri di samping
Siau-si. Melihat itu, dengan perasaan keheranan ia pun berseru, "Ayo, telanjang
semua!" Sepuluh orang gadis yang pertama segera tertawa cekikikan, dalam waktu
singkat mereka telah melepas seluruh pakaian yang dikenakan.
Kini tinggal Siau-si dan gadis terakhir yang masih berdiri dengan wajah
sangsi. Cau-ji mengira kedua orang ini jual mahal, hawa amarahnya kontan berkobar,
kembali bentaknya, "Ayo, telanjang!"
Dua orang gadis itu saling bertukar pandang sekejap, akhirnya sambil
menggigit bibir dan menundukkan kepala, perlahan-lahan mereka melepas
pakaian yang dikenakan.
Waktu itu kesepuluh orang gadis lainnya sudah selesai bertelanjang ria,
mereka sedang menggoda Cau-ji agar terangsang.
Kepada mereka Cau-ji segera membentak, "Cepat ke sana dan bantu mereka
melepas seluruh pakaian yang dikenakan."
Di waktu biasa, kesepuluh orang gadis itu sudah merasa muak dengan
tingkah laku Siau-si dan Siau-bun yang dianggap sok suci, mendapat perintah
itu, serentak mereka menyerbu.
Dalam gelisah Siau-si dan Siau-bun segera menjejakkan kakinya dan
menyelinap ke belakang bangku.
Cau-ji tidak menyangka kalau kedua orang gadis itu memiliki gerakan tubuh
yang sedemikian cepat, ia segera melompat bangun dari tempat duduknya
sambil menghardik, "Berhenti!"
Betapa dahsyat dan nyaringnya suara bentakan itu, seketika para gadis
merasa jantungnya berdebar dan tubuhnya gemetar keras, tanpa sadar serentak
mereka menghentikan langkahnya.
Siau-si dan Siau-bun meski tak sampai gemetar, diam-diam mereka terkesiap
juga oleh kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki iblis tua itu, tanpa terasa
secara diam-diam mereka menghimpun tenaga dalamnya untuk melindungi diri.
"Kalian mau telanjang tidak?" kembali Cau-ji mengancam.
Baru saja Siau-bun akan bersuara, Siau-si sudah bergerak cepat dengan
melepas semua pakaian yang dikenakan, dalam waktu singkat ia sudah dalam
keadaan telanjang bulat.
Siau-bun menjadi gelisah, segera serunya dengan nada gemetar, "Cici, kau...."
Siau-si sama sekali tidak memberikan reaksi, dia hanya berkata, "Ayo, cepat
lepas pakaianmu!"
Kemudian ia sendiri berjalan menuju ke dalam rombongan.
Dengan menahan air mata yang nyaris bercucuran, Siau-bun melepas seluruh
pakaian yang dikenakan, lalu dalam keadaan telanjang dia berdiri di samping
Siau-si. Cau-ji mendengus dingin, dia berjalan menuju ke depan gadis pertama, lalu
dengan tangannya ia remas sepasang payudaranya dan merogoh tubuh bagian
bawahnya, setelah dipermainkan sejenak, serunya dengan suara dalam, "Sana,
berdiri di samping!"
"Baik!"
Setelah menyingkirkan tujuh orang gadis ke samping, dia memilih tiga orang
gadis untuk duduk di atas bangku 'seluruh keluarga senang', sementara dia
sendiri berdiri di hadapan Siau-si dan mulai menatap setiap bagian tubuhnya
dengan seksama.
Dimulai dari rambutnya yang lembut, matanya yang indah, hidungnya yang
mancung, bibirnya yang mungil, terus turun ke bawah ....
Tatkala menatap sepasang payudaranya yang tinggi mendongak, pemuda itu
mengawasinya tak berkedip, seolah-olah sangat menikmati keindahan buah
dada gadis itu.
Siau-si diam-diam menggigit bibir menahan rasa gusar, sedih dan malunya, ia
sama sekali tak bergerak dan membiarkan tubuhnya dinikmati iblis tua itu.
Cau-ji memang berniat mempermalukan kedua orang itu, maka kembali dia
berseru, "Sekarang rentangkan sepasang kakimu lebar-lebar!"
Sambil berkata dia pun berbaring di atas tanah sambil menikmati tubuh
bagian bawahnya.
Sekujur badan Siau-si gemetar keras, tapi dia masih berusaha menahan diri.
Berbeda dengan Siau-bun, sejak awal dia sudah tak kuasa menahan diri,
khususnya setelah menyaksikan kakaknya dipermalukan orang, coba dia tidak
berusaha keras menahan diri, mungkin sejak tadi ia sudah maju ke depan dan
menginjak tubuh iblis tua itu. "Ehmm, barang bagus!" puji Cau-ji kemudian.
Tidak kelihatan ia menggunakan tenaga apapun, tahu-tahu tubuh lelaki itu
sudah bangkit berdiri.
Baik Siau-si maupun Siau-bun, mereka berdua sama-sama memiliki kungfu
yang cukup hebat, mereka sadar, berdiri secara perlahan-lahan jauh lebih sulit
ketimbang berdiri dengan gerakan cepat, tak urung tercekat hatinya setelah
melihat demonstrasi kepandaian itu.
Dengan berlagak seakan-akan tidak memperhatikan soal itu, Cau-ji sengaja
berjalan menuju ke depan Siau-bun, lalu secara tiba-tiba ia peluk tubuh gadis
itu dan menciumnya secara brutal.
Bagi Siau-bun, ciuman itu merupakan ciuman pertamanya.
Dia malu, gusar bercampur gelisah, baru saja tangan kanannya diayunkan
siap menampar wajah lawan, lekas Siau-si menarik lengannya.
Cau-ji menyaksikan semua gerakan itu, tapi dia berlagak seolah tidak tahu,
bahkan melanjutkan ciuman brutalnya.
Dengan kemampuan ilmu silat yang dimiliki Cau-ji sekarang, apalagi dia
memang sudah siap mencium lawannya, kontan saja Siau-bun dibuat kelabakan
setengah mati. Pertama, karena kejadian itu datang secara tiba-tiba, kedua, karena kungfu
yang dimiliki Siau-bun memang selisih jauh, tak ampun gadis ini nyaris semaput
tak bisa bernapas.
Melihat seluruh tubuh adiknya gemetar keras, Siau-si hanya bisa
memejamkan matanya, tangan kanan yang sudah menyiapkan tenaga serangan
pun segera dikendorkan kembali.
Dengan suara gemetar lekas teriaknya, "Tongcu, adikku... dia..."
Cau-ji melepaskan ciumannya, mendorong tubuh Siau-bun ke arah Siau-si,
lalu serunya keras, "Sekarang coba kalian praktekkan bangku 'satu keluarga
senang' itu!"
Tiga orang gadis yang duduk di bangku itu segera menyahut dan menekan
sebuah tombol di sisi bangku.
"Kraaak, kraaaak, kraaak", tiga buah bangku yang semula bersatu menjadi
sebuah bangku kulit, kini telah berputar ke arah berlawanan, bahkan selisih
tinggi bangku pun mencapai setengah meter lebih.
Tampak gadis yang duduk di sebelah tengah mulai menggunakan lidahnya
menjilati liang senggama milik gadis di depannya, sementara liang senggama
miliknya dijilati oleh gadis yang berada di belakangnya.
Bukan hanya begitu, dari samping mereka terdapat pula dua orang gadis yang
masing-masing duduk di bangku di sisinya dan mulai menghisap serta
mempermainkan sepasang buah dada milik gadis itu, sementara gadis yang lain
ikut menjilati liang senggama milik gadis yang terakhir.
Tak lama pertunjukkan itu berlangsung, kembali ada dua orang gadis
bergabung ke dalam rombongan itu dan menempelkan tubuhnya, mereka
memperagakan gaya sepasang manusia yang sedang berhubungan intim.
Belum pernah Cau-ji saksikan pertunjukkan maut semacam ini, untuk
beberapa saat dia hanya duduk tertegun.
Sementara itu Siau-bun sudah ditolong Siau-si dan mulai sadar kembali,
ketika ia saksikan si iblis tua sedang asyik menonton pertunjukan 'seluruh
keluarga gembira', segera bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara, "Cici, aku
sudah tak sanggup menahan diri!''
"Adikku, ilmu silat yang dimiliki iblis tua itu sangat hebat, kita harus bisa
menahan diri."
"Cici, seandainya dia menodai kesucian kita berdua...."
"Tentang hal ini ... lebih baik kita hadapi sesuai keadaan."
"Cici, kita sudah menunggu begitu lama, tapi tak pernah memperoleh
kesempatan untuk menyusup ke dalam markas besar Jit-seng-kau, bagaimana
kalau kita tangkap iblis tua ini lalu memaksanya untuk membawa kita masuk?"
"Hal ini kelewat berbahaya ... kita bukan tandingannya, apalagi kungfu yang
dimiliki kesepuluh orang budak itupun sangat tangguh, kita tak boleh bergerak
secara sembarangan."
"Cici, bagaimana kalau dia menodai kesucian kita berdua?"
"Demi ... demi seratusan sukma gentayangan keluarga Suto, kita telah
mempertaruhkan keselamatan jiwa kita berdua, kalau nyawa pun sudah
digadaikan, buat apa mesti memilikirkan masalah keperawanan" Adikku,
bersabarlah!"
"Aku...."
Tak tahan Siau-bun pun menghela napas panjang.
Suara helaan napas itu bagaikan suara guntur yang membelah bumi di siang
hari bolong, Cau-ji seketika tersadar kembali dari lamunannya, ketika berpaling,
ia lihat sorot mata Siau-bun yang penuh pancaran sinar kegusaran.
Karena itu dengan sengaja Cau-ji berseru, "Kau, kemari cepat, ayo, bantu aku
lepaskan semua pakaianku!"
Kembali Siau-bun gemetar keras, setelah sangsi beberapa saat akhirnya
sambil menggigit bibir dia berjalan menghampiri Cau-ji dan mulai membantunya
melepas pakaian, meski semua pekerjaan dilakukan dengan tangan gemetar.
Cau-ji salah menduga dengan sikap itu, dia sangka gadis itu menaruh sikap
permusuhan terhadapnya, oleh sebab itu dia pun mengambil keputusan hendak
memberi pelajaran yang setimpal kepada mereka berdua.
Sambil tertawa seram sepasang tangannya dengan sengaja meraba dan
meremas sepasang buah dadanya.
Tak terlukiskan rasa gusar Siau-bun, tubuhnya gemetar keras, menggunakan
kesempatan di saat melepas celananya, dia bungkukkan badan dan menghindari
sergapan yang datang dari atas.
Siapa tahu Cau-ji telah berganti sasaran, kali ini tangannya mulai meraba ke
pinggulnya dan terus meluncur ke tubuh bagian bawahnya.
Segera gadis itu berjongkok untuk menghindari rabaan ini.
Cau-ji segera mendengus dingin, pikirnya, "Sialan betul budak ini, dia mau
mencoba menghindari raba-anku" H mm, biar kuberi pelajaran yang lebih
hebat." Dengan suara dalam segera hardiknya, "Berdiri kau!"
Siau-si yang menyaksikan kejadian itu segera datang melerai, dia kuatir
adiknya tak mampu mengendalikan diri hingga melancarkan serangan.
"Tongcu," ujarnya sambil tertawa, "biar budak yang melayanimu!"
Cau-ji mendengus dingin, sambil duduk di tepi pembaringan dia mengawasi
terus gerak-gerik Siau-bun yang sedang membantunya melepas kaos kaki.
Ketika Siau-bun selesai melepas semua pakaian yang dikenakan Cau-ji dan
siap bangkit berdiri, tiba-tiba pemuda itu menghardik lagi, "Hisap!"
Tak tahan Siau-bun gemetar keras, bulu kuduknya berdiri.
Mereka berdua sebenarnya adalah putri kesayangan keluarga Suto,
seandainya bukan bertujuan untuk membalas dendam, tentu saja mereka tak
akan bergabung di tempat yang penuh maksiat.
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak heran kalau Siau-bun jadi tertegun dan merasa keberatan untuk
melakukannya ketika mendengar Cau-ji memerintahnya untuk menghisap
'tombak' miliknya.
Tentu saja mereka tahu, menghisap alat milik lelaki hanya dilakukan
perempuan jalang.
Kembali Cau-ji tertawa seram.
Kesepuluh orang nona lainnya pun ikut tertawa senang.
Mendadak Siau-si ikut berjongkok di sisi Siau-bun, tampaknya dia sudah
bersiap untuk menghisap tombak milik Cau-ji yang mulai berdiri tegak itu.
Tapi sebelum gadis itu melakukannya, dengan satu gerakan cepat Cau-ji telah
mencengkeram bahu kirinya dan menyeret gadis itu ke samping, kemudian
sambil tertawa seram sekali lagi dia membentak, "Cepat hisap!"
Melihat kakaknya dicengkeram lawan, Siau-bun tak berkutik lagi, dengan air
mata bercucuran akhirnya ia berjongkok di depan pembaringan dan mulai
menghisap tombak itu.
"Perlahan sedikit, perempuan jadah!" umpat Cau-ji tiba-fiba.
Siau-bun tak kuasa menahan rasa sedihnya, air mata bercucuran makin
deras. Sembari melelehkan air mata, dia menghisap 'tombak' itu perlahan-lahan.
Cau-ji merasa puas sekali dengan perbuatannya, kembali ia tertawa terbahakbahak.
Kini sepasang tangannya dengan leluasa mulai menggerayangi buah dada
milik Siau-si, lalu meraba pula bagian terlarang miliknya.
Berapa saat kemudian, ketika rasa jengkelnya sudah agak mereda, ia baru
mendorong pergi kedua orang gadis itu sambil bangkit berdiri.
Dia langsung menuju ke depan kursi 'seluruh keluarga senang', lalu sambil
memeluk tubuh seorang gadis yang kelihatan sangat montok, perintahnya,
"Kalian semua mundur!"
Dengan berat hati kawanan gadis itu mengawasi tombak milik Cau-ji yang
masih berdiri tegak sambil mengenakan kembali pakaiannya, kemudian secara
beruntun mereka berlalu dari situ.
Cau-ji kembali meremas buah dada milik gadis dalam pelukannya, setelah
tertawa seram tanyanya, "Siapa namamu?"
"Ji-sui!"
"Hmmm ... hmmm ... ternyata orangnya persis seperti namanya, milikmu
kelewat banyak airnya...."
Sambil berkata dia merogoh bagian bawah tubuh gadis itu.
Ji-sui tertawa cekikikan.
"Ji-sui, sekarang naikkan bangku itu sedikit lebih tinggi lagi," kembali Cau-ji
memberi perintah.
Sambil berkata dia duduk di bangku bagian tengah.
Ketika Ji-sui telah menaikkan kedua bangku di sampingnya, Cau-ji kembali
menggapai ke arahnya sambil berseru, "Ji-sui, sekarang akan kulihat
kebolehanmu!"
Ji-sui segera melompat naik ke atas bangku, sepasang kakinya direntangkan
lebar-lebar, kemudian setelah mengincar persis arah ujung tombak milik lawan,
dia pun menekan tubuhnya ke bawah.
"Cluuup!", ujung tombak itupun menghujam masuk ke dalam liang surganya.
"Woouw ... mantap!" teriaknya tertahan, "Tongcu, tak kusangka milikmu jauh
lebih galak ketimbang milik anak muda, hampir saja ujungnya menembus kulit
perutku!" Sambil berkata dia mulai menggenjot badannya naik turun.
Cau-ji tertawa bangga, dia melirik ke arah Siau-si dan Siau-bun sekejap,
kemudian menuding ke arah dua bangku kosong yang berada di sisinya.
Dua bersaudara itu saling berpandangan sekejap, akhirnya sambil menggigit
bibir mereka duduk di bangku yang tersedia.
Cau-ji mulai merangkul tubuh kedua orang gadis itu dari kiri kanan, bahkan
jari tangannya mulai meraba dan meremas-remas buah dada milik kedua orang
nona itu secara bergantian.
Sambil memaksakan diri untuk tersenyum, kedua orang gadis itu membiarkan
badannya dijamah orang.
"Siapa namamu?" tiba-tiba Cau-ji bertanya kepada Siau-bun.
"Siau-bun!"
"Hmm, memangnya tak punya orang tua" Dari marga apa?"
Hawa amaran kembali berkobar dalam dada Siau-bun, tapi sebelum dia
mengumbar amarahnya, Siau-si telah menimpali, "Tongcu, budak dari marga
Poh!" Cau-ji tertawa seram, masih terhadap Siau-bun, tanyanya, "Kau dari marga
apa?" "Poh!" jawab Siau-bun kaku.
"Poh Bun" Huuuh, sepeser pun tak ada nilainya," jengek Cau-ji sinis.
Sembari berkata, dia sengaja memencet putting susu miliknya dengan keras.
Siau-bun menjerit kesakitan, tanpa sadar dia mengayun tangan kanannya
melancarkan sebuah bacokan.
"Tahan!" segera Siau-si membentak.
Tapi dengan gerakan cepat Cau-ji telah mencengkeram urat nadi pergelangan
tangan kanannya, sambil tertawa seram kembali serunya, "Budak busuk, besar
amat nyalimu, berani melawan aku" Hmmm, lihat saja bagaimana Lohu
memberi pelajaran kepadamu!"
Sambil berkata tangan kanannya menyodok ke muka.
Sambil mengertak gigi Siau-bun segera melepaskan pukulan dengan tangan
kirinya untuk menangkis.
Cau-ji tertawa dingin, telapak tangan kanannya dibalik dan segera
mencengkeram pergelangan tangan kirinya.
Pada saat itulah mendadak terdengar Ji-sui membentak nyaring, "Siau-si, kau
berani!" Telapak kirinya telah dibabatkan ke atas pergelangan kanan Siau-si yang
sedang digunakan untuk membacok punggung Cau-ji.
Baru saja Cau-ji berhasil menotok jalan darah kaku di tubuh Siau-bun, ia
mendengar jeritan ngeri dari Ji-sui, cepat badannya berbalik, tampak pukulan
Siau-si sudah bersarang di dada perempuan itu, membuat si nona segera roboh
terjungkal. Cau-ji gusar sekali, dia segera melancarkan sebuah pukulan untuk
menyongsong datangnya bacokan yang dilepaskan Siau-si.
Selisih jarak kedua orang itu sangat dekat, begitu serangan dilancarkan,
sepasang tangan pun saling beradu.
"Dukkkk!", di tengah benturan keras, tubuh Siau-si berikut bangkunya sudah
roboh terjungkal.
Belum sempat gadis itu bangkit berdiri, Cau-ji sudah menyusul tiba dan
melepaskan satu totokan kilat.
Ketika dua orang gadis itu sudah berhasil dikuasai, Cau-ji baru berpaling
memandang ke arah Ji-sui.
Waktu itu gadis itu sudah roboh terkapar dengan napas lemah dan darah
bercucuran dari mulutnya, jelas ia sudah terluka parah.
Lekas dia bopong tubuhnya dan membuka pintu kamar.
Waktu itu ada dua orang gadis sedang berjaga di depan pintu, ketika melihat
Tongcu mereka muncul sambil membopong Ji-sui yang terluka parah, segera
tanyanya, "Tongcu, apa yang telah terjadi?"
"Masa kalian tidak mendengar suara pertarungan di dalam kamar?" tegur
Cau-ji dengan suara dalam.
Gadis yang berada di sebelah kanan segera menyahut, "Lapor Tongcu,
ruangan itu dilengkapi dengan lapisan kedap suara, hamba sama sekali tidak
mendengar suara apapun."
Dengan pandangan penuh amarah Cau-ji berseru, "Kalian segera tolong jiwa
Ji-sui, di samping itu segera siapkan dua butir obat perangsang!"
Gadis itu segera membopong tubuh Ji-sui dan beranjak pergi dari situ.
Sementara gadis yang lain berkata, "Lapor Tongcu, di bagian bawah ranjang
terdapat sebuah botol, isi botol itu adalah obat perangsang!"
Cau-ji masuk kembali ke dalam kamar, setelah mengunci pintu dia berjalan ke
depan pembaringan, benar saja ia segera menjumpai ada sebuah botol berisi
obat. Dia pun menuang dua butir pil berwarna merah, kemudian berjalan menuju
ke hadapan Siau-si.
Tiba-tiba terdengar Siau-si berseru, "Tongcu, cepat tekan dagu Siau-bun!"
Baru saja Cau-ji akan melompat ke depan, sambil tertawa keras Siau-bun
telah berseru, "Cici, aku tak bakal melakukan perbuatan bodoh"
Cau-ji segera dibuat tertegun oleh tingkah laku kedua orang gadis itu.
"Tongcu," ujar Siau-bun kemudian dengan suara tenang, "budak bersedia
mempersembahkan tubuhku, tapi aku berharap kau bersedia pula menerima
kami dua bersaudara sebagai dayangmu, agar setiap saat kami dapat
melayanimu."
Cau-ji tidak menyangka kalau gadis keras kepala itu bisa menunjukkan
perubahan sikap yang drastis dalam waktu singkat, setelah berpikir sejenak
tegurnya. "Rencana busuk apa yang sedang kau persiapkan?"
"Tongcu, budak sebenarnya tak rela kehilangan kesucianku di tanganmu, tapi
sekarang budak telah melakukan tindakan yang berakibat terjadinya musibah,
bila Tongcu tak bersedia menerima kami, bisa jadi nasib budak akan berakhir
lebih tragis!"
Sambil tertawa seram Cau-ji mengawasi gadis itu tanpa berkedip.
Siau-bun hanya menundukkan kepala dengan wajah lesu, dia sama sekali tak
berkata lagi. Cau-ji tahu, persoalan ini tidak mungkin begitu sederhana, di balik semua ini
pasti tersembunyi suatu rencana busuk, maka sambil tertawa dingin dia
berjalan menghampirinya.
"Tongcu," seru Siau-si pula dengan gemetar, "kau paling tahu soal hukuman
yang berlaku dalam perkumpulan, budak lebih rela musnah di tanganmu
daripada terjatuh ke tangan orang lain."
"Hehehe, bagus, bagus sekali, kalau memang begitu keinginan kalian, tentu
saja aku akan menerima dengan senang hati. Cuma ada satu hal perlu Lohu
kemukakan dulu, bila kalian bisa memuaskan diriku, aku baru bersedia
menerima kalian, kalau tidak, hmmm! Jangan salahkan kalau Lohu tak
berperasaan."
"Baik!" sahut Siau-bun sedih.
Cau-ji segera menotok bebas jalan darah kedua orang gadis itu, kemudian
baru naik ke atas ranjang dan membaringkan diri.
Bab III. Rombongan iblis merampok duit
Suto bersaudara semakin terkesiap lagi setelah menyaksikan kemampuan
iblis tua itu menotok bebas jalan darah mereka hanya dengan sekali kebasan
tangan, mereka sadar musuh benar-benar sangat tangguh.
Maka tanpa banyak bicara lagi Siau-bun segera melompat naik ke atas
ranjang dan menaiki tubuh Cau-ji
"Adikku, biar aku duluan!" Siau-si berseru. "Tidak, Cici, kau beristirahatlah
dulu!" seru Siau-bun serius.
Kemudian sambil menggigit bibir dia merentangkan bibir bagian bawah
miliknya, membuka lubang surganya dan perlahan-lahan dihujamkan ke atas
ujung 'tombak' milik lawan.
Siau-si segera menyaksikan peluh dingin bercucuran membasahi tubuh Siaubun,
bukan hanya itu, bahkan tubuhnya gemetar keras.
la tahu adiknya sedang merasakan kesakitan yang luar biasa karena selaput
perawannya robek untuk pertama kalinya.
Cau-ji sendiri pun merasakan ujung tombaknya agak sakit ketika tertelan oleh
liang surga milik Siau-bun yang kering, sempit dan masih amat kencang itu.
Lekas serunya, "Jangan terburu-buru, perlahan sedikit, lebih baik berbaring
saja." Sambil berkata dia memeluk pinggangnya dan dibaringkan ke atas ranjang.
Terlihat tetesan darah segar mengalir keluar dari liang surga milik Siau-bun.
"Mungkinkah aku telah salah menilainya?" melihat itu Cau-ji mulai berpikir.
Dengan sangat penurut Siau-bun berbaring di samping tubuhnya, dia
pejamkan mata dan tak berani menengok ke arahnya.
Waktu itu Siau-si sedang duduk bersila sambil mengatur pernapasan, melihat
caranya yang begitu serius, kembali Cau-ji tertegun, pikirnya, "Menurut cerita
ibu, kecuali orang yang berlatih ilmu putih, tak mungkin dia akan menunjukkan
sikap semacam ini di saat sedang bersemedi, jangan-jangan.."
Lekas dia bangkit berdiri.
Dengan keheranan Siau-bun membuka matanya, serunya gemetar, "Tongcu,
kau jangan ingkar janji"
"Aku... aku...."
Tiba-tiba Siau-bun menempelkan telapak tangannya di atas ubun-ubun
sendiri, ancamnya, "Tongcu, bila kau mengingkari janji, terpaksa budak akan
segera menghabisi nyawa sendiri."
"Tunggu sebentar, aku ... aku ... beritahu dulu asal-usul kalian yang
sebenarnya!"
Siau-bun sangat terkejut, setengah terpejam matanya ia termenung, sesaat
kemudian baru ujarnya dengan suara berat, "Budak bernasib jelek, sejak kecil
sudah dijual orang ke tempat ini, sudahlah, jangan singgung asal-usul kami lagi,
kejadian itu sangat memalukan!"
"Berdasarkan kepandaian silat yang kalian miliki, seharusnya bukan
pekerjaan yang sulit untuk pergi meninggalkan tempat ini, dan lagi siapa yang
mampu menghalangi kalian?"
"Betul, memang tak ada yang bisa menghalangi kepergian kami, tapi siapa
pula yang akan memunahkan racun yang bersarang di tubuh kami berdua?"
"Soal ini...."
Kembali Siau-bun tertawa sedih. Tiba-tiba Cau-ji mendengar Siau-si
mendengus tertahan, lalu menyaksikan tubuhnya bergoncang keras dengan
perasaan terkejut segera dia melompat ke belakang tubuhnya.
Secara beruntun dia melepaskan beberapa pukulan di atas punggungnya,
kemudian sambil menempelkan telapak tangan kanannya di jalan darah Pakhwehiat, katanya dengan suara berat, "Konsentrasikan pikiranmu jadi satu,
ikuti tenaga dalamku yang mengalir ke seluruh badan."
Perlahan-lahan dia salurkan tenaga murninya ke dalam tubuh si nona.
Melihat tindakan yang dilakukan Cau-ji, Siau-bun serta-merta menghentikan
tertawanya. Ketika melihat kondisi encinya, rasa sedih dan mendongkol kembali
bercampur aduk, akhirnya sambil menahan rasa sakit yang timbul dari lubang
surganya, dia merangkak turun dari pembaringan.
Rupanya seruan Cau-ji yang dilakukan dalam keadaan panik tadi telah
menggunakan suara aslinya, tak heran kalau gadis ini jadi tertegun, dengan
sepasang matanya yang jeli dia pun mengawasi tubuh lelaki itu tanpa berkedip.
Sayang ilmu menyaru muka milik Bwe Si-jin sangat hebat, ditambah lagi
rambut Ho Ho-wan yang asli pun memang masih hitam, maka sulitlah baginya
untuk menemukan sesuatu titik kelemahan.
Sekalipun begitu, ada satu hal dia merasa yakin, yaitu orang ini dapat
dipastikan bukanlah Ho Ho-wan, salah satu anggota dari sepasang malaikat
bengis dari In-lam yang tersohor tak banyak bicara, sangat teliti dan berhati keji.
Diam-diam dia mulai putar otak sambil mencari cara bagaimana agar bisa
menemukan jawaban yang sebenarnya.
Mendadak terlihat tubuh Siau-si bergetar keras, diikuti Cau-ji
menghembuskan napas panjang sembari berkata, "Sekarang aturlah
pernapasanmu dan lakukan tiga kali putaran!"
Sambil berkata dia pun bangkit berdiri.
"Terima kasih Tongcu!" seru Siau-bun sambil menubruk ke dalam pelukan
Cau-ji. "Kau ..."
Baru saja Cau-ji buka suara, mulutnya segera disumbat oleh bibir mungil dari
gadis itu. Siau-bun menempel ketat di tubuhnya bahkan dengan sangat berani
menciumnya, menghisap ujung lidahnya, sementara sepasang tangannya mulai
meraba seluruh badan lelaki itu, meraba tombaknya dan meremas kedua telur
puyuhnya. Dasar Cau-ji masih muda dan berdarah panas, mana mungkin dia bisa
bertahan menghadapi godaan dan rangsangan seperti itu.
Kontan saja jantungnya berdebar keras, sepasang tangannya yang
menggerayangi tubuh nona itupun semakin liar.
Sambil berciuman dengan penuh kehangatan, Siau-bun perlahan-lahan
menggeser badannya menuju ke depan pembaringan.
Tanpa terasa akhirnya kedua orang itu menjatuhkan diri berbaring di atas
ranjang. Siau-bun merentangkan sepasang pahanya lebar-lebar lalu badannya
digerakkan ke bawah, dengan sangat berhati-hati dia mengantar lubang
surganya persis di atas ujung tombak lawan.
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu posisinya sudah persis, dia pun menekan badannya ke bawah dan
menelan seluruh tombak itu hingga ke dasarnya.
Orang bilang, "kalau lelaki ingin wanita, susahnya seperti melampaui sebuah
bukit karang, tapi kalau perempuan yang ingin lelaki, gampangnya seperti
menyingkap sehelai tirai".
Kini Siau-bun sendiri yang membuka lebar pintu surganya, malahan dia pula
yang membantu memasukkan sang tombak ke dalam liang, seketika semuanya
berjalan sangat lancar dan sederhana.
Cau-ji segera merasakan tombak miliknya sekali lagi berpetualangan di dalam
gua yang sempit lagi kering, hanya saja saat ini keadaan gua sudah tidak
sekering pertama kali tadi, jalan yang sedikit becek tergenang air justru
mempermudah dan memperlancar jalannya sang tombak menuju ke dasar.
Tanpa terasa akhirnya tibalah ia di tempat tujuan, sekalipun masih ada
sebagian kecil tombaknya yang tertinggal di luar gua, namun diam-diam ia bisa
menghembuskan napas lega.
Paling tidak, sebagian besar tombak pusakanya telah menghujam ke dalam
gua surga itu. Kini Siau-bun telah menggeser bibirnya dari bibir lawan, dia pejamkan
matanya rapat-rapat dan tak berani lagi memandang ke arah Cau-ji.
Dengan penuh kasih sayang Cau-ji mulai menciumi gadis itu, kemudian
sambil setengah memeluk pinggangnya dia mulai menggerakkan badannya naik
turun, genjotannya dilakukan amat perlahan dan sabar, karena dia tahu gadis
itu baru robek selaput daranya.
Sesuai dengan ajaran yang pernah diterima dari ibunya, dia menggenjotkan
badannya sangat perlahan dan penuh kasih sayang.
Lambat-laun Siau-bun merasakan rasa sakitnya makin berkurang, sebaliknya
di dasar lubang surganya ia mulai merasakan linu-linu gatal yang sangat aneh,
rasa gatal itu makin lama semakin menjadi dan rasanya ingin sekali digaruk.
Keadaannya waktu itu persis seperti munculnya rasa gatal di badan, rasa
gatal itu memaksa harus menggaruknya berulang kali, makin digaruk rasanya
makin nikmat, sampai akhirnya biar digaruk hingga terluka pun tak menjadi
masalah, karena rasa nikmatnya itu yang benar-benar diharapkan.
Tak kuasa lagi Siau-bun mulai menggerakkan badannya, menggoyang
pantatnya kian kemari mengiringi gerakan tombak lawan, tujuannya adalah
untuk menggaruk rasa gatal di dasar lubangnya itu.
Kebetulan Siau-si baru saja selesai bersamadi, ketika melihat reaksi dari Siaubun
yang begitu hangat dan terangsang, ia jadi tertegun dibuatnya.
"Heran," demikian ia berpikir, "bukankah adik amat membenci Tongcu" Apa
yang terjadi" Jangan-jangan ia sudah dicekoki obat perangsang?"
Tanpa terasa dia mengawasi dengan lebih seksama.
Cau-ji yang menyaksikan Siau-bun mulai menunjukkan reaksinya, ia sadar
kalau ajaran ibunya tidak keliru, maka dia pun mulai mempercepat gerakan
genjotannya....
"Plook... plookkk ....", bunyi gencetan lubang yang nyaring pun segera bergema
di seluruh ruangan.
Tiba-tiba Siau-bun bangun dan duduk, sambil memeluk leher Cau-ji, dia
menghadiahkan sebuah ciuman yang amat mesra.
Ciuman itu selain panjang, juga amat mendalam. Sepasang tangannya mulai
membelai wajah Cau-ji, membelai pipinya, membelai jenggotnya yang panjang
berwarna putih....
Beberapa saat kemudian akhirnya ia berhasil menjumpai perbedaan kulit di
wajah pemuda itu, sebagian kulit terasa agak kasar dan sebagian lagi terasa
sangat lembut. Dia tahu wajah orang ini memang hasil dari penyaruan muka, atau dengan
perkataan lain, orang ini memang bukan iblis tua yang dibencinya.
Penemuan ini membuatnya sangat kegirangan di samping perasaan lega,
perlahan ia berbaring lagi di atas ranjang.
"Tongcu," gumamnya kemudian, "oooh koko ... koko yang baik ... ayo, lebih
keras lagi ... oooh ... masukkan lebih dalam ...."
Cau-ji yang masih tercekam oleh kobaran birahi, sama sekali tak sadar kalau
rahasia penyaruannya sudah ketahuan, benar saja, ia segera menggenjot
badannya lebih kuat dan dalam.
Siau-bun segera menyambut tantangan itu dengan menggerakkan badannya
lebih jalang, kini dia bisa menikmati hubungan itu tanpa rasa sangsi dan takut
lagi. Siau-si yang menonton dari samping, makin tertegun dibuatnya, kembali ia
berpikir, "Aneh! Kalau dilihat tampang adikku, jelas ia berada dalam kondisi
sadar, tapi ... kenapa ia berubah menjadi jalang dan penuh napsu birahi?"
Siau-bun sendiri, setelah tahu kalau lawannya adalah seseorang yang telah
menyaru, kemudian membayangkan pula semua tingkah laku dan sepak terjang
yang dilakukan orang itu tadi, dia mulai berpikir, jangan-jangan orang inipun
musuh Jit-seng-kau yang sedang berusaha menyusup masuk" Andaikata
dugaannya tak keliru, bukankah sama artinya mereka akan mendapat bantuan
besar" Membayangkan sampai di situ dia pun menjadi sangat gembira.
Seandainya dia belum berani memastikan seratus persen, ingin sekali dia
menyampaikan berita itu kepada kakaknya.
Karena hatinya gembira, otomatis seluruh ketegangan ototnya pun
mengendor. Karena pikirannya sudah mengendor, maka gadis inipun bisa mempraktekkan
semua gerakan yang pernah disaksikannya selama ini untuk melayani pemuda
itu. Sepeminuman teh kemudian, gadis itu mulai merintih keenakan, "Aaaah ...
aaaah ... koko ... kokoku sayang ... aku ... aku ... aduh ... aduuh ... lebih kuat
lagi ... betul ... lebih kuat lagi ... masukkan yang dalam ... aduh ... aku ... aku.."
Tubuhnya mulai gemetar keras.
Cau-ji tahu gadis itu segera akan mencapai orgasme, maka dia pun
memperketat genjotan badannya.
"Plook ... ploook" di tengah suara gesekan yang makin cepat dan gencar,
pemuda itu membawa si nona menuju puncak kenikmatan.
Menyaksikan adegan itu, Siau-si tak kuasa menahan diri lagi, cepat dia
melompat naik ke atas ranjang lalu berbaring di samping mereka sambil
merentangkan kakinya lebar-lebar.
Mendadak terdengar Siau-bun menghela napas panjang, tubuhnya gemetar
semakin keras. Tak lama kemudian napasnya tersengal-sengal, seluruh anggota badannya
terkulai lemas, tak bertenaga lagi.
Namun matanya yang jeli masih menatap Cau-ji dengan termangu, senyuman
yang menggoda masih menghiasi ujung bibirnya.
Cau-ji semakin memperketat gerakan tombaknya, kini dia menghujamkan
senjatanya hingga mencapai ke dasar liang, menikmati denyutan serta getaran
yang dihasilkan dari dasar liang itu ....
Selang beberapa saat kemudian dia menciumi gadis itu makin bernapsu,
kemudian setelah beberapa kali genjotan yang makin cepat tiba-tiba ia mencabut
keluar tombaknya....
Botol arak dibuka, buih putih pun menyembur.
Darah perawan berbaur dengan cairan kental berwarna putih segera meleleh
keluar dari lubang surga Siau-bun.
Lekas Siau-si menyodorkan sehelai handuk dan sebuah selimut sambil
katanya, "Adikku, cepat bersihkan tubuh bagian bawahmu, jangan sampai
masuk angin!"
Siau-bun segera menerima handuk itu dan membersihkan lubang surganya,
lalu setelah menghela napas katanya, "Cici, ternyata Tongcu adalah orang baik,
tadi dia telah menyelamatkan nyawamu, kau harus membayar budi
kebaikannya."
Dengan wajah jengah Siau-si manggut-manggut, dia pun memejamkan
matanya. Setelah beristirahat beberapa saat lamanya, tombak Cau-ji mulai menegang
keras lagi, dia pun mulai membungkukkan badannya dan menghisap puting
susu milik Siau-si yang besar, kenyal dan masih kencang itu.
Ternyata pelajaran seks yang diajarkan ibunya memang sangat hebat.
Tadi Cau-ji sudah membuktikan kebenaran ajaran itu dengan
mempraktekkannya di tubuh Siau-bun, maka sekarang rasa percaya dirinya
semakin meningkat, dia ingin mencoba tehnik pemanasan yang pernah
diperolehnya untuk membuktikan reaksi dari gadis itu.
Siau-si segera merasakan seluruh tubuhnya gatal, kaku dan panas sekali,
hisapan pada puting susunya, gerayangan tangan yang meraba sekujur
badannya membuat gadis ini mulai terangsang juga.
Tak kuasa lagi dia mulai menggerakkan tubuh bugilnya kian kemari.
Cau-ji menciumi dadanya, menggigit puting susunya lalu mulai mencium
perutnya, pusarnya, terus turun ke bawah ... mulai menciumi hutan bakaunya
dan makin ke bawah ... menciumi seputar lubang surganya ....
Sekujur tubuh Siau-si bergidik, rangsangan itu membuat birahinya
meningkat, apalagi ketika jenggot berwarna putih itu menggesek kulit badannya,
gadis itu segera merasakan satu kenikmatan yang tak terlukiskan dengan kata.
Akhirnya ia tak bisa menahan diri lagi, gadis itu mulai merintih, merintih
kenikmatan! Cau-ji segera meraba lubang surganya, terasa tempat di seputar itu mulai
basah oleh cairan putih, ia tahu gadis itu sudah makin terangsang birahinya.
la tahu kini saatnya sudah matang, maka bibirnya menciumi dada, leher dan
tengkuknya makin menggila.
Sementara mencium, tubuh bagian bawahnya mulai bergeser ke atas badan
gadis itu dan menempelkan tombaknya di atas lubang surga.
Siau-bun pura-pura beristirahat padahal secara sembunyi-sembunyi dia
membuka sedikit matanya untuk mengintip.
Dia ingin turut menyaksikan permainan seks dari kakaknya, dia pun ikut
membayangkan betapa nikmatnya ketika bagian-bagian tertentu di tubuh
kakaknya dicium, dibelai dan dijilat lawan.
Makin mengintip hatinya semakin berdebar keras, tiba-tiba saja tubuh bagian
bawahnya mulai terasa panas kembali.
Sementara itu Cau-ji telah menciumi bibir Siau-si dengan penuh napsu, ia
mulai menghisap ujung lidah gadis itu dan menggigitnya perlahan, sedang
tombaknya yang sudah menempel di atas lubang surga, perlahan-lahan mulai
ditusukkan ke bawah dan menelusuri liang surga yang sempit lagi kering itu.
Mereka berdua berpelukan makin kencang. Mereka berdua berciuman makin
hangat dan mesra.
Tubuh bagian bawah mereka pun mulai bergerak, mulai bergoyang sangat
lambat, bergerak naik turun dengan sangat hati-hati.
Siau-bun merasakan napsu birahinya bangkit kembali, terbayang betapa
nikmatnya ketika ditiduri tadi, ia merasa lubang surganya mulai terasa geli dan
gatal sekali, seakan-akan ingin sekali ada satu benda besar yang menusuk
lubangnya dan menggaruknya dengan keras....
Tiba-tiba ia merasakan kenikmatan yang luar biasa, lagi-lagi ia mencapai
orgasme.... Waktu itu Cau-ji sudah menggerakkan badannya makin cepat.
Beberapa saat kemudian, Siau-si mulai merintih kenikmatan, tubuhnya mulai
gemetar keras....
Tapi Siau-si tak berani berteriak, sebab pertama dia memang lebih alim, kedua
di situ hadir adiknya, dia tak tega untuk mengeluarkan suara rintihan
kenikmatannya, karena itu dia hanya mendengus untuk menggantikannya.
Ketika Cau-ji merasakan lubang surga milik gadis itu mulai gemetar keras,
diam-diam dia mengerahkan hawa murninya, sesuai dengan ajaran yang
diperoleh dari Bwe Si-jin, dia bersiap-siap akan melepaskan puncak
kenikmatannya. Gerakan naik turunnya segera dipercepat.
Akhirnya Siau-si tak kuasa menahan diri lagi, ia mulai berteriak, "Aaaaah ...
ahhhh.." Teriakannya makin lama semakin keras dan jeritannya bergema tiada
hentinya. Melihat itu Siau-bun segera berbisik, "Cici, kalau ingin berteriak, cepatlah
berteriak, makin berteriak, kau akan merasa semakin nikmat."
"Aku ... aku ... aduh ... aduuuh ... aaaah ... ahhhh.."
Akhirnya diiringi jerit kenikmatan yang keras, Siausi mencapai orgasme,
tubuhnya tidak bergerak lagi.
Cau-ji pun mempercepat genjotannya, setelah naik turun belasan kali
akhirnya dia pun mencapai puncaknya dan menyemburkan cairannya.
Kali ini merupakan kali pertama ia mencapai puncak kenikmatan dalam
keadaan sadar, Cau-ji merasakan tubuhnya begitu nyaman, segar bagai
melayang di atas awan.
Lama, lama kemudian, ia baru merangkak turun dari tubuh gadis itu.
Siau-bun mengambil sehelai handuk dan membantunya menyeka keringat,
lalu sambil menahan rasa pedih di tubuh bagian bawahnya dia berjalan menuju
ke sisi pembaringan dan menyiapkan air panas di dalam bak mandi.
"Tongcu, bersihkan dulu badanmu," bisiknya halus.
"Ooh, baiklah!"
Ketika Cau-ji masuk ke kamar mandi, Siau-bun pun segera membisiki Siau-si
tentang apa yang berhasil ditemukannya ini.
Mendengar penuturan itu, Siau-si kegirangan setengah mati.
Saat itulah Cau-ji telah selesai membersihkan badan dan muncul dari kamar
mandi. Lekas Siau-bun mengambilkan pakaian dan membantu mengenakannya, lalu
dengan agak tersipu katanya, "Tongcu, terima kasih banyak atas kenikmatan
yang kau berikan kepada budak."
"Hehehe, kau tidak menyalahkan Lohu?"
"Tongcu, buat apa menyinggung masalah itu lagi" Mari, nikmati dulu kuah
jinsom untuk memulihkan kondisi badanmu!"
Cau-ji sama sekali tak mengira kalau ia berhasil menjinakkan macan betina
itu dengan lancar dan mudah, tak tahan dia pun tertawa terbahak-bahak
"Hahaha, biar Lohu lakukan sendiri.''
Beberapa saat kemudian Siau-si dan Siau-bun telah selesai membersihkan
badan, tapi berhubung pakaian milik Siau-si sudah robek, terpaksa untuk
sementara waktu ia bersembunyi di balik selimut.
"Siau-bun, pergilah mengambil pakaian untuk Siau-si!" perintah Cau-ji.
"Soal ini ... Tongcu, harap kau bersedia keluar sejenak bersama budak."
Mendengar itu Cau-ji segera tahu, rupanya dia kuatir ditegur Im Jit-koh,
maka sahutnya sambil tertawa, "Baiklah, Lohu akan menerima kalian berdua
sebagai orangku, ayo berangkat"
Baru saja pintu kamar dibuka, ia segera saksikan Bwe Si-jin sedang duduk di
bangku utama ditemani Im Jit-koh di sampingnya.
Dengan agak tertegun Cau-ji segera menyapa,
"Selamat pagi Loko!"
Bwe Si-jin melirik Siau-bun sekejap, lalu gumamnya, "Burung berkicau
dimana-mana, matahari sudah meninggi, tapi ada orang baru bangun dari
tidurnya, Lote, pagi ini kau memang bangun kelewat pagi, hahaha...."
Tanpa terasa Cau-ji melirik sekejap keluar kamar, melihat matahari sudah
jauh di angkasa, tanpa terasa pipinya jadi panas.
"Siau-bun, ikut aku!" tiba-tiba Im Jit-koh berseru dengan suara dalam.
"Tunggu dulu!" tukas Cau-ji cepat, "apakah luka yang diderita Ji-sui sudah
agak baikan?"
"Lapor Tongcu," kata Im Jit-koh dengan hormat, "berkat doa anda, Ji-sui
sudah lolos dari mara bahaya, asal beristirahat beberapa bulan, semestinya dia
bakal sehat kembali"
"Bagus sekali, kalau begitu berikan uang ini kepadanya, anggap saja sebagai
imbalan untuk membeli obat."
Sambil berkata, ia serahkan setumpuk uang kertas.
Lekas Im Jit-koh menampik. "Tongcu, Ji-sui tidak pantas memperoleh imbalan
sebesar itu," katanya.
"Hehehe ... Lohu sudah mengambil keputusan akan menerima Siau-si dan
Siau-bun sebagai dayangku, anggap saja uang itu sebagai ungkapan rasa
menyesal mereka berdua kepada Ji-sui."
Im Jit-koh agak tertegun, tapi kemudian sambil menerima uang kertas itu
segera serunya, "Tongcu, kionghi, kionghi!"
"Hehehe, kau tak usah mengucapkan selamat padaku, aku malah belum
berterima kasih kepadamu."
"Tidak berani, tidak berani, Siau-bun, ikut aku sebentar!"
Menanti mereka berdua sudah meninggalkan ruangan, Bwe Si-jin baru
bertanya dengan ilmu menyampaikan suara, "Bagaimana Cau-ji" Apakah kau
puas dengan permainanmu semalam?"
Agak tersipu-sipu Cau-ji mengangguk.
Bwe Si-jin segera mengajak dia masuk ke dalam kamarnya, lalu kembali
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanya, "Cau-ji, jadi kau berencana menerima mereka berdua" Mau kau
jadikan dayang atau gundik?"
"Paman, aku sendiri pun kurang tahu, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Cau-ji, seorang lelaki memiliki beberapa orang gundik adalah satu kejadian
yang lumrah, dan lagi kejadian inipun bukan sesuatu yang luar biasa, cuma,
apakah kau telah menyelidiki dengan jelas asal-usul mereka berdua?"
"Paman, tahukah kau jagoan dunia persilatan mana yang saat ini mempelajari
ilmu Bu-siang-sin-kang?"
"Tentang hal ini ... aku dengar selain partai Siau-lim, hanya keluarga Suto
yang mempelajari ilmu itu, padahal setahuku partai Siau-lim tak pernah
menerima murid perempuan, sementara keluarga Suto pun sudah lama punah,
jangan-jangan?"
Bicara sampai di situ, wajahnya segera menunjukkan perasaan terkesiap.
Rupanya pada empat belas tahun berselang dia bersama Su Kiau-kiau pernah
membawa ratusan orang anggotanya menyerang keluarga Suto, mula-mula
mereka meracuni dulu seluruh anggota keluarganya kemudian baru
melancarkan pembantaian.
Selesai melakukan pembantaian, mereka sempat melakukan perhitungan atas
korban yang berjatuhan, ternyata ditemukan bahwa seorang pengurus rumah
tangganya serta sepasang putri Suto Put-huan tidak berada dalam daftar
korban. Maka pencarian secara besar-besaran pun dilakukan, namun tak berhasil,
akhirnya mereka pun membumi hanguskan seluruh perkampungan itu sebelum
meninggalkan tempat itu.
Terbayang kembali kejadian itu, Bwe Si-jin bertanya, "Cau-ji, jangan-jangan
mereka telah mempelajari ilmu Bu-siang-sin-kang?"
"Benar, ketika sedang bersemedi semalam, Siau-si nyaris mengalami Cau-hwejipmo, untung aku berada di sampingnya dan segera melakukan pertolongan,
ketika menyalurkan tenaga dalam untuk membantunya, kujumpai aliran tenaga
dalamnya mirip sekali dengan ilmu Bu-siang-sin-kang seperti apa yang pernah
ayah tuturkan kepadaku."
"Oooh, rupanya pihak Siau-lim-pay telah menghadiahkan sim-hoat tenaga
dalam Bu-siang-sin-kang kepada ayahmu. Cau-ji, coba kau ceritakan kembali
kejadian yang kau alami semalam.''
Secara ringkas Cau-ji menceritakan kembali kisah pengalamannya.
Selesai mendengar penuturan itu, dengan kegirangan Bwe Si-jin berkata,
"Cau-ji, kalau begitu mereka berdua pastilah sepasang putri kesayangan Suto
Put-huan!"
"Hahaha, kelihatannya mereka memang mempunyai tujuan lain, agar bisa
mengikuti kami masuk ke markas besar Jit-seng-kau, mereka tak segan
mengorbankan kesucian tubuhnya."
Berubah hebat paras muka Cau-ji, serunya dengan cemas, "Paman, Cau-ji tak
menyangka akan melakukan perbuatan sebodoh ini, bagaimana baiknya
sekarang?"
"Hahaha, tenanglah!"
"Paman, kau jangan menggoda Cau-ji, cepat berilah petunjukmu!"
"Hahaha, sederhana saja, boyong mereka balik ke perkampungan Hay-thianitsi." Tak terkirakan rasa terperanjat Cau-ji setelah mendengar usul itu, serunya,
"Waah, Cau-ji bisa diumpat habis-habisan, apalagi terhadap enci Jin, bagaimana
aku harus mempertanggung-jawabkan?"
"Hahaha, bocah muda, siapa suruh kau sembarangan menusuk dengan
'tombak'mu!"
"Paman, tolong bantulah aku, carikan akal lain, semalam kalau bukan garagara
usulmu, Cau-ji pun tak akan tersangkut kesulitan macam begini, paman
tak bisa cuci tangan begitu saja."
"Ehhm, anak muda, jadi kau sedang mengancam paman?"
"Cau-ji tak berniat begitu."
"Baik, baiklah, anggap saja ancamanmu memang jitu, sebentar pasti akan
kubantu bicara."
"Terima kasih paman."
"Hahaha, jangan putus asa, he, Cau-ji, paman akan menyampaikan satu
berita gembira, kini Jit-seng-kau sedang terjadi kekalutan dalam negeri."
"Sungguh?"
Dengan suara lirih Bwe Si-jin segera menceritakan tentang apa yang
didengarnya dari Im Jit-koh, khususnya tentang ambisi wakil ketua yang ingin
memegang tampuk pimpinan.
Selesai berkisah, ujarnya lagi sambil tertawa, "Sebuah permulaan yang bagus,
anggap saja usaha kita sudah berhasil setengah jalan. Cau-ji, lakukanlah
dengan hati lega."
"Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?"
"Hahaha, barusan aku telah perintahkan Jit-koh untuk menyampaikan berita
tentang kehadiran kita di sini kepada Su Kiau-kiau, sambil menunggu, kau bisa
gunakan kesempatan ini untuk menjalani bulan madumu!"
"Ini...."
"Hahaha, aku tak tahu leluhurmu sudah melakukan perbuatan mulia apa saja
sehingga kau yang ketimpa keberuntungan terus menerus, paman kagum
kepadamu."
"Semuanya ini berkat bantuan paman."
"Hahaha ...."
"Aaah, benar, andai Su Kiau-kiau mengirim orang lagi ke Hay-thian-it-si, apa
yang harus kita lakukan?"
"Hahaha, tak usah kuatir, di situ toh ada ayahmu serta Raja hewan, belum
lagi pasukan wanita yang kosen, siapa pun yang dikirim ke sana, dapat
dipastikan akan tertimpa sial."
"Benar, paman memang hebat."
"Sudah, tak usah kau menjilat pantat, ayo, kita pergi minum beberapa cawan."
0oo0 Tengah malam itu, Cau-ji dan Bwe Si-jin sedang duduk di kamar baca sambil
menyaksikan Siau-bun dan Siau-si melakukan pencatatan ulang semua nomor
pasangan 'semua senang' yang telah masuk.
Ketika mereka berdua selesai menjumlah seluruh uang pasangan, sambil
tertawa Bwe Si-jin berkata, "Sayangku, kita mendapat tiga puluh empat juta
tahil perak dalam periode pembukaan kali ini, berarti kau bakal mengantungi
tiga empat juta tahil perak lagi ke dalam kocekmu."
"Berkat rezeki dari Tongcu berdua, siang tadi beberapa orang teman dari
wilayah Lu-pak datang memasang nomor sejumlah lima enam juta tahil, itulah
sebabnya jumlah pendapatan kotor kita memecahkan rekor."
"Hahaha, tak nyana ada orang dari wilayah Lu-pak yang ikut meramaikan
'semua senang', tapi kenapa mereka mesti bersusah payah datang dari jauh
hanya untuk meneken kontrak dengan kalian?"
"Konon bandar yang ada di wilayah Lu-pak kebanyakan curang, maka mereka
pun mengalihkan pasangannya ke tempat ini. Biar begitu, secara diam-diam
hamba sudah mengutus orang untuk mengawasi gerak-geriknya, aku kuatir
mereka pun ikut menjadi bandar di sini."
"Ooh, apakah mereka orang persilatan?"
"Bukan, mereka semua berdandan seperti pedagang dan pengusaha, tapi
menurut laporan yang diterima dari rekan-rekan yang melakukan penguntitan,
katanya di tempat tinggal mereka seringkah berkeliaran orang-orang persilatan
berwajah asing."
"Oooh, tampaknya maksud kedatangan mereka memang tidak beres, hahaha
... semoga mereka bersikap lebih cerdas, kalau tidak, hmmm, hmm, akan
kusuruh mereka harta lenyap nyawa pun ikut hilang."
"Hahaha, apakah akan terjadi peristiwa, malam ini pasti akan ketahuan
jawabannya."
Pada saat itulah tiba-tiba dari arah kamar baca berkumandang suara
keleningan yang sangat ramai.
Dengan wajah terkesiap Im Jit-koh segera berseru, "Baru saja kita sebut Cho
Cho, ternyata Cho Cho sudah datang! Tampaknya harus merepotkan Tongcu
berdua!" Habis berkata ia pun menekan sebuah tombol yang berada di bawah meja
baca. Tak lama kemudian seluruh bangunan rumah makan Jit-seng-lau sudah
diramaikan oleh suara keleningan.
Kepada Siau-si dan Siau-bun, Cau-ji segera berseru, "Mau ikut nonton
keramaian?"
Kedua orang gadis itu manggut-manggut, cepat mereka kembali ke kamar
untuk berganti pakaian ringkas, sekalian menggembol pedangnya.
Tatkala kedua orang gadis itu mengikuti Cau-ji tiba di tengah ruangan,
tampak ada ratusan orang jago telah berdiri memenuhi tempat itu.
Kecuali kedua orang Tongcu dan Im Jit-koh, di situ pun hadir dua belas orang
kakek berbaju hitam.
Kawanan musuh sudah memencarkan diri ke empat penjuru, jumlah mereka
mencapai ratusan orang, menyaksikan begitu rapatnya manusia yang muncul di
seputar sana, diam-diam Siau-si berdua merasa sangat gelisah.
Im Jit-koh segera mengangkat tangan kanannya, belasan batang obor yang
berada di seputar halaman seketika terang benderang.
Setelah selesai menyulut obor-obor itu, kesepuluh orang gadis itupun dengan
cepat mundur ke belakang Siau-bun.
Im Jit-koh maju selangkah ke depan, lalu dengan suara nyaring tegurnya,
"Ada urusan apakah rekan-rekan semua datang kemari di tengah malam buta
begini?" Gelak tawa nyaring bergema memecah keheningan, tampak empat orang
manusia aneh berwajah buruk dengan mengiringi seorang kakek berambut putih
berjalan mendekat.
Dalam waktu singkat selisih jarak mereka tinggal beberapa meter saja.
Kakek itu berwajah bersih dengan jenggot putih sepanjang dada, ia
mengenakan baju berwarna hijau, alis matanya panjang, putih dan terurai ke
bawah, wajahnya merah bercahaya, sama sekali tidak mencerminkan
ketuaannya. Sementara keempat orang pengawalnya adalah empat manusia aneh, mereka
memakai baju karung berwarna kuning, kakinya mengenakan sepatu rumput
dan mukanya aneh penuh dengan codet bekas bacokan sehingga kelihatan
sangat menyeramkan.
Setelah tertawa terbahak kakek itu menjura pada Im Jit-koh, lalu ujarnya,
"Tauke Im, aku dengar selama beberapa tahun terakhir kau berhasil
mengantongi sejumlah uang, untuk itu Lohu mewakili teman-teman dari wilayah
utara Lu-pak minta sedekah darimu."
"Hahaha, ucapan Lu-pangcu kelewat serius," Im Jit-koh tertawa terkekeh,
"siapa sih yang tak kenal dengan perkumpulan Kim-liong-pang yang tersohor
karena banyak duit?"
Kakek itu adalah ketua perkumpulan naga mas, ia bernama Lu Cong-khi,
sedangkan keempat manusia aneh berwajah menyeramkan itu adalah keempat
pelindung hukumnya, Lu-tiong-su-sat (empat manusia bengis dari Lu-tiong).
Mendengar perkataan itu, Lu Cong-khi langsung tertawa seram, serunya,
"Perempuan sundel, kalau tahu diri, cepat berderma satu dua juta tahil perak
untuk perkumpulan kami, kalau menolak... heheheh"
"Orang bilang burung mati karena makanan, manusia mampus karena harta,
jika kalian tidak segera mundur dari sini, hmmm, aku kuatir kalian tak ada
kesempatan lagi untuk melihat matahari esok"
Selesai berkata, perempuan itu segera mundur ke samping Bwe Si-jin.
Tampaknya sekarang Lu Cong-khi baru tahu akan kehadiran sepasang
manusia bengis dari In-lam, tak terlukiskan rasa kagetnya.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara pekikan nyaring berkumandang
dari belakang Lu Cong-khi. seorang lelaki kekar berbaju hijau dengan
bersenjatakan sepasang boan-koan-pit telah menerjang ke arah Im Jit-koh.
Salah seorang dari dua belas kakek berbaju hitam yang berdiri berjajar di
samping segera mendengus dingin, sambil menenteng pedang dia sambut
datangnya terkaman itu.
"Traaang!". Tubuh lelaki kekar berbaju hijau itu segera terpental hingga
mundur beberapa langkah.
Berhasil mendesak mundur lawannya, dengan jurus Long-kian-liu-sah (ombak
menggulung pasir pantai) kakek berbaju hitam itu melancarkan satu totokan ke
dada lawan. Lekas lelaki itu menangkis dengan senjata andalannya.
Secara beruntun kakek berbaju hitam itu mengeluarkan jurus Ki-hong-tengciau
(burung hong terbang tinggi), Sin-liong-in-kian (naga sakti menampakkan
diri) dan Sik-po-thian-keng (batu hancur langit gempar) untuk merangsek
musuh habis-habisan, di tengah gulungan angin puyuh terlihat cahaya tajam
menyambar ke tubuh lelaki berbaju hijau itu.
"Aaaah ... !", diiringi jeritan ngeri, tubuh lelaki berbaju hijau itu terbelah jadi
dua, usus dan isi perutnya segera terburai kemana-mana.
Malaikat pertama dari Lu-tiong-su-sat segera menerkam ke depan, ruyungnya
dengan jurus Sin-liong-pay-wi (naga sakti mengibaskan ekor) menyapu tubuh
kakek berbaju hitam itu.
Segera kakek itu menggetarkan pedangnya untuk menangkis.
Malaikat pertama segera melepaskan satu pukulan datar dengan tangan
kirinya, sementara pergelangan kanannya dikebaskan ke bawah sambil menarik
kembali senjata ruyungnya, lalu dengan ekor ruyung dia babat bahu lawan.
Jurus serangan ini digunakan sangat hebat dan di luar dugaan, nyaris kakek
berbaju hitam itu kena dihajar.
Dengan tergopoh-gopoh dia menghindar ke samping, ujung pedangnya dengan
jurus Hua-liong-tiam-cing (melukis naga menutul mata) menusuk jalan darah
Bing-bun-hiat di punggung musuh.
Malaikat pertama terdesak hebat, cepat ia menjatuhkan diri berguling ke
tanah. Malaikat kedua meraung gusar, pedang kaitan dalam genggamannya
menyerang punggung kakek berbaju hitam itu, di antara kilatan cahaya dia
babat bagian bawah lawan, jurus serangannya selain cepat juga sangat ganas.
Kakek berbaju hitam itu tak sudi menghadapi keras lawan keras, dengan
jurus It-hok-cong-thian (bangau sakti terbang ke langit) dia melambung ke
angkasa, setelah lolos dari serangan lawan, menggunakan kesempatan di saat
badannya melayang turun, pedangnya kembali melepaskan tusukan.
Waktu itu malaikat pertama sedang melompat bangun dari tanah, dia jadi
amat kaget ketika tahu-tahu sebuah tusukan telah menyambar tiba.
Tak sempat berkelit lagi, tusukan itu langsung menghujam di atas dadanya.
Diiringi jeritan ngeri, tewaslah orang itu seketika. Mendadak Lu Cong-khi
membentak nyaring, tangannya diayun ke depan, sekilas cahaya emas langsung
menyambar tubuh kakek berambut hitam itu. "Aaaah, ular bergaris emas!" jerit
kakek itu sambil melompat ke belakang.
Ternyata cahaya emas itu tak lain adalah seekor ular kecil berwarna emas,
panjangnya sekitar tujuh delapan inci, begitu mencapai tanah, binatang melata
itu langsung melakukan pengejaran.
Segera Bwe Si-jin berbisik dengan ilmu menyampaikan suara, "Cau-ji, cepat
sentil mati ular kecil itu!"
Sebenarnya Cau-ji sudah bersiap melancarkan serangan, mendengar bisikan
itu dia segera menyentilkan jari tangannya.
Diiringi suara teriakan aneh, ular emas itu segera hancur berantakan dan
mati seketika. Lu Cong-khi bersuit nyaring, kali ini dia menerjang ke arah kakek berbaju
hitam itu. "Jangan bertarung secara bergilir!" tiba-tiba terdengar bentakan bergema,
menyusul kemudian segulung angin pukulan menyambar ke arah malaikat
kedua. Malaikat kedua meraung gusar, pedang kaitannya menyapu datar ke muka.
Dengan jurus Jiu-hui-pi-pa (tangan mengayun Pipa) kakek berbaju hitam itu
mengayunkan telapak tangan kirinya menyentil pedang lawan hingga terpental.
Malaikat kedua segera merendahkan pergelangan tangannya sambil berganti
jurus, dengan gerakan Thiat-ki-tok-jut (penunggang baja muncul mendadak)
angin pedangnya menyapu ke bawah dan langsung membacok sepasang kaki
lawan. Cepat kakek berjubah hitam itu mengebaskan bajunya, tanpa
membengkokkan sepasang lututnya, tanpa menggeser kakinya, tahu-tahu dia
sudah merang-sek ke samping malaikat kedua, tangan kirinya bagai sebuah
japitan baja, dengan gerakan Hui-jan-cing-tham (menyapu debu bicara santai)
dia potong senjata musuh.
Malaikat kedua segera merasa seakan pedang kaitannya dihisap oleh satu
kekuatan yang amat kuat hingga mau lepas dari genggaman, ia sadar gelagat
tidak menguntungkan.
Baru saja pikirannya mempertimbangkan apakah harus lepas tangan atau
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak, kakek berbaju hitam itu sudah mengayunkan tangan kanannya
menghajar ke atas lambungnya.
Terdengar malaikat kedua menjerit ngeri, tubuhnya seketika mencelat ke
belakang. "Lihat serangan!" tiba-tiba terdengar lagi suara bentakan bergema dari balik
kerumunan orang banyak.
Di tengah udara gelap segera terdengarlah suara dengungan yang sangat
aneh. Pada saat itulah Bwe Si-jin menghardik keras, "Hati-hati dengan senjata
rahasia Yan-cu-tui-hun-piau (senjata rahasia walet pengejar sukma)!"
Terlihat sebatang senjata rahasia terbuat dari baja yang berbentuk seperti
burung walet menyerang batok kepala kakek berbaju hitam itu.
Melihat datangnya desingan aneh, lekas kakek berbaju hitam itu
mengayunkan tangan kirinya melepaskan satu gelombang pukulan dahsyat.
Termakan gulungan angin puyuh itu, Yan-cu-tui-hun-piau itu segera mencelat
dan bergeser ke samping kanan.
Tapi gara-gara terkena getaran itu, tombol rahasia yang ada di balik senjata
rahasia itu bergetar keras, tahu-tahu jarum beracun yang tersimpan di baliknya
menyembur keluar dan berhamburan di angkasa.
Secepat kilat kakek berbaju hitam itu berkelebat ke muka, langsung
merangsek ke hadapan orang itu, diiringi bentakan gusar telapak tangan kirinya
langsung membabat orang itu.
Tampaknya si penyerang tidak menyangka kalau musuhnya dapat
menghindari ancaman Yan-cu-tui-hun-piaunya, melihat datangnya serangan
yang begitu kuat ia tak berani menghadapi dengan kekerasan, segera ia
menggunakan gerakan Kim-le-to-cuan-po (ikan lehi menembus ombak) dia kabur
ke samping. Kakek berbaju hitam itu mendengus dingin, tidak menunggu orang itu sempat
berdiri tegak, dengan jurus Pek-poh-sin-kun (pukulan sakti seratus langkah) dia
babat tubuhnya.
Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang di angkasa, orang itu
terhajar telak dan mencelat ke udara.
Tiba-tiba terdengar Lu Cong-khi meraung gusar, setelah menyerahkan
tongkatnya kepada keempat malaikat lainnya, dia menubruk ke depan.
Dengan satu gerakan kilat, tangan kanannya mencengkeram jalan darah Ciankenghiat di bahu kakek berbaju hitam itu, sementara tangan kirinya menghantam
dengan gerakan melingkar, dalam satu serangan dia telah menggunakan
dua jenis tenaga yang berbeda.
Cepat kakek berbaju hitam itu menggunakan jurus Ci-jiu-poh-liong (tangan
kosong melawan naga), mencengkeram urat nadi pada pergelangan kanan Lu
Congkhi dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya dengan jurus Kimkongkay-san (malaikat emas membelah bukit) membacok lengan kirinya.
Dua macam tenaga dalam yang berbeda, satu keras satu lunak, berbareng
mengancam kakek berbaju hitam itu.
Karena kelewat takabur, hampir saja Lu Cong-khi masuk perangkap, pukulan
tangan kirinya begitu dipunahkan tahu-tahu jari tangan lawan sudah menempel
di atas pergelangan tangan kanannya.
Kehilangan peluang yang menguntungkan, cepat Lu Cong-khi merubah taktik,
kini dengan mengandalkan kesempurnaan tenaga dalamnya dia melancarkan
serangan balasan.
Menggunakan kesempatan di saat tangan kiri lawan belum sempat
mencengkeram pergelangan tangannya, segera dia menggetarkan tangannya dan
mengubah gerakan menotok jadi pukulan.
Menyusul kemudian tubuhnya merangsek maju ke depan, tenaga dalamnya
disalurkan ke dalam tangan dan menghantam dada musuh.
Kakek berbaju hitam itu tidak menyangka kalau Lu Cong-khi mengubah
serangannya secepat itu, dalam gugupnya dia melompat mundur sejauh satu
setengah meter dari posisi semula.
Begitu melayang turun ke tanah, mulutnya terasa manis dan darah segar
telah menyembur keluar.
Lu Cong-khi tertawa seram, sekali lagi dia menubruk ke muka.
Cau-ji yang melihat kakek berbaju hitam itu sudah terluka segera membentak
nyaring, sebuah pukulan dilontarkan ke depan.
Melihat Ho Ho-wan ikut melancarkan serangan, cepat Lu Cong-khi
menghindar ke samping.
Tidak menunggu dia berdiri tegak, Cau-ji dengan mengerahkan tujuh bagian
tenaga dalamnya melancarkan kembali serangan dengan ilmu Tui-hong-ciangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hoat, bahkan makin menyerang jurus serangannya makin cepat ganas dan
makin hebat. Sebelum bertarung Lu Cong-khi sudah dibuat keder oleh nama besar lawan,
dengan sendirinya ia berada di posisi di bawah angin, dalam keadaan begini dia
hanya bisa mengandalkan gerakan tubuh dan ilmu pukulannya untuk
menghindar ke sana kemari.
Tak selang beberapa saat kemudian napasnya sudah ngos-ngosan seperti
kerbau, jangan lagi melancarkan serangan balasan, mau berkelit pun sudah
kehabisan tenaga.
"Jangan melukai majikan kami!" bentak malaikat ketiga dan malaikat keempat
serentak, mereka langsung menerkam ke depan.
"Kebetulan sekali," teriak Cau-ji segera, "kedatangan kalian justru akan
membuat perjalanan di alam baka nanti tak usah kesepian!"
Serangannya segera diperketat dan dalam waktu singkat dia sudah
mengurung kedua orang musuhnya hingga tak mampu berkutik.
Tidak sampai dua puluh gebrakan kemudian, tiba-tiba terdengar Cau-ji
membentak nyaring. Sementara Lu Cong-khi bertiga masih terperanjat, satu
pukulan maut dari Cau-ji sudah menggulung tiba.
Tiga kali jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang di angkasa, terlihat
tiga sosok tubuh manusia mencelat ke belakang.
Dari kerumunan orang banyak segera melompat keluar tiga sosok bayangan
manusia untuk menyambut tubuh ketiga orang rekannya itu, mereka segera
saksikan tulang dada ketiga orang itu sudah melesak sedalam beberapa inci,
darah segar berhamburan dimana mana, tidak nampak tanda kehidupan lagi di
tubuh mereka bertiga.
Masih untung Cau-ji tak ingin membocorkan identitasnya sehingga dia hanya
menggunakan tujuh bagian tenaga serangan, kalau tidak, mungkin tubuh
mereka bertiga sudah hancur berkeping-keping.
"Ayo, lanjutkan pertarungan!" seru Cau-ji kemudian sambil melayang balik ke
samping Bwe Si-jin.
Sebagian besar manusia yang bergerombol di depan halaman adalah anggota
perkumpulan naga mas, begitu melihat ketuanya mati mengenaskan, mereka
segera mengandalkan jumlah banyak melakukan penyerbuan.
Ada tiga puluhan orang jago telah melolos senjatanya dan menyerbu ke depan.
Sepasang perampok ulung Heng-ha-siang-to hanya berdiri tak berkutik di
posisi semula, mata mereka berkilat, entah rencana busuk apa yang sedang
dipersiapkan"
Im Jit-koh membentak nyaring, dia menyerbu ke depan menyongsong
datangnya serangan itu.
Sebuah pertempuran sengit pun segera berkobar. Bwe Si-jin dengan senjata
tongkat kepala ularnya segera mengeluarkan ilmu toya andalan Ho Ho-cia untuk
merobohkan lawan-lawannya.
Dimana senjata toya itu menyambar, jeritan ngeri segera bergema memecah
keheningan. Cau-ji tertawa seram, ketika melihat sepasang perampok ulung itu hanya
berdiri menjauh, dia segera melayang ke udara dan menerjang ke arah mereka.
Melihat iblis tua itu datang mengancam, sepasang perampok itu ngacir ke kiri
dan kanan. "Yang kabur ke timur serahkan kepada budak!" mendadak terdengar Siau-si
membentak nyaring.
Cau-ji pun segera memusatkan perhatian mengejar perampok yang kabur ke
barat. Sadar tak ada harapan baginya untuk kabur, mendadak perampok itu
menjatuhkan diri berlutut sambil merengek, "Cianpwe, ampuni jiwaku, Cianpwe,
ampuni jiwa anjingku!"
Belum pernah Cau-ji menghadapi manusia pengecut semacam ini, tak urung
ia tertegun juga dibuatnya.
Siapa tahu pada saat itulah mendadak terdengar suara desingan lirih bergema
dari punggung orang itu, rupanya secara diam-diam ia telah menyemburkan
segenggam jarum beracun Hong-ong-ciam (jarum raja lebah) yang berwarna biru
beracun ke tubuh Cau-ji.
Melihat dirinya dibokong secara licik, Cau-ji membentak gusar, tangan kirinya
menghajar jarum-jarum itu hingga mencelat, sementara tangan kanannya
melepaskan satu bacokan maut.
"Blaaaam!", tubuh orang itu seketika hancur berkeping-keping dan melesak
masuk ke dalam tanah sedalam beberapa inci.
Di pihak lain, perampok kedua itupun sedang kewalahan menghadapi
serangan gencar yang dilakukan Siau-si.
Dia semakin tercecar hebat setelah mendengar jeritan ngeri dari saudaranya,
baru saja pikirannya bercabang, tahu-tahu batok kepalanya sudah melayang
meninggalkan raga.
Agaknya Siau-si sendiri pun tidak menyangka kalau tenaga dalamnya
mengalami kemajuan pesat, ia tahu keberhasilan itu merupakan berkah dari
kekasih hatinya, tanpa sadar dia berpaling sambil melemparkan sekulum
senyuman manis, setelah itu dia baru melanjutkan terkamannya ke depan.
Cau-ji bertindak makin ganas, setiap ada musuh yang berani mendekati
dirinya, dia langsung menghadiahkan sebuah pukulan dahsyat.
Tak lama kemudian belasan sosok mayat telah bergelimpangan di seputar
sana. Melihat betapa dahsyat dan ganasnya lawan, kawanan jago lainnya tak ada
yang berani mendekat lagi, mereka segera menyingkir jauh-jauh.
"Dasar pengecut!" umpat Cau-ji.
Dia mencoba memandang sekitar arena, segera lihat ada seorang Hwesio tua
bertubuh tinggi besar dan berwajah menyeramkan sedang bertarung sengit
melawan Im Jit-koh.
Tampak Hwesio tua itu melancarkan serangkaian bacokan dahsyat untuk
mengurung tubuh Im Jit-koh.
Sementara Im Jit-koh sendiri dengan jurus Ing-hong-toan-cau (menyambut
angin membabat rumput) memotong lengan lawan.
Hwesio tua itu segera mengayunkan tangan kirinya ke depan, segulung angin
serangan langsung menekan senjata lawan, sementara tangan kanannya dengan
jurus Juan-im-ti-gwe (menembus awan memetik rembulan) secepat kilat
menyodok tubuh perempuan itu.
Lekas Im Jit-koh memutar kencang pedangnya, secara beruntun dia
melancarkan tiga jurus serangan.
Jodoh Rajawali 6 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Petualang Asmara 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama