Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 13

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


"Hai-ko... lekas kau naik...!" Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun dan tak dapat menembus ke bawah. Ia berteriak berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya! Lin Lin segera mempergunakan tangan kiri untuk menahan tambang sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya! Ia hanya berdiri dengan mata tajam menentang Ke Ce dan pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya hendak melawan mati-matian dan apabila ia kalah, ia takkan melepaskan tambang itu dan bersedia melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya!
Sementara itu, Sin-kong-ciak ketika melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, lalu berteriak-teriak nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce memukul merak itu mengelak terbang lagi ke atas dengan jerih. Ke Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil berkata,
"Nona manis, kaulepaskan saja tambang itu dan kau ikut aku pergi ke?" pada saat itu, Sin-kong-ciak menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
379 mengelak dan tak dilanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin. "Burung celaka!" makinya.
"Burung bedebah! Kalau aku dapat menangkapmu, akan kupanggang dagingmu sampai
gosong!" Akan tetapi Merak Sakti itu hanya terbang mengelilingi di atas kepalanya sambil
mengeluarkan pekik nyaring berkali-kali. Pekik inilah yang terdengar oleh Cin Hai dan yang membuat pemuda itu menjadi curiga, apalagi karena ia merasa betapa tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya tidak menghasilkan sesuatu.
Sementara itu, berkat sambaran-sambaran Sin-kong-ciak, Ke Ce tiada mendapat kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apabila ia telah usir merak itu dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu telah siap dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang ringan biarpun gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang. Sebelum Ke Ce dapat bertindak lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi hingga pemuda Mongol ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan cemas melihat keadaan Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,
"Hai-ko, lekas... lekas keluar...!"
Mendengar ini dan melihat betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut. Hanya Cin Hai saja yang ia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera muncul, ia lalu angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,
"Bo Lang-Suhu, lekas pergi!"
Sementara itu, Yousuf telah beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat leher yang membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi berkat ilmu lweekangnya yang sudah tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat melawan dengan gigih! Bo Lang Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena pukulan-pukulan ujung lengan bajunya tadi cukup untuk menewaskan seorang lawan gagah dengan sekali pukul saja. Kakek Turki ini telah empat kali menerima pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan! Diam-diam ia merasa kagum dan gentar juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat" Karena hatinya telah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak ia untuk kabur, ia lalu meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung dengan cepat. Dan kali ini mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena takut akan pembalasan Cin Hai!
Ketika Cin Hai telah mendarat dan berada di atas tebing, ia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin memegang ujung tambang dengan pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di kedua pipi. Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena kakek itu roboh tak sadarkan diri! Keduanya lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka di dalam tubuh Yousuf, Cin Hai mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.
"Keparat betul kedua bangsat rendah itu!" katanya sambil mengertak gigi. "Alangkah curang dan rendahnya perbuatan mereka!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
380 Cin Hai agak lega melihat bahwa biarpun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam kakek itu telah cukup kuat untuk melindungi jantung dan paru-parunya hingga tidak sampai menderita luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian ia lalu memondong tubuh Yousuf dan bersama Lin Lin ia kembali ke rumah untuk segera memberi pertolongan kepada orang Turki itu.
Setelah mendapat urutan dan pencetan pada jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan ia tersenyum melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!
"Lain kali akan kubalas dia..." katanya lemah.
Kemudian Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya ketika ia mencari-cari jejak kedua kawan yang terjatuh ke dalam tebing.
"Halimun terlalu tebal dan tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh karena tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari kaki gunung dan hendak memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka berdua!"
Tiba-tiba Lin Lin menepuk jidatnya dengan perlahan. "Ah... mengapa kita begitu bodoh"
Kong-ciak-ko tentu dapat mencari mereka."
Mendengar ini, Cin Hai dan Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung merak itu tentu saja dapat mencari mereka.
"Pergilah kalian segera membawa Sin-kong-ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hao. Lekas!" kata Yousuf dengan suara gembira.
Lin Lin dan Cin Hai lalu berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak yang segera terbang datang.
"Kong-ciak-ko, mari kau ikut kami!" katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi.
Burung merak itu mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka.
Setelah tiba di tebing, Lin Lin lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh burung merak itu turun. Kemudian, sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata, "Kong-ciak-ko dengarlah baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kaucarilah mereka sampai dapat!" Setelah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba merak itu lalu memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah dapat menangkap maksud perintah tadi!
Lin lin merasa begitu tegang dan gembira hingga ia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu berdiri menanti di tepi tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Hanya hati kedua anak muda ini yang berdebar dan bersama-sama berdoa semoga burung merak itu akan dapat menemukan kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa berita baik!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
381 Lama sekali mereka menanti dan tiba-tiba mereka mendengar merak itu memekik di sebelah bawah. Dan bukan main heran mereka karena pekik merak itu adalah pekik kemarahan, seperti biasanya dikeluarkan apabila ia menghadapi seorang lawan! Berkali-kali merak itu memekik dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,
"Siapakah gerangan yang membuat Kong-ciak-ko demikian marah?"
Cin Hai juga tak dapat menduga dan hanya menjenguk ke bawah yang putih gelap tertutup halimun itu dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas.
Setelah terdengar pekik merah itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba terdengar bunyi pukulan sayap merak itu dan muncullah Sin-kong-ciak menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin Lin. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh dan ketika Cin Hai dan Lin Lin memandang, ternyata bahwa di kaki merak itu telah terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata terbuat daripada semacam akar pohon. Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu karang kecil yang agaknya digunakan untuk disambitkan hingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti. Tentu saja ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti, menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa. Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki Merak Sakti yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh itu pun agaknya takkan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua anak muda itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali itu.
Cin Hai cepat mencabut kertas itu dan ternyata bahwa di situ terdapat tulisan yang dilakukan dengan corat-coret kasar dan berbunyi,
Pergilah kalian dan pelihara Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.
"Aneh..." kata Cin Hai, "tulisan siapakah ini dan apa maksudnya" Apa hubungannya dengan Kwee An dan Ma Hoa?"
Lin Lin yang membaca surat itu berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong. "Tentu ada seorang yang luar biasa pandai di sebelah bawah yang penuh rahasia itu," katanya, "dengan batu ia dapat membelitkan tali bersurat kepada kaki Kong-ciak-ko dan ia dapat mengetahui pula keadaan kita berdua di sini. Sungguh heran dan ajaib!"
Sekali lagi Cin Hai membaca surat itu dengan teliti. "Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu telah mengetahui bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh pergi tentu karena kedua orang saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara merak baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali kepada merak ini, sedangkan kata-kata kalau ada jodoh kelak bertemu adalah ucapan yang biasa dilakukan oleh pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama tentang keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan benar."
Mereka lalu kembali ke rumah Yousuf dan menceritakan peristiwa itu sambil
memperlihatkan surat itu. Yousuf juga merasa heran akan tetapi ia berkata dengan suara mengandung penuh harapan, "Orang yang mengirim surat secara aneh ini tentu seorang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
382 pandai dan kalau ia dapat mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu ia tahu pula apa yang kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu tertolong olehnya!"
"Akan, tetapi, kalau benar demikian halnya, mengapa ia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali ke sini?" tanya Lin Lin.
Yousuf menggeleng-geleng kepala dan memejamkan matanya karena pembicaraan ini
walaupun dilakukan sambil berbaring, cukup melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf adalah seorang perantau yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia dapat merawat luka-lukanya sendiri.
Semenjak terjadinya peristiwa yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta terlukanya Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil memberi nasihat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang dan malam karena Cin Hai hendak meninggalkannya.
"Kau harus dapat menguasai Ilmu Pedang Han-le-kiam-sut serta kedua Ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak-sin-na baik-baik untuk menjaga bahaya mendatang, karena aku harus meninggalkan kau dan Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.
Hatiku takkan tenteram sebelum dapat menemukan mereka," katanya.
Lin Lin juga mengatakan setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah dengan tubuh masih lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga bantuan dan rawatannya, hingga ia tidak tega untuk meninggalkan ayah angkatnya yang dikasihinya itu. Demikianlah, mereka berlatih siang malam tanpa mengenal lelah hingga setelah digembleng secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.
"Lin-moi," katanya girang setelah ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu kini benar-benar telah hebat sekali. "Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi.
Dengan adanya kau di sini, seorang diri saja kau akan sanggup memukul roboh mereka semua."
"Benarkah itu, Koko" Menurut pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja."
Cin Hai tersenyum "Memang demikianlah adanya. Kemajuan sendiri takkan pernah terasa atau terlihat sendiri, orang lain yang bisa menentukannya. Makin pandai seseorang ia akan makin merasa dirinya bodoh. Kauingat akan nama guru kita" Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya telah mencapai puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa Beliau tidak memiliki kepandaian sama sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau dibandingkan dengan sebulan yang lalu. Kalau tidak percaya, mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu."
Keduanya lalu mendatangi Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.
"Yo-pekhu, coba kaulihat ilmu pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!" kata Cin Hai.
Yousuf tersenyum dan mengangguk-angguk dan Lin Lin lalu bersilat dengan pedang
pendeknya di depan Yousuf. Pedang pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar dan
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
383 merupakan sinar putih kebiru-biruan berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang menari-nari dengan gaya indah. Walaupun pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang hingga dapat dibayangkan bahwa gerakan pedang itu cepat sekali. Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tidak tinggal diam, akan tetapi membarengi gerakan tangan kanan yang memegang pedang pendek dan melakukan penyerangan pula sambil
mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoatsut dan Kong-ciak Sin-na.
Setelah ia berhenti mainkan ilmu pedangnya sambil memandang ke arah ayah angkatnya itu dengan mata mengandung pertanyaan, Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti menahan napas karena kagumnya.
"Ah, sungguh sukar dipercaya bahwa kepandaian ini baru kaupelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang saja, aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu."
Cin Hai tersenyum girang, lalu menjura sambil berkata, "Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan kepadaku, Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku hendak turun gunung dan mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang, aku dapat meninggalkan kalian dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi."
Lin Lin mengerling tajam. "Apakah memang aku biasanya malas" Koko, jangan terlalu lama pergi!"
"Mana aku kuat meninggalkan kau terlalu lama?"
Kemudian, setelah sekali lagi memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.
"Lin Lin, kau bahagia sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai," kata Yousuf dengan gembira.
Lin Lin tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil tersenyum dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan.
Cin Hai mempergunakan ilmunya untuk berlari cepat menuruni bukit itu. Ia terus turun sampai di kaki bukit, lalu mengambil jalan memutar menuju ke kaki gunung di bawah tebing yang curam di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh. Ternyata bagian ini, ialah bagian sebelah timur, penuh dengan hutan belukar dan lereng gunung itu walaupun terdiri dari tanah yang tidak keras, akan tetapi sukar dilalui karena penuh dengan jurang-jurang dan rawa-rawa yang penuh alang-alang. Bahkan ada bagian yang nampaknya seperti tanah rata ditumbuhi rumput tebal, akan tetapi ketika terinjak, ternyata bahwa di bawahnya merupakan tanah lumpur yang berbahaya karena sekali kedua kaki masuk ke situ, orang takkan mampu menarik kembali kedua kakinya yang makin lama tersedot makin dalam! Karena rawa yang demikian ini luas sekali dan tak mungkin diloncati begitu saja karena lebarnya, Cin Hai lalu mencari akal. Ia menggunakan pedangnya untuk memotong banyak batang pohon bambu dan melemparkan
bambu itu ke atas rumput itu. Ia membawa beberapa batang bambu yang panjang dan
menginjak bambu yang telah dilempar di atas rumput, kemudian ia menurunkan bambu sebatang lagi disambungkan kepada bambu yang diinjaknya. Dengan cara demikian ia membuat jembatan bambu yang sambung menyambung dan yang dapat diinjak tanpa kuatir Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
384 tenggelam, hingga akhirnya setelah menghabiskan tujuh bambu panjang, ia dapat juga menyeberang rawa yang aneh dan berbahaya ini!
Cin Hai terus maju dengan hati-hati sekali, pedang Liong-coan-kiam siap di tangan karena ia tidak tahu apa yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia itu.
Akhirnya ia tiba juga di suatu tempat yang merupakan lereng yang curam dan yang tegak ke atas. Ketika ia memandang ke atas ternyata di atas penuh dengan halimun dan mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh. Ketika ia maju sedikit ia melihat banyak gua di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di sebuah di antara gua-gua ini!
Ia meneliti tiap gua dan memeriksa tanah lembek di depan gua. Kalau gua itu ada orangnya, pasti ia akan melihat tapak kaki di depan gua itu, karena betapapun tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas. Setelah meneliti dan memeriksa beberapa buah gua, akhirnya ia berseru perlahan. Di depan gua yang besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti, hatinya tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah itu hanya disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya. Ia lalu mengerahkan ginkangnya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan sekali, akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam daripada tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat ia duga bahwa ilmu ginkang orang itu ternyata lebih tinggi daripada ginkangnya sendiri!
Cin Hai berlaku makin hati-hati karena ia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula apakah orang itu kawan atau lawan. Ia lalu membuat api dari kayu, kering dan dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya daripada alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki gua itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam di tangan kanan. Gua itu ternyata lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, dan makin keras dugaannya bahwa di situ tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan tetapi, selain batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak seorang pun di dalam gua. la menjadi kecewa dan tiba-tiba kepalanya tertumbuk paIu, sebuah batu kecil yang ternyata tergantung di atas langit-langit gua. Ia mengangkat obornya ke atas dan alangkah girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk oleh kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali, persis seperti yang dulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!
Ia tidak ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Ia memeriksa makin teliti dan ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas dinding tanah batu itu. Ia segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas menggambarkan orang tengah bermain silat! Di sana-sini terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali karena tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari kitab Tiong-yong! Di antara sekian banyak ujar-ujar yang ditulis di atas dinding itu, dengan gaya tulisan yang sama seperti yang dituliskan di atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah ujar-ujar yang dulu pernah ia pelajari dari Kwi-sianseng gurunya yang suka memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian bunyinya,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
385 Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin.
Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!
Ia teringat kepada Kwi-sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut,
"seorang Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tiada harus mencinta dan berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti kepada ayah bunda, tak dapat tiada harus mengetahui tentang perikemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang perikemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang KETUHANAN."
Setelah membaca ujar-ujar yang dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba Cin Hai berdiri bengong karena ia teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari kuburan mereka! Sampai lama juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar dari gua itu oleh karena merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman orang lain tanpa seijin tuan rumah! Ia harus mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk gua untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa, akan tetapi, jangankan orangnya, bayangannyapun tidak dilihatnya!
Cin Hai merasa kecewa, akan tetapi ia juga merasa lega oleh karena tidak melihat bukti-bukti bahwa kedua orang yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andaikata keduanya terjatuh dan terbanting mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya. Karena hari telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki gua yang penuh tulisan dan lukisan itu lagi untuk bermalam. Ia anggap bahwa gua itu paling bersih dan paling baik, tidak mengandung hawa dan bau yang tidak enak seperti gua lain, dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni gua itu datang hingga ia dapat bertemu dengannya! Ia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang telah mengirim berita ketika ia berada di atas dengan Lin Lin dan ia merasa yakin bahwa penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!
Karena merasa asing di dalam gua seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api, lagi dan memeriksa lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Lukisan-lukisan itu ternyata mengandung pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi akan tetapi sebagai seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari ilmu silat orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatiannya pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar yang selalu menarik hatinya.
Tiba-tiba ia melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia dengan segala kekotorannya, dan sebuah muka yang jahat sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!
Dan di bawah tiga buah lukisan aneh itu, terdapat syair yang amat menarik hatinya. Ia membaca dengan penuh perhatian,
Alangkah buruk nasib! Aku dipaksa tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala
kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu hiburan bagiku : Akan tiba masanya aku pergi, meninggalkan semua keburukkan ini. Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci!
Sekali lagi Cin Hai dibikin bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan dapat merasa bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
386 penulis syair itu saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri! Ia bergidik memandang tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri melihat tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat menyerang batin manusia!
Siapakah pelukis dan penyair ini" Makin tertarik hatinya karena ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.
Tiba-tiba terdengar suara "Ah, ah... uh... uh...!" yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai membalikkan tubuhnya. Ia melihat seorang tua kurus dan tinggi tahu-tahu telah berdiri di pintu gua tanpa terdengar olehnya. Orang itu kelihatan marah sekali dan tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai. Bukan main terkejutnya karena tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang keras sekali, Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang keras itu telah menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!
Di dalam gua menjadi gelap sekali. Jangankan melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapapun tinggi kepandaian seorang dan betapa pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar yang menerangi sama sekali, mata takkan ada gunanya lagi. Maka ia lalu meraba-raba dan berdiri mepet dinding gua. Ia mendengar angin pukulan orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia maklum bahwa biarpun angin pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakannya karena ia pun memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, namun apabila ia membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika orang itu menyerang dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau ia harus membalas dan pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan hal ini tidak ia kehendaki, karena ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan orang itu. Ia pun tidak berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya menanti sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itupun tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara monyet!
Semalam itu Cin Hai duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersamadhi karena hanya dengan jalan duduk diam begini ia dapat beristirahat sambil mencurahkan perasaannya hingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.
Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat kenyataan bahwa kakek itu tidak ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan keluar dari gua dan ternyata bahwa kakek itu telah berdiri di depan gua sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah!
"Locianpwe, mohon kau orang tua suka memberi maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah mengganggu," kata Cin Hai sambil menjura penuh hormat.
Akan tetapi, orang itu dengan muka merengut, menggerak-gerakkan kedua tangannya
seakan-akan mengusir supaya Cin Hai lekas pergi dari situ sambil mulutnya mengeluarkan suara, "Ah-ah-uh-uh!" dan terkejutlah Cin Hai karena ia mendapat kenyataan bahwa empek-empek itu ternyata adalah orang gagu!
"Locianpwe, aku datang bukan dengan maksud jahat. Apakah kau orang tua yang telah mengirim surat yang diikatkan di kaki Sin-kong-ciak dulu itu?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
387 Kakek itu menggeleng-geleng kepala dengan keras, hingga kembali Cin Hai tertegun karena kalau bukan kakek ini, siapa lagi yang tinggal di tempat itu"
"Locianpwe, kalau begitu, tolonglah kau memberi tahu tentang dua orang muda yang terjun di tempat ini dari atas!" kata lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua tangan membantu kata-katanya agar lebih jelas bagi kakek gagu itu.
Akan tetapi kembali kakek itu menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "ah-ah, uh-uh"
tidak karuan dan tangannya makin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena ia beberapa kali menuding ke arah bawah bukit.
"Locianpwe, aku tidak akan turun sebelum mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi kawan-kawanku itu," kata Cin Hai sambil menggeleng kepala.
Tiba-tiba kakek itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan seruan seperti seekor binatang buas, ia menerkam Cin Hai dengan ilmu pukulan yang aneh dan cepat. Cin Hai biarpun belum pernah melihat ilmu pukulan macam ini, namun pandangannya yang awas dan pengertiannya yang mendalam dalam hal gerakan pundak, tahu bahwa inilah ilmu silat seperti yang dilukiskan di dalam gua itu. Ia cepat mengelak dan tidak mau membalas karena ingin tahu sampai di mana kelihaian orang aneh ini. Lima jurus kakek itu menyerang dan makin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak pada mukanya bahwa ia benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Cin Hai. Cin Hai mendapat kenyataan bahwa biarpun ilmu pukulan kakek itu hebat dan dalam hal keganasan tidak kalah dengan ilmu silat Hek Pek Moko, namun tingkat kepandaian kakek ini masih belum sangat tinggi dan juga ginkang kakek ini masih jauh dari pada sempurna. Maka ia maklum bahwa selain kakek gagu ini, tentu masih ada seorang lain yang betul-betul tinggi dan sakti kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanya kawan atau murid saja dari orang pandai yang sebenarnya dan yang belum juga mau memperlihatkan diri.
Setelah menyerang lagi lima jurus tanpa hasil tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras dan melarikan diri ke atas bukit. Biarpun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih jauh lebih lihai dari padanya, namun ketika menyaksikan betapa kakek itu mendaki bukit dengan cepat sekali bagaikan orang berlari di tanah datar saja, diam-diam Cin Hai menjadi kagum sekali. Akan tetapi ia merasa menyesal dan kecewa sekali karena pertemuannya dengan kakek gagu yang aneh ini pun tidak menghasilkan sesuatu dan tentang Kwee An dan Ma Hoa masih tetap merupakan teka-teki gelap baginya.
Ia mengejar dan melompat ke atas sebuah batu besar akan tetapi ia urungkan niatnya untuk mengejar terus. Apa gunanya" Kalau ia dapat menyusul kakek itu, takkan ada gunanya karena ia tak dapat mengajak kakek itu bercakap-cakap. Ia berdiri termenung di atas tempat yang tinggi itu dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh dari jauh. Ia segera memandang dan melihat betapa dari jurusan utara datang sepasukan tentara yang panjang dan besar jumlahnya. Debu mengepul ke atas ketika tanah yang kering terinjak oleh banyak kaki orang itu.
Tiba-tiba dari jurusan selatan, nampak pasukan lain. Pasukan ini tidak begitu panjang akan tetapi di bagian depan terdapat beberapa orang penunggang kuda yang agaknya menjadi pemimpin pasukan itu. Juga debu mengepul hebat di bawah kaki pasukan ini. Kedua pasukan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
388 itu agaknya hendak berperang, karena masing-masing membawa bendera yang berkibar dan keduanya bergerak maju untuk saling bertemu.
Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia segera melompat turun dari batu karang, terus lari pergi dari tempat itu. Ia mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya kemarin dan setelah meninggalkan rawa itu, ia berlari cepat menuju ke tempat di mana kedua pasukan bertemu.
Dan setelah ia tiba di situ, terdengarlah sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara senjata beradu, dan pekik manusia berperang. Cin Hai mendekati dan ketika ia melihat bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukan kerajaan melawan pasukan orang-orang Mongol, ia segera menyerbu dan membantu pasukan kerajaan. Melihat orang-orang Mongol ini, ia teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang menimbulkan benci di dalam hatinya.
Sebelum Cin Hai datang, tentara kerajaan terdesak oleh amukan tentara Mongol yang dikepalai seorang panglima perang bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah mereka yang lebih besar membuat tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan banyak korban jatuh di pihak mereka. Akan tetapi ketika Cin Hai menyerbu, di mana saja ia datang tentu pihak Mongol menjadi kocar-kacir, karena dengan kedua tangan dan kakinya, setiap gerakan pemuda ini membuat seorang bangsa Mongol terguling! Melihat datangnya seorang pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul kembali semangat pasukan kerajaan hingga mereka lalu menyerbu lagi dengan nekad dan penuh semangat hingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari, pihak tentara kerajaan kini mendapat kemajuan dan musuh dapat dibikin kacau. Akan tetapi, ketika Cin Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, ia melihat seorang panglima bangsa Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat orang panglima kerajaan, yaitu Perwira-perwira Sayap Garuda yang bersenjata pedang. Akan tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar itu mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu terdesak hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap Garuda dalam keadaan mandi darah dan mati!
Bukan main marahnya Cin Hai karena ia maklum bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkah menemukan tandingan, melihat betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat dan bahkan telah ada tiga yang tewas. Ia lalu berseru keras dan menyerbu menghadapi perwira Mongol itu sambil berseru,
"Cuwi Ciangkun, mundurlah dan biarkan aku menghadapi raksasa Mongol ini!"
Keempat Perwira Sayap Garuda menjadi girang mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka tadi memang sudah kewalahan menghadapi lawan tangguh itu, maka mereka lalu meloncat ke belakang membiarkan anak muda itu menggantikan mereka.
Panglima Mongol tinggi besar itu tertawa lebar ketika melihat bahwa kini yang maju menghadapinya hanyalah seorang muda berpakaian seperti seorang pelajar.
"Ha, ha, ha! Agaknya kalian telah kehabisan panglima hingga mengajukan seorang kanak-kanak yang masih harus berada dalam pelukan ibunya!" ia menyindir.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
389 Cin Hai menghadapi sindiran dan hinaan ini dengan tersenyum saja, lalu ia bertanya,
"Panglima yang sombong, siapakah kau dan apakah kau masih mempunyai hubungan dengan Pangeran Vayami?"
Panglima tinggi besar muka hitam itu tercengang mendengar disebutnya nama ini. "Hm, dari mana kau tahu nama pengkhianat kami itu" Vayami adalah seorang pengkhianat, jangan dihubungkan dengan aku, Balaki, seorang pahlawan sejati dari Mongol!"
Balaki ini sebenarnya adalah seorang panglima tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali Khan, raja muda yang memimpin dan memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu
kepandaian Balaki amat tinggi. Ketika mendengar tentang gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to, maka ketika Yagali Khan mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, ia lalu menawarkan diri untuk mengepalai sendiri barisan Mongol. Tiap pasukan Han yang bertemu dengan pasukan pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan dikalahkan dengan mudah. Pasukan yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula kalau tidak kebetulan Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.
"Anak muda," kata pula Balaki, "kau siapakah dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar ini berani maju menyambutku?"
"Aku adalah seorang rakyat biasa yang tentu saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa Mongol bermain gila di tanah airku!" jawab Cin Hai dengan tenang. Balaki tertawa terbahak-bahak. "Ha, kau ingin bermain menjadi patriot" Ha, ha, baiklah, aku akan membuat kau tewas sebagai seorang pahlawan negara!" Sambil berkata demikian, Balaki lalu menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya antep dan cepat hingga Cin Hai tidak berani memandang ringan, lalu cepat mencabut pedangnya dan melayaninya dengan hati-hati. Para anak buah tentara kedua pihak ketika melihat pertempuran hebat ini, menjadi gembira dan mereka yang berada dekat pertempuran ini lalu menghentikan serbuan masing-masing dan kini menonton sambil bersorak menambah semangat jago masing-masing! Juga keempat Perwira Sayap Garuda melihat kelihaian Cin Hai, menjadi kagum dan berbesar hati karena selama ini belum pernah ada yang kuat menghadapi Balaki yang terkenal kosen itu.
Cin Hai seperti biasa hanya mempertahankan diri dulu untuk mengukur kepandaian lawan dan ternyata bahwa ilmu kepandaian Balaki dengan ilmu golok tunggalnya, walaupun benarbenar lihai namun masih tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin Hai hingga pemuda ini dengan mudah dapat mengelak atau menangkis semua serangan yang datang bertubi-tubi itu.
Hal ini tentu saja membuat Balaki merasa penasaran sekali oleh karena belum pernah ia melihat seorang lawan yang dapat menahan serangannya tanpa membalas sedemikian
lamanya. Ia lalu berseru keras dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah benda yang bulat, Cin Hai mengira bahwa itu tentu semacam senjata rahasia maka ia berlaku waspada dan siap sedia menghadapi serangan senjata gelap musuh. Akan tetapi Balaki tidak
mempergunakan senjata aneh itu, hanya menggenggamnya di tangan kiri dan golok di tangan kanannya masih menyerang ganas. Tiba-tiba ketika Cin Hai mengelak dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan kirinya dan tahu-tahu sebuah sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke arah muka Cin Hai. Sinar ini demikian cepat datangnya hingga tak mungkin dikelit oleh kegesitan seorang manusia, maka Cin Hai merasa terkejut sekali dan tak terasa pula ia berseru. Akan tetapi, ternyata bahwa sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya, hanya membuat matanya pedas sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri Balaki itu adalah sebuah cermin yang digunakan untuk memantulkan cahaya matahari Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
390 yang bersinar terang. Pantulan cahaya matahari itu digunakan untuk menyerang mata lawan, dan mengagetkannya hingga tentu saja orang itu akan menjadi silau dan kaget.
Benar saja, Cin Hai yang lihai itu sama sekali tak menduga akan kelihaian lawan hingga ketika matanya bertemu dengan pantulan cahaya matahari yang disinarkan dari cermin itu ia tidak kuat menahan dan terpaksa menutup kedua matanya. Saat inilah yang dimaksudkan oleh senjata cermin itu dan pada saat Cin Hai tersilau dan meramkan mata, golok di tangan Balaki menyambar cepat dan hebat ke arah leher Cin Hai.
Sudah banyak sekali lawan yang tewas dalam tangan Balaki terkena tipu ini, dan kali ini pun ia telah merasa pasti bahwa pemuda ini tentu akan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh.
Akan tetapi, kalau ia berpendapat demikian, ia belum kenal dan belum tahu betul siapa adanya Cin Hai! Pemuda ini selain telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan luar biasa, juga telah menerima gemblengan hebat dari Bu Pun Su, ditambah pengalaman bertempur yang banyak menghadapi lawan-lawan tangguh, hingga dalam keadaan bagaimana berbahaya pun, hatinya tetap tenang dan kewaspadaannya tidak tergoncang. Memang, ketika matanya tersorot sinar matahari, ia merasa terkejut dan tidak tahan untuk tidak memejamkan mata, akan tetapi hanya matanya saja yang tertutup dan untuk saat itu tidak dapat digunakan, akan tetapi, telinga dan perasaannya masih tajam dan tidak terpengaruh sama sekali. Ia dapat merasa dan mendengar suara angin serangan golok yang mengarah lehernya, maka ketika semua orang telah merasa ngeri, terutama keempat orang Perwira Sayap Garuda, dan menduga bahwa pemuda itu pasti akan binasa di tangan Balaki seperti orang-orang lain yang pernah menghadapinya, tiba tiba tubuh Cin Hai melompat ke belakang dengan cepat sekali hingga mata golok itu lewat menyerempet di dekat kulit lehernya.
Tidak hanya Balaki yang terkejut, akan tetapi semua orang yang melihat lompatan ke belakang secara aneh itu merasa kagum sekali. Belum pernah mereka dapat melihat seorang melompat ke belakang sedemikian cepatnya dan tepat pada saat bahaya maut mengancam leher.
Kini Cin Hai merasa marah juga karena hampir saja ia menjadi korban senjata golok pahlawan Mongol ini. Sebaliknya, Balaki menyangka bahwa pemuda itu menjadi gentar, maka ia tidak menyia-nyiakan waktu dan cepat mengejar untuk mengirim serangan dengan ilmu golok yang paling ia andalkan. Goloknya terputar-putar garang laksana seekor naga mengamuk hingga tubuhnya sendiri lenyap di dalam gulungan golok.
"Rasakan pembalasanku!" kata Cin Hai dan pemuda ini mulai mainkan jurus-jurus limu Pedang Daun Bambu ciptaan sendiri. Ketika ia mencipta ilmu pedang ini, ia menusukkan pedangnya dan menyerang batang-batang bambu yang runcing seperti golok dan dapat mengenai sasaran dengan tepat tanpa menyentuh daun-daun itu. Kini menghadapi putaran golok Balaki, biarpun dalam pandangan mata orang lain, tubuh Balaki sampai lenyap tergulung sinar golok namun bagi mata Cin Hai, ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung golok hingga dengan cepat ia dapat "memasukkan" pedangnya di antara sinar golok.
Terdengar Balaki memekik. Pekik ini ia keluarkan bukan karena kesakitan, akan tetapi juga karena terkejut dan takjub. Ia tidak tahu bagaimana lawannya dapat menyerangnya dan tahu-tahu ia merasa lengan tangannya sakit sekali hingga goloknya terlepas dari pegangan dan ternyata bahwa lengannya telah tertusuk ujung pedang Cin Hai.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
391 Bukan main girangnya keempat Perwira Sayap Garuda melihat ini, akan tetapi Balaki segera memberi aba-aba keras dan menyerbulah semua anak buahnya, sedangkan ia sendiri cepat meloloskan diri dari keributan itu hingga Cin Hai tidak dapat mengejar dan merobohkannya.
Pertempuran hebat terjadi akan tetapi kini tentara Mongol telah lemah semangat
bertempurnya dan tak lama kemudian mereka melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang telah tewas dan terluka hingga tempat itu penuh orang-orang mati dan luka.
Ini adalah kekalahan besar pertama kali yang diderita oleh Balaki semenjak ia mulai menginjakkan kaki di pedalaman Tiongkok. Keempat orang Perwira Sayap Garuda itu merasa girang dan berterima kasih sekali kepada Cin Hai. Melihat sikap mereka yang baik, Cin Hai menjadi heran sekali karena mereka ini berbeda sekali dengan Perwira-perwira Sayap Garuda yang pernah dilihatnya, ketika ia dan Kwee An mengamuk di dalam Eng-hiong-koan di kota raja dulu ketika ia membasmi para perwira yang menjadi musuh besar Kwee-ciangkun.
"Hohan (orang baik atau orang gagah) yang muda telah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, sungguh membuat kami berempat menaruh hormat dan kagum serta amat berterima kasih sekali!" kata seorang di antara empat Perwira Sayap Garuda itu. "Bolehkah kami mengetahui nama Hohan yang gagah perkasa?"
Dengan suara merendah, Cin Hai berkata terus terang untuk mencoba dan melihat sikap mereka, "Siauwte yang muda dan bodoh bernama Sie Cin Hai. Dan mungkin Cuwi-ciangkun akan ingat nama hamba apabila teringat akan peristiwa pembasmian keluarga Kwee-ciangkun!" sambil berkata demikian, Cin Hai memandang tajam.
Jelas sekali nampak betapa empat orang perwira itu terkejut sekali dan saling pandang kemudian mereka lalu mengangkat tangan memberi hormat, sedangkan pemimpin mereka yang tertua berkata, "Ah, tidak tahunya Sie-taihiap yang menolong kami! Pantas saja demikian lihai! Sie-taihiap, kami juga semua Perwira Sayap Garuda, sudah tentu saja pernah mendengar nama Taihiap yang gagah perkasa, bahkan kaisar sendiri telah lama sekali mencari-cari Taihiap!"
Cin Hai benar-benar merasa tertegun dan heran melihat sikap mereka ini.
"Apa" Apakah kaisar mencari untuk menghukum aku yang telah pernah membunuh beberapa orang perwira jahat?"
"Ah, agaknya telah lama Sie-taihiap tidak ke kota raja hingga tidak tahu akan keadaan dan perubahan di sana," kata seorang di antara mereka dan kemudian mereka menceritakan hal yang amat menggembirakan hati Cin Hai. Ternyata bahwa semenjak Beng Kong Hosiang yang menjadi pemimpin para perwira itu tewas di tangan Balutin dan para perwira tinggi yang jahat telah tewas pula, yang menggantikan dan memegang pucuk pimpinan adalah seorang panglima baru yang masih muda dan gagah perkasa bernama Kam Hong Sin. Panglima Kam ini selaih gagah perkasa, juga berjiwa gagah dan tidak palsu seperti Beng Kong Hosiang dan perwira lain yang dulu memegang kekuasaan. Bahkan Panglima Kam ini mengindahkan kaum kang-ouw dan mempunyai pergaulan yang luas dengan orang-orang gagah hingga ia amat dihormati dan disegani. Panglima ini pula yang menyadarkan pikiran kaisar hingga kaisar tidak lagi mempunyai pandangan buruk terhadap orang-orang kang-ouw. Dengan tangan besi Kam Hong Sin memilih Perwira-perwira Sayap Garuda dan mengadakan peraturan-peraturan keras dengan ancaman hukuman berat. Sedikit saja seorang perwira melanggar, ia lalu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
392 dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Oleh karena tindakan ini, maka banyak muncul perwira-perwira baru, pilihan Kam-ciangkun dan bahkan tidak sedikit orang-orang kang-ouw masuk menjadi Perwira Sayap Garuda!
"Karena inilah, Sie-taihiap, maka selain Kam-ciangkun sendiri, juga kaisar ingin bertemu dengan Taihiap. Sudah lama Kam-ciangkun mengagumi Taihiap dan lain-lain orang gagah dan mengharapkan untuk dapat bertemu serta berkenalan," kata Perwira Sayap Garuda itu.
Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali mendengar tentang perubahan baik ini, dan tanpa diminta lagi ia lalu menyediakan tenaga untuk membantu mengusir para penyerbu dari Mongol.
Ketika ia bertanya tentang penyerbuan orang-orang Mongol ini, perwira itu menceritakan,
"Telah sebulan lebih tentara Mongol yang dipimpin oleh Yagali Khan menyerbu daerah Tiongkok dan raja muda ini memiliki banyak sekali pembantu-pembantu yang pandai, Balaki tadi adalah seorang di antara para jagonya itu maka kedudukannya kuat sekali. Kam-ciangkun lalu menggerakkan banyak tentara yang dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan
mengadakan pengepungan kepada barisan induk dari tentara Mongol yang berkedudukan di sebelah dalam tembok besar, di daerah Tiang-lo-sia. Pasukan kami adalah sebagian dari barisan yang harus mengadakan pengepungan diri dari selatan, akan tetapi tak terduga-duga kami bertemu dengan barisan Balaki tadi hingga kalau saja tidak mendapat bantuan dari taihiap, tentu kami mendapat bencana besar."
Kemudian Cin Hai mendengar betapa tentara kerajaan seringkali menderita kekalahan hingga ia menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk ikut ke Tiang-lo-sia membantu usaha para pasukan kerajaan mengusir musuh. Tentu saja para perwira itu merasa girang sekali oleh karena dengan adanya pembantu yang lihai ini, banyak harapan usaha mereka akan berhasil dan kini mereka tak usah kuatir menderita kekalahan apabila bertemu di jalan dengan pasukan musuh.
Ketika pasukan di mana Cin Hai berada tiba di Tiang-lo-sia, di sebelah luar daerah kekuasaan Yagali Khan, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan lain yang mengurung dari lain jurusan. Pengepungan dilakukan dan tak lama kemudian berturut-turut pasukan-pasukan kerajaan datang dari segenap penjuru, dan daerah Tiang-lo-sia telah dikurung. Pimpinan serbuan ini adalah seorang perwira tinggi she Liang dan ia lalu mencari seorang untuk dijadikan utusan karena ia membawa surat dari kaisar yang ditujukan kepada Yagali Khan.
Surat ini adalah bujukan halus yang juga mengandung ancaman agar supaya Yagali Khan suka menarik kembali pasukannya dan jangan melanggar tapal batas negara.
Ketika mendengar bahwa komandan pasukan-pasukan kerajaan mencari seorang utusan
untuk mengantar surat kaisar, Cin Hai lalu mengajukan diri untuk melakukan tugas ini.
Keempat perwira yang pernah ditolongnya dari serbuan Balaki menceritakan kepada Liang-ciangkun akan kegagahan dan jasa Cin Hai dan betapa pemuda ini telah mengalahkan Balaki dengan mudahnya. Liang-ciangkun menjadi kagum dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
memberikan tugas membawa surat itu kepada Cin Hai.
Yagali Khan dan para pembantunya sudah mendengar bahwa pihak tentara Han akan
mengirim utusan yang membawa surat kaisar dan bahwa utusan ini adalah seorang pemuda yang pernah mengalahkan Balaki. Oleh karena ini, kedatangan Cin Hai yang tidak mau Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
393 dikawal dan hanya datang seorang diri itu disambut oleh Panglima-panglima Mongol dan kemudian Cin Hai dibawa menghadap pada Yagali Khan.
Cin Hai kagum melihat keangkeran tempat itu, karena selain pengawal dan perajurit berbaris rapi dengan golok besar di tangan sambil berdiri tegak, juga para perwira yang
menyambutnya rata-rata bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah sekali. Dan ketika ia tiba di ruang di mana Yagali Khan duduk di atas sebuah kursi indah ia melihat bahwa di dekat raja muda ini duduk pula tiga orang panglima besar, seorang di antaranya bukan lain adalah Balaki sendiri! Orang ke dua adalah seorang tua berrambut putih panjang yang terurai di pundak sedangkan pakaiannya mengingatkan ia kepada Pangeran Vayami, jubah merah yang indah.
Orang ke tiga pendek gemuk setengah tua, juga berpakaian merah hingga dapat diduga bahwa kedua orang ini tentulah pendeta-pendeta Sakia Buddha atau pendeta Agama Buddha Merah seperti halnya Pangeran Vayami. Sikap ketiga orang yang duduk di dekat Yagali Khan ini nampak angker dan mereka tidak bergetar bagaikan patung. Akan tetapi dari mata mereka memancarkan sinar berapi ditujukan kepada Cin Hai yang masuk dengan tindakan kaki gagah dan tenang.
Melihat bahwa orang yang pernah mengalahkan Balaki adalah seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun, bukan main herannya Yagali Khan. Ia menyambut
kedatangan Cin Hai dengan dingin dan tidak berdiri dari tempat duduknya, hanya berkata dengan suara nyaring dan dalam bahasa Han yang cukup fasih.
"Tuankah utusan kaisar?"
"Betul, Yagali Khan, akulah yang mendapat kehormatan untuk menjadi utusan kaisar," jawab Cin Hai dengan tenang dan ia sama sekali tidak mau memberikan hormat karena melihat sikap mereka demikian dingin. Dari saku bajunya ia mengeluarkan surat kaisar yang ditujukan kepada Raja Muda Yagali Khan dan memberikannya kepada raja muda Mongol itu. Baik Yagali Khan sendiri maupun ketiga panglima besar yang duduk di sampingnya, merasa penasaran dan heran atas sikap dingin dan keberanian Cin Hai.
"Anak muda, kau berani dan tinggi hati. Apakah ini terdorong oleh sifatmu yang sombong dan karena kau mengandalkan ilmu kepandaianmu?" tanya pula Yagali Khan sambil
menerima surat itu.
"Tidak demikian, Yagali Khan. Aku adalah seorang utusan dan pada saat ini aku boleh dibilang sebagai wakil kaisar yang memerintahkan datang memberikan surat dan mengadakan perundingan dengan kau. Maka sesuai pula dengan kebesaran kaisar negaraku, aku pun tidak boleh merendahkan diri di hadapan seorang raja muda asing, apa lagi karena aku berada di atas tanah sendiri sedangkan kau dan barisanmu merupakan tamu-tamu belaka."
Jawaban ini diucapkan dengan tenang dan tabah hingga Yagali Khan merasa makin heran dan kagum.
"Anak muda, kalau aku menggerakkan seluruh perwira dan pasukanku, apa kaukira kau yang hanya seorang diri ini, betapapun tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri dan pulang dengan selamat?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
394 "Aku tidak takut karena hal seperti itu tak mungkin terjadi," jawab Cin Hai.
"Mengapa kau bisa berkata demikian" Dengan hanya mengangkat tangan kananku, ribuan perajurit akan menyerbu dan menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang."
"Sekali lagi aku yakin bahwa hal ini tak mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah seorang utusan dan negara mana pun di dunia ini takkan mengganggu seorang utusan kaisar! Ke dua kalinya, kalau kau melanggar aturan ini dan mengerahkan perajurit untuk mongeroyokku, aku akan melawan mati-matian dan sebelum aku mati, tentu aku akan berhasil merobohkan ratusan orang-orangmu hingga mati pun takkan rugi. Ke tiga kalinya, kalau kau melakukan pelanggaran ini, nama Yagali Khan akan tenggelam ke dalam lumpur kehinaan hingga andaikata kelak kau bisa menjadi seorang raja yang bagaimana pun besarnya, namamu akan tetap dipandang rendah sebagai seorang raja yang curang dan tidak tahu akan kesopanan negara."
Tertegun semua yang hadir di situ mendengar jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat ini. Wajah Yagali Khan berubah merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata ini bukan seorang utusan kaisar tentu ia akan mencabut pedangnya dan memenggal kepala orang itu dengan tangannya sendiri. Ia hanya mengeluarkan suara "hm, hm" kemudian setelah menatap wajah Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan mulut tersenyum, lalu ia membuka surat kaisar itu.
Sebagai seorang utusan, Cin Hai telah diberi tahu oleh komandan pasukan kerajaan tentang isi surat agar ia dapat mengetahui baik-baik akan tugasnya. Isi surat itu adalah bujukan halus yang mengandung ancaman agar Yagali Khan suka insyaf dan tidak menanam permusuhan dan mengacau daerah Tiongkok, karena ini hanya akan mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan kedua belah pihak.
Setelah membaca surat itu, Yagali Khan memandang kepada Cin Hai dan berkata, "Hm, kaisarmu ini sama dengan kau, sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang kalian
andalkan" Kami mempunyai pasukan yang besar jumlahnya dan kuat, senjata kami lengkap dan perwira-perwira kami berkepandaian tinggi! Jangan kau menjadi sombong setelah berhasil mengalahkan seorang di antara perwira kami. Apakah kaisarmu itu menjadi sombong karena mengandalkan kau?"
Cin Hai tersenyum. "Yagali Khan, jangan kau memandang rendah Negara Tiongkok!
Betapapun besar jumlah barisanmu, dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok, belum ada seperseratusnya! Tentang senjata dan kekuatan kami pun tidak akan kalah. Adapun tentang orang pandai, kami tidak kekurangan. Ketahuilah, bahwa baru aku saja yang hanya menjadi utusan biasa dan bukan seorang panglima, aku tidak gentar menghadapi perwiramu yang manapun juga! Apalagi panglima kami yang gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaianku! Dan panglima-panglima yang gagah perkasa di pihak kami bukan hanya ratusan atau ribuan jumlahnya, bahkan ada laksaan! Sia-sia saja kalau kau hendak menyerbu ke negara kami. Lagi pula, apakah perlunya" Kau dan kami adalah tetangga yang harus mengadakan perhubungan baik. Apakah kau belum mendengar betapa para Lama di Tibet juga telah mengadakan hubungan baik dan damai dengan kami"
Padahal mereka itu kuat sekali, lebih kuat daripada barisanmu. Oleh karena inilah, dan demi menjaga keamanan rakyat, kaisar kami minta kepadamu untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali pulang dengan damai."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
395 Ucapan Cin Hai ini sebetulnya bukan omong kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini yang memiliki rakyat lebih banyak daripada Tiongkok" Adapun tentang kepandaian, Cin Hai maklum bahwa banyak sekali orang-orang pandai di negaranya, maka biarpun agak
berlebihan ketika ia mengatakan bahwa masih banyak sekali orang-orang yang jauh lebih pandai darinya, akan tetapi ada benarnya juga. Para perwira yang mendengar ucapan ini diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan sendiri juga merasa ngeri. Akan tetapi ia tidak mau menyatakan ini, bahkan lalu berkata,
"Anak muda, jangan kaukira aku merasa takut mendengar ocehanmu itu! Dan tentang
kesombonganmu yang sanggup dan berani menghadapi setiap perwira kami, baikiah
kaubuktikan! Kami bukan hendak mencelakakan seorang utusan karena kami bukanlah orang rendah seperti yang orang kira, akan tetapi kami mengajak kau secara terang-terangan untuk mengadu kepandaian. Kalau kau dapat merobohkan seorang jago yang kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu tadi tidak bohong belaka dan kami akan menarik mundur pasukan-pasukan kami!"
Cin Hai maklum bahwa sekarang terletak penuh di atas kedua pundaknya untuk menentukan apakah bujukan kaisar ini berhasil atau tidak. Kalau ia bisa merobohkan jago yang ditunjuk oleh Yagali Khan, mereka tentu akan merasa juga menghadapi perwira-perwira yang ia sombongkan memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi kalau ia sampai kalah, tidak saja jiwanya terancam, akan tetapi juga kata-katanya tadi akan dianggap bohong dan raja muda itu tentu akan melanjutkan serbuannya! Ia menganggap bahwa perlu sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya agar dapat tunduk. Maka ia menjawab sambil tersenyum tenang,
"Boleh, boleh, Yagali Khan. Apakah kau akan mengajukan Balaki?"
Merah wajah Balaki mendengar ini dan ia memandang kepada Cin Hai dengan mata melotot.
"Biarkan hamba mengadu jiwa dengan orang ini!" katanya kepada Yagali Khan, akan tetapi raja muda itu sambil tersenyum lalu berkata,
"Bukan kau lawannya, Balaki." Lalu ia menyuruh pendeta Jubah Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol. Pendeta itu tersenyum, berdiri lalu membongkokkan tubuhnya dalam-dalam di depan junjungannya, kemudian ia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.
"Anak muda," katanya dengan suara yang halus dan dalam bahasa Han yang kaku, "siapakah namamu" Aku tidak biasa menewaskan seorang tanpa mengenal namanya."
Biarpun kata-kata ini diucapkan dengan suara halus, namun mengandung pandangan yang merendahkan sekali. Cin Hai tertawa dan menjawab,
"Agaknya kau telah yakin benar bahwa aku pasti akan tewas di dalam tanganmu! Namaku adalah Sie Cin Hai atau kau boleh saja sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah yang dikenal oleh orang-orang yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku akan Pangeran Vayami. Agaknya kau sepaham dengan dia."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
396 "Vayami bukan apa-apaku, jangan kau ngaco! Aku adalah pendeta tinggi dari Sakia Buddha dan disebut Thai Kek Losu. Anak muda, apakah benar kau berani menerima tantangan ini"
Ketahuilah, bahwa sekali Thai Kek Losu turun tangan, biasanya pasti akan ada orang melepaskan nyawanya!"
"Thai Kek Losu, seorang laki-laki kalau sudah mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati pun takkan menelan kembali kata-kata itu. Aku telah menerima tantangan ini dan tentu saja akan kuhadapi sampai akhir. Adapun tentang mati, siapakah orangnya yang akhirnya takkan mati"
Hanya bedanya, ada orang mati seperti harimau dan ada pula yang mati seperti babi. Dan aku memilih yang pertama itu! Kau majulah!"
Oleh karena maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan maka Cin Hai lalu
mencabut Liong-coan-kiam dari pinggangnya, dan melintangkan pedang itu di dadanya. Thai Kek Losu tertawa bergelak mendengar kata-kata Cin Hai itu. "Pendekar Bodoh, tidak tahunya kau mempunyai semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus, kau hadapi senjataku ini yang akan membebaskan jiwamu dari pada penderitaan hidup!"
Sambil berkata demikian, pendeta rambut putih ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak dari dalam bajunya yang lebar. Tengkorak ini mungkin tengkorak anak-anak, karena kecil saja dan pada leher tengkorak itu dipasangi rantai berwarna kuning yang panjangnya kurang lebih lima kaki. Dengan memegang ujung rantai itu, maka tengkorak yang mengerikan ini menjadi senjata yang luar biasa sekali, senjata rantai yang berujung tengkorak!
Cin Hai merasa terkejut juga melihat senjata ini karena selama hidupnya belum pernah ia melihat senjata macam ini, maka ia berlaku waspada dan tidak mau menyerang lebih dulu.
Melihat keraguan Cin Hai, Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil mengayunkan
rantainya. Tengkorak kecil itu melayang dan menyambar ke arah muka Cin Hai, seakan-akan hendak menciumnya! Cin Hai bergidik karena ngeri, maka ia cepat-cepat menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang secara aneh sekali tergoncang ketika melihat tengkorak itu dan ia lalu melompat ke samping. Ia dapat menduga bahwa senjata aneh ini tentulah mengandung kekuatan hoatsut (sihir) yang dapat membuat lawan terkejut, ngeri dan lemah semangatnya, maka ia segera menggerak-gerakkan tangan kirinya yang tidak memegang senjata itu untuk memainkan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Sihir Awan Putih! Beberapa kali ia menggerakkan lengan kiri dan mengerahkan semangat dan tenaga lweekang hingga dari lengannya yang kiri mengepul uap putih! Kembali tengkorak itu menyambar ke arah kepalanya dan cepat sekali Cin Hai lalu membacok tengkorak itu dengan pedangnya. Akan tetapi, segera ia tarik kembali pedangnya dan melompat lagi untuk mengelakkan diri. Entah bagaimana, ia merasa tidak tega untuk membacok dan memecahkan tengkorak itu yang tiba-tiba nampak seakan-akan menjadi kepala seorang anak-anak yang masih utuh, lengkap dengan mata, rambut, dan hidung serta mulutnya!"
Memang senjata di tangan Thai Kek Losu ini bukan senjata biasa. Sebelum tengkorak itu diikat dengan rantai, telah ditapai dan dimasuki ilmu sihir. Hendaknya diketahui bahwa kepala itu diambil dari kepala seorang anak yang masih hidup, yang dikorbankan secara kejam dan tak mengenal perikemanusiaan oleh pendeta itu! Khasiat senjata ini ialah dapat menyihir lawan dan membuat lawan selain serasa pusing dan gentar, juga apa bila lawan hendak melawan dengan sungguh-sungguh, maka tengkorak itu akan nampak seperti masih hidup dan lengkap merupakan kepala seorang anak kecil yang menangis!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
397 Oleh karena maklum akan kelihaian senjata ini, Cin Hai lalu menyabarkan diri dan hanya memperhatikan gerak lawannya saja. Ia mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dari setiap serangan dan setelah ia memperhatikan serangan lawan, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kakek ini benar-benar lihai serta tenaga lwekangnya belum tentu kalah olehnya!
Akan tetapi dengan kepandaian dan pengertiannya tenang pokok-pokok dasar segala macam gerak dan serangan lawan Cin Hai sebetulnya tak perlu merasa gentar. Hanya senjata hebat itulah yang membuatnya ragu-ragu dan ngeri. Baiknya ia telah mainkan Pek-in-hoatsut dengan tangan kirinya hingga sebagian besar hawa siluman yang merupakan daya sihir itu telah dapat ditolak sebagian. Namun ternyata bahwa kekuatan sihir atau ilmu hitam dari Thai Kek Losu kuat sekali. Biarpun kini Cin Hai tidak merasa gentar lagi akan tetapi tetap ia tidak tega untuk membacok kepala atau tengkorak itu.
Cin Hai lalu mengeluarkan Ilmu Pedang Daun Bambu dan setelah ia membalasnya dengan serangan-serangan yang amat lihai itu, Thai Kek Losu baru merasa terkejut. Ilmu pedang lawannya yang muda ini memang luar biasa. Tadi ketika ia melihat bahwa Cin Hai tidak terpengaruh oleh daya sihir senjatanya dan lengan kiri pemuda itu begerak-gerak menurut garis Pat-kwa hingga dapat menolak daya sihir, ia telah merasa kagum dan maklum bahwa ia menghadapi murid seorang sakti. Akan tetapi ia maklum bahwa pemuda itu masih belum mampu menolak daya sihir yang membuat ia tidak tega membacok tengkorak itu dan diam-diam ia merasa girang oleh karena dengan ilmu silatnya yang tinggi, tentu ia akan dapat mendesak dan akhirnya mengalahkan lawannya ini. Tak usah banyak-banyak, sekali saja muka atau kepala lawannya dapat tercium oleh mulut tengkorak itu, pasti ia akan roboh dan tewas. Kini setelah Cin Hai mengeluarkan Ilmu Silat Daun Bambu, baru ia terkejut sekali karena gerakan anak muda itu membuat ia terpaksa mencurahkan sebagian perhatiannya untuk menjaga diri. Serangan-serangan ujung pedang Liong coan-kiam sungguh hebat dan sukar diduga, sedangkan untuk melukai kepala lawannya dengan tengkoraknya, bukanlah merupakan hal yang mudah karena pemuda itu memiliki kegesitan yang jauh lebih tinggi daripada kepandaian ginkangnya sendiri.
Untuk dapat mempercepat kemenangannya, Thai Kek Losu lalu merogoh saku jubah dengan tangan kirinya dan ketika tangan kirinya itu bergerak, maka menyambarlah tujuh batang jarum hitam ke arah jalan darah di seluruh tubuh Cin Hai, antaranya dua batang menuju matanya. Inilah Hek-kang-ciam atau Jarum Baja Hitam yang cepat sekali lajunya karena biarpun kecil akan tetapi berat sekali. Cin Hai dengan tenang memutar pedangnya dan aneh sekali! Semua jarum itu menempel pada Pedang Liong-coan-kiam dan melengket di situ, kemudian sambil berseru keras, ketika Cin Hai menggerakkan pedangnya, semua jarum itu menyambar kembali ke arah tuannya. Thai Kek Losu merasa terkejut sekali dan cepat ia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarumnya sendiri!
Sebetulnya tidak aneh, oleh karena Liong-coan-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang mengandung daya penarik sembrani hingga jarum-jarum kecil itu melengket dengan mudah.
Kemudian sambil mengerahkan lweekangnya, pemuda itu dapat membuat jarum-jarum yang menempel itu terlepas dan melayang ke arah lawannya.
Kemudian tangan kiri Thai Kek Losu bergerak dan kali ini Cin Hai hanya mengelak oleh karena yang menyambar hanya tiga batang jarum saja, akan tetapi kesempatan itu digunakan oleh Thai Kek Losu untuk menghantamkan tengkoraknya ke arah batok kepala Cin Hai.
Serangan ini tiba-tiba datangnya dan selain tak terduga oleh karena perhatian Cin Hai tercurah kepada jarum-jarum itu juga cepat sekali hingga tanpa terasa pula Cin Hai menangkis dengan pedangnya. Terdengar suara keras ketika tengkorak itu mencium pedang dan tiba-tiba dari muka tengkorak itu menyambar keluar tujuh batang jarum-jarum yang kehijau-hijauan dan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
398 berbau amis karena mengandung racun. Inilah kelihaian tengkorak itu yang sengaja diserangkan dengan tiba-tiba agar ditangkis oleh lawannya. Dari kedua lubang hidung keluar empat batang jarum, sedangkan dari mulut tengkorak itu keluar tiga batang. Semua jarum ini menyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan cepat sekali.
Kali ini Cin Hai benar-benar terkejut karena sama sekali tak pernah menduga akan hal ini. Ia cepat melempar tubuh ke belakang hingga seperti jatuh terjengkang dan ini pun hampir saja tak dapat menolongnya karena jarum-jarum itu lewat dekat sekali dengan kulit mukanya, hingga hidungnya mencium bau yang luar biasa amis dan busuknya.


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah pengalaman ini, Cin Hai menjadi marah sekali, sebaliknya Thai Kek Losu menjadi kecewa dan gentar. Memang tipu tadi adalah tipu terakhir yang disengaja karena ia pasti akan dapat merobohkan lawannya. Tidak tahunya, anak muda itu benar-benar hebat sekali hingga pada saat dan keadaan yang agaknya tak mungkin dapat melepaskan diri dari bahaya maut itu, Cin Hai masih dapat mengelaknya. Ia merasa rugi oleh karena tipu itu tidak berhasil, maka Cin Hai takkan merasa tidak tega lagi kepada tengkorak itu oleh karena ketika pedangnya membentur tengkorak, ternyata tengkorak itu tidak pecah. Sekaligus pengalaman ini membuat hati pemuda itu menjadi tetap dan rasa kasihan serta tidak tega terhadap tengkorak itu menjadi lenyap, bahkan terganti rasa benci oleh karena ternyata bahwa tengkorak kecil yang dikasihinya tadi mengandung senjata maut yang hampir saja menewaskannya. Kini Cin Hai menerjang maju sambil memutar-mutar pedangnya dan mengeluarkan gerakan dan jurus-jurus Ilmu Pedang Daun Bambu yang paling hebat, hingga Thai Lek Losu terdesak mundur tanpa dapat membalas.
Pada saat yang baik, Cin Hai menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Thai Kek Losu melalui sinar rantai musuh dengan gerakan miring. Thai Kek Losu mencoba untuk
menghindarkan serangan ini dengan mengadu jiwa, yakni ia membarengi untuk memukulkan tengkoraknya pada muka Cin Hai. Dua senjata itu menyerang dengan cepat dalam waktu hampir bersamaan, dan kalau sekiranya kedua orang itu tidak mau menarik kembali serangan mereka, tentu kedua-duanya akan tewas. Akan tetapi, tentu saja Cin Hai tidak sudi mengadu jiwanya. Ia maklum bahwa tengkorak itu berbahaya sekali dan mengandung racun hebat dan sekali saja ia kena cium mulut tengkorak yang kebiru-biruan itu, ia akan mengalami bencana besar. Secepat kilat gerakan pedangnya yang memang mudah berubah-ubah itu, ia balikkan dan kini pedang itu menyambar ke arah rantai. Sebelum tengkorak mengenai mukanya, pedang Liong-coan-kiam dengan dorongan tenaga lweekang sepenuhnya telah berhasil menebas putus rantai itu hingga tengkorak yang berada di ujung rantai terpental jauh dan menggelinding bagaikan bal. Dan pada saat itu juga, kaki kiri Cin Hai dengan cepat melayang dan mendupak dada Thai Kek Losu yang terpental pula seperti tengkorak tadi dan kebetulan sekali ia jatuh ke arah tempat duduk Balaki. Balaki tidak berani menyambut tubuh Thai Kek Losu, hanya cepat sekali tubuhnya melayang pergi dari kursinya dan pada lain saat, tubuh Thai Kek Losu telah jatuh di atas kursi itu dan duduk dengan muka pucat.
"Yagali Khan, kuharap saja sebagai seorang raja besar, kau suka pegang teguh ucapanmu!"
kata Cin Hai yang lalu bertindak pergi keluar dari situ dengan langkah tenang.
Yagali Khan mengertak giginya, jagonya yang nomor satu telah dikalahkan oleh seorang utusan atau pembawa surat saja, apalagi kalau menghadapi panglima besar kaisar!
"Pendekar Bodoh, kami akan pegang janji, akan tetapi lain waktu kalau kami
mengundangmu, harap kau tidak menolak karena takut!" teriaknya, akan tetapi Cin Hai pura-Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
399 pura tidak mendengarnya dan mempercepat langkahnya, oleh karena ia tidak mau mengikat dirinya dengan perjanjian macam itu yang hanya akan memperbesar permusuhan belaka. Dan pula, entah mengapa, ia merasa kepalanya pening sekali dan selalu seperti hendak muntah.
Karena kepeningan kepalanya, maka Cin Hai telah mengambil jalan keliru dan ia tersesat jalan tanpa ia sadari. Pada suatu jalan simpang tiga, seharusnya ia membelok ke kiri, akan tetapi sebaliknya ia membelok ke kanan. Kepalanya makin pening dan kedua kakinya gemetar, akan tetapi ia berlari terus secepatnya.
Ketika ia masuk dalam sebuah hutan yang liar dan terus berlari cepat, tiba-tiba ia mendengar suara harimau mengaum. Akan tetapi, berbeda dengan auman harimau biasa, auman ini luar biasa kerasnya hingga Cin Hai sendiri sampai tergetar jantungnya. Ia lalu menekan perasaan peningnya dan berlari menuju ke arah auman harimau itu karena setelah suara auman itu hilang gemanya, terdengar suara orang bersuara.
Setelah ia tiba di satu tempat terbuka, ia menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengagumkan. Dua orang laki-laki, yang seorang sudah tua dengan rambut dan jenggot putih, yang ke dua setengah tua, sedang tertawa-tawa dan mempermainkan seekor harimau yang luar biasa besar dan galaknya. Cin Hai melangkah mendekati dan menyaksikan sepak terjang kedua orang tua itu. Kakek jenggot putih itu berdiri berhadapan dengan harimau sambil mempermainkan mulutnya seakan-akan mengolok-oloknya. Orang ke dua berdiri di belakang harimau sambil bertolak pinggang. Sikap mereka ini seakan-akan bukan sedang menghadapi seekor harimau yang besar, akan tetapi seakan-akan dua orang anak-anak menghadapi seekor kucing yang jinak!
Tiba-tiba harimau itu menggerang keras dan melompat tinggi, menerkam kakek jenggot putih! Kakek itu diam saja tidak mengelak akan tetapi setelah harimau itu melayang dekat ia segera berseru dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, melalui tubuh harimau dan sambil berjungkir balik di udara ia menjatuhkan diri pula menduduki punggung harimau!
"Heh, heh heh! Hayo menari...!" katanya menepuk-nepuk punggung harimau besar itu dengan kedua tangannya persis anak kecil naik kuda-kudaan!
"Ha, ha, Twako, jangan lepaskan dia, ha, ha!" Laki-laki setengah tua yang berjenggot hitam itu tertawa gembira dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyambar ke arah harimau yang sedang marah sekali itu. Harimau itu menggoyang-goyang tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan ekornya bergerak cepat dan tiba-tiba bagaikan sebatang toya, ekor yang panjang itu menyambar kepala kakek jenggot putih dari belakang. Cin Hai merasa terkejut akan tetapi tiba-tiba seakan-akan kepala kakek itu ada mata di belakangnya, kakek itu menundukkan kepalanya hingga sabetan ekor harimau mengenai tempat kosong.
Sementara itu, Si Jenggot Hitam yang telah melompat di dekat tubuh harimau, lalu mengulur tangan kanan dan menjiwir telinga harimau itu hingga binatang liar ini menggerung-gerung kesakitan.
Ketika ekor harimau itu menyabet kembali, dengan mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi dan menahannya di belakang hingga harimau yang hendak lari ke depan itu tertahan dan tak dapat bergerak.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
400 "Hayo, menyerah tidak kau!" kata kakek jenggot putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya di punggung harimau.
Binatang itu hendak menggulingkan diri dan mencakar kakek itu, akan tetapi ia merasa betapa tubuh kakek itu bukan main beratnya hingga ia tidak kuat berdiri lagi dan perutnya menempel pada tanah.
Cin Hai melihat dengan kagum dan heran akan kelihaian dan kegesitan kedua orang itu, dan pada saat itu, ia mendengar suara keras berbunyi di udara, dan ketika ia memandang, ternyata di udara sedang terjadi pertempuran yang lebih aneh lagi. Seekor burung bangau besar sedang bertempur dengan ramainya melawan seekor burung rajawali. Rajawali itu menyambar-nyambar dengan ganasnya akan tetapi dengan patuknya yang runcing dan panjang bagaikan dua batang pedang itu, burung bangau mempertahankan diri dengan baiknya.
Ketika dua orang laki-laki itu menengok ke atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang berkelahi, mereka juga terkejut sekali.
"Kau mendekamlah!' seru kakek jenggot putih sambil menepuk dan menotok urat di
punggung harimau dan aneh sekali, harimau itu tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi. Ternyata bahwa kakek itu tahu jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat mengirim tiam-hwat (totokan) dengan tepat sekali. Adapun Si jenggot Hitam segera memandang ke atas dan berseru keras,
"Ang-siang-kiam, kau turunlah!!" Kemudian ia mengeluarkan suara bersuit yang keras sekali. Burung bangau itu diberi nama Ang-siang-kiam atau Sepasang Pedang Merah oleh karena patuknya memang berwarna merah dan panjang seperti sepasang pedang.
Mendengar suitan ini, bangau itu segera meluncur turun dengan cepat dan di belakangnya, rajawali itu menyambar pula mengejar.
"Rajawali keparat!" Si Jenggot Hitam itu memaki dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sebatang pelor putih yang bulat meluncur cepat ke arah dada rajawali yang mengejar bangau itu. Akan tetapi, rajawali ini gesit sekali dan sebelum pelor mengenai dadanya, ia telah mengelak ke kiri. Sebutir pelor putih lain menyusul dan mengarah lehernya. Rajawali itu segera mengebutkan sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!
Melihat kelihaian rajawali itu, kedua orang laki-laki itu menjadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan, sedangkan Cin Hai yang juga memandang dengan perhatian lalu teringat akan rajawali yang dulu pernah bertanding melawan Ang I Niocu di atas perahu. Banyak
persamaannya antara kedua burung rajawali itu.
Sementara itu, burung bangau yang diberi nama Ang-siang-kiam itu telah turun di atas tanah dan kini berdiri di dekat kakek jenggot hitam. Tubuh burung bangau itu tinggi sekali hingga merupakan seekor burung bangau yang langka terdapat. Adapun rajawali tadi karena tahu akan kelihaian dua orang manusia yang berada di bawah, lalu hanya terbang berputaran sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa berani turun ke bawah.
Pada saat itu terdengar bentakan halus, "Sin-kim-tiauw, jangan kurang ajar!" Mendengar suara ini, rajawali tadi lalu melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan juga terkejut sekali oleh karena ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya, Bu Pun Su!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
401 Benar saja, ketika kedua orang laki-laki itu pun memandang, dari sebuah tikungan, muncullah seorang kakek tua sekali yang berpakaian penuh tambalan hingga merupakan seorang jembel tua. Rajawali emas tadi telah turun dan kini berjalan di belakang kakek itu bagaikan seekor anjing yang jinak sekali.
"Suhu!" Cin Hai berseru dan segera berlari dan menghampiri, akan tetapi hampir saja ia roboh terguling karena kepalanya terasa pening sekali ketika ia berlari itu. Untung ia masih dapat menetapkan kaki dan segera berlutut.
"Cin Hai, lekas kaududuk dan kumpulkan semangat bersihkan napas!" terdengar kakek itu berseru setelah memandang wajah muridnya. Kakek sakti ini sekali pandang saja tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa beracun yang berbahaya sekali. Cin Hai biarpun merasa heran, segera menurut dan taat akan perintah gurunya itu. Ia segera duduk bersila, meramkan mata dan merangkapkan kedua tangan di depan dada. Tiba-tiba ia merasa betapa telapak tangan suhunya yang halus itu memegang tangannya dan dari telapak tangan suhunya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan kuat melalui telapak tangannya sendiri dan terus membantu hawa kekuatan tubuhnya sendiri. Oleh karena ini, ia merasa betapa hawa tenaga di dalam tubuhnya menjadi berlipat ganda dan kini ia gunakan hawa itu diputar-putar ke seluruh tubuh karena tidak tahu akan maksud suhunya.
"Penuhkan di dada, bersihkan paru-paru dan usir hawa racun yang tadi masuk dari lubang hidungmu!" kakek itu berbisik perlahan.
Cin Hai diam-diam merasa terkejut dari teringatlah ia akan pertempurannya melawan Thai Kek Losu tadi. Jarum-jarum berbisa yang lihai dan yang keluar dari tengkorak Pendeta Sakia Buddha itu hampir saja tadi mengenainya dan menyambar dekat sekali di depan hidungnya hingga ia mencium bau yang amis dan busuk! Bukan main jahatnya jarum-jarum berbisa itu.
Baru baunya telah mempengaruhinya, apalagi kalau sampai terluka oleh jarum itu! Cin Hai segera mengerahkan hawa di dalam tubuh itu di dikumpulkan di dada, mendesak keluar segala kekotoran yang terbawa masuk oleh pernapasan ke dalam paru-paru, hingga ketika ia mendesak hawa itu keluar hidungnya, kembali ia mencium bau yahg amis dan busuk itu!
Ternyata bahwa bau yang amis dari senjata tadi telah mengeram di dalam paru-parunya.
Bukan main berbahaya dan jahatnya!
Sementara itu, kedua orang penakluk harimau tadi berdiri dengan heran dan kagum ketika melihat cara guru itu menyembuhkan muridnya. Mereka maklum bahwa kakek jembel itu tentu lihai sekali, maka mereka tidak berani mengganggu dan hanya berdiri memandang. Tak lama kemudian, Bu Pun Su melepaskan genggaman tangannya pada telapak tangan Cin Hai dan ia berdiri kembali.
"Sudah, sudah bersih..." katanya, Cin Hai membuka kedua matanya dan segera berlutut.
"Senjata siapakah yang hampir mencelakaimu tadi, Cin Hai?"
Cin Hai lalu menceritakan tentang pengalamannya, betapa ia menjadi utusan kaisar, menyampaikan surat kepada Yagali Khan dan betapa ia mengadu kepandaian dengan Thai Kek Losu dan berhasil mengalahkannya tanpa menyadari bahwa ia telah hampir mendapat celaka karena senjata rahasia yang hebat dari pendeta itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
402 Bu Pun Su mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus, bagus memang itu sudah menjadi tugasmu..."
Kedua orang pemilik burung bangau tadi ketika mendengar cerita ini, segera menghampiri dan menjura dengan sikap hormat sekali.
"Ah, tidak mengira bahwa kami berdua mendapat kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan seorang patriot yang gagah perkasa dan suhunya yang sakti. Mohon tanya, siapakah Locianpwe ini dan siapa pula muridmu yang gagah perkasa?" tanya kakek jenggot putih itu sambil menjura kepada Bu Pun Su yang jauh lebih tua darinya.
Bu Pun Su tidak membalas pemberian hormat itu, sebagaimana biasa ia memang tidak menyukai segala penghormatan, lalu menjawab seakan-akan mereka telah lama menjadi kawan baik saja,
"Burung bangaumu itu hebat sekali. Bukankah kau yang bernama Sie Lok dan yang disebut Si Pemelihara Harimau?"
Kakek jenggot putih itu nampak tercengang. "Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar berpemandangan tajam. Memang nama siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie Kiong.
Kami berdua saudara memang tukang memelihara harimau. Bolehkah kami mengetahui nama Locianpwe yang mulia?"
"Siapakah aku ini" Ah, aku sendiri sudah hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja kepada muridku ini!" jawabnya tak acuh sambil mendekati burung bangau dan memeriksa seluruh bulu dan tubuh burung itu dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Berkali-kali ia menganggukkan kepala dan berkata, "Bagus, bagus" seakan-akan seorang ahli barang antik sedang mengagumi sebuah benda kuno yang berharga dan menarik.
Cin Hai yang sudah tahu akan sifat aneh dari suhunya, merasa kurang enak terhadap kedua orang tua itu, maka ia segera menjura dengan hormat sambil berkata,
"Jiwi yang gagah, suhuku itu bernama Bu Pun Su dan siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai."
Kedua orang itu nampak terkejut karena mereka telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai seorang kakek sakti yang luar biasa. Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik mendengar nama Cin Hai karena kakek jenggot putih itu lalu melangkah maju dan bertanya, "Anak muda, wajahmu mengingatkan daku akan seseorang. Siapakah nama ayahmu dan siapa pula nama ibumu?"
Berdebarlah hati pemuda itu. Tadinya ia menyangka bahwa persamaan she dengan kedua orang itu hanya kebetulan saja, akan tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan ganjil di dalam hatinya.
Sambil menggeleng kepala ia menjawab, "Siauwte tidak tahu, tidak tahu siapa nama ayah dan ibu..." sampai di sini ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena hatinya merasa terharu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
403 Tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sambil lalu, "Eh, pemelihara harimau, apakah kau ketahui tentang seorang she Sie yang terbunuh mati sekeluarganya, karena dianggap pemberontak?"
Mendadak kedua orang itu menjadi pucat wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su
dengan mata terbelalak. "Locianpwe... apa... apa maksud pertanyaanmu ini...?" Kedua orang itu teringat bahwa pemuda itu adalah utusan kaisar, maka tentu saja akan memusuhi orang-orang yang dianggap pemberontak.
Akan tetapi, Cin Hai yang mendengar pertanyaan suhunya ini dan yang melihat sikap kedua orang itu, tiba-tiba makin berdebarlah. "Lo-peh, tahukah kau tentang dia yang memberontak itu" Tahukah kau..." Katakanlah, Lo-peh!"
Kakek jenggot putih itu memandang tajam lalu bertanya. "Kau bilanglah dulu apa maksudmu dengan pertanyaan itu" Kau adalah seorang utusan kaisar, apa hubungannya dengan segala pemberontak?"
"Pemberontak she Sie adalah ayahku sendiri!" kata Sie Cin Hai dengan suara pilu.
Kini kakek jenggot putih itu melangkah mundur dan wajahnya menjadi pucat, tanda bahwa ia terkejut sekali. Si Jenggot Hitam yang bernama Sie Kiong itu pun mengeluarkan seruan kaget.
"Apa katamu... " Anak muda... mukamu memang sama benar dengan Sie Gwat Leng,
pemberontak she Sie itu. Dia itu adalah adikku dan kakak dari Sie Kiong. Anak muda, apakah kau mau bilang bahwa kau adalah anak Gwat Leng...?"
Dengan kedua mata terbelalak Cin Hai lalu bertanya, suaranya gemetar. "Katakanlah...
katakanlah... apakah Jiwi kenal kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang menjadi isteri Kwee In Liang?"
"Tentu saja kenal. Dia adalah adik ipar dari Gwat Leng..."
"Ya Tuhan...! Kalau begitu kau adalah paman-pamanku...!" terdengar Cin Hai berkata dengan dada naik turun karena menahan gelora hatinya. "Pekhu... Siokhu... aku Sie Cin Hai memang putera Sie Gwat Leng itu... tak salah lagi..." Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu sambil menahan air matanya!
Sie Lok dan Sie Kiong lalu menubruk Cin Hai dan memeluknya. "Kau anak Gwat Leng yang ikut Bibimu itu..." Ah, tak kusangka kita masih akan dapat bertemu...!" kata Sie Lok.
Bu Pun Su menghampiri mereka dan berkata, "Tidak ada perceraian yang tak berakhir.
Agaknya Thian telah menghendaki hingga kalian dapat saling berjumpa dengan tak tersangka-sangka. Telah lama aku mendengar nama kalian berdua pemelihara harimau, dan telah timbul persangkaanku, maka hari ini memang aku datang hendak menyelidiki. Siapa tahu, kebetulan sekali Cin Hai datang di sini pula dalam keadaan terpengaruh racun jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!"
"Siokhu, Pekhu, Suhuku inilah yang memungkinkan keponakanmu ini masih hidup sampai sekarang!" kata Cin Hai setelah keharuan hati mereka mereda.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
404 "Telah lama kami mendengar nama besar Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah guru dan penolong dari keponakan kami yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima kasih kami, Locianpwe!" Setelah berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu berlutut di depan Bu Pun Su.
"Sudahlah, sudahlah, tak perlu bersikap seperti kanak-kanak," kata Bu Pun Su dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya menyentuh pundak kedua orang itu, mau tak mau keduanya harus berdiri lagi karena tenaga yang amat besarnya mengangkat mereka bangun! Kemudian, Bu Pun Su berkata kepada Cin Hai,
"Muridku, setelah bertemu dengan kedua pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang tuamu. Sekarang aku akan pergi, tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak kuat untuk merantau lebih lama lagi. Aku hendak kembali ke Gua Tengkorak dan membawa Sin-kim-tiauw bersamaku. Kalau kau bertemu dengan Im Giok, suruh dia menyusulku di sana!
Cin Hai memandang kepada muka suhunya dengan bengong. "Suhu maksudkan Ang I
Niocu" Bukankah Niocu sudah... sudah..." ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Kekuasaan Thian tidak ada batasnya, anak bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah Im Giok masih hidup dan bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik burung ini maupun Im Giok berada di pulau itu" Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak dapat bertemu dengan Im Giok, akhirnya aku pun akan dapat menemuinya, entah di sini entah di sana..."
setelah berkata demikian, sekali saja kakek itu mengebutkan lengan bajunya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa berpamit kepada Sie Lok dan Sie Kiong! Memang demikianlah watak Bu Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan segala hal yang dianggapnya kurang perlu! Sin-kim-tiauw memekik keras dan terbang cepat menyusul kakek itu.
Sie Lok menghela napas. "Telah banyak aku melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi baru kali ini aku melihat orang yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi. Mari, Cin Hai, mari kita pulang ke rumahku dan di sana bercakap-cakap dengan leluasa. Hari ini adalah hari yang paling gembira dan baik semenjak kami ditinggal oleh ayahmu."
Sambil digandeng tangannya oleh Sie Kong, Cin Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar dari hutan itu, sedangkan harimau yang telah ditotok tadi, setelah dikalungi tambang dan dipulihkan keadaannya, lalu diseret dan akhirnya berlari mengikuti mereka dengan jinak.
Ternyata bahwa harimau itu pun maklum akan kelihaian kakek itu hingga menyerah kalah dan tidak berani memberontak! Dan demikianlah cara kedua orang she Sie itu menangkap harimau dan menjinakkannya. Setiap kali bertemu dengan harimau buas, mereka lalu mengganggunya, mempermainkannya dengan kepandaian mereka yang tinggi, kemudian,
setelah harimau itu ditundukkan, leher harimau dicancang dan dibawa pulang, bagaikan orang menuntun anjing saja.
Setelah tiba di rumah Sie Lok dan Sie Kiong yang berada di atas sebuah lereng bukit penuh dengan pohon pek dan siong, Cin Hai merasa kagum sekali oleh karena ternyata di sekeliling rumah besar itu terdapat banyak sekali harimau yang berkeliaran di sekitar rumah dengan jinak bagaikan binatang peliharaan biasa.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
405 Ketika Cin Hai mencoba untuk menghitung jumlah harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah ada dua puluh ekor lebih. Kemudian dia mendengar dari pamannya bahwa mereka mempunyai lebih dari empat puluh ekor harimau yang besar dan galak.
Bagaikan anjing-anjing penjaga rumah, ketika melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia baru yang asing, harimau-harimau itu menggereng dan memperlihatkan gigi dan taring akan tetapi ketika kedua orang she Sie itu mengangkat tangan kanan, semua harimau itu menjadi ketakutan dan mengundurkan diri. Bukan main kagum hati Cin Hai melihat pengaruh dan kekuasaan kedua orang pamannya itu atas sekian banyaknya harimau buas.
Setelah masuk ke dalam rumah duduk berhadapan, maka berceritalah Sie Lok kepada Cin Hai.
Ternyata bahwa keluarga Sie terdiri dari empat orang saudara laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng, Sie Ban Leng dan Sie Kiong. Keempat saudara ini di waktu mudanya rajin mempelajari ilmu silat, dan di antara mereka, yang pandai sekali dan tinggi ilmu silatnya adalah Sie Gwat Leng dan Sie Ban Leng oleh karena kedua orang ini mendapat didikan dari seorang pertapa sakti Gobisan, sedangkan Sie Lok dan Sie Kiong mendapat didikan dari seorang hwesio perantau yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi ahli penakluk semua binatang buas. Dari hwesio inilah Sie Lok dan Sie Kiong mendapat ilmu atau cara menaklukkan harimau dan lain-lain binatang buas, bahkan mereka mempelajari cara menotok tubuh binatang-binatang itu.
Setelah tamat belajar, keempat saudara ini bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran kepandaian, ternyata bahwa Sie Gwat Leng adalah yang paling pandai, kemudian Sie Ban Leng, kemudian Sie Lok dan Sie Kiong sungguhpun bagi orang biasa boleh disebut telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi, namun dibandingkan dengan kedua saudaranya yang menjadi anak murid Gobi-san itu, kepandaian mereka masih jauh.
Kecuali Sie Ban Leng yang mempunyai watak buruk, ketiga saudara yang lain adalah orang-orang yang berjiwa ksatria dan gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada hentinya mempergunakan kepandaian untuk menolong sesama manusia yang menderita. Gwat Leng merasa tidak puas sekali melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa, maka seringkali ia menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap kaisar dan pemerintahnya.
Berbeda dengan Gwat Leng dan yang lain-lain, Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu jahat, bergaul dengan segala macam penjahat dan membiasakan diri dengan segala macam permainan judi. Gwat Leng seringkali menegurnya sehingga beberapa kali mereka bercekcok oleh karena Ban Leng tak pernah takut atau tunduk kepada kakaknya ini. Adapun Sie Lok yang menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa oleh karena ia memang jauh lebih lemah dari pada Ban Leng. Namun, betapapun juga, Sie Ban Leng masih berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku jahat secara berterang oleh karena ia takut kepada suhunya yang telah menyuruhnya bersumpah ketika menjadi muridnya dulu. Kepada Gwat Leng ia tidak takut oleh karena biarpun ilmu kepandaian Gwat Leng lebih tinggi, namun ia tahu akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka ia yakin bahwa Gwat Leng tentu takkan tega untuk mencelakakannya.
Kemudian Sie Gwat Leng menikah dengan seorang gadis dusun yang cantik dan halus budi bahasanya. Mereka berdua hidup dengan rukun dan saling mencinta, penuh kebahagiaan.
Setahun kemudian terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sie Hai yang kemudian Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
406 ditambah dengan huruf "Cin" oleh Loan Nio karena nyonya ini tidak ingin kalau ada orang mengetahui bahwa anak itu adalah putera Sie Gwat Leng yang memberontak.
Akan tetapi celakanya ketika melihat isteri Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati jahat di dalam dada Ban Leng yang berwatak buruk itu. Ia mencoba untuk menggoda sosonya sendiri hingga timbullah pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian antara dia dan kakaknya. Ban Leng kena dikalahkan oleh Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng lalu lari meninggalkan saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tak terdengar lagi berita tentang dirinya. Akan tetapi, setelah guru Gwat Leng, pertapa Gobi-san itu meninggal dunia, mereka mendengar lagi tentang keadaan Ban Leng dan ternyata bahwa Ban Leng telah berada di kota raja, menjadi seorang jago muda yang jarang mendapat tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat julukan Gobi Sin-liong atau Naga Sakti dari Gobi-san!
Sie Gwat Leng masih saja bercita-cita untuk menolong kaum tani dan rakyat jelata yang lemah dan miskin. Ia mulai dengan usahanya di dalam dusun sendiri. Ia mengumpulkan orang-orang kampung, mendidik mereka dengan ilmu silat, lalu mendesak dengan kekerasan dan pengaruh kepandaiannya kepada mereka yang tergolong hartawan untuk mengulurkan tangan membantu hingga ia berhasil membuat kampungnya menjadi makmur. Semua orang bertubuh sehat dan mendapat didikan ilmu silat hingga dapat menjaga kampung dari serangan orang jahat dan tidak ada orang yang mengalami kemelaratan karena semua orang mendapat penghasilan yang cukup.
Hal ini terdengar oleh kampung lain yang merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa keluarga Sie hendak mengadakan pemberontakan dan telah bersiap dengan melatih orang-orang dusun dengan ilmu silat untuk kelak digunakan memberontak dan memukul kerajaan!
Hal ini terdengar oleh seorang perwira yang bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun itu.
Perwira ini orangnya sombong dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia telah lancang mengadakan tindakan sendiri untuk mencari pahala. Ia membawa anak buahnya sebanyak empat puluh orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya mengamuk dan tidak hanya memukul dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu anak bini orang dan merampas
harta mereka! Tentu saja Sie Gwat Leng menjadi marah sekali. Ia mengumpulkan orang-orang dusun dan melawan penyerbu-penyerbu itu hingga tentara di bawah pimpinan perwira sombong itu dapat dimusnakan berikut pemimpinnya!
Segera kota raja mendengar tentang peristiwa ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai pemberontak! Kaisar lalu memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin serombongan
tentara terdiri dari seratus orang untuk menawan pemberontak-pemberontak itu. Dan di dalam rombongan ini ikut pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk
membalas dendamnya kepada kakaknya sendiri. Walaupun ia tidak segera terang-terangan ikut di dalam rombongan Kwee-ciangkun, akan tetapi diam-diam ikut pergi kembali ke dusunnya sendiri dengan maksud membantu penindasan pemberontak, karena ia maklum bahwa dengan adanya ketiga saudaranya di dalam dusun, akan sukarlah bagi tentara kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.
Terjadilah pertempuran hebat antara tentara kerajaan dan orang-orang dusun di bawah pimpinan ketiga saudara Sie yang melakukan perlawanan karena mereka telah merasa benci Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
407 sekali terhadap kerajaan, yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang jahat dari para tentara di bawah pimpinan perwira yang dulu menyerbu dan berhasil dihancurkan.
Benar saja dugaan Ban Leng. Kwee Ciangkun tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang benar-benar kosen dan tangguh. Selagi ia merasa bingung, datanglah Sie Ban Leng membantunya. Dengan licik dan curang sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan penyesalannya, lalu berkata bahwa ia datang hendak membantu perjuangan saudara-saudaranya mengusir barisan kerajaan. Tentu saja Gwat Leng, Sie Lok dan Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima saudara yang sesat ini dengan kedua tangan terbuka.
Tidak tahunya, pada malam harinya, ketika Sie Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya memimpin orang-orang dusun melawan tentara negeri, Ban Leng berlaku curang dan menotok kedua pundak kakaknya yang sedang tidur itu! Sie Lok dan Sie Kiong melihat hal ini menjadi marah sekali lalu menyerang Ban Leng yang berkhianat akan tetapi kepandaian mereka belum dapat melawan Ban Leng dan pada saat itu, sesuai dengan rencana Ban Leng dan Kwee-ciangkun, tentara negeri menyerbu!
Dalam keadaan tidak berdaya karena totokan Ban Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng ditawan, orang-orang kampung banyak yang mati dan sebagian pula ditawan, kampung dibakar habis dan semua keluarga Sie ditawan pula! Di dalam suasana ribut itu, Ban Leng hendak menculik dan mengganggu isteri Gwat Leng, akan tetapi Kwee In Liang dengan marah mencegahnya.
"Semua orang tidak boleh mengganggu wanita, siapa melanggar akan dihukum!" katanya dengan garang. Ban Leng sendiri sebetulnya tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba isteri Gwat Leng yang merasa putus harapan itu, menggunakan kesempatan ini untuk membenturkan kepala sendiri pada dinding hingga kepalanya menjadi pecah dan tewas pada saat itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng lalu meninggalkan tempat itu.
Adik perempuan isteri Gwat Leng yaitu Loan Nio, yang pada waktu itu sudah remaja puteri, sambil menggendong Sie Hai yang masih kecil mencoba lari, akan tetapi ia ditangkap oleh orang anggota tentara yang kagum melihat kecantikannya. Akan tetapi, untung bahwa pada waktu itu Kwee In Liang melihat hal ini terjadi. Perwira ini memberi pukulan keras hingga tentara itu pingsan, sedangkan ia lalu menolong Loan Nio dan anak kecil yang disangka anak Loan Nio itu, dibawa ke dalam rumahnya.
Loan Nio lalu diambil sebagai pelayan di rumah gedung Kwee In Liang, dan gadis yang cerdik ini lalu menitipkan Sie Hai kepada seorang wanita di luar gedung dengan memberi belanja tiap pekan, yaitu uang gajinya sendiri, seluruhnya diberikan kepada wanita itu.
Demikianlah, Sie Hai yang kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu baru berusia setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan setelah Loan Nio diambil sebagai isteri oleh Kwee-ciangkun, barulah dia memberi tahu dengan sejujurnya kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera Sie Gwat Leng. Karena mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini, Kwee-ciangkun mau juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.
Adapun Sie Lok dan Sie Kiong yang memiliki ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah mereka tidak berhasil menghukum Ban Leng yang jahat dan yang telah mengkhianati kakak sendiri itu. Mereka lalu merantau dengan hati duka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa Gwat Leng dijatuhi hukuman mati dalam keadaan masih lumpuh, sedangkan isterinya mati Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
408 membunuh diri dan keluarga lain dihukum mati pula, kedua saudara ini hanya bisa menangis dan sedih. Mereka merasa benci sekali kepada manusia, oleh karena dianggapnya manusia adalah mahluk yang sejahat-jahatnya. Seorang saudara kandung sendiri seperti Ban Leng dapat berlaku jahat itu, apalagi orang lain" Maka, mereka lalu mengasingkan diri di hutan, dan menaklukkan banyak harimau untuk menjadi kawan-kawan dan penjaga mereka!
Mendengar cerita Sie Liok ini, Cin Hai merasa sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.
"Pek-hu dan Siok-hu, di manakah adanya Paman Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan biadab itu" Ingin sekali aku melihat muka orang yang berhati binatang itu!"
katanya gemas dan marah, sambil mengepal tangannya.
"Entahlah, kami berdua dulu pernah mencarinya untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali kami telah kena dikalahkan dan kemudian kabarnya ia merasa menyesal atas
perbuatannya yang terkutuk itu dan ia telah mengasingkan diri entah di mana."
Kemudian, atas permintaan kedua pamannya, Cin Hai dengan singkat lalu menceritakan pengalamannya. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali. Akan tetapi, mereka masih penasaran kalau belum mencoba dan mengukur sendiri kelihaian keponakannya ini, maka Sie Kiong yang berwatak gembira lalu berkata,
"Cin Hai coba kauperlihatkan kepandaianmu agar hatiku puas."
Cin Hai tersenyum dan mengikuti mereka berdua keluar dari rumah di mana terdapat halaman yang cukup luas.
"Bagaimanakah aku harus memperlihatkan kebodohanku?" tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.
"Kaulawanlah kami berdua, agar kami dapat mengukur apakah kepandaianmu dapat
dibandingkan dengan Ayahmu atau Pamanmu yang jahat itu?" kata Sie Lok, yang segera menggulung lengan bajunya. Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi ilmu kepandaian kedua pamannya ini, namun melihat gerakan mereka ketika menawan harimau tadi, ia merasa yakin bahwa ia tentu akan dapat mengalahkan mereka.
"Baiklah, aku akan berusaha menjaga diri," kata Cin Hai dengan tenang.
"Awas serangan!" tiba-tiba Sie Kiong berseru gembira dan ia lalu menerkam dengan serangan yang cukup lihai berbahaya sedangkan Sie Lok yang hendak menguji kelihaian keponakannya juga segera membarengi menyerang dari lain jurusan. Cin Hai mengerti akan kehebatan serangan kedua pamannya ini, maka tubuhnya lalu berkelebat dan ia mengeluarkan ginkangnya yang sudah sempurna. Kedua mata Sie Lok dan Sie Kiong menjadi kabur ketika mereka melihat betapa tubuh keponakan itu tiba-tiba berkelebat dan lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan tiba-tiba mereka mendengar suara Cin Hai di tempat yang jauhnya tiga tombak lebih, "Aku berada di sini."
Bukan main heran kedua orang tua itu, dan dengan cepat mereka lalu menerjang lagi, kini dengan cepat sekali agar jangan sampai pemuda itu mendapat kesempatan mengelak, Sie Lok menyerang dengan jari tangan kanan dibuka dan menotok ke arah jalan darah di lambung Cin Hai, sedangkan Sie Kiong menyerang dengan pukulan tangan miring ke arah leher
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
409 keponakannya. Cin Hai berseru keras, dan dengan menundukkan kepala ia dapat mengelak dari pukulan Sie Kiong, sedangkan untuk menghadapi totokan Sie Lok, ia mengulur tangan dan mendahului dengan totokan ke arah pergelangan tangan pamannya itu. Sie Lok terkejut dan menarik kembali tangannya lalu menyerang lagi dengan hebat, demikian pula Sie Kiong.
Akan tetapi, Cin Hai lalu mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari sambil berkata, "Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu." Setiap serangan kedua orang tua itu ia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang lemas seakan-akan orang menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya itu tidak mampu mengenai tubuhnya sama sekali.
Kedua orang tua itu merasa kagum sekali dan juga heran betapa dengan menari-nari saja keponakannya ini dapat mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Cin Hai memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya kepada kedua pamannya,
karena ia ingin membuat kedua pamannya itu girang dan senang. Maka setelah memainkan Sianli Utauw berapa belas jurus untuk menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia lalu merubah gerakannya dan berkata pula,
"Dan sekarang aku mainkan kepandaian pokok ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu Pun Su!" Setelah ia berkata demikian, ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan pamannya dan ia lalu mengembalikan setiap serangan dengan gerakan yang sama seperti ilmu silat kedua pamannya. Kalau tadi menyaksikan Sianli Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, kini menghadapi betapa keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka sendiri, kedua orang she Sie itu setelah mengeluarkan ilmu pukulan yang paling sulit dan berbahaya akan tetapi yang dikembalikan dengan sama baiknya oleh Cin Hai, keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan cepat melompat mundur.
"Nanti dulu! Dari mana pula kau mempelajari ilmu silat kami itu?" tanya Sie Lok dengan terheran-heran dan mata terbelalak!
"Aku belum pernah mempelajari ilmu-ilmu silat itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah melatihku untuk mengetahui semua dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya sama, hingga tiap kali aku diserang dengan semacam ilmu silat, aku dapat meniru gerakan itu dan mengembalikannya kepada lawan dengan jurus itu juga."
Sie Lok dan Sie Kiong saling pandang dengan heran dan mereka ini hampir tak dapat mempercayai keterangan ini, akan tetapi oleh karena tadi mereka telah menyaksikannya sendiri dan beberapa belas jurus pukulan yang paling terahasia dan terlihai dari mereka telah dilakukan dengan sempurna oleh Cin Hai, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Bukan main!" kata Sie Kiong. "Akan tetapi Kanda Ban Leng memiliki kepandaian Eng-jiauw-kang yang lihai sehingga ia sanggup menghadapi kami berdua yang memegang senjata dengan bertangan kosong saja. Maka cobalah kau menghadapi kami dengan tangan kosong pula sedangkan kami menyerang dengan senjata tajam!" Sie Lok juga menyetujui cara percobaan kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk mengambil dua batang pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya, kedua orang tua ini lalu
menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,
"Cin Hai kau berhati-hatilah, karena ilmu pedang kami bukanlah kepandaian rendah!" Lalu ia melangkah maju dan mulai dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera memutar pedang di atas kepala dan mengirim serangan hebat.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
410 Cin Hai lalu memperlihatkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari Bu Pun Su, yaitu Kong-ciak Sin-na. Tubuhnya dengan ringan sekali melompat-lompat ke atas bagaikan seekor burung merak sedang terbang saja dan kemudian dari atas ia menghadapi serangan pedang dengan tendangan dan cengkeraman untuk merampas senjata kedua pamannya.
Sementara itu, semenjak tadi, burung bangau yang besar itu hanya berdiri memandang, kadang-kadang terbang ke atas dan berputaran di atas kepala ketiga orang yang sedang bertempur. Akan tetapi, setelah ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai melayang ke atas bagaikan burung, ia lalu memekik keras dan tubuhnya melayang lalu menyambar dengan sepasang patuknya yang runcing bagaikan pedang itu digerakkan secara hebat menyerang Cin Hai.
"Ang-siang-kiam, jangan!" teriak Sie Lok, akan tetapi Cin Hai lalu berkata sambil tersenyum.
"Biarlah, Pek-hu, dia mau ikut bergembira, mengapa tidak boleh?"
Demikianlah, dengan ilmu Silat Kongciak Sinna, Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu oleh burung bangau itu hingga ia dikeroyok tiga. Akan tetapi ilmu silatnya sungguh hebat dan tubuhnya seakan-akan tak pernah mengambah bumi. Tiap kali tubuhnya turun, ia lalu menggunakan ujung sepatunya untuk menggenjot lagi hingga tubuhnya melayang ke atas.
Serangan burung bangau itu ia gagalkan dengan kepretan tangan ke arah paruh burung itu hingga tiap kali jari tangannya menyentuh paruh burung bangau itu dan hampir jatuh ke bawah! Sementara itu, kedua pedang Sie Lok dan Sie Kiong yang bergerak bagaikan dua ekor ular sakti menyambar-nyambar itu dapat dihindarkannya dengan tendangan kaki dan
cengkeraman yang sebaliknya bahkan mengancam pergelangan tangan mereka dan bagian tubuh lain!
Setelah menghadapi serangan ketiga pengeroyok ini sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Cin Hai melompat turun dan berkata,
"Sekarang serelah permainan Kong-ciak Sin-na tadi, aku akan mainkan Pek-in-hoatsut, juga yang diturunkan oleh Suhu Bu Pun Su!"
Jauh sekali perbedaan ilmu silatnya ini dengan yang tadi. Kalau tadi gerakannya gesit sekali, sekarang ia berdiri dengan tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan tangannya digerak-gerakkan dan tiba-tiba dari kedua lengan ini mengebul uap putih! Burung bangau menyambar turun, lalu dikebut dengan tangan kiri dan ketika uap putih itu menyambar, burung itu memekik keras dan terlempar, lalu terbang lagi ke atas tanpa berani menyerang lagi!
"Hebat!" kata Sie Lok yang segera menyerang lagi, disusul oleh Sie Kiong. Akan tetapi alangkah terkejut mereka ketika sekali saja Cin Hai menangkis, pedang mereka hampir saja terlepas dari pegangan!
"Sungguh lihai!" kata Sie Lok sambil berhenti menyerang dan memandang Cin Hai dengan wajah berseri. "Cin Hai, kalau tidak menyaksikan dan merasakan sendiri, aku takkan dapat percaya bahwa kau memiliki ilmu kepandaian seperti ilmu sihir saja! Ah, anakku, jangankan baru seorang Ban Leng, biar dia menjadi tiga pun tak mungkin dapat mengalahkan kau!
Hebat, hebat!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
411 "Akan tetapi, semenjak tadi Hai-ji (Anak Hai) hanya menangkis dan menjaga diri saja. Aku belum merasai kehebatan serangan balasannya. Cin Hai, coba kau cabut pedangmu agar kami dapat pula menyaksikan kiamsutmu!"
"Baiklah," kata Cin Hai sambil mencabut keluar Liong-coan-kiam dari pinggangnya. "Nah, Pek-hu dan Siok-hu, bersiap sedialah, aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang Daun Bambu!" Sie Lok dan Sie Kong segera memutar pedang mereka untuk melindungi diri dan jangankan pedang lawan, biarpun air sepikul pun kalau disiramkan ke arah mereka tak mungkin akan dapat menembus sinar pedang mereka yang melindungi tubuh!
Cin Hai lalu menggerakkan pedangnya. Gerakannya cepat sekali dan matanya yang tajam sudah dapat melihat lowongan-lowongan di antara sinar pedang kedua pamannya. "Awas!"
teriaknya dan dua kali pedangnya berkelebat secara luar biasa sekali dan terdengarlah kain robek dua kali dan Cin Hai menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak!
Sie Lok dan Sie Kiong merasa heran dan segera menghentikan gerakan mereka pula.
Alangkah terkejut hati mereka ketika melihat betapa baju di dada mereka telah robek dan bolong terkena ujung pedang Cin Hai yang baru menyerang segebrakan saja itu!
Keduanya lalu melempar pedang masing-masing dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula, mata mereka berlinang air mata karena girang, puas dan bangga.
"Hai-ji... kalau bangsat Ban Leng itu berada di sini, akan mampus dia di tanganmu!" kata Sie Lok.
"Cin Hai, anakku yang gagah perkasa! Ah... kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu ia akan merasa bangga sekali melihat kau selihai ini..." kata Sie Kiong dan orang tua berjenggot hitam ini menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi dua butir air mata yang terloncat keluar dari kedua matanya.
Dengan hati terharu Cin Hai lalu bertanya, "Di manakah makam Ibu" Dan di manakah pula jenazah Ayah dikuburkan?"
"lbumu dikuburkan di dusun Kang-cou, dan jenazah ayahmu yang dibakar oleh para petugas di kota raja, dapat kami curi dan kami tanam pula di dekat makam Ibumu. Dusun itu berada di kaki Bukit Houw-san."
Untuk dua pekan lamanya Cin Hai tinggal bersama kedua pamannya dan selama itu ia mempelajari cara-cara menangkap binatang buas. Burung bangau menjadi kawan baiknya dan ia merasa suka sekali kepada burung ini hingga burung itu menjadi jinak dan ke mana ia pergi burung itu selalu mengikutinya. Melihat hal ini, kedua pamannya lalu menyatakan bahwa burung itu diberikan kepada Cin Hai untuk menjadi kawan seperjalanannya.
"Bawalah Ang-siang-kiam, dia dapat menjadi kawan baik dalam perjalanan," kata Sie Lok dan Cin Hai menerimanya dengan girang hati.
Dalam waktu senggang, Cin Hai menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menceritakan pula tentang sahabat-sahabatnya, tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An den Ma Hoa, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
412 dan tidak lupa pula menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya sebagai calon isterinya hingga kedua orang tua itu menjadi girang sekali.
"Kelak kalau kau akan menikah, tak boleh tidak kau harus memberi kabar agar kami dapat datang minum arak kegirangan."
Kemudian Cin Hai berpamit karena ia telah terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya tidak dapat menahannya dan berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya
dengan semua harimau itu, pergi dengan berlari cepat. Burung bangau yang besar terbang di atasnya dan ikut pergi bersamanya.
Karena Cin Hai melakukan perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin, sambil tidak lupa mencari-cari jejak Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian tibalah ia di kaki bukit tempat tinggal Yousuf. Ia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu telah kosong dan tiada bermanfaat lagi!
Dengan hati berdebar cemas ia berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang ia kuatirkan, rumah Yousuf telah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan wajah pucat Cin Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi ia menjadi lega oleh karena tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf menjadi korban api yang membakar rumah. Ia berdiri di depan tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.
"Pek-gin-ma!" ia berseru dan melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu. Dan di dalam sebuah hutan ia melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang-kadang meringkik sedih seakan-akan kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Ketika Cin Hai lari
menghampiri, ia mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan hendak
menceritakan sesuatu.
Cin Hai memeluk leher kuda itu dan merasa menyesal sekali mengapa tidak menjadi kuda saja agar dapat mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma tentang kekasihnya!
"Pek-gin-ma, apakah yang terjadi pada mereka" Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah aku kepada Lin Lin..."
Akan tetapi, kuda itu hanya menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya. Sementara itu, burung bangau yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat daerah yahg asing baginya itu. Cin Hai lalu menunggang Pek-gin-ma dan bersuit memanggil Ang-siang-kiam yang segera meluncur turun dan mengikuti ke mana pemuda itu melarikan kudanya. Cin Hai turun dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu. Ketika ia sedang berdiri di tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-gin-ma, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki. Ia segera melompat ke belakang sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan seorang penduduk dusun yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian setelah merasa bahwa ia tidak kuasa
melepaskan diri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.
"Ampun, Hohaii, jangan bunuh aku," katanya dengan tubuh menggigil.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
413 "Berdirilah, sahabat. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang telah terjadi di pegunungan ini. Ke mana perginya semua penduduk dusun ini dan tahukah kau ke mana perginya orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng itu?"
Ketika melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang-orang Turki yang terdiri dari puluhan orang banyaknya menunggang kuda-kuda besar sambil menyerang dusun-dusun seperti orang-orang gila. Kemudian orang-orang Turki menyerbu ke atas bukit untuk menangkis Yousuf. Terjadilah pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lalu melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!
"Entah ke mana mereka melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki itu!" pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya.
Cin Hai merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai, pikirnya. Ia heran sekali, siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin yang sudah ia latih dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu" Ia benar-benar tidak mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung, diikuti oleh burung bangau yang dengan setia terbang rendah di atas kepalanya.
Marilah kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu.
Telah diceritakan di bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga ia terguling ke dalam tebing, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu hingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam tebing saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa dari sentuhan tangan ini!
Namun, betapapun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biarpun juga tidak berdaya, namun ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan! Akhirnya ia berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh di permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa betapa tangan Ma Ho yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan
tangannya pada cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!
Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit dan seakan-akan
sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Ia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.
"Ma Hoa..." Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu mempunyai banyak cabang dan daun, hingga ketika tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
414 Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun ia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Ia ingin melempar dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya" Ia harus menyelidiki dulu dengan teliti. Maka ia lalu merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Ia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati ia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.
Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, ia dapat juga meninggalkan pohon di mana ia tersangkut tadi dan akhirnya ia mendapatkan sebuah gua di dinding tebing.
Pendekar Kidal 9 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Pendekar Super Sakti 14

Cari Blog Ini