Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Lin Lin...!"
Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,
"Enci Im Giok...!" pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena ia merasa pening sekali. Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas dalam pelukannya!
Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini. Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan gua itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
582 akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan gua, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.
Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ia bangun dan ketika melihat bahwa ia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, ia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian ia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.
"Enci Im Giok..."
"Lin Lin, kau kenapakah...?" bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya. Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang, ketika ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.
"Enci Hoa... kau juga datang?""
"Eh, eh, anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?" tegur Ma Hoa. "Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan hebat hingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?"
Lin Lin memandangnya dengan terheran-heran. "Benarkah" Sudah datang lagikah
penyakitku itu" Ah, celaka..." dan ia lalu menangis sedih.
Ma Hoa dan Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benarbenar tidak mengerti dan terheran-heran.
"Lin Lin," kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. "Tadi ketika Ma Hoa masuk ke dalam gua ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian tiba-tiba kau jatuh pulas!
Apakah sebabnya semua ini" Ceritakanlah semua pengalamanmu karena kami sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan
sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ah, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?"
Lin Lin lalu menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam
kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian ia terluka dan
melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun dan mendapatkan obat penawar pengaruh racun dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya "penyakit gila" yang kadang-kadang menyerangnya itu.
Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak
menolong jiwa Lin Lin dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat dapat ditewaskan oleh Cin Hai hingga sebuah diantara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, telah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.
"Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiok-couw?" tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
583 "Mereka sedang pergi ke dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari
keterangan tentang pengaruh obat itu."
Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu Dara Baju Merah yang dulu dianggapnya telah tewas itu, biarpun ia telah mendengar Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup.
Juga ia merasa gembira mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput daripada bahaya kematian bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.
"Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko, mengapa ia tidak ikut bersamamu" Aku telah rindu sekali kepadanya," kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.
"Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan gua rahasia yang telah ditemukan itu," kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.
Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan
Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu kini telah mempunyai calon.
"Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, agar kau dihajarnya!" kata Ang I Niocu balas menggoda. Sementara itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, ia berbisik,
"Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!" Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan ia
menggunakan saputangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.
"Terima kasih, Adikku, terima kasih," jawabnya sederhana.
Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Ketika mereka tiba di tempat itu, pondok di mana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, hanya terjaga oleh empat orang
Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.
Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.
"Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!" baru kali ini Cin Hai melihat suhunya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin. "Obatnya yang kausebut daun semut merah itu, benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?"
"Benar, siapa yang meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?" jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
584 "Apakah setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?"
"Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!" jawabnya.
"Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?"
"Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Kemudian aku menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah pohon kembang yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu telah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, maka kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!"
Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak membohong.
"Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah seperti orang gila dan kemudian tertidur setelah marah-marah?" tanyanya.
Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Memang, memang demikian," katanya dan sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, "Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu mengalir di seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat yang besar, peristiwa itu tidak mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada saat kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!"
Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri, "Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu" Dapat sembuh kembali atau tidak?" tanyanya tak sabar.
"Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula ia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula ia akan terserang hal itu."
Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.
"Dan di mana perginya Hai Kong dan kawan-kawannya?" tanya pula Bu Pun Su.
"Ke mana lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di gua itu?" kata Dukun Mahambi sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Manusia-manusia macam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka tak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
585 Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai, "Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak ia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan
menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai kejahatan pula."
Cin Hai mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke gua di mana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke gua Tun-huang!
Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di gua Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Ia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, maka ia dapat menduga bahwa pendeta jahat dan kawan-kawannya itu tentu berada di dalam gua, sedang mengambil harta pusaka.
Dengan sekali melompat, Bu Pun Su telah berada di depan gua, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.
"Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih berada di sini!"
Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari gua itu dengan muka merah karena marah.
"Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau telah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!"
"Apa katamu?" bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.
"Harta Pusaka itu telah kaucuri dan kau bawa pergi, mau berkata apalagi?" Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!
Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tidak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan
berkata, "Aku masih belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!"
Secepat kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam gua dan tak lama kemudian ia keluar lagi dan berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
586 "Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut tulang dan akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha!" Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.
"Kaumaksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu jago tua Hok Peng Taisu?" tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.
"Dasar kau yang bodoh," tegur Bu Pun Su. "Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu"
Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin!
Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang serakah dan bodoh!"
"Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!" tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya. Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dulu.
"Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada orang sedunia lagi" Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!"
"Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan membunuhmu!" Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat pergi dari situ. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan sekarang harta pusaka telah tercuri orang lain, untuk apa mereka harus memusuhi kakek jembel itu"
Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar telah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu. Orang ini masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, lalu
menggunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut :
Harta pusaka di gua rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka!
Tadinya Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang mempergunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu. Baru setelah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.
Mereka ini tidak tahu bahwa diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka tentang maksud mereka mencari Hok Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
587 Pen Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke gua di mana Lin Lin berada.
Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhunya itu tiba di gua, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Ia lalu menceritakan segala
pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang
menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.
"Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan," berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. "Ketika ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, ia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu Lin Lin?"
Gadis itu sambil menarik napas panjang menggeleng kepala. "Entahlah, aku tak ingat sama sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi."
"Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tidak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk orang!" kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasihat ini.
Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya, "Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu telah datang. Ingat baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!" Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum bahwa kalau tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!
Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan tentang perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang suhunya ini akan tetapi ia merasa kecewa juga mengapa suhunya itu tidak datang menemuinya.
"Dan satu hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan," kata pula Bu Pun Su. "Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan
mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhumu agar ia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang amat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Gua Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!" Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar.
Terdengar suaranya di luar menggema, "Tiga burung kubawa serta!"
Ketika semua orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.
Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
588 "Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana menunggu kalian berdua?"
"Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dulu sebelum aku dan Hai-ko
menyusul ke sana," kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya. Ang I Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan gua itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.
"Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tak baik kalau selama itu kita menganggur saja. Lebih baik kita bersemadhi dan membersihkan napas melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu."
Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, ia lalu duduk bersila di dalam gua itu, bersamadhi memperkuat tenaga dalamnya.
Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.
Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.
"Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin karena munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apabila sepekan telah lawat dan ia telah sembuh, ia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini."
Kemudian, Kwee An lalu menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk
mengetahui hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng.
Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat. Mereka berdua pergi ke gua-gua Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di sanalah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan gua rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.
Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-jaga itu, Nelayan Cengeng berkata,
"Mungkin sekali harta pusaka itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?"
Kwee An menjawab, "Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana kalau Bu Pun Su Locianpwe datang dan mempersalahkan kami?"
"Jangan kuatir, betapapun juga, aku tetap tidak percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pasti ia terkena pengaruh jahat, Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
589 memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapapun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat harta pusaka terjatuh ke tangan orang-orang jahat."
"Kalau kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?" tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.
Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena ia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air mata. "Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu" Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu adalah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu saja sudah sepatutnya kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!"
"Yang berhak?" tanya Kwee An dengan heran. "Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya kembali?"
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, "Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!"
Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali den cepat mereka menengok.
Ternyata di atas mereka telah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dan memegang sebatang tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin ia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.
"Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?"
tiba-tiba kakek botak itu bertanya.
Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata,
"Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!"
Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.
"Nelayan Cengeng, biarpun matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya," katanya.
Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, ia teringat akan cerita gadis itu tentang suhunya yang baru, maka ia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.
"Bagaimana dengan murid kita itu?" tanya Hok Peng Taisu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
590 "Baik, baik, dan terima kasih kuhaturkan kepadamu yang telah memberi bimbingan padanya.
Kepandaian yang kauberikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!" jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.
"Ah, memang kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang kita bicara tentang hal penting. Eh, siapakah anak muda ini?"
"Dia adalah calon suami murid kita."
Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang kagum. Baru mendengar pertanyaan
Kwee An tentang harta itu tadi saja sudah membuat ia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.
"Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku hendak mempergunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!"
Nelayan Cengeng memandangnya tajam, "Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?"
"Ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang kauberikan kepada pemuda ini tadi!"
Nelayan Cengeng mongangguk-angguk. "Kalau begitu, aku setuju membantumu."
Kakek botak itu berkata, "Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagi harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin.
Bagaimana, sanggupkah kalian?"
Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian,
Hok Peng Taisu minta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan mata. Nelayan Cengeng menarik napas panjang dan berkata,
"Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan."
Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah gua itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat laksana seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga telah tertotok roboh olehnya.
"Bukan main!" seru Kwee An dengan kagum sekali karena ia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu untuk melawan ataupun melihatnya!
Tak lama kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari gua dan menuju ke tempat mereka dan kini ia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
591 "Nah, kalian terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, diantara harta pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang
pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah kepadamu.
Nah, aku pergi!" Dan sebelum Kwee An maupun Nelayan Cengeng membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!
Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya. Ketika harta pusaka itu diperiksa, ternyata memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, maka Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,
"Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima sebagian daripada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang amat membutuhkannya."
Yousuf menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata. "Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda mempergunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan
pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki."
"Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!"
Yousuf lalu menyuruh orang membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka itu.
Demikian pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An sebagaimana yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.
"Kalau demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Pek Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw," kata Ang I Niocu. "Kita harus menjalankan tugas membagi-bagi harta pusaka itu dengan baik."
"Harta ini harus cepat dibagi dan jangan ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita," kata Kwee An. "Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi."
"Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai" Apakah kita tidak harus menanti sampai Lin Lin sembuh?" Ma Hoa berkata ragu-ragu.
"Tak perlu," jawab Ang I Niocu. "Bukankah Susiok-couw telah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Gua Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh" Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur."
"Biarlah aku yang menanti mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini," Yousuf menyatakan kesanggupannya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
592 Semua orang telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An masing-masing mendapat sekantung. Setelah berpamit kepada Yousuf dan kawan-kawannya, empat orang pendekar itu meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin. Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka.
Timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang menderita sengsara.
Setelah tinggal di dalam gua batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin telah pulih kembali seperti sediakala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali.
Hal ini dapat ia rasakan karena kalau biasanya tiap hari ia sering merasakan kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga terpaksa Cin Hai memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, kini denyutan kepala itu lenyap sama sekali! Bahkan ketekunan berlatih dan samadhi membuat ia dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.
Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di depan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya,
"Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau telah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhumu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang telah
menolongmu."
Lin Lin dan Cin Hai terkejut. "Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?"
Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata,
"Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau."
Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. "Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan telah memberi berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan kau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!" Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin maupun Cin Hai menjadi merah mukanya.
"Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah," kata Lin Lin dengan girang.
Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya. "Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dulu menyusul Suhumu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting." Kemudian orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu dan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
593 menuturkan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.
"Sedangkan emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan dulu ke negeriku agar dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda."
Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu memang amat penting dan memang telah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara dan bangsanya, maka
terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.
"Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku."
Setelah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan tentang tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Bukan main terkejut dan marahnya Lin Lin mendengar ini, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.
Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru dan sucinya dan sambil menangis ia
bersumpah, "Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalas dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci."
Setelah berdiam di makam subo dan sucinya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini telah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!
Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut ia berkata, "Lin-moi, jangan kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang telah melepaskan hwesio itu dulu dan tidak membinasakannya sehingga ia masih hidup dan kini mendatangkan malapetaka pula."
Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.
"Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!"
Melihat senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang amat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena ia tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu mereka melakukan perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya, seringkali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan dalam pandangan mata Cin Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
594 Hai, apabila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya daripada tarian Ang I Niocu sendiri!
Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya ia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.
Memang, bagi siapa yang pernah mengalaminya, akan mengaku bahwa tidak ada
kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat daripada berdua dengan seorang tunangan yang saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau dan saling menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati. Akan tetapi, Lin Lin dan Cin Hai adalah orang-orang muda yang telah mendapat gemblengan dan didikan dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka menjadi kuat dan batin mereka telah bersih. Mereka telah menjadi majikan daripada nafsu sendiri dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya orang-orang lemah iman yang dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang menunggangi mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah hutan yang besar, mereka melihat dua orang berlari-lari cepat dengan wajah seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat. Dua orang itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah sekali dan yang memelihara kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya, matanya tajam dan sikapnya agung.
Sedangkan orang kedua adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, bermata jeli dan bermuka manis sekali, akan tetapi pada waktu itu wajahnya kemerah-merahan dan matanya mengandung kedukaan besar,
"Mereka seperti orang ketakutan, mari kita tolong!" kata Lin Lin dan Cin Hai mengangguk.
Mereka lalu menghadang di tengah jalan dan Cin Hai berseru,
"Ji-wi harap berhenti dulu!"
Kedua orang yang sedang berlari itu menahan kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal mereka berhenti, memandang kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.
"Mengapa ji-wi berlari-lari seakan-akan ada yang mengejarnya?" tanya Lin Lin sambil memandang dengan kagum dan hati suka kepada gadis manis tadi.
"Memang kami sedang dikejar-kejar orang, akan tetapi persoalan ini adalah persoalan bangsa kami sendiri dan sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi," kata laki-laki tadi dengan suara gagah, menandakan bahwa ia mempunyai keangkuhan dan ketinggian hati, tidak suka minta tolong kepada orang lain.
Cin Hai tersenyum. "Sahabat, ketahuilah bahwa kami bukan bermaksud jahat dan kami hanya ingin menolong kepadamu, yaitu apabila kau berada dalam bahaya."
"Memang aku dan anakku ini berada dalam bahaya, akan tetapi bagi seorang kepala suku bangsa Haimi seperti aku, tak pernah aku minta tolong kepada lain orang untuk memusuhi bangsa sendiri!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
595 "Suku Haimi?" seru Cin Hai yang teringat akan penuturan Kwee An ketika pemuda itu dulu menceritakan pengalamannya. "Apakah kau bukan Sanoko yang gagah dan nona ini Nona Meilani?" Kedua orang itu tercengang. "Bagaimana kau bisa mengetahui nama kami?" tanya Sonoko dengan heran.
Lin Lin yang juga sudah mendengar penuturan itu dari Cin Hai, lalu berkata girang, "Nona Meilani, kau tentu masih ingat kepada Kwee An, bukan?"
Mendengar nama ini disebut-sebut, Meilani menundukkan kepala dengan muka merah.
"Dia... dia adalah suamiku..."
"Benar," kata Lin Lin yang sudah tahu pula akan "perkawinan" itu. "Dan aku adalah bekas adik iparmu, karena Kwee An itu adalah kakakku!"
Mendengar ucapan ini, Meilani mengeluarkan isak tangis, lalu ia maju menubruk Lin Lin.
Dua orang gadis itu berpelukan dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang yang luar biasa harumnya keluar dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.
Juga Sanoko menjadi girang sekali. Ia cepat menjura kepada Cin Hai dan berkata, "Maaf, maaf! Tidak tahunya kami bertemu dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu siapakah nama enghiong yang mulia?"
"Siauwte bernama Sie Cin Hai."
"Apakah kau juga masih keluarga Kwee An?" tanya Sanoko.
Cin Hai merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi Lin Lin mendahuluinya.
"Dia itu adalah tunanganku."
Meilani yang sudah pandai berbahasa Han, membelalakkan matanya yang indah dan sambil tersenyum manis hingga giginya yang hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia bertanya kepada Lin Lin, "Apakah artinya tunangan?"
"Tunangan adalah... calon suami."
"Ah..." Meilani lalu berlari menghampiri Cin Hai, memeluknya dan mencium kedua pipinya.
Tentu saja Cin Hai menjadi kaget sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya menjadi merah bagaikan udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi terheran sekali, akan tetapi sebagai seorang wanita, ia menjadi cemburu dan wajahnya berubah pucat.
Sanoko agaknya tahu akan hal ini, maka cepat-cepat ia berkata,
"Nona, kebiasaan suku bangsa kami ialah bahwa setiap orang wanita berhak, bahkan diharuskan memberi selamat kepada seorang mempelai laki-laki dengan cara seperti itu."
Legalah hati Lin Lin, karena ia tadi melihat betapa wajah Cin Hai menjadi kemerah-merahan dan dengan belaian kasih sayang seperti itu dari seorang gadis secantik Meilani, bukanlah hal yang boleh dianggap ringan bagi pertahanan hati Cin Hai. Dan kalau ia harus mendapat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
596 saingan dari seorang gadis seperti Meilani, akan berbahayalah! Kecuali giginya yang hitam mengkilap, Meilani merupakan gadis yang jarang terdapat karena cantik jelitanya.
Meilani kembali menghampiri Lin Lin dan memeluknya. "Siapakah namamu, Adikku yang baik?" tanyanya.
"Panggil saja Lin Lin kepadaku," jawab Lin Lin sambil tersenyum dan diam-diam ia mengerling ke arah Cin Hai dengan pandangan tajam. Adakah Cin Hai juga mencium bau kembang yang harum dan sedap itu" Demikian pikirnya.
"Sanoko Lo-enghiong, karena telah kau ketahui bahwa kita adalah orang sendiri, maka ceritakanlah mengapa kau dan Nona Meilani berlari-lari dan siapa pula yang mengejarmu?"
"Amat memalukan kalau diceritakan," kata orang tua itu sambil menarik napas panjang,
"Semua ini adalah gara-gara keponakanku sendiri. Lenyaplah sifat-sifat ksatria yang setia, gagah dan jujur, setelah ia merantau dan memiliki kepandaian dari... orang-orang Han.
Maafkan ucapanku ini, Sie-taihiap, aku tidak bermaksud menghina orang-orang Han."
Cin Hai tersenyum dan mengangguk. "Siauwte juga takkan membela bangsa sendiri kalau memang ia benar-benar jahat dan terus terang saja, diantara bangsa Han juga banyak yang jahat, sebagaimana terdapat pada bangsa lain. Teruskanlah ceritamu, Lo-enghiong."
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sanoko lalu bercerita dengan singkat. Ternyata bahwa biarpun telah menjadi "janda" yaitu setelah ditinggal pergi oleh Kwee An yang baru saja melangsungkan "pernikahannya" dengan Meilani, Meilani tetap menjadi pujaan para muda bangsa Haimi. Akan tetapi, agaknya gadis itu telah mengalami penyakit patah hati sehingga ia menolak setiap pinangan pemuda bangsanya. Menurut adat kebiasaan mereka, seorang janda yang telah ditinggal oleh suaminya lebih dari seratus hari, maka berhak untuk menerima pinangan laki-laki lain dan si suami itu apabila telah kembali, tidak berhak lagi terhadap bekas isterinya.
Meilani tinggal menjadi janda kembang sampai berbulan-bulan, dan akhirnya ia jatuh hati juga kepada seorang pemuda yang baru saja datang dari perantauan, yaitu seorang pemuda pemburu yang gagah berani bernama Manoko. Ketika Manoko mengajukan pinangan, maka pinangan itu diterima. Akan tetapi, pada saat itu datanglah seorang pemuda keponakan Sanoko sendiri yang semenjak kecil telah merantau ke daerah selatan dan telah mempelajari silat dari seorang guru bangsa Han. Ketika pemuda yang bernama Saliban ini datang, maka semua orang mengaguminya karena ia memang benar-benar pandai dan berilmu silat tinggi.
Semua jago-jago Haimi jatuh dalam tangannya, juga orang-orang Haimi banyak yang
membencinya, karena tenyata bahwa keponakan dari Sanoko itu beradat buruk, jahat, dan sombong sekali. Ia bertingkah meniru lagak orang-orang Han, bahkan ia tidak memelihara kumis dan cambang seperti orang Han, dan bicara pun ia selalu mempergunakan bahasa Han!
Semenjak datang dan tinggal bersama bangsa sendiri, telah seringkali Saliban mengganggu anak bini orang, dan semenjak ia datang, ia menaruh hati kepada Meilani, saudara misannya itu. Ia tidak mau atau memang ia tidak suka mengikat diri dengan sebuah pernikahan dan niatnya hanya hendak menjadikan Meilani sebagai kekasihnya saja! Tentu hal ini tidak dapat diterima oleh Meilani yang memang menaruh hati benci kepada pemuda yang berlagak menjemukan itu.
Ketika pinangan Manako diterima, Saliban menjadi marah sekali dan ia lalu menggunakan kepandaian dan pengaruhnya untuk menghasut kawan-kawannya dan mengadakan
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
597 pemberontakan. Hai ini terjadi pada hari kawin Meilani dengan Manako. Tiba-tiba saja, Saliban menyerang dan terjadi pertempuran hebat di antara bangsa sendiri. Pengikut-pengikut Sanoko tak kuat melawan Saliban hingga banyak yang menjadi korban, sedangkan Manoko sendiri terluka pada pundaknya dan melarikan diri ke dalam hutan. Sanoko dan Meilani setelah mengadakan perlawanan hebat, ternyata tak kuat menghadapi Saliban yang tangguh itu, maka mereka melarikan diri, dikejar-kejar oleh Saliban dan kawan-kawannya yang bermaksud membunuh Sanoko, mengangkat diri sendiri menjadi kepala suku dan memaksa Meilani menjadi kekasihnya!
Bukan main marahnya hati Cin Hai dan Lin Lin mendengar penuturan ini, dan pada saat Sanoko mengakhiri cerita-ceritanya, tiba-tiba terdengar sorakan ramai dari depan.
"Itulah mereka telah datang, biarlah aku dan anakku mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan!" kata Sanoko sambil bangun berdiri dan memegang pedangnya dengan sikap gagah. Juga Meilani telah mencabut pedangnya dan bersiap sedia.
"Duduklah, Lo-enghiong, dan kau juga, Meilani. Biarlah aku yang menghadapi bangsat-bangsat itu!" kata Lin Lin dengan gagahnya.
Meilani dan Sanoko ragu-ragu, akan tetapi Cin Hai berkata, "Benar, Lo-enghiong, biarkan tunanganku itu menghadapi Saliban. Kau dan Nona Meilani sudah lelah, mengasolah sambil menonton!" Mendengar kata-kata itu, mundurlah kedua orang ini dan membiarkan Lin Lin seorang diri menghadapi Saliban. Benar saja, yang datang itu adalah serombongan orang Haimi terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh seorang pemuda Haimi yang berpakaian seperti orang Han dan yang lagaknya sombong sekali. Melihat betapa orang-orang Haimi yang masih muda-muda itu semuanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung dan menjungat ke atas tak dapat ditahan lagi Lin Lin tertawa geli, sedangkan Cin Hai tak terasa lagi meraba-raba kulit bawah hidungnya yang masih halus dan belum ditumbuhi kumis itu.
Saliban melihat betapa seorang gadis Han yang cantik luar biasa dengan sikap gagah menghadang di jalan, sedangkan Sanoko dan Meilani duduk di bawah pohon seakan-akan dilindungi oleh gadis itu, menjadi terheran-heran dan melihat kecantikan Lin Lin, timbullah sikap kurang ajarnya. Ia tersenyum dibuat-buat dan berkata,
"Nona cantik, apakah kau sudah mendengar nama Saliban yang gagah perkasa sehingga sengaja kau datang menyambutku untuk berkenalan?"
"Jadi inikah tikus yang bernama Saliban" Eh, tikus, apa maksudmu mengejar Sanoko dan Meilani?" berkata Lin Lin dengan suara mengejek.
"Lin-moi, dia itu bukan tikus! Lihat saja dia tidak berkumis, mungkin kumisnya itu ia sembunyikan di belakang menjadi ekor! Dia ini lebih cocok dibuat monyet buduk!" kata pula Cin Hai untuk mengejek orang itu.
Bukan main marahnya Saliban mendengar ejekan-ejekan ini dan lenyaplah maksudnya
hendak mengganggu Lin Lin, berubah menjadi kebencian besar.
"Darimana datangnya dua ekor anjing kurang ajar?" ia membalas memaki dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang piauw menyambar ke arah Cin Hai yang sedang duduk di bawah Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
598 pohon dan sekali lagi tangannya bergerak, maka sebatang piauw lain menyambar ke leher Lin Lin!
Dengan tenang Cin Hai memungut ranting kayu yang terletak di dekatnya dan ketika piauw itu menyambar ke arahnya, ia menggerakkan ranting itu dan sekaligus piauw itu kena dipukul sedemikian rupa sehingga piauw itu membuat gerakan membalik dan kini meluncur kembali ke arah kaki Saliban!
Sementara itu, piauw yang meluncur ke arah leher Lin Lin, disambut dengan sikap dingin oleh gadis itu. Ketika piauw menyambar, ia lalu mengulur tangan dan berhasil menjepit piaiuw itu di antara jari-jari tangannya, lalu melihat betapa piauw yang melayang ke arah Cin Hai telah di"retour" oleh pemuda itu, ia menanti sampai piauw itu melayang ke kaki Saliban dan melihat Saliban meloncat naik untuk mengelak dari sambaran piauwnya sendiri, Lin Lin tersenyum dan ia pun lalu menyambitkan piauw yang ditangkapnya tadi ke arah kaki Saliban lagi yang justeru hendak turun. Terpaksa Saliban melompat lagi ke atas sehingga ia telah berlompat-lompatan dua kali untuk menghindarkan diri dari sambaran piauwnya sendiri!
"Ha-ha-ha! Lihat, benar-benar ia monyet yang pandai menari-nari!" Cin Hai tertawa sambil menuding ke arah Saliban, sedangkan Lin Lin juga tertawa mengejek. Sanoko dan Meilani terpaksa ikut tersenyum melihat kejenakaan dua orang muda yang ternyata dapat
mempermainkan Saliban itu. Meilani diam-diam merasa kagum sekali melihat Lin Lin yang mempunyai cara demikian indah untuk menerima sambitan piauw dari jarak dekat dan mengembalikannya ke arah kaki lawan hanya untuk mempermainkannya.
Saliban makin marah dan ia lalu mencabut pedangnya sambil berseru,
"Bangsat-bangsat kurang ajar! Kau mencampuri urusan suku bangsa lain?"
"Saliban, orang rendah! Jangan kau membuka mulut besar! Kami memang selalu
mencampuri urusan orang-orang biadab macam kau yang hendak mengandalkan kejahatan untuk mencelakakan orang, Kau sungguh tidak tahu malu. Meilani tidak suka menjadi permainanmu, mengapa kau memaksa?"
"Meilani adalah adik misanku. Dia telah menjadi janda dan memalukan sekali kalau ia menerima pinangan orang lain! Itu berarti merendahkan nama keluarga kami! Kau berhak apakah mencampuri urusan rumah tangga kami?"
"Dengarlah!" bentak Lin Lin dengan marah. "Meilani adalah Kakak iparku karena ia adalah janda dari kakakku Kwee An. Kakakku dan aku pun sudah setuju kalau ia menikah lagi dengan orang yang dipilihnya sendiri atas persetujuan Ayahnya, kau ini mempunyai hak apa maka berani menghalanginya?"
"Bagus, kalau begitu biarlah kalian kubinasakan semua!" Sambil berkata demikian Saliban lalu maju menubruk dan menyerang dengan pedangnya ke arah Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin dengan tenang sekali menghadapinya dengan tangan kosong.
"Adik Lin Lin, kaupergunakan pedangku ini!" kata Meilani karena merasa kuatir melihat betapa gadis itu menghadapi Saliban yang lihai dengan tangan kosong saja, akan tetapi Lin Lin menoleh dan tersenyum kepadanya sambil menjawab,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
599 "Untuk menghadapi seekor tikus" eh, monyet macam ini perlu apakah harus
mempergunakan pedang" Tanganku cukup untuk merobohkannya!"
Juga Cin Hai yang melihat gerakan Saliban walaupun cukup lihai namun masih belum cukup berbahaya bagi Lin Lin, berkata kepada Meilani, "Tenanglah, Nona. Lin-moi cukup kuat menghadapinya dengan tangan kosong."
Sementara itu, Saliban yang merasa terhina sekali oleh ucapan Lin Lin, dengan nekat lalu menyerang sambil mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi, sambil menari-nari dan mempergunakan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang telah dipelajarinya. Lin Lin mempermainkan Saliban, sehingga Meilani memandang bengong. Bagaimana mungkin
menghadapi seorang tangguh seperti Saliban itu dengan menari-nari macam itu"
Kawan-kawan Saliban maju mengeroyok Lin Lin, akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu beberapa buah senjata di tangan mereka melayang dan terpental ke mana-mana. Ternyata Cin Hai yang melihat gerakan mereka telah mendahului dan sekali bergerak saja ia telah membuat pedang dan golok mereka terlepas dari pegangan!
Orang-orang Haimi itu terkejut sekali dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kembali tubuh Cin Hai berkelebat dan bergerak dan terdengar jerit kesakitan berkali-kali dan ketika mereka semua meraba ke arah hidung mereka yang terasa sakit dan perih, ternyata bahwa Cin Hai telah menggunakan kecepatan gerakannya untuk mencabuti kumis-kumis mereka itu seorang demi seorang!
Sambil melemparkan rambut-rambut kumis itu ke udara sehingga beterbangan tertiup angin, Cin Hai tertawa-tawa sehingga Meilani yang melihat hal ini tak kuasa lagi menahan geli hatinya dan tertawa terkekeh-kekeh. Sanoko yang melihat kehebatan gerakan itu dengan kepala pening, juga tersenyum dan di dalam hatinya ia merasa kasihan juga kepada anak buahnya yang memberontak itu karena bagi seorang laki-laki Haimi, dicabut kumisnya sama dengan dicabut kepalanya dari leher!
"Kalian yang memberontak dan mengikuti bangsat Saliban, tak pantas berkumis lagi!" kata Cin Hai sambil memandang kepada belasan orang yang kita telah kehilangan kumisnya itu.
Mereka menundukkan kepala sambil menutupi hidungnya yang berdarah itu, dan merasa amat malu karena tanpa kumis bagi mereka hampir sama dengan berdiri telanjang dihadapan orang lain!
"Kalau kalian sayang jiwa, hayo berlutut minta ampun kepada kepala suku yang asli, yaitu Sanoko!" teriak Cin Hai lagi. Orang-orang itu telah merasai kelihaian Cin Hai, dan kini mereka tak berani membantah lagi, lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Sanoko yang berdiri sambil memandang dengan kagum kepada Cin Hai. Sementara itu, Saliban telah merasa pening karena dipermainkan oleh Lin Lin, dan ketika gadis itu sudah merasa cukup puas mempermainkan Saliban, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na yang lihai, ilmu silat yang diajarkan oleh Bu Pun Su!
Saliban terkejut sekali ketika tubuh gadis itu melompat tinggi dan menyambar-nyambar dari atas bagaikan seekor burung besar menyerang marah. Ia menyabet dengan pedangnya, ditotok oleh Lin Lin dan sebelum ia tahu bagaimana hal itu bisa terjadi tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan! Ia merasa terkejut dan hendak melompat pergi, akan tetap kaki Lin Lin telah mendahuluinya menendang pundaknya dari atas hingga tak ampun lagi ia terguling roboh sambil mengeluh kesakitan karena sambungan tulang pundaknya telah terlepas.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
600 Sanoko melihat keponakannya yang jahat itu sudah roboh, lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin dan mintakan ampun untuk jiwa Saliban, sehingga Cin Hai dan Lin Lin merasa kagum akan kemurahan hati kepala Suku ini.
"Saliban," kata Cin Hai kepada pemuda Haimi itu, "dengarlah betapa pamanmu mintakan ampun untuk kau yang telah memberontak dan berbuat jahat terhadapnya. Tidak malukah kau" Orang seperti engkau ini seharusnya dibinasakan, karena selain berbuat jahat, kau pun telah merusak nama baik Suhumu yang tentu seorang Han adanya. Kau tidak lekas minta ampun?"
Melihat kelihaian Lin Lin dan Cin Hai, Saliban insyaf bahwa ilmu kepandaiannya sebetulnya masih amat rendah dan ia merasa malu dan menyesal, maka sambil merayap ia berlutut minta ampun kepada pamannya dan bersumpah takkan mengulang perbuatannya lagi.
Pada saat itu, dari jauh mendatangi serombongan orang Haimi yang dipimpin oleh Manako.
Pemuda ini walaupun sudah terluka pundaknya, namun dengan nekat ia mengumpulkan
kawan-kawan dan menyusul untuk menyerbu Saliban dan menolong calon isteri dan
mertuanya. Juga Manako memaafkan Saliban, sedangkan Cin Hai dan Lin Lin diam-diam memuji ketampanan dan kegagahan Manako, hanya mereka diam-diam menyayangkan bahwa anak muda ini belum pantas memakai cambang yang demikian tebal dan panjangnya.
Setelah bercakap-cakap dan beramah tamah dengan orang-orang Haimi serta meninggalkan banyak nasihat kepada Saliban, Cin Hai dan Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke timur.
Ketika mereka berdua tiba di Pegunungan Lian-ko-san yang tak jauh lagi dari Gua
Tengkorak, tinggal sehari perjalanan lagi, dan sedang berjalan melalui sebuah padang rumput, tiba-tiba muncul tiga orang yang membuat mereka terkejut dan bersiap sedia, karena tiga orang itu bukan lain ialah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Tiga orang ini yang telah dikalahkan oleh Bu Pun Su, maklum bahwa anak-anak muda yang menjadi musuh mereka itu masih berada di barat, maka sengaja mereka menghadang di situ untuk membalas dendam. Ketika Bu Pun Su lewat di situ, mereka bersembunyi saja tidak berani keluar, akan tetapi setelah kini melihat kedatangan Cin Hai dan Lin Lin, mereka muncul dan menghadang di jalan dengan hati penuh dendam, terutama sekali Bo Lang Hwesio yang hendak membalas dendam kepada Lin Lin atas kematian muridnya dahulu, yaitu Boan Sip yang menjadi gara gara semua permusuhan.
Cin Hai berlaku tenang-tenang saja juga Lin Lin dengan tabah dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri berdiri di sebelah kiri kekasihnya dan memandang tajam kepada musuh-musuh besar itu.
"Eh, kiranya Sam-wi Lo-suhu yang berada di sini. Tidak tahu mempunyai maksud apakah maka menghadang perjalanan kami?" kata Cin Hai dengan sikap hormat.
"Pendekar Bodoh! Telah berkali-kali kau dan kawan-kawanmu memusuhi dan menghalangi kami, bahkan Suhumu sendiri telah menghina kepada kami. Sekarang kebetulan kita bertemu di sini, masih hendak bertanya tentang maksud kami" Cabutlah senjatamu dan biarlah saat ini akan menentukan siapa diantara kita yang lebih kuat!" kata Thai Kek Losu kepada Cin Hai, sedangkan Bo Lang Hwesio dengan mata memandang marah membentak kepada Lin Lin.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
601 "Dan kau tentu masih ingat akan dosamu membinasakan muridku, maka sekarang aku
hendak membalas dendam. Hutang jiwa ya harus membayar jiwa pula!" Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio mengeluarkan sepasang poan-koan-pit.
Lin Lin sudah mendengar tentang pertempuran tokoh-tokoh besar ini melawan Bu Pun Su, maka melihat poan-koan-pit itu, ia menyindir,
"Bo Lang Hwesio, agaknya kau telah mencuri sepasang poan-koan-pit baru, apakah yang dulu telah tak dapat digunakan pula?"
Marahlah Bo Lang Hwesio mendengar ini, maka sambil menerjang maju ia membentak lagi,
"Perempuan rendah, bersedialah untuk mampus!"
Lin Lin dengan tenang lalu mencabut keluar Han-le-kiam dari pinggangnya dan menyampok poan-koan-pit lawan yang menyerangnya, kemudian secepat kilat ia pun balas menyerang dengan hebat.
Sementara itu, Thai Kek Losu telah mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu tengkorak kecil itu yang kini telah diperbaikinya dan diganti rantai yang mengikatnya, sedangkan Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang gendewa. Juga gendewanya yang telah dipatahkan oleh Bu Pun Su itu kini telah digantinya dengan sebatang gendewa yang baru, terbuat daripada besi kuning.
Cin Hai maklum akan kelihaian senjata-senjata lawannya, maka ia pun tidak mau berlaku sungkan lagi dan mencabut keluar sepasang pedangnya Liong-cu-kiam yang panjang dan pendek, dipegang pada kedua tangannya. Kedua Pendeta Sakya Buddha itu terkejut melihat sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya gemilang itu, maka mereka maklum bahwa
sepasang pedang itu tentu pedang-pedang pusaka yang ampuh dan tajam, mereka lalu membentak dan mendahului menyerang dengan hebat. Cin Hai memperlihatkan kegesitannya dan melawan dengan tenang dan waspada. Ia melihat betapa gerakan Thai Kek Losu jauh lebih gesit daripada dulu, agaknya pendeta itu telah melatih diri selama ini, sedangkan gerakan Sian Kek Losu juga hebat sekali. Untung ia mempergunakan sepasang pedang Liongcu-kiam yang tajam sehingga kedua lawannya tak berani menahan pedangnya dengan senjata mereka hingga serangan kedua orang itu dapat dibalas dengan serangan-serangan kilat yang cukup membuat kedua lawannya berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa murid Bu Pun Su ini tidak boleh dibuat gegabah!
Sementara itu, pertempuran antara Lin Lin dan Bo Lang Hwesio juga berjalan seru sekali.
Ilmu Pedang Han-le-kiam memang luar biasa dan cepat sedangkan kini Lin Lin telah memperoleh kemajuan hebat dan bahkan telah melatih diri dengan limu Silat Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak-sin-na, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio yang sudah jauh lebih berpengalaman dan ulet itu, ia mendapatkan lawan yang amat kuat dan tangguh. Sepasang poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio menyambar-nyambar ke arah jalan darah yang berbahaya dan juga tiap kali pedang Han-le-kiam kena disampok oleh poan-koan-pit, Lin Lin merasa betapa telapak tangannya menggetar karena tenaga hwesio itu ternyata lebih besar sedangkan ilmu lweekangnya pun lebih tinggi dari pada Lin Lin. Maka gadis ini yang tahu akan keadaan itu lalu mempergunakan kelincahannya dan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari desakan poan-koan-pit, sedangkan jurus-jurus berbahaya yang ia keluarkan dari ilmu pedangnya membuat Bo Lang Hwesio diam-diam merasa terkejut juga.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
602 Alangkah beda tingkat ilmu pedang gadis ini dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu ketika ia dan Ke Ce menyerbu ke atas bukit tempat tinggal Yousuf dan berhasil menjatuhkan Kwee An dan Ma Hoa ke dalam jurang. Ketika dulu itu, walaupun ilmu pedang gadis ini sudah aneh dan luar biasa, akan tetapi gerakannya belum sematang ini. Maka hwesio itu lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga setelah bertempur lama, Lin-Lin merasa terdesak juga!
Adapun Cin Hai yang dikeroyok dua oleh Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, biarpun belum terdesak, namun sukar pula baginya untuk mendesak kedua lawannya yang berilmu tinggi.
Terutama sekali tengkorak di tangan Thai Kek Losu amat berbahaya karena Cin Hai tidak berani menangkisnya dengan pedang. Ia maklum bahwa tengkorak itu amat berbahaya dan apabila ditangkis akan menyebarkan jarum-jarum beracun yang lihai sekali. Juga gendewa di tangan Sian Kek Losu bukanlah senjata yang mudah dilawan biarpun ia dapat menduga ke mana gerakan gendewa itu akan dilancarkan. Maka untuk menghadapi kedua lawan yang tangguh ini, Cin Hai memainkan dua macam ilmu pedang dengan kedua tangannya. Pedang panjang di tangan kanan ia mainkan dengan jurus-jurus dari Ilmu Pedang Daun Bambu, sedangkan pedang pendek di tangan kiri ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiam-hwat, maka kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa terkejut dan mengadakan
perlawanan dengan mati-matian. Mereka harus mengakui bahwa selain Bu Pun Su, belum pernah mereka menemukan tandingan seorang pemuda yang demikian tinggi ilmu silatnya!
Pada saat pertempuran sedang berjalan dengan seru, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang ringan sekali gerakannya dan laki-laki ini membentak marah,
"Pendeta-pendeta pada dewasa ini hanya mempergunakan pakaian sebagai kedok belaka, akan tetapi di dalam tubuh mengandung iman yang bobrok dan batin yang rendah! Jangan kalian, berani mengganggu murid seorang sakti dan mulia seperti Bu Pun Su!" Kemudian laki-laki itu menarik keluar pedangnya dan menerjang Bo Lang Hwesio sambil berkata kepada Lin Lin.
"Nona, kaubantulah kawanmu itu dan biarkan Si Gundul ini tewas dalam tanganku."
Lin Lin mendengar suara ini diucapkan dengan halus dan sopan akan tetapi mengandung pengaruh besar, maka ia lalu meninggalkan Bo Lang Hwesio dan melompat untuk membantu Cin Hai.
Lin Lin maklum bahwa ilmu kepandaian Thai Kek Losu terlampau tinggi baginya, maka ia lalu menyerang Sian Kek Losu! Memang perhitungannya tepat karena di antara ketiga orang lawan yang paling lihai dan amat berbahaya untuk dilawan adalah Thai Kek Losu. Bo Lang Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang hanya sedikit berada di bawah kepandaian pendeta Sakya Buddha ini, bahkan di dalam hal lweekang, mungkin Bo Lang Hwesio lebih tinggi tingkatnya! Adapun Sian Kek Losu hanya memiliki tenaga besar saja dan ilmu silatnya biarpun tinggi, namun tidak selihai kedua orang kawannya itu.
Kini pertempuran terpecah menjadi tiga dan keadaan berubah dengan cepatnya. Orang yang baru datang tadi dengan ilmu pedangnya yang luar biasa cepat dan aneh gerakannya, segera berhasil mendesak Bo Lang Hwesio. Ketika Lin Lin dan Cin Hai mendapat kesempatan memandang ke arah orang itu, hampir saja mereka berseru karena heran dan kagum. Ternyata ilmu pedang yang dimainkan oleh orang itu mempunyai dasar-dasar gerakan yang sama Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
603 dengan jimu silat mereka! Lin Lin teringat akan penuturan Ma Hoa ketika bertemu dengannya di dalam gua bersama Ang I Niocu, maka sambil menangkis serangan gendewa di tangan Sian Kek Losu ia berseru,
"Enghiong yang gagah bukankah Lie-enghiong tunangan Ang I Niocu?"
Orang itu tersenyum dan sambil menangkis poan-koan-pit dari Bo Lang Hwesio ia
menjawab, "Betul, dan Ji-wi tentulah Nona Lin Lin dan Saudara Cin Hai!"
Mendengar percakapan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Hal ini merupakan "surprise"
baginya, yaitu merupakan hal yang sama sekali tak pernah diduga-duganya. Tunangan Ang I Niocu" Dan demikian gagah perkasa" Hatinya menjadi girang dan ia ingin sekali cepat-cepat mengakhiri pertempuran ini agar supaya dapat bercakap-cakap dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian yang sama dengan kepandaiannya sendiri. Ia dulu mendengar bahwa Ang I Niocu ditolong oleh Lie Kong Sian, akan tetapi Dara Baju Merah itu tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi tunangan Lie Kong Sian. Ia maklum bahwa orang ini adalah Suheng dari Song Kun, maka boleh dibilang masih suhengnya sendiri pula!
Lin Lin dengan limu Pedang Han-lekiam-liwat dapat mendesak Sian Kek Losu dan pada saat gendewa di tangan Sian Kek Losu menangkis dengan sekuat tenaga untuk membuat pedang pendek di tangan Lin Lin terpental, gadis itu dengan amat cerdik dan cepatnya lalu menarik kembali pedangnya dan melihat lowongan yang terbuka segera menggunakan gerak tipu Ang I Memetik Kembang, langsung pedangnya ditusukkan ke arah iga lawan di bawah lengan yang memegang gendewa. Sian Kek Losu berusaha mengelak, akan tetapi gerakan Lin Lin itu luar biasa cepatnya dan juga tidak diduganya semula, maka tiada ampun lagi pedang Han-lekiam yang tajam itu dengan jitu menusuk dadanya dari bawah lengan! Sian Kek Losu menjerit, gendewanya terlepas, tubuhnya sempoyongan lalu roboh dan tewas pada saat itu juga!
Juga Bo Lang Hwesio yang sudah tak tahan menghadapi Lie Kong Sian, dengan nekat lalu memutar-mutar poan-koan-pit di tangannya dan menyerang bagaikan harimau terluka yang sudah nekat hendak mengadu jiwa. Lie Kong Sian mengurungnya dengan sinar pedang hingga kini Bo Lang Hwesio terpaksa mempergunakan lweekangnya untuk mengerahkan tenaga pada kedua senjatanya, menangkis sambil terdesak mundur. Ujung pedang Lie Kong Sian
berkelebat cepat mengarah tenggorokannya dan Bo Lang Hwesio lalu membuat gerakan nekat yang hendak memberi pukulan maut tanpa peduli akan keselamatan sendiri. Ketika pedang itu meluncur ke arah lehernya, ia hanya miringkan kepala sedikit dan berbareng mengirim tusukan dengan sepasang poan-koan-pit ke arah dada Lie Kong Sian. Kalau Lie Kong Sian meneruskan serangannva dengan membalikkan pedang, maka ia pun akan termakan oleh sepasang poan-koan-pit itu dan keduanya pasti akan tewas! Akan tetapi tentu saja Lie Kong Sian tidak mau diajak mati bersama, maka ia berseru keras dan menggerakkan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih. Ternyata ia telah menggunakan gerakan dari Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut untuk menangkis tusukan poan-koan-pit itu! Sedangkan pedangnya ia teruskan dengan bacokan ke arah leher lawan!
Bo Lang Hwesio merasa girang melihat ini karena ia telah mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya yang tinggi ke arah tangan yang memegang senjata, maka ia merasa pasti bahwa tusukannya akan menewaskan musuh. Tak tahunya, ketika tangan kiri Lie Kong Sian
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
604 menyampok, poan-koan-pitnya kena disampok terpental oleh tenaga yang luar biasa hingga ia merasa terkejut sekali. Pada saat itu pedang Lie Kong Sian telah datang menyambar. Bo Lang Hwesio berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Ia menjerit keras dan roboh mandi darah dengan leher hampir putus oleh pedang Lie Kong Sian!
Kini Lin Lin dan Lie Kong Sian melihat pertempuran yang terjadi antara Cin Hai dan Thai Kek Losu dengan serunya. Thai Kek Losu yang harus menghadapi Cin Hai seorang diri, merasa jerih sekali karena ia pernah merasai kelihaian pemuda ini. Melihat betapa Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio sudah tewas, ia menjadi nekat dan menyerang Cin Hai dengan mati-matian. Tengkorak kecil di tangan diputar-putar bagaikan maut sendiri terbang berkeliaran mencari korban.
Adapun Cin Hai yang pernah menghadapi That Kek Losu, bahkan dulu hampir saja merasa celaka karena pengaruh racun jahat yang keluar dari tengkorak itu, bersilat dengan amat hati-hati. Sebegitu jauh ia belum berani membacok tengkorak itu, kuatir kalau-kalau racun jahat dan senjata-senjata rahasia di dalam tengkorak itu akan menyambar keluar dan biarpun ia akan dapat mengelak namun hawa beracun yang luar biasa itu masih tetap merupakan bahaya besar. Dulu pun baru lewat dekat mukanya saja dan ia mencium bau racun, ia telah terkena celaka dan kalau tidak kebetulan bertemu dengan suhunya, tentu ia telah binasa.
Melihat keragu-raguan kekasihnya Lin Lin hendak maju membantu, akan tetapi Cin Hai melarangnya. "Mundurlah Lin-moi, sekarang juga aku akan merobokannya. Lihat!"
Lin Lin melompat mundur kembali dan pada saat itu tengkorak kecil menyambar ke arah Cin Hai dengan mulut di depan seakan-akan hendak mencium muka pemuda itu. Cin Hai tidak mengelak, hanya memandang dengan tajam dan kedua pedang di tangannya siap sedia.
Ketika tengkorak itu telah datang dekat, tiba-tiba pedang pendek di tangan kirinya menyambar dari samping dengan miring, yaitu ia tidak menggunakan tajamnya pedang untuk membacok, hanya menggunakan permukaan pedang untuk menampar dari samping dengan
tenaga yang diatur sedemikian rupa hingga tengkorak itu kena ditampar dan terbalik, kini mukanya menghadap kepada Thai Kek Losu. Secepat kilat pedang Cin Hai di tangan kanan membacok tengkorak itu dari belakang sambil menggunakan tenaga lweekang sekerasnya dan ketika terdengar suara ledakan yang terjadi ketika tengkorak itu kena bacok, Cin Hai segera melompat jauh dan kebetulan sekali Lin Lin pada saat itu berdiri dekat, maka Cin Hai segera menyambar lengan kekasihnya dan dibawanya melompat juga!
Memang Cin Hai telah berlaku hati-hati dan hal ini ada baiknya bagi dia dan Lin Lin, karena kalau ia tidak bertindak cepat, mungkin mereka akan terancam bahaya. Pada waktu tengkorak itu meledak, tidak saja dari mulut, hidung dan matanya keluar jarum-jarum beracun yang amat jahat dan yang kesemuanya melayang ke arah Thai Kek Losu, akan tetapi setelah semua jarum habis tengkorak itu sendiri meledak dan pecah berhamburan menjadi potongan-potongan kecil yang menyambar ke sekelilingnya. Potongan ini tak boleh dipandang rendah, karena setiap potongan kecil mengandung racun jahat dan apabila melukai kulit, akan membahayakan jiwa yang terluka!
Thai Kek Losu yang tadinya sudah merasa girang melihat Cin Hai berani membacok
tengkorak itu, menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa semua senjata rahasia yang keluar dari tengkorak yang telah terbalik itu menyambar ke arahnya! Ia hendak mengelak pergi, akan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
605 tetapi terlambat. Beberapa batang jarum telah mengenai tubuhnya dan tanpa berteriak lagi ia roboh dan tewas oleh jarum-jarumnya sendiri!
Lie Kong Sian juga melompat pergi ketika ledakan tengkorak terjadi, dan ia lalu
menghampiri Cin Hai dan Lin Lin.
"Sute dan Sumoi, kalian benar-benar gagah perkasa. Apakah Supek Bu Pun Su sehat-sehat saja?" katanya sambil tersenyum tenang.
Melihat sikap orang ini, baik Lin Lin maupun Cin Hai merasa tertarik dan suka. Sikap Lie Kong Sian polos, jujur, dan sederhana sekali, hampir sama dengan sikap Bu Pun Su.
Setelah menjura dan memberi hormat, Cin Hai lalu memegang tangan Lie Kong Sian dengan girang dan berkata, "Dia sehat, Suheng, telah lama aku mendengar tentang namamu yang besar. Alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau, apalagi karena mendengar tadi bahwa kau telah bertunangan dengan Ang I Niocu!"
Kembali Lie Kong Sian tersenyum. "Aku memang sedang mencarinya, di manakah dia?"
Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan menceritakan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk membagi-bagikan harta pusaka kepada rakyat miskin.
"Lie-suheng, ada berita girang untukmu," tiba-tiba Lin Lin yang lincah dan jenaka itu berkata kepada Lie Kong Sian sambil menatap wajah pemuda yang tenang dan tampan itu.
Lie Kong Sian sudah mendengar dari Ang I Niocu tentang kejenakaan gadis ini dan ia tahu bahwa tunangannya amat mengasihinya maka sambil tertawa ia berkata, "Sumoi, kau tentu akan menggodaku. Silakanlah, apakah berita girang yang kaumaksudkan?"
"Aku telah mendengar tentang syarat-syarat yang diajukan oleh Enci Im Giok kepadamu dan..."
"Eh, eh, dari mana kau bisa mengetahui hal itu?" Lie Kong Sian memotong sambil
memandang heran, akan tetapi ia tidak marah karena bibirnya tetap tersenyum.
"Dari Enci Ma Hoa."
Lie Kong Sian mengangguk-angguk dan Lin Lin melanjutkan bicaranya, "Dan sekarang, dua daripada tiga syarat itu telah terpenuhi. Aku dan Engko Hai telah bertemu kembali sebagaimana yang diharapken oleh Enci Im Giok, dan syarat ke dua pun telah terlaksana."
Lie Kong Sian menatap wajah Lin Lin dengan tajam, kini senyumnya menghilang. "Sumoi, apa maksudmu" Syarat yang mana" Lekas kauceritakan padaku!"
"Sutemu yang jahat itu telah tewas dalam tangan Hai-ko!"
"Apa?"?" Wajah Lie Kong Sian menjadi pucat sekali dan dua butir air mata menitik turun. Ia memandang kepada Cin Hai yang berdiri sambil menundukkan kepala karena pemuda ini pun telah mendengar betapa besar cinta kasih Lie Kong Sian terhadap Song Kun. Sikap dan wajah Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
606 Cin Hai ini membuat hati Lie Kong Sian lemah kembali. Kalau saja yang membunuh Song Kun bukan pemuda ini, pasti ia akan menjadi marah dan membalas dendam. Akan tetapi, pemuda ini adalah sutenya sendiri pula, murid Bu Pun Su yang tidak saja kepandaiannya lebih tinggi daripada dirinya sendiri, akan tetapi pemuda ini adalah seorang pemuda yang dicinta oleh Ang I Niocu.
"Sute, kau benar-benar lihai sekali. Tak sembarang orang dapat merobohkan Song Kun, bahkan terus terang saja, aku sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Coba kaututurkan bagaimana hal itu terjadi."
"Maafkan aku banyak-banyak, Lie-suheng. Memang dia lihai sekali dan andaikata dia tidak tersesat dan menjadi seorang jahat, mungkin aku pun takkan dapat mengalahkannya. Akan tetapi, kejahatan pasti akan hancur dan kalah pada akhirnya."
Kemudian ia lalu menceritakan tentang pertempurannya dengan Song Kun yang disaksikan oleh Bu Pun Su dan menuturkan pula betapa Song Kun telah mencuri obat dan menggunakan obat itu untuk mengancam dan hendak mengganggu Lin Lin. Mendengar ini, semua, Lie Kong Sian menarik napas panjang. "Sayang betapapun gagah seseorang, apabila ia tidak memiliki kesempurnaan budi, ia menjadi orang yang sehina-hinanya dan serendah-rendahnya dan akhirnya orang itu pasti akan mengalami bencana besar dalam hidupnya."
"Kau benar, Suheng," kata Cin Hai dan Lin Lin hampir berbareng.
"Dan sekarang kalian hendak pergi ke manakah?"
"Kami hendak pergi ke Gua Tengkorak, tempat tinggal Suhu Bu Pun Su," jawab Cin Hai.
"Bagus! Aku pun ingin sekali bertemu dengan orang tua itu." kata Lie Kong Sian.
"Untuk memenuhi syarat ke tiga, bukan Suheng?" Lin Lin menggoda dan Lie Kong Sian mengangguk-angguk sambil tersenyum den memandangnya.
"Kau benar-benar nakal, Sumoi." Ketiganya lalu tertawa.
"Sebelum kita pergi, lebih dulu marilah kita mengubur jenazah tiga orang ini." Mendengar ucapan Lie Kong Sian ini, Lin Lin dan Cin Hai merasa kagum dan diam-diam memuji
keluhuran budi tunangan Ang I Niocu itu. Cin Hai makin merasa girang bahwa Ang I Niocu mendapat calon suami yang selain gagah perkasa, juga berbudi tinggi.
Jenazah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu den Bo Lang Hwesio lalu mereka kubur dengan baik-baik, menjadi tiga gundukan tanah berjajar dan sebagai tandanya, Lie Kong Sian
memindahkan tiga batang pohon Siong yang masih kecil, ditanam di depan kuburan-kuburan itu.
Matahari telah menurun ke barat ketika mereka bertiga selesai melakukan pekerjaan itu dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Gua Tengkorak.
Kita ikuti perjalanan Ang I Niocu yang bertugas membagi-bagikan sekantung harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Oleh karena Dara Baju Merah ini memang sudah biasa melakukan perjalanan seorang diri, dan pula untuk membagi-bagi harta benda itu memang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
607 seharusnya berpencar, maka ia lalu memisahkan diri dan berjanji akan saling bertemu dengan kawan-kawannya ini di rumah Lin Lin di Tiang-an sebagai tempat tujuan terakhir. Mereka saling berpesan bahwa apabila bertemu dengan Cin Hai dan Lin Lin, harus memberi tahu bahwa kedua teruna remaja itu pun ditunggu di Tiang-an. Dengan demikian, maka mereka tak usah saling mencari dan dapat mengarahkan tujuan perjalanan mereka ke suatu tempat tertentu.
Ang I Niocu melakukan perjalanan seorang diri seperti biasa, bebas bagaikan seekor burung di udara. Ia membagi-bagi harta benda itu dengan adil dan memilih orang-orang yang benarbenar berada dalam keadaan yang amat sengsara. Pekerjaan ini ia lakukan dengan hati gembira karena keharuan dan kegirangan wajah orang-orang yang menerima pembagian itu membuat hatinya ikut merasa terharu dan girang sekali.
Pada suatu hari, ketika ia tiba di luar kota Lang-i, tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang dari jalan simpangan. Ang I Niocu cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon ketika melihat bahwa dua orang itu bukan lain ialah Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio. Kedua orang itu berlari cepat memasuki kota Lang-i, maka diam-diam Ang I Niocu mengikuti mereka. Dara Baju Merah ini merasa benci sekali kepada Hai Kong Hosiang yang telah mencelakakan Lin Lin, maka ia mengambil keputusan untuk mencari kesempatan membunuh hwesio jahat itu agar kelak tidak menimbulkan kekacauan pula. Akan tetapi, melihat bahwa hwesio itu bersama Wi Wi Toanio yang kosen, ia merasa ragu-ragu untuk turun tangan, karena terlalu berat baginya untuk menghadapi dua orang tangguh itu.
Kedua orang itu menuju ke sebelah barat kota dan diam-diam Ang I Niocu terus mengikuti mereka. Setelah tiba di ujung kota, mereka masuk ke dalam sebuah gedung yang besar. Ang I Niocu mengambil jalan dari belakang dan ketika melihat bahwa di belakang gedung itu sunyi, ia lalu melompati pagar tembok dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya di dalam gedung itu membuat hatinya berdebar karena terkejut dan heran.
Ternyata bahwa di dalam gedung itu terdapat sebuah ruangan yang lebar dan yang dipasangi banyak meja dan kursi. Ruangan itu telah penuh oleh banyak orang dan orang-orang inilah yang membuat Ang I Niocu terkejut, karena ia melihat wajah-wajah yang telah dikenalnya, antara lain Kam Hong Sin perwira tinggi kerajaan, Ceng Tek Hosiang den Ceng To Tojin. Si Hwesio yang selalu tertawa dan tosu yang selalu mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang tokoh Liong-san, Giok Im Cu, Giok Yang Cu, den Giok Keng Cu. Tampak juga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan dua orang yang baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio!
Orang-orang ini adalah sebagian dari pada orang-orang yang tadinya mewakili golongan-golongan yang bermusuhan, yaitu golongan Turki, Mongol, dan kerajaan yang kesemuanya telah dikalahkan oleh Bu Pun Su. Mengapa mereka sekarang mengadakan pertemuan
bersama" Apakah mereka hendak mengadu kepandaian" Ang I Niocu mengintai dengan hati-hati sekali oleh karena ia maklum bahwa orang yang berada di dalam itu bukanlah orang-orang lemah dan berbahaya sekali baginya kalau sampai terlihat oleh mereka. Kebetulan sekali di luar gedung itu terdapat setumpuk rumput kering maka ia mendapatkan tempat persembunyian yang baik sekali di belakang rumput itu, sambil mengintai melalui celah-celah jendela yang berada dekat di situ.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
608 Agaknya Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio merupakan orang terakhir yang dinanti-nanti, karena setelah mereka berdua datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu dipersilakan duduk, perwira itu lalu berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada semua orang.
"Cu-wi sekalian. Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan selamat datang kepada Cu-wi sekalian yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul di sini. Hal ini membuktikan bahwa betapapun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan kebangsaan sendiri.
Sebagaimana Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan bangsa kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang. Kita tak perlu membongkar-bongkar urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan sekumpulan orang yang hendak berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan membasmi para pemberontak yang telah berani berlancang tangan mencuri harta pusaka dari tangan kita."
Hai Kong Hosiang berdiri sendiri dan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong Sin berhenti bicara karena ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu itu bersinar-sinar tajam memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia bicara.
"Kam-ciangkun, pencuri harta pusaka itu adalah Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan tangguh. Selain dia, masih ada pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan, karena kami tahu bahwa dia pun menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu kalau-kalau kedua orang tua jahat itu telah bersekutu! Hal ini tak boleh dipandang ringan, karena selain mereka berdua yang lihai, masih banyak terdapat anak muridnya yang tak boleh dipandang ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa, Kwe An, dan ada pula Nelayan Cengeng!"
Kam Hong Sin mengangguk-angguk, "Aku maklum, Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan kelihaian mereka. Akan tetapi dengan kerja sama yang baik dan mengerahkan tenaga kita dibantu oleh para Perwira Sayap Garuda yang banyak jumlahnya, apakah sukarnya untuk menangkap mereka dan merampas kembali harta pusaka itu?"
Wi Wi Toanio berdiri dan biarpun suaranya halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia merasa gemas dan marah sekali ketika ia berkata,
"Apa artinya bicara tentang merampas kembali harta pusaka" Harta itu telah mereka sebar dan bagi-bagikan kepada rakyat! Ini semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau perundingan ini dimaksudkan untuk menghukum dia, aku baru mau mengikutinya!" Setelah berkata demikian, Wi Wi Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.
Terdengar seruan-seruan marah dari sana sini mendengar bahwa harta pusaka telah dibagi-bagi kepada rakyat. Adapun Kam Hong Sin yang sudah mengetahui hal itu, hanya tersenyum dan berkata,
"Cuwi sekalian, memang benar ucapan Wi Wi Toanio tadi. Aku pun telah mendengar tentang hal itu, dan rupanya para pemberontak itu hendak menghasut rakyat untuk memberontak pula dengan menyogok harta benda mereka. Akan tetapi, kita akan bertindak tegas dan membasmi sebelum mereka mendapat kesempatan mengumpulkan tenaga bantuan. Aku membawa surat resmi dari Kaisar sendiri yang ditujukan kepada Cuwi yang gagah perkasa."
Sambil berkata demikian, Kam Hong Sin mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus sutera kuning bersulamkan burung Hong. Ketika ia membacakan surat itu, semua orang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
609 terdiam dengan penuh hormat, karena betapapun juga, menerima surat dari kaisar sendiri adalah satu penghormatan besar yang jarang sekali dirasai orang! Isi surat itu ternyata adalah satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka membantu dalam usaha Kaisar menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu! Ternyata dalam sakit hatinya untuk membalas kekalahannya, Kam Hong Sin berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan putusan menghukum kedua tokoh besar itu agar ia dapat mencari bala bantuan dengan mudah. Selain pengharapan untuk mendapat pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan bahwa orang-orang gagah yang suka mengulurkan tangan menolong, akan diberi pangkat tinggi, tempat tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah uang yang banyak sekali.
Tentu saja semua orang yang hadir di situ merasa mengilar mendengar janji upah yang besar itu. Bukan semata-mata upahnya yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan
penghormatan. Kini terbuka kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat pahala yang akan mendatangkan hasil besar dan nama baik di samping menebus dosa-dosa mereka yang lalu! Memang, hampir semua orang yang hadir di situ, kecuali hamba-hamba Kaisar, dulu seringkali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada Kaisar, dan dengan adanya kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan dilupakan dan bahkan akan mengangkat diri mereka menjadi orang-orang berkedudukan tinggi!
"Kalau demikian, aku setuju!" kata Wi Wi Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan kedudukan dan kemuliaan yang dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi, "Bukan, karena aku inginkan semua kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan mendapat kesempatan membalas dendam kepada Bu Pun Su yang telah menghina kita dan kepada Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka itu! Tentang kelihaian mereka, jangan kuatir, aku mempunyai seorang supek yang menjadi tokoh nomor satu di daerah barat, yaitu Pok Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su dan Hok Pek Taisu biarpun ditambah seratus orang lagi, dengan mudah mereka akan dapat dihancurkan!"
Semua orang memandang heran karena sepanjang pendengaran mereka, tokoh besar dari barat yang disebut Pok Pok Sianjin itu kabarnya telah musnah dan telah naik ke Sorga menjadi dewa! Demikianlah dongeng yang dituturkan orang.
Hai Kong Hosiang tertawa. "Memang di atas dunia ini terdapat empat orang tokoh besar yang dapat disebut menduduki tempat tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah selatan dan timur, nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh besar tanpa tandingan. Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok Sianjin, dan di bagian utara terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek Losu. Kudengar bahwa Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu telah tewas oleh Pendekar Bodoh, maka kalau kita pergi ke utara melaporkan hal ini kepada Swi Kiat Siansu, mustahil dia tidak akan turun gunung membantu kita?"
Semua orang merasa girang sekali karena kalau saja dua orang sakti itu benar-benar mau turun gunung membantu pekerjaan yang berat dan hebat ini akan jauh lebih ringan lagi. Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil mewek-mewek bangun berdiri dari tempat duduknya dan berkata,
"Cu-wi, setelah diadakan persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada baiknya kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang dilakukan berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik di antara kita semua!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
610 Mendengar ucapan ini, semua orang saling pandang dan mulailah mereka
mempertimbangkan, siapa kiranya yang tepat untuk dijadikan pemimpin.
"Seorang ketua haruslah mempunyai kepandaian tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang patut menjadi ketua, lebih baik kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian calon-calon itu menguji kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup pandai untuk diangkat menjadi ketua," kata Hai Kong Hosiang.
Orang-orang lalu saling bercakap-cakap hingga keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu yang melihat dan mendengar semua ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau mereka semua telah bersatu dan berhasil memanggil dua orang tokoh besar yang disebutkan tadi, maka pihaknya akan menghadapi lawan yang amat tangguh. Ia pernah mendengar nama Pok Pok Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah mendengar nama Swi Kiat Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan kabarnya kedua orang itu memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan napas agar jangan mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan pengintaiannya.
Setelah dipilih-pilih, akhirnya yang diajukan menjadi calon adalah tiga orang yang dianggap memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Kam Hong Sin sendiri. Tadinya Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga dipilih, akan tetapi ia tidak mau menerimanya dan mengundurkan diri sambil berkata,
"Hai Kong Suheng telah dipilih, mengapa pula aku sebagai Sumoinya harus maju" Biarlah dia yang mewakili aku sekalian!"
Sambil tersenyum Kam Hong Sin berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,
"Oleh karena kita berada di antara kawan sendiri, maka kuharap adu kepandaian ini dilakukan dalam cara damai sebagaimana biasa dilakukan oleh perwira-perwira kerajaan."
"Bagus, bagaimanakah cara itu, Kam-ciangkun?" tanya Wi Wi Toanio.
"Di waktu para perwira menguji kepandaian, mereka mempergunakan sepasang sumpit
gading yang dipegang di tangan kanan seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan sumpit itu, mereka saling menjepit dan berusaha membetot sumpit di tangan lawannya dan siapa yang sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah."
"Baik sekali!" Hai Kong Hosiang memuji. "Memang siapa yang lebih tinggi lweekangnya akan mendapat kemenangan. Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang tangan orang dengan sumpit itu, bukan?"
"Tidak boleh sama sekali! Dalam hal ini kita harus mengandalkan kejujuran dan kepandaian, sama sekali tidak boleh melukai tangan lawan!"
Setelah mendapat persetujuan, Kam Hong Sin, Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu duduk mengelilingi sebuah meja dan para pelayan lalu mengambil tiga pasang sumpit gading.
Untuk menguji kekuatan sumpitnya, Kam Hong Siang lalu berseru keras dan menancapkan sepasang sumpit itu di atas meja hingga sumpit itu menancap sampai setengahnya di dalam kayu meja yang keras itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
611 Wi Wi Toanio tersenyum dan ia pun ingin menguji kekuatan sumpitnya yang hendak
digunakan dalam pertandingan ini, maka ia mengetuk-ngetuk ujung meja dengan perlahan dan hancurlah ujung meja itu berhamburan ke bawah.
Hai Kong Hosiang tidak mau kalah. Ia menggunakan sepasang sumpitnya seperti dua batang pensil dan menggurat-guratkan ujungnya pada permukaan meja. Nampaklah guratan-guratan yang dalam di permukaan meja itu, bagaikan tanah lempung digurat-gurat dengan pisau tajam saja.
Orang-orang yang melihat demonstrasi lweekang dari tiga orang itu bersorak memuji, dan Ang I Niocu sendiri diam-diam merasa kagum melihat pengerahan tenaga lweekang yang tidak boleh dianggap ringan itu.
Menurut kebiasaan sebagaimana dituturkan oleh Kam Hong Sin, maka oleh karena pengikut pertandingan itu ada tiga orang, lalu dilakukan undian untuk menentukan siapa yang harus bertanding lebih dulu. Pemenang pertandingan pertama ini lalu akan berhadapan dengan orang ke tiga untuk menentukan juara dan jabatan ketua.
Ketika undian dilakukan, ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Kam Hong Sin dan Wi Wi Toanio. Mereka tersenyum dan duduk berhadapan dengan tangan menjepit sumpit masing-masing.
"Ciangkun, silakan kaumulai lebih dulu, oleh karena kau yang lebih tahu tentang cara pertandingan ini."
Kam Hong Sin mengangguk dan berseru, "Toanio, jagalah sumpitmu!" Sambil berkata
demikian, sepasang sumpit Kam Hong Sin digerakkan dengan terbuka bagaikan sepasang patuk burung, hendak menjepit di tangan Wi Wi Toanio. Nenek tua ini tidak mengelak karena ia hendak mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawan. Ia membiarkan sepasang sumpitnya terjepit dan tenyata bahwa sepasang sumpitnya itu terjepit kuat bagaikan terjepit oleh catut besi saja. Kini adu tenaga dimulai. Kam Hong Sin mengerahkan tenaga untuk memutar sumpit lawannya agar terlepas dari pegangan, akan tetapi ia merasa betapa sumpit itu dipegang dengan kendur dan tenaga lweekangnya tak berdaya menghadapi tenaga halus yang meruntuhkan gerakannya dengan menyerah, akan tetapi yang mengandung kekuatan yang luar biasa besarnya hingga ketika ia mencoba untuk memutarnya, sepasang sumpit lawan itu bergerak sedikit pun tidak.
"Ciangkun, kau sudah terlalu lama menjepit!" kata Wi Wi Toanio yang sambil tersenyum dan hal ini mengherankan Kam Hong Sin oleh karena dalam pengerahan tenaga khikang,
mengucapkan kata-kata merupakan pantangan. Ia membarengi pada saat Wi Wi Toanio
membuka mulut, lalu membetot keras untuk menarik sumpit lawan supaya terlepas, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sumpit lawan itu demikian licin hingga jepitannya terlepas.
Kini Wi Wi Toanio yang menggerakkan sumpitnya dan ketika sumpitnya telah terjepit sepasang sumpit Kam Hong Sin, nenek itu tiba-tiba membuat gerakan mendorong, bukan membetot. Ini adalah gerakan yang licin dan penuh perhitungan, karena pada saat itu Kam Hong Sin memang sedang mengerahkan tenaga untuk menahan sumpitnya, maka tentu saja ketika tiba-tiba didorong, tangannya menjadi terdorong dan sumpitnya hampir terlepas. Pada saat ia mempertahankan diri dan merobah tenaganya dari menarik menjadi mendorong untuk Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
612 melawan tenaga dorongan lawan, tiba-tiba Wi Wi Toanio secara tak terduga-duga membetot sekerasnya sambil berseru,
"Lepas!"
Hal ini benar-benar tak pernah diduganya, mana Kam Hong Sin tak dapat mempertahankan sumpitnya lagi dan sungguhpun ia masih dapat mempertahankan sebatang yang lain telah kena dibetot terlepas! Kam Hong Sin bangun berdiri dan menjura di depan Wi Wi Toanio mengaku kalah sedangkan para hadirin bertepuk tangan memuji.
Hai Kong Hosiang tertawa terbahak-bahak. "Permainan bagus! Selain tenaga dan keuletan, di dalam permainan ini juga diperlukan kecepatan dan kelincahan, ditambah otak yang cerdik!
Aku yang bodoh mana dapat melawan Toanio?" Akan tetapi sambil berkata demikian, ia lalu duduk menghadapi Wi Wi Toanio, menggantikan tempat Kam Hong Sin yang sudah kalah.
"Seranglah, Hai Kong!" kata Wi Wi Toanio menantang.
"Tidak, kau saja yang menyerang, aku hendak mempertahankan diri saja," jawab Hai Kong Hosiang yang cerdik. Hwesio ini terkenal cerdik dan banyak tipu muslihatnya, maka Wi Wi Toanio berlaku hati-hati. Nenek ini ingin benar-benar diangkat menjadi ketua, karena hal ini akan menguntungkannya. Kalau ia yang menjadi pemimpin, maka ia mendapat kesempatan lebih banyak untuk membalas dendamnya kepada Bu Pun Su. Ia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang dan ilmu silat, mungkin tingkatnya masih lebih tinggi dari Hai Kong Hosiang, akan tetapi dalam hal kecerdikan, ia sering mengagumi hwesio ini.
Raja Naga 7 Bintang 1 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Anak Berandalan 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama