Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Ia mengambil kitab itu dan yang lain-lain tidak bergerak untuk mencegah lagi. Sambil membuka kitab itu Ang-bin Sin-kai memperlihatkannya kepada semua orang, dan benar saja.
Tulisan di dalam kitab itu tidak karuan macamnya dan tidak dapat dibaca sama sekali. Hanya di halaman depan ditulis dengan huruf besar dan jelas "IM-YANG BU-TEK CIN-KENG", akan tetapi selanjutnya tak dapat sehuruf pun yang dapat mereka baca.
"Ha, ha, ha!" Ang-bin Sin-kai tertawa lagi sambil menuding ke arah huruf pertama. "Siapa di antara kita yang dapat membaca huruf pertama ini?"
Semua orang memandang. "Huruf BENG!" kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
"Bukan gundul! Huruf BENG di depannya pakai huruf JIT, akan tetapi ini pakai huruf GO!"
Ang-bin Sin-kai membantah. "Huruf macam ini tidak terdapat dalam kata-kata kita. Siapa yang akan dapat menterjemahkan kecuali mendiang Gui-suicai?" Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melemparkan kitab itu ke atas meja, karena setelah membuka-buka lagi, mereka hanya melihat tulisan-tulisan yang bentuknya seperti gambar yang tidak karuan, ada gambar udang, gambar kepiting, gambar muka orang dan lain-lain yang tak dapat diartikan sama sekali.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
95 "Aku tahu! Anak kecil itu?"" kata Kiu"bwe Coa-li.
Lalu ia menengok kepada muridnya dan berkata, "Sui Ceng, siapa namanya anak laki-laki Gui-suicai itu?"
"Namanya Lu Kwan Cu!" kata Sui Ceng
Muka Ang-bin Sin-kai merubah, "Anak kecil itu mana mengerti?"
"Belum tentu!" kata Hek-i Hui-mo. Kita harus tangkap dia dan tanya dia, siapa tahu dia sudah mempelajari dari gurunya!" Kembali mereka bersitegang dan kini timbul harapan, maka mereka saling pandang dengan penuh kecurigaan dan tak seorang pun berani mencoba untuk mengambil kitab itu lagi!
Ang-bin Sin-kai mengangguk. "Baik! Sekarang diatur begini saja. Disini ada tiga orang anak murid Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Biar mereka membawa meja ini dan kita berjalan di belakang, lalu kita mencari Lu Kwan Cu. Kalau dia bisa menterjemahkan, kita lanjutkan pertandingan ini."
Demikianlah The Kun Beng, Gouw Swi Kiat, dan Bun Sui Ceng lalu mengangkat meja sembahyang itu bertiga, diangkat tinggi-tinggi. Semua barang di atas meja itu telah di lemparkan, kecuali kitab itu yang berada di tengah-tengah. Lalu berangkatlah mereka. Benar-benar lucu sekali rombongan ini. Yang di depan tiga orang anak kecil. Kun Beng dan Swi Kiat memegang kaki meja berjalan di depan. Sui Ceng kaki meja di belakang. Dan di belakang "meja berjalan" ini berjalanlah lima orang tua yang aneh!
"He, mengapa menjadi berat meja ini?" Swi Kiat berkata dan ketika menoleh, dia membentak,
"Bocah setan, jangan main-main!" Kun Beng yang juga menengok, terdengar tertawa.
Ternyata bahwa Sui Ceng yang nakal itu, kini tidak lagi ikut memanggul meja, melainkan ia bergantung pada kaki meja yang dipegangnya itu! Oleh karena tubuhnya paling pendek, maka ia dapat begantung sehingga boleh dibilang ia dipikul oleh Kun Beng dan Swi Kiat. Setelah Swi Kiat membentaknya, barulah Sui Ceng menurunkan kakinya dan ikut memanggul lagi.
Benar-benar seperti tiga orang anak kecil memanggul patung toapekong dari kelenteng yang diarak!
Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang.
Biarpun dia telah memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh, dan diperkuat pula oleh latihan-latihan samadhi semenjak dilatih oleh Loan Eng dan kemudian dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang di terjemahkan oleh suhunya, yakni Gui Tin, namun menghadapi keadaan hidupnya, dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat kesunyian.
Tadinya, ketika dia bertemu dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasakan kebahagiaan, dan merasa suka sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian setelah dia berpisah dari Loan Eng dan bertemu dengan Gui Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan lagi karena dia merasa ada orang yang harus dijaganya, yang dapat dikasihinya dan juga mencintainya. Maka dapat dibayangkan betapa sakit hatinya ketika dia menyaksikan kematian Gui Tin. Ketika dia melakukan perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki gunung dan di luar sebuah dusun dia melihat sebuah rumah pondok yang reot dan kosong. Ia merasa girang dan memasuki rumah ini. Perutnya terasa lapar sekali dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni Menteri Lu Pin, dia taruh di atas lantai Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
96 dalam rumah itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya terang sekali! Namun bagi Kwan Cu, bulan yang bundar itu bahkan menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan.
Kalau saja dia tidak memiliki hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis tersedu-sedu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menangis, dia keluar dari rumah pondok reot itu duduk di luar rumah di atas sebuah batu.
Ketika dia memandang ke arah bulan yang bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu seakan-akan berubah menjadi wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar lagi berubah lagi menjadi wajah Gui Tin yang sayang kepadanya. Ia membuang muka dan tidak berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang sudah rontok semua daunnya, tinggal cabang-cabangnya saja, membuat keadaan menjadi makin sunyi. Lu Kwan Cu duduk dan tangan kirinya menunjang dagunya. Ia duduk termenung, tak bergerak seakan-akan telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu tertimpa cahaya bulan sehingga mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak sunyi dan sedih. "Betul kata suhu Gui Tin," pikirnya, "ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan jahat. Tergantung dari orang yang mempergunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang yang jahat dan ilmu silatnya dia pergunakan untuk menolong orang. Kalau aku mengerti ilmu silat, tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui Tin takkan sampai tersiksa sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan tetapi dimana aku harus mencarinya" Aku harus menemukan petinya lebih dulu agar aku dapat mencari pula kitab itu di dalam buku peta dan sejarah."
Selagi dia duduk termenung, tiba-tiba dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari depan. "Itu dia?"!" Ia mendengar suara seorang anak perempuan.
"Hei?"Kwan Cu"..!" Kwan Cu mengenal suara ini. Ia berdiri dan menanti datangnya rombongan itu. "Adik Ceng".!" teriaknya girang. Di dalam kesunyian seperti itu, melihat orang yang di kenalnya, tentu saja mendatangkan rasa girang. Akan tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat betapa Sui Ceng sedang memanggul sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki yang segera dikenalnya pula sebagai dua orang anak laki-laki yang dahulu pernah mempermainkannya, yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Lebih-lebih herannya ketika dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula Ang-bin Sinkai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah dikenalnya baik-baik.
"Anak baik! Kau sudah berada di tempat ini?" tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang.
"He, Kwan Cu! Kau masih ingat kepada pinceng, bukan?" kata Jeng-kin jiu kak Thong Taisu dengan suara gembira pula. Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini terkurung di tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji dan manis. Kwan Cu adalah seorang anak yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu bersikap manis, dia melirik ke arah meja yang kini telah diturunkan oleh tiga orang anak-anak itu dan melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa tentu mereka ini membutuhkan pertolongannya untuk membaca buku itu! "Cu-wi sekalian datang mengejar teecu apakah ingin bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?" tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja. "Benar-benar! Kau benar-benar seorang anak yang cerdas!" kata lima orang itu hampir berbareng. "Kau tentu dapat membacanya, bukan?" tanya Ang-bin Sin-kai. "Kwan Cu, kau telah menjadi murid Gui Tin, tentu gurumu itu telah mengajarkan membaca huruf-huruf aneh dalam kitab itu, bukan?"
kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu penuh gairah. "Bagaimana isinya" Tentang ilmu silatkah?" tanya Kiu-bwe Coa-li. "Lekas kaubaca agar kami mendengarnya, anak baik!" kata Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
97 Pak-lo-sian. Hanya Hek-i Hui-mo seorang yang tidak bicara apa-apa, akan tetapi seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya, tokoh barat dari Tibet ini tidak khawatir takkan mendapatkan membaca kitab itu tanpa bantuan Gui Tin.
Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku kamus di dalam gudang kesusastraan lama dan kalau perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku tentang bahasa yang di pergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
"Tidak ada gunanya bagi Ngo-wi (Tuan Berlima) untuk bersusah payah membaca kitab itu.
Tidak tahukah Ngo-wi bahwa kitab itu adalah kitab palsu?" kata Kwan Cu sambil
menggelengkan kepala dan memandang kepada lima orang itu dengan sinar mata menyatakan kasihan!
Terengar seruan-seruan keras dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih dekat dengan sinar mata mengancam. "Apa katamu?" "Jangan bohong bocah!"
"Kuhancurkan kepalamu yang gundul kalau kau menipu kami!"
Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi semenjak dia dijejali buah coako oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biarpun menghadapi ancaman, dia tetap tenang-tenang saja. "Apa gunanya aku membohong" Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul palsu, bukan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aselinya."
Di antara lima tokoh besar itu, Ang-bin Sin-kai paling sayang kepada Kwan Cu. Pengemis Sakti Muka Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia berkata, "Lu Kwan Cu, jangan kau bicara sembarangan. Kau tidak tahu betapa besar arti ucapanmu tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima orang ahli silat terbesar di seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali saja seorang di antara kami timbul hati marah, nyawamu takkan dapat dipertahankan lagi. Kau bilang kitab ini palsu" Kwan Cu, buktikan. Beri alasannya yang masuk akal!"
Kwan Cu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya, setelah pengemis tua ini bicara halus, dia melihat persamaan yang amat mengherankan antara pengemis ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya!
"Locianpwe, selain suhu Gui Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah mempelajari sedikit ilmu sejarah." Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar dan jeli, anak ini memandang kepada lima orang tokoh besar itu seorang demi seorang, lalu katanya,
"Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula, bukan" Tahukah Ngo-wi, kitab ini ditulis jaman apa?"
Lima orang tua itu saling pandang.
"Aku tahu," kata Ang-bin Sin-kai cepat-cepat, "ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan begitu?"
"Pinceng pun tahu, betul-betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
98 kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
"Tak salah lagi, pinceng juga tahu sedikit tentang sejarah," menyambung Hek-i Hui-mo yang semenjak tadi berdiam diri saja. "Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis jaman Kerajaan Shia."
Berseri wajah Kwan Cu, "Eh, ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!" serunya.
"Sayangnya kurang lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini di tulis di dalam jaman Shia, tentu Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini palsu!"
"Mengapa demikian?" suara Kiu-bwe Coa-li mengguntur.
"Karena pada jaman Shia belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu berani katakan bahwa kitab ini palsu!"
Lima orang tua itu saling pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka yang tiba-tiba menjadi amat kecewa. Tiba-tiba terdengar bunyi suara "tar! tar!!" dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak melayang-layang, lalu sehelai bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu dan membelitnya!
"Hayo katakan, pelajaran apa saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu ini!
Katakan terus terang kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!"
Kwan Cu merasa bahwa bulu pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin mencekik. Ia cepat mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan pelajaran yang dia latih dari kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini tidak terasa amat mencekik lagi. "Aku tidak tahu." Kata Kwan Cu.
"Bohong!" bentak Kiu-bwe Coa-li dan ia menggetarkan tangannya yang memegang cambuk sehingga lilitan makin erat, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan, tanda bahwa dari leher anak gundul itu keluar getaran tenaga perlawanan yang aneh!
Kekagetannya ini belum lenyap ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan ternyata Ang-bin Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher anak itu sambil berkata, "Kiu-bwe Coa-li, kita semua memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!"
sambil berkata demikian, dengan pengerahan tenaga lweekang, dia memencet bulu pecut itu dan memunahkan serangan Kiu-bwe Coa-li pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu terlepas lagi.
Kiu-bwe Coa-li mendelikkan matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia melihat betapa tiga orang tua yang lain sudah mendekatinya dengan sikap mengancam pula seperti ketika ia hendak mengambil kitab itu dulu. Ternyata bahwa kini anak gundul inilah yang diperebutkan!
"Di mana kitab aselinya," Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu.
"Awas jangan membohong."
"Siapa perlu membohong. Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab lapuk itu untuk apakah?" kata Kwan Cu jengkel. "Guruku Gui Tin pernah menyatakan bahwa memang ada kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng akan tetapi tidak menerangkan di mana, hanya samar Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
99 dikatakan bahwa kitab itu berada di dalam sebuah pulau kosong yang amat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah, aku bicara terus terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat bicara lain dan habis perkara!"
Memang hebat sekali kalau dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, namun melihat ketabahan dan keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, benar-benar luar biasa sekali.
Melihat sikap Kwan Cu, Sui Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan ini
mendekatinya. "Kau hebat, Kwan Cu".." katanya.
Kwan Cu hanya memandang dan tersenyum sedih kepadanya. "Apanya yang hebat, adik Ceng" Aku hanya menimbulkan keributan belaka"."
Pada saat itu, bulan yang tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya awan hitam yang terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba menyambar bayangan Hek-i Hui-mo ke arah meja. Disambarnya kitab itu dari atas meja lalu melompat pergi!
"Bangsat tua bangka curang!" teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar. Hebat sekali serangan ini karena bulu pecut itu memang panjang kalau diulur terus ada sepuluh kaki.
Sembilan helai bulu pecut meluncur ke arah bayangan Hek-i Hui-mo dengan kecepatan luar biasa. Namun, Hek-i Hui-mo bukanlah seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia telah menggerakkan tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa sehingga tasbih ini merupakan segulungan sinar bundar yang menjadi perisai. "Trang!
Traaang!!" terdengar suara nyaring dan rantaslah tasbih itu dihantam pecut Kiu-bwe Coa-li, sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan ke sana ke mari. Hal ini dapat terjadi karena dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, sebaliknya Kiu-bwe Coa-li dalam marahnya melakukan serangan sepenuh tenaga.
Hek-i Hui-mo tidak mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari.
Tiba-tiba menyambar angin besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari atas. Cepat Hek-i Hui-mo mengerahkan ginkangnya dan melompat jauh ke kiri. Terdengar suara keras dan ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon menjadi tumbang.
Ternyata bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk menghalangi larinya Hek-i Hui-mo. Tentu saja Setan Terbang Baju Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biarpun dia lihai, kalau sampai tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng!
Baru saja dia berlari beberapa langkah lagi, belasan sinar putih menuju kepadanya sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung seperi belasan ekor tawon. Inilah senjata rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya. Hek-i Hui-mo cepat mengelak dan berloncatan namun tetap saja sebatang paku menancap pada pundaknya. Ia mengeluh dan menggigit bibirnya, lalu mempercepat larinya.
Ia di juluki orang Hui-mo atau Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa sekali. Apalagi pada saat itu, bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan menjadi gelap sekali dan sebentar saja dia telah lenyap dari pandang mata.
Empat orang tokoh besar tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan kitab palsu"
Apalagi Ang-bin Sin-kai, kakek ini tertawa bergelak dan berkata, "Biarlah dia mempelajari Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
100 kitab itu sampai ubanan, dengan ilmu yang tidak aseli, aku takut apakah" Hayo Kwan Cu, kau turut aku!" Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menarik tangan anak gundul itu.
"Ang-bin Sin-kai, nanti dulu!" kata Kiu-bwe Coa-li. "Kau mau membawa kemana anak itu?"
"Dia" Dia adalah seorang anak yang sudah sejak dulu kuanggap sebagai muridku!" jawab Ang-bin Sin-kai. "Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik. Juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya Jeng-kin-jiu saja kulihat belum mempunyai murid."
"Siapa bilang" Muridku masih kurahasiakan dan kelak murid-murid kalian akan kalah olehnya. Ha, ha, ha,!" kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
"Bagus!" kata Ang-bin Sin-kai. "Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai muridku. Kita sama-sama lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa yang akan berhasil mengajar kepada murid masing-masing."
Ia hendak membawa pergi Kwan Cu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan kata-katanya yang tajam mengancam, "Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu mengambil murid, dan akupun tidak butuh dengan anak gundul ini. Akan tetapi, aku masih curiga padanya. Siapa tahu kalau dia tahu di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli" Dan siapa tahu kalau kau berpura-pura mengambil murid kepadanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab itu" Aku kenal kecurangan laki-laki macam kau!"
"Habis, kau mau apa?" tanya Ang-bin Sin-kai. "Anak ini harus dibunuh! Dengan demikain, barulah adil namanya kalau kita saling berlumba mencari kitab itu, tanpa bantuan siapapun juga."
"Betul, betul!" kata Siangkoan Hai.
Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini. "Betapapun juga, pinceng juga termasuk orang yang telah menolong nyawa anak ini, bagaimana sekarang pinceng tega hati melihat nyawanya direnggutkan orang" Apalagi pinceng yang memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kalau kalian akan berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai untuk membela dan melindunginya.
Baiknya diatur begini saja. Percayakah kau akan sumpah dari Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?"
"Aku percaya!" kata Siangkoan Hai dengan suara tegas.
"Aku pun percaya!" kata Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, "akan tetapi apa maksudmu?"
"Biar dia bersumpah bahwa dia takkan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab yang didapatkan atas pertolongan anak gundul ini," kata Kak Thong Taisu.
"Bagus, kalau begitu aku setuju!" kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menjadi makin merah mukanya. "Aku tidak sudi bersumpah!
Kalian boleh percaya kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab itu."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
101 Tiba-tiba Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan Ang-bin Sin-kai.
Anak ini, dalam semua percakapan dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia paling cocok dan suka kepada kakek jambel yang mukanya seperti kakek angkatnya itu, maka dia telah mengambil keputusan untuk berguru kepadanya. "Suhu, teecu pun baru mau mau menjadi muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tadi."
Ang-bin Sin-kai membelalakkan kedua matanya dan memandang kepada Kwan Cu. "Eh, bocah aneh. Bukankah dulu kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?"
"Sekarang teecu sudah berubah pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus setiap hari berubah pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?" jawab Kwan Cu.
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. "Boleh, boleh, biar aku bersumpah bahwa kalau aku mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, biar aku si pengemis jembel akan mampus seperti seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke dalam neraka jahanam!" Kemudian disambungnya kata-katanya ini dengan suara menyindir,
"Andaikata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang harus ditakuti?"
Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah Sui Ceng, memegang tanagan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya telah lenyap dari situ.
Siangkoan Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi, demikian pula Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawa-tawa dia "menggelundung" pergi dari situ.
"Hayo kita pergi, Kwan Cu," kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh.
"Nanti dulu, Suhu. Teecu meninggalkan sesuatu di dalam pondok itu." Anak itu berlari-lari ke dalam pondok mengambil kantongnya yang penuh uang emas pemberian kakek angkatnya.
"Apa itu?" tanya gurunya. "Uang emas, Suhu." Ang-bin Sin-kai membuka kantong itu dan terbelalak matanya melihat uang emas sebanyak itu.
"Eh, darimana kau dapatkan uang ini?" "Dari Kong-kong (Kakek)!" Makin tertegun Ang-bin Sin-kai mendengar jawaban ini.
"Bocah aneh, siapa kong-kongmu" Bukankah nenek moyangmu hanya samudera luas saja?"
Lu Kwan Cu tersenyum. "Ini mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu dan sekarang Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!" Ia lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin Sin-kai yang sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut dan juga terharu sekali.
"Buang saja uang itu, untuk apa sih" Memberatkan dan mengotorkan saja."
"Mengapa dibuang, Suhu" Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?" Kakek itu Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
102 melototkan matanya.
"Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan" Buang saja!"
"Sayang, Suhu."
"Eh, bocah gundul! Baru pada saat pertama kau sudah berani membantah suhumu?"
"Rakyat banyak sekali yang menderita dan sengsara. Daripada dibuang disini, kalau ditemukan orang hanya akan membuat oran itu menjadi tersesat hidupnya. Bukankah lebih baik dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya?"
Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang. "Kau lebih terikat dengan dunia dari padaku.
Sesukamulah." Maka berjalanlah Ang-bin Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika dia melihat betapa muridnya yang gundul itu dapat mengikutinya,dia mempercepat jalannya. Dan biarpun gurunya hanya berjalan lambat-lambat saja kelihatannya, bagi Kwan Cu, dia harus mengerahkan seluruh ginkangnya untuk berlari cepat mengimbangi kecepatan suhunya!
*** Di pinggir sebuah hutan yang liar, menghadap sebuah anak gunung yang merupakan batu karang besar, nampak pemandangan yang amat aneh dan menyeramkan sekali. Seorang ank laki-laki berkepala gundul tergantung pada cabang pohon besar, tergantung dengan kaki terikat di atas dan kepala serta kedua tangannya bergantungan di bawah! Baju anak itu yang sudah lapuk terbuka dan ikut bergantungan sehingga nampak perutnya yang kecil, dadanya yang kurus dengan tulang-tulang iga menonjol. Anak ini tidak bergerak dan kelihatan seperti mayat saja, kedua matanya meram, akan tetapi wajahnya kelihatan berseri!
Adapun di bawah pohon, bersandarkan batu, duduk seorang kakek pengemis berpakaian tambal-tambalan. Pengemis itu pun kurus kering seperti orang yang menderita kelaparan.
Apalagi kalau melihat apa yang dia lakukan pada saat itu, tentu orang akan menganggapnya sudah kelaparan dan miring otaknya. Ia memegang seekor ular hidup. Tangan kanannya mencekik leher ular dan tangan kirinya memegang tubuh ular dekat ekornya, kemudian dia menggigit perut ular itu! Ular itu membuka mulutnya dan dari dalam mulut keluarlah suara mendesis-desis dan menebulkan uap putih yang keruh. Siapakah mereka ini" Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu, adapun kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai! Apakah kakek ini sudah menjadi gila, menggantung muridnya secara terbalik dan makan ular beracun pula" Tidak demikianlah halnya.
Setelah membagi-bagi habis uang emas pemberian Menteri Lu Pin, kedua orang guru dan murid ini melanjutkan perantauan mereka. Atas permintaan Kwan Cu, mereka menuju ke bukit Liang-san. Bagi Ang-bin Sin-kai, ke mana saja mereka pergi, dia tidak ambil peduli, maka dia pun tidak mau banyak bertanya kepada Kwan Cu, apa perlunya muridnya itu mengajaknya ke Liang-san. Akan tetapi dengan keras dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada Kwan Cu.
"Dari mana kau dapat mempelajari lweekang dan ginkang yang aneh dan serba terbalik itu?""
tanyanya. Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
103 "Teecu pertama-tama menerima pelajaran dari Pek-cilan Thio Loan Eng Toanio."
"Hm, seorang wanita yang baik dan gagah," Ang-bin Sin-kai memuji.
"Kemudian, teecu menurut petunjuk dari kitab palsu yang dibawa pergi oleh Hek-i Hui-mo, yakni setelah diterjemahkan oleh suhu Gui Tin."
Kali ini Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. "Kau sudah semua isi kitab palsu itu?"
Kwan Cu mengangguk. "Akan tetapi hanya sebagian siulian dan pengaturan napas saja yang teecu pelajari."
"Coba kau tidur terlentang," Gurunya memerintah.
Kwan Cu menurut dan anak ini lalu membaringkan tubuhnya telentang.
Ang-bin Sin-kai menekan pusar muridnya, sambil berkata, "Kerahkan tenagamu yang kaudapat dari pelajaran kitab palsu." Kwan Cu mengerahkan tenaganya dengan cara pengaturan napas yang terbalik, yakni menyedot napas dengan mengembungkan perut dan mengempiskan dada! Ia merasa dadanya sakit, maka dia lalu melepaskan tenaganya itu.
Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai merasa betapa tenaga yang aneh tersembul keluar dari pusar anak itu.
"Sakitkah dadamu?"
Kwan Cu mengangguk.
"Celaka sekali! Latihan itu telah merusak paru-parumu sendiri! Ah, benar-benar kitab palsu, akan tetapi kalau ilmu ini dipelajari secara mendalam, benar-benar akan merupakan ilmu yang aneh dan juga dahsyat. Baru yang palsu saja begini hebat, apalagi aselinya. Kwan Cu, kau telah mempelajari ilmu yang salah, maka kau harus menurut segala petunjukku. Pertama-tama kau harus dapat mengusir tenaga yang salah itu dari dalam tubuhmu. Kau harus belajar menderita jasmani dan harus melakukan latihan napas samadhi secara terbalik."
Kemudian, semenjak hari itu, Kwan Cu diikat kedua kakinya, kemudian ikatan itu digantungkan pada cabang pohon sehingga anak itu tergantung seperti seekor kalong!
"Dengan begini, pernapasanmu selalu akan berada di paru-paru dan menyehatkan paru-parumu yang sudah terluka. Perutmu akan selalu kempis dan kosong. Pusatkan perhatianmu dan tutup semua panca inderamu, jangan rasakan siksaan dari perjalanan darah yang secara terbalik ini akan terasa tak enak sekali. Kulihat kau sudah pandai menutup hawa, tutuplah hawa di bagian kepalamu agar aliran darahmu tidak merusak otak. Hati-hati, latihan ini bisa membuat kau menjadi gila karena aliran darah yang banyak di bagian otak. Akan tetapi kalau kau tekun dan berhasil, hanya inilah jalan satu-satunya untuk membersihkan tubuhmu dari tenaga palsu itu!"
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih secara ini. Lebih hebat lagi, seringkali suhunya agaknya lupa untuk memberi makan kepadanya sehingga pernah dua hari dua malam Kwan Cu tergantung saja secara terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa udara saja! Akan tetapi yang lebih aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah minta makan! Akhirnya, beberapa bulan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
104 kemudian, dia telah dapat melakukan siulian (samadhi) secara tergantung kakinya ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga pernapasannya menjadi normal kembali, biarpun dalam keadaan tergantung, dia telah dapat bernapas dengan teratur, bahkan dia dapat mendesak isi perutnya agar jangan tergantung dan tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa ringan sekali dan jalan pikirannya terang.
Kini dia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Kini kalau dia hendak berlatih, tidak lagi gurunya membantu. Ia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa kain pengikat kakinya, mengikat kedua kakinya pada cabang itu lalu menggantung dirinya! Pada pagi hari itu, ketika mereka tiba di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas, seperti biasa Kwan Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon dan gurunya duduk di bawah pohon. Sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah tidur mendengkur dan Kwan Cu juga sebentar saja sudah dapat mempersatukan panca inderanya dan mengheningkan cipta. Baik guru maupun murid ini sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari atas pohon, yang merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah merah! Inilah seekor ular beracun yang jahat sekali! Biarpun gerakan ular yang merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan sekali, namun kalau saja Ang-bin Sin-kai tidak sedang tidur dan Kwan Cu tidak sedang bersamadhi dan menutup panca indera, tubuh ular yang melanggar daun itu tentu akan terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu sendiri pun kini telah memiliki pendengaran yang amat tajam.
Tiba-tiba terdengar Kwan Cu menjerit. "Suhu?"..!"
Ang-bin Sin-kai melompat bangun dan alangkah terkejutnya ketika dia melihat seekor ular melingkar di tali pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan muridnya itu!
"Kwan Cu"..!" Ang-bin Sin-kai melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah menangkap ular itu pada lehernya. Sambil duduk di atas cabang itu, Ang-bin Sin-kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba tubuh muridnya. Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Ia tahu bahwa muridnya telah terkena racun gigitan ular! Ia tidak berani menurunkan muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran darahnya akan kacau dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya yang berarti takkan dapat ditolong lagi anak itu.
"Mudah-mudahan tadi dia masih mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni dalam pusarnya," pikir kakek ini yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu. Cara satu-satunya untuk menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah ular yang menggigitnya ini. Akan tetapi di situ tidak ada mangkok atau apa saja untuk menadahi darah ular, juga sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu yang masih dalam keadaan tergantung dengan kepala di bawah. Satu-satunya cara ialah dia harus dapat menyimpan darah ular itu didalam mulutnya, kemudian dia akan dapat menyemburkan darah itu dari mulut ke mulut Kwan Cu!
Demikianlah maka melihat pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung seperti mayat, dan kakek itu duduk ambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan, meronta-ronta dan Ang-bin Sin-kai tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk mencari lobang guna menyedot darah ular itu. Lidahnya merasai darah yang asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada lidahnya, akan tetapi dia terus menyedot sehingga darah ular itu terkumpul kedalam mulutnya. Kedua pipinya yang kurus menggembung, karena Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
105 mulutnya penuh dengan darah ular. Beberapa tetes darah mengalir turun ke dagunya, membuat di nampak menyeramkan sekali. Ular itu makin lama makin lemah gerakkannya dan setelah darahnya habis, dia mati lemas.
Ang-bin Sin-kai melemparkan bangkai ular, lalu melompat lagi ke atas cabang. Ia menggantungkan kedua kakinya pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan membungkukkan punggungnya, mukanya berdekatan dengan muka muridnya. Ketika dia mengulur tangan membukakan mulut muridnya, kakek ini terheran-heran karena melihat muka muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka lagi! Akan tetapi dia tidak mau banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut muridnya dan menempelkan sendiri ke mulut muridnya yang terbuka, kemudian dia mengerahkan hawa dalam perutnya untuk menyemburkan darah itu ke dalam perut muridnya! Kwan Cu yang sudah siuman itu maklum akan maksud suhunya, maka dia lalu menerima darah ular itu dan menelannya.
"Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!" seru Ang-bin Sin-kai setelah mulutnya kosong karena darah ular semua telah berpindah ke mulut dan perut muridnya.
"Tahan napas dan biarkan darah ular itu memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!" Kwan Cu menurut petunjuk suhunya dan sebentar saja, dia merasa panas yang menyerang tubuhnya menghilang. Ang-bin Sin-kai menaruh telapak tangannya pada pusar muridnya dan dari telapak tangan itu dia mengalirkan hawa untuk membantu kekuatan muridnya melawan racun ular tadi. Setengah hari guru dan murid itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh muridnya tidak panas lagi, Ang-bin Sin-kai menurunkan tubuh muridnya.
"Kau selamat!" katanya dengan lega. "Akan tetapi aneh sekali mengapa kau tidak muntah.
Biasanya, kalau racun ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular, orang yang digigit ular tentu akan muntahkan darah ular beracun itu." Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
"Mohon diampunkan atas kelalaian teecu sehingga merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang teecu merasa bahwa tubuh teecu amat nyaman dan ringan. Agaknya darah dan racun ular itu ada khasiatnya yang lihai."
"Mana mungkin?" Gurunya menggeleng kepala. "Kecuali kalau kau sudah makan coa-ko (buah ular)."
"Teecu sudah makan coa-ko, Suhu!"
"Hush! Kau kira mudah mendapat coa-ko" Aku yang sudah tua ini pun sejak dulu mencari belum juga dapat."
"Akan tetapi teecu tidak membohong, Suhu." Lalu Kwan Cu menuturkan betapa dia dahulu diculik oleh Tauw-cai-houw dan dijejali sebutir buah ular. Gurunya girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu. Hanya diam-diam dia berpikir bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang bernasib baik sekali.
"Hm, kalau aku tahu bahwa kau sudah makan buah coa-ko, tadi aku takkan begitu
kebingungan seperti orang kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu, kau takkan dapat tewas oleh racun ular yang manapun juga!" Maka setelah melihat betapa tubuh Kwan Cu sudah bersih daripada tenaga yang didapatnya dari latihan menurut kitab pelajaran palsu, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
106 Ang-bin Sin-kai lalu mulai melatih muridnya ini dengan ilmu-ilmu silat dari dia sendiri.
Pengemis Sakti Muka Merah ini adalah tokoh terbesar dari timur, maka tentu saja dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong.
*** Agar pembaca tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, anak perempuan dari Pek-cilan Thio Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid dari Kiu-bwe Coa-li, baiklah kita menengok keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak ia meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi ketua oleh para anggauta Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang bersama Bun Sui Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan nasib puterinya kelak, maka timbul didalam pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong Kiat.
Ketika masih kecil, Ong Kiat ini adalah kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi tetangga dan di antara kedua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok.
Akan tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan berpisahlah mereka. Dengan terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika ia menikah dengan Bun Liok Si, dan diam-diam ia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta kepadanya. Kemudian Ong Kiat yang semenjak kecil juga belajar ilmu silat, menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-san-pai. Selama itu, mereka tak pernah saling bertemu lagi.
Baru setelah Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara kebetulan sekali. Ketika itu, seperti biasa, Loan Eng meninggalkan puterinya yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri merantau di dunia kangouw untuk melakukan tugas sebagai seorang lihiap (pendekar wanita). Memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk merantau dan mempergunakan
kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Ia sering kali berpakaian putih dan karena kecantikannya disamakan dengan bunga cilan yang harum, maka ia mendapat julukan ini. Selain itu, Loan Eng memang suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias dengan setangkai bunga cilan. Loan Eng seorang diri menuju ke sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-san yang berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan orang jahat ini lihai sekali. Pek-cilan Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti takut. Selain lihai ilmu pedangnya, juga nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya, dan biarpun ia sudah seringkali menghadapi orang-orang jahat dan bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat.
Setelah Loan Eng mulai naik Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidakamanan daerah ini.
Banyak dusun-dusun telah kosong, ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah kedaannya dan hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja. Namun, Loan Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Ia ingin sekali mendatangi sarang gerombolan itu dan ingin membasmi gerombolan itu sampai bersih!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
107 Loan Eng tidak tahu bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan
mengintainya dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam. Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah ketika mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang langsing.
Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali dan berlompatan keluarlah anggauta-anggauta gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau Sakti).
"Nona yang elok dan gagah siapakah bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?"
tanya Sin Sai sambil memandang kagum, adapun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah.
"Tak perlu namaku diketahui oleh gerombolan-gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini" Kalau betul, berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi."
Semua orang tertegun, karena tak mereka sangka seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.
"Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!" sambil berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu katanya dengan mulut menyeringai. "Nona manis, walaupunkau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku takkan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!"
Bernyala sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus. Sekali ia menggerakkan tangannya, pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.
"Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, kalau tidak dapat membasmi kalian anjing-anjing hina-dina, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!" Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw!
Sin Houw melihat sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, tidak berani memandang ringan. Ia maklum dari gerakan ini bahwa pendekar wanita di depannya itu memiliki kepandaian tinggi, apalagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang. Cepat dia menangkis dan mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang orang terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental, bahkan kepala rampok muda ini yang merasa telapak tangannya sakit! Ia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng dengan gerak tipu Hong-sauw-pai-hio (Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
108 Diam-diam Loan Eng harus akui bahwa kepala raampok muda ini tidak jelek kepandaiannya, maka cepat ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai sekali. Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Namun ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng dan dalam beberapa jurus saja Sin Houw terdesak hebat.
Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih lebih tinggi dan lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok diberi tanda dan sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat. Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya dan tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.
"Mundur"..!" teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh. "Kita tangkap dia hidup-hidup!" seru Sin Houw pula. Mereka lalu berkelahi sambil mundur.
Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat.
Akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini" Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan
mengeluarkan suara keras!
Pek-cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Ia memandang bangunan di depannya yang kini nampak sunyi. Tak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya.
Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun" Ia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan mempergunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan berpekarangan belakang luas sekali ini.
"Hm, mereka pasti akan menjebakku," pikir Pek-cilan Thio Loan Eng. Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan banyak sekali menghadapi penjahat-penjahat, tentu saja ia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biarpun ia sudah bercuriga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, ia tidak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu da beberapa kali bacok saja, sambil mengeluakan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!
"Syuuuuuut-syuuuut! Syuuut!" banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini, akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali dan setelah tadi merobohkan pintu, ia melompat kesamping sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong.
Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk sambil memutar pedangnya memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Ia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorangpun manusia.
Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan, "Tangkap penjahat! Padamkan api".!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
109 Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini. Akan tetapi ia tidak tertarik dan ingin terus menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan ia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.
"Siapakah dia" Mengapa menangis" Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,"
pikir Loan Eng. "Aku harus menolong dia." Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu. Suara tangis itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran daun pintu sehingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti juga tadi, Loan Eng tidak menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke belakang sambil memandang tajam. Ia tidak melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis wanita yang tadi kini telah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini.
Baru saja ia melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa menengok lalu menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil memutar tubuhnya. Akan tetapi anehnya, toya itu tidak terpegang oleh siapapun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di atas. Ketika Loan Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang di gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apabila ada orang memasuki kamar dan terkena injak alat penggeraknya. Namun ia tidak takut dan melangkah terus! Baru dua tindak ia melangkah, agaknya ia kena injak alat-alat penggerak lagi yang di pasang di bawah permadani, karena tiba-tiba terengar suara keras dan tiga macam senjata menyerangnya dari tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk kearah perutnya, dan senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan kepalanya!
Namun, Pek-cilan tidak gentar sedikit pun juga. "Perampok busuk, siapa takut dengan senjata-senjatamu?" bentaknya dan cepat ia merendahkan tubuh untuk menghindarkan kepala dari sambaran ruyung, dan golok yang menyambar ke arah kakinya itu dapat di tendangnya secara luar biasa sekali! Memang Loan Eng memiliki ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda ini berani menghadapi senjata musuh yang tajam atau runcing dengan kedua kakinya!
Adapun tombak yang menusuk ke arah perutnya dapat di babat putus dengan pedangnya.
"Gerombolan perampok, hari ini aku harus dapat membasmi kamu semua!" Loan Eng berseru dan hendak menerjang pintu yang berada di kamar itu" Akan tetapi, tiba-tiba saja dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang lebarnya memenuhi kamar itu, Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat keluar dari kamar itu, namun tidak keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala itu sudah menerkamnya dan ternyata bahwa itu bukanlah jala biasa melainkan jala yang terbuat daripada kawat-kawat baja yang lemas namun kuat sekali!
Untuk beberapa lamanya, Loan Eng menjadi bingung dan gelagapan. Ia meronta-ronta ke sana ke mari di dalam jala, seperti seekor ikan emas dalam jala seorang nelayan. Makin keras Loan Eng meronta, makin erat pula jala baja itu menekan tubuhnya! Pendekar wanita ini lalu Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
110 diam tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Ia tidak boleh gugup menghadap bahaya ini, kemudian ia menggunakan pedangnya, digosokkan pada kawat jala seperti orang orang menggergaji. Dengan pengerahan tenaga lweekangnya, ia berhasil dan kawat itu putus!
Loan Eng girang sekali dan bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin putus beberapa helai kawat jala dan kini ia akan mudah saja dapat menerobos keluar dari jala yang sudah bocor itu.
Akan tetapi ia tidak mau keluar, bahkan memegangi bagian jala yang yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang mendatangi.
Muncullah dari pintu depan dengan seorang anggauta gerombolan yang tertawa-tawa.
"Ha, ha, ha, aku dapat menangkap seekor ikan duyung!" serunya girang. "Aduh cantiknya!
Manis, kalau kau berjanji mau menjadi biniku, aku akan melepaskan kau dari jala itu. Ha, ha, ha!" Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau menangis lagi karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos keluar dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh anggauta gerombolan ini sudah putus menjadi dua bagian pinggangnya!
Dengan marah sekali Loan Eng lalu menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan terbuka. Di situ ia melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan giginya digigitkan. Ternyata di balik pintu itu adalah sebuah ruangan yang luas dan di seberang sana ia melihat seorang wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh Sin Houw, kepala perampok ke dua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai dan kini dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain.
"Jahanam keparat!" Loan Eng memaki dan cepat ia berlari mengejar. Akan tetapi, celaka sekali baginya! Tidak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepda wanita itu, yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan, hanya dengan maksud agar Loan Eng menjadi marah, kurang hati-hati dan mengejarnya. Ketika pendekar wanita ini berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba permadani yang diinjaknya menyeplos kebawah! Di situ tidak ada lantainya sama sekali dan merupakan lobang yang besarnya ada sepuluh kaki segi empat dan dalam sekali, hanya ditutupi luarnya dengan permadani tebal. Tentu saja kalau diinjak lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya!
Bukan main kagetnya hati Loan Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang menerima tubuhnya di bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang pada permadani yang tebal dan lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali dan setelah terkena air, terus saja tenggelam! Loan Eng terpaksa cepat-cepat melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan tenggelam terus. Bukan main dalamnya sumur yang lebar sekali ini dan ia tidak pandai berenang!
Pada saat itu, air bergolak dan permadani tadi sudah tenggelam, kini tersembul kembali dengan cepatnya. Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika melihat ujung ekor ikan yang besar! Ternyata bahwa di dalam sumur lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi marah karena permadani itu tenggelam. Sekarang ikan itu mengamuk dan menyerang permadani tadi. Terdengar suara kain robek dan sebentar saja permadani itu cobak-cabik. Ketika Loan Eng merasa tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan kedua kakinya ke bawah dan mumbul kembalilah dia. Cepat ia mengerahkan tenaganya menusuk dinding sumur dengan pedangnya yang tak pernah lepas Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
111 dari tangannya. Biarpun dinding sumur itu berbatu dan keras, namun pedang Loan Eng dengan mudah menancap sampai setengahnya.
Kini nyonya muda itu mempunyai pegangan, yakni gagang pedangnya dan karena tubuh di dalam air menjadi ringan sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada pedangnya. Akan tetapi, setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya yang lebih hebat lagi, yaitu ikan itu! Beberapa kali kepala ikan tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu di depan mulutnya mempunyai sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah Loan Eng bahwa itu ikan cucut yang jahat dan suka makan orang!
"Celaka," pikirnya dengan hati berdebar. Kalau ia berada di darat, biarpun ada sepuluh ekor binatang macam ini, ia takkan merasa jerih. Akan tetapi, karena ia tidak berdaya dan di dalam air kepandaiannya tiada gunanya lagi, tentu saja bahaya yang kini ia hadapi adalah bahaya maut yang sukar dielakkan lagi. "Betapapun juga, aku harus dapat melawannya," pikir Loan Eng dengan gemas.
Cepat nyonya muda ini mengerahkan tenaga lweekangnya dan dengan tangan kiri berpegang pada gagang pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada dinding sumur. Hebat juga tenaga lweekang nyonya ini karena biarpun ia merasa ujung jari-jari tangannya sakit, namun ia berhasil mencengkeram dinding itu dan membuat lobang di mana ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat tangannya berpegang pada lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut pedang dengan tangan kanan karena ia melihat air berombak dan ikan itu muncul lagi!
Bukan main dahsyatnya ikan itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah sekali. Ketika ia melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan tombak di depan mulutnya dengan kecepatan luar biasa! Loan Eng sudah bersiap sedia dan cepat ia menggerakkan pedangnya menangkis tombak itu. Ia merasa seluruh lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyeleweng. Akan tetapi ia tidak mengira bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng dengan memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi, ekornya menyabet ke depan!
Sebetulnya, serangan ini bagi Loan Eng tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang muncrat ke arah mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi, nyonya ini masih sempat menggerakkan pedang, diputar depannya dan ketika ekor itu menyabet, terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung pedang yang runcing tajam. Namun, berbareng dengan tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang memberebet dan pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor. Hebat sekali karena ujung lengan baju itu membelit pada ekor sehingga ketika ikan itu meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan robek semuanya pakaian Loan Eng bagian atas!
Pendekar wanita ini bingung sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa oleh ikan itu sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup oleh pakaian dalam yang sempit dan tipis sehingga ia dalam keadaan setengah telanjang.
"Bedebah! Kau harus mampus!" seru Loan Eng dengan marah sekali, akan tetapi berbareng ia pun menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Seandainya ia tertolong dan dapat keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan orang"
Ikan itu kini tidak berani menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa sakit Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
112 sekali. Air sumur itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan Eng hampir menjadi pingsan oleh bau amis yang memuakkan perutnya. Ia mengincar dan bersiap-siap.
Ketika ikan itu berenang berputaran dan dekat dengan dia, cepat sekali pedangnya ia gerakkan ke arah perut, menusuk kuat-kuat lalu menggerakkan pedang ke belakang tubuh ikan sehingga perut itu terbelah! Ikan itu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat dan tubuh Loan Eng bergerak-gerak karena gelombang air. Akan tetapi hanya sebentar karena perut ikan itu telah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah binantang itu. Akan tetapi, air menjadi makin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan pegangannya pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk menancapkan pedang pada dinding sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada gagang pedang lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini bergantung pada gagang pedang dalam keadaan setengah pingsan. Ia mulai putus asa karena tidak melihat jalan keluar sama sekali. Tubuhnya kedinginan, karena dalam keadaan setengah telanjang itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam tulang-tulangnya.
Pada saat yang amat berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang dan terdengar suara orang.
"He, kawan yang berada di bawah. Lekas berpegang pada tambang!"
Pikiran Loan Eng sudah nanar dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi tidak ingat akan keadaan tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di dekatnya, ia cepat menyambar, mencabut pedangnya dan bergantung pada tambang itu. Bau amis membuat dia muak dan lemah sehingga ia tidak kuasa lagi untuk merayap melalui tambang. Perlahan-lahan, tambang itu ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana ia tadi terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali melihat wajah seorang pemuda yang tampan. Ia mempertahankan rasa muaknya, akan tetapi tak tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu tak sadarkan diri.
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi tidak lama ia jatuh pingsan. Ketika ia membuka mata kembali, cepat ia melompat dan pada saat ia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang tadi menutupi tubuhnya bagian atas dan dengan kaget Loan Eng melihat betapa tubuhnya bagian atas intu setengah telanjang!
Bukan main kagetnya dan cepat-cepat ia menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali. Ia menengok dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil memandangnya dengan senyum!
"Loan Eng, baiknya kau lekas sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka itu masih mengancam keselamatan kita."
"Ohhh?".." Loan Eng terkejut sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting di rebus.
"Kau?"Ong Kiat".." Bagaimana kau bisa berada di sini"..?"
Orang muda itu tersenyum lagi, wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tidak ada perubahan pada wajah yang dikenalnya baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu.
"Tiada waktu bicara sekarang, Loan Eng. Lekas kau pakai pakaian kering ini dan kita bersiap menghadapi mereka!" Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu melemparkan segulung pakaian wanita kepada Loan Eng, kemudian dia membalikkan tubuhnya, membelakangi Loan Eng.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
113 Makin merah muka Loan Eng. Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, ia tidak sudi berganti pakaian di dekat orang laki-laki, sungguhpun laki-laki itu telah berdiri membelakanginya. Namun, ia harus berganti pakaian, karena kalau nanti bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak dengan baju panjang yang mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu" Cepat-cepat ia membuka semua pakaiannya dan kalau ada perlombaan berganti pakaian pada waktu itu, pasti Loan Eng akan menjadi juaranya.
Demikian cepatnya ia berganti pakaian!
"Jadi kaukah orang yang menolongku dari sumur tadi?" tanyanya perlahan.
"Tiada harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku bersiap sedia selalu untuk membelamu dengan taruhan nyawa sekalipun!"
Berdebar jantung janda muda itu dan ia memeras rambutnya lalu di gelungnya.
"Punyamukah jubah panjang ini, Ong Kiat?"
"Ya, aku melihat kau"..kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku."
Dengan muka terasa panas biarpun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang muda itu. "Dan"kau"..kau melihat".."
"Apa, Loan Eng?"
?"".tidak apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!"
Orang muda itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang.
"Ah, kau tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu."
"Siapa bilang tidak berubah" Aku sekarang sudah tua."
"Kau keliru! Setiap orang akan dapat mengatakan bahwa kau tiada ubahnya seorang gadis berusia tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng."
"Kau pun tidak berubah, Ong Kiat, yakni". watakmu, masih baik seperti dulu."
"Jadi keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?"
"Hanya pakaianmu!"
Ong Kiat tertawa dan biarpun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih muda sekali.
"Memang aku telah menjadi piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal di kota Hak-keng, tidak jauh dari sini."
Percakapan mereka terhenti karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki.
"Akan kubasmi semua gerombolan anjing itu!" kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu.
Alangkah kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu. Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu.
Namuan Loan Eng dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
114 berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng sudah lantas menggerakkan pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang berkepandaian tinggi.
Hebat sekali sepak terjang kedua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng.
Pendekar wanita ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya, sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati anak buah gerombolan yang segera roboh sambil menjerit kesakitan.
Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung pedang Loan Eng, kemudian bersama Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak seorangpun dapat melarikan diri.
Ong Kiat lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-keng.
Ong Kiat mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia tidak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil menghaturkan terima kasih.
Lalu mereka membakar gudang sarang gerombolan itu dan kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang wanita itu menuju Hak-keng. Tak perlu kiranya diceritakan betapa dua orang muda pendekar ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para korban itu. Terutama sekali Ong Kiat yang memang sudah terkenal di kota Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar Hak-keng taihiap kepadanya.
Kemudian, di ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak.
Loan Eng merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.
"Ong Kiat, di mana orang tuamu?"
Ong Kiat menarik napas panjang. "Mereka telah meninggal dunia ketika di kota ini mengamuk wabah penyakit."
"Dan kau hidup sebatang kara?"
Ong Kiat mengangguk.
"Apakah kau tidak?" tidak beristri?"
Mendengar pertanyaan ini, merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar, "Loan Eng, kaukiara aku laki-laki macam apakah" Selama hidup, aku takkan melanggar sumpahku!"
Kini Loan Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
115 denganThio Loan Eng yang sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si!
"Loan Eng, kau baik-baik saja selama ini" Bahagiakah hidupmu?"
"Ah, Ong Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik. Aku?" aku telah membunuh suamiku sendiri."
Akan tetapi Ong Kiat tidak heran mendengar ini. "Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar tentang semua keadaanmu." Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya. "Ah, ya, bagaimana dengan puterimu" Sudah besarkah?"
Berseri wajah Loan Eng. "Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini."
Setelah berhenti sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tidak enak itu. "Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali menolongku keluar dari dalam sumur?" Ong Kiat lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya, maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan. Pada suatu hari, pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari seorang bangsawan dan barang-barang itu harus di antarkan ke kota raja. Pada waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini sedang mengantar seorang keluarga, yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-keng kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan itu.
Marahlah Ong Kiat dan seorang diri saja dia lalu membawa goloknya melakukan
penyelidikan. Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran pada bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan ini, karena dia tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagian-bagian rahasia.
Kemudian dia merobohkan beberapa orang anggauta gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang pada saat yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan besar, di mana terdapat sumur rahasia itu. Ia merobohkan dua orang anggauta gerombolan dan yang dua lagi lari keluar. Maka tepat sekali kedatangannya dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya.
Melihat keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan minta sesetel pakaian dari seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar manita ini siuman kembali.
Mendengar penuturan Ong Kiat, Loan Eng berkata kagum, "Tak kusangka bahwa
kepandaianmu telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat."
"Ah, mana bisa di bandingkan dengan ilmu pedangmu?" jawab Ong Kiat merendah,
kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh dia berkata, "Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda, hidup berdua dengan puterimu, adakah harapan kiranya bagiku untuk membantumu mendidik puterimu itu" Aku akan menganggap sebagai anakku sendiri, Loan Eng." Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya itu dengan penuh harapan.
Loan Eng tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
116 dahulu sebelum ia di jodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat, kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam. Akan tetapi, setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biarpun suaminya telah meninggal dunia, namun andaikata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu. Akan tetapi, nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang amat tidak tersangka-sangka, ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya!
Dapat dibayangkan betapa gelisah dan bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini. Ia maklum akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andaikata ia meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung, dan juga puterinya, Sui Ceng, pasti akan menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya daripada ayahnya sendiri yang sudah meninggal!
Akan tetapi".. hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, di Tiongkok pada masa itu, adalah merupakan hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda, apalagi sudah mempunyai anak, untuk menikah lagi. Melihat sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya, dengan nada mendesak. "Loan Eng, bagaimana jawabmu" Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?"
Loan Eng mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu menjadi basah. "Ong Kiat, bagaimana aku harus menjawabmu" Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin mengecewakanmu, kau begitu baik". Sedangkan aku?""
"Hush Loan Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi.
Marilan kita bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu."
Mendengar ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan kini ia memandang dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman.
"Loan Eng, aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?"
Loan Eng mengangguk, "Bukan cuma itu, Ong Kiat. Aku telah membunuh suamiku sendiri karena dia menyeleweng karena cemburu. Kalau sekarang aku menikah lagi dengan kau, apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?"
Ong Kiat mengerutkan keningnya, beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini.
"Akan tetapi, Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar itu hanya mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita" Pula, hendak kulihat, siapa orang-orangnya yang berani mencacimu" Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tidak terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena beratahun-tahun aku menanti, bahkan aku telah mengambil keputusan takkan menikah dengan orang lain. Masa aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
117 Ingatlah selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu."
Demikianlah, Loan Eng lalu pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari tangan Tauw-cai-houw sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Kemudian terjadi peristiwa penculikan Sui Ceng oleh anak buah suaminya, yakni anggota-anggota Sin-to-pang. Melihat keadaan ini, ngerilah hati Loan Eng. Ia takut kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan yang amat dikasihinya itu akan benar-benara menjadi ketua dari Sin-to-pang! Maka ia lalu membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu.
Kemanakah perginya Loan Eng dan Sui Ceng. Mudah diduga. Kemana lagi kalau tidak ke Hak-keng, ke tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan Eng. Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia. Ong Kiat menerima mereka dengan girang bukan main. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana sekali. Ong Kiat hanya mengundang kawan-kawan dan kenalan-kenalan yang dekat, dan upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu. Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali. Selagi para tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw (pendekar wanita) yang tua akan tetapi berwajah keren sekali. Pendeta wanita ini memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, tokoh besar ke dua dari selatan! Pada waktu itu, Loan Eng sedang memeluk puterinya, sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan upacara pernikahan, Sui Ceng tidak mau keluar dari kamar dan anak ini marah-marah saja dan menangis. "Ibu, kau terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?" demikian berkali-kali anak kecil ini menegur ibunya dengan muka cemberut.
"Sst, anakku. Bukankah paman Ong amat baik" Dia akan menjadi ayahmu yang baik sekali."
"Ah, aku tidak suka, Ibu. Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap ayahku!"
Mendengar ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak harus berbuat dan berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar. Suaminya masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng lalu melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian ia lalu bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas tempat tidur. Ketika Loan Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah. "Suthai, kau terlalu sekali!
Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau datang-datang hendak mengacau?"
Mendengar ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras, "Ong Kiat, jangan kurang ajar?"!" Semua orang terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng berlari setelah tiba di depan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depannya dan mengangguk-anggukkan kepala. "Teecu mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian?"." katanya dengan suara amat menghormat.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
118 Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya. "Hm, Loang Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni bukan datang hendak mengganggu, hanya untuk minta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu
kebahagianmu saja?"
Pada saat itu, Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat tokouw itu, Sui Ceng tertegun. Mengapa ibunya berlutut didepan tokouw aneh ini" Sementara itu Kiu-bwe Coa-li ketika melihat Sui Ceng, lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu cambuknya itu melayang dan tahu-tahu telah melibat tubuh Sui Ceng. Sekali betot saja, tubuh anak itu telah melayang ke arahnya dan diterima terus di pondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang. "Hebat, hebat! Kau lihai sekali, Suthai," kata Sui Ceng.
Kiu-bwe Coa-li tertawa. "Mau kau ikut aku belajar silat" Di sini kau hanya mengganggu ibumu yang sedang bersenang-senang!"
Sui Ceng memandang kepada ibunya yang berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di dekat situ, lalu ia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan menganggukkan kepalanya. "Aku ingin belajar silat, karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!"
"Bagus, hayo ikut aku pergi!" Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng.
"Sui Ceng".!" Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar.
Tokouw itu menengok dan berkata dengan suara keren, "Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan anakmu sebagai muridku?"
"Bukan tidak rela, hanya teecu berat berpisah dari dia".." jawab ibu ini.
Kiu-bwe Coa-ii tertawa mengejek. "Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru" Dia yang akan menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!".
"Suthai, kau terlalu sekali!" Ong Kiat membentak. "Kembalikan Sui Ceng kepada kami!"
Piauwsu muda ini lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng.
"Ong Kiat, jangan"!" Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat.
Begitu Kiu-bwe Coa-li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup angin puyuh. "Hm, kalau tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!" kata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng.
Loan Eng menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih terheran-heran bagaimana dia tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tidak dapat melihat tangkisan atau serangan wanita tua yang lihai itu. "Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus.
Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti" Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-san tak mungkin dapat menandingi kelihaian nenek tadi. Siapakah dia itu?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
119 Setelah menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata, "Tidak tahukah kau siapa dia" Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!"
"Ayaaa?".! Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?" kata Ong Kiat.
"Dia telah beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggalkan oleh anakku?"
Loan Eng mengeluh sedih. Ong Kiat menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat-laun dapat juga Loan Eng mengatasi kedukaannya.
Demikianlah keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang telah menjadi muridnya. Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih lanjut.
Sambil melakukan perjalanan menuju ke Gunung Liang-san untuk mencari peninggalan buku-buku dari Gui Tin, Lu Kwan Cu mulai menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai Lu Sin.
Ang-bin Sin-kai melihat bakat yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak berlaku kepalang tanggung dalam melatih ilmu silat. Ia melatih bhesi dan gerakan kaki dengan amat cermat, sehingga dalam beberapa bulan, dia masih belum memberi pelajaran ilmu pukulan, melainkan ilmu pelajaran pasang kuda-kuda kaki dan mengatur tenaga dalam kedudukan badan.
Selain itu, dia memberi pelajaran cara bersiulian dan mengatur napas. Biarpun pelajaran ini menjemukan dan tidak menarik hati, namun Kwan Cu mempelajari dan melatih diri dengan amat tekun. Tubuhnya telah kehilangan tenaga lweekang yang dilatihnya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, maka boleh dibilang dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi. Akan tetapi, dalam hal latihan ginkang dan ilmu lari cepat, Kwan Cu benar-benar mendapat kemajuan pesat sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri merupakan latihan yang terus menerus baginya. Tanpa memberitahukan muridnya, makin lama Ang-bin Sin-kai makin cepat menggerakkan kedua kakinya sehingga secara otomatis, ilmu lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali. Kadang-kadang, di waktu melompati jurang-jurang kecil, kakek ini tidak membantu Kwan Cu dalam melopati jurang-jurang makin hebat dan makin lebarlah jurang yang dapat dilompatinya. Pada suatu hari, mereka mengaso di dalam sebuah hutan. Ang-bin Sin-kai tidur mendengkur sambil bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di dalam hutan mencari bahan makan siang. Ia tahu bahwa suhunya doyan sekali makan daging kelinci panggang, maka dia mencari-cari binatang itu untuk ditangkapnya. Setelah mencari beberapa lama, akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang menggerak-gerakkan kedua telinganya dengan lucu sekali.
Kelinci itu pun mendengar kedatangannya, dan cepat sekali binatang ini melompat ke dalam semak-semak. Kwan Cu mengejarnya dan mengambil beberapa potong batu kecil. Di goyang-goyangnya rumpun di mana kelinci itu bersembunyi. Binatang ini menjadi ketakutan dan melompat keluar lalu berlari cepat. Akan tetapi Kwan Cu lebih cepat gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke arah binatang itu. Kwan Cu merasa yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia telah mempelajari Pek-po-coa-yang (Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki). Akan tetapi, ketika batu itu sudah menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba dari lain jurusan, menyambar sebutir batu Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
120 bundar yang meluncur cepat sekali dan membentur batu yang disambitkan Kwan Cu. Kwan Cu terkejut dan juga heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat orang.
Kelinci itu sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap.
"Binatang yang begitu lucu mengapa harus dibunuh?" terdengar suara nyaring menegur dan tiba-tiba melompatlah bayangan seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar.
Ketika Kwan Cu memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum ramah dan wajahnya yang tampan tampak menarik sekali.
Kwan Cu tidak menjadi marah kehilangan kelincinya. "Maksudku bukan untuk membunuh, akan tetapi makan dagingnya," bantahnya sambil tersenyum juga.
Kun Beng membelalakkan kedua matanya. "Apa bedanya" Bukankah makan dagingnya
berarti membunuh juga?" Dengan wajah sungguh-sungguh, Kwan Cu menggeleng kepalanya.
"Jauh sekali bedanya! Membunuh karena marah dan mata gelap, itu bodoh namanya.
Membunuh untuk memuaskan hati dan memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya.
Akan tetapi membunuh untuk mengisi perut karena lapar, itu lain lagi, bukan membunuh lagi namanya!"
Kun Beng tertegun. "Ah, lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak mengerti maksudnya. Cara kau bicara seperti suhu saja, membingungkan. Bukan bicara anak-anak dan aku tidak suka. Lebih baik kita main gundu, lebih menggembirakan."
"Main gundu?" kini Kwan Cu yang terheran-heran. Anak aneh, datang-datang dan bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak bisa main gundu. Kun Beng
mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada tujuh butir, terbuat daripada batu-batu hitam yang keras.
"Sebetulnya harus delapan butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa kelinci," kata Kun Beng sambil tertawa. "Akan tetapi tidak apa, pakai tujuh butir pun sudah cukup."
"Bagaimana cara memainkannya?" tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng.
"Kau lihatlah baik-baik! Yang enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran, kemudian dengan sebutir ini aku membidik sehingga berganti-ganti dapat mengenai enam butir kelerang itu." Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan sebutir kelereng dari jarak lima kaki. Kelereng itu meluncur dari tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai pertama, terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam butir kelereng itu itu terkena benturan semua!
"Bagus!" kata Kwan Cu memuji, "Kau pandai sekali!"
"Nah, yang berhasil membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh main terus. Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran."
Demikianlah, dua orang anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
121 Akan tetapi karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu kalah selalu.
"Kau benar-benar pandai. Siapa sih namamu?"
"Namaku The Kun Beng. Aku sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?"
Kwan Cu mengangguk. "Suhumu itu amat lihai dan terkenal. Suhuku sering kali memuji namanya. Dan suhengmu yang galak itu, siapa namanya?"
"Suheng bernama Gouw Swi Kiat, biarpun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai mainkan sepasang kipas."
"Kau pun tentu lihai main kipas."
Kun Beng menggeleng kepalanya. "Aku lebih suka mainkan tombak dan pedang, terutama sekali tombak. Kau sendiri belajar apakah dari suhumu?"
Kwan Cu menggelengkan kepalanya yang gundul. "Tidak belajar apa-apa, hanya belajar gerakan kaki saja. Eh, Kun Beng, kau mengapa bisa berada di tempat ini" Mana suhengmu dan suhumu?"
"Mereka masih di belakang. Aku mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling senang berada di dalam hutan, dikelilingi pohon-pohon besar dan daun-daun. Nah, itu dia suhengku datang."
Benar saja, Swi Kiat muncul dan datang-datang ia menegur sutenya. "Sute, kau terlalu sekali.
Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai berputaran di dalam hutan ini. Eh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang mengacaukan urusan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?" tanyanya sambil memandang tajam kepada Kwan Cu.
"Suheng, Kwan Cu kalah main kelereng denganku!" kata Kun Beng.
"Main kelereng" Ah, kau seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dalam dia main silat?"
"Kwan Cu belum belajar silat, Suheng. Bagaimana bisa minta dia pibu (mengadu kepandaian silat)?"
"Dia bohong! Mana bisa murid Ang-bin Sin-kai tidak mengerti ilmu silat" Hm, orang yang suka menyembunyikan kepandaiannya, dia mempunyai hati curang dan licik. Eh, Lu Kwan Cu, beranikah kau mengadu kepandaian dengan aku?" Gouw Swi Kiat menantang dengan sikap sombong.
"Berani sih tentu saja berani. Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati seorang bersalah, sedangkan aku tidak bersalah sesutau terhadapmu. Akan tetapi, tentang mengadu kepandaian denganmu, apanya yang harus diadu" Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa," jawab Kwan Cu sejujurnya. Memang, semenjak suhunya mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya, dari kitab palsu, kini dia tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali ginkang dan lweekang yang masih dimiliki tanpa disadarinya.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
122 "Mulutmu lemas sekali seperti perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari alasan, padahal sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!" Swi Kiat membentak sambil mengejek.
"Aku tidak takut!" jawab Kwan Cu menggelengkan kepala.
"Bagus, kalau begitu mari kita mengukur kepandaian!" Sebelum Kwan Cu sempat menjawab, Swi Kiat sudah menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada!
Biarpun belum menerima latihan ilmu pukulan dari suhunya, namun Kwan Cu sudah
mempelajari cara pergerakan kaki dan kedudukan tubuh, maka dia memiliki kegesitan dan gerakan otomatis dari seorang ahli silat tinggi. Menghadapi pukulan ini, dia miringkan tubuh dan menarik kaki yang berada di depan sehingga pukulan itu mengenai angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang bertubi-tubi!
Swi Kiat adalah murid pertama yang berbakat dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Tentu saja ilmu silatnya sudah baik dan tinggi. Seorang laki-laki dewasa saja, dalam satu dua gebrakan tentu akan roboh olehnya. Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal ilmu silat, dia masih menang jauh. Maka, setelah dapat mengelak beberapa jurus, akhirnya kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi Kiat.
"Buk!" Tubuh Kwan Cu berputaran saking kerasnya pukulan itu. Untuk sejenak kepalanya terasa pening dan seakan-akan kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi, hanya sebentar saja karena di dalam darah Kwan Cu telah mengalir darah ular dan buah coa-ko, ditambah pula latihannya lweekang tanpa disadarinya telah mencapai tingkat tinggi juga.
"Kita tidak berkelahi, bagaimana aku bisa mengaku kalah?" Kwan Cu berkata sambil menggelengkan kepalanya.
"Eh, gilakah kau" Bukankah baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?"
"Memang kau menyerangku, akan tetapi tidak berkelahi!"
"Suheng, jangan pukul dia! Dia benar-benar tidak mempunyai kepandaian silat!" Kwan Cu mendengar suara Kun Beng mencegah suhengnya.
Akan tetapi Swi Kiat sambil bertolak pinggang, berkata kepada Kwan Cu, "Hayo kau mengaku kalah padaku!"
"Suheng, dia benar! Dia sama sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?"
"Kalau begitu, sekarang aku akan memaksa dia berkelahi dengan aku!" seru Swi Kiat yang menyerang pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat menangkis serangan suhengnya itu.
"Eh, Kun Beng. Apa kau sudah gila?"
"Tidak segila engkau, Suheng! Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau membalas!" jawab Kun Beng. Swi Kiat ragu-ragu. Ia harus akui bahwa tingkat kepandaian Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
123 sutenya tidak kalah olehnya, kalau tidak mau dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada sutenya ini dan tentu saja tidak mau cekcok dengan sutenya hanya karena Kwan Cu, bocah gundul itu.
"Kau pergilah!" bentaknya kepada Kwan Cu, yang memandang semua itu dengan matanya yang bersinar-sinar. Mendengar bentakan ini, sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk, Kwan Cu tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus, Kwan Cu, lebih baik kau tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?"
Kwan Cu mengangguk dan berjalanlah dia untuk kembali kepada suhunya. Di tengah jalan, dia berhasil menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci itu kepada suhunya. Ia mendapatkan gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini gurunya itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya.
"Suhu, teecu mendapatkan seekor kelinci!" kata anak itu girang.
Akan tetapi gurunya tidak ikut bergembira, bahkan menegurnya.
"Kwan Cu, kau membikin malu padaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan tetapi tidak berani membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kau membiarkan kepalamu yang gundul itu menjadi permainan pukulan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Bukankah itu amat memalukan dan merendahkan nama guru?"
Kwan Cu tertegun. Gurunya tadi tidur pulas di bawah pohon, bagaimana suhunya ini tahu akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Swi Kiat"
"Suhu, teecu tidak berniat berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang" Tidak ada alasannya bagi teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana teecu bisa membalas" Dia lihai sekali."
Merah muka Ang-bin Sin-kai yang memang sudah merah itu, "Murid goblok! Kalau tiada hujan tiada angin kau mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak beralasan. Akan tetapi kau dihina dan dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat sekali bagimu untuk membalas memukulnya!"
"Akan tetapi, Suhu".."
"Tidak ada tapi! Lekas kau kembali dan membalas pukulannya!"
"Dia lihai, Suhu?""
"Eh, kau takut?"
Mata bocah gundul itu bersinar penasaran, "Takut?" Siapa takut, Suhu" Biar kepada iblis sekalipun teecu tidak takut!"
"Kalau begitu, kau lekas kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau dia menyerang, balas!"
"Teecu belum pernah suhu ajari ilmu pukulan."
"Untuk apa kedua tangan dan kakimu" Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
124 lain harus menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?"
Kwan Cu mengaku kalah dan segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia melihat Swi Kiat dan Kun Beng duduk di bawah pohon bersama gurunya, yakni Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Keder juga hati Kwan Cu melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang dia memang seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh, seteguh batu karang di pinggir laut, bahwa kalau tidak bersalah dia tidak boleh takut kepada siapapun juga! "Eh, Swi Kiat. Apakah kau masih juga mau memukulku seperti tadi?" tanyanya sambil menghampiri Swi Kiat yang memandangnya dengan mata terheran. Juga Kun Beng heran sekali sehingga tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
Adapun Siangkoan Hai memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata, "Ah, bukankah bocah gundul itu murid Gui Tin?"
"Teecu sekarang murid Ang-bin Sin-kai, Locianpwe." Jawab Kwan Cu dengan suara tenang.
Siangkoan Hai tertawa bergelak. "Bersemangat juga anak ini. Eh, Swi Kiat, dia datang menegurmu hendak apakah?"
"Tadinya teecu telah menghajar dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi," kata Swi Kiat sambil bangun berdiri, "Kwan Cu, apakah kau datang hendak minta di gebuk kepalamu yang gundul itu lagi" Jangan kurang ajar, lekaslah pergi dari sini!"
"Aku datang hendak menyatakan bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan
membalasmu!"
Swi Kiat tertawa geli, bahkan Kun Beng juga tertawa, akan tetapi murid kedua dari Siangkoan Hai ini berkata, "Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan tandingan Suheng, untuk apa mencari penyakit?"
"Aku tidak ingin menyerangnya. Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini akan membalasnya," kata Kwan Cu masih tetap tenang.
"Kalau begitu aku akan memukulmu!" kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan Cu. Bocah gundul ini tidak seperti tadi, sekarang diapun bersiap-siap dan memasang kuda-kuda.
Melihat sikap Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa bergelak. "Eh, bocah gundul, benar-benarkah kau murid Ang-bin Sin-kai" Kalau benar kau murid Ang-bin Sin-kai, kau biasa mempelajari ilmu senjata apa sajakah?"
Kini Kwan Cu mengerti bahwa tinggi rendahnya nama suhunya tergantung dari sikap dan sepak terjangnya, maka dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu nama gurunya. Ia melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka dipungutnya ranting itu dan dia menjawab, "Apapun juga yang berada di tangan suhu, menjadi senjatanya yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang senjata, pada waktu ini teecu memegang ranting dan inilah pula senjataku!"
"Bagus! Eh, Kun Beng kaulawan bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
125 pohon!" Kun Beng tertegun, akan tetapi dia pikir lebih baik melawan dia daripada menghadapi suhengnya bagi Kwan Cu, "Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, kalau kau roboh berarti kau kalah!"
"Sesukamulah!" kata Kwan Cu karena baginya, bertanding dengan siapapun sama juga, asal dia telah dapat menebus nama suhunya dengan melawan. "Siapa saja yang memukul dan menyerangku, tentu kubalas."
Kun Beng menggerakkan rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang semenjak kecilnya, Kun Beng lebih suka mempelajari ilmu tombak dan berbeda dengan suhengnya, dia mewarisi ilmu tombak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Awas senjata!" serunya dan Kwan Cu bingung sekali melihat betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng, ujung ranting seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang kesemuanya menyerang tubuhnya dengan hebat! Ia lalu menggerakkan rantingnya menangkis sejadi-jadinya, namun karena tenaga lweekangnya memang sudah boleh juga, dia berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng. Akan tetapi, ilmu tombak yang dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya, maka begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur turun dan tanpa dapat dicegah lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah bocah gundul itu!
"Ha, ha, ha! Pukul kepalanya yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!" kata Swi Kiat tertawa gembira. Sebaliknya, Siangkoan Hai menjadi melongo. Bagaimana Ang-bin Sin-kai dapat mengambil seorang murid yang begini tolol" Ia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik, akan tetapi agaknya otaknya tidak genap! Kwan Cu memang bandel dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia bangun lagi dan siap sedia bertempur lagi.
"Eh, Kwan Cu. Kau sudah kalah, mengakulah," kata Kun Beng. Murid kedua Siangkoan Hai ini memang mempunyai perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu lagi yang terang-terangan tidak mempunyai kepandaian silat.
"Menyerah kalah tak mungkin. Kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!" Kwan Cu membandel.
Kun Beng tidak mau menyerang lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah. "Suhu, dia tidak bisa ilmu silat, bagaimana teecu dapat melawannya?" Tiba-tiba Swi Kiat melompat maju.
"Anak ini memang bandeldan dia tidak akan tahu kelihaian ilmu Suhu kalau tidak diberi hajaran. Eh, Kwan Cu, apakah kau berani menghadapiku?"
"Mengapa tidak berani?" jawab Kwan Cu tenang.
"Kau boleh menggunakan rantingmu, biar aku menyerangmu dengan tangan kosong!" kata Swi Kiat.
"Aku bukan pengecut yang menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata," Kwan Cu juga membuang rantingnya.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
126 Diam-diam Siangkoan Hai memuji. "Hm, anak gundul ini benar-benar memiliki sifat gagah, sayang sekali otaknya miring. Mana bisa dia belajar silat" Sungguh kali ini Ang-bin Sin-kai menggelikan sekali."
Swi Kiat sudah maju menyerang. Kwan Cu mengelak dan menangkis. Dalam hal
mempertahankan diri, dia boleh juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan dan tendangan Swi Kiat yang mengenai tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan Cu hanya membalas dengan pukulan-pukulan ngawur saja, asal pukul dan asal menendang. Ketika dia menendang Swi Kiat menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh Kwan Cu terlempar ke belakang dan dengan suara keras tubuhnya mengukur tanah! Namun dia bangkit kembali dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya kembali Swi Kiat menyerbu dengan
Elang Pemburu 2 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Naga Kemala Putih 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama