Ceritasilat Novel Online

Peristiwa Bulu Merak 5

Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Bagian 5


mukanya berulang kali menunjukkan berbagai perubahan
yang berbeda. Dia bercerita cepat dan lancar, karena cerita ini sudah amat
hapal, "Sayang sekali, baru saja dia menerobos masuk ke
dalam hutan di pinggir jalan sana, sinar golok yang membelah
kuda tadi mendadak melesat keluar pula, walau dia berhasil
meluputkan diri dari bacokan pertama, tapi bacokan kedua
orang itu sudah menyerang tiba pula, malah gerakan goloknya
dari jurus ke jurus lebih cepat dan lihai," sampai di sini dia
berhenti tidak meneruskan ceritanya karena bagaimana akhir
dari kisahnya itu orang banyak sudah maklum.
Thian-ong-cam-kui-to membacok dari depan, sementara
Kongsun To dan Siau Si-bu merangsek dari belakang, siapa
pun akan terdesak dalam keadaan seperti ini, bagaimana
akhirnya pasti juga sama.
Pho Ang-soat menunduk diam, lahirnya kelihatan tenang,
namun hatinya bergejolak seperti derap kuda di medan laga.
Lama dia menepekur, lalu tanyanya, "Orang itu macam
apakah di......"
The Kiat menjelaskan, "Kelihatannya dia mirip malaikat dari
langit, tapi juga mirip raja iblis, perawakannya setengah badan
lebih tinggi dari laki-laki jangkung yang pernah kulihat,
kupingnya diganduli gelang emas besar, pakaiannya terbuat
dari kulit binatang, golok yang berada di tangannya sedikitnya
panjang delapan kaki."
"Akhirnya bagaimana?"
"Laki-laki gembrot yang berjuluk Koki Dol itu semula
hendak memotong temanmu serta dimasak ke dalam wajan,
tapi seorang yang semula bermain catur tetap menentang,
akhirnya......" dia menghela napas panjang, lalu menyambung,
"akhirnya mereka menyerahkan mayat temanmu itu kepada
Hwesio-Hwesio Thian-liong-ko-sa."
Segera Pho Ang-soat bertanya, "Dimana letak Thian-liongkosa?" "Kabarnya terletak di pintu utara, tapi aku tak pernah ke
sana, jarang orang di sini sembahyang ke sana."
"Mereka menyerahkan kepada Hwesio yang mana?"
"Kalau tidak salah, Thian-liong hanya dihuni seorang
Hwesio gila, kabarnya dia..."
"Dia kenapa?"
The Kiat menyengir getir, seperti hendak muntah, katanya,
"Kabarnya bukan saja gila, dia pun suka makan daging
manusia." Sinar surya panasnya bagai bara, jalan raya ini seperti
wajan panasnya.
Pho Ang-soat beranjak di jalan raya yang panas bagai di
dalam tungku, dia tidak mengucurkan keringat, air mata pun
tiada setetes pun, hanya darah saja yang bisa menetes dari
tubuhnya. Bila bisa naik kereta aku pasti tidak akan berjalan kaki, aku
benci berjalan.
Kebetulan wataknya terbalik dengan Yan Lam-hwi, kalau
masih bisa berjalan, dia takkan naik kereta, agaknya dia
seperti sengaja menyiksa kedua kakinya, karena kedua
kakinya itu membawa banyak derita, banyak sengsara, gerakgeriknya
tidak leluasa. ooooOOoooo Ada kalanya sampai pun berjalan aku pun bisa tidur.
Sekarang sudah pasti Pho Ang-soat tidak akan tidur, sorot
matanya membayangkan perasaan yang aneh, tapi bukan
perpaduan antara sedih dan marah, namun heran, curiga dan
menepekur. Kejap lain mendadak dia membalik badan, putar balik ke
arah datangnya. Apakah yang dia pikirkan" Apakah masih ada
persoalan yang belum jelas" Ingin dia bertanya dulu kepada si
penebang kayu muda itu.
Tapi The Kiat sudah tidak berada di restoran itu.
"Baru saja pergi," pemilik restoran memberi penjelasan,
"dua hari ini selalu dia bercerita sampai berjam-berjam
lamanya di sini, bila hari sudah petang baru dia pulang, tapi
hari ini entah kenapa dia pulang lebih dini."
Kelihatannya dia merasa jeri terhadap orang asing yang
berwajah pucat ini, maka waktu bicara amat hati-hati, juga
amat jelas dan terperinci.
"Malah dia pergi dengan terburu-buru, seperti ada urusan
penting yang hendak dia kerjakan," pemilik restoran
menambahkan, "dia pergi ke arah sebuah lorong panjang di
seberang jalan. Wajahnya menampilkan serangai yang culas,
katanya pula, "Di dalam lorong panjang itu ada seorang teman
baiknya, kalau tidak salah bernama Siau-tho-cu, sekarang
pasti dia ke sana mencari hiburan."
Lorong sempit gelap dan lembab, selokan yang berlumpur
hitam itu mengeluarkan bau busuk, di sini sampah bertumpuk,
jorok sekali. Tapi Pho Ang-soat seperti tidak merasakannya,
matanya menyala, otot di punggung tangannya yang
menggenggam golok tampak merongkol, sepertinya dia amat
terharu, bergelora, juga senang dan kuatir pula, sebetulnya
soal apakah yang terpikir olehnya"
Di belakang sebuah daun pintu yang sudah bobrok, tibatiba
muncul seorang perempuan yang berkalung kembang
melati. Melati nan asri, dengan minyak wangi yang rendah
harganya, berpadu dengan bau busuk selokan dan sampah di
dalam lorong sempit ini, menjadikan suatu rangsangan yang
rendah penuh dosa.
Perempuan ini bersolek secara luar biasa, tebal pupur yang
melumuri mukanya cukup untuk mengapur dinding, sambil
mendekati Pho Ang-soat dengan gayanya yang merangsang,
sebelah tangannya menggosok paha Pho Ang-soat, tepat
pada pangkal 'anu' nya.
"Di dalam kusediakan sebuah ranjang, empuk dan hangat,
ditambah servisku dan seember air panas, kutanggung kau
puas, taripnya cukup murah, cuma dua tahil ketip saja."
Matanya memicing memancarkan napsu jalang.
"Usiaku baru tujuh belas, tapi aku cukup ahli di atas
ranjang, lebih mahir dan lihai dibanding Siau-thoa-cu,"
tawanya kelihatan gembira, dia kira sekali ini dia berhasil
memelet laki-laki yang perlu hiburan ini. Karena terasa
olehnya, 'anu' nya laki-laki ini sudah menunjukkan perubahan.
Muka Pho Ang-soat yang pucat itu mendadak merah
padam, bukan saja dia ingin muntah, dia pun amat marah. Di
hadapan perempuan rendah seperti ini, ternyata dia tidak
kuasa menahan gejolak nafsu sendiri.
Maklum sudah cukup lama dia tidak menyentuh
perempuan, tidak pernah bergaul dengan perempuan, atau
karena dia terlalu bernafsu, terlalu bergairah. Gairah macam
apa pun, pasti mudah membangkitkan nafsu birahi.
Perempuan berkalung kembang melati itu sudah
merapatkan badannya, tangannya lebih berani, beraksi lebih
cepat. Mendadak Pho Ang-soat melayangkan tangannya dengan
keras, dia tampar muka perempuan itu, kontan dia terjengkang
roboh menubruk daun pintu, lalu terbanting telentang di atas
tanah. Anehnya meski sebelah pipinya bengap, tapi raut mukanya
tidak menampilkan rasa sakit, kaget, heran atau marah, tapi
menampilkan rasa lelah, duka dan putus asa. Agaknya
penghinaan seperti ini sudah sering dan kenyang dia rasakan,
amarahnya sudah beku, dia berduka karena dia tidak berhasil
menarik langganan, kalau dia tidak berhasil menggaet lakilaki,
entah dimana nanti malam dia harus makan" Serenteng
kalung kembang melati takkan bisa membuat kenyang
perutnya. Pho Ang-soat melengos ke sana, tak tega dia melihat
keadaannya, seluruh uang perak yang ada di dalam
kantongnya dia rogoh keluar serta dibuang di depannya,
"Beritahu padaku Siau-tho-cu berada dimana?"
"Di rumah paling belakang sebelah kanan itulah."
Kembang melati itu sudah berhamburan di tanah, dia
merangkak di atas tanah, menjemput kepingan-kepingan
perak yang berserakan. Di tanah ternyata melirik pun tidak,
apalagi memandang Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat mulai beranjak ke depan, tapi hanya
beberapa langkah mendadak dia menungging terus muntahmuntah.
ooooOOoooo Dalam lorong jorok dan sempit ini, hanya daun pintu ini saja
yang kelihatan pantas, bersih dan mengkilap, catnya pun
masih kelihatan bagus. Agaknya bukan saja Siau-thou-cu
pandai bermain di atas ranjang, dia pun pandai mengatur
lingkungannya, maka usahanya berkembang dan maju.
Suasana di balik pintu sunyi senyap, tiada terdengar suara
apa pun. Seorang lelaki yang muda perkasa, dengan pelacur muda
cantik yang banyak digilai laki-laki normal berada di dalam
sebuah kamar, bagaimana mungkin suasana di dalam rumah
sehening ini" Pintu meski dipalang dari dalam, tapi tidak
kokoh, perempuan yang biasa menerima tamu memang tidak
perlu punya pintu yang kokoh.
Ketika pintu terpentang, di dalam adalah sebuah ruang
tamu, menjadi kamar tidurnya pula, dinding kelihatan baru
dikapur, gambar-gambar perempuan telanjang dengan pose
yang merangsang memenuhi dinding papan yang bolongbolong.
Segenggam kembang sedap malam yang sudah mulai layu
berada di dalam vas kembang di atas meja, kecuali cangkir
dan poci teh, di pinggir meja terdapat setengah mangkuk mie
tite yang tidak sempat dihabiskan. Agaknya pelacur juga
selalu memelihara kondisi badannya karena kemontokan
adalah modal utama mereka mencari duit, terutama pinggang
yang ramping adalah modal utama untuk memelet kaum lelaki
hidung belang. Kecuali sebuah dipan yang dilembari seprei bersulam
kembang besar, barang paling antik di kamar ini adalah
sebuah patung pemujaan di dalam sebuah wadah ukiran di
atas ranjang, dengan kain korden warna kuning, kehadiran
patung pemujaan di dalam terasa amat bertentangan dan
merupakan persaingan antara kebusukan, kemesuman
dengan kesucian dan keagungan.
Kenapa dia meletakkan patung pemujaan ini di atas
ranjang, apakah maksudnya supaya patung yang dipujanya ini
menyaksikan beginilah kehidupan manusia kelas rendah yang
bergulat dengan penderitaan yang hina dina" Menyaksikan
bagaimana dia harus menjual diri untuk menyambung hidup
hingga akhir hayatnya.
Siau-tho-cu ternyata sudah mati, mati bersama The Kiat di
atas ranjang, darah segar membuat sulaman kembang merah
besar itu kelihatan lebih menyala.
Darah meleleh dari urat nadi besar di belakang leher, sekali
bacok menghabiskan jiwa. Pembunuh ini bukan saja memiliki
gaman yang tajam, golok kilat, agaknya dia pun amat
berpengalaman di bidang ini.
Pho Ang-soat tidak muntah lagi, juga tidak merasa heran,
mungkinkah kejadian ini memang sudah dalam rekaannya"
Pho Ang-soat sedang menerawang.
Seorang yang biasanya jarang cerewet, kenapa selama
dua tiga hari bercerita di restoran" Tugasnya sehari-hari
menebang kayu dan dijual untuk hidup pun dilupakan.
Kalau dia gemar minum arak, suka makan daging, hanya
simpanan seorang pelacur, jelas tidak mungkin punya
tabungan. Tapi setelah dua hari dia tidak bekerja, darimana
datangnya uang untuk membayar Siau-tho-cu"
Cerita itu sudah terlalu hapal bagi The kiat, terlalu ramai
dan menarik, malah mimik mukanya pun sedemikian serasi
dengan cerita yang dikisahkan, seolah-olah sebelumnya
memang sengaja sudah dilatih, seperti pemain sandiwara
yang siap naik pentas saja.
Dia sengaja mengisahkan pengalaman yang dilihatnya di
restoran yang paling ramai, tujuannya adalah supaya Pho
Ang-soat pergi mencarinya.
Kongsun To dan orang-orangnya sudah menyogoknya
dengan sejumlah uang, dengan syarat supaya dia membual,
supaya bualannya didengar oleh Pho Ang-soat.
Karena itu sekarang mereka membunuhnya supaya rahasia
ini tidak bocor.
Akan tetapi umpama analisanya ini tepat dan sesuai
kejadian, namun masih ada beberapa persoalan yang susah
dipecahkan! Di antara kisah yang diceritakan itu, sebetulnya bagian
mana yang benar, bagian mana yang sengaja ditambahkan"
Tambahan itulah yang bohong.
Kenapa mereka sengaja mau berbohong" Untuk
menghilangkan jejak pembunuh Yan Lam-hwi" Atau supaya
Pho Ang-soat meluruk ke Thian-liong-si"
Pho Ang-soat sukar memastikan, tapi dia sudah
berkeputusan jika di dalam Thian-liong-si sudah diatur jebakan
untuk menangkap atau membunuh dirinya, dia pasti tetap
akan meluruk ke sana.
Pada saat itulah, perempuan telanjang yang berlumuran
darah di atas ranjang itu mendadak berjingkrak bangun, dari
bawah bantal melolos sebilah golok, dan sekonyong-konyong
menusuk dadanya. Almari di belakangnya juga mendadak
menjeblak, dari dalam lemari menerobos keluar seorang,
sebatang tombak perak laksana kepala ular memagut
punggungnya. Kejadian di luar dugaan, siapa pun takkan siaga
sebelumnya. The Kiat memang sudah mati, tiada orang
menyangka perempuan yang rebah dalam dekapannya
ternyata masih hidup. Maklum di tempat seperti ini, jarang
orang menaruh perhatian terhadap perempuan telanjang yang
dipeluk mayat berlepotan darah. Lebih tidak terpikir lagi bahwa
perempuan telanjang ini ternyata mampu menyerang dengan
golok secara telengas dan penuh perhitungan, tusukan
goloknya itu laksana kilat menyambar.
Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak mencabut golok,
hakikatnya dia tidak perlu menyingkir.
Pada detik yang kritis itulah dari luar pintu mendadak
berkelebat selarik sinar pisau melesat terbang menyerempet
leher lelaki bertombak yang membokong di belakang,
menghujam sebelah kanan tenggorokan perempuan telanjang
itu. Darah menyembur bagai air dari leher lelaki itu, sementara


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badan perempuan telanjang yang terapung itu seketika
terbanting jatuh pula. Hanya sekali sinar pisau berkelebat, dua
jiwa melayang seketika.
Darah segar berhamburan selebat hujan deras.
Perlahan Pho Ang-soat membalik badan, dilihatnya Siau Sibu
berdiri di sana. Tangannya masih memegang pisau, kali ini
dia tidak membersihkan kuku jarinya, tapi hanya menatap
dingin ke arah Pho Ang-soat.
"Sebatang pisau dua jiwa, pisau bagus," puji Pho Ang-soat.
"Betul-betul bagus?" kaku suara Siau Si-bu. "Bagus," Pho
Ang-soat mengulang.
Siau Si-bu sudah membalik badan, melangkah dua tindak,
tiba-tiba dia menoleh, "Sudah pasti kau tahu bahwa aku tidak
bermaksud menolongmu."
"Oya?"
"Aku hanya ingin supaya kau juga menyaksikan pisauku."
"Sekarang aku sudah menyaksikan."
"Kau pernah melihat aku tiga kali turun tangan, dua kali
kutujukan kepadamu, tentang bagaimana aku turun tangan,
tiada orang lain dunia ini yang lebih jelas daripada engkau."
"Ya mungkin."
"Yap Kay adalah temanmu, sudah tentu kau pun pernah
menyaksikan dia turun tangan."
Pho Ang-soat mengakui, sudah tentu dia pernah
menyaksikan, malah bukan hanya sekali.
Siau Si-bu berkata, "Sekarang aku hanya tanya satu hal
kepadamu, jika kau tidak mau menjelaskan, aku juga tidak
akan menyalahkan kau."
"Silakan."
"Pisau terbangku dalam hal apa bukan tandingan Yap
Kay?" Pho Ang-soat menepekur, cukup lama kemudian baru dia
berkata perlahan, "Dua kali kau pernah membokongku,
pertama, walau menggunakan seluruh tenaga, namun
sebelum kau menyerang mulutmu sudah memberi peringatan.
Serangan kedua memang tidak memberi peringatan, namun
waktu menyerang kau masih menyimpan dua bagian
tenagamu."
Siau Si-bu diam saja, dia tidak menyangkal keterangan Pho
Ang-soat. Pho Ang-soat berkata pula, "Lantaran dalam hati kau
sendiri maklum tidak pantas membunuh aku, bahwasanya kau
tidak punya alasan untuk membunuhku, maka di waktu turun
tangan kau tidak dilandasi perbawa yang tidak mungkin dapat
ditundukkan oleh siapa pun di dunia ini." Lalu dengan suara
kalem dia menambahkan, "Mereka yang terbunuh oleh Yap
Kay adalah orang-orang yang patut dibunuh, maka dia lebih
kuat dari engkau."
"Hanya satu hal itu saja?"
"Satu hal sudah lebih dari cukup, selamanya kau tidak akan
dapat mengejarnya."
Lama juga Siau Si-bu termenung, mendadak dia putar
tubuh, tanpa menoleh dia beranjak pergi.
Pho Ang-soat juga tidak mengawasinya.
Cukup jauh kakinya melangkah, mendadak Siau Si-bu
menoleh pula, serunya keras, "Boleh kau buktikan kelak, akan
datang suatu hari aku pasti lebih kuat dari dia, bila saat itu
tiba, maka aku pasti akan membunuhmu."
"Aku pasti akan menunggu," sahut Pho Ang-soat dengan
suara tawar. Kalau mau membunuh orang harus tanpa pantangan.
Apakah kali ini Pho Ang-soat tidak harus membunuh Siau
Si-bu" Kali ini aku tidak membunuhnya, lain kali mungkin kau
yang mampus di bawah pisaunya.
Tapi kali ini Pho Ang-soat tidak turun tangan pula, tapi dia
tidak menyesal, karena dia sudah menanam sebutir bibit di
dalam sanubari Siau Si-bu. Bibit kebenaran.
Dia tahu bibit kebenaran ini akan datang suatu saat
bersemi, tumbuh berkembang dan berbuah.
Waktu Pho Ang-soat beranjak keluar dari lorong lembah
sempit dan jorok ini, gadis tujuh belas tahun itu sudah
merenceng pula kembang melati, berdiri sambil menunduk di
ambang pintu, secara diam-diam dia melirik ke arah Pho Angsoat,
kelihatannya agak takut, tapi juga tertarik.
Selama ini belum pernah ada orang tanpa sebab
menghamburkan uangnya sebanyak puluhan tahil kepadanya,
lelaki timpang yang bermuka pucat ini pasti manusia aneh.
Walau Pho Ang-soat tidak sudi melihatnya, tapi tak urung
dia meliriknya sekali.
Ketika dia tiba di ujung lorong, gadis tujuh belas tahun itu
mendadak berteriak, "Kau memukulku, berarti kau suka
kepadaku. Aku tahu selanjutnya kau pasti akan mencari aku."
Lalu dia meninggikan suaranya, "Aku pasti akan
menunggumu."
Thian-liong-ko-sa adalah Toa-thian-liong-si, kuil yang sering
dikunjungi penduduk untuk memenuhi kaulnya, tiada orang
tahu, kuil yang semula ramai mengapa mendadak menjadi
sepi, tapi cerita yang tersiar di luar tentang hal ini banyak
ragamnya. Berita angin yang tersiar paling luas adalah: Kuil yang
kelihatan angker dan megah ini, sebenarnya adalah sarang
mesum, tidak sedikit nyonya cantik atau gadis-gadis rupawan
yang pernah bersembahyang di sini sering diculik dan disekap
di dalam kamar-kamar rahasia di dalam kuil itu, bagi yang
membangkang dihabisi nyawanya setelah diperkosa.
Karena itu bila tiba malam pekat, tiada bintang tak ada
rembulan, setan-setan gentayangan itu lantas keluyuran
mencari mangsa.
Padahal apakah benar di dalam kuil terdapat banyak
kamar-kamar rahasia" Berapa banyak perempuan yang telah
diperkosa di kuil ini" Siapa pun tidak bisa memberikan angka
yang pasti, karena tiada seorang pun yang pernah
menyaksikan sendiri.
Tapi sejak berita angin tersiar di kalangan penduduk,
orang-orang yang bersembahyang di kuil ini makin sedikit.
Seseorang bila hanya sekedar mengeluarkan duit untuk
membeli dupa lilin, mohon berkah supaya sepanjang tahun
selamat dan banyak rezeki, maka terhadap salah benarnya
berita angin itu, semestinya tidak terlalu teliti menyelidiki
kebenarannya. Kuil kuno itu dikelilingi lebatnya hutan, meski di musim
semi, daun-daun yang rontok di sini juga lebih banyak.
Jalan yang langsung menembus ke pintu kuil itu sekarang
sudah tertutup oleh rontokan daun-daun kering, seorang yang
sering kemari pun bila memasuki hutan yang rimbun ini bukan
mustahil akan kesasar karena tidak bisa memilih jalan lagi.
Padahal Pho Ang-soat belum pernah kemari, selepas mata
memandang dimana sekarang dia berdiri, sekelilingnya adalah
pohon-pohon raksasa, bentuk pohon-pohon itu mirip satu
dengan yang lain. Sesaat dia berdiri bingung, susah dia
menentukan kemana arah yang harus dituju.
Tengah dia berdiri bimbang, daun-daun kering di depan
sana terdengar berbunyi karena terinjak oleh langkah seorang,
maka tampak seorang Hwesio berwajah bersih, alis gombyok,
mata bening, bersikap agung sedang melangkah datang,
jubahnya yang berwarna kelabu kelihatan bersih dan rapi.
Usianya belum banyak, tapi jelas kelihatan bahwa padri ini
pasti sudah teguh dalam ajaran agamanya.
Pho Ang-soat bukan seorang Buddhis yang saleh, namun
terhadap Hwesio, orang terkenal dan pujangga, dia tetap
menghormatinya.
"Taysu mau pergi kemana?" sapanya.
"Datang dari arahnya, sudah tentu pergi ke arah itu pula,"
demikian sabda Hwesio itu sambil merangkap kedua tangan,
ternyata melirik pun tidak kepadanya.
Tapi Pho Ang-soat tidak mengabaikan kesempatan untuk
bertanya jalan kepadanya, sekarang tiada waktu untuk
menentukan arah jalannya.
"Apakah Taysu tahu dimana letak Thian-liong-ko-sa?"
"Kau ikuti aku saja."
Langkah Hwesio ini tenteram dan perlahan, umpama jalan
ini menuju ke alam baka, dia pun takkan berjalan selangkah
lebih cepat. Terpaksa perlahan-lahan Pho Ang-soat mengikut di
belakangnya. Cuaca sudah gelap, akhirnya mereka tiba di depan sebuah
gardu, warna pagar dari gardu itu sudah luntur, di dalam gardu
terdapat sebuah kecapi, sebuah papan catur, satu poci arak,
seperangkat alat-alat tulis dan sebuah hiolo cilik yang terbuat
dari tanah merah.
Di dalam hutan yang sunyi tenteram ini, memetik kecapi,
bermain catur, bersenandung, membuat syair sambil
menikmati arak wangi. Padri agung tiada bedanya dengan
seorang pujangga, selama kegemarannya berkembang, hidup
ini tidak akan terasa kesepian.
Walau belum pernah Pho Ang-soat mengecap kehidupan
nan tenteram damai, tapi dia selalu manaruh hormat dan
menghargai kegemaran orang lain.
Padri yang bersih dan kelihatan agung ini sudah memasuki
gardu, dia menjemput satu biji catur, menatapnya lekat-lekat,
sorot seolah-olah sedang mempertimbangkan, entah langkah
apa yang harus dilakukan oleh biji caturnya.
Akhirnya dia masukkan biji catur itu ke dalam mulut, pelanpelan
dia kunyah sekali dan "Glek" langsung ditelannya.
Kelakuannya sungguh di luar dugaan, mendadak dia
menggaplok hancur kecapi itu, terus dimasukkan ke dalam
anglo dan menyulut api, arak dalam poci dia tuang untuk
mencuci kaki, tinta hitam di atas tatakan batu itu dia tuang ke
dalam poci, lalu ditaruh di atas anglo untuk dipanasi, papan
catur diangkatnya serta dipukulnya seperti orang menabuh
gembreng, wajahnya menampilkan tawa lebar dan rasa puas,
seakan-akan dia merasa suara ketukan papan catur itu jauh
lebih merdu dari petikan kecapi.
Pho Ang-soat menjublek di tempatnya, padri agung yang
kelihatan saleh ini apakah benar seorang Hwesio gila, dia
senang makan daging manusia.
Hwesio itu kini sedang mengawasi dirinya, dari kepala
sampai kaki, menimbang berapa kilo daging seluruh
badannya. Tapi Pho Ang-soat amat tabah, dia tidak percaya,
"Apa betul kau si Hwesio gila?"
"Gila adalah tidak gila, tidak gila adalah gila," padri itu
tertawa menyengir, "mungkin yang benar-benar gila bukan
aku, tapi kau."
"Aku gila?"
"Kalau kau tidak gila, kenapa menyerahkan jiwa?"
Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat, katanya
pula, "Kau tahu siapa aku" Tahu kemana aku hendak pergi?"
Hwesio itu manggut-manggut, lalu geleng-geleng kepala
pula, mendadak dia mendongak sambil terloroh-loroh,
gumamnya "Habislah, habislah sudah, kuil kuno ribuan tahun
ini akan segera ambruk, dimana ada manusia, di situ banjir
darah, kemana lagi Hwesio ini harus pergi?"
Mendadak dia angkat poci di atas anglo yang panas,
langsung menuang tinta hitam di dalam poci ke dalam
mulutnya, tinta yang tercecer mengotori jubahnya yang bersih.
Mendadak dia mendeprok di lantai terus menangis tergerunggerung,
sambil menuding ke barat dia berkata lantang, "Kau
ingin mati, lekas kau pergi, orang hidup ada kalanya memang
lebih baik mati saja."
Pada saat itulah dari arah barat bergema suara genta,
hanya genta di dalam kuil kuno berusia ribuan tahun yang
dapat mengeluarkan gema suara senyaring itu.
Kalau kuil kuno itu hanya dihuni seorang Hwesio gila, lalu
siapa yang menabuh genta" Hwesio yang sedang menangis
tergerung-gerung mendadak berjingkrak bangun, sorot
matanya memancarkan rasa kaget, takut dan ngeri.
"Itulah gema duka cita," teriaknya, "bila genta duka cita
bergema, pasti ada orang akan mati." Kembali dia berjingkrak,
poci arak di tangannya dia lempar ke arah Pho Ang-soat,
teriaknya pula, "Jika kau tidak mampus, orang lain yang akan
jadi korban, kenapa tidak lekas kau ke sana menyerahkan
jiwamu." Pho Ang-soat menatapnya, katanya tawar, "Baik aku akan
segera pergi."
ooooOOoooo Bab 16. Genta Kematian
Suara genta sudah berhenti, namun gemanya masih
mengalun di angkasa.
Pho Ang-soat sudah berada di depan pintu besar Thianliongko-sa. Bangunan kuno yang berwarna gelap kelabu
meski sudah mulai bobrok, namun masih kelihatan
kemegahannya. Di tengah pekarangan tergeletak sebuah hiolo raksasa
terbuat dari tembaga, beratnya ada ribuan kati, undakan batu
juga sudah berlumut, jelas kelihatan tempat ini tidak
terpelihara dan lama tidak diinjak kaki manusia, tapi ruangan
pemujaan yang angker dan gagah tetap kelihatan tegak dan
berwibawa, pilar-pilar bangunannya masih kokoh kuat.
Kuil kuno yang sudah ribuan tahun ini, bagaimana mungkin
mendadak ambruk" Hwesio gila sudah tentu bicara ngelantur.
Gelegasi sudah menghiasi ruang pemujaan ini, debu amat
tebal, kain korden yang sudah luntur dan kotor itu masih
melambai tertiup angin, hening lelap, tiada suara orang, juga
tiada bayangan manusia. Lalu siapakah yang memukul genta"
Pho Ang-soat berdiri diam di depan patung yang dipuja di
dalam kuil ini, mendadak timbul suatu perasaan aneh dalam
relung hatinya, mendadak dia ingin berlutut, berlutut di depan
patung Buddha yang disepuh emas itu untuk memohon
keselamatan, minta keselamatannya, Co Giok-cin dan kedua
anaknya. Selama hidup ini baru pertama kali dia berubah tulus
saleh, tapi dia tidak jadi berlutut.
Karena pada saat itulah di luar ruang pemujaan, terdengar
suara "Pletak" yang nyaring, waktu menoleh, maka dilihatnya
sinar golok yang kemilau seperti kilat menyambar, pelangi
menari dan berkelebatan di luar. Dimana sinar golok itu
menyambar, pilar-pilar besar penyanggah kuil ini satu per satu
telah terbabat putus, suara bacokan itu terus-menerus tiada
henti sehingga kuil kuno yang megah, besar dan kokoh ini
pelan-pelan bergetar dan mulai doyong. Waktu dia
mengangkat kepala, saka besar di dalam kuil ini sudah hampir


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ambruk. Golok macam apakah itu" Ternyata memiliki kekuatan
dahsyat dan mengerikan. Suara gemuruh menggetar bumi,
ujung ruangan sana sudah menggetar bumi, ujung ruang sana
sudah ambruk. Tapi Pho Ang-soat tidak roboh, gunung boleh
gugur, bumi boleh merekah, namun sementara orang tidak
pernah jatuh. ooooOOoooo Suara gemuruh runtuhan balok dan genteng terus
berlangsung, debu pasir beterbangan, burung walet yang
bersarang di atas belandar sudah terbang menyelamatkan diri,
tapi Pho Ang-soat masih berdiri tegak tak bergeming.
Di luar bukan saja ada Thian-ong-cam-kui-to yang cukup
menciutkan nyali, malaikat itu sedang menunggu dirinya,
entah masih berapa banyak pula perangkap yang mematikan.
Mendadak dia tertawa dingin, "Biau Cam-kwi, golokmu
memang gaman baik, jiwamu justru sekerdil tikus, nyalimu
seperti kelinci, kenapa tidak berani kau berhadapan langsung
dengan aku, hayolah berduel secara jantan, kenapa hanya
main rusak dan gertak macam badut tak berguna."
Sinar golok seketika sirna, maka terdengar seorang tertawa
dingin di luar Toa-thian, seorang berkata, "Asal kau belum
mampus, temuilah aku di pekarangan belakang." Baja langit
yang pemenggal setan itu bergelak tertawa seperti iblis
menangis, lalu menyambung dengan kata-kata tegas, "Aku
pasti menunggumu."
"Aku pasti menunggumu", kata-kata yang sama bila
diucapkan dari mulut orang yang berbeda, maka dia
mempunyai arti yang berbeda pula.
Di saat menghadapi mara bahaya, mendadak Pho Angsoat
teringat akan gadis berkalung kembang melati itu,
terbayang olehnya sorot matanya yang penuh derita duka dan
putus asa waktu roboh telentang di atas tanah.
Gadis itu juga manusia, manusia macam apa pun pasti
tidak mau dihina dan disakiti, hidupnya selalu terombangambing
seperti gubuk reyot yang hampir roboh, ke depan tiada
harapan, ke belakang jalan buntu, tinggal ambruknya genteng
dan balok yang akan menindih dirinya, mengubur jazadnya.
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, mendadak
dia mulai beranjak keluar, langkahnya perlahan, gaya
berjalannya juga kelihatan menderita, namun bila dia sudah
beranjak ke depan, maka tidak akan berhenti.
Daun pintu sudah ambruk, debu yang mengepul menutupi
pandangannya, perlahan-lahan dia beranjak dari tengah
kepulan debu. Kembali terdengar suara gemuruh, seluruh
ruangan pemujaannya itu sudah runtuh total. Pecahan
genteng dan debu pasir memukul punggungnya, tapi dia tidak
menoleh, matanya pun tidak berkedip.
Bukan saja dia punya ketenangan dan ketabahan yang luar
biasa, dia pun memiliki keberanian besar, tidak kaget meski
menghadapi perubahan apa pun. Karena ketabahannya, dia
punya keberanian, maka dia terhindar dari ancaman elmaut
yang mengincar jiwanya.
Baru saja selangkah dia keluar dari pintu Toa-thian, dari
luar lima puluhan senjata rahasia sudah memberondong
laksana hujan lebat ke arah dirinya, jika dia kaget dan
menoleh, semangat luluh, maka dia pasti sudah roboh, roboh
seperti kuil kuno yang kokoh kuat itu.
Keberanian dan keyakinan adalah saka guru manusia,
karena ada keberanian dan keyakinan maka manusia kuat
bertahan hidup. Selama kedua saka ini tidak patah, maka
umat manusia tidak akan habis.
Baru saja hujan senjata rahasia diruntuhkan, dua jalur sinar
pelangi yang menyala sudah melesat tiba pula, itulah
sebatang pedang dan sebatang gantolan.
Golok Pho Ang-soat sudah keluar sarungnya dimana sinar
golok menabas miring, tubuhnya pun menerjang keluar. Dia
tidak tahu masih berapa banyak perangkap yang mematikan.
Hiolo besar dari tembaga di pekarangan masih ada,
tubuhnya yang kurus laksana sebatang tombak saja melesat
ke sana, jatuh di belakang hiolo tembaga itu. Bila angin
menghembus silir, seketika dia merasa goresan golok yang
dingin mengiris pundaknya waktu dia menunduk, dilihatnya
luka panjang empat dim telah merobek kulit pundaknya.
Serangan pedang dan gantolan itu memang teramat lihai
dan ganas, untung Pho Ang-soat punya pengalaman tempur
yang luas. Jika tidak mengalami sendiri, orang lain pasti
takkan percaya dan bisa membayangkan. Darah mengalir di
pundaknya, darah pun menetes di ujung goloknya, darah
siapa yang menetes di ujung goloknya"
Gantolan itu jelas adalah paruh elang milik Kongsun To,
pedang itu pasti bukan Siong-bun-ko-kiam milik Nyo Bu-ki.
Pedang ini jauh lebih cepat, lebih telak, lebih menakutkan dari
pedang Nyo Bu-ki, apalagi tangan Nyo Bu-ki yang memegang
pedang sudah ditabasnya buntung.
Luka-luka di pundak Pho Ang-soat jelas adalah goresan
pedang, lalu goloknya melukai siapa"
Kuil ini sudah hampir runtuh seluruhnya, waktu dia putar
tubuh memandang ke belakang, bayangan seorang pun sudah
tidak kelihatan. Sekali sergap tidak berhasil, seluruhnya
mundur teratur. Itulah tata tertib pihak Sing-siok-hay,
merupakan prinsip bagi setiap insan persilatan juga.
Tapi kenapa Thian-ong-cam-kui-to tidak muncul lagi!
Pertama, dia membelah kuda, kedua, meruntuhkan kuil,
kenapa tidak langsung dia menyerang Pho Ang-soat" Apa
benar dia akan menunggu Pho Ang-soat di pekarangan
belakang" Pekarangan belakang tersapu bersih, hening dan nyaman,
tiada bayangan manusia, dari dalam hutan yang menghijau
rimbun, berkumandang alunan suara nyanyian yang merdu. Di
dalam hutan terdapat tiga bilik yang terbuka lebar pintu dan
jendelanya ....
Bila memasuki hutan, maka terlihat seorang raksasa bagai
malaikat geledek sedang rebah di atas sebuah dipan ayunan
yang terletak di pinggir jendela, rambutnya panjang semrawut
diikat dengan gelang emas, tubuhnya hanya ditutupi kaos kulit
harimau yang terselempang saja, bagian bawahnya diikat
gaun pendek dari kulit harimau, sepasang sorot matanya
mencorong, sekujur badan yang berkulit coklat tembaga itu
mengkilap terang.
Empat perempuan yang berdandan molek dengan sanggul
penuh perhiasan berada di kanan kirinya, seorang memegang
gelas emas duduk di pahanya, seorang sedang mulai menyisir
rambut, seorang lagi sedang mencopot sepatunya yang bertali
panjang melingkar di kaki mencapai lutut, seorang lagi duduk
di jendela sedang tarik suara mengumandangkan suaranya
yang merdu. Mereka adalah gadis-gadis yang sekereta dengan Kwigwapo, walau mereka sudah tidak muda lagi, namun masih
kelihatan molek, karena hanya perempuan yang sudah
matang dan pengalaman saja yang akan kuat melayani
raksasa tegap dan gede ini.
Di ujung rumah mengepul asap dupa wangi, di pinggir meja
kecil sana menggeletak sebilah golok, gagang goloknya saja
panjang satu kaki tiga dim, sarung goloknya yang indah dan
bagus dari kulit ikan, penuh dihiasi mutiara, berlian dan mutu
manikam lainnya.
Itulah Thian-ong-cam-kui-to (golok raja langit penjagal
setan)" Raksasa inikah Biau-thian-ong?"
Beranjak di atas rontokan daun-daun kering, Pho Ang-soat
maju perlahan-lahan. Kini dia sudah melihat orang itu, walau
raut mukanya tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, tapi
sekujur badannya sudah mengencang tegang.
Golok yang mampu meruntuhkan sebuah kuil dan
membelah seekor kuda, mestinya hanya bisa ditemukan di
dalam dongeng, tapi kenyataan sekarang dirinya sudah
menghadapinya. Perempuan yang sedang bernyanyi di atas jendela hanya
melirik sekejap ke arahnya, nyanyiannya tetap berkumandang
merdu, namun suaranya kedengarannya makin sendu dan
pilu. Perempuan yang memegang gelas emas mendadak
menghela napas, katanya, "Seorang segar-bugar kenapa
justru mengantar jiwa?"
Perempuan yang menyisir rambut berkata dingin, "Karena
umpama dia hidup, pasti hidupnya sengsara."
Perempuan yang mencopot sepatu mengikik tawa, katanya,
"Aku senang melihat pembunuhan."
"Untuk membunuh orang ini mungkin tidak enak
dipandang," jengek perempuan yang menyisir.
"Kenapa?" tanya perempuan yang mencopot sepatu.
"Dilihat dari tampangnya, agaknya orang ini sudah
kehabisan darah," ujar perempuan menyisir rambut.
Perempuan memegang gelas emas berkata, "Umpama ada
darahnya, juga pasti darah dingin."
Perempuan yang mencopot sepatu tetap tertawa, katanya,
"Darah yang dingin kan juga mending daripada tidak punya
darah. Aku hanya mengharap dia punya sedikit darah, sedikit
saja juga sudah cukup, aku perempuan yang mudah puas."
Pho Ang-soat sudah berada di ambang pintu, dia berhenti,
ocehan mereka seperti tidak pernah didengarnya. Memang
sepatah kata pun dia tidak mendengarnya. Karena seluruh
tenaga, semangat dan konsentrasinya dia tujukan kepada lakilaki
raksasa bagai malaikat ini. Mendadak dia bertanya, "Biauthianong?" Biau-thian-ong sudah mengulur tangannya yang gede,
menggenggam gagang golok yang menggeletak di meja
pendek itu. "Itulah Thian-ong-cam-kui-to?" tanya Pho Ang-soat.
"Kadang-kadang membabat setan, sewaktu-waktu
membunuh orang, bila golok keluar dari sarungnya, entah
setan atau manusia pasti akan mati oleh golok ini."
"Bagus sekali."
Mata Biau-thian-ong seperti mata harimau, menunjukkan
rasa kaget dan heran, serunya, "Bagus sekali?"
"Golok sudah di tanganmu, aku sudah berada di bawah
golok, apakah masih kurang bagus?"
"Bagus sekali," Biau-thian-ong bergelak tertawa, "memang
bagus sekali."
"Sayang aku belum mati."
"Antara mati dan hidup hanya terpaut sekejap saja, aku
tidak terburu-buru, kenapa kau gelisah malah?"
Pho Ang-soat menutup mulut, gagangnya goloknya
dibungkus sutera ungu, kini warnanya berubah seperti darah
yang sudah mengering keras.
Jari-jari Biau-thian-ong mengelus gagang goloknya,
katanya kalem, "Apakah kau menunggu aku mencabut golok?"
Pho Ang-soat mengangguk.
"Berita yang tersiar di kalangan Kangouw mengatakan
bahwa golokmu adalah golok kilat yang tiada bandingannya di
dunia." Pho Ang-soat diam saja. "Kenapa tidak kau lolos dulu
golokmu?" "Karena aku ingin menyaksikan golok," secara tidak
langsung dia menyatakan bila aku mencabut golok lebih dulu,
mungkin kau takkan punya kesempatan melolos golokmu lagi.
Biau-thian-oang tertawa tergelak-gelak, mendadak dia
berjingkrak berdiri, maka perempuan yang duduk di pahanya
terguling di atas pembaringan. Waktu dia berdiri, tingginya
ternyata lebih sembilan kaki, pinggangnya lebih besar dari
pelukan satu orang dewasa, perawakannya yang gagah
kereng kelihatan amat garang. Memangnya hanya laki-laki
segede dia yang setimpal menggunakan golok seperti itu.
Pho Ang-soat berdiri di depannya, seperti macan kumbang
berhadapan dengan seekor singa. Walau singa bertampang
seram dan gagah, namun macan kumbang tidak gentar
sedikitpun. Loroh tawa Biau-thian-ong masih berkumandang, katanya,
"Kau ingin supaya aku mencabut golok lebih dulu?"
Pho Ang-soat mengangguk.
"Kau tidak menyesal?"
Pho Ang-soat tertawa dingin.
Pada saat itulah selarik sinar golok yang menyala dari
udara telah membelah turun. Tangan Biau-thian-ong masih
memegang gagang goloknya, masih belum tercabut dari
sarungnya yang dihiasi mutiara, dia tidak mencabut golok.
Sinar golok itu membacok dari belakang Pho Ang-soat,
bagaikan kilat yang menyambar dari tengah udara, padahal
seluruh perhatian Pho Ang-soat tercurahkan kepada laki-laki
raksasa di depannya, apa pun tak terpikir olehnya bahwa ada
golok membelah dari belakang.
Perempuan yang bernyanyi di jendela meski masih terus
bernyanyi, namun dia sudah memejamkan mata. Dia pernah
menyaksikan perbawa bacokan golok ini, dimana sinar golok
menyambar, darah muncrat kepala terpenggal. Sudah sering
dia melihat banyak orang menjadi korban, kali ini dia tidak
tega menyaksikan lagi.
Perempuan yang mencopot sepatu sudah mengkeretkan
tubuh mendekam di pinggir ranjang, agaknya dia bukan
perempuan yang suka melihat pembunuhan seperti yang
diucapkan tadi.
Tapi bila sinar golok itu membelah turun, ternyata tiada
darah muncrat, apalagi badan orang terbelah. Ternyata badan
Pho Ang-soat mendadak melesat terbang ke pinggir, secara
tepat tubuhnya bergerak dari pinggir sambaran sinar golok.
Pada saat goloknya keluar dan menyabet ke belakang, dia
sudah memperhitungkan posisinya, tabasan goloknya ini
mengincar paha di atas lutut di bawah lambung orang yang
memegang golok. Selamanya dia tidak pernah meleset
dengan perhitungannya, demikian pula goloknya tidak pernah
gagal. Tapi tabasan goloknya ternyata tidak mengundang suara
kesakitan, darah tidak muncrat, badan orang tidak ambruk,
hanya terdengar "Cras" sekali, itu bukan suara tulang tertabas
tapi lebih mirip suara kayu yang terbacok.
Begitu bacokan Thian-ong-cam-kui-to mengenai tempat
kosong, ujung golok menutul tanah, laksana lembayung
mendadak meluncur terbang ke udara. Di tengah
berkelebatnya sinar golok yang mencorong itu, seperti terlihat
berkelebatnya bayangan kecil disertai lengking tawa yang
mengerikan berkelebat ke dalam hutan.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara tawa dan bayangan orang sudah lenyap, di atas
tanah menggeletak dua pentung yang tertabas kutung.
Mungkinkah kedua pentung ini menjadi kaki orang itu"
Ataukah dia berjalan memakai jangkungan"
Ketika Pho Ang-soat membalik badan, goloknya sudah
masuk ke sarungnya.
Laki-laki gede bagai raksasa itu sudah ambruk di atas
ranjang, sikap garang dan wibawanya tadi kini entah kabur
kemana, algojo yang dipandang bak malaikat ini apakah
hanya macan kertas" Boneka raksasa untuk menggertak
orang belaka"
Pho Ang-soat menatapnya, tanyanya, "Siapakah orang
itu?" "Biau-thian-ong, dialah Biau-thian-ong asli."
"Dan kau?"
"Aku hanya bonekanya, boneka pajangan untuk pameran
dan menggertak orang, seperti golok ini," dia mencabut golok
panjang bersarung hiasan mutiara, ternyata yang tercabut
keluar hanyalah sebatang golok kayu.
Sungguh kejadian yang lucu, brutal dan menggelikan,
hanya orang gila saja yang bisa berbuat seperti ini, maka Pho
Ang-soat bertanya, "Siapakah dia sebetulnya" Macam apa
dia" Kenapa dia melakukan semua ini?"
Raksasa ini menundukkan kepala.
Perempuan yang memegang gelas sibuk memegang poci,
menuang arak dan minum sendiri. Perempuan di jendela pun
menghentikan nyanyiannya, katanya keras, "Mereka tidak
berani memberitahu kepadamu, biar aku yang menjelaskan."
Nyanyiannya tadi merdu bening, tapi perkataannya ternyata
serak penuh kemarahan, "Sebetulnya dia bukan laki-laki,
namun dia berangan-angan untuk menjadi seorang laki-laki
jantan yang sekaligus mampu memuaskan empat orang
perempuan. Perawakannya hanya tiga kaki delapan dim, tapi
berkhayal bahwa dirinya adalah laki-laki raksasa yang ditakuti
seperti malaikat dewata, dia melakukan semua ini, karena
sebetulnya dia orang gila."
Perempuan yang memegang gelas emas mendadak terkialkial,
serunya sambil berkeplok, "Bagus, caci-maki bagus, cacimakimu
memang tepat." Wajah yang sedang tertawa itu
ternyata berkerut-merut karena menahan derita, "Kenapa tidak
sekalian kau perlihatkan kepada orang she Pho ini,
bagaimana suami kerdil itu memuaskan kita?"
Perempuan yang mencopot sepatu tadi mendadak
mencabik pakaiannya sendiri, dadanya yang montok padat
memutih gempal ini ternyata penuh dihiasi jalur-jalur pecutan
biru. "Beginilah caranya memuaskan kami," tawanya lebih
memilukan dari isak tangis. "Aku adalah perempuan yang
mudah mendapat kepuasan, terus terang aku amat puas."
Tanpa bersuara Pho Ang-soat membalik badan, melangkah
keluar tanpa bersuara pula. Tak tega dia menyaksikan, tak
tega mendengarkan. Mendadak dia teringat gadis yang
berkalung kembang melati itu, mereka sama saja, sama-sama
dirusak, sama-sama disiksa dan diinjak-injak.
Dalam pandangan lelaki mana pun, mereka adalah
perempuan yang tidak tahu malu. Mereka tidak tahu malu,
apakah bukan lantaran mereka dirusak laki-laki hidung
belang" Betapapun besar siksa derita yang mereka alami,
terpaksa mereka harus berani menerimanya, karena
hakikatnya mereka tidak mungkin melawan, juga tak mungkin
menyingkir dari kenyataan hidup ini, apakah begini arti dari
tidak tahu malu itu"
Tiga perempuan itu menjerit dan berseru bersama,
"Kenapa tidak kau tolong kami" Kenapa tidak kau bawa kami
keluar dari sini?"
Pho Ang-soat tidak menoleh, bukan dia tidak ingin
menolong mereka, tapi dia tidak mampu berbuat demikian,
persoalan yang menyangkut mereka, siapa pun tak mungkin
menyelesaikan. Bila laki-laki tidak tahu malu masih ada di dunia ini, maka
perempuan tidak tahu malu tetap akan ada. Di situlah letak
persoalan yang sebenarnya, siapa pun takkan ada yang bisa
menyelesaikan persoalan ini.
Pho Ang-soat tidak berani menoleh, karena dia hampir tak
tahan hendak muntah-muntah. Dia tahu cara satu-satunya
untuk menolong mereka, bukan dengan mengajak mereka
pergi, asal Biau-thian-ong terbunuh, maka mereka kan benarbenar
lepas, bebas merdeka.
Ranting berdaun yang baru saja tertabas menggeletak di
tanah, tertabas oleh tajamnya golok, oleh Thian-ong-cam-kuito.
Mengikuti jejak itu, Pho Ang-soat terus menyelusuri ke
sana, mungkin Biau-thian-ong sudah pergi jauh, namun yang
dia kejar bukan Biau-thian-ong pribadi, tapi adalah satu tujuan.
Pho Ang-soat tahu, selama dirinya masih bernapas, selama itu
pula dia tidak akan mengabaikan tujuan ini, tujuan
memberantas kejahatannya.
Sekarang dia lebih mengerti, kenapa Yan Lam-hwi ingin
membunuh Kongcu Gi, yang akan mereka bunuh bukan
seseorang, tetapi lambang dosa dan kekuatan orang itu.
ooooOOoooo Keluar dari hutan, melewati pekarangan belakang, seorang
sedang berdiri di tengah reruntuhan kuil, mengawasi Pho Angsoat
dengan tertawa cengeng.
"Kuil kuno ribuan tahun inipun sudah runtuh, kenapa kau
belum mampus" Apalagi yang sedang kau tunggu?" jubahnya
yang semula bersih kini berlepotan tinta hitam, tangannya
memegang sekuntum kembang yang baru mekar. Sekuntum
kembang kecil yang segar dan wangi, sekuntum kembang
kuning. Di pinggir rumah papan di bawah gunung itu, tumbuh juga
beberapa rumpun kembang kuning.
"Kembang itu ditanam gadis cilik, gadis cilik berkuncir
panjang dengan mata bundar besar dan jeli."
Perasaan Pho Ang-soat mendadak tertekan, pelupuk
matanya mengkeret, jari-jari tangannya yang menggenggam
golok mengencang, "Darimana kau ambil kembang itu?"
"Darimana orang datang, sudah tentu dari sana pula
kembang ini diperoleh," Hwesio itu masih tertawa cengeng,
mendadak dia lempar kembang yang dipegangnya itu ke arah
Pho Ang-soat. "Coba kau periksa lebih dulu kembang ini
bunga apa?"
"Aku tidak tahu."
"Inilah kembang perpisahan yang menyedihkan."
"Mana ada kembang jenis itu di dunia ini?" jari-jari Pho Angsoat
sudah dingin. "Ada saja, kalau ada orang sedih, ada perpisahan antar
sesama, kenapa tidak ada kembang perpisahan yang
menyedihkan?" Hwesio gila tidak lagi tertawa, sorot matanya
diliputi rasa sedih dan duka yang tak terperikan, "Kalau di
dunia ini sudah ada kembang perpisahan yang menyedihkan,
takkan terhindar bakal sedih dan berpisah."
Pho Ang-soat memegang dahan kembang itu dengan
kedua jarinya, tangannya tidak bergerak. Di sini tiada angin,
tapi kelopak kembangnya tiba-tiba berguguran, ranting
kembang itupun layu. Tangan inilah tangan yang digunakan
untuk mencabut golok, tangan yang memiliki kekuatan cukup
untuk merenggut nyawa.
Makin tebal rasa duka Hwesio gila, katanya pula,
"Kembang datang dari sumbernya, sudah pergi kemana dia
harus pergi, lalu manusia kenapa masih belum kembali?"
"Kembali kemana?" tanya Pho Ang-soat.
"Darimana kau datang, ke sanalah kau harus pulang,
sekarang pulang mungkin masih keburu."
"Keburu berbuat apa?"
"Kau mau apa, mana kau tahu?"
"Siapa kau sebetulnya?"
"Aku hanyalah Hwesio gila, secara kebetulan menemukan
sekuntum kembang kecil," mendadak dia mengulap tangan
dan membentak lantang, "Pergi! Lakukan apa yang harus kau
kerjakan, jangan ganggu Hwesio, Hwesio perlu ketenangan."
Hwesio gila sudah mendeprok duduk bersemadi.
Ruang pemujaan kuil ini sudah runtuh, namun ruang
pemujaan dalam relung hatinya masih utuh. Seperti juga
keong, bila hujan turun, dia bisa segera menyembunyikan diri.
Apakah dia dapat meramal hujan badai bakal tiba"
Cahaya kuning mentari di kala senja memenuhi angkasa,
tiada angin tiada hujan. Hujan badai berada di dalam sanubari
orang, di dalam relung hati Pho Ang-soat.
Kembang kuning cilik itu apakah dia petik di samping
rumah papan itu" Kenapa dinamakan perpisahan yang
menyedihkan" Siapa yang akan berpisah"
Pho Ang-soat tidak bisa bertanya, tidak berani bertanya,
umpama bertanya juga takkan memperoleh jawaban. Untuk
mendapat jawaban hanya ada satu cara.
Dengan sekuat tenaga dia memburu pulang, "Sekarang
pulang mungkin masih keburu", tapi waktu dia tiba di sana,
ternyata sudah terlambat.
Kembang-kembang kuning di bawah bambu ternyata sudah
hilang seluruhnya, sisa sekuntum pun tidak, demikian pula
orangnya tak keruan parannya.
Masih ada sisa tiga masakan di atas meja, bubur sepanci,
dua sumpit dan dua mangkuk, bubur masih hangat. Bekas
ompol anak-anak di atas ranjang masih basah, tapi mana
orangnya" "Co Giok-cin, Toh Cap-jit!" teriak Pho Ang-soat keras, tiada
jawaban. Apakah Co Giok-cin mengingkarinya" Kemana dia harus
menemukan mereka" Kemana dia harus menghindari
bencana yang akan menimpa dirinya"
Malam kelam, di tengah gelap mendadak terdengar suara
"Tok, tok, tok" beberapa kali, menyusul selarik sinar menyala.
Bukan sinar kilat, tapi sinar golok. Di tengah berkelebatnya
sinar golok samar-samar terlihat bayangan manusia yang
lebih tinggi dari pucuk pohon.
Bayangan orang meluncur tiba bersama sinar golok,
ternyata itulah seorang kate yang berbentuk aneh. Kakinya
menginjak dua batang bambu panjang satu tombak,
tangannya menarikan sebatang golok besar panjang sembilan
kaki. Itulah Thian-ong-cam-kui-to.
Sinar golok berkelebat, atap alang-alang beterbangan,
bagai kilat membacok batok kepala Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat sudah mundur delapan kaki, kembali sinar
golok menyambar atap rumah itu hancur, kekuatan sambaran
Thian-ong-cam-kui-to memang laksana guntur menggelegar.
Kini golok menabas miring, dalam sekejap sudah membacok
tujuh kali. Terpaksa Pho Ang-soat mundur, karena dia tidak mampu
melawan atau menangkis. Dia harus melompat tinggi satu
tombak lebih baru goloknya mampu menyentuh badan Biauthianong yang berada di atas jangkungan. Padahal dirinya
sekarang seperti dibungkus sinar golok, gerak-geriknya terasa
sempit karena kanan kiri atas bawah sambaran sinar golok
melulu. Biau-thian-ong memegang golok dengan kedua tangannya,
bacokan demi bacokan, hakikatnya tidak memberi
kesempatan baginya untuk berganti napas. Padahal umpama
guntur menggelegar juga ada saatnya istirahat, umpama
jendral malaikat yang gagah perkasa, tenaganya juga pasti
terbatas. Tapi Pho Ang-soat beruntun harus berkelit empat
puluh sembilan kali dari tabasan golok lawan, baru mendadak
tubuhnya melesat keluar dari pinggir sambaran golok.
Kini goloknya pun sudah terlolos, Thian-ong-cam-kui-to
terlalu panjang, makin panjang makin kuat, namun goloknya
ini terlalu panjang, hanya bisa menjangkau jarak jauh, bila
lawan menyerang dalam jarak dekat, maka susah dia
membela diri. Agaknya Pho Ang-soat tahu titik kelemahannya ini, maka
goloknya sekarang sudah melesat ke hulu hati Biau-thian-ong.
Siapa tahu pada saat yang menentukan itulah, mendadak
bambu di bawah kakinya itu mendadak pula putus menjadi
belasan ruas. Kontan badannya anjlok dari udara, Thian-ongcamkui-to juga sudah dibuangnya, entah bagaimana jadinya,
waktu dia membalikkan tangan, tahu-tahu sudah mencabut
sebatang golok lain. Golok pendek yang memancarkan
cahaya kemilau, seiring dengan melorotnya tubuh ke bawah,
goloknya menggores dada Pho Ang-soat.
Jurus mematikan yang pasti menang Pho Ang-soat ini
justru berbalik menjadikan pangkal kematiannya. Bila singa
atau harimau menerkam manusia, bagi pemburu yang punya
pengalaman pasti akan menyelinap ke bawah perutnya dan
mengangkat golok membelah perutnya. Demikianlah keadaan
Pho Ang-soat sekarang, dia mirip seekor macan yang
menerkam dari udara, golok pemburu itu sudah mengancam
lambungnya, seolah-olah dia sudah merasakan tajam golok
yang dingin mengiris sobek bajunya.
Biau-thian-ong juga sudah memperhitungkan Pho Ang-soat
pasti takkan mampu menyelamatkan diri dari serangan
goloknya, ini bukan lagi Thian-ong-cam-kui-to, tapi golok
piranti membunuh manusia. Seluruh tenaganya sudah dia
pusatkan di atas golok ini, tapi tenaganya mendadak sirna,
hilang tanpa bekas.
Seluruh kekuatannya telah lenyap, seperti kantong kulit
yang mendadak terkuras habis isinya. Padahal sudah jelas
bahwa goloknya dapat menembus dada Pho Ang-soat, namun
dia justru tidak mampu menusuknya lagi.
Apakah yang terjadi" Sungguh dia tidak habis mengerti,
mati pun tidak mengerti. Tapi dia melihat darah, tapi bukan
darah Pho Ang-soat, darimana datangnya darah" Dia pun
tidak tahu, baru sekarang dia merasakan mendadak lehernya
seperti tersedak oleh sekeping batu, dingin dan sakit seketika
merangsang sekujur badannya, seperti tenggorokannya sudah
digorok pisau. Tapi dia tidak percaya, bahwa sinar golok yang berkelebat
tadi telah menggorok lehernya, sampai mati dia tetap tidak
percaya bahwa ada golok secepat itu di dunia ini, bahwasanya
dia tidak melihat bagaimana golok itu menyambar.
Pho Ang-soat juga ambruk, jatuh di bawah rumpun bambu,
alam semesta kembali diliputi keheningan nan damai.
Mendadak dia merasakan sekujur tubuhnya teramat penat.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kejadian barusan meski hanya berlangsung dalam sekejap
mata, namun dalam sekejap itu seluruh kekuatannya sudah
terkuras habis.
Perbatasan antara hidup dan mati, memangnya hanya
terpaut segaris saja. Baru sekarang dia maklum akan makna
perkataan itu, tadi jiwanya memang sudah teramat dekat
dengan kematian. Duel kali ini boleh dikata sebagai
pertempuran paling dahsyat yang belum pernah dia alami
selama hidup. Bintang-bintang memenuhi angkasa, darah sudah kering,
darah Biau-thian-ong, bukan darahnya. Tapi dia seperti
merasakan darahnya juga sudah kering mengalir, bila Biauthianong mampu menggerakkan goloknya, dia pasti tak
mampu melawan. Malah dia maklum bila seorang bocah membawa pisau
kecil pun mampu membunuh dirinya, untung orang yang mati
tak bisa menggerakkan senjata.
Malam telah larut, di pegunungan yang terpencil dan sepi
ini pasti takkan ada orang kemari.
Dia memejamkan mata, dia ingin pulas sebentar, dengan
pikiran yang jernih baru bisa mangatur rencana, melakukan
aksi selanjutnya.
Siapa tahu pada saat itulah justru seseorang telah datang.
Di tengah kegelapan mendadak berkumandang derap kaki
orang mendatangi, perlahan tapi mantap dan tenang, seolaholah
derap langkahnya membawa irama yang aneh, irama
yang mengasyikkan. Hanya seorang yang merasa yakin akan
tugas yang dilakukannya, waktu berjalan baru bisa membawa
irama tertentu.
Siapakah orang ini" Kenapa dia kemari" Datang untuk
apa" Pho Ang-soat mendengarkan penuh perhatian dalam hati,
mendadak timbul perasaan aneh, irama langkah kaki ini
ternyata mirip dengan gema genta dari kuil kuno di tengah
hutan itu, itulah gema genta kematian. Irama langkah ini
kedengarannya juga mengandung napsu membunuh.
ooooOOoooo Bab 17. Putus Asa
Langkah kaki itu makin dekat, dari tengah kegelapan
akhirnya muncul satu orang, seorang yang memegang
sekuntum kembang, sekuntum kembang kecil warna kuning.
Yang sedang ternyata Hwesio gila, dia masih mengenakan
jubah yang berlepotan tinta itu, maju perlahan-lahan,
menancapkan kembang kuning itu di bawah rumpun bambu.
"Orang sudah kembali ke tempat asal, kembangnya pun
kembali dimana tumbuh."
Sorot matanya seperti membawa duka-lara, sayang sekali
bentuk kembang ini masih tetap segar, tapi keadaan di sini
sudah porak-poranda.
Dengan terlongong Pho Ang-soat juga mengawasi
kembang kuning di bawah rumpun bambu itu, "Kau tahu
bahwa aku pergi dari sini, kau pun tahu kembang ini tumbuh di
sini, maka kau pun datang kemari."
"Kau tahu apa?" tanya Hwesio gila "Apa pun aku tidak
tahu," sahut Pho Ang-soat. "Jadi kau tidak tahu siapa pemetik
kembang ini, juga tidak tahu siapa diriku?"
"Siapa kau?"
Hwesio gila mendadak menuding noda tinta di jubahnya,
katanya, "Kau bisa lihat tidak, apa ini?"
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
Hwesio gila menghela napas, mendadak dia duduk di
depan Pho Ang-soat, katanya, "Coba kau lihat lagi, kau harus
mengawasi sepenuh perasaan."
Pho Ang-soat bimbang, akhirnya dia pun duduk. Sinar
bintang yang guram menyinari jubah yang semula bersih dan
rapi itu, sekarang berlepotan noda hitam yang tak keruan.
Sepenuh perhatian Pho Ang-soat mengawasi, seperti
mengawasi api dupa yang berkelap-kelip di kamar nan gelap. Jika kau
sudah merasakan api dupa ini tidak lagi berkelap-kelip, malah
terangnya seperti obor, maka kau sudah setengah sukses.
Selanjutnya kau akan dapat melihat asap dupa yang
mengepul ke udara, sejelas melihat gumpalan mega di puncak
gunung yang tinggi, kepulan asap yang menari-nari itu
kelihatan seperti bangau yang terbang di balik mega.
Pho Ang-soat menatap sepenuh perhatian, mendadak
terasa noda-noda yang tak keruan itu tidak lagi semrawut,
seolah-olah mengandung suatu irama magis. Selanjutnya
mendadak dia menemukan noda tinta hitam yang tak keruan
itu secara gaib berubah menjadi suatu lukisan, dimana seolaholah
ada gunung tinggi, ada air mengalir, ada sinar golok yang
menari tak pernah henti, ada pula air mata di wajah si bocah.
"Sebetulnya gambar apa yang kau lukis."
"Apa yang sedang kau pikir dalam hatimu, gambar itulah
yang sedang kulukis."
Bentuk suatu lukisan memang timbul dari nurani orang,
maka bukan saja gambar itu sebuah lukisan, malah lukisan
yang paling antik di antara gambar.
Mata Pho Ang-soat sudah memancarkan cahaya, "Aku
sudah tahu siapa kau, kau pasti Go Ho, salah satu pembantu
Kongcu Gi."
Hwesio gila terbahak-bahak, katanya, "Jelas ada gambar,
kenapa kau bilang tiada lukisan" Jika tiada lukisan, mana bisa
ada orang?"
"Orang siapa?"
"Sudah tentu orang di dalam gambar."
Dalam gambar ada air mata si bocah, dalam hati memang
merekalah yang dipikirkan. "Orangnya kemana?"
"Jelas ada orangnya, kenapa kau justru bertanya, agaknya
yang gila bukan Hwesio, tapi adalah kau," sambil tertawa lebar
tangannya menuding sekenanya. "Coba kau lihat, bukankah
orang ada di sana?"
Yang dituding adalah beberapa gubuk kecil itu, pintu
jendela gubuk kecil itu terbuka lebar. Entah sejak kapan
cahaya api sudah menyala di dalam rumah.
Waktu Pho Ang-soat menoleh dan memandang ke arah
yang dituding, seketika dia melenggong.
Di dalam rumah ada orang, dua orang. Toh Cap-jit dan Co
Giok-cin sedang duduk makan bubur, bubur yang sudah
hampir dingin tadi kini tampak mengebul panas.
Tapi sekujur badan Pho Ang-soat justru menjadi dingin.
Apakah yang dilihatnya ini mirip noda-noda hitam di jubah
Hwesio gila, hanyalah lukisan abstrak" Lukisan yang tidak
berbentuk" Lukisan dalam khayal belaka"
Bukan, yang satu ini pasti bukan, di dalam rumah memang
kenyataan ada dua orang yang segar-bugar dan hidup,
mereka memang Toh Cap-jit dan Co Giok-cin.
Setelah mengawasi noda hitam di jubah si Hwesio,
sekarang setiap kerut-merut di muka mereka pun dapat
dilihatnya dengan amat jelas, malah dia juga melihat jelas
pori-pori mereka seperti sedang membuka, kulit daging
kedutan. Mereka tidak memperhatikan keadaan di luar rumah, dalam
keadaan seperti itu, kebanyakan orang pasti akan berjingkat
dan memburu ke sana atau berteriak memanggil.
Tapi Pho Ang-soat adalah Pho Ang-soat, Pho Ang-soat
bukan kebanyakan orang itu, walaupun dia sudah berdiri,
namun tetap berdiri di situ, bergerak pun tidak. Karena bukan
saja dia sudah melihat kedua orang ini, malah dia mengawasi
dengan lebih tajam, lekat dan jauh. Hanya dalam sekejap ini
segera dia sudah melihat seluruh gelagat, kenyataan dari
kejadian ini. "Bukankah orang yang kau cari berada di sana?" ucap
Hwesio gila. "Ya, benar," sahut Pho Ang-soat. "Kenapa tidak lekas kau
ke sana?" Pelan-pelan Pho Ang-soat berputar, lalu menatapnya, mata
yang semula sudah kelihatan letih, duka hingga merah itu
mendadak berubah menjadi dingin, kaku dan bening, setajam
pisau menatapnya sampai lama, akhirnya dia berkata
perlahan, "Aku hanya mengharap kau paham satu hal."
"Coba katakan."
"Sekarang bila aku mau mencabut golok, kau pasti mati, di
langit di bumi yakin tiada seorang pun yang mampu menolong
jiwamu." Hwesio gila tertawa pula, tawa yang dipaksakan, "Aku
sudah memberi kesempatan hingga kau melihat orang yang
kau cari, kau justru mau membunuhku."
"Hanya melihat mereka belum cukup."
"Apa pula kehendakmu?"
"Kau harus duduk tenang di sini, sekarang kau harus suruh
orang yang bersembunyi di belakang pintu dan pojok rumah
keluar, bila mereka berani melukai seujung rambut Co Giokcin
dan Toh Cap-jit, aku akan segera menggorok lehermu."
Hwesio gila tidak tertawa lagi, sepasang mata yang suka
memandang orang dengan nanar mendadak berubah amat
bening dan dingin, agak lama kemudian baru dia berkata
perlahan, "Pandanganmu memang tidak keliru, di pojok rumah
dan di belakang pintu memang ada orang bersembunyi di
sana, tapi sudah pasti mereka takkan mau keluar."
"Kau tidak percaya bahwa aku mampu membunuhmu?"
"Aku percaya."
"Kau tidak peduli?"
"Sudah tentu aku ingin hidup, tapi mereka boleh tidak
peduli mati hidupku, membunuh dan pertumpahan darah
sudah merupakan kejadian biasa bagi mereka, umpama kau
mencacah tubuhku, aku berani tanggung mereka tidak akan
mengerutkan alis."
Pho Ang-soat bungkam, ucapan si Hwesio memang tidak
salah, karena dia sudah melihat seraut wajah yang menongol
di jendela, terlihat jelas wajah yang penuh codet serta
seringainya yang sadis. Yang bersembunyi di pojok rumah itu
adalah Kongsun To.
Hwesio gila berkata, "Tentu kau sudah mengerti bagaimana
perangai orang ini, umpama kau mencacah hancur anaknya di
depan matanya, mungkin dia pun tidak akan mengerutkan
kening. Jiwanya kejam."
Pho Ang-soat tidak menanggapi.
"Sekarang aku hanya mengharap kau memaklumi satu hal,"
ucap Hwesio gila.
"Coba katakan."
"Jika mereka mencacah lebur Co Giok-cin dan Toh Cap-jit,
apakah kau tetap tak peduli?"
Tangan Pho Ang-soat mengepal kencang, perasaannya
berat seperti tertindih.
Kongsun To mendadak tertawa lebar, katanya, "Bagus,
pertanyaan bagus, aku juga boleh memberi jaminan, bila Pho
Ang-soat berani melukai seujung rambutmu, aku pun akan
menggorok leher kedua orang ini."
Saking murkanya, muka Pho Ang-soat yang pucat kelihatan
berkerut kedutan.
"Kau percaya tidak apa yang diucapkannya?", tanya
Hwesio gila. "Aku percaya, maka aku harus hati-hati," ucap Pho Angsoat,
"aku ingin mereka hidup segar, entah apa keinginan
kalian?" "Apa keinginan kami, kau pasti akan memberikan?" Hwesio
gila menegas. Pho Ang-soat mengangguk, katanya, "Bila mereka tetap
hidup, asal aku mampu dan punya."
Hwesio gila tertawa pula, katanya, "Aku hanya ingin kau
mencopot pakaianmu, copot semua sampai telanjang bulat."
Muka Pho Ang-soat yang pucat mendadak merah, otot
sekujur badannya mengencang dan merongkol. Dia rela mati
daripada dihina, apa boleh buat, dalam keadaan seperti ini dia
tidak mungkin melawan, tidak bisa menolak.
"Sekarang juga aku ingin kau mulai copot pakaian, copot
sampai telanjang."
Tangan Pho Ang-soat terangkat, tapi tangan ini bukan
mencopot kancing baju, tapi mencabut goloknya. Sinar golok
menyambar bagai kilat, tapi gerakan tubuhnya agaknya lebih
cepat dari sambaran sinar golok itu.
Di tengah berkelebatnya sinar golok itu, dia sudah
menerjang ke gubuk kayu itu, goloknya sudah menusuk
amblas papan pintu rumah itu. Maka melolong jeritan ngeri di
belakang pintu, seorang tersungkur roboh, siapa lagi kalau
bukan "kalau ingin membunuh, maka tanpa pantangan", yaitu
Nyo Bu-ki. Kini dia hanya memiliki sebelah tangan, tak terpikir olehnya
bahwa golok itu akan menusuk tembus dari balik papan
menghunjam dadanya. Dengan pandangan kaget dia
mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya seperti bertanya,
"Beginilah kau membunuhku?"
Sekilas Pho Ang-soat menatapnya dingin, sorot matanya
seperti menjawab, "Jika ingin membunuh, tanpa pantangan,
aku belajar dari kau."
Pertanyaan dan jawaban itu tidak mereka ucapkan, karena
sebelum Nyo Bu-ki sempat melontarkan sepatah kata pun,
napasnya sudah berhenti.
Pho Ang-soat hanya menatapnya sekilas, di kala matanya
menatap tajam, goloknya sudah berputar ke arah Kongsun To.
Kongsun To melambung ke udara bersalto ke belakang,
menerobos jendela turun di luar rumah, ternyata dia mampu
menyelamatkan jiwanya dari sambaran golok itu. Maklum
karena serangan golok Pho Ang-soat bukan bermaksud
melukainya, tujuannya melindungi Co Giok-cin.
Sinar golok hanya berkelebat sekejap, tahu-tahu golok
sudah kembali ke sarungnya.
Kongsun To berdiri jauh di pinggir rumpun bambu,
mukanya yang bercodet mengkilap oleh keringat dingin yang
mengucur deras.
Co Giok-cin menurunkan mangkuk dan sumpit, maka air
matanya pun berderai membasahi pipi. Toh Cap-jit
menatapnya, sorot matanya mengandung perasaan yang
aneh, pandangan ganjil.
Hwesio gila menghela napas, katanya, "Bagus, orang yang
lihai, golok yang bagus."
Wajah Pho Ang-soat tetap pucat kaku, tak berubah,
padahal jantungnya berdetak keras. Sergapannya tadi,
padahal dia tidak yakin pasti berhasil, cuma kenyataan nasib


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik seperti selalu menjadi miliknya, padahal posisi lawan
lebih menguntungkan, maka terpaksa dia harus bertindak
secara untung-untungan.
Mendadak Kongsun To menyeringai dingin, katanya,
"Taruhanmu kali ini memang tepat, kau lebih mujur, namun
percaturan ini, kemenangan tetap akan berada di tanganku."
"Hm," Pho Ang-soat mengejek.
"Karena kartu terakhir masih tergenggam di tanganku,"
ucap Kongsun To.
"Dia masih punya kartu apa?"
Kongsun To berkata pula, "Sebetulnya kau sendiri bisa
menduga, kalau tiada orang menunjukkan jalan, bagaimana
mungkin kami menemukan tempat ini?"
Jari-jari Pho Ang-soat mengencang, lalu siapakah yang
mengkhianati dirinya"
Mendadak sebuah jeritan lengking berkumandang, Toh
Cap-jit mendadak turun tangan, dia menelikung lengan Co
Giok-cin serta memeluk di depannya.
"Kaukah"!" seru Pho Ang-soat sambil membalikkan badan.
Toh Cap-jit mengawasi, sorot matanya memancarkan
mimik yang aneh, seperti ingin bicara, tapi ditahannya pula.
Pho Ang-soat berkata, "Sebetulnya kau laki-laki jantan,
kenapa tega melakukan perbuatan serendah ini?"
Akhirnya tak tertahan Toh Cap-jit buka suara, "Kau Dia
hanya mengucap sepatah kata, mendadak kedua matanya
melotot, selanjutnya darah meleleh dari ujung mata, lubang
hidung dan menyembur dari mulutnya.
Kontan Co Giok-cin membalik, sikut menyodok dadanya
hingga tubuhnya terjengkang roboh, di bawah ketiak di atas
lambungnya ternyata ditembus oleh sebatang pisau runcing,
pisau satu kaki yang mengkilap itu amblas sampai gagangnya.
Raut mukanya sudah mengkeret, ujung mulutnya gemetar,
seperti mau mengatakan, "Aku salah, aku keliru....."
Asalkan dia manusia pasti pernah melakukan kesalahan,
tak peduli orang macam apa pun tidak terkecuali.
Setelah melepas gagang pisau, Co Giok-cin segera mundur
ke belakang, mendadak dia membalik terus memeluk Pho
Ang-soat, pekiknya, "Aku membunuh orang.....aku membunuh
orang!" Bagi dirinya, ternyata membunuh jauh lebih
menakutkan daripada dibunuh. Jelas baru pertama kali ini dia
membunuh orang.
ooooOOoooo Dulu Pho Ang-soat juga punya pengalaman demikian,
waktu dia membunuh orang pertama kali, isi perutnya yang
asam pun dimuntahkan keluar, dia maklum akan gejolak
perasaan ini. Bukan soal mudah untuk melupakan gejolak perasaan
seperti ini. Tapi manusia masih akan terus membunuh orang,
hanya manusia yang bisa membunuh manusia, karena ada
sementara orang pasti mendesak seseorang untuk membunuh
orang. Soal bunuh membunuh ini ada kalanya seperti penyakit
menular, siapa pun sukar meluputkan diri dari ketularan,
karena bila kau tidak membunuh dia, maka dia akan
membunuhmu. Yang menjadi korban akan memperoleh ketenteraman di
alam baka, yang membunuh malah akan tersiksa oleh derita
lahir dan batin. Bukankah tragedi seperti ini mengandung
suatu sindiran"
Keadaan telah tenang kembali, terlalu tenteram.
Darah tidak lagi mengalir, permusuhan sudah jauh
terhindar. Jagat raya gelap kelam, tak terdengar suara apa
pun. Tangis bayi pun tidak terdengar, dimana anak-anak itu"
Sekujur badan Pho Ang-soat menjadi dingin, katanya,
"Anak-anak sudah jatuh ke tangan mereka!"
Co Giok-cin malah menekan rasa dukanya, membujuknya
malah, "Anak-anak tidak akan mengalami bahaya, tujuan
mereka bukan anak-anak."
Segera Pho Ang-soat bertanya, "Apa kehendak mereka?"
"Yang mereka tuntut adalah ...."
"Apakah Khong-jiok-ling?"
Terpaksa Co Giok-cin membenarkan, "Mereka kira Jiu Cuijing
menyerahkan bulu merak itu kepadaku, bila aku
menyerahkan bulu merak itu kepada mereka, anak-anakku
akan dikembalikan kepadaku." Air matanya mulai meleleh,
"Tapi aku tidak punya bulu merak, padahal bagaimana bentuk
barang itu aku pun belum pernah melihatnya."
Dingin tangan Pho Ang-soat, sedingin es.
Co Giok-cin menggenggam tangannya, katanya rawan,
"Sebetulnya tidak akan kuceritakan hal ini kepadamu, aku tahu
tiada seorang pun di dunia ini dapat merebut anakku dari
tangan mereka."
"Tapi mereka kan juga anakku."
"Tapi kau tak punya bulu merak, misal kau mampu
membunuh mereka, anak-anak itu tetap takkan dapat kau
rebut kembali."
Pho Ang-soat membungkam, tidak bisa tidak dia harus
mengakui bahwa dirinya tak mampu membereskan persoalan
ini, perasaannya seperti disayat pisau.
Co Giok-cin menghiburnya lagi, "Untuk sementara mereka
pasti tidak akan mengganggu anak-anak, tapi ..." Jari
tangannya mengelus wajah Pho Ang-soat yang pucat, "Kau
sudah terlalu lelah, terluka lagi, kau harus banyak istirahat,
berusahalah kau membuang segala kerisauan hati dan
melupakan mereka."
Pho Ang-soat tidak bersuara, tidak bergerak, seolah-olah
dia sudah kaku, pati rasa. Karena dia tidak punya bulu merak,
dia tidak akan bisa menyelamatkan anak-anak. Dengan kedua
tangannya dia menyambut kelahiran mereka di dunia ini,
sekarang terpaksa dia harus menyaksikan mereka menderita
dan terpisah dari ibunya, kemungkinan pula akan mati.
Sudah tentu Co Giok-cin juga merasakan penderitaannya,
dengan air mata bercucuran dia menariknya ke ranjang serta
menekan kedua pundaknya, katanya dengan lembut dan
mesra, "Sekarang kau harus berusaha mengendorkan diri,
apa pun jangan kau pikirkan, biar aku mengobati lukalukamu."
Kembali dia meraba lembut muka orang, lalu secara
tiba-tiba dia menotok tujuh Hiat-tonya dengan totokan berat.
Tiada orang bisa membayangkan perubahan ini, umpama
setiap orang di dunia ini sudah menduga sebelumnya, tapi
Pho Ang-soat pasti tidak pernah membayangkan. Maka dia
hanya bisa menatapnya dengan kaget, tapi kejut dan
herannya jauh lebih besar dari pukulan batinnya.
Bila sepenuh hati, dengan keluhuran jiwamu kau melayani
seseorang, tapi orang itu malah mengkhianati kau, siapa
dapat membayangkan betapa penderitaan batinnya.
Tapi Co Giok-cin malah tertawa, tertawa lembut dan manis,
"Kelihatannya kau amat menyesal atau menderita, apakah
luka-lukamu sakit" Atau perasaanmu yang tertusuk?"
Tawanya kelihatan lebih riang, "Dimanapun rasa sakitmu,
sebentar tidak akan terasa sakit lagi, karena orang mati tidak
akan merasa sakit."
Dengan tersenyum genit dia bertanya, "Semula kukira bulu
merak berada di tanganmu, tapi melihat gelagatnya, agaknya
rekaanku meleset. Maka aku akan segera membunuhmu, bila
tiba saatnya, segala penderitaan sudah tidak akan terasa lagi
olehmu." Bibir Pho Ang-soat sudah tergigit sampai mengeluarkan
darah, bibir yang kering itu memang sudah merekah, sekarang
sepatah kata pun tak mampu dia bicara.
Co Giok-cin berkata, "Aku tahu, kau pasti ingin bertanya
kepadaku, kenapa bersikap begini terhadapmu, tapi aku justru
tidak mau menerangkan." Matanya mengawasi goloknya, "Kau
bilang siapa pun tak boleh menyentuh golokmu ini, sekarang
aku justru akan memegangnya."
Dia mengulur tangan mengambil goloknya, lalu berkata
pula, "Bukan saja memegangnya, malah dengan golokmu ini
akan kubunuh dirimu."
Jari tangannya terpaut satu dim saja dari gagang golok,
mendadak Pho Ang-soat berkata, "Lebih baik jangan kau
menyentuhnya."
"Kenapa?" tanya Co Giok-cin.
"Karena aku belum ingin membunuhmu."
Co Giok-cin tertawa lebar, katanya, "Aku justru ingin
menyentuhnya, ingin aku tahu dengan cara apa kau akan
membunuhku." Akhirnya dia menyentuh golok itu.
Tapi golok itu mendadak membalik memukul punggung
tangannya, sarung golok yang hitam itu seperti besi yang
terbakar membara. Punggung tangannya seketika dihiasi jalur
merah, saking kesakitan hampir saja dia melelehkan air mata,
tapi rasa kejut dan takutnya jauh lebih besar daripada rasa
sakit. Padahal dia sudah menotok tujuh Hiat-to di badannya.
Selamanya tidak pernah meleset dia menotok Hiat-to orang.
"Sayang sekali ada satu hal selamanya takkan terpikir
olehmu," ujar Pho Ang-soat.
"Hal apa?", Co Giok-cin menegas.
"Setiap Hiat-to di seluruh tubuhku sudah digeser satu dim
dari tempat asalnya."
Co Giok-cin melenggong.
Padahal segala rencana tiada satu pun yang dilalaikannya,
tiada kesalahan gerakan totokannya, selamanya telak dan
tidak pernah gagal. Yang salah sebetulnya adalah Pho Angsoat,
tapi mimpi pun dia tidak pernah menyangka bahwa letak
Hiat-tonya juga salah. Kesalahan letak satu dim ini justru amat
fatal, karena membuat seluruh rencananya gagal total.
Dia masgul, menyesal, gegetun dan menyalahkan Yang
maha Kuasa tidak adil, namun dia lupa berpikir, bagaimana
penggeseran letak satu dim ini bisa terjadi"
Latihan selama dua puluh tahun, darah dan keringat
mengalir deras tak pernah habis, tekad yang teguh sekeras
baja, kesabaran yang mengertak gigi. Begitulah terciptanya
penggeseran yang satu dim itu, tiada sesuatu yang kebetulan
untung-untungan di dunia ini.
Semua itu tidak pernah dia pikirkan, dia hanya memikirkan
satu hal. Setelah gagal sekali pasti takkan ada kesempatan
kedua kali, maka luluhlah dia.
Pho Ang-soat justru berdiri diam, menatapnya dingin,
katanya mendadak, "Aku tahu kau terluka."
"Kau tahu?" Co Giok-cin menegas dengan terbelalak.
"Lukamu di bawah ketiak, di antara tulang kedua dan ketiga
di igamu, luka golok sepanjang empat centi, dalamnya tujuh
mili." "Darimana kau bisa tahu?"
"Karena golokku yang melukaimu."
Di luar ruang pemujaan Thian-liong-ko-sa, darah menetes
di ujung goloknya.
"Orang yang membokong aku bersama Kongsun To di luar
kuil tadi adalah kau."
Ternyata Co Giok-cin cukup tabah, katanya, "Betul,
memang aku."
"Ilmu pedangmu patut dibanggakan."
"Ya, lumayan."
"Setiba aku di Thian-liong-ko-sa, kau pun segera
menyusulku ke sana."
"Langkahmu memang tidak lambat."
"Kongsun To dan kawan-kawannya bisa menemukan
tempat ini, sudah tentu bukan Toh Cap-jit yang membocorkan
kepada mereka."
"Sudah tentu bukan dia, tapi aku."
"Karena itu kau membunuhnya."
"Tentu takkan kubiarkan dia membocorkan rahasiaku."
"Mereka dapat menemukan Bing-gwat-sim, sudah tentu
juga lantaran engkau."
"Jika bukan aku, mana mungkin mereka bisa tahu bahwa
Bing-gwat-sim sudah kembali ke kamar rahasia bawah tanah
itu?" "Kau mengaku semua kesalahanmu?"
"Kenapa aku harus mungkir?"
"Kenapa kau lakukan semua itu?"
Mendadak Co Giok-cin mengeluarkan sekuntum bunga
mutiara, bunga yang jatuh dari balik baju Tio Ping sebagai Jari
telunjuk di dalam kamar rahasia di bawah tanah itu. Sambil
mengawasi bunga mutiara itu dia berkata, "Kau pasti ingat
darimana bunga mutiara ini."
Sudah tentu Pho Ang-soat masih ingat.
"Hari itu apa pun aku tidak mau, aku hanya mengambil
bunga mutiara ini, kau pasti mengira aku seperti juga
perempuan umumnya melihat barang mestika lantas
melupakan segalanya."
"Jadi kau bukan perempuan jenis itu?"
"Aku merebut bunga mutiara ini lebih dulu, karena aku
kuatir kau melihat sandi rahasia merak di atas bunga mutiara
ini." "Merak?"
"Bunga mutiara ini adalah pemberian Jiu Cui-jing kepada
Co Giok-cin tanda ikatan perkawinan mereka, sampai dia akan
membawa bunga mutiara ini."
"Jadi Co Giok-cin sudah mati?"
"Kalau dia belum mati, bagaimana mungkin bunga mutiara
ini bisa terjatuh ke tangan Tio Ping."
Pho Ang-soat menutup mulut, sebab dia berusaha
mengendalikan emosinya. Lama kemudian baru dia menghela
napas pelan, katanya, "Ternyata kau memang bukan Co Giokcin,
siapa kau?"
Dia tertawa pula, tertawa licik dan kejam, "Kau tanya siapa
aku" Memangnya kau sudah lupa bahwa aku adalah
anakmu?" Dingin kaki tangan Pho Ang-soat.
"Aku mau menikah dengan kau, meski hanya memberi
beban kepadamu, sehingga kau gampang ditekan,
dikendalikan, supaya kau mampus kelelahan, supaya kau
selalu berusaha untuk menolongku hingga kau harus
mengadu jiwa dengan orang lain, tapi siapa pun takkan
menyangkal, bahwa aku sudah menikah dengan kau, sudah
menjadi binimu."
Tiada komentar.
"Aku menjebloskan Bing-gwat-sim, membunuh Yan Lamhwi,
tadi kutusuk Toh Cap-jit, ingin membunuhmu pula, tapi
aku adalah istrimu," tawanya lebih sadis, "aku hanya ingin kau
ingat satu hal, kalau kau ingin membunuhku, boleh sekarang


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau turun tangan."
Mendadak Pho Ang-soat menerjang keluar.
Waktu itu adalah saatnya paling gelap sepanjang malam
ini, tanpa menoleh dia terus terjun ke tengah kegelapan, dia
sudah tidak bisa berpaling lagi.
Gelap pekat, kegelapan yang membawa kekecewaan.
Gelap yang membuat orang putus asa.
Pho Ang-soat berlari kencang seperti kesetanan, dia tidak
boleh berhenti, karena sekali dia berhenti dia pasti roboh.
Sekarang apa pun tidak dipikirnya lagi, karena dia tidak bisa
tidak harus berpikir.
Khong-jiok-san-ceng sudah runtuh, Jiu Cui-jing tidak
menyesal, hanya mohon dia melakukan satu hal, mohon dia
mempertahankan keturunan marga Jiu saja.
Tapi Co Giok-cin sekarang sudah mati.
Dia tahu bahwa di atas bunga mutiara itu pasti ada sandi
rahasia merak, maka sudah pasti bahwa "dia" adalah salah
satu dari pembunuh itu.
Tapi dia justru mengawalnya, memperhatikan sepenuh hati
dan melindunginya, malah menikahinya pula.
Jika bukan lantaran dia, bagaimana Bing-gwat-sim bisa
mati" Jika bukan melindungi dia, bagaimana Yan Lam-hwi bisa
mati" Dia malah menganggap apa yang dilakukan selama ini
benar dan tepat, baru sekarang dia menyadari apa yang
pernah dilakukannya sungguh amat menakutkan.
Tapi sekarang sudah terlambat, kecuali muncul keajaiban,
orang yang sudah mati, pasti takkan bisa hidup kembali.
Padahal dia tidak percaya adanya kegaiban. Maka kecuali lari
lintang-pukang seperti anjing kelaparan di tengah kegelapan,
apa pula yang bisa dia lakukan sekarang" Umpama dia
membunuhnya apa pula faedahnya"
Semua persoalan itu dia tidak berani memikirkan, juga tak
bisa dipikirkan, karena benaknya ruwet, pikirannya kacau
balau. Keruwetan yang mendekati gila.
Dia lari dan lari terus hingga kehabisan tenaga, maka dia
roboh, begitu badannya mulai berkelejetan, mengejang dan
meronta-ronta. Cambuk yang tidak kelihatan itu mulai melecut
dan menghajar sekujur badannya pula.
Para malaikat, para dedemit atau iblis yang ada di bumi
dan langit sekarang seperti mengutuk serta menghukumnya,
sehingga dia menderita, dia sendiri pun ingin menghukum dan
menyiksa diri sendiri. Paling tidak, hanya itulah yang bisa dia
lakukan sekarang.
Dalam gubuk kecil itu tenang, hening tiada suara apa pun.
Di luar pintu sayup-sayup seperti ada orang bicara, tapi
suaranya kedengaran amat jauh.
Segala sesuatu di sekitarnya kelihatan remang-remang,
amat jauh, sampai awak sendiri pun terasa seperti di tempat
jauh. Tapi kenyataan dirinya jelas berada di sini, di dalam gubuk
cilik yang sempit, bau apek dan pengap ini.
Tempat apakah ini" Siapa pula pemilik gubuk reyot ini" Dia
hanya sedikit ingat sebelum dirinya ambruk, dia seperti
menjebol roboh sebuah pintu sempit. Agaknya dia pernah
kemari. Tapi ingatannya juga masih samar-samar, amat jauh,
namun percakapan di luar pintu mendadak makin keras. Itulah
percakapan seorang laki dan perempuan.
"Jangan lupa aku inikan sudah langganan lama, kenapa
kau membiarkan aku pulang gigit jari," itulah suara laki-laki.
"Sudah kujelaskan, hari ini tidak bisa. Kuharap kau datang
lain kali," suara perempuan setengah meminta, nadanya
tegas. "Kenapa hari ini tidak boleh?"
"Karena ... karena hari ini aku datang bulan."
"Kentut busuk," laki-laki itu mendamprat gusar. "Umpama
benar kau datang bulan, kau juga harus mencopot celana biar
kuperiksa."
Nafsu laki-laki bila tidak tersalurkan biasanya memang
mudah naik pitam.
"Kau tidak takut sial?"
"Kenapa takut" Tuan besarmu ini punya uang, takut apa"
Nah, ini lima tahil boleh kau terima dulu, baru kau copot
celanamu."
Lima tahil dapat memuaskan nafsu" Lima tahil cukup untuk
menghina perempuan" Tempat apakah sebetulnya di sini"
Dunia macam apakah yang ada di sini"
Sekujur badan Pho Ang-soat dingin lunglai, seperti
mendadak dia terjeblos ke dalam air dingin, tenggelam ke
dasar air, akhirnya dia teringat tempat apa ini.
Akhirnya dia melihat patung pemujaan di atas ranjang itu,
lalu terbayang akan gadis yang mengenakan kalung kembang
melati itu. Bagaimana aku bisa kemari" Apakah lantaran dia
pernah mengatakan, "Aku pasti menunggumu?" Apakah
sekarang dirinya seperti dia menghadapi jalan buntu, tiada
arah yang bisa ditempuhnya" Apakah lantaran nafsunya
sudah terbenam sekian lama dan di sini dia memperoleh
pelampiasan"
Hanya dia sendiri yang dapat menjawab pertanyaan ini, tapi
jawabannya justru tersembunyi di relung hatinya yang paling
dalam, mungkin untuk selamanya tiada orang yang bisa
menggalinya keluar, mungkin dia sendiri pun tidak mampu.
Dia tidak bisa berpikir lagi, karena pada saat itulah seorang
laki-laki mabuk sudah menerjang masuk.
"Ha, memangnya tuanmu sudah tahu dalam kamarmu
menyembunyikan laki-laki, ternyata kau tertangkap basah
sekarang." Jari-jari tangannya yang segede wortel itu
terpentang, seperti ingin merenggut Pho Ang-soat dari atas
ranjang. Tapi yang dia cengkeram ternyata gadis berkalung
kembang melati itu, karena dia ikut memburu ke dalam,
menghadang di depan ranjang serta berteriak, "Jangan kau
menyentuhnya, dia sedang sakit."
Laki-laki itu tertawa lebar, serunya, "Laki-laki macam apa
yang tak bisa kau cari, kenapa kau justru memilih setan
penyakitan ini?"
Gadis berkalung kembang melati mengertak gigi, katanya,
"Kalau kau memaksa, boleh aku ikut kau ke tempat lain, lima
tahil uangmu pun tak usah kuterima, kali ini kau boleh gratis."
Laki-laki itu menatapnya seperti heran, desisnya, "Biasanya
kau minta bayar lebih dulu, kenapa kali ini kau rela gratis?"
"Karena hari ini aku senang," sahut gadis itu keras.
Laki-laki itu mendadak berjingkrak beringas, serunya,
"Berdasar apa tuanmu harus melihat kau senang. Kau
senang, tuanmu tidak senang." Begitu dia kerahkan tenaga,
seperti elang menyambar ayam kecil, gadis itu diangkatnya
tinggi-tinggi. Dia melawan, karena bukan saja dia tidak mampu
melawan, juga tidak bisa melawan, penghinaan dan siksaan
yang dia alami sudah terlalu biasa.
Akhirnya Pho Ang-soat berdiri, desisnya, "Lepaskan dia."
Laki-laki itu mengawasinya dengan kaget, "Kau yang bicara?"
Pho Ang-soat mengangguk.
"Kau setan penyakitan ini suruh aku melepas dia?" Pho
Ang-soat mengangguk pula.
"Tuan besar justru tidak mau melepaskan dia, kau setan
penyakitan ini mau apa?" mendadak dia melihat tangan Pho
Ang-soat memegang golok. "Jahanam, ternyata kau
membawa golok, memangnya kau berani membunuhku?"
Membunuh orang.
Lagi-lagi membunuh orang, kenapa orang harus memaksa
membunuh orang" Akhirnya Pho Ang-soat berduduk di pinggir
ranjang tanpa bersuara, terasa perutnya sedang mengkeret,
hampir tak tertahan dia ingin muntah.
Laki-laki itu tertawa lebar, perawakannya tinggi kekar,
daging otot kedua lengannya merongkol mirip binaragawan,
hanya sedikit bergerak dia lempar gadis berkalung melati itu
terbanting di atas ranjang. Lalu dia merenggut baju Pho Angsoat,
serunya dengan tertawa lebar, "Setan penyakitan
macammu begini juga berani menjadi pengawal pelacur busuk
ini" Ingin tuanmu membuktikan berapa besar tulangtulangmu?"
Gadis itu sudah meringkal di ranjang sambil memekik.
Laki-laki kekar itu sudah siap menjinjing Pho Ang-soat serta
melemparkannya keluar pintu.
"Blang!", seorang terbanting keras di luar pintu, namun
bukan Pho Ang-soat yang terbanting, ternyata laki-laki kekar
malah. Cepat dia merangkak lalu menerjang maju pula,
tinjunya terayun menggenjot muka Pho Ang-soat. Pho Angsoat
tidak bergerak, tahu-tahu laki-laki itu menjerit memegangi
tangan sambil menjengking, saking kesakitan keringat dingin
membasahi selebar mukanya, sambil menjerit-jerit dia berlari
keluar. Pho Ang-soat memejamkan mata, gadis itu malah
terbelalak, dengan kaget dia mengawasinya, seperti heran,
kaget juga kagum.
Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri perlahan, beranjak
keluar, pakaiannya basah kuyup oleh keringat dingin.
Bersabar itu bukan sesuatu yang mudah.
Bersabar adalah derita, derita yang jarang bisa dipahami
dan diselami oleh kebanyakan orang.
Sinar surya di luar rumah menerpa mata, wajahnya yang
pucat kelihatan bening ditimpa sinar mentari. Di bawah
pancaran sinar mentari yang segar dan benderang ini,
seorang seperti dirinya, apa yang dapat dia lakukan" Kemana
dia bisa pergi" Mendadak hatinya seperti dirundung suatu
kekuatan yang tak bisa dia lukiskan.
Bukan orang yang dia takuti, tapi diri sendiri. Dia pun takut
pada cahaya matahari, karena dia tidak berani berhadapan
dengan cahaya mentari yang segar dan benderang ini, dia
tidak berani menghadapi dirinya sendiri, akhirnya dia
terjungkal lagi.
ooooOOoooo Bab 18. Saat Cinta Mengental, Perasaan Pun Menipis
Kuah yang segar hangat terasa mengalir dalam
tenggorokannya, perutnya yang mengkeret lambat-laun mulai
mengendor, seperti tanah yang kering disiram air, mendapat
kebutuhan yang mendesak.
Waktu pertama kali Pho Ang-soat membuka mata, pertama
yang dilihatnya adalah tangan yang putih dan kecil. Tangan
yang memegang sebuah sendok kecil sedang menyuapi kuah
hangat itu ke dalam mulutnya.
Melihat dia membuka mata, segera dia mengunjuk senyum
gembira, "Inilah kuah ayam yang sengaja kusuruh nenek
sebelah yang mencuci pakaian itu menggodoknya, konon bisa
menambah sehat badan, agaknya memang manjur."
Pho Ang-soat ingin menutup mulut, tapi sesendok kuah
yang kental kembali diangsurkan ke depan mulutnya, sungguh
tidak enak dia menolak. Dengan tertawa dia berkata pula,
"Kalau dibicarakan memang aneh dan lucu. Selama hidupku
ini belum pernah aku merawat orang lain, juga tiada orang
yang pernah memperhatikan diriku?"
Gubuk kecil ini hanya terdapat sebuah jendela kecil, sang
surya tetap memancarkan cahayanya yang benderang di luar
rumah. Pandangannya sudah beralih dari muka Pho Ang-soat,
melongok mengawasi cahaya surya di luar jendela. Cahaya
matahari benderang, namun sorot matanya malah guram.
Apakah dia terkenang akan masa lalu, di kala dia hidup
sebatangkara, tiada orang menjaga, merawat dan
membimbingnya" Jelas masa lalu itu dirinya tidak menikmati
hidup sengsara di bawah terik matahari, mungkin selama
hidupnya dulu belum pernah sehari pun dia lewatkan di bawah
pancaran sinar mentari.
Agak lama kemudian baru perlahan dia melanjutkan,
"Sekarang baru aku tahu, peduli kau dirawat orang atau orang
merawatmu, ternyata begitu ... adalah peristiwa yang baik."
Dia gadis yang tidak pernah mengecap pendidikan, tidak
banyak yang diketahuinya, maka cukup lama kemudian baru
dia merasa tepat menggunakan "baik" itu untuk melukiskan
perasaan dirinya.
Pho Ang-soat dapat memaklumi perasaannya, jelas itu
tidak cukup dilukiskan dengan huruf "baik" belaka. Karena di
dalamnya mengandung kepuasan, selamat dan bahagia,
karena dia merasa selanjutnya dirinya tidak akan kesepian.
Bukan berarti dia mendambakan perawatan dan perlindungan
orang lain, namun asal dirinya bisa merawat orang lain, maka
hidupnya ini sudah puas, sudah senang.
Mendadak Pho Ang-soat bertanya, "Siapa namamu" Nama
aslimu sendiri."
Dia tertawa pula, dia senang bila orang lain bertanya
namanya, karena ini pertanda dia sudah menganggap dirinya
sebagai manusia. Seorang manusia tulen, seorang yang
berdikari, bukan lagi sebagai alat orang lain, juga bukan
barang permainannya. Dengan tertawa dia berkata, "Aku she
Ciu, bernama Cui-thing, dulu orang sering memanggil aku
Siau-thing."
Pertama kali ini Pho Ang-soat menemukan tawanya yang
tulus dan wajar, karena dia sudah mencuci bersih pupur dan
gincu di muka dan bibirnya, yang tampak sekarang adalah
wajahnya yang asli. Dia tahu Pho Ang-soat sedang
mengawasi dirinya. "Di waktu aku tidak merias diri, apakah
wajahku tidak kelihatan seperti nenek?"
"Tidak mirip," sahut Pho Ang-soat.
Tawa Siau-thing lebih riang, katanya, "Kau memang
seorang yang aneh, aku tidak mengira kau datang mencariku."
Lalu keningnya berkerut, "Waktu kau datang, keadaanmu
amat menakutkan, semula aku mengira kau sudah hampir
mati, apa pun yang kutanyakan, kau bilang tidak tahu, tapi
begitu aku menyentuh golokmu, lantas mau memukulku."
Matanya lantas menatap golok hitam di tangannya itu.
Pho Ang-soat diam saja, dia pun tidak bertanya lagi, sudah
lama dan biasa dia menghadapi gerakan tutup mulut orang
lain. Maka terhadap persoalan apa pun, dia tidak pernah
memberikan harapan yang besar. Terhadap dunia yang tidak
kenal kasihan ini hakikatnya dia sudah tidak mempunyai
angan-angan dan tiada mendambakan apa pun. Sampai pun
siapa namanya dia pun tidak bertanya, karena ....
"Aku tahu kau adalah orang baik, meski pernah memukulku
sekali, namun kau tidak menghina dan menganiayaku seperti
laki-laki lain, tanpa sebab kau sudah memberi aku uang


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebanyak itu." Bagi dirinya, kejadian ini sudah merupakan budi
besar dan menenteramkan hatinya, sudah cukup untuknya
merasa berhutang budi dan berterima kasih selamanya.
"Uang yang kau berikan itu, sepeser pun tidak kugunakan,
umpama setiap hari makan ayam juga cukup digunakan
sampai lama, maka kau harus tinggal di sini, setelah
penyakitmu sembuh baru kau boleh pergi." Lalu dia genggam
tangan Pho Ang-soat, "Jika sekarang kau mau pergi, pasti aku
amat sedih, amat sengsara."
Bagi pandangan orang lain dia adalah perempuan jalang
yang rendah dan hina, untuk lima tahil bersedia menjual diri,
tapi terhadap Pho Ang-soat dia tidak memohon apa-apa, asal
dia diberi kesempatan untuk merawatnya, maka hatinya akan
puas. Dibanding perempuan yang menganggap dirinya suci
dan agung, lalu siapa lebih suci" Lebih agung" Siapa pula
yang hina-dina"
Dia menjual diri karena dia harus hidup, memangnya siapa
yang tidak ingin hidup"
Pho Ang-soat memejamkan mata, mendadak dia bertanya,
"Di sini ada arak tidak?"
Siau-thing menjawab, "Aku tidak menyimpan arak, tapi aku
bisa pergi membelinya."
"Baik, kau beli, aku tidak pergi."
Orang sakit tidak boleh minum arak, kenapa dia mau
minum" Apakah lantaran hatinya dirundung kerisauan dan
derita" Tapi minum arak bukan cara yang baik untuk
menyelesaikan persoalan, apa manfaatnya minum arak
terhadap dirinya"
Hal ini Siau-thing tidak pernah memikirkan, biasanya dia
memang jarang menggunakan otak, memang tiada yang perlu
dipikir, keinginannya pun tidak besar. Asal dia mau tinggal di
sini, dirinya disuruh beli apa pun tidak menjadi soal.
Manusia hidup harus mengobarkan semangat mengejar
cita-cita, lakukan apa yang ingin kau lakukan secara sadar,
tidak boleh patah arang, menyesali nasib sendiri dan
menjebloskan diri ke lumpur yang lebih dalam. Tidak pernah
dia mau memahami nasehat atau petuah ini.
Karena dia sudah lama bernapas dalam lumpur, sudah
lama bergelimang kotoran dalam kehidupan yang serba jorok
ini, selama ini belum pernah ada seorang pun yang memberi
kesempatan kepadanya, supaya dia merangkak keluar,
membersihkan badan dan berdiri.
Bagi dirinya, jiwa dan kehidupan tidak seruwet yang
dianggap dan dipandang orang lain, kehidupan bukan sesuatu
yang mahal, tinggi nilainya. Kehidupan tidak pernah
memberikan manfaat apa-apa bagi dirinya, kenapa pula dia
harus menaruh banyak harapan dan mengejar angan-angan"
Pho Ang-soat sudah mabuk, entah berapa kali dia jatuh
bangun, berapa kali mabuk" Orang bila mabuk, maka dia pasti
akan melakukan banyak perbuatan yang mengherankan,
perbuatan di luar nalar manusia.
Tapi dia tidak menyesal, tidak mengeluh, tidak bertobat. Dia
menerima dan menerima.
Dia minta arak, segera dia beli, beli sekali dan sekali lagi,
ada kalanya tengah malam buta-rata terpaksa dia harus
menggedor pintu warung arak. Bukan saja dia tidak pernah
mengomel, mengeluh, keinginannya pasti dituruti, tidak pernah
dia menunjukkan sikap kurang senang.
Cuma belakangan ini bila dia pergi membeli arak, cukup
lama baru pulang, padahal letak penjual arak tidak jauh
jaraknya. Ada kalanya otak Pho Ang-soat jernih dan sadar, namun
tidak pernah dia bertanya kenapa dia pergi begitu lama"
Padahal uang yang dia berikan hari itu hanyalah pecahan
uang perak yang tidak seberapa jumlahnya, karena hanya itu
pula miliknya. Selama ini dia hidup miskin, semiskin dirinya
yang sebatangkara ini. Tapi dia tidak pernah bertanya
darimana dia mendapat uang untuk membeli arak. Dia tidak
boleh bertanya, tidak berani bertanya.
Siau-thing juga tidak pernah tanya tetek-bengek, namun
pernah melimpahkan sepatah kata yang takkan pernah
terlupakan selama hidupnya.
Malam itu dia minum arak, malam sudah larut, setelah agak
sinting dia berkata, "Walau aku tidak tahu apa-apa, aku tahu
kau pasti amat menderita."
Menderita" Apakah perasaannya sekarang cukup
dilukiskan hanya dengan "menderita" saja"
Suatu hari dia kelihatan gembira, karena hari itu adalah hari
ulang tahunnya, sengaja dia membeli arak lebih banyak dari
biasanya, malah dia pun membeli seekor ayam babon gemuk
yang belakangan ini sudah jarang mereka nikmati bersama.
Tapi waktu dia pulang, si dia sudah pergi. Pergi tanpa
meninggalkan sepatah kata pun.
Botol arak jatuh dan hancur berantakan, dia berdiri
menjublek di pinggir ranjang, dari siang sampai malam,
bergeming dari tempatnya pun tidak. Di atas bantal masih
tertinggal seutas rambutnya, dia menggulungnya, lalu
dibungkus serta disembunyikan dalam dadanya, lalu dia
keluar membeli arak pula.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Seorang selama hidup
berapa kali akan merayakan ulang tahun" Kenapa dia tidak
boleh mabuk"
Pho Ang-soat tidak mabuk, selama dua hari ini dia tidak
mabuk. Selama dua hari ini dia terus melangkah ke depan tak
pernah berhenti, bukan saja tanpa tujuan, juga tidak menentu
arahnya. Hanya satu keinginannya, lekas pergi, pergi ke
tempat yang jauh, meninggalkan dia makin jauh makin baik.
Mungkin mereka sudah terbenam, tapi dia tidak tega untuk
menyeretnya lebih dalam. Perpisahan memang
mendatangkan duka-lara, tapi dia masih muda, betapapun
besar derita itu akhirnya juga akan silam, akhirnya akan lekas
dilupakan. Ketahanan orang muda terhadap penderitaan
biasanya memang lebih kuat, bila terseret lagi, kemungkinan
dia tidak akan bisa bangkit lagi.
Bila lelah, dimana saja dia boleh merebahkan diri untuk
tidur, lalu mulai melangkah pula ke depan. Sebutir nasi pun
tidak masuk perutnya, dia hanya minum sedikit air.
Jenggotnya sudah tumbuh kasar seperti duri landak, dari jauh
sudah tercium bau apek dan busuk badannya.
Dia sedang menyiksa diri, menyiksa diri sendiri dengan
sekuat tekadnya. Sekarang hampir tak terpikir lagi "si dia"
dalam benaknya, hingga suatu saat dia mendadak
menemukan selembar sapu tangan kecil di dalam bajunya.
Sapu tangan sutra dihiasi bunga warna merah, itulah salah
satu di antara benda miliknya yang paling berharga. Sapu
tangan itu membungkus lembaran uang kertas yang
jumlahnya tidak kecil dan beberapa keping emas murni.
Uang dan emas ini dia temukan di tubuh Jari telunjuk yang
hari itu meregang jiwa, dia menyimpannya ke dalam saku,
kejadian itu sudah lama dia lupakan. Waktu penyakitnya
kumat, sekujur badan bergetar, meronta dan berkelejetan,
hingga barang-barang dalam kantongnya tercecer keluar,
Siau-thing memungut dan mengumpulkannya serta
membungkusnya dengan sapu tangan sutra dihiasi bunga
warna merah yang amat disayanginya ini.
Demi mengejar lima tahil perak dia rela menjual dirinya,
malah demi memperoleh imbalan sebotol arak. Tapi barangbarang
berharga ini, jangan kata menyentuh, memakainya,
menyinggung pun dia tidak pernah. Dia rela menjual diri
sendiri, sepeser pun tidak menggunakan uangnya.
Hati Pho Ang-soat seperti disayat-sayat, mendadak dia
berjingkrak serta berlari pula seperti banteng kesurupan,
berlari balik ke arah gubuk kecil itu.
Tapi dia sudah tidak di sana.
Di depan gubuk kecil itu berjejal banyak orang, berbagai
jenis manusia, di antaranya masih ada opas yang berseragam
biru bertopi tinggi dengan bulu angsa terselip di pinggir
topinya. "Apakah yang terjadi?" dia bertanya pada orang, orang itu
tidak menghiraukan dirinya, untung seorang pengemis yang
setengah sinting mendeprok di tanah menganggap dia
sebagai kawan sejenis.
"Gubuk ini sebetulnya ditinggali seorang pelacur, kemarin
malam ternyata dia minggat, maka tuan opas memburu kemari
hendak menangkapnya.
"Kenapa dia akan ditangkap" Kenapa dia melarikan diri?"
"Karena dia membunuh orang."
Membunuh orang" Gadis yang bajik, lemah dan harus
dikasihani itu bagaimana mungkin berani membunuh orang"
"Siapa yang dia bunuh?"
"Juragan arak di ujung gang luar itu," si pengemis bicara
sambil mengepal tinju. "Babi gendut itu memang pantas dibuat
mampus." "Kenapa harus membunuhnya?"
"Dia sering ke sana membeli arak, semula membeli dengan
uang, tapi dia minum terlalu banyak, hingga lupa melayani
lelaki, bila sudah ketagihan arak, terpaksa dia barter, dengan
kemulusan tubuhnya dia membarter sebotol arak,
menyerahkan dirinya kepada babi gendut itu."
Pengemis itu tertawa, katanya, "Karena babi gendut itu
tidak tahu apa kerjanya, maka dia menaksirnya, kemarin
malam entah kenapa seorang diri dia lari ke warung arak itu
dan minum di sana, minum sepuasnya, minum sampai mabuk,
sudah tentu babi gendut itu amat senang, dia mengira
memperoleh kesempatan baik, mumpung dia mabuk, maka
dia ingin menunggangi genduk manis itu. Siapa tahu meski
biasa dia menjual diri, justru tidak menyerah kepada babi
gendut itu, di waktu babi gendut itu menggunakan kekerasan,
dia ambil golok jagal di atas meja terus membelah batok
kepala babi gendut itu hingga mampus seketika."
Pengemis ini masih ingin bercerita, tapi orang yang
mendengarkan ternyata sudah lenyap entah kemana.
Terpaksa pengemis itu tertawa getir sambil geleng-geleng,
gumamnya, "Memang banyak kejadian aneh di zaman ini,
seorang pelacur ternyata telah membunuh orang daripada dia
harus mencopot celana, coba bayangkan apakah tidak lucu
dan menggelikan?"
Sudah tentu pengemis ini merasa lucu dan geli, tapi kalau
dia tahu seluk-beluk dan asal mula serta latar belakang
peristiwa ini, mungkin dia akan mendekam di tanah menangis
tergerung-gerung.
Pho Ang-soat tidak menangis, tidak meneteskan air mata.
Warung arak di ujung gang itu sedang berduka cita, tapi
Pho Ang-soat menerobos masuk, diambilnya seguci arak,
mulut guci dia tabas remuk dengan telapak tangannya. Tiada
orang berani mencegahnya, lalu seguci arak itu ditenggaknya
sendiri sampai habis, lalu dia roboh terkapar di pinggir selokan
di sebuah lorong.
Entah kenapa dia tidak menjajakan dirinya lagi"
Entah kenapa dia lari ke warung arak itu minum sendirian
sampai mabuk, namun pantang diperkosa oleh babi gendut
itu" Sebetulnya lantaran apa dia berbuat demikian" Siapa
tahu" Mendadak Pho Ang-soat menjerit keras, "Aku tahu ... aku
tahu." Kalau sudah tahu memangnya kenapa" Setelah tahu
hatinya hanya akan lebih menderita, dia sudah lari, tapi
kemana dia bisa lari" Paling dari mulut buaya ini ke mulut
buaya yang lain, bukan mustahil nasibnya akan lebih jelek,
lebih menderita daripada mulut buaya semula.
Pho Ang-soat masih ingin minum, dia belum mabuk, karena
dia masih bisa memikirkan beberapa hal ini.
Karena siapa Bing-gwat-sim dan Yam Lam-hwi mati"
Karena siapa Siau-thing harus melarikan diri"
Segera dia meronta bangun dengan langkah sempoyongan
menerobos keluar ke jalan besar, kebetulan seekor kuda
sedang dibedal di tengah jalan raya. Kuda gagah itu terkejut
sampai meringkik, penunggangnya membentak murka sambil
melecutkan cambuknya.
Cambuk lemas selincah ular itu ternyata sudah terpegang
oleh jari-jari tangan Pho Ang-soat. Meski sedang mabuk,
sedang kalap dan menyiksa diri sendiri sedemikian rupa,
betapapun dia tetap Pho Ang-soat.
Penunggang kuda itu menarik cambuknya sekuat tenaga,
tiada seorang pun yang mampu merebut sesuatu dari tangan
Pho Ang-soat. "Taaaas", cambuk itu patah. Pho Ang-soat
masih berdiri tidak bergeming, sebaliknya penunggang kuda
itu terjengkang ke belakang terus terjungkal dan jatuh
telentang dari pelana. Ternyata reaksinya cukup cekatan,
sebelum punggungnya menyentuh bumi, kakinya sudah
memancal pedal hingga tubuhnya melejit mumbul dan bersalto
sekali di tengah udara.
Kuda itu berlari ketakutan, orang itu kini sudah berdiri tegak
di tempatnya, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat tidak memandangnya, melirik pun tidak.
Sekarang yang terpandang dalam pelupuk matanya
hanyalah seguci arak, seguci arak yang dapat membuatnya
mabuk dan melupakan segala derita dan nestapa ini. Dia
beranjak pergi dari depan orang ini, gaya langkahnya memang
berat dan aneh, kaku lagi.
Sorot mata orang ini mendadak memancarkan cahaya
aneh, pandangan ganjil seperti mendadak dia melihat setan
menakutkan, namun segera dia berteriak, "Tunggu dulu!"
Pho Ang-soat tidak menghiraukan seruannya.
Mendadak orang itu membalik tangan mencabut pedang,
dengan gesit pedangnya menusuk iga Pho Ang-soat.
Gerakannya enteng, cepat dan lincah, jelas dia seorang ahli
pedang yang tangguh di Bu-lim. Tapi ujung pedangnya masih
terpaut tujuh dim dari badan Pho Ang-soat, golok Pho Angsoat
sudah berkelebat. Sinar golok menyambar, darah pun
menyembur, batok kepalanya ternyata sudah terbelah dua.
Sebelum orangnya roboh, golok sudah kembali ke dalam
sarungnya, ternyata langkah Pho Ang-soat tidak pernah
berhenti, sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa, melirik pun
tidak ke arah korbannya.
Dia membunuh orang, membunuh ada berbagai cara.
Belum pernah dia membunuh orang dengan cara sekeji ini, dia
membunuh karena terpaksa, karena didesak oleh keadaan.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal dia bukan seorang algojo, seolah-olah bukan dia
yang membelah kepala orang itu.
Kalau bukan dia, lalu siapa"
"Dia mengambil golok jagal di atas meja, sekali bacok dia
membelah kepala babi gemuk itu menjadi dua". Sudah jauh
dia melangkah, mayat orang yang barusan terbunuh sudah
tidak kelihatan, tapi mendadak dia berhenti, lalu muntahmuntah.
Setelah habis isi perutnya, sudah tentu dia harus minum,
yang diminum jauh lebih banyak dari yang dimuntahkan.
Malam telah larut, dalam warung itu ternyata masih banyak
orang, karena siapa pun dia bila sudah masuk kemari, maka
dia dilarang pergi. Karena Pho Ang-soat sudah sesumbar,
"Aku yang mentraktir, kalian harus menemani aku minum,
siapa pun tidak boleh pergi."
Badannya membawa bau busuk dan anyirnya darah, tapi
tangannya juga menggenggam segebung uang kertas dan
kepingan emas. Bau badannya cukup membuat orang mual dan benci, bau
darah menciutkan nyali orang, sebaliknya segebung uang
membuat orang menaruh hormat dan munduk-munduk
kepadanya, karena itu tiada seorang pun yang berani pergi.
Secangkir dia habiskan, hadirin juga harus
menghabiskan secangkir. Dari luar ternyata masuk lagi dua
orang, hakikatnya dia tidak melihat orang macam apa
sebetulnya kedua orang ini.
Tapi kedua orang ini menatapnya malah, satu di antaranya
melangkah maju dan duduk di depannya.
"Hayo keringkan!" diangkatnya satu cangkir, lalu dihabiskan
sekali tenggak, ternyata hadirin tiada yang melihat
kehadirannya, melirik pun tiada.
Mendadak orang itu tertawa bingar, katanya, "Bagus, kau
kuat minum."
"Ehm, ya, aku kuat minum."
"Kuat minum, permainan golokmu juga hebat."
"Ilmu golok hebat," ujar Pho Ang-soat.
"Kalau tidak salah kau pernah bilang, ilmu golok yang dapat
membunuh orang adalah ilmu golok yang bagus," kata orang
itu. "Aku pernah bilang demikian?"
Orang itu manggut-manggut, mendadak bertanya,
"Tahukah kau siapa yang kau bunuh tadi?"
"Tadi aku pernah membunuh orang" Siapa yang kubunuh?"
Orang itu menatapnya, sorot mata yang mengandung tawa
sinis, tawa yang menghina, tawa yang menggugah seorang
yang sudah mabuk, katanya, "Yang kau bunuh tadi adalah
saudara tua iparmu."
Pho Ang-soat mengerut kening, seperti memeras otak
memikirkan bagaimana dirinya bisa punya saudara tua ipar"
Orang itu segera mengingatkan, "Memangnya kau sudah
lupa bahwa kau pernah kawin" Engkoh binimu bukankah
saudara tua iparmu?"
Pho Ang-soat berpikir pula sekian lamanya, lalu manggutmanggut
dan menggeleng pula seperti mengerti, tapi juga
seperti tidak paham.
Mendadak orang itu menuding orang yang datang bersama
dia, serunya, "Tahukah kau siapa dia?"
Yang datang bersama dia adalah seorang perempuan,
berdiri dekat meja kasir di kejauhan sana, dengan dingin dia
menatap Pho Ang-soat.
Perempuan ini masih muda, sangat cantik, rambutnya yang
mengkilap legam, matanya yang bening bercahaya, gadis
idaman setiap orang tua yang mendambakan putri secantik ini,
lelaki mana yang tidak senang punya adik seayu ini, gadis
rupawan yang ingin dimiliki oleh setiap pemuda yang sudah
mulai kasmaran.
Tapi waktu dia menatap Pho Ang-soat, pandangannya
penuh memancarkan rasa benci dan dendam. Akhirnya Pho
Ang-soat juga menatapnya sekilas, seperti kenal tapi juga
seperti tidak mengenalnya.
Orang itu tertawa, katanya, "Gadis itu adalah adik binimu."
Kuatir Pho Ang-soat tidak paham segera dia menjelaskan,
"Adik binimu juga adik ipar, adik lelaki yang kau bunuh tadi."
Pho Ang-soat mulai minum lagi, keadaannya seperti ruwet,
makin bingung dan kacau, dia ingin minum sebanyaknya
supaya otaknya jernih, pikirannya terbuka.
Orang itu bertanya pula, "Tahukah kau, apa yang ingin dia
lakukan sekarang?"
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
Orang itu berkata, "Dia ingin membunuhmu."
Mendadak Pho Ang-soat menghela napas, gumamnya,
"Kenapa setiap orang ingin membunuh aku?"
Orang itu tertawa, katanya, "Memang betul, dalam rumah
ini duduk tiga belas orang, paling sedikit ada tujuh orang ingin
membunuhmu."
"Aku sudah mati?"
"Kau belum mati, karena mereka menunggu bila kau sudah
mabuk baru akan turun tangan."
"Menungguku mabuk?" gumam Pho Ang-soat pula.
"Bagaimana mungkin aku bisa mabuk, minum tiga hari tiga
malam aku juga tidak akan mabuk."
Orang itu menyeringai, ujarnya, "Umpama harus menunggu
tiga hari tiga malam juga sia-sia belaka, maka sekarang
mereka siap turun tangan."
Pada saat itulah mendadak berkumandang suara "prang",
sebuah cangkir arak terbanting hancur di lantai. Orang yang
semula memegang cangkir, sekarang sudah memegang golok
pembelah gunung yang tebal punggungnya.
ooooOOoooo Waktu orang ini menerjang ke arah Pho Ang-soat,
sebatang tombak berantai, sebilah Tan-ling-to dan sebatang
Siang-bun-kiam sudah menerjang tiba bersama.
Pemuda yang berpedang itu matanya merah membara,
mulutnya mendesis geram, "Tangan hitam menuntut balas,
saudara-saudara persilatan yang tiada sangkut-pautnya
jangan turut campur."
Sebelum habis dia bicara, mendadak dia tertegun,
demikian pula keempat temannya menjublek. Kelima orang ini
seperti mendadak berubah menjadi patung batu, semua
berdiri tegak tak bergerak, karena senjata di tangan mereka
mendadak telah lenyap. Lima batang senjata mereka ternyata
sudah pindah ke tangan orang yang duduk di depan Pho Angsoat.
Begitu kelima orang ini bergerak, dia pun bergerak, tangan
kiri menepuk pundak, sementara tangan kanan sudah merebut
gaman orang. Kelima orang ini merasa pandangannya
mendadak kabur, di tengah berkelebatnya bayangan orang,
Elang Terbang Di Dataran Luas 3 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pedang Pembunuh Naga 14

Cari Blog Ini