Ceritasilat Novel Online

Peristiwa Merah Salju 12

Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 12


pun bukan suamimu."
Rona muka Cui long seketika berubah pula, seperti mukanya digampar dengan keras. Tak
tertahan air mata berderai, badan pun bergetar hebat. Perubahan sikapnya sudah merupakan
jawaban tegas bahwa laki-laki yang bernama Ong Toa-hong sebenarnya bukan suaminya.
Pho Ang-soat bertanya lagi, "Siapakah sebenarnya laki-laki ini?"
"Tidak tahu." menunduk kepala Cui long. "Dia adalah orang yang dicarikan kacung hotel ini,
sebelum ini tidak kukenal."
"Kau mengundang dia kemari hanya untuk menyaru jadi suamimu" Kenapa kau berbuat
demikian?"
Semakin rendah kepala Cui long tertunduk, sahutnya pilu, "Ka rena aku ingin menengok dirimu
ingin aku mendampingimu, merawatmu, namun aku takut kau mengusirku."
Yang penting dia amat penasaran akan sikap hina dan dingin Pho Ang-soat terhadap dirinya,
maka dia terpaksa menggunakan cara ini untuk melindungi dirinya. Meski alasan ini tidak dia
utarakan, namun Pho Angsoat sudah maklum.
Dengan air mata bercucuran Cui long berkata lebih lanjut, "Sebetulnya hanya kau saja yang
selalu bersemayam dalam sanubariku, umpama kau mengusirku, aku tetap takkan kawin dengan
orang lain, sejak bersamamu, laki-laki mana pun tidak terpandang olehku."
Mendadak Pho Ang-soat berteriak, "Siapa bilang aku mengusirmu, siapa bilang aku tidak peduli
kepadamu?"
Tersentak ke atas kepala Cui long, katanya sambil mengawasi dengan air mata berlinang,
"Benarkah kau masih menginginkan diriku?"
"Sudah tentu aku ingin kau, peduli kau perempuan macam apa, kecuali kau, aku tidak peduli
perempuan lain." Pertama kali ini dia limpahkan isi hatinya.
Begitu dia buka kedua Iengannya, Cui long segera menubruk ke dalam pelukannya. Mereka
berpeluk-pelukan dengan kencang seolah-olah dua raga sudah bersenyawa, dua hati sudah
bertaut jadi satu. Seluruh derita, duka cita marah dan penasaran seketika sirna tak berbekas lagi.
"Sejak hari ini aku tidak akan meninggalkan kau, aku tidak akan berpisah dengan kau," Cui long
berbisik di tepi telinga Pho Ang-soat.
"Aku pun tidak akan meninggalkan kau," Pho Ang-soat menjawab tegas.
Mengawasi kedua insan yang berpelukan, terpancar sorot hambar dan tak mengerti pada mimik
muka Ong Toa-hong. Sudah tentu dia takkan bisa menyelami perasaan dua hati yang bertaut
setelah mengalami aral-rintang yang berliku-liku, bahwa kedua insan berlainan jenis ini saling
mencinta, kenapa pula mereka sengaja mencari kerisauan sendiri. Tahu bila dirinya tetap di sini
akan berlebihan, pelan-pelan Ong Toa-hong berdiri, agaknya sudah siap tinggal pergi.
Begitu asyik perpaduan dua hati yang dibuai asmara, sudah tentu Pho Ang-soat dan Cui long
tidak memperhatikan lagi kehadirannya, seolah-olah sudah lupa adanya orang lain di samping
mereka. Sinar pelita yang guram menyoroti badannya yang membayang di atas dinding putih. Pelanpelan
Ong Toa-hong memutar badan tiba-tiba tangannya sudah bertambah sebilah pedang pendek
sepanjang satu kaki tujuh dim.
Pedang pendek yang tipis dan tajam mengkilap, di bawah penerangan lampu tampak
memancarkan cahaya biru kepucat-pucatan. Apakah pedang ini dilumuri racun" Pelan-pelan Ong
Toa-hong beranjak keluar, dua langkah saja mendadak dia membalik badan!
Dimana pedang pendek warna kebiruan itu berkelebat, laksana kilat menusuk ke bawah ketiak
kiri Pho Ang-soat yang terbuka lebar.
Takkan ada orang yang bisa membayangkan perubahan ini, apa lagi sepasang kekasih yang
sedang dimabuk asmara. Kedua tangan Pho Ang-soat terangkat memeluk Cui long, maka
ketiaknya merupakan sasaran empuk, bukan saja tusukan pedang ini cepat dan ganas tempat
yang diincar pun amat tepat di tempat terlemah. Agaknya orang ini sudah bertahun-tahun melatih
diri untuk melancarkan tipuannya ini.
Bukan saja tidak melihat, Pho Ang-soat pun tidak merasa sama sekali.
Untung Cui long kebetulan membuka mata, dan dari bayangan orang di dinding dilihatnya
gerak-gerik orang, tanpa pikir mendadak dengan seluruh kekuatannya dia dorong Pho Ang-soat,
lalu memapak tusukan pedang orang dengan badan sendiri.
Sinar pedang yang membiru dengan telak menghujam amblas di punggungnya. Rasa sakit yang
tak terperikan, seolah-olah membuat sekujur badan Cui long seperti dirobek-robek. Tapi sepasang
matanya menatap kepada Pho Ang-soat. Pho Ang-soat jatuh di atas ranjang, dia pun balas
menatapnya, mengawasi sorot matanya yang mengandung derita dan menghibur, mengawasi
senyuman manisnya yang memilukan.
Akhirnya tercetus kata-kata dari mulut Cui long, "Kau harus percaya kepadaku, aku tidak tahu
siapa dia, tidak tahu bahwa dia hendak membunuhmu."
"Aku aku percaya kepadamu." Dengan keras dia mengertak gigi, tapi air mata tak tertahan
bercucuran. Tiba-tiba Cui long tersenyum lebar, badannya tersungkur jatuh, raut mukanya yang pucat
memutih kini sudah berubah hitam. Pedang pendek itu masih terselip di tulang punggungnya.
Karena tidak sempat mencabutnya, terpaksa Ong Toa-hong melepasnya, selangkah demi
selangkah menyurut mundur, dia harap Pho Ang-soat di saat berduka tak melihat dirinya.
Memang melirik pun Pho Ang-soat tidak berpaling kepadanya, namun terdengar desis suara
dari celah-celah giginya,
"Berhenti!" Suaranya membawa daya sedot yang tak terlawan oleh siapa pun.
Bukan takut, Ong Toa-hong mendadak menyeringai dingin, katanya, "Tentu kau ingin tahu
siapa aku sebenarnya."
Pho Ang-soat menjawab dengan anggukan kepala.
"Akulah orang yang hendak menagih jiwamu."
Sikap Pho Ang-soat menjadi tenang, ujarnya, "Kau ikut berkomplot dalam pembunuhan di luar
Bwe hoa am itu?"
"Tidak, hanya kau yang ingin kubunuh."
"Kenapa?"
"Kalau kau biasa membunuh orang, kenapa orang lain tidak boleh membunuhmu?"
"Aku tidak mengenalmu."
"Kau pun tidak kenal Kwe Wi, tapi kau membunuhnya, membunuh cucunya pula."
"Kau hendak menuntut balas bagi kematian mereka"'
"Bukan."
"Lalu apa maksudmu?"
"Banyak alasan membunuh orang, jadi bukan melulu lantaran dendam." Setelah tertawa dingin
Ong Toa-hong melanjutkan, "Bocah sekecil itu selama hidupnya tidak pernah mencelakai orang
lain, sudah tentu belum pernah membunuh orang, tapi kenyataan dia mati di tanganmu, dan kau"
Berapa banyak orang yang kau bunuh yang memang patut dibunuh?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat merasa kaki tangan dingin.
Cercaan Ong Toa-hong semakin sengit, "Asal kau pernah membunuh jiwa seorang, bukan
mustahil akan datang banyak orang menuntut balas kepadamu! Apalagi kau salah membunuh
orang yang tidak berdosa maka selama hidupmu kau tiada hak bertanya kepada orang lain kenapa
mereka hendak membunuhmu!"
Pho Ang-soat pelan-pelan berdiri, membungkuk badan, menarik tangan Cui long pelan-pelan.
Tangan yang halus dan hangat tadi kini sudah mulai dingin. Tidak mengalirkan air mata, dengan
mendelong dia mengawasi mukanya, seolah-olah sudah melupakan kehadiran Ong Toahong.
Mukanya tidak mengunjukkan sesuatu perasaan, namun jarinya dengan kencang sudah
menggenggam gagang golok. Melihat goloknya ini, Ong Toa-hong seketika bergidik seram, sekujur
badan dingin berkeringat.
Tanpa berkesip Pho Ang-soat berkata, "Kau boleh membunuhku, siapa pun boleh
membunuhku, tapi tidak seharusnya kau membunuh dia." Suaranya aneh seperti gema dari
tempat jauh, seolah-olah berkumandang dari neraka. "Aku tidak peduli kau siapa" Peduli apa
tujuanmu kemari, yang terang kau telah membunuhnya, maka aku harus mencabut jiwamu."
Muka Ong Toa-hong sudah berubah sepucat kapur, namun tetap menyeringai dingin,
"Memangnya sekarang kau masih punya tenaga mencabut golokmu?"
Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri, pelan-pelan beranjak mendekati Ong Toa-hong dengan
menggenggam golok. Matanya tertuju ke arah tenggorokan Ong Toa-hong.
Napas Ong Toa-hong serasa mendadak tercekik lehernya. Dia tak menyurut mundur lagi,
karena memang tiada jalan untuk dirinya mundur. Mengawasinya golok orang, akhirnya dia
menghela napas.
"Kau sudah menyesal?" tanya Pho Ang-soat.
Ong Toa-hong manggut-manggut, katanya rawan, "Aku hanya menyesal tidak mematuhi pesan
seseorang."
"Pesan apa?"
"Dia sebetulnya menyuruh aku menghancurkan dulu golokmu itu."
"Menghancurkan golok ini?"
"Golok itu sendiri tidak luar biasa, tapi berada di tanganmu, nilainya teramat besar sekali,"
demikian kata Ong Toa-hong, "golok ini bagai sebuah tongkat, tanpa golok ini, kau tidak lebih
hanya seorang timpang yang harus dikasihani, hanya di waktu kau memegang golok saja baru
bisa berdiri, berdiri dengan tegak."
Seperti terbakar raut muka Pho Ang-soat yang pucat.
Ong Toa-hong memperhatikan perubahan rona mukanya, katanya pula, "Sudah tentu bukan
aku yang mengatakan kenyataan ini, karena bahwasanya aku tidak atau belum memahami
dirimu." "Lalu siapa yang bilang demikian?" tanya Pho Ang-soat.
"Ada seorang yang mengatakan."
"siapa dia?"
"Kenapa aku harus memberitahu kepadamu?"
"Jadi orang itu yang menghendaki kau membunuhku?"
"Mungkin benar, tapi mungkin pula tidak benar." Tiba-tiba tertunjuk mimik aneh pada mukanya,
katanya menyambung, "Bagaimana pun juga, selamanya kau tidak akan tahu siapa dia malah
selamanya kau tidak akan bisa menduganya "
Tiba-tiba terangkat kepala Pho Ang-soat, biji mata mulai terbakar biji mata yang membara
menatapnya lekat-lekat.
Sikap Ong Toa-hong malah tenang, katanya dingin. "Kenapa tidak kau cabut golokmu?"
Lama Pho Ang-soat menepekur, akhirnya berkata pelan-pelan, "Karena aku tidak mengerti."
"Hal apa yang tidak kau mengerti?"
"Aku tidak tahu kenapa kau sudi mati bagi orang lain?"
"Mati bagi orang lain?"
"Kau hanya benda yang diperalat saja oleh orang itu, bahwasanya tidak setimpal aku turun
tangan membunuhmu. Jadi orang yang menyuruh kau membunuhku itulah yang setimpal
kubunuh." "Jadi asal aku sebutkan nama orang itu, kau bebaskan aku?"
"Sudah kukatakan, manusia rendah seperti dirimu tidak setimpal kubunuh."
Tiba-tiba Ong Toa-hong menepekur, agaknya dia sedang berpikir, menimang-nimang.
Pho Ang-soat memberi peluang selama mungkin untuk orang berpikir, dia tidak perlu
mendesaknya, karena tekanan dan ancaman malah membikin akibatnya terbalik.
Lama sekali baru Ong Toa-hong berkata, "Tentunya kau sudah tahu bahwa aku ini bukan
seorang Kuncu. Seorang Siaujin seperti katamu tadi, demi menyelamatkan jiwa sendiri, kepada
siapa pun berani menjual diri."
"Agaknya kau tidak bodoh."
"Maka aku masih punya persoalan. Darimana aku tahu bila kau tidak akan membunuhku"
Mungkin sekarang ini kau bukan lawanku, lalu buat apa aku membongkar rahasia orang lain
kepadamu?"
Lama Pho Ang-soat bungkam, mengawasinya tajam, katanya pelanpelan, "Seharusnya aku
tebas putus dulu sebuah kupingmu, supaya kau percaya. Tapi bukan saja kau tidak setimpal aku
turun tangan, tidak patut pula aku menggerakkan golokku. Cuma bisa tidak bisa kau harus
mengerti akan satu hal."
"Hal apa?"
"Tanpa menggunakan golok, aku tetap bisa membunuhmu."
Seketika Ong Toa-hong tertawa riang. Sudah tentu dia tidak percaya Pho Ang-soat bakal
meninggalkan goloknya ini. Tapi kenyataan di waktu dia tertawa Pho Ang-soat sudah meletakkan
goloknya di atas meja.
Betul juga Ong Toa-hong mengunjuk rasa heran dan tidak mengerti, namun sigap sekali tahutahu
sebilah pedang pendek entah darimana sudah terpegang di tangannya, pedang pendek yang
memancarkan cahaya kemilau, sekali berkelebat tiba-tiba pedang itu sudah menusuk ke dada Pho
Ang-soat. Dari gaya dan cara serta jurus serangannya ini, sudah dapat dipastikan bahwa Ong Toa-hong
bukan saja seorang ahli pedang, malah dia seorang ahli bunuh yang sudah bertahun-tahun
berkecimpung dalam usahanya. Gerak pedangnya keji dan telengas, meski tidak mengandung
perubahan rumit yang aneh, tapi besar manfaatnya untuk membunuh jiwa manusia. Laksana lidah
ular saja yang terjulur keluar.
Tak mungkin Pho Ang-soat mengayunkan goloknya menangkis, tangannya sudah kosong. Tapi
dia masih mampu menggerakkan tangannya. Tangan yang putih, sebat sekali badannya berkelit
seraya mengulurkan tangannya dengan tangkas mencengkeram ke batang pedang. Seolah-olah
sudah terlupakan bahwa tangannya itu terdiri dari darah daging dan tulang yang tidak kuat
melawan senjata tajam, seolah-olah dia lupa bahwa dirinya tidak membekal senjata. Apalagi
pedang itu dilumuri racun, sekali tangannya tergores luka, kontan dia akan roboh binasa.
Gerakan pedang Ong Toa-hong tidak berubah. Sudah tentu dia tidak mau merubah
gerakannya, dia harap Pho Ang-soat menangkap pedangnya, semakin kencang lebih baik.
Seorang yang benar-benar pintar, selamanya tidak akan menganggap orang lain pikun. Orang
yang menganggap orang lain pikun, akhirnya dia akan menyadarinya sendiri, bahwa orang yang
benar-benar pikun bukan orang lain, tapi adalah diri sendiri.
Hampir saja Ong Toa-hong tertawa, dia anggap Pho Ang-soat sudah pikun maka dia tetap
menyodorkan pedangnya untuk ditangkap olehnya. Tapi sekilas itu mendadak terasa pandangan
matanya seperti kabur, tahu-tahu tangan memutih itu sudah menyambar mukanya dan telak sekali
memukul mukanya.
Kiranya dalam waktu sesingkat itu gerakan tangan Pho Ang-soat tiba-tiba berubah, lebih cepat
dan tangkas, sampai sukar dilukiskan. Tahu-tahu Ong Toa-hong merasa matanya berkunangkunang,
kepalanya posing tujuh keliling. Waktu dia siuman kembali, didapatinya dirinya roboh di
pojok dinding, darah bercucuran dari hidungnya yang sudah penyok, rasa sakit masih menjalari
mukanya karena tulang hidungnya remuk. Waktu itu dia mengangkat kepala, tampak pedangnya
sudah berada di tangan Pho Angsoat.
Dengan nanar Pho Ang-soat mengawasi pedang di tangannya, lama sekali baru berpaling,
tanyanya dingin, "Pedang ini bukan milikmu?"
Ong Toa-hong geleng-geleng.
"Biasanya kau memakai pedang panjang."
Ong Toa-hong manggut-manggut. Biasa memakai pedang panjang tiba-tiba berganti pedang
pendek, meski gerakannya lebih cepat, tapi tenaga dan incarannya menjadi sulit dikontrol dan
kurang tepat. Baru sekarang dia memahami akan hal ini.
"Pedang ini milik orang yang menyuruh kau kemari?"
Ong Toa-hong mengiakan dengan anggukan kepala.
Tiba-tiba Pho Ang-soat membuang pedang itu di kakinya, katanya, "Kalau kau ingin mencoba
lagi, boleh kau ambil pedang itu."
Ong Toa-hong geleng-geleng, melirik pun tidak ke arah pedang itu, keberaniannya sudah
runtuh total. "Kenapa tidak kau ulangi" Aku tidak memegang golok, aku tidak lebih seorang timpang yang
harus dikasihani."
"Kau bukan..." ujar Ong Toa-hong, setelah menghela napas dia menambahkan, "Kau bukan
orang pikun."
"Sekarang kau mau mengatakan siapa orang itu?"
"Umpama kukatakan takkan berguna."
"Kenapa?"
"Karena kau tidak akan percaya."
"Aku percaya."
Ong Toa-hong ragu-ragu, katanya, "Sebaliknya bolehkah aku percaya kepadamu" Kau benarbenar
mau membebaskan aku"
"Sudah kukatakan sekali."
Akhrnya Ong Toa-hong menghela napas lega, katanya, "Sebetulnya orang itu adalah temanmu,
jejakmu tiada orang lain yang lebih jelas dari pada dia."
Seketika Pho Ang-soat menggenggam kencang jari-jarinya, lapat-lapat dia sudah menduga
siapa orangnya. Yang jelas dia tidak punya teman, maka dia tidak mau percaya begitu saja,
namun mau tidak mau dia harus percaya, maka tak tahun dia bertanya lagi, "She apa orang itu?"
"Dia she ...."
Sekonyong-konyong selarik sinar berkelebat, hanya sekali saja, lebih cepat cari sambaran kilat
maka segalanya menjadi tenang, suara apa pun sirap.
Ong Toa-hong tidak mampu menyebut she dan nama orang itu. Karena sebilah pisau sudah
memutus pernapasannya tepat di tenggorokannya. Matanya melotot, mulut terbuka dan lidahnya
menjulur keluar, cepat sekali dia mati. Tapi sampai ajalnya dia tetap tidak percaya bahwa orang
itu tega membunuhnya.
Mau tidak mau Pho Ang-soat harus percaya. Pisau yang tidak kelihatan merupakan pisau yang
paling menakutkan. Orang yang sukar diketahui seluk-beluk dart kedok aslinya merupakan orang
yang paling ditakuti. Mendadak Pho Ang-soat menyadari, Yap Kay pemuda itu jauh lebih
menakutkan dari pisau terbangnya yang melesat secepat kilat.
Pisau itu melesat dari luar jendela, namun tidak terlihat bayangan orang di luar.
Dipapahnya jenazah Cui long yang sudah kaku dingin itu, pelanpelan Pho Ang-soat melangkah
keluar, melangkah terus tanpa tujuan, menyusuri sungai melalui jembatan, dia terus maju
meninggi naik ke atas bukit, dia terus memanjat ke tempat yang paling tinggi, lalu berlutut
menghadap sang surya yang baru saja terbit, pelan-pelan dia letakkan jazadnya ke atas tanah. Di
sini dia menggali tanah, di bawah kesaksian sinar matahari dia kebumikan pujaan hatinya yang
gugur demi membela dirinya. Sejak kini, sepanjang tahun, selama matahari terbit dari ufuk timur,
sinarnya akan selalu menyoroti pusaranya. Sinar matahari abadi, demikian pula cinta nan murni.
BAB 40. DENDAM BARU KEBENCIAN LAMA
Malam kedua baru Pho Ang-soat turun dari atas bukit. Baru saja dia sembuh dari sakit, kini
harus mengalami pukulan batin separah ini, kecuali duka cita, perih, marah, penasaran dan
dendam, apa pula yang dia miliki" Mungkin masih punya rasa takut.
Takut akan kesepian. Sepanjang masa hidupnya, dia takkan bisa melihatnya lagi, cars
bagaimana dia harus membebaskan diri dari kesepian dan sebatangkara abadi ini" Terpaksa dia
harus melarikan diri.


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah kota kecil berada di bawah bukit di sana ada arak. Arak yang getir, namun dia tidak
peduli lagi, entah berapa banyak poci arak yang dia habiskan, waktu dia berdiri dan beranjak
keluar, sinar pelita masih menyala di dalam warung, dengan menggenggam kencang goloknya dia
tinggalkan warung itu. Dia sudah mabuk, langkahnya sempoyongan. Entah berapa jauh dia
teringsut-ingsut, akhirnya tersungkur roboh, roboh di bawah pohon yang daunnya sudah
menguning. Hembusan angin merontokkan daun-daun pohon yang bertaburan di atas badannya,
seolah-olah dia tidak merasakan derita dan sengsara yang sudah membeku pada dirinya.
Dia tidak tahu tempat apa itu, dia hanya mendekam di tanah saja. Hanya dendam kesumat
yang masih menjalari sanubarinya, di samping dendam, dia pun merasa ditipu dan dihina oleh Yap
Kay, maka dia bersumpah untuk bertahan hidup. Dia bersumpah akan menuntut balas terhadap
Be Khong-cun, terhadap Yap Kay.
Sang waktu berlalu tanpa terasa, Pho Ang-soat tetap meringkuk di atas tanah dia tahu banyak
orang berlalu-lalang dan menengok badannya, tapi hanya menghela napas, lalu tinggal pergi pula.
Tapi tak sedikit pula yang menertawakannya.
Pho Ang-soat diam saja mendengar ejekan, olok-olok dan helaan napas orang banyak yang
mengandung belas kasihan pula, yang terang pukulan batin yang dialami memang teramat besar,
sehingga dia tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya lagi. Apa pun yang terjadi, golok tetap
berada di tangannya.
Sekonyong-konyong didengarnya seseorang menjerit tertahan, "Oh, dia!" Itulah suara
perempuan, perempuan yang kenal dan dikenal dirinya, peduli siapa dia, Pho Ang-soat mengharap
dia lekas pergi. Celakanya perempuan ini tidak pergi malah menjengek sinis, katanya,
"Pho-kongcu ahli bunuh yang kejam, kenapa sekarang berubah begini rupa seperti anjing liar
yang kelaparan, apa kau dilukai orang?"
Serasa muak dan perut Pho Ang-soat seperti dipelintir. Kini dia sudah kenal siapa pembicara ini.
Be Hong-ling! Orang yang justru tidak mau ditemui, sekarang muncul di saat dirinya serba
runyam. Gigi Pho Ang-soat gemeratak, jari-jarinya mencengkeram tanah dengan kencang, seperti
merenggut hulu hati sendiri.
Be Hong-ling tertawa dingin, ejeknya, "Kau begini menderita lantaran nona Cui long itu,
sungguh tidak setimpal pengorbananmu, sebelum ini dia menjadi perempuan piaraan ayahku,
memangnya kau tidak tahu?"
Kata-kata ini laksana jarum menusuk hati, laksana cambuk melecut badannya. Tak tertahan
mendadak Pho Ang-soat berjingkrak berdiri, dengan matanya yang berdarah dia melotot
kepadanya, keadaannya sungguh harus dikasihani, tapi amat menakutkan pula.
Lain dulu lain sekarang, dulu mungkin Be Hong-ling simpati kepadanya, namun sekarang dia
sudah berubah, pemuda yang pernah membuatnya duka dan merana, kini tidak lagi terpandang
olehnya. Dengan dingin kembali dia mengoceh, "Aku tahu cepat atau lambat dia akan
meninggalkan kau, lari mengikuti laki-laki lain, seperti dia meninggalkan Yap Kay mengikut
kepadamu, kecuali ayahku, laki-laki lain bahwasanya tidak terpandang olehnya."
Muka Pho Ang-soat yang pucat tiba-tiba beringas merah. napasnya tiba-tiba tersengal-sengal,
katanya, "Sudah cukup bicaramu?"
"Kau tidak suka mendengar ucapanku?"
Otot di jari tangan Pho Ang-soat yang memegang golok merongkol, katanya kalem, "Sepatah
kata lagi kau ucapkan, kubunuh kau."
Be Hong-ling malah tertawa, di saat dia tertawa itu seseorang muncul di sampingnya. Seorang
pemuda yang tinggi besar dengan jubah sutra, raut mukanya amat congkak dan pongah, Memang
dia punya alasan untuk pongah dan bangga akan dirinya.
Bukan karena tinggi besar dan gagah ganteng, sepasang matanya yang dinaungi alis lentik
laksana pedang mencorong terang dan berwibawa pakaian yang dikenakan pun teramat mewah
perlente. Sekilas pandang orang akan tahu, pemuda ini sudah biasa berbuat sewenang-wenang,
suka bersimaharaja, apa pun yang ingin dia lakukan, tanpa peduli akibatnya harus dilaksanakan,
jarang ada orang yang berani merintanginya. Dengan tajam sekarang dia balas menatap Pho Angsoat,
katanya dingin, "Apa katamu barusan?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat sadar apa sebabnya Be Hong-ling berubah sikap kepadanya.
Pemuda perlente kembali berkata, "Bukankah kau bilang hendak membunuhnya?"
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Dia adalah istriku," ujar pemuda perlente.
Dingin suara Pho Ang-soat, "Kalau dia berani bilang sepatah kata lagi, maka kau harus mencari
perempuan lain untuk jadi binimu."
Seketika pemuda perlente berubah muka, bentaknya bengis, "Kau tahu siapa aku?"
Pho Ang-soat geleng-geleng.
"Aku she Ting. Akulah Ting Ling-ka," ujar pemuda perlente congkak. "Walau kurangajar, aku
masih boleh memaafkan kau, karena keadaanmu tidak mirip laki-laki yang bisa membunuh orang."
Memang keadaan Pho Ang-soat serba mengenaskan, terang dia tidak akan mampu banyak
bergerak, mulutnya terbungkam, mau tidak mau dia harus mengakui akan hal ini.
Ting Ling-ka menyeringai puas, dia tahu kebesaran namanya cukup membuat siapa pun kaget
ketakutan, bila tidak perlu benar, dia tidak sudi turun tangan. Karena itu dia merasa dirinya
seorang yang kejam. Sekaligus dia ingin supaya bininya yang baru ini mengerti dia punya
kemampuan untuk melindunginya. Maka dengan tersenyum dia berpaling dan berkata dengan
latah, "Apa pun yang masih kau ingin katakan, boleh kau katakan sesuka hatimu."
Be Hong-ling menggigit bibir, "Apa pun yang ingin kukatakan tidak jadi soal?"
Ting Ling-ka tersenvum, ujarnya, "Asal kau di sampingku, apa pun yang ingin kau katakan tidak
menjadi soal."
Karena gairah dan senang, raut muka Be Hong-ling menjadi bersemu merah, katanya tiba-tiba
dengan keras, "Kukatakan perempuan yang dicintai si timpang ini adalah pelacur, pelacur yang
tidak ada harganya."
Muka Pho Ang-soat menjadi pucat seperti kertas. jari-jari tangan kirinya menggenggam gagang
golok yang dipegangnya.
"Berani kau turun tangan?" bentak Ting Ling-ka. Dia tahu tiada suatu kekuatan apa pun di
dunia ini yang kuasa mencegah dia turun tangan. Maka dia menghardik lebih dulu, tahu-tahu
pedang sudah terlolos, sinar pedangnya bagai selarik lembayung, langsung menusuk tenggorokan
Pho Ang-soat. Pedang yang digunakan bobotnya cukup berat, maka tusukannya mengeluarkan
deru angin keras, apalagi dilandasi kekuatannya, maka daya serang ini amat ganas dan hebat.
Meski tidak cepat serangan ini, tapi tusukan pedang ini cukup lihai, dahsyat, sasarannya tepat
dan mematikan. Menyerang memang nya pertahanan yang paling baik. Orang yang mampu
membalas serangan seperti ini, di dunia ini tidak akan lebih dari tujuh orang. Dan Pho Ang-soat
justru salah satu dari ketujuh orang itu.
Dia tidak berkelit, tidak menangkis, malah tiada orang melihat dia bergerak, Be Hong-ling
sendiri tidak melihat gerakan apa-apa, namun ia hanya melihat selarik sinar kemilau secepat kilat
dari sambaran sinar golok. Hanya berkelebat sekali, darah bagai kembang api berpijar muncrat
sederas sumber minyak yang menyemprot dari bumi.
Sinar pedang bagai selarik rantai perak melesat terbang ke samping dan menancap di atas
pohon. Jari-jari tangan Ting Ling-ka masih kencang memegangi gagang pedang, seluruh lengan
kanannya bergantung di ujung pedangnya, masih bergoyang turun naik.
Darah masih bertetesan dari kutungan lengan pundak Ting Ling-ka. Bahna kaget Ting ling-ka
sampai berdiri melongo mengawasi kutungan tangannya yang bergoyang-goyang di atas pohon,
seolah-olah tidak menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi. Karena perubahan ini sungguh
amat mendadak. Bila dia menyadari lengan yang tergantung di atas pohon itu adalah kutungan lengannya,
seketika dia jatuh semaput. Hampir saja Be Hong-ling ikut semaput tapi bukan karena kaget dan
gelisah karena luka-luka suaminya, namun karena gusar yang putus asa. Dengan penuh kebencian
dia melotot sekali kepada Ting Ling-ka yang semaput di tanah, terus putar badan dan berlari sipatkuping.
Di pinggir jalan raya berhenti sebuah kereta tertutup yang ditarik kuda, langsung dia
menerjang ke sana terus menarik pintu kereta sekeras-kerasnya.
Tampak seorang duduk kaku tidak bergerak di dalam kereta, raut mukanya nan cantik dan
pucat membayangkan mimik kaku dan kosong. Begitulah mimik seseorang bila dia kehilangan
sesuatu miliknya yang paling berharga. Pho Ang-soat juga melihat orang dalam kereta ini, dia
kenal baik orang ini!
Ting Hun-pin. Bagaimana dia bisa berada di sini" Kehilangan apa dia" Dimana Yap Kay"
Tiba-tiba Be Hong-ling membalik badan seraya menuding Pho Angsoat, katanya keras, "Orang
itulah yang membunuh Jikomu, tidak lekas kau menuntut balas?"
Lama berselang baru Ting Hun-pin mengangkat kepala, sekilas ia memandangnya, katanya,
"Benarkah kau ingin aku menuntut balas?"
"Sudah tentu, dia kan Engkohmu, dia adalah suamiku."
Mengawasinya, mendadak matanya menyorotkan rasa ejek dan hina, katanya, "Apa benar kau
anggap Engkohku sebagai suamimu?"
Berubah air muka Be Hong-ling, serunya, "Kau... apa-apaan kau mengucapkan kata demikian?"
"Tentunya kau mengerti apa maksudku, umpama engkohku mati, kau tidak akan bersedih
apalagi meneteskan air mata, mati hidupnya tidak menjadi perhatianmu!"
Seperti dihajar lecutan cambuk badan Be Hong-ling berjingkrak mundur, mukanya yang pucat
semakin pucat. "Kau ingin aku menuntut balas, karena kau membencinya seperti kau membenci Yap Kay."
Dengan kencang Ting Hun-pin mengertak gigi, sambungnya, "Terhadap laki-laki siapa saja kau
amat membenci karena kau mengira semua laki-laki amat menghina dirimu, sampai pun ayah
kandungmu tidak peduli mati hidupmu. Bahwa kau kawin dengan Jikoku, tidak lebih hanya hendak
kau peralat untuk membalas sakit hatimu."
Syaraf Be Hong-ling menjadi kalut, pikirannya sudah mendekati gila, mendadak dia berteriak
keras. "Aku tahu kau membenci aku, karena aku suruh Engkohmu membawamu pulang, tapi kau
senang kelayapan mengikuti Yap Kay seperti anjing gelandangan."
"Benar, aku lebih suka keliaran bersama dia di luaran, karena aku mencintainya," debat Ting
Hun-pin sambil menatap Be Hong-ling, "tentunya kau sudah tahu bahwa aku mencintainya, maka
kau merasa iri, cemburu, maka kau paksa Engkohku untuk bertindak membawaku meninggalkan
dia. Soalnya kau pun mencintainya."
Mendadak Be Hong-ling tertawa terkial-kial seperti kesurupan setan, serunya, "Aku
mencintainya..... aku hanya berharap dia lekas mampus."
"Sekarang kau membencinya malah, karena kau tahu dia tidak akan mencintai kau." Tersorot
mimik aneh dan menakutkan pada pandangan mata Ting hun-pin, katanya lebih lanjut, "Di dunia
ini banyak perempuan jahat yang gila, jika tidak terlaksana keinginannya untuk memiliki sesuatu,
maka dia berusaha dengan berbagai daya upaya, meski cara yang paling kejam dan keji, untuk
melenyapkannya, dan kau termasuk perempuan seperti itu, kau pantas mampus."
Lama kelamaan tawa gila Be Hong-ling menjadi isak tangis bercampur tawa yang memilukan,
akhirnya tidak terbedakan lagi dia tertawa atau menangis. Tiba-tiba dia berpaling menghadap Pho
Ang-soat, serunya serak, "Kalau kau ingin membunuhku, kenapa tidak segera turun tangan?"
Sebaliknya tanpa mengawasinya, Pho Ang-soat beranjak pelan-pelan mendekati kereta dimana
Ting Hun-pin berada. Mendadak Be Hong-ling menubruk ke atas badannya, serta memeluknya
erat-erat, ratapnya, "Jika kau tidak membunuhku, bawalah aku pergi, peduli kemana pun, aku
ingin mengikuti kau, apa pun yang kau inginkan, pasti kulakukan."
Sekujur badan Pho Ang-soat dingin dan kaku.
Dengan bercucuran air mata Be Hong-ling berkata pula, "Asal kau sudi membawaku, aku... aku
boleh membawamu mencari ayahku."
Mendadak sikut bergerak menyodok ke perutnya dengan keras. Kontan Be Hong-ling
melengking seperti babi disembelih, badan nya terbungkuk-bungkuk sambil memeluk perut.
"Menggelindinglah pergi!" tanpa berpaling Pho Ang-soat membentak.
Akhirnya Be Hong-ling menegakkan badan, semula dia adalah gadis jelita yang cantik rupawan,
penuh dihayati keyakinan akan kehidupan masa depan. Tapi sekarang dia sudah berubah, kini raut
mukanya benar-benar dihiasi mimik jahat dan beringas mendekati gila. "Baik, aku pergi," desisnya
sambil melotot kepada Pho Ang-soat, "Kau tidak mau pergi dariku, terpaksa aku menyingkir, tapi
apa kau lupa akan kelakuanmu sekasar anjing liar yang kelaparan merayapi badanku di padang
pasir dulu" Memangnya di saat orang lain tidak melihatmu baru kau berani memperkosa aku?"
Muka Pho Ang-soat menampilkan derita pukulan batin yang tertekan, namun dia tetap tidak
berpaling. Malah Ting Hun-pin yang bersuara, "Apa sekarang kau sudah menyesal, kenapa malam itu kau
tidak menuruti keinginannya?"
"Jangan kau pongah! Kau kira Yap Kay mencintaimu?" jengek Be Hong-ling pedas, "Jika dia
benar-benar mencintaimu, masakah dia biarkan ikut kita" Sekarang bukan mustahil dia sedang
menggumuli perempuan pelacur entah dimana, bukan mustahil kawan mainnya adalah kekasih
tuannya itu, Cui long." Mendadak dia terloroh-loroh gila lagi, langkahnya menyurut mundur dan
mundur terus memasuki hutan belukar. Lain kejap loroh tawanya hilang, bayangannya pun tidak
kelihatan lagi.
Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya dia gadis yang harus dikasihani, sayang
sekali setiap langkah dan tindakannya salah, jelasnya dia salah memilih laki-laki."
"Dan kau?" tiba-tiba Pho Ang-soat menjengek.
"Aku tidak salah!"
"Yap Kay ...."
"Sejak lama aku sudah tahu orang macam apa Yap Kay," tukas Ting Hun-pin. "Umpama dia
tidak mencintai aku, tidak jadi soal, karena aku benar-benar mencintainya dan ini sudah cukup."
Bertambah tebal derita pada sorot mata Pho Ang-soat, lama kemudian baru dia berkata pelan,
"Tapi kau toh meninggalkan dia."
"Karena terpaksa dan aku tidak berdaya."
"Kenapa tidak berdaya?"
"Di saat aku tidak berjaga-jaga. Ting-loji tiba-tiba menotok Hiat-toku."
"Terpaksa Yap Kay mengawasi dirimu dibawa mereka pergi?"
"Dia pun kewalahan dan mati kutu, Ting-loji adalah Engkoh kandungku, apa yang dapat dia
lakukan?" terpancar cahaya dari biji matanya, "tapi aku tahu cepat atau lambat dia pasti
mencariku, kelihatannya sikapnya selalu acuh tak acuh, sebenarnya dia pemuda romantis, waktu
orang membawaku pergi, aku dapat merasakan penderitaannya, jauh lebih besar dari aku sendiri."
"Sekarang bukankah kau ingin mencarinya?"
Ting Hun-pin tertawa riang, katanya, "Ada semacam orang di dunia ini yang takkan dapat kau
temukan selama hayatmu, terpaksa kau harus menunggu dia yang mencarimu, Yap Kay adalah
orang macam itu."
Pho Ang-soat masih mengawasinya, tiba-tiba terunjuk pula mimik aneh pada sorot matanya.
"Walau kau melukai, malah membikin cacad Engkohku, tapi aku tidak menyalahkan engkau."
"Oh," Pho Ang-soat bersuara dalam tenggorokan.
"Bukan lantaran memaksa aku ikut dia, sehingga aku membencinya. Soalnya kau mengutungi
sebelah tangannya, tapi engkau membuatnya sadar macam apa sebenarnya perempuan seperti Be
Hong-ling itu kalau bukan lantaran tebasan golokmu. kelak hidupnya akan lebih celaka lagi.
Sekarang kau boleh pergi, aku tidak ingin dia melihatmu setelah siuman dari pingsannya."
Tapi Pho Ang-soat diam saja.
Menunggu sekian saat tak tahan Ting Hun-pin bertanya. "Kenapa tidak segera kau pergi?"
"Karena aku sedang mempertimbangkan satu soal."
"Soal apa?"
"Aku tidak tahu haruskah aku membuka totokan Hiat-tomu, supaya kau ikut aku, atau
membawamu pergi dengan menggendongmu."
Seketika berubah rona muka Ting Hun-pin, teriaknya, "Apa sih maksudmu?"
"Maksudku ingin membawamu pergi."
"Kau... kau sudah gila...."
"Aku tidak gila," sahut Pho Ang-soat dingin, "aku tahu kau pasti tidak sudi ikut pergi."
Dengan terbelalak Ting Hun-pin mengawasi orang, mendadak dia ayunkan tangan, kelintingan
di pergelangan tangannya tiba-tiba melesat membawa dering suara nyaring, sekaligus mengincar
Ing-hian, Thian-sek dan Hian-ki, tiga Hiat-to. Jarak mereka dekat, serangan mendadak serta
cepat. Kelintingan pencabut nyawa Ting Hun-pin merupakan salah satu senjata rahasia paling
menakutkan di samping tujuh macam senjata rahasia di Kangouw lainnya, karena bukan saja
gerakannya cepat, incarannya tepat mengenai Hiat-to, malah yang ditimpukkan belakangan tiba
lebih dulu, yang ditimpukkan duluan tiba-tiba berubah arah, hingga orang yang diserangnya tidak
tahu caranya harus berkelit.
Tapi Pho Ang-soat tidak berkelit. Hanya sekali sinar goloknya berkelebat, tiga kelintingan tahutahu
sudah terbelah menjadi enam buah. Waktu sinar golok masuk kembali ke dalam sarungnya,
tahu-tahu dia sudah mencengkeram urat nadi pergelangan Ting Hun-pin, sekali tarik dia peluk
pinggang orang, terus dijinjingnya. Keruan Ting Hun-pin meronta dan berteriak-teriak, "Kau
timpang yang tidak tahu malu ini, lekas lepaskan aku!"
Pho Ang-soat anggap tidak mendengar teriakannya. Kereta itu dikendalikan kusir, di jalan raya
banyak orang berlalu-lalang, semua orang mengawasinya dengan pandangan kaget dan heran.
Pho Ang-soat anggap tidak melihat mereka, langsung dia beranjak ke bukit sebelah timur. Gunung
yang terbungkus mega di bawah langit membiru.
Gunung itu tidak terlalu tinggi, dengan mengempit Ting Hun-pin, Pho Ang-soat mulai beranjak
di tanah pegunungan yang diliputi awan tebal Kini Ting Hun-pin tidak meronta dan malah diam
dibawa orang. Tapi dia menyadari bahwa si timpang ini memang bukan pemuda normal, apalagi
bila teringat ucapan Be Hong-ling, "Hanya di tempat tiada orang lain, baru kau berani memperkosa
aku." Seketika bergidik dan takut hatinya badannya gemetar.
Akhirnya Pho Ang-soat menurunkan dia, katanya tiba-tiba, "Kau takut?"
Ting Hun-pin tiba-tiba tertawa, ujarnya, "Aku takut apa" Kenapa harus takut" Memangnya aku
takut kepadamu" Kau kan teman Yap Kay, temannya adakah temanku, kenapa aku takut
kepadamu."
"Kalau musuhnya?"
"Agaknya dia takut punya musuh "
"Kalau dia punya musuh, tentunya jadi musuhmu juga.
"Boleh dikata demikian, karena...."
"Karena kau merasa orang yang terdekat di dunia ini adalah dia."
Ting Hun-pin tertawa riang, tawa yang manis, setiap kali teringat akan hubungan dirinya
dengan Yap Kay, hatinya menjadi syur, sedap dan hangat.
"Jika kau tahu ada orang yang akan membunuhnya, bagaimana sikapmu terhadap pembunuh
itu?" "Tiada yang bisa membunuhnya, tiada orang bisa membunuhnya."
"Kalau ada?"
"Aku tidak akan melepaskan orang itu, takkan segan-segan kutuntut balas kepadanya meski
dengan cara apa pun." Segera dia menambahkan, "tentunya aku bukan perempuan bertangan
gapah berhati jahat, tapi bila benar-benar ada orang yang membunuh Yap Kay, bukan mustahil
aku akan mengiris kulit daging badannya serta mengunyah habis."
Waktu Ting Hun-pin bicara, Pho Ang-soat sudah putar badan menghadap gundukan tanah yang
gundul yang masih baru.
"Gundukan tanah apakah itu?" tanya Ting Hun-pin.


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebuah pusara."
"Kuburan maksudmu?" berubah muka Ting Hun-pin.
"Darimana kau tahu tanah gundukan itu adalah kuburan?"
"Karena kedua tanganku sendiri yang menyusunnya," suaranya seolah-olah lebih dingin dari
hawa puncak salju, tak terasa Ting Hun-pin bergidik dibuatnya.
Lama sekali baru dia bersuara lirih, "Siapakah yang terkubur di sini?"
"Seorang yang paling dekat denganku."
"Kau... kau amat mencintainya?"
"Cintaku terhadapnya jauh lebih mendalam dari cintamu terhadap Yap Kay "
"Kenapa dikubur di sini?"
"Karena dibunuh orang."
Ting Hun-pin bergidik seram, gumamnya, "Angin di sini teramat dingin."
"Kau tak usah menguatirkan dia, sekarang dia tidak takut dingin lagi."
"Tapi aku takut."
"Takut terhadapku?"
"Bukan takut kepadamu, takut dingin."
"Aku pun akan menguburmu, kau tidak akan takut dingin lagi."
"Ah, tidak usahlah, aku toh belum mati."
"Tapi dia sudah mati kau tidak mati, dia sebaliknya sudah mati, kenapa dia harus mati" Kenapa
harus mati?"
"Setiap insan akhirnya mati, ada yang mati muda, ada yang mati tua, kukira kau tidak perlu
sedih." "Kalau Yap Kay mati, kau tidak akan bersedih?"
"Aku... aku...."
Tiba-tiba Pho Ang-soat membalik badan dengan beringas, bentaknya bengis, "Kenapa tidak kau
tanya, siapa yang membunuhnya" Apakah karena kau sudah tahu siapa yang membunuhnya?"
Ting Hun-pin mengertak gigi, mendadak dia berkata keras, "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa
tahu?" "Seharusnya kau tahu."
"Kenapa?"
"Karena Yap Kay lah yang membunuhnya."
"Tidak mungkin, pasti tidak mungkin." Ting hun-pin berjingkrak, "Selama ini aku berdampingan
dengan Yap Kay, aku berani tanggung dia tidak pernah membunuh orang."
"Kemarin malam kau pun berada bersama dia?"
Terkancing mulut Ting Hun-pin, sejak kemarin pagi dia sudah diringkus dan dibawa pergi oleh
Ting Ling-ka, sejak itu dia tidak pernah melihat Yap Kay lagi.
"Kau tahu kemarin malam dia dimana" Apa yang dia lakukan?"
Tertunduk kepala Ting Hun-pin. Dia tidak tahu.
Mendadak Pho Ang-soat keluarkan sebuah pisau kecil, pisau yang tipis tajam diacungkan di
depan matanya. "Kau kenal pisau ini!"
Semakin dalam kepala Ting Hun-pin tertunduk. Dia kenal betul pisau itu, lama sekali baru dia
mengangkat kepala, katanya, "Yap kay adalah aku, aku adalah Yap Kay, jika kau anggap Yap Kay
yang membunuhnya, boleh kau membunuhku."
"Kau rela mati demi jiwanya?"
"Dengan sukarela." Matanya bersinar bangga, seolah-olah dapat mati bagi kekasih merupakan
suatu peristiwa yang meninggikan derajat dan menyenangkan hatinya. "Kenapa tidak segera kau
turun tangan," dia mendesak malah setelah menunggu sebentar.
Lama Pho Ang-soat termenung, katanya kemudian, "Aku tidak ingin membunuhmu."
"Kau... apa keinginanmu" Kenapa kau membawaku kemari?"
Kembali lama Pho Ang-soat berdiam diri, baru menjawab, "Tadi kau katakan dia pasti
mencarimu."
"Jadi kau akan menunggu dia?" Jari-jari Ting Hun-pin terkepal kencang, "Tapi dia kan tidak
tahu aku di sini."
"Dia akan tahu."
"Kenapa?"
"Karena banyak orang melihat kau kukempit pergi dan kemari."
"Memangnya kenapa kalau dia kemari" Memangnya kau hendak membunuhnya" Apakah kau
sudah lupa apa yang dilakukan dulu" Jika tiada dia, apa kau masih hidup?"
"Dia membantuku hidup, mungkin karena ingin aku menderita siksaan batin "
Tiba-tiba gemetar badan Ting Hun-pin mengawasi muka orang, katanya. "Dia sering bilang
kepadaku apa yang kau lakukan memang menakutkan, tapi hatimu bajik, bijaksana, kau sejak
kapan kau berubah menjadi jahat dan telengas?"
Pho Ang-soat mengawasi golok di tangannya, mulutnya terkancing bersuara lagi.
Hawa semakin dingin, kabut mega semakin tebal. Pakaian Ting Hun-pin sudah lembab, saking
kedinginan dia mulai gemetar dan gemeratak giginya. Bukan saja dingin, perutnya pun sudah
ketagihan. Pho Ang-soat sudah berduduk, duduk mematung di tengah-tengah mega yang dingin dan
basah. "Mungkin dia takkan datang," entah berapa lama kemudian tak tahan.
Ting Hun-pin menyeletuk. "Umpama mau datang, tiada orang tahu dia akan kemari. Kalau tiga
hari lagi baru dia datang, apa kau mau menunggu tiga hari di sini?"
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, lalu menjawab dingin, "Tiga tahun dia baru kemari, akan
kutunggu tiga tahun."
"Kau... kau paksa aku menemani kau menunggunya tiga tahun."
"Kalau aku bisa menunggu, kenapa kau tidak?"
"Karena aku manusia. Asal manusia, dia takkan tahan menunggu tiga tahun di sini, mungkin
tiga hari pun tak tahan lagi. Umpama tidak mati kedinginan, kita akan mati kelaparan juga."
Pho Ang-soat diam saja seperti tidak mendengar ocehannya.
"Sebetulnya tak perlu kau menunggunya di sini, kau boleh mencarinya di bawah gunung, cara
itu lebih baik daripada kau menunggunya. Eh, kenapa kau tidak bicara" Apakah...." tiba-tiba
suaranya terputus, mendadak didapatinya Pho Ang-soat yang duduk di tengahtengah kabut tak
terlihat bayangannya.
Kabut semakin tebal, pandangan menjadi pekat, hawa semakin dingin dan basah, pandangan
Ting Hun-pin yang remang-remang hanya bisa melihat beberapa langkah di sekitarnya, hatinya
menjadi takut, teriaknya, "Pho Ang-soat, kemana kau" Kembalilah kau?"
Tiada jawaban, tiada reaksi. Ingin dia lari, sayang Hiat-tonya tertotok, kakinya kaku, inilah hasil
ilmu totok keluarganya sendiri yang manjur. Ingin dia menjerit, namun dia takut mendengar gema
suaranya yang berkumandang di alam pegunugan Pada saat itulah, tiba-tiba setetes benda cair
yang dingin menetes di punggung tangannya, waktu dia menunduk dilihatnya tetesan itu bukan
hujan, tapi adalah darah. Keruan hatinya melonjak, tak tahan dia berpaling, tiba-tiba sebuah
tangan menyentuh pipinya, tangan yang dingin dan berlepotan darah, darah siapa" Tangan siapa"
Ting Hun-pin tidak sempat melihat jelas, tahu-tahu pandangannya menjadi gelap dan tidak tahu
apa-apa lagi. BAB 41. ENGHIONG DI UJUNG JALAN
Tiada mega, kabut pun telah hilang. Di dalam goa yang gelap itu, sinar api yang menyala
sedang menari-nari menerangi dinding goa yang berbentuk aneh, menyinari raut muka Ting Hunpin.
Begitu siuman, pertama yang terlihat olehnya adalah gundukan api itu. Namun dia tetap tidak
bergerak, rebah diam saja mengawasi kobaran api yang bergerak-gerak. Lalu dilihatnya Pho Angsoat
yang duduk di pinggir api unggun, dia sedang memanggang seekor kelinci yang sudah
dikuliti, gerak-geriknya kalem, tersimpul rasa ketenangan hati pada raut mukanya yang tersorot
sinar api. Daging kelinci yang berlepotan darah itu lama kelamaan sudah merah terpanggang, bau wangi
yang menimbulkan selera seketika merangsang hidung. Tak tahan Ting Hun-pin memberi
penjelasan, "Sungguh tadi aku terlalu lapar dan kedinginan, maka aku tidak tahan lagi."
"Untung kau membawa ketikan api, kalau tidak terpaksa kau makan daging kelnci mentah dan
berlepotan darah," ujar Pho Ang-soat tawar.
"Kau ambil ketikan api milikku?" Ting Hun-pin berteriak tertahan.
Pho Ang-soat menjawab dengan anggukan kepala.
Seketika Ting Hun-pin menarik muka, katanya keras, "Mana boleh kau sembarang
menggeledah barang orang?"
"Memang tidak pantas, lebih baik kalau aku lucuti pakaianmu, lalu kupanggang kau di atas api
untuk daharan."
Tersipu-sipu Ting Hun-pin menarik pakaiannya, seperti kuatir orang benar-benar akan
menelanjangi dirinya. Sementara itu Pho Ang-soat sudah menyobek kelinci menjadi dua, bagian
yang besar dilempar ke arahnya.
Daging panggang tanpa garam dan bumbu, sebetulnya mirip dengan perempuan yang punya
18 anak, takkan menimbulkan selera siapa pun. Tapi betapa pun daging panggang yang tawar ini
masih boleh dirasakan juga.
Habis makan tiba-tiba Pho Ang-soat berdiri, katanya dingin, "Kau sendiri tidak bisa mencopot
pakaian?" "Kenapa aku harus mencopot pakaian?"
"Aku tidak ingin mati kedinginan atau mati karena sakit."
Baru sekarang Ting Hun-pin menyadari pakaiannya memang basah
kuyup, karena dalam goa lembab dingin sekali, kalau rebah semalam ditempat seperti ini, besok
pagi bukan mustahil dirinya akan jatuh sakit. Sudah tentu dia tidak ingin jatuh sakit, namun harus
mencopot pakaian di hadapan kecuali Yap Kay, dia lebih rela mati. Dengan mengertak gigi dia
tiba-tiba bertanya, "Apakah kau pernah memperkosa Be Hong-ling?"
Melonjak-lonjak kulit daging di muka Pho Ang-soat, sorot matanya menyorotkan penderitaan,
tapi dia manggut-manggut. Apa yang pernah dia lakukan dia tidak pernah pungkiri.
"Kalau kau hendak memperkosa aku, sudah tentu aku tidak kuat melawanmu, tapi kuharap kau
tahu satu hal."
Pho Ang-soat sedang mendengarkan.
"Kecuali Yap Kay, lelaki siapa pun yang menyentuh aku, membuatku muak, tiada laki-laki yang
sebanding dia. Dan kau membencinya, bukan lantaran dia membunuh Cui long, tapi lantaran kau
tahu dirimu selamanya takkan dapat menandinginya...."
Sekonyong-konyong Pho Ang-soat merenggut bajunya, lalu menjinjingnya, katanya serak, "Kau
salah." "Aku tidak salah."
"Kau sendiri yang memaksa aku melakukan hal ini." Mendadak dia gunakan tenaga menarik
pakaiannya. Waktu Ting Hun-pin terjengkang jatuh, buah dadanya yang padat kenyal memutih
laksana salju tertiup angin dingin.
Air matanya berlinang, katanya mengertak gigi, "Aku tidak salah, Yap Kay yang salah, dia yang
salah menilai dirimu, hakikatnya kau bukan manusia, kau binatang."
Sekujur badan Pho Ang-soat bergetar, semakin lama semakin keras, mendadak badannya
tersungkur jatuh meringkuk dan berkelejetan. Di bawah cahaya api, mukanya berkerut-kerut
berubah bentuk, bibir mulutnya seperti congor kuda, buih meleleh keluar dari mulutnya.
Ting Hun-pin jadi melongo dan menjublek. Dia tahu Pho Ang-soat mengidap penyakit, namun
tidak diduganya penyakitnya itu mendadak kumat dan begini menakutkan.
Mengawasi keadaan orang, rasa gusar dan takut Ting Hun-pin beransur-angsur hilang, kini
berganti kasihan dan simpatik. Kalau dia bisa berdiri, tentu sudah membimbingnya bangun serta
memeluk nya kencang, sayang bergerak pun tak bisa, hanya kedua tangan yang kaku kedinginan
saja yang kuasa menutupi dadanya.
Tiba-tiba didengarnya langkah kaki orang di luar goa. Bukan seorang saja yang datang.
Serasa tenggelam hati Ting Hun-pin. Malam selarut ini siapakah gerangan yang menempuh
perjalanan jauh dalam hawa sedingin ini kelayapan di atas pegunungan" Cepat sekali langkah kaki
itu sudah tiba di luar goa. Cahaya api di dalam goa sekaligus memberitahu mereka bahwa di
dalam goa ada orang.
Sesaat kemudian seseorang berseru di luar, "Siapakah nama besar saudara di dalam" Silakan
keluar!" Ting Hun-pin mengertak gigi. Diharap orang di luar dalam waktu dekat tidak berani menerjang
masuk, diharap Pho Ang-soat lekas siuman sebelum mereka menyerbu masuk. Tapi dilihatnya
sebatang golok terjulur masuk, disusul orang yang memegangi golok. Yang masuk hanya seorang,
muka orang inipun menghijau seperti menggunakan topeng. Biji matanya dingin melotot kejam,
sekilas melirik kepada Pho Ang-soat, sorot matanya akhirnya berhenti pada dada Ting Hun-pin
yang hanya tertutup kedua tangannya, seketika terbayang nafsu birahi dalam matanya. Ingin
rasanya Ting Hun-pin mengorek kedua biji matanya yang kurangajar itu.
"Apa yang kau lihat" Kau tidak pernah melihat perempuan?"
Orang itu tertawa, kakinya menendang Pho Ang-soat, katanya, "Dia pernah apamu?"
"Peduli amat dengan kau?"
"Bukankah dia inilah Pho Ang-soat yang meruntuhkan Koan-tang Ban be tongcu?"
"Darimana kau tahu?"
"Memangnya aku sedang mencari dia."
"Untuk apa kau mencarinya?"
"Kucari hendak minta bantuannya mencari sesuatu untuk membunuh orang," lalu dia tertawa
sendiri, katanya pula. "tapi sekarang dia malah dibunuh orang lain."
Sedapat mungkin Ting Hun-pin mengendalikan perasaannya, "Kalau benar kau punya pikiran
demikian, kau pasti menyesal."
"Bukan saja aku berpikir demikian, aku masih ada pikiran lain pula."
"Apa yang kau pikirkan?"
"Laki-laki siapa yang melihat gadis cantik telanjang dada tidak akan meengiler, tentunya kau
bisa membayangkan apa yang kupikirkan sekarang."
Dingin dan kaku sekujur badan Ting Hun-pin, teriaknya, "Kau berani?"
"Kenapa tidak, umpama Pho Ang-soat bisa mencabut goloknya, aku tidak takut. Apalagi kalau
dia tahu aku siapa, bukan mustahil dengan suka rela kau diserahkan kepadaku."
"Mengandal apa kau berani berkata demikian?"
"Mengandal suatu benda, benda yang tak mungkin diperoleh Pho Ang-soat meski dia mimpi
seratus kali." Dengan tersenyum dia gunakan goloknya menyingkirkan tangan Ting Hun-pin yang
menutupi dada, katanya lebih lanjut, "Dengan benda itu, bukan saja aku berani berpikir, malah
berani kulakukan, kalau tidak percaya, biar sekarang kulakukan."
Hampir saja Ting Hun-pin menjerit, kedua tangannya terpaksa terpentang. Pada saat-saat kritis
itulah, tiba-tiba dilihatnya sebuah benda kecil melayang masuk dari luar, tepat mengenai gigi
orang yang sedang tersenyum lebar. "Krak", kontan tiga giginya rontok, sebuah benda bersama
tiga giginya jatuh di atas badan Ting Hun-pin, itulah sebutir kacang kulit.
Seketika berubah air muka orang itu, sebelah tangan mendekap mulut, tangan yang lain
mengayun golok. Melihat kacang itu, seketika muka Ting Hun-pin berubah juga, teriaknya, "Lok
Siau-ka." Kabut masih tebal dan gelap di luar gua, terdengar seorang berkata dengan tertawa, "Bukan
Lok Siau-ka seorang yang bisa makan kacang di dunia ini." Dengan tersenyum seorang tampak
melangkah masuk, pakaiannya sembarangan, senyumannya adem-ayem, melihat mimiknya,
umpama langit ambruk pun tidak akan dia pedulikan.
Melihat orang ini, terasa oleh Ting Hun-pin hawa berkabut yang menyesakkan napas tiba-tiba
sirna, hujan deras di luar pun terasa berhenti, umpama dunia kiamat pun tak dihiraukan pula,
karena orang yang datang ini adalah Yap Kay.
Betapa lega dan terhibur hati Ting Hun-pin, memang sengaja dia menarik muka, katanya,
"Kelayapan kemana saja kau, sampai sekarang baru datang."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya aku ingin datang lebih pagi, namun tidak tega
aku melihat Engkohmu rebah di tanah, betapa pun dia toh Engkohmu kedua."
Tak tahan Ting Hun-pin cekikikan geli, katanya, "Memang kau harus sedikit baik dan mengambil
hatinya, karena cepat atau lambat akhirnya dia toh Bakal menjadi Engkohmu juga."
Tiba-tiba berkerut alis Yap Kay mengawasi keadaan Ting Hun-pin, katanya, "Kenapa orangorang
keluarga Ting kalian suka rebah di tanah?"
"Kau sendiri pernah bilang, seorang pintar bila punya waktu merebahkan diri, dia takkan mau
duduk." "Benar, masuk di akal," ujar Yap Kay, lalu dipandangnya Pho Ang-soat serta berpaling kepada
laki-laki yang membawa golok itu, mulut orang sudah terbungkam, namun darah masih merembes
keluar. Sebagai seorang kawakan Kangouw yang licik dan licin bagai rase, sudah tentu dia tahu
orang yang mampu memukul rontok ketiga giginya dengan kacang, tenth bukan orang
sembarangan. Tapi kebetulan Yap Kay membelakangi dirinya, betapa pun lihainya seseorang, punggungnya
takkan tumbuh mata, kebetulan goloknya teracung tepat mengarah ke Yap Kay, kesempatan yang
sukar didapat ini, sayang sekali kalau disa-siakan. Mendadak dia ayun goloknya membacok
tengkuk Yap Kay.
Tak nyana punggung Yap Kay justru seperti tumbuh mata mendadak dia membalik badan,
jarinya dengan ringan menggaris di tangan laki-laki yang memegang golok. Tahu-tahu golok orang
sudah berpindah ketangannya. Dengan mengawasi golok di tangannya, Yap Kay tersenyum,
"Agaknya golok ini cukup baik juga mutunya."
Kaku dan menyengir jelek muka orang itu, dia paksakan hendak tersenyum, namun
senyumannya lebih jelek dari mewek tangisnya.
"Golok secepat ini bila membacok leher siapa pun, batok kepalanya pasti terpenggal jatuh, kau
percaya tidak?" dengan golok itu dia gerakgerakan di leher orang lalu menambahkan, "Jika kau
tidak percaya, boleh kau mencobanya."
Saking ketakutan, pucat-pias muka orang itu, katanya tergagap, "Tidak tidak usah dicoba."
"Jadi kau percaya?"
"Sudah tenth sudah tentu aku percaya, siapa tidak percaya dialah kura-kura."
Yap Kay tertawa terpingkal-pingkal.
Tiba-tiba orang itu bertanya, "Kulihat tuan naik kemari, adakah melihat teman-temanku?"
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Kulihat mereka sudah letih setengah mati, maka
kuanjurkan mereka merebahkan diri istirahat saja."
Kembali berubah air muka orang itu, katanya, "Sebetulnya aku... aku pun sudah amat letih
sekali." "Kalau sudah letih kenapa tidak tidur saja."
Tanpa bercuit, orang itu segera menuju ke pojokan sana, lalu merebahkan diri lempang kaku.
Ting Hun-pin cekikikan geli, katanya, "Agaknya orang ini tahu diri"
"Zaman sekalut ini, memangnya tidak banyak orang bodoh"
Yap Kay menghela napas, "Aku tahu kau pun ingin berdiri dan jalan-jalan, kalau rebah terlalu
lama badan pun terasa amat penat."
"Oleh karena itu kau boleh menggunakan kesempatan ini untuk memijat dan meraba-raba
pahaku," goda Ting Hun-pin tertawa malu-malu.
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Aku heran kenapa waktu Jikomu menotok Hiat-tomu, tidak
sekalian menotok mulutmu supaya tidak cerewet?"


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena dia tahu aku hendak menggigitmu sampai mampus."
Pelan-pelan badan Pho Ang-soat sudah mulai menjulur tegak, namun napasnya masih
tersengal-sengal.
Mengawasinya, Yap Kay berkata rawan, "Laki-laki seperti dia kenapa dihinggapi penyakit seperti
ini." Ting Hun-pin sudah berdiri, dia tengah membungkuk mengurut kakinya katanya, "Dia memang
orang yang harus dikasihani, tapi ada kalanya sikapnya membuat orang ketakutan." Lalu dia
bertanya, "Tahukah kau kenapa dia menggusurku ke tempat ini?"
Yap Kay geleng-geleng.
"Dia kira kaulah yang membunuh Cui long."
Bertaut alis Yap Kay, tanyanya melenggak, "Cui long sudah mati?"
"Kuburannya ada di luar, Pho Ang-soat sendiri yang menguburnya."
Lenyap senyuman yang menghiasi muka Yap Kay.
"Apa benar kau yang membunuhnya?" Ting Hun-pin menegas.
"Kau pun mengajukan pertanyaan seperti itu?"
"Sudah tentu aku tahu kau tidak akan melakukan perbuatan serendah itu, tapi kenapa pisaumu
berada di tangannya?"
"Pisauku?" Yap Kay bersuara heran. Belum Ting Hun-pin bersuara, tiba-tiba dilihatnya sinar
kemilau berkelebat. Tahu-tahu Yap Kay mengulurkan tangan, sinar kilat dari cahaya pisau sudah
berada di tangannya, sebilah pisau terbang yang tajam dan runcing. Waktu dia mengangkat
kepala, dia melihat Pho Ang-soat.
Waktu Pho Ang-soat berdiri, keadaannya mirip kabut yang mendadak menguap keluar dari
dalam bumi, sinar api sudah guram, kelihatan mu kanya lebih kurus, pucat dan terlalu letih. Tapi
dendam hatinya jauh lebih berkobar dari bara api yang menyala. Jarinya menggenggam kencang
sebatang pisau, setajam golok matanya menatap Yap Kay, katanya tandas, "Bukankah ini
pisaumu?" Yap Kay tidak menjawab, tidak bisa menjawab, memang pisau itu mirip benar dengan pisau
miliknya, tapi pisau itu terang bukan miliknya. Tidak banyak orang yang bisa menggunakan pisau
ini, tapi bukan mustahil tiada orang yang tidak bisa menggunakan nya. Tapi sungguh dia tidak
habis pikir entah siapa yang mampu membuat pisaunya mirip kepunyaannya. Bahwasanya tiada
orang di dunia ini yang pernah melihat pisaunya itu.
Pho Ang-soat masih menatapnya, menunggu jawabannya. Terpaksa Yap Kay berkata dengan
tersenyum getir, "Membunuh siapa saja aku pakai pisau ini?"
"Kau bunuh cucu Kwe Wi, lalu membunuh Ong Toa-hong. Apa bukan?" tuduh Pho Ang-soat.
"Ong Toa-hong" Siapa pula Kwe Wi?"
"Kau suruh Ong Toa-hong membunuh orang, lalu kau membunuhnya pula untuk menutup
mulutnya."
"Jadi Cui long mati di tangan Ong Toa-hong?"
"Yang dipakai adalah pedang beracun, tapi cara kerjamu jauh lebih jahat dari pedangnya yang
beracun." Yap Kay menghela napas, ujarnya tersenyum kecut, "Umpama sekarang aku menyangkal
tuduhanmu, kau pun takkan mau percaya."
"Pasti tak percaya."
"Tapi tidak pernah terpikir olehmu, kenapa aku harus membunuh Cui long?"
"Yang ingin kau bunuh bukan Cui long, tapi aku."
"Kau" Kenapa aku hendak membunuh kau?"
Belum Pho Ang-soat bicara, laki-laki yang rebah di tanah itu mendadak mencelat bangun,
teriaknya, "Karena kau sudah dibeli oleh Ban be tong, secara kebetulan aku mencuri dengar
pembicaraan nya."
Tiba-tiba Pho Ang-soat membalik, menatap orang itu, bentaknya bengis, "Kau siapa?"
"Aku she Pek bernama Kian, teman-teman Kangouw menjuluki aku Pek bin long kun?"
"Kau pernah melihat Be Khong-cun?"
"Setiap hari aku melihatnya."
"Dimana dia sekarang?"
"Bunuh dia dulu, sembarang waktu aku bisa membawamu ke sana"
Membara pula muka Pho Ang-soat karena menahan emosi. Penguberan lama dan melelahkan
selama beberapa hari tanpa hasil kini tanpa sengaja memperoleh kabar jejaknya. Kini terbetik
setitik harapan menuntut balas akan dendam membara yang selalu mengganjal dalam
sanubarinya. Terkepal kedua jari-jari tangan Pho Ang-soat, tak tertahan air mata berlinang di
kelopak matanya.
Kata Pek Kian, "Aku kemari, maksudku hendak mengajakmu menemui Be Khong-cun, tapi
dia...." "Dia memang sudah harus mampus," tukas Pho Ang-soat kasar.
Pek Kian sudah menghela napas lega, sorot mata dan mulutnya sudah menyungging
senyuman. Tapi sekonyong-konyong sinar kemilau tiba-tiba berkelebat di depan matanya, selarik
angin dingin menyerempet telinganya. Lalu disusul suara "Trap!", kembang api berpijar, sebatang
pisau terbang menancap di dinding gua di belakangnnya, pisau tipis dan sekecil itu, amblas
seluruhnya. Kontan Pek Kian merasakan kedua lututnya tiba-tiba menjadi lemas, berdiri pun tak kuat lagi.
Jelas dia melihat pisau itu semula berada di tangan Yap Kay, cara bagaimana Yap Kay turun
tangan, sedikit pun dia tidak melihatnya. Demikian pula Pho Ang-soat tidak tahu kapan pisau itu
melesat terbang, seketika mukanya pun berubah.
Terdengar Yap Kay berkata tawar, "Jika benar aku sudah dibeli oleh Ban be tong, orang ini
sekarang sudah menjadi mayat."
Sejenak Pho Ang-soat ragu-ragu, tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Sudah tentu di hadapanku
kau tidak akan membunuhnya untuk menyumbat mulutnya."
"Kau percaya obrolannya?"
"Hanya percaya pada kejadian yang kusaksikan sendiri. Aku dengan mata kepalaku sendiri aku
melihat Cui long roboh di hadapanku."
"Jadi kau benar-benar bertekad hendak membunuhku untuk membalas sakit hatinya?"
Pho Ang-soat tidak banyak kata lagi. Tahu-tahu goloknya sudah bergerak. Lebih cepat dari
sambaran kilat, lebih menakutkan dari kilat. Tiada orang yang bisa melukiskan, karena begitu
golok ini bergerak seolah-olah dia dilandasi kekuatan dahsyat yang datang dari neraka. Selamanya
belum pernah ada orang yang mampu lobos dari sambaran golok ini.
Tapi Yap Kay tahu-tahu menghilang. Begitu golok Pho Ang-soat bergerak, bayangannya tibatiba
berkelebat pula mencelat mundur tiga tombak, seperti cecak menempel di dinding. Di saat
golok tajam belum meninggalkan sarungnya, badannya sudah mencelat dan berjumpalitan ke
belakang. Gerakan mencabut golok Pho Ang-soat sudah dilatihnya berlaksa kali, gerakan yang paling
sempurna, bila goloknya sampai meninggalkan sarungnya, takkan ada orang yang mampu
meloloskan diri dari serangan golok ini. Badan Yap Kay justru seperti diantar hembusan angin.
Agaknya dia sudah mempersiapkan diri untuk menghindarkan tabasan golok ini.
Hanya Pho Ang-soat saja yang tahu betapa indah dan cepat gerakan jumpalitan berkelit dari
tabasan goloknya. Telapak tangan yang menggenggam gagang golok sudah berkeringat.
Mengawasinya, tiba-tiba Yap Kay bersuara, "Cara ini kurang adil."
"Kenapa tidak adil?"
"Kau membunuhku, aku mati penasaran, tapi jika sebaliknya aku yang membunuhmu?"
Ting Hun-pin segera menyeletuk, "Jika kau mati, siapa lagi yang mewakili kau mencari Be
Khong-cun" Memangnya kau sudah melupakan dendam kesumatmu?"
Mana Pho Ang-soat bisa melupakannya! Hidupnya memangnya untuk memikul beban dendam
kesumat ini, umpama dia ingin melupakan, juga takkan bisa melupakan.
Dengan menenteng goloknya yang sudah keluar dari sarungnya, Pho Ang-soat menjublek, dia
tidak tahu apakah harus melanjutkan serangan goloknya yang kemilau bening seperti selalu
ketagihan darah itu.
Pek Kian mengertak gigi dengan bersitegang leher, sorot matanya diliputi warna darah saking
menahan gejolak hati. Dia sudah melihat keraguan Pho Ang-soat, dia pikir bila Yap Kay tidak
mampus, maka dirinya yang ajal. Biasanya dia licik dan culas, tapi di bawah tekanan ancaman
kematian, otaknya menjadi bebal seperti babi gobloknya. Mendadak dia berseru,
"Kenapa tak lekas kau turun tangan" Waktu kau rebah di atas tanah tadi, bila aku tidak
menolongmu, dia sudah membunuhmu, memangnya kau masih hendak memberi kesempatan pula
kepadanya?" Pikirnya hasutannya amat manjur, kalau dia sendiri dalam keadaan seperti Pho Angsoat,
sekarang mungkin sudah kalap dan beringas, takkan memberi kesempatan kepada musuh.
Tapi dia salah besar. Dia lupa dan mungkin tidak tahu bahwa Pho Ang-soat bukan laki-laki seperti
yang dia ukur dengan bajunya.
Tiba-tiba Pho Ang-soat menghadapnya pula, setajam golok matanya menatap lekat-lekat,
tanyanya sepatah demi sepatah, "Tadi kau yang menolongku?"
Sekuat tenaga Pek Kian manggut-manggut.
"Kenapa kau menolongku?"
"Karena aku hendak mengajakmu membunuh Be Khong-cun, sehari Be Khong-cun tidak
mampus, sehari hidupku takkan tenteram." Penjelasan ini cukup adil dan masuk akal, dia merasa
puas dan bangga.
Tak nyana Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa dingin, "Masih ada sebuah hal yang belum
kumengerti."
"Hal apa?"
"Kalau dia benar-benar hendak membunuh aku, memangnya kau mampu menolong aku?"
Seketika Pek Kian melongo. Akhirnya dia mengerti, meski pemuda ini cacad, mengidap penyakit
yang bisa kumat sembarang waktu, terang bukan pemuda hijau dan bodoh seperti yang dia kira
semula. Baru sekarang dia benar-benar sadar, barusan dia melakukan tindakan yang paling
goblok. Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasinya, mengawasi keringat bercucuran membasahi
badannya, rona matanya seperti mengawasi anjing liar yang diusir dari tumpukan sampah. Seperti
muak mengawasi orang, kepala Pho Ang-soat tertunduk, katanya dingin, "Seharusnya kubunuh
kau." Mengawasi goloknya, sekujur badan Pek Kian gemetar. "Tapi orang serendah dirimu
bahwasanya tidak setimpal aku yang turun tangan."
Kaki Pek Kian jadi lemas, badannya roboh menindih dinding, siapa pun yang berhasil
merangkak keluar dari jurang kematian, takkan luput seperti keadaannya sekarang.
"Aku tidak membunuhmu," ujar Pho Ang-soat lebih lanjut, "maka jangan kau memaksaku."
"Aku aku mengerti."
"Apa benar Be Khong-cun masih hidup?"
"Takkan salah."
"Kau membawaku ke sana" Atau ingin mati di sini" Boleh kau pilih satu di antara dua jalan ini,"
dia tidak menambahkan peringatannya, tak meliriknya lagi. Karena orang toh tiada kesempatan
untuk memilih lagi.
Mengawasi orang, Yap Kay tertawa riang, katanya, "Agaknya sudah banyak kemajuanmu."
Pho Ang-soat masih mengawasi goloknya sendiri. Sejak kematian Cui long, baru sekarang
mendadak dia merasa keyakinan yang teguh pada sanubarinya. Diangkatnya kepala mengawasi
Yap Kay, katanya, "Hari ini aku boleh melepas kau pergi, tapi perhitungan kita tetap akan
kubereskan."
"Aku mengerti."
"Kapan" Di tempat mana" Boleh kau tentukan sendiri."
"Waktu dan tempatnya tidak perlu ditentukan lagi."
"Kenapa?"
"Aku sedang menganggur, sekarang aku boleh ikut kau."
"Asal aku melihat Be Khong-cun, takkan ada orang yang mampu menolongnya."
"Bukan aku ingin menolongnya, tapi aku ingin melihat keramaian"
"Melihat aku membunuh Be Khong-cun, baru menunggu aku membunuhmu?"
"Umpama kau merubah niatmu tidak akan membunuhku, aku pun tidak akan menantangmu."
"Kau boleh menonton atau menunggu, peduli dia yang membunuhku atau aku yang
membunuhnya, lebih baik kalau kau tidak turut campur."
"Baik, aku berjanji."
"Di tengah jalan, lebih baik kalian jauh di belakang jangan sampai aku melihat kalian." Dia tidak
akan senang melihat muda-mudi lain berpasang-pasangan, dia lebih suka sebatang kara.
Yap Kay cukup merasakan pukulan batinnya, katanya tertawa, "Sebetulnya kau tidak perlu
minta orang ini menunjukkan jalan."
"Kenapa?"
"Karena aku sudah ingat akan asal-usulnya."
"Oh, dia orang mana?"
"Dia orang Liong hou ce. Be Khong-cun selama ini tentu menyembunyikan diri di Liong hou ce."
Pucat menghijau muka Pek Kian, secara tidak langsung dia sudah mengakui bahwa Be Khongcun
memang berada di Liong hou ce. Hidupnya sudah tidak berharga lagi bagi orang lain. Dia kira
Yap Kay takkan mengampuni jiwanya. Sayang dia salah sekali lagi. Dia lupa bahwa Yap Kay
merupakan manusia jenis lainnya lagi, bukan laki-laki seperti dirinya.
Tiba-tiba Ting Hu-pin cekikikan mengawasi dirinya, katanya, "Tak usah kuatir, walau mereka
tidak perlu kau menunjukkan jalan, jiwamu takkan dibunuh, karena mereka bukan manusia jahat
yang berhati kejam."
Pek Kian menyeka keringat, katanya tersendat, "Aku...aku tahu
mereka adalah orang baik-baik."
"Mereka memang orang baik, tapi aku bukan."
Seketika pucat pula muka Pek Kian, serunya, "Kau...."
"Aku hanya seorang perempuan, perempuan biasanya berpikiran sempit, oleh karena itu selalu
kau harus ingat, siapa pun boleh kau permainkan, namun jangan kau main-main dengan
perempuan."
Bercucuran pula keringat Pek Kian, katanya meratap, "Selanjutnya aku pasti pasti ingat."
"Benarkah selama hidupmu tidak akan melupakannya?"
"Benar, aku bersumpah."
"Sayang aku tidak percaya omonganmu."
"Kau... dengan cara apa baru kau mau percaya?"
"Hanya ada satu cara."
Mengawasi rona mukanya, tiba-tiba Pek Kian sadar cara apa yang dia maksud, mendadak
dengan sisa tenaganya dia menerjang keluar. Kali ini dia tidak salah. Walau dia tidak mengerti apa
itu yang dinamakan Enghiong dan Kuncu, tapi cukup mengerti akan watak perempuan. Waktu dia
melangkah keluar gua, tiba-tiba didengarnya suara kelintingan yang nyaring merdu mengejar di
belakang. Dan suara itulah yang didengarnya terakhir kali.
Malam semakin larut. Cuaca yang tambah pekat menandakan hari menjelang terang tanah.
Pho Ang-soat mengawasi Pek Kian tersungkur roboh di kegelapan, dia berpaling kepada Yap
Kay, katanya dingin, "Tidak seharusnya kau biarkan dia mati."
"Tapi dia pun tidak pantas berbuat dosa terhadap perempuan."
"Jika Be Khong-cun tidak berada di Liong hou ce?"
"Dia pasti di sana."
Sayang kali ini Yap Kay salah. Be Khong-cun tidak berada di Liong hou ce, di sana sudah
kosong tiada seorang pun yang ketinggalan hidup.
Darah yang berceceran sudah membeku, mayat-mayat yang bergelimpangan pun sudah kaku
dingin. Yap Kay bukan laki-laki yang tidak pernah melihat darah dan mayat, namun sekarang dia
hampir muntah-muntah. Bukan saja di sini dia tidak menemukan seorang hidup, malah tiada
sesosok mayat pun yang utuh jasadnya.
Pho Ang-soat sebaliknya menggenggam kencang goloknya, sekuat tenaga dia menahan diri, toh
tidak tertahan muntah-muntah juga, dia tidak tega melihat pemandangan yang begini mengerikan.
Apakah begini juga keadaan sembilan belas tahun yang lalu di luar Bwe hoa am dulu" Belum
pernah dia begitu membenci Be Khong-cun seperti sekarang. Karena dia sekarang menyaksikan
sendiri betapa kejam dan culas manusia bernama Be Khong-cun itu.
Entah berapa lama kemudian baru Yap Kay menarik napas panjang, katanya, "Tentu dia sudah
tahu bila Pek Kian mencari dan mengundangmu kemari, maka dia turun tangan sekeji ini."
Pho Ang-soat tidak memberi komentar, asal dia buka suara, rasanya hendak muntah-muntah.
Yap Kay berjongkok dengan dua jarinya dia menjumput tanah yang berlepotan darah, tanah itu
masih basah, sinar surya tidak menyorot sampai di sini, darah memang sudah membeku, tapi
belum kering seluruhnya. Maka Yap Kay berani berkepastian, "Agak belum lama dia pergi."
Ting Hun-pin melengos, katanya dengan menutup muka, "Tapi siapa yang tahu ke jurusan
mana dia melarikan diri?"
"Tiada yang tahu," sahut Yap Kay. Matanya menatap ke tempat jauh, sorot matanya dijalari
amarah, lama sekali dia baru menyambung, "Aku hanya tahu, orang seperti dia kemana dia pergi,
takkan pergi jauh."
"Kenapa?"
"Karena jalan mana pun akhirnya akan habis dia lalui."
BAB 42 JALAN BUNTU PISAU PAMUNGKAS
Umpama seseorang sudah habis melalui jalan yang harus ditempuhnya, umpama sudah tiada
jalan yang bisa dia lalui, dia pun takkan mau berhenti. Karena dia masih punya semacam jalan
lain. Jalan buntu.
Tiada orang yang suka rela menempuh jalan buntu, tapi jika kau benar-benar tidak mau,
takkan ada orang yang memaksamu untuk menuju ke jalan buntu hanya dirimu sendiri.
Jalan pegunungan amat sempit dan tidak rata, terjal dan berbatu, ada batu runcing setajam
tatah, seperti bor. Tapi di depan masih ada jalan. Sebidang hutan yang rimbun menutupi cahaya
matahari yang semakin terik menyengat kulit.
Ban be tongcu menanggalkan topi rumputnya yang lebar, duduk di tanah, bersandar di pohon
mengatur napas. Ingin dia menggunakan topi rumputnya mengipas diri supaya terasa segar, tapi
terasa lengannya amat linu beku, diangkat pun rasanya amat berat. Dulu dia tidak pernah
merasakan hal seperti ini.
Dulu berapa banyak manusia yang dia jagal, tak pernah merasa lelah, ada kalanya semakin
banyak dia membunuh orang, semangatnya malah berkobar, dulu pernah dia merasa dirinya
manusia luar biasa, makhluk aneh setengah malaikat setengah binatang. Selamanya dia
beranggapan tenaga dan kekuatannya takkan pernah habis digunakan. Sekarang baru dia
mengerti bahwa dirinya tidak lebih hanya manusia biasa, seorang tua yang sekujur badannya
terasa sakit dan linu. hatinya diliputi kegelisahan.
"Kenapa aku seperti juga orang lain, bisa berubah jadi tua dan lemah?" Tua memang suatu hal
yang sering membuat orang sedih, namun hanya amarah, penasaran dan dendam yang
bersemayam dalam sanubarinya. Terhadap setiap persoalan dia selalu dihayati dendam.
Dianggapnya dunia sudah berlaku tidak adil kepada dirinya. Sejak muda dia berjuang seumur
hidup, darah dan keringat yang dia cucurkan puluhan lipat lebih banyak dari orang lain. Tapi
sekarang dirinya bagai binatang yang diburu pemburu, lari sana sembunyi sini, melarikan diri dari
pertanggung jawaban ....


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia pernah memiliki bumi yang paling besar di dunia ini, namun sekarang tempat untuk
berteduh pun tiada lagi. Dia pernah memiliki rombongan kuda yang paling tinggi mutunya di dunia
ini, sekarang dia harus lari menggunakan kedua kakinya sendiri, sampai telapak kakinya tertusuk
berdarah oleh batu runcing. Sudah tentu dia marah penasaran dan dendam. Karena tidak terpikir
dalam benaknya, siapa yang membuat akibat ini. Atau mungkin dia memang tidak berani
memikirkannya. Sim Sam-nio duduk di hadapannya, duduk di atas sebuah buntalan yang amat besar, napasnya
pun tersengal-sengal, biasanya perempuan ini paling pintar berdandan dan memelihara tubuh, tapi
sekarang badannya penuh berlepotan darah, debu, lumpur, sepatu yang dipakainya pun sudah
tipis hendak robek berlubang, malah telapak kakinya pun sudah berdarah.
Badannya sudah lunglai, karena barusan dia muntah-muntah, dari atas sanggulnya tadi dia
menurunkan sekeping dagu manusia. Bila angin berhembus, badannya lantas merasa kedinginan,
tapi lantaran dibayangi ketakutan.
Baju di depan dadanya sudah terbelah, hanya serambut saja golok Tok gan liong hampir
membuat dadanya terbelah. Namun dalam hatinya tidak merasa dendam. Karena semua ini dia
sendiri yang mencarinya, tidak bisa menyalahkan orang lain.
Dia tahu Ban be tongcu sedang mengawasi dirinya, biasanya bila orang memandangnya, segera
dia menyunjuk senyuman manis dan genit, tapi sekarang dia tetap tunduk, mengawasi dadanya
yang memutih karena bajunya sudah koyak.
Tiba-tiba Ban be tongcu menghela napas, katanya, "Dalam buntalan masih ada pakaian,
kenapa tidak kau ganti yang lain?"
"Baik, biar aku ganti." Namun jangan toh ganti, bergerak pun tidak. Biasanya apa pun yang
dianjurkan Ban be tongcu selalu dituruti. Ban be tongcu menatapnya lekat-lekat, lama sekali baru
bertanya kalem, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Apa pun tidak kupikirkan," sahut Sim Sam-nio.
"Tapi kulihat kau sedang banyak pikiran."
"Umpama aku sedang memikirkan apa-apa, rasanya tak perlu kuberitahukan kepadamu "
Kulit daging ujung mulut Ban be tongcu tiba-tiba terasa kaku, seolah-olah mulutnya digampar
orang. Mungkin perempuan ini pernah menipunya, menjual dirinya, tapi belum pernah sebandel
dan seberani ini membantah kepadanya, dan ini untuk pertama kalinya.
Cuma sekarang dia sudah tua, sudah cukup pintar untuk memandang perempuan sebagai
kuda, sudah tentu dia takkan berbuat seperti anak-anak muda pada umumnya, memburu maju
terus menjambak rambutnya dan menghajar sepuas hati, kenapa kau berubah" Dia hanya tertawa
saja, katanya, "Kau sudah letih, pergilah cuci muka, mungkin semangatmu akan lebih baik."
Di luar hutan terdengar gemercik suara air mengalir, tak jauh dari tempat mereka duduk bisa
ditemukan sebuah sumber air yang mengalir.
Tapi dia tidak bergerak, sekilas Ban be tongcu memandangnya, pelan-pelan dia pejamkan
mata, dia enggan mempedulikan orang lagi. Tak disangka Sim Sam-nio malah bersuara, "Tadi kau
tanya apa yang sedang kupikirkan, sebetulnya tidak ingin kuutarakan, tapi sekarang sudah tiba
saatnya aku harus mengemukakan isi hatiku."
"Baik, katakan."
"Tidak pantas kau bunuh mereka."
"Tidak pantas membunuh mereka?"
"Ya, tiada hak kau bunuh mereka."
Ban be tongcu masih memejamkan mata, namun kelopak matanya bergerak-gerak, lama
kemudian baru dia berkata pelan-pelan, "Kubunuh mereka karena menjual diriku, siapa yang
menjual diriku, harus mampus."
Bibir Sim Sam-nio hampir berdarah tergigit kencang, agaknya dia mengendalikan diri, tapi tak
urung dia berkata pula, "Apakah orang-orang itu semuanya menjual dirimu. Apakah anak-anak
dan perempuan itu mendurhakai kau" Kenapa kau bunuh mereka seluruhnya?"
"Karena aku harus hidup."
Tiba-tiba Sim Sam-nio tertawa dingin, katanya, "Kau hendak hidup memangnya orang lain tidak
ingin hidup" Kalau kita ingin pergi, tiada seorang pun di antara mereka yang kuasa menahanmu,
kenapa kau harus turun tangan sejahat itu?"
Tiba-tiba terkepal kencang jari-jari Ban be tongcu, otot merongkol di punggung tangannya,
sesaat kemudian baru pelan-pelan mengendor dan dilepaskan pelan-pelan pula, lalu berdiri dan
beranjak keluar hutan.
Air sumber dingin dan bening, Ban be tongcu berjongkok menggayung air dengan kedua
telapak tangannya, begitu air mengalir dari celah-celah tangannya, perasaannya semakin tenang.
Hanya dia sendiri yang tahu bilamana dia murka, ada kalanya dia pun tak kuasa mengendalikan
emosinya. Punggungnya masih tegap, pinggangnya lencir, dilihat dari belakang, siapa pun takkan
menyangka dia adalah seorang yang sudah tua. Sim Sam-nio sendiri mengakui, Ban be tongcu
memang seorang laki-laki yang lain dari yang lain.
Semula demi menuntut balas dia rela menyerahkan diri memberikan kesuciannya, tapi setelah
orang menggauli dirinya, tiba-tiba dia merasakan kepuasan hingga dia merasa senang. Rasa
kepuasan semacam itu belum pernah dia nikmati dari laki-laki mana pun. "Apakah lantaran
kepuasan itu, maka aku rela mengikuti jejaknya?" tiba-tiba hatinya bertanya-tanya.
Ban be tongcu merasakan orang berada di belakangnya, namun dia tidak berpaling. Setelah
melewati sungai kecil ini, jalan pegunungan akan berakhir, dari tempat ketinggian di depan sana.
Memandang ke tempat jauh, berkata Ban be tongcu, "Setiba di bawah gunung, kita bisa mencari
rumah petani untuk menginap semalam...."
Tiba-tiba Sim Sam-nio menukas, "Selanjutnya bagaimana?"
Ban be tongcu menepekur, lama kemudian baru bersuara, "Kau tanya aku hendak berbuat apa"
Atau kita yang kau maksud?"
"Kutanya kau. Bukan kita."
Kaku badan Ban be tongcu.
Sim Sam-nio tidak mengawasinya, tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Apakah kau pun hendak
membunuh keluarga petani itu untuk menutup mulutnya?"
Tiba-tiba Ban be tongcu membalik badan, sambil menatapnya berkata, "Seorang waktu
melarikan diri, ada kalanya melakukan perbuatan memuakkan, tapi aku tak menyuruh kau ikut
aku, selamanya tidak pernah "
"Aku sendiri yang ingin ikut kau, kemana pun kau pergi, aku akan mengikutimu, kau hidup, aku
ikut hidup, kau mati aku pun mati." Suaranya sudah tersendat dan air mata berlinang, katanya
sesenggukan, "Sebetulnya aku sudah berkeputusan menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, karena
aku... aku merasa bersalah terhadap kau, peduli apa pun yang pernah kau lakukan dulu, kau tetap
adalah laki-laki sejati, tapi sekarang... sekarang...."
"Sekarang bagaimana?"
Sim Sam-nio menyeka air mata, sahutnya, "Sekarang kau sudah berubah." Sampai di sini
serasa hulu hatinya ditusuk sembilu, karena dia sendiri pun tahu, bukan saja Ban be tongcu yang
berubah, dirinya pun berubah.
Lama Ban be tongcu mengawasinya dengan teliti, akhirnya dia manggut-manggut, ujarnya,
"Baik, kau sendiri yang mau ikut padaku, kalau sekarang kau hendak pergi, sudah tentu aku tidak
akan memaksamu."
"Aku sudah memikirkan dengan seksama, aku akan pergi dengan membawa kebaikan bagi
dirimu." "Terima kasih akan perhatianmu, aku tahu akan maksud baikmu," suaranya datar dan tawar.
"Selanjutnya kau hendak pergi kemana" Bagaimana pula rencanamu?"
"Sekarang belum ada rencana, mungkin... mungkin aku akan berusaha mengumpulkan sedikit
uang, berdagang dulu kecil-kecilan atau mungkin aku kembali ke kampung untuk bercocok tanam
di sawah."
"Kau bisa hidup dengan cara itu?"
"Dulu sudah tentu aku tidak bisa, tapi sekarang aku hanya ingin hidup tenang dan tenteram,
umpama ajal juga tidak menjadi soal."
"Kalau tidak sampai mati?"
"Kalau tidak mati, aku akan jadi Nikoh saja."
Ban be tongcu tertawa, katanya, "Tak usah kau utarakan maksudmu ini, aku tahu kau
perempuan yang tak mungkin sudi jadi biarawati, yang benar usiamu masih muda, kau harus
mencari laki-laki yang masih muda, laki-laki yang romantis dan tahu kasih sayang terhadap bini,
aku sendiri memang terlalu tua bagi jodohmu." Mulutnya tersenyum, namun sorot matanya
memancarkan rasa cemburu dan marah.
Sim Sam-nio tidak melihatnya, katanya menghela napas, "Aku takkan mencari laki-laki lain,
aku...." "Mungkin kau tidak akan mencari laki-laki, tapi bukan mustahil ada laki-laki yang mencarimu."
"Mungkin... apa yang akan terjadi besok pagi memang tiada manusia yang bisa menduganya."
"Sebetulnya aku cukup kenal watakmu, perempuan seperti kau asal tiga hari tidak ditemani
laki-laki, kau takkan bisa hidup tenteram."
Sim Sam-nio tersentak, mengangkat kepala, dengan kaget dia pandang Ban be tongcu.
Sungguh tidak pernah terpikir olehnya orang bakal mengeluarkan kata-kata sekasar dan sekotor
ini, ucapan yang begini menakutkan.
Biji mata Ban be tongcu pun sudah merah karena marah. Sebetulnya dia berusaha
mengendalikan diri, menjadi laki-laki yang bersikap jantan, namun terbayang adegan ranjang yang
merangsang itu, terbayang bahwa kelak dia bakal tidur seranjang dengan laki-laki lain, teringat
laki-laki muda yang bakal merayapi badannya seperti anjing kelaparan itu... tiba-tiba hatinya
seperti digerogoti oleh ular beracun, tiba-tiba katanya dingin, "Oleh karena itu aku usulkan lebih
baik kau jadi pelacur saja, paling tidak setiap hari kau bisa berganti seorang laki-laki."
Bercucuran keringat dingin Sim Sam-nio, rasa sesal dan bertobat dalam sanubarinya tadi
seketika berubah menjadi amarah yang meluap, mendadak dia berkata keras, "Usulmu ini
memang baik, mungkin akan kulaksanakan, cuma sehari ganti satu laki-laki terlalu sedikit, tidak
cukup memuaskan, lebih baik kalau sehari bisa ganti tujuh-delapan laki-laki. Belum habis dia
bicara, tiba-tiba Ban be tongcu melayangkan telapak tangannya menggampar pipinya, sekali
renggut dia jambak rambutnya pula, bentaknya beringas, "Sekali kau katakan lagi, kubunuh kau."
Sim Sam-nio mengertak gigi, katanya menyeringai dingin, "Lebih baik kau bunuh aku, memang
sudah lama kau harus membunuhku, supaya aku tidak menemani kau tidur lagi, hatiku sudah
muak." Tahu dirinya takkan bisa melukai orang, kecuali dengan sindiran tajam ini.
Kepalan Ban be tongcu sudah terangkat. Sorot mata Sim Sam-nio sudah membayangkan
ketakutan, dia tahu kepalan orang yang menakutkan, sekali kepalan ini menggenjot, muka orang
bisa dipukulnya hancur. Tapi dia tidak meratap dan minta ampun. Matanya masih terbelalak
melotot tajam. Ban be tongcu balas mendelik, sekian lama mereka saling pelotot, akhirnya Ban be tongcu
menghela napas, kepalan yang terangkat diturunkan, lalu diulapkan tangannya, katanya,
"Pergilah, lekas pergi, lebih baik selamanya kau tidak muncul di hadapanku, lebih baik...."
Suaranya tiba-tiba terputus. Tiba-tiba dia melihat selarik sinar pisau berkelebat melesat dari
belakang Sim Sam-nio.
Tampak raut muka Sim Sam-nio tiba-tiba berkerut-kerut menahan sakit. Biji matanya yang
indah dan elok melotot membundar hampir melotot keluar, sorot matanya mengandung rasa
heran, tak mengerti, ketakutan dan menderita, tangannya terulur hendak minta bantuan Ban be
tongcu untuk memapak, tapi Ban be tongcu malah mundur setapak. Tenggorokannya berbunyi
"krak", seperti hendak bicara, namun belum sempat suaranya terdengar badannya sudah
tersungkur roboh.
Sebatang pisau tampak menancap di punggungnya, menembus tulang punggungnya. Itulah
sebilah pisau kecil.
Melihat pisau ini semula Ban be tongcu merasa gusar dan heran, tapi mendadak mimiknya
berubah ketakutan. Sebetulnya dia ingin maju memapaknya, namun mendadak dia menyurut
mundur malah keringat dingin sudah bercucuran dari kepalanya.
Pisau terbang ini melesat dari dalam hutan, namun hutan yang gelap gulita di sana tak
kelihatan bayangan seorang pun. Ban be tongcu terus menyurut mundur, paras mukanya sudah
berubah saking ketakutan, mendadak dia putar badan, sekali lompat dia melewati sungai kecil,
tanpa berpaling terus lari lintang-pukang.
Sim Sam-nio mendekam di tanah, dia meronta-ronta, mulutnya mengeluh dan merintih. Tapi
laki-laki yang diandalkannya tak menolongnya malah lari sipat-kuping. Mendengar langkah orang
menuju bawah bukit, hatinya menjadi dingin dan mendelu.
Mimpi pun tak pernah dia duga, laki-laki yang begitu kejam, telengas, kadang kala beringas dan
buas, kini baru menunjukkan belangnya, jiwanya ternyata begitu kerdil dan rendah serta hina,
malah melarikan diri. Baru sekarang benar-benar dia menyadari hidupnya selama ini ternyata siaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sia belaka, segala pengorbanannya pun nihil, karena dia sudah memasrahkan jiwa raga dan
kehidupannya kepada seorang laki-laki pengecut.
Waktu darah merembes dari ujung mulutnya, air matanya tak tertahan bercucuran. Pada saat
itu juga dia mendengar langkah kaki seseorang mendatangi diiringi helaan napas.
"Tak nyana memang Ban be tongcu laki-laki demikian umpama dia tidak bisa menuntut balas
bagimu, paling tidak harus merawat luka-lukamu, tapi larinya malah lebih cepat dari anjing." Dari
suaranya, sepertinya laki-laki yang masih muda, laki-laki asing. Orang inikah yang membokong
dirinya dari belakang"
"Walaupun kau mati di tanganku, tapi kau patut membencinya, karena dia lebih berdosa
daripadaku terhadapmu."
Kiranya benar, memang orang ini yang menurunkan tangan keji. Sim Sam-nio mengertak gigi,
dia meronta hendak membalik badan melihat orang di belakangnya, sedikitnya dia harus melihat
siapa sebenarnya yang membunuhnya" Tapi kaki orang itu sudah menginjak punggungnya,
katanya tertawa dingin, "Jika kau ingin melihat aku, tak usahlah, yang terang kau toh tidak kenal
siapa aku, hakikatnya kau belum pernah melihatku."
Dengan mengerahkan setaker tenaga, Sim Sam-nio bersuara serak "Lalu kenapa kau
membunuh aku?"
"Karena kurasa hidupmu di dunia ini sudah tiada artinya lagi," sahut orang. "Lebih baik kau
mati saja."
Sim Sam-nio mengertak gigi, menahan sakit, mau tidak mau harus mengakui kebenaran
ucapan orang, memang tadi pernah timbul keinginan begitu dalam benaknya.
"Jika aku jadi perempuan, jika ikut laki-laki seperti Be Khong-cun, aku takkan mau hidup lagi,
cuma... mati, mempunyai rasa yang berbeda-beda."
"Sekarang kau belum ajal, tiada halangan kuberitahukan kepadamu, ada kalanya mati malah
lebih nyaman daripada hidup, tapi mati harus cepat, kalau pelan-pelan, deritanya sungguh tak
tertahankan"
Sim Sam-nio meronta, katanya gemetar dengan napas memburu, "Kau... masa kau masih ingin
menyiksaku?"
"Tergantung kau sendiri, asal kau mau mendengar omonganku, aku boleh memberi kematian
yang nyaman kepadamu."
"Apa keinginanmu?"
Terjulur tangan orang itu menjinjing buntalan besar itu, katanya, "Buntalanmu ini tidak kecil,
tapi harta milik Ban be tong bukan hanya ini saja, sebelum kalian lari, dimana kalian menyimpan
harta bendanya?"
"Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu."
"Sekali lagi kau mengatakan tidak tahu, kubelejeti pakaianmu, biar kurasakan dulu kenikmatan
badanmu, baru kuputus urat nadi kakimu, lalu kubawa ke kota dan dijual ke sarang pelacuran."
Dia tersenyum senang, lalu meneruskan, "Ada laki-laki yang tidak suka pilih-pilih, perempuan
cacad pun bolehlah."
Dingin sekujur badan Sim Sam-nio, cara bicara orang ini halus dan sopan, tentunya seorang
pemuda terpelajar yang tahu aturan dan kesopanan. Tapi apa yang dia katakan dan dia lakukan,
sungguh lebih kejam dan buas dari binatang liar.
Terdengar orang itu berkata pula, "Sekarang kutanya sepatah kata lagi, kau tahu tidak?"
"Aku... aku...."
Sekoyong-koyong dari hutan sebelah sana terdengar berkumandang suara kelintingan
berdering. Suara seorang gadis yang merdu berkata, "Aku tahu dia pasti lari lewat jalan ini, aku
punya firasat."
Seorang laki-laki terdengar tertawa.
Gadis itu berkata lebih keras, "Apa yang kau tertawakan" Ketahuilah, jangan kau pandang
ringan firasat perempuan, ada kalanya jauh lebih manjur dari ramalan Cukat Liang si ahli
perbintangan dan nujum itu. "
Sim Sam-nio belum pernah mendengar suara gadis ini, tapi suara tawa laki-laki itu sudah amat
dikenalnya. Tiba-tiba ia teringat siapa gerangan orang ini, jantungnya seketika berdetak keras.
Disusul tiba-tiba dia menyadari, orang yang menginjakkan kaki di punggungnya entah kapan tahutahu
sudah menghilang tanpa bekas.
Waktu Yap Kay keluar dari dalam hutan, pandangan pertama yang dilihatnya adalah
perempuan yang rebah tengkurap di pinggir sungai.
Sudah tentu dia pun melihat pisau yang menancap di punggung orang itu. Sang korban masih
hidup, napasnya tersengal-sengal. Lekas dia memburu maju terus memapahnya duduk, mendadak
dia berteriak kaget, "Sim Sam-nio!"
Sim Sam-nio tertawa, tawa yang pilu dan rawan Sebetulnya dia tak ingin dalam keadaan seperti
ini berjumpa Yap Kay, tapi setelah berhadapan, hatinya terasa sedap dan hangat. Mulutnya
merintih, tiba-tiba dia bersenandung lirih, "Langit bergoncang, bumi bergoyang. Manusia secantik
dan semulus batu giok, berbadan harum bagai kembang. Sim Sam-nio dari Ban be tong...."
katanya memilukan, tanyanya lirih, "Masih kau ingat akan nyanyian ini"
Sudah barang tentu Yap Kay masih ingat. Itulah syair lagu yang dia nyanyikan di tengah
padang rumput pada malam hari waktu dia bertemu dengan Sim Sam-nio. Tak nyana Sim Sam-nio
masih mengingatnya sampai sekarang.
"Tentu kau tidak mengira aku masih mengingatnya, malam itu."
"Aku hanya ingat orang yang menemani aku minum malam itu bukan kau," tukas Yap Kay
tertawa pilu juga.
"Aku pun ingat, malam itu hakikatnya kau tidak pernah berkunjung ke tempat itu." Habis
mengucapkan omongannya, darah kembali merembes dari ujung mulutnya.
Dengan ujung jarinya Yap Kay menyeka darah yang meleleh, di samping berduka, dia amat
marah pula. tanyanya, "Apakah Ban be tongu pula yang turun tangan sekeji ini?"
"Bukan dia!"
"Siapa kalau bukan dia?"
"Seorang pemuda, melihat pun tidak bayangannya."
"Lalu darimana kau tahu dia seorang pemuda?"
"Karena aku mendengar suaranya, barusan dia sedang memeras aku, dia mengompas
keterangan tempat penyimpanan harta Ban be tong. Mendengar suara kalian baru dia lari."
"Mana Be Khong-cun?"
"Dia pun pergi, seperti mendadak melihat setan, lari lintang-pukang ke bawah gunung...."
"Kenapa dia lari?" berkerut alis Yap Kay. "Apa yang dia lihat?"
"Tentu dia mengira kalian mengejar tiba, dia...."


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Yap Kay tiba-tiba bersinar, teriaknya tertahan, "Tentunya dia melihat pisau di
punggungmu ini!"
Pisau terbang sepanjang tiga dim tujuh mili.
Yap Kay menyobek pakaiannya, menggunakan obat luka yang dibawanya dia menyumbat luka
di punggung Sim Sam-nio.
Pisau yang tipis dan tajam kemilau memancarkan sinar ditimpa sinar matahari, sinar ini
menyilaukan mata Pho Ang-soat. Rona mukanya berubah.
Tiba-tiba Yak Kay berpaling, katanya, "Tentunya kau telah melihat pisau seperti ini!"
Lama sekali baru Pho Ang-soat manggut-manggut. Tidak bisa tidak ia harus mengakui.
Pertama kali melihat pisau macam ini, di toko kelontong Li Ma-hou, kedua kali di jalan raya
yang baru saja dicuci air darah, ketiga kali di dalam kamar remang yang meninggalkan kesan
mendalam, dimana jenazah kekasihnya rebah tak bernyawa lagi.
Semua kejadian masih segar dalam ingatannya, mesti dia pejamkan mata, tetap terbayang
olehnya raut muka Li Ma-hou yang mengerikan, putus asa dan ketakutan, terbayang si bocah yang
terjengkang roboh dengan pisau menancap di lehernya... tapi semua dugaan dan analisanya
semula kini tumbang seluruhnya.
Yap Kay menatapnya, katanya kalem, " Sekarang tentunya kau sudah mengerti, pisau seperti
ini bukan aku saja yang bisa menggunakan nya."
Pho Ang-soat bungkam, terpaksa dia harus bungkam.
"Sebetulnya umpama benar aku hendak membokong mati seseorang, pasti akan menggunakan
pisauku, umpama terpaksa harus menggunakan pisau, sekali-kali tidak akan kubiarkan dilihat
orang." Tiba-tiba Pho Ang-soat bersuara, "Karena pisau itu amat luar biasa?"
"Boleh dikata demikian "
"Kalau orang lain tak bisa melihat pisaumu, cara bagaimana dia membuat dan menirunya?"
"Hal ini aku pun tidak habis mengerti, untuk menciptakan pisau seperti pisau ini memang bukan
suatu pekerjaan yang gampang. Yang terang siapa pun kalau dia ingin mencelakai jiwa orang, dia
harus banyak memeras keringat."
"Aku kira orang itu sengaja hendak memfitnah dan menjatuhkan tuduhan atas dirimu?"
"Memangnya kau belum bisa menilainya?"
Pho Ang-soat menunduk mengawasi golok di tangannya, setiap kali tidak mau menjawab suatu
pertanyaan selalu dia menunduk mengawasi goloknya sendiri.
"Orang itu sengaja hendak mengadu domba kepadamu supaya kau beranggapan bahwa
pembunuh Kwe Wi dan keluarganya adalah aku, kembali dia berusaha supaya kau mengira akulah
orang di belakang layar yang mengakibatkan kematian Cui long. Waktu itu Ting Hun-pin kebetulan
dibawa pergi Engkohnya, tiada seorang pun yang bisa membuktikan alibiku!" Setelah menghela
napas Yap Kay meneruskan,
"Tujuan dari perbuatannya ini adalah hendak mengadu bentrokan di antara kau yang
mendendam kepadaku, supaya kita berduel mengadu jiwa, lalu dia memungut keuntungannya."
Gemeratak gigi Pho Ang-soat, otot-otot hijau menghias lehernya, dia tetap bungkam.
"Agaknya dia memang sudah bekerja dengan segala perhatian dan rencana yang matang,
karena rencananya ini memang baik dan amat mendetail, sehingga aku tidak punya kesempatan
untuk membuktikan alibiku, untunglah kali ini dia sendiri menunjukkan kelemahan dan
kelalaiannya, kalau tidak, apa pun yang kujelaskan, pasti tak kau percaya."
Mau tidak mau Pho Ang-soat harus mengakui, memang sepatah kata pun orang tidak berusaha
menjelaskan kepadanya.
"Kali ini tentu dia tidak mengira bahwa kita tidak berduel hingga salah satu pihak babak belur.
celakanya malah bersama mencarinya." Dengan tertawa getir dia menambahkan, "Jika Sim SamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
nio meninggal dan kau tidak bersamaku, tentu kau bisa mengira pembunuh Sim Sam-nio adalah
aku pula, sekarang Be Khong-cun sendiri tentu juga berpikir demikian."
Selama ini Ting Hun-pin merengut saja di samping, tiada yang tahu kenapa dia mengambek.
Sekarang tak tahan dia menyeletuk, "Tidakkah kau bisa memikirkan siapa kiranya yang
membencimu" Begitu tega menggunakan cara keji ini hendak mencelakai kau?"
"Tidak pernah terpikir olehku, maka aku ingin menanyakan sampai jelas," waktu dia menunduk,
dilihatnya Sim Sam-nio tengah meronta mengangkat kepala, dengan sorot mata yang aneh sedang
mengamati Ting Hun-pin. Sebaliknya Ting Hun-pin juga sedang mengawasi dengan sorot mata
aneh pula. "Sim Sam-nio ini, kau belum pernah melihatnya...." Yap Kay hendak memperkenalkan.
"Aku tahu siapa dia," tiba-tiba Ting Hun-pin menukasnya. "Cuma belum tahu entah bagaimana
dia begini intim dengan kau, terhadapnya agaknya kau jauh lebih baik daripada terhadapku."
Baru sekarang Yap Kay tiba-tiba sadar kenapa orang merengut dan mengambek. Dia sedang
jelus. Sembarang waktu anak perempuan memang gampang cemburu, kalau sudah cemburu
omongan apa pun berani diucapkan. Tapi kenapa pula Sim Sam-nio mengawasinya dengan sorot
mata seaneh itu" Yap Kay tidak habis mengerti.
Ting Hun-pin tertawa dingin, ujarnya pula, "Hai, aku sedang bicara dengan kau, kenapa tidak
kau hiraukan ucapanku."
Bahwasanya Yap Kay memang tidak mau menghiraukan dirinya, bila orang sedang cemburu,
wah, lebih baik dia bungkam saja.
Tak nyana Ting Hun-pin malah naik pitam, katanya pula, "Kulihat di antara kalian seperti ada
suatu kenangan lama yang tidak bisa terhapuskan, apa perlu aku menyingkir dulu, supaya kalian
bisa bermesra-mesraan?"
"Ya. Memang begitu!" kata Yap Kay.
Ting Hun-pin melotot kepadanya, biji matanya tiba-tiba merah, dengan memonyongkan mulut
dan membanting kaki segera dia putar badan tinggal pergi. Yap Kay tiada niat menahannya.
Tiba-tiba Sim Sam-nio menghela napas, katanya, "Agaknya nona cilik ini amat mencintaimu,
tidak pantas kau membakar amarahnya."
"Tapi aku ada banyak pertanyaan ingin bertanya kepadamu."
"Bukankah kau hendak tanya laki-laki yang membokong aku tadi, logatnya bagaimana?"
"Berbincang dengan aku memang amat menyenangkan, seolah-olah kau sudah tahu dan
meraba isi hati orang lain saja."
Sim Sam-nio tertawa getir. Ban be tongcu adalah laki-laki yang tidak bisa menyelami watak dan
jiwanya, tapi dia pasrahkan nasib dan hidup kepadanya. Lalu apa pula gunanya dia
menyelaminya" Lama kemudian baru dia pompa semangat, katanya, "Orang itu bicara dengan
logat utara, usianya pasti tidak lewat tiga puluh, bicaranya lemah lembut, umpama dia hendak
membunuhmu, suaranya tetap lembut dan merdu, malah seperti dengan tersenyum."
"Memang banyak orang menyembunyikan golok di balik tawanya di dunia ini, hal itu tidak usah
dianggap istimewa."
"Tapi nada bicaranya ada bagian yang istimewa."
"Dalam hal apa?"
"Setiap kali dia mengatakan 'orang', lidahnya seperti tidak bisa terangkat, jadi kedengarannya
seperti mengatakan 'olang" suaranya persis benar dengan nona Ting tadi."
Akhirnya Yap Kay mengerti pula, kenapa tadi orang memandang Ting Hun-pin dengan sorot
begitu aneh. Kontan matanya bersinar terang, namun raut mukanya malah pucat, lebih pucat dan
menakutkan dari muka Pho Ang-soat.
Mengawasi mukanya, tak tahan Sim Sam-nio bertanya, "Kau sudah tahu siapa dia?"
Agaknya Yap Kay sedang menjublek, lama sekali baru dia geleng-geleng.
"Apa yang kau pikirkan?"
Kali ini Yap Kay seperti tidak mendengar apa yang ditanyakan karena di dalam kupingnya
seolah-olah mendengar ada seseorang sedang berteriak, "Orangnya sudah datang semua bukan?"
Seperti disambar geledek tiba-tiba Yap Kay berjingkat sendiri, mukanya yang pucat tiba-tiba
memancarkan rona merah yang aneh.
Pho Ang-soat tak tahan mengangkat kepala, mengawasinya dengan pandangan kaget. Sudah
tentu Ting Hun-pin jauh lebih kaget.
Meski dia jauh berdiri di sana, namun matanya sejak mula terus menatap Yap Kay. Belum
pernah dia melihat tingkah Yap Kay seaneh ini, malah membayangkan pun belum pernah.
Biasanya banyak orang mengakui bahwa Yap Kay seorang pemuda yang tabah dan besar nyalinya,
umpama kau iris putus hidungnya, mukanya tidak akan menampilkan mimik seaneh ini. Tiada
orang yang bisa melukiskan mimik wajahnya itu, tiada orang yang tahu apa yang terkandung
dalam pikirannya.
Melihat mimiknya itu hati Ting Hun-pin serasa hancur. Dalam hati barusan dia bersumpah,
selamanya takkan mempedulikan dia lagi. Tapi sekarang sumpahnya itu sudah dia lupakan sama
sekali. Tanpa kuasa segera dia memburu maju serta menarik lengan Yap Kay. Terasa jari-jarinya
dingin. Karena hatinya makin gugup, katanya sambil menempelkan tangan orang di mukanya,
"Kenapa kau berubah demikian rupa?"
"Aku... aku sedang marah."
"Marah kepada siapa?"
"Terhadapmu."
Ting Hun-pin menunduk dengan tertawa geli.
Tak tahan Yap Kay bertanya, "Aku marah kepadamu, kenapa kau malah tertawa?"
"Justru karena kau marah kepadaku, hatiku malah senang."
"Kenapa malah senang?"
"Karena... bila kau tidak menyukai aku, buat apa kau harus marah kepadaku?"
Yap Kay tertawa tertahan, cuma tidak tertawa lebar dan sewajar biasanya, dalam senyum
tawanya seperti mengandung sesuatu bayangan gelap yang dikuatirkan. Ting Hun-pin tidak
melihat perubahan rona tawanya, karena dia sudah merebahkan badannya dalam pelukan Yap
Kay, peduli berapa banyak orang di sekelilingnya, dia tidak peduli lagi, biasanya dia tidak pernah
menutupi rasa cintanya di hadapan orang.
Sebentar Pho Ang-soat mengawasi mereka, lalu dia putar badan, pelan-pelan turun gunung, air
sungai mengalir di bawah kakinya, namun halangan sekecil ini seperti tidak dilihatnya.
Yap Kay terseok-seok di belakangnya, "Tunggu sebentar, kita berangkat bersama, mencari Be
Khong-cun."
Pho Ang-soat anggap tidak mendengar, langkahnya pelan, tapi selamanya tidak pernah
berpaling. Yap Kay mengantar bayangan orang yang sebatangkara, tak tahan dia menghela napas, "Dia
benar-benar berubah, bukan saja semakin menyendiri malah semakin pesimis, kalau keadaan
seperti ini terjadi terus, aku kuatir...." Tak tega dia meneruskan kata-katanya.
"Kenapa dia bisa berubah?" tiba-tiba Sim Sam-nio bertanya.
"Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat pujaan hatinya mati dipelukannya, namun dia tidak
kuasa menolongnya."
"Cui long maksudmu?"
"Benar, Cui long."
Kembali tersorot mimik aneh pada mata Sim Sam-nio, katanya menghela napas, "Sungguh tak
pernah terbayang olehku, dia benar-benar jatuh cinta kepada Cui long."
"Apa kau beranggapan Cui-long tidak setimpal dia cintai?"
Sim Sam-nio bungkam, dia tidak kuasa menjawab.
Yap Kay tertawa duka, katanya kalem, "Sayang sekali banyak orang di dunia ini justru
mencintai orang yang tidak patut dia cintai, dan itulah duka laranya dan penderitaan manusia yang
terbesar."
"Untuk apakah itu?" ujar Sim Sam-nio rawan, "memangnya siapa tahu lantaran apa hal itu bisa
terjadi?" Perasaan manusia memangnya sesuatu yang abstrak dan tidak bisa diraba dan
dipandang mata, lebih celaka lagi karena manusia takkan mampu membelinya. Dan oleh karena
itu, maka manusia dibekali duka cita dan penderitaan.
Kini ganti Yap Kay yang memandang Sim Sam-nio dengan sinar aneh, katanya, "Siapa pun
orangnya bila mengalami pukulan lahir batin seperti yang dialami Pho Ang-soat, pasti akan mirip
keadaannya, hari ke hari amat pesimis dan patah semangat, namun di dunia ini mungkin hanya
ada seorang saja yang bisa menolongnya."
"Siapa?"
"Kau."
Sebentar Sim Sam-nio menepekur, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, "Maka aku tidak
boleh mati, memang banyak persoalan yang harus kuselesaikan."
Pelan-pelan Ban be tongcu menutup pintu, lalu memalangnya dari dalam. Lalu dia merebahkan
diri di atas ranjang, ranjang kayu yang keras dan dingin lembab seperti berada di liang kubur.
Bagaimana pun juga sekarang dia masih bertahan hidup, hidup jauh lebih baik daripada mati.
Kenapa orang tua selalu lebih takut mati dari anak muda" Bahwasanya dia sudah tidak perlu
mengganduli jiwanya yang sudah mulai keropos dan mempertahankannya mati-matian.
Kayu ranjang itu mengeluarkan bau apek, seperti benda yang membusuk, membawa bau busuk
dari kotoran kuda pula, mendadak dia hampir muntah-muntah. Sebetulnya dia sendiri tumbuh
dewasa sampai tua di tempat seperti ini, rumah dimana dia lahir, jauh lebih kotor dan busuk dari
kamar yang dia tempati sekarang.
Waktu dia berkelana di Kangouw, demi menghindarkan diri dari kuntitan dan kejaran musuh,
ada kalanya dia malah tidur di istal kuda atau kandang babi. Suatu ketika, bersama dua Pek
bersaudara mereka kena disergap di pegunungan Tiang pek-san, mereka terkepung oleh musuh
banyak dari rombongan tiga komplotan penjahat, terpaksa harus lari ke atas gunung, malah
mereka di sana harus minum air seni sendiri.
Kehidupan yang serba sengsara meski sudah tidak biasa dia alami, namun dia tetap bisa
menerimanya. Bahwa dia hendak muntah bukan lantaran bau busuk, adalah karena mendadak dia
menyadari bahwa dirinya hina-dina dan rendah memalukan.
Seorang laki-laki dengan mendelong mengawasi ceweknya roboh di depan matanya, apa pun
yang terjadi tidak pantas dia melarikan diri. Tapi waktu itu dia terlalu takut. Karena dulu dia pun
pernah melihat pisau itu.
Pisau itu sendiri tiada sesuatu yang istimewa, tapi siapa pun tahu bahwa pisau ini merupakan
pisau yang paling menakutkan di seluruh dunia. Itulah pisau terbang milik Siau-li. Siau-li atau Li si
kecil (sekarang seharusnya sudah Lo-li, Li si tua).
Pek Thian-ih pernah memegang dan mengacungkan pisau ini, sorot matanya memancarkan
Kisah Pedang Di Sungai Es 8 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Rajawali Hitam 1

Cari Blog Ini