Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 19
jeritan keras dan tubub orang itupun terhuyung-huyung dua langkah lalu jatuh terduduk.
Si dara berpaling kepada nenek Bwe Nio, "Lepaskan tali pada lehernya!"
Bwe Nio memandang dara baju ungu itu. Mau bicara tetapi tak jadi. Tetapi ia lakukan
juga perintah si dara dan membuka tali ikatan leher orang itu.
Dan sebelum nenek Bwe sempat bertanya, si dara sudah mendahului, "Bwe Nio, urutlah
uratnya yang engkau lukai itu supaya berjalan lancar lagi. Dan bebaskan dia!"
Terhadap tingkah laku si dara yang sebentar ganas sebentar baik itu. Nenek Bwe
benar-benar bingung. Tetapi ia tak berani membangkang. Setelah menghela napas, ia
menegas lagi, "Nak, apakah benar-benar engkau suruh aku membuka jalan darahnya!"
"Bwe Nio, harap jangan hanyak tanya dan lalukan permintaanku," sahut si dara.
Bwe Nio tertegun lalu menampar jalandarah orang itu. Segera orang itu berbangkit dan
tercengang memandang si dara, "Apakah nona sungguh-sungguh hendak membebaskan
aku?" si dara kibaskan tangan, "Sekarang engkau boleh pergi!"
Tiba-tiba orang itu menjura memberi hormat, serunya, "Budi yang kuterima hari ini,
akan kuukir dalam hati. Kelak apabila memerlukan tenagaku, aku pasti akan membalas
dengan sepenuh jiwa raga!"
"Pergilah lekas, jangan banyak omong!"
Orang itu tundukkan kepala. Setelah merenung beberapa jenak, ia mengangkat
kepalanya lagi dan memandang ke sekeliling hadirin. Tiba-tiba ia tegakkan tubuh, serunya,
"Harap nona suka memasang tali itu pada leherku lagi! Aku tak jadi pergi."
"Itu kemauanmu sendiri, jangan sesalkan aku!"sahut si dara.
"Sudah tentu takkan menyesali nona!" kata orang itu.
Si dara pun segera mengambil tali dan memasangkan lagi di leher orang itu. Katanya
sambil tertawa. "Kutahu engkau tentu akan suka tinggal di sini."
Saat itu tiba-tiba Cong To teringat bahwa Han Ping masih bersembunyi di atas pohon.
Segera ia memberi salam kepada dara itu, "Pengemis tua akan pamit!"
Dara itu amat sungkan kepada pengemis Cong To. Ia agak membungkukkan tubuh
balas menghormat, "Maaf, tak dapat mengantar."
Cong To segera ayunkan langkah dan menuju ke batang pohon di puncak gunung. Han
Ping meluncur turun dari pohon, serunya, "Lo-cianpwe, mari kita omong2 di sini."
Cong To menghampiri dan menghela napas pelahan, ujarnya, "Selama berkelana dalam
dunia hingga sampai setua ini, belum pernah pengemis tua kagum terhadap orang. Tetapi
pada saat umur pengemis tua sudah mendekati lubang kubur begini, barulah aku tunduk
pada dua orang anakmuda."
"Siapakah yang membuat lo cianpwe begitu kagum?" tanya Han Ping heran.
Cong To tertawa lebar, "Apakah engkau benar-benar tak tahu" Atau memang pura-pura
tak tahu?"
"Sudah tentu tak tahu sungguh-sungguh!"
"Kedua orang itu saat ini berada dekat dari sini," kata Cong To tertawa.
Han Ping memandang ke sekeliling. Sesaat ia seperti tersadar, tanyanya, "Apakah dara
baju ungu dari Lam-hay-bun itu?"
"Keagungan dara itu, baru pertama kali ini pengemis tua bertema dengan orang yang
seluar biasa itu. Benar-benar seorang insan yang luar biasa pintar. Setiap tindakannya,
tiada seorang pun yang dapat menduga. Ai, pengemis tua tak dapat tidak tunduk
padanya!" Han Ping tertawa, "Kecuali cerdik, mulutnya juga lihay sekali. Bisa berkata, bisa
mengomong rangkaian kata-kata yang membuat orang bungkam."
Tiba-tiba Cong To memandang lekat pada wajah anakmuda itu, katanya, "Dan masih
ada seorang anakmuda lagi yang pengemis tua kagumi. Tahukah engkau?"
Han Pirg merenung sejenak, katanya, "Apakah lo-cianpwe maksudkan puteri dari marga
Siangkwan itu?"
Cong To gelengkan kepala tertawa, "Walau-pun kepandaian anak perempuan
Siangkwan Ko itu tinggi tetapi rasanya hampir sudah mendekati puncak bakatnya. Apalagi
dalam gemblengan seorang guru yang sakti, sudahlah wajar kalau memperoleh kemajuan
besar!" Han Ping tertawa menyengir, serunya, "Apa lo-cianpwe maksudkan diriku?"
Cong To tertawa gelak-gelak, "Benar! Atas kemajuan ilmu silatmu, aku benar-benar
merasa heran sekali. Setiap hari, setiap bulan selalu bertambah hebat. Suatu hal yang
menyimpang dari keadaan biasanya yang terdapat dalam belajar silat"."
Ia menghela napas pelahan lalu melanjutkan pula, "Pada waktu kita bersama dalam
penjara air di Hian-bu-kiong, engkau telah memberi pengemis tua banyak sekali ilmu
pelajaran silat secara lisan. Kesemuanya itu merupakan ilmu pelajaran yang paling
dimimpikan oleh setiap orang persilatan".."
Han Ping tersenyum, "Aku masih dapat mengingat banyak sekali. Sekiranya lo-cianpwe
suka, akan kututurkan sampai habis"."
"Cukup, sudah cukup!" buru-buru Cong To berseru, "apa yang kudapat dalam penjara
air itu, tak habis kugunakan seumur hidup."
Pengemis sakti itu merenung beberapa saat. Tiba-tiba ia bertanya, "Ada sebuah hal
yang pengemis tua tak mengerti."
"Soal apa?" Han Ping terkejut.
Jilid 24. Adu kesaktian. "Oleh karena engkau dapat mengingat pelajaran2 lisan dari ilmu sakti yang jarang
terdapat dalam dunia persilatan, maka engkau mampu menggunakan beberapa ilmu
kepandaian yang aneh," kata Cong To, "tetapi bahwa engkaupun telah memiliki ilmu
tenaga dalam yang begitu hebat, benar-benar membuat aku tak mengerti. Karena ilmu
tenaga-dalam itu, betapapun hebat bakat seseorang, tetapipun harus memakan waktu
yang tertentu. Menilik umurmu, apa yang telah engkau miliki saat ini benar-benar
melampaui usiamu. Dan kemajuan yang engkau peroleh benar-benar sukar dipercaya!"
Han Ping agak kerutkan alis, ujarnya, "Cong lo-cianpwe benar-benar luas pengalaman.
Aku memang telah beruntung memperoleh rejeki yang luar biasa, hanya saja, hanya
saja".."
"Sudahlah, tak perlu engkau bilang," tukas Cong To, "kalau mendapat rejeki yang luar
biasa, memang tak leluasa memberitahukan orang. Cukup kalau kuketahui bahwa tenaga
dalam yang engkau peroleh itu bukanlah hasil peyakinanmu sendiri."
Han Ping menghaturkan terima kasih.
Tiba-tiba Cong To tertawa hambar, "Sudah berpuluh tahun pengemis tua berkelana di
dunia persilatan dan malang melintang di daerah Kanglam dan Kangpak. Bahkan apa yang
menamakan diri sebagai It-kiong, Ji-koh, Sam-poh itu, juga tak kupandang mata. Tetapi
sungguh tak kira dalam beberapa hulan terakhir ini, keangkuhanku telah goncang?"
Han Ping menghela napas, "Karena setiap orang tak sama rejekinya maka hasil yang
diperolehnya pun berbeda. Berkat budi kebaikan dari seorang lo-cianpwe maka aku
memperoleh hasil seperti hari ini. Tetapi lo-cianpwe itu sudah meninggal dunia sehingga
aku tak sempat lagi membalas budinya"."
Terkenang akan budi kebaikan Hui Gong taysu yang telah mengajarkan ilmu pelajaran
sakti dan menyalurkan tenaga-murni, hati Han Ping tersedu dan matanya berlinang-linang.
Cong To menghela napas, "Ih Thian-heng mempunyai permusuhan apa dengan
engkau?" "Membunuh ayah menghina ibu, tak dapat hidup di bawah satu kolong langit.
Membinasakan guru melenyapkan adik, bagai lautan darah dalamnya!" sahut Han Ping.
Cong To merenung sejenak lalu berkata, "Walaupun engkau memiliki ilmu kepandaian
sakti, tetapi mungkin belum dapat mencapai kesempurnaan untuk membunuh Ih Thianheng.
Selalu berilmu tinggi, orang itu memang luar biasa licinnya. Di mata umum dia purapura
berbuat kebaikan tetapi diam-diam dia telah membentuk komplotan. Berapa banyak
anakbuahnya, mungkin tiada orang yang mengetahui jelas"."
Pengemis tua itu menengadahkan kepala dan menghela napas panjang, ujarnya pula,
"Orang pada umumnya hanya tahu bahwa dia berilmu sakti. Tetapi sampai dimana
kesaktiannya, tiada seorangpun yang tahu. Dalam dunia persilatan dewasa ini, kecuali
pengemis tua ini, tiada seorangpun yang pernah bertempur dengannya. Tetapi baru tiga
jurus saja, pengemis tua sudah tahu kalau tak mampu melawannya "
"Kalau begitu, ilmu kepandaian Ih Thian-heng itu benar-benar tiada dapat diukur
tingginya?" tukas Han Ping.
"Jika menurut peraturan biasa, 10 tahun lagi mungkin engkau baru dapat
mengalahkannya!"
"Aku ingin lekas2 membalas dendam. Setiap hari hatiku seperti ditusuki jarum. Jika
menunggu 10 tahun, mana aku sabar menunggunya?"
Cong To tertawa, "Pengemis tua ini memang sudah usang. Mungkin dalam hidup
sekarang ini aku tak mempunyai kesempatan untuk memenangkan dia. Apabila rejekinm
besar sekali, kemungkinan tak perlu makan waktu begitu lama!"
Han Ping memandang Cong To dengan pandangan kecewa lalu menundukkan kepala.
"Tetapi dewasa ini kedok muka Ih Thian-heng yang berpura-pura melakukan kebaikan
itu sudah terbuka. Setiap partai persilatan golongan Putih sudah memusuhinya. Tentu
banyak membantu meringankan bebanmu hendak membalas sakit hati"."
"Aku hendak menangkap hidup2 hangsat itu untuk kusembahyangkan di makam ayah
dan guru barulah hatiku puas."
Cong To terkesiap, ujarnya, "Kalau terbunuh mati, mungkin ada harapan. Tetapi untuk
menawannya hidup2 sukar sekali. Sekali pun dalam ilmu kepandaian engkau dapat
mengalahkannya tapi dia tentu lebih unggul dalam tipu muslihat. Dia seorang manusia
yang julig, licin dan ganas. Masakan dia tak tahu kalau akan ditangkap hidup-hidup"."
Tiba-tiba Han Ping menitikkan airmata, "Menilik ucapan lo cianpwe, dalam hidup yang
sekarang ini, aku tentu tiada mempunyai harapan untuk membalas sakit hati?"
Cong To kerutkan alis, "Sudahlah, jangan menangis. Asal melihat airmata, pengemis
tua tentu kehilangan faham."
Han Ping membesut airmata lalu mengangkat muka dan bersuit panjang. Dengan
gagah perkasa ia tertawa nyaring, "Bagi seorang jantan, airmata itu laksana emas
mahalnya. Mengapa aku sembarangan menjatuhkan airmata! Sekalipun tubuh Ih Thianheng
itu terbuat dari besi dari baja, tetap akan kuhancur leburkan dan kusembahyangkan
di muka makam ayah dan suhu!"
"Ha, ha, ha," Cong To tertawa tergelak, "bagus. bagus! Dengan pernyataanmu yang
gagah perkasa itu, engkau sudah berhasil menyelesaikan cita-ciiamu untuk menempur Ih
Thian-heng!"
Tiba-tiba Cong To berpaling. Ah, pada jarak setombak dari tempatnya, tampak berdiri
seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Dia adalah Ong Kwan-tiong dengan dikawal 4 orang
jago silat baju hitam.
Oleh karena sedang bertukar pembicaraan yang asyik, Han Ping dan Cong To sampai
tak mendengar kedatangan Ong Kwan-tiong.
Setelah menghentikan tertawanya, Pengemis-sakti segera menegur Ong Kwan-tiong,
"Bukankah engkau hendak mencari pengemis tua ini?"
"Benar, ada sebuah hal yang sengaja hendak kutanyakan!" sahut Ong Kwan-tiong.
"Ah, tak usah sungkan. Silahkan bertanya!" sahut Cong To.
"Jika tiada hal yang penting lagi, kuharap kalian berdua segera tinggalkan tempat ini!"
seru Ong Kwan-tiong.
"Apakah engkau hendak mengusir pengemis tua?"
"Aku memohon dengan baik-baik," sahut Ong Kwan-tiong.
"Baik!" sahut Cong To,"kami segera pergi!"
Habis berkata pengemis tua itu berpaling ke arah Han Ping dan mengajak pemuda itu
pergi. Han Ping hendak bicara tetapi tak jadi. Terpaksa ia mengikuti di belakang Cong To.
Berjalan 50-an tombak jauhnya, tiba-tiba mereka mendengar derap langkah orang, dari
arah belakang. Han Ping berpaling dan melihat Ong Kwan-tiong tergopoh-gopoh
menyusulnya. Tetapi keempat pengawalnya masih tegak berdiri di tempat semula.
"Cong lo-cianpwe!" seru Ong Kwan tiong.
Cong To berpaling dan hentikan langkah.
Ong Kwan-tiong memberi hormat dan berkata dengan serius, "Aku masih ada sebuah
permohonan lain, entah apakah saudara Ji dapat meluluskan atau tidak."
Han Ping tertegun, sahutnya, "Hal ini, harap mengatakan lebih dulu agar dapat
kupertimbangkan baru memberi keputusan."
"Sukar atau mudah tergantung pada pertimbangan saudara sendiri!"
Han Ping kerutkan alis tiada menyahut.
Cong To tertawa dingin, "Saudara Ong tak perlu banyak omongan. Lekas katakan saja!"
Berkata Ong Kwan-tiong dengan nada tertahan, "Kuminta saudara Ji ini, supaya jangan
bertemu muka dengan sumoay-ku lagi"."
Karena merasa ucapannya itu tidak nalar, maka setelah mengucap, Ong Kwan-tiong
lalu menghela napas panjang.
"Memang sulit untuk kukatakan alasannya," kata Ong Kwan-tiong pula, "apalagi soal itu
pun tak merugikan saudara Ji. Apalagi saudara Ji suka meluluskan, ah, sungguh aku
merasa berterima kasih tak terhingga"."
Han Ping tersenyum, "Kukira hal apa, kiranya hanya begitu saja. Sejak saat ini, aku
takkan"."
"Jangan buru-buru meluluskan!" tiba-tiba Cong To mengerat.
Han Ping tertegun, "Mengapa?"
"Harap saudara Ong jangan menyalahkan aku si pengemis tua ini banyak mulut.
Memang sederhana tampaknya soal itu, tetapi"."
"Tak perduli bagaimana saja, siapa suruh engkau banyak mulut!" Ong Kwan-tiong
berteriak marah.
Cong To tertawa dingin, "Justeru dalam hidupku, si pengemis tua ini paling suka
mengurusi orang. Dalam dunia persilatan Tiong-goan, siapakah yang tak kenal"."
Dengan mata berkilat-kilat, Ong Kwan-tiong menatap pengemis tua itu. Tetapi entah
bagaimana pada lain saat, tiba-tiba kemarahannya lenyap dan menghela napas, "Dalam
dunia persilatan Tiong-goan, engkau memang seorang yang paling berterus terang."
Pengemis-sakti memandang ke atas dan tertawa, "Ah, jangan membikin kaget
pengemis tua dengan pujian!"
Berkata pula Ong Kwan-tiong, "Sukar kukatakan mengapa sumoayku tak mau bertemu
muka lagi dengan saudara Ji. Jika kalian tak mau meluluskan, aku"."
Murid dari perguruan Lam-hay-bun itu berhenti bicara. Tetapi sampai lama tetap tak
melanjutkan kata-katanya lagi.
"Karena saudara tak mau mengatakan alasannya, akupun sukar untuk meluluskan.
Dalam dunia yang begini luas, siapapun tak dapat menjamin takkan bertemu, pun tak
berani memastikan kalau takkan bertemu. Yang penting, asal kedua fihak tidak
mengandung maksud untuk saling mencari, itu sudah cukup. Maaf, aku masih mempunyai
lain urusan lagi yang hendak kukerjakan!"
Han Ping memberi hormat, memutar tubuh lalu melangkah pergi.
Cong To menghela napas, "Harap saudara Ong pertimbangkan lagi adakah rencana itu
bisa dilaksanakan atau tidak! Sampai disini dulu pengemis tua berkata. Kita masih ada
kesempatan berjumpa lagi maka terburu-buru harus memutuskan soal itu sekarang juga!"
Dan tanpa menunggu penyahutan Ong Kwan-tiong, pengemis tua itupun berputar
tubuh mengikuti jejak Han Ping.
Ong Kwan-tiong hanya termangu-mangu memandang bayangan kedua orang itu.
Setelah mereka lenyap dari pandangan mata, barulah ia tersadar lalu melangkah dengan
wajah kecewa. Setelah empat lima li jauhnya dan tak tampak Ong Kwan-tiong lagi, barulah Han Ping
dan Cong To berjalan pelahan.
Han Ping menghela napas, tanyanya, "Tahukah lo-cianpwc siapakah yang terkubur
dalam Kuburan itu?"
"Soal itu pengemis tua tak jelas!" sahut Cong To.
Merenung sejenak, Han Ping bertanya pula, "Dara baju ungu itu mengapa memakai
kerudung muka yang tebal?"
Cong To batuk-batuk lalu menyahut, "Soal itu, ada dua sebab!"
"Apa saja?"
Tiba-tiba Cong To tertawa lepas, "Pertama, karena ia terlalu cantik. Malu
memperlihatkan mukanya di depan umum sehingga perlu memakai kerudung muka warna
hitam yang tebal."
Han Ping tertawa hambar, "Apakah itu dapat dianggap sebagai suatu alasan" Lalu
bagaimana alasan yang kedua?"
Sejak pengemis tua itu memandang Han Ping lalu katanya, "Alasan yang kedua" Ah,
mungkin karena wajahnya mengalami perobahan"."
Seketika Han Ping merasa seperti menerima pukulan keras sehingga tubuhnya gemetar.
Serunya, "Perobahan apa?"
Cong To tertawa nyaring, "Kulitnya yang begitu halus, digigit nyamuk saja tentu akan
membengkak besar"."
"Ah, lo cianpwe bergurau!"
Tiba-tiba wajah Cong To berohah sungguh-sungguh, serunya, "Wajah cantik tentu
menyengsamkan orang. Percintaan antara kaum muda mudi itu memang sukar dihindari.
Karena masih mengandung kewajiban membalas sakit hati, hendaknya janganlah engkau
berkecimpung dalam lautan asmara sehingga akan melenyapkan tujuanmu!"
Han Ping termangu. Serta merta ia menjura memberi hormat, "Petuah lo-cianpwe yang
berharga itu, seperti membungkus diriku dalam kabut kebingungan. Harap lo-cianpwe
suka memberi penjelasan lebih lanjut."
Cong To tersenyum, "Anak baik memang dapat dididik!"
"Tempat ini bukan tempat yang sesuai, mari kita cepat-cepat lanjutkan perjalanan."
Cong To mengiakan, "Benar, Kim Loji dan budak perempuan Lembah Setan yang benar
itu tentu tak sabar lagi menunggu di makam tua"
Dia berhenti sejenak lalu berkata gopoh, "Ih Thian-heng sudah memiliki kotak pedang
Pemutus Asmara lagi. Dia selalu bekerja dengan rencana yang terperinci. Dikuatirkan saat
ini dia sudah mendahului ke makam tua itu. Jika kita terlambat, mungkin jiwa kedua orang
itu terancam!"
Mengingat bagaimana susah payah untuk menolong Kim Loji yang kena racun itu, Han
Ping makin cemas. Ia tahu bahwa Ih Thian-heng amat membenci Kim Loji. Jika berjumpa
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali lagi, pasti akan bertindak lebih ganas.
Han Ping gelisah sekali. Cepat ia gunakan ilmu lari cepat. Demikianlah keduanya
seolah-olah berlomba menuju ke makam tua.
Tempo hari dalam ilmu lari cepat, Han Ping kalah setingkat. Tetapi sekarang ia sudah
mampu menyamai pengemis tua. Walaupun Cong To menggunakan sembilan bagian
tenaga-dalamnya untuk berlari, namun dengan enak saja Han Ping dapat mengimbangi.
Diam-diam panaslah hati pengemis sakti itu. Segera ia gunakan penuh sehingga larinya
sekencang angin.
Tetapi ketika berpaling ke belakang, ah " ternyata Han Ping masih tetap membayangi.
Diam-diam pengemis .sakti itu menghela napas, pikirnya, "Anak ini bukan saja memiliki
pelajaran lisan dari ilmu kesaktian yang luar biasa, pun memiliki bakat yang hebat. Dia
dapat mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam waktu yang amat singkat. Bila
pengemis tua dapat membikin panas hatinya supaya giat belajar, dalam waktu satu dua
tahun saja dia tentu sudah tiada lawannya."
Keduanya berlari cepat sekali. Pada waktu siang hari di sepanjang jalan besar, sepintas
pandang keduanya seperti dua gulung asap. Orangnya tak kelihatan lagi.
Lebih kurang setengah jam kemudian, makam tua itu sudah tampak. Tiba-tiba Cong To
lambatkan larinya dan berbisik, "Pelahan sedikit."
Han Ping menurut dan mengikuti di belakang pengemis sakti itu.
Sekonyong-konyong Cong To membungkuk. Dia mengalingi diri dengan rumput yang
tinggi, berjalan maju pelahan-lahan. Setelah lebih kurang dua tombak dari makam tua,
tiba-tiba ia menggenjot tubuh melayang ke atas pohon jati tua.
Han Ping mencontoh tindakan Cong To dan hinggap di samping pengemis tua itu.
Ketika memandang ke arah makam tua, seketika tergetarlah hati Han Ping.
Di samping dua buah makam besar, tegak Ih Thian-heng dengan pakaiannya yang
mewah. Di sampingnya terdapat Hud Hoa kongcu.
Sedang Ting Ling sambil mendekap kedua lututnya, duduk di atas meja tempat
sembahyang makam itu. Rambutnya terurai kena angin. Kepalanya memandang ke langit.
Sikapnya amat tenang. Ia tak mengacuhkan kedua pendatang itu.
Cong To berpaling memandang Han Ping. Pengemis sakti itu mengangguk-anggukkan
kepala. Wajahnya menampilkan rasa kagum.
Han Ping juga diam-diam memuji keberanian Ting Ling. Dengan menderita luka-dalam
yang cukup parah, nova itu tak gentar sedikitpun juga. Sikapnya yang setenang itu,
sungguh jarang dimiliki oleh sembarang orang.
Cong To dan Han Ping saling bertukar pandang lalu sama-sama anggukkan kepala dan
tersenyum. Tiba-tiba terdengar Ih Thian-heng tertawa nyaring, "Kedua jelita dari Lembah Setan,
ibarat bandul dengan timbangan, selalu tak dapat terpisah. Kalau engkau berada di sini,
tetapi adikmu tidak, siapakah yang mau percaya?"
Ting Ling tersenyum, "Kalau engkau tak mau percaya, lalu apa daya lagi?"
"Engkau berani berkeras tutup mulut kepadaku, masakan aku tak dapat
membunuhmu?"
Ting Ling tertawa, "Kalau aku minta2 padamu dengan ratap tangis, apakah engkau
benar-benar mau melepaskan diriku?"
Ih Thian heng tertawa, "Sungguh seorang budak perempuan yang tajam mulut! Apa
yang disohorkan dalam dunia persilatan tentang kedua nona dari Lembah Setan itu,
ternyata memang benar. Memang seorang lawan yang sukar dihadapi!"
"Ah, tak perlu memuji, tuan pendekar Ih yang terbesar!"
Ih Thian-heng tertawa, "Sekalipun lidahmu dapat memutar balik keadaan bunga teratai,
tetapi hari ini jangan harap engkau dapat menyelamatkan jiwamu".."
"Memang aku sudah tak memikirkan lagi soal mati atau hidup. Dalam dunia yang seluas
ini hanya Ih Thian-heng seorang yang tak engkau bunuh sendiri. Siapa lagi orang yang
mampu lolos dari genggamanmu?"
"Asal engkau sudah tahu, cukuplah .. . Ih Thian-heng tertawa.
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, "Jika sudah berumur 100 tahun, orang tentu tak
terhindar dari kematian. Maka tentang soal mati itu, tak perlu ditakutkan lagi. Yang
ditakuti adalah rasa sakit sebelum mati. Jika engkau dengan berani menghindari yang
berat memilih yang enak, tak mau bicara sejujurnya. Maka lebih dulu kusuruh engkau
menikmati rasanya derita Hun-kin-jo-kut (pencarkan urat, selisihkan tulang)!"
Ting Ling mengangkat kepala memandang cakrawala, tertawa, "Tayhiap hendak
menghancur-leburkan tulang belulangku, lalu harus bagaimana aku bertindak" Toh hari ini
aku pasti mati?"
Dada Han Ping serasa meledak dadanya. Ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Tetapi pada saat ia hendak loncat turun, Cong To cepat mencegahnya.
Terdengar Hud Hoa kongcu tertawa gelak-gelak, serunya, "Sungguh tak kira bahwa di
Tiong-goan terdapat seorang gadis yang secantik dan selincah begini. Apakah saudara Ih
Tak sayang kalau membunuhnya?"
"Lalu bagaimana menurut pendapat saudara Siong?" tanya Ih Thian-heng.
"Alangkah baiknya kalau saudara Ih serahkan nona itu kepadaku"."
Wajah Ting Ling berobah seketika. Menatap wajah pemuda itu ia melengking,
"Diserahkan kepadamu lalu bagaimana?""
Hud Hoa kongcu tertawa, "Persoalan selanjutnya, aku tak leluasa mengatakan."
Ih Thian-heng tertawa, "Begini sajalah"." tiba-tiba ia maju dua langkah lalu menampar.
Ting Ling melengking dan menggigil tubuhnya. Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak,
"Lebih dulu biar kututuk tiga buah jalandarahnya agar dia hilang daya perlawanannya.
Saudara Siong hendak mengapakannya tak perlu harus berunding dengan dia lagi!"
Diam-diam Han Ping me-maki-maki.
Hud Hoa kongcu tertawa lepas lalu berseru perlahan, "Budi kebaikan saudara Ih,
sungguh kuhaturkan terima kasih tiada habisnya!"
Sekali menyambar, ia sudah menarik tubuh Ting Ling ke dalam pelukannya. Tetapi
pada saat hendak ayunkan langkah, tiba-tiba Ih Thian-heng mencengkeram pergelangan
tangan Hud Hoa kongcu yang kiri.
"Saudara Siong, aku masih hendak bicara beberapa patah kata lagi," Ih Thian-heng
tertawa. Memeluk seorang jelita, darah Hud Hoa kongcu meluap keras. Sahutnya gopoh, "Kalau
saudara Ih hendak bicara apa-apa nanti sajalah!" " ia gerakkan lengan kiri untuk meronta
dari cengkeraman Ih Thian-heng.
Tetapi runyam. Jika tadi Hud Hoa kongcu tak meronta, ia tak merasa sakit. Tetapi
begitu hendak meronta, seketika ia rasakan pergelangan tangannya seperti dijepit baja.
Lengan kirinya mendadak kesemutan.
Ih Thian-heng tersenyum, "Malam musim Semi berharga seribu tail emas. Bukan sekalikali
aku bermaksud hendak mengganggu kesenangan saudara. Melainkan karena aku
masih mempunyai omongan yang terpaksa harus kukatakan."
"Silahkan lekas mengatakan saja."
Ih Thian-heng tertawa hambar, "Kedua jelita dari Lembah Setan, merupakan gadis
yang termasyhur cantik dalam dunia persilatan Tiong-goan. Tetapi entah bagaimana
penilaian saudara?"
Sahut Hud Hoa kongcu serentak, "Wajahnya secantik bunga di musim Semi. Benarbenar
seorang jelita yang sukar dicari tandingannya, Jauh lebih cantik dari beberapa orang
isteriku"."
Sejenak berdiam, pemuda itu bertanya, "Saudara Ih, apakah engkau hanya perlu
mengatakan begitu saja?"
Ih Thian-heng tertawa, "Bunga mawar yang cantik tentu memiliki duri yang tajam.
Wanita cantik membuat orang lupa daratan. memang merupakan bahaya yang latah.
Lembah Raja Setan dalam dunia persilatan Tiong-goan memiliki kedudukan yang tinggi.
Jika saudara Siong sampai menodai puteri mereka yang sulung, kelak tentu akan
menimbulkan bahaya besar. Orang-orang Lembah Raja-setan tentu tak mau tinggal diam.
Tentu akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk membuat perhitungan kepada
saudara. Bahkan ayah saudara dan aku sendiri, juga akan tersangkut!"
Hud Hoa kongcu menunduk memandang Ting Ling, tampak nona itu memejamkan
mata dengan pipi ke-merah2an. Serangkum bau harum dari seorang gadis, melanda Hud
Hoa kongcu. Seketika berkobarlah nafsu pemuda itu.
"Hal itu tak perlu saudara Ih cemaskan. Bahwa aku gemar dengan paras cantik,
memang ayah sudah tahu dan diam-diam membiarkan saja. Sekalipun nanti beliau
terembet dalam peristiwa ini, belau pasti takkan menyalahkan saudara!" sahutnya gopoh.
"Sekalipun saudara tak kuatir akan mere-bet ayah saudara, tetapi aku sendiri tak suka
bermusuhan dengan fihak Lembah Raja-setan!"
"Lalu bagaimana maksud saudara?" tanya Hud Hoa Kongcu tegang.
Ih Thian-heng membisikinya, "Setelah menikmati angin segar dari musim Semi,
segeralah saudara bunuh untuk melenyapkan jejak!"
Telinga Cong To dan Han Ping bukan main tajamnya, sekalipun Ih Thian-heng berkata
dengan pelan namun kedua orang itu tetap dapat menangkap kata-kata itu.
Seketika wajah Cong To berobah. Ia berpaling dilihatnya wajah pemuda itu merah
membara dan siap hendak loncat turun.
"Baiklah, akan kulakukan pesan saudara. Harap segera lepaskan tanganku," sahutnya
gopoh. Ih Thian-heng tersenyum lalu lepaskan cengkeramannya, "Baiklah saudara Siong
membuka jalandarahnya dulu"."
Tetapi saat itu Hud Hoa kongcu sudah melesat setombak jauhnya dan berseru dari
jauh, "Aku tahu, tak perlu saudara berbanyak kuatir!"
Dengan dua kali loncatan, pemuda itu sudah lenyap di tengah-tengah gundukan
makam. Han Ping gugup sekali. Buru-buru ia membisiki Cong To, "Harap lo-cianpwe mengejar
Hud Hoa kongcu dan aku yang akan menghadapi Ih Thian-heng!"
Tanpa menunggu jawaban si Pengemis-sakti, Han Ping sudah enjot tubuh melayang
turun beberapa meter di hadapan Ih Thian-heng.
Tenang sekali rupanya Ih Thian-heng. Walaupun mendengar desir pakaian orang
melayang turun ia tetap tak mau bergerak. Baru setelah Han Ping turun di tanah, ia pelahan2
berputar tubuh.
Rupanya kehadiran Han Ping itu di luar dugaan Ih Thian-heng. Hal itu terbukti dari
sinar mata Ih Thian-heng yang memancarkan cahaya kaget. Tetapi beberapa saat
kemudian, ia sudah tenang kembali dan tersenyum, "Kukira siapa, kiranya engkaulah!"
Sahut Han Ping dingin, "Engkau tak pernah menyangka" Bukankah karena mengira aku
sudah mati?"
Sambil memandang ke arah sesosok tubuh yang melayang turun dari puncak pohon jati
tua, Ih Thian-heng tertawa dingin, "0, saudara Cong juga datang?"
Tetapi Pengemis-sakti Cong To tak menghiraukan teguran orang. Dengan gunakan ilmu
lari cepat Pat-poh-teng-gong atau Delapan-langkah-mendaki-udara, Cong To meluncur
dan menghilang.
Memandang ke sekeliling penjuru, Ih Thian-heng tertawa, "Berapa orangkah jumlah
kalian yang datang" Mengapa tak serempak keluar semua saja?"
"Hanya aku dan Cong To lo-cianpwe berdua," sahut Han Ping tertawa hambar, "dan
yang akan menghadapi engkau Ih Thian-heng, hanya aku seorang."
Ih Thian heng tertawa, "Nyalimu sungguh besar! Dalam dunia persilatan dewasa ini,
belum ada orang yang berani bicara begitu kepadaku!"
Ia tertawa keras lalu berseru pula, "Mungkin tak sedikit orang yang iri kepadaku. Tetapi
memang kenyataannya, selama ini aku belum pernah bertemu orang yang berani terus
terang menantang aku. Cukup untuk menghormati keberanianmu itu saja, kali ini akan
kubebaskan engkau dari kematian!"
Alis Han Ping menjungkat ke atas, biji matanya memberingas lalu tertawalah ia dengan
hina, "Menurut pendapatku, hal itu tak perlu. Si rusa bakal mati oleh siapa masih belum
dapat ditentukan. Jangan terkebur dululah!"
Ih Thian-heng memandang tajam ke arah pemuda itu. "Umurku sudah tua dan engkau
masih muda. Soal berkelahi itu soal kecil. Tetapi lebih dulu bilanglah, dendam apakah yang
menyebabkan engkau membenci padaku?"
Han Ping tertawa. "Membunuh ayah, menghina ibu, membasmi guru melenyapkan
adik." Tiba-tiba Ih Thian-heng jungkatkan alis dan menukas, "Siapakah ayahbundamu"
Mengapa engkau menuduh aku yang mencelakai mereka?"
Dengan wajah penuh geram, Han Ping menyahut lantang, "Dengan mata kepala sendiri
kusaksikan hal itu dan dengan telingaku sendiri kudengar peristiwa itu. Di depan ranjang
suhuku engkau pura-pura mengakui kesalahan. Tetapi setelah itu, engkau lalu turunkan
tangan ganas kepada suhu yang telah merawat aku sampai besar itu. Dan adik
seperguruanku yang baru berumur 15 tahun pun engkau lenyapkan"."
Se-konyong2 Ih Thian-heng tertawa nyaring, "Siapakah gurumu itu?"
"Tanganmu penuh berlumuran darah sehingga engkau tak dapat mengingat lagi
korban2 yang yang engkau bunuh itu?"
"Hm, engkau berani sekurang ajar begitu kepadaku?" mata Ih Thian-heng ber-kilat2.
Biasanya ia selalu mengulum senyum dan berseri muka. Tetapi begitu marah, matanya
perti memancar api yang menyeramkan.
Han Ping terkesiap karena agak gentar menghadapi keangkeran orang. Tetapi pada lain
saat marahlah ia, "Dengan tanganku sendiri aku hendak menuntut balas. lalu hendak
kusembahyangkan orang itu di hadapan makam ayahku. Berlaku kurang ajar kepadamu,
itu saja masih suatu sikap yang sungkan."
Ih Thian heng tengadahkan kepala memandang ke langit, Kemudian ia tertawa dingin,
"Bagus, bagus, hari ini tentu akan kuselesaikan kehendakmu itu!"
Pe-lahan2 ia mengangkat tangannya kanan, Menghadapi seorang musuh yang tangguh,
Han Ping tak berani berayal. Ketika memperhatikan tangan Ih Thian-heng, mau tak mau
tergetarlah hatinya. Kiranya ditingkah oleh sinar matahati ia melihat tinju Ih Thian-heng itu
berwarna merah darah.
"Hai, ilmu apakah itu?" karena kurang pengalaman Han Ping heran melihat warna tinju
itu. Tetapi Ih Thian-heng tak segera ayunkan tinjunya. Bahkan wajahnya tampak ramah
pula dan serunya tertawa, "Engkau dapat sama-sama terluka melawan Siangkwan Wanceng,
puteri dari ketua marga Siangkwan di Kanglam, tentulah kepandaianmu tinggi juga.
Kenalkah engkau akan kekuatan pukulanku ini?"
Han Ping tertawa hina, "Pukulan yang bagaimana dahsyat dan beracun, aku tetap tak
mengacuhkan!"
"Katak dalam tempurung, berapa luaskah pengetahuanmu" Engkau tentu tak mungkin
mengetahui nama pukulanku ini!"
Han Ping sudah kerahkan seluruh tenaga-dalam. Sahutnya lantang, "Tak peduli ilmu
pukulan apa saja, silahkanlah segera lepaskan!"
"Kuberi kesempatan agar engkau mengetahui atan mati di bawah pukulan apa. Inilah
yang disebut Hong-yan-ciang." " tiba-tiba ia mengangkat tinjunya lalu diayunkan.
Saat itu Han Ping sudah siap hendak menyongsongnya. Tetapi karena tiba-tiba Ih
Thian-heng menarik kembali pukulannya, Han Ping terkejut heran. Pada saat ia
memutuskan hendak mendahului menyerang, sekonyong-konyong ia rasakan serangkum
tenaga-panas melanda dirinya.
Han Ping tak berani berayal. Sambil kerahkan tenaga-dalam untuk melawan, ia pun
melepaskan pukulan balasan. Tangan kanan diluruskan ke muka dada terus dihantamkan.
Memang Ih Thian-heng seorang tokoh yang luas pengalaman. Melihat dorongan tangan
Han Ping itu sama sekali tak bersuara, diam-diam Ih Thian-heng menimang, "Budak ini
walaupun masih muda, tetapi mengapa dapat memiliki kepandaian yang begitu sakti?"
Saat itu pukulan Hong-yan-ciang (Api merah) yang dilontarkan Ih Thian heng sudah
ber-sambutan dengan pukulan Han Ping. Pertempuran yang dilangsungkan antara Han
Ping lawan Ih Thian-heng, jault sekali bedanya dengan pertem-puran biasa. Kalau pada
umumnya, tokoh-tokoh silat kalau bertempur tentu bergerak serba cepat dan keras tetapi
tidaklah demikian dengan Han Ping lawan Ih Thian-heng. Gerakan tinju kedua orang itu
pelahan dan ringan2 saja. Tetapi pukulan me-reka itu mengandung keindahan yang sukar
dilu. kis. Pukulan Hong-yan-ciang dari Ih Thian-heng cepat sekali sudah berbentur dengan
pukulan Han Ping. Tiba-tiba angin menderu keras sehingga dehu dan pasir bertebaran
tebal sehingga memaksa kedua seteru itu berpencaran lagi.
Ih Thian-heng terkejut sekali. Setitikpun tak mengira bahwa lawannya yang masih
semuda itu mampu mencapai tataran yang tinggi dalam ilmu kepandaian silat. Ia dapatkan
tenaga-dalam pemuda itu tak kalah di bawahnya.
Sehabis mendorongkan pukulan, hati Han Ping berguncang keras. Pukulan lawan serasa
seperti gunung rubuh. Ia merasa tak mampu menghadapi. Segera ia susuli dengan
pukulan tangan kiri yang dilambari tenaga dalam penuh. Dengan gerakkan kedua tangan
itu, barulah Han Ping dapat memperoleh keseimbangan tubuh dan berdiri tegak. Dan
tenaga pukulan Ih Thian-heng yang melandanya, pun hilang sirna.
Kiranya pukulan yang dilancarkannya itu adalah pukulan sakti dari perguruan kaum
agama tataran tingkat tinggi. Dan berhasillah ia menghalau pukulan Api merah yang amat
beracun. Ih Thian-heng kaya pengalaman dalam pertempuran. Ilmu tenaga dalamnya telah
mencapai tataran yang sempurna. Benturan itu segera menyadarkannya bahwa pukulan
Api-merahnya tak berhasil melukai lawan.
Pada saat itu sedang tertegun, tiba-tiba ia rasakan tubuhnya bergetar. Sisa tenaga
pukulan pemuda yang masih merembes dan bahkan mendadak bertambah dahsyat
berlipat kali sehingga ia terdorong mundur selangkah.
Ih Thian-heng, jago yang menganggap dan dipandang sebagai tokoh nomor satu dalam
dunia persilatan dewasa itu, terkejut dan marah. Ia mendengus dingin dan ayunkan
tangan kirinya.
Angin menderu dan debu pasirpun berhamburan pula. Keduanya seperti teraling oleh
gulung debu tebal. Tetapi mereka memiliki mata yang amat tajam. Walaupun tak melihat
jelas keadaan lawan masing-masing, tetapi keduanya tak berani menduga bahwa
lawannya menderita kekalahan.
Hasil adu pukulan itu makin menimbulkan kepercayaan Han Ping pada diri sendiri.
Walaupun ia telah memperoleh suatu rejeki yang luar biasa tetapi apa yang telah
diyakinkan itu masih belum mencapai tataran sempurna. Penyaluran tenaga dalam yang
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diberikan Hui Gong taysu kepadanya, belum dapat dikembangkan sehingga dapat
digunakan menurut sekehendak hatinya.
Andaikata Ih Thian-heng dapat mengetahui mimik wajah Han Ping yang mengerut
kesakitan lalu menyerangnya lagi dengan seluruh tenaga dalamnya, boleh dipastikan Han
Ping tentu akan terluka.
Ih Thian-heng seorang yang licik, licin dan penuh tipu muslihat. Justeru karena itulah
maka telah menghilangkan kesempatan yang bagus.
Dua kali adu pukulan dengan Han Ping, menimbulkan dugaan padanya bahwa pemuda
itulah satu satunya lawan yang dapat mengimbangi kepandaiannya. Maka ia sengaja
sisakan 3 bagian tenaganya untuk menghadapi pertempuran terakhir. Dan karena hanya
menggunakan tujuh bagian tenaga dalam, adu pukulan menjadi berimbang.
Setelah lancarkan dua buah pukulan, Han Ping menyadari bahwa tenaga dalamnya
masih kalah setingkat. Maka ia tak berani menyusuli dengan pukulan yang ketiga.
Untunglah Ih Thian-heng juga tak mau memukul lagi. Ia pun menyadari bahwa adu
pukulan tenaga-dalam itu, berbahaya sekali akibatnya. cepat menghabiskan tenaga dan
bisa sama-sama terluka berat. Kedua seteru itu saling berdiri memusatkan perhatian dan
menyalurkan napas.
Berkat ilmu pelajaran Cara Bernapas dari perguruan kaum agama yang diterima dari
Hui Gong taysu, pula karena jalandarahnya yang penting yaitu di bagian jalandarah Sengsihian-kwan, tanpa disengaja telah ditendang terbuka oleh Hian Thian totiang tempo hari,
maka dapatlah Han Ping melakukan pernapasan dengan cepat sekali. Tak berapa saat saja
ia sudah pulih tenaganya.
Saat itu gulungan debu tebal yang mengaling di tengah mereka, pun sudah makin
menipis sehingga keduanya dapat saling melihat.
Memandang ke muka, Ih Thian-heng melihat wajah Han Ping tenang seperti biasa.
napasnyapun tak terengah-engah. Diam-diam ia makin terperanjat dan menghela napas,
"Ah, anak itu betul2 luar biasa. Dalam satu dua tahun saja aku tentu tak mampu
melayaninya sampai 100 jurus"."
Tengah dia termenung, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari belakang. Dan
menyusul terdengar orang itu berseru nyaring, "Ih Thian-heng, cara hidup yang engkau
tuntut untuk pura-pura menjalankan kebaikan, memang sukar sekali melakukannya. Apa
yang engkau tunjukkan hari ini, benar-benar telah menghapus jerih payahmu selama
selama 40 tahun. Apakah tak sayang?"
Ih Thian-heng tertawa dingin tanpa berpaling ke belakang, "Yang bicara di belakangku
ini apakah bukan saudara Cong?"
"Benar! Aku memang si pengemis tua!"
"Kalau tak salah dahulu kita pernah dua kali berkelahi, bukan?" seru Ih Thian-heng.
"Apakah engkau menyesal karena waktu. itu engkau tak membunuh saja pengemis tua
ini?" Cong To tertawa.
"Ah, tidak. Saudara amat sakti, sekalipun aku mempunyai pikiran begitu, juga tetap tak
mampu membunuhmu!"
"Hm, bukan karena itu. Engkau tak mau turunkan tangan ganas untuk membunuh
pengemis tua dahulu, bukan karena tak mampu tetapi karena engkau hendak membeli
nama baik. Dalam hal ini pengemis tua tak berani menerima kebaikanmul"
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, "Gunung tidak berkisar hanya jalanan yang berobah
melenggok-lenggok. Sekalipun pada hari ini saudara Cong dan aku takkan mati tetapi lain
hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu muka lagi!"
Sahut Cong To, "Pengemis tua sudah hidup 7-8 puluh tahun dan sudah sejak yang
beberapa waktu lalu merasa kalah. Kalau kelak kita berjumpa lagi, akan pengemis tua
usahakan untuk bertanding dengan mati-matian"."
Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula, "Hari ini saudara Ih rasanya sudah tak mampu
melanjutkan pertempuran lagi. Baiklah pertempuran saat ini, kita lanjutkan lagi apabila
kelak kita berjumpa pula!"
Tiba-tiba kaki Ih Thian-heng berkisar dan tahu2 ia sudah berada di samping pengemis
sakti. Tetapi pengemis itu sudah siap. Sebelum Ih Thian-heng sempat turun tangan, ia
sudah ayunkan tangan kanan untuk menamparnya.
Ih Thian-heng gunakan jurus Angin-meniup-pohon liu untuk menyongsongnya.
Plak".terdengar letupan keras. Cong To menyurut mundur selangkah tetapi tubuh Ih
Thian-hengpun berputar satu kali.
"Wah, kepandaian saudara Cong bertambah maju sekali," Ih Thian-heng tertawa sambil
menutuk dengan dua buah jarinya.
Dengan jurus Pohon-besi-berbunga, Cong To menangkis tutukan lawan. Tetapi sambil
menutuk Ih Thian-heng pun maju selangkah lalu tamparkan tangan kirinya ke dada orang.
Gerakan Ih Thian-heng itu luar biasa cepat dan tak terduga-duga. Cong To hendak
menangkis tetapi sudah tak keburu lagi.
Ih Thian-heng tertawa dingin. Tangannya dilekatkan ke dada Cong To, "Cong To,
janganlah engkau terlalu"."
Tiba-tiba ucapannya terputus oleh dengus Han Ping menggeram, "Hm, dengan cara
licik merebut kemenangan, tak patut diherankan"."
Ih Thian-heng berpaling, sahutnya, "Dengan ilmu pukulan kukuasai lawan, mengapa
engkau menuduh aku berlaku licik?"
"Setelah dua kali adu pukulan lalu tiba-tiba gunakan serangan kilat untuk merebut
kemenangan pada lawan yang belum siap, apakah itu bukan suatu cara licik?"
Ih Thian-heng tertawa, "Sudah, jangan bermulut tajam. Apakah engkau tak tahu bahwa
dalam berperang itu digunakan segala macam siasat untuk mengalahkan musuh"
Bukankah makin licik, makin bagus!"
Pada saat Ih Thian-heng bicara dengan Han Ping, diam-diam Cong To kerahkan
tenaga-dalam. Se-konyong2 ia gerakkan tangan kanannya untuk menyiak tangan orang
yang menjamah dadanya.
"Ha, ha, bukankah saudara Ih bermaksud hendak mengadu jiwa dengan pengemis tua"
Adu tenaga-dalam saja agar jangan menggunakan gerakan tak terduga untuk menindas
lawan. Kita adu tenaga-dalam sampai ada yang mati baru selesai!"
Sambil bicara, Cong To melirik ke arah Han Ping. Wajahnya tampak serius sekali.
Han Ping merasa pancaran mata pengemis sakti itu mengandung sinar ksatrya yang
suram. Tetapi sesaat, Han Ping tak dapat mengetahui apa maksud pengemis tua itu.
Ih Thian-heng tertawa nyaring, "Saudara Cong apakah engkau benar-benar hendak
mengadu jiwa denganku!" dalam pada ber-kata-kata itu ia memperkeras saluran tenagadalamnya.
Se-konyong2 Cong To menggembor keras. Rambutnya meregang tegak karena luapan
amarah. Kuluman tawa pada wajah Ih Thian heng pun tiba-tiba lenyap. Wajahnya tampak
serius. Melihat itu tahulah Han Ping bahwa kedua tokoh itu sudah mulai melakukan
pertempuran mati2an. Mereka saling mencurahkan seluruh tenaga-dalam yang diyakinkan
selama berpuluh tahun.
Pada waktu Han Ping sedang bingung untuk membantu, tiba-tiba terdengarlah lengking
suara Ting Ling, "Ih, apakah engkau sudah menemukan?"
Han Ping berpaling. Tampak Ting Ling tegak dengan wajah penuh kedukaan, rambut
terurai. Ia terkesiap, tanyanya, "Menemukan apa?"
"Kesukaran Cong lo-cianpwe!" sahut sinona.
"Betul. Harap nona suka memberi petunjuk!"
Ting Ling tertawa, "Cong lo cianpwe adalah seorang pendekar luhur. Dia hendak
menyerahkan jiwanya untuk kematian Ih Thian-heng"."
"Apa?" Han Ping tersentak kaget.
"Dia tahu bahwa dia bukan lawan Ih Thian-heng tetapi ia tetap nekad hendak mengadu
jiwa dengan orang itu. Tahukah engkau apa sebabnya?"
"Apakah dia berkelahi demi membela aku?" Han Ping menegas.
"Engkau menduga tepat tetapi hanya separo bagian saja. Cong lo cianpwe tak sayang
membuang jiwa untuk menghabiskan tenaga-dalam Ih Thian-heng agar dengan mudah
engkau nanti dapat membinasakannya. Membalas sakit hati ayah bundamu dan
melenyapkan seorang momok berbahaya dalam dunia persilatan!"
"Ini .. . mana boleh".."
"Terlambat," tukas Ting Ling, "mereka sudah sama-sama mencurahkan seluruh
tenaganya. Kalau belum ada salah satu yang mati tentu belum berhenti. Menilik kesaktian
kedua orang itu, mungkin dalam dunia persilatan dewasa ini sukar dicari orag yang
mampu melerai mereka. Lekas sajalah engkau melakukan pernapasan untuk bersiap-siap
menemui harapan Cong lo-cianpwe"."
Ting Ling yang terkenal sebagai seorang nona ganas dalam dunia persilatan, rupanya
menaruh simpati besar kepada pengemis Cong To. Habis bicara, airmatanya berderai derai
membasahi kedua pipinya.
Han Ping merenung diam.
Melihat pemuda itu seperti tak mengacuhkannya, Ting Ling gelisah sekali. Ia segera
maju menghampiri ke samping Han Ping dan berseru, "Ji kong"."
"Apa?" Han Ping gelagapan.
"Apakah engkau mendengar apa yang kukatakan tadi?"
"Mendengar," sahut Han Ping, "aku tengah berpikir"."
Ting Ling menghela napas. "Ah, tak perlu dipikir lagi. Lekas engkau salurkan
pernapasan memulihkan tenagamu. Jika perhitunganku tak salah, dalam setengah jam
nanti, Cong lo-cianpwe tentu sudah tak kuat bertahan lagi?""
"Kutahu"."
"Kalau sudah tahu mengapa engkau masih termenung-menung saja dan tak lekas2
melakukan pernapasan?"
"Cong lo-cianpwe seorang ksatrya yang berjiwa luhur, bagaimana kurela membiarkan
dia menyertai kematian Ih Thian-heng?"
"Tetapi kenyataan sudah begitu," bantah Ting Ling, "tiada jalan lain lagi. Sekalipun locianpwe
tentu kalah tetapi Ih Thian-heng pun takkan mendapat keuntungan. Dia tentu
menderita kehabisan tenaga dalam. Nah, jika engkau turun tangan, tentu ada harapan
menang"."
"Tidak!" seru Han Ping, "bagaimanapun juga, aku harus berdaya untuk menolong Cong
lo-cianpwe!"
"Apa-apaan engkau ini!" teriak Ting Ling marah.
"Kenapa?"
"Jika tidak mengetahui bahwa engkau tentu akan dapat memenangkan Ih Thian-heng,
Cong lo-cianpwe tentu tak mau menempuh bahaya begitu!"
"Nona Ting," seru Han Ping, "harap jangan mengganggu aku dulu, maukah" Kasihlah
aku waktu untuk mencari daya menolong Cong lo-cianpwe?"
Ting Ling makin menggeram keras, "Sebelum engkau menemukan daya itu, Cong locianpwe
sudah celaka. Menilik kesaktiannya, apabila mendapat kesempatan untuk
beristirahat sebentar saja, Ih Thian-heng tentu sudah pulih tenaganya. Pada saat itu,
jangan harap kita dapat hidup lagi"."
Tetapi Han Ping tetap gelengkan kepala lalu melangkah ke samping. Ting Ling
memburunya. Dengan bercucuran airmata ia meratap, "Ji siang-kong, kumohon sangat
kepadamu. Sekalipun engkau tak mau membalas saki hati orangtuamu tetapi sukalah
engkau menolong Cong lo-cianpwe dari tangan Ih Thian-heng."
Pada saat Han Ping hendak menyahut, tiba-tiba terlintaslah dalam benaknya sesuatu
pikiran. Cepat-cepat ia pejamkan mata dan mengosongkan pikiran.
Ting Ling seorang nona yang keras kepala. Selama hidup ia belum pernah memohon
sampai begitu sangat kepada orang. Melihat Han Ping malah memejamkan mata tak mau
mengacuhkan, marahlah nona itu. Plak, plok . .. ia menampar pipi Han Ping.
Han Ping tetap berdiri mematung. la tak mau melawan sehingga kedua pipinya
membengap. Setelah menampar, Ting Ling menyesal sekali. Ia menutup matanya dengan kedua
tangannya dan menangis tersedu-sedu".
Beberapa saat kemudian ia rasakan rambutnya dibelai pelahan-lahan oleh sebuah
tangan. Ia menduga tentu Han Ping yang menghiburnya. Ia makin menyesal dan pedih,
ujarnya, "Apakah engkau sakit?"
Tiba-tiba terdengar suara agak parau menyahut, "Tak apa, Ping-ji seorang jujur. Karena
kebingungan engkau menamparnya, dia tentu tak marah kepadamu!"
Ting Ling cepat dapat menduga bahwa yang bicara itu tentulah Kim loji. Ia tersipu-sipu
malu. Ketika mengusap airmatanya, tampak Han Ping masih tetap berdiri di tempatnya.
Wajahnya tampak aneh. Pemuda itu geleng-geleng kepala dan mengertakkan gigi. Tetapi
tak tahu apa yang dikatakan.
Ting Ling terkejut heran, pikirnya, "Apakah dia kena serangan gelap dari Ih Thianheng"
Ah, tadi aku telah salah sangka kepadanya!"
Tiba-tiba Han Ping membuka mata, Wajahnya berseri-seri, serunya, "Nona Ting, Cong
lo-cianpwe ketolongan!"
Habis berkata, Han Ping terus enjot tubuh melambung ke udara dan meluncur ke
samping Cong To, berdiri di tengah kedua tokoh itu lalu mengangkat kedua tangannya.
Ting Ling terkejut sekali. Buru-buru ia berseru, "Ji siangkong, jangan sembarangan
mengganggu mereka!" " ia terus lari memburu dan menyambar ujung baju Han Ping.
Han Ping berpaling, "Lekas mundurlah! Jangan menghalangi pekerjaanku. Cong locianpwe
sudah tak kuat bertahan!"
"Kalau Cong lo-cianpwe tak tahan dan engkau goncangkan dia, dialah pasti yang
menderita?"." bantah Ting Ling.
"Aku sudah menemukan cara untuk menolong Cong lo-cianpwe. Jangan kuatir dan
lekaslah menyingkir!" seru Han Ping gopoh.
Ting Ling menatap Han Ping sejenak lalu lepaskan cengkeramannya. Ia mencabut badik
dan berkata, "Baik, karena engkau tak mau mendengar omonganku, kita bertindak sendirisendiri
saja! Dan jangan saling mengerut!"
Badik diangkat terus ditusukkan ke punggung dan perut Ih Thian-heng.
Han Ping terkejut sekali. Cepat ia menyambar tangan si nona, "Mau apa engkau ini?"
"Hendak membunuh Ih Thian-heng dulu!"
"Tidak! Mereka berdua sedang adu tenaga-dalam. Apabila engkau mengganggu Ih
Thian heng tenaga-dalam mereka pasti berbalik akan menghancurkan tubuhmu!"
Ting Ling tertawa dingin, "Kutahu, tetapi sekalipun aku mati, Ih Thian-heng juga tak
mungkin hidup!"
"Bukan dua orang tetapi tiga orang. Cong lo-cianpwe juga ikut binasa. Ah, dia sudah
kehabisan tenaga. Pasti tak kuat menerima ledakan tenaga-dalam itu!"
"Mati-bersama jauh lebih baik daripada Cong lo-cianpwe sendiri yang binasa. Cong locianpwe
seorang ksatrya yang berbudi luhur. Dia memperhatikan sekali dirimu. Tetapi
kebalikannya, engkau amat sayang pada jiwamu . .."
Sekali tangan kiri Han Ping memijat agak keras, lengan kanan Ting Ling terasa
kesemutan dan lemas lunglailah seluruh tenaganya.
Han Ping tertawa, "Engkau keras kepala dan tak mau mendengar keteranganku.
Terpaksa kusuruh menderita sedikit!"
Han Ping pelahan-lahan menutuk dua buah jalandarah di tubuh nona itu lalu
mengangkat tubuhnya ke tempat Kim Loji, ujarnya, "Harap paman menjaga nona Ting ini
sebentar. Jangan sampai digigit ular berbisa!"
Kim Loji yang banyak pengalaman, saat itu wajahnya pucat lesi. Matanya tak berkedip
memandang ke arah Cong To dan Ih Thian-heng dengan penuh kecemasan.
Pada waktu Han Ping berkata kepadanya, Kim Loji pun seperti tak mengacuhkan dan
sembarangan saja mengiakan.
Han Ping menghela napas pelahan lalu menghampiri ke tempat Cong To dan Ih Thianheng
lagi. Berdiri di tengah kedua orang. Ia mengangkat kedua tangannya. Begitu
menyalurkan tenaga- dalam, terus direntang ke arah dada kedua orang itu.
Entah bagaimana, tiba-tiba tangan kedua orang yang tengah beradu teraga dalam itu,
menyurut ke belakang. Seolah-olah urat2 tangan kedua orang itu mengerut. Tubuh
mereka bergoncang-goncang dan serempak rubuh ke tanah.
Han Ping cepat loncat ke samping Kim Loji, bisiknya, "Paman"."
Kim Loji seperti terjaga dalam mimpi, serunya heran, "Apakah Ih Thian-heng mati?"
"Belum"."
"Oh".." Kim Loji mendesus. Tubuhnya menggigil.
Melihat pamannya ketakutan, Han Ping segera menghibur, "Tak usah takut, paman. Ih
Thian-heng sudah kututuk jalandarahnya, Untuk beberapa waktu dia tak dapat bergerak."
"Kalau dia sudah dapat bergerak, kita pasti tak dapat hidup!" seru Kim Loji.
Han Ping tahu bahwa pamannya itu sudah terlanjur patah nyalinya terhadap Ih Thianheng.
Maka begitu melihat orangnya saja, sudah seperti melihat hantu.
Ketika berpaling ke arah Ting Ling, bukan kepalang kejut Han Ping. Tubuh nona itu
tengah dirayapi seekor ular aneh. Warnanya merah, berkembang putih. Panjangnya antara
semeter. Sekalipun jalan darahnya tertutuk tetapi pikiran Ting Ling masih sadar. Semangatnya
serasa terbang ketika tubuhnya dijalari ular aneh itu. Namun karena tak dapat berkutik,
iapun tak berdaya apa-apa.
Sedang Han Ping walaupun memiliki kepandaian sakti tetapi sesungguhnya ia agak jeri
terhadap ular. Tak berani ia menyambar dengan tangan. Serentak ia teringat akan Cong
To. Kalau pengemis sakti itu dapat bergerak tentu dengan mudah dapat menangkap ular.
Saat itu si ular mulai merayap ke arah kepala Ting Ling. Lidahnya yang merah,
menjulur-julur mengerikan sekali. Melihat itu Han Ping terpaksa memberanikan diri. Ia
menyambar ular aneh itu.
Sesungguhnya berkat kepandaian yang dimiliki saat itu, jangankan hanya ular kecil,
meskipun harimau, orang utan dan lain-lain binatang tentu tak mampu menghindar dari
sambarannya. Tetapi karena ia memang agak gentar kepada ular itu, maka ketika
tangannya memegang tubuh ular, tiba-tiba hatinya menggigil sehingga tangannya pun ikut
lemas. Adalah karena keayalan itu, si ular berkembang putih, tiba-tiba palingkan kepala dan
menyambar lengan Han Ping. Han Ping cepat condongkan tangannya terus menjentik
leher ular itu.
Celaka! Walaupun hanya menyelentik tetapi cukup membuat kepala ular itu terpental ke
muka lagi dan serentak menggigit lengan Ting Ling.
Han Ping terkejut dan marah sekali. Cepat ia memapas tubuh ular itu dengan telapak
jarinya. Karena menggunakan tenaga-dalam, ular itu kutung menjadi dua. Tetapi ia tetap
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyesal karena melihat lengan kiri Ting Ling tergigit ular sampai meninggalkan bengap
warna merah gelap sebesar uang sen. Cepat ia membuka jalan darah nona yang tertutuk.
Ting Ling menggeliat duduk dan menghela napas, "Ah". aku salah menyangkamu.
Kiranya engkau benar-benar hendak menolong Cong lo-cianpwe. Apakah Cong lo-cianpwe
terluka?" Begitu membuka mulut, nona itu segera menanyakan diri Cong To. sama sekali ia tak
menghiraukan luka digigit ular tadi.
"Cong lo-cianpwe hanya tertutuk jalandarahnya untuk sementara waktu. Tak lama dia
tentu tersadar"."
"Kutamparmu dua kali tadi apakah engkau marah kepadaku?" Ting Ling tertawa.
"Keadaan saat itu tak dapat menyalahkan engkau," kata Han Ping.
"Jadi engkau marah?" Ting Ling tertawa.
"Ah, sudahlah, jangan bicara seperti anak kecil! Bagaimana rasanya lenganmu yang
digigit ular tadi?"
Tetapi Ting Ling tak menyahut melainkan bertanya, "Entah berapa lama lagikah Cong
lo-cianpwe akan tersadar?"
"Kalau dia mampu lakukan penyaluran darah untuk membuka jalandarahnya yang
tertutuk itu, kira2 setengah jam lagi tentu sudah bangun."
"Lekas engkau buka jalandarah Cong lo-cianowe dan sekalian bunuh saja Ih Thian-heng
itu!" Han Ping kerutkan dahi, "Jika mau membunuh Ih Thian-heng saat ini adalah semudah
orang membalikkan telapak tangannya. Tetapi dia tentu penasaran, apalagi"."
"Apalagi bagaimana" Kekejaman dan keganasannya, di dunia tiada terdapat keduanya
lagi. Tindakannya ganas, kejahatannya kelewat takaran. Mengapa tak mau membunuh
manusia semacam itu?" seru Ting Ling.
"Dia telah membunuh ayahku dan menghina ibuku. Cita-citaku yang utama di dunia ini
ialah membunuhnya untuk membalas sakit hati orang-tuaku. Tetapi membunuh di kala dia
tak berdaya, bukanlah laku seorang ksatrya! Apalagi dia pernah melepas budi kepadaku.
Menurut kepantasan, aku harus satu kali melepaskannya juga."
Ting Ling menghela napas, "Kata-katamu benar! Tetapi dunia persilatan itu licik. Tak
mungkin lain orang akan berpikiran begitu murni seperti engkau?"
Tiba-tiba tubuh nona itu gemetar seperti orang yang menderita pukulan.
"Hai, mengapa engkau!" Han Ping berseru terkejut.
"Aku segera akan mati, harap engkau suka menurut beberapa permintaan ini,
maukah?" "Jika tak kucengkeram, ular itu tentu tak menggigit nona Ah, akulah yang mencelakai
nona"." Han Ping menyesali dirinya sendiri dengan berlinang-linang airmata.
Ting Ling Tersenyum, "Tak perlu engkau salahkan dirimu. Dan memang hal itu tak
dapat menyalahkan dirimu. Sekalipun tak digigit ular, aku pun tak mungkin hidup sampai
besok pagi . Nona itu menghela napas lembut. Wajahnya menampilkan keramahan yang mesra.
Pelahan-lahan ia ulurkan tangan kanan, menjamah Han Ping, ujarnya pula, "Dunia
persilatan mengatakan kami berdua gadis dari Lembah Raja-setan itu kejam dan ganas
seperti ular"."
"Ah, itu hanya desas desus saja. Sedikitpun aku tak merasakan hal itu"."
Ting Ling berkata pula, "Terima kasih atas pujianmu. Sebenarnya, dalam setiap
langkah, memang aku agak kejam. Orang mengatakan diriku begitu, memang bukan
omong kosong."
Han Ping hanya mendesus karena tak tahu harus menjawab bagaimana. Lalu batukbatuk.
"Tetapi adikku Ting Hong itu tidak berdosa," kata Ting Ling pula, "walaupun kami taci
dan adik saling sayang dan rukun, tetapi perangai kita memang beda. Adikku murni jujur,
baik hati. Sering2 menasehati agar aku suka memberi ampun orang. Tetapi watakku
memang sukar dirobah. Setiap menghadapi persoalan tentu menyelesaikan dengan cara
yang ganas. Misalnya seperti tadi. Jelas sudah kuketahui bahwa membunuh Ih Thian-heng
yang tak berdaya itu bukan perbuatan ksatrya. Tetapi toh kuminta engkau melakukan
juga"."
"Ah, karena nona memikirkan keselamatan diriku, lain tidak!" sahut Han Ping.
Ting Ling memegang tangan kanan Han Ping tiba-tiba ia memijatnya lebih keras, "Aku
hendak minta tolong kepadamu, entah engkau suka meluluskan atau tidak?"
"Asal dapat, aku tentu tak menolak!"
Ting Ling pejamkan mata. Dua butir airmata menitik turun dari pelupuknya, "Belum 20
tahun aku hidup tetapi banyak kejahatan yang telah kulakukan. Aku tak takut mati dan tak
ada sesuatu yang memberatkan hatiku. Satu-satunya yang menyebabkan aku tak dapat
meram di alam baka ialah adikku itu. Dia bakal tak ada orang yang merawatnya lagi. Sejak
umur 3 tahun sudah ditinggal mati ibu. Saat itu aku baru berumur 6 tahun. Hampir 14
tahun lamanya kami selalu berdua, baik tidur, makan dan ber-main-main. Walaupun saat
ini ia sedang berguru pada seorang tokoh sakti, tetapi begitu mendengar kabar tentang
kematianku, dia tentu tak mau hidup juga. Ayah karena meyakinkan suatu aliran tenagasakti
khikang, maka wataknya berobah aneh dan dingin. Terhadap adik Hong selama ini
belum pernah mengunjukkan rasa kasih sayangnya"."
Han Ping menghela napas pelahan lalu tundukkan kepala.
Ting Ling sandarkan tubuhnya pada Han Ping dan karena kasihan, Han Pingpun tak
sampai hati untuk menyiaknya. Terpaksa ia rentangkan kedua tangan untuk memeluk
tubuh si nona yang lunglai.
Ting Ling menghela napas, ujarnya, "Kutahu hatimu tentu resah. Tetapi aku akan mati.
Inilah permintaanku yang pertama kali kepada orang dalam sepanjang hidupku. Juga
merupakan permintaanku kepada orang yang terakhir kalinya"." dua butir airmata menitik
turun. Selama hidup belum pernah Han Ping menghadapi saat2 seperti itu. Dan belum pernah
ada orang yang minta begitu sangat kepadanya.
Hati pemuda itu bergolak. Memandang ke awan putih di cakrawala, diam-diam ia
menimang, "Soal ini bukan main beratnya. Meluluskan permintaannya berarti harus baikbaik
menjaga adiknya seperti adikku sendiri"."
Ringan tampaknya soal itu tetapi apabila direnungkan lebih dalam, beratnya bukan
kepalang. Ting Ling perlahan-lahan mengangkat muka. Ketika melihat Han Ping sedang
memandang ke atas langit, tahulah ia bahwa pemuda itu sedang menimbang persoalan
itu. Walaupun masih muda, tetapi Ting Ling sejak lecil sudah sering berkelana dalam dunia
persilatan sehingga ia tahu berbagai macam watak perangai orang. Ia tahu bahwa orang
yang tak mudah untuk berjanji, sekali sudah meluluskan, tentu akan memegang teguh
janjinya sampai mati.
Ting Ling mengisar tubuh, menyandarkan kepalanya di bahu Han Ping agar ia dapat
duduk agak lebih enak.
Ia mengetahui watak orang jujur seperti Han Ping itu. Maka ia tak mau lekas2
mendesak supaya Han Ping memberi keputusan. Dalam pada itu diam-diam ia menimang
dalam hati, "Ah, apabila dia meluluskan, aku tentu dapat meram di alam baka. Ting Hong
yang kasihan nasibnya itu, tentu bakal dapat seorang pelindung yang akan menjaganya
baik-baik."
Pikiran Ting Ling melayang lebih jauh. "Aku atau adik Hong harus salah satu yang mati.
Dengan demikian barulah ada salah satu yang dapat menikmati kebahagiaan. Aku dan
adik Hong sama-sama mencintai pemuda ini. Jika aku mati, adikku pasti bahagia. Akulah
yang membentuk kebahagiaan itu untuknya. Apabila keduanya berkelana di dunia
persilatan, lama kelamaan tentu akan tumbuh rasa sayang-menyayangi. Ah, adik Hong,
belasan tahun lamanya aku sering marah kepadamu. Tetapi sesungguhnya hatiku sayang
sekali kepadamu. Akh tak tahulah. Apabila kelak pada saat kalian menikmati kebahagiaan
adakah engkau akan ingat pada tacimu ini. Ji siangkong seorang jujur. Dia tentu akan
memberitahu kepadamu tentang permintaanku sebelum mati. Ah, adik Hong, pada saat itu
engkau tentu berterima kasih kepada tacimu"."
Wajah Ting Ling berseri-seri. Hatinya tenang sekali, Sedikitpun tak takut menghadapi
detik2 kematian.
Sambil merapikan rambutnya yang terurai, nona itu menimang lebih lanjut, "Orang
menganggap Kematian itu seperti perjalanan yang menyeramkan. Sekalipun ksatrya.
pendekar dan orang gagah, dalam detik2 menghadapi kematian tentu gelisah dan cemas."
Tetapi ia tak takut sama sekali akan kematian itu. Hatinya setenang telaga,
perasaannya secerah pagi hari". sikapnya bagai seekor anak kambing yang akan
mendambakan diri ke dalam pelukan malaekat Elmaut".
Tiba-tiba Han Ping sudah bulat dengan keputusannya. Ia menghela napas panjang dan
menatap si nona, "Ya, aku meluluskan. Biarlah dalam kehidupan yang sekarang ini, akan
kuperlakukan dia sebagai adikku sendiri."
Ting Ling tertawa puas. Perlahan-lahan ia pejamkan mata dan berkata dengan berbisik,
"Ah, kutahu, engkau tentu akan meluluskan. bagaikan sebuah gunung yang tak goyah
dilanda gelombang lautan, janjimu itu tentu takkan berobah selama-lamanya?"
Han Ping tertawa hambar, "Ah, nona terlalu memuji aku"." " berhenti sejenak, ia
berkata pula, "tetapi kalau aku mati, sudah tentu aku tak dapat menjaganya. Aku mau
menuntut balas sakit hati orangtuaku dan masih ada lain hal penting pula yang harus
kukerjakan. Karena hal itu sukarnya bukan main. Mungkin sebelum berhasil melaksanakan,
aku sudah mati lebih dulu"."
Ting Ling menghela napas rawan, "Jika sekarang engkau mau membunuh Ih Thianheng,
sudah satu dari tugasmu tentu selesai!"
Nona itu agak merentang pelupuk matanya. Ketika melirik dan melihat wajah Han Ping
mengerut gelap, buru-buru Ting Ling menyusuli kata-kata, "Ah, aku salah omong lagi.
Engkau seorang lelaki, seorang ksatrya perwira. Tentu akan bekerja dengan terus terang
tak seperti aku yang licik dan banyak muslihat ini".."
Han Ping tersenyum, tegurnya, "Eh, bagaimana keadaanmu saat ini?"
"Cepat! Segera akan mati!"
"Apakah engkau merasa tiada obatnya lagi?" tanya Han Ping.
"Tidak. Apakah engkau tak kenal akan ular tadi?" kata Ting Ling dengan tandas.
"Tidak."
"Ular itu disebut Pik sian-nio atau Nona selendang putih. Ular berbisa yang jarang
terdapat di dunia. Tokoh silat yang bagaimana saktinya tetap tak mampu bertahan dari
racunnya yang ganas. Menurut ceritanya, ular itu tiada punya bapak dan ibu yang
tertentu. Sejenis ular yang muncul dari tumpukan kotoran. Setiap kali lahir, tentu
sepasang, laki dan perempuan. Yang betina tubuhnya berjalur putih dan yang jantan
tubuhnya penuh dengan bintik2 putih. Yang betina ganasnya luar biasa. Yang jantan,
amat cabul sekali"."
Berkata sampai di situ, wajah Ting Ling bersemu merah kemalu-maluan. Ia segera
palingkan kepala dan susupkan muka ke dada Han Ping. Kemudian berkata pula, "Oleh
karena itu kaum persilatan menganggap ular itu sebagai makhluk aneh yang amat
berbahaya sekali!"
"Ah, kalau begitu dia tentu mau," diam-diam Han Ping membatin, "karena tiada
harapan tertolong lagi, akupun harus membantu sekuat tenaga. Cong lo-cianpwe paling
gemar bermain ular, tentu punya daya. Racun ular itu"."
Begitu mendapat pikiran, Han Ping terus mendorong tubuh si nona dari dadanya dan
terus hendak membuka jalan darah Cong To.
Tetapi Ting Ling memeluknya kencang2, "Mau apa engkau?"
"Hendak kubuka jalandarah Cong lo-cianpwe dan minta kepadanya supaya
mengobatimu!"
"Terlambat!" sahut Ting Ling,"begitu tergigit ular itu, orang paling lama tanya dapat
tahan sampai seperminuman teh. Sudahlah, tak perlu susah payah!"
Diam-diam Han Ping menghela napas, "Pukulan beracun Sam-yang-khi-kang masih
membeku di dalam dadanya. Jika sekarang tambah lagi dengan ular, ah, tak mungkin dia
dapat ditolong."
Kembali Ting Ling berbisik ke dekat telinga Han Ping. "Peluklah aku agak erat, maukah"
Agar aku dapat mati dengan tenang"."
Han Ping menghela napas. Belum ia sempat menjawab, Ting Ling sudah mendahului
lagi, "Mengapa engkau menghela napas?"
"Kutahu engkau bakal tinggalkan dunia fana ini tetapi aku tak dapat berbuat apa-apa
untuk menolong. Perasaanku sungguh sedih?" sahut Han Ping.
Tiba-tiba Ting Ling rasakan jantungnya bergolak keras. Diam-diam ia mengeluh dan
pejamkan mata, ujarnya, "Lekas, aku sudah merasa diraih elmaut. Peluklah aku erat2!"
Melihat keadaan nona itu, luluhlah hati Han Ping. Ia anggap nona itu sedang meregang
jiwa. Betapa jahat kalau ia menolak sehingga melukai hati nona itu. Maka tanpa
menghiraukan tata susila lebih lanjut, segera ia memeluknya kencang2.
Ketika menunduk, dilihatnya wajah Ting Ling tenang sekali dan mulut mengulum
senyum. Sedikitpun tak mengunjuk rasa takut mati. Tak ada tanda-tanda bahwa nona itu
menderita kesakitan karena digigit ular berbisa tadi.
"Ah, orang mengatakan bahwa mati itu seperti pulang ke rumah," diam-diam Han Ping
membatin, "nona ini benar-benar hebat. Mungkin kelak kalau aku menghadapi kematian,
takkan setenang seperti ini."
Sampai beberapa saat Han Ping terpukau memandang Ting Ling Seorang nona cantik
yang sedang menjelang keriangan masa muda. Tiba-tiba telah direnggut oleh maut".
Bayang2 pohon2 yang ditingkah matahari makin mengisar maju. Diam-diam Han Ping
memperhitungkan bahwa keadaan itu sudah seperminum teh lamanya. Diperhatikannya
wajah Ting Ling. ternyata nona itu masih bernapas. Sedikitpun tak ada tanda-tanda seperti
orang mati. Wajahnya tetap memerah segar, bibir mengulum senyum.
Han Ping heran. Jelas nona itu tak mengunjuk tanda-tanda seperti orang mati. Maka
diguncang2kannya tubuh Ting Ling seraya berseru pelahan, "Nona Ting". nona Ting". ."
Tiba-tiba Ting Ling membuka mata memandang Han Ping dan bertanya, "Apakah aku
sudah mati?"
Han Ping gelengkan kepala, "Tidak, sedikit pun engkau tak mengunjuk tanda-tanda
mati!" Tiba-tiba Ting Ling melenting bangun, lepaskan diri dari pelukan Han Ping. Sembari
merapikan rambutnya ia berseru, "Sungguh aneh"."
Ia menggigit jari telunjuknya sendiri, serunya, "Hai, aku benar-benar tidak mati!"
"Dunia persilatan mengatakan kalian berdua saudara dari Lembah Raja-setan itu, licin
dan banyak muslihat. Kiranya memang benar".."
"Ular Pek-sian nio itu ganasnya bukan kepalang. Orang yang digigitnya pasti mati.
Tetapi mengapa aku tak mati?"
Han Ping tertawa, "Kalau engkau tidak mati, akulah yang kaget setengah mati".."
"Kalau tak percaya, tanyakan saja nanti pada Cong lo-cianpwe. Orang yang digigit ular
sabuk putih itu dapat tertolong atau tidak!"
Tiba-tiba Han Ping teringat akan sebuah kalimat dalam buku Tat mo-cin-keng yang
mengatakan bahwa sesuatu kekerasan yang telah mencapai puncaknya tentu akan
menimbulkan Kelunakan.
"Ah, kutahulah"." akhirnya ia mendesus.
"Tahu apa" Kalau aku sengaja menipumu, biarlah kelak aku mati tersiksa," seru Ting
Ling dengan mengucurkan airmata.
"Eh, mengapa engkau bingung sendiri" Aku tak mengatakan kalau engkau menipu!"
Han Ping tertawa.
Sambil mengusap airmata, Ting Ling maasih heran, "Sungguh aneh sekali, mengapa
aku tak jadi mati?"
Han Ping memberi keterangan, "Apabila dua macam racun saling bertemu, maka
hilanglah khasiat kedua2nya. Dalam ilmu ketabiban pun terdapat apa yang disebut
`Mengobati racun dengan racun `. Tubuhmu masih mengandung racun Sam-yang-khikang.
Pada saat bertemu dengan racun ular Pek-sian-nio, kedua racun itu sama-sama
hilang khasiatnya"."
"Benar!" seru Ting Ling seperti disadarkan.
"Racun ular Pek-sian-nio termasuk jenis hawa Im yang murni. Sedang racun dari Sam
yang-khi-kang itu bersifat keras. Im dan Yang saling lenyap melenyapkan"."
"Begitulah".." kata Han Ping tertawa. Tiba-tiba ia teringat akan janjinya terhadap Ting
Hong. Ia tak jadi bicara lebih lanjut melainkan menghela napas. Kemudian ia melangkah
ke tempat Pengemis sakti Cong To.
Cong To dan Ih Thian-heng masih tetap rebah di tanah. Tetapi wajah mereka sudah
berseri merah. Rupanya pikiran mereka sudah pulih dan diam-diam sedang kerahkan
tenaga dalam untuk membuka jalan darah mereka yang tertutuk itu.
Han Ping berjongkok lalu mengurut dada Cong To. Tiba-tiba Cong To menghela napas
panjang dan menggeliat duduk. Memandang Ih Thian-heng, dia tertawa, "Masih berapa
lama lagikah engkau dapat bangun?"
Belum Han Ping menyahut, tiba-tiba Ih Thian-heng menggeliat bangun seraya berseru,
"Ah, saudara Cong tak perlu gelisah memikirkan diriku!"
Cong To tertegun. serunya, "Saudara Ih memang benar-benar lebih sakti dari Pengemis
tua!" Sambil tersenyum, Ih Thian-heng menjawab, "Jika tak memperhitungkan kemungkinan
akan menderita luka dalam, dalam seperminuman teh saja aku tentu sudah mampu
membebaskan diri."
Han Ping terkejut melihat kesaktian orang. Pikirnya, "Kepandaiannya benar-benar luar
biasa!" Ih Thian-heng bangun perlahan-lahan. Ketika melihat Ting Ling sedang memandang
Kim Loji, ia tertawa dingin dan memanggilnya, "Kim Loji, kemarilah!"
Kim Loji gemetar. Tetapi ia tak berani membangkang dan perlahan-lahan menghampiri.
Melihat itu Han Ping segera maju menghadang Ih Thian-heng, membentaknya nyaring,
"Apakah tenagamu sudah pulih kembali?"
"Sudah delapan bagian!" sahut Ih Thian-heng.
"Baik! Sekarang aku hendak turun tangan!" seru Han Ping seraya menghantam dengan
jurus Naga-sakti-keluar-air.
Keduanya pernah adu pukulan. Masing-masing sudah mengetahui kekuatan lawan.
Pukulan pertama dari Han Ping itu menggunakan tujuh bagian tenaga-dalamnya.
Ih Thian-heng menghindar ke samping lalu balas menebas dengan gerak Sungai-esmulai
cair.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Ping menangkis dengan tangan kiri, bersuit panjang dan maju merapat. Melihat itu
Ih Thian-heng gerakkan tangan kanan dalam gerak Menunjuk-langit-menggurat-tanah
untuk menahan pukulan dari pemuda lawannya. Tetapi dengan sebuah gerakan tubuh
yang luar biasa anehnya, Han Ping dapat menghindar dan tetap merapat maju.
Gerakan Han Ping itu, mengejutkan Ih Thian-heng. Bahkan Cong To pun terbeliak
kaget. Ia merasa gerakan yang dilakukan Han Ping itu tak mungkin ditahan dengan segala
jenis jurus ilmu silat.
Begitu merapat, Han Ping terus gerakkan kedua tangannya. Pukulan dan tutukan
serempak berhamburan menyerang lawan. Dalam sekejab saja ia sudah lancarkan buah
pukulan dan 4 buah tutukan jari.
Kecuali luar biasa cepatnya, pun kelima buah pukulan dan keempat tutukan itu
ganasnya bukan kepalang. Tutukan jari mencari jalan darah besar, pukulan mengarah
bagian tubuh yang berbahaya. Setiap gerakan jari maupun tinju selalu membawa maut
bagi lawan. Diserbu dengan serangan maut yang begitu gencar, Ih Thian-heng dipaksa mundur
beberapa langkah. Sembilan jurus serangan dan tepat sembilan langkah ia harus mundur.
Saat itu ia berada di muka sebuah makam besar. Sekeliling makam itu penuh ditumbuhi
rumput setinggi anak. Ih Thian-heng dipaksa harus masuk ke dalam gerumbul rumput
situ. "Tahan!" tiba-tiba Cong To lompat membentak Han Ping dan Ih Thian-heng terkejut.
Secepat kilat Cong To melayang ke belakang Ih Thian-heng, menyambar ke dalam
gerumbul rumput terus cepat-cepat menyurut mundur tiga langkah.
Karena kuatir pengemis tua itu akan menyerangnya dari belakang, Ih Thian-heng sudah
bersiap. Tetapi melihat pengemis itu mundur lagi, barulah ia longgar hatinya.
Berpaling ke belakang, Ih Thian-heng melihat pengemis tua itu sedang mencengkeram
seekor ular yang tubuhnya berbintik putih Panjang semeter dan besarnya seperti cawan
arak. Sebagai seorang yang luas pengalaman tahulah Ih Thian-heng bahwa pengemis tua itu
sedang mencekal seekor ular Pek-sian-nio yang amat berbisa. Tiba-tiba ia merasa malu
hati, pikirnya, "Kalau tadi kuhantamnya, pengemis tua itu tentu tak dapat menghindar dari
pukulan mautku. Tetapi akupun pasti akan digigit ular Pek sian-nio itu. Dan akupun tak
mungkin hidup juga?". Eh, tetapi mengapa tadi aku tak memukulnya" Apakah aku sudah
merasa kalau pengemis itu akan menolong diriku" Atau mungkinkah aku kuatir sekali
pukul tak dapat membinasakannya" Entahlah, entah! Tetapi jelas apabila pengemis itu
beratu dengan budak laki ini mengeroyok aku, aku pasti tak sanggup menghadapi"."
Sekalipun dalam hati merasa malu, tetapi ia tetap mengulum senyum seperti tak terjadi
suatu apa. Sambil memberi hormat ia berseru, "Ah, memang kemasyhuran nama saudara
Cong sebagai seorang ksatrya luhur itu tak bohong. Jika saudara Cong tak menolong, hari
ini jiwaku tentu melayang digigit ular berbisa itu!"
Cong To hanya tertawa dingin, "Dalam dunia persilatan dewasa ini hanya pengemis tua
seorang saja yang berani menentangmu. Berpuluh tahun selama ini, sesungguhnya
engkau mempunyai banyak kesempatan untuk melenyapkan pengemis tua. Tetapi engkau
selalu bermurah hati, memberi jalan hidup"."
Ih Thian heng hanya tersenyum tak menyahut.
Cong To batuk-batuk dua kali lalu melanjutkan, "Tetapi sesungguhnya engkau bukan
seorang manusia yang benar-benar berhati baik dan welas asih. Tindakanmu itu hanyalah
untuk menjaga tingkah lakumu yang palsu selama ini. Dengan membunuh pengemis tua,
mungkin kedok kepalsuanmu akan terbuka"."
Ih Thian-heng tertawa hambar, serunya, "Silahkan saudara Cong hendak mengucap
apa saja tetapi aku tetap mengucap terima kasih atas pertolonganmu hari ini!"
"Pengemis tua menolongmu itu bukan sekali-kali karena hendak mengharap terima
kasihmu. Melainkan mengharap agar kelak engkau mau merobah diri menuju ke jalan
yang benar. Mendirikan suatu pahala besar untuk kepentingan umat manusia!"
Ih Thian-heng menengadahkan kepala memandang langit dan merenung. Tiba-tiba ia
tertawa nyaring, "Dewasa ini seluruh kaum persilatan telah bersatu hendak menghadapi Ih
Thian-heng seorang. Apakah saudara Cong tak merasa ucapan itu agak sudah terlambat?"
Han Ping tertawa dingin, "Tingkah laku dari perbuatanmu selama ini, setiap orang
berhak menumpasmu. seluruh orang gagah dalam dunia persilatan telah engkau tipu
selama berpuluh tahun. Jika dulu2 mereka mau mendengar nasehat Cong lo-cianpwe
untuk bersatu padu memberantasmu, tentulah engkau tak sampai melakukan kejahatan
lebih banyak!"
Memperhatikan cuaca, berkatalah Ih Thian-heng, "Mengingat bahwa tadi engkau tak
mau menyerang aku secara pengecut, kali ini kuberimu ampun. Silahkan pergi, lekas!"
"Lain orang takut akan gertakanmu. Tetapi aku Ji Han Ping sedikitpun tak gentar.
Terimalah pukulanku ini!" Han Ping menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan dalam
jurus Burung-hong-melambung naga-menjelang.
Ih Thian-heng tertawa keras, "Seluruh orang gagah dalam dunia persilatan. hanya
engkau yang paling sesuai menjadi lawanku. Bagus!"
Ih Thian-heng menghindar ke samping lalu balas menutuk tiga kali dan memaksa Han
Ping mundur dua langkah.
Diam-diam Han Ping membatin, "Orang ini memang benar-benar hebat sekali. Ketiga
buah tutukan jarinya itu semua mengarah jalandarah yang berbahaya!"
Han Ping makin mempertinggi kewaspadaannya. Setelah mengempos semangat cepat
ia membalas sampai lima kali pukulan. Kelima pukulan Han Ping itu merupakan ilmu
kepandaian yang tercantum dalam kitab pusaka Tat mo-ih-kin-keng. Setiap jurus
mengandung tenaga-keras. Dan dengan lima buah pukulan itu, ia cepat memaksa lawan
mundur dua langkah juga.
Ih Thian-heng kerutkan ails. serunya, "Rupanya engkau mempunyai huhungan erat
dengan perguruan Siau-lim-si. Kelima pukulanmu tadi, merupakan jurus2 dalam ilmu
pukulan Cap-peh lo-han-ciang (18 dewa). Mengandung tenaga Toalat-kim-kong-ciang!"
Dalam pada berkata-kata itu Ih Thian-heng pun maju lagi dan menyerang. Tangan kiri
menabas, tangan kanan memukul.
Han Ping merasa bahwa ilmu pukulan lawan itu mengandung banyak perobahan yang
aneh dan luar biasa. Untuk sesaat itu tak mampu menemukan daya untuk
memecahkannya Maka ia tak berani menangkis melainkan loncat menghindar ke samping.
"Ah, kiranya engkau mengenal gelagat juga," seru Ih Thian-heng,"mengapa engkau tak
berani menangkis pukulanku Mengamankan-dunia ini" "
Han Ping tertawa dingin. Tangan kiri menampar ke udara, jari tangan kanan menebar
didorong ke muka.
Ih Thian-heng tercengang. Ia belum pernah melihat ilmu pukulan semacam itu. Oleh
karena ia merasa bahwa dalam jari2 lawannya itu mengandung jurus2 maut yang sukar
diduga, ia tak berani menangkis. Cepat ia enjot tubuh loncat mundur dua tiga langkah.
"Ih Thian-heng, mengapa engkau tak berani menangkis pukulanku Lima tali-serempakmelentik?"
Ih Thian-heng tersenyum, "Bagus, jurus Lima-tali-serempak-melentik yang hebat!" " ia
loncat maju lagi dan menghantam dari samping seraya berseru, "Budak kecil, cobalah
engkau rasakan jurus Badan-halilintar-serempak-timbul ini!"
"Mengapa tak berani?" sahut Han Ping sambil gerakkan tangan kanan untuk
menyambut. Ih Thian-heng tertawa dingin. Tiba-tiba ia endapkan pukulannya lalu tebarkan jari
untuk menutuk. Jika Ih Thian-heng melakukan perobahan, Han Pingpun juga tidak tinggal
diam. Ia juga julurkan kedua jarinya secepat kilat dijentikkan.
Dari adu pukulan sampai pada pukulan mereka lakukan dengan cepat sekali. Setiap
gerak perobahan itu mengandung ancaman maut.
Terdengar Han Ping dan Ih Thian-heng sama-sama mendengus tertahan dan samasama
mundur ke belakang, ternyata keduanya telah menderita luka. Begitu muncul
mereka lalu pejamkan mata mengambil pernapasan.
Wajah Ih Thian heng pucat lesi. Sedang muka Han-Ping merah seperti orang habis
minum arak. Baik Cong To maupun Ting Ling sama sekali tak mengetahui mengapa kedua orang itu
sama-sama menderita luka. Merekapun tak mendengar suara benturan pukulan sama
sekali. Tahu2 kedua seteru itu sudah sama-sama terluka.
Ting Ling buru-buru menghampiri ke tempat Han Ping dan bertanya, "Apakah engkau
terluka?" Han Ping sedikit membuka matanya, gelengkan kepala, "Hm, tetapi Ih Thian-heng pun
juga terluka!"
Ting Ling berpaling ke arah Ih Thian-heng, tanyanya pula, "Apakah lukamu berat?"
"Nanti baru ketahuan," sahut Han Ping.
Ting Ling terkesiap. "Kalau begitu tentu parah sekali!"
Han Ping tersenyum, "Mungkin tidak beralangan!"
Tiba-tiba terdengar orang berseru kepada Ting Ling, "Hai, budak-setan besar,
pamanmu datang!"
Ting Ling berpaling. Ah, ternyata pamannya Ting Yan-san, Leng Kong-siau, Ca Cu-jing
dan Ca Giok serta Nyo Bun-giau. Nona itu girang sekali.
"Apakah yang di sebelah muka itu Ling-ji?" seru Ting Yan-san pula.
"Ah, paman, selamat datang," seru Ting Ling.
Begitu tiba, rombongan Nyo Bun-giau itu terkesiap dan memandang ke sekeliling
tempat itu kepada Han Ping. Ih Thian-heng dan pengemis Cong To.
Ca Cu-jing memberi hormat berseru, "Apa kabar saudara Cong?"
Cong To balas memberi hormat lalu menjawab, "Pengemis tua tidak sakit, tak ada yang
tak baik selama ini."
Nyo Bun-giau membisiki Ting Yan-san. Ting Yan-san pun lalu berseru keras2
memanggil Ting Ling.
Sejenak memandang Cong To, si nona lalu menghampiri ke tempat pamannya. Kira2
lima enam langkah dari tempat Ting Yan-san, nona itu berhenti, "Paman hendak memberi
perintah apa kepadaku?"
Ting Yan-san batuk-batuk lalu berkata, "Kemana adikmu si Hong?"
"Disuruh tinggal dalam biara Hian-bu-kiong oleh Thian Hian-totiang."
Sambil berpaling ke arah Nyo Bun-giau, Ting Yan-san berseru, "Apa" Apakah Thian
Hian totiang juga berada di sini?"
Diam-diam nona itu menimang. Hadir atau tidaknya Thian Hian totiang di situ, ternyata
mempunyai pengaruh penting.
Ting Ling gelengkan kepala mengatakan tak melihat Thian Hian totiang. Diam-diam
Cong To memuji kecerdikan si nona yang tak mau membohongi orangtua tetapi suruh
mereka meraba-raba dalam dugaan sendiri.
Ting Yan-san kerutkan dahi, ujarnya, "Beradanya adikmu dalam biara Hian-bu-kiong itu,
sebelumnya engkau sudah tahu atau belum?"
"Tahu,"sahut Ting Ling.
"Kalau tahu kenapa mencegahnya?"
"Ilmu pedang Thian Hian totiang hebat biasa. Sekalipun maju berdua, kami tetap bukan
lawannya. Mana aku mampu mencegah?" jawab Ting Ling.
Rupanya Ting Yan-san terbentur dengan jawaban itu sehingga ia tak dapat berkata lagi.
Setelah diam beberapa jenak, barulah ia berkata pula, "Hmm, seorang gadis yang
sebatang kara luntang-luntung di dunia persilatan, apa macam! Mengapa tak lekas
pulang" Mau cari apa?"
Ting Ling tak mau membantah lagi dan segera mundur ke samping.
Tiba-tiba Pengemis-sakti Cong To memberi hormat kepada Ting Yan-san, "Ting losam,
pengemis tua hendak merundingkan sebuah hal dengan engkau. Entah engkau mau atau
tidak?" Ting Yan-san tertegun, serunya, "Ah, kalau saudara Cong mempunyai urusan, silahkan
bilang. Asal dapat, aku tentu tak menolak
Cong To tersenyum, "Dunia persilatan mengatakan bahwa kedua nona dari Lembah
Raja Setan itu, kejam dan banyak tipu muslihatnya. Terutama nona yang pertama lebih
ganas dari adiknya. Tetapi pengemis tua merasa nona yang pertama itu justeru lebih
menarik. Ingin kuambilnya sebagai puteri angkat, entah apakah engkau menyetujui atau
tidak?" Ucapan itu benar-benar di luar dugaan sekalian orang. Sampai Ting Ling sendiri juga
terkesiap. Cong To adalah seorang tokoh ternama. Pribadi dan sepak terjangnya, selalu lurus dan
terus terang. Sedang Lembah Raja Setan itu sudah terkenal jahat. Keganasan kedua nona
dari Lembah Raja Setan itu sudah termasyhur di seluruh dunia persilatan. Yang satu dari
Aliran Putih yang lain dari aliran Hitam. Mengapa tahu-tahu pengemis sakti itu hendak
mengambil anak-angkat pada Ting Ling"
Lama Ting Yan-san merenung baru ia berkata, "Bahwa saudara Cong ternyata
menvukai mereka, sungguh suatu kebanggaan bagi Lembah Raja Setan. Tetapi dalam hal
ini, aku tak berani mengambil keputusan. Harus minta ijin dari ketua lembah dulu."
Cong To tertawa gelak-gelak, "Selama hidup pengemis tua selalu bekerja tak kepalang
tanggung. Dalam soal itu sekalipun saudara Ting tak meluluskan pengemis tua tetap akan
memungutnya sebagai anak angkat."
Ting Yan-san batuk-batuk, katanya, "Dengan tindakan itu bukankah berarti saudara
Cong hendak menyusahkan aku?"
Cong To tertawa, "Engkau mengembalikan karcis undanganku, bukankah berarti juga
membikin susah padaku?"
Selagi kedua orang itu bertukar pembicaraan, diam-diam Nyo Bun-giau memperhatikan
wajah Ih Thian-heng. Saat itu tiba-tiba ia menyelutuk, "Sesungguhnya urusan saudara
Cong dan Ting berdua itu, aku tak seharusnya campur mulut. Tetapi sejauh
pendengaranku, belum pernah terjadi orang memungut anak atau murid dengan cara
paksa"."
Ia batuk-batuk pelahan, lalu melanjutkan pula, "Mungkin pengalamanku kurang luas
hingga apa yang kuketahui hanya terbatas sekali!"
Tiba-tiba Ih Thian-heng membuka mata dan tertawa, "Bukankah saudara Nyo
bermaksud menyiram minyak pada api untuk mencelakai diriku?"
Nyo Bun-giau tersenyum, "Akh, mana"." " walaupun mulut berkata begitu tetapi
diam-diam ia sudah pancarkan tenaga-dalam dari telapak tangannya ke arah Ih Thianheng.
Tetapi tepat pada saat itu juga, tiba-tiba ia rasakan dari dada Ih Thian-heng pun
menghambur tenaga dalam yang panas ke arahnya.
Dalam pada itu terdengarlah Ih Thian-heng tertawa sinis, "Jari saudara Nyo jangan
salah arah. Jika diletakkan pada tubuhku, kali ini aku tentu menderita luka parah!"
Nyo Bun-giau tak mau menjawab melainkan diam-diam menambah keras tenagadalamnya
sampai beberapa bagian lagi.
Saat itu Cong To pun sudah mendekat ke belakang Nyo Bun-giau dan secepat kilat
lekatkan tangan kanannya ke punggung Nyo Bun-giau, serunya dingin, "Harap saudara
Nyo lekas hentikan gerakan. Sekali kupancarkan tenaga-dalam, urat2 jantungmu tentu
akan putus!"
"Belalang menubruk tonggeret, burung gereja membayangi di belakang. Saudara Cong
apakah engkau tak memandang mata padaku?"
Tiba-tiba sesosok tubuh mendekat ke belakang Cong To. Cong To terkejut dan
mengisar ke samping. Tetapi sudah terlambat.
Sebuah tangan telah melekat di punggung pengemis sakti itu".
Jilid 25 : Ih Thian Heng bertempur melawan Empat tokoh dari dua lembah
dan tiga marga Gajah, harimau dan ular.
"Sekali saudara Cong pernah melepas budi kepadaku," tiba-tiba terdengar suara Ca Cujing,
"tetapi dalam keadaan seperti saat ini, terpaksa aku tak dapat mengorbankan
kepentingan umum"."
Cong To hentikan gerakannya. Ia berdiri diam dan mendengus dingin, "Ca Cu-jing,
apakah engkau merasa yakin tentu dapat melukai pengemis tua ini?"
Ca Cu-jing tertawa, "Sama sekali aku tak bermaksud melukai saudara Cong, asal
saudara suka lepaskan diri dari campur tangan urusan ini!"
Sekalipun mulut Cong To bernada garang, tetapi diam-diam ia menyadari. Bahwa sekali
ketua Marga Ca itu perkeras tenaganya, urat2 jantungnya tentu akan putus. Maka iapun
diam saja dan mencari akal untuk lepaskan diri.
Terdengar, Leng Kong-siau dan Ting Yan-san tertawa gelak-gelak seraya menghampiri.
Leng Kong-siau sudah berdiri di belakang Ih Thian-heng sedang Ting Yan-San cepat
lekatkan tangan ke punggung Han Ping.
Mata Ih Thian-heng berkeliaran memandang ke sekeliling tetapi tubuhnya tetap berdiri
tak bergerak. Han Ping pun tetap pejamkan mata, seolah-olah tak tahu kalau punggungnya dilekati
tangan Ting Yan-san.
Ca Cu-giok berdiri dua tiga tombak jauhnya untuk melihat perobahan
perkembangannya. Sementara Ting Ling walaupun tampaknva acuh tak acuh tetapi
sesungguhnya ia sedang gelisah mencari akal untuk memecahkan ketegangan saat itu.
Kim loji masih jeri terhadap Ih Thian-heng dan berdiri terpukau.
Angin pegunungan pada musim rontok, meniup menderu-deru. Pohon2 jati berderakderak,
makin menambah ngeri suasana tempat itu "
Suasana yang berlangsung saat itu benar-benar penuh diliputi dengan berbagai
pertentangan. Masing-masing fihak mempunyai rasa takut tetapipun saling mendendam
permusuhan. Dan adalah karena saling memburu keuntungan maka keadaan pun
bertambah makin ruwet. Rasa persahabatan dilumuri rasa untuk memiliki keuntungan.
Dendam permusuhan diselipi rasa persahabatan.
Tiba-tiba Leng Kong-siau mengangkat tangan kanannya terus diletakkan pada jalan
darah Beng-bun-hiat di punggung Ih Thian-heng, serunya, "Jika aku bersama saudara Nyo
bersatu untuk menekan dari muka belakang, entah apakah mampu untuk merubuhkan
saudara Ih?"
Sambil memandang ke arah Han Ping, Ih Thian-heng tertawa tak acuh. Jika umurku
memang masih panjang, apakah tenaga saudara berdua itu dapat membunuh diriku" Aku
sendiri tak tahu entah apakah saudara Leng sudah memperhitungkan hal itu?"
Leng Kong-siau tertegun tak dapat menjawab. Saat itu Nyo Bun-giau sudah kerahkan
seluruh tenaga dalam ke arah telapak tangannya. Ia siap untuk menggempur dada Ih
Thian-heng dengan sekuat tenaga. Dia memperhitungkan, jika mengerahkan seluruh
tenaga, paling tidak daya kekuatannya tentu dapat mencapai 3000 kati. Betapapun Ih
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian-heng hendak melawan, rasanya tentu sukar. Sekalipun tidak sampai binasa, tetapi
pasti terluka parah. Ia yakin bahwa ilmu sakti Pasir Emas yang dimilikinya itu, merupakan
ilmu tunggal yang istimewa dalam dunia persilatan. Dan setelah terluka itu, apabila nanti
Ih Thian-heng nanti mengamuk, ia tentu masih dapat menghadapinya. Apabila perlu, ia
dapat meminta bantuan Leng Kong-siau dan Ting Yan-San untuk mengeroyok.
Tetapi sekalipun sudah dapat memperhitungkan kekuatan lawan dengan kekuatannya
sendiri tetapi pada saat itu punggungnya telah dikuasai Cong To. Ia kuatir kalau
mengerahkan tenaga dalam menekan Ih Thian-heng, Cong To pun akan bertindak
demikian kepada dirinya. Oleh karena kalau menghamburkan tenaga dalam menekan Ih
Thian-heng itu berarti tenaga penjagaan dirinya kosong, maka asal Cong To menggunakan
sedikit tenaga saja, iapun pasti akan mati.
Diam-diam orang she Nyo itu hanya mengharap agar Ca Cu-jing turun tangan lebih
dahulu untuk menghancurkan si Pengemis sakti. Dengan demikian ia tentu longgar dari
bahaya. Tetapi Ca Cu-jing masih mengingat akan budi dari Pengemis sakti. Ia menekan
punggung pengemis itu dengan maksud agar pengemis itu segera lepaskan tangannya
yang menekan punggung Nyo Bun-giau. Ia belum tiba pada rencana untuk melukai
pengemis sakti itu.
Namun Ca Cu-jing sungkan untuk menyatakan keinginanya kepada pengemis Cong To.
Maka ia segera gunakan ilmu Menyusup-suara, "Saudara Cong, keadaan saat ini, hanyalah
untuk menghadapi Ih Thian-heng dan budak itu. Jika saudara Cong suka meluluskan untuk
tidak ikut campur tangan, segera akan kutarik tanganku yang melekat pada punggung
saudara ini!"
Cong To tertawa gelak-gelak, "Tak apalah. Karena aku toh takkan menderita kerugian
apa-apa. Bahkan akan kupinjam tenaga saudara dan kugabungkan dengan tenagaku
untuk memberi tekanan yang lebih dahsyat pada punggung Nyo Bun-giau ini!"
"Tetapi sekalipun dapat meremukkan urat jantung Nyo Bun-giau tetapi saudara Cong
sendiri juga takkan hidup!" seru Ca Cu-jing.
Cong To tertawa, "Lambat atau cepat pengemis tua ini toh akan mati juga. Jiwa
pengemis tua ditukar dengan sebuah jiwa"."
Nyo Bun-giau cepat menukas, "Kalau menurut keinginan saudara Cong, aku harus
meminjam tenagamu dan tenaga saudara Cong, untuk menghancurkan Ih Thian-heng!"
Cong To tertawa nyaring, "Bagus, bagus! Itulah yang dinamakan mati habis-habisan"."
Ih Thian-heng deliki mata kepada Nyo Bun-giau, "Dalam waktu seperminum teh
lamanya, kukuatir saudara Nyo tentu terpaksa melepaskan tangan saudara yang melekat
pada punggungku!"
"Ah, belum tentu!" jawab Nyo Bun-giau.
Cong To tertawa gelak-gelak lagi, serunya, "Jika kita hari ini harus mati semua, dan
selanjutnya dunia parsilatan tentu aman dari pergolakan berebut"." tiba-tiba ia berpaling
ke arah Ting Ling dan berseru, "Setan perempuan yang besar, selagi pengemis tua belum
mati, lekas engkau sebut aku dengan panggilan ayah angkat! Agar kelak ada yang
menyambangi kuburanku."
Sejenak merenung, Ting Ling terus berlutut di tanah dan berseru, "Puteri angkat Ting
Ling memberi hormat kepada ayah angkatnya!"
Cong To tertawa lepas. "Sebenarnya pengemis tua benci akan adat istiadat manusia.
Tetapi keadaan saat ini berbeda. Ya, tak apalah!"
Melihat anak kemanakannya benar-benar menyebut pengemis tua sebagai ayah angkat,
Ting Yan-san menguak-nguak marah sekali, "Bagus! Budak setan, kulihat engkau sudah
berkhianat. Lebih dulu akan kubereskan jiwa budak laki-laki ini, dan baru nanti membuat
perhitungan dengan engkau!"
Ia terus kerahkan tenaga dalam untuk menghancurkan tubuh Han Ping, Tetapi
alangkah kejutnya ketika mendapatkan bahwa punggung pemuda itu berobah seperti
segumpal kapas yang lunak.
Tepat di kala Ting Yan-san terpaku itu secepat kilat Han Ping pun sudah menyelinap
dan merapat ke samping Ca Cu-jing lalu luruskan tiga buah jarinya dengan jurus tigamataharimenyinari-Thaysan, menutuk tiga buah jalan darah tubuh Ca Cu-jing.
Sebelum jari tiba, anginnya sudah menampar tajam.
Ca Cu-jing kaget sekali. Diam-diam ia memuji, "Angin gerakan jari yang lihay sekali!"
Cepat ia miringkan tubuh menghindar. Tetapi jarinya yang melekat pada punggung
Cong To tetap tak berkisar. Dengan gerak Memutar-balik-Im-yang, ia gerakkan tangan kiri
untuk menyambar pergelangan tangan Han Ping.
Han Ping tertawa dingin. Tutukan ketiga jarinya itu mendadak dirobah menjadi gerak
Kim-liong-jiu atau menangkap naga. Begitu membalik telapak tangannya, ia menang cepat
mencengkeram siku lengan Ca Cu-jing.
Apabila tokoh-tokoh sakti bertempur, menang kalah hanya berlangsung pada beberapa
kejab mata saja. Ca Cu-jing telah menderita kekalaban. Seketika ia rasakan siku lengannya
kesemutan. Ia kalah cepat dengan lawan.
Tetapi ketua dari Marga Ca itu memiliki kepandaian yang hebat serta kaya akan segala
pengalaman. Dalam ancaman bahaya, ia tak cepat gugup. Meskipun telah dikuasai lawan,
ia tetap tak mau melepaskan tangannya yang melekat pada punggung Cong To. Ia
tebarkan jari tangan kiri untuk balas mencengkeram siku lengan kanan Han Ping.
Maksud Han Ping hanyalah memaksa Ca Cu-jing supaya lepaskan tekanannya pada
punggung Cong To. Tetapi oleh karena Ca Cu-jing ngotot hendak mengadu jiwa, marahlah
Han Ping. Cepat ia memperkeras cengkeramannya.
Tetapi sebagai seorang jago tua yang berpengalaman, Ca Cu-jing sudah siap. Karena
kalah cepat sehingga siku lengannya dicengkeram lawan, diam-diam ia sudah
memperhitungkan kemungkinan Han Ping akan menambah keras tenaga cengkeramannya
itu. Maka ketika ia hendak balas mencengkeram siku lengan Han Ping, diam-diam ia sudah
kerahkan tenaga dalam untuk menjaga kemungkinan Han Ping akan memijat lebih keras.
Seketika Han Ping dan Ca Cu-jing sama-sama merasa siku lengannya seperti dijepit besi
keras. Saat itu Ting Yan-sanpun sudah memburu tiba terus hendak memukul punggung Han
Ping. Pemuda itu mendadak menarik lengan kirinya ke belakang diserempaki dengan
memutar tubuh setengah lingkaran. Dengan jurus Awan-berarak-menutupi-bulan, ia
ayunkan tangan kirinya untuk melindungi diri.
Karena tak melihat suatu lubang kelemahan pada Han Ping, diam-diam Ting Yan-san
terkejut dan cepat menyurut mundur dua langkah.
Sambil perkeras cengkeramannya pada siku lengan Han Ping, Ca Cu-jing berbisik,
"Saudara Ting, lekas bereskan orang ini!"
Ting Yan-san mengiakan. Sekaligus ia gerakkan kedua tangannya untuk menghantam
ke atas dan ke bawah.
Cepat Han Ping gunakan Jurus Burung-belibis-kebaskan-sayap untuk menampar
lambung Ting Yan-san. Karena harus menyelamatkan diri, Ting Yan-san terpaksa
menyingkir ke samping dua langkah sehingga serangannya pun percuma saja.
Dua kali tokoh dari Lembah Raja Setan menyerang, semua dapat dihalau oleh Han
Ping. Ting Yan-san geram dan marah. Dengan menggerung keras, ia menyerang lagi
dengan pukulan Air-terjun-mengaliri-sumber.
Karena tangan kanannya sedang adu cengkeram melawan Ca Cu-jing, maka Han Ping
hanya gunakan tangan kiri untuk menghadapi Ting Yan-san. Sekalipun begitu, hampir 14
jurus lamanya tetap masih bertahan.
Melihat Han Ping dapat memberi perlawanan sampai sekian lama, kejut Ting Yan-san
bukan kepalang. Ia merasa malu dan marah. Pikirnya, "Hm, budak ini ketika pertama
bertemu dengan aku, masih belum begini lihay. Rupanya ia telah memperoleh kemajuan
yang pesat sekali. Kalau sekarang tak dapat melenyapkannya, bukan hanya aku akan
kehilangan muka, pun kelak tentu menimbulkan bencana padaku."
Setelah mengambil keputusan, seketika menyalalah nafsu pembunuhannya. Setelah
melontarkan dua buah pukulan, ia cepat menyurut mundur. Tegak berdiri pejamkan mata,
kedua tangannya diacungkan ke atas dalam gaya mencengkeram.
Melihat gerakan aneh dari orang she Ting itu, diam-diam Han Ping heran. Timangnya,
"0rang2 Lembah Raja Setan itu memang semua serba misterius!"
Ting Ling yang sejak tadi mengikuti pertempuran itu dengan penuh perhatian, diamdiam
ia terkejut ketika melihat pamannya sedang menyiapkan ilmu istimewa dari Lembah
Raja Setan. Cakar Setan Hian-im yang terdiri dari 24 gerak, merupakan ilmu kebanggaan
dari kaum Lembah Raja Setan. Ilmu itu luar biasa gerakannya dan sukar sekali diduga
gerak perobahannya. Setiap gerak cengkeramannya mengandung ilmu tenaga sakti Hianimgi-kang. Ilmu itu walaupun termasuk aliran ganas tetapi merupakan ilmu pamungkas.
Selalu untuk berhadapan dengan musuh yang sakti, tak boleh sembarangan dalam
penggunaannya. Jika tangan kanan Han Ping tak terikat adu tenaga dalam dengan Ca Cu-jing. tentulah
anakmuda itu masih dapat menghadapi Ting Yan-san. Tetapi karena Han Ping tak bebas,
mungkin ia tak dapat bertahan serangan tenaga sakti Cakar-setan-hian-im yang ganas
sekali itu. Tetapi betapapun Ting Ling gelisah, ia tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya
bingung dan mengucurkan keringat dingin.
Ca Giok memandang ke arah Ting Ling dan sengaja menghela napas, serunya, "Jika
saudara Ji tidak adu tenaga dengan ayahku, aku tentu akan membantunya!"
Ting Ling tertawa, "Hm, kalau tidak membantu Han Ping, seharusnya engkau
membantu ayahmu!"
Ca Giok tertegun, "Ayahku bagaimana?"
Cepat ia memandang ke arah ayahnya.
"Dikuatirkan ayahmu tak dapat bertahan lama," sahut nona itu.
Sesungguhnya ia hanya sembarangan saja berkata, tetapi ketika melirik, didapatinya
wajah pemuda itu tampak serius. Diam-diam ia heran sendiri. Benarkah kepandaian Han
Ping saat ini telah mencapai kemajuan yang luar biasa hebatnya"
Sejenak memandang ke arah ayahnya. Ca Giok tiba-tiba maju menghampiri. Melihat itu
Ting Ling terkejut dan cepat memburunya, "Mau apa engkau?"
Sekonyong-konyong Ca Giok loncat ke muka ayahnya dan berseru pelahan, "Ayah!"
Tetapi Ca Cu-jing membentaknya, "Lekas mundur!"
Belum Ca Giok menyahut, tiba-tiba Nyo Bun-giau berteriak keras dan menarik
tangannya yang dilekatkan pada dada Ih Thian-heng lalu mengisar ke samping.
"Sabuk Putih!" Ting Ling menjerit.
Ca Cu-jing menunduk. Seekor ular ganas yang disebut Pek-sian-nio atau Sabuk Putih
telah melingkar di bawah kakinya. Ular itu merupakan ular yang paling ganas di antara
jenisnya. Sebenarnya ia dapat menendang kepada ular itu.
Karena Nyo Bun-giau menyusur ke samping maka tangan Cong To yang melekat pada
punggung Nyo Bun-giau itupun ikut terseret ke samping. Pada saat itu Ca Cu-jing sedang
mengangkat kaki kiri untuk menginjak ular Sabuk Putih. Karena gerakan Cong To, tubuh
Ca Cu-jing telah kehilangan keseimbangannya dan terpaksa ikut bergeser ke samping
juga. Sekalipun gerakan tokoh itu susul menyusul berturut-turut, tetapi karena amat
cepatnya, sepintas pandang seperti dilakukan dalam waktu serempak.
Pada saat tubuh Ca Cu-jing bergerak, Cong To cepat menggunakan kesempatan itu
untuk membebaskan punggungnya dari lekatan tangan Ca Cu-jing.
Waktu itu Ting Yan-san pun sudah selesai menyalurkan tenaga-ganas Cakar-setan-hianim
dan segera akan dihantamkan kepada Han Ping. Pertama, untuk melenyapkan bahaya
di kemudian hari. Dan kedua untuk mempamerkan ilmu istimewa dari Lembah Raja Setan
di hadapan tokoh tokoh persilatan yang berada di situ.
Tetapi alangkah kejutnya ketika membuka mata, ia dapatkan keadaan sudah berobah.
Diam-diam ia membatin, "Ketua Lembah pesan wanti2, kalau tak menghadapi musuh
tangguh tak boleh menggunakan ilmu Cakar-setan itu.
Karena situasi sudah berobah dimana ia masih belum tahu fihak mana yang kalah dan
menang, maka terpaksalah ia tak jadi lepaskan pukulan ganas itu. Sejenak memandang
situasi gelanggang pertempuran, kembali ia pejamkan mata dan pura-pura masih
mengerahkan tenaga.
Tokoh-tokoh yang berada itu, masing-masing terdiri dari bangkotan tua yang julig, licik
dan licin. Masing-masing tak mau menderita kerugian untuk dijadikan korban lebih dulu.
Begitu melihat gelagat tak baik, yang penting mereka cepat-cepat berusaha menjaga diri.
Setelah itu baru melihat perkembangannya lagi.
Terdengar Ih Thian-heng tertawa dingin. "Apakah saudara Leng masih tetap tak mau
menyingkir?"
Agaknya Lang Kong-siau mau mendengar kata. Sambil mengiakan, ia melesat ke
samping. Suasana yang tegang regang, saat itu tampak reda kembali.
Cong To yang lepaskan cengkeraman tangannya pada punggung Nyo Bun-giau,
mundur dua langkah, serunya, "Pengemis tua tak mau mencuri kesempatan untuk
mencelakakan orang. Silahkan saudara Nyo mengambil pernapasan dulu. Setelah engkau
merasakan tenaga murnimu sudah pulih, kita nanti bertempur lagi!"
Ih Thian-heng tersenyum, "Saudara Cong tak perlu kuatir. Nyo Bun-giau sudah kulukai
dengan tenaga sakti Thay kek-gi-kang. Dalam dua jam ini, ia tak punya kekuatan
bertempur lagi."
Cong To tertawa dingin, "Saudara Ih tak usah mengobral kemurahan hati. Pengemis
tua tak ingin bantuanmu."
Jenggot panjang orang she Ih itu tampak tergetar. Jelas ia tersinggung oleh kata-kata
pengemis sakti itu. Tetapi ia benar-benar seorang tokoh yang kuat menahan perasaan.
Sejenak merenung, ia tertawa hambar, "Tak peduli bagaimana hati saudara Cong, tetapi
aku tetap akan membantumu!"
Saat itu Ca Cu-jing pun sudah menendang ular Sabuk putih sampal beberapa langkah.
Lalu ia loncat ke samping.
Han Ping pun menarik pukulannya dan tak mau mengejar. Suasana kembali seperti
semula lagi. Ting Yan-san tiba-tiba membuka mata dan berseru keras, "Ling-ji, kemari engkau!"
Cong To ternyata menyambar ular Sabuk Putih yang ditendang Ca Cu-jing tadi. Serunya
tertawa Ular beracun ini telah menolong jiwa pengemis tua. Sungguh tak kira kalau
binatang begini ada juga gunanya!"
Karena dicekal sirip kepalanya, ular itu tak dapat berkutik. Cong To segera
melingkarnya lalu dimasukkan ke dalam kantong hitam yang diambil dari saku bajunya.
Leng Kong-siau berteriak nyaring, "Ular Sabuk Putih itu ular yang luar biasa ganasnya.
Sekali menggigit, tiada obatnya lagi. Harap saudara Cong berhati-hati!"
Cong To tersenyum, "Tak usah saudara Leng kuatir, aku mempunyai ilmu untuk
menundukkan ular!"
Pengemis sakti itu lalu alihkan pandang ke arah Ting Ling. Tampak nona itu maju
menghampiri ke tempat Ting Yan-san dengan wajah ketakutan.
Tiba-tiba Ih Thian-heng memberi hormat kepada Cong To, "Selagi di hadapan saudara
Cong, kunyatakan bahwa mulai sejak saat ini aku takkan menarik panjang tindakan
khianat dari Kim loji!"
Cong To hanya tertawa dingin, "Dalam hal ini pengemis tua tak minta belas kasihan
saudara Ih!"
Sambil mengurut jenggot, Ih Thian-heng tertawa dan mengalihkan pertanyaan, "Ada
sebuah hal yang hendak kuminta saudara Cong suka menjadi saksi. Entah apakah saudara
suka meluluskan atau tidak?"
Sekalipun tak suka akan pribadi Ih Thian-heng, tetapi Cong To mengakui bahwa orang
she Ih itu memang lebih tenar dari dirinya. Mendengar permintaan orang, terpaksa ia tak
dapat menghindar. Setelah batuk-batuk kecil ia berkata ; "Ah, saudara begitu memandang
tinggi kepada pengemis tua. Kalau begitu silahkan bilang saja. Asal mengenai hal yang tak
melanggar kepentingan umum, pengemis tua tentu akan mempertimbangkannya!"
Kata Ih Thian-heng, "Kecuali fihak It-kiong, orang" dari Dua Lembah dan Tiga Marga
telah berkumpul termasuk Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing, dua tokoh terkemuka dari
kalangan mereka. Peristiwa itu merupakan suatu pertemuan yang luar biasa."
Setelah merenung Cong To mengiakan.
"Harap saudara Cong bersama saudara muda itu (Han Ping ) suka menjadi saksi di
samping, sekalian untuk beristirahat. Setelah kuberi pelajaran kepada mereka berempat,
barulah kita nanti membereskan urusan kita berdua lagi. Bagaimana, setujukah saudara
Cong?" Cong To tak mengira bahwa yang akan dikatakan Ih Thian-heng itu ternyata mengenai
urusan begitu. Sesaat ia tak dapat menemukan jawabannya.
"Dalam soal ini engkau harus memberi waktu kepada pengemis tua untuk berpikir,"
akhirnya Cong To menyahut.
"Ih Thian-heng!" teriak Ca Cu-jing marah, "apakah engkau yakin tentu dapat
menghadapi kami berempat?"
Ih Thian-heng tersenyum, sahutnya, "Asal saudara Cong meluluskan nntuk menjadi
saksi saja, kalian berempat boleh maju coba-coba!"
Diam-diam Cong To menimang; "Mengapa Ih Thian-heng begitu mengindahkan
kepadaku" Apakah dia benar-benar takut kepadaku" Ataukah kepada Han Ping"
Betapapun juga, nyata ia hendak memperalat diriku. Tetapi orang Lembah Raja-setan,
Lembah Seribu-racun, marga Nyo dan marga Ca itu juga bukan manusia baik-baik. Lebih
baik biarkan Ih Thian-heng bertarung dengan mereka. Betapapun tinggi kepandaian Ih
Thian-heng tentu tak mudah memenangkan keroyokan keempat orang itu!"
"Pengemis tua tak menghiraukan kedua belah fihak, pun tak akan menjadi saksi!" seru
Cong To dengan nada dingin.
"Cukup kalau saudara meluluskan tak ikut campur sajalah!" kata Ih Thian-heng.
Karena memperhatikan Ting Ling maka Han Pingpun tak mendengar pembicaraan
kedua orang itu.
Tampak saat itu si nona sedang berjalan dengan langkah yang berat menghampiri ke
tempat pamannya, Ting Yan-san. Lebih kurang satu setengah meter dari tempat
pamannya, ia berhenti.
"Ada pesan apakah paman memanggil aku?" katanya.
"Maju dua langkah lagi, engkau!" seru Ting Yan-san dingin.
Ting Ling menurut, serunya, "Paman?"
"Maju lagi sedikit!"
Sejenak Ting Ling bersangsi, tiba-tiba ia cepat maju dua langkah dan berdiri di hadapan
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pamannya. Plak". tiba-tiba Ting Yan-san tamparkan tangan kanannya sehingga Ting Ling
berputar-putar sampai tiga kali lalu jatuh terduduk di tanah. Separoh pipinya membengkak
merah, mulut bercucuran darah.
Ting Yan-san menampar keras dan Ting Ling tak mau menghindar maupun kerahkan
tenaga dalam untuk menahan. Sudah tentu nona itu tak kuat menderitanya.
"Paman, mengapa engkau memukul aku. ..?" teriak Ting Ling terus pingsan.
Han Ping marah sekali. Ia melesat ke muka Ting Yan-san, "Mengapa engkau
menamparnya!"
"Mengapa aku tak bisa menamparnya?" Ting Yan-san balas menyahut.
Han Ping tertegun. Ia teringat bahwa Ting Yan-san itu adalah paman dari Ting Ling.
Sudah tentu berhak menghajar. Sejenak merenung, Han Ping terus mundur lagi.
"Hai, siapa yang berani memukul anak perempuan angkatku itu!" teriak Cong To seraya
loncat dan mengangkat tubuh Ting Ling.
Ih Thian-heng tertawa nyaring, serunya, "Biarlah kulonggarkan kemengkalan hati
saudara Cong untuk puterimu itu!"
Dalam pada berkata itu, Ih Thian-heng pun sudah loncat ke hadapan Ting Yan-san
terus menamparnya.
Ting Yan-san menyurut mundur. "Apakah saudara Ih hendak berkelahi dengan aku?"
Pedang Berkarat Pena Beraksara 15 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Mas 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama