Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 11
serupa dulu, malahan tambah memancarkan cehaya rasa benci dan dendam
Kalau tidak melihat sinar matanya itu, tentu Lamkiong Peng tidak kenal iagi
perempuan kurus kering dan bermuka buruk ini adalah Tek-ih Hujin yang
dahulu terkenal pintar berubah rupa dan cantik molek itu.
Dalam keadaan demikian, Lamkiong Peng hanya merasa menyesal saja, maka
ia tutup mulut tanpa bicara.
"Kenapa engkau diam saja?" tanya Tek-iu Hujin dengan tertawa senang.
"Setelah jatuh di tanganmu, terserah padamu akan diapakan diriku," ajar
Lamkiong Peng. "Apakah kau minta kubunuhmu?" "Silakan, makin cepat makin baik." "Haha,
kau ingin kubunuhmu, aku justru merasa keberatan," Tek-ih Hujin terbahak,
lalu sambungnya, "Sekarang engkau telah menjadi mestika ratuku, mana
kutega membunuhmu. Nanti setelah kehabisan tenaga baru akan kutarik kau
ke atas." Terbayang entah apa yeng akan terjadi bila jatuh dalam cengkeraman
perempuun keji ini, Lamkiong Peng merasa lebih baik mati saja sekarang.
Tanpa ragu segera ia angkat tangan dan hendak menghantam kepala sendiri.
Mendadak Tek-ih Hujin terkekeh pula dan berseru, "Haha, masa akan kau
bunuh diri begitu saja" Apakah engkau tidak ingin tahu di pulau ini masih ada
siapa lagi selain diriku?"
"Hah, ada siapa Iagi?" seru Lamkiong Peng.
"Biarpun pecah kepalamu kaupikir juga takkan kau duga Bwe Kim-soat juga
berada di sini," tutur Tek-ih Hujin dengan tartawa senang.
Tentu saja Lamkiong Peng terkojut, "Kenapa dia berada di sini?"
"Dia menumpang sebuah perahu tua dan terdampar ke sini, perahunya kandas
di pantai karang sana, perahu pecah dan tak dapat berlayar Iagi, terpaksa ia
mendarat. Waktu itu aku tidak tahu dia adalah orang yang membikin celaka
diriku, sebaliknya dia juga tidak mengenali diriku . . . . "
Kiranya tempo hari Bwe Kim-goat menumpang perahu sendirian dan
meninggalkan mereka, meski dia paham cara berlayar, namun cuma sendirian.
mana dia mampu menguasai sebuah perahu di tengah gelombang laut
sedahsyat itu. Di tengah lautan seluas itu, dia kehilangan arah, air minum dan perbekalan
yang dibawanya pun habis.
Mendingan kalau cuma lapar saja. kehausan itulah yang sukar ditahan. Dalam
keadaan lapar dan haus akhirnya ia jatuh pingsan.
Entah berapa lama ia terbawa perahu tanpa kemudi itu, akhirnya perahunya
kandas- Memangnya perahu itu sudah tua, karena benturan batu karang. perahu
pecah, hanya tidak segera tenggelam karena tertahan oleh batu karang.
Tentu saja Tek-ih Hujin sangat girang melihat ada perahu singgah di pulau itu,
tapi setelah diperiksanya baru diketahui perahu itu tidak bisa dipakai lagi,
malahan dikenali perahu itu adalah perahu bekas dipakai Hong Man-thian dan
rombongannya. Sekarang di atas perahu tertinggal seorang perempuan saja.
Ia heran dan juga rada sangsi, namun dia sesungguhnya sangat kesepian
tinggal di pulau ini, kalau mendapatkan teman tentu saja sangat
menyenangkan, maka ia lantas menolong Bwe Kim-soat dan dibawa ke atas
pulau. Mengingat Bwe Kim-soat pernah dalam satu perahu dengan Lamkiong Peng,
Tek-ih Hujin coba mengorek keterangannya, "Apakah hnbunganmu dengan
Lamkiong Peng'"
Karena baru sadar. seketika Bwe Kim-soat tidak mengenali Tek-ih Hujin,
jawabnya, "Dari mana kautahu kukenal dia?"
"Selagi pingsan pernah kau sebut-sebut namanya," ujar Tek-ih Hujin.
"Dia ... dia suamiku," kata Kim-soat dengan pedih.
Tentu saja Tek-ih Hujin terheran-heran, tapi dia tidak memperlihatkan sesuatu
tanda, tanyanya pula dengan tak acuh, "Oo, dan mengapa sengaja kau
menyamar sebagai orang kudisan yang kotor dan berbau serta menumpang
kapal itu?"
Terkejut Bwe Kim-soat, "Dari . . . dari mana kautahu?"
"Tentu saja kutahu," sahut Tek-ih Hujin dengan tertawa.
"Masakah engkau ini Tek . . . Tek-ih Hujin" . . . ."
Belum lanjut ucapan Kim-soat, tahu-tahu Tek-ih Hujin sudah menutuknya
hingga tak-bisa berkutik.
"Hahaha, Thian yang mengantarmu ke sini supaya aku dapat membalas sakit
hatiku, tapi jangan kuatir, sementara ini takkan kubinasakan dirimu, boleh
kautinggal di sini bersamaku, harus kaurasakan juga rasanya orang menderita
di pulau terpencil ini, kehidupan yang ingin hidup sukar dan minta mati pun
takbisa." Begitulah Tek-ih Hujin menceritakan apa yang terjadi itu kepada Lamkiong
Peng, cemas dan gusar pula anak muda itu, teriaknya parau, "Dan sekarang di
mana dia" Betapa telah kau siksa dia?"
"Hm, bagaimana keadaannya sebentar akan kaulihat sendiri."
Apa yang dikatakan Tek-ih Hujin memang bukan omong kosong, cuma saat itu
Bwe Kim-loat tidak begitu buruk keadaannya sebagaimana disangka oleh
Lamkiong Peng. Kiranya sesudah Bwe Kim-soat tertahan di pulau ini, Tek-ih Hujin telah
menyiksanya dengan berbagai macam cara, terutama mengenai air minum,
setiap hari hanya diberinya beberapa ceguk saja.
Dengan sendirinya kesegaran tubuh Bwe Kim-soat langat cepat menyusut,
namun dia tetap bertahan. Meski mulai kurus, namun belum banyak
menghilangkan kecantikannya.
Tek-ih Hujin merasa kagum juga terhadap kecantikan orang, dia sengaja
berolok, "Ehm, molek benar kau ini, pantai pemuda seperti Lamkiong Peng itu
pun jatuh hati padamu."
"Mungkin belum kau ketahui bahwa aku inilah Bwe Kim-soat," kata Kim-soat
dengan tertawa.
"He, jadi kau ini Khong-jiok Huicu?" seru Tek-ih Hujin terkejut.
Dengan sendirinya ia kenal nama itu, cuma menurut perhitungan, seharusnya
usia Bwe Kim-soat sudah setengah baya, mengapa sekarang kelihatan masih
begini muda. Tiba-tiba tergerak hati Tek-ih Hujin, ia yakin orang dapat awet muda, tentu
karena sudah rnenguasai sesuatu ilmu perawatan. Karena itulah ia berusaha
memancing kepandaian awet muda dari Bwe Kim-soat.
Tentu saja hal ini dapat diketahui oleh Bwe Kim-soat. ia justru mienggunakan
hal ini untuk memeras, minta air minum lebih banyak, minta makanan
sekadarnya. Lebih dari itu ia pun minta dibebaskan dari ringkusannya
walaupun hiat-to tetap tertutuk dan tak ber-tenaga.
Diam-diam Tek-ih Hujin menggerutu, tapi dasar orang perempuan, siapa yang
tidak terpikat kepada ilmu kecantikan. Demi untuk memperoleh resep awet
muda dari Bwe Kim-soat, sedapatnya Tek ih Hujin memenuhi semua
tuntutannya. Bwe Kim-soat menyadari lawan bukan orang bodoh, tentu tidak dapat ditipu
begitu saja, maka ia lantas menguraikan Iwekang untuk merawat diri agar
tetap awet muda.
Sebagai seorang tokoh persilatan, Tek- ih Hujiu tahu Iwekang yang diajarkan
ltu tulen atau palsu, dari kalimat dan istilah yang disebut Bwe Kim-soat jelas
memang pengantar untuk memperdalam sesuatu ilmu Iwekang.
Maka tanpa sangsi ia mengikuti petunjuk Bwe Kim-soat dan mulai berlatih. Ia
tidak tahu justru lweekang inilah yang telah membuat Bwe Kim-soat menderita
selama beberapa tahun.
Akibatnya memang begitu, Tek-ih Hujin duduk bersila dan mengerahkan
tenaga dalam, lambat laun terlihat butiran keringat menghias dahinya, sekujur
badan lantas gemetar. Baru sekarang ia kaget dan merasa tertipu, karena
gejolak perasaannya, tenaga dalam lantas menyasar, bagian kaki terasa kaku
dan mati rasa. Mendadak Bwe Kim-soat tertawa dan melepaskan, diri dari ringkusannya,
katanya, "Eh, perasaanmu sekarang tentu sangat segar bukan?"
"Keparat, berani kautipu diriku?" damperat Tek-ih Hujin dan cepat
menghentikan latihannya.
Namun sudah telanjur, badan bagian bawah terasa kaku, hanya kedua tangan
masih bertenaga, ia pikir bila orang berani mendekat, segera akan dipukuluya
binasa. Meski sudah bebas dari ringkusan, tapi tubuh tidak bertenaga karena tutukan
Tek-ih Hujin tadi. dengan sendirinya Kim-soat tidak mau sembarangan
mendekati orang. Sebaliknya ia berkata, "Cici yang baik, engkau telah
menyelamatkan jiwaku, maka aku pun takkan membunuhmu. Boleh kau
tinggal di sini, nanti kujengukmu lagi."
Habis berkata ia lantas melangkah pergi masuk ke dalam hutan.
Tentu saja Tek-ih Hujin geregetan, ia mencaci-maki, segala kata kotor
dihamburkan seluruhnya.
Setelah melintasi hutan, diam-diam Bwe Kim-soat juga memikirkan
kemungkinan apa yang akan terjadi, sebab ia tahu beberapa hari lagi
kelumpuhan Tek ih Hujin itu akan sembuh kembali, hal ini sudah pernah
dialaminya sendiri. Sebaliknya ia tidak tahu bilakah hiat-to sendiri yang
tertutuk akan dapat dilancarkannya kembali.
Setiba di balik hutan gana, setelah mengamati keadaan setempat, segera. ia
mengatur berbagai perangkap di dalam hutan. Lalu menuju ke perahu rusak
untuk mengambil peralatan yang diperlukan untuk memotong kayu dan
sebagainya. Ia memotong beberapa puluh batang kayu dan dipasang sedemikian rupa di
tengah semak-semak sebagai penghalang, di samping itu juga diaturnya
banderingan batu dengan mengikat dahan pohon yang lemas.
Selama dua hari ia bekerja ksras sehingga lemas letih. Namun jerih payah itu
cukup menjaga keamanannya dari gangguan musuh.
Di pihak lain. Tek-ih Hujin menyaksikan kepergian Bwe Kim-soat dengan
gemas dan gusar, tapi tak berdaya.
Terpaksa ia harus merangkak ke dalam hutan dan berusaha menyembuhkan
kelumpuhannya. Tak terduga olehnya, pada pagi hari kelima, mendadak
kakinya dapat bergerak lagi, rupanya peredaran darah dalam tubuhnya telah
lancar dengan sendirinya,
Ia sangat girang, ia istirahat dan menghimpun tenaga, petangnya ia mulai
mencari jejak Bwe Kim-soat, ia bersumpah akan mencencangnya.
Dengan mudah dapatlah hutan dekat pantai itu didatanginya, tapi baru saja ia
melangkah masuk ke dalam hutan, sekonyong konyong batu berhamburan dan
kaki tersandung.
Cepat ia melompat mundur, dengan murka ia merdamperat, "Porempuan hina
she Bwe, kalau berani ayolah keluar!"
Tak terduga, tiba-tiba seorang mendengus, Bwe Kim-soat tampak melayang
keluar dari semak-semak dalam hutan, gerakannya ringan serupa terbang,
sungguh ginkang yang luar biasa.
Keruan Tek-ih Hujin terkejut, "Hah, siapa .... siapa yang membukakan hiattomu?"
Kim-soat tertawa, "Mungkin tidak kauketahui bahwa kungfuku yang sudah
dipunahkan oleh Liong Po-si akhirnya dapat pulih juga, apalagi cuma
tutukanmu yang tidak berarti ini. Sudah kusiapkan tempat berbincang-bincang
yang baik di dalam hutan, apakah engkau mau mampir sebentar?"
Semakin sepele cara bicara Bwe Kim-soat semakin membuat sangsi Tek-ih
Hujin, ia tambah mengkeret dan menyangka orang hendak menjebaknya lagi.
"Hm, tidak perlu mengoceh seenaknya, keledai pun takkan kesandung untuk
kedua kalinya di tempat yang sama, memangnya hendak kautipuku lagi?" seru
Tek-ih Hujin sambil tertawa, lalu ia berlari kembali ke tempatnya sendiri.
Ia tidak tahu bahwa tenaga Bwe Kim-soat sebenarnya belum pulih seluruhnya,
bilamana terjadi pertarungan, siapa yang lebih unggul pun belum dapat
dipastikan. Begitulah Tek-ih Hujin menceritakan kejadian itu, walaupun tidak terperinci
dengan jelas. Akhirnya ia berkata pula, "Sekembaliku disini, kukuatir akan diganggu oleh
perempuan hina itu, maka aku pun mengatur berbagai perangkap di hutan ini,
kubangun rumah sarang di atas pohon. Hm, betapapun licinnya, memangnya
aku dapat diakali" Sejauh ini apakah dia berani ke sini?"
Lega hati Lamkiong Peng mengetahui Bwe Kim-soat dalam keadaan selamat,
pikirnya, "Kiranya perengkap yang di pasangnya di sini ditujukan kepada Kimsoat."
"Selama ini perempuan hina itu menjaga perahu rusak itu," tutur Tek-ih Hujin
pula. 'Setiap hari ia berusaha memperbaiki perahu itu, kukuatir bila selesai
perahu diperbaiki bisa jadi dia akan lolos pergi, tertinggal aku saja merana di
pulau sepi ini. Akan tetapi sekarang datang lagi dirimu, aku tidak takut lagi ....
" Berucap sampai di sini ia lantas terbahak bahak.
"Hm, apakah maksudmu hendak kauguna kan diriku untuk memeras dia?"
bentak Lam kiong Peng dengan gusar.
"Haha, cerdas juga kau," seru Tek-ih Hujin dengan gembira, segera ia angkat
Lam-kiong Peng dan dibawa lari ke balik hutan sana.
Setelah menembus hutan lebat ini, di depan adalah tebing karang yang curam,
di samping sana ada lagi hutan, di situlah tinggal Bwe Kim-soat.
Lamkiong Peng hendak berseru memanggil, mendadak Tek-ih Hujin menutuk
lagi hiat-to bisunya. Lalu ditaruhnya di belakang sepotong batu karang.
kemudian ia menuju ke de-pan hutan dan berteriak, "Bwe Kim-soat . , . ayolah
lekas keluar,"
Suaranya tajam melengking sehingga mengejutkan burung malam di dalam
hutan dan sama terbang serabutan.
Menyusul terdengarlah suara orang tertawa panjang, dengan memegang
setangkai ranting Bwa Kim-soat muncul dari dalam hutan, dia memakai jubah
yaug terbuat dari terpal bekas layar, meski kasar, tapi cukup resik.
Dengan tertawa hambar ia menegur, "Kau datang kemari, tentu ada urusan,
mairi, silakan masuk!"
Tek-ih Hujin tertawa dan berkata, "Adik yang baik, sekian lama tidak bertemu,
engkau telah banyak bertambah cantik."
"Kemarin dapat kutangkap dua ekor kelinci hutan, sungguh sedap rasanya,
apakah mau kujamu makan padamu?" ucap Bwa Kim-soat.
Mereka bicara seperti kenalan lama yang baru bertemu, padahal di dalam hati
sama-sama ingin mengerumus pihak lawan.
Mendengar suara Bwe Kim-soat, pedih dan girang hati Lamkiocg Peng,
sungguh kalau bisa ia ingin berteriak. Namun apa daya, hiat-to bisu tertutuk,
sungguh gemasnya tak terkatakan. Bwe Kim-soat berkata pula, "Eh, hari ini
tampaknya engkau sangat gembira, barangkali ada sesuatu urusan yang
menyenangkanmu?"
"Betul, tentunya perahu sadah hampir selesai kauperbaiki, makanya hatiku
sangat senang," jawab Tek- ih Hujin.
Kim-soat tertawa terkekeh, "Aha, engkau sungguh sangat baik, bilamana
perahu sudah kuperbaiki dan kuberangkat sendiri, tentu engkau akan
kesepian, teringat hal ini sungguh aku pun ikut sedih."
Dalam hati Tek-ih Hujin menggerutu, tapi di mulut ia tertawa. "Ai, adik
sungguh mem-perhatikan diriku, cuma engkau pun jangan kuatir. aku tidak
bakal kesepian lagi. Sebab, biarlah kuberitahukan padamu bahwa. hari ini aku
telah kedatangan seorang tamu."
"Oo. apa benar" Wah, tamu itu tentu orang luar biasa. Siapakah dia?"
"Lamkiong Peng!" jawab Tek ih Hujin dengan dingin.
Seketika tubuh Bwe Kim-soat bergetar, seketika lenyap suara tertawanya,
jeritnya kaget, "Apa katamu" Lamkiong Peng" Dia datang ke pulau ini?"
HAN BU KONG Jilid 19 Dengan tak acuh Tek-ih Hujin menjawab, "Betul, tamuku itu ialah Lamkiong
Peng. Apakah ingin kautemui dia" la justru sangat ingin melihatmu?"
"Kenapa kutemui dia?" gumam Kim-soat ' Dalam hatiku kuanggap dia sudah
mati." "Masa sudah kaulupakan janji setia kalian" Kaulupa kalian sudah terikat
menjadi suami-isteri?"
"Aku tidak lupa, tapi sekarang kubenci dia," ucap Kim-soat dingin. "Ketika di
Cu sin-to kuminta dia membuka mata dan memandang sekejap padaku, apa
pun dia tidak sudi, kenapa sekarang harus kutemui dia?"
Habis berkata demikian ia terus tinggal pergi.
"Nanti dulu," seru Tek-ih Hujin. "dengan susah payah orang mencarimu, apa
pun juga harus kautemui dia."
Kim-soat merandek, katanya, "Menemui dia atau tidak apa gunanya?"
"Tunggu sebentar, segera kubawa dia ke sini," seru Tek-ih Hujin sambil berlari
pergi. Sungguh lucu juga, semula dia berharap Bwe Kim-soat akan memohon
padanya agar membawa Lamkiong Peng ke sini. siapa tahu sekarang dia yang
memohon Bwe Kim-soat suka menemai anak muda itu.
Lamkiong Peng mendengar percakapan msreka, hati terasa duka dan juga.
Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
girang, sebentar kecewa, sebentar lagi mendongkol karena Bwe Kim-soat tidak
dapat memahami jalan pikirannya, tapi segera terpikir pula oleh-nya,
"Biasanya dia dapat berpikir panjang, jangan jangan dia tahu maksud tujuan
Tek-ih Hujin, maka sengaja hendak memperalatnya..."
Selagi sangsi, dilihatnya Tek-ih Hujin sudah berlari tiba, ia berjongkok
membetulkan baju Lamkiong Peng dan merapikan rambutnya, lalu berkata
dengan bengis, "Setelah bertemu nanti, harus kaumohon dia dengan sangat,
pengaruhi perasaannya, mohon dia mengampunimu, tahu tidak" Hm, kalau
tidak, kau tahu sendiri, apa pun dapat kulakukan."
Lamkiong Peng mengertak gigi dan tidak bersuara. Tek-ih Hujin lantas
mengangkatnya dan menuju ke tempat tadi.
Dari jauh Lamkiong Peng melihat sesosok tubuh yang ramping berdiri mungkur
di hutan yang rindang itu, seketika hatinya berdebar, serunya, "Kim-soat . . .
." Tubuh Bwe Kim soat seperti rada gemetar tapi tetap tidak berpaling.
"Adik yang baik," kata Tek-ih Hujin dengan tertawa. "Lihatlah, Cici sudah
membawa datang buah hatimu. Lihatlah betapa kurus dan cemasnya karena
rindu padamu"
Sampai sekian lama barulah Kim-soat membalik tubuh, namun sikapnya tetap
dingin Melihat sikap dingin itu, berbagai isi hati yang hendak dilampiaskan
Lamkiong Peng serasa tersumbat di kerongkongan dan sukar dikeluarkan.
Meiihat keduanya diam saja; Tek-ih Hujin menarik tangan Lamkiong Peng dan
berkata, "Ayolah bicara, kenapa diam saja" Mengapa kau tidak senang melihat
dia" Segala apa hendaknya kaukatakan, masa malu?"
"Apa pula yang dapat dikatakannya?" jengek Kim-ioat. "Lekas kaubawa pergi
dia?" "Masa engkau benar-benar putus hubungan dengan dia?" teriak Tek-ih Hujin.
"Memang tepat ucapanmu," jawab Kim-soat.
Tek-ih Hujia mendengus, "Hm, jika begitu segera akan kusiksa dengan cara
yang paling keji, biarkan dia mati,dengan tumpah darah, ingin kulihat apakah
hatimu tahan."
Sambil bicara tangan lantas meraba hiat-to Lamkiong Peng, diam-diam ia
melirik Bwe Kim-soat dan berharap orang akan turun tangan menolong.
Siapa duga Bwe Kim-soat hanya mendengus saja, "Hm, silakan mampuskan
dia, aku pun ingin tahu betapa dia akan tersiksa."
Tek-ih Hujin melengak, mendadak ia melompat bangun sambil memaki,
"Sungguh perempuan hina yang tak berbudi, tega kausaksikan suami mati
konyol, pantas orang kangouw menyebut dirimu perempuan berdarah dingin,
ternyata benar engkau berdarah dingin dan berhati keji."
"Terima kasid atas pujianmu, ' ujar Kim-soat dengan tertawa. "Jika darahku
tidak dingin, entah berapa kali aku sudah mati . . . . " Mendadak ia berhenti
tertawa dan mengeluarkan sebuah genta emas kecil dan dilemparkan dan
jatuh di sebelah kaki Lamkiong Peng, katanya, "Ini adalah tanda matamu
ketika kita mengikat janji, sekarang kukembalikan padamu. Selanjutnya kita
putus hubungan dan tidak ada sangkut paut."
Hati Lamkiong Pong serasa disayat-sayat, telinga seperti mendengung.
Dengan gusar Tek-ih Hujin memaki, "Sungguh perempuan hina, biasanya
cuma lelaki yang menceraikan istri, sekarang berbalik kau ceraikan suami.
Sungguh keji dan tidak tahu malu."
"Huh, kukira yang paling keji dan tidak tahu malu ialah dirimu sendiri," ejek
Kim-soat "Silakan kau temani dia di sini, kapalku sudah selesai kubetulkan,
selamat tinggal, aku mau berangkat!"
Sembari tertawa ia berlari pergi lecepat terbang. Setiba di dalam hutan, suara
tertawanya berubah menjadi ratapan, "O, Peng cilik. hendaknya maklum, jika
aku tidak bersikap demikian tentu sukar mengelabuhi Tek-ih Hujin yang keji
itu." Belum habis ucapannya darah segar lantas tertumpah keluar. la melangkah ke
depan dengan sempoyongan dan mencari suatu tempat, lalu duduk. la tahu
betapa kejinya Tek-ih Hujin, maka sengaja berlagak memutuskan hubungan
dengan Lamkiong Peng supaya Tak-ih Hujin putus asa.
Dengan sendirinya tindakannya ini harus dibayarnya dengan mahal, sebab ia
telah melukai hati Lamkiong Peng. Tapi ia pun tahu semakin sukses
kepalsuannya itu, betapapun liciknya Tek-ih Hujin juga dapat ditipunya.
"Nah, datanglah kemari, Tek-ih Hujin, kutunggu kedatanganmu ke hutan ini
dengan berbagai perangkap" Lekas kaudatang!" demikian gumamnya.
Melihat kepergian Bwe Kim-ioat tadi, remuk rendam juga hati Lamkiong peng,
tanpa terasa ia pun tumpah darah.
Tek-ih Hujin mondar-mandir di sekitar Lamkiong Peng, sejenak kemudian
mendadak tergerak pikirannya, ia dorong Lamkiong Peng dan berkata, "Ayo,
ke depan sana."
Setelah menyusuri hutan dan mengitar ke samping. tertampak tebing curam
menegak didepan, di bawah adalah pepohonan lebat, setelah berpikir, Tek-ih
Hujin mencari dua potong batu api.
Terkesiap Lamkiong peng, serunya, "He, hendak kaubakar?"
"Betul," dengus Tek-ih Hujin. "Akan kubakar ludes hutan ini.coba lihat,
perangkap apa yang diaturnya disini."
Maklumlah, selama ini dia tidak berani menggunakan api untuk membakar
hutan tempat tinggal Bwe Kim soat, soalnya ia kuatir dibalas dengan cara yang
sama oleh lawan. Bilamana terjadi demikian, tentu keduanya akan gugur
bersama. Tapi sekarang dia tidak ada pertimbangan lain lagi, dikumpulkannya ranting
dan.daun kering, lalu di bakar, ranting berapi terus dilemparkan ke tengah
hutan. Angin meniup kencang, hawa panas, segera api menyala dengan cepat, asap
tebal pun membubung tinggi.
"Haha, ingin kulihat apa yang dapat kau lakukan sekarang, kecuali ....?"
"Hm, biarpun kaubakar seluruh hutan ini, bilamana dia sudah berlayar, apa
yang ,dapat kauperbuat atas dia?" jengek Lamkiong Peng.
Tergetar hati Tek-ih Hujin, ia termangu-mangu sejenak, mendadak ia
berteriak, "Baik, biarlah kita mati seluruhnya dan habis per-kara . . . . "
Ia tepuk Hiat-to anak muda itu sehingga dapat bergerak bebas, lalu
didorongnya sambil berteriak, "Ayolah terjang sana, susul dia!
Tak terduga tangan Lamkiong Peng lantas meraih ke belakang, Tek-ih Hujin
berbalik ditariknya terus dilemparkan ke bawah, kontan Tek-ih Hujin tergelincir
masuk hutan yang mulai terjilat api itu.
Sambil menjerit, tubuh Tek-ih Hujin disambar lidah api, cepat ia melompat
bangun dan berlari ke tampat yang belum terbakar seperti kesetanan.
Tak terduga baru berapa tombak jauhnya ia berlari, mendadak ia menjerit lagi,
ia jatuh tersungkur, tahu-tahu tubuhnya terkerek terbalik ke atas, rupanya
kakinya terjerat oleh rotan yang terpasang di situ, menyusul dari kerindangan
pepohonan menyambar keluar panah kayu sebagai hujan, sebagian panah itu
sama menghinggap pada tubuhnya.
Lamkiong Peng tertegun menyaksiikan itu, ia menghela napas dan berlari ke
arah datang-nya tadi sambil berteriak, "Kim-soat, dia sudah terperangkap,
dapatkah kaulihat?"
Ia mengira Bwe Kim soat tadi sengaja memancing kedatangan musuh, setelah
terjebak tentu dia akan muncul. Tak tahunya saat itu Bwe Kim-soat sendiri
dalam keadaan tak sadar, meski Lamkiong Peng berkaok-kaok tetap tidak ada
jawaban. Ia kecewa dan juga putus asa, mendadak ia pun menerjang ke
dalam hutan. Ia lupa bahwa setiap jengkal tanah di tengah hutan ini penuh perangkap,
maka belum beberapa langkah ia lari ke situ segera ia jatuh tersandung,
sepotong batu menyambar dari balik pohon dan tepat menghantam
punggungnya, kembali ia tumpah darah dan jatuh kelengar.
Angin laut meniup kencang, api tambah berkobar ....
Tidak seberapa lama pulau kecil itu sudah berubah menjadi lautan api.
Lamkiong Peng bertiga tetap tidak sadar di tampat masing-masing, api yang
berkobar itu semakin mendekat, tampaknya dalam waktu singkat mereka pasti
akan terbakar menjadi abu dan tamatlah segalanya ....
Pada waktu yang hampir bersamaan, jauh di lautan lepas itu tampak sebuah
kapal layar sedang laju mendapat angin buritan.
Layar kapal itu tampak indah berwarna-warni, kelasi kapal juga berbaju sutera
warna-warni dengan rambut panjang sebatas pundak, bila diamati baru
ketahuan mereka adalah kaum wanita seluruhnya. Cuma seluruhnya berotot
kuat dan berbadan tegap sehingga tidak kalah dengan kelasi lelaki.
Seorang perempuan kekar berambut pendek berdiri di atas geladak dengan
bertolak pinggang mendadak berteriak, "Aha, daratan!" Seorang pemuda
berbaju perlente menongol dari balik tabir kabin dan lari ke sam ping si
perempuan tegap, waktu memandang ke depan sana, benar juga di kejauhan
muncul bayangan daratan.
Segera ia msmberi tanda dan berseru. "Putar haluan, maju sepenuh
kecepatan!"
Serentak kawanan kelasi betina itu lama bersorak, kelasi yang sudah lama
berlayar tentu saja sangat senang bilamana melihat daratan.
"Apa sudah kelihatan daratan?" terdengar suara merdu bertanya dari dalam
kabin. Dua nona jelita lantas muncul, seorang berbaju mewah dan berpupur tebal,
memakai ikat kepala kain hijau, gelang tangan berbunyi gemerincing,
tampaknya dia adalah pengantin baru.
Nona yang lain tidak berdandan juga tidak bersolek, tapi justru kelihatan
kecantikannya yang asli.
"Betul, di depan sudah kelihatan daratan," jawab anak muda tadi sambil
menoleh. Pelahan nona bersolek itu menghela na-pas, ucapnya, "Semoga pulau ini betul
Cu-sin-to menurut dongeng itu, supaya adikku ini tidak kuatir setiap hari.
Selama ini entah sudah berapa banyak tubuhnya bertambah kurus."
Si pemuda menanggapi, "Bukan cuma dia saja yang gelisah, aku juga . . . . "
Belum lanjut ucapannya, mendadak dilihatnya asap tebal mengepul di daratan
sana, ia berteriak knget, "Hah, timbul kebakaran di sana!"
"Jika di pulau itu ada api, pasti ada manusia yang tinggal di sana, janganjangan
pulau ini memang betul Cu-sin-to adanya," ujar nona bersolek tadi.
Si nona berbaju hijau tadi juga kelihatan bersemangat, air mukanya yang
dingin mendadak bersemu merah.
Cepat pemuda itu berteriak dan memberi tanda "Ayo, cepat! Kebakaran di
pulau itu, api menjalar dengan cepat, kita harus mencapai sana sebelum api
meluas, kalau tidak. . . wah"
la seperti merasakan alamat tidak enak, maka ia pandangi nona baju hijau
sekejap dan tidak melanjutkan ucapannya. ,
Kapal layar itu meluncur mengikuti angin buritan, maka tidak lama kemudian
sudah mencapai pantai, sebelum kapal menepi, si pemuda dan kedua nona
tadi lantas melompat ke daratan.
Nona baju hijau itu paling cemas, serentak ia berlari secepat terbang ke hutan
yang berkobar itu.
Si pemuda dan nona berdandan mewah itu melompat ke atas batu karang
yang tinggi sambil berteriak, "Adakah orang di tengah pulau?"
Suaranya keras bergema jauh namun teng gelam di tengah api yang berkobar
dengan suaranya yang gemuruh itu, dari pulau tiada kelihatan sesuatu
jawaban. Bekerenyit kening si nona bersolek, katanya, "Jika ada orang di tengah pulau
kenapa tidak ada jawaban, tampaknya . . . . "
Belum lenyap suarannya mendadak pemuda berbaju mewah berteriak, "Hei,
lihat, apa itu?"
Waktu si nona memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat di tengah asap tebal
itu, di dalam hutan seperti ada sesosok bayangan tergantung di udara.
Keduanya saling pandang sekejap, segera anak muda itu menanggalkan baju
luar untuk membungkus kepala.
"Jangan, berbahaya," ucap si nona.
"Selama hidupku sudah kenyang menghadapi hal-hal yang berbahaya, engkau
jangan kuatir," kata pemuda itu sambil mengeluarkan sebuah tombak
bergagang lemas, sekali putar terjadilah lingkaran sinar, dengan gesit ia terus
melayang ke sana, menerobos ke dalam hutan.
Sesudah dekat, pemuda itu melihat di dahan pohon besar sana bergantung
perempuan bermuka jelek dengan terjungkir, tubuhnya berdarah, rambut
terurai dan sebagian sudah terbakar, bilamana dia terlambat sedikit saja
perempuan ini pasti akan terbakar menjadi arang.
Tanpa pikir ia melompat ke depan, sekali tabas ia putuskan rotan yang
mengikat kaki perempuan itu, Ialu menangkap tubuhnya dan dibawa lari
kembali ke atas batu karang tadi.
Cepat si nona cantik memadamkan lelatu api yang hinggap di tubuh pemuda
itu, tanya nya dengan kuatir, "Tidak terbakar bukan?"
"Haha, hanya api begitu saja bukan apa-apa bagiku," ujar pemuda itu dengan
tertawa. "Siapa perempuan ini" Kenapa begini rupa?" tanya si nona.
"Jangan urus siapa dia, jika di atas pulau ada orang, tentu tidak cuma dia saja
seorang, apakah mungkin dia menggantung dirinya sendiri di situ?"
Belum lanjut mereka bicara, mendadak dari kejauhan sana si nona baju hijau
tadi lagi berteriak, "Itu dia, di situ, Lamkiong Peng dia . . . dia memang benar
berada di sini."
Hati si pemuda dan si nona cantik tergetar, seru mereka, "Haha, dia telah
menemukannya."
Segera mereka berlari ke sana, tertampak nona baju hijau duduk di atas batu
karang sambil memangku seorang, mukanya cemas, gugup, berair mata, tapi
juga gembira, katanya demi melihat kedua kawannya, "Dia .. . dia terluka."
"Apakah parah"' tanya si nona cantik.
"Sangat parah, untung luka luar, sudah kuberi obat," tutur si nona baju hijau.
Pemuda itu menaruh Tek-ih Hujin di tanah, Ialu bantu menolong Lamkiong
Peng. "Jangan menangis adik bodoh.kan sudah kautemukan dia," ucap si nona cantik
sambil mengusapkan air mata si nona baju hijau.
"Tidak, aku tidak menangis, aku terlampau gembira," kata si nona baju hijau.
Dia bilang tidak menangis, namun air mata terus meleleh.
Dengan bantuan lwekang pemuda perlente itu, pelahan Lamkiong Peng mulai
siuman Wak-tu membuka mata dilihatnyi tiga buah wajah yang sudah
dikenalnya, seketika rasa duka dan girang membanjiri hatinya, ia sangka
berada dalam mimpi.
Rada gemetar tubuh si nona baju hijau begitu beradu pandang dengan
Lamkioug Peng, segera ia menunduk malu dan melepaskan ta-ngannya yang
merangkul anak muda itu.
Lamkiong Peng berdiri, sapanya kepada pemuda perlente itu, "Tik-heng,
sekian larna berpisah, sungguh seperti lahir kembali pertermuan ini."
Mendadak si nona cantik bersolek tadi menyela, "Lamkiong Peng, dengan
susah payah nona Yap mencarimu kian kemari, akhirnya jiwamu dapat
diselamatkannya, masa ti-dak kaulihat dia?"
Lamkiong Peng melengak, pelahan pandangannya beralih ke arah si nona baju
hijau. ucapnya, "Nona . . . nona Yap, sungguh aku,..."
"Lukamu belum sembuh, lebih baik jangan banyak bicara dulu," kata si nona
baiu hijau alias Yap Man-jing.
Lamkiong Peng memandang nona cantik bersolek itu sekejap, tanyanya
dengan ragu, "Dan ini . . . ini . .. "
"Dia inilah pengantin baru, iparmu alias istriku . ..." pemuda baju perlente itu
bergelak tertawa.
Lamkiong Peng tercengang, tapi cepat ia berseru girang, "Aha, tak , kusangka
Tik-heng sudah menikah, selamat dan berbahagialah!"
Kiranya pemuda perlente ini adalnh Tik Yang dan nona cantik itu bernama Ih
Loh. Tik Yang tertawa, katanya, "Haha, dalam urusan lain aku memang ketinggalan
jauh, tapi urusan kawin aku telah mendahuluimu, pertemuan kita ini sungguh
sangat . ..."
Mendadak ucapannya terhenti ketika dilihatnya air muka Lamkiong Peng
berubah pucat, ia melenggong dan coba tanya apa yang terjadi.
Dangan menyeesal Lamkiong Peng lantas menceritakan kisah cintanya dengan
Bwe Kim-soat serta sikap Kim-soat terakhir tadi . . . .
______________________________****_____________________________
______ Mengenai Bwe Kim-soat, selagi dalam keadaan tak sadar, samar-samar
dirasakan hawa panas yang sukar tertahan, waktu ia membuka mata
dilihatnya hutan di sekelilingnya sudah hampir berubah menjadi lautan api.
Ia terkejut dan eepat melompat bangun. Ketika teringat pada Lamkiong Peng,
ia menjadi kuatir akan keselamatan anak muda itu.
Segera ia berdiri keluar hutan. Selagi ia hendak bersuara memanggil, pada
Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat itulah dilihatnya di ketinggian tebing karang sana ada beberapa bayangan
orang. Bahkan Lam-kiong Peng yang dicemaskan keselamatannya saat itu
justru berada dalam pangkuan seorang gadis.
Ia kenal gadis itu ialah Yap Man-jing, sesaat itu hatinya terasa pedih, cepat ia
me narik diri dan sembunyi.
Percakapan antara Lamkiong Peng dan Tik Yang dapat didengarnya dengan
jelas, terdengar olehnya ucapan anak muda itu yang mengatakan dia telah
memutuskan hubungan, maka anak muda itu pun tidak ingin melihat-nya lagi.
Sungguh hancur luluh hatinya.
Terdengar olehnya seorang nyonya cantik mendengus, "Jika perempuan itu
sudah meninggalkanmu, buat apa kaupikirkan dia lagi"'
"Aku . . . aku memang takkan memikirkan dia lagi," sahut Lamkiong Peng
dengan lesu. "Makanya selanjutnya harus kaucurahkan perhatianmu kepada adik Yap kita
ini," kata nyonya cantik itu dengan tertawa.
"Kautahu demi mencari dirimu, betapa dia telah menderita lahir dan baiin."
Lamkiong Peng hanya menghela napas sambil menunduk tanpa bersuara.
Tambah remuk hati Bwe Kim-soat, dari jauh dilihatnya Lamkiong Peng berjajar
dengan Yap Man-jing, keduanya sungguh pasangan yang setimpal, sebaliknya
dirinya sendiri compang camping dan kurus pucat, siapa yang tahu bahwa
pengorbanannya ini juga demi Lamkiong Peng.
Api berkobar dengan hebat, tanpa ber-henti Kim-soat berlari menuju ke dalam
gua, di ujung gua yang menembus perairan itu sudah siap kapal layar yang
telah direparasinya dan siap berlayar.
Ia lemparkan tambatan kapal dan didorong dengan galah, lambat-laun kapal
meluncur ke perairan bebas. Kim-soat melompat ke atas kapal, dan pasang
layar, ia datang sendirian, sekarang pun berlayar pulang sendirian, Datangnya
tidak membawa apa-apa, pulangnya justru membawa hati yang luka ....
Di tempat lain Lamkiong Peng dan Tik Yang sedang berusaha menolong Tek-ih
Hujin, namun perempuian itu tampak sudah payah karena luka terbakar.
Lamkiong Peng telah memberitahukan kepada Tik Yang bertiga tentang siapa
Tek-ih Hujin. Pelahan Tek-ih Huj in membuka mata, dengan sinar matanya yang guram ia
mengerling Lamkiong Peng sekejap, lalu bertanya, "Bwe . . . Bwe Kim-soat, di
" di mana dia?"
Lamkiong Peng tidak menjawab.
Dengan lemah Tek-ih Hujin menghela na-pas, katanya, "Selama hidupku
malang melintang di dunia kangouw dan banyak orang kosen yang telah
kutipu, tak tersangka akhirnya aku juga kena ditipa oleh seorang perempuan
semacam Bwe Kim-soat. Wahai Bwe Kim-soat, hebat juga kau!"
"Hm, orang suka menipu tentu juga akan ditipu, kenapa.mesti menyesal?"
jengek Ih Loh mendadak.
"Kautahu apa?" kata Tek-ih Hujin dengan gusar. "Meski dia menipuku, tapi
pada saat kulompat ke bawah tebing sudah dapat kuduga muslihatnya, ia
cuma berlagak dingin terhadap Lamkiong Peng, sesudah aku tertipu dan
tertawan, lalu dia akan bergabung lagi dengan Lamkiong Peng."
"Haha, tapi sekarang ternjata telah makan tuan, akhirnya kalian jadi terceraiberai,
betapapun rasa dendamku terlampias juga .... Hahahaha . . . . "
Di tengah gelak tawa latahnya, perempuan siluman ini mendadak mendelik.
sekujur badan lantas berkejang, lalu putus napasnya. Tamatlah riwayatnya
yang penuh dosa itu.
Mendadak Lamkiong Peng berteriak sekali terus melepaskan diri dari pegangan
Tik Yang. serunya parau, "Dia pasti masih berada di sana . . . . "
Dengan langkah sempoyongan ia terus hen dak berlari ke tengah hutan yang
sudah menjadi lautan api itu.
Tik Yang terkejut, cepat ia menarik tangannya.
"Lepaskan aku . . . . " teriak Lamkiong Peng.
Pada saat itulah seorang kelasi perempuan tampak berlari datang sambil
berteriak, "Jalan ke pantai hampir tertutup seluruhnya oleh api, harap tuan
dan nona lekas keluar dan sini, kalau tidak tentu sukar lagi meninggalkan
pulau ini. Baru saja orang lain sudah berlayar..."
"Hah, siapa yang berlayar" Siapa yang kaulihat?" tanya Tik Yang cepat.
"Waktu hamba pasang mata di atas puncak tiang layar, tertampak di ujung
pulau sebelah sana meluncur sebuah kapal, sedangkan api telah mengililingi
seluruh pulau ini."
"Siapa penumpang kapal itu, terlihat jelas tidak?" tanya Tik Yang.
"Kapal layar itu mendapat angin buritan dan melaju dengan cepat. hanya
sebentar saja sudah jauh sehingga sukar terlihat siapa penumpangnya, karena
kuatir keselamatan nona, maka hamba Iantas lari kemari."
Tik Yang, Ih Loh dan Yap Man-jing saling pandang, dalam hati sama membatin
tentu Bwe Kim-soat yang telah pergi dengan kapal layar itu. Mereka sama
memandang Lamkiong Peng, anak muda itu kelihatan pucat dan berdiri
termenung, mendadak tumpah darah dan jatuh pingsan.
Cepat Tik Yang mengangkat tubuh Lam-kiong Peng dan mengajak kawankawannya
berlari ke pantai. Setiba mereka di atas kapal, tempat berada
mereka tadi pun mulai terjilat api.
Pelahan Lamkiong Peng siuman kembali, kapal mereka mengitari dulu pulau
yang terbakar itu, mereka berharap dapat melihat ba-yangan kapa! Bwe Kimsoat
atau menemukan jejak Liong Po-si dan Lamkiong Eng-lok. Namun tiada
sesuatu yang mereka lihat.
Hampir sebulan kapal mereka berlayar kembali, Lamkiong Peng berkabung
dengan sedih, sepanjang hari dia tidak bicara. Orang lain ikut berduka dan tak
berdaya. Waktu kapal sudah dekat pantai, kendaraan air yang berlalu lintas bertambah
banyak, Kapal layar mereka ini banyak menarik perhatian kapal Iain, namun
tidak ada yang berani mendekat.
Menurut taksiran Tik Yang, tidak berapa lama lagi kapal pasti dapat menepi,
dengan sendirinya hati terasa senang.
Beberapa saat ketnudian, tiba-tiba dari depan muncul sebuah kapal layar
putih, makin lama makin mendekat, meski kedua kapal seperti akan saling
tubruk, namun kapal itu seperti tidak mau menghindar, bahkan tampaknya
sengaja menyongsong kedatangan kapal Tik Yang ini.
Tentu saja Tik Yang kaget dan heran, gumamnya, "Mungkinkah kapal bajak"
kalau tidak kenapa . . . . "
"Kuharap kapal ini memang kapal bajak laut, supaya aku dapat melemaskan
otot melabrak mereka, sudah sekian lamanya aku kesal," Ih Loh tertawa
cerah. Tidak lama kapal itu sudah dekat. di haluan berdiri seorang lelaki berbaju biru
sedang mengayun-ayunkan sehelai kain putih sambi! berteriak, "Apakah ,Tikkongcu
yang datang di kapal depan itu" Mohon turun layar sebentar, ada
sedikit urusan hendak kubicarakan."
Sel.agi Tik Yang merasa ragu, Ih Loh telah mendahului menjawab, "Betul,
sahabat ini siapa" Ada urusan apa?"
Layar kapal itu sudah diturunkan sehingga laju kapal menjadi lambat, Tik Yang
Iantas memerintahkan juga menurunkan layar dan mengurangi laju kapalnya.
Setelah bersimpangan haluan, kedua kapal berdempetan, segera orang itu
melompat ke geladak kapal Tik Yang sambil menatap para penumpangnya.
Dengan kurang senang Tik Yang berkata "Selamanya kita tidak berkenalan,
dari mana sahabat tahu aku berada di kapal ini?"
Lelaki itu tersenyum, ia pandang Lam-kiong Peng sekejap, lalu menjawab,"
"Tik-kongcu pesiar ke lautan bersama nyonya, hal ini sudah tersiar luas di
dunia penilatan, terutama layar berwarna-warni kapal Tik-kongcu ini mudah
dikenali oleh siapa pun."
"Sahabat sedemikian menaruh perhatian kepada kami, sesungguhnya ada
urusan a pa?" jengek Tik Yang.
Orang itu tersenyum tanpa menjawab, ia memberi tanda tepukan tangan,
segera di atas kapalnya dikerek naik belasan batang galah bambu panjang,
pada ujung galah tergantung keranjang dan diantarkan ke kapal Tik Yang.
"Majikan kami tahu Tik-kongcu dan nyonya sudah sekian lama berlayar di
lautan lepas, tentu kurang teratur dalam hal makan minum,maka hamba
khusus ditugaskan mengantar sedikit hidangan sekadar memberi servis
kepada Tik-kongcu."
"Siapa majikan kalian?" tanya Tik Yang.
"Majikan sedang menuggu di pantai akan kedatangan Tik-kongcu, setelah
bertemu tentu Tik-kongcu akan tahu siapa beliau," jawab orang itu dengan
tertawa. Habis berkata ia lantas mengundurkan diri dan kemball ke kapalnya sendiri,
lalu layar berkembang dan kapalnya melaju lagi, Tik Yang saling pandang
sekejap dengan Ih Loh, mendadak nyonya itu membuang belasan macam
hidangan itu ke laut, untuk menghindari segala kemungkinan. mereka tidak
mau mengambil risiko makan hidangan itu.
Diam-diam semua orang berpikir apa maksud tujuan orang mengantarkan
makanan itu. Semalam tidak terjadi apa pun, esoknya selagi mereka berdiri di haluan kapal,
dan jauh muncul lagi sebuah kapal layar.
Sesudah dekat, kembali dari haluan kapal pendatang itu ada orang berteriak,
"Adakah Tik-kongcu di atas kapal situ?"
"Di sini aku berada, masa perlu tanya lagi?" jawab Tik Yang dengan tertawa.
Tertampak orang yang berdiri di haluan itu bukanlah lelaki yang kemarin.
Sikap orang ini terlebih hormat, oleh oleh yang diantarnya terlebih baik
daripada kemarin.
"Semalam kalian baru saja mengantarkan makanan, pagi-pagi sekarang kalian
sudah datang lagi, rasanya majikan kalian agak terlalu sungkan kepada kami,"
segera Ih Loh mendahului menegur.
Lelaki itu tampak melenggong bingung". jawabnya, "Pang kami baru pagi tadi
menerima kabar kepulangan Tik-kongcu suami-istri dan segera Pangcu kami
mengirim kami kemari."
"Jadi yang datang kemarin itu bukan temanmu?" tanya Ih Loh.
Lelaki berbaju panjang itu menggeleng.
"Siapa Pangcu kalian, bolehkah kami diberitahu?" tanya Ih Loh pula.
"Sesudah berhadapan tentu Tik-kongcu akan tahu sendiri," jawab lelaki itu,
tanpa banyak bicara kapalnya terus putar haluan dan berlayar pergi.
Kembali Tik Yang saling pandang dengan kawan-kawannya, mereka tidak tahu
sebenarnya apa maksud pengantar makanan ini. Kembali semua antaran itu
dibuangnya ke laut.
Menjelang lohor, berturut-turut datang lagi empat kelompok pengantar hadiah,
satu terlebih hormat daripada yang lain, antaran yang datang juga semakin
bernilai, namun tiada seorang pun mau menceritakan asal-usulnya sendiri,
semuanya menjawab nanti tentu tahu sendiri setelah bertemu.
Yang paling aneh adaiah orang-orang inii tiada satu pun yang kenal Tik Yang,
mereka seperti mewakili setiap golongan atau perguruan masing-masing dan
berusaha menarik Tik Yang ke pihaknya.
Lewat lohor dari jauh sudah kelihatan bayangan daratan, seketika semangat
mereka terbangkit, para kelasi wanita itu pun bekerja terlebih giat agar
selekasnya dapat mencapai pantai.
Cahaya senja indah permai, air laut ber kilauan dengan ombak yang mendebur
banyak juga perahu nelayan sedang menuju ke tepi, Di pantai kelihatan
bergerombolan puluhan orang, waktu diamati. semuanya adalah orang
perempuan. ' Sungguh aneh," ucap lh Loh dengan heran. "Memangnya beberapa kelompok
orang yang mengantar oleh-oleh itu sama hendak memungut dirimu sebagai
menantu, kenapa sebanyak ini orang perempuan menanti kedatanganmu?"
Tik Yang tertawa, pada saat itulah orang perempuan di pantai itu sama
bersorak gembira sambil mengangkat tangan.
Rupanya pada saat itu berpuluh perahu nelayan telah merapat di pantai dan
sama mendarat, lalu saling berdekapan dengan orang-orang perempuan itu,
Maklumlah. adat-istiadat penduduk pantai tidak sekolot orang pedalaman,
hubungan antara lelaki dan perempuan terlebih bebas dan tidak banyak
pantangan. Tik Yang terbahak-hahak, serunya, "Nah, sudah kaulihat jelas merska sedang
menunggu suami masing-masing yang menangkap lkan di laut dan bukan
menyambut kedatanganku."
Hanya sebentar saja kawanan nelayan itu sudah pergi semua bersama anggota
keluarga masing-masing.
"Aneh juga, mengapa pengantar makanan kepadaku itu tidak muncul
menyambut kedatangan kita?" gumam Tik Yang dengan heran.
"Di balik urusan ini tentu tersembunyi sesuatu yang tidak beres," ujar Yap
Man-jing. Keempat orang lantas mendarat, dilihatnya kota kecil tepi pantai ini cukup
ramai, alamnya rajin dan resik, setelah bertanya baru diketahui kota ini cukup
terkenal di propinsi Ciatkang, yaitu Lok-jing, berjarak tidak jauh dengan teluk
Sam-bun-wan, tempat mereka berlayar semula.
Mereka lantas mencari rumah penginapan. Meski tempat ini masih asing bagi
mereka, namun kuasa hotel dari kawanan pelayan seakan-akan sangat ramah
dan hormat kepada mereka. Begitu datang mereka lantas disambut dengan
perkataan, "Selamat datang, Tik-kongcu!"
"Dari mana kalian tahu siapa diriku?" tanya Tik Yang dengan sangsi.
Kuasa hotel tertawa misterius, ia berbalik tanya, "Ada lima paviliun di hotel
kami,semuanya sudah kami bersihkan dan siap untuk dihuni Tik-kongcu."
"Untuk apa lima paviliun, kami hanya minta dua saja," kata Ih Loh.
"Agaknya Tik-kongcu tidak tahu, hari ini kami kedatangan lima juragan,
masing-masing memesan sebuah paviliun bagimu, bahkan uang sewa sudah
dibayar lipat dan tamu yang telanjur masuk lebih dulu disuruh pindah," tutur
kuasa hotel itu "Hamba juga lagi heran, Tik-kongcu cuma satu keluarga.
paviliun mana yang kan kalian gunakan?"
Tik Yang saling pandang sekejap dengan sang istri. Lalu Ih Loh berkata.
"Orang yang pesan kamar itu apakah meninggalkan sesuatu pesan lagi?"
"Hanya meninggalkan uang sewa dan tidak meninggalkan pesan," jawab kuasa
hotel dengan tertawa.
"Coba bolehkah kulihat uang yang mereka bayar kepadamu?" tukas Ih Loh.
Kuasa hotel melenggak, tapi ia pun tidak berani menolak.
"Masakah dapat kautemukan sesuatu pada uang perak mereka?" tanya Tik
Yang. Ih Loh Tertawa, "Rupanya engkau tidak paham Setiap bentuk uang perak atau
uang kertas tentu ada ciri-ciri asal-usulnya, sebab umumnya ginbio (uang
kertas sebangsa cek) setiap tempat berlainan buatannya Dari uang mereka
akan dapat ditemukan mereka datang dari mana"
"Tampaknya banyak juga urusan yang kauketahui." kata Tik Yang.
Maklumlah, Ih Loh adalah adik perempuan Ih Hong, tokoh Kai-pang atau kaum
jembel di daerah perbatasan utara, gerombolan mereka khusus membegal
harta benda yang tidak halal dari kaum perampok, koruptor dan sebagainya.
Maka pengetahuan uang perak atau uang kertas dari berbagai tempat cukup
dikuasai oleh. Ih Loh,
Tidak lama kemudian kuasa hotel membawa keluar satu kotak tempat uang,
isinya ada uang perak, ada uang kertas. Lebih dulu Ih Loh mengamat amati
sepotong uang perak lantakan.
Buatan lantakan perak itu agak kasar, namun kadarnya cukup murni Hanya
dipandang sekejap saja Ih Loh lantas berkata, "Perak ini berasal dari daerah
Jinghai, Sekong dan Tibet. Sungguh aneh, mengapa ada orang dari daerah
terpencil itu sampai di tepi pantai sini?"
Lalu ia memeriksa lagi empat helai ginbio. lembaran pertama keluaran , Wihong
gin-ceng (sebangsa bank jaman kini), ginbio ini beredar luas di mana
mana sehingga tiada sesuatu yang mencurigakan.
Ginbio kedua adalah keluaran daerah Sujoan, ginbio ketiga juga sering terlihat
beredar di daerah Kanglam.
'Kenapa erang orang dari Sujoan yang jauh juga datang kemari, sungguh
sukar dimengerti apa tujuannya?" ucap Ih Loh dengan gegetun.
Waktu ia periksa lagi ginbio keempat, tertampak bentuknya agak aneh,
sekeliling uang kertas itu terlukis hiasan bunga warna warni.
Selagi Ih Loh merata heran, mendadak sebuah tangan merampas uang kertas
itu Lamkiong Peng yang sejak tadi diam saja mendadak merebut uang kertas itu,
sebab di kenali uang kertas itu semula adalah milik keluarga Lamkiong.
"Tak tersangka ada di antara orang orang ini membayar dengan ginbio
keluarga Lamkiong," ucap Tik Yang dengan heran, sukar diketahuinya dari
golongan mana orang itu.
"Siapa yang membayar dengan uang ini?" tanya Lamkiong Peng.
Kuasa hotel rada ketakutan melihat sikap anak muda itu, jawabnya tergegap, '
O, . . dari tamu kedua , . . . "
"Paviliun mana yang dipesannya?" tanya Lamkiong Peng.
Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan kutunjukkan," jawab si kuasa hotel.
Lamkiong Peng melemparkan ginbio itu ke dalam kotak, lalu ikut pergi
bersama kuasa hotel.
Setelah menembus sebuah pintu yang membatasi antar halaman,
tertampaklah sebuah paviliun dengan halaman yang indah, memang berbeda
daripada di depan.
"Apakah Tuan hendak memakai paviliun ini?" tanya kuasa hotel.
"Betul," jawab Lamkiong Peng dan mendahului masuk ke rumah itu, di situ ia
berdiri termenung.'
Melihat perubahan sikap pemuda itu, semua orang tidak berani bertanya.
Selagi mereka bergegas hendak istirahat, mendadak terdengar suara ramairamai
di luar hotel serta suara riuh orang berlari.
Dengan sendirinya Tik Yang, In Loh dan lain semua ingin tahu apa yang
terjadi. Waktu mereka meloagok koluar hotel, tertampak di jalan raya orang
berlari kian kemari sambil membawa keranjang, ember dan
sebagainya,semuanya menuju ke pantai.
Karena ingin tahu apa yang terjadi, Tik Yang dan Ih Loh coba ikut menuju ke
tepi laut. Hari sudah gelap, tertampak orang berjubel di pantai, semuanya bersorak
gembira, ada kawanan pemuda sudah melepas baju dan terjun ke laut.
Waktu mereka mendesak maju ke tepi laut, sekilai pandang seketika mereka
melengak. Ternyata di tengah debur ombak terbawa cahaya gemerlip, yaitu gemerlip sisik
ikan, namun ikan yaag beratus ribu terdampar ombak itu sudah mati semua.
Rupanya membanjirnya penduduk ke tepi pantai adalah untuk mencari ikan.
Sebagai kaum nelayan, menangkap ikan tanpa susah payah tentu sangat
menggembirakan mereka, selama hidup mereka juga tidak pernah melihat
ikan tebanyak ini.
Tik Yang saling pandang dengan Ih Loh, sebab mereka merasa munculnya
bangkai ikan ini pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Cepat Tik Yang menarik Ih Loh ke luar dari kerumunan orang banyak, katanya
dengan pelahan, "Dugaanmu memang tidak salah, untung kita tidak makan
hidangan yang di antar orang-orang itu, kalau tidak . . . . "
Setelah melihat bangkai ikan sebanyak itu, dapatlah diduga pasti kawanan
ikan itu, telah makan berbagai makanan yang mereka buang ke laut itu dan
mati keracunan, lalu bangkai ikan terdampar ke pantai terbawa arus.
Sungguh mengerikan melihat beratus ribu bahkan berjuta ikan mati itu.
"Keji amat racun mereka, siapakah yang sengaja hendak meracuni kita dengan
obat racun sejahat ini?" gumam Ih Loh dengan ke-ning bekerenyit. "Tapi
apakah semua pengantar makanan itu memberi racun atau cuma satu di
antara mereka, hal ini juga tidak jelas."
"Pada suatu hari hal ini pasti dapat diketahui," ujar Tik Yang.
"Wah celaka!" teru Ih Loh mendadak.
"Ada apa?" tanya Tik Yang.
"Ikan ini mati keracunan, jika bangkai ikan ini diambil dan dimakan, bukankah
yaug makan juga akan ikut keracunan?"
Tergugah juga hati Tik Yang, waktu ia memandang ke sana, entah betapa
banyak orang yang berjubel di pantai sekarang, cara bagaimana harus
mencegah tindakan mereka yang hendak panen bangkai ikan itu. Bisa jadi
beribu orang ini pun akan menjadi korban racun.
"Wah, Bagaimana baiknya" Cara bagaimana kita memberi keterangan kepada
mereka supaya mereka mau percaya?" gumam Ih Loh dengan bingung.
Tik Yang juga tak berdaya, dilihatnya beberapa nelayan dengan menjinjing
keranjang penuh ikan sedang beranjak pulang dengan riang gembira. Selagi ia
bermaksud memburu maju untuk memberi penjelasan, tiba tiba dari kejauhan
ada suara teriakan orang.
Beberapa lelaki berbaju kuning dengan rambut diikat tampak berlari datang
sembari berteriak. "Losinsian ada perintah, katanya ikan ini tidak bo!eh
dimakan!" Dalam sekejap segera orang-orang berbaju kuning itu di kerumuni orang
banyak dan ditanyai. Kawanan nelayan yang.akan pulang itu berputar balik
untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Salah seorang berbaju kuning itu berteriak pula, "Saudara sekalian, lekas
bangkai ikan itu ditanam saja dan janganlah sekali-kali dimakan."
"Kenapa tidak boleh dimakan?" demikian ada orang bertanya.
"Losinsian bilang ikan ini beracun dan dikirim oleh kaum iblis untuk membikin
celaka manusia, bila dimakan segera akan mati keracunan," seru si baju
kuning. Berubah hebat air muka kawanan nelayan, ada yang berkata. "Syukurlah
Losinsian berada di sini, kalau tidak tentu banyak nyawa akan melayang." .
Diam-diam Tik Yang merasa lega, mau-tak-mau ia pun merasa heran, ia tidak
tahu "Losinsian" atau si dewa tua yang dimaksudkan mereka itu sesungguhnya
orang macam apa, mengapa kaum nelayan sedemikian percaya kepadanya" ?"
Ia coba mendekati seorang nelayan dan bertanya, "Numpang tanya, Losinsian
yang disebut itu sebenarnya siapa?"
Nelayan itu mengamati dia sejenak, lalu menjawab dengan tertawa, "Agaknya
Anda berdua kaum pelancong dari tempat lain sehingga tidak tahu siapa
Losinsian. Beliau seorang tua yang serba pintar, dari ilmu bintang sampai ilmu
bumi semuanya dipahaminya, beliau boleh dikatakan serba tahu dan serba
bisa, di dunia tidak ada bandingannya."
Tik Yang mengucapkan terima kasih, lalu mengajak Ih Loh pulang ke hotel.
"Losinsian ini tentu seorang kosen, kalau sempat ingin kutemui dia," kata Ih
Loh- "Orang kosen apa. kukira cuma sebangsa dukun saja," ujar Tik Yang.
"Kalau dukun, cara bagaimana dia tahu bangkai ikan beracun dan menyuruh
orang jangan memakannya," kata Ih; Loh. "Kawanan nelayan itu memang
banyak yang tahayul, tapi tidak semuanya orang bodoh."
Tik Yang tidak membantah lebih lanjut Sepulang di hotel, tertampak Lamkiong
Peng dan Yap Man-jing duduk berhadapan dengan diam diruang duduk. Segera
Tik Yang menceritakan apa yang dilihatnya tadi.
Tentu saja orang yang memesankan kamar bagi mereka mengantarkan lagi
berbagai Santapan, tapi setelah utusan ikan mati keracunan tadi, mana
mereka berani makan. Mereka menyuruh pelayan; membeli ratusan telur
ayam' dan direbus untuk mengisi perut.
Meski mereka tidak banyak bicara lagi, tapi diam-diam sama merasakan
urusan bertambah gawat, dengan perasaan tertekan mereka kembali ke kamar
masing-masing. Tentu saja Lamkiong Peng tidak dapat pulas, pikirannya bergolak. teringat
olehnya akan kedua orang tua, terkenang juga kepada guru dan saudara
seperguruan, juga kawan dan kerabat Iain.
Malam bertambah larut, namun tetap sukar pulas. Selagi suasana sunyi
senyap. tiba-tiba terdengar suara mendesir di luar jendela, suara kain baju
tertiup angin, menyusul ada suara "cit-cit" dua kali.
Tergerak hati Lamkiong Peng, cepat ia bangun, terdengar suara mencicit dua
kali lagi di luar, suara seperti bunyi serangga di malam sunyi.
Ia masih ingat dahulu ketika dia baru saja masuk perguruan, di antara
beberapa saudara seperguruan berkumpul main sembunyi-sembunyian untuk
berlatih ginkang.
Waktu itu mereka sama masih muda belia, Liong Hui sudah meningkat
dewasa, namun pikirannya masih serupa anak kecil, ia membawa para Sute
dan Somoay bermain kucing-kucingan di hutan agar tidak dirasakan meeeka
sedang berlatih ginkang melainkan seperti permainan biasa kanak-kanak saja.
Seketika Lamkiong Peng terkenang kepada kejadian lalu, semua itu seperti
baru terjadi kemarin.
"Hah, jangan-jangan Toasuheng yang da-tang"!"." tlba-tiba timbul pikirannya.
Segera ia membuka jendela, dilihatnya sesosok bayangan orang mendekam di
emper rumah depan nana dan lagi menggapai padanya.
Tanpa pikir Lamkiong Peng keluar, dilihatnya bayangan orang itu sudah
melompat ke halaman rumah lain dan berdiri di bawah pohon yang rindang.
Waktu Lamkiong Peng menyusul ke situ, dalam kegelapan samar-samar dapat
dikenali-nya bayangan oraag ini ternyata Samsuhengnya yaitu Ciok Tim yang
sudah lama berpisah itu. Sungguh girang sekali Lamkiong Peng, cepat ia
pegang tangan Ciok Tim dia berketa ' Simsuheng, engkau . . . , " seketika
kerongkongan seperti tersumbat dan sukar bersuara
Dalam kegelapan kelihatan Ciok Tim yang dulu gagah dan cakap itu sekarang
sangat kurus, muka pucat, mata celling dan guram sinar matanya.
Duka, pedih dan girang pula Lamkiong Peng. Didengarnya Ciok Tim berkata,
"Kudengar engkau datang kemari dan segera menyusul ke sini."
Suaranya kedengaran berat daa pelahan, tidak bersemangat lagi seperti dulu.
"Kalau sudah datang, mengapa Samsuheng tidak masuk kamarku?" tanya
Lamkiong Peng. Giok Tim menggeleng, sorot matanya yang guram menampilkan rasa duka dan
hampa, katanya, "Aku tidak mau masuk, aku cuma ingin memberitahukan
padamu, jangan kau percaya kepada omongan orang, jangan menyanggupi
sesuatu kepada siapa pun. Hanya . . . hanya sekianlah pesanku."
Lamkiong Peng tertegun sejenak, katanya kemudian, "Baik-baikkah selama ini,
Sam-suheng" Tentu Toaso dan lain-lain juga berada denganmu?"
Ciok Tim termenung sambil memandang bintang di langit, jawabnya
kemudian, "Aku ini orang sial dan berdosa, selanjutnya jangan kauanggap lagi
diriku sebagai Suhengmu, sebaiknya anggap aku sudah mati."
"Kenapa Suheng bicara seperti ini, apa pun juga engkau adalah Suhengku,"
kata Lamkiong Peng dengan terharu.
Ciok Tim menggeleng dan menghela napas, "Engkau .... engkau tidak tahu ....
Sudahlah, hendaknya kaujaga dirimu dengan baik, kupergi saja."
Habis bicara segera ia melayang pergi, hanya sekejap saja sudah menghilang
dalam kegelapan.
Suasana sunyi, angin mendesir, Lamkiong Peng berdiri di halaman yang luas
dan gelap, itu dengan perasaan tertekan.
Ciok Tim adalah salah seorang di antara. lima saudara seperguruannya yang
gagah dan tangkas tapi sekarang dia kelihatan lesu, sedih dan putus asa, jika
tidak mengalami sesuatu pukulan batin tentu takkan membuatnya jadi begini.
Sejak berpisah di Hoa san dahulu antara sesama saudara,seperguruan mereka
lantas ter-pencar dan sudah dekat setahun tidak pernah berjumpa, sekarang
Ciok Tim terburu-buru tinggal pergi lagi, memangnya apa yang dihindarinya"
Begitulah perasaan Lamkiong Peng bergolak, pedih dan haru, tanpa terasa air
mata pun meleleh, terutama bila mengingat pengalamannya sendiri.
Di bawah bayangan pohon yang bergerak tertiup angin, sekilas tertampak di
sisinya su-dah bertambah dengan sesosok bayangan yang ramping. '
Cepat Lamkiong Peng berpaling, kiranya Yap Man-jing adanya, dengan
tercengang si nona lagi menatapnya, "engkau menangis?" tanya nona itu.
"Tidak," eepat Lamkiong Peng memperlihatkan senyumnya, namun tidak dapat
menutupi bekas air mata pada pipinya.
"Malam dingin dan banyak embun, lekas pulang ke kamar saja," ucap Man-jing
dengan lembut. Lamkiong Peng memandangnya sekejap sambil mengangguk, lalu kembali ke
kamar. Ia duduk termenung dan seperti hilang rasa kantuknya.
Suasana sunyi senyap, pikirannya bergolak, berbagai urutan seakan-akan
terbayang lagi olehnya.
Entah berapa lama ia melamun, sekonyong- konyong terdengar orang
melangkah di serambi luar, sejenak kemudian mendadak terdengar suara
bentakan Yap .Man-jing, "Lari kemana, bangsat!" -.
Menyusul dua sosok bayangan orang melayang lewat ke atas rumah terus
kabur ke arah barat.
Tanpa pikir Lamkiong Peng melompat keluar lagi melalui jendela dan memburu
ke sana. Selama hampir setahun berdiam di Cu-, sin-to dan mempelajari berbagai ilmu
sakti dari kitab pusaka yang dibacanya, kemajuan ginkangnya sekarang sudah
sukar diukur. Maka hanya sekejap saja-kedua orang tadi sudah dapat
disusulnya. Waktu ia mengamati, yang lari di depan adalah seorang lelaki
berpakaian ringkas, yang mengejar di belakang bertubuh ramping dan
berambut panjang, jelas Yap Man-jing adanya.
Lamkiong Peng mempercepat langkahnya, hanya sejenak saja jarak mereka
tinggal belasan tombak saja.
Tiba-tiba lelaki itu berhenti di depan pohon besar sana, begitu menubruk maju
segera Yap Man-jing menyerang entah kenapa, ia menyerang dengan ganas
dan keji tanpa kenal ampun.
Hanya beberapa gebrakan saja, dengan suatu serangan pancingan, menyusul
telapak tangan Yan Man-jing dapat menabas pundak lawan, bahkan dada
orang lantas dihantamnya lagi.
"Tahan dulu, nona Yap!" seru Lamkiong Peng.
Namun sudah terlambat, dada orang itu sudah kena digenjot Yap Man-jing
hingga tumpah darah dan terjungkal.
Lamkiong Peng memburu maju dan memeriksa pernapasan orang itu, ternyata
sudah putus napas.
"Bangsat rendah mati pun murah baginya," damperat Yap Man-jing penasaran.
"Mestinya ditawan dulu untuk dimintai keterangan," ujar Lamkiong Peng.
"Sesungguhnya apa yang sudah terjadi sehingga engkau sedemikian marah?"'
"Coba kauperiksa benda apa yang dibawanya?" kata Man-jing.
Waktu Lamkiong Peng berjongkok, dikeluarkannya sesuatu dari baju lelaki itu,
ternyata sebuah tempurung berbentuk ceret dengan leher panjang terbuat dari
timbel. Dari mulut leher ceret terendus bau harum yang aneh.
'O. kiranya seorang maling cabul," ujar Lamkiang Peng.
Kiranya tempurung timbel berbentuk ceret itu berisi semacam asap bius,
biasanya digunakan manusia rendah yang suka merusak orang perempuan,
korbannya dibius lebih dulu lalu dikerjainya.
"Coba, bangsat kotor semacam ini buat apa dibiarkan hidup"' damperat Yap
Man-jing pula. Lamkiong Peng berpikir sejenak, katanya kemudian, "Tapi urusan tentu tidak
sederhana begini. bukan mustahil orang ini ada hubungannya dengan kelima
kelompok orang yang mengantar makanan kepada kita itu."
Sejenak kemudian mendadak ia berteriak pula, '"Celaka. ayo lekas kembali ke
hotel!" Sembari bicara ia terus mendahului berlari kembali ke arah semula.
Seketika Yap Man-jing juga menyadari apa yang mungkin terjadi, tanpa ragu
segera ia menyusulnya.
Setiba di hotel, cepat Lamkiong Peng mendatangi kamar Tik Yang suami istri
dan ber teriak, "Tik-heng.............".
Namun sampai beberapa kali ia bicara tetap tidak ada jawaban. Tanpa ayal ia
men dobrak pintu dan menerjang ke dalam.
Ternyata kamar sudah kosong, bayangan Tik Yang dan Ih Loh tidak kelihatan
lagi, bahkan rangsal, senjata dan barang lain juga tidak kelihatan.
"Ke mana mereka"' tanya Man-jing.
Bekerenyit kening Lamkiong Peng, ia termenung tanpa menjawab.
"Coba kaucium, rasanya masih ada bau harum khas itu," kata si nona pula.
"Ya, urusan ini agak janggal," ujar Lamkiong Peng. "Rasanya tidak mudah
untuk menyelidiki urusan ini."
"Rasanya kita harus mulai menyelidiki urusan ini dari kelima kelompok
pengantar makanan itu," ujar Man-jing
"Ya, dan hal ini pun jelas tidak mudah dan sederhana," kata Lamkiong Peng.
"Baru lewat tengah malam, percuma kita gelisah di sini, marilah kembali ke
kamar dan besok kita mencari akal lagi."
"Esoknya setelah berundiug, Yan Man-jing sementara tinggal di hotel untuk
mengawasi apa yang akan terjadi lagi. Lamkiong Peng yang keluar untuk
mencari keterangan.
Menjelang lohor baru Lamkiong Peng kembali ke hotel. Segera Yap Man-jing
menyongsongnya dan bertanya adakah sesuatu yang ditemukan.
"Bawa senjatamu dan mari ikut pergi,"kata anak muda itu.
Cepat keduanya membawa pedang dan merapatkan pintu kamar lalu
meninggalkan hotel, langsung mereka keluar kota dan berlari ke arah barat.
Sembari. berlari Yap Man-jing tanya hendak pergi ke mana.
"Setahuku beberapa kelompok orang yang mengantar makanan dan pesan
kamar bagi kita itu bukan Cuma ada sangkut pautnya dengan Yim Hong-peng,
hilangnya Tik Yang dan
Ih Loh juga berhubungan erat dengan dia," tutur Lamkiong Peng.
Manjing mendongkol karena jawaban tidak cocok dengan apa yang ditanya,
katanya, "Yim Hong-peng kan tinggal di barat-laut yang jauh sana, kenapa sekarang dia
lari ke daerah Kanglam?"
"Selama setahun ini siapa yang berani menjamin takkan terjadi perubahan?"
Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ucap Lamkiong Peng. "Bukan mustahil sekarang pengaruh Yim Hong-peng
sudah merata sehingga daerah utara dan selatan sungai sini."
"Perubahan dan pengaruh Yim Hong-peng apa maksudmu?" tanya Man-jing.
Lamkiong Peng tertegun. tapi segera teringat olehnya ketika di kota Tiang-an
di barat laut dulu. waktu Yim Hong-peng memberi keterangan bahwa Swe
Thian-banga ada niat merajai dunia persilatan, hal ini hanya didengar oleh Bwe
Kim-soat, Tik Yang dan dirinya sendiri.
Yim Hong-peng memang licik dan licin, segala usahanya dilakukan secara
terselubung, makanya Yap Man-jing tidak tahu seluk-beluk-nya.
Maka Lamkiong Peng menjawab, "panjang; sekali untuk menceritakan urusan
ini, kelak tentu akan kuberitahu, sekarang lekas kita menuju ke Lam-san."
Segera mereka lari terlebih cepat. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai
di lereng gunung, jalan setapak semakin sulit ditempuh. Lamkiong Peng coba
berhenti, katanya kepada Yap Man-jing, "Jalan ini memang sempit dan sukar
dilalui, anak buah Yim Hong-peng pasti juga akan berhenti di tempat ini,
biarlah kita menunggu di sini dan menyergap mereka. Sekarang kita istrahat
dan himpun tenaga, bisa jadi akan berlangsung pertempuran sengit nanti."
Habis bicara meraka lantas mencari tempat berlindung dan duduk di kaki batu
karang yang tejal.
Tidak lama kemudian, benar juga terdengar suara gemertak dari kejauhan,
suara roda kereta dan ringkik kuda yang makin mendekat.
Cepat Lamkiong Peng dan Yap Man-jing berbangkit dan menyelinap ke
belakang batu. Hanya sebentar saja suara kereta kuda itu sudah dekat.
Karena latihannya selama tinggal di Cu sin-to, kini ketajaman mata Lamkiong
Peng memandang dalam kegelapan sudah serupa di siang hari. Waktu ia
mengawasi pendatang itu, tertampak sebuah kereta berkabin ditarik dua ekor
kuda, di depannya ada tujuh orang penunggang kuda.
Kira-kira tiga tombak di depan batu tempat sembunyi Lamkiong Peng segera
ketujuh penunggang kuda itu berhenti. Dua lelaki pengendara kereta
melompat turun dan berlari ke samping kereta untuk membuka tabir hitam,
lalu diseretnya turun dua orang.
Begitu melihat kedua orang yang diseret turun itu, seketika hati Lamkiong
Peng tergetar kiranya kedua orang jtu adalah Tik Yang dan Ih Loh, keduanya
kelihatan berlumuran darah rambut kusut, baju robek sehingga hampir
setengah telanjang.
Lamkiong Peng tidak tahan, mendadak ia melompat keluar sambil bersuit
panjang, sambil melolos pedang pusaka "Yao-siang-jiu-loh" ia terus menubruk
maju. Yang mengepalai ketujuh penunggang kuda itu adalah seorang kakek berusia
50-an, sembari menghindari tusukan Lamkiong Peng ia berteriak, "Hei,
sahabat, selamanya kita tidak kenal, kenapa tanpa bicara kaumain serang" '
Mata Lamkiong Peng tampak merah membara, dengan gencar ia menyerang
lagi tiga kali.
Kakek itu mengelak dan menyurut mundur sambil berseru, "Apa pun juga
hendaknya bicara dulu urusannya . . . " "
"Urusan apa, binasakan kalian dulu!'' teriak Lamkiong Peng dengan murka.
Pedang pusaka berkelebat, dengan ilmu pedang Lam-hai-kiam-hoat yang
dipelajarinya di Cu-sin-to yang menabas terlebih kencang.
Sembari berkelit kian kemari, kakek itu tahu sia-sia saja ia bicara, cepat ia
menanggalkan senjatanya, yaitu cambuk sepanjang tiga meter, secepat kilat ia
sabet pergelangan tangan Limkiong Peng yang memegang pedang, dari
bertahan ia balas menyerang.
Lamkiong Peng tidak menduga kelihaian kakek ini. Namun anak muda ini pan
bukan anak muda dahulu lagi, sekali pedang berputar, sambil mengelak
cambuk lawan pedang terus menabas pinggang musuh.
Si kakek tidak menduga anak muda itu dapat bergerak secepat itu, baru saja
merasakan cambuknya mengenai tempat kosong, tahu-tahu pinggang sudah
terancam. hendak melompat mundur pun tidak keburu lagi, kontan pinggang
tertabas, darah berhamburan dan muncrat ke mana-mana.
Tanpa ayal Lamkiong peng terus menerjang maju lagi, serupa burung terbang
ia tubruk ke tengah kawanan lelaki berbaju hitam.
Kawanan lelaki itu juga telah diterjang oleh Yap Manjing, walupun tidak sampai
kocar-kacir, namun mereka pun kalang kabut menghadapi kelihaian Yap
Manjing. Sakarang di tambah lagi Lamkiong Peng, keruan barisan mereka
menjadi kacau, kontan dua orang terbinasa di bawah pedang Lam~ kiong
Peng. Dua orang lagi sedang menjaga Tik Yang dan Ih Loh, mereka sembunyi di
belakang ke-reta. melihat keadaan tidak menguntungkan, segera timbul
pikiran untuk kabur.
Dalam pada itu dua lelaki berbaju hitam yang lain tidak tahan kelihaian pedang
Lamkiong Peng, kembali perut mereka di tembus pedang dan binasa. Sekali
lompat Lamkiong Peng memburu kedua orang yang menjaga Tik Yang
bersama istrinya itu.
Tentu saja kedua orang itu kaget dan cepat melompat mundur.
Selagi Lamkiong Peng hendak menubruk maju lagi. sekonyong-konyoug ada
orang membentak di belakangnya, '"Berhenti!"
Tanpa terasa Lamkiong Peng berpaling, dilihatnya tidak jauh di belakang
berdiri empat sosok bayangan tinggi besar.
Waktu itu sudah tengah malam, rembulan tepat menghias di tengah cakrawala
sehingga menerangi keempat orang itu.
Ternyata seorang yang paling depan ialah Ban- li-liu-hiang Yim Hong-peng,
dua orang di sebelah kirinya" adalah Bin-san-ji-yu. kedua sahabat dari Binsan,
yaitu Tiangsun Tan dan Tiangsun Kong.
Sedangkan seorang di sebelah kanan tidak dikenalnya, seorang kakek kereng
berbaju hitam panjang dengan rambut terikat tinggi di atas kepala, sepasang
tombak pandak berwarna emas terselip di pinggang. .
Kedatangan Yim Hong-peng sebenarnya sudah dalam dugaan Lamkiong Peng,
sebab itulah dia tidak heran atau terkejut, sebaliknya Yim Hong-peng yang
merasa heran, pelahan ia mendekati Lamkiong Peng dan menyapa, "Selamat
Lamkiong heng selama berpisah ini, Konon setiap orang yang masuk ke Cusihto tidak pernah ada yang pulang dengan hidup, tampaknya Lamkiong-heng
tergolong yang paling beruntung."
"Bilamana aku tidak dapat pulang ke sini, tentu Yim-heng merasa senang,"
jengek Lamkiong Peng.
"Ah, kenapa Lamkiong-heng bicara demi kian, sama sekali tidak ada pikiran
begitu padaku," kata Yim Hong-peng. "Harap Lamkiong heng jangan salah
paham Justru suasana dunia persilatan sekarang kacau-balau, ada maksudku
mengajak Lamkiong-heng untuk mengadakan penataran . . . . "
Belum habis ucapannya Lamkiong Peng lantas memotong "Ah, apa
kepandaianku, mana berani kuterima tugas berat itu, rasanya Yim-heng salah
sasaran." "Haha, kukira Lamkiong-heng terlampau rendah hati," seru Yim Hong-peng
dengan tertawa. "Bilamana mengingat tempo hari ketika Lamkiong-heng
mengalahkan Giok-jiu-sun-yang di restoran Thian-tiang-lau dan menerobos ke
Boh-Hong ceng untuk mencari obat bagi Tik Yang, kemudian menuju ke Cusinto dan pulang lagi dengan selamat, semua peristiwa keperkasaanmu sudah
tersiar luas, tentang kecerdasan dan kemahiran kungfu Anda sudah lama
dikagumi Swe-siansing, bila beliau dapat memperoleh bantuan Lamkiongheng,
berani kukatakan dalam setahun saja dunia persilatan seluruh
Tionggoan pasti akan dikuasainya."
Pada saat itulah mendadak terdengar Yap Man-jing membentak sambil
menubruk maju, "Mau ke mana"!"
Waktu Lamkiong Peng menoleh, kiranya kedua lelaki berbaju hitam yang
menjaga Tik Yang dan Ih Loh tadi diam diam hendak melangkah pergi. Karena
bentakan Man-jing, keduanya lantas berhenti dan memandang Yim Hong-pmg.
"Sungguh aku tidak mengerti sebab apakah Yim-heng sampai memperlakukan
Tik-heng dan istrinya dengan cara begini?" tegur Lamkiong Peng.
"Kawanan jembel Yu-leng-kun-kui sudah menggabungkan diri dengan Swee
Thian-bang untuk bekerja sama, Ih Hong menghendaki adik perempuannya
juga mengikuti jejaknya, maka aku diminta kemari untuk membawanya pulang
ke utara," tutur Yim Hong-peng.
"Hm, kalau cuma menghendaki Ih Loh juga bergabung dengan Swe Thianbang,
meng-apa Yim-heng perlu menggunakan dupa bius segala, sungguh aku
tidak mengerti," ejek Lam-kiong Peng.
"Seluk-beluk urusan ini tidak dapat dijelaskan dengan singkat, soalnya
kukuatir menimbulkan salah paham, terpaksa menggunakan cara kurang
terhormat itu," jawab Hong-peng.
"Lantas bagaimana dengan Tik Yang, dia juga perlu kautawan?" jengek
Lamkiong Peng pula.
"Mereka sudah terikat menjadi suami-istri, dengan sendirinya satu sama lain
harus satu tujuan," kata Hong-peng.
"Aku cukup kenal jiwa dan kepribadian Tik heng, meski mereka sudah terikat
menjadi suami- istri, jika persoalannya menyangkut kepribadian, tidak nanti
dia mau ikut secara ngawur."
"Haha, mungkin Lamkiong heng tidak tahu bahwa ketika dulu Tik-heng
keracunan dan mendekat ajal, syukurlah ditemukan Ih Loh dan berusaha
menolongnya dengan sepenuh tenaga, jadi Tik Yang sesungguhnya utang budi
kepada istrinya. Kalau Ih Hong sudah bergabung dengan Swe Thian-bang,
dengan sendirinya Ih Loh takkan membangkang dan mengikuti jejak sang
kakak, lalu Tik Yang apakah dapat mengingkari kehendak istri sendiri?"
"Kawanan jembel Yu-leng-kun-kai terkenal jujur lurus, sasaran mereka
kebanyakan adalah orang kaya yang tidak berbudi atau pembesar korup,
biasanya mereka juga membantu yang miskin dan menolong yang lemah, hal
ini cu-kup dikelahui setiap orang kongouw, apalagi ih Hong terkenal tinggi hati
dan menyendiri. masa dia rela menjual kehormatan sendiri dan bergabung
dengan Swe Thian-bang?"
Man-jing tahu bilamana perang dingin akan segera berubah menjadi perang
tanding, maka diam diam ia mendekati Lamkiong Peng.
Yim Hong-peng memandang Man-jing sekejap. katanya, "Pada waktu
Lamkiong-heng berangkat ke lautan dulu, pada waktu yang sama Leng-hiathuicu
juga menghilang. Ka-wan kaugouw umumnya menyangka dia ikut
berengkat bersama Lamkiongheng ke Cu-sin-to, siapa tahu yang pulang
bersamamu ternyata nona Yap adanya. Apakah Leng-hiat-huicu memang betul
telah hilang?"
' Lamkiong Peng bergelak tertawa, "Hahaha, hal ini apakah sangat
mengecewakan Yim-heng" Bahwa Bwe Kim-soat tidak berada bersama
sehingga maksud Yim-heng akan sekaligus menjaringnya tidak tercapai, maka
engkau menyesal bukan?"
Mendadak anak muda itu berubah bengis dan berteriak, "Yim Hong peng,
berturut kau-kirim lima kelompok orang untuk mengantar makanan beracun
dan bermaksud meracun Tik Yang, syukur muslihatmu dapat diketahui Tik
Yang. Karena gagalnya rencana itu, kau-pasang perangkap lagi di hotel itu
sehingga akhirnya Tik Yang suami-istri tertawan, untung aku dan nona Yap
sempat lolos, soalnya sebeium ini engkau tidak menyangka aku akan ikut
pulang dan tidak memberitahukan kepada anak buahmu yang memang tidak
kenal diriku. Haha ternyata di antara anak buahmu terdapat juga kaum rendah
yang suka menggunakan dupa bias sehingga dapat kubongkar kelicikanmu ....
" "Diam!" bentak Yim Hong-peng.
Orang-orang yang berdiri di samping Yim Hong-peng sejak tadi tidak ada yang
bersuara. jelas karena disiplin Swe Thian-bang cukup tegas dan mereka harus
tunduk kepada Yim hong-peng.
Sekarang kakek kereng berbaju hitam panjang dan bersenjata sepasang
tombak pandak itu tampaknya tidak tahan lagi, ia melangkah maju dan
membentak, "Anak kurang ajar, kau-kira tidak ada orang berani
menghadapimu di sini?"
Lamkiong Peng meliriknya sekejap, tanya-nya dengan tertawa kepada Yim
Hong-peng, "'Apakah Cianpwe ini adalah jugo kepercayaan Swe Thian-bang
yang terkenal dengan se pasang tombak pencabut nyawa, Ko Tiong-hai, Kotaihiap
adanya?" "Betul, beliau memang Ko-loenghiong," jawab Yim Hong-peng.
"Sudah lama kudengar kedua tombak Ko taihiap maha sakti, sungguh
beruntung bila hari ini dapat berkenalan,'" seru Lamkiong Peng dengan
tertawa. Ko Tiong-hai memandang Yim Hong-peng sekejap agaknya minta
persetujuannya sebelum turun Tangan.
Namun Yim Hong-peng diam saja. 'Kenapa Yim-heng tidak mengangguk?" ejek
Lamkiong Peng. Mendadak Ko Tiong-hai membentak terus menerjang maju. dia tidak menarik
tombak nya melainkan menggunakan kedua telapak tangan untuk
menghantam sekaligus.
Lamkiong Peng sudah siap siaga, kedua tangan menangkis sambil meraih
pergelangan tangan lawan, berbareng sebelah kaki menendang perut.
Kaget juga Yim Hong-peng melibat ketangkasan Lamkiong Peng, hanya
setahun ber pisah ternyata kungfu anak muda ini sudah maju pesat.
Ko Tiong-hai tidak gentar, cepat ia menarik tangan dan menyurut mundur,
menyusul telapak tangan memotong pula ke lambung lawan.
HAN BU KONG Jilid 20 Di sebelah sana lantas terdengar juga bentakan Yap Man-jing, rupanya ia pun
mulai melabrak Bin-san-ji-yu.
Terkejut juga Ko Tiong-hai melihat pu-kulan Lamkiong Peng yang dahsyat,
cepat ia tangkis.
Tak tersangka sekali ini Lamkiong Peng hanya serangan pancingan saja, ia
melancarkan "Ta-mo cap-pek-sik" yang pernah dipelajarinya di pulau itu,
hanya saja dia belum menyelaminya secara mendalam, walaupun begitu untuk
digunakan melayani KoTiong-hai tetap dapat membuatnya kelabakan dan
terdesak mundur.
Yim Hong-Peng menyaksikan serangan Lamkiong Peng itu, teriaknya, "Hah,
Ta-mo-cap-pek-sik"!"
"Bagus, boleh kalian rasakan kelihaianku," jengek Lamkiong Peng. "Kalau tahu
gelagat hendaklah lekas lepaskan Tik Yang berdua sebelum terlambat."
Karena terdesak, dahi Ko Tiong-hai mulai berkeringat dan lagi mencari jalan
untuk mematahkan serangan lawan.
Pada saat itulah mendadak terdengar bentakan Bin-san-ji-yu. rupanya Yap
Man-jing kelihatan kewalahan dikerubut mereka, sambil menangkis sebisanya
ia terdesak mundur.
"Coba kaumampu bertahan berapa lama lagi!" teriak Tiangsun Kong sumbil
melangkah maju, pedang berputar terui menabas pinggang lawan.
Tiangiun Tan tidak tinggal diam, berbareng ia pun mengitar ke samping,
secepat kilat pedang menusuk punggung Yap Man-jing.
Dalam keadaan diserang dari muka dan belakang. tentu saja keadaan
cukupgawat bagi Yap Man-jing, sedapatnya ia menangkis dan mengelak.
Namun sayang tenaganya sudah lemah, langkahnya sempoyongan sehingga
pundak kanan tertusuk pedang Tiangsun Tan.
Ia bersuara tertahan, pada saat itu juga pedangnya terkacip oleh kedua
pedang Tiang-sun Kong sehingga terlepas. Tanpa ayal Tiangsun Kong terus
menubruk maju, sekaligus ia tutuk dua hiat-to si nona, kontan Man-jing ro-boh
terkulai. Tanpa berhenti Bin-san-ji-yu terus mem-buru ke sana dan mengerubut
Lamkiong Peng bersama Ko Tiong-hai.
Lamkiong Peng menjadi murka, ia bersuit panjang, pedang Yap-siang-jiu-Ioh
dilolosnya, sekali berputar, ketiga lawan didesak mundur.
Ko Tiong-hai tertawa dingin. segera ia pun putar sepasang tombak emas dan
menyerang terlebih gencar.
Meski tinggi ilmu silat Bin-san-ji-yu, tapi bila dibandingkan Lamkiong Peng
sekarang mereka rada kewalahan juga sehingga berulang terdesak mundur.
Untung Ko Tiong-hai terus menyerang dengan lihai sehingga Lamkiong Peng
tidak dapat mendesak lebih lanjut.
Anak muda itu menyadari untuk lolos begitu saja rada sukar, apalagi dia harus
memikirkan Yap Man-jing. Dilihatnya di antara ketiga lawan hanya Tiangsun
Tan yang paling lemah, segera ia ganti siasat, lawan paling lemah itulah yang
terus dicecar. Tentu saja Ko Tiong hai dan Tiangsun Kong dapat meraba maksud Lamkiong
Peng, keduanya seperti sudah berjanji lebih dulu, serentak mereka pun
menyerang terlebih gencar.
Belasan jurus pula, Lamkiong Peng mulai tidak tahan, dikerubut tiga tokoh
kelas tinggi seperti itu, betapa tangkas anak muda itu juga kerepotan.
Yim Hong-peng tersenyum girang melihat kawannya berada di atas angin.
Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak Ko Tiong-hai membentak, kedua tombak cmas bekerja naik-turun,
tombak tangan kanan segera menusuk iga kiri Lamkiong Peng, tombak tangan
kiri secepat kilat menyabet tangan kanan anak muda itu yang berpedang.
Bin-san-ji-yu serentak juga menghujamkan pedang mereka ke tubuh
Lamkiong Peng. Dengan kalap Lamkiong Peng putar pe-dangnya, "sret-sret-sret" tiga kali,
berturut ia melancarkan tiga jurus serangan, walau tetap, sukar menghadapi
kerubutan tiga tokoh tangguh ini, tombak Ko Tiong-hai tertangkis, sekuatnya
pedang lantas menusuk dada Tiangsun Tan.
Tusukan ini cepat lagi di luar dugaan, lelagi Tiangsun Tan hendak melompat
mundur. namun sudah kasip, ia menjerit ngeri dan dada tertembus pedapg.
Lamkiong Peng tertawa seram sambil menarik pedang, pada saat itu kedua
pedang Tiangsun Kang juga sempat menabas sehingga membuat luka panjang
pada bahu kirinya, darah lantas munerat. Malahan tombak kiri Ko Tiong-hai
pada saat yang sama juga menancap di paha kanan Lamkiong Peng.
Dengan nekat Lamkiong Peng ayun pe-angnya dan mendesak mundur
Tiangsun Kong dah Ko Tiong-hai yang henda menyerang lagi sehingga tombok
emas tidak sempat ditarik Ko Tiong-hai dan masih menancap di paha.
Belum pernah Ko Tiong-hai melihat orang setangkas ini, seketika ia
melenggong bingung.
Tiangsun Kong sangat sedih atas gugurnya sang adik, dengan meraung kalap
ia menubruk maju lagi.
Mendadak Lamkiong Peng berteriak seram, "Put-si-sin-liong, naga sakti tak
termatikan!"
Berbareng ia cabut tombak emas yang menancap di pahanya itu, tanpa
diperiksa terus dilemparkan ke belakang.
Kematian Tiangsun Tan membakar hati Tiangsun Kong sehingga terangannya
yang kalap itu tidak terjaga sama sekali, apalagi ia mengira Lamkiong Peng
pasti juga tidak mampu melawan lagi. Siapa tahu mendadak tombak emas
menyambar tiba, keruan ia kaget, cepat kedua pedangnya disilangkan untuk
menangkis. Namun tangkisannya ternyata meleset, tombak menerobos lewat dan "erat",
tepat menancap di bahu kirinya, kontan ia meng-geletak.
"Sungguh tidak malu sebagai murid Put-si-sin-liong!" ucap Ko Tiong-hai
dengan gegetun, pelahan ia mendekati Tiangsun Kong yang tak bisa berkutik
itu. Yim Hong-peng juga gegetun, ucapnya, "Bilamana mempunyai pembantu
sehebat ini, mustahil dunia takkan kukuasai!"
"Jangan mimpi!" bentak Lamkiong Peng.
Baru bersuara, kembali ia tumpah darah, lan-kahnya sempoyongan dan
akhirnya tidak tahan, "bluk", ia pun roboh terkapar.
Cepat Yam Hong-peng memburu maju, dengan beringas sebelah tangannya
segera terangkat dan hendak dihantamkan pada Lamkiong Peng.
Syukurlah sebelum pukulannya dilontarkan, mendadak seorang membentak di
belakangnya, ''Nanti dulu!"
Dengan terkejut Yim Hong-Peng berpaling, dilihatnya tidak jauh di
belakangnya berdiri seorang lelaki setengah umur yang bertubuh pendek kecil
dan wajah tidak menarik.
"Tunggu dulu, orang ini hendak kubawa pergi!" kata pendatang ini sambil
melangkah maju.
Ko Tiong-hai lantas melompat maju sambil membentak "Siapa kau"!"
Orang itu meliriknya sekejap dan berucap, "Gunung besar tinggi di kejauhan!"
Yim Hong-peng dan Ko Tiong-hai melengak, serentak mereka menjawab,
"Hujan angin menyebarkan harum!"
Orang itu lantas mengeluarkan sepotong kayu cendana kecil dan diangkat ke
atas sambil membentak, 'Kalian kenal pening ini?"
"Kenal," jawab Yim Hong peng dengan menunduk.
"Melihat pening ini serupa melihat orangnya," kata orang itu "Sekarang hendak
kubawa orang ini, kalian mempunyai pendapat "Tecu tidak berani," jawab Yim
Hong-peng. Orang itu mendengus, didekatinya Lam-kiong Peng dan berjongkok, anak
muda itu diangkatnya, tanpa berpaling lagi ia melangkah pergi.
Setelah bayangan orang setengah umur yang pendek kecil itu menghilang
dalam kegelapan barulah Yim Hong peng bicara de-ngan gegetun, "Entah sejak
kapan Swe-sian-sing menerima lagi tokoh pembantu serupa ini, kenapa kita
tidak mengenalnya?"
"Sudah lebih setengah tahun kita keluar," ucap Ko Tiong-hai. "Darah baru
yang disedot Swe-siansing tentu saja tidak kita kenal sebelum diberitahu."
Sementara itu orang tadi telah membawa lari Lamkiong Peng dengan ecpat,
kira-kira satu jam kemudian, sampailah di depan hutan yang lebat.
Di bawah cahaya rembulan kelihatan di bawah pohon besar sana dua ekor
kuda asyik makan rumput, di samping kuda berdiri seorang perempuan cantik
molek dengan wajah muram durja.
Siapa lagi dia kalau bukan Bwe Kim-soat.
Begitu orang setengah umur itu mendekat, segera Kim-soat menyongsongnya,
dipandangnya sekejap Lamkiong Peng yang dipanggul itu sambil bertanya,
"Apakah parah lukanya?"
"Tenaga terkuras habis, darah keluar terlampau banyak," jawab orang itu.
"Untung kudatang tepat waktunya, kalau tidak jiwanya pasti sudah melayang
di bawah tangan Yim Hong-Peng."
Mata Lamkiong Peng terpejam rapat dan wajah pucat pasi, darah masih
menetes dari punggung dan pahanya, keadaannya tampak kempas-kempis,
tubuh kelihatan kaku, kecuali dadanya yang bergerak pelahan, hampir serupa
dengan orang mati.
Dengan air mata berlinang Kim-soat berucap dangan sedih, "Begini parah
lukanya, entah dia tahan sampai bertemu dengan gurunya atau tidak?"
"Kuyakin dia bukan pemuda cekak umur," ucap orang setengah umur itu.
"Kupercaya pasti akan timbul keajaiban dan dapat kau-selamatkan dia"
Kim-soat tidak bicara lagi, ia pondong Lamkiong Peng dari tangan orang.
"Jaga dia dengan baik, nona, kupergi se-karang," kata orang itu. "Adapun
pening ini ...."
"Kayu itu untukmu saja, bagiku pun tidak ada gunanya." kata Kim-soat.
Orang itu mengucapkan terima kasih, segera ia mencemplak ke atas kuda dan
dibedal pergi secepat terbang.
Kim-soat juga lantas naik kuda dan menyandarkan Lamkiong Peng di
pangkuannya. dengan pelahan ia melarikan kudanya.
Menjelang fajar, sampailah Kim-soat di Sam-bun-wan, langsung ia mendatangi
sebuah hotel dan membawa Lamkiong Peng ke dalam kamar.
Di dalam kamar ada tiga dipan, dua di antaranya berbaring dua sosok tubuh,
kiranya Put-si-sin-liong Liong Po-si dan Cu-sin-tian-cu Lamkiong Eng-lok
adanya. Dengan pandangan cemas mereka menyaksikan Bwe Kim soat masuk
membawa Lamkiong Peng.
"Anak Peng terluka?" tanya Liong Po-si dengan kuatir.
Kim soat mengangguk, tanpa bersuara ia membaringkan Lamkiong Peng di
tempat tidur yang kosong itu.
"Siapa yang melukai dia?" tanya Lamkiong Eng-lok, ia merangkak bangun dan
coba memeriksa keadaan Lamkiong Peng, katanya dengan lemah, "Ehm,
cukup parah lukanya. Tapi jangan kuatir, akan kusembuhkan dia dalam waktu
dua hari."
"Tidak, jangan kausentuh dia," seru Liong Po-si.
Lamkiong Eng-lok menjawab dengan gusar, "Dia keponakanku sendiri, peduli
apa denganmu?"
"Dia juga muridku," teriak Liong Po-si dengan parau.
"Sudahlah," dengan sedih Bwe K.im-soat memohon, "keadaannya sangat
payah, kenapa kalian malahan ribut sendiri."
Kedua orang tua itu saling melotot sekejap, akhirnya tidak bicara lagi.
Sampai sekian lama barulah Lamkiong Eng-lok berkata kepada Kim-soat,
"Selama belasan hari ini sudah kuajarkan seluruh ilmu pertabibanku
kepadamu, melihat kecerdasanmu pasti sudah kaukuasai dangan baik, kenapa
sekarang tidak kaupraktekkan atas diri anak Peng?"
"Tapi aku hanya . . . hanya menguasai teori saja dan belum pernah praktek,
mungkin . . . . " jawab Kim-soat dengan ragu.
"Aku mendampingimu, masa kuatir," ujar Lamkiong Eng-lok. "Lekas kerjakan,
keadaannya cukup gawat, tidak boleh ditunda lagi."
Kim-soat memandang Liong Po-si sekejap, melihat orang tua itu hanya diam
saja, akhir-nya Kim-soat berkata, "Baik, akan kucoba."
Lamkiong Eng-lok tersenyum senang, ka-tanya, "Sekarang kaupergi membeli
sebuah jarum panjang. sebotol arak putih dan segulung benang, lekas jangan
terlambat!"
Cepat Kim soat mengiakan dan pergi membeli barang yang diperlukan itu.
Sesudah segala keperluan siap, di bawah pengawasan Lamkiong Eng lok
mulailah Bwe Kim soat menggunakan jarum untuk menusuk beberapa hiat-to
penting di tubuh Lamkiong Peng, kemudian mencuci lukanya dengan arak dan
menjahit lukanya.
Setelah sibuk sekian lamanya, akhirnya selesai pekerjaannya. Keadaan
Lamktong Peng ternyata cukup memuaskan, anak muda itu dapat tidur dengan
nyenyak. Saking lelahnya Kim-soat sendiri pun mengantuk dan mendekap di samping
Lamkiong Peng dan terpulas.
Liong Po-si saling pandang dengan Lamkiong Eng-lok, keduanya tidak ribut
mulut lagi. Sampai lama, ketika pelahan Lamkiong Peng bergerak, Kim-soat
terjaga bangun, waktu Lamkiong Peng membuka mata dan melihat Kim-soat
berada di sampingnya. tanpa terasa ia berseru, "Hah, kau Kim-soat . . . . "
Karena bersuara dan lukanya terguncang, ia meringis kesakitan.
"Jangan bergerak dan jangan bicara," kata Kim-soat. "Lukamu belum sembuh,
boleh istirahat saja dengan tenang."
Sungguh kejut, girang dan terharu Lamkiong Peng mendadak melihat Bwe
Kim-soat, kalau bisa sungguh ia ingin melompat bangun dan merangkulnya,
maka dia memejamkan mata lagi, dengan suara pelahan ia tanya, "Kim-soat,
apakah ini bukan dalam mimpi?"
"Jangan bicara dulu, istirahatlah dengan tenang," ucap Kim-soat dengan
lembut. Lamkiong Peng melihat pula Liong Po si berbaring di tempat tidur lain,
perasaannya tambah terangsang, serunya, "Ah, Suhu juga sudah pulang. Hai,
Kim-soat, lekas ceritakan apa yang akan terjadi"'
"Sungguh panjang kalau diceritakan, biarlah setelah engkau sehat baru
kuberitahukan, sekarang istirahat saja," kata Kim-soat satnbil menutuk hiat-to
tidurnya. Setelah Lamkiong Peng tertidur pula barulah Liong Po-si membuka matanya,
katanya dengan menghela napas, "Sampai ribuan jurus aku bertempur dongan
Lamkiong-loji di bawah hujan badai, kupukul dia beberapa kali, aku pun kena
dipukulnya beberapa kali, tenaga murni kedua orang sama terkuras habis, tak
tersangka selagi terombang-ambing di lautan dapat ditemukan oleh nona
sehingga diselamatkan ke sini. Ai, selama hidup Put-si-sin-liong sudah sering
menghadapi maut, tak terduga sekali ini aku benar-benar akan mati di sini.
Meski aku tidak takut mati, tapi aku merasa penasaran bila beberapa urusan
belum kita bereskan."
"Di dunia kangouw terkenal obat mujarab si tabib sakti Po Tan-Han dapat
menghidup-kan orang mati, asalkan mendapatkan obat tersebut tentu Liongcianpwee
dapat disembuhkan," ucap Kim-soat.
"Obat mujarab si Po tua memang sangat bagus, namun ke mana akan mencari
Po tua itu dan minta obatnya?" ujar Liong Po li de-ngan gegetun.
Tengah bicara, pelayan mengetuk pintu dan memberitahu, "Makan siang, tuan
tamu!" "Masuk!" teru Kim soat.
Habis pelayan mengantar santapan siang, mendadak masuk pula seorang tua.
Liong Po-si terkejut melihat pendatang ini, kiranya sa-habat sendiri yang
sudah sekian lama, tidak berjumpa, yaitu Thi-cian-ang-ki Suma Tiong thian.
'Aha, baik-baik Suma-heng!" seru Liong Po-si kegirangan. "Dari mana kautahu
aku berada di sini?"
Suma Tiong-thian menghela napas, katanya, "Sesudah pertandingan di Hoasan
dahulu engkau lantas menghilang di dunia kangouw, tersiar macammacam
cerita mengenai dirimu, ada yang bilang engkau dikalahkan Tan-hong
dan bunuh diri, ada yang mengatakan engkau putus asa dan mengasingkan
diri. Malahan ada yang bilang engkau pergi ke Cu-sin-to segala dan tidak jelas
yang mana yang benar."
Liong Po-si lantas menuturkan pengalamannya selama ini secara singkat.
"Wah, bilamana urusan ini tersiar, tentu dunia persilatan akan gempar," kata
Suma Tiong-thian.
"Dan mengapa Sumaheng sampai di sini?" tanya Liong Po-?i.
Suma T'ong-thian lantas menceritakan beberapa kejadian yang
menggemparkan dunia kangouw ltu serta piaukioknya yang telah dibubarkan.
akhirnya ia berkata dengan menyesal, "Malahan keluarga Lamkiong yang
termashur juga tamat sekarang. Lamkiong Siang-ju mengasingkan diri di
Thay-oh, aku dipesan Lamkiong-hujin untuk mencari kabar Lamkiong Peng,
dalam perjalanan bertemu dengan Ban Tat yang dahulu suka numpang makan
di rumah keluarga Lamkiong, dari dia diketahui Lamkiong Peng telah pulang ke
sini, maka cepat kususul kemari."
Lalu Suma Tiong-thian menutur pula dengan suara pelahan, "Dalam perjalanan
dapat kulihat berkumpulnya orang kangouw yang berbondong bondong
menuju kemari, entah urusan penting apa yang akan terjadi di sini?"
Belum lenyap suaranya, mendadak di luar jendela ada orang tertawa dingin.
Keruan mereka terperanjat.
"Siapa itu?" bentak Suma Tiong-thian, serentak in melompat keluar melalui
jendela. Pada saat yang sama Bwe Kim-soat menyelinap ke dalam kamar dan berseru,
"Liong-locianpwe, keadaan cukup gawat ...-."
"Ada urusan apa, tampaknya nona begini gugup?" tanya Liong Po-si.
"Belum lagi Bwe Kim-soat menjelaskan persoalannya, mendadak terdengar
pintu digedor orang, berubah air mukanya, cepat ia sambar pedang Lamkiong
Peng yang terletak di tepi tempat tidur, lalu mendekati pintu dan membentak,
"Masuk!"
Waktu pintu terkuak, di depan pintu berdiri seorang tua berusia antara 50-an,
berjubah warna kelabu dengan wajah yang jelek.
"Siapa kau" Ada urusan apa?" bentak Kim-soat dengan kurang senang.
Kakek itu terkekeh, jawabnya, "Numpang tanya, bukankah di sini tinggal Put
si-sin-liong Liong Po si dan Cu-sin tian-cu?"
"Betul," jawab Kim-soat.
"Jika begitu, majikan kami ingin mengundangnya," kata kakek itu dengan
khidmat sambil mengeluarkan sehelai kartu undangan warna hitam.
Kim-soat menerima kartu itu, pintu dirapatkan, lalu ia serahkan kartu itu
kepada Liong Po si.
Terkesiap juga Liong Po-si setelah membaca tulisan pada kartu itu. dengan
singkat tertulis delapan huruf di situ yang berbunyi: "Para dewa telah bubar,
Sin-liong hendaknya menyerah!"
"Hahaha!" Liong Po-si bergelak tertawa. "Hebat benar, Sin-liong disuruh
menyerah" Aku justru ingin tahu tokoh kosen dari manakah mampu menyuruh
orang she Liong ini menyerah?"
Pada saat itu juga mendadak pintu terpentang dan seorang menerobos ke
dalam diikuti belasan begundalnya.
"Enyah!" bentak Kim-ioat dengan murka.
Tapi kakek tadi segera menghadapinya dan siap tempur.
"Nanti dulu!" tiba-tiba seorang setengah umur bermuka putih dan berdandan
sastrawan mem-bentak. Lalu katanya dengan tersenyum- "Maaf jika kawanku
bersikap kasar."
"Siapa kalian!' bentak Kim-soat gusar.
"Caihe Sun Tiong-giok, putra Kun-mo-tocu," jawab lelaki bermuka putih itu.
"Ini Ko Sat, satu di antara kesepuluh punggawa ayahku. Maaf, karena kami
tinggal jauh di luar lautan sana sehingga mungkin kurang adat, untuk itu
mohon dimaklumi."
Lalu ia berpaling kepada si kakek tadi dan memberi pesan, "Kalian keluar saja,
tanpa dipanggil dilarang masuk."
Si kakek yang disebut Ko Sat itu seperti sangat takut kepada Sun Tiong-giok,
dengan munduk-munduk mengiakan dan mengundurkan diri bersama
begundalnya. "Anda ini tentu Put-si-sin-liong adanya, dan siapakah nona jelita ini?" tanya
Sun Tiong-giok.
"Aku Bwe Kim-soat," sebelum Liong Po-ii bersuara Kim-soat sudah mendahului
menjawab.
Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aha, kiranya Leng-hiat Huicu adanya, sebelum kuberangkat, ayah memang
sudah memberi gambaran siapa-siapa yang mungkin akan kutemui di sini,
sungguh kebetulan sekaligus dapat berjumpa dengan Huicu di sini," kata Sun
Tieng-giok dengan tertawa. "Maksud ayah, hendaknya Liong-taihiap
menyerah, untuk itu berarti perdamaian bagi dunia persilatan umumnya, kalau
tidak, hehe .... "
"Tidak kepalang gusar Liong Po-si, mendadak matanya mendelik dan darah
tersembur dari mulutnya,
Pada saat itu juga Suma Tiong-thian telah menerjang masuk lagi ke dalam
kamar dan membentak, "Jangan temberang, anak muda, sebe1um
menghadapi Liong-taihiap, hadapi dulu diriku!"
Sun Tiong-giok meliriknya sekejap, jengeknya, "Tampaknya di sini terlalu
ramai, biarlah tengah malam nanti kutunggu kalian di biara bobrok yang
terletak di barat kota Sana."
Habis berkata, tanpa menanti jawaban ia terus melangkah pergi.
Saking menahan gusar, kembali Liong Po-si tumpah darah.
"Engkau kenapa, Liong heng?" tanya Suma Tiong-thian.
"Karena banyak bicara, luka dalam tambah parah, rasanya tidak jauh lagi
ajalku," ucap Liong Po-si dengan suara lemah.
"Jangan kuatir, Liong-heng," kata Suma Tiong-thian. "Akan kuantar engkau
pulang ke Ci hau-san-ceng, menjelajah ke ujung langit pun akan kucari Po tua
unsuk mengobati lu-kamu."
Liong Po si tersenyum pedih. "Keadaanku sekarang ibarat pelita kehabisan
minyak, mumpung masih ada sisa tenagaku, sedapatnya akan kusalurkan
semua tenaga rnurni kepada anak Peng. Nah, kemarilah anak Peng . . . . "
"Jangan, Suhu," seru Lamkiong Peng.
"Tidak, kauperlu menyadari keadaan yang gawat," kata Liong Po-si dongan
lemah. "Saat ini musuh tangguh sudah mengintai di sekeliling kita, kawanan
iblis membanjir dari barat, dunia persilatan Tionggoan terancam bahaya.
Kautahu betapa berat tugas yang kauemban" Majulah sini, duduk di tepi
ranjang!" Lamkiong Peng tahu maksud sang guru, yaitu demi kepentingan dunia
persilatan umumnya hendak menyalurkan segenap tenaga murni kepadanya,
agar kelak dapat digunakan untuk menghadapi musuh tangguh. Dengan ragu
ia pandang sang guru, cemas dan terharu.
"Seorang lelaki sejati harus bertindak cepat dan tegas, kenapa seperti anak
kecil saja. Duduklah di sini, anak Peng," kata Po-si pula.
Akhirnya Lamkiong Peng duduk juga di tepi ranjang.
Lalu Liong Po-ti berkata kepada Suma Tiong-thian dan Bwe Kim-soat, "Pada
waktu kukerahkan tenaga, harap kalian berjaga sementara, mungkin nanti aku
tidak sempat lagi mohon diri, maka sekarang juga kuucapkan, terima kasih
kepada kalian. Nah, anak Peng, pusatkan pikiran dan kerahkan tenaga . ..."
Lamkiong Peng menurut dan memusatkan segenap pikiran menerima anugrah
lwekang sang guru ....
Dengan tegang Suma Tiong-thian dan Bwe Kim soat memandangi mereka,
suasana sunyi senyap. Setelah sekian lamanya, tubuh Liong Po-si tampak
gemetar. Selagi Suma Tiong-thian berdua berdebar, Sekonyang-konyong terdengar
suara gemuruh, pintu kamar didobrak orang. Dengan terleejut Suma Tiongthian
dan Bwe Kim soat melompat ke sana, tertampaklah serombongan orang
menerjang ke dalam.
Dua orang paling depdan ternyata Ban-li-liu-hiang Yim Hong peng dan Toat
beng-siang jiang Ko Tiong hai adanya. Beberapa orang di belakang mereka
adalah Thian hong-jit-eng yang kelihatan kaku itu.
Segera Kim-soat melolos pedang, Suma Tiong-thian juga siapkan tombaknya
dan berjaga di depan tempat tidur.
"Ah. nona Bwe, baik-baik selama berpisah"!" sapa Yim Hong-peng dengan
tertawa sarnbil menggoyangkan kipasnya.
"Baik, terima kasih," jawab Kim-soat dengan tersenyum.
Sekilas lirik Yim Hong-peng melihat keadaan Liong Po-si dan Lamkiong Peng,
ia kelihatan heran, tapi segera berkata pula dengan tertawa, "Wah, sungguh
cepat amat Lam-kiong-kongcu ini, belum lama baru saja bertemu di Sam-bun
wan, tahu-tahu sekarang sudah berada di sini."
"Dia terluka parah dan Liong taihiap sedang menyembuhkan dia," kata Kim
soat dengan lagak sedih.
Yim Hong peng melenggong, katanya, "Tersiar kabar bahwa Put-si-sin-liong
menderita sakit parah, kenapa . . . ."
"Kabar burung dunia kangouw mana boleh dipercaya," ujar Kim-soat dengan
tertawa, "Kaulihat sendiri, dengan tenaga sakti beliau Liong-taihiap telah
menolong murid kesayangannya itu."
Dia cukup cerdik, sedapatnya berbohong untuk mengulur waktu dan ternyata
Yim Hong-peng dibuat jeri
Tapi dengan tertawa Yim Hong peng berkata pula, "Tahun lalu urusan yang
kuberi tahukan itu tentu sudah nona pertimbangkan dengan baik, untuk itu
nona pun menerima pening Hong-uh-biau-hiang dari Swee-sian sing, dan
bagaimana keputusan nona?"
"Kayu itu sudah hilang," jawab Kim-soat dengan tertawa genit.
Air muka Yim Hong peng berubah mendadak, Ko Tiong hai melangkah maju
dan membentak, "Jika pening itu kauhilangkan harus kauganti dengan
nyawamul" Kim-soat meliriknya sekejap, katanya ke-pada Hong peng, "Eh. sejak
kapankah Yim-taihiap memiara seekor anjing galak begini?"
Ko Tiong-hai menjadi murka, sambil meraung ia menubruk maju, kedua
tangan menghantam berturut-turut.
Kim-soat mendengus, sambil mengegos pedang terus menabas tangan lawan.
Begitu tangan lawan ditarik kembali, segera pula ia tusuk tenggorokan orang.
Keruan Ko Tiong-hai terkejut, cepat ia berkelit dan balas menyerang, dan
begitulah terjadi pertarungan sengit.
"Untuk apa kalian berdiri saja"!" bentak Yim Hong-peng terhadap Thian-hongjiteng, kawanan elang pelangi langit.
Tampaknya Thian-hong jit-eng masih terpengaruh oleh obat sehingga
kehilangan kesadaran, dengan kaku segera mereka mengerubuti Suma Tiong
thian. Dengan sendirinya Tiong-thian tidak gentar, setelah beberapa jurus, segera ia
cecar elang merah yang berkepandaian paling lemah.
Keruan elang merah Ang Hau-thian terkejut, sedikit gugup tahu-tahu
kepalanya sudah pecah kena tombak.
Keenam elang yang lain tidak peduli seorang saudaranya telah menjadi
korban, mereka tetap menyerang dengan gencar. Walaupun tangkas,
dikerubut enam orang juga rada kerepotan, maka dalam waktu sungkat Suma
Tiong-thiat, juga terkena dua-tiga kali pukulan dan tumpah darah.
Namun makin lama makin tangkas Suma Tiong-thian, sekali tombak berputar,
kembali elang hijau kena ditusuknya hingga terguling. Tapi pada saat yang
sama bahu kirinya juga terpukul sehingga tombak kiri terlepas dari cekalan.
Tanpa ayal kelima elang yang lain menubruk maju, tapi sekali tombak kanan
berputar, dapatlah Suma Tiong-thian memaksa lawan mundur.
Terdengar Ko Tiong-hai meraung murka dan menghantam beberapa kali,
karena lengah, Bwe Kim-soat tertabas oleh telapak tangannya dan tumpah
darah serta jatuh terduduk.
Sambil menyeringai segera Ko Tiong-hai hendak menambahi suatu pukulan
lagi, mendadak seorang membentak, "Tunggu dulu!"
Ko Tiong-hai berpaling, kiranya rombongan Sun Tiong-giok muncul kembali .
Dalam pada itu mendadak terdengar juga jeritan Suma Tiong-thian, sambil
tumpah darah jago tua itu kelihatan roboh terkapar, menyusal elang ungu juga
ambruk dengan perut tertancap tombak dan mengucurkan darah.
Keempat elang yang lain serentak menubruk maju hendak menyerang Liong
Po-si dan Lamkiong Peng.
Bwe Kim-soat menjerit kuatir, segera Sun Tiong-giok bertindak, ia melompak
maju dan melancarkan pukulan dari jauh sehingga keempat elang itu dipaksa
mundur. Dengan lemah Kim-soat memandangnya sekejap dengan rasa terima kasih.
Segera Yim Hong-peng membentak, "Hah, sejak kapan Kun-mo-to berkomplot
dengan Put-si-sin-liong' Selama ini Kun-mo-to dengan kami tidak ada
permusuhan, kenapa kalian ikut campur urusan orang lain?"
"Hm, main kerubut, hanya berani karena menang jumlah banyak, peraturan
dunia per-silatan mana" Jika jantan sejati, ayolah keluar dan perang tanding di
tempat yang luas!" tantang Sun Tiong-giok yang berwatak angkuh.
"Kematian sudah di depan mata, tetapi berani membual, memangnya siapa
yang gentar padamu?" mendadak Yim Hong-peng berteriak, "Mundur keluar!"
Dan begitulah berbondong bondong anak huah kedua pihak lantas mundur
keluar untuk bertempur.
Selagi pertarungan sengit berlangsung di luar, sementara itu penyaluran
tenaga murni Liong Po-si kepada Lamkiong Peng sudah berakhir. Ketika
mendadak Lamkiong Peng membuka mata, keadaan di dalam kamar yang
dilihatnya membuatnya terkejut.
Cepat ia melompat bangun dan memburu ke samping Bwe Kim-soat, ia coba
memeriksa napasnya, ternyata masih bernapas, legalah hatinya. Waktu ia
periksa Suma Tiong-thian, mata jago tua itu kelihatan mendelik dan tangan
tergenggam erat, ternyata sudah meninggal sejak tadi.
Mendadak terdengar suara tubuh roboh di tempat tidur, waktu Lamkiong Peng
berpaling, tertampak Liong Po-si roboh terkulai di tempat tidur. Cepat ia
memburu ke tempat tidur dan berteriak, "Suhu . ..."
Dengan lemah Liong Po-si membuka matanya yang buram, lalu terpejam pula
dan ber-suara parau, "Aku . . . aku tidak . . . tidak tahan lagi, Anak . . . anak
Peng, hendaknya kau . . . . "
Belum habis ucapannya putuslah napasnya.
Sungguh tidak kepalang rasa duka Lamkiong Peng, ia ingin menangis
sekerasnya, namun tidak keluar suaranya.
Tiba-tiba terdengar keluhan pelahan Bwe Kim-soat, cepat ia berpaling dan
melompat ke sampingnya serta diangkatnya, serunya kua-tir, "Kim-soat,
bagaimana keadaanmu?"
Dengan lemah Kim-soat menjawab, "Aku tahan, lepaskan aku. Lekas kaubantu
orang yang lagi bertempur dengan Yim Hong-peng itu."
Selagi Lamkiong Peng hendak tanya lagi tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri
di luar disertai suara robohnya tubuh.
Lamkiong Peng tahu keadaan cukup genting ia angkat Kim-soat dan
dibaringkan ditempat tidur. Lalu ia mengumpulkan jenazah Suma Tiong-thian
dijajarkan dengan jenazah Liong Po-si Habis itu ia raih pedang Yap-siang-jiuloh
dan memburu keluar.
Keadaan di luar membuatnya terperanjat, mayat sudah bergelimpangan,
pertempuran masih berlangsung dengaa sengit, belasan anak buah Yim Hongpeng
memasang barisan Thian-hong-gin-uh-tin sedang mengepung musuh,
cuma jumlah anggotanya sudah banyak berkurang, namun daya tempurnya
tambah kuat, jelas barisan itu telah mengalami gemblengan baru dibandingkan
waktu mengepung Lamkiong Peng dahulu.
Musuh yang terkepung di tengah barisan itu tinggal tiga orang, yaitu Sun
Tiong-giok, Ko Sat dan seorang kakek tinggi besar. Ketiganya tampak
beringas, rambut kusut, baju robek dan mandi darah dan keringat,
keadaannya tampak runyam, namun mereka masih terus bertempur dengan
kalap. "Berhenti semua!" bentak Lamkiong Peng dengan suara menggelegar.
Melihat yang datang ini adalah Lamkiong Peng, Yim Hong-peng mengeluh
urusan bisa celaka.
Dalam pada itu Lamkiong Peng terus menerjang ke tengah barisan, sekali
pedang berputar dan menabas, kontan tiga orang berseragam hitam roboh
binasa dengan darah berhamburan.
Tanpa berhenti Lamkiong Peng terut berputar lagi ke samping, dalam sekejap
tiga orang lain tertabas mati pula.
Dengan robohnya keenam orang itu, barisan pengepung itu rnenjadi bobol,
Sun Tiong-giok bertiga segera melancarkan serangan balasan.
Ko Tiong-hai menjadi murka, sambil meraung ia menerjang ke arah Lamkiong
Peng dan melancarkan pukulan dahsyat.
Akan tetapi Lamkiong Peng sekarang sudah lain daripada Lamkiong Peng tadi
dengan tambahan tenaga murni dari sang guru, serangan Ko Tiong-hai itu
tidak ada artinya baginya. Sedikit mengegos, berbareng pedang menabas,
sebelum Ko Tiong hai sempat menggunakan tombaknya, tubuh jago andalan
Swe Thian-bang ini telah terkutung menjadi dua oleh tabasan pedang
Lamkiong Peng. Tanpa ayal Lamkiong Peng terus menerjang lagi ke depan, menuju Yim Hongpeng
dan begundalnya. Karena diserang dari kanan kiri, terpaksa Yim Hongpeng
melompat mundur.
Lamkiong Peng memburu maju dan me-nusuk lagi. Sun Tiong-giok juga gemas
ter-hadap Yim Hong-peng yang telah menimbulkan banyak korban di
pihaknya, serentak ia pun menyerangnya dengan gencar.
Yim Hong-peng menyadari sukar melawan kedua jago kelas tinggi itu, diamdiam
ia mengeluh dan berusaha mencari jalan lolos.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri si elang kuning telah mati
terbacok oleh senjata Ko Sat.
Tergerak hati Yim Hong-psng, timbul akal kejinya, mendadak ia mendesak
maju, tangan kiri berlagak menghantam Sun Tiong-giok, sekaligus kipasnya
menutuk Ki-bun-hiat di dada Lamkiong Peng.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng berdua mengelak, kesempatan itu segera
digunakan oleh Yim Hong-peng untuk melompat mundur dan kabur.
Serentak Lamkiong Peng dan Sun Tiong-giok membentak dan mengejar.
Secepat terbang Yim Hong-peng menyusup kedalam kamar. Waktu Lamkiong
Peng dan Sun Tiong giok menyusul ke dalam, dilihatnya sebelah tangan Yim
Hong-peng mengempit Bwe Kim-soat yang parah itu dengan tangan kanan
mengancam punggungnya.
Sambil menyeringai Yim Hong-peng membentak, "Berhenti, maju lagi
selangkah segera kubinasakan dia!"
Sungguh tidak kepalang murka dan gemas Lamkiong Peng, tapi apa daya.
terpaksa ia berhenti dengan mendelik. Sun Tioag giok juga berdiri
melenggong. "Berani kauganggu seujung rambutnya, aku bersumpah akan mencencang
tubuhmu hingga hancur lebur," teriak Lamkiong Peng dengan kalap.
Dalam pada itu suara pertempuran di luar juga Sudah mereda, mungkin sisa
ketiga elang juga sudah terbunuh oleh Ko Sat dan kawannya si kakek tinggi
besar Selagi Yim Hong-peng merasa terpojok dan mencari akal cara bagaimana
meloloskan diri dengan menggunakan Bwe Kim soat sebagai sandera, tiba-tiba
di luar ada orang tertawa nyaring, menyusul pintu kamar terbuka dan
masuklah serombongan orang.
Begitu melihat pendatang ini, sungguh tak terkatakan girang Yim hong-peng.
Orang yang masuk paling dahulu ternyata Kwe Giok-he adanya, di
belakangnya mengikut tiga orang kakek berbaju hitam.
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, dilihatnya Kwe Giok-he mendekatinya
dengan tersenyum sambil menyapa, "Bagaimana Go-te, baik-baik selama
berpisah?"
Lamkiong Peng merasa tidak sabar, cuma mengingat Liong Hui, ia tidak berani
bersikap kasar, terpaksa ia menjawab dengan hambar, "Baik."
Dalam pada itu ketiga kakek berbaju hitam juga sudah berdiri di samping Yim
Hong-peng, meski wajah ketiga kakek ini tidak luar biasa. namun sinar mata
mereka meneorong, jelas lwekangnya kelas satu.
Keadaan Lamkiong Peng sekarang berubah pada posisi tidak menguntungkan,
namun ia tidak gentar, diam diam ia ambil keputusan akan bertempur matimatian.
Sun Tiong-giok bertiga juga merasakan keadaan cukup gawat, mereka pun
siap tempur. Dengan tertawa Giok-he lantas berkata, "Go-te, menurut berita dunia
bangouw, katanya engkau pergi ke Cu-sin-to dan pulang dengan memperoleh
kepandaian sakti, apa betul kabar itu?"
"Memang betul," jawab Lamkiong Peng dengan aseran dan tetap menatap Yim
Hong-peng. "Eh, ada apakah antara kalian ini?" ucap Giok-he pula dengan lagak heran.
"Yim-tai-hiap berhasil menawan Leng-hiat Huicu, tampaknya Go-te berbalik
membela perempuan berdarah dingin ini" Memangnya kabar yang tersiar di
dunia kangouw bahwa Go te bergaul erat dengan dia adalah kabar yang
Pendekar Satu Jurus 3 Panji Sakti Karya Khu Lung Anak Berandalan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama