Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Bagian 4
selama seminggu gadis penari melakukan diet makan agar
tampak menarik. Akan tetapi pada saat menari, dia terserang
kejang-kejang dan pingsan. Akhirnya dia meninggal dunia
dengan mata dan mulut yang terbuka. Menteri itu tertekan
batinnya dan kecewa berat.
Pada saat itu ia memerlukan perlindungan dan teringat
kepada Sang Buddha. Dia pergi menemui Sang Buddha bersama
dengan pengikut-pengikutnya, dan menceritakan penderitaan
yang mereka alami setelah terjadi kematian gadis penarinya.
Dia berkata, "Bhante, tolong hilangkan penderitaanku,
jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku."
Kepadanya Sang Budha berkata, "Istirahatlah anakku,
engkau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu,
seseorang yang dapat menghiburmu dan menjadi pelindungmu.
Air mata yang telah engkau tumpahkan pada saat penari itu
meninggal dunia, bersamaan dengan air mata selama kelahiran
kembali yang berulang-ulang lebih banyak jumlahnya daripada
air yang terdapat dalam samudera."
Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini:
"Pada saat lampau terdapat dalam dirimu kemelekatan
(upadana) yang disebabkan keserakahan; lenyapkanlah hal itu.
Pada saat mendatang, janganlah bawa kemelekatan dalam
dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan terhadap apapun
pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan,
keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan
keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan
engkau akan merealisasi "Kebebasan Mutlak" (nibbana)."
Setelah mendengar syair itu, menteri mencapai tingkat
kesucian arahat.
Setelah mengetahui bahwa usia kehidupannya akan
berakhir, Santati berkata kepada Sang Buddha, "Bhante,
sekarang izinkanlah saya merealisasi "Kebebasan Akhir"
(parinibbana), karena saatnya telah tiba."
Sang Buddha merestuinya, kemudian Santati terbang
setinggi tujuh pohon palm di angkasa dan disanaSantati
bermeditasi dengan objek perwujudan api (tejo kasina), akhirnya beliau merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana). Tubuhnya berkobar, darahnya dan daging menguap terbakar, dan
tulangnya menjadi relik (dhatu) beterbangan di angkasa dan
terjatuh pada sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk Sang Buddha.
Pada saat pertemuan, para bhikkhu bertanya kepada Sang
Buddha, "Bhante, Menteri Santati telah merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana) dengan berpakaian penuh tanda-tanda
kebesaran, apakah dia seorang samana atau brahmana?"
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Parabhikkhu,
anakku dapat disebut, baik seorang samana atau pun seorang
brahmana." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 142
berikut: Walau digoda dengan cara bagaimanapun,
tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan
tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan
pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain,
sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang
samana, seorang bhikkhu.
X-15-16. Kisah Pilotikatissa Thera
Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang
berpakaian buruk berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba melihat pemuda tersebut, dan mengajaknya menjadi seorang
samanera. Samanera muda tersebut meninggalkan pakaian dan
mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Ketika ditahbis menjadi
seorang bhikkhu ia dikenal dengan nama Pilotikatissa.
Sebagai seorang bhikkhu, ia tidak kekurangan makanan
dan pakaian. Namun pada suatu saat ia merasa tidak bahagia
hidup sebagai seorang bhikkhu dan berkeinginan kembali hidup sebagai umat biasa. Ketika perasaannya timbul, ia pergi ke
pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya.
Ketika sampai disana, timbul pertanyaan dalam hatinya,
"Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan
kedamaian demi pakaian dan mangkuk" Apakah engkau masih
mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu?"
Kemudian ia memarahi diri sendiri. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara.
Dua atau tiga hari setelah kejadian tersebut, perasaan itu
timbul kembali. Ia kemudian pergi ke pohon itu kembali dan
bertanya pada dirinya sendiri perihal pertanyaan yang sama.
Seperti kejadian pertama, ia memarahi dirinya sendiri dan setelah menenangkan diri, ia kembali ke vihara. Kejadian ini terulang beberapa kali.
Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepadanya,
mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberitahu
mereka bahwa ia pergi menemui gurunya (dianggap sebagai
"guru", karena membuat ia malu dan kembali ke jalan yang
benar). Dengan tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai
objek meditasi, ia menyadari hakikat dari corak kenyataan
kelompok kehidupan/khanda (sebagai tidak kekal/anicca, tidak memuaskan/dukkha, tidak ada aku/anatta), yang
mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian ia tidak lagi pergi ke pohon "guru".
Melihat hal itu, bhikkhu-bhikkhu lain bertanya kepada
Pilotikatissa: "Mengapa engkau tidak pergi menemui gurumu
lagi?" Kepada mereka ia menjawab: "Saat saya membutuhkan,
saya akan pergi kepadanya, tapi saat ini saya sudah tidak
mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya."
Saat mendengar jawaban tersebut, bhikkhu-bhikkhu itu
membawa Pilotikatissa menghadap Sang Buddha. Saat mereka
tiba, mereka memberi hormat kepada Sang Buddha dan
berkata, "Bhante, bhikkhu ini mengaku telah mencapai tingkat kesucian arahat, ia pasti telah berbohong."
Akan tetapi Sang Buddha berkata, "Parabhikkhu,
Pilotikatissa tidak berbohong, ia berkata benar. Walaupun ia Pilotikatissa tidak berbohong, ia berkata benar. Walaupun ia mempunyai hubungan baik dengan gurunya saat lalu, namun saat ini ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan gurunya.
Pilotikatissa Thera telah memiliki pengertian membedakan
penyebab yang benar dan yang salah serta menyadari corak
kenyataan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Sekarang ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu ia tidak memiliki hubungan lagi dengan gurunya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 143 dan 144
berikut ini: Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat
mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat
jahat, yang senantiasa waspada,
bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari
cemeti. Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik,
walaupun sekali saja merasakan cambukan,
segera menjadi bersemangat dan berlari cepat,
demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh
keyakinan, memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar,
dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna
serta memiliki kesadaran,
akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.
akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.
X-17-Kisah Samanera Sukha
Sukha menjadi samanera pada usia 7 tahun dan ditahbiskan oleh Sariputta Thera. Setelah 8 hari menjadi samanera, ia bersama Sariputta Thera pergi berpindapatta. Ketika sedang berjalan
berkeliling, mereka melihat para petani sedang mengairi
sawahnya, para pemanah sedang meluruskan anak panah, dan
beberapa tukang kayu sedang membuat roda pedati, dan
sebagainya. Setelah melihat semua ini, ia bertanya kepada Sariputta
Thera, apakah hal-hal (barang-barang) itu dapat diarahkan ke sesuatu tujuan tertentu sesuai dengan keinginan seseorang, atau dapat dibuat menjadi sesuatu sesuai dengan keinginan seseorang.
Sang Thera menjawab memang demikian. Kemudian
Samanera muda memahami bahwa dengan demikian tidak ada
alasan mengapa seseorang tidak dapat mengendalikan batinnya, serta melatih "Meditasi Ketenangan" dan "Meditasi Pandangan
Terang". Kemudian, ia meminta izin kepada Sariputta Thera untuk
pulang kembali ke vihara. Di sana ia masuk ke dalam kamarnya dan berlatih meditasi dalam ketenangan.
Dewa Sakka dan para dewa membantu latihan
meditasinya dengan cara menjaga suasana vihara agar tetap
tenang. tenang. Pada hari kedelapan setelah ia menjadi samanera, Sukha
mencapai tingkat kesucian arahat.
Berhubungan dengan hal ini, Sang Buddha berkata kepada
para bhikkhu: "Ketika seseorang melaksanakan Dhamma
dengan sungguh-sungguh, maka Sakka dan para dewa akan
menolong dan melindunginya. Saya sendiri telah meminta
Sariputta Thera berjaga di depan pintu kamarnya, sehingga ia tidak terganggu. Samanera telah melihat para petani bekerja
dengan giat mengairi sawahnya, para pemanah meluruskan anak
panahnya, tukang kayu membuat roda pedati, dan lain-lain,
kemudian ia berusaha melatih batinnya dan melaksanakan
Dhamma. Ia telah mencapai tingkat kesucian arahat." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 145 berikut ini:
Pembuat saluran air mengatur jalannya air,
tukang panah meluruskan anak panah,
tukang kayu melengkungkan kayu,
orang bajik mengendalikan dirinya sendiri.
XI-1-Kisah Teman-teman Visakha
Terdapat 500 orang pria dari Savatthi, mereka mengharapkan
istri-istrinya menjadi orang yang murah hati, baik hati dan
bersusila seperti Visakha. Kelima-ratus pria tersebut mengirim para istrinya kepada Visakha agar menjadi teman dekat
Visakha. Pada pesta Bacchanalian yang berlangsung selama 7
hari, istri-istri tersebut mengambil semua minuman keras yang ditinggalkan suami mereka dan kemudian meminumnya tanpa
diketahui oleh Visakha. Karena perbuatan yang tidak baik itu, mereka dipukuli oleh suami mereka. Pada kejadian lainnya,
dikatakan bahwa mereka hendak mendengarkan khotbah Sang
Buddha, mereka memohon agar Visakha membawa mereka
kepada Sang Buddha, tetapi secara diam-diam mereka masingmasing membawa sebotol kecil minuman keras yang
disembunyikan dalam bajunya.
Pada saat tiba di vihara, mereka meminum semua minuman
keras yang mereka bawa dan membuang botol-botol tersebut.
Visakha memohon kepada Sang Buddha untuk mengajarkan
Dhamma kepada mereka. Pada saat itu, para wanita menjadi
mabuk, bernyanyi dan menari, Mara mengambil kesempatan
membuat mereka semakin berani dan tidak tahu malu untuk
bernyanyi, menari, bertepuk tangan, melompat-lompat di dalam vihara. Sang Buddha melihat Mara yang membuat tingkah laku
yang memalukan wanita-wanita tersebut. Sang Buddha berkata
yang memalukan wanita-wanita tersebut. Sang Buddha berkata
pada diri sendiri, "Mara tidak boleh diberi kesempatan". Oleh karena itu, tubuh Sang Buddha memancarkan sinar biru gelap
yang menyebabkan wanita-wanita tersebut ketakutan dan mulai
sadar. Kemudian Sang Buddha menghilang dari tempat
duduknya dan berdiri di atas Gunung Meru, dari tempat itu
Beliau memancarkan sinar putih yang menerangi langit bagaikan diterangi seribu bulan. Setelah itu Sang Buddha berkata kepada kelima ratus wanita tersebut, "Sebagai wanita kalian tidak
seharusnya datang ke vihara dalam keadaan batin tidak sadar.
Karena kalian telah lalai, Mara mendapat kesempatan membuat
kalian berkelakuan yang memalukan, tertawa, menyanyi keraskeras dalam vihara. Sekarang berusahalah untuk memadamkan
api hawa nafsu yang terdapat dalam diri kalian."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 146 berikut :
Mengapa tertawa, mengapa bergembira kalau dunia ini
selalu terbakar"
Dalam kegelapan, tidakkan engkau ingin mencari terang"
Lima ratus wanita itu mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma berakhir.
XI-2-Kisah Sirima
Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima berdana makanan kepada
delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhubhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu lain betapa cantiknya
Sirima dan setiap hari ia mempersembahkan dana makanan
kepada para bhikkhu.
Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh
cinta pada Sirima meskipun belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikku yang
lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu.
Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu
muda berpikir, "Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!"
Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat
terhadapnya. Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara
pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan bahwa
Sirima, saudara perempuan Jivaka, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenasah Sirima
kekuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa
dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan
burung hering. Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari ke 4
jenasah Sirima yang cantik sudah tidak lagi cantik dan menarik.
Jenasah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari 6
lubang. Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi ke
kuburan untuk melihat jenasah Sirima. Raja Bimbisara dan
pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenasah Sirima.
Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak
mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia. Ketika ia
mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenasah Sirima, maka iapun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para
bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenasah Sirima.
Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara
untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yang
menginginkan tubuh Sirima 1 malam boleh membayar 1000 tail,
akan tetapi tak seorangpun yang bersedia mengambilnya dengan membayar 1000 tail, atau 500, atau 250, ataupun cuma-cuma.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, lihat
Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar 1000 tail untuk menghabiskan 1 malam bersamanya,
tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin mengambil tubuhnya walaupun dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya
subyek dari kelapukan dan kehancuran." Kemudian Sang
subyek dari kelapukan dan kehancuran." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 147 berikut :
Pandanglah tubuh yang indah ini, penuh luka,
terdiri dari rangkaian tulang, berpenyakit serta memerlukan
banyak perawatan.
Ia tidak kekal serta tidak tetap keadaannya.
Bhikkhu muda itu mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma berakhir.
XI-3-Kisah Uttara Theri
Uttara Theri yang berusia 120 tahun, pada suatu hari ia berjalan kembali dari berpindapatta. Ia bertemu dengan seorang bhikkhu, dan memohon bhikkhu itu untuk menerima persembahan dana
makanannya. Tanpa pertimbangan bhikkhu tersebut menerima
semua dana makanannya, sehingga Uttara harus pergi tanpa
membawa makanan sedikitpun. Hal yang sama terjadi dua hari
berikutnya, sehingga selama tiga hari berturut-turut Uttara Theri tidak makan dan tubuhnya sangat lemas.
Pada hari keempat, ketika ia dalam perjalanan
perpindapatta, ia bertemu dengan Sang Buddha di jalan yang
sempit. Ia memberi hormat kepada Beliau, kemudian berjalan
mundur, secara tidak sengaja ia menginjak jubahnya sendiri dan kemudian terjatuh ke tanah dan kepalanya terluka.
Sang Buddha mendekati Uttara dan berkata, "Tubuhmu
telah menjadi sangat tua dan lemah, akan segera hancur dan
binasa." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 148
berikut: Tubuh ini benar-benar rapuh, sarang penyakit dan mudah
membusuk. Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkepingkeping. Sesungguhnya, kehidupan ini akan berakhir dengan
Sesungguhnya, kehidupan ini akan berakhir dengan
kematian. XI-4-Kisah Bhikkhu-bhikkhu Adhimanika
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah lima ratus bhikkhu menerima obyek meditasi yang
diberikan Sang Buddha, mereka pergi ke hutan. Di sana mereka melatih meditasi dengan bersemangat dan rajin sehingga
mencapai "Penunggalan Kesadaran" (jhana). Setelah mencapai
jhana mereka berpikir bahwa mereka telah bebas dari hawa
nafsu oleh karena itu mereka telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Pada hal kenyataannya, mereka hanya menilai dirinya
sendiri berlebihan. Mereka pergi menjumpai Sang Buddha
dengan maksud untuk memberitahukan tentang pencapaian kearahat-an mereka.
Ketika mereka tiba di gerbang luar vihara, Sang Buddha
berkata kepada Y.A. Ananda, "Bhikkhu-bhikkhu itu tidak akan
mendapat banyak manfaat apabila menemui-Ku sekarang,
biarpun mereka pergi ke kuburan sekarang, baru kemudian
menemui-Ku sesudahnya."
Kemudian Ananda memberitahukan pesan Sang Buddha
kepada para bhikkhu, dan mereka merenung, "Sang Buddha
mengetahui segalanya, Beliau pasti mempunyai beberapa alasan agar kita pergi ke kuburan terlebih dahulu." Maka pergilah para bhikkhu itu ke kuburan.
Setelah tiba di kuburan, mereka melihat banyak mayat
Setelah tiba di kuburan, mereka melihat banyak mayat
yang telah membusuk, kemudian mereka melihat dirinya sendiri bagaikan kerangka dan tulang belulang, dan ketika mereka
melihat mayat-mayat yang baru, mereka menyadari bahwa
mereka masih memiliki hawa nafsu.
Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau
melihat dan muncul di hadapan para bhikkhu, kemudian Beliau
berkata, "Para bhikkhu! Dengan melihat tulang belulang yang
telah memutih, apakah pantas mempunyai hawa nafsu dalam
dirimu?" Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 149 berikut :
Bagaikan labu yang dibuang pada musim rontok, demikian
pula halnya dengan tulang-tulang yang memutih ini.
Kesenangan apakah yang didapat dari memandangnya"
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XI-5-Kisah Rupananda Theri
(Janapadakalyani)
Janapadakalyani adalah puteri dari Gotami, ibu tiri Pangeran Siddhattha. Karena sangat cantik Puteri Janapadakalyani dikenal dengan nama Rupananda. Dia menikah dengan Nanda, saudara
sepupu Pangeran Siddhattha. Pada suatu hari dia merenung,
"Kakak saya yang akan menjadi raja telah meninggalkan
keduniawian menjadi bhikkhu dan telah mencapai ke-Buddhaan. Rahula, anak dari kakak saya, suami saya, ibu saya, mereka semua telah meninggalkan keduniawian untuk menjadi bhikkhu
dan bhikkhuni, sekarang tinggal saya sendiri di sini!" Setelah merenung demikian dia pergi ke vihara untuk ditahbiskan
menjadi seorang bhikkhuni, bukan karena keyakinan tetapi
hanya meniru orang lain dan merasa kesepian tinggal seorang
diri. Setelah menjadi bhikkhuni, Rupananda sering mendengar
bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang ketidakkekalan,
sehingga dia berpikir kalau dia bertemu dengan Sang Buddha
pasti Beliau akan mencela kecantikannya, sehingga dia berusaha untuk menghindari perjumpaan dengan Sang Buddha. Akan
tetapi karena begitu banyak orang memuji Sang Buddha,
akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha
bersama para bhikkhuni.
Ketika Sang Buddha bertemu dengan Rupananda, Beliau
berpikir, "Duri hanya dapat dikeluarkan dengan duri. Rupananda sangat melekat terhadap tubuhnya dan sangat sombong akan
kecantikannya, dia harus meninggalkan kemelekatan dan
kesombongan akan kecantikannya".
Kemudian Sang Buddha dengan kemampuan batin luar
biasa menciptakan seorang anak gadis yang sangat cantik,
berusia kira-kira 16 tahun dan duduk di dekatnya. Anak gadis itu hanya dapat dilihat oleh Sang Buddha dan Rupananda.
Ketika Rupananda melihat anak gadis tersebut, Rupananda
merasa dirinya hanyalah seekor gagak yang tua dan jelek
dibandingkan dengan anak gadis itu, yang seperti seekor angsa putih. Rupananda begitu mengagumi wajah anak gadis tersebut
yang cantik jelita. Tetapi ketika Rupananda memperhatikan
sungguh-sungguh, dia terkejut karena anak gadis tersebut
bertambah tua berusia 20, terus menerus ia memperhatikan anak gadis yang berada di samping Sang Buddha itu bertambah tua
dan menjadi sangat tua. Anak gadis itu berubah dari anak gadis muda, menjadi setengah baya, tua, dan sangat tua.
Rupananda menyadari bahwa dengan timbulnya bayangan
baru, bayangan lama lenyap, dan dia mulai menyadari proses
perubahan yang terus menerus dan kelapukan tubuh. Dengan
kesadaran ini, kemelekatan terhadap tubuhnya berkurang. Pada saat itu bayangan anak gadis yang ada di dekat Sang Buddha
telah berubah menjadi wanita jompo, yang tidak dapat mengatur gerak tubuhnya lagi, terjatuh. Akhirnya bayangan wanita itu
meninggal dunia. Dari tubuhnya muncul belatung, cairan tubuh meninggal dunia. Dari tubuhnya muncul belatung, cairan tubuh keluar dari sembilan lubang, burung gagak dan pemakan bangkai mencabik-cabik bangkai itu.
Setelah melihat semua ini, Rupananda merenung, "Gadis
muda itu menjadi tua dan jompo kemudian meninggal dunia di
sini d ihadapan mataku. Sama halnya dengan tubuhku akan
menjadi tua dan rusak; akan merupakan sarang penyakit dan
juga akan meninggal dunia." Kemudian Rupananda menyadari
akan corak sebenarnya kelompok kehidupan. Pada saat itu Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan, ketidakpuasan, dan ketanpa-intian dari kelompok kehidupan (khandha) dan Rupananda mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 150 berikut :
Kota (tubuh) ini terbuat dari tulang belulang yang
dibungkus oleh daging dan darah.
Di sinilah terdapat kelapukan dan kematian, kesombongan
dan iri hati. Rupananda mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XI-6-Kisah Ratu Mallika
Suatu hari, Malika pergi ke kamar mandi mencuci wajah, kaki
dan tangannya. Anjing peliharaannya juga masuk, ketika dia
membungkuk untuk mencuci kakinya, anjing itu mencoba
berhubungan kelamin dengannya, dan ratu merasa terhibur dan
senang. Raja masuk melihat kejadian aneh lewat jendela
kamarnya, ketika ratu masuk, dia berkata dengan marah, "Oh
kamu wanita hina! Apa yang kamu lakukan dengan anjing itu di kamar mandi" Jangan menyangkal apa yang saya lihat dengan
mataku sendiri."
Ratu menjawab bahwa dia hanya mencuci muka, tangan
dan kakinya, tidak melakukan kesalahan apapun. Kemudian dia
melanjutkan, "Tetapi, ruangan itu sangat aneh, jika seseorang masuk ke ruangan itu, bagi orang yang melihat dari jendela ini akan muncul menjadi dua gambaran. Jika anda tidak
mempercayaiku. Raja, silahkan masuk ke ruangan itu dan saya
akan melihat lewat jendela."
Raja pergi ke kamar mandi. Ketika dia keluar, Malika
bertanya kepada raja mengapa dia berlaku tidak pantas dengan seekor kambing betina di kamar itu. Raja menyangkal, tetapi ratu bersikeras bahwa dia melihat mereka dengan mata sendiri. Raja kebingungan tetapi seperti orang tolol dia menerima penjelasan dari ratu dan menyimpulkan bahwa kamar mandi itu benar-benar sangat aneh.
sangat aneh. Sajak saat itu, ratu sangat menyesal karena telah
berbohong pada raja dan telah kurang ajar menuduhnya atas
kelakuannya yang tidak pantas dengan seekor kambing betina.
Kelak, walaupun hampir meninggal dunia, dia melupakan
kemurahan hati yang besar tiada bandingannya, yang telah
diberikan kepada suaminya, dan hanya mengingat bahwa dia
telah bersikap tidak jujur terhadap suaminya. Sebagai akibat dari perbuatannya, setelah meninggal dunia dia dilahirkan di alam neraka (niraya). Setelah pembakaran jenazahnya usai, raja
bertanya kepada Sang Buddha, di mana dia dilahirkan kembali.
Sang Buddha ingin menunda perasaan raja, dan juga tidak ingin raja berkurang keyakinannya terhadap Dhamma. Beliau
mengalihkan pertanyaan itu, bahwa tidak seharusnya pertanyaan itu ditanyakan kepada Beliau sekarang ini sehingga Raja
Pasenadi lupa bertanya pada Sang Buddha.
Setelah tujuh hari di alam neraka (niraya), ratu dilahirkan
kembali di surga Tusita. Pada saat itu, Sang Buddha pergi ke istana Raja Pasenadi untuk menerima dana makanan. Beliau
berharap dapat beristirahat di bangsal kereta tempat kereta
kerajaan disimpan. Setelah mempersembahkan dana makanan,
raja bertanya kepada Sang Buddha, dimana Ratu Malika
dilahirkan kembali, dan Sang Buddha menjawab, "Malika telah
dilahirkan di surga Tusita." Mendengar hal ini raja sangat
gembira dan berkata, "Di mana lagi dia dapat dilahirkan" Dia selalu berpikir tentang perbuatan baik, selalu berpikir apa yang akan dipersembahkan kepada Sang Buddha besok hari. Bhante,
akan dipersembahkan kepada Sang Buddha besok hari. Bhante,
sekarang ia telah pergi, saya, murid-Mu yang rendah ini, hampir tidak tahu apa yang harus dikerjakan."
Kepada raja Sang Buddha berkata, "Lihat pada kereta
ayahmu dan kakekmu, semua ini tergeletak sia-sia, sama halnya seperti tubuhmu yang menjadi sasaran kematian dan kerusakan.
Hanya Dhamma yang mulia, yang tidak menjadi sasaran
kehancuran."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 151 berikut:
Kereta kerajaan yang indah sekalipun pasti akan lapuk,
begitu pula tubuh ini akan menjadi tua.
Tetapi "Ajaran" (Dhamma) orang suci tidak akan lapuk.
Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan
kebaikan. XI-7-Kisah Laludayi Thera
Laludayi adalah seorang bhikkhu yang bodoh dan sangat pelupa.
Dia tidak bisa mengatakan sesuatu hal sesuai dengan situasi pada saat itu, dia telah berusaha mencobanya. Pada suatu kesempatan yang berbahagia dan menguntungkan, dia berbicara tentang
kesedihan, dan pada kesempatan yang menyedihkan dia
membicarakan kesenangan dan kebahagiaan. Di samping itu, dia tidak pernah menyadari bahwa dia telah mengatakan hal yang
tidak sesuai dengan keadaan.
Ketika berbicara tentang hal ini, Sang Buddha berkata,
"Seseorang seperti Laludayi, yang memiliki sedikit pengertian sama halnya seperti seekor lembu jantan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 152 berikut:
Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti
sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak
berkembang. XI-10-11. Kisah Putra Mahadhana
Putra Mahadhana tidak belajar ketika ia masih berusia muda,
ketika menjelang dewasa dia menikah dengan putri orang kaya.
Seperti dia keadaanya, isterinya juga tidak berpendidikan.
Ketika orang tua kedua pihak meninggal dunia mereka mewarisi 80 nilai mata uang dari masing-masing pihak dan menjadi sangat kaya. Tetapi mereka berdua bodoh, hanya tahu menghabiskan
uang dan tidak tahu bagaimana menyimpannya atau
melipatgandakannya. Mereka hanya makan, minum dan
bersenang-senang, menghabiskan uang mereka dengan sia-sia.
Ketika mereka telah menghabiskan semua uangnya, mereka
menjual ladang mereka dan kebun serta akhirnya rumah mereka.
Kemudian mereka menjadi sangat miskin dan tidak berguna.
Karena tidak tahu cara mencari nafkah, mereka harus mengemis.
Suatu hari, Sang Buddha melihat anak orang kaya ini
bersandar di dinding vihara, mengambil sisa makanan yang
diberikan oleh para samanera. Melihat itu Sang Buddha
tersenyum. Yang Ariya Ananda bertanya kepada Sang Buddha
mengapa Beliau tersenyum.
Sang Buddha menjawab, "Ananda, lihat kepada putera
orang kaya ini, dia hidup dengan tidak berguna dan mempunyai kehidupan yang tidak bertujuan. Apabila dia belajar menjaga
kehidupan yang tidak bertujuan. Apabila dia belajar menjaga
kekayaannya pada tahap perrtama kehidupannya, dia akan
menjadi orang kaya yang teratas, atau apabila dia menjadi
seorang bhikkhu, akan menjadi seorang arahat dan istrinya akan menjadi seorang anagami. Apabila dia belajar menjaga
kekayaannya pada tahap kedua kehidupannya, dia akan menjadi
orang kaya tingkat kedua; apabila dia menjadi seorang bhikkhu, akan menjadi seorang anagami dan istrinya menjadi seorang
sakadagami. Apabila dia belajar menjaga kekayaannya pada
tahap ketiga kehidupannya, dia akan menjadi orang kaya tingkat ketiga; atau apabila dia menjadi seorang bhikkhu, akan menjadi seorang sakadagami dan istrinya akan menjadi seorang
sotapanna. karena dia tidak berbuat apa-apa dalam tiga tahap kehidupannya dia kehilangan seluruh kekayaan duniawinya, dia juga kehilangan kesempatan mencapai "Jalan dan hasil Kesucian"
(Magga-Phala). Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
155 dan 156 berikut:
Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak
mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan
merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya.
Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak
mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan
terbaring seperti busur panah yang rusak,
menyesali masa lampaunya
XII-1-Kisah Bodhirajakumara
Suatu ketika Pangeran Boddhi membangun sebuah istana yang
sangat indah untuk tempat tinggalnya. Ketika istana tersebut selesai dibangun, ia mengundang Sang Buddha untuk berdana
makanan. Untuk acara istimewa ini, ia menghias bangunan dengan
memberi pengharum ruangan 4 macam wangi-wangian dan dupa.
Juga, kain yang panjang dilembarkan di lantai untuk alas, mulai dari ambang pintu sampai ke dalam ruangan. Karena ia tidak
mempunyai anak, pangeran membuat harapan dan tebakan yang
sungguh-sungguh, dengan berkata dalam hati: "Bila Sang Buddha berjalan di atas kain tersebut, semoga aku akan mempunyai
anak!" Ketika Sang Buddha tiba, Pangeran Bodhi dengan hormat
memohon kepada Beliau sebanyak 3 kali untuk memasuki
ruangan. Tetapi Sang Buddha tidak beranjak, hanya melihat
pada Ananda. Ananda mengerti dan meminta kepada Pangeran
Bodhi untuk memindahkan kain dari ambang pintu. Dan Sang
Buddha pun masuk ke dalam istana.
Setibanya di dalam istana, pangeran mempersembahkan
makanan yang enak dan terpilih kepada Sang Buddha. Selesai
makan, pangeran bertanya : " Bhante, mengapa Bhante tidak
mau berjalan di atas kain alas?"
Sang Buddha bertanya balik kepada pangeran: "Bukankah
pangeran membentangkan kain itu dengan harapan agar
dikaruniai anak apabila Aku berjalan di atas kain itu?"
Pangeran membenarkan pertanyaan itu. Kepadanya Sang
Buddha mengatakan bahwa ia dan istrinya tidak akan
memperoleh anak akibat perbuatan jahat yang mereka lakukan
dimasa lampau. Sang Buddha kemudian menceritakan kisah
masa lalu mereka.
Pada salah satu kehidupan mereka yang lampau, pangeran
dan istrinya adalah satu-satunya orang yang selamat dari bencana kapal. Mereka terdampar pada pulau yang tidak berpenduduk.
Mereka hidup dengan memakan telur-telur burung, anak-anak
burung, dan burung, tanpa perasaan menyesal sepanjang waktu.
Untuk perbuatan jahat itu, mereka tidak dikaruniai anak. Jika mereka mempunyai rasa sesal atas perbuatan mereka pada saat
itu, mereka akan mempunyai seorang atau dua orang anak pada
kehidupan sekarang.
Kembali kepada pangeran, Sang Buddha berkata,
"Seseorang yang mencintai dirinya sendiri harus menjaga dirinya sendiri dalam seluruh tingkat kehidupan, atau sedikitnya dalam satu tahap kehidupannya." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 157 berikut:
Bila orang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga
dirinya dengan baik.
Orang bijaksana selalu waspada selama tiga masa dalam
Orang bijaksana selalu waspada selama tiga masa dalam
kehidupannya. Bodhirajakumara mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XII-2-Kisah Upananda Sakyaputta Thera
Upananda adalah seorang pengkhotbah yang sangat pandai. Ia
memberikan pelajaran kepada orang lain untuk tidak tamak, dan hanya memiliki sedikit keinginan. Ia pun berbicara dengan fasih tentang manfaat kepuasan, kehematan, dan praktek hidup
sederhana. Akan tetapi ia tidak pernah mempraktekkan apa
yang diajarkannya kepada orang lain. Ia mengambil untuk dirinya sendiri seluruh jubah dan keperluan-keperluan lain yang
diberikan oleh umat.
Suatu ketika Upananda pergi ke sebuah vihara desa sesaat
sebelum tiba masa vassa. Beberapa bhikkhu muda terkesan oleh kepandaiannya memberi khotbah, dan meminta kepadanya untuk
bervassa di vihara mereka. Ia menanyakan kepada mereka
berapa jubah biasanya yang diterima setiap bhikkhu sebagai
dana pada saat akhir vassa di vihara mereka. Mereka
mengatakan bahwa mereka biasanya menerima satu jubah untuk
tiap bhikkhu. Maka ia tidak jadi menetap di vihara tersebut, tetapi ia meninggalkan sandalnya di vihara tersebut.
Pada vihara berikutnya, ia mengetahui bahwa para
bhikkhu menerima dua jubah untuk masing-masing bhikkhu
sebagai dana pada akhir masa vassa. Di sana ia meninggalkan
tongkatnya. pada vihara berikutnya, para bhikkhu menerima tiga jubah masing-masing bhikkhu sebagai dana pada akhir masa
vassa, di sana ia meninggalkan botol airnya. Akhirnya, di vihara vassa, di sana ia meninggalkan botol airnya. Akhirnya, di vihara dimana masing-masing bhikkhu menerima empat jubah, ia
memutuskan untuk tinggal selama masa vassa.
Pada akhir masa vassa, ia menuntut bagian jubahnya di
vihara-vihara di mana ia meninggalkan barang-barang
pribadinya. Kemudian dia mengumpulkan semua barang
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barangnya dalam sebuah kereta dan kembali ke vihara lamanya.
Dalam perjalanan ia bertemu dua bhikkhu muda yang sedang
berdebat perihal pembagian dua jubah dan sebuah selimut dari beludru yang ada pada mereka. Karena mereka tidak
memperoleh kesepakatan bersama, mereka bertanya kepada
Upananda bagaimana pemecahan masalah itu. Upananda
memberi mereka masing-masing sebuah jubah dan mengambil
selimut beludru yang berharga sebagai penggantinya.
Dua bhikkhu muda tersebut merasa tidak puas dengan
keputusan tersebut tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Dengan perasaan tidak puas dan murung, mereka menemui Sang
Buddha dan memberitahukan kejadian tersebut. Kepada mereka
Sang Buddha berkata: "Seseorang yang mengajar orang lain,
seharusnya mengajar dirinya sendiri terlebih dahulu dan
berkelakuan sebagaimana yang ia ajarkan." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 158 berikut:
Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan diri
sendiri dalam hal-hal yang patut,
dan selanjutnya melatih orang lain.
Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.
Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.
Dua bhikkhu muda tersebut mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XII-3-Kisah Padhanikatissa Thera
Padhanikatisa Thera, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, tinggal di hutan bersama 500 bhikkhu lainnya. Di sana, ia memberitahu para bhikkhu agar menjaga perhatian dan tekun berlatih meditasi. Setelah memperingatkan bhikkhu yang lain, ia sendiri berbaring dan tidur. Bhikkhu-bhikkhu muda
melatih meditasi seperti yang diberitahukan kepada mereka.
mereka berlatih meditasi selama saat jaga pertama. Ketika tiba saat tidur bagi mereka, Padhanikatissa bangun, dan memberitahu mereka agar kembali berlatih meditasi. Ketika mereka selesai berlatih meditasi saat jaga kedua dan ketiga, Padhanikatissa juga mengatakana hal yang sama kepada mereka.
Selama ia bertingkah laku dengan cara tersebut di atas,
bhikkhu-bhikkhu muda tidak pernah merasa tenteram, dan
mereka juga tidak dapat berkonsentrasi pada saat latihan
meditasi atau bahkan dalam melafalkan bacaan.
Suatu hari, mereka memutuskan untuk menyelidiki apakah
mereka benar-benar rajin dan berjaga seperti yang dikemukakan oleh dirinya. Ketika mereka mengetahui bahwa guru mereka
Padhanikatissa hanya pandai menasehati orang lain tetapi ia
sendiri tidur sepanjang hari, mereka mengatakan, "Kita tertipu, guru kita hanya tahu bagaimana mengajari kita, tetapi ia sendiri hanya membuang-buang waktu tanpa melakukan apa pun."
Pada saat itu bhikkhu-bhikkhu tidak mendapatkan istirahat
yang cukup, mereka capai dan letih. Alhasil tidak seorang
bhikkhu pun yang memperoleh kemajuan dalam latihan
meditasinya. Pada akhir masa vassa, mereka kembali ke Vihara
Jetavana dan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang
Buddha. Kepada mereka Sang Buddha berkata: "Para bhikkhu!
Seseorang yang akan mengajar orang lain seharusnya terlebih
dahulu mengajar dirinya sendiri dan memperlakukan dirinya
dengan tepat." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 159
berikut: Sebagaimana ia mengajari orang lain, demikianlah
hendaknya ia berbuat.
Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan
baik, hendaklah ia melatih orang lain.
Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri
sendiri. Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XII-4-Kisah Ibu dari Kumarakassapa
Suatu ketika, seorang wanita muda yang telah menikah meminta ijin kepada suaminya untuk menjadi seorang bhikkhuni. Karena ketidaktahuannya, ia bergabung dengan bhikkhuni-bhikkhuni
yang menjadi pengikut Devadatta. Wanita ini sedang
mengandung sebelum ia menjadi bhikkhuni, tetapi pada saat itu ia tidak takut akan akibatnya.
Dengan berjalannya waktu, kehamilannya terlihat oleh
bhikkhuni-bhikkhuni lain. Mengira ia telah melakukan perbuatan yang melanggar vinaya, mereka membawa permasalahan itu
kepada guru mereka, Devadatta.
Devadatta menyuruh wanita itu kembali ke kehidupan
berumah tangga. Kemudian wanita muda ini mengatakan kepada
bhikkhuni-bhikkhuni lainnya, "Saya tidak berniat menjadi
bhikkhuni murid Devadatta, saya datang kemari merupakan
suatu kesalahan. Tolong antarkan saya ke Vihara Jetavana,
bawa saya menghadap Sang Buddha." Kemudian ia datang
menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui kalau ia telah mengandung
sebelum ia menjadi bhikkhuni, oleh karena itu ia tidak bersalah.
Tetapi Sang Buddha tidak ingin mengatasi masalah tersebut
sendiri. Sang Buddha mengundang Raja Pasenadi dari Kosala,
Anathapindikha, orang kaya terkenal, dan Visakha, dermawan
terkenal Vihara Pubbarama dan banyak orang lainnya.
Kemudian Beliau menyuruh Upali untuk menjernihkan persoalan
tersebut pada masyarakat.
Visakha membawa wanita muda tersebut ke belakang
tirai. Ia memeriksa dan melaporkan kepada Upali Thera bahwa
wanita tersebut telah hamil sebelum menjadi bhikkhuni. Upali Thera kemudian mengumumkan kepada hadirin bahwa wanita
tersebut tidak bersalah dan oleh karena itu ia tidak melanggar peraturan ke-bhikkhuni-an (sila).
Setelah beberapa lama melatih diri sebagai bhikkhuni,
wanita itu melahirkan seorang putra. Anak tersebut diadopsi oleh Raja Pasenadi dan diberi nama Kumarakassapa. Pada saat anak
tersebut berusia tujuh tahun, ia mengetahui bahwa ibunya adalah seorang bhikkhuni, kemudian ia menjadi seorang samanera
dibawah bimbingan Sang Buddha. Setelah ia dewasa, ia diterima dalam pasamuan bhikkhu.
Sebagai bhikkhu, ia mendapat palajaran meditasi dari
Sang Buddha dan pergi ke hutan. Disana, ia melatih meditasi
dengan tekun dan sungguh-sungguh dan dalam waktu singkat
mencapai tingkat kesucian arahat. Walaupun demikian, ia
melanjutkan hidup di hutan selama lebih dari dua belas tahun.
Selama dua belas tahun itu pula. Ibu dari Kumarakassapa
tidak pernah bertemu dengan anaknya, padahal ia sangat rindu untuk menemuinya. Suatu hari, ketika melihat anaknya, ibu yang bhikkhuni itu tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan penuh
emosi ia berlari mendekati anaknya, menangis dan memanggilemosi ia berlari mendekati anaknya, menangis dan memanggilmanggil nama anaknya.
Melihat ibunya, Kumarakassapa berpikir, jika ia berbicara
dengan lembut kapada ibunya, ibunya masih akan memiliki
kemelekatan kepadanya, dan masa depan ibunya akan tidak
berkembang. Jadi demi masa depan ibunya, agar dapat
memperoleh kebebasan (merealisasi nibbana) ia dengan sengaja berbicara keras kepada ibunya : "Bagaimana anda sebagai
anggota Sangha yang menjalankan peraturan, tidak dapat
memutuskan ikatan terhadap anaknya ?"
Ibunya berpikir bahwa anaknya sangat keras kepadanya,
dan ia bertanya apa maksudnya. Kumarakassapa mengulangi
apa yang ia ucapkan sebelumnya.
Mendengar jawabannya, Ibu Kumarakassapa membalas :
"Ya, dua belas tahun aku cucurkan air mata untuk anakku. Dua belas tahun pula aku memendam rindu, ingin melihat senyum dan mendapat sapaan yang hangat dari darah dagingku. Namun, apa
yang terjadi sekarang " Bukannya sapaan yang halus dan senyum bahagia karena bertemu dengan ibunya, malahan jawaban ketus
yang kuterima. Apa gunanya ikatanku kepadamu ?" Kerinduan
kepada anaknya mendadak hilang.
Kemudian, kemelekatan yang sia-sia kepada anaknya
mulai jelas baginya. Ia memutuskan untuk memotong
kemelekatan kepada anaknya. Dengan memotong seluruh
kemelekatan, Ibu Kumarakassapa mencapai tingkat kesucian
arahat pada hari itu.
Suatu hari, pada saat pertemuan, beberapa bhikkhu
berkata pada Sang Buddha : "Bhante, jika Ibu dari
Kumarakassapa mengikuti Devadatta, ia dan putranya tidak
akan menjadi arahat. Tentunya, Devadatta telah melakukan
kesalahan besar terhadap mereka, tetapi Bhante telah menjadi tempat berlindung bagi mereka."
Kepada mereka Sang Buddha berkata : "Para Bhikkhu,
dalam perjuangan untuk mencapai alam dewa, atau mencapai
tingkat kesucian arahat, kalian tidak bisa tergantung pada orang lain, kalian harus berusaha keras sendiri." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 160 berikut :
Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri
sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi
dirinya" Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
ia akan memperoleh perlindungan
yang sungguh amat sukar dicari.
XII-5-Kisah Upasaka Mahakala
Pada suatu hari uposatha, Mahakala pergi ke Vihara Jetavana.
Hari itu ia melaksanakan delapan peraturan moral (atthasila) dan mendengarkan khotbah Dhamma sepanjang malam. Pada malam
itu juga beberapa pencuri menyusup masuk ke dalam sebuah
rumah. Pemilik rumah terbangun dan mengejar para pencuri.
Pencuri-pencuri itu berlarian ke segala arah. Beberapa pencuri berlari ke arah vihara. Mereka berlari mendekat vihara. Pada saat itu, Mahakala sedang mencuci muka di tepi kolam dekat
vihara. Pencuri-pencuri itu meninggalkan barang curiannya di depan Mahakala dan kemudian mereka berlari pergi. Ketika
pemilik barang tiba di tempat itu, mereka melihat Mahakala
dengan barang curian. Mengira bahwa Mahakala adalah seorang
pencuri, mereka berteriak ke arahnya, mengancamnya dan
memukulnya dengan keras. Mahakala meninggal dunia di tempat
itu. Pada pagi harinya, ketika beberapa bhikkhu muda dan
samanera-samanera dari vihara pergi ke kolam untuk mengambil air, mereka melihat mayat itu dan mengenalinya.
Sekembali mereka ke vihara, mereka melaporkan hal yang
telah dilihatnya kepada Sang Buddha. "Bhante, seorang upasaka di vihara yang telah mendengarkan khotbah Dhamma sepanjang
malam, ditemukan meninggal dunia secara tidak pantas."
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, jika
kalian hanya mengetahui perbuatan baik yang telah ia lakukan kalian hanya mengetahui perbuatan baik yang telah ia lakukan pada kehidupan saat ini, tentunya ia tidak akan ditemukan
meninggal dunia secara tidak layak. Tetapi kenyataannya, ia
harus menerima akibat perbuatan jahat yang telah ia lakukan
pada kehidupan lampaunya. Pada salah satu kehidupan
lampaunya, ketika ia sebagai seorang anggota istana sebuah
kerajaan, ia jatuh cinta pada istri orang lain dan memukul suami wanita tersebut sehingga suami itu meninggal dunia. Oleh karena perbuatan jahatnya, pasti akan membuat seseorang menderita,
bahkan dapat mengakibatkan kelahiran kembali dalam salah satu dari 4 alam penderitaan (apaya)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 161 berikut:
Kejahatan yang dilakukan oleh diri sendiri, timbul dari diri sendiri serta disebabkan oleh diri sendiri, akan menghancurkan orang bodoh, bagaikan intan memecah permata yang keras.
XII-6-Kisah Devadatta
Suatu hari beberapa bhikkhu sedang bercakap-cakap diantara
mereka sendiri, kemudian Sang Buddha tiba dan bertanya apa
yang sedang mereka bicarakan. Mereka menjawab bahwa
mereka sedang berbicara tentang Devadatta dan kemudian
mereka melanjutkan, "Bhante, Devadatta adalah sungguh
seorang yang tidak mempunyai moralitas, ia juga sangat serakah.
Ia berusaha memperoleh keterkenalan dan keberuntungan
dengan mengambil kepercayaan Ajatasattu dengan cara tidak
jujur. Ia juga berusaha meyakinkan Ajatasattu bahwa dengan
membebaskan diri dari ayahnya, ia akan menjadi raja besar.
Hasutan Devadatta dapat mempengaruhi Ajatasattu, sehingga
Ajatasattu membunuh ayahnya, raja yang mulia, Bimbisara.
Devadatta juga telah mencoba tiga kali untuk membunuh-Mu,
Guru kami yang mulia. Devadatta adalah benar-benar sangat
jahat dan tidak dapat diperbaiki."
Setelah mendengarkan para bhikkhu, Sang Buddha
mengatakan pada mereka bahwa Devadatta telah mencoba
membunuhnya tidak hanya pada kehidupan sekarang tetapi juga
pada kehidupan yang lampau. Sang Buddha kemudian
menceritakan cerita tentang pemburu rusa.
"Saat itu, ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Baranasi,
Buddha yang sekarang ini hidup sebagai seekor rusa, dan
Devadatta saat itu adalah seorang pemburu rusa. Suatu hari,
Devadatta saat itu adalah seorang pemburu rusa. Suatu hari,
pemburu rusa melihat jejak kaki rusa di bawah sebatang pohon.
Kemudian ia mengambil sebatang bambu pada pohon tersebut
dan menunggu dengan tombak yang diarahkan ke rusa. Rusa
tersebut datang tetapi ia datang dengan hati-hati. Pemburu rusa melihatnya ragu-ragu, dan melempari beberapa buah-buahan
untuk membujuknya. Tetapi hal itu membuat rusa waspada. Ia
terlihat lebih hati-hati dan mengetahui ada pemburu rusa pada dahan pohon. Rusa itu pura-pura tidak melihat pemburu tersebut dan berbalik dengan lambat. Dari jarak tertentu, rusa berseru:
"Oh pohon, kamu selalu menjatuhkan buah-buahmu secara
vertikal, tetapi hari ini kamu telah menentang hukum alam dan telah menjatuhkan buah-buahmu secara miring. Sejak kamu
menentang hukum alam dari pohon, saya akan meninggalkanmu
untuk berpindah ke pohon lain."
Melihat rusa tersebut berbalik pergi, pemburu melempar
tombaknya ke tanah dan berkata, "Ya, kamu sekarang dapat
berpindah, untuk hari ini saya telah salah perhitungan." Rusa yang sebagai calon Buddha tersebut menjawab, "O, pemburu, kamu
benar-benar salah perhitungan hari ini, tetapi perbuatan (kamma) burukmu tidak akan keliru, hal itu akan selalu mengikutimu."
Jadi, Devadatta tidak saja mencoba membunuhku sekarang
tetapi juga dimasa lalu, tetapi ia tidak pernah berhasil."
Kemudian Sang Buddha melanjutkan, "Para bhikkhu!
Seperti tanaman menjalar mengelilingi pohon tempat ia berada, demikian juga ia yang tidak mempunyai moral, akan dikuasai
oleh nafsu keinginan, akhirnya akan terlempar ke alam neraka oleh nafsu keinginan, akhirnya akan terlempar ke alam neraka (niraya)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 162 berikut:
Orang yang berkelakuan buruk adalah seperti tanaman
menjalar maluva yang melilit pohon sala.
Ia akan terjerumus sendiri, seperti apa yang diharapkan
musuh terhadap dirinya.
XII-7-Kisah Perpecahan Sangha
Pada suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang
memberikan khotbah di Vihara Veluvana, Devadatta datang
kepadanya dan menyarankan bahwa Sang Buddha kini telah
menjadi tua, seharusnya tugas-tugas kepemimpinan Sangha
diserahkan kepada Devadatta. Tetapi Sang Buddha menolak
permintaannya, menegurnya, dan menyebutnya "penjilat lidah"
(khelasika). Sejak saat itu, Devadatta sangat membenci Sang
Buddha. Ia bahkan berusaha membunuh Sang Buddha sebanyak
tiga kali, tetapi selalu gagal. Kemudian Devadatta mencoba
taktik lain. Kali ini ia datang kehadapan Sang Buddha dan
mengajukan lima peraturan untuk para bhikkhu untuk dilakukan sepanjang hidupnya.
Ia mengajukan: 1) Para bhikkhu harus tinggal di hutan. 2)
Para bhikkhu harus hidup dengan makanan yang hanya diterima
pada saat pindapata. 3) Mereka harus mengenakan jubah yang
hanya terbuat dari potongan kain yang diperoleh dari tumpukan sampah. 4) Mereka harus berdiam di bawah pohon dan 5)
Mereka tidak boleh memakan ikan atau daging.
Sang Buddha tidak menolak terhadap peraturan tersebut
dan tidak keberatan terhadap siapa pun yang sanggup
melakukannya, tetapi dengan berbagai pertimbangan yang benar, Beliau tidak menetapkan peraturan itu untuk para bhikkhu secara keseluruhan.
keseluruhan. Devadatta menuntut bahwa peraturan yang diajukannya
lebih baik daripada peraturan yang telah ada, dan beberapa
bhikkhu baru sepakat dengannya.
Suatu hari, Sang Buddha bertanya kepada Devadatta
apakah benar bahwa ia berusaha membuat perpecahan dalam
Sangha, dan ia mengakui bahwa hal itu benar. Sang Buddha
memperingatkannya bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan buruk yang serius, tetapi Devadatta tidak memperdulikan
peringatan itu. Setelah itu Devadatta bertemu dengan Ananda
Thera pada saat berpindapatta di Rajagaha, Devadatta berkata kepada Ananda Thera, "Ananda, mulai hari ini, saya akan
melakukan kegiatan uposatha, dan menjalankan tugas-tugas
Sangha secara terpisah, tidak tergantung kepada Sang Buddha
dan pasamuan bhikkhu-bhikkhu." Sekembalinya dari pindapatta, Ananda Thera memberitahu Sang Buddha apa yang telah
dikatakan oleh Devadatta.
Mendengar hal itu, Sang Buddha menjelaskan, "Devadatta
melakukan kesalahan yang sangat serius, perbuatan itu akan
menyebabkan ia terlahir ke alam neraka Avici. Bagi orang yang bersifat baik, sangatlah mudah melakukan perbuatan baik dan
sulit berbuat jahat, tetapi orang jahat, sangatlah mudah berbuat jahat dan sulit melakukan perbuatan baik. Memang, dalam hidup ini adalah mudah untuk melakukan sesuatu yang tidak
bermanfaat, tetapi sulit untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 163
berikut: berikut: Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan
tak bermanfaat,
tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan
bermanfaat bagi diri sendiri.
Kemudian pada hari Uposatha, Devadatta dikuti oleh lima
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ratus bhikkhu-bhikkhu suku Vajji, memisahkan diri dari
pasamuan Sangha, dan pergi ke Gayasisa. Akan tetapi ketika
dua murid utama, Sariputta dan Maha Moggalana pergi
menemui para bhikkhu pengikut Devadatta, dan berbicara
kepada mereka. Mereka menyadari kesalahannya, sehingga
banyak diantara mereka yang kembali bersama dua murid utama
kepada Sang Buddha.
XII-8-Kisah Kala Thera
Di Savatthi ada seorang wanita tua yang melayani seorang Thera bernama Kala seperti putranya sendiri. Suatu hari, wanita tua ini mendengar dari tetangganya, mengenai kebaikan hati Sang
Buddha, ia sangat berharap untuk pergi ke Vihara Jetavana dan mendengarkan khotbah Sang Buddha. Lalu ia mengatakan
kepada Kala Thera tentang harapannya tersebut, tetapi Kala
Thera menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu. Tiga kali wanita tersebut mengatakan kepada Kala Thera mengenai
keinginannya tersebut, tetapi Kala Thera selalu mencegahnya.
Pada suatu hari, dengan tidak mengindahkan larangannya,
wanita itu memutuskan untuk pergi ke vihara. Setelah meminta putrinya untuk menyediakan kebutuhan Kala Thera, ia
meninggalkan rumahnya. Ketika Kala Thera datang saat
berkeliling pindapata, ia mengetahui wanita tersebut telah pergi ke Vihara Jetavana. Kemudian ia berpikir, "Kemungkinan wanita di rumah ini telah hilang kepercayaannya kepada saya." Lalu
dengan cepat dan tergesah-gesa ia menyusul wanita tersebut ke vihara. Di sana ia menemukan wanita itu sedang mendengarkan
khotbah yang diberkan oleh Sang Buddha. Ia mendekati Sang
Buddha dengan perasaan hormat dan berkata. "Bhante, wanita
ini sangat bodoh, ia tidak akan mengerti Dhamma yang tinggi, tolong ajari ia hanya mengenai pemberian (dana) dan kesusilaan (sila)."
(sila)." Sang Buddha mengetahui dengan baik bahwa Kala Thera
sedang membicarakan kegusarannya dan mempunyai maksud
yang tersembunyi. Kemudian Sang Buddha berkata kepada
Kala Thera, "Bhikkhu ! Karena kamu bodoh dan berpandangan
salah, kamu merendahkan ajaran-Ku. Kamu membuat hancur
dirimu sendiri; kenyataannya, kamu hanya mencoba untuk
menghancurkan dirimu sendiri." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 164 berikut :
Karena pandangan yang salah orang bodoh menghina
ajaran orang mulia, orang suci dan orang bijak.
Ia akan menerima akibatnya yang buruk, seperti rumput
kastha yang berbuah
hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Wanita tua itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma tersebut berakhir.
XII-9-Kisah Upasaka Culakala
Culakala adalah seorang upasaka yang sangat mentaati peraturan uposatha pada hari-hari tertentu dan tinggal sepanjang malam di Vihara Jetavana, untuk mendengarkan uraian Dhamma.
Keesokan pagi harinya, ketika ia mencuci muka di kolam dekat vihara, beberapa pencuri meninggalkan seberkas barang curian di dekatnya. Pemilik barang melihat Culakala berada dekat
barang-barangnya yang dicuri. Mengira Culakala adalah
pencurinya, ia memukulnya dengan keras. Untunglah beberapa
pelayan wanita yang datang untuk mengambil air dan
menyatakan bahwa mereka mengenalinya, bahwa ia bukanlah
pencuri. Kemudian Culakala dilepaskan.
Ketika Sang Buddha mendengar hal tersebut, Beliau
berkata kepada Culakala, "Kamu dilepaskan tidak hanya karena pelayan-pelayan wanita berkata bahwa kamu bukanlah pencuri,
tetapi juga karena kamu tidak mencuri dan oleh sebab itu kamu tidak bersalah. Barang siapa yang berbuat jahat akan ke alam neraka (niraya), tetapi barang siapa yang berbuat baik akan
terlahir kembali di alam sorga (dewa) atau merealisir kebebasan mutlak (nibbana)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 165 berikut :
Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri
seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.
Upasaka Culakala mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XII-10-Kisah Attadattha Thera
Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa Beliau akan
mencapai parinibbana dalam waktu 4 bulan lagi, banyak bhikkhu puthujjana (bhikkhu-bhikkhu yang belum mencapai tingkat
kesucian) merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa, lalu mereka berusaha dekat dengan Sang Buddha.
Attadattha, meskipun tidak pergi ke hadapan Sang
Buddha, bertekat untuk mencapai tingkat kesucian arahat selama Sang Buddha masih hidup, berusaha keras dalam latihan
meditasi. Bhikkhu-bhikkhu lain yang tidak memahaminya,
membawanya di hadapan Sang Buddha dan berkata, "Bhante,
bhikkhu ini tidak terlihat mencintai dan memuja-Mu seperti yang kami lakukan, ia hanya menyendiri." Attadattha Thera kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa ia sedang berusaha untuk
mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha
mencapai parinibbana, dan itulah alasannya mengapa ia tidak
berada dekat Sang Buddha.
Sang Buddha kemudian berkata kepada para bhikkhu,
"Para bhikkhu, barang siapa yang mencintai dan menghormatiKu seharusnya berkelakuan seperti Attadattha. Kalian tidak
menghormat saya hanya dengan memberikan bunga-bunga,
wangi-wangian, dupa, atau datang menjenguk-Ku. Kalian
memberi penghormatan kepada saya bila mempraktekkan
Dhamma yang telah Kuajarkan kepada kalian seperti Lokuttara
Dhamma yang telah Kuajarkan kepada kalian seperti Lokuttara
Dhamma." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 166
berikut : Jangan karena demi kesejahteraan orang lain lalu
seseorang melalaikan kesejahteraan sendiri.
Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri, hendaklah
ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya.
Attadattha Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XIII-1-Kisah Seorang Bhikkhu Muda
Suatu saat seorang bhikkhu muda menemani seorangan bhikkhu
tua menuju ke rumah Visakha. Setelah menerima dana makanan,
bhikkhu tua pergi ke tempat lain, meninggalkan bhikkhu muda di rumah Visakha. Cucu perempuan Visakha sedang menyaring air
untuk bhikkhu muda. Ketika ia melihat bayangannya sendiri pada panci besar ia tersenyum. Melihat ia tersenyum, bhikkhu muda menatapnya dan balas tersenyum. Ketika ia melihat bhikkhu
muda itu menatapnya dan tersenyum padanya, ia menjadi marah, dan menangis lalu berkata, "Kamu, kepala gundul! Mengapa kau tersenyum padaku?"
Sang bhikkhu muda menjawab, "Dirimu adalah kepala
gundul; ayah dan ibumu juga berkepala gundul!" Kemudian,
mereka bertengkar dan sang gadis dengan bercucuran air mata
pergi kepada neneknya.
Visakha datang dan berkata kepada bhikkhu muda,
"Tolong janganlah marah kepada cucu saya. Bukankah seorang
bhikkhu memang berkepala gundul, kuku tangan dan kakinya
dipotong, dan memakai jubah yang terbuat dari potonganpotangan kain, bepergian untuk menerima dana makanan dengan
sebuah mangkuk yang bundar. Apakah yang telah dikatakan
oleh gadis muda ini benar?"
Sang Bhikku muda menjawab, "Itu memang benar, tapi
mengapa ia harus memaki saya karena hal tersebut ?" Kemudian bhikkhu yang lebih tua datang kembali, tetapi mereka berdua, Visakha dan bhikkhu tua gagal mendamaikan bhikkhu muda dan
sang gadis. Tidak lama kemudian, Sang Buddha tiba dan mempelajari
tentang pertengkaran tadi. Sang Buddha tahu bahwa sudah
saatnya bagi bhikkhu muda untuk mencapai tingkat kesucian
sotapatti. Dalam usaha untuk membuat bhikkhu muda lebih
mendengarkan kata-kataNya, Beliau nampaknya berpihak
kepadanya dan berkata kepada Visakha, "Visakha ada alasan
apa bagi cucumu untuk menegur putraku sebagai seorang
berkepala gundul hanya karena ia memiliki kepala yang gundul "
Bagaimanapun, ia menggunduli kepalanya untuk mengikutiKu,
bukan ?" Mendengar kata-kata ini bhikkhu muda berlutut, memberi
hormat kepada Sang Buddha, dan berkata, "Bhante, hanya
Bhante yang mengerti saya; bukanlah guru saya ataupun
dermawan kaya dari vihara ini yang mengerti saya." Sang
Buddha tahu bahwa sang bhikkhu kemudian mau menerima dan
Beliau berkata, "Tersenyum penuh hawa nafsu adalah tercela,
adalah tidak benar dan tidak pantas memiliki pikiran-pikiran jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 167 berikut :
Janganlah mengejar sesuatu yang rendah,
janganlah hidup dalam kelengahan.
Janganlah menganut pandangan-pandangan salah,
dan janganlah menjadi pendukung keduniawian.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XIII-2-3. Kisah Raja Suddhodana
Ketika Sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu untuk
pertama kalinya Beliau tinggal di Vihara Nigrodharama. Di sana Beliau menjelaskan Dhamma kepada sanak saudaranya. Raja
Suddhodana berpikir bahwa Buddha Gotama, yang adalah
anaknya sendiri, tidak akan pergi ke tempat lain, tetapi pasti akan datang di istananya untuk menerima dana makanan pada
hari berikutnya; tetapi ia tidak dengan resmi mengundang Sang Buddha datang untuk menerima dana makanan. Bagaimanapun,
pada hari berikutnya, ia menyediakan dana makanan untuk dua
puluh ribu bhikkhu. Pada pagi hari itu Sang Buddha berjalan
untuk menerima dana makanan bersama dengan rombongan
para bhikkhu, seperti kebiasaan semua Buddha.
Yasodhara, istri Pangeran Siddhattha sebelum beliau
meninggalkan hidup keduniawian, melihat Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan dari jendela istana. Dia
memberitahukan ayah mertuanya, Raja Suddhodana, dan sang
raja tergesa-gesa menghampiri Sang Buddha. Raja
memberitahukan Sang Buddha bahwa untuk seorang anggota
keluarga Kerajaan Khattiya, berkeliling meminta makanan dari pintu ke pintu adalah memalukan. Kemudian Sang Buddha
menjawab bahwa itu merupakan kebiasaan semua Buddha untuk
berkeliling menerima dana makanan dari rumah ke rumah, dan
oleh karena itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap oleh karena itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap menjaga tradisi itu. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
168 dan 169 berikut:
Bangun! Jangan lengah! Tempuhlah kehidupan benar.
Barang siapa menempuh kehidupan benar, maka ia akan
hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.
Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan
tak menempuh cara-cara jahat.
Barang siapa hidup sesuai Dhamma, maka ia akan hidup
bahagia di dunia ini
maupun di dunia selanjutnya.
Ayah Buddha Gotama mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XIII-4-Kisah Lima Ratus Bhikkhu
Pada suatu saat, lima ratus bhikkhu, setelah memperoleh
pelajaran meditasi dari Sang Buddha, pergi masuk ke hutan
untuk melatih meditasi. Tetapi mereka mendapat kemajuan yang sangat sedikit, sehingga mereka kembali kepada Sang Buddha
untuk menanyakan objek meditasi yang lebih cocok. Dalam
perjalanan menghadap Sang Buddha, mereka melihat
fatamorgana, kemudian bermeditasi tentang hal itu. Segera
setelah mereka memasuki halaman vihara, terjadi angin besar, hujan besar turun, gelembung-gelembung terbentuk di
permukaan tanah dan segera menghilang. Melihat gelembunggelembung tadi, para bhikkhu merenung, "Tubuh kami ini tidak kekal seperti gelembung-gelembung tadi", dan merasakan
ketidakkekalan dari kumpulan-kumpulan itu (khandha).
Sang Buddha melihat mereka dari kamarNya yang harum
dan terus menerus memancarkan cahaya, serta menerangi batin
mereka. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 170
berikut: Barangsiapa dapat memandang dunia ini seperti melihat
busa atau seperti ia melihat fatamorgana, maka Raja Kematian tidak dapat menemukan dirinya.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
XIII-5-Kisah Pangeran Abhaya
Suatu waktu, Pangeran Abhaya pulang kembali dengan
kemenangan setelah berhasil memberantas sebuah
pemberontakan di perbatasan negara. Raja Bimbisara sangat
senang kepadanya sehingga selama tujuh hari, Abhaya yang telah memberikan kejayaan dan kemuliaan negara mendapat sambutan
dan hiburan, bersama seorang gadis penari untuk menghiburnya.
Pada hari terakhir, ketika si penari sedang menghibur pangeran dan teman-temannya di taman, penari itu terkena stroke yang
hebat, dia terjatuh dan meninggal dunia seketika. Pangeran
terkejut dan amat sangat sedih. Dengan sedih, pangeran pergi menemui Sang Buddha untuk mencari pelipur lara. Kepadanya
Sang Buddha berkata, "O Pangeran, air mata yang engkau
cucurkan melalui kelahiran yang berulang-ulang tidak dapat
diukur. Kumpulan-kumpulan di dunia ini (khandha) adalah
tempat dimana orang bodoh terlelap di dalamnya." Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 171 berikut:
Marilah, pandanglah dunia ini yang seperti kereta kerajaan
yang penuh hiasan,
yang membuat orang bodoh terlelap di dalamnya.
Tetapi bagi orang yang mengetahui, maka tak ada lagi
ikatan dalam dirinya.
XIII-6-Kisah Sammajjana Thera
Sammajjana Thera mempergunakan sebagian besar waktunya
untuk menyapu halaman vihara. Pada waktu itu, Revata Thera
juga tinggal di vihara, tetapi tidak seperti Sammajjana, Revata Thera mempergunakan sebagian besar waktunya untuk
bermeditasi atau pemusatan batin secara mendalam. Melihat
kebiasaan Revata Thera, Sammajjana Thera berpikir bahwa
Thera-Thera yang lain hanya bermalas-malasan saja
menghabiskan waktunya.
Suatu hari Sammajjana pergi menemui Revata Thera dan
berkata, "Kamu sangat malas, hidup dari pemberian makanan
yang diberikan dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati,
tidakkah kamu berpikir kamu sewaktu-waktu harus
membersihkan lantai, halaman, atau tempat-tempat lain?"
Revada Thera menjawab, "Teman, seorang bhikkhu tidak
seharusnya menghabiskan seluruh waktunya untuk menyapu. Ia
harus menyapu pagi-pagi sekali, kemudian pergi untuk menerima dana makanan. Setelah menyantap makanan, sambil
merenungkan kondisi tubuhnya ia harus berusaha untuk
menyadari kesunyataan tentang kumpulan-kumpulan kehidupan
(khandha), atau lainnya, membaca buku-buku pelajaran sampai
malam tiba. Kemudian ia dapat melakukan lagi pekerjaan
menyapu jika ia menginginkannya."
Sammajjana Thera dengan tekun mengikuti saran yang
diberikan oleh Revata Thera dan tidak lama kemudian
Sammajjana mencapai tingkat kesucian arahat.
Bhikkhu-bhikkhu lain mengetahui sampah yang tertimbun
di halaman. Mereka bertanya kepada Sammajjana, mengapa ia
tidak menyapu seperti biasanya, Sammajjana menjawab,
"Ketika saya tidak sadar, saya setiap saat menyapu, tetapi
sekarang saya tidak lagi tidak sadar." Ketika para bhikkhu
mendengar jawaban tersebut, mereka menjadi sangsi, sehingga
mereka pergi menghadap Sang Buddha, dan berkata, "Bhante,
Sammajjana Thera secara tidak benar mengatakan dirinya
sendiri telah menjadi seorang arahat, ia mengatakan yang tidak benar." Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Sammajjana
telah benar-benar mencapai tingkat kesucian arahat, ia
mengatakan hal yang sebenarnya." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 172 berikut:
Barang siapa yang sebelumnya pernah malas, tetapi
kemudian tidak malas,
maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang
terbebas dari awan.
XIII-7-Kisah Anggulimala Thera
Angulimala adalah putera seorang kepala pendeta di istana Raja Pasenadi dari Kosala. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Ketika
dia sudah cukup umur, ia dikirim ke Taxila, sebuah universitas besar yang terkenal. Ahimsaka sangat pandai dan juga patuh
kepada gurunya. Oleh karena itu ia disenangi oleh guru maupun istri gurunya. Murid-murid yang lain menjadi iri hati kepadanya.
Mereka pergi kepada gurunya dan dengan berbohong
melaporkan bahwa Ahimsaka terlibat hubungan gelap dengan
istri gurunya. Mulanya, sang guru tidak mempercayai mereka,
tetapi setelah disampaikan beberapa kali dia mempercayai
mereka. Dia bersumpah untuk mengenyahkan Ahimsaka. Untuk
melenyapkan anak tersebut harus dengan cara yang sangat
kejam, sehingga dia memikirkan sebuah rencana yang lebih
buruk daripada pembunuhan. Dia mengajarkan Ahimsaka untuk
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh seribu orang lelaki ataupun wanita dan setelah
kembali dia berjanji untuk memberikan kepada Ahimsaka
pengetahuan yang tak ternilai. Anak itu ingin memiliki
pengetahuan ini, tetapi sangat segan untuk membunuh. Terpaksa dia menyetujui untuk melaksanakan apa yang telah diajarkan
kepadanya. Ahimsaka melakukan pembunuhan manusia, dan tidak
pernah lalai menghitung. Dia merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya. Oleh karena itu dia terkenal dengan
orang yang dibunuhnya. Oleh karena itu dia terkenal dengan
nama Angulimala, dan menjadi pengacau daerah itu. Raja
mendengar perihal perbuatan Angulimala, dan ia membuat
persiapan untuk menangkapnya. Mantani, ibu dari Angulimala,
mendengar maksud raja. Karena cinta kepada anaknya, ia
memasuki hutan, dan berusaha untuk menyelamatkan anaknya.
Pada waktu itu, kalung jari di leher Angulimala telah mencapau sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari, dan tinggal satu jari akan menjadi seribu.
Pagi-pagi sekali pada hari itu, Sang Buddha melihat
Angulimala dalam penglihatan-Nya, dan berpikir bahwa jika
Beliau tidak menghalangi Angulimala, yang sedang menunggu
orang terakhir untuk memperoleh seribu jari, akan melihat ibunya dan bisa membunuhnya. Karena hal itu, Agulimala akan
menderita di alam neraka (niraya) yang tiada akhirnya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan di mana
Angulimala berada.
Angulimala, setelah lama tidak tidur siang dan malam,
sangat letih dan lelah. Pada saat yang sama, dia sangat cemas untuk membunuh orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya. Dia memutuskan untuk
membunuh orang pertama yang dijumpainya. Ketika sedang
menunggu, tiba-tiba dia melihat Sang Buddha dan ia mengejarNya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat
dikejar sehingga dirinya sangat lelah. Sambil memperhatikan
Sang Buddha, dia menangis, "O bhikkhu, berhenti! berhenti!"
dan Sang Buddha menjawab, "Aku telah berhenti, kamulah yang
dan Sang Buddha menjawab, "Aku telah berhenti, kamulah yang
belum berhenti." Angulimala tidak mengerti arti kata-kata Sang Buddha, sehingga dia bertanya, "O bhikkhu! Mengapa engkau
berkata bahwa engkau telah berhenti dan saya belum berhenti?"
Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, "Aku
berkata bahwa Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti
membunuh semua mahluk, Aku telah berhenti menyiksa semua
mahluk, dan karena Aku telah mengembangkan diriKu dalam
cinta kasih yang universal, kesabaran, dan pengetahuan tanpa cela. Tetapi, kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa
mahluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta
kasih yang universal dan kesabaran. Karena itu, kamulah yang belum berhenti."
Begitu mendengar kata-kata ini dari mulut Sang Buddha,
Angulimala berpikir, "Ini adalah kata-kata orang yang bijaksana.
Bhikkhu ini amat sangat bijaksana dan amat sangat berani, dia pasti adalah pemimpin para bhikkhu. Tentu dia adalah Sang
Buddha sendiri! Dia pasti datang kemari khusus untuk membuat saya menjadi sadar." Dengan berpikir demikian, dia
melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha
untuk diterima menjadi bhikkhu. Kemudian di tempat itu juga, Sang Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu.
Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan dengan
menyebut-nyebut namanya, tetapi gagal menemukannya. Ia
kembali ke rumah. Ketika raja dan para prajuritnya datang untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di vihara Sang
Buddha. Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan
Buddha. Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan
perbuatan jahatnya dan menjadi seorang bhikkhu, raja dan para prajuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin dan tekun melatih meditasi, dalam waktu yang
singkat dia mencapai tingkat kesucian arahat.
Pada suatu hari ketika Angulimala sedang berjalan untuk
menerima dana makanan, dia melewati suatu tempat dimana
terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang. Ketika mereka
saling melemparkan batu, beberapa batu mengenai kepala
Angulimala dan melukainya. Dia berjalan pulang menemui Sang
Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, "Angulimala
anakku! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah.
Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan
jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu bisa menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam
alam neraka (niraya)." Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi "Kebebasan Akhir"
(parinibbana). Para bhikkhu yang lain bertanya kepada Sang Buddha di
manakah Angulimala akan bertumimbal lahir, Sang Buddha
menjawab, "Anakku telah merealisasi kebebasan akhir
(parinibbana)."
Mereka hampir tidak mempercayainya. Sehingga mereka
bertanya lagi kepada Sang Buddha apakah mungkin seseorang
yang sudah begitu banyak membunuh manusia dapat mencapai
parinibbana. Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab,
"Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan
"Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan
jahat karena dia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, dia menemukan teman-teman yang baik dan dengan
bantuan mereka serta nasehat yang baik dia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu,
perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (arahatta magga)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 173 berikut:
Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah
dilakukan dengan jalan berbuat kebajikan, maka ia akan menerangi
dunia ini bagai bulan yang bebas dari awan.
XIII-8-Kisah Gadis Penenun
Pada akhir upacara pemberian dana makanan di Alavi, Sang
Buddha memberikan khotbah tentang ketidakkekalan dari
kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha). Pada hari itu Sang
Buddha menekankan hal utama yang dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
"Hidupku adalah tidak pasti; bagiku,
hanya kematianlah satu-satunya yang pasti.
Aku pasti mati;
hidupku berakhir dengan kematian.
Hidup tidaklah pasti;
kematian adalah pasti."
Sang Buddha juga menasehati orang-orang yang
mendengarkan Beliau agar selalu sadar dan berusaha untuk
memahami kesunyataan tentang kelompok kehidupan (khandha).
Beliau juga berkata, "Seperti seseorang yang bersenjatakan
tongkat atau tombak telah bersiap untuk bertemu dengan musuh (misal seekor ular berbisa), demikian pula halnya seseorang yang selalu sadar terhadap kematian akan menghadapi kematian
dengan penuh kesadaran. Kemudian ia akan meninggalkan dunia
ini untuk mencapai tujuan kebahagiaan (sugati)."
Banyak orang yang tidak memperhatikan penjelasan di
Banyak orang yang tidak memperhatikan penjelasan di
atas dengan serius, tetapi seorang gadis penenun muda berusia enam belas tahun mengerti makna penjelasan tersebut. Setelah memberikan khotbah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.
Selang tiga tahun kemudian, ketika Sang Buddha melihat
dunia kehidupan, Beliau melihat penenun muda, dan mengetahui bahwa sudah saatnya bagi gadis itu untuk mencapai tingkat
kesucian sotapatti. Sehingga Sang Buddha datang ke negara
Alavi untuk menjelaskan Dhamma untuk kedua kalinya. Ketika
sang gadis mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba beserta
lima ratus bhikkhu, dia ingin pergi dan mendengarkan khotbah yang akan diberikan oleh Sang Buddha. Tetapi, ayahnya juga
meminta kepadanya untuk menggulung beberapa gulungan
benang yang dibutuhkan dengan segera, sehingga dia dengan
cepat menggulung beberapa gulungan dan membawanya kepada
ayahnya. Dalam perjalanan menuju ke tempat ayahnya berada,
dia berhenti untuk sementara di samping orang-orang yang telah tiba untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha.
Ketika itu Sang Buddha mengetahui bahwa gadis penenun
muda akan datang untuk mendengarkan khotbah-Nya; Beliau
juga mengetahui bahwa sang gadis akan meninggal pada saat dia pergi ke tempat penenunan. Oleh karena itu, sangatlah penting baginya untuk mendengarkan Dhamma dalam perjalanan menuju
ke tempat penenunan dan bukan pada saat dia kembali. Jadi,
ketika gadis penenun muda itu muncul dalam kumpulan orangorang, Sang Buddha melihatnya. Ketika dia melihat Sang
Buddha menatapnya, dia menjatuhkan keranjangnya dan dengan
Buddha menatapnya, dia menjatuhkan keranjangnya dan dengan
penuh hormat mendekati Sang Buddha. Kemudian, Sang
Buddha memberikan empat pertanyaan kepadanya dan dia
menjawab semua pertanyaan tersebut. Pertanyaan dan jawaban
diberikan seperti di bawah ini:
Pertanyaan 1, Dari mana asalmu"
Jawaban 1, Saya tidak tahu.
Pertanyaan 2, Kemana kamu akan pergi"
Jawaban 2, Saya tidak tahu.
Pertanyaan 3, Tidakkah kau tahu"
Jawaban 3, Ya, saya tahu.
Pertanyaan 4, Tahukah kamu"
Jawaban 4, Saya tidak tahu, Bhante.
Mendengar jawaban itu, orang-orang berpikir bahwa
gadis penenun muda sangat tidak hormat. Kemudian, Sang
Buddha meminta untuk menjelaskan apa maksud jawabannya,
dan diapun menjelaskan.
"Bhante! Engkau tahu bahwa saya datang dari rumah saya;
saya mengartikan pertanyaan pertama Anda, Anda bermaksud
untuk menanyakan dari kehidupan yang lampau manakah saya
datang, karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."
Maksud pertanyaan kedua, pada kehidupan yang akan
datang manakah akan saya tempuh setelah ini; oleh karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."
Maksud pertanyaan ketiga, apakah saya tidak tahu bahwa
suatu hari saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, "Ya, saya tahu."
Maksud pertanyaan terakhir apakah saya tahu kapan saya
akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."
Sang Buddha sangat puas dengan penjelasannya dan
berkata kepada orang-orang hadir, "Banyak dari kalian yang
mungkin tidak mengerti dengan jelas maksud dari jawaban yang diberikan oleh gadis penenun muda. Mereka yang bodoh berada
dalam kegelapan, seperti orang buta."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 174 berikut:
Dunia ini terselubung kegelapan, dan hanya sedikit orang
yang dapat melihat dengan jelas.
Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang
dapat melepaskan diri;
demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi ke
alam surga. Gadis penenun muda mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma berakhir.
Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat
penenunan. Ketika dia sampai di sana, ayahnya tertidur di atas kursi peralatan tenun. Saat ayahnya terbangun dengan tiba-tiba, dia dengan tidak sengaja menarik gulungan dan ujungnya
menusuk tepat di dada sang gadis. Gadis penenun muda
meninggal dunia di tempat itu juga, dan ayahnya sangat sedih.
Dengan berlinang air mata ayah gadis itu pergi menghadap Sang Buddha dan memohon agar Sang Buddha menerimanya sebagai
bhikkhu. Kemudian, dia mencapai tingkat kesucian arahat.
XIII-9-Kisah Tiga Puluh Bhikkhu
Suatu saat tiga puluh bhikkhu datang untuk memberi
penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka masuk,
Y.A. Ananda, yang berada di samping Sang Buddha,
meninggalkan ruangan dan menunggu di luar. Setelah beberapa
waktu, Ananda Thera masuk, tetapi dia tidak menemukan
seorang bhikkhu pun. Sehingga, dia bertanya kepada Sang
Buddha kemana para bhikkhu itu telah pergi. Kemudian Sang
Buddha menjawab, "Ananda, kesemua bhikkhu itu, setelah
mendengar khotbah saya, telah mencapai tingkat kesucian
arahat, dan dengan kemampuan batin luar biasa, mereka
meninggalkan ruang ini dengan terbang di udara." Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 175 berikut:
Kawanan angsa terbang menuju matahari, orang-orang
yang memiliki kekuatan gaib terbang di udara.
Orang bijaksana berjalan menuju kesucian setelah
menaklukkan Mara beserta bala tentaranya.
XIII-10-Kisah Cincamanavika
Pada saat Sang Buddha pergi mengajarkan Dhamma, banyak
orang datang berduyun-duyun kepada-Nya. Pertapa keyakinan
lain mengetahui bahwa para pengikut mereka menjadi berkurang.
Mereka menjadi sangat marah, sehingga mereka membuat
sebuah rencana yang akan merusak nama baik Sang Buddha.
Mereka memanggil Cincamanavika yang sangat cantik, murid
kesayangan mereka, dan berkata kepadanya, "Jika dalam hatimu terdapat keyakinan pada kami, tolonglah kami. Buatlah Samana Gotama menjadi malu." Cincamanavika menyetujui untuk
melaksanakan. Pada malam itu, dia mengambil beberapa bunga dan pergi
berkunjung ke Vihara Jetavana. Ketika orang-orang bertanya
padanya kemana dia akan pergi, dia menjawab, "Apa gunanya
kalian tahu kemana saya akan pergi?"
Dia lalu bermalam di tempat para pertapa lain yang berada
dekat Vihara Jetavana, dan dia akan kembali pagi-pagi sekali agar kelihatan bahwa dia telah bermalam di Vihara Jetavana.
Ketika ditanya, dia akan menjawab, "Saya menghabiskan malam
hari dengan Samana Gotama di kamar yang harum di Vihara
Jetavana."
Setelah lewat tiga atau empat bulan, dia membungkus
perutnya dengan kain agar dia kelihatan hamil. Setelah delapan atau sembilan bulan, dia membungkus perutnya dengan
memasukkan papan kayu tipis ke dalamnya; ia juga memukuli
paha dan kakinya agar kelihatan bengkak; ia juga pura-pura
merasa lelah dan lesu. Dengan demikian, ia menggambarkan
seorang wanita hamil yang sungguh-sungguh dalam kehamilan
besar. Kemudian, pada malamnya, ia pergi ke Vihara Jetavana
untuk menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha sedang menjelaskan Dhamma kepada
sekumpulan bhikkhu dan umat awam. Melihat Beliau mengajar di atas mimbar, ia menuduh Sang Buddha demikian: " O", kamu
Samana besar! Kamu hanya berkhotbah kepada orang lain.
Saya sekarang hamil karena kamu, dan kamu tidak melakukan
apa-apa untuk persalinan saya. Kamu hanya tahu bagaimana
menyenangkan dirimu sendiri!"
Sang Buddha menghentikan khotbahnya untuk sementara
dan berkata kepadanya, "Saudari, hanya kamu dan saya yang
tahu, apakah kamu berkata yang sebenarnya atau tidak," dan
Cincamanavika menjawab, "Ya, kamu benar, bagaimana orang
lain tahu apa yang hanya kamu dan saya ketahui?"
Pada saat itu juga, Sakka, raja para dewa, mengetahui
masalah yang terjadi di Vihara Jetavana, sehingga ia mengirim empat orang dewanya dalam bentuk tikus-tikus besar. Keempat
ekor tikus tersebut pergi ke bawah pakaian Cincamanavika dan menggigit putus benang yang mengikat erat papan kayu di
sekeliling perutnya. Pada saat benang tersebut putus, papan kayu terjatuh, memotong bagian depan kakinya. Akhirnya, tipu
terjatuh, memotong bagian depan kakinya. Akhirnya, tipu
muslihat Cincamanavika terbongkar, dan banyak orang yang
berkerumun berteriak dengan marah, "Oh kamu perempuan
jahat! Seorang pembohong dan penipu! Beraninya kamu
menuduh Guru Agung kami!" Beberapa dari mereka
meludahinya dan menggiringnya keluar. Ia lari secepat yang ia bisa, dan ketika ia telah pergi agak jauh, bumi terbelah dan retak, ia tertelan masuk ke dalam bumi.
Pada hari berikutnya, ketika para bhikkhu sedang
membicarakan tentang Cincamanavika, Sang Buddha mendekati
mereka dan berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang tidak takut untuk berkata bohong, dan seseorang yang tidak perduli apa
yang akan terjadi pada kehidupan yang akan datang, tidak akan ragu-ragu untuk berbuat jahat." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 176 berikut:
Orang yang melanggar salah satu Dhamma (sila keempat,
yakni selalu berkata bohong),
yang tidak memperdulikan dunia mendatang, maka tak ada
kejahatan yang tidak dilakukannya.
XIII-11-Kisah Pemberian Dana Yang Tiada
Taranya Suatu saat raja memberi dana makanan kepada Sang Buddha
dan bhikkhu-bhikkhu lainnya dalam jumlah besar. Saingansaingannya, yang bersaing dengannya, telah mengatur upacara
pemberian dana yang lainnya dalam jumlah yang lebih besar dari raja. Jadi, raja dan para saingannya bersaing dalam pemberian dana. Akhirnya, ratu Malika memikirkan sebuah rencana. Untuk melaksanakan rencana ini, ia meminta raja membangun sebuah
paviliun besar. Berikutnya, ia meminta lima ratus buah payung putih memayungi lima ratus bhikkhu. Di tengah paviliun, mereka membuat sepuluh perahu yang telah disi dengan wewangian dan
dupa. Di sana juga terdapat dua ratus lima puluh orang putri, yang akan mengipasi ke lima ratus orang bhikkhu tersebut.
Sedangkan saingan-saingan raja tidak memiliki putri-putri,
payung-payung putih, ataupun gajah-gajah, mereka tidak lagi
dapat bersaing dengan raja. Ketika semua persiapan telah selesai dilaksanakan, dana makanan diberikan. Setelah bersantap, raja mempersembahkan seluruh benda yang berada di paviliun, yang
seharga empat belas crores.
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu, dua menteri raja hadir. Salah seorang yang
bernama Junha sangat senang dan memuji kemurahan hati raja
atas pemberian dana kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Ia
juga mengatakan bahwa pemberian yang sebesar itu hanya dapat juga mengatakan bahwa pemberian yang sebesar itu hanya dapat dilakukan oleh seorang raja. Ia sangat senang karena raja akan membagi kebaikan atas perbuatan baiknya kepada semua
mahluk. Dengan kata lain, menteri Junha bergembira atas
kemurahan hati raja yang tiada taranya. Di lain pihak, menteri Kala berpikir bahwa raja hanya menghambur-hamburkan uang,
dengan memberikan empat belas crores dalam sehari, dan
karena setelah itu para bhikkhu akan kembali ke Vihara dan
tidur. Setelah bersantap, Sang Buddha menatap kepada orangorang yang hadir dan mengetahui bagaimana perasaan menteri
Kala. Kemudian, Beliau berpikir bahwa jika Ia menyampaikan
khotbah panjang tentang pengertian, Kala akan bertambah
kecewa, dan akibatnya akan lebih menderita dalam
kehidupannya yang akan datang. Jadi, dengan perasaan kasihan terhadap Kala, Sang Buddha hanya menyampaikan khotbah
singkat dan kembali ke Vihara Jetavana. Raja mengharapkan
khotbah panjang tentang pengertian, oleh karena itu ia menjadi sangat sedih karena Sang Buddha hanya memberikan khotbah
singkat. Raja berpikir bahwa ia telah gagal melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, dan akhirnya ia pergi ke vihara.
Begitu melihat raja, Sang Buddha berkata, "Raja yang
agung! Anda seharusnya bergembira karena berhasil
mempersembahkan dana yang tiada taranya (asadisadana).
Sebuah kesempatan yang jarang sekali datangnya; dan datang
hanya sekali selama kemunculan setiap Buddha. Tetapi menteri Kala merasa bahwa hal itu hanyalah sebuah pemborosan, dan
Kala merasa bahwa hal itu hanyalah sebuah pemborosan, dan
sama sekali tidak berharga. Jadi, jika saya memberikan khotbah panjang, ia akan menjadi kecewa dan tidak senang, dan
akibatnya, ia akan sangat menderita pada kehidupannya yang
sekarang maupun pada kehidupan-kehidupan berikutnya. Itulah
mengapa Saya berkhotbah sangat singkat sekali. Kemudian
Sang Buddha menambahkan,"Raja yang agung! Adalah suatu
kebodohan tidak bergembira atas kemurahan hati yang telah
diberikan oleh orang lain dan akan pergi ke alam yang rendah.
Orang bijaksana bergembira atas kemurahan hati orang lain, dan melalui pengertian, mereka saling membagi keuntungan kebaikan dengan yang lainnya dan akan pergi ke tempat kediaman para
dewa." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 177 berikut:
Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa.
Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati.
Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi,
dan karenanya ia akan bergembira di alam berikutnya.
XIII-12-Kisah Kala, Putra Anathapindika
Kala, putra Anathapindika, selalu menghindar ketika Sang
Buddha dan para bhikkhu rombonganNya datang berkunjung ke
rumahnya. Anathapindika khawatir jika putranya tetap bersikap
seperti itu, ia akan terlahir kembali di salah satu alam yang rendah (apaya). Ia membujuk putranya dengan menjanjikan
sejumlah uang. Anathapindika berjanji untuk memberikan
sejumlah uang jika putranya berkenan pergi ke vihara dan
berdiam di sana selama sehari pada saat hari uposatha. Putranya pergi ke vihara dan pulang kembali pada esok harinya, tanpa
mendengarkan khotbah-khotbah. Ayahnya memberikan nasi
kepadanya, tetapi daripada mengambil makanannya, ia terlebih dahulu menuntut untuk diberi uang.
Pada hari berikutnya, sang ayah berkata pada putranya,
"Putraku, jika kamu mempelajari sebait syair dari Sang Buddha, saya akan memberimu sejumlah uang yang lebih banyak pada
saat kau kembali." Kemudian Kala pergi ke vihara, dan
mengatakan kepada Sang Buddha bahwa ia ingin mempelajari
sesuatu. Sang Buddha memberikannya sebuah syair pendek
untuk dihafal luar kepala; dalam waktu yang singkat Beliau
merasa bahwa si pemuda tidak mudah mengingatnya. Jadi, si
pemuda harus mengulangi satu syair berulang kali. Karena ia
harus mengulanginya berulang kali, pada akhirnya ia mengerti harus mengulanginya berulang kali, pada akhirnya ia mengerti penuh tentang Dhamma dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Pagi-pagi sekali pada hari berikutnya, ia mengikuti Sang
Buddha dan para bhikkhu menuju ke rumah orang tuanya. Tetapi pada hari itu, ia dengan diam-diam berharap, "Saya berharap
ayahku tidak akan memberikan kepadaku sejumlah besar uang
pada saat kehadiran Sang Buddha nanti. Saya tidak berharap
Sang Buddha mengetahui bahwa saya berdiam di vihara hanya
demi uang."
Ayahnya memberikan dana makanan kepada Sang
Buddha dan para bhikkhu, dan juga kepadanya. Kemudian,
ayahnya membawa sejumlah besar uang, dan menyuruh Kala
untuk mengambil uang tersebut. Dengan terkejut Kala menolak.
Ayahnya memaksa Kala untuk menerima uang itu, tetapi Kala
tetap menolak. Kemudian, Anathapindika berkata kepada Sang
Buddha, "Bhante, putra saya benar-benar berubah; sekarang ia berkelakuan sangat menyenangkan." Kemudian ia menceritakan
kepada Sang Buddha bagaimana ia membujuk putranya dengan
uang agar putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di
sana pada saat hari uposatha, serta untuk mepelajari beberapa syair Dhamma.
Sang Buddha menjawab, "Anathapindika! Hari ini,
putramu telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, yang lebih baik daripada kekayaan kerajaan duniawi atau alam para dewa
maupun alam para brahma." Kemudian Sang Buddha
membabarkan syair 178 berikut:
Ada yang lebih baik daripada kekuasaan mutlak atas
bumi, daripada pergi ke surga, atau daripada memerintah seluruh
dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang suci yang telah
memenangkan arus (sotapatti-phala).
XIV-1-2. Kisah Tiga Putri Mara
Brahmana Magandiya dan istrinya tinggal di kerajaan Kuru
bersama dengan Magandiya, putri mereka yang amat cantik.
Begitu cantiknya putrinya itu sehingga ayahnya dengan keras
menolak semua pelamarnya. Suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Sang Buddha meninjau sekeliling dunia, Beliau mengetahui
bahwa sudah saatnya bagi brahmana Magandiya dan istrinya
untuk mencapai tingkat kesucian anagami. Sambil membawa
mangkuk dan jubah-Nya, Sang Buddha berangkat ke tempat di
mana sang brahmana biasanya melakukan pengorbanan dengan
api. Begitu melihat Sang Buddha, sang brahmana dengan
seketika memutuskan bahwa Sang Buddha adalah orang yang
layak menjadi suami putrinya. Ia meminta Sang Buddha untuk
menunggu di sana dan dengan terburu-buru ia pergi menjemput
istri dan putrinya.
Sang Buddha meninggalkan jejak kaki-Nya dan pergi ke
tempat lain, yang berada di dekatnya. Ketika Sang brahmana
dan keluarganya tiba, mereka hanya menemukan jejak kaki Sang Buddha, istri brahmana berkata bahwa itu adalah jejak kaki dari seorang yang telah terbebas dari keinginan-keinginan hawa
nafsu. Kemudian, sang brahmana melihat Sang Buddha dan
menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh Sang Buddha.
Sang Buddha tidak menerima ataupun tidak menolak
penawaran itu, tetapi pertama kali Beliau menceritakan kepada sang brahmana bagaimana putri-putri Mara menggoda-Nya
pada saat Beliau baru saja mencapai Ke-buddha-an. Kepada
putri-putri Mara yang cantik, Tanha, Arati dan Raga, Sang
Buddha berkata, "Tidak ada gunanya menggoda seseorang yang
telah terbebas dari keinginan, kemelekatan dan nafsu, karena ia tidak lagi dapat terpikat oleh godaan apapun juga."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 179 dan 180
berikut ini : Beliau yang kemenangannya tak dapat dikalahkan lagi,
yang nafsunya telah diatasi dan tidak mengikutinya lagi, Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak nafsu, dengan cara apa akan kaugoda Beliau"
Beliau yang tak terjerat dan terlibat nafsu keinginan yang
menyebabkan kelahiran,
Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak
nafsu, dengan cara apa akan kaugoda Beliau"
Kemudian, Sang Buddha melanjutkan, "Brahmana
Magandiya, walaupun saya melihat putri-putri Mara yang tiada bandingnya, saya tidak merasakan hawa nafsu dalam diri saya.
Lagipula, apakah tubuh putrimu ini" Hanya penuh dengan air
kencing dan kotoran; Saya tidak ingin menyentuhnya walaupun
dengan kaki saya!" Begitu mendengar kata-kata Sang Buddha
tersebut, mereka berdua, sang brahmana dan istrinya, mencapai tingkat kesucian anagami. Kemudian, mereka bergabung dengan
tingkat kesucian anagami. Kemudian, mereka bergabung dengan
bhikkhu yang lainnya dan akhirnya mereka berdua mencapai
tingkat kesucian arahat
XIV-3-Kisah Kembalinya Sang Buddha
Pada suatu saat, ketika berada di Savatthi, Sang Buddha
memperlihatkan keajaiban ganda dalam menjawab tantangan
para pertapa dari berbagai sekte. Setelah itu, Sang Buddha pergi ke surga Tavatimsa; ibu-Nya yang telah lahir di surga Tusita sebagai dewa yang dikenal sebagai Santusita juga datang ke
surga Tavatimsa. Di sana Sang Buddha menjelaskan tentang
Abhidhamma kepada para dewa dan brahmana selama tiga
bulan masa vassa. Hasilnya, dewa Santusita mencapai tingkat
kesucian sotapatti; begitu pula dengan banyak dewa dan
brahma. Selama masa itu Sariputta Thera menghabiskan vassa di
Sankassanagara, tiga puluh yojana dari Savatthi. Selama ia
tinggal disana, seperti yang telah dianjurkan secara tetap oleh Sang Buddha, ia mengajarkan Abhidhamma kepada lima ratus
orang bhikkhu yang tinggal bersamanya dan menutup
keseluruhan ceramah pada saat berakhirnya masa vassa.
Menjelang akhir masa vassa, Maha Moggalana Thera
pergi ke surga Tavatimsa untuk menjenguk Sang Buddha.
Kemudian, ia diberitahu bahwa Sang Buddha akan kembali ke
dunia manusia pada saat bulan purnama di akhir masa vassa di tempat Sariputta Thera melaksanakan masa vassa.
Seperti yang telah dijanjikan, Sang Buddha datang dengan
sinar enam warna yang terus menerus bersinar dari tubuh-Nya
ke gerbang kota Sankassanagara, pada malam hari di bulan
purnama di bulan Assayuja ketika bulan bersinar dengan
terangnya. Beliau ditemani oleh sekumpulan besar dewa di satu sisi dan sekumpulan besar brahma di sisi yang lainnya.
Sekumpulan besar orang yang dipimpin oleh Sariputta Thera
menyambut kedatangan Sang Buddha ke dunia ini; dan seluruh
kota diterangi cahaya. Sariputta Thera terpesona oleh keagungan dan kemuliaan dari seluruh pemandangan kembalinya Sang
Buddha. Ia dengan hormat mendatangi Sang Buddha dan berkata,
"Bhante! kami tidak pernah melihat ataupun mendengar
kemuliaan yang begitu indah dan gemerlapan. Sungguh, Bhante
dicintai, dihormati, dan dipuja oleh para dewa, brahma dan
manusia!" Kepadanya Sang Buddha berkata, "Anakku Sariputta,
seorang Buddha yang memiliki sifat-sifat unik sesungguhnya
dicintai oleh manusia dan para dewa."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 181 berikut :
Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, yang bergembira
dalam kedamaian pelepasan,
yang memiliki kesadaran sejati dan telah mencapai
Penerangan Sempurna,
akan dicintai oleh para dewa.
Kelima ratus orang bhikkhu yang merupakan murid-murid
Kelima ratus orang bhikkhu yang merupakan murid-murid
dari Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian arahat, dan
banyak sekali dari kumpulan orang yang hadir di sana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.
XIV-4-Kisah Raja Naga Erakapatta
Ada seekor raja naga yang bernama Erakapatta. Dalam salah
satu kehidupannya yang lampau selama masa Buddha Kassapa
ia telah menjadi seorang bhikkhu untuk waktu yang lama.
Karena gelisah (kukkucca) ia telah melakukan pelanggaranpelanggaran kecil selama itu, dan ia terlahir sebagai seekor naga.
Sebagai seekor naga, ia menunggu munculnya seorang Buddha
baru. Erakapatta memiliki seorang putri yang cantik, dan ia
memanfatkannya untuk tujuan menemukan Sang Buddha. Ia
membuat putrinya terkenal sehingga siapapun yang dapat
menjawab pertanyaan sang putri berhak memperistrinya. Dua
kali dalam sebulan, Ekarapatta membuat putrinya menari di
udara terbuka dan mengumandangkan pertanyaanpertanyaannya. Banyak pelamar yang datang untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaannya dan berharap memilikinya, tetapi tak seorangpun dapat memberikan jawaban yang benar.
Suatu hari, Sang Buddha melihat seorang pemuda yang
bernama Uttara dalam pandangannya. Beliau juga mengetahui
bahwa si pemuda akan mencapai tingkat kesucian sotapatti,
sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh
putri Ekarapatta, sang naga. Pada saat itu si pemuda telah siap dalam perjalanannya untuk bertemu dengan putri Ekarapatta.
Sang Buddha menghentikannya dan mengajarinya bagaimana
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, Uttara mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sekarang di saat ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri Erakapatta. Bagaimanapun
Uttara tetap pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut untuk kebaikan pagi para makhluk.
Keempat pertanyaan pertama adalah sebagai berikut :
Siapakah penguasa "
Apakah seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran
moral dapat disebut sebagai seorang penguasa "
Penguasa apakah yang bebas dari kekotoran moral "
Orang yang seperti apakah yang disebut tolol "
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas
adalah sebagai berikut :
Ia yang mengontrol keenam indra adalah seorang
penguasa. Seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran moral tidak
dapat disebut seorang penguasa.
ia yang bebas dari kemelekatan disebut seorang penguasa.
Penguasa yang bebas dari kemelekatan adalah yang bebas dari
kekotoran moral.
Seseorang yang menginginkan kesenangan " kesenangan
hawa nafsu adalah yang disebut tolol.
Mendapat jawaban yang benar seperti di atas, putri naga
meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
arus hawa nafsu, kehidupan berulang-ulang, pandanganpandangan salah, dan kebodohan, dan bagaimana mereka
ditanggulanginya. Uttara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
seperti yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.
Ketika Erapatta mendengar jawaban-jawaban ini, ia tahu
bahwa seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Sehingga ia
meminta kepada Uttara untuk mengantarkannya menghadap
Sang Buddha. Saat melihat Sang Buddha, Erakapatta
menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah menjadi
seorang bhikkhu selama masa Buddha Kassapa, bagaimana ia
tidak sengaja menyebabkan sebilah pisau rumput patah ketika ia sedang melakukan perjalanan di atas perahu, dan bagaimana ia sangat khawatir bahwa kesalahan kecil yang telah diperbuatnya akan mengagalkan usaha pembebasan dirinya, dan akhirnya
bagaimana ia terlahir sebagai seekor naga.
Setelah mendengarnya, Sang Buddha mengatakan kepada
sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan untuk dilahirkan pada saat munculnya para Buddha atau selama para Buddha mengajar. Kemudian Sang Buddha membabarkan
syair 182 berikut :
Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia,
sungguh sulit kehidupan manusia,
sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar,
begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
Khotbah di atas bermanfaat bagi banyak makhluk.
Khotbah di atas bermanfaat bagi banyak makhluk.
Erakapatta sebagai seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti.
XIV-5-7. Kisah Pertanyaan Yang Diajukan
Oleh Ananda Thera
Pada suatu saat, Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha,
apakah pelajaran-pelajaran dasar yang diberikan kepada para
bhikkhu oleh para Buddha terdahulu adalah sama seperti
pelajaran Sang Buddha sendiri sekarang. Kepadanya Sang
Buddha menjawab bahwa pelajaran-pelajaran yang dibabarkan
oleh seluruh Buddha adalah seperti yang diberikan pada syair 183, 184 dan 185 berikut ini :
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa
mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi.
"Nibbana adalah tertinggi", begitulah sabda Para Buddha. Dia yang masih menyakiti orang lain sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak menghina, tidak menyakiti, dapat mengendalikan diri
sesuai dengan peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di tempat
yang sunyi serta giat mengembangkan batin nan luhur;
inilah Ajaran Para Buddha.
inilah Ajaran Para Buddha.
XIV-8-9. Kisah Seorang Bhikkhu Muda
Yang Tidak Puas
Suatu saat, ada seorang bhikkhu muda di Vihara Jetavana. Suatu hari gurunya mengirim bhikkhu itu ke vihara lain untuk belajar.
Ketika ia sedang pergi, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia tanpa diketahui bhikkhu muda itu. Tetapi ayahnya meninggalkan uang seratus kahapana kepada saudara lelakinya, paman
bhikkhu muda itu. Pada saat bhikkhu muda kembali, pamannya
menceritakan tentang kematian ayahnya dan tentang uang seratus kahapana yang ditinggalkan untuknya. Mulanya, ia berkata
bahwa ia tidak memerlukan uang tersebut. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin lebih baik kembali pada kehidupan
berumahtangga, dan akibatnya ia menjadi tidak puas dengan
kehidupan seorang bhikkhu. Pelan-pelan ia mulai kehilangan
ketertarikan pada hidupnya dan juga kehilangan berat badannya.
Ketika para bhikkhu yang lain tahu tentang hal ini, mereka
membawanya menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha bertanya kepadanya bahwa apakah benar ia
merasa tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai seorang
bhikkhu dan apakah ia memiliki modal untuk memulai kehidupan sebagai seorang berumahtangga.
Ia menjawab benar dan ia memiliki uang seratus kahapana
untuk memulai kehidupannya. Kemudian Sang Buddha
menjelaskan kepadanya bahwa ia akan membutuhkan makanan,
pakaian, perabot rumah tangga, dua ekor lembu jantan, bajakbajak, pangkur-pangkur, pisau-pisau, dan lain sebagainya,
sehingga uang tunai seratus itu akan sangat sulit menutupi biaya-biaya tersebut.
Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya bahwa bagi
kehidupan manusia tidak akan pernah cukup, tidak terkecuali
bagi kehidupan raja dunia yang dapat mendatangkan hujan uang atau mutiara, sejumlah kekayaan lainnya dan harta karun pada setiap saat.
Lebih lanjut, Sang Buddha menceritakan sebuah cerita
tentang Mandatu, raja dunia, yang menikmati kebahagiaan hidup surgawi di alam surga Catumaharajika dan Tavatimsa secara
bersamaan untuk waktu yang lama. Setelah menghabiskan waktu
yang lama di surga Tavatimsa, suatu hari Mandatu berkeinginan untuk menjadi satu-satunya penguasa surga Tavatimsa , daripada membagi kekuasaan dengan Sakka. Tapi pada saat itu,
keinginannya tidak dapat dipenuhi dan serta merta ia menjadi tua dan lemah, ia kembali ke alam manusia dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
186 dan 187 berikut ini :
Bukan dalam hujan emas dapat ditemukan kepuasan nafsu
indria. Nafsu indria hanya merupakan kesenangan sekejap yang
membuahkan penderitaan.
Bagi orang bijaksana yang dapat memahami, hal itu tidak
Bagi orang bijaksana yang dapat memahami, hal itu tidak
membuatnya bergembira
bila mendapat kesenangan surgawi sekalipun. Siswa Sang
Buddha Yang Maha Sempurna bergembira dalam penghancuran
nafsu-nafsu keinginan.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
XIV-10-14. Kisah Aggidatta
Aggidatta adalah seorang kepala pendeta selama pemerintahan
Raja Mahakosala, ayah dari raja Pasenadi. Setelah kematian
Raja Mahakosala, Aggidatta mendanakan kekayaannya, dan
meninggalkan rumah menjadi seorang pertapa non-Buddhis. Ia
tinggal bersama dengan sepuluh ribu orang pengikutnya di
sebuah tempat dekat perbatasan antara tiga kerajaan Anga,
Magadha dan Kuru, tidak jauh dari sebuah bukit pasir, dimana tinggal seekor naga yang buas. Kepada pengikut-pengikutnya
dan orang-orang di ketiga kerajaan ini, Aggidatta mendesak,
"Sembahlah hutan-hutan, gunung-gunung, kebun-kebun dan
taman-taman, serta pohon-pohon; dengan melakukan ini, kamu
terbebas dari segala penyakit di dunia ini."
Suatu hari, Sang Buddha melihat Aggidatta dan para
pengikutnya dalam pandangan-Nya dan menyadari bahwa sudah
tiba saatnya bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian
arahat. Kemudian Sang Buddha mengutus Maha Moggalana
Thera menemui Aggidatta dan para pengikutnya serta
mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri akan menjadi
pengikutnya. Maha Moggalana Thera pergi ke tempat Aggidatta dan
para pengikutnya serta meminta mereka untuk memberikannya
tempat menginap semalam. Mulanya mereka menolak
permintaannya, tetapi akhirnya mereka setuju untuk
permintaannya, tetapi akhirnya mereka setuju untuk
membiarkannya bermalam di bukit pasir, rumah sang naga. Sang naga sangat tidak menyukai Maha Moggalana Thera, dan
kemudian yang terjadi adalah adu kekuatan antara naga dan
thera, pada dua sisi, terdapat tontonan kesaktian pancaran asap dan lidah api. Bagaimanapun juga, akhirnya sang naga dapat
ditaklukkan. Ia menggulung dirinya mengitari bukit pasir tersebut, dan menegakkan kepalanya serta melebarkannya seperti sebuah
payung di atas Maha Moggalana Thera, menunjukkan rasa
hormat kepadanya.
Pagi-pagi sekali, Aggidatta dan para pertapa lainnya
datang ke bukit pasir untuk mengetahui apakah Maha
Moggalana Thera masih hidup, mereka berharap melihatnya
sudah meninggal dunia. Ketika mereka mengetahui sang naga
telah jinak, dan tanpa perlawanan membiarkan kepalanya seperti sebuah payung di atas tubuh Maha Moggalana Thera mereka
amat sangat terkejut.
Sesaat kemudian, Sang Buddha tiba dan Maha
Moggalana Thera berdiri dari tempat duduknya di bukit pasir
dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.
Kemudian Maha Moggalana Thera mengumumkan kepada para
pertapa, "Inilah Guru saya, Sang Buddha Yang Maha Suci, dan
saya adalah murid yang rendah dari Guru Agung ini!"
Mendengarnya, para pertapa yang sangat terkesan oleh
kesaktian Maha Moggalana Thera terpesona oleh kesaktian
Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada
Aggidatta apa yang telah diajarkan kepada pengikut-pengikutnya Aggidatta apa yang telah diajarkan kepada pengikut-pengikutnya dan para penduduk yang saling bertetangga.
Aggidatta menjawab bahwa ia telah mengajarkan kepada
mereka untuk memberi hormat kepada gunung-gunung, hutanhutan, kebun-kebun dan taman-taman, serta pohon-pohon, dan
dengan melakukan hal tersebut, mereka akan terbebas dari
segala penyakit di dunia ini.
Jawaban Sang Buddha kepada Aggidatta adalah,
"Aggidatta, orang-orang pergi ke gunung-gunung, hutan-hutan, taman-taman dan kebun-kebun, serta pohon-pohon untuk
mengungsi ketika mereka terancam bahaya, tetapi benda-benda
ini tidak dapat memberikan perlindungan. Hanya mereka yang
berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha akan terbebas
dari proses lingkaran kehidupan (samsara)." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 188, 189, 190, 191 dan 192
berikut ini : Karena rasa takut, banyak orang pergi mencari
perlindungan ke gunung-gunung,
ke arama-arama (hutan buatan), ke pohon-pohon dan ke
tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.
Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman, bukanlah
perlindungan yang utama.
Dengan mencari perlindungan seperti itu, orang tidak akan
bebas dari penderitaan.
Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan
Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan
Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia,
yaitu: Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Jalan
Mulia Berfaktor Delapan
yang menuju pada akhir dukkha.
Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama.
Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan
bebas dari segala penderitaan.
Pada akhir khotbah Dhamma itu, Aggidatta dan seluruh
pengikutnya mencapai tingkat kesucian arahat.
Mereka semua menjadi bhikkhu. Pada hari itu, ketika para
murid Aggidatta dari Anga, Magadha dan Kuru datang untuk
memberi penghormatan kepadanya, mereka melihat gurunya dan
para pengikutnya berpakaian bhikkhu, mereka menjadi bingung
dan heran, "Siapa yang lebih sakti" Guru kami atau Samana
Gotama" Guru kami pasti lebih sakti karena Samana Gotama
telah datang kepada guru kami."
Sang Buddha tahu apa yang sedang mereka pikirkan,
Aggidatta juga merasa bahwa ia harus menenangkan pikiran
mereka, maka ia menghormati Sang Buddha dihadapan muridmuridnya, dan berkata, "Bhante, Andalah guru saya! saya
hanyalah seorang murid-Mu." Seluruh muridnya yang hadir
menyadari kemuliaan Sang Buddha.
XIV-15-Kisah Pertanyaan Yang Diajukan
Oleh Ananda Thera
Suatu hari, Ananda Thera merenung demikian, "Guru kami
mengatakan kepada kami bahwa keturunan-keturunan gajah
hanya akan terlahir di antara keturunan-keturunan Chaddanta
dan Uposatha; keturunan-keturunan kuda hanya akan lahir di
antara keturunan Sindh; keturunan-keturunan lembu hanya akan terlahir di antara keturunan Usabha. Jadi, Beliau telah
mengatakan kepada kami hanya tentang keturunan-keturunan
gajah, kuda, dan lembu tetapi tidak tentang orang-orang yang mulia (purisajanno)."
Setelah merenung demikian, Ananda Thera pergi
menghadap Sang Buddha, dan menanyakan tentang orang-orang
mulia. Kepadanya Sang Buddha menjawab, "Ananda, orangorang mulia tidak akan terlahir di manapun, ia hanya akan terlahir di antara Khattiyamahasala dan Brahmanamahasala, kaum
hartawan dari Khattiya dan Brahmana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 193 berikut :
Sukar untuk berjumpa dengan manusia yang mempunyai
kebijaksanaan Agung.
Orang seperti itu tidak akan dilahirkan di sebarang tempat.
Tetapi dimanapun orang seperti itu dilahirkan, maka
keluarganya akan hidup bahagia.
keluarganya akan hidup bahagia.
XIV-16-Kisah Banyak Bhikkhu
Suatu saat lima ratus bhikkhu sedang mendiskusikan pertanyaan,
"Apakah yang merupakan kebahagiaan?" Bhikkhu-bhikkhu ini
berpendapat bahwa ujud kebahagiaan berbeda-beda bagi setiap
orang. Jadi mereka berkata, "Untuk beberapa orang memiliki
kekayaan dan kemuliaan seperti raja adalah kebahagiaan; untuk beberapa orang, pemuasan terhadap nafsu indria adalah
kebahagiaan, tetapi untuk yang lainnya memiliki makanan nasi dan daging adalah kebahagiaan."
Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Sang Buddha
menghampirinya. Setelah mengetahui masalah yang sedang
mereka perbincangkan, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu,
segala kesenangan yang telah kalian sebutkan tidak akan
membuatmu keluar dari proses lingkaran kehidupan. Dalam
dunia ini, hal-hal yang merupakan kebahagiaan adalah munculnya seorang Buddha, kesempatan untuk mendengarkan Ajaran
Kebenaran Mulia, dan keharmonisan diantara para bhikkhu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 194 berikut :
Kelahiran Para Buddha merupakan sebab kebahagiaan.
Pembabaran Ajaran Benar merupakan sebab
kebahagiaan. Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan.
Dan usaha perjuangan mereka yang telah bersatu
Dan usaha perjuangan mereka yang telah bersatu
merupakan sebab kebahagiaan.
Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian
arahat setelah mendengar khotbah Dhamma itu berakhir.
XIV-17-18. Kisah Stupa Emas Buddha
Kassapa Suatu saat, ketika Sang Buddha dan para pengikutnya sedang
dalam perjalanan ke Baranasi mereka tiba di sebuah tanah
lapang di mana terdapat sebuah stupa suci. Tidak jauh dari kuil tersebut, seorang brahmana sedang membajak ladang, melihat
sang brahmana, Sang Buddha memanggilnya.
Ketika ia tiba, sang brahmana memberi penghormatan
kepada stupa tersebut tetapi bukan kepada Sang Buddha.
Kepadanya Sang Buddha berkata, "Brahmana, dengan
memberikan penghormatan kepada stupa tersebut engkau telah
melakukan sebuah perbuatan yang terpuji." Hal itu membuat
sang brahmana gembira. Setelah membuat keadaan batinnya
tenang, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa-Nya,
memunculkan stupa emas Buddha Kassapa dan membuatnya
tetap tampak di langit. Kemudian Sang Buddha menjelaskan
kepada sang brahmana dan para bhikkhu yang hadir bahwa
terdapat empat golongan orang yang patut dibuatkan stupa.
Mereka adalah: Para Buddha (Tathagata) yang patut
dihormati dan telah mencapai Penerangan Sempurna dengan
usahanya sendiri; para Paccekabuddha; para Murid-murid
Ariya, dan Raja Dunia.
Beliau juga mengatakan kepada mereka tentang tiga
Beliau juga mengatakan kepada mereka tentang tiga
macam stupa yang patut dibangun untuk menghormati empat
golongan orang itu. Stupa-stupa tempat di mana relik sisa-sisa jasmani disimpan, dikenal dengan nama Saridhatu-cetiya; stupa-stupa dan bentuk-bentuk yang dibuat menyerupai orang-orang
tersebut di atas, dikenal dengan nama Uddissa-cetiya; dan
stupa-stupa tempat menyimpan barang-barang seperti jubah,
mangkuk, dan lain sebagainya dikenal dengan nama Paribhogacetiya. Sang Buddha menekankan pentingnya memberi
penghormatan kepada mereka yang patut dihormati. Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 195 dan 196 berikut ini :
Ia yang menghormati mereka yang patut dihormati, yakni
Para Buddha atau siswa-siswa-Nya,
Pukulan Naga Sakti 3 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Manusia Harimau Jatuh Cinta 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama