Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Kini dalam tugasnya mengantarkan sebuah patung Buddha ke kuil Thian - hok si, ia telah diganggu oleh Sin kiam-koai jin yang minta patung itu dengan paksa, tentu saja ia tidak mau menyerah begitu saja dan ketika penjahat berkedok itu menyerangnya ia cepat mengelak dan mencabut goloknya yang telah lama menjaga nama perusahaan ekspedisinya.
Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Sin-kiam koai jin itu luar biasa cepatnya dan karena pedang di tangan penjahat itupun pedang pusaka yang luar biasa, sebentar saja Lai piauwsu terdesak hebat. Piauwsu ini maklum akan ketajaman pedang lawan, maka seberapa bisa ia menghindarkan goloknya beradu dengan pedang lawan. la telah memiliki pengalaman dalam pertempuran-pertempuran besar dan dengan mengandalkan ketenangan dan kegagahan tangannya, untuk beberapa lama ia masih dapat mempertahankan diri. Akan tetapi, piauwsu ini maklum pula bahwa pertahanan ini takkan berlangsung lama. Pedang di tangan Sin - kiam koai jin sangat cepat gerakannya dan merupakan gulungan sinar pedang yang mengelilingi tubuhnya dan menjepitnya sehingga tiada jalan keluar lagi baginya. "Sin kiam-koai hiap, kalau kau berkeras hendak menggangguku biarlah aku mengorbankan nyawaku sebagai seorang piauwsu sejati!" Lai piauwsu dengan gemas sekali dan memutar goloknya dengan sekuat tenaga dan gerakannya biarpun tidak cepat namun mengandung tenaga yang lemas dan kuat. inilah ilmu golok Lo - han to yang merupakan ilmu golok mempertahankan diri yang kuat sekali.
"Lai Siong Te manusia goblok ! Kau hendak menukarkan nyawamu dengan patung " Ha ha ha, mampuslah !" Sambil berkata demikian, penjahat berkedok itu cepat menyerang dengan sebuah tusukan kilat ke arah leher Lai piauwsu, Lai Siong Te mengelak ke kiri, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Sin-kiam koai jin telah menyusulkan dua serangan, yakni tangan kanan yang memegang pedang menyabet ke arah leher sedangkan tangan kiri didorongkan ke depan.
Lai Siong Te menjadi terkejut sekali. Dorongan tangan kiri itu mengeluarkan angin yang memukul di bagian dalam dadanya maka cepat ia melempar diri ke kanan dan terpaksa menyabetkan goloknya untuk menangkis bacokan lawan pada lehernya.
"Traang!" Sekali saja beradu, golok di tangan Lai Siong Te telah putus menjadi dua!
"Ha, ha, ha! Lai Siong Te, kau masih tidak mau memberikan patung itu!"
"Kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat merampas patung ini!"jawab piauwsu yang gagah itu.
"Orang gila ! Kalau begitu mampuslah!" Pedang yang berkilat itu menyambar, Lai Siong Te tak dapat mengelak lagi, maka piauwsu ini dengan mata dipentang lebar-lebar menanti datangnya maut. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan hitam yang panjang bagaikan seekor naga menyambar dan menangkis pedang itu. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar. Sin kiam koai jin berseru kaget dan melompat mundur. Tangkisan tadi membuat pedangnya terpental ke belakang! Lai Siong Te menengok. Ia melihat seorang wanita tua sekali berdiri dengan tongkat panjang di tangan. Tongkat dari kayu biasa yang agak kemerahan warnanya, bengkak bengkok dengan kepala berbentuk seperti naga. Nenek tua ini rambutnya sudah putih seluruhnya, pakaiannya seperti pakaian pertapa, berwarna putih dengan garis leher hitam. Biarpun ia sudah nampak tua, dengan rambut putih dan keriput di mukanya, namun mukanya masih kemerah-merahan dan terutama sekali sepasang matanya tajam bukan main mengeluarkan pengaruh yang menakutkan.
'Siluman wanita dari manakah berani berlaku kurang ajar terhadap Sin-kiam-koai-hiap"* bentak penjahat berkedok itu dan matanya di balik kedok sutera hitam itu bersinar-sinar merah.
'Bocah she Ang, kali ini benar benar kau tersesat jauh. Bukankah suhumu sudah memberi peringatan terakhir " Pergilah dan minta ampun kepada suhumu karena kalau kau melanjutkan kesesatanmu, aku Li Bi Hong tidak akan ragu-ragu untuk mewakili gurumu melenyapkan kau dari permukaan bumi !" kata nenek tua itu dengan suara berpengaruh. Lai Siong Te melihat betapa penjahat itu menjadi terkejut dan suaranya berobah ketika tahu siapa nenek itu terdengar suara,
"Jadi kau orang tua yang disebut Pat jiu Toanio Li Bi Hong" Suhu seringkali menyebut-nyebut namamu sebagai seorang tua yang sangat bijaksana dan pendekar besar, akan tetapi,mengapa sekarang kau hanya merupakan seorang nenek tua yang jail dan suka menyampuri urusan orang lain! Pat jiu Toanio Li Bi Hong, apakah kaukira aku Ang Koan takut kepadamu" Aku mengingini patung yang dibawa oleh Lai Siong Te, apakah hubungannya hal ini dengan kau orang tua!"
Li Bi Hong tersenyum mengejek dan heranlah hati Lai piauwsu ketika melihat betapa nenek itu masih mempunyai gigi penuh dan kuat! "Ang Koan," kata nenek itu, "suhumu sendiri, Lui-kong-jiu Keng Kin Tosu tidak berani bicara demikian kurang ajar terhadap aku yang ia anggap sebagai saudara tua. Kau sebagai murid satu-satunya telah tiga kali diberi peringatan dan banyak menyusahkan hati orang tua itu, akan tetapi kau tidak sadar bahkan makin tersesat! Sudah menjadi kewajibanku untuk memberi hajaran kepadamu, bagaimana kau anggap aku jail" Pula, tentang patung ketahuilah, hai bocah lancang! Patung itu dibawa oleh Lai piauwsu yang setia untuk diserahkan kepada kuil Thian-hok si di kaki gunung Fu niu, dan tahukah kau siapa yang berada di kuil itu" Akulah orangnya yang membangun kuil itu dan aku yang berhak menerima patung itu. Kau mau bicara apa lagi sekarang ?"
Tidak saja Sin kiam Koai jin yang terkejut mendengar keterangan ini, bahkan Lai Siong Te semenjak tadi sudah tertegun. Ia sudah lama mengenaI dan mendengar nama orang-orang yang terkenal sebagai tokoh tokoh persilatan tingkat tinggi seperti Pat jiu Toanio dan Lai-kong jin, sungguhpun ia belum pernah melihat orangnya. Lebih-lebih heran dan terkejutnya bahwa patung itu ternyata harus diserahkan kepada ketua Thian Hok si yang bukan lain adalah Pat Jiu Toanio sendiri!
Akan tetapi Sin kiam Koai jin memiliki keberanian luar biasa. Ia tidak takut kepada Pat jiu Toanio dan biarpun sudah mendengar keterangan tersebut, namun ia masih merasa sayang kalau harus melepaskan patung itu, setelah tadi hampir saja patung itu dapat dirampasnya. Sambil berseru nyaring, tiba tiba dengan cara yang sangat pengecut sekali tanpa memberi peringatan lebih dulu, ia bergerak cepat dan mengirim serangan kilat ke arah nenek tua itu.
Lai piauwsu menjadi terkejut sekali, akan tetapi tidak demikian halnya dengan nenek yang diserang itu. Dengan tenang nenek itu lalu mengangkat tongkat merahnya dan sekali saja ia menggerakan tongkat dengan perlahan, pedang Sin - kiam Koai-Jin telah dapat dibentur kembali. Sebelum AngKoan dapat mengetahuinya, tongkat yang bagaikan naga hidup itu luar biasa cepatnya telah mendorongnya sehingga tepat mengenai dadanya dan membuatnya terhuyung - huyung ke belakang !
"Ang Koan, itu baru peringatan pertama. kau kembalilah ke Heng san dan minta ampun kepada suhumu!"
Akan tetapi tanpa menjawab, Ang Koan yang menjadi makin marah itu lalu menyerang lebih hebat lagi, dengan gerak tipu yang disebut membabat rumput Membunuh Ular! Serangan ini begitu lihainya, karena pedang yang berkilauan itu menyambar-nyambar dan bertubi-tubi membabat ke atas dan ke bawah, mengancam kedua kaki dan pinggang nenek itu.
"Hm, kau mengeluarkan tipu - tipu yang paling sadis untuk membunuhku" Bocah lancang jangan kau mengimpi!" Tiba - tiba tubuh nenek itu berkelebat cepat dan tubuhnya telah melompat ke atas bersandarkan tongkatnya yang tertancap di tanah sehingga pedang berkali kali membacok tongkat dan mengeluarkan suara keras. Akan tetapi sama sekali tongkat itu tidak bergeming ! Bahkan, dari atas nenek itu lalu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah kepala Ang Koan ! Hebat sekali pukulan ini karena angin pukulannya saja membuat pakaian Lai piauwsu yang berdiri jauh menjadi berkibar. Apalagi Ang Koan yang terkena pukulan langsung. Kepalanya terasa disambar petir dan untuk kedua kalinya terhuyung-huyung ke belakang.
"Nah, itu peringatan kedua kali dan yang terakhir!" kata Pat-jiu Toanio. "Kembalilah ke Heng-san atau mati di sini, tinggal kau pilih!"
"Siluman perempuan! Siapa takut mati!" tiba-tiba Sin-kiam koai jin menyerbu lagi dengan pedangnya. Akan tetapi Pai-jiu Toanio yang sudah menurunkan kakinya di atas tanah, memegang tongkat itu pada ujungnya dan mendahului lawannya menusuk ke depan. Tongkat itu jauh lebih panjang dari pada pedang dan digerakkan dengan cepatnya maka sebelum pedang di tangan Ang Koan dapat mengenai nenek itu, lebih dulu ujung tongkat telah menotok dadanya.
"Duk!* suara beradunya ujung tongkat dengan dada ini perlahan saja akan tetapi akibat hebat sekali. Sin kiam Koai- jin Ang Koan terlempar ke belakang sampai satu tombak lebih, pedangnya terlepas dari pegangan, kemudian ia roboh tak berkutik lagi. Ternyata sekali totokan saja nyawanya telah melayang meninggalkan raganya!
Pat jiu Toanio Li Bi Hong menghela napas panjang dan mengomel.
"Terlalu sekali kau, Ang Koan, telah memaksaku melakukan pembunuhan ! Biarlah kau terbebas dari siksa dan derita dunia!"
Nenek ini lalu berpaling kepada Lai Siong Te yang telah menjatuhkan diri berlutut di depannya. "Lai piauwsu kau urus baik-baik jenazah Ang Koan ini. Aku telah mendengar dan menyaksikan kegagahan serta kesetiaanmu. Berikan kepadaku patung itu !"
Lai piauwsu tidak ragu-ragu lagi dan segera mengeluarkan patung kecil yang indah dan berat itu. Terbelalak matanya ketika nenek itu memutar kaki patung, karena segera terbukalah sebuah lubang rahasia di bawah patung dan keluarlah emas besar yang gemilang cahayanya. "Ah, benda macam ini yang membuat manusia-manusia beriman lemah menjadi mata gelap !"
Lai Siong Te benar - benar tidak mengira bahwa patung itu sebenarnya menyembunyikan emas yang demikian banyaknya. Pantas saja amat berat, pikirnya dan pantas saja Sin. kiam Koai jin menghendakinya.
"Lai-piauwsu bukalah kedoknya dan ambil pedangnya itu !" nenek itu memerintah.
Ketika Lai Siong Te membuka kedok sutera yang menutup muka Ang Koan, kembali ia terkejut sekali, wajah penjahat yang tampan itu ternyata telah cacad mengerikan, yaitu hidungnya telah copot dan bolong! Ia bergidik, mengambil pedang dan kembali menghampiri Pat jiu Toanio yang dipandangnya dengan mata mengandung penuh pertanyaan.
"Dulu dia adalah anak yang baik" kata nenek itu yang maklum akan tuntutan pandang mata Lai piauwsu. 'la adalah murid tunggal dari Lui - kong jim (Tangan Dewa Geledek) Keng Kin Tosu di Heng-san. Akan tetapi setelah tamat pelajarannya, ia minggat turun gunung, melakukan segala macam kejahatan yang hebat. Keng Kin Tosu telah tiga kali memberi peringatan dan yang terakhir malah ia memotong hidung murid itu akan tetapi ternyata dia lebih suka mati dari pada menjadi orang baik-baik! Sayang sekali!" Ia memandang pedang yang berkilauan di tangannya.
"Pedang baik! Hui - liong - kiam yang ampuh" katanya pula. "Sayang terjatuh dalam tangan seorang berhati rendah. Lai piauwsu, terimalah pedang ini sebagai tanda terima kasihku kepadamu. Kau seorang gagah dan jujur lagi setia, maka kau berhak menerima pedang ini."
"Akan tetapi, teecu tidak memiliki kepandaian tinggi, apa artinya pedang pusaka sebaik ini berada dalam tangan teecu?" Lai-piauwsu membantah dan merendahkan diri.
"Lai piauwsu, sampai di manakah tinggi rendahnya kepandaian" Sedikit kepandaian ditambah kejujuran dan kebersihan hati jauh lebih tinggi nilainya dari pada banyak ke-pandaian yang terbenam dalam lumpur kesombongan dan kejahatan. Terimalah Hui liong-kiam ini dan apabila kelak kau anggap tidak perlu lagi kau memegangnya, boleh kau sampaikan atau berikan kepada seorang gagah yang kau pandang patut memegangnya." Setelah berkata demikian, tubuh nenek tua itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata Lai Siong Te. Piauwsu ini menghela napas dengan kagum, lalu mengubur jenazah Ang Koan, kemudian membawa pedang itu kembali ke rumahnya.
"Demikianlah, Sim taihiap, aku selalu merasa tidak puas bahwa pedang yang demikian baiknya berada di dalam tanganku yang kurang pandai menggunakannya. Apalagi semenjak kecil aku lebih biasa memainkan golok dari pada pedang. Hari ini secara kebetulan aku dapat bertemu dengan kau yang muda, gagah dan bijaksana. Oleh karena itu, pedang ini kuserahkan kepadamu dengan ikhlas dan tentu takkan mendapat teguran dari Pat - jiu Toanio Li Bi Hong karena tindakanku ini sudah cukup tepat.
Akhirnya Tiong Han tak dapat menolak pemberian pedang Hui liong kiam itu, apalagi setelah ia mendengar penuturan tentang asal-usul pedang itu. Dari suhunya ia pernah mendengar nama-nama seperti Pat . jiu Toanio Li Bi Hong juga Lui kong jiu Keng Kin Tosu di Heng - san adalah sahabat baik suhunya, ia menghaturkan terima kasihnya dan sampai dua hari ia tinggal di rumah Lai piauwsu.
Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanannya mencari adiknya untuk minta kembali pedang pusaka Ang coa-kiam. Hatinya menjadi lega setelah memiliki pedang Hui liong-kiam oleh karena ia maklum bahwa tanpa pedang pusaka di tangannya, sukarlah baginya untuk mengimbangi kelihaian Ang-coa-kiam pedang ular merah itu!
Sekarang marilah kita menengok keadaan Tiong Kiat, adik kembar dari Tiong Han, pemuda berilmu tinggi yang telah tersesat ke jalan kejahatan itu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan terjadi perpecahan dalam hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa, karena gadis ini merasa cemburu. Di dalam pertempuran, Tiong Kiat telah berhasil melukainya dan kemudian pemuda ini melarikan diri dari Kui Hwa.
la berlari dengan cepat. Untuk beberapa lama hatinya merasa kecewa dan juga berduka harus berpisah dari Kui Hwa. Semenjak turun gunung, ia melakukan perjalanan berdua dengan sumoinya atau kecintaannya itu dan selalu bergembira. Akan tetapi kini ia harus melakukan perantauan seorang diri.
Namun, beberapa hari kemudian, timbul lagi kegembiraannya, bahkan ia kini merasa seperti seekor burung yang terbang bebas terlepas dari ikatan. Kalau dulu dengan adanya Kui Hwa disampingnya, ia selalu masih harus membatasi diri, takut-takut dan mengalah terhadap kekasihnya yang amat cemburu. Akan tetapi sekarang tanpa ada seorangpun yang akan melarangnya, nafsu jahat yang menguasai diri pemuda sesat ini makin meluap dan membuat lupa daratan. Ia boleh melakukan apa saja tanpa ada orang yang akan menghalanginya !
Tak lama kemudian, di dunia kaum hek-to (jalan gelap atau penjahat) muncullah seorang penjahat muda yang amat menggemparkan dengan perbuatan - perbuatannya yang rendah dan ganas. Penjahat muda ini selalu memperkenalkan perbuatannya dengan lukisan sebuah pedang, bukan lain pedang Ang coa kiam, karena penjahat ini memang Sim Tiong Kiat adanya. Kalangan kang ouw menjadi gempar pula setelah beberapa orang gaga yang hendak menangkapnya tidak saja gagal, bahkan menderita luka oleh pedang Ang coa-kiam.
Perbuatan apakah yang dilakukan oleh Tiong Kiat " Bukan lain adalah pengumbaran nafsu jahatnya, menjadi penjahat jai-hwa-cat (pemetik bunga) pengganggu anak bini orang dan apabila ia sedang membutuhkan uang, ia selalu mengambilnya dari peti uang hartawan hartawan. Tiap kali ia mengganggu rumah orang, selalu ia membuat gambar di atas tembok. Gambar ini dibuatnya dengan mengguratkan pedangnya dalam tembok, melukis sebatang pedang lalu menambahkan tiga buah huruf "Ang Coa Kiam" di bawah pedang itu ! Di dalam kesombongan dan kesesatannya Tiong Kiat telah menggila dan tidak ragu-ragu ataupun takut-takut lagi untuk mempergunakan nama pedang pusaka yang namanya menjadi benda keramat dari Kim.liong-pai itu!
Biarpun Tiong Kiat telah bertemu dengan banyak wanita cantik namun diam-diam di sudut hatinya ia tidak dapat melupakan gadis yang dulu dijumpainya terluka di dalam hutan. Gadis yang telah ditolongnya akan tetapi yang kemudian menjadi korban nafsu jahatnya pula. la tidak dapat melupakan EngEng gadis yang belum diketahui siapa namanya dan dari mana datangnya itu. Entah bagaimana, ia selalu terbayang dan terkenang kepada gadis itu dengan hati berkasihan dan juga rindu. Baginya, tidak ada seorangpun di antara para wanita itu yang memiliki daya penarik lebih tebal dari pada gadis di hutan rimba itu. Di dalam perantauannya, ia mengharap-harapkan untuk bertemu dengan gadis itu. Kalau ia bisa menjadi istriku dan selama hidup berada di sampingku, aku takkan perdulikan lagi lain perempuan, pikir Tiong Kiat dalam rindunya. Tanpa disadarinya pemuda ini telah jatuh hati dan mencintai Eng Eng, gadis yang telah dipatahkan hatinya, yang telah dihancurkan hidupnya, gadis yang kini sedang merantau, mencari-cari untuk membalas dendam. Ia tidak tahu betapa setiap kali duduk melamun, Eng Eng menggigit-gigit bibirnya dan bersumpah di dalam hatinya untuk menghancurkan kepala laki laki yang telah merusak hidupnya itu! Kalau saja Tiong Kiat tahu siapa Eng Eng dan apa yang kini terkandung dalam hati gadis ini, mungkin ia akan merasa takut dan ngeri!
Pada suatu hari, Tiong Kiat tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai sungai Yang-ce di propinsi Hopak. Ketika ia memasuki kota tak seorangpun akan mengira bahwa dia adalah Ang Coa Kiam, nama julukan penjahat muda yang amat ditakuti orang itu. Tiada orang akan mengira bahwa pemuda yang tampan dan lemah lembut seperti putera bangsawan ini adalah penjahat yang suka mengganggu anak bini orang dan suka melakukan pencurian besar-besaran" Pakaiannya berwarna biru dan terbuat dari sutera mahal dan halus. Bajunya dihias dengan pinggiran berwarna kuning emas dengan sulaman yang indah sedangkan rambut di kepalanya yang hitam terbungkus dengan kain kepala yang berwarna kuning dan bersih sekali. Pedang Ang-coa kiam tersembunyi di bawah bajunya, hanya tampak ujungnya sedikit menonjol di bawah baju. la cakap sekali dalam pakaian yang mahal ini.
Dengan muka gembira dan mata berseri-seri, Tiong Kiat berjalan di sepanjang jalan raya dalam kota I-kiang. Ia sedang gembira, kantongnya penuh uang. Ia tidak butuh uang dan tidak perlu mencuri di kota ini. Ia ingin beristirahat dan menghibur diri, maka begitu masuk ke kota, ia lalu menyewa kamar dalam hotel terbesar di kota itu, kemudian bertanya kepada pelayan hotel dimana terdapat tempat pelesiran di kota itu.
Pelayan itu memandangnya sambil tertawa gembira. "Kongcu agaknya baru datang dan belum pernah datang ke kota ini" Kebetulan sekali kalau begitu, karena kedatangan kongcu di Kota ini tidak rugi ! Di sini terdapat tempat pelesiran yang amat indah, kongcu. Dan keindahan tempat itu sudah terkenal sampai ke kota raja !"
*Eh, kau bicara dalam rahasia, lopek," kata Tiong Kiat kepada pelayan setengah tua itu. "Katakan sajalah, di mana adanya tempat itu dan apakah keindahannya?"
"Di sebelah barat dalam kota ini, kongcu. Di bagian sungai yang membelok. Di situ dijadikan tempat pelesiran yang indah sekali dan banyak orang dari luar kota datang sengaja untuk bermain perahu sambil menikmati arak I-Kiang dan mendengarkan nyanyian bidadari bidadari I-Kiang."
"Apa katamu " Bidadari - bidadari I-Kiang, siapakah mereka itu?"
Kembali senyum gembira bermain di bibir pelayan itu.
"Aah, benar-benar kongcu telah menyia-nyiakan hidup dan masa mudamu ! Siapa orangnya yang belum pernah mendengar bidadari-bidadari I-Kiang" Kalau belum pernah mendengar suara nyanyian mereka, sedikitnya tentu telah mendengar akan nama mereka."
Pelayan itu lalu menuturkan dengan gerakan kaki tangan, ia merasa girang sekali dapat menuturkan semua itu kepada seorang tamu muda yang nampaknya tampan dan kaya raya karena ia mengharapkan hadiah besar. Menurut penuturan pelayan ini, ternyata bahwa di kota itu memang terdapat tempat pelesiran sebagaimana yang disebutkan tadi.
Air sungai Yang-ce masuk ke dalam kota itu dengan aliran perlahan karena banyak tikungan. Dan karena sungai itu amat lebarnya, di sepanjang pantainya dibangunlah oleh orang-orang kaya tempat-tempat peristirahatan yang indah. Banyak orang berpelesir, di atas air naik perahu - perahu yang banyak disewakan orang di tempat itu. Air yang tenang membuat tempat itu merupakan tempat sunyi untuk bersenang diri memancing ikan.
Disamping keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini, yang merupakan daya penarik terbesar agaknya adalah rumah kapal milik Cia-ma, seorang janda tua yang kaya. Rumah ini didirikan di atas air, yakni di pinggir sungai itu dan bentuknya seperti kapal besar. Kalau orang berada di tingkat atas dan memandang ke arah air sungai Yang-ce yang mengalir perlahan, orang akan merasa seakan-akan sedang berada di atas perahu besar.
Keindahan rumah inipun sesungguhnya tidak akan mendatangkan banyak pelancong dari luar kota, akan tetapi terutama sekali adalah "bidadari-bidadari" yang menjadi anak angkat Cia ma ! Sebetulnya semenjak ditinggal mati oleh suaminya dengan peninggalan beberapa ratus tail perak, janda tua ini tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak mempunyai anak dan akhirnya ia lalu bekerja sebagai penghibur para pelancong. Dibelinya budak-budak belian, yakni wanita wanita muda yang cantik, diajarnya gadis gadis itu menari dan bernyanyi atau mainkan alat musik, kemudian ia dapat menarik hati dan isi saku para pelancong yang datang di tempat itu.
Sebentar saja Cia ma telah dapat mengumpulkan banyak uang, akhirnya ia dapat mem-bangun sebuah rumah kapal di tepi sungai Yang ce. Telah banyak gadis gadis cantik datang dan pergi dari rumahnya. Datang sebagai budak belian dan kalau kebetulan gadis itu bernasib baik, maka akan datang seorang hartawan yang suka kepadanya dan menebusnya dengan bayaran tinggi untuk dijadikan bini muda.
Pada waktu itu, di antara anak-anak angkat Cia ma, yang paling terkenal adalah tiga orang gadis yang dibelinya dari selatan. Gadis ini amat cantik, pandai menulis dan bersisir, pandai menari, bernyanyi dan menabuh musik. Oleh karena itu, tidak mudahlah bagi seorang laki laki untuk dapat menghibur hati mendekati tiga bunga peliharaan Cia ma ini. Cia ma tidak sembarangan mengeluarkan tiga bunga peliharaannya ini kalau tidak dengan bayaran yang amat tinggi. Dipasangnya tarip-tarip tertentu untuk tiga orang gadis ini, terutama sekali gadis pertama yang bernama Li Lan. Untuk dapat melihat waiah cantik Li Lan dan melihatnya menari di depan mata" Keluarkan uang lima belas tail perak ! Mau mengajak Li Lan duduk di satu meja dan menemani minum arak" Keluarkan dua puluh lima tail ! Menyuruh gadis ini membunyikan kim sambil bernyanyi di samping anda " Keluarkan lima puluh tail ! Dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, siapakah yang kuat membayar uang sebanyak itu untuk bersenang-senang dengan Li Lan " Hanya orang-orang yang betul - betul kaya. Dan si kaya inipun belum tentu berani, karena Li Lan telah disanjung-sanjung dan menjadi pujaan banyak pejabat dan bangsawan, Seringkali terjadi perebutan perhatian dari Li Lan oleh dua orang hartawan sehingga timbul permusuhan yang mendalam antara mereka. Dan orang-orang tolol ini tidak tahu bahwa di belakang mereka, Li Lan yang diperebutkan itu mentertawakan mereka.
"Akan tetapi, kongcu, tidak sembarang orang berani mengunjungi rumah kapal itu kecuali mereka yang mempunyai banyak emas dan perak." Pelayan hotel itu melanjutkan penuturannya.
Selama ia bercerita, Tiong Kiat mendengarkan dengan hati tertarik.
"Mengapa begitu, lopek ?" tanyanya. "Bukankah tempat itu menjadi tempat hiburan umum."
'Di sana Cia - ma merupakan orang yang amat berpengaruh. Selain dia mempunyai sahabat sahabat di antara pembesar, juga dia mempergunakan tenaga tiga orang jagoan yang bertugas menjaga keamanan. Banyak sudah laki-Iaki yang berani menggoda bidadari-bidadari itu padahal kantongnya kosong, telah dihajar oleh jagoan-jagoan di rumah kapal dan dilemparkan keluar dari pintu !*
Makin tertarik hati pemuda itu mendengar cerita ini. Sebuah rumah pelesiran yang aneh pikirnya. Pada sore harinya ia lalu keluar dari hotel dan menuju ke tempat pelesiran di pinggir pantai sungai Yang ce itu.
Benar saja di situ ramai sekali, penuh dengan orang-orang yang hilir mudik, berpelesir dengan perahu dan ada pula yang hanya duduk di pinggir pantai. Memang hari itu begitu ramainya, karena malam nanti bulan akan keluar sepenuhnya. Betul-betul tempat wisata. Segala macam terdapat di situ dijual orang. Menara-menara yang mungil bangunan-bangunan yang indah, bahkan terdapat pula sebuah kelenteng kecil di ujung kiri! Dan yang paling menonjol serta menarik perhatian, adalah sebuah rumah berbentuk kapal. Itulah rumah kapal dari Cia ma yang diceritakan oleh pelayan tadi !
Tiong Kiat berjalan mendekati rumah kapal itu. Benar saja di depan pintu nampak sebuah meja besar di mana duduk berkeliling tujuh orang laki-laki kelihatan galak dan kuat. la tidak tahu yang manakah tiga orang jagoan yang menjadi kepala penjaga. Ketika ia sedang berjalan di dekat rumah kapal itu, terdengar suara tertawa merdu. la cepat menengok ke atas dan di tingkat atas nampak duduk beberapa orang gadis cantik dengan pakaian mewah sedang tertawa-tawa dan bercakap cakap. Untuk sesaat Tiong Kiat memandang ke arah mereka, akan tetapi hatinya kecewa ! Penuturan pelayan tadi terlampau dilebih-lebihkan. Lima orang gadis yang duduk di atas itu biarpun tak dapat disangkal berwajah cantik, namun tidak cukup menarik bagi Tiong Kiat. Muka mereka ditutupi bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi bagaikan anak-anak wayang yang hendak tampiI ke depan panggung! Lenyaplah seketika keinginan hatinya tadi yang hendak mengunjungi rumah kapal itu. Ia menjadi sebal dan dibelokkan kakinya menuju ke tempat perahu - perahu yang disewakan. (Selanjutnya tidak bisa terbaca)
Ia lalu menyewa sebuah perahu dan mendayung perahunya dengan gembira, akan tetapi kegembiraannya tidak berlangsung lama. Biarpun tempat itu makin ramai dikunjungi orang, namun Tiong Kiat menjadi bosan. Diantara sekian banyak wanita yang berada disitu tak seorangpun yang terlihat cantik dalam pandangan matanya dan membuat ia tidak tertarik sama sekali. Sial baginya, ternyata dalam kota ini tidak ada tempat yang indah. Dengan kecewa ia lalu mendayung perahunya ke pinggir dengan kesalnya hendak kembali ke hotel dan tidur agar besok dapat melanjutkan perjalanannya pagi-pagi.
Akan tetapi tiba - tiba gerakan tangannya yang mendayung perahu menjadi tertahan. Ia mendengar bunyi musik mengiringi suara nyanyian yang luar biasa merdunya. Ada tiga suara wanita yang bernyanyi bersama, akan tetapi biarpun tiga suara itu sama merdunya, tetap saja ada satu suara yang menggerakkan hati, lekukan suara dan gayanya berbeda dengan yang lain. Tak terasa lagi Tiong Kiat mendekatkan perahunya ke arah rumah kapal, karena dari situlah keluarnya suara nyanyian itu.
Sambil duduk di atas perahunya yang sudah menempel pada tepi sungai, Tiong Kiat duduk termenung mendengarkan nyanyian itu. Alangkah merdunya, alangkah halusnya napas yang terdengar menyelingi suara nyanyian. Tentu cantik sekali orang yang mempunyai suara merdu ini, pikirnya. Namun tetap saja ia masih merasa ragu-ragu untuk masuk ke rumah itu, takut kalau-kalau ia akan kecewa. Bagaimana kalau wajah penyanyi itu buruk dan tidak menarik seperti gadis-gadis yang tadi dilihatnya " Siapa tahu kalau-kalau yang bernyanyi ini seorang diantara mereka itu"
Suara nyanyian berhenti, akan tetapi musiknya masih terus berbunyi. Tiba-tiba Tiong Kiai melihat betapa semua mata memandang ke atas rumah kapal dan terdengar pujian penuh kekaguman, ia pun menengok dan apa yang dilihatnya membuat hatinya berdebar-debar tidak karuan. Ia melihat tiga orang gadis menjenguk dari jendela kamar rumah kapal dan melambai-lambaikan tangan kepada orang orang di bawah yang mengagumi mereka. Mereka ini nampaknya seperti puteri puteri kerajaan yang melambai kepada rakyat yang menghormat mereka, padahal mereka ini bukan lain adalah bunga-bunga hidup dari Cia ma yang mendapat sebutan tiga bidadari dari I-Kiang! Biarpun tiga orang gadis ini benar-benar cantik jelita dan tidak penuh bedak mukanya seperti lima orang gadis lain yang dilihatnya tadi, namun Tiong Kiat tak akan menjadi terpesona kalau saja ia tidak melihat seorang di antara mereka yakni yang berdiri di tengah. Tak salah lagi, pikir Tiong Kiat, itulah gadis yang dulu dijumpainya di dalam rimba raya! Itulah gadis yang pernah ditolongnya, pernah diganggunya dan juga selama ini tak pernah Ienyap dari bayangan ingatannya!
Memang sesungguhnya gadis itu yang bukan lain adalah Li Lan, memiliki wajah yang banyak persamaannya dengan wajah Suma Eng atau Eng Eng! Hanya bedanya adalah sinar mata dan tarikan bibir mereka. Kalau sinar mata Eng Eng mengandung kegagahan dan membayangkan kekerasan hati, adalah sinar mata Li Lan mengerling-ngerling dengan genit dan memikat hati. Kalau bibir Eng Eng selalu nampak membayangkan keangkuhan hatinya, hanya indah kalau sedang tersenyum atau tertawa saja, adalah bibir Li Lan tak pernah ditinggalkan senyum menantang!
Bukan main girangnya hati Tiong Kiat ketika ia melihat gadis ini. Dengan cepat ia lalu meninggalkan perahunya, membayar tukang perahu dengan royal sekali, kemudian setelah membetulkan letak pakaiannya yang mewah dengan tindakan kaki lebar ia menghampiri rumah kapal itu.
Penjaga-penjaga pintu yang tadi duduk di situ kini telah ramai bermain maciok dan permainan ini diselingi oleh suara tertawa mereka yang riuh gembira. Dengan tindakan tenang tiong Kiat naik anak tangga dan memperhatikan mereka, hendak terus memasuki pintu. Akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka melompat dan berdiri di depan pintu menghadangnya.
"Perlahan dulu, kongcu," kata-katanya cukup sopan karena penjaga ini dapat melihat pakaian orang yang mewah. "Agaknya kongcu orang baru dan sudah menjadi peraturan kami bahwa setiap pendatang baru harus memberitahukan nama, kedudukan dan memperlihatkan isi sakunya!"
Tiong Kiat maklum bahwa untuk menundukkan manusia-manusia kasar ini tidak cukup dengan memperlihatkan uang belaka. Tanpa memperlihatkan kepandaiannya, mereka tentu akan berusaha memerasnya dan akan berani pula menghinanya. la tidak ingin kegembiraannya terganggu oleh pertentangan. Sambil tersenyum ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan tujuh potong uang perak yang kecil akan tetapi cukup berharga dan berkata,
"Jangan khawatir, aku bukan seorang pelit, Lihat !" Sambil berkata demikian tangan yang menggenggam tujuh potong uang itu bergerak ke arah meja. Bagaikan tujuh butir peluru perak potongan-potongan uang itu meluncur cepat dan menancap di atas meja yang keras !
Tentu saja tujuh orang penjaga itu menjadi tertegun dan untuk beberapa lama mereka menatap wajah pemuda yang tampan, kaya dan gagah ini. Akan tetapi kepala penjaga yang berkumis jarang masih belum puas. Dia adalah seorang jagoan yang ditakuti orang, biarpun tamu yang memiliki kedudukan tinggi selalu akan bersikap menghormat kepadanya dan bicara dengan manis budi. Kini melihat si pemuda asing ini datang-datang memperlihatkan kepandaian dan tenaganya, tentu saja hal ini tidak menyenangkan hatinya, sungguhpun ia tidak dapat menjadi marah karena pemuda ini telah memperlihatkan keroyalannya. Orang ini she Ma dan disebut Ma kauwsu (guru silat she Ma) karena memang dia dulunya bekerja sebagai seorang guru silat, di samping dua orang sutenya yang disebut Cin - kauwsu dan Kwee kauwsu. Tiga orang guru silat inilah yang menjadi tiga jagoan, kepala dari penjaga rumah kapal.
Ma kauwsu tersenyum dan menghampiri meja. la menggerakkan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dan sekali ia menarik uang yang menancap di atas meja itu, tujuh potong perak itu telah berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lalu menghampiri Tiong Kiat dan berkata. "Kongcu, pertunjukanmu bagus sekali, tetapi dihadapanku pertunjukan itu tak berarti apa-apa dan tidak cukup untuk dijadikan modal menakut - nakuti kami! Kami dapat menerima hadiahmu yang royal, akan tetapi tidak bisa menerima sikap jagoan dari siapapun juga. Lihat, apakah artinya potongan-potongan perak yang empuk ini?" Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga dan meremas tujuh potong perak di tangannya itu dan ketika ia membuka kembali tangannya, ternyata bahwa tujuh potong perak itu telah menjadi satu merupakan segumpal perak yang tidak karuan bentuknya! Tiong Kiat tersenyum mengejek, panas juga hatinya. Akan tetapi tetap saja ia tidak mau membikin ribut karena ia ingin sekali bertemu dan bergembira dengan gadis yang disangka Eng Eng itu.
"Bagus sekali, sobat," katanya "Tenagamu kuat seperti tenaga kerbau. Akan tetapi yang kau remas adalah benda mati, kukira kalau dipergunakan untuk meremas benda hidup tidak ada gunanya sama sekali !"
"Begitu pendapatmu " Benda hidup apa kiranya?" tanya Ma kauwsu dengan hati geli karena mengira bahwa pemuda yang hanya mengerti sedikit ilmu silat ini benar benar buta tidak dapat melihat betapa ia memiliki tenaga Thlat se- ciang ( Bubuk Pasir Besi ) !
"Benda hidup seperti...... tanganku ini misalnya I" jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangan kanannya yang berkulit halus dan putih seperti tangan wanita.
Terdengar suara ketawa riuh rendah karena tujuh orang penjaga itu semua tidak tahan untuk tidak tertawa geli.
"Kongcu jangan kau main-main!* kata seorang penjaga. "Tangan Ma twako itu dapat memukul pecah kepala harimau dengan sekali pukul seperti yang dilakukan oleh Bu Siong (pendekar ternama dahulu kala) dapat meremas besi sampai hancur dan tadipun dengan sekali remas saja tujuh potong uang perak sampai menjadi segumpal apa lagi tanganmu yang halus " Ah, hati-hati kongcu, kalau tanganmu rusak bukankah para bidadari di atas akan menjadi kecewa dan marah kepada kami !"
"Betul kata kawanku itu, kongcu. Aku tidak ingin menyombong, akan tetapi janganlah menantangku untuk meremas tanganmu yang halus ini !" kata Ma-kauwsu, karena sesungguhnya iapun tidak suka mencelakakan langganan baru yang royal dan nampaknya kaya ini.
Akan tetapi sudah tetap dalam hati Tiong Kiat bahwa orang ini harus ditundukkannya. Maka sambil tersenyum la lalu mengeluarkan lima potong uang perak lagi dari sakunya.
"Ma-twako," katanya kepada Ma kauwsu sambil memandang wajah guru silat tersebut, "Mari kita bertaruh sedikit. Biarkan kau remas sekuatnya, kalau sampai aku kesakitan, kau boleh ambil uang perak ini. Namun bila tidak, janganlah kalian membantah apa yang kuperintahkan!"
Ma kauwsu memandang kepada kawan-kawannya dan mereka menganggap bahwa pemuda yang tampan ini tentu agak miring otaknya, akan tetapi ia tetap tidak ambil pedului dan berpikir untuk memberi pelajaran kepada kongcu ini. Lumayan, lima potong perak bukan sedikit pikirnya. Dipegang sedikit saja pemuda ini tentu akan berkaok-kaok kesakitan.
"Baiklah, akan tetapi kalau sampai kesakitan jangan menyalahkan kepadaku."
"Tentu saja tidak " jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangannya. "Nah, kauremaslah yang keras!'
Ma kauwsu lalu menjabat tangan pemuda ini dan mulai memencet dengan sedikit tenaga.
"Jangan ragu-ragu, Ma-twako, yang keraslah!" kata Tiong Kiat ketika merasa betapa pencetan itu tidak bertenaga sama sekali.
Ma kauwsu menjadi penasaran dan kini ia mulai mengerahkan tenaga Thiat se-ciang, akan tetapi tetap saja pemuda itu tidak kelihatan menderita sakit, bahkan kembali menyuruh ia mempergunakan tenaganya ! la lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan memeras sekuatnya dan tiba-tiba ia terkejut sekali. Tangan yang halus itu tiba-tiba menjadi licin dan lemas sekali seperti kapas ! Terkejutlah hatinya karena ia maklum bahwa pemuda ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki Iweekang yang tinggi. Ini tentulah ilmu jui-kut kang (ilmu melepaskan tulang dan melemaskan tubuh) yang lihai. Cepat ia mengendorkan remasannya karena takut kalau-kalau tenaga Thiat se ciang akan terbentur kembali dan melukai tangannya sendiri. Akan tetapi terlambat ! Tiba-tiba Tiong Kiat mengeluarkan serangan dengan tenaga Iweekeng dan sekarang dialah yang meremas tangan guru silat yang kasar dan besar itu.
Terdengar Ma kauwsu menjerit kesakitan seperti kerbau disembelih. Tangan kanannya terasa panas, sakit dan kaku. Ketika Tiong Kiat melepaskan tangannya, tangan Ma kauwsu menjadi merah dan bengkak !
"Masih belum mengenal orang?" Tiong Kiat membentak dan kini ia berdiri bertolak pinggang dengan sikap yang gagah sekali.
Ma kauwsu dan keenam orang kawan-kawannya berdiri terbelalak saking heran dan terkejutnya. Terutama sekali Ma kauwsu, Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu menjadi terheran-heran. Melihat betapa mereka masih terheran-heran dan agaknya menduga-duga siapa dia, timbul kesombongan Tiong Kiat. Dicabutnya pedangnya dan berkatalah dia,
"Masih belum juga mengenal pedang ini" Ataukah harus kalian rasakan dulu ketajamannya?"
Melihat sinar merah dan bentuk pedang itu pucatlah muka ketiga orang kepala penjaga ini "Ang coa kiam......." bisik Ma kauwsu dan serta merta dia dan kedua orang adiknya menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Kiat ! Empat orang anak buah mereka juga menjadi terkejut dan cepat berlutut.
"Maafkan kami yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata taihiap, ampunkaan kekurangajaran kami kepada taihiap karena kami tidak mengenal taihiap."
"Sudah, tak perlu banyak peradatan ini." kata Tiong Kiat sambil menyarungkan pedangnya kembali. "Ma - twako, kau boleh ambil uang itu untuk membeli obat tanganmu dan ingat kalau aku berada di sini. jaga jangan memperbolehkan orang lain masuk. Mengerti ?"
"Baik, taihiap, baik!" jawab tujuh orang penjaga yang sudah ditundukkan itu.
Pada saat itu pintu terbuka dari dalam dan seorang wanita tua yang pakaiannya masih mewah sekali keluar. Nenek ini memandang kepada Tiong Kiat dengan penuh perhatian dan keningnya berkerut ketika ia melihat betapa para penjaganya berdiri di hadapan Tiong Kiat dengan kepala tunduk dan sikap menghormat sekali.
"Siapakah kongcu yang tampan ini?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Cia - ma sendiri.
"Kongcu ini adalah Ang........"
Akan tetapi kata-kata Ma kauwsu ini diputuskan oleh jawaban Tiong Kiat yang cepat mengerling tajam kepadanya. Pemuda ini menjura kepada Cia ma dan berkata.
"Aku adalah seorang pelancong bernama Tiong Kiat, she Sim. Tadi ketika aku berperahu, aku mendengar suara nyaring yang amat merdu dan kemudian melihat tiga orang bidadari ada diatas. Hatiku tergoncang dan ingin sekali aku belajar kenal dengan mereka, atau lebih tepat lagi, dengan yang berbaju hijau."
Wanita itu tersenyum. "Ahh, kongcu maksudkan Li Lan" Masuklah, Sim kongcu. Kebetulan sekali belum ada tamu dan tentu Li Lan anakku akan suka berkenalan dengan kongcu yang tampan !"
Mereda berdua masuk ke dalam dan pintu ditutup lagi.
"Kongcu ingin bertemu dengan Li Lan, bunga cantik di daerah Ini " Ah, kongcu beruntung sekali mendapat kesempatan ini, karena biarpun kongcu akan menjelajah di seluruh Propinsi Hopak, takkan mungkin kongcu bertemu dengan gadis secantik Li Lan! Akan tetapi, apakah yang kongcu kehendaki " Melihat dia menari " Mendengarkan dia bernyanyi" Ataukah kongcu ingin minum arak bersama dia sambil mendengarkan dia mainkan kim " Yang pertama dapat dilaksanakan dengan pembayaran lima belas tail, yang kedua dua puluh lima tail dan yang ketiga lima puluh tail. Yang mana kongcu kehendaki ?"
Sambi tersenyum Tiong Kiat merogoh saku bajunya sebelah dalam. Ia mengeluarkan uang dan menaruh uang itu di atas meja, di depan Cia ma. Nenek itu membelalakkan matanya dan tiada habisnya ia menatap tumpukan uang di atas meja itu. Bukan lima belas tali perak, atau lima puluh tail perak, akan tetapi lima potong uang emas yang harganya lebih dari tiga ratus tail perak yang bertumpuk di atas meja, berkilauan cahayanya membuat silau pandangan mata nenek yang mata duitan ini.
"Ambillah uang itu, Cia ma. Akan tetapi dengar keinginanku. Aku ingin semua bidadari yang berada di dalam rumah kapal ini menghiburku dengan tari-tarian dan nyanyian ! Dan Li Lan menemaniku minum arak dan berada di sini. Hanya aku seorang yang mendapat hiburan, tidak boleh ada orang lain. Mengerti "*
Nenek ini mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam yang makan padi. "Baik. baik, kongcu. Malam ini hanya kongcu seorang yang akan mendapat hiburan di sini. Tiada orang lain!" Nenek itu lalu berlari-lari ke dalam setelah menyaur uang itu dari meja. Terdengar ia berteriak - teriak memanggil semua anaknya dan sebentar saja ruangan itu penuh dengan gadis - gadis yang jumlahnya semua ada empat belas orang! Akan tetapi Tiong Kiat tidak memperdulikan mereka semua, karena pandangan matanya hanya tertuju kepada seorang, yakni gadis berbaju hijau, Li Lan yang mirip sekali dengan Eng Eng!
Li Lan telah diberi tahu oleh Cia-ma betapa royal dan kayanya pemuda itu dan ketika ia menyaksikan dengan mata bintangnya betapa tampan dan gagah pemuda yang hendak berkenalan dengannya, senyumnya melebar dan sinar matanya gembira.
"Selamat datang, kongcu. Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan besar bagiku telah mendapat perhatian kongcu yang budiman." Suara ini terdengar merdu bagaikan musik yang-kim dan pada saat Tiong Kiat baru sadar bahwa gadis ini bukan gadis yang dulu ditolongnya di dalam rimba. Akan tetapi ia menjadi girang juga, karena Li Lan memiliki wajah serupa dengan gadis yang ditolongnya itu, bahkan tidak kalah cantiknya dan malah jauh lebih manis dan menarik.
Tanpa malu-malu lagi karena memang sudah biasa, Tiong Kiat melangkah maju dan memegang tangan Li Lan yang halus. Tercium olehnya bau harum semerbak dari rambut gadis itu yang membuat hatinya menjadi makin mabok.
Cia - ma sibuk memberi perintah agar hidangan yang lezat dikeluarkan, arak yang paling baik berikut daging yang paling empuk. Kemudian para gadis itu lalu mengambil alat musik dan sebentar saja ruangan itu berobah menjadi tempat pesta yang meriah. Ada yang menari, bernyanyi dan Tiong Kiat makan-minum ditemani oleh Li Lan yang makin lama makin menarik hatinya.
Demikianlah, pemuda yang tersesat ini dilayani seperti seorang raja muda di tempat itu. Belum pernah ada tamu yang demikian dihormati seperti Tiong Kiat dan hal ini tidak aneh, Cia-ma puas hatinya karena mendapatkan uang sekian banyaknya, adapun gadis gadis itu gembira sekali dapat melayani seorang pemuda yang tampan dan gagah, berbeda dengan para pembesar, tua - tua bangka yang sesungguhnya menyebalkan hati mereka ! Para penjaga, Ma kauwsu dan kawannya, patuh sekali terhadap perintah Tiong Kiat. Mereka tidak memperkenankan siapa saja memasuki rumah kapal itu, biarpun yang hendak masuk itu hartawan atau pembesar yang sudah menjadi langganan tetap.
"Menyesal sekali," kata Ma kauwsu terhadap mereka. "malam hari ini tidak menerima tamu, karena tempat ini telah diborong oleh seorang pelancong."
Biarpun hati mereka kecewa namun mereka tidak berani membantah dan pulanglah mereka dengan hati mengkal. Siapakah orangnya yang begitu kurang ajar berani memborong tempat itu "
Akhirnya bukan mereka saja yang mendongkol dan gelisah. Juga Cia ma menjadi sibuk sekali pikirannya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lama sekali tidak mau keluar lagi dari rumah kapal ! Sudah tiga malam Tiong Kiat berada di tempat itu, dan pemuda ini masih saja belum mempunyai keinginan meninggalkan Li Lan ! Akan tetapi bagaimana Cia-ma berani mengusirnya " Pemuda itu royal sekali, tiap hari mengeluarkan uang emas dan lebih-lebih lagi gelisahnya hati Cia - ma ketika mendengar dari para penjaganya bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang - coa - kiam yang telah tersohor namanya !
Sebaliknya, Li Lan dan kawan - kawannya sama sekali tidak merasa kecewa. Mereka bahkan senang sekali melayani pemuda yang selain tampan dan gagah, juga royal sekali membagi-bagi hadiah itu. Li Lan nampaknya suka sekali dan tak dapat berpisah dari Tiong Kiat, demikian pula pemuda itu telah tergila-gila kepada Li Lan. Bukan karena kecantikan Li Lan atau pandainya mengambil hati, akan tetapi terutama sekali karena wajah Li Lan hampir sama dengan wajah Eng Eng, gadis yang dulu ditolongnya dan yang diam-diam dicintainya itu.
Betapapun juga akhirnya persediaan uang di dalam saku baju Tiong Kiat menjadi habis.
"Cia Ma," katanya. "aku akan pergi sebentar mengambil buntalanku yang di hotel dan sebentar lagi aku akan kembali. Jangan perbolehkan lain orang masuk kesini," katanya.
Malam itu ia keluar bukan hanya untuk mengambil pakaiannya di hotel, akan tetapi juga untuk mengambil banyak uang emas dari peti uang seorang hartawan !
Sementara itu, sebelum pemuda itu kembali, Cia-ma lalu mengadakan perundingan dengan Li Lan dan kawan-kawannya.
"Celaka!" kata nenek ini dengan wajah gelisah. "Kalau Sim kongcu terus-menerus memborong tempat ini, kita akan celaka."
"Mengapa begitu, Cia-ma?" bantah Li Lan."Bukankah Sim kongcu amat royal dan memberi hadiah kepada kita" Kita tidak boleh membantah kehendaknya, lagi pula, apa yang dapat kita lakukan terhadap seorang gagah seperti Ang coa-kiam?"
"Anak bodoh !" nenek itu mencelanya. "Betapapun juga. dia akhirnya akan bosan dan pergi. Dan nama kita rusak di pandangan mata semua pembesar! Penolakan para pembesar yang hendak mengunjungi kalian, berarti penghinaan dan tentu saja mereka merasa sakit hati kepada kita. Kalau tidak ada perlindungan dari pada mereka, apakah daya kita" Celaka!"
"Sudahlah Cia-ma, tak perlu kita mencari penyakit dan permusuhan terhadap Ang-coa kiam. Bahkan aku hendak mempergunakan tenaganya untuk membasmi musuh-musuhku."
"Jangan, Li Lan! Jangan kau menimbulkan gara-gara, nanti kita celaka semua."
Akan tetapi gadis cantik itu hanya mainkan bibirnya, tersenyum manis. Menjelang tengah malam datanglah Tiong Kiat dengan membawa uang sekantong besar! Mulailah lagi pesta pora yang amat meriah. Para penjaga juga ikut kebagian rejeki karena Tiong Kiat membagi - bagi hadiah bagaikan orang membuang pasir belaka.
Pada keesokan harinya, gegerlah kota I-kang karena seorang hartawan besar telah kecurian uang banyak sekali dan pada dinding kamar terlukis pedang Ang coa-kiam! Sebentar saja hal ini terdengar oleh para penjaga rumah kapal, akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat" Mereka hanya saling lirik dan tersenyum girang karena dalam diri Tiong Kiat, mereka mendapatkan seorang pemimpin yang selain royal, juga amat boleh diandalkan!
Juga Cia.ma dan anak anaknya mendengar akan pencurian yang dilakukan oleh Ang-coa. kiam Sim Tiong Kiat ini, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bertanya.
Cia-ma hanya menarik napas berulang-ulang dan berkata seorang diri, "Celaka, celaka! Rumahku kemasukan harimau ganas dan aku tak berdaya sama sekali untuk mengusirnya!"
Sementara itu, di dalam kamarnya, sambil menangis Li Lan menuturkan kepada Tiong Kiat, "Telah dua tahun aku mendendam sakit hati yang amat besar dan sekarang Thian Yang Maha Kuasa telah mempertemukan aku dengan kongcu, sungguh satu kebahagiaan besar. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa kalau memang betul kongcu mencinta kepadaku yang hina dina dan rendah ini, pasti jahanam-jahanam busuk she Lui itu dapat dibasmi!"
"Apakah kau masih meragukan cintaku manis?" kata Tiong Kiat sambil memeluk Li Lan. "Katakanlah siapa yang pernah menimbulkan sakit hati kepadamu kalau perlu akan kuhajar adat kepada mereka."
"Hanya menghajar adat" Kau harus bunuh mereka, kongcu. Ya, mereka itu jahanam yang menjerumuskan diriku ke dalam jurang kehinaan ini, mereka itu harus dibunuh !" Muka yang manis itu menjadi kemerahan dan matanya yang bening dan indah itu bersinar-sinar.
"Kau makin cantik saja kalau marah, Li Lan. Apakah yang telah diperbuat oleh orang-orang she Lui kepadamu maka kau ingin aku membunuh mereka ?" Biarpun pemuda ini membicarakan soal pembunuhan dengan lidah ringan, namun di dalam hatinya ia terkejut juga. karena sesungguhnya, di dalam kesesatannya, belum pernah ia membunuh orang begitu saja secara kejam. Tentu saja ia pernah membunuh rombongan perampok dan orang jahat akan tetapi apabila ia melakukan percurian atau gangguan, tak pernah ia membunuh orang.
Dengan gaya manja dan memikat hati Li Lan lalu menuturkan pengalamannya. "Kongcu, kau adalah seorang mulia dan gagah. Kalau tidak kepadamu, kepada siapa lagi aku dapat mengharapkan pertolongan" Dahulu aku bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lui yang kaya raya. Hidupku penuh kebahagiaan sungguhpun pekerjaanku hanya sebagai pelayan belaka. Akan tetapi malapetaka menimpa diriku ketika majikanku yang muda dan tua, yakni Lui wangwe dan puteranya, Lui kongcu, secara kurang ajar dan kejam sekali telah mempermainkan aku yang lemah dan tak berdaya ! Aku berada di dalam gedung mereka sebagai budak belian, aku yatim-piatu dan berada di dalam kekuasaan mereka. Apakah dayaku" Kemudian setelah rahasia kedua orang jahanam itu terbuka, mereka menjadi malu dan menyingkirkan diriku dengan menjualku kepada Cia ma." Adapun Tiong Kiat yang mendengar penuturan ini, menjadi marah dan juga tersinggung hatinya. Ia marah karena kejahatan keluarga Lui ayah dan anak itu dan merasa tersinggung karena ia teringat kepada gadis yang ditolongnya di dalam rimba raya itu.
"Kongcu, telah lama dendam ini terkandung dalam hatiku. Pada saat itu juga, ingin sekali aku membunuh diri, akan tetapi aku teringat bahwa aku akan menjadi setan penasaran kalau belum dapat membalas kejahatan mereka. Aku bersumpah hendak membalas dendam dulu sebelum mati dan sekarang setelah aku bertemu dengan kau, kongcu, tidak ada keinginan mati pada hatiku. Aku ingin selama hidupku berada di sampingmu, akan tetapi kebahagiaanku takkan lengkap apabila sakit hati ini tidak terbalas. Kongcu yang tersayang, kalau saja kau suka menolongku membalaskan sakit hati ini, aku Li Lan akan menghambakan diriku kepadamu sampai selama hidupku."
Menghadapi bujuk dan cumbu rayu gadis cantik ini, lumerlah hati Tiong Kiat. Tanpa pikir panjang lagi ia menyanggupi permintaan kekasihnya ini dan pada malam hari itu, ia keluar dengan pedang Ang Coa Kiam di tangan ! Dan pada keesokan harinya gegerlah kembali kota I-kiang ketika orang mengetahui bahwa hartawan Lui dan puteranya telah terbunuh mati di dalam kamarnya! Hartawan Lui terkenal sebagai seorang hartawan yang dermawan dan jujur, maka peristiwa ini tentu saja menggemparkan sekali. Apa lagi ketika di tembok korban-korban itu terdapat lukisan pedang Ang coa-kiam! Sungguh Tiong Kiat telah menjadi mata gelap dan sombong sekali. Biarpun ia masih berada di kota l-kiang dengan berani mati ia mengakui dengan lukisan itu bahwa pembunuhan itu dialah yang melakukannya. Kegemparan ini sampai juga ke telinga orang - orang gagah di dunia kang-ouw dan marahlah mereka yang mendengar akan hal ini. Kalau sampai sebegitu lama orang-orang kang ouw tidak bertindak memusuhi Tiong Kiat adalah karena mereka itu masih memandang nama besar Ang coa kiam pedang pusaka dari Kim liong pai. Semenjak puluhan tahun yang lalu, Kim-liong-pai, terkenal sebagai cabang persilatan yang terpandang tinggi. Nama Bu Beng Sianjin sebagai pendiri cabang ini amat disegani dan dihormati, juga anak - anak murid Kim-liong pai terutama sekali Lui Thian Sianjin amat terkenal sebagai tokoh kang ouw yang gagah perkasa dan budiman. Oleh karena ini nama Ang coa-kiam yang menjadi jai-hwa-cat dan pencuri masih diragu-ragukan oleh para tokoh kang-ouw.
Akan tetapi sepak terjang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat akhir-akhir ini benar-benar menggemparkan sekali, terutama sekali setelah pembunuhan Lui wangwe ayah dan anak. Yang paling marah adalah seorang gagah yang tinggal di kota I-Kiang, karena ia berada terdekat dengan peristiwa itu terjadi. Orang gagah ini bernama Lo Ban Tek yang berjuluk Thiat gu (Kerbau besi). Dia adalah seorang gagah perkasa, murid dari Kun.lun pai yang menyembunyikan diri di kota ini dan bekerja sebagai seorang pandai besi, pembuat tombak dan golok. Ia telah mendengar tentang pencurian uang seorang hartawan yang dilakukan oleh penjahat yang melukiskan pedang Ang coa kiam ditembok, akan tetapi masih bersabar dan tidak mau mencampuri urusan itu. la menganggap urusan pencurian itu soal kecil saja, karena untuk meributkan pencurian yang terjadi dalam rumah seorang hartawan " Mungkin benar-benar anak murid Kim liong-pai itu sedang lewat dan kehabisan bekal lalu mengambil uang hartawan itu, hal ini sudah biasa terjadi dan tidak sangat hebat. Akan tetapi, ia mendengar bahwa seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Ang coa-kiam Sim Tiong Kiat telah beberapa hari lamanya berdiam di rumah kapal dan kemungkinan pula terlibat dalam pembunuhan atas hartawan Lui dan putranya. Kaget dan marahlah Lo Ban Tek mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang baik hati dan dermawan, maka hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau menarik perhatiannya dan membuat ia menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau bukan, murid Kim liong pai atau bukan, kalau sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia selidiki dan harus turun tangan.
Demikianlah, pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho - kut - pian (Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena setiap hari dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang memandangnya dengan heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek keluar dengan membawa ruyung yang mengerikan itu. Orang itu memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia berjalan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu akan terjadi sesuatu yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan makin tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke rumah kapal !
Apakah si pendiam ini mau berpelesir" Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada anak istri dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya membuat golok dan tombak dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan apakah ia rugi atau untung dalam pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini merupakan kejadian yang menarik hati.
Pada saat itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ sambil mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri Lui-wangwe dan betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali.
Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.
"Orang-orang rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan dia !*
Ma-kauwsu dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya, dan dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia mengerti ilmu silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sambil memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya !
"Eh, saudara Lo, kau kenapakah" Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!" Ma kauwsu menegur sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Tidak usah banyak bicara!" Lo Ban Tek membentak dengan marah. "Siapa sudi .... (tidak terbaca jelas nih..) Hayo kalian anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan minta dia keluar. Kalau tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!"
Bukan main marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan bangsawan pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang pandai besi biasa berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga, tentu saja mereka merasa panas dalam perut!
"Pandai besi hinadina she Lo ! Apakah otakmu sudah menjadi miring" Ataukah kau sudah bosan hidup" bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi itu, diikuti oleh dua orang adiknya.
"Kalian ini kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur !" teriak Lo Ban Tek makin marah. 'Panggil saja jai-hwa cat she Sim itu keluar dan kalian pergilah jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata !" Akan tetapi mana tiga orang jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar" Terutama sekali Kwee kauwsu yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,"Pergilah orang gila!"
Pukulan ini adalah gerak tipu Go-houw pok it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee kauwsu berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung aneh itu, tetap saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya yang berat itu.
Akan tetapi, terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri, agak merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.
"Ngek!* Kwee kauwsu merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas saking sakitnya dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek diayun tepat mengenai pantatnya.
"Blek!" tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh tendangan anak kecil. Setelah berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas tanah dengan pantat di bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu duduk seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan ! Bukan main sakitnya pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian ini amat mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di luar dugaan mereka. Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya sehingga Kwee kauwsu dapat berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut golok masing-masing dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu! Gerakan Ma kauwsu dan Cin-kauwsu amat ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih agak terpincang-pincang dan merasa seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi beban yang berat sekali.
"Bangsat rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek. "Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang penjahat besar yang mengacau di kota sendiri" Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban Tek tidak mencari permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!" Sambil berkata demikian, Si Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang banyak terdapat di pinggir sungai dan sekali ia mengayun coa kut-pian di tangannya, batu itu telah kena dihantam sehingga menerbitkan suara keras dan menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang guru silat itu memandang, ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah !
Bukan main terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula " Mereka bertiga, biarpun diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat memecahkan batu itu dengan seratus kali pukul ! Oleh karena kaget dan kagum, mereka hanya berdiri tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka juga terpengaruh oleh kata kata pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi oleh orang.orang seluruh kota, apalagi akan menghadapi pembesar - pembesar, ah berat juga !
Pada saat itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal.
"Anjing kelaparan dari manakah berani mengacau dan menantangku ?" Baru habis ucapan itu dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah berdiri dihadapan Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan ! Berdebar juga hati Lo Ban Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda tampan ini. la memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat cakap, gagah dan tampan, berpakaian serba biru yang indah sekali. Juga pedang di tangan pemuda ini benar-benar Ang-coa.kiam, pedang pusaka Kim liong pai, karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan tokoh Kun lun - pai tentang pusaka ini.
"Anak muda, kau sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang coa-kiam dan Kim Liong pai untuk melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang bisa dijatuhkan oleh Lui Thian Sianjin kepadamu" Aku tidak percaya bahwa kau adalah anak murid Kim Iiong pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam itu?"
Sim Tiong Kiat tersenyum mengejek. "Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah yang mewakili Kim liong-pai. Bukankah Ang coa-kiam di tanganku ini menjadi bukti terkuat?"
"Aku tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim liong-pai, apalagi yagg sudah dipercayai untuk memegang Ang coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang pusaka) dan kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang - orang lemah dan menindas kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin, sucouw dari Kim-liong.pai. Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja yang telah kaulakukan "'
Tertegun juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik gurunya dan keadaan Kim Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia bertanya, "Siapakah kau, hai, manusia kasar yang bosan hidup" Siapa kau yang berpura-pura mengerti tentang keadaan Kim-liong.pai ?"
"Mengapa aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai" Aku adalah murid Kim kong Tianglo di Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan kau sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."
Di dalam hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang tokoh Kun Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun lun.pai itu ketika Kim Kong Tianglo mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.
'Saudara Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu. Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu"'
Lo Ban Tek tersenyum mengejek. "Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah dapat mencemarkan nama baikmu."
"Apa?" Tiong Kiat mencela marah, "Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat baik, akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah orang-orang lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya" Apakah perbuatan ini merugikanmu" Atau merugikan orang Iain" Saudara Lo, kalau kau merasa irihati, marilah ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari bidadari rumah kapal. Tak perlu urusan macam ini menimbulkan bentrokan diantara kita.*
"Cih ! Aku bukanlah orang macam itu ! Aku tidak meributkan urusan cabul ! Aku datang hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya " Apakah hal ini kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula !"
"lebih dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang. "Anjing tua dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh ! Mereka telah berlaku kurang ajar dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan yang kini terpaksa menjadi seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah orang-orang semacam ini tidak boleh di bunuh " "
"Dari siapakah kau mendengar akan obrolan itu" Tentu dari mulut perempuan busuk itu bukan " Ha, ha, ha" Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang baik mana yang busuk ! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan kotor itu dengan keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si perempuan yang kau bela mati-matian itu ! Memang, dulu dia adalah seorang pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan berani bermain gila dengan pelayan-pelayan laki-laki yang ada di rumah itu! Lui wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika diusir, ia diberi uang secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau menikah dengan siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah yang tidak tahu" Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe " Ha, ha, benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu merah!"
"Bangsat, tutup mulutmu!* Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah sekali.
"Orang she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"
Sambil berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyung-nya. Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi girang karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak terbabat putus, bahkan dari benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga Iawannya ini benar-benar besar dan tidak boleh dipandang ringan! Maka ia lalu berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang Ang coa.kiamsut yang hebat, pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang yang luar biasa sekali.
Lo Ban Tek terkejut dan kini ia tidak ragu ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar murid Kim liong pai yang pandai.
"Hm, kau benar-benar murid Kim liong-pai ! Kalau kau bukan murid Kim liong-pai, masih tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong pai dapat tersesat begini rupa, ah aku harus mengadu jiwa dengan kau." iapun mainkan ruyungnya dengan ilmu silat Kun. lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat, dapat mengimbangi gerakan pedang lawannya.
Hebat sekali jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong ! Kepandaian Ang Coa kiam Sim Tiong Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin mereka terheran-heran adalah kepandaian tukang besi itu ! Siapa kira bahwa di I-kiang terdapat seorang pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban Tek pandai besi yang sederhana dan kasar belaka ! Maka malulah ketiga orang itu, karena kalau ilmu kepandaian mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian dua orang ini mereka boleh dibilang masih anak-anak! Thiat gu Lo Ban Tek bertempur dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi Tiong Kiat masih merasa ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja. Pemuda ini masih merasa sungkan untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia gentar juga menghadapi akibat-akibatnya. Kalau sampai ia menanam bibit permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram lagi!
Akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban Tek menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak boleh dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga tenaga orang she Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung ini berarti bahaya maut bagi Tiong Kiat!
Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat. Ketika pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua kakinya sehingga Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan indahnya. Akan tetapi kembali Lo Ban Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak tipu Dewa Awan Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong Kiat masih terapung di udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan sendiri !
Namun kini Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus dan harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung menyambar, ia segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya membarengi mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.
Lo Ban Tek merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik kembali senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas tanah dan ujung pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan Lo Ban Tek!
Orang she Lo ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan pedangnya sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan melukai pundaknya!
"Lo Ban Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran ini!"
Akan tetapi kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan kapok, ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata mendelik ia membentak,
"Jahanam durhaka ! Kaukira aku orang she Lo takut mati" Lebih baik aku mati dalam usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat engkau melakukan kejahatan tanpa terhukum!" Setelah berkata demikian, kembali ruyungnya menyambar dan kali ini dengan serangan nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri lagi !
Tiong Kiat terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi demikian nekad, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras. Pedangnya meluncur ke depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek. Si Kerbau Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang ketika tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan napas terakhir dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik memandang kepada Tiong Kiat!
Pemuda ini bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan ditutupkannya saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia telah membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang" Orang orang Kun-lun-pai tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu hanya akan membuat hidupnya menjadi tidak tenteram. Rasa menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi merah, dadanya terasa sakit. la marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia melakukan pembunuhan, marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.
"Kionghi taihiap, kionghi ! ilmu silatmu hebat sekali!" tiba - tiba ia mendengar pujian dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya. Ketika ia menengok, ia melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya dan memberi selamat sambil menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali. Kedua kakinya cepat bergerak bergantian dan tubuh tiga orang guru silat terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan perasaan sakit, takut dan kaget.
Kemarahan Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun " lun-pai. Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di telinganya, bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak berdosa. Bahwa sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya. Kemarahannya makin memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya sampai jebol. Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang coa kiam sehingga putus dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air.
Cia-ma berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu terlempar keluar jendela dan.... byur ! tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang ce, diiringi pekik mengerikan dari nenek itu.
Bagaikan seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang baik-baik, dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu, tangannya bergerak menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air melalui jendela ! Sebentar saja habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam air, sehingga sibuklah orang-orang di bawah untuk menolong "bidadari-bidadari" itu keluar dari air. Mereka kini tidak kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi sebaliknya sebagai seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan, riap-riapan menutupi muka yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar matanya, muka yang cowong dengan kulit muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak !
Orang terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalab Li Lan. Gadis ini berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja melepaskan rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya. Bajunya Iepas-lepas sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis ini tahu betul bahwa Tiong Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus dan harum, maka siasat terakhir untuk menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.
"Perempuan hina ! Jadi kau telah menipuku, ya ! Aku telah tertipu sehingga membunuh orang-orang yang tidak berdosa!"
"Bagimu tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan suara memilukan.
"Kau telah membohong! Kaukatakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan rendah. Kubunuh kau!"
"Bunuhlah, kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta sepenuh jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?" Ia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. "Bunuhlah?"
Tiong Kiat mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut Li Lan, dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti orang-orang lain, bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari cepat sekali keluar dari rumah kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama sekali tidak berani bergerak!
Gegerlah kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana perginya. Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka bertiga tadi ditendang oleh Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sampai terguling-guling, maka mereka tidak dianggap kawan penjahat muda itu dan dibebaskan oleh para pembesar ! Kalau saja mereka tidak ditendang oleh Tiong Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan dari Ang-coa kiam !
Tiong Kiat melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang dan ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu tiada hentinya menyesali nasib dirinya.
Peribahasa kuno menyatakan bahwa kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya menyanjung-nyanjung kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal lagi apabila keadaan kita menjadi sengsara. Demikian pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang merpati berada dalam keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak mengenal keadaan, tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun terjatuh di dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!
Akan tetapi cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong Kiat sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu ditinggalkan, dan bahkan kini mereka melakukan perantauan tanpa tujuan, berjalan jauh dengan keadaan miskin dan sengsara sekali. Dalam keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan. la mulai cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya. Setiap hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali.
Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia menjadi mendongkol. Pemuda mata keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak pernah berhias, tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan. Kalau tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini terbuka sama sekali. Manusia manakah yang tidak bercacad" Memang dalam keadaan biasa, cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak nyata! Setelah kini melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa ia telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan gadis yang dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul, masih cantik Kui Hwa sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui Hwa adalah sewajarnya, karena semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek, adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu oleh bedak dan gincu dan minyak wangi !
Mulailah Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang dimulai semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia dahuIu tidak melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah mengawinkan dengan seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia!
Pada suatu hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak beristirahat, kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah pohon dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan bentakan Tiong Kiat.
"Perempuan tak tahu diri, perempuan pembawa celaka ! Kalau tidak karena kau, aku tak usah lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi."
"Sim kongcu" " kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya, "kalau aku menjadi beban... . kenapa tidak kau bunuh saja..." Bunuhlah aku kongcu .. .agar aku terhindar dari siksaan lahir dan batin ini ...."
"Kalau kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak sudi membunuh perempuan macam kau !"
"Ah, dunia sudah kacau balau !" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu seorang wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri tak jauh dari mereka. "Dahulu laki laki selalu bersikap lemah lembut terhadap wanita, akan tetapi anak-anak muda sekarang demikian kasar dan kejamnya !"
Tiong Kiat terkejut. Ia memandang deegan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa adanya nenek yang berambut putih ini. "Nenek tua, mengapa kau mencampuri urusan orang lain " Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia pergi. Aku tidak butuh lagi padanya!"
Ketika Li Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan berlutut di hadapan nenek itu sambil menangis!
"Suthai"Tolonglah aku, bawalah aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini"!"
"Kasihan kau anak yang tersesat jauh......" nenek itu berkata sambil mengelus-elus kepala Li Lan. "Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."
Mendengar ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang. "Bagus, bagus! Nenek tua kau telah berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha, ha, ha!"
"Orang muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!" Sepasang mata nenek itu memandangnya dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata mereka bertemu, terkejutlah Tiong Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya, pemuda ini mencabut pedangnya dan berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang itu.
"Ha, ha, ha! Dengan pedang dan tenaga di tangan, siapa akan dapat menggangguku?"
Tiba-tiba berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat.
"Ang coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat. Tiong Kiat terkejut sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini telah berada di hadapannya.
"Bagus, jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari kim liong pai?"
"Siapakah kau yang mengenal pedangku?" tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.
"Orang durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?"
Begitu mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya tahu bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun lun pai dan juga sahabat baik suhunya di Liong san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan membunuhnya. Oleh karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!
Tiong Kiat sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin sendiri! Melihat berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang coa-kiam hampir saja terlepas dari pegangan Tiong Kiat! Pemuda ini cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia lalu menyerang lagi. Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh sekali nenek itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis sekaligus!
Gentarlah hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena malu dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan pergi dari hutan itu.
Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas panjang dan berkata.
"Sayang, sayang .. ! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan lapuk."
la lalu menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah.
"Coba kauceritakan segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh bayangan gelap, dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri menjadi seorang pendeta."
Sambil terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia telah membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui. Pat-jiu Toanio mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu selesai menuturkan semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata.
"Menurut patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau ringan bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau boleh menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."
Demikianlah, Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah berada di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu niu. Ia mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun mempelajari ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!
Tadinya hal ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya, setelah ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan jauh lebih besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumab kapal Cia ma! Makin tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu Toanio, bahkan sedikit demi sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.
Di lereng gunung Ta-pie san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di Wuhan dan dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta pie san. Wajahnya yang tampan itu tampak berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, tampak kekesalan hati yang mendidih dihatinya.
Pemandangan alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak terlihat oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya, se-akan-akan melayang - layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa raya.
Sungguh tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat tinggal di kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena ini, ia tidak mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang menggemparkan itu.
Sudah berapa hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta pie-san ini. la merasa gelisah, kecewa dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat" Hatinya sedih bukan kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta Tiong Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih dari itu! Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah merasa seakan-akan menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti ayah mereka.
Pada hari itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di dunia lain, atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama dengan Ta.pie-san ini. Ia teringat akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan Tiong Kiat. lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu senja hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan permainan di lereng Gunung Liong-san. Mereka berdua suka sekali bermain-main perang-perangan saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau panglima panglima pemimpin barisan. Adakalanya Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah yang terserang sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka seakan-akan menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain perang-perangan, intai mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak.
Lui Thian Sianjin, suhu mereka, pernah menceritakan bahwa ayah mereka adalah seorang pahlawan dan patriot bangsa yang gugur dalam pemberontakan menggulingkan pemerintahan yang korup. Oleh cerita yang singkat dan tidak jelas inilah maka Tiong Han dan Tiong Kiat suka sekali bermain perang-perangan, menjadi pahlawan seperti ayah mereka!
Pada saat itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta sepenuh hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya, merampas pedang Ang coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya! Ia merasa bahwa kini ia akan dapat mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada hentinya ia memperdalam kepandaian ilmu pedang Ang coa-kiamsut dari kitab yang dibawanya. Ia telah hampir dapat menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu pedangnya maju dengan pesatnya.
Ketika ia teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang kemudian mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang didudukinya. Bagaikan dalam mimpi, ia lalu melangkah maju di pinggir jurang, lalu ia bernyanyi, seperti ketika masih kecil bersama Tiong Kiat di lereng Bukit Liong san. Bulan sepotong sudah mulai timbul dari timur, angin gunung hanya meniup perlahan saja, mendatangkan suara berkereseknya daun-daun yang bahkan menambah rasa sunyi yang mencekam hatinya. Bagaikan terpimpin oleh perasaan halus yang tak disadarinya, Tiong Han bernyanyi dengan suara keras, sepenuh dadanya, sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya meniru gaya seorang panglima seperti yang ia lakukan bersama adiknya ketika mereka masih kecil dulu.
Pedang telanjang di tangan
berlumur darah musuh jahanam !
Anak panah beterbangan
bagai maut mengintai nyawa
Pasukan musuh di sana"
Serbu"! Maju gembira!
Inilah tugas tiap ksatrya !
Mati" Hanya gugur bagai bunga
Aku hanya ingin menang"menang !
Biar takkan mendapat Jasa
Biar takkan menerima pahala.
Tidak peduli, aku ingin menang !
Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku ingin menjadi pahlawan.
Seperti ayah....... seperti ayah"!
Tiong Han bernyanyi penuh semangat, seperti dulu ketika masih keciI. Bunyi sajak ini sesungguhnya sudah berbeda dari pada aslinya karena banyak yang berobah dan baris terakhir "seperti ayah" adalah tambahan sendiri dari Tiong Han dan Tiong Kiat. Keduanya merasa bangga sekali akan ayah mereka, sungguhpun mereka tidak tahu dan tidak ingat lagi bagaimana rupa ayah mereka!
Tiong Han tidak tahu sama sekali bahwa pada saat bernyanyi, seorang pemuda sedang berjalan mendaki jalan kecil dari timur. Ketika mendengar ia bernyanyi, pemuda itu berhenti bertindak dan diam bagaikan patung! Akhirnya setelah Tiong Han menyanyikan baris terakhir dari sajaknya, pemuda yang berpakaian biru kehitaman itu berlarl menghampirinya dan berseru dengan suara terharu.
"Engko Han"!"
Tiong Han yang sudah mengakhiri nyanyiannya cepat menengok dan terkejutlah kedua matanya ketika ia melihat Tiong Kiat berlari-lari naik seperti dulu ketika masih kecil!
"Tiong Kiat"..!"
Keduanya berdiri berhadapan, saling pandang, kalau dilihat oleh orang lain seperti seorang pemuda berdiri di depan cermin, demikian serupa, sebentuk dan segaya! Kemudian terdorong oleh keharuan hati, kedua orang muda itu lalu saling tubruk dan saling peluk dengan penuh kemesraan dan keharuan hati. Tiong Han tak dapat menahan Iagi bertitiknya air mata dari sepasang matanya ketika ia merangkul adiknya. Akan tetapi ketika matanya memandang kebawah dan terlihat olehnya gagang pedang Ang coa-kiam, hatinya seperti tertusuk oleh pedang itu dan ia melepaskan pelukannya.
"Tiong Kiat, anak nakal, ke mana saja kau selama ini?" tanyanya dengan pandangan menegur seperti biasa ia lakukan dahulu bila adiknya berlaku nakal.
Mendengar teguran dan pertanyaan ini Tiong Kiat melangkah mundur dua tindak. Walau iapun terpengaruh oleh keharuan hatinya, akan tetapi ia sekarang teringat Iagi akan kesalahan-kesalahannya terhadap kakaknya ini, ia memandang tajam dan bertanya dengan suara dingin,
"Han.ko, mengapa kau berada di sini ?" la melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang kiri Tiong Han. "Apakah kau disuruh oleh suhu untuk menyusul dan menangkapku ?" Ia memandang makin tajam dan kepalanya agak dimiringkan, pandangan matanya penuh selidik.
"Tiong Kiat, tak perlu aku berbohong kepadamu. Kepergianmu dari Liong-san membuat suhu menjadi marah sekali, terutama sekali karena kau membawa pergi pedang Ang-coa kiam yang menjadi pedang pusaka Kim-liong pai, Mengapa kau berani melakukan hal itu, adikku " Mengapa ?"
Tiong Kiat tertawa mengejek dan tangan kirinya menepuk-nepuk pedang Ang-coa-kiam "Tiong Han," ia tidak menyebut kakak. "aku adalah murid yang terpandai, maka berhak mewarisi pedang ini. Habis, apakah sekarang kehendakmu ?"
Dua orang pemuda yang sama rupa sama bentuk itu berdiri berhadapan dalam keadaan tegang. Tiong Kiat dengan pandangan mata menantang sedangkan Tiong Han dengan mata berduka.
"Tiong Kiat, kau harus kembalikan pedang itu. Aku disuruh oleh suhu untuk mengambil kembali pedang itu. Sadarlah bahwa kau tidak berhak mengambil pedang pusaka itu begitu saja tanpa ijin dari suhu."
Akan tetapi Tiong Kiat melangkah mundur tiga tindak dan tiba-tiba ia mencabut pedang Ang-coa.kiam dan berkata,
"Tiong Han! Selama beberapa bulan ini, pedang inilah kawan satu-satunya dariku yang telah melindungi keselamatanku. Bagaimana aku bisa mengembalikannya begitu saja" KaIau pedang ini kau ambil aku akan merasa sunyi, seakan-akan ditinggalkan seorang sahabat yang paling baik."
Berobah wajah Tiong Han mendengar ini. "Tiong Kiat, di mana........ sumoi" Aku tidak melihatnya!"
Tiong Klat tersenyum pahit. "Kau mencari tunanganmu?"
"Jangan kurang ajar!" Tiong Han membentak. "Aku tidak menganggapnya sebagai tunangan lagi. Aku rela melepaskannya untuk menjadi jodohmu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa dia tidak berada di sini, bersamamu. Apakah kau telah meninggalkannya pula?" Pandangan pemuda ini menjadi tajam dan keras.
"Siapa meninggalkannya" Kami hanya memilih jalan masing-masing. Kalau kau mau mencarinya ke kota Hang yang, kau akan dapat bertemu dengan dia dan kau boleh mengambilnya sebagai istrimu!"
Mendongkol juga hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Tiong Kiat, tak perlu kita melanjutkan percakapan tentang sumoi. Yang paling penting sekarang ialah pengembalian pedang itu. Suhu menghendaki agar supaya aku mengambil kembali pedang Ang coa kiam dan membunuhmu. Akan tetapi asal saja kau mengembalikan pedang itu dan berjanji takkan melakukan kesesatan, aku takkan mengganggumu."
Tiong Kiat tertawa bergelak mendengar omongan ini. "Tiong Han, biarpun suhu sendiri yang datang mengambil pedang ini, agaknya ia takkan dapat mengambilnya begitu saja tanpa membuktikan bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi dari padaku. Siapa yang memiliki kepandaian ilmu pedang Ang coa kiamsut lebih tinggi, dialah yang berhak memiliki pedang ini ! Aku memegang pedang ini, nah, apakah kau memiliki keberanian untuk menentangku. Apakah kau tidak tahu bahwa pemegang pedang ini harus dihormati dan ditaati oleh semua anak murid Kim-liong-pai?"
"Tiong Kiat, jangan kau berkeras! Lebih baik kembalikan pedang itu dan kalau kau menginginkan sebatang pedang yang baik, kau boleh ambil pedangku Hui - liong - kiam ini. Aku tidak bisa menyerangmu, kau adalah adikku dan kau tahu betapa besar cinta kasihku kepadamu. "
"Jangan omong kosong ! Aku memegang Ang.coa-kiam, kalau kau mau menjadi murid Kim-liong pai yang mendurhaka, kau boleh melawan aku !"
Sedih benar hati Tiong Han menyaksikan sikap adiknya ini. Terpaksa ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan kitab Ang coa.kiam coansi.
Elang Terbang Di Dataran Luas 9 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 30
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama