Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 11

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 11


menemukan guru atau sekurang-kurangnya Raden dapat
mencoba kepandaian pemenangnya nanti."
"Tapi, Sik.."
Sebelum Banyak Sumba mengucapkan kalimatnya, Arsim
yang juga keheranan oleh sikap Banyak Sumba menyela,
"Raden, sebenarnya saya harus melaporkan rencana
perkelahian itu kepada para jagabaya. Bagaimanapun,
Perguruan Gan Tunjung adalah perguruan terhormat dan
tunduk kepada perintah-perintah kerajaan. Oleh karena itu,
seharusnya saya mencegah rencana itu. Saya sengaja tidak
mencegah rencana yang mungkin menimbulkan banyak
kematian itu. Hal itu hanya demi Raden, demi kepentingan
Raden." Mendengar penjelasan itu, tertegunlah Banyak Sumba.
Setelah beberapa saat terdiam, berkatalah dia, "Baiklah,
Kawan-kawan. Akan tetapi, berilah saya waktu untuk berpikir
barang satu malam. Bukankah kita tidak perlu berangkat
sekarang juga?"
"Dua hari akan kita gunakan untuk perjalanan dari sini.
Kalau memacu kuda satu hari dan tengah malam, kita tiba di
Kutabarang," kata Jasik sambil menghitung-hitung dengan
jarinya. "Dalam empat hari ini, bulan mulai purnama," sela Arsim.
"Mungkin ada waktu," kata Banyak Sumba, "mungkin saya
tidak perlu mempertimbangkan dalam satu malam."
"Baiklah, kalau begitu, Raden. Tidak ada salahnya kita
beristirahat sejenak dalam puri bagus ini, Sik," ujar Arsim
sambil melihat-lihat ke arah lapangan dari serambi rumah
Paman Saltiwin.
Malam itu, Banyak Sumba hampir tak dapat tidur.
Sekarang, sadarlah ia bahwa sebagai putra tertua wangsa
Banyak Citra yang sedang prihatin, ia tidak boleh punya
harapan dan keinginan-keinginan yang wajar sebagai seorang
putra bangsawan. Semua kegembiraan dan pengembaraan
yang menyenangkan, kasih asmara yang indah, bukanlah
bagiannya. Ia kesatria yang hidup untuk menegakkan
kehormatan keluarga, dan kalau perlu harus bersedia
melepaskan nyawanya sendiri untuk kehormatan itu.
Di samping itu, ia pun menyadari bahwa selama ini ia telah
melalaikan tugas utamanya. Bahkan, hampir melupakannya.
Ia telah tergoda oleh kecantikan Putri Emas Purbamanik.
Karenanya ia hampir menolak ketika panakawan-panakawannya
mengajak dia pergi untuk menunaikan tugas. Ia telah
menghamburkan perbekalannya, di antaranya untuk membeli
sisir gading berhias itu, yang dalam hati kecilnya hendak
dihadiahkannya kepada Putri Purbamanik.
Kedua kesadarannya itu menyebabkan kemarahan dalam
hatinya, marah dan kebencian pada dirinya. Ia bangkit dari
alas tidurnya, lalu berjalan ke arah kotak tempat menyimpan
alat-alat tulisnya. Ditulisnya surat singkat kepada Nyai Emas
Purbamanik: Tuan Putri, suatu hal yang sangat mendesak menyebabkan
hamba tidak dapat menunaikan tugas yang telah dibebankan
oleh Tuan Putri. Hamba tidak dapat mengawal perjalanan
Tuan Putri ke ibu kota Pakuan Pajajaran, bahkan tak mungkin
lebih lama lagi tinggal dalam Puri Purbawisesa " Salam
hormat hamba, Banyak Sumba.
Surat itu diberikan kepada pesuruh malam itu juga.
Seorang anak yang kebetulan belum tidur. Setelah melepas
pesuruh itu, Banyak Sumba mengetuk pintu bilik tempat Jasik
dan Arsim menginap, "Kita'pergi besok, pagi-pagi benar,
setelah saya menyampaikan berita kepada Aria Girijaya
tentang kepergian saya. Jadi, siap-siaplah."
Setelah itu, masuklah Banyak Sumba ke ruangannya. Akan
tetapi, baru saja kesadarannya memudar dan kantuknya
memberat, datanglah seorang gulang-gulang mengetuk rumah
Paman Saltiwin.
"Surat bagi Raden dari Tuan Putri," kata gulang-gulang itu
singkat. Banyak Sumba membuka kotak lontar yang indah yang
telah dikenalnya, lalu membaca tulisan yang terukir pada
sehelai lontar putih bersih,
Janganlah meninggalkan puri dahulu, sebelum memberi
penjelasan kepada saya. Datanglah besok pagi-pagi "
Purbamanik. Banyak Sumba bimbang. Ia khawatir, kalau sudah
berhadapan dengan Nyai Emas Purbamanik, ia akan lemah
kembali. Akan tetapi, hati kecilnya berkata bahwa ia harus
bertemu barang sekali lagi dengan Tuan Putri sebelum ia
meninggalkan puri itu. Perasaan sayu menggenangi hatinya
ketika ia menyadari bahwa kepergiannya mungkin akan
merupakan awal perpisahan untuk selama-lamapya. Maka
gemetarlah hatinya, antara menuruti dan menolak panggilan
Tuan Putri. Pada satu pihak, ia ingin membebaskan diri dari
pengaruh Tuan Putri yang dianggapnya hampir
membelokkannya dari tugas yang diembannya. Di lain pihak,
ia merindukan Nyai Emas Purbamanik dan berhasrat untuk
bertemu walaupun hanya sekejap.
"Raden, Tuan Putri mengharapkan balasan sekarang juga."
"Baiklah, Paman," ujar Banyak Sumba sambil melangkah ke
arah kotak surat, lalu menulis,
Hamba datang, Tan Putri, di saat matahari terbit - Salam
hormat hamba, Banyak Sumba.
Setelah menyerahkan surat itu kepada gulang-gulang,
Banyak Sumba sekali lagi mengetuk pintu ruangan
panakawan-panakawannya, lalu memberitahukan bahwa
keberangkatan mereka ditangguhkan jadi siang hari. Kedua
orang panaka-wannya sambil mengisik mata mereka hanya
mengatakan, "Ya", lalu berbaring kembali. Tinggal Banyak
Sumba yang tidak dapat tidur, berjalan mondar-mandir di
serambi rumah Paman Saltiwin yang luas itu. Ketika bulan
timbul, makin sadarlah ia akan keadaannya, makin terharu
birulah perasaannya.
Setelah malam bertambah larut dan laju dini hari, mungkin
karena kurang tidur dan penuh dengan pertentangan
perasaan, timbullah pikiran-pikiran yang liar dalam kepalanya.
Bagaimana kalau ia memasuki kaputren dan melihat Tuan
Putri barang sekejap, kemudian pagi-pagi benar melarikan diri
dari puri itu" Bukankah itu cara yang baik sekali untuk
melepaskan diri dari ikatan halus yang mengeratkan
perasaannya terhadap Tuan Putri" Banyak Sumba mondarmandir
beberapa lama, kemudian pikirannya yang liar itu
menjadi tekad. Ia berjalan meninggalkan rumah Paman Saltiwin menuju
kaputren. Malam sudah sunyi sekali, tak seorang pun tampak
di luar rumah dalam puri itu, kecuali gulang-gulang yang
samar-samar bergerak bagai bayang-bayang di lorong-lorong
yang diterangi lampu. Hanya di depan gerbang kaputren dua
orang gulang-gulang mondar-mandir untuk menghilangkan
kantuk mereka. Melihat dua orang itu, Banyak Sumba
berpaling dan tertegun dalam gelap. Ia berpikir, mencari jalan
agar dia dapat memasuki kaputren tanpa diketahui orang.
Akhirnya, diputuskannya untuk memanjat dinding di bagian
samping benteng kaputren. Ia pun mengendap-endap menuju
ke sana. Di sana, dinding tidaklah begitu tinggi. Di samping
itu, akar pohon-pohonan yang tumbuh di atas benteng dapat
dipergunakannya untuk pegangan. Akan tetapi, hal itu tidak
berarti tanpa risiko. Pohon-pohon yang tumbuh di atas
benteng tidaklah besar, dan akar-akarnya pun mungkin rapuh.
Akan tetapi, kekacauan pikiran Banyak Sumba tidak
memperhitungkan hal-hal seperti itu.
Setelah melihat ke kanan dan ke kiri, serta yakin tidak ada
seorang pun bergerak di bawah bayang-bayang dinding dan,
di lorong-lorong dalam bagian puri itu, mulailah ia merabaraba
dinding benteng. Ditancapkannya ujung jarinya di selaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sela batu pada tanah yang mengeras. Dipegangnya akar-akar
kecil sebagai pegangan. Perlahan-lahan, ia memanjati benteng
kaputren yang tingginya paling sedikit dua kali tinggi manusia.
Karena kemauan dan kenekatan saja, tidak berapa lama
kemudian dia dapat berpegang pada akar agak besar yang
menjulur dari suatu perdu yang tumbuh di atas benteng itu.
Tak lama kemudian, ia sudah duduk di atas benteng, melihat
ke arah bangunan kaputren.
Dengan heran tapi gembira; ia melihat bahwa jendela
kaputren masih terbuka, walaupun hari sudah menuju subuh.
Lampu minyak yang terang benderang menyala di ruang Nyai
Emas Purbamanik. Dan seorang wanita yang duduk di atas
tilam serta berkerudung adalah Nyai Emas Purbamanik. Tuan
Putri menunduk seraya tubuhnya berguncang-guncang
perlahan-lahan, sementara itu berulang-ulang tangan
kanannya menutup mukanya dengan saputangan yang tidak
lepas-lepas dipegangnya. Walaupun Banyak Sumba berada di
tempat yang berjauhan dari Tuan Putri, ia dapat memastikan
bahwa Tuan Putri sedang bersedih hati dan menangisi
sesuatu. Entah berapa lama Banyak Sumba duduk di atas dinding
benteng dan memandang ke dalam kaputren itu. Pada suatu
saat, tampaklah olehnya Nyimas Teteh berjalan, lalu duduk di
belakang Tuan Putri. Terdengar ia berkata, walaupun sayupsayup,
"Sudahlah, marilah kita tidur, nanti Nyai sakit," kata
Nyimas Teteh. Putri Purbamanik tidak menjawab, tubuhnya
makin kuat berguncang.
'Janganlah kaitkan hatimu kepada orang yang tak tentu
asal usulnya. Ia orang asing, dan siapa tahu orang jahat yang
dicari-cari negerinya. Bukankah telah Nyai katakan bahwa dia
merahasiakan asal usulnya" Sekarang, marilah kita tidur.
Esok-lusa, Nyai pasti melupakannya."
Putri Purbamanik mengangkat kepalanya dan memandang
ke arah Nyimas Teteh. Wajahnya yang cantik jelita tampak
jelas dari benteng itu.
Banyak Sumba memutuskan, ia tidak akan melarikan diri
malam itu juga. Ia akan menghadapi Putri Purbamanik
keesokan harinya, sesuai dengan janji yang telah ditulisnya.
Ia tidak tidur malam itu. Ketika ayam jantan berkokok
keesokan harinya, ia bangkit dari alas tidurnya, lalu
membersihkan diri. Dikenakan pakaiannya yang terbaik,
pakaian seorang kesatria karena ia tak hendak lagi
menyembunyikan diri dan merahasiakan siapa sebenarnya dia.
Ia meninggalkan rumah Saltiwin dan berjalan lambat-lambat
ke arah kaputren karena matahari belum terbit.
Ia sampai di kaputren pagi sekali, ketika ayam masih
berkokok bersahutan dan matahari diselaputi embun di
sebelah timur. Namun, begitu dilewatinya gerbang kaputren,
ternyata ruangan-ruangan sudah dibuka. Para emban seolaholah
sudah menunggu kedatangannya. Ia dipersilakan masuk
ke ruangan Nyai Emas Purbamanik. Ia berjalan dengan
menunduk, tidak menyangka bahwa Nyai Emas Purbamanik
sudah siap menunggunya. Begitu tabir dibuka, ia berhadapan
dengan putri yang muda remaja itu, duduk menghadapinya.
Melihat Banyak Sumba yang berpakaian kesatriaan itu,
mula-mula Putri Purbamanik tertegun, kemudian menunduk,
berkata perlahan-lahan, "Silakan duduk."
"Hamba akan memberikan penjelasan itu, seusai berita
yang disampaikan dalam surat hamba malam tadi," kata
Banyak Sumba. Matanya tak hendak lepas memandangi Putri
Purbamanik yang duduk tertunduk di hadapannya. Ia
menyadari bahwa pertemuan itu mungkin untuk yang terakhir
kali. Oleh karena itu, ia bermaksud meresapkan kecantikan
gadis itu sepuas-puasnya.
"Janganlah berhamba kepada hamba karena ... Kakanda
bukanlah ponggawa di puri ini. Segalanya sudah menjadi jelas
kepada Adinda," kata Nyai Emas Purbamanik.
"Apakah yang menjadi jelas?" Banyak Sumba terheranheran
dan mulai curiga, kalau-kalau dirinya dan tugas
rahasianya telah diketahui orang hingga ke Puri Purbawisesa.
Akan tetapi, putri itu melanjutkan perkataannya, "Bahwa
Kakanda kesatria yang sedang mencari pengalaman, dan
Adinda hanyalah suatu kisah kecil yang kemudian akan
dilupakan karena tidak ada artinya."
Mendengar perkataan itu, perasaan Banyak Sumba
mendesak ke kerongkongannya. Ia segera berkata, "Marilah
Kakanda jelaskan, apa yang sesungguhnya terjadi. Setelah
penjelasan itu, Adinda akan mengerti dan memaafkan serta
mengampuni Kakanda."
"Apakah Adinda berhak mendengar penjelasan yang
bersifat rahasia itu" Apakah Adinda cukup penting untuk
mengetahui rahasia itu?" tanya Tuan Putri.
"Adinda, ingatkah Adinda ketika kita untuk pertama kalinya
bertemu di benteng sebelah barat" Sejak itu, Adinda telah ikut
menentukan jalan hidup Kakanda. Kakanda berusaha mencari
pekerjaan di sini, walaupun ditentang oleh para pana-kawan
Kakanda. Dan itu karena Adinda juga. Oleh karena itu,
janganlah menganggap diri Adinda tidak penting. Kita sudah
sama-sama menyadari bahwa... sesuatu menghubungkan
kita," kata Banyak Sumba setelah ragu-ragu sejenak.
Nyai Emas Purbamanik mengangkat wajahnya, memandang
Banyak Sumba, ketika itu air mukanya agak cerah. 'Jadi,
mengapa Kakanda harus pergi setelah memberikan harapan
dan impian kegembiraan kepada Adinda?" tanyanya merajuk.
"Adinda, marilah Kakanda terangkan alasannya. Pertama,
ketahuilah bahwa Kakanda orang yang sangat tidak
berbahagia. Saudara sekandung Kakanda yang lebih tua
dibunuh orang dengan keji. Belum lagi pembunuhan itu
terbalas dan belum lagi sukma saudara Kakanda dapat tidur
nyenyak di Buana Padang, Ayahanda dengan tipu muslihat
dijatuhkan dari jabatan dan kedudukannya yang mulia.
Kakanda anak laki-laki terbesar. Apakah Adinda menghormati
Kakanda sebagai kesatria kalau Kakanda tinggal diam dan
bersenang-senang menikmati masa remaja Kakanda?"
Banyak Sumba berhenti berkata-kata dan Nyai Emas
Purbamanik mengangkat kepalanya perlahan-lahan, lalu
memandang Banyak Sumba, menatap wajahnya seolah-olah
mereka baru bertemu.
"Apakah Kakanda Raden Banyak Sumba, putra wangsa
Banyak Citra yang termasyhur dan penguasa Kota Medang
itu?" tanyanya sambil matanya agak terbelalak. Sekarang,
giliran Banyak Sumba-lah yang keheranan.
"Oh, Adinda pernah mendengar para bangsawan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempercakapkan keluarga Kakanda dengan Ayahanda. Apa
yang menjadi isi percakapan Adinda kurang memerhatikannya.
Akan tetapi, Adinda yakin, keluarga Kakandalah yang menjadi
buah percakapan itu. Dan... seandainya Ayahanda ada di sini,
mungkin beliau akan sangat bersenang hati dapat bertemu
dengan Kakanda."
Mendengar ucapan terakhir itu, meremanglah bulu roma
Banyak Sumba. Sementara itu, makin sedih pula hatinya. Ia
beranggapan bahwa selama ini ia berada di sarang harimau
karena siapa tahu Pengeran Purbawisesa akan menangkap
dan menyerahkannya kepada para penguasa kerajaan. Yang
menyedihkannya adalah justru Nyai Emas Purbamanik, putri
yang telah mengikat hatinya, berada di dalam puri itu. Ia
termenung dengan hati terharu. Kemudian, dengan perkataan
yang terputus-putus dan suara serak, ia berkata, "Syukurlah
kalau Adinda mengerti. Oleh karena itu, Adinda akan
memaafkan seandainya Kakanda tidak dapat menepati janji,
janji yang sangat indah bagi Kakanda."
"Ke manakah Kakanda akan pergi" Kapankah kita akan
dapat berjumpa kembali?"
Pernyataan ini telah mengganggu dan menyiksa hati
Banyak Sumba semenjak kedua orang panakawannya datang
ke puri. Ia ingin menghindarkan pertanyaan itu. Ia takut
menjawabnya karena memang jawabannya akan menyedihkan
dirinya, akan menusuk hatinya bagai tusukan pisau berbisa.
Akan tetapi, sekarang sudah telanjur ditanyakan dan ia tidak
mau menyembunyikan apa-apa lagi kepada Putri Purbamanik,
"Kakanda tidak dapat memastikan, apakah kita akan bertemu
lagi," katanya dengan sedih.
Mendengar itu, terpukaulah Putri Purbamanik. Ia
memandang Banyak Sumba tanpa mengedipkan mata untuk
beberapa lama. Kemudian, dengan tersendat-sendat bertanya,
"Mengapa?" katanya agak keras.
Banyak Sumba tidak dapat menjawab dengan segera. Akan
tetapi, dipaksakannya menyusun kata-kata yang akan
menyakiti hati Tuan Putri. Ia berkata, "Adinda, sebagai anak
laki-laki terbesar dari keluarga yang diperlakukan tidak adil,
Kakanda harus menuntut balas. Alangkah hinanya kalau
Kakanda menghindarkan diri dari tugas mulia itu. Kakanda
harus menegakkan kehormatan keluarga sebagai kesatria, dan
untuk kehormatan keluarga itu, Kakanda harus berani
membayar semahal-mahalnya...."
Belum selesai Banyak Sumba berkata, Putri Purbamanik
dengan wajah yang memperlihatkan kengerian mengangkat
tangannya, lalu menutup wajahnya dengan kedua belah
tangan dan menangis tersedu-sedu.
Banyak Sumba kebingungan, ia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Ia duduk kaku, memandangi putri yang
menangis di hadapannya. Akan tetapi, ketika sedu sedan gadis
itu menggelora, suatu kekuatan yang tidak disadarinya
mendorong dia untuk merangkul gadis itu dan menghiburnya
dengan kata-kata yang begitu saja keluar dari antara bibirnya
yang melekat di rambut gadis yang tebal dan ikal mayang itu,
"Kakanda akan kembali kepadamu, Kakanda akan kembali
kepadamu. Kakanda akan hidup karena engkaulah Kakanda
akan hidup."
Ia merasa gadis itu menyandarkan dirinya ke dadanya.
Sikap gadis itu sangat mengharukannya dan perasaan bahagia
serta dukacitayang bergalau hampir tidak tertahan dalam
hatinya. Untuk mencurahkan perasaannya yang tidak tertahan
itu, ia mengusap-usap rambut gadis itu sambil membisikkan
kata-kata yang tidak direka sebelumnya, kata-kata yang keluar
dari hatinya yang jujur dan polos, "Engkau lebih kuat dan lebih
perkasa dari maut; kecantikan dan kelemahlembutanmu lebih
kuat daripada penderitaan Kngkiiiihli \auy .il.iu nn
nyelamatkan Kakanda dari nasib buruk ykiig selama ini nn
rundung Kakanda. Engkau akan menyelamatkan Kakanda dan
meraih Kakanda ke dalam kasih sayangmu. Kasih sayangmu
lebih perkasa daripada malakal maut. Janganlah takut,
Kakanda akan kembali kepadamu."
Gadis itu makin menyurukkan wajahnya ke dada Banyak
Sumba yang bidang. Banyak Sumba mengangkat muka gadis
itu, kemudian terasa olehnya dua tangan yang halus
melingkari lehernya.
"Kembalilah segera, Adinda akan selalu menunggu,"
bisiknya di sela-sela sedu sedannya. Banyak Sumba teringat
akan sisir gading indah yang dibelinya di Kutabarang. Ia
mengambil sisir yang indah dan diinginkan Putri Purbamanik
itu dari balik pakaiannya, lalu menyisipkannya di dekat sanggul
gadis itu sambil berkata, "Adinda, kausuka sisir ini, Kakanda
membelinya untukmu. Pakailah sebagai kenang-kenangan dan
wakil Kakanda di sini," katanya.
Putri Purbamanik memegang pergelangan tangan Banyak
Sumba, mengambil sisir itu, lalu menciumnya. Ketika itulah, ia
tersenyum dari balik wajahnya yang basah oleh air mata.
Kemudian, dieratkannya rangkulannya.
Suara langkah terdengar dan Banyak Sumba perlahanlahan
melepaskan gadis itu dari rangkulannya, "Saatnya sudah
tiba bagi kita untuk berpisah sementara. Kita akan berjumpa
kembali, apa pun yang terjadi. Kita akan berjumpa kembali,"
kata Banyak Sumba.
"Adinda akan menunggu Kakanda untuk selama-lamanya."
"Kita akan berjumpa kembali," kata Banyak Sumba seolaholah
meyakinkan dirinya serta memperteguh niatnya. Ketika
itu, masuklah Nyimas Teteh membawa sebokor air mawar.
Melihat kedua muda remaja itu berhadap-hadapan, Nyimas
Teteh segera mengundurkan diri kembali. Begitu Nyimas
Teteh lenyap, menghamburlah kedua muda remaja itu dan
kembali berpelukan.
Banyak Sumba akhirnya dapat mengendalikan
perasaannya. Tanggungjawab akhirnya menundukkan
hasratnya untuk tinggal dengan Nyai Emas Purbamanik. Ia
mengundurkan diri sambil berkata, seperti berdoa, "Kita akan
berjumpa kembali, kita akan berjumpa kembali." Nyai Emas
Purbamanik mengikutinya sampai pintu depan kaputren, lalu
melambai dengan selendang yang juga dipergunakan untuk
mengusap air matanya. Tak lama kemudian, Banyak Sumba
pun sudah berada di perjalanan, di atas pelana kuda, diiringi
kedua orang panakawannya. Mereka menuju suatu wilayah di
selatan benteng Kutabarang, tempat pertempuran yang
direncanakan akan dilaksanakan oleh para anggota dua
perguruan. -ooo0do0ow0oooBab 6 Si Gojin Hari menuju subuh, dan selagi udara dingin, ketiga orang
kawan seperjalanan itu melarikan kuda dengan cepat. Mereka
mengharapkan dapat menempuh perjalanan yang cukup
panjang selagi kuda mereka masih segar dan sebelum udara
menjadi panas. Karena cepatnya perjalanan itu, mereka tidak
dapat bercakap-cakap. Dan kebisuan itu mendorong Banyak
Sumba untuk mengembalikan kenangannya kepada Nyai Emas
Purbamanik di Puri Purbawisesa.
Apa yang dialami di puri itu seperti mimpi belaka baginya,
sebuah mimpi yang indah dan memabukkan. Dalam
perjalanan itu, tiba-tiba ia menyadari bahwa barangkali satusatunya
kesempatan untuk berbahagia dalam kehidupannya
^elah lepas darinya. Mengapa ia tidak mengambil kesempatan
itu" Mengapa ia tidak bertahan tinggal di Puri Purbawisesa dan
melupakan dendam keluarganya terhadap Puragabaya Anggadipati,
Pembayun Jakasunu, dan Tumenggung Wiratanu"
Ya, bukankah sifat mengampuni itu terpuji, dan bukankah
sifat sabar itu dititahkan oleh Sunan Ambu kepada seluruh
manusia" Dan bukankah sia-sia kalau hidup ini dijadikan
tempat saling membalas dendam dan saling menyakiti"
Demikianlah renungan-renungan timbul dalam pikiran Banyak
Sumba, sementara dalam khayalannya terbayang-bayang Putri
Purbamanik yang cantik jelita itu. Bersamaan dengan
bayangan-bayangan itu, mendesaklah rasa rindu dan
hasratnya untuk kembali ke Puri Purbawisesa dan
menggagalkan niatnya mencari guru. Berulang-ulang ia
berpaling ke belakang dan hampir saja ia berseru kepada
kedua orang temannya yang berkuda di belakangnya untuk
berhenti. Akan tetapi, lidahnya tidak dapat bergerak untuk
menyampaikan perintah itu dan rombongan pun makin jauh
juga dari Puri Purbawisesa.
Ia pun berdiam diri kembali sambil memandang ke depan.
Kesunyian subuh dan suara kedepuk kaki-kaki kuda juga
membangkitkan renungannya yang lain. Bagi seorang kesatria
dan"terutama"anak laki-laki tertua dari keluarga kesatria,
bukanlah kehormatan keluarga itu di atas segala-galanya" Dan
bukankah keluarga Banyak Citra merupakan salah satu
wangsa tertua dan terhormat di seluruh Pajajaran" Oleh
karena itu, mengapa ia harus ragu-ragu" Mungkinkah ia lemah
dan menjadi layu karena kecantikan seorang putri, sehingga
melupakan kewajiban seorang kesatria" Mungkinkah ia
sebenarnya orang yang tidak pantas menjadi keturunan
wangsa Banyak Citra"
Banyak Sumba mulai membenci dan mengutuk dirinya,
sementara kudanya menderu ke timur. Ia menyadari berapa
banyak biaya serta waktu yang telah dibuangnya dan betapa
banyak perbuatan sia-sia yang telah dilakukannya. Seharusnya
ia sudah menunaikan sedikitnya sebagian tugas keluarga yang
dibebankan kepadanya. Dua tahun telah berlalu sejak ia
meninggalkan keluarganya, tetapi satu pun belum
dikerjakannya. Ia harus membalas dendam kepada keluarga
Wiratanu yang memancing Kakanda Jante ke dalam huruhara,
tapi yang dikerjakannya hanyalah keluyuran di Kota
Kutabarang yang penuh dengan keramaian dan kegembiraan.
Ia harus membalas dendam kepada keluarga Pembayun
Jakasunu, tetapi yang dikerjakannya hanyalah berkelahi di
tempat orang kenduri. Ia harus membawa abu jenazah
Kakanda Jante Jaluwuyung, tetapi yang dikerjakannya tidak
lain kecuali berkelahi dengan Raden Girilaya, seorang kesatria
budiman, dan merebut pekerjaannya. Seharusnya ia
memenggal kepala Anggadipati, pembunuh Kakanda Jante,
tetapi yang dilakukannya tidak lain daripada bercumbuan
dengan Putri Purbamanik. Ia berteriak dan memecut kudanya
keras-keras hingga kudanya melonjak dan lari seperti gila.
Kedua panakawannya keheranan, lalu menyusul memacu kuda
masing-masing. HARI MULAI fajar ketika rombongan tiba di pertigaan, yang
satu langsung menuju Kutabarang, yang lain menuju
perbukitan sebelah selatan, tempat yang akan dijadikan
medan pertempuran. Banyak Sumba melambatkan kudanya
dan memberi aba-aba kepada panakawannya supaya berhenti.
Di pertigaan itu, orang-orang mulai sibuk karena kampung
yang ada di sekitar jalan itu cukup banyak dan padat pula
penghuninya. Di sanalah Banyak Sumba merencanakan
berhenti sebentar untuk memberi makan dan minum kuda,
serta memeriksa kaki binatang itu karena perjalanan masih
jauh. Begitu Banyak Sumba turun dari kudanya, seorang tampak
berlari ke arah Jasik. Banyak Sumba memerhatikan orang itu.
'Jasik, kebetulan kita bertemu, ada berita penting bagimu."
"Oh, Ajum, ada apa kau di sini?"
"Sik, ke Perguruan Gan Tunjung datang empat orang tamu.
Mereka mencarimu dan tuanmu," kata orang yang disebut
Ajum itu. Banyak Sumba berjalan mendekati Jasik yang
sedang berhadapan dengan pendatang itu.
"Mereka dari mana?" tanya Jasik sambil- berpaling ke arah
Banyak Sumba. "Mereka datang dari Kota Medang. Mereka mencari Raden
Banyak Sumba dan kau, Sik," kata Ajum. Untuk sementara,
tak ada yang berkata-kata. Jasik berulang-ulang berpaling
kepada Banyak Sumba yang tetap membisu. Kemudian,
Banyak Sumba membuka pembicaraan, "Apakah mereka
ponggawa atau kesatria, atau panakawan?"
"Yang seorang tampaknya ponggawa tinggi, yang tiga
orang lagi panakawan dan prajurit."
"Apakah mereka bersenjata?" tanya Jasik.
"Bersenjata, sejauh yang diperbolehkan di daerah
kerajaan," jawab Ajum pula.
Jasik memandang Banyak Sumba.
"Maksud saya, apakah mereka bersenjata hiasan atau
senjata yang sungguh-sungguh," tanya Jasik pula. Ajum
tampak kebingungan dan tidak mengerti apa yang dimaksud
Jasik. Jasik terpaksa menjelaskan pertanyaannya, "Kautahu
bahwa warga kerajaan hanya dibolehkan membawa senjata
pendek, itu pun kebanyakan hanya sebagai hiasan atau pisau
untuk keperluan sehari-hari dan bukan untuk keperluan
perkelahian. Tentu saja kau dapat membedakan, apakah
senjata yang mereka bawa itu senjata untuk perkelahian atau
alat-alat sehari-hari. Misalnya, adakah mereka membawa
trisula, yang sebenarnya tidak ada gunanya untuk kesibukan
sehari-hari?"
Ajum tampak termenung, kemudian berkain, "Saya tidak
memerhatikan sejauh itu, Sik. Saya hanya melihat mereka
datang kepada Gan Tunjung dan mendengar percakapan
mereka sebelum saya berangkat kemarin."
Jasik memandang Banyak Sumba. Banyak Sumba berkata
kepada Ajum, "Terima kasih atas berita itu, Jum."
"Kembali, Raden. Kebetulan saja kita bertemu di sini, jadi
saya dapat menyampaikannya dan kalau para tamu itu
penting, Raden dapat segera pulang ke Kutabarang sebelum
tamu-tamu itu melanjutkan perjalanan. Saya mendengar
bahwa mereka akan mencari Raden ke Kota Kutabarang, ke
tempat Raden menginap."
Sekali lagi, Banyak Sumba dan Jasik berpandangan.
Kemudian Jasik bertanya, "Sudahkah mereka berangkat ketika
kau pergi?"
"Belum," ujar Ajum.
"Baiklah, terima kasih atas beritamu yang sangat penting
itu, Jum," kata Banyak Sumba, kata-katanya terputus-putus.
"Kembali, Raden, dan selamat berpisah. Saya harus
menggabungkan diri dengan rombongan pedati kerbau,"
seraya berkata demikian, Ajum menundukkan kepalanya
kepada Banyak Sumba. Setelah memberi salam kepada Jasik
dan Arsim, Ajum pun bergegas pergi ke arah rombongan
orang-orang yang sibuk.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tinggal tiga sekawan termenung. Untuk beberapa lama,
tidak ada yang memulai percakapan. Baru setelah beberapa
lama, Banyak Sumba berkata kepada kedua orang panakawannya,
"Mereka telah menemukan jejak kita, Sik. Kita harus
meninggalkan Kutabarang secepatnya." Jasik tidak menjawab,
ia hanya menunduk.
"Untung kau sedang tidak ada di tempat, Sik," tiba-tiba
Arsim berkata. "Kalaupun saya berada di perguruan, mereka tidak akan
berani mengganggu saya," ujar Jasik.
"Ya, tentu saja, dan mereka boleh coba," kata Arsim pula.
Kemudian ia tertawa, lalu melanjutkan, "Dan anak-anak dapat
berlatih dengan keempat orang itu, hahaha ...."
Kegembiraan Arsim itu tidak memengaruhi kedua orang
lainnya yang tetap termenung, hingga Arsim kemudian
berhenti tertawa dan memandang kedua orang temannya
dengan agak keheranan. Setelah beberapa lama sunyi,
berkatalah Banyak Sumba, "Kuda kita sudah minum, hari
berangsur siang. Kita harus segera meninggalkan tempat ini,
siapa tahu mereka menuju ke sini. Kalau bertemu dengan
mereka, mungkin kita menghadapi kesulitan yang tidak perlu,"
kata Banyak Sumba.
"Empat orang tidak terlalu banyak bagi kita, Den," kata
Arsim. "Benar, Kang Arsim, tetapi tugas saya sementara bukan
untuk melayani mereka. Saya harus mencari guru terlebih
dahulu. Akan tiba saatnya mereka kita hadapi, tapi sekarang,
marilah kita pergi dari sini," kata Banyak Sumba.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, kedua orang panakawan
itu berjalan menuju kuda masing-masing. Tak lama
kemudian, mereka sudah berada di perjalanan, menuju daerah
di selatan benteng Kutabarang. Ketika itu, matahari mulai
bersinar, cahayanya yang merah mewarnai pipi sebelah kiri
Banyak Sumba. SEPANJANG pagi, mereka melarikan kudanya, beriringiringan
menyusuri jalan kerajaan yang berliku-liku di kaki
bukit-bukit, atau lurus melintasi padang-padang perhumaan.
Kadang-kadang jalan itu menurun, melintasi lembah, kadangkadang
menclaki menyusur lereng gunung. Beberapa buah
jembatan telah mereka lalui ketika mereka melihat
sekelompok rumah petani di bawah kelompok pohon-pohonan
di tengah padang perhumaan.
"Kita makan di kampung itu, Sik," kata Banyak Sumba.
Kedua orang panakawannya serempak menyetujuinya karena
matahari sudah menempuh seperempat perjalanannya dan
mereka belum menyentuh sesuap nasi pun pagi itu. Di
kampung itu mereka menerima sajian dari penduduk
setempat, yang di samping memberikan sarapan juga
memberikan buah-buahan kepada mereka. Setelah mereka
sarapan, Banyak Sumba dengan kedua orang panakawannya
tidak segera pergi. Mereka memberi kesempatan kepada kuda
masing-masing untuk beristirahat. Di samping itu, mereka
perlu berbincang-bincang dengan penduduk kampung kecil
yang baik hati dan ramah tamah itu.
"Bagaimana keamanan daerah ini, Paman?" tanya Banyak
Sumba kepada tuan rumah.
"Baik, Raden."
"Saya dengar, di selatan Kutabarang kurang baik
keamanannya, tapi rupanya berita itu tidak benar," lanjut
Banyak Sumba. "Berita itu benar, Raden," tukas tuan rumah dengan tidak
disangka-sangka.
Banyak Sumba mengerutkan keningnya, tidak mengerti.
Tuan rumah melanjutkan keterangannya, "Kampung-kampung
selatan sering didatangi gerombolan si Colat. Mereka tidak
pernah mengganggu, tetapi meminta sumbangan yang
kadang-kadang jumlahnya terlalu besar bagi para petani
setempat."
"Si Colat?" seru Banyak Sumba penasaran.
"Ya, saya sendiri tahu bangsawan itu ketika masih kecil.
Sebenarnya, ia dapat menjadi kesatria yang baik. Akan tetapi,
entah bagaimana sebabnya, sekarang ia menjadi buruan
kerajaan."
Banyak Sumba semakin penasaran mendengar berita itu.
Harapannya timbul untuk bertemu dengan si Colat, tetapi ia
penasaran pula akan hal-hal yang tidak diketahuinya
belakangan ini.
"Tadi, Paman mengatakan bahwa si Colat buruan kerajaan.
Saya dulu mendengar bahwa memang ada bangsawan yang
menyediakan hadiah bagi yang berhasil menangkap si Colat.
Baru sekarang saya mendengar bahwa kerajaan turun
tangan." "Baru beberapa waktu yang lalu saja kerajaan turun
tangan, Raden, yaitu setelah satu keluarga hampir punah
dibunuhnya. Peristiwa yang mengerikan itu terjadi setelah
putranya yang bernama Raden Jimat diculik oleh suatu
keluarga bangsawan. Keluarga itulah yang kemudian satu
demi satu dibunuh si Colat. Kepada rakyat biasa, si Colat tidak
pernah mengganggu. Apalagi kepada penduduk kampung
kami. Ia pernah berkata di sini bahwa kampung ini tidak akan
diganggu karena ia ingat di waktu kecil sering berhenti di sini
dan disambut dengan ramah oleh orang kampung ini.
Kampung-kampung lain, terutama yang kaya dan dipimpin
bangsawan-bangsawan tertentu, setiap waktu dikunjungi
untuk dipungut sumbangan berupa perbekalan dan kadangkadang
barang emas."
Mendengar kisah itu, termenunglah Banyak Sumba.
Kemudian, timbullah pikirannya untuk mengubah rencana. Ia
bertanya, "Di manakah kira-kiranya saya dapat bertemu
dengan si Colat, Paman?"
Tuan rumah memlalakan matanya dengan curiga lalu
tunduk dan membisu seribu bahasa. Banyak Sumba mengerti
bahwa orang itu ketakutan untuk mengatakan sesuatu tentang
si Colat. Banyak Sumba melepaskan harapannya untuk dapat
bertemu dengan si Colat. Ia berkata, "Oh, tentu saja tidak
pada tempatnya saya bertanya tentang hal itu kepada Paman.
Bagaimanapun, soal ini berbahaya dan saya sendiri
sebenarnya tidak berkepentingan dengan si Colat, sekurangkurangnya
sekarang ini."
Setelah itu, percakapan berbelok ke hal-hal lain. Tak lama
kemudian, rombongan pun pamit dan meneruskan perjalanan.
Kira-kira tengah hari, Arsim memberi aba-aba supaya
rombongan berhenti. Ia turun dari kudanya, lalu berjalan ke
arah Banyak Sumba: "Raden, di sebelah kiri jalan kecil ini ada
kampung. Kita harus menitipkan kuda kita di kampung itu.
Tidak ada kampung lagi di dekat lapangan itu dan kalau kita
bawa, risikonya terlalu besar. Padang-padang ini penuh
serigala dan macan tutul. Jadi, saya usulkan kita titipkan kuda
di kampung dan berjalan kaki untuk beberapa lama."
"Baiklah," kata Banyak Sumba, lalu rombongan pun
membelok, menitipkan kuda.
Setelah itu, mereka berjalan. Mula-mula menyusur jalan
kerajaan yang makin mengecil, kemudian masuk semaksemak
dan huma. Beberapa kali, mereka bertemu dengan
gerombolan babi hutan dan berulang-ulang pula mereka
mengejutkan kawanan menjangan. Burung-burung
beterbangan di atas kepala mereka dan berbunyi ramai sekali.
Pepohonan makin lama makin lebat juga, dan semak-semak
berubah menjadi hutan.
Tiba-tiba, hutan terbuka. Tampaklah oleh Banyak Sumba
suatu lembah berbentuk lonjong. Di dasarnya terdapat tanah
yang rata dan berumput. Sebelum Arsim mengatakan apaapa,
Banyak Sumba sudah menduga bahwa tempat itulah
yang akan dijadikan medan perkelahian pada malam yang
akan datang. "Kita datang cepat, Raden," kata Arsim.
"Lebih baik, Kang Arsim, kita dapat beristirahat," sambut
Banyak Sumba dan mereka pun segera mencari tempat
berlindung dari panas matahari sore. Mereka berbaring-baring
di bawah daun-daunan semak. Sambil beristirahat, mereka
pun berusaha agar tidak mudah dilihat orang. Mereka tidak
ingin menimbulkan kecurigaan dan menghalangi lancarnya
perkelahian yang akan berlangsung. Karena itulah, mereka
bersembunyi. Hari makin sore juga. Awan di sebelah barat berubah
warna dari perak menjadi emas, dari emas menjadi tembaga.
Akhirnya, malam tiba, berbarengan dengan munculnya bulan
yang besar dari bukit-bukit di timur. Ketika itulah, Banyak
Sumba mendengar suara berbisik di semak-semak tidak jauh
dari tempat mereka bersembunyi.
"Mereka datang!" Arsim berbisik. Banyak Sumba berpaling
dan tampaklah olehnya iringan laki-laki berpakaian hitam dan
berikat pinggang putih. Suatu hal mengejutkan Banyak
Sumba, yaitu rombongan itu membawa banyak sekali keranda.
"Kang Arsim, mereka membawa keranda?" tanya Banyak
Sumba, berbisik.
"Raden, diadatkan di daerah Kutabarang ini, kalau berniat
bertempur habis-habisan, mereka membawa keranda-keranda
itu. Istilahnya di sini"didongdangkeun. Artinya, mereka hanya
akan keluar dari tempat bertarung dengan keranda itu. Itu
tantangan pula terhadap lawan mereka.
"Lihat, pihak yang lain telah datang. Mereka pun membawa
keranda yang banyak. Lihat!" seru Jasik dalam kesunyian
hutan di malam hari, ketika bulan rendah dan besar bagai
perisai yang terbuat dari emas.
Banyak Sumba melihat ke arah lain dan tampak olehnya
betapa pasukan yang tidak kalah banyak anggotanya keluar
dari semak-semak, memasuki lapangan itu. Rombongan baru
ini pun berpakaian hitam, tetapi ikat pinggangnya bukan putih,
melainkan berwarna emas. Pendatang-pendatang baru ini
segera membentuk barisan memanjang di timur lapangan,
menghadap kepada lawannya yang juga sedang mengatur diri
di sebelah barat. Walaupun mereka sangat sibuk, tak satu
suara pun kedengaran dari arah mereka. Segalanya dilakukan
dengan cepat, tapi tidak bersuara. Kcranda-keranda diletakkan
di belakang barisan secara teratur, orang-orang mencari
tempat masing-masing di antara teman-temannya.
"Mari, kita maju lebih dekat lagi, Sik," bisik Banyak Sumba
sambil bergerak merunduk-runduk menuruni tebing ke arah
kelompok semak-semak lain di tepi lapangan itu. Kedua orang
panakawannya mengikuti dari belakang sambil mengendapendap.
Di suatu tempat yang terlindung oleh semak-semak,
mereka duduk sambil menahan napas karena di hadapan
mereka sedang berlangsung adegan yang mendebarkan hati.
Kedua rombongan yang berlawanan sama-sama
menyalakan dupa yang mereka bawa dari tempat mereka
masing-masing, kemudian upacara sembahyang dilakukan
bersama-sama. Setelah upacara selesai, seorang dari
rombongan yang berikat pinggang emas maju. Dari lawannya
maju pula seorang. Di ruangan antara kedua rombongan,
mereka berunding, tak lama kemudian kembali ke rombongan
masing-masing. Terdengar seruan yang samar-samar,
kemudian tampak kedua rombongan duduk berhadapan, di
ruangan yang luas di hadapan mereka.
"Raden, yang pendek besar itulah pemimpin Perguruan
Pager Rante," bisik Arsim sambil mendekat, "perhatikanlah
cara dia berkelahi. Saya pernah melihat dia melatih ketika Gan
Tunjung membawa saya berkunjung ke Perguruan Pager
Rante. Saya tidak banyak tahu tentang Perguruan Akar Jati,
tapi ada beberapa orang kenalan saya menjadi anggota di
sana," sambung Arsim.
Banyak Sumba melayangkan pandangannya ke rombongan
Pager Rante yang berikat pinggang keemasan dan melihat
orang kekar pendek yang duduk di tengah-tengah barisan.
Sementara mencoba matanya melihat lebih baik, tiba-tiba
dirasakannya tangan Arsim menyentuhnya. "Raden, lihat di
sebelah barat. Ada kecurangan!" tiba-tiba Arsim berkata.
"Kecurangan?" tanya Banyak Sumba.
"Ya, rombongan Akar Jati menyewa bajingan, lihat!"
"Bajingan?" tanya Banyak Sumba.
"Lihat orang yang duduk di samping pemimpin rombongan
barat! Nah, ada orang yang tinggi besar duduk di sampingnya
yang agak kecil. Yang kecil pemimpin Perguruan Akar Jati,
yang besar itu bajingan, si Gojin."
"Siapa si Gojin itu, apakah dia pencuri atau rampok?"
"Bukan, pemalas, hidupnya tidak keruan, tapi judinya
melebihi saudagar. Dia biasa disewa untuk memukul orang,
bahkan mungkin membunuh. Para jagabaya selalu
membayang-bayanginya dan menunggu kesempatan untuk
menangkap dan membuangnya. Bajingan!"
"Kau kenal dia, Kang Arsim?"
"Dia pernah datang ke Bangunan Gan Tunjung pinjam uang
kepada saya, tidak pernah mengembalikannya. Saya tidak
berdaya. Ilmunya tinggi dan Gan Tunjung tidak mau bersusahsusah
mencari dia. Padahal, siswa-siswa perguruan bersedia
membantu saya mencarinya."
"Lihat!" seru Jasik. Banyak Sumba melihat ke lapangan dan
tampaklah olehnya seseorang dari ujung barisan barat berdiri
diikuti oleh seseorang lain dari barisan timur. Banyak Sumba
menajamkan pandangannya karena cahaya bulan samarsamar
saja menerangi lapangan itu, sedangkan ujung barisan
itu jauh dari tempat mereka mengintai.
"Mereka mulai," kata Jasik yang terus-menerus
memusatkan perhatiannya ke lapangan.
Rupanya, yang maju lebih dahulu dua orang siswa termuda
di perguruan. Mereka berjalan ke tengah-tengah ruangan
antara kedua barisan yang duduk berjajar. Mereka memberi
hormat kepada perguruan masing-masing, lalu berhadapan.
Kemudian, terjadilah baku hantam yang buruk tapi buas.
Begitu cepat dan kacaunya perkelahian itu. Karena malam
samar-samar, Banyak Sumba tidak dapat memerhatikannya
lebih baik. Terutama setelah kedua lawan berguling-guling di
rumput, Banyak Sumba kehilangan perhatiannya. Ia tidak
akan mengambil pelajaran dari perkelahian siswa-siswa itu.
Oleh karena itu, ia lebih memusatkan perhatiannya pada yang
akan dilakukan oleh kedua barisan itu kemudian. Akan tetapi,
ketika ia melihat ke arah tengah-tengah barisan, sesuatu
terjadi di ujung barisan. Kedua lawan yang berkelahi
bergelundung ke ujung barisan, kemudian siswa-siswa dari
Pager Rante yang duduk di ujung berdiri. Siswa-siswa dari


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akar Jati pun berdiri. Yang sedang berkelahi dapat
memisahkan diri dan menjauhkan diri dari lawan. Tiba-tiba
seorang, entah dari pihak mana, menyerang dengan kaki ke
arah dada lawannya. Lawannya yang belum siap, terjatuh ke
belakang, tidak bangkit lagi.
Pemenang mundur diiringi dengan gumam dari pihaknya.
Akan tetapi, tak lama ia berdiri di lapangan karena dua orang
pasangan baru berdiri dan mulai berhadapan. Banyak Sumba
mulai tertarik lagi perhatiannya.
Kedua orang lawan tidak segera menyerang, mereka saling
mengintai. Kemudian, dalam waktu yang bertepatan,
keduanya menghambur menyerang. Baku hantam yang kacau
terjadi, kemudian kedua orang lawan menjauh sambil
terengah-engah memasang kuda-kudanya kembali. Mereka
maju perlahan-lahan. Lalu yang seorang menangkap tangan
yang lain dan mencoba mematahkannya, tetapi lawannya
menendang perutnya. Mereka berpisah kembali, lalu
menerjang. Sekarang, pergulatan jarak dekat terjadi. Banyak
Sumba tidak lagi dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi,
hanya beberapa lama kemudian dilihatnya seorang di antara
pasangan itu terjatuh, lalu disepak dan diinjak-injak oleh
lawannya. Kemudian, lawannya berjalan ke arah barisannya,
disambut dengan seruan gembira dari pihaknya.
"Mungkin tewas, rusuknya diinjak-injak," seru Arsim.
"Kejam sekali," bisik Jasik.
"Dendam lama, Sik. Bertahun-tahun mereka bersaing dan
berkelahi kecil-kecilan. Sekarang saat yang menentukan,
perguruan mana yang akan berpengaruh di wilayah ini."
"Pantas pemerintah kerajaan mencegahnya," ujar Jasik
pula. Sementara kedua orang panakawannya bercakap-cakap
demikian, Banyak Sumba melihat bagaimana korban yang
berbaring di antara kedua barisan dirubungi, diangkat oleh
kawannya, kemudian dibawa ke barisan dan langsung
dimasukkan keranda.
"Tewas!" seru Jasik.
"Ayo, maju!" tiba-tiba kawan si mati berseru dan berdiri di
tengah-tengah lapangan antara kedua barisan. Kematian
kawannya tampak memengaruhi orang itu. Dari seruannya,
terdengar ia sudah kalap karena kemarahan dan kesedihan.
Banyak Sumba merasakan suasana tegang meninggi dan ia
menunggu kejadian-kejadian yang serba mungkin dalam
keadaan seperti itu.
Penantang tidak lama berdiri di tengah-tengah gelanggang
karena lawan segera muncul. Begitu mereka berhadapan,
penantang menyerangnya bagai binatang buas. Lawannya
sudah siap-siap mengelak, tetapi dengan membabi buta
penantang menangkap pinggangnya. Keduanya kehilangan
keseimbangan, lalu jatuh di rumput. Pergulatan yang tidak
jelas terjadi, kemudian kedua orang lawan berbaring sebentar.
Tak lama kemudian, penantang berdiri, lawannya tidak.
"Siapa lagi!" seru penantang dari Pager Rante.
Kebetulan, Banyak Sumba melihat ke barisan pimpinan
Perguruan Akar Jati. Ia melihat si Gojin berpaling dan
berbicara dengan pemimpin pihak yang kalah dalam
perkelahian itu. Si Gojin seperti akan berdiri, tapi ditahan
pemimpin perguruan itu.
Sementara itu, seorang anggota Perguruan Akar Jati
berdiri, lalu berjalan ke arah penantang. Yang lain juga berdiri,
tapi untuk mengusung kawannya dan memasukkannya ke
keranda yang telah tersedia di belakang barisan.
Tak lama kemudian, perkelahian pun terjadi lagi. Sekarang,
perkelahian jarak jauh. Penantang menyerang dengan cepat
dan keras, lawan mencoba mengelak dan mencari
kesempatan. Akan tetapi, malang baginya karena pukulan
penantang dari Pager Rante mengenai rahangnya. Ketika
anggota Akar Jati ini mendongak, penantangnya tidak
memberi kesempatan. Jurus-susun menghantam rusuknya.
Dan ketika ia jatuh, penantang tidak membiarkan
kesempatannya. Injakan tumit yang tidak bisa dielakkan
menghantam ulu hatinya, disusul dengan injakan di muka,
sepakan di kepala, dan injakan di perut. Korban bergerakgerak
sejenak, kemudian diam.
"Siapa lagi!" seru penantang dari Pager Rante, serak. Sekali
lagi, Banyak Sumba melihat orang bernama si Gojin yang
sedang bersila di samping pemimpin Perguruan Akar Jati
hendak bangkit, tapi seperti sebelumnya, ia ditahan. Yang
bangkit siswa lain yang bertubuh tinggi besar.
Penantang dari Pager Rante tidak gentar sedikit pun. Begitu
mereka berhadapan, begitu ia menerjang. Lawannya yang
bertangan dan berkaki panjang menghindarkan diri dengan
menjauh dan menghindar berkeliling. Karena serangannya
berulang-ulang tidak mengenai sasarannya, dengan
menenangkan napasnya, tampaklah penantang dari Pager
Rante mengubah siasatnya. Ia berhenti sambil memasang
kuda-kuda. Lawannya yang selama ini menghindar dan
memelihara jarak jauh serta mengambil keuntungan dari
tangan dan kakinya yang panjang, mulai memasang kudakuda.
Tampaknya ia bimbang sebentar, kemudian
beranggapan bahwa saat untuk membuka serangan tiba.
Ia mengambil keuntungan dari tubuhnya yang tinggi dan
badannya yangjauh lebih panjang daripada lawannya. Ia
menyodorkan tangannya dekat sekali ke tangan lawan,
seolah-olah hendak menangkap tangan dari pihak Pager Rante
itu. Akan tetapi, lawannya tiba-tiba memukul tangan yang
disodorkannya itu dengan keras. Si tinggi besar menarik
tangannya kesakitan, diiringi gumam puas dari pihak Pager
Rante. Dari sebelum gumam itu reda, penantang dari Pager
Rante secepat kilat menyerang si tinggi besar yang tidak
sempat mengelak. Pukulan ke dada yang tidak terelakkan
menyebabkan si tinggi besar mendongak dan sempoyongan
ke belakang. Penantang dari Pager Rante yang telah menjadi
buas itu tidak menunggu-nunggu, ia terus menyerbu hingga si
tinggi besar terpental ke belakang. Ketika itulah, terjadi suatu
hal yang menyebabkan Banyak Sumba dengan panakawannya
serta sejumlah anggota Pager Rante, berdiri. Ternyata, si
tinggi besar seorang pengecut. Ketika dia jatuh, tangannya
mencabut senjata, sebilah belati panjang yang tersembunyi di
balik bajunya. "Licik! Dalam perjanjian tidak boleh mempergunakan
senjata!" seru Arsim, lupa bahwa ia sebenarnya sedang
bersembunyi dan datang ke tempat itu hanya sebagai
penonton yang mengintip. Akan tetapi, teriakannya itu
tenggelam dalam teriakan yang lain, terutama orang-orang
dari Pager Rante.
Kemudian, suatu peristiwa yang tidak disangka-sangka
terjadi pula. Salah seorang pemimpin Akar Jati bangkit,
berjalan ke antara kedua orang lawan yang sedang
berhadapan. Dengan cepat, ia menangkap tangan si tinggi
besar yang memegang belati, lalu melipat pergelangan
tangannya hingga belati itu jatuh. Si tinggi besar masih tetap
dipegang tangannya dan tidak bisa bergerak. Sang Pemimpin
memandang mukanya, lalu meludahi muka si tinggi besar.
Setelah itu, suatu pukulan yang keras menimpa muka si tinggi
besar hingga tunggang langgang. Si tinggi besar bangkit, tapi
tendangan menghantam dadanya dan ia terbaring tidak
bangkit lagi. Beberapa orang siswa Akar Jati berdiri, lalu
menyeret si tinggi besar, tidak dimasukkan keranda karena
tampaknya hanya pingsan. Rupanya, keranda itu hanya untuk
yang roboh secara terhormat. Si tinggi besar dilempar begitu
saja ke semak. Maka, Banyak Sumba dengan kedua
panakawannya duduk kembali dengan hati yang puas,
demikian juga orang-orang dari Pager Rante yang berdiri
mulai duduk kembali.
Kejadian yang menegangkan telah berlalu, tetapi
ketegangan tidaklah menghilang. Penantang dari Pager Rante
berjalan-jalan di gelanggang bagai seekor binatang buas
dalam kandang yang tak sabar hendak lepas. Sementara itu,
para siswa Akar Jati belum juga ada yang berdiri. Si Gojin
sekali lagi dilarang oleh pemimpin Perguruan Akar Jati untuk
melayani penantang itu. Setelah beberapa lama, barulah
seorang siswa Akar Jati berdiri dan dengan tenang berjalan ke
arah penantang. Mereka berhadapan untuk beberapa lama,
tetapi tak seorang pun memulai serangan. Mereka maju
sedikit demi sedikit, mendekati lawan. Ketika tangan hampir
bersentuhan, terjadilah pergumulan, tapi bukan antara kedua
tubuh pendekar itu, melainkan hanya tangan mereka yang
bagai empat ekor ular berbelit-belit. Sementara tubuh mereka
hanya sedikit-sedikit bergerak.
Perkelahian seperti itu hanya sekejap. Pada suatu saat,
pihak Akar Jati menggerakkan badannya ke samping dan
mempergunakan seluruh berat badannya seolah-olah hendak
menjatuhkan diri. Derak tulang yang patah seolah-olah
terdengar oleh Banyak Sumba, dan penantang dari Pager
Rante pun terhuyung ke belakang seraya memegang tangan
kirinya yang tergantung lumpuh. Ia hanya sebentar
sempoyongan karena lawannya dengan buas menerkam,
menghentakkan tendangan bertubi-tubi ke arah bagian-bagian
tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya itu. Orang yang
malang itu jatuh menggelepar di atas rumput, kemudian
diinjak-injak oleh lawannya.
Dengan sedih, tampak kawan-kawannya dari barisan Pager
Rante berdiri. Mereka mengambil keranda yang dibawanya ke
tengah lapangan, lalu mengangkut pahlawan yang sudah tidak
bergerak lagi itu. Akan tetapi, lawannya dari Akar Jati belum
puas. Ketika pahlawan Pager Rante itu sedang diangkat, ia
menyepaknya sekali lagi, lalu pergi.
Kejadian itu mengejutkan Banyak Sumba dan kedua orang
panakawannya. Demikian pula halnya kawan-kawan pahlawan
Pager Rante. Salah seorang di antara mereka menarik tangan
pihak Akar Jati, lalu mengatakan sesuatu. Akan tetapi, siswa
Akar Jati memukul leher orang itu hingga sempoyongan. Ini
menyebabkan kawan-kawan yang dipukul menyerang
serentak. Melihat hal itu, berbangkitanlah mereka dari kedua
pihak, lalu menghambur ke depan. Perkelahian yang kalang
kabut pun terjadi. Banyak Sumba berdiri, ia mendengar
teriakan-teriakan dan melihat kilatan-kilatan senjata dalam
cahaya bulan itu. Kemudian, dilihatnya si Gojin berjalan ke
tengah-tengah gelanggang.
Dengan penuh kekaguman, Banyak Sumba melihat
bagaimana si Gojin berjalan ke depan. Setiap orang Pager
Rante yang menghalanginya, dengan dua atau tiga
gerakannya bergulingan tidak bangkit lagi. Si Gojin berjalan
terus, menuju para pemimpin Perguruan Pager Rante yang
masih berada di tempat semula, walaupun mereka tidak
duduk lagi sekarang.
Banyak Sumba keluar dari tempatnya mengintai, lalu
mendekati tempat yang dituju si Gojin, yaitu tempat pimpinan
Perguruan Pager Rante berdiri.
"Raden, ke mana, Raden?" Arsim dengan cemas bertanya.
"Mari kita lihat si Gojin, Kang Arsim," kata Banyak Sumba.
"Raden, mereka akan memukul kita kalau terlalu dekat,
mereka menyangka kita ikut campur."
"Kita tidak berpakaian hitam, Kang Arsim, mari!" seru
Banyak Sumba, sementara matanya mengawasi si Gojin yang
sudah berhadapan dengan pemimpin Perguruan Pager Rante.
Mereka berhadapan, tetapi pemimpin perguruan itu tidak
bergerak, ia tetap berpangku tangan. Si Gojin meludah di
tanah di hadapan pemimpin perguruan itu. Setelah itu,
majulah salah seorang di antara pemimpin Pager Rante
termuda. Hanya dengan dua gerakan yang cepat sekali, si
Gojin sudah menjatuhkan orang itu, yang walaupun masih
bergerak-gerak, tidak dapat lagi berdiri.
Orang kedua yang menghadapinya tidak beruntung pula.
Pukulan yang dilepaskannya terhadap si Gojin tidak
dihindarkan, malah diterimanya dengan dadanya. Gedebuk
yang keras terdengar, berbarengan desis serangan si Gojin
yang mengenai kepala orang itu. Orang itu sempoyongan, lalu
jatuh pingsan. Ketika yang ketiga datang, si Gojin tidak
memberinya kesempatan. Pukulannya membuat orang itu
terpaku seperti terkejut, kemudian kedua lututnya melekuk
dan orang itu duduk.
"Bagus, Kang Arsim!" seru Banyak Sumba yang senang
melihat orang yang berkepandaian seperti si Gojin. Akan
tetapi, tidak ada yang menyahut. Ternyata, Banyak Sumba
sudah masuk ke tengah-tengah perkelahian dan Arsim serta
Jasik meninggalkan diri dekat semak-semak.
Ketika itu, lawan si Gojin tinggallah pemimpin Perguruan
Pager Rante yang sudah tua, yang masih tetap berpangku
tangan. Si Gojin berjalan ke arah orang tua itu, dan dari
beberapa arah datang pula para pemimpin Perguruan Akar
Jati, mengelilingi orang tua yang tinggal seorang diri itu.
"Saya tidak ada persoalan denganmu, Gojin," kata orang
tua itu. "Tapi, saya berurusan dan punya utang kepada pemimpin
Perguruan Akar Jati, jadi antara kita ada persoalan," kata
Gojin. "Baiklah, tapi beri kesempatan saya menghadapi dulu
lawan-lawan saya yang sebenarnya, baru nanti saya
melawanmu," kata orang tua itu sambil berpaling ke arah
pemimpin Perguruan Akar Jati. Pemimpin Akar Jati memberi
isyarat kepada si Gojin untuk mundur, maka mereka pun mulai
mengelilingi orang tua itu.
Tiba-tiba, orang tua itu menyerang salah seorang pemimpin
Akar Jati dengan kakinya, sementara tangannya menangkis
serangan dari samping... bersamaan dengan itu terdengarlah
bunyi trompet jagabaya. Lapangan itu sudah dikelilingi
pasukan jagabaya yang besar jumlahnya. Si Gojin berlari ke
suatu arah, Banyak Sumba mengejarnya dari belakang. Ia
tidak memerhatikan hal-hal lain, kecuali si Gojin yang dengan
sigap melompati semak-semak yang menghalangi jalannya.
Ternyata, arah yang diambil si Gojin untuk melarikan diri
memang arah yang baik. Tak lama kemudian, mereka sudah
keluar dari kepungan para jagabaya yang datang untuk
mengamankan itu. Banyak Sumba terus berlari membuntuti si
Gojin yang tidak mengetahui bahwa dia diikuti orang.
"Raden!" seru Jasik dari belakang.
"Raden, kampung tempat menyimpan kuda ada di sebelah
utara," kata Arsim.
"Ikuti saya!" seru Banyak Sumba. Maka, mereka pun terus


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlari mengejar si Gojin yang melompati atau menyelinap
semak-semak di bawah sinar bulan yang terang itu.
"Raden, si Gojin itu orang tidak baik. Ia tidak akan menjadi
guru yang baik," kata Arsim pula sambil terus berlari. Banyak
Sumba tidak menjawab.
"Saya lebih setuju kalau Raden berguru kepada si Colat,"
tambah Arsim sambil terengah-engah. Akan tetapi, Banyak
Sumba tetap berlari karena takut kehilangan jejak si Gojin.
Walaupun begitu, perkataan Arsim yang terakhir menjadi
perhatiannya. Memang ia pun sependapat dengan Arsim
bahwa si Colat akan menjadi guru yang jauh lebih baik
daripada si Gojin. Bagaimanapun, ilmu si Gojin tidak dapat
dibandingkan dengan ilmu si Colat yang menurut kabar telah
menguasai ilmu kepuragabayaan itu. Akan tetapi, justru
karena itu pula Banyak Sumba berpendapat bahwa si Gojin
yang terlebih dahulu harus dijadikan guru. Hal itu berdasarkan
pertimbangan yang tiba-tiba saja masuk pikirannya.
Waktu ia melihat si Colat berkelahi melawan beberapa
orang, ia dapat menyaksikan bagaimana tangguhnya si Colat
yang dengan mudah dan cepat merobohkan lawan-lawannya
sambil menggendong Den Jimat. Akan tetapi, gerakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerakannya itu tidak dimengertinya. Sebaliknya, ia
menyaksikan si Gojin melakukan serangan-serangan yang
ampuh. Walaupun ia tidak mengerti dan tidak dapat
menjelaskan seluruh yang dilakukan si Gojin, ia masih dapat
menduga-duga berbagai bentuk serangan yang dilakukan si
Gojin itu. Bagaimanapun, ia dapat mengukur kepandaian si
Gojin, sementara mengenai kepandaian si Colat, ia masih buta
sama sekali. Itulah sebabnya, ia berketetapan hati bahwa si
Gojin harus dijadikan gurunya terlebih dahulu sebelum ia
berusaha mencari si (Inlat.
Sementara itu, tampak si Gojin memperlambat larinya, lalu
berjalan biasa. Banyak Sumba dengan kedua kawannya
berjalan pula. Ketika itulah, Banyak Sumba berpikir tentang
rencana-rencana yang harus dibuatnya. Ia berpaling kepada
Jasik, lalu berkata, "Sik, saya akan belajar kepada si Gojin ini.
Engkau dapat memutuskan sendiri apa yang hendak
kaulakukan, ikut belajar denganku atau tetap bekerja kepada
Perguruan Gan Tunjung?"
"Raden, tapi si Gojin ini tidak dapat dipercaya. Ia belum
tentu bersedia menjadi guru Raden," sela Arsim.
"Saya dapat mengusahakannya, Kang Arsim. Kalau saya
gagal, saya akan segera kembali ke Banyak Sumba teringat
Nyai Emas Purbamanik, tetapi ingatannya segera
dibelokkannya. "Lebih baik saya terus bekerja, Raden. Seandainya Raden
kehabisan biaya, saya dapat menyumbangkan uang dan
perbekalan kepada Raden," ujar Jasik setelah beberapa lama
termenung. "Tapi, tentu saja saya harus tahu di mana Raden
belajar," lanjut Jasik.
"Saya tahu kampung tempat tinggal si Gojin. Saya pun tahu
di mana biasanya ia berada kalau pergi ke Kutabarang. Ia
kenalan lama Gan Tunjung," kata Arsim.
Banyak Sumba termenung, lalu berkata, "Kalau begitu,
kalian dapat kembali ke Kutabarang, sementara saya terus
mengikuti si Gojin ini."
"Bagaimana dengan kuda Raden?" tanya Jasik.
"Bawalah ke Kutabarang dan uruslah di sana. Seandainya
saya kehabisan bekal, siapa tahu ia dapat kita jual, walaupun
saya mulai sayang kepadanya," sambung Banyak Sumba.
"Tapi Radenkata Arsim. Jasik menyentuh Arsim karena
Jasik tahu bahwa kalau sudah menetapkan sesuatu, Banyak
Sumba sukar untuk mengubah pendiriannya.
"Nah, sebelum kasip kembalilah ke Kutabarang. Saya akan
mengikuti si Gojin dan segera memberi kabar seandainya
sudah ada kesempatan. Atau, kalau sempat, kalian dapat
menyelidiki tentang saya ke kampung si Gojin."
"Kampungnya cukup jauh dari tempat ini, Raden."
"Tidak jadi soal bagi saya, Kang Arsim," ujar Banyak
Sumba. "Kalau begitu...."kata Arsim.
"Kalau begitu, pulanglah ke Kutabarang," ujar Banyak
Sumba, "Titip kuda, Sik, saya akan segera memberi kabar
kepadamu. Ingat, sebentar lagi genap tiga tahun kita
mengembara dan kita harus kembali ke Kota Medang
mengunjungi keluarga," sambung Banyak Sumba. Jasik yang
semula bimbang menjadi tenteram oleh perkataan terakhir
Banyak Sumba itu. Tampaknya ia menyadari bahwa Banyak
Sumba pun, seperti dia, sudah sangat rindu kepada kampung
halaman serta sanak saudaranya.
"Sekarang, marilah kita berpisah, kalian akan terlalu jauh
dari kampung tempat menitipkan kuda itu," kata Banyak
Sumba. "Baiklah, Raden, selamat jalan, semoga segala maksud
terlaksana dengan baik," kata Arsim. Jasik mengatakan,
"Nyakseni." Mereka bersalaman, lalu berpisah.
Banyak Sumba mempercepat langkahnya menyusul si Gojin
yang berjalan dengan tenang di tengah-tengah padang
perhumaan yang menguning di bawah bulan itu.
Ketika kira-kira sepuluh langkah lagi antara mereka, si
Gojin bertanya tanpa berpaling, "Apakah pemimpinmu
tertangkap?"
"Saya tidak tahu," jawab banyak Sumba Si Gojin terus
berjalan tanpa berpaling. Sementara itu, dari depan, banyak
Sumba melihat dua pasang mata yang bernyala memandang
mereka berdua. Si Gojin tentu pula melihatnya, tetapi dengan
tak acuh ia terus berjalan hingga akhirnya harimau tutul itu
menghindar dan masuk ke semak. Selagi memerhatikan
harimau itu, kaki Banyak Sumba tersangkut pada sebatang
pohon yang melintang di depannya. Suara berisik terdengar
karena kedua ujung cabang itu berada dalam semak di kiri
dan kanan tempat Banyak Sumba berjalan. Banyak Sumba
karena lelah dan kantuknya, terjatuh dengan bunyi berdebuk.
Ia tidak segera bangkit karena terkejut dan merasa malu,
mengapa begitu mudah ia terjatuh. Ia malu oleh si Gojin yang
berjalan di depannya. Ia setengah mengharap si Gojin
berpaling dan mengecamnya. Akan tetapi, sangkaan dan
harapan itu meleset. Si Gojin tetap saja berjalan tanpa
berpaling dan tidak acuh kepadanya- Akhirnya Banyak Sumba
berjalan lagi dengan lebih hati-hati. Si Gojin pun berjalan
terus, seolah-olah tidak ada yang sedang mengikutinya.
Banyak Sumba menyadari bahwa arah yang diambil si Gojin
bukanlah ke daerah yang ada jalan dan kampungkampungnya,
tetapi justru arah yang menuju hutan. Banyak
Sumba mulai tertegun, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia terus saja berjalan mengikuti orang itu. Makin lama, semaksemak
makin tinggi dan makin sukar dilalui. Kemudian,
mereka masuk hutan dan cahaya bulan pun menjadi suram di
sana. Banyak Sumba terus bertanya-tanya di dalam hati,
apakah yang akan dilakukan si Gojin.
Pada suatu tempat, yang banyak terdapat batang-batang
kayu yang tinggi dan hanya bercabang-cabang di sebelah
atasnya, berhentilah si Gojin. Ia menengadahi beberapa
batang pohon itu sambil bertolak pinggang. Dia berjalan ke
bawah salah satu pohon itu, lalu dengan tangkas
memanjatnya. Banyak Sumba cuma dapat memerhatikannya
keheranan. Ia berdiri untuk beberapa lama ketika si Gojin
menghilang di antara cabang-cabang dan daun-daunan pohon
itu di dalam remang-remang cahaya bulan. Dan ketika dari
atas pohon tidak terdengar lagi suara, ia tetap berdiri, bingung
apa yang harus dilakukannya.
"Tolol!" tiba-tiba terdengar si Gojin berkata, "Mengapa tidak
lekas naik" Apakah kamu mau jadi mangsa harimau lodaya?"
Barulah Banyak Sumba mengerti apa yang telah diperbuat
si Gojin. Rupanya, si Gojin memutuskan bahwa malam itu ia
akan tidur dalam hutan, di atas pohon itu. Banyak Sumba
mengerti bahwa masih jauh dari perkampungan dan seperti
dia, si Gojin pun kelelahan dan mengantuk. Rupanya, si Gojin
memerhatikan pula ketika Banyak Sumba jatuh. Siapa tahu
pikiran untuk tidur di dalam hutan itu disebabkan karena suara
jatuh Banyak Sumba itu.
Banyak Sumba memilih salah satu pohon yang tidak
bercabang banyak di bagian bawahnya, kemudian dengan
tangkas memanjatnya. Baru saja setengah pohon itu ia panjat,
terdengarlah aum harimau yang dahsyat dari bawahnya.
Begitu keras aum dan geram harimau itu hingga tanah,
batang pohon, dan daun-daunan seolah-olah bergetar
olehnya. Banyak Sumba membeku sejenak dan tidak bergerak,
melekat pada batang pohon itu. Ketika aum kedua kalinya
terdengar, ia dapat melepaskan diri dari pengaruh pesona
harimau itu. Ia memanjat dengan terburu-buru hingga
terdengar berisik daun-daunan dan ranting-ranting yang
bergerak dan bergesek.
Ketika mencapai bagian pohon yang bercabang agak besar
dan dapat beristirahat dengan menyandarkan diri pada
beberapa cabang besar pohon tersebut, ia berpaling ke
bawah. Tampak dua pasang mata yang menyala-nyala
memandangnya. Sedangkan di belakang tiap pasang mata itu,
ia melihat bayangan tubuh yang besar dan panjang. Sekarang,
terdengar pula suara gedebuk ekor binatang-binatang buas
yang sekali-kali memukul tanah dengan marahnya.
Banyak Sumba mengucap syukur dalam hati kepada Sunan
Ambu ketika ia menyadari bahwa ia telah melepaskan diri dari
binatang-binatang buas itu tepat pada waktunya. Ia terus
menyandarkan diri pada beberapa cabang pohon sambil
melihat ke bawah, ke arah kedua ekor binatang yang dengan
marahnya berkeliling di sana sambil memandang ke atas.
Setelah beberapa lama, barulah Banyak Sumba ingat untuk
berbenah diri di atas cabang-cabang pohon itu.
Dicarinya cabang yang besar, lalu ia duduk seperti duduk di
atas pelana. Kedua kakinya memijak cabang-cabang di bawah
sambil memeluk batang pohon itu. Untuk menjaga agar tidak
terjatuh kalau tertidur, ia mengikat pinggangnya dengan ikat
pinggang lebar ke batang pohon itu. Setelah itu, ia mencoba
beristirahat. Ia mencoba tidur, tetapi karena di atas pohon itu
sangat tidak menyenangkan, betapapun berat kantuknya,
tidur tidak juga datang. Seluruh tubuhnya terasa penat dan
ngilu. Sementara itu, udara malam yang dingin mulai pula
mengganggunya. Akan tetapi, karena lelah, tidur menguasai kesadarannya.
Tidur seorang yang lelah dan kotor oleh keringat, adalah tidur
yang berada di ambang jaga. Dan lewat ambang jaga ini pula
masuk bermacam impian. Mula-mula, Banyak Sumba merasa
seolah-olah ia sedang berada di atas pelana si Dawuk dan
melarikan kuda kesayangannya itu di bawah bayang-bayang
benteng kota kelahirannya, Kota Medang. Tiba-tiba, benteng
itu berubah menjadi benteng Puri Purbawisesa. Ia melihat
Nyai Emas Purbamanik dengan segala kecantikan dan
kelembutannya melambai dari atas benteng itu kepadanya. Ia
turun dari kuda dan mencoba memanjat benteng itu, tetapi
benteng itu makin lama makin tinggi dan ia hanya dapat
menggapai-gapai di bawah. Ia berteriak-teriak memanggil
Putri Purbamanik, tetapi gadis itu hanya melambai-lambai.
Ia kemudian melihat Raden Girijaya, pamanda Putri
Purbamanik. Banyak Sumba tiba-tiba merasa ketakutan karena
keluarga Purbawisesa dekat sekali dengan istana sang Prabu.
Mereka tentu sudah mengetahui bahwa Banyak Sumba
seorang buronan. Banyak Sumba melihat bagaimana Raden
Girijaya memerintah kepada gulang-gulang untuk
mengejarnya. Banyak Sumba berpaling ke bawah benteng,
tetapi di bawah benteng telah berjajar pula beberapa orang
ponggawa dan badega-badeganya. Di dekat mereka berdiri
Jasik, menunjuk dan berteriak-teriak kepadanya, 'Awas,
Raden! Awas, Raden!"
Banyak Sumba turun dari benteng itu, lalu memasang
kuda-kuda dan menunggu serangan. Serangan datang dari
berbagai arah. Banyak Sumba melayani serangan-serangan
itu. Tubuh-tubuh melayang dan berseliweran di sekelilingnya,
tapi tak satu pun dapat dikenainya. Tubuh-tubuh itu seperti
bayang-bayang yang tidak dapat dipegang atau dipukulnya.
Dengan putus asa, Banyak Sumba terus menyerang dan
menerjang ke sekelilingnya. Keringatnya terasa memanasi
punggung, dan ia terbangun.
Karena ia tidak sempat mandi sore itu, pakaiannya yang
kotor dan berkeringat sungguh tidak menyenangkannya.
Sambil meregangkan badannya yang penat dan pegal karena
berjalan sepanjang sore dan duduk tidak wajar di atas batang
pohon itu, ia berpikir, begitu memasuki kampung, ia akan
mencari pakaian. Tiba-tiba, ia merasa lapar dan baru ia ingat
bahwa hanya tengah hari tadi ia menemukan makanan.
Renungannya terganggu ketika tidak jauh dari tempat itu
terdengar aum harimau dan teriakan babi hutan yang
memilukan hati. Raja hutan sedang menangkap mangsanya,
pikir Banyak Sumba. Dari arah pohon, si Gojin terdengar
deham. Banyak Sumba memandang ke arah pohon itu, tetapi
si Gojin tidak dapat dilihatnya dalam remang cahaya bulan itu.
Banyak Sumba mendeham, memberi isyarat kepada si Gojin
bahwa ada seseorang di dekatnya.
Malam telah menuju subuh. Sejak terbangun dari
mimpinya, Banyak Sumba tidak dapat tidur kembali. Berkalikali
ia mengubah duduknya, berkali-kali juga ia menyeka
keringat dengan ikat pinggang kainnya. Usahanya itu tidak
menolongnya " untuk dapat tidur, walaupun kantuknya berat
di kelopak mata dan di puncak kepalanya. Baru ketika ayamayam
berkokok dari arah kampung, ia tertidur lagi.
Ia bangun terkejut karena matahari menusuk matanya
dengan cahayanya yang tajam. Ia segera menggisik kelopak
matanya dan sadar bahwa ia telah kesiangan. Ia berpaling
pada pohon tempat menginap si Gojin, tetapi karena lebatnya
pohon itu, ia tidak mengetahui apakah si Gojin masih ada di
sana atau tidak. Oleh karena itu, ia segera turun. Dengan
tergesa-gesa, ia berjalan ke bawah pohon tempat si Gojin
tidur. Ketika ia tengadah, tak ada orang di sana. Si Gojin telah
turun dan berangkat terlebih dahulu. Banyak Sumba
mengutuk dirinya sendiri, lalu berjalan tergesa-gesa sambil
melihat-lihat jejak si Gojin. Kebetulan embun pagi masih
basah di atas tanah dan rumput. Ia masih dapat melihat
dengan jelas jejak si Gojin. Dengan mengikuti jejak itu,
Banyak Sumba sungguh-sungguh berharap bahwa ia akan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat mengejar si Gojin. Ia berjalan dengan tergesa-gesa,
tetapi si Gojin belum tampak juga.
Banyak Sumba berlari-lari membuntuti jejak si Gojin yang
makin lama makin samar. Ketika si Gojin tidak tampak juga,
tertegunlah ia. Tiba-tiba, ia teringat Nyai Emas Purbamanik.
Dan tiba-tiba pula, hatinya hangat oleh kegembiraan.
Hilangnya jejak si Gojin berarti ia dapat kembali kepada gadis
yang dicintainya itu. Tidak tersusulnya si Gojin memberi
kesempatan kepadanya untuk berdalih kepada Jasik dan Arsim
bahwa bukan salahnya kalau dia tidak segera berguru. Apalagi
Arsim yang tidak setuju dia berguru kepada si Gojin, tentu
akan menyambut kejadian itu dengan senang hati. Banyak
Sumba berbalik, lalu melangkah menuju arah dari mana dia
datang tadi malam.
Akan tetapi, setelah beberapa saat berjalan, ia tertegun
kembali. Bagaimana dengan tugas yang dibebankan
keluarganya" Kapankah ia akan belajar dan kemudian siap
untuk melawan Puragabaya Anggadipati"
Termenunglah ia untuk beberapa lama, kemudian berbalik
kembali. Ia putra sulung Banyak Citra. Kalau bukan dia,
siapakah yang akan menegakkan kehormatan keluarga Banyak
Citra" Ia pun berbalik, kemudian melangkah perlahan-lahan
sambil menunduk melihat jejak yang makin samar-samar pada
rumput dan tanah. Setelah berjalan beberapa lama, sampailah
ia pada jalan setapak. Jalan itu tidak begitu banyak
dipergunakan, tetapi ia yakin bahwa jalan itu jalan setapak.
Mungkin jalan itu dipergunakan binatang-binatang atau
mungkin pula oleh anak negeri yang biasa mencari nafkahnya
di hutan, seperti pemilik-pemilik huma, pemungut buahbuahan,
atau pembuat gula enau. Untuk mencari arah yang
diambil si Gojin, Banyak Sumba cukup dengan mengetahui, ke
mana jalan itu menurun. Ke arah yang menurun itu Banyak
Sumba berjalan, karena ia yakin, si Gojin akan menuju daerah
yang dihuni manusia dan itu berada di bawah perbukitan.
Benarlah dugaan Banyak Sumba bahwa perkampungan
terdapat di tengah arah yang ditempuhnya.
Ketika hari mulai hangat, tampaklah atap ijuk
perkampungan, kehitam-hitaman di tengah-tengah hijaunya
daun-daun pohon. Banyak Sumba mempercepat langkahnya.
Tak berapa lama kemudian, ia pun telah membunyikan kohkol
kecil yang tergantung di depan lawang kori.
Seorang kakek-kakek muncul dari arah rumah-rumah,
kemudian menarik palang lawang kori. Banyak Sumba
mengucapkan terima kasih, lalu masuk. Kakek-kakek itu
mengawasinya dengan agak curiga.
"Saya datang dari jauh, Kakek. Saya bermaksud singgah
sebentar di kampung ini," kata Banyak Sumba.
Kakek-kakek itu masih tampak curiga. Banyak Sumba
melanjutkan perkataannya, "Saya sebenarnya sedang mencari
orang, apakah..."
"Si Gojin?" tanya kakek-kakek itu. Banyak Sumba heran
mendengar pertanyaan kakek-kakek yang tidak disangkasangka,
ia melanjutkan perkataannya sambil memandang
pada kakek-kakek yang tampak mulai ketakutan itu, "Ya, saya
mencari si Gojin, apakah ia ada di sini?"
Kakek-kakek itu memandangnya, tapi tak segera memberi
jawaban. Kemudian, bukannya menjawab malah bertanya,
"Apakah Raden seorang perwira jagabaya atau ...
puragabaya?"
"Bukan, Kakek, saya pengembara biasa," ujar Banyak
Sumba makin keheranan. Kakek-kakek itu seperti tidak
percaya. Ia dengan tergagap-gagap berkata, "Raden, kalau
hendak menangkap si Gojin, Kakek mohon, janganlah
dilakukan di dalam kampung. Seandainya Raden gagal
menangkapnya, si Gojin akan membalas dendam terhadap isi
kampung ini. Barangkali Raden pun mengerti maksud Kakek.
Isi kampung ini orang baik-baik. Semua petani biasa. Mereka
tidak dapat menolak kalau si Gojin singgah di sini. Apakah
daya kami?"
Mengertilah Banyak Sumba mengapa kakek-kakek itu
ketakutan. Rupanya, isi kampung itu sudah sangat mengenal
si Gojin, yang memang berkelakuan tidak baik. Akan tetapi,
karena lemah, mereka tidak dapat menolak kedatangan si
Gojin. Sambil tersenyum, Banyak Sumba berkata kepada
kakek-kakek itu, "Kakek, sekali-kali saya bukan jagabaya,
apalagi puragabaya. Saya seorang pengembara yang justru
hendak berguru kepada si Gojin. Saya memerlukan ilmunya,"
kata Banyak Sumba.
"Raden!" seru kakek-kakek itu seraya suaranya ditahan.
"Mengapa, Kakek?" tanya Banyak Sumba.
"Tapi, si Gojin itu orang tidak baik. Kerjanya cuma judi dan
menyabung ayam. Untuk hidupnya, ia biasa menjadi badega
yang mengerjakan kekerasan. Ia mendapatkan biaya untuk
keborosannya dari pekerjaan yang tidak baik. Mengapa Raden
hendak berguru kepada orang begitu?"
"Kakek, saya tidak akan mempelajari tingkah lakunya,
tetapi ilmunya dalam perkelahian. Saya pun tidak setuju
dengan kejahatan, tetapi sekarang ini saya sangat
membutuhkan ilmu, dan ilmu itu kebetulan dimiliki oleh si
Gojin." "Raden, masih banyak guru lain yang lebih tinggi ilmu dan
budinya daripada si Gojin."
"Saya akan belajar kepada guru-guru itu, tetapi sekarang si
Gojin-Iah yang paling cocok untuk menambah kepandaian
saya." Tampaknya kakek-kakek itu mengerti, tetapi ia tetap tidak
setuju. Banyak Sumba melangkah sambil melihat berkeliling,
memerhatikan kampung yang sunyi itu. Kampung itu paling
banyak terdiri dari lima buah rumah. Sekeliling kampung itu
dipagar tinggi dengan batang-batang pohon sebesar paha. Hal
itu menandakan bahwa kampung tersebut masih belum jauh
letaknya dari hutan belantara, karena itu masih memerlukan
pengamanan yang saksama. Dalam kampung kecil itu, kecuali
anak-anak kecil dan beberapa orang perempuan tua, tidak ada
orang lagi. Setelah Banyak Sumba meneliti kampung itu dengan
pandangannya, berpalinglah ia kepada kakek-kakek yang
masih memandanginya, "Kakek, di manakah si Gojin berada?"
"Ia tidur di serambi rumah besar itu, Raden. Ia meminta
kepada Kakek untuk berjaga-jaga, kalau-kalau ada jagabaya
yang datang. Ya, bagi kami serbasusah di sini, Raden. Siapa
tahu malam tadi ia berkelahi, merampok, atau bahkan
membunuh orang. Ya, siapa tahu, dan sekarang ia
bersembunyi di sini. Susah, Raden."
"Jangan takut, Kakek, jagabaya tidak akan mengejar sejauh
ini. Di samping itu, sebagai tukangjudi dan sabung ayam, ada
tempat-tempat tertentu dan di sanalah si Gojin mudah
ditemukan. Mereka tidak akan membuang-buang tenaga
mengejar ke sini, kecuali si Gojin mulai mengganggu orangorang
kampung." "Ia tidak pernah mengganggu orang-orang kampung,
Raden, tetapi tetap saja tidak menyenangkan kami. Ia
memberi contoh buruk kepada anak-anak muda di kampung,
Raden." "Jangan cemas, Kakek, tunjukkanlah sekarang di mana dia
berada," kata Banyak Sumba. Mereka pun berjalan ke rumah
besar di kampung itu. Di serambi, si Gojin sedang tidur,
dengkurannya yang keras terdengar dari jauh.
"Lebih baik saya menghubunginya setelah ia bangun,
Kakek," kata Banyak Sumba, kemudian ia pun berkata kepada
kakek-kakek itu, "Di manakah saya dapat mandi dan menukar
pakaian, Kakek?" Kakek-kakek itu membantu Banyak Sumba
untuk mendapatkan segala yang dibutuhkannya dan setelah
segalanya selesai, Banyak Sumba segera berjalan ke tempat si
Gojin sedang tidur.
"Siapa kamu?" tanya si Gojin sambil menguap.
"Yang malam tadi mengikuti, Bapak," kata Banyak Sumba.
Si Gojin menguap kembali, lalu mengerutkan keningnya, "Tapi
kamu bukan murid Akar Jati, aku tidak pernah melihat kamu di
sana." "Memang bukan," ujar Banyak Sumba.
"Ada perlu apa mengikutiku" Apa kamu ...."
"Saya bermaksud jadi murid, Bapak. Saya melihat
perkelahian tadi malam dan memutuskan untuk mengikuti
Bapak," kata Banyak Sumba pula. Si Gojin tidak berkata apaapa.
Ia kelihatan tenang kembali, lalu berpaling dan
mengambil buah-buahan yang disajikan seorang perempuan
tua. Ia mengambil belati, lalu mengupas buah-buahan itu dan
memakannya dengan rakus, tanpa menghiraukan Banyak
Sumba. Banyak Sumba pun tidak begitu peduli. Ia duduk kembali di
sudut serambi sambil memandang ke hutan-hutan yang hijau
di selatan kampung itu. Tak lama kemudian, si Gojin bangkit,
lalu tanpa permisi berjalan ke lawang kori. Kakek-kakek tadi
membuka kembali lawang kori. Sambil mengucap terima kasih
dan selamat tinggal, Banyak Sumba melangkah pula mengikuti
si Gojin. Si Gojin tetap tidak peduli kepadanya.
Untuk beberapa lama, mereka berjalan dalam semaksemak,
kemudian keluar di daerah palawija dan perhumaan
yang tampak kurang subur karena hujan kurang basah pada
musim itu. Berulang-ulang si Gojin melompati pagar-pagar
huma, diikuti Banyak Sumba. Berulang-ulang pula Banyak
Sumba mengharapkan menarik perhatian si Gojin, tetapi si
Gojin sejenak pun tidak pernah berpaling kepadanya. Namun
demikian, Banyak Sumba tidak berkecil hati. Ia terus berjalan,
membuntuti orang yang hendak dijadikan gurunya itu.
Akhirnya, mereka pun sampai dijalan kerajaan. Mereka
berjalan dijalan besar itu, dipapasi oleh penunggang-penunggang
kuda. Melihat kesibukan jalan itu, sadarlah Banyak
Sumba bahwa jalan itu tidak akan berada jauh letaknya dari
suatu kota, atau sekurang-kurangnya kampung besar. Seraya
berjalan, Banyak Sumba melihat ke sekelilingnya dan dari jauh
tampaklah kelompok kampung yang besar. Banyak Sumba
lega karena si Gojin memasuki wilayah yang beradab.
Ketika itu, lewatlah dua buah pedati kerbau: Si Gojin tanpa
minta izin melompat menaiki salah satu pedati kerbau itu,
Banyak Sumba minta izin ikut kepada yang lain.
"Mau ke mana?" tanya kusir pedati.
"Saya tidak tahu," jawab Banyak Sumba.
"Tidak tahu?" tanya kusir itu.
"Saya mengikuti orang yang di depan itu," lanjut Banyak
Sumba. "Oh, apakah orang itu badega Raden" Mengapa ia malah
Raden ikuti dan bukan ia yang mengikuti Raden?" tanya kusir.
"Saya ada urusan dengannya, Paman. Akan tetapi, saya
tidak dapat menjelaskannya kepada Paman."
"Oh, tidak usah," kata orang itu.
Di suatu kampung besar tapi agak jauh dari jalan, si Gojin
turun. Banyak Sumba pun turun, lalu mengikutinya. Si Gojin
memasuki sebuah rumah besar. Banyak Sumba duduk di
serambi, beristirahat. Dari dalam rumah, terdengar berbagai
bunyi yang tidak dikenalnya dan didengarnya pula suara orang
banyak. Banyak Sumba menduga rumah itu tempat perjudian.
Kalau begitu, pikirnya, mungkin ia harus menunggu si Gojin
untuk waktu yang tidak terbatas. Akan tetapi, diterimanya saja
kemungkinan itu, lalu Banyak Sumba berdiri, melihat-lihat
suasana kampung itu.
Ternyata, kampung itu penghuninya kebanyakan
pedagang. Mereka membuat kerajinan tangan dari rotan. Di
antara mereka ada pula yang memelihara ayam sabung.
Banyak Sumba berjalan-jalan di antara kurung ayam yang
banyak di sana. Setelah penat, kembalilah ia, lalu duduk di
serambi. Seseorang datang membawa penganan yang terdiri
dari buah-buahan. Banyak Sumba mengucapkan terima kasih.
Setelah mencicipi makanan itu, Banyak Sumba beristirahat.
Kantuknya cepat sekali datang, bukan saja karena semalaman
kurang tidur, tetapi hari sangat panas. Ia bertahan agar tidak
tertidur, tetapi kantuknya sangat berat.
Ketika ia hampir tertidur, seseorang mengguncang-guncang
tubuhnya, Banyak Sumba bangkit terkejut.
"Raden, si Gojin pinjam uang tadi. Katanya uangnya ada
pada Raden. Dapatkah Paman sekarang mengambilnya?"
"Tapi, ia tidak pernah menyimpan uang pada saya ...," kata
Banyak Sumba. Namun, sebelum kalimatnya habis, ia
menyadari bahwa tidak bijaksana kalau dia ugal-ugalan. Ia
menarik napas panjang, lalu berkata, "Baiklah, berapa
utangnya?"
"Dia kalah tiga uang emas."
"Tiga uang emas!" seru Banyak Sumba keheranan. Begitu
singkat si Gojin berjudi, tapi begitu banyak kalahnya. Padahal,
tiga mata uang emas itu didapat dengan bermandi keringat
dua bulan di Puri Purbawisesa. Banyak Sumba mula-mula
berniat menolak, tetapi ia segera menyadari bahwa hal itu
akan sia-sia. Ia terpaksa mengeluarkan uang emas itu dari ikat
pinggang besarnya. Kemudian, ia segera melangkah menyusul
si Gojin yang berjalan menuju jalan besar.
Sementara ia membuntuti si Gojin, hatinya tetap tidak
senang. Nasihat-nasihat Arsim mulai didengarnya kembali, si
Gojin ini orang jahat. Di .samping itu, bayangan wajah dan
tingkah laku Putri Purbamanik mulai pula mengganggunya.
Penyesalan mulai timbul. Ia menyadari, barangkali sifat keras
kepalanya harus dibayarnya dengan mahal. Akan tetapi, ia
pun bertekad pula untuk tidak membuang-buang uang
sebanyak tiga mata uang emas itu. Kalau perlu, ia menghajar
si Gojin. Memang si Gojin memiliki kepandaian yang tidak
dimilikinya, tetapi Banyak Sumba pun merasa bahwa ia
memiliki kelincahan dan otak yang tajam. Kelincahan berkat
ajaran Paman Wasis, sedangkan kecerdikan anugerah Sang
Hiang Tunggal pada wangsa Banyak Citra. Hatinya mulai
panas, tetapi ia mendinginkannya kembali. Ia harus
menunggu apa yang akan terjadi dan sebelum itu, ia
sebaiknya tidak berbuat apa-apa. Maka, ia pun berjalan
mengikuti si Gojin.
Setelah beberapa lama berjalan, mereka menggabungkan
diri pada rombongan pedati kerbau lagi. Ketika matahari
tenggelam, si Gojin turun, lalu memasuki sebuah hutan kecil.
Banyak Sumba mengikutinya dan mereka pun memasuki
kampung tempat si Gojin dikenal dan dihormati orang.
Kampung itu tempat tinggal si Gojin.
KETIKA itu, telah tiga hari Banyak Sumba ada di kampung


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si Gojin. Ia menginap di sebuah rumah penghuni kampung itu.
Selama tiga hari, tak sepatah kata pun si Gojin menegurnya.
Hingga pada suatu hari, terjadilah peristiwa yang mengubah
keadaan. Hari masih pagi ketika Banyak Sumba mendengar
suara keras laki-laki bertengkar. Ketika ia bangkit, pintu
didorong orang. Banyak Sumba berdiri, segera bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan.
"Keluar!" kata laki-laki itu. Banyak Sumba berjalan ke luar
melalui serambi turun ke halaman.
"Mana uang si Gojin" Berikan kepada kami!" seru beberapa
orang hampir bersama-sama. Banyak Sumba melihat
berkeliling dan memandangi wajah demi wajah keenam tamu
asing yang datang pagi itu. Si Gojin tampak pula, tetapi berdiri
di bawah sebuah tingkap yang masih tertutup. Banyak Sumba
dapat menduga bahwa si Gojin sedang menghadapi keadaan
yang tidak menyenangkan dan ia berdiri di bawah tingkap itu
untuk dapat melarikan diri dengan mudah.
Kalau melihat orang-orang yang datang, Banyak Sumba
dapat mengerti tindakan si Gojin. Ternyata, orang-orang yang
datang kelihatan buas-buas. Di samping itu, mereka pun
bersenjata walaupun disembunyikan. Tampaknya mereka
datang dengan maksud mengeroyok si Gojin, kalau perlu. Dan
walaupun si Gojin akan dapat melayani mereka, Banyak
Sumba mengetahui bahwa si Gojin akan tidak bijaksana kalau
memaksakan diri.
"Mana uang itu" Segera berikan!" seru orang-orang itu,
hiruk sekali mereka berkata.
"Saya tidak pernah menyimpan atau meminjam uangnya!"
kata Banyak Sumba. Ia memandang mata orang-orang itu
satu per satu. Melihat keberanian Banyak Sumba dan melihat
sorot wajah kebangsawanannya, orang-orang itu ragu-ragu.
Beberapa orang berpaling kepada si Gojin. Si Gojin berkata,
"Raden, maksud saya, saya pinjam dulu kepadamu untuk
membayar utang."
"Saya mau membayarkan utang Bapak, asal masuk akal.
Bapak akan saya anggap punya utang kepada saya dan saya
akan minta bayarannya."
Si Gojin mendelik, kemudian ia berpaling, dan berkata,
"Bolehlah."
"Berapa utangnya?" tanya Banyak Sumba.
"Tujuh keping perak kepadaku, kepada yang lain tiga
keping, seluruhnya."
Banyak Sumba mengeluarkan sekeping uang emas, lalu
melemparkannya kepada si pembicara.
"Gojin, kami pergi."
"Kalau kalian datang seorang-seorang pasti kumakan satu
per satu," kata si Gojin sambil mengenakkan giginya. Ia
melihat kepada Banyak Sumba yang berdiri di sampingnya.
Wajahnya cerah. Rupanya, ia merasa mendapat kawan di
pihaknya ketika ia harus mendapat penghinaan dan ancaman
kawan-kawannya berjudi. Semenjak peristiwa itulah, si Gojin
mulai memberikan pelajaran kepada Banyak Sumba.
Pelajaran itu diberikannya secara tidak teratur. Latihanlatihannya
dilakukan dengan kasar pula. Kalau memukul, ia
memukul seolah-olah mereka sedang benar-benar berkelahi.
Kalau menerangkan, keterangannya kalang kabut.
"Begini," kata Banyak Sumba pada suatu hari, "saya
melihat dua hal yang bagus pada Bapak. Pertama, kadangkadang
Bapak tidak menghindarkan serangan lawan. Kedua,
pukulan-pukulan Bapak merobohkan, dan lawan tidak pernah
dapat bangkit kembali. Itulah yang ingin saya pelajari dari
Bapak," kata Banyak Sumba.
"Tidak benar," jawab si Gojin. "Saya juga menghindarkan
pukulan-pukulan seandainya pukulan itu sasarannya bagianbagian
tubuh yang berbahaya. Bahkan, saya menghindarkan
pukulan-pukulan menuju bagian-bagian badan yang tidak
berbahaya, seandainya pukulan itu kuat."
"Jadi, Bapak hanya menahan pukulan yang diarahkan pada
bagian-bagian badan yang tidak berbahaya."
"Ya, seandainya pukulan diarahkan ke dada dan pukulan itu
tidak mempergunakan berat badan, hanya mempergunakan
otot tangan, pukulan itu saya terima. Tapi, tentu saja tidak
saya terima dengan seenaknya. Saya keraskan otot dada saya.
Ketika pukulan itu tiba, saya kibaskan. Nah, sekarang
cobalah," katanya.
Banyak Sumba berdiri di hadapan si Gojin, bersiap dengan
tinjunya. "Pukullah dadaku, tapi gunakan otot tanganmu saja, jangan
gunakan tenaga tubuh."
Banyak Sumba menuruti perintah itu dan meninju dada si
Gojin dengan kuat, tetapi tidak dengan berat seluruh tubuh.
Ketika tinju itu tiba, si Gojin mengeraskan otot dada sambil
mengibaskan tubuhnya. Tinju Banyak Sumba mental dan
seluruh lengannya terasa sakit dan semutan. Ia kesakitan
sebentar, tetapi hatinya gembira. Ia lelah menemukan salah
satu kunci yang dapat membuka ilmu si Gojin.
"Dalam keadaan-keadaan tertentu, kita dapat mematahkan
pergelangan tangan atau bahkan sikut lawan dengan dada
kita, tanpa mempergunakan tangan sama sekali. Tetapi, tentu
saja ada syaratnya."
Banyak Sumba menyadari bahwa untuk menguasai ilmu si
Gojin ini, seseorang harus memiliki otot yang gempal,
terutama otot dada dan otot perut. Mengenai cara memukul
hingga lawan tidak berkutik lagi, si Gojin pernah berkata
demikian, "Kalau dilihat dari penggunaan tenaga, ada dua
macam pukulan, yaitu pukulan yang mempergunakan tenaga
otot lengan dan pukulan yang mempergunakan tenaga seluruh
tubuh. Pukulan yang kedua ini lebih berbahaya seandainya
menemukan sasaran yang sama dengan pukulan yang
pertama. Mengapa pukulan saya selalu melumpuhkan, hal itu
disebabkan dua hal. Pertama, kalau memukul, saya
mempergunakan tenaga tubuh. Kedua, saya tidak pernah
memukul sasaran-sasaran yang tidak bernilai. Bahkan, saya
tidak pernah membuat gerakan-gerakan untuk mengganggu
perhatian lawan. Saya biarkan lawan menyerang, tetapi
serangan itu saya terima dengan otot saya, dan pada
waktunya saya buang. Lawan biasanya terkejut dan heran,
ketika itulah saya beri ia pukulan yang melumpuhkan itu."
"Adakah pukulan macam lain?" kata Banyak Sumba.
"Ada," ujar si Gojin, "bukan pukulan lain, tapi kita melihat
pukulan itu dengan cara lain. Anggaplah kalau kita meninju
atau mempergunakan sisi tangan, kita hendak memasukkan
tinju atau sisi tangan itu ke tubuh lawan. Kadang-kadang, kita
hanya bermaksud menyentuh tangan kita. Jadi, kita hanya
menotok. Ada cara memukul dengan maksud memasukkan tinju kita
lebih dalam lagi ke tubuh lawan. Pukulan ini lebih berbahaya
seandainya mengenai sasaran yang sama dengan pukulan
yang pertama. Ada pukulan yang lebih berbahaya lagi dan
biasanya merupakan pukulan yang membunuh," katanya.
"Pukulan yang bagaimana?" tanya Banyak Sumba penuh
gairah. "Pukulan yang ketika melakukannya, kita tidak bermaksud
memasukkan tinju kita ke tubuh lawan, tetapi bermaksud
menembus tubuh lawan itu. Kalau melakukan pukulan ini
dengan memusatkan perhatian, kita tidak perlu dua kali
melakukan pukulan," demikian ujar si Gojin.
Banyak Sumba mencoba melakukan pukulan-pukulan itu
terhadap udara dan si Gojin memberikan pendapat serta
contoh. Banyak Sumba menyadari bahwa dalam seni
berkelahi, mengerti tidak sama dengan menguasai. Walaupun
ia sudah mengerti yang dimaksudkan gurunya, hanya dengan
latihan-latihan yang keras dan lama ia dapat mencapai
penguasaan terhadap segala sesuatu yang telah
dimengertinya itu.
Untuk menumbuhkan otot-otot yang akan dijadikannya
perisai, Banyak Sumba pergi ke tepi sungai yang mengalir di
dekat kampung tempat tinggal si Gojin. Dengan
mempergunakan pengungkit, dijajarkannya batu-batu, dari
yang kecil, besar, hingga sangat besar. Sepuluh buah batu
yang besarnya berturutan berjajar. Ketika si Gojin melihatnya
pada suatu pagi, ia keheranan.
"Bagaimana kau mengangkat batu sebesar ini, Raden?"
tanyanya. "Itu rahasia keluarga kami, Bapak," jawab Banyak Sumba.
Ia dapat menggelundungkan batu itu dengan mempergunakan
pengungkit, seperti Paman Misja membuka pintu gua ketika
mereka melarikan diri dari Kota Medang.
Tiap pagi, Banyak Sumba berenang di sungai sesudah
mandi, diangkatnya batu-batu itu. Seminggu lamanya ia hanya
mengangkat batu yang terkecil. Kemudian minggu kedua
diangkatnya batu yang kedua. Minggu ketiga dan seterusnya
Pada suatu kali, Banyak Sumba sendiri heran, mengapa ia
dapat mengangkat batu yang besar. Dan dengan senang hati,
dipandangnya betapa otot-otot dadanya tumbuh.
Latihan pukulan dilakukannya dengan bertingkat-tingkat
pula. Mula-mula diikatnya jerami. Jerami ini diikatkannya pada
sebatang pohon sebesar betis. Jerami itulah yang setiap hari
ditinju, disikut, atau dipukulnya dengan pinggir tangan.
Kadang-kadang, Banyak Sumba menyepaknya pula, dengan
mempergunakan ilmu yang diterimanya dari Paman Wasis
yang sangat lincah dalam mempergunakan kaki.
Dalam latihan-latihan itu, biasanya si Gojin tidak hadir. Ia
lebih banyak meninggalkan kampung itu daripada mengajar
Banyak Sumba. Ia pun sering minta uang, tetapi tidak pernah
kasar seperti sebelumnya. Pada suatu hari, ketika Banyak
Sumba sedang latihan meninju, datanglah si Gojin. Ia berdiri
memerhatikannya. Ketika Banyak Sumba menghantam pohon
yang sudah dibungkus dengan jerami itu, pohon itu
berguncang keras sehingga sebuah cabang kering patah dan
jatuh menimpa pundak si Gojin. Si Gojin keheranan. Dengan
gembira, Banyak Sumba berjalan ke arah si Gojin seraya
mengambil batang kering yang jatuh itu.
"Peganglah cabang ini keras-keras, Bapak," katanya. Si
Gojin menurut. "Saya akan memukulnya, mempergunakan ilmu yang Bapak
berikan," lanjut Banyak Sumba. Maka, dipukulnya batang
kering itu dengan sisi tangannya. Seperti disambar dengan
golok yang tajam, batang kering itu patah menjadi dua. Si
Gojin memandang Banyak Sumba dengan kagum. Kekaguman
yang bercampur ketakutan itu membayang pada wajahnya.
Banyak Sumba memandang penjudi itu dengan rasa kasihan.
Sementara itu, terkenang kembali olehnya bulan-bulan ketika
ia berlatih dengan keras, mengangkat-angkat batu dan
memukul papan, jerami, atau udara. Hatinya merasa ringan
karena akhirnya ia mulai dapat menunaikan tugas keluarga,
yaitu menuntut ilmu yang berguna untuk tugas selanjutnya.
Banyak Sumba merasa saat untuk dapat menunaikan tugas
yang dibebankan oleh Ayahanda Banyak Citra tidak jauh lagi.
Ia hanya menunggu waktu pertemuan dengan Pangeran
Anggadipati, puragabaya yang keji itu. Sebelum pertemuan itu
tiba, ia dapat memanfaatkan waktunya dengan
menyempurnakan ilmu yang didapatnya dari si Gojin. Ia sudah
menguasai ilmu yang mengagumkan tetapi sederhana itu. Ia
tinggal memperhalusnya.
Biasanya, ia mengajak si Gojin berlatih. Akan tetapi,
penjudi ini kalau punya uang, tidak pernah ada di tempatnya.
Ketika kehabisan uang, biasanya ia datang. Ketika itulah
Banyak Sumba mempergunakan kesempatan. Sekarang, si
Gojin tidak pernah memberikan latihan dengan kasar. Ia
mengetahui bahwa Banyak Sumba yang berbadan tinggi besar
itu bukanlah lawan yang enteng. Bahkan, berulang-ulang
Banyak Sumba menyadari bahwa dalam hati kecilnya si Gojin
takut akan dia. Bagaimanapun, kelincahan yang didapatnya
dari Paman Wasis, ditambah dengan daya tahan serta daya
pukul yang didapat dari si Gojin, merupakan bekal yang
sangat besar bagi seorang perwira. Dalam latihan-latihan,
sering si Gojin kewalahan dan berulang-ulang dia berkata,
"Umurmu menguntungkanmu. Kalau sama-sama muda, kita
akan tahu kekuatan masing-masing."
Banyak Sumba tidak menggubris kata-kata si Gojin karena
ia yakin bahwa kata-kata itu tidak perlu diperhatikannya. Yang
perlu diperhatikannya adalah gerak-geriknya. Dengan selalu
menduga gerak-geriknya, meramalkan serangan-serangan
yang akan dilakukannya, Banyak Sumba terus-menerus
memperhalus ilmu yang didapatnya dari penjudi itu.
Pernah mereka berlatih di dalam sebuah rumah yang ada di
lingkungan kampung si Gojin. Begitu sungguh-sungguh kedua
orang guru dan murid itu berlatih, hingga ketika mereka
berhenti, gubuk itu tidak lagi berupa sebuah gubuk, tetapi
ong-gokan kayu yang patah, bambu yang pecah, dinding yang
bolong-bolong, serta atap ilalang yang bertumpuk di sana sini.
"Kau sudah cukup belajar, Raden," kata si Gojin. Banyak
Sumba tidak menjawab. Ia berkata dalam hatinya, sebenarnya
ia dapat mengalahkan si Gojin, kalau mau. Dan setelah itu,
timbullah hasrat untuk pergi ke Kutabarang menghubungi
Jasik. Ia ingin memperlihatkan ilmu yang didapatnya dari si
Gojin kepada panakawannya yang setia itu. Di samping itu,
sebelum ke Kutabarang, ingin sekali dia mampir dulu di Puri
Purbawisesa"menyelinap di bawah bayang malam, memasuki
kaputren tempat gadis yang menjadi buah rindunya berada.
Akan tetapi, keinginannya pergi ke Kutabarang itu untuk
sementara ditahannya. Ia masih merasa-harus memperhalus
ilmunya untuk saat-saat terakhir sekali, sebelum ia
mempergunakannya. Itulah sebabnya, setiap hari ia masih
bangun subuh, lalu berlari merambah padang, memasuki
hutan, dan berhenti di tepi sungai untuk mengangkat batubatu
besar itu. Para petani yang kebetulan lewat di sana
sering keheranan dan dengan mulut menganga memandang
terbelalak kepada Banyak Sumba yang dengan mudah
mengangkat batu-batu besar itu.
PADA SUATU PAGI, ketika Banyak Sumba sedang berlatih,
datanglah seorang pemuda. Pemuda itu, seperti juga para
petani, memandangnya dengan kagum dan heran. Ketika
Banyak Sumba beristirahat, ia yang keheranan karena baru
pertama kali itulah melihat seorang pemuda bangsawan
berada di sana.
"Saudara kuat sekali," kata pemuda itu.
"Saudara datang dari mana?" tanya Banyak Sumba.
"Kutabarang," jawabnya. Pemuda itu berjalan ke arah batubatu,


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu mencoba mengangkat yang paling kecil. Akan tetapi,
ia hanya menggerakkannya. Maka, kembalilah ia pada Banyak
Sumba, lalu berkata, "Saya baru melihat orang yang dapat
mengangkat batu sebesar itu," sambil berkata demikian,
diliriknya otot-otot tangan dan otot dada Banyak Sumba yang
menggembung di balik bajunya.
"Saya mendengar saudara sudah lama berlatih di sini," kata
pemuda itu melanjutkan.
"Dari para petani itu?" tanya Banyak Sumba.
"Bukan, dari orang-orang di kampung. Saya bermalam di
kampung si Gojin tadi malam dan tahu bahwa Saudara berada
di sini," katanya.
"Saudara sedang berada dalam perjalanan?"
"Tidak. Saya melarikan diri ke sini," katanya sambil
tersenyum. Banyak Sumba keheranan mendengar ada orang
yang dengan mudah menjelaskan tentang dirinya sendiri.
"Melarikan diri?" tanya Banyak Sumba.
"Ya. Mungkin Saudara menganggap suatu yang aneh. Tapi
bagi orang yang mengalaminya seperti saya, tak ada anehnya.
Malah aneh kalau saya tidak melarikan diri."
"Saya tidak mengerti maksud Saudara," kata Banyak
Sumba sangat tertarik.
"Saya dipaksa mengerjakan apa-apa yang tidak saya
sukai," kata pemuda itu sambil tersenyum dan mengerlingkan
matanya kepada Banyak Sumba. "Coba terka, apa yang harus
saya lakukan."
Banyak Sumba agak kikuk mendengar permintaan itu,
ternyata pemuda itu sungguh-sungguh. Ia memandang ke
mata Banyak Sumba, meminta jawaban. Akhirnya, Banyak
Sumba berkata, "Apakah Saudara diberi tugas untuk
membalas dendam?" tanya Banyak Sumba. Kemudian, ia
terkejut mendengar pertanyaannya sendiri. Apakah ia
menganggap tugas membalas dendam itu tidak baik"
Mengapa justru pertanyaan itu yang diajukannya" Akan tetapi,
renungannya terputus karena Banyak Sumba mendengar
pemuda itu tertawa.
"Aneh sekali pertanyaan Saudara," kata pemuda itu. "Saya
sama sekali tidak diminta untuk membalas dendam. Tidak
sukar bagi keluarga saya untuk membalas dendam. Suruh saja
bajingan-bajingan membunuh orang yang dibenci, berilah
mereka beberapa keping uang emas. Mengapa saya yang
harus membalas dendam?"
"Jadi...?" tanya Banyak Sumba pula.
"Saya dipaksa untuk pergi belajar ke Pakuan Pajajaran."
"Belajar apa?"
"Belajar ilmu negarawan. Padahal, kakak-kakak saya
semuanya sudah pergi ke sana. Untuk apa satu keluarga jadi
negarawan semua, bukankah kita tidak akan jadi raja?"
"Saudara putra bungsu?" tanya Banyak Sumba tiba-tiba.
"Dari mana Saudara tahu?" tanya pemuda itu. Banyak
Sumba tidak berkata apa-apa, walaupun dia dapat menjawab
pertanyaan itu, yaitu dari gerak-gerik pemuda yang manja.
'Jadi, Saudara lari ke sini karena dipaksa belajar?"
"Ya, dan di samping itu, karena ayam si Gojin ini bagusbagus
sekali. Ah, Saudara harus mengetahui, saya ahli dalam
soal ayam sabungan. Kalau Saudara ingin memiliki ayam yang
tangguh, mintalah nasihat saya. Setiap orang minta nasihat
kepada saya. Dan, apakah bedanya ahli ilmu negarawan
dengan ahli ilmu memilih dan memelihara ayam sabungan?"
sekali lagi pemuda itu tersenyum sambil mengerling. Banyak
Sumba tidak berkata apa-apa lagi, ia mulai lagi berlatih.
"Ya, apakah bedanya keahlian mengangkat batu besar
dengan keahlian menyabung ayam. Bukankah semua keahlian
itu baik" Bukankah segala ilmu itu mulia?" tanya pemuda itu
kepada dirinya sambil memerhatikan Banyak Sumba. Banyak
Sumba tidak berkata apa-apa.
Siang itu, mereka pulang bersama ke kampung kecil di
tengah-tengah hutan tempat si Gojin tinggal. Setiba di
kampung, pemuda itu terus masuk ke salah satu gubuk dan
tidak pernah muncul-muncul lagi sampai malam hari. Banyak
Sumba hanya mendengar suaranya dari balik dinding.
Rupanya, pemuda itu sangat senang mengobrol tentang
ayam. Ia mengajak setiap orang mengobrol tentang ayam,
termasuk kakek-kakek yang ada di tempatnya menginap.
BEBERAPA hari setelah kedatangan pemuda itu, yang
ternyata bernama Aria Banga, pada suatu sore datanglah Jasik
dan Arsim. Rasa kangen meledak dari dada Banyak Sumba
dalam bentuk kegembiraan dan keheranan. Ia tak dapat
menahan air matanya ketika mereka bersalaman dan
berpelukan, "Beberapa kali kami tersesat sebelum sampai di
sini, Raden," kata Arsim.
"Bahkan, orang-orang kampung yang sangat dekat
letaknya dari sini tidak mau mengatakan bahwa si Gojin
tinggal di sini," sambung jasik. Banyak Sumba mengerti.
Ketika senja tiba dan orang-orang sudah masuk gubuk
masing-masing serta mereka tinggal bertiga saja, berkatalah
Jasik, "Raden, Putra Mahkota akan berkunjung ke Kutabarang
dalam dua-tiga hari ini. Saya mendengar bahwa di antara
pengiring beliau terdapat Puragabaya Anggadipati," Jasik tidak
melanjutkan kata-katanya. Banyak Sumba pun tidak
mengatakan apa-apa, mereka berpandangan. Setelah mereka
hening, berkatalah Banyak Sumba, "Besok subuh kita
berangkat ke Kutabarang, Sik."
"Baik, Raden. Menyesal kami tidak membawa tiga ekor
kuda, Raden. Begitu tergesa-gesa kami berangkat, hingga hal
yang penting itu tidak terpikirkan."
'Jangan terlalu dipikirkan, Sik. Kuda mudah didapat di
daerah ini. Atau ...," teringat Banyak Sumba kepada Raden
Aria Banga yang membawa kuda. Agar tidak membuangbuang
waktu, Banyak Sumba berpendapat, kalau diberi ia
dapat meminjam kuda bangsawan muda itu. Maka, pergilah
Banyak Sumba menghubungi Raden Aria Banga. Setelah
mengobrol banyak tentang ayam sabungan, berkatalah Raden
Aria Banga, "Bagus, bawalah kuda saya. Itu berarti, beberapa
hari saya tidak perlu susah-susah menyuruh orang menjaga
atau mencarikannya rumput."
Dengan kuda Raden Aria Banga itulah, keesokan harinya,
subuh-subuh Banyak Sumba dengan kedua orang
panakawannya menuruni tanah tinggi di kaki Gunung
Mandalagiri. Mereka menuju Kota Kutabarang yang megah
dan kaya raya itu. Mereka tidak membawa perbekalan apa-apa
karena akan mengikuti jalan-jalan besar yang melalui
kampung-kampung. Akan tetapi, Banyak Sumba membawa
perbekalan lain, yaitu sebuah pundi-pundi racun yang pernah
dibelinya di Kutabarang. Juga lima bilah pisau pendek, pisau
hiasan yang kalau digabung dengan isi pundi-pundi itu dapat
dipakai membunuh.
Ketika di perjalanan Jasik melihat pisau-pisau itu,
berkatalah ia, "Kalau melihat pisau-pisau atau senjata, saya
sering teringat kepada Ayah, Raden."
"Mengapa, Sik?" tanya Banyak Sumba seraya menahan
kekang kuda karena jalan menurun.
'Ayah mengatakan bahwa kerajaan melarang anak negeri
membawa senjata untuk dua tujuan."
"Apa kata ayahmu mengenai tujuan-tujuan itu, Sik?" tanya
Banyak Sumba yang menjadi penasaran.
"Pertama, tentu saja tujuan yang sudah diketahui umum,
yaitu senjata panjang akan berbahaya sekali kalau boleh
dibawa oleh setiap orang. Kalau ada orang bertengkar atau
anak-anak tanggung mempermainkan senjata itu, mungkin
saja terjadi kematian yang sia-sia. Tentu setiap orang setuju
dengan kehendak kerajaan, yang hanya memberi izin pada
para jaga-baya untuk memegang senjata panjang itu. Para
bangsawan di Pakuan Pajajaran sungguh-sungguh bijaksana.
Hanya para jagabaya yang berbudi saja yang diperkenankan
membawa senjata panjang," lanjut Jasik.
"Sik, kau belum menjelaskan tujuan yang kedua, yangjustru
ingin saya ketahui," kata Banyak Sumba.
"Oh, hampir saya lupa. Menurut Ayah, kerajaan melarang
anak negeri membawa senjata panjang agar anak negeri
pandai berkelahi Raden."
Banyak Sumba tersenyum. Ia terkenang kepada Paman
Wasis, seorang ahli yang sangat menghormati ilmunya. Ia
bertanya kepada Jasik, "Kapan ayahmu berkata begitu, Sik?"
"Ketika saya masih kecil sekali, Raden, yaitu ketika saya
tidak mau belajar berkelahi dan hanya mau jadi gembala kambing."
"Dan kau menurut, bukan?"
"Tentu saja, Raden, karena dengan keterangan Ayah itu
saya menyadari, bukan Ayah yang menghendaki saya belajar
berkelahi. Saya merasa senang karena dengan demikian saya
telah berbakti sejak kecil kepada sang Prabu yang sangat
kasih kepada kita."
Penjelasan Jasik yang terakhir menyentuh hati Banyak
Sumba. Ia tidak tahu perasaan apa yang tergugah dalam
hatinya. Ia tidak tahu apakah ia bersedih atau menyesali
dirinya Yang ia sadari hanyalah, hubungannya dengan sang
Prabu tidak sesederhana dan seindah hubungan Jasik dengan
rajanya itu. Orang-orang sederhana seperti Jasik merasa tenteram,
bahagia, dan bangga setiap kali mereka mengucapkan kata
"Sang Prabu". Mereka mengucapkan kata itu seperti
mengucapkan nama ayah yang sayang dan telah memberikan
kebahagiaan kepada mereka. Bagaimanapun, sepanjang
pengetahuan Banyak Sumba, telah begitu banyak
kebijaksanaan sang Prabu yang melimpah kepada anak negeri.
Di antara kebijaksanaan itu adalah larangan membawa
senjata. Selain itu, masih banyak kebijaksanaan lain yang
besar artinya dalam menciptakan keamanan dan kemakmuran
Pajajaran. Pemburuan babi hutan yang dilakukan secara
bermusim sangat menguntungkan para petani. Pemburuan ini
biasanya dilakukan saksama sekali, bukan hanya oleh para
petani dan para bangsawan yang berburu karena kesenangan,
hampir seluruh jagabaya juga dikerahkan.
Demikian juga dalam hal pengadilan. Para jagabaya atau
para bangsawan yang bersalah'dihukum lebih berat daripada
orang-orang kebanyakan. Ini masuk akal sekali karena orang
yang lebih besar tanggungjawabnya menimpakan malapetaka
yang lebih besar pula kepada anak negeri, kalau mereka
berbuat kesalahan. Di samping itu, kedudukan sebagai
bangsawan atau ponggawa serta prajurit, merupakan
kedudukan yang terhormat. Kedudukan ini harus dipelihara
dengan keluhuran budi. Dan banyak lagi kebijaksanaan
kerajaan yang dirasakan anak negeri sebagai hikmah. Anak
negeri biasanya mengucapkan syukur kepada Sunan Ambu,
kemudian mengucapkan terima kasih kepada sang Prabu di
Pakuan Pajajaran.
Akan tetapi, sekarang Banyak Sumba tidak dapat
merasakan terima kasih seperti dulu. Ia ragu-ragu, apakah dia
pada tempatnya mengucapkan terima kasih. Bagaimanapun,
sebagai seorang yang hidup untuk membalas dendam, ia tidak
merasa searah dan setujuan dengan usaha-usaha yang
dilakukan sang Prabu. Sang Prabu berusaha agar Pajajaran
damai dan makmur. Ia sendiri berusaha agar dapat
membunuh Anggadipati, keluarga Wiratanu dan Pembayun
Jakasunu. Kedua tujuan itu tidak searah satu sama lain, itulah
sebabnya ia gelisah ketika pikiran-pikirannya tentang sang
Prabu memenuhi hatinya.
"Raden, kita membelok ke kiri!" tiba-tiba Arsim berseru dari
belakang. Banyak Sumba segera mengekang kendali kudanya
dan sadar bahwa dalam renungan-renungannya, ia telah
mengambil jalan yang salah. Ia membelokkan kudanya, lalu
menderu menuju Kutabarang diikuti kedua orang
panakawannya yang berseru-seru menghalau kuda, "Ha! Ha!"
Ketika pada hari kedua mereka melihat menara benteng
Kutabarang, Banyak Sumba mengekang kudanya. Ia
melambatkan perjalanan dan bermaksud memasuki
Kutabarang kalau hari telah teduh. Ia bermaksud beristirahat
dahulu di luar benteng sambil memikirkan rencana serta
mempersiapkan diri untuk menghadapi peristiwa yang sangat
penting itu. Maka, dibelokkanlah kudanya menuju sebuah
kampung, diikuti kedua panakawannya yang patuh.
Ketika kedua orang panakawannya sibuk mempersiapkan
diri untuk menghadapi kehidupan kota kembali, Banyak
Sumba sibuk dengan hal lain. Di dalam bilik tempatnya
menginap dan beristirahat, dibukanya tutup pundi-pundi racun
itu. Kemudian, dicabutnya pisau-pisau kecil dari sarung yang
bersatu dengan ikat pinggang yang lebar. Dengan
mempergunakan sehelai kain yang dicelupkan ke dalam
pundit-pundi itu, di-usapinya mata pisau itu dengan benda cair
dalam pundi-pundi itu. Banyak Sumba berhati-hati
melakukannya agar ia tidak menyentuh benda cair itu. Dan
setelah tiga buah pisau paling kecil selesai diracuni,
ditutupkannyalah kembali pundi-pundi itu. Banyak Sumba
pening menghirup bau tajam yang keluar dari pundi-pundi itu.
Setelah ketiga bilah pisau itu kering, barulah Banyak Sumba
memasukkannya kembali ke sarung yang bersatu dengan ikat
pinggangnya yang lebar itu. Selesai mengerjakan persiapan,
Banyak Sumba membersihkan diri dan berpakaian rapi.
Sore itu, ketika awan Jingga bertebaran di langit baratketiga
orang penunggang kuda itu melarikan kudanya pelanpelan
menuju gerbang Kota Kutabarang. Karena jalan lebar
dan sepi, Banyak Sumba meminta Jasik melarikan kuda di
sampingnya. "Sik, tahukah engkau mengapa Putra Mahkota berkunjung
ke Kutabarang?"
"Beliau singgah di sini, Raden, dan tidak sengaja datang.
Menurut keterangan yang saya dengar, beliau sudah dua
bulan lebih melakukan perjalanan di seluruh kerajaan. Raden
tahu, musim kemarau sekarang ini panjang sekali. Beberapa
daerah kerajaan menderita kekeringan. Huma-huma tidak
tumbuh, palawija pun demikian. Sementara itu, binatangbinatang
yang biasanya mendapat cukup makan di hutan
belantara, terpaksa mencari makan dan air di tempat-tempat
yang dihuni manusia. Itu berarti kerusakan yang bertubi-tubi
terhadap pertanian. Para petani sangat prihatin. Itulah
sebabnya, Putra Mahkota meninggalkan ibu kota dan
berkeliling ke kampung-kampung menggembirakan para
petani. Menurut berita, di setiap kampung yang besar, beliau
memasuki tempat pemujaan dengan para petani yang
dikumpulkan sebelumnya. Di sana, beliau memanjatkan doadoa


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan permohonan kepada Sunan Ambu agar menitikkan air
mata kasih-Nya ke muka bumi."
Banyak Sumba termenung di antara bunyi kaki kuda yang
berdepuk-depuk perlahan. Tiba-tiba, Arsim yang mendengar
penjelasan Jasik menyambung, "Di samping itu, Raden, beliau
pun sudah lebih dari sebulan berpuasa. Beliau bertapa sambil
melakukan perjalanan. Itu sungguh-sungguh suatu hal yang
berat. Berpuasa di atas kuda, mengarungi lembah-lembah dan
gunung-gunung, setiap hari. Bayangkan, Raden! Itulah
sebabnya saya sering bersyukur tidak jadi bangsawan. Setiap
malapetaka ditanggungnya seolah-olah kesalahan sendiri,
walaupun di luar kemampuan beliau untuk
menghindarkannya."
"Para pengiringnya juga berpuasa, Raden," sambungjasik.
"Berpuasa juga?" kata Banyak Sumba yang mengetahui
bahwa dalam tugas pengawalan, tidak diharuskan bagi
perwira untuk ikut berpuasa.
"Ya, Raden," kata Jasik.
Arsim dari belakang berseru, "Menurut pendengaran saya,
mula-mula hanya Pangeran Anggadipati yang berpuasa,
mengikuti Putra Mahkota, kemudian puragabaya yang lain
mengikuti."
"Sebenarnya, mereka tidak usah berpuasa," kata Banyak
Sumba, suatu perasaan gelisah dan tidak enak memenuhi
hatinya. "Saya dengar, Putra Mahkota mengusulkan agar mereka
tidak berpuasa karena dengan mengawal beliau, sebenarnya
mereka sudah melakukan tugas yang sama nilainya dengan
berpuasa. Akan tetapi, Pangeran Anggadipati sebagai
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 5 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Legenda Kematian 4

Cari Blog Ini