Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 4

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 4


diletakkan kayu-kayu bakar banyak sekali, yang telah diperciki
dengan minyak kelapa. Hanya di suatu tempat dibuat celah
kecil untuk jalan keluar atau masuk ke dalam lingkaran itu.
Ketika malam turun, dan setelah sembahyang bersama
dilakukan, kedua belas orang calon diperintahkan untuk duduk
di sekeliling lapangan, bersama-sama dengan rombongan
Putra Mahkota. Setelah segalanya siap, Eyang Resi maju ke
muka, lalu berkata, "Putra Mahkota yang kami muliakan, para
bangsawan dan rombongan para calon, suatu saat yang
penting dalam pendidikan akan segera kita lalui, yaitu di mana
para calon akan memperlihatkan hasil didikan yang mereka
dapatkan di padepokan ini. Satu per satu calon akan
dimasukkan ke dalam gelanggang. Mereka harus berusaha
keluar dari gelanggang secepat mungkin, setelah dapat
meloloskan diri dari puragabaya yang akan bergiliran menjadi
penghalang mereka. Dalam usahanya tersebut, setiap calon
diperkenankan mempergunakan segala ilmu yang didapatnya
di padepokan, termasuk pukulan-pukulan atau tendangantendangan
yang mematikan." Setelah berkata demikian, Eyang
Resi mengundurkan diri dan duduk di samping Putra Mahkota.
Maka terdengarlah Pamanda Anapaken berseru, "Rangga!"
Majulah Rangga ke depan, bersamaan dengan itu berdiri
pula puragabaya Rangga Gempol. Rangga diperintahkan untuk
memasuki gelanggang, demikian juga puragabaya Rangga
Gempol dipersilakan. Setelah mereka berada di dalam
lingkaran itu, mereka memberi hormat kepada Putra Mahkota
dan Eyang Resi. Tak lama kemudian Pamanda Anapaken
berseru kepada Mang Ogel yang segera datang membawa
obor. Dengan obor yang berkobar-kobar, Mang Ogel berjalan
di depan para hadirin, kemudian setelah memberi hormat
kepada Putra Mahkota dan Eyang Resi, ia berjalan dengan
obor itu ke arah gelanggang Kayu bakar yang bertumpuktumpuk
mengelilingi gelanggang itu disulutnya, dan dalam
sekejap berko-bar-kobarlah api dari kayu kering yang telah
disiram minyak kelapa. Rangga dan puragabaya Rangga
Gempol yang berada di tengah-tengah gelanggang hanya dari
pundak ke atas saja tampak di antara lidah-lidah api yang
keemasan dan merah itu. Mereka berhadapan di sana, dan
setelah mendengar seruan Pamanda Anapaken, "Mulai!"
Rangga pun mulailah dengan serangan, dalam usahanya
keluar dari lingkaran api itu, melalui celah yang kecil di mana
tidak ada api menyala.
Perkelahian yang singkat tapi seru itu diakhiri dengan
loncatan Rangga keluar gelanggang dengan melalui celah itu.
Para hadirin bertepuk, sementara Rangga terduduk kelelahan.
Kemudian berturut-turut calon-calon dipanggil, dan setelah
melalui perkelahian yang menegangkan, mereka umumnya
berhasil keluar dari gelanggang yang dikelilingi api itu, dalam
waktu yang tidak terlalu lama.
Kemudian terdengarlah Pamanda Anapaken berseru,
"Anom!"
Pangeran Muda pun memasuki gelanggang melalui celah
yang tidak berapi. Ketika itu puragabaya Geger Malela
digantikan oleh puragabaya Rangga Sena yang mengikuti
Pangeran Muda memasuki gelanggang itu. Setiba di dalam,
mereka bersiap-siap, kemudian seruan "Mulai!" terdengar dari
luar. Maka bersiap-siaplah Pangeran Muda.
Ternyata puragabaya Rangga Sena tidak berdiri di muka
celah tempat meloloskan diri. Puragabaya itu berdiri di suatu
tempat dekat celah itu, seolah-olah mempersilakan Pangeran
Muda untuk melompat keluar dari lingkaran api itu. PangeranMuda segera menyadari bahwa itu hanyalah pancingan, dan
karena itu tidak mempergunakan kesempatan yang berbahaya
itu, tetapi langsung mendekati puragabaya itu dari samping
dan menyerangnya dengan gerakan mendorongnya ke dalam
api. Akan tetapi, begitu tangan Pangeran Muda terjulur,
tangan itu ditangkap dan ditarik hingga tubuh Pangeran
Mudalah yang hampir terlempar ke dalam api. Untung
Pangeran Muda waspada, berat badannya dibelokkan dan
diarahkan ke tubuh puragabaya itu. Pangeran Muda maju
menyerang mempergunakan tarikan tangan puragabaya itu.
Lawan yang waspada sedikit mundur dan menepuk sikut itu
dalam rangka menjatuhkan Pangeran Muda. Dengan tepukan
itu, Pangeran Muda terdorong dekat sekali ke dalam api.
Panas api menjilat-jilat pipinya. Sementara itu, dengan cepat
puragabaya Rangga Sena menyerangnya dari muka, dengan
gerakan melebar, tidak memberi kesempatan pada Pangeran
Muda untuk meloloskan diri ke tengah-tengah gelanggang
kembali. Diserang demikian Pangeran Muda tidaklah gugup.
Diperlihatkannya gerakan-gerakan seolah-olah ia sedang
kebingungan. Gerakan-gerakan ini menyebabkan puragabaya
Rangga Sena lebih bersemangat menyerangnya dan mulai
melakukan gerakan yang tujuannya menjatuhkan Pangeran
Muda ke dalam api. Serangan yang bersemangat ini
merupakan kelemahan, dan dengan serudukan lurus, gerakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerakan yang menghalangi dan mengurung dari puragabaya
Rangga Sena dapat ditembus.
Karena serudukan lurus tidak akan dapat ditahan, Rangga
Sena terpaksa menghindar dengan menangkap tangan
Pangeran Muda serta membantingnya. Akan tetapi, bantingan
ini dilakukannya di tengah-tengah gelanggang, hingga
Pangeran Muda bebas menghadapi celah tempat keluar. Akan
tetapi, segera Rangga Sena menyadari kesalahannya, dan
dengan lompatan sudah berada dekat Pangeran Muda dan
berusaha mengisi tempat antara Pangeran Muda dengan celah
itu. Sekarang Pangeran Mudalah yang melakukan gerakangerakan
menghalangi. Ternyata, usaha keluar tidak menjadi
lebih mudah, walaupun Pangeran Muda sekarang berdiri
membelakangi celah tempat lolos itu. Setiap gerakan
meloloskan diri akan memberi kesempatan pada Rangga Sena
untuk melakukan serangan yang tidak akan dapat dihindarkan
kecuali dengan masuk ke dalam api. Maka berpikirlah
Pangeran Muda dengan keras.
Akhirnya, diputuskanlah untuk melakukan serangan
kembali, dengan tujuan mendesak Rangga Sena ke suatu
tempat di samping celah itu. Pangeran Muda melakukan
serangan lurus, yang dihindarkan dengan lompatan ke
samping oleh Rangga Sena. Ia kemudian berusaha mendekati
celah itu. Pangeran Muda yang sudah meramalkan hal itu
segera menutupnya. Sekarang mereka berhadap-hadapan
kembali, tetapi Pangeran Muda sekarang berdiri dengan celah
itu di sampingnya. Rangga Sena sadari telah terpancing, ia
mulai bergerak ke tengah-tengah gelanggang agar dapat
menghadapi Pangeran Muda yang terpaksa akan
membelakangi celah itu kembali. Akan tetapi, baru saja ia
melangkah satu langkah, dengan secepat kilat Pangeran Muda
melompat, meloloskan diri ke luar gelanggang.
Seperti juga sebelumnya, para hadirin bertepuk, sementara
Pangeran Muda kelelahan di luar gelanggang. Rangga Sena
keluar dari gelanggang, mengulurkan tangan dan ketika
mereka bersalaman puragabaya itu berkata dengan tulus,
"Kau licin sekali, Anggadipati."
"Terima kasih atas pujian itu, Kakanda."
"Saya tidak memuji, hanya mengatakan yang sebenarnya."
"Tetap saja saya berterima kasih."
Upacara itu pun dilanjutkan, dan para calon keluar masuk
gelanggang, kadang-kadang keluar dengan pakaian yang
terbakar, kadang-kadang dengan rambut yang hangus, tetapi
semua dapat mengatasi rintangan dalam waktu yang singkat.
Bab 14 Putri Yuta Inten
Setelah upacara yang bersifat ujian pertama itu dilampaui,
tak banyak yang dikerjakan oleh para calon puragabaya di
padepokan itu. Sambil menunggu panggilan dari Pakuan
Pajajaran untuk menerima tugas-tugas dalam masyarakat,
kadang-kadang para calon pergi berburu, kadang-kadang
melakukan latihan ketangkasan, dan sebagainya. Latihanlatihan
ini dilakukan tanpa dipimpin oleh pelatih-pelatih
mereka karena para pelatih ini sudah terlebih dahulu
mendapatkan cuti besar dan kembali kepada keluarga mereka
masing-masing. Demikian juga sebagian dari panakawan
termasuk Mang Ogel. Mereka yang dibutuhkan tenaganya dan
tidak atau belum beristri, tinggal di padepokan itu melakukan
tugas biasa melayani Eyang Resi, dan para calon.
Kemudian, pada suatu hari, panggilan itu pun tibalah
dibawa oleh puragabaya Geger Malela. Dalam surat panggilan
itu ditetapkan, setiap calon akan diberi tugas menjadi
pengawal-pengawal pribadi sejumlah bangsawan tinggi.
Ditetapkan pula bangsawan-bangsawan mana yang akan
dikawal oleh calon-calon itu. Di antara bangsawan tinggi yang
akan diberi pengawalan itu termasuk Ayahanda Pangeran
Anggadipati, yang menurut puragabaya Geger Malela
sekarang diberi tugas di Pakuan Pajajaran karena sang Prabu
sangat berkenan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh
Ayahanda dalam meningkatkan kesejahteraan daerahnya.
Keterangan itu sungguh-sungguh sangat membuat gembira
hati Pangeran Muda. Pertama, karena Ayahanda telah
mendapat kehormatan untuk mendampingi sang Prabu di
Pakuan Pajajaran; kedua, karena dengan penugasannya di
Pakuan Pajajaran, akan lebih mudah bagi Pangeran Muda
untuk bertemu dengan beliau.
"Anggadipati, kau dapat memilih untuk menukar calon
majikanmu dengan ayahmu," ujar puragabaya Geger Malela.
"Maksud saya, saya tidak berkeberatan kalau kau menjadi
pengawal pribadi ayahmu, Pangeran Anggadipati," lanjutnya.
"Lebih baik tidak, Kakanda," kata Pangeran Muda setelah
termenung sebentar, "pertama, pengalaman saya tidak akan
bertambah; kedua, Ayahanda belum tentu setuju, ketiga, saya
sudah ditetapkan untuk mengawal bangsawan lain; keempat,
Rangga akan senang sekali menjadi pengawal Ayahanda."
"Kalau begitu, terserahlah," kata puragabaya Geger Malela.
Setelah pengumuman tentang penugasan itu selesai, pada
malam harinya para calon mengadakan pertemuan perpisahan
dengan Eyang Resi dan para panakawan yang tinggal.
Demikian juga, puragabaya Geger Malela dengan
panakawannya ikut menggabungkan diri dalam acara
perpisahan itu. Dalam acara perpisahan itu, walaupun untuk
sementara, Eyang Resi memberikan berbagai nasihat, di
antaranya beliau berkata,
"Anak-anakku, walaupun engkau belum secara resmi
menjadi puragabaya engkau akan dimuliakan dalam
masyarakat. Segala kebutuhanmu, seperti makanan dan
pakaian, bahkan kuda-kuda serta senjata yang akan diurus
oleh kerajaan. Engkau adalah golongan bangsawan yang
dimanjakan oleh masyarakat karena mereka benar-benar
membutuhkan kalian. Kalau mereka menghormati dan
mencukupi segala kebutuhanmu secara berlimpah-limpah, hal
itu bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki pamrih. Mereka
berpamrih kepada kalian semua, yaitu agar kalian semua
dapat memusatkan segala perhatian kalian untuk menjadi
jaminan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan. Kalian
adalah jaminan atau puraga bagi kebahagiaan masyarakat.
Oleh karena itu, sesuaikan segala tutur-kata dan tingkah-laku
kalian pada pamrih mereka itu.
"Andaikata kalian tidak dapat menyesuaikan diri dengan
kedudukan kalian, adalah hak masyarakat untuk mencabut
segala kehormatan dari kalian, dan bahkan untuk
menuntutkan hukuman bagi kalian. Eyang mendoakan,
mudah-mudahan kalian dapat memenuhi kewajiban kalian
yang berat dan mudah-mudahan Eyang tidak akan menerima
pengaduan-pengaduan yang tidak perlu dari masyarakat
melalui sang Prabu."
Demikianlah nasihat terakhir Eyang Resi yang ditutup pula
dengan harapan, mudah-mudahan setelah tiga tahun berlalu,
mereka akan dapat kembali tanpa kekurangan suatu apa.
Setelah beramah tamah dan melakukan sembahyang
bersama, mereka pun kembalilah ke asrama untuk beristirahat
karena keesokan paginya semua calon harus meninggalkan
padepokan, dan secepat mungkin berada di tempat mereka
bertugas. MALAM itu di ruangannya Pangeran Muda dengan Jante
tidak segera tidur. Mereka berbincang-bincang tentang
berbagai hal. Pada suatu kali Jante berkata, "Anom, kalau kau
tidak tergesa-gesa hendak tiba di puri ayahmu, kau dapat
singgah dulu di tempatku. Itu akan menyenangkan; pertama,
kita dapat jalan bersama; kedua, ingin sekali saya
memperkenalkan keluargaku kepadamu."
Usul itu diterima dengan gembira oleh Pangeran Muda,
bukan saja karena Pangeran Muda berkenalan dengan
keluarga sahabatnya itu, tetapi ia pun ingin berkelana dahulu
sebelum tiba di rumah. Oleh karena itu, keesokan harinya
ketika para calon terpencar-pencar mengambil arah masingmasing,
Pangeran Muda dengan Jante terus memacu kuda
mereka berdampingan ke arah timur laut.
Di suatu padang yang luas, di sebuah mata air, mereka
menghentikan kuda mereka untuk memberi kesempatan
kepada binatang-binatang itu beristirahat dan minum setelah
berlari sepanjang pagi. Pangeran Muda dengan Jante
membuka bekal, dan sambil makan mereka bercakap-cakap.
"Geger Malela bermaksud membunuhku, Anom, untung
saya waspada," kata Jante tiba-tiba. Pangeran Muda sangat
terkejut mendengar perkataan sahabatnya itu. Belakangan ini
memang kata-kata Jante sering mengejutkannya, di samping
itu kemurungan Jante menimbulkan tanda tanya pula. Pernah
Pangeran Muda bertanya, apa yang menyebabkan sahabatnya
itu murung, tapi Jante tidak memberikan keterangan apa-apa.
Dan sekarang, tiba-tiba keluarlah perkataan Jante yang sangat
mengejutkan itu.
"Jante, tidak mungkin," kata Pangeran Muda.
"Dalam ujian itu saya didesaknya, hingga bajuku terbakar.
Saya yakin ia akan sangat bersenang hati kalau saya masuk ke
dalam api," katanya. Pangeran Muda dengan keheranan
menggeleng-gelengkan kepala mendengar perkataan
sahabatnya itu. "Anom, kau jangan terlalu percaya pada
puragabaya-puragabaya itu
Belum, selesai Jante berkata, Pangeran Muda telah
menyela, "Tapi, Jante, untuk apa mereka mencelakakan
engkau?"

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anom engkau terlalu sederhana, pikiranmu masih kanakkanak,"
ujar Jante, sungguh-sungguh.
"Tapi mereka orang baik-baik, bahkan orang-orang
budiman yang dipilih dari beratus-ratus orang baik lainnya
untuk menjabat tugas kepuragabayaan itu. Jante, saya heran,
mengapa engkau bisa berpikir begitu, itu tidak adil."
Mendengar perkataan Pangeran Muda demikian, Jante diam
lalu menunduk. Tak lama kemudian berkata pulalah ia, "Anom,
lebih baik tidak terlalu percaya kepada manusia."
'Jante!" seru Pangeran Muda keheranan dan terkejut oleh
perkataan kawannya yang biasanya pendiam itu.
"Kau boleh percaya atau tidak kepadaku, dalam latihanlatihan
perkelahian, para pelatih sering sekali kelihatan hendak
mencelakakanku," katanya pula.
'Jante! Tidak mungkin, buat apa mereka
mencelakakanmu?"
"Untuk apa mereka memukulmu hingga babak belur?"
'Jante, bukan kau saja yang kena pukulan dalam latihan,
saya pun entah berapa puluh kali menderita memar."
"Engkau sendiri tidak merasakan, orang sekelilingmu sering
bermaksud jahat."
'Jante, tapi semuanya itu tidak terbukti, kau dihantui oleh
khayalanmu sendiri. Jante, bacalah mantra-mantra agar
khayalan-khayalanmu yang tidak berdasar itu meninggalkan
hatimu. Jante, saya sungguh-sungguh minta kepadamu agar
kau membaca mantra-mantra itu," kata Pangeran Muda
dengan sedih. Mendengar perkataan Pangeran Muda itu, Jante terdiam
dan tidak meneruskan percakapannya kembali sampai mereka
berada di atas kuda masing-masing.
Selama itu Pangeran Muda termenung-menung,
memikirkan percakapannya dengan kawannya itu.
Bagaimanapun juga belakangan ini kawannya itu banyak
memperlihatkan tingkah yang aneh-aneh. Pertama, ia sangat
murung; kedua, suka menyendiri, dan akhirnya, percakapanpercakapannya
sering tiba-tiba mengejutkan dan tidak masuk
akal. Sebelumnya telah terpikir oleh Pangeran Muda untuk
memberitahukan hal itu kepada Eyang Resi. Pangeran Muda
beranggapan Jante sedang menghadapi suatu masalah berat
yang disembunyikan kepada orang lain, bahkan kepada
Pangeran Muda sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari di
padepokan, kecuali sangat pendiam, Jante tidak pernah
memperlihatkan keanehan-keanehan lain. Akan tetapi, bagi
kawan semangannya, yaitu Pangeran Muda, keanehankeanehan
tingkah-laku dan tutur-kata Jante lebih tampak.
Walaupun demikian, kejanggalan-kejanggalan itu belum
pernah begitu menonjol seperti yang terjadi dalam
percakapannya di dekat mata air itu. Dengan adanya
percakapan itu, Pangeran Muda menjadi lebih yakin, ia harus
segera memberitahukan hal Jante ini kepada Eyang Resi. Akan
tetapi, sayang sekali kesempatan ini tidak akan didapat,
sekurang-kurangnya dalam tiga tahun yang akan datang. Oleh
karena itu, Pangeran Muda hanya merasa prihatin akan
penderitaan sahabatnya itu.
Sementara Pangeran Muda termenung-menung demikian,
kuda mereka terus berlari di padang yang luas itu. Beberapa
kali mereka melewati kampung-kampung kecil yang ada
sepanjang jalan antara hutan-hutan sekitar Padepokan
Tajima-lela dan hutan-hutan yang harus ditempuh di hadapan
mereka. Akan tetapi, sepanjang jalan itu Jante tidak bercakapcakap
lagi. Ia pun seperti termenung-menung.
Kemudian, ketika mereka bercakap-cakap kembali, hal
lainlah yang menjadi buah pembicaraan. Akan tetapi, dalam
percakapan itu pun ada perkataan Jante yang
mengejutkannya. Pada suatu kali Jante berkata, "Dunia ini
penuh dengan kejahatan, tipu-daya, kelicikan, dengki, dan
lain-lain semacamnya."
"Kalaupun itu benar, bukankah hati manusia dapat
mengatasinya dengan kasih sayang?" ujar Pangeran Muda
sambil mengingat-ingat kembali wejangan Eyang Resi.
"Anom, sebenarnya tak ada orang yang percaya akan kasih
sayang. Mereka yang mengajarkan kasih sayang adalah orang
yang munafik."
'Jante!" sekali lagi Pangeran Muda terkejut, kemudian
melanjutkan, 'Jante, tapi bukankah kita hidup selama ini
karena kasih sayang orang" Pertama kasih sayang orangtua
kita, kemudian panakawan-panakawan kita, lalu guru, dan
pelatih-pelatih kita, setelah itu pangeran-pangeran yang lebih
berkuasa dari kita. Jante, tanpa kasih sayang itu kita tidak
akan seperti begini sekarang."
"Tapi mengapa kita mempelajari ilmu yang berbahaya, dan
tidak ada gunanya kecuali untuk membunuh?"
'Jante, kita belajar di padepokan bukan untuk menjadi
pembunuh. Berulang-ulang Eyang Resi menyatakan kepada
kita bahwa kita belajar agar kita dapat melaksanakan kasih
sayang kita dengan lebih baik. Barangkali kau ingat semboyan
kita, 'Kekuatan tanpa kasih sayang adalah kezaliman, sedang
kasih sayang tanpa kekuatan adalah kelemahan'. Kita belajar
di padepokan agar kasih sayang kita berkekuatan."
"Kalau begitu, kau pun mengakui, kita tidak bisa hidup
tanpa kekuatan," ujar Jante.
"Kita dapat hidup tanpa kekuatan, tapi hidup kita tidak
akan sempurna. Kita mungkin akan menderita."
'Jadi, kau mengakui bahwa dunia ini penuh dengan
kejahatan hingga kita harus memiliki kekuatan."
"Jante, kejahatan adalah suatu yang nyata di dunia ini,
akan tetapi kasih sayang pun demikian juga. Seandainya
kejahatan begitu kuat, bukankah para petani tidak akan
bercocok tanam seperti sekarang?" sambil berkata demikian,
Pangeran Muda memandang huma-huma dan palawija yang
luas bagai lautan di sekeliling mereka.
"Dan bukankah keamanan, ketertiban, dan kemakmuran
Pajajaran membuktikan, kasih sayang lebih kuat daripada
kejahatan" Sekurang-kurangnya di Pajajaran kasih sayang
lebih kuat, dan kewajiban kitalah untuk menjaga agar kasih
sayang lebih kuat daripada kejahatan, dan untuk itu kita
belajar di padepokan."
Jante tidak berkata apa-apa, tetapi dari cahaya matanya
tampak, dia belum dapat diyakinkan oleh Pangeran Muda.
Pangeran Muda sangat merasa prihatin dan bermaksud akan
menerangkan hal itu kepada Eyang Resi segera setelah ada
kesempatan. TAK LAMA kemudian, sayup-sayup tampaklah kelompok
rumah-rumah yang sangat besar jumlahnya. Di antara
rumahrumah itu tampak beberapa buah menara yang tinggi.
Dan setelah kedua penunggang kuda lebih dekat ke tempat
itu, Pangeran Muda menyadari, mereka akan memasuki
sebuah kota. Gerbang kota itu diperkuat dengan benteng yang
bermenara, dan di atas menara itu tampaklah beberapa
gulang-gulang membawa tombak-tombak panjang yang
paruhnya berkilat-kilat di bawah sinar matahari. Sebelah
kanan gerbang kota berdinding batu-batu dan tanah liat,
sedang di sebelah kirinya, selain dinding terdapat pula sungai
yang melingkar, yang dapat melindungi kota itu dari serangan
darat seandainya peperangan terjadi.
"Kota ini sangat kuat, walaupun kecil."
"Medang, Anom. Kita sudah tiba, ayahku seorang yang
berbakat untuk menjadi panglima. Beliaulah yang
merencanakan dinding dan bentuk-bentuk menara ini," kata
Jante yang selama ini terdiam.
"Oh, kalau begitu saya harus membereskan pakaian
dahulu." "Tidak usah. Mereka akan tahu kita baru saja menempuh
perjalanan yang jauh."
"Tidak, Jante," ujar Pangeran Muda. "Lebih baik kita
menyimpang dulu ke mata air itu. Bagaimanapun juga saya
tidak mau menghadap keluargamu dengan pakaian dan
rambut yang begini kusut masai."
"Baiklah, Anom, kalau memang engkau seorang pesolek.
Keluargaku tidak pernah terlalu ambil pusing tentang caracara
orang berdandan." Sambil berkata demikian, Jante
membelok ke kelompok pohon-pohonan yang hijau di tengahtengah
padang itu. Setiba di sana mereka segera turun.
Pangeran Muda mencuci muka, tangan dan kaki, lalu
mengganti pakaian perjalanan yang kotor dengan pakaian
kesatriaan yang bersih dan pantas. Jante memandangnya,
sambil juga membersihkan diri dan menyisir rambutnya yang
tebal dan panjang itu.
"Raden!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru dan
ketika Pangeran Muda melihat ke arah suara itu tampaklah
beberapa orang petani berlarian menuju Jante. ' Jasik, Misja,
bagaimana, baik-baik?"
"O, Raden, hampir Paman tidak mengenalmu lagi. Raden
begitu tinggi dan besar sekarang!" kata Jasik, sementara para
petani itu memegang tangan Jante.
"Ini kawanku, Jasik, Pangeran Anggadipati, ia berlibur di
Medang untuk beberapa hari denganku, sebelum kami pergi
ke Pakuan Pajajaran untuk bertugas."
"Apakah Raden sudah menjadi puragabaya sekarang?"
"Belum, Jasik. Kami masih dalam latihan. Latihan yang
sekarang dilakukan di luar Padepokan Tajimalela," ujar Jante.
"Oh," kata orang-orang itu, sambil dengan kagum
memandang Jante yang tersenyum kepada mereka. Baru
ketika itulah Pangeran Muda melihat kelembutan dari air muka
Jante. Biasanya ia murung sahaja. Melihat hal itu, agak
legalah Pangeran Muda. Mudah-mudahan cuti yang dilakukan
di kampung halamannya akan mampu memperbaiki tingkah
laku Jante yang selama ini sangat mencemaskan Pangeran
Muda. "Jasik, Pangeran Anggadipati seorang pemburu. Kalian
dapat membawa beliau pada suatu kali."
"Oh, senang sekali Pangeran Muda, senang sekali," kata
Jasik seraya membungkuk-bungkukkan badannya sambil
tersenyum. "Tapi tidak ada waktu, Paman. Lain kali, kalau ada umur,
kita akan berburu di hutan-hutan Medang ini."
"Sekarang marilah kita pergi dulu, sebentar lagi waktu
makan siang tiba," kata Jante.
Mereka pun menaiki kuda masing-masing, diikuti oleh para
petani yang berjalan kaki di belakang mereka. Tak lama
kemudian mereka telah melewati gerbang kota. Jante
disambut dengan gembira oleh para gulang-gulang dan
jagabaya setempat yang ternyata sangat hormat kepadanya.
Dan setelah beberapa saat tertahan di sana, mereka pun
melanjutkan perjalanan menuju istana tempat ayah Jante
tinggal. AYAH Jante bernama Raden Banyak Citra. Dalam
pergaulannya yang beberapa saat saja jelas bagi Pangeran
Muda, orang tua itu adalah seorang ayah yang keras. Di
samping sangat teguh berpegang pada asas-asas agama dan
kebangsawanan, beliau sangat keras membina kehormatan
keluarga. Putra-putra beliau yang laki-laki digembleng untuk
menjadi kesatria-kesatria yang sederhana, tabah, keras, dan
berani di kemudian hari. Dapat dipahami kalau Jante berwatak
keras, tabah, berani di samping pendiam.
Ketika mereka menghadap, orang tua itu sebentar saja
menerima mereka. Berbeda dengan Ayahanda Anggadipati
yang suka berbincang-bincang dengan Pangeran Muda,
bahkan kadang-kadang berlelucon, ayah Jante adalah seorang
pendiam dan jarang tersenyum. Hubungan ayah dan anak
lebih berupa hubungan antara panglima dan prajurit daripada
hubungan ayah dan anak. Untuk bertemu dengan beliau,
Jante harus memberi tahu terlebih dahulu. Dan pertemuanpertemuan
dengan orang tua itu hanya terjadi di ruang makan
atau di ruang pemujaan, pagi atau senja.
"Waktu saya masih kanak-kanak, kami lebih jarang
bertemu. Di samping tidak banyak urusan, Ayah pun sibuk
melaksanakan tugas-tugas dari Pakuan Pajajaran. Akan tetapi,
itu tidak berarti bahwa saya tidak diawasi. Setiap kesalahan
yang saya lakukan di belakang Ayah mendapat hukuman yang
berat dan pelaksanaan hukuman dilakukan oleh Ayah sendiri,"
demikian ujar Jante ketika Pangeran Muda menyatakan bahwa
mereka sukar untuk bertemu dengan ayah Jante.
Sebaliknya, keluarga wanita Jante sangat ramah dan tidak
bersifat resmi. Ibu Jante, atau lebih tepatnya bibinya yang
sekarang menjadi istri ayahnya dan dengan tulus ikhlas serta
penuh kasih sayang mencintai Jante sebagai anak sulungnya,
adalah seorang wanita yang lembut dan budiman. Ketika Jante
datang, wanita itu merangkulnya dengan berurai air mata
karena gembira. Demikian juga adik-adik Jante yang
kebanyakan wanita, semuanya memperlihatkan kelembutan
dan keramahan. Hanya adik Jante yang laki-laki, yaitu yang
berumur sepuluh tahun mulai memperlihatkan kesungguhTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sungguhan dan sifat keras seperti ayahnya dan seperti Jante
sendiri. Anak ini Banyak Sumba namanya.
Adik Jante yang langsung adalah seorang gadis berumur
kira-kira enam belas tahun, namanya Yuta Inten. Gadis ini
pun, seperti ibunya, berwatak ramah dan lembut. Gerak-gerik
serta tutur katanya begitu wajar, hingga ketika untuk pertama
kali Pangeran Muda bertemu dengannya, ingatan Pangeran
Muda langsung terkenang pada banyak putri bangsawan lain
yang tingkah laku serta tutur katanya dibuat-buat hingga
kadang-kadang menggelikan tapi juga mengesalkan. Yuta
Inten sangat berbeda dengan gadis-gadis seperti itu, gerakgeriknya
yang ringan walaupun tidak dapat dikatakan lincah,
tutur katanya yang keluar dari watak yang sebenarnya
memperlihatkan bahwa walaupun gadis itu masih muda,
hanya jauh lebih dewasa dari kebanyakan gadis-gadis
sebayanya. Mungkin hal itu disebabkan tanggung jawabnya
yang besar, yaitu tanggung jawab sebagai kakak perempuan
yang terbesar bagi lima orang adiknya. Mungkin juga karena
memang sudah wataknya demikian. Akan tetapi, apa pun
alasannya, Pangeran Muda merasa hormat kepada gadis ini.
Ini berbeda dengan sikapnya terhadap banyak gadis lain.
Hanya satu kali Pangeran Muda melihat gadis ini
mengalami kebimbangan, yaitu ketika untuk pertama kali
mereka bertemu berdua di taman dekat pendapa. Ketika
Pangeran Muda mengucapkan selamat pagi, gadis itu tampak


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gagap sebelum membalas, sedang warna pipinya yang gading
tiba-tiba menjadi merah muda. Kegugupan gadis itu bagi
Pangeran Muda merupakan suatu hal yang menyebabkan
renungan. Apakah gadis itu menganggapnya sebagai orang
luar biasa, hingga menyebabkannya gugup" Pikiran.macam itu
menyebabkan Pangeran Muda senang. Tapi kemudian
Pangeran Muda pun terkejut dengan perasaannya sendiri. Ia
bertanya dalam hati, mengapa ia harus gembira kalau gadis
itu gugup" Mengapa ia harus gembira kalau gadis itu
menganggapnya sebagai orang yang luar biasa dan sangat
terhormat" Bukankah ia akan tetap saja bernama Anggadipati,
tidak berubah oleh sikap gadis itu kepadanya" Dengan pikiranpikiran
seperti itu, akhirnya Pangeran Muda menjadi bingung
sendiri dan memutuskan untuk berhenti memikirkan hal-hal
seperti itu. Renungan-renungan itu datang kepada Pangeran Muda
pada suatu tengah hari, ketika seluruh isi puri sedang
istirahat, dan Pangeran Muda berbaring-baring di ruangan
yang disediakan khusus untuknya. Ketika Pangeran Muda
hendak membaringkan diri, dari arah taman terdengarlah
suara gadis bersenandung. Pangeran Muda bangkit seperti
digerakkan oleh tenaga tersembunyi. Pangeran Muda berjalan
ke arah jendela yang menghadap ke taman, lalu membukakan
tabirnya sedikit. Di sana, di bawah pohon tanjung duduk Yuta
Inten sambil merenda pakaian yang dipegangnya,
bersenandung menidurkan adiknya yang kecil yang terbaring
dalam ranjang rotan kecil yang disandarkan pada batang
pohon tanjung itu.
Sebentar-sebentar Yuta Inten bangkit dari pekerjaannya
dan sambil bersenandung perlahan-lahan menggoyangkan
ranjang rotan itu. Pangeran Muda memerhatikannya,
merenung wajahnya, tangannya, dan seluruh diri gadis itu
dengan saksama dan tidak mengejapkan mata. Ketika pada
suatu kali gadis itu menjulurkan tangannya menggoyangkan
ranjang rotan itu, tiba-tiba napas Pangeran Muda terhenti.
Pangeran Muda tiba-tiba berdoa, mudah-mudahan jari-jari
gadis yang tirus-tirus itu belum dihiasi oleh cincin
pertunangan. Pangeran Muda memejamkan mata, kemudian
membukanya kembali dan langsung meneliti jari-jari gadis itu
satu per satu. Beberapa cincin yang indah-indah menghiasi
jari-jari gadis itu, tetapi tidak ada sebentuk cincin yang ditakuti
oleh Pangeran Muda. Pangeran Muda menarik napas panjang,
kemudian mulai memerhatikan lagi gadis itu sambil
mendengarkan suaranya yang merdu. Ketika gadis itu berdiri
dan memanggil emban untuk mengambil ranjang rotan itu
serta membantu membereskan barang-barang alat sulam,
Pangeran Muda merasa kecewa.
Pangeran Muda bangkit dari tempatnya mengintip dan
dengan tidak sengaja sikutnya menyentuh jambangan perak
tempat menyimpan pisau-pisau pangot. Jambangan itu jatuh
ke atas lantai batu dengan suara yang nyaring sekali, dan
Pangeran Muda melihat, bagaimana gadis itu terkejut dan
memandang ke arah jendela. Sikap berdirinya dan cahaya
matanya mengingatkan Pangeran Muda pada pohaci yang
dilihatnya di telaga larangan, sewaktu Pangeran Muda tersesat
dan memergoki makhluk-makhluk suci itu sedang
bercengkerama di sana.
Setelah terkejut sejenak, gadis itu berjalan tergesa, sambil
berulang-ulang memandang ke arah jendela. Pangeran
Mudalah sekarang yang risau. Siapa tahu gadis itu telah
menyangka Pangeran Muda mengintipnya selama ini.
Mungkinkah pula ia dapat melihat bayangan Pangeran Muda di
balik tabir yang tipis itu" Alangkah geram Pangeran Muda
terhadap dirinya sendiri. Mengapa seorang kesatria mengintipintip
seorang putri bangsawan seperti seorang pengecut"
Dengan kerisauan itu, Pangeran Muda membaringkan
badan di atas ranjang. Ia gemas terhadap dirinya sendiri yang
telah membiarkan dirinya ditemukan gadis itu sedang
mengintip. Bagaimanakah kalau hal itu menyebabkan gadis itu
tidak hormat lagi kepadanya" Dan bagaimana pula
perasaannya setelah mengetahui Pangeran Muda
mengintipnya" Mungkinkah ia marah, atau mungkinkah ia
malah senang hati" Tiba-tiba hati Pangeran Muda jadi lega
dan penuh harapan. Mudah-mudahan gadis itu bersenang
hati. Oh, hal itu mungkin dapat diketahui nanti, di saat acara
makan bersama. Maka gelisahlah Pangeran Muda di atas
ranjang itu, tak sabar menunggu saat makan bersama yang
akan dilakukan di ruangan tengah.
"Anom, apakah yang sedang kaulamunkan?" tiba-tiba suara
Jante didengarnya. Pangeran Muda terlompat dari ranjangnya
dan dengan gagap mempersilakan Jante duduk.
"Kau mudah terkejut sekarang, Anom," kata Jante,
setengah bermain-main setengah bersungguh-sungguh.
"Engkau ... engkau datang tanpa mengetuk dulu, Jante, itu
bertentangan dengan tata krama kesatriaan," kata Pangeran
Muda bermain-main.
'Anom, saya mengetuk pintu berulang-ulang, dan karena
kau tidak menyahut, saya perlahan-lahan membuka pintu
karena menyangka kau tidur. Ternyata kau sedang
membelalak, memandangi langit-langit kamar. Saya yakin, kau
melihat gambar gadis yang tidak dapat kulihat di sana," kata
Jante pula. Mendengar kata-kata itu, panas rasanya seluruh wajah dan
daun telinga Pangeran Muda, "Tidak kusangka kau suka
berlelucon, Jante. Di padepokan kau sangat pendiam," kata
Pangeran Muda, menekan getaran dalam suaranya sendiri.
"Soalnya di sana kau tak pernah melamun. Saya bukan
orang yang usil, Anom, kecuali kalau ada hal yang menarik
hati saya," kata Jante, sekarang bersungguh-sungguh. Sekali
lagi wajah dan daun telinga Pangeran Muda terasa panas,
keringat pun mulai meremang Hati Pangeran Muda bertanyatanya,
mungkinkah Jante sudah mengetahui, bahwa ia
memerhatikan adiknya, Yuta Inten" Apakah yang
diperbuatnya kalau memangjante sudah tahu"
"Sakitkah engkau, Anom?" tiba-tiba Jante bertanya setelah
memerhatikan Pangeran Muda. Pandangan Jante yang
biasanya tidak pernah menggelisahkannya, sekarang terasa
begitu tajam, hingga Pangeran Muda seolah-olah telanjang di
hadapan pandangan mata itu.
"Tidak, Jante, saya agak lelah," kata Pangeran Muda
berdusta. "Oh," kata Jante keheranan. "Maaf saya mengganggu
istirahatmu."
"Oh, tidak, saya senang kau datang ke kamarku, Jante,"
ujar Pangeran Muda, berkata secara serampangan saja.
Jante termenung sambil memandangnya, lalu berkata,
"Adakah sesuatu yang salah denganmu, Anom?"
Pangeran Muda terkejut oleh pertanyaan itu. Ia baru
menyadari kembali bahwa Jante adalah seorang yang sangat
tajam mata hatinya. Walau tafsirannya tentang isi hati orang
sering sekali jelek dan berat sebelah, perasaannya dengan
mudah dapat menangkap kalau ada perubahan dalam hati
orang lain. Itulah sebabnya Pangeran Muda makin gugup.
Kesadarannya bahwa ia gugup, menambah pula kegugupan
Pangeran Muda. Akhirnya, berkatalah ia, "Saya ... saya
terkejut Jante, jadi ... saya gugup. Izinkan saya minum dulu."
Pangeran Muda segera minum, dan ketenangannya
perlahan-lahan kembali. Walaupun begitu, keheranan Jante
akan tingkah lakunya tidaklah jadi reda; ia tetap mengawasi
gerak-gerik dan air muka Pangeran Muda. Pangeran Muda
segera mengajaknya bercakap-cakap tentang berbagai hal lain
yang diharapkan akan mengalihkan perhatian Jante. Dan
beberapa saat kemudian, mereka pun telah bercakap-cakap
tentang berbagai hal dan membuat berbagai rencana yang
akan mereka laksanakan selama Pangeran Muda berada di
Medang. DI ANTARA rencana-rencana itu termasuk rencana berburu,
mengelilingi wilayah yang berada di bawah kekuasaan
Medang, memancing di telaga dalam hutan, berkunjung ke
rumah keluarga bangsawan-bangsawan setempat, dan
sebagainya. Acara mengunjungi rumah-rumah bangsawan
setempat sangat tidak disukai Jante, tetapi kedua orang muda
itu melakukannya juga karena Raden Banyak Citra
mengusulkan hal itu kepada mereka. Ternyata, usul ayahnya
oleh Jante selalu dianggap perintah.
Kalau tidak ada acara dengan Jante, biasanya Pangeran
Muda tidak bepergian. Ia berjalan-jalan di lorong-lorong atau
di taman istana itu sambil setengah mengharapkan dapat
bertemu dengan Yuta Inten. Seandainya pagi hari tidak
berjumpa, Pangeran Muda dengan tidak sabar menunggu
senja, ketika acara makan bersama dilakukan oleh seluruh
keluarga. Dalam acara makan malam itu, Pangeran Muda tidak
pernah berani memandangnya secara langsung, apalagi
bercakap-cakap. Ia hanya berani mencuri pandang lewat
sudut matanya. Pada suatu kali, ketika ia mencuri pandang,
tampak Yuta Inten pun sedang melirik ke arahnya. Keduanya
dengan segera berpaling ke arah lain, tetapi semenjak itu
Pangeran Muda tidak dapat duduk tenang lagi. Hatinya
bertanya apakah Yuta Inten sering mencuri pandang ke
arahnya" Apakah itu cuma kebetulan saja"
Kiranya ketika ia termenung-menung demikian, seorang
pelayan menyodorkan baki penganan kepadanya. Pangeran
Muda tidak melihat dan tidak mendengar orang itu berulangulang
menawarkan makanan itu, hingga akhirnya Jante
menepuk bahunya. Dengan terkejut dan tergagap-gagap,
Pangeran Muda segera mengambil sesuatu dari baki itu dan
meletak-kanya di atas piring di hadapannya. Akan tetapi,
pelayan itu tetap berdiri di sana, dan Pangeran Muda
keheranan memandangnya. Pelayan itu tersenyum sambil
menunjuk ke atas piring yang ada di hadapan Pangeran Muda.
Ternyata yang diambil oleh Pangeran Muda bukanlah buahbuahan
melainkan pisau untuk mengeratnya. Pangeran Muda
makin gugup juga karenanya.
"Ketika Ayah semuda Anom, Ayah pun pernah menjadi
seorang pelamun, Anom. Cita-cita yang tinggi memenuhi
kesadaran kita, hingga kita sering lupa akan dunia sekeliling."
Pangeran Muda bertanya-tanya dalam hati, apakah orang
tua itu telah menduga isi hatinya, dan oleh karena itu
menolong Pangeran Muda di saat dia sangat malu" Sementara
itu, Raden Banyak Sumba, adik laki-laki Jante dengan berani
akan tetapi sopan bertanya kepada ibunya.
"Ibunda, kalau begitu Ayunda Yuta Inten tidak luar biasa,"
katanya. "Tidak luar biasa bagaimana?" tanya ibunya, agak
keheranan. Sementara itu, Yuta Inten menegakkan kepalanya
dan dengan cemas memandang kepada adik laki-lakinya yang
duduk di samping Pangeran Muda.
"Ibunda mengatakan bahwa belakangan ini Ayunda Yuta
Inten juga suka melamun dan lupa pada apa-apa yang terjadi
di sekelilingnya. Menurut pendapat hamba, Ayunda Yuta Inten
sedang banyak memikirkan cita-cita yang tinggi, seperti yang
dikatakan oleh Ayahanda tadi. Di samping itu, Ayunda sudah
hampir enam belas tahun usianya, jadi tidak jauh berbeda dari
usia Kakanda Anggadipati yang sudah delapan belas tahun."
Raden Banyak Citra tersenyum mendengar perkataan
putranya, sedang istri beliau tertawa agak keras. Yuta
Intenlah yang tampak menderita. Ia menundukkan kepalanya,
seakan-akan wajahnya akan disurukkan ke atas piring yang
dihadapinya. Sebaliknya, suatu perasaan yang tidak dapat
diberinya nama, apakah itu kegembiraan atau harapan, atau
kebahagiaan, tiba-tiba meluap dalam hati Pangeran Muda.
Walaupun begitu, kepalanya ditundukkannya juga ke atas
piringnya sendiri. Malam harinya, ketika Pangeran Muda
berada di kamarnya, tidur lambat sekali datangnya. Kantuk
tidak menutupkan kelopak matanya karena hatinya
digelisahkan oleh berbagai macam pikiran, khayalan, dan
perasaan. Dan setelah berguling ke kanan-ke kiri di atas
ranjang itu, terdengarlah dari padang-padang di luar benteng
Medang ayam-ayam jantan berkokok bersahutan.
KEESOKAN harinya tidak ada acara yang direncanakan
dengan Jante. Jante mengirim pesan lewat Banyak Sumba
bahwa ayahnya memberinya tugas untuk mengerjakan
beberapa surat. Oleh karena itu, kalau hendak keluar,
Pangeran Muda dapat meminta ditemani oleh beberapa
panakawan atau gulang-gulang. Pangeran Muda berpesan,
Jante tidak usah terlalu memikirkannya dan dimintanya pula
agar Banyak Sumba menemaninya, dan tidak usah dikirim
gulang-gulang atau panakawan lain.
Maka, setelah pergi ke kamar Jante, Banyak Sumba kembali
ke kamar Pangeran Muda. Ketika ia tiba kembali di kamar
Pangeran Muda, Pangeran Muda sedang berdandan. Ketika
langkah anak itu terdengar, Pangeran Muda berkata
kepadanya, "Adinda, tunggulah sebentar, Kakanda berpakaian
dulu. Kita akan melihat-lihat kota."
Anak itu duduk menghadap jendela, menunggu. Dari sudut
kamar, dengan melalui bayangan dalam cermin Pangeran
Muda memerhatikan wajah anak laki-laki itu. Wajahnya
lonjong, hidungnya lurus sedang matanya besar-besar dan
hitam, tepat seperti wajah kakaknya, Yuta Inten. Hanya
rambutnya yang berbeda. Rambut Yuta Inten halus, tebal, dan
warnanya agak muda. Banyak Sumba berambut hitam dan
agak ikal. Seraya memerhatikan wajah anak laki-laki itu,
selesailah Pangeran Muda berdandan.
"Mari kita pergi," kata Pangeran Muda sambil memegang
tangan anak itu yang berdiri sambil tersenyum dan
memandang kepadanya dengan kagum.
"Ke manakah kita akan pergi, Kakanda?" anak itu bertanya.
"Keliling kota," ujar Pangeran Muda.
"Baik, empat orang gulang-gulang telah siap mengawal
kita," kata Banyak Sumba.
"Adinda, tidak usah ada pengawal," kata Pangeran Muda.
"Tapi itu tidak baik, Kakanda," kata Banyak Sumba.
"Adinda, Kakanda seorang calon puragabaya, artinya
Kakanda seorang sama dengan seorang ditambah empat
gulang-gulang. Jadi, gulang-gulang yang empat itu tidak
perlu," ujar Pangeran Muda seraya tersenyum.
"Bukan begitu, Kakanda; gulang-gulang itu bukan untuk
keamanan, tetapi hanya untuk kehormatan saja. Seorang
bangsawan harus punya pengiring. Makin banyak
pengiringnya, makin terhormat, demikian kata Ayahanda."


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adinda, seorang calon puragabaya sudah dihapus kebangsawanannya.
Kakanda adalah seorang pendeta sekarang,
jadi gulang-gulang itu tidak diperlukan. Biarlah gulang-gulang
itu mengerjakan hal-hal lain, jangan menjadi susah karena
Kakanda," kata Pangeran Muda mendesak karena sebenarnya
ia ingin bercakap-cakap dengan anak itu dengan leluasa.
Banyak Sumba rupanya dapat diyakinkan. Maka mereka
pun pergilah. Sambil berjalan menurutkan ibu-jari kaki dalam
lorong-lorong di kota itu, Pangeran Muda bercakap-cakap
tentang itu dan ini. Pada suatu kali ia pun bertanyalah,
"Adinda, tadi malam dalam acara makan bersama engkau
berkata, bahwa Ibunda pernah mengatakan Ayunda Yuta
Inten suka bermimpi atau melamun. Apakah yang dikatakan
beliau itu, atau bagaimana Ibunda berkata ketika itu?"
"Kakanda, Ayunda marah kepada hamba tadi pagi, dan
melarang hamba berbicara tentang soal melamun itu. Ayunda
mengatakan, hamba telah mempermalukannya di depan tamu,
di depan Kakanda "
"Mengapa Ayunda malu oleh Kakanda?" tanya Pangeran
Muda memancing-mancing.
"Saya pun bertanya begitu pada Ayunda, jawabnya, karena
Kakanda seorang tamu dan seorang kesatria."
"Bagaimana pendapatmu tentang jawabannya itu?"
"Saya tidak berkata apa-apa, tetapi saya tetap tidak merasa
bersalah. Dan ketika Ayunda meminta supaya hamba tidak
sekali-kali lagi berkata seperti itu dalam acara makan, saya
mengatakan ya."
"Kalau begitu, kau tidak berjanji kepada Ayunda untuk tidak
berkata di luar acara makan. Jadi, ceritakanlah kepada
Kakanda, bagaimana sampai Ibunda mengatakan bahwa
Ayunda Yuta Inten suka melamun."
Anak itu pun berceritalah, "Menurut Ibunda, yang sering
dikatakan beliau kepada Ayunda, belakangan ini Ayunda
sering termenung-menung. Di samping itu, banyak kesalahan
yang dilakukan Ayunda, hingga akhirnya Ibunda sering
mengatakan kepada Ayunda bahwa Ayunda itu suka melamun
dan lupa akan apa yang terjadi di sekelilingnya."
"Adikku, pernahkah kau melihat Ayunda melamun dan lupa
akan sekeliling" Atau, pernahkah kau melihat kejadian yang
menyebabkan Ibunda mengatakan Ayunda suka melamun?"
Setelah termenung, berkatalah anak itu, "Tidak, Kakanda."
Kemudian anak itu melanjutkan, "Adakah obatnya?"
Mendengar pertanyaan itu, sungguh-sungguh terpukau hati
Pangeran Muda. Oleh karena itu, ia tidak dapat menjawab
dengan segera. Hanya setelah beberapa saat ia berkata
dengan ragu-ragu, "Kau tahu, Kakanda pun suka melamun
belakangan ini. Justru Kakanda ingin mengetahui, adakah
obatnya untuk itu."
Ketika mereka bercakap-cakap demikian, mereka sudah
berjalan melewati gerbang rumah bangsawan yang besar.
Mereka berjalan langsung menuju lapangan yang terbuka di
tengah kota Medang, tempat penduduk sekeliling kota
berjualan. Tempat itu sudah ramai sekali walaupun hari masih
pagi. Orang-orang kampung, peternak, atau petani sudah
memenuhi tempat itu dengan berbagai hasil bumi dan
kerajinan. Pangeran Muda dapat melihat bagaimana berbagai
macam buah-buahan seperti labu, mangga, rambutan, salak,
manggis, pepaya, dan sebagainya digelar orang di lapangan
itu. Di suatu tempat tertentu dipajangkan pula hasil
peternakan, ayam-itik, kambing-domba, sapi-kerbau, dan lainlain.
Sedang ikan-ikan dari sungai ada juga dijual orang di
sana, berdampingan dengan sayur-mayur. Di samping itu,
terdapat pula kerajinan rakyat, dari tanduk, gading, kulit-kulit
buah-buahan yang keras, kulit binatang, dan sebagainya.
Sambil berjalan-jalan melihat-lihat suasana lapangan itu,
Pangeran Muda terus bercakap-cakap tentang berbagai hal
dengan anak itu. Suatu perasaan, semacam kegembiraan
tergugah dalam hati Pangeran Muda, hanya karena adanya
anak itu di sampingnya. Terasa oleh Pangeran Muda bahwa
dengan berdekatan dengan anak itu, serasa dekat pula
Pangeran Muda dengan Yuta Inten yang selama ini menjadi
penghuni hatinya. Bagaimanapun juga Pangeran Muda
akhirnya menerima kenyataan bahwa Yuta Inten telah
menempati hatinya, dan masalah-masalah lain, ingataningatan
lain, terdesak keluar dari kesadarannya.
Ketika mereka tiba di tempat orang-orang menjual
beraneka warna bunga-bungaan, tiba-tiba anak itu berkata,
"Itu Ayunda sedang membeli bunga." Sambil berkata
demikian, anak itu menuntun Pangeran Muda berjalan ke arah
kakaknya. Akan tetapi, Pangeran Muda yang tidak bersiap untuk
bertemu menahan tangan anak itu dan dengan perlahan-lahan
dan ragu-ragu berkata, "Lebih baik kita tidak
mengganggunya."
"Kita tidak akan mengganggunya, Kakanda," kata anak itu.
"Lebih baik Ayunda tidak tahu kita ada di sini."
"Mengapa?" tanya anak itu, kemudian anak itu
melanjutkan. "Oh ya, Ayunda malu oleh Kakanda," katanya.
"Malu?" tanya Pangeran Muda. "Pernahkah Ayunda
mengatakan hal itu kepadamu?"
"Ya, pada suatu kali hamba melihat Ayunda mengintip dari
jendela ke arah bangunan rumah bagian barat tempat
Kakanda berada. Hamba datang dari belakangnya dan
bertanya, apa yang sedang dikerjakannya. Ia terkejut dan
mengatakan bahwa ia sedang memeriksa, apakah Kakanda
ada di jendela atau tidak. Kalau tidak ada, ia akan lewat
taman." '"Mengapa tidak lewat saja"' tanya hamba. Jawabnya, kalau
Kakanda ada di sana, ia malu."
Sambil bercakap-cakap demikian, dengan tidak sadar, kaki
Pangeran Muda melangkah mengikuti rombongan para emban
yang mengiringkan Yuta Inten yang sambil membawa bungabungaan
berjalan kembali menuju istana.
Pada suatu saat pandangan Yuta Inten bertemu dengan
pandangannya. Pangeran Muda menghentikan langkahnya,
sedang Yuta Inten cepat-cepat berpaling ke arah lain.
Kemudian sambil menundukkan kepala dan menghentikan
percakapannya dengan para emban, Yuta Inten melanjutkan
perjalanan. Rupanya para emban menyadari adanya
perubahan tiba-tiba pada majikannya. Mereka melihat ke arah
Pangeran Muda yang dengan cepat berpura-pura seolah-olah
ia tidak melihat adanya rombongan gadis itu. Akan tetapi,
dengan sudut matanya, Pangeran Muda sempat melihat
seorang emban tua yang diketahui bertindak sebagai
pengasuh dan pengawal pribadi Yuta Inten tersenyum ke
arahnya. Setelah rombongan lenyap dari pandangan Pangeran Muda
dan memasuki gerbang istana, Pangeran Muda yang hampir
lupa pada Banyak Sumba yang ada di sampingnya segera
memegang bahu anak itu dan membimbingnya kembali ke
arah lapangan. Di sana Pangeran Muda memilih badik kecil
yang bersarung dan bergagang gading serta berhiaskan
permata. Pangeran Muda membeli senjata kecil yang indah
itu, lalu menghadiahkannya kepada Banyak Sumba yang
gembira sekali menerimanya.
MALAM harinya Pangeran Muda tak dapat tidur. Segala
kejadian yang dialaminya di rumah keluarga Jante dan
percakapannya dengan Banyak Sumba terus-menerus mengisi
kesadarannya. Di samping itu, kerinduan dan harapan
bergalau mengisi hatinya, menyebabkan rasa pengap di
dadanya. Dan ketika malam semakin larut dan serta
keresahan tidak reda juga, Pangeran Muda akhirnya bangun
dari ranjangnya, dan seperti digerakkan oleh tenaga rahasia,
ia berjalan menuju tempat pakaian.
Diambilnya pakaian malam calon puragabaya yang
berwarna hitam, diambilnya pula tutup kepala yang juga
berwarna hitam. Setelah semua lengkap dikenakannya, pintu
kamar dibukanya perlahan-lahan. Pangeran Muda pun telah
berada di lorong-lorong yang samar-samar diterangi lampulampu
kecil di dalam ruangan yang besar itu. Dengan hatihati,
Pangeran Muda melangkah, menghilangkan suara dari
alas-kaki kulitnya yang halus. Ruangan telah sunyi belaka,
hanya kadang-kadang tampak gulang-gulang yang mengantuk
duduk di bangku di salah satu mulut lorong atau di pintu yang
menuju lapangan kecil di dalam lingkungan benteng istana itu.
Pada suatu tikungan lorong tiba-tiba Pangeran Muda
bertemu dengan empat orang gulang-gulang yang sedang
ber-jaga-berkeliling. Pangeran Muda segera melompat ke tepi
lorong, mencari sudut kelam tempat menyembunyikan diri. Di
tempat itu ditutupnya muka dengan kain hitam yang ditarik
dari tutup kepala. Maka, tinggal hitam mata Pangeran Muda
saja yang tidak terlindungi oleh pakaian hitam calon
puragabaya itu. Dengan tidak menyadari bahwa ada
seseorang yang sedang bersembunyi, keempat gulang-gulang
itu pun lewatlah sambil bercakap-cakap perlahan.
Setelah berjalan kembali beberapa saat, tibalah Pangeran
Muda di pintu yang menuju kaputren. Akan tetapi, pintu itu
tertutup, sedang di dekatnya dua orang gulang-gulang
penjaga duduk sambil bercakap-cakap. Pangeran Muda
terpaksa berhenti dan berpaling ke taman bunga yang
terdapat di depan kaputren itu. Pangeran Muda berjalan di
taman itu beberapa saat, kemudian tibalah di bawah dinding
benteng kaputren. Seperti seekor bajing dengan mudah
Pangeran Muda memanjati benteng yang tinggi itu, kemudian
menuruninya dan dalam sekejap telah berada di taman
kaputren. Setelah berjalan mengendap-endap di dalam taman itu,
tibalah pula Pangeran Muda di bangunan kaputren yang
sangat indah. Bangunan itu terbuat dari kayu jati bercampur
dengan kayu cendana. Sungguh cocok kalau bangunan itu
diperuntukkan bagi putri keluarga Banyak Citra.
Akan tetapi, mendekati bangunan kaputren itu tidaklah
mudah. Pertama, lampu-lampu besar dipasang di sekeliling
kaputren hingga sukar sekali Pangeran Muda menemukan
bayangan untuk melindungkan diri. Kedua, di sekitar kaputren
ternyata banyak sekali gulang-gulang yang berjaga. Terpaksa
Pangeran Muda harus menunggu hingga gulang-gulang itu
lengah dan menjauhi jendela-jendela besar yang masih
terbuka di bangunan kaputren itu. Akan tetapi, ternyata
gulang-gulang itu sangai patuh dan taat melaksanakan tugas,
hingga tak ada seorang pun yang meninggalkan tempatnya. Di
samping itu, begitu serombongan gulang-gulang bersiap
meninggalkan tempat, rombongan lain segera tiba
menggantikannya. Jadi, tidak ada kesempatan bagi Pangeran
Muda untuk mendekati jendela-jendela itu.
Selelah berpikir sejenak, timbullah akal dalam hati
Pangeran Muda. Di tepi taman bunga ditanam pohon-pohonan
yang agak besar, seperti tanjung, sedap-malam, kenanga,
cempaka dan semacamnya. Pohon-pohon inilah yang dapat
digunakan oleh Pangeran Muda untuk mengintip ke dalam
jendela-jendela itu. Maka dengan sigap dipanjatlah sebatang
pohon terdekat. Dari sana Pangeran Muda memandang ke
dalam, tetapi jendela pertama tidaklah menampakkan Yuta
Inten. Yang dilihatnya hanya beberapa orang emban sedang
mengerjakan tugas mereka senja itu, yaitu membereskan
pakaian-pakaian dan alat-alat perhiasan lainnya. Setelah
berpindah tempat dan berada di pohon lain, Pangeran Muda
pun memandang ke dalam salah satu ruangan lain.
Akan,tetapi, hanya emban-emban saja yang dilihatnya. Maka
pindahlah Pangeran Muda ke pohon lain lagi. Melalui jendela
yang ketiga ini Pangeran Muda menemukan Yuta Inten sedang
duduk di depan cermin sambil menjalin rambutnya yang
panjang menjadi dua buah untun besar. Di ruangan itu emban
tua yang menjadi pengawal-pribadinya sibuk menyiapkan dan
membereskan tempat tidur mereka. Ketika perempuan tua itu
berjalan ke arah Yuta Inten, ia berkata, "Sebagai seorang
wanita, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti kau, anakku,
tidaklah pantas untuk memperlihatkan perasaan. Janganlah
kauperlihatkan bahwa kau terpengaruh oleh kehadirannya di
dekatmu. Bertindaklah tenang, bahkan bertindaklah seolaholah
kau tak acuh."
Mendengar perkataan orang tua itu, meluncurlah Pangeran
Muda pada cabang pohon yang menjulur mendekat ke arah
jendela. Ia berusaha meringankan tubuhnya dan berpegang
pada cabang-cabang lain agar cabang tempatnya berada tidak
terlalu mendapat tekanan.
"Sudah telanjur, Emak. Saya sudah sering kelihatan gugup
olehnya, sekurang-kurangnya begitulah perasaan saya. Ia
sering memerhatikan saya dengan sudut matanya dan
pandangannya itu mau tidak mau menggugupkan saya," suara
Yuta Inten terdengar dengan jelas.
Angin bertiup menggoyangkan lampu-lampu dan bayanganbayangan
pun bergerak-geraklah. Emban tua itu berjalan ke
arah jendela, lalu menutupkan kedua daunnya, dan Pangeran
Muda beradalah dalam kegelapan. Ia turun, tetapi tidak berani
mendekati jendela yang tertutup itu. Setelah termenung
sebentar, kembalilah ia ke arah dari mana ia datang. Setelah
memanjat dinding benteng dan melewati penjagaan gulanggulang,
tibalah ia .kembali di kamarnya.
Ternyata setelah pengintipan itu kegelisahan tidak
berkurang, tetapi malah bertambah. Pangeran Muda terusmenerus
bertanya, siapakah yang dipercakapkan oleh Yuta
Inten dengan embannya" Apakah yang dipercakapkannya itu
Pangeran Muda atau kesatria lain" Pertanyaan ini
mengganggunya, dan walaupun berbagai jawaban
diberikannya, tak satu jawaban pun meyakinkannya.
Bagaimanapun juga ia harus mencari jawaban itu. Akan tetapi,
waktu sudah tidak ada lagi. Keesokan paginya Pangeran Muda
harus meninggalkan Medang, menuju ke Puri Anggadipati
untuk kemudian berangkat ke Pakuan Pajajaran. Di sana tugas
sudah menunggu.
KEESOKAN harinya subuh-subuh setelah minta diri pada
seluruh keluarga Banyak Citra, Pangeran Muda meninggalkan
Medang. Atas usul Jante, Pangeran Muda membiarkan dirinya
dikawal oleh empat orang gulang-gulang yang akan
mengantarnya hingga perbatasan wilayah Medang dengan
wilayah Kutabarang. Setelah untuk terakhir sekali Pangeran
Muda mengucapkan terima kasih kepada Raden Banyak Citra
serta istrinya, serta setelah berjanji dengan Jante untuk
bertemu di dalam waktu dekat di Pakuan Pajajaran, kuda-kuda


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun dipaculah. Pangeran Muda merasa menyesal telah berangkat terlalu
pagi. Karena itu, yang melepasnya hanya Pamanda Banyak
Citra dengan Bibinda, di samping Jante. Yang sangat
diharapkannya untuk hadir, yaitu Yuta Inten, tidak tampak
saat itu. Dengan hati yang kosong seperti itu, Pangeran Muda
melarikan kudanya diiringkan oleh empat gulang-gulang yang
bersenjata lengkap serta berbaju zirah.
Ketika mereka sudah melewati gerbang kota dan
menghadap padang yang luas di depan mereka, Pangeran
Muda mengekang kendali kudanya, lalu berpaling ke arah kota
yang membayang dalam kabut subuh. Pangeran Muda
menatap dinding-dinding benteng yang menjulang, atap-atap
bangunan yang tinggi, yang muncul di sela-sela daun pohonpohon
besar. Sementara Pangeran Muda menarik kendali dan
hendak memecut si Gambir, tiba-tiba pandangannya
menangkap dua bayangan sosok manusia di atas dinding
benteng, di suatu tempat tidak jauh dari Gerbang Kota. Kedua
sosok bayangan yang samar-samar dalam kabut itu tampak
memerhatikan rombongannya. Jelas pula oleh Pangeran Muda
bahwa mereka itu adalah wanita. Dan bagaikan kilat firasatnya
mengatakan bahwa kedua orang itu adalah Yuta Inten dengan
embannya. Pangeran Muda tidak jadi memecut kudanya.
Setelah memandang dengan tajam ke arah kedua
bayangan itu untuk meyakinkan dugaannya, Pangeran Muda
berseru pada gulang-gulang pengawalnya, "Tunggu dulu!"
Setelah berkata demikian dibalikkannya arah kudanya, lalu
menderu di bawah dinding benteng di muka kedua bayangan
itu berdiri. Makin dekat makin jelas pada Pangeran Muda
bahwa dugaannya benar. Dengan degup jantung yang
menjadi cepat, Pangeran Muda memacu kudanya, dan dalam
sekejap sudah tengadah ke arah kedua wanita itu.
Melihat kedatangan Pangeran Muda, tampak Yuta Inten
hendak menghindarkan diri dan pergi, tetapi embannya
dengan cepat memegang pundaknya lalu menariknya,
menyuruhnya menghadap kepada Pangeran Muda yang
tengadah dari bawah dinding benteng itu.
Untuk beberapa lama, tidak ada yang berkata-kata.
Pangeran Muda mencari kata-kata di ujung lidahnya, tetapi
tidak ada yang ditemukannya. Hanya setelah beberapa lama ia
dapat berkata dengan gugup, "Selamat tinggal, dan terima
kasih atas segala keramahan Adinda."
Yuta Inten tidak menjawab, tampak ia berdiri dengan kaku.
Embannya yang tua kemudian membantunya dengan berkata,
"Kami datang kemari untuk melepas Pangeran, tetapi karena
tidak baik bagi kaum wanita untuk menonjolkan dirinya, kami
memutuskan untuk melepas Pangeran dari tempat ini."
Mendengar perkataan emban itu, bagai digerakkan oleh
tenaga rahasia Pangeran Muda melompat dari kudanya,
kemudian seperti seekor bajing menaiki dinding benteng yang
hampir tegak itu. Para gulang-gulang maupun kedua wanita
itu keheranan melihatnya. Dan ketika Pangeran Muda sudah
berdiri di hadapannya., Yuta Inten mundur selangkah sambil
menundukkan diri.
"Diam, anak!" kata emban tua itu kepadanya sambil
memegang baju Yuta Inten.
Untuk beberapa lama, mereka berhadap-hadapan.
Pangeran Muda memandang berganti-ganti pada emban dan
pada Yuta Inten yang menundukkan kepalanya. Mereka
membisu. Hanya setelah beberapa lama emban tua itu
tersenyum lalu berkata, "Hamba tahu, Pangeran dan anak ini
saling menaruh hati. Satu hal yang ingin hamba tanyakan
kepada Pangeran. Atas nama segala yang suci dan atas nama
orangtua anak ini yang belum tahu apa-apa tentang soal ini,
apakah Pangeran mencintai gadis ini secara sungguh-sungguh
dan membawa maksud-maksud yang terhormat" Kalau
demikian, kami mengucapkan terima kasih. Sebaliknya, kalau
hanya bermain-main, kami memperingatkan, agar Pangeran
mengurungkan niat Pangeran itu. Ayah dan kakak anak ini
adalah laki-laki yang keras, punya harga diri yang tinggi, yang
tidak akan segan-segan membunuh kalau mereka merasa
dihina." "Saya menghormati seluruh keluarga Banyak Citra, dan
saya ... bersungguh-sungguh, Emak," kata Pangeran Muda
yang belum bersiap-siap untuk menjawab pertanyaan yang
tidak disangka-sangka itu.
"Kalau begitu bagus, dan sekarang kau," lanjutnya sambil
berpaling kepada Yuta Inten, "Yuta Inten, kau telah
mendengar perkataan Pangeran kepada Emak tadi, itu berarti
bahwa engkau pun harus bersungguh-sungguh. Sekarang
bersalamanlah, karena Pangeran harus segera meninggalkan
Medang, supaya tidak kemalaman di tengah-tengah hutan."
Untuk beberapa lama Pangeran Muda tidak beranjak dari
tempatnya berdiri. Emban itu tersenyum sambil menarik
tangan Yuta Inten. Pangeran Muda maju dan memegang
kedua tangan gadis yang terus menundukkan kepalanya.
"Selamat berpisah, Kakanda akan berusaha supaya dapat
segera kembali ke Medang."
"Selamat jalan, para Bujangga dan Pohaci melindungi
Kakanda." Sambil berkata demikian, gadis itu menekan
tangannya ke tangan Pangeran Muda. Untuk beberapa lama,
mereka berpegangan tangan. Kemudian si Gambir meringkik
di bawah benteng, dan sadarlah Pangeran Muda bahwa hari
sudah maju ke siang. Sementara langit memerah di sebelah
Timur. "Selamat tinggal, kita akan segera bertemu," kata Pangeran
Muda, lalu dengan perlahan-lahan melepaskan tangan Yuta
Inten. Dan seperti ketika memanjat dinding benteng itu,
dengan tangkas Pangeran Muda menuruninya. Beberapa saat
kemudian, setelah berulang-ulang berpaling ke atas dinding
benteng tempat kedua wanita itu melambai-lambaikan
tangannya, Pangeran Muda sudah berada di tengah-tengah
padang. Kejadian yang baru dialaminya sekarang seperti sebuah
impian. Berulang-ulang Pangeran Muda bertanya, apakah
peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah hanya impian
seorang yang risau" Akan tetapi, berulang-ulang pula ia yakin,
peristiwa itu benar-benar terjadi karena para gulang-gulang
yang mengantarnya masih berada di belakangnya, sementara
itu tangan Pangeran Muda masih terdapat debu yang pindah
ke tangannya dari dinding benteng yang tua itu.
Seraya melarikan kudanya, Pangeran Muda termenungmenung.
Kalau saja tidak ada gulang-gulang yang mengantar,
mungkin pertemuan dengan Yuta Inten dapat lebih lama lagi.
Akan tetapi, apa hendak dikata, Pamanda Banyak Citra telah
memberinya kawal kehormatan yang gemerlap dengan senjata
dan baju logam mereka.
Pangeran Muda pun bertanya kepada mereka, "Tentu
sangat tidak menyenangkan berada dalam pakaian perang itu.
Apakah juragan kalian memerintahkan agar kalian
mengawalku dengan pakaian kebesaran itu?"
"Ya, Pangeran Muda. Mula-mula lima belas orang yang
ditugaskan, tetapi menurut Juragan Jaluwuyung, Pangeran
Muda tidak suka akan pengawal yang terlalu banyak, jadi
kamilah yang diberi tugas."
"Sebenarnya kalian dapat menolak memakai pakaian
perang itu kalau juragan kalian tahu bahwa saya tidak mau
menyusahkan kalian dengan pakaian-pakaian serta senjatasenjata
yang berat itu."
"Tuan kami sangat keras dalam memelihara kehormatan
keluarganya, juga kehormatan tamunya, Pangeran Muda.
Sukar bagi kami untuk menyampaikan usul. Perintah adalah
perintah."
"Saya dengar juragan kalian keras sekali."
"Ya, Pangeran Muda, mereka keras, maksud kami kaum
pria keluarga Banyak Citra berwatak keras. Sedang kaum
wanitanya sangat lembut dan ramah. Saya sering
membandingkan kaum wanitanya dengan bunga-bunga yang
indah tumbuh di atas cadas. Ya, keluarga Banyak Citra adalah
cadas-cadas yang berbunga."
"Tepat benar perbandinganmu itu, Paman," ujar Pangeran
Muda sementara kenangannya kembali kepada Yuta Inten.
00dw0kz00 Bab 15 Di Ibu Kota Walaupun kesempatan bertemu dengan Ibunda dan
Ayunda jarang sekali, Pangeran Muda tidak dapat lama tinggal
di Puri Anggadipati. Pertama, karena tugas menunggu di ibu
kota; kedua, karena Ayahanda sudah berada di sana. Setelah
tiga hari berada di kampung kelahirannya, Pangeran Muda
pun berangkatlah ke Pakuan Pajajaran, diiringi oleh empat
orang gulang-gulang. Keempat gulang-gulang ini diberi tugas
oleh Ibunda untuk mengawal Pangeran Muda hingga Pakuan
Pajajaran, berhubung kekhawatiran Ibunda akan keselamatan
putranya seandainya Pangeran Muda seorang diri melakukan
perjalanan yang sangat jauh itu. Pangeran Muda sendiri
sebenarnya tidak memerlukan gulang-gulang itu, tetapi untuk
menyenangkan hati Ibunda, diterimanya juga pengawalpengawal
itu. Di samping itu, tidak ada salahnya kalau ada
teman seperjalanan, apalagi gulang-gulang yang empat itu
adalah kenalan-kenalan lamanya, kawan-kawan sepermainan
di waktu Pangeran Muda masih kanak-kanak. Maka pada hari yang
ditetapkan, rombongan pun berangkatlah.
Sepanjangjalan antara Kutabarang dengan dataran tinggi,
rombongan memacu kuda. Karena lari kuda cepat, dan karena
suasana hati Pangeran Muda sedang risau, tak banyak yang
dipercakapkan dalam perjalanan itu. Pangeran Muda lebih
banyak membisu, sementara hatinya melayangjauh, melintasi
gunung-gunung yang sayup-sayup, ke arah suatu kaputren di
kota Medang tempat Putri Yuta Inten berada.
Semenjak pertemuannya dengan gadis itu, Pangeran Muda
pun menyadari segi lain dari dirinya. Ia adalah seorang
bangsawan dan puragabaya, berarti seluruh hidupnya harus
diserahkan pada kerajaan, pada tugas-tugas pengabdian
untuk seluruh warga kerajaan. Sebelum menjadi calon
puragabaya, hanya pengabdian itulah yang menjadi
masalahnya. Sekarang, setelah Pangeran Muda bertemu
dengan Putri Yuta Inten, terasa oleh Pangeran Muda, apa
artinya menjadi seorang kesatria, seorang pria yang muda
remaja. Sadar akan kedudukannya sebagai pria dan kesatria ini
merupakan suatu hal yang baru bagi Pangeran Muda. Ia
seolah-olah memasuki dunia baru yang penuh dengan janji
keindahan. Akan tetapi, karena barunya, dunia itu penuh
dengan keasingan yang menimbulkan keragu-raguan dan
kecemasan. Pergulatan antara harapan dan kecemasan,
sukacita dan kerinduan, menyebabkan Pangeran Muda seolaholah
hidup dalam impian. Ia sering termenung-menung, sering
sekali seperti terbangun dari tidur kalau tiba-tiba ada orang
yang mengajaknya bercakap-cakap.
Bagi Pangeran Muda, khayalan dan kenyataan bergulat,
memperebutkan kesadarannya. Kesadarannya kadang-kadang
berpijak pada kenyataan, yaitu bahwa ia sedang berada di
atas pelana kuda, memacunya menuju ibu kota Pajajaran.
Tetapi lamunan selalu menariknya ke arah Medang. Kalau
lamunannya menjadi lebih kuat, lupalah Pangeran Muda pada
alam sekelilingnya. Yang terbayang olehnya hanyalah jalanjalan
dan Kaputren Medang, dengan wajah, gerak-gerik Yuta
Inten yang lemah gemulai, .suaranya yang merdu memenuhi
pancaindranya. Mata Pangeran Muda memandang ke depan, sementara
tangannya erat memegang kendali. Akan tetapi, mata hatinya
memandang ke arah lain, ke tempat yang jauh. Seorang gadis
muda-remaja tersenyum, berjalan, duduk sambil menyulam,
bernyanyi kecil menidurkan adiknya, gemetar menerima
tangannya ketika bersalaman.
'Anom!" tiba-tiba terdengar seorang gulang-gulang berseru
dari belakang. Pangeran Muda terbangun dari lamunannya.
Dengan segera ia mengekang kendali.
"Ada apa?"
"Ini bukan jalan ke Pakuan Pajajaran, tapi ke Muarabe-res.
Sebetulnya sejak tadi saya merasa ragu-ragu dan bertanyatanya,
mengapa Anom mengambil jalan ini. Baru sekarang
saya yakin, kita telah tersesat."
Pangeran Muda termenung sejenak, kemudian tersenyum
sayu. "Terima kasih, Gita," katanya. "Mari kita kembali, saya
sungguh-sungguh jadi pelupa sekarang," lanjutnya.
"Pangeran Muda," kata gulang-gulang yang bernama Jatun
ketika mereka sudah berada kembali dijalan yang benar,
"kalau seorang tua pelupa,.hal itu disebabkan oleh
kesadarannya sudah tidak betah lagi berada di dunia ini.
Sebaliknya, kalau seorang pemuda pelupa, hal itu disebabkan
oleh karena kesadarannya terlalu lincah melompat-lompat dari
kenyataan yang satu ke kenyataan yang lain, hingga sering
terpeleset dan terjungkir."
Pangeran Muda tidak mengemukakan pendapatnya tentang
hal itu, hingga Gita bertanya sambil tertawa,'Jatun
membandingkan kesadaran manusia dengan seekor bajing.
Kalau kesadaran orang tua suka melompat ke api
pembakaran, apakah kesadaran Pangeran Muda melompat ke
arah setangkai bunga hingga tersesat dijalan?"
Pangeran Muda tersenyum, lalu berkata, "Engkau
melompat ke dahan yang tepat, Gita."
"Kalau begitu saya menang taruhan, Anom," katajatun.
Kemudian ia menerangkan bahwa ketika Pangeran Muda tiba,
mereka melihat Pangeran Muda sering termenung-menung.
Jatun dan Gita bertaruh, Jatun menebak bahwa Pangeran
Muda sedang dimabuk asmara, sedang Gita sebagai orang
yang lebih sungguh-sungguh wataknya menduga Pangeran
Muda sedang menghadapi tugas yang berat.
"Kalau begitu, tidak ada di antara kalian yang menang,
Tun," ujar Pangeran Muda. "Saya sedang menghadapi keduaduanya."
Maka Pangeran Muda pun menyuruh gulang-gulangnya
agar melarikan kudanya lebih dekat dan ia pun membukakan
rencananya kepada mereka.
"Begini, Gita, Jatun. Sebenarnya, saya tidak memerlukan
pengawalan kalian. Sejelek-jeleknya saya adalah seorang
calon puragabaya. Tidak ada yang saya takuti."


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak benar, Anom," seru Jatun sambil tertawa, "yang
saya takuti Anom tersesat kalau tidak dikawal," dan mereka
pun tertawalah.
"Baiklah, tapi marilah dengarkan persoalanku. Kalau kalian
kuizinkan mengawalku, hal itu menyenangkan Ibunda dan
barangkali memang saya sudah punya firasat akan tersesat,"
kata Pangeran Muda sambil tersenyum, kemudian ia
melanjutkan, "Kalian anak-anak muda, dan saya yakin kalian
akan dapat merasakan apa yang kurasakan. Putri itu, atau
kami, menyatakan hati masing-masing tepat sebelum
berpisah. Bayangkan, begitu kami menyatakan isi hati kami
masing-masing, kami berpisah. Kami belum puas
mengungkapkan apa-apa yang terpendam dalam hati kami.
Oleh karena itu, saya ada rencana. Kalian tidak usah terus
mengawalku ke Pakuan Pajajaran, untuk sementara. Nanti di
tempat kita menginap, saya akan menulis surat kepadanya
dan esok hari kalian berbelok ke arah Medang untuk
menyampaikan suratku itu. Kemudian kalian mengikutiku
kembali ke Pakuan Pajajaran, sambil membawa surat darinya
kalau ia menyerahkannya kepada kalian."
"Akan tetapi, bagaimana kalau Ibunda Putri bertanya
kepada kami?"
"Beliau tidak akan mengetahui tentang apa yang kita
lakukan," kata Pangeran Muda.
"Kalau begitu, baiklah," ujar Gita. Mereka pun melanjutkan
perjalanan dengan tidak banyak bercakap-cakap. Tepat ketika
hari mulai gelap, tibalah mereka di sebuah kampung.
Malam itu Pangeran Muda menulis surat, menceritakan
tentang perasaan-perasaan, harapan-harapannya yang timbul
semenjak mereka berkenalan. Diceritakannya pula kepada
Putri Yuta Inten, bagaimana Pangeran Muda sering mengintip
dari jendela tempatnya menginap di Medang, mendengarkan
suaranya yang merdu, memerhatikannya dengan penuh gairah
bagaimana jari-jari Yuta Inten yang tirus dengan lincah
menyulamkan bunga-bungaan pada kain yang terbentang di
pang-widangan. Pada penutup surat itu diceritakannya pula,
karena tidak dapat menahan dorongan hatinya, pada malam
terakhir berada di Medang, Pangeran Muda telah menyelinap
dan mengintip, ketika Putri Yuta Inten sedang menjalin
rambutnya yang lebat dan indah itu. Dikatakannya,
percakapan Putri Yuta Inten dengan emban didengarnya pula.
Untuk segala kelakuannya itu, Pangeran Muda minta maaf
karena segalanya itu dilakukannya tidak didorong oleh iktikadTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
iktikad yang rendah, tetapi karena perasaan-perasaan yang
luhur dan mulia juga.
Setelah surat itu beberapa kali dibaca kembali, Pangeran
Muda meletakkan pisau pangotnya, lalu mengambil kotak
lontar yang terbuat dari kayu cendana yang wangi. Surat itu
disusunnya, lalu dimasukkan ke dalam kotak lontar itu.
Keesokan harinya, setelah kuda-kuda diurus dan diberi
makan, Pangeran Muda dengan keempat pengawalnya
meninggalkan kampung itu. Sekira matahari mulai hangat,
tibalah mereka di suatu persimpangan. Pangeran Muda
mengacungkan tangannya, memberi isyarat agar para
pengawalnya berhenti.
"Kita berpisah di sini, Gita."
"Baik, Pangeran Muda."
Pangeran Muda turun dari kudanya, demikian juga para
gulang-gulang. Pangeran Muda mengambil kantong kulit yang
indah dari kantong besar yang tergantung di pelana si Gambir,
lalu menyodorkannya kepada Gita sambil berkata, "Gita,
kantong ini berisi dua kotak, yang satu berisi beberapa helai
lontar, yang lain berisi perhiasan. Pergilah kalian ke kota
Medang, dan setiba di sana, pergilah kalian ke pasar, tunggu
rombongan bangsawan datang berbelanja. Engkau akan
mudah mengenal Putri Yuta Inten
"Karena Putri itu yang paling cantik di antara yang lain-lain,
Pangeran Muda," kata Jatun menyela.
Pangeran Muda tidak marah akan kelancangan gulanggulang
itu. Ia hanya tersenyum, lalu melanjutkan bicaranya,
"Gadis itu selalu didampingi oleh seorang emban tua yang
berbadan besar. Dekatilah emban tua itu, dan katakanlah,
bahwa kau utusanku. Berikanlah kantong itu kepada emban
tua itu, lalu susullah saya ke Pakuan Pajajaran."
"Baiklah, Anom. Tadi Anom mengatakan, salah satu kotak
berisi perhiasan," kata Gita.
"Ya, Gita, kalian tidak usah takut karena jalan antara
tempat ini dengan Medang cukup aman. Di samping itu,
mungkin kau dapat menggabungkan diri dengan rombonganrombongan
lain," kata Pangeran Muda.
"Bukan begitu, Anom. Kalau perlu kami berkelahi dengan
perampok-perampok karena kewajiban kami adalah mengabdi
kepada Anom. Akan tetapi, tentang perhiasan itu."
"Mengapa?"
"Menurut orang tua-tua tidaklah baik memberi pakaian atau
perhiasan kepada seorang kekasih karena pemberianpemberian
semacam itu sering menyebabkan gagalnya
pelaksanaan perkawinan," ujar Gita.
Pangeran Muda tersenyum.
"Takhayul, Gita," katanya. "Sekarang, selamat berpisah,
dan susullah saya secepat-cepatnya ke Pakuan Pajajaran agar
kalian dapat melaporkan kepada Ibunda dan Ayunda bahwa
saya tiba di sana dengan selamat."
"Baiklah, Anom."
"Anom, kami takut Anom tersesat," seru Jatun sambil
tertawa. "Tidak mungkin, Jatun. Sebagian dari hatiku yang akan
membawa sesat sudah kumasukkan ke dalam kotak surat itu,"
sambut Pangeran Muda sambil tersenyum. Kemudian, seraya
mengacungkan tangannya sebagai tanda ucapan selamat
berpisah, ia pun memacu kudanya ke arah Pakuan Pajajaran.
Sementara itu, pengawal-pengawal berbelok ke arah timur.
SETELAH dua hari di perjalanan, pada suatu siang
tampaklah dari jauh dinding benteng Pakuan Pajajaran. Begitu
besarnya kota Pakuan Pajajaran, hingga dari jauh dinding
bentengnya tampak seperti sebuah bukit yang panjang
dengan puncaknya yang rata. Di atas benteng itu
berjulanganlah menara-menara pengawas. Sepanjang
benteng, panji-panji dan umbul-umbul berkibar dan melambailambai
ditiup angin. Ketika itu, jalan yang dilalui Pangeran
Muda mulai ramai. Bukan saja penung-gang-penunggang kuda
lain yang hilir-mudik, datang dari depan atau belakang, tetapi
para pejalan kaki pun sangat banyak. Di samping itu, pedatipedati
yang ditarik kerbau atau kuda hilir mudik, dengan
berbagai macam muatan yang dibawanya ke arah ibu kota
atau dari ibu kota ke kampung-kampung di sekitarnya atau
bagian kerajaan yang jauh-jauh.
Betapapun banyaknya orang yang lalu-lalang, jalan besar
itu tidaklah rusak. Berbeda dengan jalan-jalan antara ibu kota
atau kampung di tengah-tengah padang di wilayah Pajajaran
lainnya, jalan-jalan yang dekat dengan ibu kota ini dibuat dari
batu yang disusun dengan rapi. Di kiri kanan jalan ditanam
pula pohon-pohon tanjung agar para pejalan kaki terlindung
dari panas matahari di musim kemarau. Sementara itu,
padang-padang di sekitar ibu kota tidaklah seperti padang-padang
yang terbuka di sekitar kota-kota lain di Pajajaran. Padangpadang di sekitar ibu kota Pakuan Pajajaran tampak
diurus dan dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Di tengahtengah
padang-padang itu kelompok-kelompok rumah
didirikan orang. Semuanya itu memperlihatkan bahwa di
sekitar ibu kota keamanan sangat terjamin, hingga orangorang
berani mendirikan rumah-rumah mereka di tengahtengah
padang tanpa melingkungi rumah-rumah itu dengan
pagar-pagar tinggi seperti di tempat-tempat lain.
Makin dekat ibu kota, makin ramai juga jalan. Di salah satu
tempat tukang besi menjual ladam kuda, di tempat lain tukang
kulit menjajakan pakaian kuda. Di sepanjang jalan, setiap lima
ratus langkah terletak tempayan air yang besar, sengaja
disediakan oleh penduduk untuk para pejalan yang kehausan.
Di tempat lain lagi disediakan kolam, tempat para pejalan
memberi minum kuda mereka.
Selagi Pangeran Muda memerhatikan tamasya sekitar ibu
kota, tiba-tiba terdengar trompet tiram ditiup orang. Pangeran
Muda berpaling ke suatu jalan bersilang dengan jalan yang
sedang dilaluinya. Dari arah itu datanglah sebuah kereta besar
dan indah yang ditarik oleh empat ekor kuda yang tampantampan
pula. "Pangeran Linggawastu," bisik seorang pejalan.
Pangeran Muda teringat akan nama itu. Pangeran itu
adalah keponakan sang Prabu. Setelah kereta bangsawan itu
lewat, Pangeran Muda menarik kendali si Gambir, memberi
isyarat padanya agar melanjutkan perjalanan. Tak lama
kemudian tibalah Pangeran Muda di gerbang kota yang besar
dan megah itu. Gerbang itu demikian besarnya, hingga kalau delapan buah
pedati berjalan berdampingan, kendaraan-kendaraan itu tidak
usah takut bersinggungan. Di atas gerbang itu dibangun
kandang jaga yang sangat besar, hingga kalau ada seratus
orang prajurit berdiri di sana tak usah ada di antara mereka
yang takut jatuh ke bawah benteng. Dinding benteng itu
sendiri demikian tebalnya, hingga prajurit-prajurit yang
berbaris berempat dapat berjalan dengan leluasa.
Sementara mengagumi gerbang dan benteng itu si Gambir
telah berjalan memasuki kota Pakuan Pajajaran yang
termasyhur di seluruh Buana Panca Tengah itu. Sesuai dengan
pesan yang diterimanya dari para puragabaya ketika berada di
Padepokan Tajimalela, Pangeran Muda turun dari punggung
kuda, lalu berjalan ke arah sebuah bangunan kecil di dekat
gerbang tempat seorang perwira duduk didampingi oleh
pengawal-pengawalnya. Pangeran Muda memberi salam
kepada perwira yang menyambutnya dengan ramah.
"Saya dari Padepokan Tajimalela, ini tanda pribadi saya,"
kata Pangeran Muda sambil mengambil sehelai lontar dari
dalam kotak pelana kuda, lalu menyerahkannya kepada
perwira itu. Dengan segera, perwira itu melihat tanda tangan
puragabaya Rangga Sena dan dengan segera ia berdiri
memberi hormat kepada Pangeran Muda yang berdiri di
depannya. Pangeran Muda sungguh-sungguh kikuk menerima
penghormatan seperti itu. Ia memberi hormat kembali lalu
mempersilakan perwira itu duduk kembali.
"Maaf, saya tidak segera mengenal Pangeran Muda," kata
perwira itu. "Tidak apa, saya sendiri sangat bergembira bahwa
kehadiran saya di sini sudah diberitahukan sebelumnya."
"Pangeran Muda akan segera dijemput karena menurut
pemberitahuan yang kami terima, sekira tengah hari Pangeran
Muda akan tiba. Ternyata Pangeran Muda datang lebih cepat.
Jadi, penjemputan itu belum tiba."
Sementara menanti penjemput itu Pangeran Muda
memeriksa si Gambir. Melihat hal itu para penjaga segera
mendekati, ada yang membawa keranjang yang berisi irisan
ubi, ketela, dan rumput, yang lain membawa kantong yang
berisi dedak. Yang lain lagi membawa air dalam tempayan
besar khusus untuk kuda.
"Kuda ini sangat tampan dan kuat, Pangeran Muda," kata
salah satu penjaga sambil mengusap-usap surai si Gambir.
"Tapi kuda ini sudah tua. Ia dihadiahkan oleh Ayahanda
ketika saya mencapai umur sepuluh tahun. Ia berperangai lemahlembut dan mudah mengerti, di samping sangat kuat
seperti yang Saudara katakan," ujar Pangeran Muda sambil
mengusap-usap si Gambir.
"Tapi kelihatannya masih muda sekali, Pangeran Muda. Ia
masih gagah perkasa," ujar pengawal itu.
"Ya, akan tetapi saya tidak bermaksud mempekerjakannya
hingga ia terlalu tua. Saya akan segera melepaskannya di
padang sekitar Puri Anggadipati. Kasihan kalau saya harus
melelahkannya terus-menerus," sambung Pangeran Muda.
"Oh. Di samping itu, Pangeran Muda sebentar lagi akan.
diberi kuda putih."
"Ya?" kata Pangeran Muda keheranan.
"Ya, Pangeran Muda. Kawan saya ini seorang ahli kuda. Ia
petugas khusus yang mengurus kuda-kuda puragabaya.
Belakangan ini telah dikumpulkan dua belas kuda putih,
menurut keterangan, persediaan untuk dua belas calon
puragabaya yang akan lulus dalam waktu dekat."
"Tapi angkatan saya mungkin baru lulus dalam tiga tahun
lagi, Paman," ujar Pangeran Muda.
"Oh, tidak jadi soal karena kuda-kuda yang dikumpulkan itu
masih muda-muda sekali. Sebaiknya, Pangeran Muda
menyediakan nama untuk kuda putih itu," kata pengawal, itu.
"Ah, sungguh nasihat yang baik. Saya dapat
menetapkannya sejak sekarang dan memilih nama yang
sebaik-baiknya."
"Pangeran Muda dapat memilih nama Bulan, Awan, Perak,
nama-nama yang cocok untuk kuda putih," kata pengawal itu.
"Saya akan memikirkannya, Paman," ujarnya.
Sementara itu, seorang pemuda datang menunggang kuda
ke arah bangunan yang ditempati oleh pimpinan pengawalpengawal
itu. Pangeran Muda segera berjalan ke arah
bangunan itu, dan sesuai dengan sangkaan semula, ternyata
pemuda itu adalah orang yang diberi tugas untuk
menjemputnya. "Pangeran Muda, hamba Ardalepa, ditetapkan sebagai
panakawan Pangeran Muda selama berada di Pakuan
Pajajaran."
"Oh, senang sekali saya bertemu dengan engkau,
Ardalepa," kata Pangeran Muda seraya memandang ke arah
pemuda yang bermata cerah dan berumur kira-kira satu atau
dua tahun lebih muda darinya.
"Hamba diperintahkan agar segera membawa Pangeran
Muda menghadap kepada puragabaya Geger Malela di
kepuragabayaan. Kemudian hamba pun diperintahkan untuk
menemani Pangeran Muda menghadap Pangeran Anggadipad
di sayap barat istana."
Setelah mengucapkan terima kasih kepada para pengawal,
Pangeran Muda pun segera menunggangi si Gambir, dan
bersama Ardalepa berjalan ke arah bagian tengah kota yang
sibuk dan ramai itu.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berjalan berdampingan Pangeran Muda tak putusputusnya
mengagumi kemegahan ibu kota. Di kiri kanan jalan
batu yang lebar berdiri bangunan-bangunan yang terbuat dari
batu dan kayu jati, kadang-kadang dihias dan diwangikan
dengan kayu cendana. Guci-guci yang besar, keramik-keramik
yang indah diletakkan di pendapa tempat orang menanam
bunga-bunga yang indah. Sedang taman kota yang sempat
mereka lewati tak luput jadi sumber kekaguman.
Mengenai penduduk kota, Pangeran Muda belum pernah
melihat orang sebanyak itu. Menurut keterangan yang
diterima dari Ayahanda Anggadipati, ibu kota Pakuan
Pajajaran berpenghuni lebih dari lima puluh ribu orang.
Mereka ini terdiri berbagai golongan dan tingkat masyarakat,
dari para bangsawan hingga ke para panakawan, di samping
saudagar-saudagar dan orang-orang asing, dari Negeri Katai,
Negeri Atas Angin, dan dari Pulau Emas. Umumnya penduduk
ibu kota berpakaian indah, wanita-wanitanya sangat tahu akan
kebersihan dan cara menghias diri. Sementara itu, para
jagabaya yang bertugas, amat sopan terhadap warga
kerajaan. Jelas bagi Pangeran Muda bahwa asas-asas
kesatriaan sangat dipatuhi di ibu kota Pakuan Pajajaran ini.
Sementara Pangeran Muda melihat-lilhat tamasya kota
yang megah dan agung itu, tibalah di hadapan sebuah
bangunan yang hampir menyerupai tempat pemujaan.
"Kita tiba, Pangeran Muda," kata Ardalepa sambil turun dari
kudanya. Pangeran Muda mengikuti, dan berjalan di samping
Ardalepa. Begitu mereka melewati gerbang, seorang penjaga
segera menjemput dan menerima kendali kuda mereka untuk
dibawa ke tempatnya. Pangeran Muda langsung menuju
ruangan. Di sana terdapat beberapa orang puragabaya, semua
berpakaian resmi yang berwarna putih dengan ikat pinggang
keemasan. Setelah memberi salam kepada mereka, Ardalepa
membawa Pangeran Muda ke suatu ruangan, tempat
puragabaya Geger Malela berada.
"Oh, Anggadipati, baik-baik saja?"
"Baik, Kakanda, terima kasih."
"Syukur, Anggadipati, engkau akan ditugaskan di wilayah
Galuh, di daerah yang dahulu menjadi pusat kerajaan. Engkau
akan menjadi pengawal pribadi Pangeran Rangga Wisesa di
sana. Daerah ini bukanlah daerah yang menyenangkan. Di
sebelah selatan terdapat terdapat samudra raya yang menjadi
wilayah Nyai Putri Kidul. Samudra yang berpenghuni berbagai
macam naga ini, dan yang ombaknya besar bagaikan gunungTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gunung, adalah batas kerajaan di sebelah selatan. Akan tetapi,
sebelum samudra terdapat wilayah rawa yang penuh dengan
siluman. Orang-orang jahat yang bersekutu dengan siluman
biasa melarikan diri dan bersembunyi di rawa-rawa ini setelah
mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk di
daerah Galuh. Saya kira itu sudah cukup menjadi masalah.
Akan tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu bahwa
Galuh ini dekat sekali ke perbatasan kerajaan tetangga di
sebelah timur. Arti pertahanan kota ini sangat penting lagi,
oleh karena itu penguasa di tempat itu harus seorang
panglima yang cerdik dan licin agar selalu waspada. Itulah
sebabnya dipilih Pangeran Rangga Wisesa. Tentu saja orang
penting ini harus dijaga dengan saksama. Untuk itu, engkau
dipilih karena menurut Eyang Resi, engkau seorang yang
saksama dalam segala hal. Saya menganggap penugasanmu
ini sebagai kehormatan bagimu."
"Setiap tugas hamba menganggap kehormatan, Kakanda,"
ujar Pangeran Muda, sementara hatinya mulai mengembara
ke kota Medang. Penugasannya ke kota Galuh berarti
penempatan dirinya di ujung timur kerajaan, sedang kota
Medang berada di sebelah barat, walaupun tidak berada di
ujung barat. Dari kota Galuh ke kota Medang hampir dua
minggu perjalanan berkuda. Pikirannya mengenai hal-hal itu
menggugah kerinduan Pangeran Muda akan Putri Yuta Inten
serta segala hal yang ada di sebelah barat kerajaan, padangpadang
yang luas, matahari yang cerah, hutan-hutan yang
hangat dan hijau. Akan tetapi, tugas adalah tugas, dan
seorang calon puragabaya adalah calon puragabaya, yang
tidak lagi memiliki dirinya. Oleh karena itu, Pangeran Muda
tidak berkata apa-apa lagi, dan hanya bertanya, apa saja yang
harus dikerjakannya di Pakuan Pajajaran sebelum berangkat
ke Galuh. "Tidak ada, selain menunggu pemberitahuan tentang kapan
kau harus berangkat dan itu akan disampaikan oleh istana,"
kata puragabaya Geger Malela.
"Baiklah, Kakanda."
"Dan selama menunggu, kau disediakan penginapan di
kepuragabayaan. Ayahmu pernah meminta agar kau
dibolehkan menginap di istana, tetapi saya menerima perintah
lain, jadi tidak dapat diperkenankan."
"Tidak apa, Kakanda. Ayahanda tidak akan berkecil hati,"
ujar Pangeran Muda.
"Baiklah, sekarang, beristirahatlah sebelum Ardalepa
membawamu kepada Pangeran Anggadipati dan melihat-lihat
kota." KARENA ingin segera bertemu dengan Ayahanda, Pangeran
Muda menangguhkan waktu istirahatnya. Di samping itu,
perjalanan pagi itu tidaklah terlalu berat. Dengan bersiram air
jernih dan sejuk, kesegaran pun segera kembali. Setelah
mengenakan pakaian yang terbaik, Pangeran Muda segera ke
ruangan tengah kepuragabayaan, tempat Ardalepa siap untuk
menjadi panakawannya.
'Ardalepa, apakah saya dapat berkunjung kepada Ayahanda
sekarang?" tanya Pangeran Muda kepada anak muda itu.
"Pangeran Muda, beliau masih akan sibuk untuk beberapa
saat lagi, jadi lebih baik kita menunggu sebentar. Di samping
itu, saya mendapat pesan dari para calon lain yang sudah
lebih dahulu datang agar Pangeran Muda bertemu dengan
mereka." "Oh, siapakah yang sudah datang kepuragabayaan?"
"Raden Jaluwuyung, Raden Pamuk Wulung, Raden Elang
Ngapak, dan yang lain yang hamba lupa lagi namanya," ujar
Ardalepa. Dengan gembira, Pangeran Muda pergi ke bagian
bangunan kepuragabayaan tempat teman-temannya berada.
Betapa rindu Pangeran Muda kepada mereka yang sudah
hampir tiga minggu berpisah dengannya. Mereka berunding
untuk pergi melihat-lihat kota bersama-sama, kemudian
setelah waktu yang baik tiba, yaitu ketika matahari mulai
teduh, berangkatlah tujuh orang calon puragabaya yang
sudah berada di Pakuan Pajajaran dengan tujuh orang
panakawan mereka. *
"Pangeran Muda, di bagian kota Pakuan sebelah utara
terdapat gerombolan-gerombolan putra-putra bangsawan
yang berandal. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak lewat ke
sana," ujar Ardalepa.
'Jangan takut, Ardalepa, para calon tidak akan mendorong
mereka untuk berkelahi. Mereka akan menyangka kami ini
orang-orang dusun dari padepokan yang sedang keliling kota
melihat pemandangan untuk didongengkan nanti di dusun di
atas gunung," ujar Pangeran Muda.
"Pangeran Muda, tetapi mereka kenal dengan kami. Mereka
sering terlibat dalam perkelahian dengan pemuda-pemuda
yang bekerja di kepuragabayaan. Mereka sering mengejek
kami sebagai puragabaya tiruan."
"Kalian bukanlah puragabaya tiruan, jadi mengapa harus
sakit hati" Di samping itu janganlah takut, kalau mereka
menantang berkelahi, kami akan melarikan diri."
Mendengar itu Ardalepa tidak berkata apa-apa lagi dan
rombongan pun terus berjalan melihat-lihat tamasya kota.
Pangeran Muda belum pernah melihat manusia, binatangbinatang,
harta, dan segala-galanya begitu berlimpah-limpah
seperti di Pakuan Pajajaran. Sambil bercakap-cakap mereka
melihat pajangan berbagai barang jualan, hingga akhirnya
sampailah Pangeran Muda di tempat penjual senjata. Demi
terlihat olehnya sebuah gendewa yang terbuat dari kayu dan
gading, teringatlah Pangeran Muda kepada Banyak Sumba,
adik laki-laki Jaluwuyung dan Yuta Inten. Pangeran Muda
berbisik pada Ardalepa, bertanya tentang harga barang itu.
Ardalepa tampaknya ahli dalam soal-soal demikian, dan tak
lama kemudian senjata yang indah itu telah dikepitnya, seraya
ia terus berjalan di belakang Pangeran Muda.
Ketika mereka tiba di suatu tempat kota itu, sekali lagi
Ardalepa memberi peringatan pada Pangeran Muda bahwa di
bagian kota sebelah sana terdapat gerombolan bangsawan
muda yang suka berkelahi. Pangeran Muda mengatakan hal
itu kepada teman-temannya.
'Jangan takut, kita akan mengambil langkah seribu," kata
Rangga yang suka lelucon.
"Sungguh?" tanya Pangeran Muda yang bersiap-siap, kalaukalau
peringatan Ardalepa itu terjadi.
"Sungguh. Saya tidak mau disuruh membersihkan lantai
asrama untuk enam bulan seperti Anom. Daripada jadi tukang
cari kayu, lebih baik lari saja, apa susahnya," jawab Rangga
pula. Umumnya calon-calon puragabaya sependapat dengan
Rangga, kecuali Jante yang tampak ragu-ragu. Akan tetapi,
dalam sekejap mereka pun telah lupa akan masalah itu dan
bercakap-cakap tentang berbagai hal lain.
Kemudian tibalah mereka di tempat yang agak luas, sebuah
lapangan yang di sekelilingnya terdapat gudang-gudang dan
rumah-rumah besar, tempat tinggal para bangsawan atau
saudagar. Di tengah-tengah lapangan itu orang-orang sangat
sibuk memperdagangkan berbagai barang mewah, ada gading
gajah dari Pulau Emas, sutra dari Negeri Katai, rempahrempah
dari Pulau Bunga, senjata-senjata yang indah
bentuknya, dan lain-lain. Para calon segera melihat-lihat ke
tempat itu. Selagi mereka asyik, tiba-tiba terdengarlah seseorang
berseru, "Ini dia mereka! Mereka membawa balabantuan dan
senjata. Jangan beri hati!"
Pangeran Muda terkejut dan melihat ke arah suara itu.
Tampak kira-kira lima belas orang pemuda yang berpakaian
bagus-bagus berdiri berjajar, menghadap ke arah para
panakawan para calon.
"Rangga, ini bukan lelucon!" bisik Pangeran Muda.
"Hehehe," Rangga yang suka lelucon tertawa, lalu berkata,
"Kita sudah berjanji akan mengambil langkah seribu, dan
menghadapi mereka dengan punggung hehehe."
"Rangga, tapi para panakawan beranggapan kita ini betulbetul
balabantuan. Mungkin mereka mempergunakan
kesempatan ini untuk menghajar lawannya dengan
mempergunakan tinju-tinju kita," kata Pangeran Muda, sambil
menyaksikan bagaimana para panakawan dengan gagah
berani berjalan berdampingan menuju pemuda-pemuda itu.
Para pedagang sudah mulai ribut, mereka mengumpulkan
barang-barang, bersiap-siap menghadapi huru-hara. Di sana
sini terdengar jeritan dan caci-maki karena dalam kesibukan
itu ada pula orang yang jatuh tersenggol oleh tetangganya.
Melihat suasana demikian, tertawalah Rangga terpingkalpingkal.
Hanya Jantelah yang bermata liar.
Sementara itu, sebagian dari pemuda-pemuda lawan
bergerak mendekati para calon yang berdiri berkelompok.
Melihat itu makin geli tampaknya Rangga, ia tertawa terkekehkekeh.
"Siap dengan kuda-kuda hehehe," gelaknya, dan para
pemuda itu makin dekat, sementara orang-orang berlarian
ketakutan. Tiba-tiba seorang di antara panakawan mulai menyerang,
diikuti oleh yang lain. Terjadilah pergulatan yang kalang
kabut. Pemuda-pemuda yang dekat para calon pun
menghamburlah, tidak mau kedahuluan diserang. Akan tetapi,
dengan sigap Rangga melompat melarikan diri, demikian juga
Elang, Ginggi, Girang, Jalu, kecuali Jante yang dengan mata
liar bersiap-siap. Melihat hal itu, Pangeran Muda segera
menarik tangannya, lalu berlari sambil tak dapat menahan
tertawa. Pemuda-pemuda mengejar mereka sambil mencaci-maki,
mengatakan nama-nama yang hanya cocok didengar oleh
telinga siluman. Akan tetapi, hinaan itu tidak dipedulikan oleh
para calon yang sambil berlari memegang perut mereka
karena menahan tertawa. Betapapun cepatnya pengejarpengejar,
mereka tidak dapat menyusul lari para calon
puragabaya yang sudah biasa berlari, bahkan di padang kerikil
atau lumpur rawa. Dan sambil tetap tertawa terpingkalpingkal,
sampailah mereka di depan kepuragabayaan.
Sambil duduk-duduk di ruangan depan kepuragabayaan,
tak ada yang menjadi bahan obrolan para calon, kecuali
peristiwa penghadangan yang dilakukan oleh pemuda-pemuda
berandal itu. Sambil bercakap-cakap tak henti-hentinya,
mereka tertawa-tawa, kecuali Jante yang tetap bersungguhsungguh.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap itu, datanglah
para panakawan satu per satu.
Sungguh-sungguh terkejut Pangeran Muda melihat
kedatangan mereka. Pakaian mereka robek-robek, muka
mereka kotor dan bahkan babak-belur. Rupanya perkelahian
itu sungguh-sungguh keras. Teringat akan kemungkinan yang
lebih jelek, menjadi cemaslah Pangeran Muda. Dengan hati
tegang, Pangeran Muda menunggu kedatangan panakawanpanakawan yang lain. Bukanlah tidak mungkin ada di antara
mereka yang nahas dan menderita luka-luka atau bahkan
tewas. Itu bukan tidak mungkin karena perkelahian antara
bangsawan muda sering terjadi dan korban jiwa bukanlah hal
yang aneh. Justru permusuhan antara keluarga-keluarga
bangsawan tertentu yang sukar didamaikan, bahkan oleh sang
Prabu, banyak yang disebabkan oleh perkelahian antara
pemuda-pemuda kepalang tanggung seperti itu.
Satu demi satu para panakawan datang. Ardalepalah yang
belum muncul. Dengan tegang dan tak ada lagi yang tertawa,
mereka menunggu Ardalepa. Akhirnya, muncul juga anak
muda itu, dan legalah hati Pangeran Muda. Seperti yang lain,
pakaian Ardalepa kotor dan cabik-cabik, sedang di beberapa
bagian mukanya terdapat luka-luka.
"Maaf, Pangeran Muda, saya harus mencari panah itu dulu
sebelum pulang," kata Ardalepa.
"Oh, Ardalepa, betapa lega saya melihat kau lagi," kata
Pangeran Muda. Akan tetapi, anak muda itu tidak tersenyum,


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin ia kesal akan tindakan para calon. Demikian juga
panakawan-panakawan yang lain tidak seramah seperti
semula. Mereka tetap melayani para calon seperti biasa, tetapi
senyum mereka tidak tampak lagi. Pangeran Muda mengerti
akan isi hati mereka dan bermaksud menerangkan Ardalepa,
mengapa mereka melarikan diri seperti kelompok pengecut.
KARENA terjadinya perkelahian itu, rencana mengunjungi
ayahanda Anggadipati diundurkan ke senja. Setelah bersiram
dan berpakaian pantas, dengan diiringkan oleh Ardalepa
pergilah Pangeran Muda ke arah istana. Mereka tidak
menunggang kuda walaupun jarak ke istana agak jauh karena
Pangeran Muda masih ingin melihat-lihat keadaan kota. Sambil
berjalan Pangeran Muda menjelaskan kepada Ardalepa,
mengapa para calon melarikan diri ketika ditantang berkelahi.
"Kami tidak percaya ketika Den Rangga menyatakan bahwa
Anom dan kawan-kawan akan melarikan diri. Kami menyangka
para calon bermain-main," kata Ardalepa. Pangeran Muda pun
menjelaskan bagaimana ia pernah mendapat hukuman karena
terlibat dalam perkelahian seperti itu.
"Barangkali kamilah yang bersalah," kata Ardalepa.
"Sebenarnya kami memang bermaksud melibatkan para calon
ke dalam perkelahian itu. Anom perlu tahu bahwa beberapa
lama berselang terjadi perkelahian sengit, hingga beberapa
orang terluka di kedua pihak. Kami bermaksud menghajar
mereka." 'Ardalepa, kami menyesal dengan apa yang telah terjadi.
Akan tetapi, ingin kukatakan kepadamu bahwa perkelahianperkelahian
yang kalian lakukan itu sia-sia sekali. Kau pun
perlu menyadari bahwa kami, para calon adalah orang-orang
yang tidak pernah berkelahi seperti itu sebelum kami dipanggil
ke Padepokan Tajimalela. Justru karena kami berlaku sebagai
anak-anak yang suka damai itulah, kami terpilih jadi caloncalon
puragabaya."
Sebelum Ardalepa mengemukakan pendapatnya tentang
hal itu, tiba-tiba dari suatu arah menderulah penunggang-penunggang
kuda dengan obor-obor dinyalakan besar-besar.
Orang-orang yang lalu lalang menepi karena kuda-kuda itu
dilarikan dengan kencang.
"Wah, itulah mereka!" seru Ardalepa sambil berlindung di
tempat yang agak gelap.
"Siapa?" tanya Pangeran Muda.
"Pemuda-pemuda utara!" kata Ardalepa setengah berbisik.
Sementara itu, pemuda-pemuda penunggang kuda tersebut
lewat sambil berteriak-teriak, menyerukan pembalasan
dendam. "Seorang di antara mereka terluka parah," bisik Ardalepa.
Pangeran Muda mulai geram melihat tingkah-laku para
pemuda dan berita yang disampaikan oleh Ardalepa itu.
Dengan perasaan yang tidak terkendalikan, berkatalah
Pangeran Muda pada Ardalepa, "Sungguh-sungguh kalian ini
sia-sia. Kota seindah dan seagung ini kalian kotori dengan
tingkah laku yang menjijikkan. Ya, Sang Hiang Tunggal!
Setelah makan dan pakaian dicukupi, ternyata pemudapemuda
kepalang tanggung ini tidak tahu diri dan lebih rendah
kesopanannya daripada pemuda-pemuda tani di kampungkampung.
Ardalepa, kau harus tahu, betapa berat kami dididik
di Padepokan untuk keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan.
Akan tetapi, kalian yang seharusnya memanfaatkan
kesejahteraan ini untuk hal-hal yang baik ternyata hanya
mempergunakannya untuk berkelahi tanpa alasan!"
Sambil berkata demikian, Pangeran Muda memandang
tajam ke arah Ardalepa yang dianggapnya sebagai wakil dari
pemuda-pemuda bangsawan yang kepalang tanggung itu.
Akan tetapi, Ardalepa tidak melihatnya karena ia masih
memerhatikan lawan-lawannya yang lenyap di tikungan barat.
Setelah segalanya tenang kembali, mereka pun berjalan
lagi ke arah istana di bawah obor-obor jalan yang terang
benderang. Tak lama kemudian mereka pun tibalah di gerbang
istana yang keindahannya memukau Pangef an Muda. Setelah
Ardalepa melapor, seorang gulang-gulang mengantar mereka
ke sayap barat istana. Begitu pintu terbuka, Pangeran
Anggadipati dengan tersenyum menyambut tangan Pangeran
Muda yang diulurkan pada beliau.
"Aku cemas kau akan terlibat perkelahian lagi, anakku, lalu
dihukum lagi seperti dulu."
"Tidak mungkin, Ayahanda, walaupun hampir-hampir saja
kami terlibat lagi."
"Ya?" ujar Ayahanda sambil memperlihatkan
kepenasarannya.
Pangeran Muda tersenyum, kemudian menceritakan apa
yang terjadi sore itu. Ayahanda tertawa dengan gemhjra
mendengar kisah itu.
"Kau sudah pada tempatnya menjadi puragabaya, anakku.
Kau sekarang sudah dewasa, hingga penghinaan dan
tantangan orang dapat menjadi lelucon bagimu."
Sekarang Pangeran Mudalah yang penasaran. Ia bertanya
dengan sungguh-sungguh, "Sungguhkah demikian,
Ayahanda?"
"Ya, anakku. Jiwamu harus begitu matang, hingga kau
dapat membedakan mana ancaman sungguh-sungguh dan
mana yang hanya berupa lelucon yang sia-sia. Kalau kau
sudah demikian, secara rohani kau sudah menjadi seorang
puragabaya."
Mendengar keterangan itu teringatiah Pangeran Muda pada
Rangga yang suka lelucon. Timbullah rasa hormat kepada
kawannya itu. Kemudian percakapan berkisar ke persoalan keluarga,
ketika Pangeran Muda menyampaikan berita-berita dari rumah
dan pesan-pesan dari Ibunda untuk Ayahanda. Selagi
menyampaikan berita dan pesan itu, ingin sekali Pangeran
Muda menceritakan tentang pengalamannya dengan Putri
Yuta Inten. Akan tetapi, lidahnya berat sekali untuk memulai
percakapan tentang hal itu. Pangeran Muda merasa ragu-ragu
dan malu untuk menyinggung masalah yang sangat bersifat
pribadi itu. Walaupun Ayahanda sebenarnya sudah biasa
memasalahkan persoalan yang bersifat pribadi seperti itu.
Akan tetapi, dorongan untuk mengemukakan isi hatinya
demikian besarnya, hingga pada suatu saat Pangeran Muda
hendak memulai berbicara tentang hal itu. Ketika kata-kata
pertama sedang dicarinya, tiba-tiba Pangeran Anggadipati
berkata dengan sungguh-sungguh.
"Anakku, sekali lagi ingin kusampaikan kepadamu pesan
seorang ayah sebelum kau pergi ke dunia luas dan
mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu sebagai
seorang laki-laki dewasa. Anakku, dalam setiap kelompok
masyarakat selalu terdapat dua golongan, pertama, yaitu
golongan yang memerintah dan kedua, melindungi dan
golongan yang mengabdi dan dilindungi. Mereka yang
berkewajiban untuk memerintah dan melindungi adalah
mereka yang bijaksana dan kuat, sedang yang mengabdi dan
dilindungi adalah mereka yang tidak mendapat kesempatan
untuk mendapat pendidikan yang baik dan lemah. Jadi, satu
golongan harus bekerja dan bertanggung jawab, yang lain
hanya bekerja saja. Di Pajajaran, golongan pendeta dan
bangsawanlah yang berkewajiban memerintah dan
melindungi, walaupun hal itu tidak berarti bahwa orang
kebanyakan tidak mendapat kesempatan seandainya mereka
bijaksana dan mampu mempergunakan senjata.
"Mengenai kedua golongan ini, hendaknya kau tidak salah
menilai. Kedua golongan ini tidak dimuliakan atau dihinakan
karena kedudukannya atau golongannya. Seorang bangsawan
hanya mulia kalau ia dapat memenuhi kewajibannya sebagai
pemerintah dan pelindung. Seorang bangsawan akan lebih
rendah martabatnya di mata Sang Hiang Tunggal kalau ia
kurang mampu menunaikan kewajibannya daripada seorang
kebanyakan yang pandai mengabdi. Nah, sebagai seorang
bangsawan, janganlah kau merasa berbeda dengan orang
kebanyakan. Tidak ada yang lebih mulia atau lebih hina dalam
golongan-golongan masyarakat di mata Sang Hiang Tunggal.
Bagi Sang Hiang Tunggal, yang mulia adalah mereka yang
dapat menunaikan tugasnya bagi sesama hidupnya. Apakah
dia seorang pendeta, bangsawan, rakyat, atau budak, tidaklah
jadi soal. Demikian juga hendaknya anggapanmu."
Waktu Pangeran Anggadipati berhenti berkata, Pangeran
Muda pun segera menyambut, "Hamba akan berusaha dan
sudah berusaha sebaik-baiknya menjalankan segala petunjuk
itu, Ayahanda. Sedang mengenai pendapat Ayahanda itu,
hamba telah melihat bukti-buktinya dengan mata kepala
sendiri. Sampai sekarang hamba sangat berutang budi kepada
seorang panakawan di Padepokan Tajimalela. Ia adalah orang
kebanyakan, tetapi kemampuan kesatriaannya tidak kalah oleh
para puragabaya, apalagi oleh para calon. Tangannya yang
kuat dengan mudah dapat melumpuhkan lawan."
"Mang Ogel?" seru Ayahanda.
"Mang Ogel, Ayahanda."
"Ayahanda sependapat denganmu, tentang Mang Ogel.
Jadi, kau telah mengerti apa yang kumaksudkan, anakku.
Sekarang tentang penugasanmu, tentu Geger Malela telah
menerangkan kepadamu. Anakku, aku pun kurang mengenal
daerah itu, tetapi sebagai orangtua ingin kuperingatkan
kepadamu. Titipkanlah dirimu kepada mereka yang lebih tinggi
kedudukan dan kesatriaannya daripada dirimu, dan
bersedialah kau menjadi pelindung dan pemberi bagi mereka
yang membutuhkanmu. Ingatlah selalu bahwa hidup seorang
bangsawan adalah mengabdi dan kemuliaan seorang
bangsawan tergantung pada pengabdiannya. Seorang
bangsawan mungkin disembah-sembah oleh masyarakat yang
ada di hadapannya, tetapi kalau ia tidak dapat memenuhi
tuntutan pengabdiannya sebagai seorang bangsawan,
masyarakat akan meludah di belakangnya. Ingatlah itu, dan
camkan bahwa pengabdian selalu berarti pengorbanan. Setiap
kali kau menderita, setiap kali kau menghadapi kesukaran
ingadah bahwa engkau adalah seorang bangsawan, dan
penderitaan serta kesukaran-kesukaran adalah akibat dari
kebangsawananmu itu."
"Baiklah, Ayahanda."
"Nah, sekarang marilah kita bertemu dengan Rangga Wesi,
mudah-mudahan ia sudah berada di istana," ujar Pangeran
Anggadipati. "Oh, ingin sekali hamba bertemu dengan Kakanda Rangga
Wesi," ujar Pangeran Muda dengan gembira.
"Kau pun mungkin dapat bertemu dengan Putra Mahkota,
anakku, karena Rangga Wesi adalah sahabat karibnya dan
kawan sependidikan Putra Mahkota," lanjut Ayahanda.
Maka mereka pun meninggalkan ruangan sayap barat
istana kemudian berjalan melalui lorong-lorong yang besar,
yang ruangan-ruangan di kanan-kirinya besar-besar dan
dihiasi dengan ukiran-ukiran serta warna-warna yang indah.
Pangeran Muda berkata dalam hati: Barangkali demikianlah
tempat tinggal para bujangga dan pohaci di Buana Padang!
Beberapa kali mereka bertemu dengan bangsawanbangsawan
tinggi dan berulang-ulang Pangeran Anggadipati
memperkenalkan putranya kepada bangsawan itu. Mereka
umumnya ramah tamah kepada Pangeran Muda, apalagi
mereka yang telah berkunjung ke Puri Anggadipati dan
mengenal Pangeran Muda. Di samping itu, Pangeran Muda
pun bertemu pula dengan beberapa orang puragabaya yang
bergaul dan sukar dibedakan dari para bangsawan tinggi itu
kecuali karena pakaiannya yang putih seperti pendeta dan ikat
pinggangnya yang keemasan. Mereka ini pun sangat ramah
kepadanya dan bahkan seorang di antara mereka berkata,
"Anom, orang-orang tua harus segera diganti, mereka sudah
ingin sekali hidup di tempat kelahirannya sambil menikmati
masa tuanya. Di samping itu, sebentar lagi Putra Mahkota
dinobatkan, tidak pantas kalau pengawal-pengawal beliau
berambut putih."
"Mudah-mudahan kami dapat menunaikan tugas dengan
baik hingga sang Prabu berkenan kami tinggal di istana yang
mulia ini," ujar Pangeran Muda.
Tak lama kemudian tibalah mereka di suatu ruangan besar
yang lain. Di sana terdapat bangsawan-bangsawan muda yang
sedang tekun membaca berpeti-peti lontar. Begitu mereka
memasuki ruangan, seorang pemuda yang sangat tampan dan
kira-kira tiga tahun lebih tua dari Pangeran Muda bangkit lalu
menjemput mereka.
"Anakku Rangga Wesi, ini adikmu," kata Pangeran
Anggadipati bangga memperkenalkan putranya kepada calon
menantunya. "Adikku!" kata bangsawan muda itu sambil merangkul
Pangeran Muda dengan mesra.
"Kakanda!" kata Pangeran Muda dengan rasa kasih sayang
yang tiba-tiba tergugah kepada orang yang baru dikenal dan
ditemuinya itu. Bagaimanapun juga bangsawan muda yang
ternyata calon iparnya itu adalah seorang bangsawan yang
sangat halus perangainya. Dalam sekejap saja Pangeran Muda
telah dapat menetapkan, bangsawan-bangsawan muda
macam inilah yang kemudian hari pantas menjadi pengusung
kerajaan di pundak mereka. Rangga Wesi adalah seorang
pangeran yang halus, tekun, penuh rasa pengabdian, setia.
Alangkah jauh tingkah laku dan tutur katanya dari bangsawanbangsawan
muda seperti Raden Bagus Wiratanu atau
bangsawan-bangsawan muda berandalan yang menghadang
rombongannya di bagian utara.
Sementara Pangeran Muda bercakap-cakap sambil
merenungkan pengalaman-pengalaman baru dan
pengalaman-pengalaman lamanya, Ayahanda minta diri
dahulu untuk berbincang-bincang dengan bangsawanbangsawan
sejawatnya. Pangeran Muda pun berjalanlah ke
ruangan khusus, untuk berbicara berdua dengan Pangeran
Rangga Wesi. Di ruangan itu berkatalah Pangeran Rangga
Wesi, "Sayang Kakanda tidak dapat menyertai Putra Mahkota
waktu beliau berkunjung ke Padepokan Tajimalela, jadi baru
sekarang kita dapat bertemu. Kakanda diberi tahu oleh
Ayahanda, bahwa kau akan ditugaskan di Galuh."
"Ya, Kakanda. Itulah sebabnya pertemuan kita kali ini
sangat penting. Pertama, karena untuk pertama kali; dan
kedua, karena hamba akan pergi jauh, entah untuk berapa
lama. Seandainya tidak ada Kakanda, hamba akan sangat
risau meninggalkan Ayahanda, Ibunda, dan Ayunda. Akan
tetapi, sekarang hamba dapat menitipkan mereka kepada


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakanda." Ketika Pangeran Muda berbicara demikian, nada sedih
terdengar pada kata-katanya. Pangeran Rangga Wesi
menatapnya dan sambil memegang pundak Pangeran Muda ia
berkata, "Saya mencintai keluargamu seperti mencintai
keluarga sendiri, janganlah berkecil hati. Justru kami semua
mencemaskan dikau, Adinda. Galuh berbatasan dengan
kerajaan lain, daerah itu adalah daerah yang tidak pernah
aman. Dan kalau pertikaian sewaktu-waktu meletus, di
Galuhlah pertempuran pertama-tama akan terjadi. Kamilah
yang cemas, sedang engkau tidaklah usah cemas benar.
Percayalah kepadaku," kata Pangeran Rangga Wesi sambil
memandang terus kepada Pangeran Muda yang tampak
murung. Akhirnya, Pangeran Rangga Wesi yang ternyata sangat
halus perasaannya berkata dengan hati-hati dan ragu-ragu,
"Adinda, adakah orang lain yang ingin kautitipkan kepadaku
misalnya, misalnya ... seorang putri?"
Pangeran Muda tidak segera menjawab, tetapi segala
kerisauan yang selama ini dipendamnya sendiri seolah-olah
mendapat kesempatan untuk dicurahkan kepada orang yang
dapat dipercayainya. Walaupun malu-malu, kesempatan itu
terlalu baik untuk disia-siakan. Maka berkatalah Pangeran
Muda, "Ternyata Kakanda sangat memahami. Hamba ingin
menitipkan seorang putri yang tidak dapat hamba titipkan
kepada orang lain oleh karena suatu hal dan lainnya."
"Siapakah putri itu, Adinda, janganlah ragu-ragu."
Kisah Bangsa Petualang 5 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Peristiwa Bulu Merak 1

Cari Blog Ini