Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 6
mengunjungi tempat pengintaian.
Ketika giliran Pangeran Muda tiba, Pangeran Muda pergi ke
tempat pengintaian itu dengan empat orang kawannya, yaitu
Pamuk, Girang, Ginggi, dan Wide. Mereka diantar oleh
jagabaya dan setelah beberapa lama menyelinap dalam
semak-semak, akhirnya sampailah mereka di sebuah bukit
kecil yang di atasnya ditumbuhi sebatang pohon yang sangat
tinggi. "Kita tiba, Saudara-saudara," kata jagabaya itu seraya
melihat ke atas pohon. Pangeran Muda melihat pula ke sana.
Tampaklah olehnya seorang kakek-kakek berambut putih
sedang duduk di sebuah dahan besar sambil memegang suatu
benda yang diletakkan di depan matanya seraya ia
memandang ke arah timur.
"Di atas itu adalah Ki Monyet Putih, pengintai kerajaan
yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini dan hafal akan
setiap helai daun yang ada di hutan-hutan di tepi barat dan
timur Cipamali ini," kata jagabaya itu sambil tersenyum.
"Marilah kita panggil Ki Monyet Putih," kata jagabaya itu,
lalu membunyikan bibirnya meniru suara burung hutan. Ki
Monyet Putih menoleh, lalu memasukkan benda yang
dipegangnya ke dalam kantong-koja yang disandangnya.
Seperti seekor kera ia meluncur ke bawah.
"Ini anggota-anggota pasukan baru, harap dipersilakan
melihat medan," kata jagabaya itu.
Para calon puragabaya memperkenalkan diri dan memberi
salam kepada orang tua yang sudah berambut putih itu.
Kemudian orang tua itu menjelaskan, dari atas pohon yang
tinggi itu mereka akan dapat melihat tempat pemusatan lawan
dengan segala gerak-gerik yang mereka lakukan. Adapun
untuk melihat lawan itu mereka akan mempergunakan sebuah
Permata Sakti yang menjadi milik keluarga Ki Monyet Putih
turun-temurun. Sambil berkata demikian, Ki Monyet Putih
mengeluarkan benda yang tadi dipegangnya dari dalam
kojanya. Benda itu adalah sebuah bumbung bambu kecil yang
telah mengilap karena pemeliharaan. Di dalam bumbung
bambu yang tidak ada bukunya lagi itu diletakkan sebuah
permata putih yang bulat dan pipih bentuknya. Permata Putih
itu ditempatkan di suatu tempat dalam bumbung bambu itu
dengan bantuan bingkai logam perak, yang melingkari
pinggirnya. Sambil memperlihatkan benda itu dan
menerangkan sejarahnya, Ki Monyet Putih berulang-ulang
menyatakan bahwa benda itu sangat suci, anugerah para
bujangga dan pohaci kepada keluarganya, agar keluarganya
dapat membantu menjaga keamanan dan kesejahteraan
Pajajaran. Setelah itu para calon dipersilakan untuk siap memanjat
pohon itu dengan mempergunakan tangga tambang yang
akan dipasang oleh Ki Monyet Putih. Para calon menyatakan
bahwa mereka tidak memerlukan tangga.
"Tapi pohon ini sangat tinggi dan licin karena terusmenerus
dipanjat orang," ujar Ki Monyet Putih.
"Kami telah berlatih di padepokan bagaimana memanjat
pohon yang licin, Kakek," jawab Ginggi. Maka, walaupun raguTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ragu, Ki Monyet Putih mulai memanjat. Para calon
mengikutinya, sama tangkas dan cekatan seperti Ki Monyet
Putih sendiri. Dengan keheranan, Ki Monyet Putih memandang
mereka. Setelah mereka berada di atas, secara bergiliran para
calon diberi kesempatan untuk mempergunakan permata itu
dan melihat ke arah timur, ke tempat yang ditunjukkan oleh Ki
Monyet Putih. Dengan ajaib sekali, melalui permata sakti itu hutan yang
jauh jadi dekat dan besar kelihatannya. Demikian pula, apa
yang tampak samar-samar menjadi jelas kelihatan. Dan
setelah beberapa lama menyusur hutan dengan
pandangannya, mata Pangeran Muda melihat sejumlah gubuk,
dengan sebuah gubuk besar terletak di tengah-tengah.
Gubuk-gubuk itu berwarna hitam, agar tidak mudah kelihatan.
Di sekitar gubuk-gubuk tampak sejumlah besar tentara,
sekurang-kurangnya meliputi ratusan orang, sedang sibuk
bekerja. Di antara yang sedang bekerja, tampak sejumlah
besar yang sedang memasang rakit-rakit. Di samping itu,
tampak pula orang-orang yang sedang mengangkut dan
membongkar perlengkapan dari pedati-pedati besar yang
ditarik oleh kerbau ke dalam hutan itu. Di antara perlengkapan
itu tampaklah pula senjata, seperti tombak-tombak dan
pelanting-pelanting besar.
Setelah semua mendapat giliran, para calon pun turun, lalu
diantar kembali ke asrama jagabaya yang terletak agak jauh
menjorok ke dalam hutan dari tepi barat Cipamali.
Malam itu puragabaya Geger Malela mengumpulkan
pasukan, dan dengan sebuah peta kulit di depannya mulai
menerangkan kedudukan lawan. Gubuk-gubuk diperkirakan
sebagai tempat bermalam perwira-perwira dan tempat
menyimpan persediaan, sedang rakit-rakit adalah sebagai alat
penyeberangan pasukan lawan, kalau mereka sudah merasa
saatnya tiba untuk bergerak ke barat. Akan tetapi, tentu saja
gerakan hanya akan dimulai, seandainya perkiraan-perkiraan
itu sudah dibuktikan. Untuk itu, dua orang calon akan dikirim
sebagai pengintai. Mereka harus menyeberangi Sungai
Cipamali dan mencoba mendekati perkubuan lawan sedekat
mungkin. Untuk itu Pangeran Muda ditugaskan untuk pergi
bersama-sama dengan Ginggi. Pada malam itu juga Pangeran
Muda berenang menyeberangi sungai yang besar itu diikuti
oleh Ginggi. Malam tiba di seberang timur dan dalam waktu yang
hampir bersamaan. Ketika mereka mulai bergerak ke dalam
hutan, mereka mendengar desir semak. Mereka segera
berhenti dan bersembunyi. Tak berapa lama kemudian
muncullah dua orang anggota pasukan musuh, mengobrol
perlahan-lahan dalam bahasa yang asing. Melihat kedua
anggota pasukan lawan yang juga sedang melakukan
pengintaian dan melihat-lihat ke seberang, Ginggi berpaling
dan bertanya dengan isyarat mata, apa yang akan mereka
lakukan. Pangeran Muda menggelengkan kepala, sebagai
isyarat bahwa mereka tidak akan melakukan apa-apa terhadap
anggota pasukan lawan itu. Maka mereka pun kembali
merangkak-rangkak dan menyelinap dalam semak-semak
seperti dua ekor ular.
Ternyata daerah perkubuan lawan yang melalui permata
sakti itu tampak dekat, pada kenyataannya sangatlah jauh.
Sebelum sampai ke tempat itu Pangeran Muda dengan Ginggi
harus menyeberangi sungai-sungai kecil, memanjat tebingtebing
rendah, dan bahkan melintasi perbukitan kapur yang
tidak bersemak. Mereka terpaksa merangkak seperti dua ekor
ular, agar tidak tampak seandainya anggota pasukan berada
dekat-dekat ke sana. Untung malam sangat kelam dan
penyelinapan mereka pun tidak terlalu sukar untuk dilakukan.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di tepi
perkubuan itu. Mula-mula mereka bersembunyi dalam semak,
tetapi karena malam sangat gelap dan orang sangat banyak,
akhirnya Pangeran Muda dengan Ginggi dapat
menggabungkan diri dengan lawan, dan dengan bebas
mencatat dalam hati apa yang mereka lihat di sana. Dengan
hati berdebar-debar, mereka berjalan ke sana kemari di antara
orang-orang yang bekerja dalam gelap. Untuk tidak
menimbulkan kecurigaan Ginggi dan Pangeran Muda
mengangkat keranjang kosong yang mereka temukan di suatu
tempat. Setelah cukup mendapat gambaran, mereka pun
kembali menyelinap ke dalam semak, lalu menyusur hutan ke
arah barat. Mereka baru tiba kembali ke pangkalan pada saat subuh.
Sepanjang malam itu puragabaya Geger Malela terus
menunggu, dan ketika mereka tiba baru puragabaya itu tidur.
Karena harus memusatkan seluruh perhatian, dan karena
menderita tekanan ketegangan sewaktu mereka berada di
perkubuan lawan, pengintaian itu merupakan tugas yang
sangat melelahkan. Pangeran Muda dan Ginggi tertidur
dengan pulas, dan baru ketika akan diadakan perundingan,
keesokan harinya mereka dibangunkan.
Pada perundingan itu segala perkiraan diperiksa kembali
dan disesuaikan dengan apa yang dilihat oleh kedua pengintai.
Setelah itu baru ditetapkan siasat penyerangan. Seluruh
pasukan dibagi dalam kelompok-kelompok. Kelompok itu
terdiri dari tiga sampai lima orang. Setiap kelompok
diharuskan menyerang penghuni kubu-kubu, sedang yang lima
orang yang termasuk ke dalam kelompok Pangeran Muda
diberi tugas untuk menyerang isi kubu yang paling besar, di
mana diperkirakan Panglima Pasukan lawan menginap.
Kelompok lain yang terdiri dari lima orang lagi ditugaskan
untuk membakar semua daerah perkubuan dan rakit-rakit
yang sudah dibuat ataupun bahannya. Setiap anggota
pasukan diminta agar dapat membunuh sebanyak-banyaknya.
Setelah itu ditetapkan aba-aba penyerangan dan aba-aba
pengunduran diri.
Malam itu juga, ketika hari mulai gelap, ketiga puluh orang
pasukan dengan diantar oleh perwira asrama jagabaya
setempat berangkat ke tempat penyeberangan yang telah
ditetapkan. Anggota-anggota pasukan bersenjata lengkap,
berupa gada-gada, pedang-pedang pendek, dan baju zirah. Di
samping itu, beberapa anggota pasukan membawa minyak
kelapa yang akan membantu mereka dalam melakukan
pembakaran-pembakaran.
Maka setelah dua orang puragabaya berenang dan
merentangkan tambang, pasukan pun dengan berpegang
pada tambang itu mulai menyeberangi Cipamali.
Penyeberangan itu tidak mudah dilakukan, bukan saja karena
persenjataan mereka berat, tetapi perbekalan-perbekalan lain
seperti minyak sangat sukar diseberangkan tanpa menderita
kerusakan. Di samping itu, penyeberangan pun tidak dapat
pula dilakukan dengan terlalu berisik karena hal itu mungkin
menarik perhatian pengintai-pengintai lawan.
Setelah penyeberangan dilakukan dengan selamat, pasukan
pun bergerak terus. Sengaja mereka mengambil jalan
melingkar, bukan saja untuk menghindarkan kemungkinan
adanya pengintai lawan, tetapi juga agar dapat menyerang
lawan dari arah timur. Dan setelah lama sekali mengendapendap,
tibalah mereka di tempat menunggu yang telah
ditetapkan, yaitu sebuah hutan yang berada di sebelah timur
perkubuan. Untuk beberapa lama mereka menunggu di sana,
sambil menunggu berkurangnya kesibukan di perkubuan. Pada
saat itulah mereka akan menyerang. Setelah malam sangat
larut dan perkubuan bertambah sunyi, pasukan pun bergerak
mendekati. Beberapa lama mereka menunggu lagi sambil
berjalan meniarap, lalu ketika subuh tiba serta ayam
berkokok, puragabaya Geger Malela memberi aba-aba
penyerangan. Menghamburlah pasukan melangkahi anggotaanggota
pasukan lawan yang tidur di lapangan dan sekitar
perkubuan. Pangeran Muda dengan lima orang calon puragabaya
menghambur menuju gubuk yang terbesar. Mereka dihadang
oleh beberapa orang penjaga, dan di depan gubuk pun
terjadilah pergumulan. Pangeran Muda dihadang oleh seorang
penjaga, tapi penjaga itu tidak diberinya kesempatan. Dengan
dua gerakan, kepala penjaga itu telah remuk oleh gada
kecilnya. Setelah itu Pangeran Muda memasuki gubuk.
Beberapa orang yang masih terbaring atau setengah bangun
dihantam oleh Pangeran Muda dan kawan-kawannya. Teriakan
kesakitan, peringatan, aba-aba bahaya bercampur aduk
dengan suara gemuruh api. Dalam kalang kabut itu Pangeran
Muda memukulkan gadanya ke kiri dan ke kanan ke arah
penjaga-penjaga yang memasuki gubuk. Tiba-tiba bagian atas
gubuk mulai terbakar karena seseorang melemparkan obor ke
sana. Ginggi mempergunakan pedangnya untuk membuat
lubang di sisi kemah, dan dengan melalui lubang itu ia keluar.
Pangeran Muda sambil menghindarkan serangan dan memukul
lawan yang menyerbu masuk ke dalam gubuk mundur ke arah
lubang itu. Dan ketika ia sudah tepat berada di depan lubang
itu ia melompat keluar.
Di luar tampak orang kalang kabut berlarian ke sana kemari
sambil berteriak-teriak. Api berkobar-kobar di semua gubuk
juga di tempat pembuatan dan penimbunan rakit. Dalam
keadaan kalang kabut itu, Pangeran Muda melihat puragabaya
Geger Malela berdiri di tengah-tengah lapangan seraya
memerhatikan kejadian itu dengan senjata di tangan.
Puragabaya itu tidak melakukan hal-hal lain, kecuali
memerhatikan seluruh kejadian itu dengan tenang dan teliti.
Tak lama kemudian, ia berjalan ke arah penimbunan rakit.
Sambil berjalan berulang-ulang, ditebaskan pedangnya ke
arah pasukan lawan yang hilir mudik dengan kacau.
Sesuai dengan yang diperintahkan, Pangeran Muda pun
segera menuju ke tempat pembuatan dan penimbunan rakit.
Di tempat itu terjadi pertempuran antara anggota-anggota
pasukan khusus Pajajaran yang sedang melindungi kawankawannya
yang bertugas membakar rakit-rakit, melawan
anggota-anggota pasukan lawan yang akan menyelamatkan
rakit-rakit dan bahan-bahan rakit mereka yang mulai menyala.
Melihat hal itu, Pangeran Muda segera menyerbu, menetakkan
gadanya ke arah pasukan lawan dari arah belakang.
Ternyata tugas membakar rakit itu tidak dapat dilakukan
dengan mudah. Selain minyak bakar terlalu sedikit yang dapat
diselamatkan dalam penyeberangan, ternyata bambu-bambu
besar yang menjadi bahan rakit itu masih basah. Itulah
sebabnya sejumlah anggota pasukan terpaksa harus menahan
serangan lawan untuk melindungi kawan-kawannya yang
sedang menyiramkan minyak dan menyuluti rakit-rakit itu.
Pangeran Muda dengan sekuat tenaga membantu memukul
pasukan lawan yang makin lama makin banyak bergerak ke
arah tempat rakit itu. Pangeran Muda pun melihat bagaimana
api makin lama makin besar, dan akhirnya berada di luar
jangkauan lawan untuk memadamkannya. Dalam kobaran api
yang menerangi cakrawala itu, terdengarlah aba-aba
pengunduran diri. Pangeran Muda seraya masih memukul ke
kanan dan ke kiri menghambur ke dalam hutan yang kelam.
Setiba di tempat berkumpul yang telah ditentukan,
Pangeran Muda melihat sebagian dari kawan-kawannya sudah
berada di sana. Kemudian puragabaya Geger Malela muncul,
sambil menyusut pedangnya yang penuh darah dengan daundaunan
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dipungutnya. Kemudian beberapa orang yang
lain muncul. Hanya tiga orang yang tidak kembali hingga saat
kokok ayam hutan terdengar, ketika mereka menetapkan
untuk pergi. Untuk ketiga orang anggota pasukan yang tidak
kembali itu, mereka mengucapkan doa bersama-sama.
Kemudian pasukan bergerak ke salah satu pinggir sungai yang
lain. Perjalanan yang sukar kembali ditempuh, kemudian
penyeberangan yang berbahaya dan akhirnya tibalah mereka
di asrama jagabaya yang jadi pangkalan mereka.
Dua hari setelah pertempuran malam itu, pasukan khusus
yang dipimpin oleh puragabaya Geger Malela kembali ke
Pakuan Pajajaran. Pasukan itu kehilangan tiga orang
jagabaya. Pangeran Muda disambut oleh Putri Yuta Inten yang
tidak kembali ke kota Medang tapi tetap menunggu di Pakuan
Pajajaran hingga Pangeran Muda tiba kembali dari perbatasan.
Saat-saat sekembali dari pertempuran itu merupakan saat
yang paling membahagiakan bagi Pangeran Muda.
HAMPIR dua minggu Putri Yuta Inten menunggu
kedatangan Pangeran Muda dari Pajajaran timur. Hal itu
bukan saja karena kekerasan hati Putri Yuta Inten untuk tidak
kembali ke Medang, tetapi juga karena Raden Banyak Citra
berkepentingan untuk berada di Pakuan Pajajaran selama
keadaan genting itu. Setelah pasukan khusus kembali dari
perbatasan timur, karena memahami akan hasrat Putri Yuta
Inten untuk berdekatan dengan Pangeran Muda, Raden
Banyak Citra mengundurkan waktu pulangnya.
Kedua muda remaja mempergunakan kesempatan yang
baik itu dengan penuh gairah. Kalau tidak berjalan-jalan
melihat-lihat kemegahan kota, kadang-kadang Pangeran Muda
meminjam sebuah kereta kecil dari Pangeran Rangga Wesi,
lalu membawa Putri Yuta Inten mengembara di padangpadang
di luar benteng. Pada suatu kali, dengan
mempergunakan kereta kecil itu, mereka mengembarai jalanjalan
yang melintasi padang-padang, huma-huma dan palawija
penduduk. Ketika matahari berada di puncak dan kuda mereka
kelelahan, Pangeran Muda membelokkan kereta kecil itu
menuju ke arah sebuah mata air yang sekelilingnya ditumbuhi
oleh semak-semak bunga yang rindang dan rumput-rumput
yang hijau. Mereka pun turunlah di tempat yang teduh itu.
Ketika Pangeran Muda melepaskan kuda untuk memberinya
minum, Pangeran Muda tidak melihat ke belakang. Dan ketika
Pangeran Muda kembali ke kereta, Putri Yuta Inten sudah
tidak ada. Pangeran Muda terkejut, kemudian melihat ke
sekeliling, ke kaki langit, ke padang-padang lalang dan semaksemak
yang berdekatan dengan mata air itu. Akan tetapi, Putri
Yuta Inten tidak tampak. Pangeran Muda berseru memanggilmanggil
untuk beberapa kali, tetapi tidak ada yang menyahut.
Dengan cemas, Pangeran Muda berjalan ke arah kereta, lalu
melihat tanah di sekeliling kereta itu. Ia tersenyum karena
jejak kaki hanya ada sepasang, kecil-kecil dan ringan.
Dengan mengikuti jejak kaki itu, Pangeran Muda berjalan
hati-hati menuju semak bunga-bungaan, kemudian memasuki
semak yang pohon-pohonnya agak besar. Begitu Pangeran
Muda tiba di suatu pinggir kelompok semak yang rimbun,
terdengarlah suara tertawa ditahan, kemudian tampaklah
Puteri Yuta Inten berlari menjauh. Pangeran Muda
mengejarnya, makin lama makin dekat. Kemudian makin
dekat, dan rambut Yuta lnten yang panjang mengibas-ngibas
wajahnya. Akhirnya, Pangeran Muda menangkap pinggang
gadis itu yang sambil tertawa-tawa menjatuhkan diri,
membawa Pangeran Muda berguling-guling di atas rumputrumput
yang lembut itu. Dengan mulut tertutup, untuk
beberapa lama mereka bergulat, berguling-guling. Tiba-tiba
Yuta Inten memegang tangan Pangeran Muda.
"Jangan!" katanya lemah.
Sejenak mereka diam membisu, hanya napas mereka yang
berat terdengar. Untuk beberapa lama mereka tidak berkata
apa-apa, kemudian setelah agak tenang Pangeran Muda
berkata, "Adinda, tidakkah kau takut memancing-mancing
Kakanda ke dalam hutan seperti ini?"
"Mengapa harus takut" Adinda didampingi oleh seorang
calon puragabaya."
"Maksud Kakanda, tidakkah kau takut akan diri kita sendiri,
terutama oleh Kakanda sebagai seorang laki-laki?"
"Kakanda seorang kesatria, dan bukan orang kasar yang
tidak tahu tata krama," ujar Putri Yuta Inten sambil
menyurukkan wajahnya ke dada Pangeran Muda.
Setelah beberapa lama hening, berkatalah Pangeran Muda,
"Bagaimana kalau kita segera kawin?"
Putri Yuta Inten melepaskan pelukannya, memandang ke
arah Pangeran Muda, lalu memeluknya lagi. Mereka pun
kembali berguling-guling di atas rumput itu, dan baru
beberapa lama mereka dapat berkata-kata.
"Ayahanda sedang sangat bersenang hati, segera minta
izin," kata gadis itu dengan sepenuh hati.
"Kita direncanakan untuk menikah pada waktu yang sama
dengan Kakanda Rangga Wesi dan Ayunda Ringgit Sari,
Kakanda harus berunding dengan mereka dan Ayahanda
terlebih dahulu."
"Ya, cepadah, sebelum berita datang dari perbatasan dan
Kakanda harus menerima tugas kembali."
"Tugas tidaklah menjadi persoalan. Kau dapat mengikutiku
sebagai seorang istri ke kota Galuh," ujar Pangeran Muda
sambil memegang tangan gadis itu.
"Adinda akan ikut Kakanda walau ke medan perang
sekalipun," katanya.
"Mari, kita harus segera bertemu dengan Kakanda Rangga
Wesi," kata Pangeran Muda. Tanpa menjawab Putri Yuta Inten
bangkit lalu berlari ke arah kereta, Pangeran Muda
mengikutinya dari belakang. Tak lama kemudian, seperti tidak
menyentuh tanah, kereta kecil itu menderu di jalan-jalan di
luar benteng Pakuan Pajajaran, menuju gerbangnya yang
megah dan lebar itu.
MELIHAT kedatangan mereka, Pangeran Rangga Wesi
sungguh-sungguh keheranan.
"Adik-adikku, apakah yang terjadi" Dari mana pula kalian,
hingga pakaian kalian kusut dan rambut kalian penuh dengan
rumput?" Kedua remaja itu tidak peduli akan pertanyaan itu dan
Pangeran Muda segera berkata, "Kakanda, kami bermaksud
cepat-cepat menikah, kami minta izin kepada Kakanda, kami
berniat menikah lebih dahulu."
Mendengar usul itu, Pangeran Rangga Wesi lebih terkejut
lagi, tetapi kemudian ia berkata, "Kalian kira Kakanda sendiri
cukup sabar?" Sambil tersenyum, kemudian Pangeran itu
melanjutkan, "Adinda berdua, Kakanda mengerti akan hasrat
kalian, tetapi sebagai seorang yang lebih tua, sebagai kakak
kepada adik-adiknya, Kakanda merasa kewajiban untuk
menyampaikan saran. Bagaimana kalau ditangguhkan
beberapa lama lagi, terutama karena berita sudah tiba di
perbatasan timur."
Sebelum perkataan Pangeran Rangga Wesi selesai,
Pangeran Muda telah menyela, "Akan tetapi, Kakanda, ada
atau tidak tugas tidaklah menjadi pertimbangan kami.
Seandainya tugas tiba bagi hamba untuk pergi ke kota Galuh,
hamba akan lebih berkeras lagi meminta kepada Ayahanda
agar kami segera dipersatukan. Hamba tidak sanggup pergi ke
Galuh seorang diri."
Setelah tersenyum, Pangeran Rangga Wesi berkata,
"Adinda Anggadipati, kalian salah sangka. Kalian tidak akan
ditugaskan ke Galuh sementara. Karena perbatasan timur
aman, dan Galuh pun aman, Adinda akan dikembalikan ke
Padepokan Tajimalela untuk enam bulan, kemudian dalam
upacara diangkat menjadi puragabaya yang sempurna.
Kakanda sudah berunding dengan Ayahanda Anggadipati
bahwa upacara perkawinan kita akan dilakukan dengan
perayaan menerima seorang puragabaya dan seorang
pengantin di Puri Anggadipati."
Mendengar itu termenunglah Pangeran Muda. Enam bulan
bukanlah waktu yang lama, sedang jarak antara padepokan
dengan Medang tidaklah jauh benar. Hanya satu hari
perjalanan berkuda. Di samping itu, apa salahnya menunggu
kalau hal itu akan lebih menyemarakkan perkawinan mereka"
Adalah watak terpuji bagi seorang kesatria untuk bersabar dan
tidak tergesa-gesa. Akan tetapi, keputusan tidak terletak
kepadanya sendiri. Maka Pangeran Muda pun berpaling pada
Putri Yuta Inten yang, ada di sampingnya.
"Bagaimana pendapatmu, Adinda?"
"Kakanda akan menjadi puragabaya dalam enam bulan?"
"Ya," jawab Pangeran Muda dengan pasti.
"Dan Kakanda tidak akan meninggalkan hamba ke Galuh?"
"Tidak," lanjut Pangeran Muda.
"Kakanda akan berada di Padepokan Tajimalela kembali
dan kita dapat sering bertemu."
"Kalau begitu...," ujar Putri Yuta Inten, "terserah kepada
Kakanda." "Kita tidak akan menjadi terlalu tua dalam enam bulan,
Adinda," ujar Pangeran Muda sambil tersenyum seraya
memegang tangan gadis itu.
.Pangeran Rangga Wesi pun tersenyum, lalu berkata, "Dan
tidak hanya kalian yang harus bersabar, kami pun, Kakanda
dengan Kakanda Ringgit Sari, terpaksa harus menunggu dulu
Adinda Anggadipati puragabaya."
DUA hari sejak peristiwa itu, Pangeran Muda berangkat dari
ibu kota. Mula-mula menuju Medang, mengantar Putri Yuta
Inten dengan ayahandanya, kemudian tanpa menginap dulu,
langsung menuju Padepokan Tajimalela. Setiba di sana,
bersama-sama dengan kawan-kawan seangkatannya,
Pangeran Muda langsung digembleng dalam ilmu perkelahian
yang baru. Seperti juga ilmu keseimbangan badan dan ketangkasan,
ilmu yang terakhir ini merupakan ilmu pelengkap bagi
kemampuan berkelahi yang sebenarnya. Dalam latihan
keseimbangan badan, setiap calon diharuskan menguasai
sejuruh tubuhnya hingga ia tidak mungkin dirubuhkan dalam
perkelahian. Dalam latihan ketangkasan, selain digembleng
hingga setiap calon tidak akan mudah lelah, kecepatan
menggerakkan dan mempergunakan seluruh anggota badan
dan ketepatan penggunaannya harus mereka miliki. Isi dari
kemampuan berkelahi itu sendiri terletak pada kemampuan
melakukan gerakan-gerakan secara sempurna dan melakukan
pukulan-pukulan yang keras pada bagian-bagian tubuh lawan
yang lemah. Dalam latihan taraf terakhir ini, pancaindralah
yang dipertajam.
Mula-mula mata para calon dilatih untuk berjalan di tempat
yang sukar di dalam gelap, menyeberangi jembatan tali di
tempat yang gelap, memanjat jurang di tempat yang gelap,
dan membedakan berbagai warna di tempat yang gelap.
Latihan itu diseling dengan latihan bertapa, tanpa menyentuh
makanan atau minuman kadang-kadang untuk waktu
beberapa hari. Mata mereka pun berulang diberi obat-obat
oleh Pa-manda Minda. Setelah terus-menerus latihan itu
dilakukan, akhirnya terasa oleh Pangeran Muda bahwa
pandangannya semakin tajam, hingga siang dan malam tidak
lagi berbeda baginya. Latihan mata hanya sebentar saja
dilakukan di bawah bimbingan, dan seperti juga kebanyakan
dari latihan-latihan lain, akhirnya latihan mata diserahkan
penyempurnaan kepada para calon sendiri.
Berturut-turut mata, telinga, hidung, dan seluruh
permukaan kulit diperhalus sedemikian rupa, hingga para
calon dapat mengetahui gerak-gerik alam yang sekecilkecilnya
dengan bantuan pancaindra mereka yang telah
dipertajam itu. Setelah gemblengan dilakukan terus-menerus
selama enam bulan, akhirnya latihan kepuragabayaan mereka
dianggap selesai.
Mereka menerima pesan dari Eyang Resi, untuk terusmenerus
memperhalus kemampuan pancaindra mereka dalam
kehidupan. Sebelum upacara pengangkatan mereka sebagai
puragabaya, dan selagi menunggu bangsawan-bangsawan
tinggi serta Putra Mahkota yang akan menghadiri upacara itu,
Eyang Resi memberi mereka waktu istirahat selama dua
minggu. Kebanyakan dari para calon meninggalkan
padepokan, demikian juga Pangeran Muda. Sebagian dari
waktu cutinya dipergunakan di Puri Anggadipati, sebagian di
kota Medang di mana upacara pertunangannya dengan Putri
Yuta Inten dilaksanakan.
Setelah pertunangan itu dilangsungkan, Jante yang datang
bersama-sama ke Medang dengan Pangeran Muda, meminta
izin kepada orangtuanya untuk pergi ke Kutabarang untuk
menguruskan hal-hal yang tidak diterangkan kepada orang
lain. Oleh karena itu, ketika saat untuk kembali ke padepokan
tiba, Pangeran Muda hanya diiringkan oleh Mang Ogel yang
menjadi pengiring Pangeran Muda dalam masa cuti itu.
Ketika mereka tiba kembali di padepokan, sebagian dari
bangsawan-bangsawan dari ibu kota sudah hadir. Beberapa
hari kemudian saat upacara pelantikan pun tiba dan para
calon sudah hadir semua, kecuali Jante. Dengan gelisah,
Pangeran Muda menunggu calon iparnya datang, tetapi ketika
upacara dilaksanakan Jante tidak muncul. Maka upacara pun
dilangsungkan tanpa Jante.
Dalam upacara yang khidmat itu mula-mula dilakukan
penyumpahan terhadap para calon. Para calon berjanji dengan
petaruh nyawa mereka masing-masing untuk setia kepada
kepentingan warga kerajaan, untuk tidak menyentuh ilmu-ilmu
lain kecuali ilmu kepuragabayaan, untuk tidak
mempergunakan ilmunya kecuali dalam keadaan terpaksa dan
atas nama kepentingan kerajaan, untuk tidak sayang pada
kepentingan dirinya bahkan kepada jiwanya sendiri kalau
kerajaan meminta, untuk tidak menyentuh makanan dan
minuman yang dapat menghalau pikiran sehat, untuk
berusaha menjadi contoh dalam segala hal yang baik dalam
kehidupan, khususnya sebagai prajurit dan warga kerajaan.
Setelah penyumpahan dilakukan upacara perlambang,
Pangeran Muda dipilih untuk mewakili kawan-kawannya.
Pada upacara itu Pangeran Muda berpakaian bangsawan
tinggi, dengan pakaian gemerlapan, dengan mahkota emas
yang biasa dipakai oleh seorang pangeran. Ia menyandang
pedang dan badik, memegang tombak di tangan kanan dan
tameng besar di tangan kiri. Di samping itu, Mang Ogel yang
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan di sampingnya membawa baki yang di atasnya
terletak dua buku, yaitu buku kepuragabayaan dan buku
kenegarawanan. Dengan diiringi oleh para pelatih dan para
calon, Pangeran Muda berjalan ke hadapan Eyang Resi yang
berdiri berdampingan dengan Putra Mahkota. Ketika mereka
sudah berhadapan di tengah-tengah lapangan padepokan itu,
Eyang Resi membacakan doa-doa, diikuti oleh Putra Mahkota
dan bangsawan-bangsawan tinggi yang berdiri di belakang
mereka. Setelah itu Eyang Resi menyalakan api dalam
pedupaan batu besar yang telah berdiri beratus tahun di sana.
Api yang bahan bakarnya terdiri dari kayu samida yang
dicampur dengan minyak itu menyala dengan cahaya yang
putih. Pangeran Muda, sesuai dengan petunjuk yang telah
diberikan kepadanya sebelumnya, berjalan ke arah api itu.
Ketika Mang Ogel menyodorkan baki yang berisi dua buah
buku, Pangeran Muda mengambil buku tentang kenegarawanan,
dan setelah mengacungkannya untuk dilihat hadirin,
melemparkannya ke dalam api, sebagai lambang bahwa
sebagai puragabaya ia menghindarkan buku itu dan
membuangnya jauh-jauh dalam kehidupannya. Setelah itu
Pangeran Muda mengambil perhiasan-perhiasan yang
semuanya terbuat dari emas, yang juga dilemparkannya ke
dalam api, sebagai lambang, bahwa sebagai puragabaya ia
hanya akan mengejar pelaksanaan kewajibannya dan akan
menghindarkan kemewahan. Setelah itu tombak
dipatahkannya, demikian juga pedang panjang, yang
kesemuanya juga menjadi makanan api suci, lambang
semangat kepuragabayaannya. Pangeran Muda membuang
senjata-senjata panjang karena senjata-senjata itu hanya
dipergunakan oleh rakyat dan prajurit-prajurit biasa, yaitu jagabayajagabaya dan para gulang-gulang. Puragabaya hanya
mempergunakan senjata-senjata pendek. Itu berarti bahwa
puragabaya akan bertempur untuk kepentingan kerajaan di
barisan yang paling depan dan akan bertempur dari tangan ke
tangan. Setelah semua lambang dari hal-hal yang asing bagi
kepuragabayaan dan yang harus dijauhi oleh puragabaya
diserahkan ke dalam api suci, ketiga pelatih yang membawa
pakaian serta senjata puragabaya maju ke depan, lalu
melekatkan pakaian kepuragabayaan yang berwarna putih,
dengan ikat pinggang keemasan kepada Pangeran Muda. Di
luar pakaian putih itu ditutupkan pula pakaian hitam, sebagai
pelindung dan pakaian malam puragabaya. Setelah itu rambut
Pangeran Muda yang sekarang terurai, diikat dengan ikat
kepala puragabaya yang juga berwarna hitam. Setelah itu
diserahkan dua senjata pendek, yaitu sebuah kujang dan
sebuah trisula, senjata-senjata kepuragabayaan. Lalu Mang
Ogel maju dengan bakinya, dan Pangeran Muda mengambil
buku yang ada di atasnya, buku kepuragabayaan yang
kemudian dipegangnya.
Setelah itu, datanglah si Rawing membawa dua ekor kuda,
yang satu adalah si Gambir, kuda yang setia dan sudah tua,
yang lain putih warnanya, kuda Pangeran Muda yang akan
diterimanya sebagai seorang puragabaya. Kuda-kuda itu
dibawa ke hadapan Pangeran Muda. Pangeran Muda
melepaskan kendali dan pelana dari si Gambir, lalu
mengenakannya pada kuda putih yang dinamainya si Bulan di
dalam hatinya. Untuk beberapa lama Pangeran Muda memandang ke arah
si Gambir dengan perasaan terharu dan kasih sayang. Kuda itu
sebentar lagi akan dikembalikan ke Puri Anggadipati, dan akan
dibiarkan bebas di padang, setelah bertahun-tahun hidup
bersama dengan Pangeran Muda. Betapa besar utang budi
Pangeran Muda pada kuda yang kuat dan lemah lembut itu.
Dalam hati, Pangeran Muda mengucapkan syukur kepada
Sang Hiang Tunggal, yang telah menciptakan makhluk yang
baik itu. Ternyata upacara penyerahan kuda putih itu merupakan
upacara penutup. Eyang Tajimalela maju ke muka, untuk
berdoa. Setelah itu, bubarlah upacara pelantikan itu, para
bangsawan dan Eyang Resi serta para puragabaya memasuki
ruangan untuk bersantap dan berbincang-bincang. Pangeran
Muda sendiri, seorang diri menuntun si Gambir mengelilingi
padepokan yang telah lama dikenalnya dan dicintainya.
Dipandangnya tempat-tempat latihan yang perkasa dari jauh
dengan penuh kenang-kenangan. Terbayang kawannya yang
telah tiada, Janur yang sangat berbakat itu. Terkenang pula
bagaimana mereka pernah menangkap ular besar. Setiap
bagian dari padepokan memiliki kisahnya sendiri, dan sambil
menuntun si Gambir Pangeran Muda mengulangi kisah-kisah
itu dalam khayalannya.
Siang harinya dilakukan sembahyang bersama, setelah itu
bangsawan-bangsawan meninggalkan padepokan, dan
padepokan pun sunyilah kembali. Ketika itulah Pangeran Muda
teringat pada Jante yang tidak dapat hadir dalam upacara
pelantikan itu. Pangeran Muda mulai cemas ketika panakawan
yang diutus ke Kutabarang untuk menjemput Jante itu
terlambat datang dan pada hari ketiga, kecemasan itu
ternyata beralasan. Panakawan itu menyampaikan berita yang
menyedihkan kepada Eyang Resi, "Peristiwa yang
menyedihkan telah terjadi. Jante telah membunuh beberapa
orang bangsawan muda, dan sekarang menghilang. Kita harus
segera menemukannya dan menyelesaikan persoalannya."
Berita itu bagi halilintar di musim kemarau bagi Pangeran
Muda. Hatinya terhenyak dan sedih. Ia sadar pula, peristiwa
itu akan sangat menyedihkan keluarga Banyak Citra, dan
sebagai seorang yang akan menjadi anggota keluarga
bangsawan itu, ia sangat merasa terlibat dalam suka-duka
keluarga itu. Malam itu, ketika perundingan padepokan
menetapkan lima orang puragabaya baru di bawah pimpinan
Pamanda Rakean untuk mencari Jante, Pangeran Muda
mengajukan diri untuk menjadi tenaga sukarela. Dan
keesokan harinya, ketika hari masih berkabut, tujuh orang
puragabaya meninggalkan padepokan menuju Kutabarang.
0-d-0-w-0-k-0-z-0
Bab 18 Malakal Maut Pangeran Jayapati adalah Penguasa Kota Kutabarang.
Rombongan puragabaya pertama-tama menghadap kepada
pangeran itu untuk melengkapi keterangan dan meminta
saran-saran bagaimana supaya mereka dapat menemukan
Jante. Pangeran Jayapati dengan murung menerangkan
kepada mereka, 'Jaluwuyung adalah seorang puragabaya yang
baik. Ia sangat patuh dan melaksanakan segala tugas dengan
baik. Akan tetapi, ada suatu hal yang mengganggu pikiran
saya semenjak dia datang ke sini. Ia. sangat pemurung, dan
kadang-kadang cahaya matanya memperlihatkan sinar yang
aneh. Berulang-ulang saya bertanya kepadanya, apa yang
menjadi sebab kemurungannya. Ia tidak mau menjelaskan.
' "Belakangan ia menjelaskan bahwa serombongan
bangsawan-bangsawan muda yang datang dari luar kota,
yaitu dari Kuta Kiara, membayang-bayanginya selagi ia
mengelilingi kota sebagai pelaksanaan salah satu dari
tugasnya. Saya menanyakan kepadanya, apa sebabnya
pemuda-pemuda itu membayang-bayangi. Ia menjawab tidak
tahu. Belakangan saya mendapat keterangan dari seorang
bangsawan bahwa seorang putri yang bernama Mayang Cinde
menaruh perhatian kepadanya. Rupanya rombongan
bangsawan muda dari Kuta Kiara tidak bersenang hati akan
hal itu, dan dalam suatu kesempatan mencegatnya di luar
benteng. Perkelahian terjadi, dan tiga orang menjadi korban,
yang pertama adalah Raden Bagus Wiratanu, yang lain adalah
kawan-kawannya. Di samping yang tewas itu terdapat pula
yang luka-luka, patah tulang dan sebagainya. Semenjak itu,
Jante tidak kembali ke istana."
"Apakah jejaknya sudah ditemukan?"
"Perwira jagabaya melaporkan, dari jejak dan keteranganketerangan
yang dapat dikumpulkan, kemungkinan Jante
melarikan diri ke dalam hutan terlarang di sebelah selatan
Kutabarang. Hutan ini belum pernah dimasuki manusia,
kecuali penjahat-penjahat dan para petapa yang mencari sepi.
Juga jalan ke sana begitu sukarnya, hingga jagabaya-jagabaya
yang ditugaskan umumnya tidak dapat memasuki daerah
hutan sedalam yang diharapkan. Tumbuh-tumbuhan rambat,
binatang-binatang buas, ular-ular raksasa menjadi penghalang
mereka." "Dapatkah kami mendapatkan bantuan dari para
jagabaya?" tanya Pamanda Rakean.
"Tentu saja, justru penunjuk jalan telah tersedia untuk
mengantarkan Saudara-saudara ke tempat jejak terakhir itu,"
ujar Pangeran Jayapati. Ketika perundingan sedang berjalan,
beberapa orang jagabaya tiba dengan berita yang
mengejutkan. "Tiga orang bangsawan yang sedang berburu terbunuh.
Dari keterangan kawan-kawannya, yang menyerang mereka
bukanlah binatang buas, tetapi manusia, walaupun lebih
tangkas dari binatang buas."
Para puragabaya saling memandang satu sama lain.
"Di hutan mana peristiwa itu terjadi?"
"Dekat hutan larangan," ujar jagabaya itu. Sekali lagi para
puragabaya saling berpandangan. Dan dalam perundingan
selanjutnya, para puragabaya meminta kepada Pangeran
Jayapati untuk segera dikirim ke tempat di sekitar peristiwa itu
terjadi. Keberangkatan rombongan pencari ditangguhkan sampai
keesokan hatinya, sedang pada malam harinya para
puragabaya dijamu dahulu oleh Pangeran Jayapati. Malam itu,
Pangeran Muda tidak dapat tidur, begitu banyak perasaan
yang mengharu-biru hatinya.
Pertama keanehan Jante sendiri, yang di samping
kemurungannya yang makin lama makin menonjol, juga sering
aneh dalam pembicaraannya. Menurut pendapat Pangeran
Muda, Jante sering sekali mengatakan hal-hal yang
memperlihatkan bahwa kesadaran Jante tidak berpijak dengan
kukuh di atas kenyataan. Sedang dari pikiran-pikirannya yang
tidak mendasar, pikiran-pikiran jelek tentang orang lainlah
yang menguasai kesadaran Jante.
Pangeran Muda sangat menyesal hal itu tidak sempat
dikabarkannya kepada Eyang Resi dan para pelatih. Kesibukan
Pangeran Muda dan Putri Yuta Inten merebut seluruh
perhatian Pangeran Muda. Dan Jante, walaupun makin hari
makin menjadi aneh, terlupakan olehnya. Pangeran Muda
sungguh-sungguh menyesal karenanya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, tujuh orang
penunggang kuda putih dengan penunjuk jalan dua
orangjagabaya yang berkuda hitam ke luar dari gerbang kota
Kutabarang menuju ke arah hutan yang lebat dan menakutkan
di sebelah selatan.
UNTUK mendapat keterangan yang lebih lengkap,
rombongan tidak langsung memasuki hutan lebat itu, tetapi
berjalan menuju sekelompok kampung untuk bertanya kepada
para petani yang menjadi pengiring bangsawan-bangsawan
pemburu yang malang itu. Setiba di kampung yang dituju,
para puragabaya tidak segera dapat menemukan para petani
itu, karena mereka sudah bekerja di huma mereka masingmasing.
Oleh karena itu, dari kampung beriringlah para
puragabaya dengan penunjuk jalan menuju perhumaan.
Orang pertama yang menjadi saksi kejadian itu ketika
ditanya menjelaskan, ketika para bangsawan berburu di tepi
hutan, salah seorang di antara mereka melihat gerakan di
dalam semak yang dekat sekali dengan hutan. Seorang di
antara bangsawan itu turun dari kudanya, lalu dengan diiringi
oleh beberapa ekor anjing menghambur ke dalam semak itu
dengan tombak di tangan. Akan tetapi, tiba-tiba bangsawan
itu berteriak dan rubuh. Ketika para pengiringnya datang ke
sana, bangsawan itu terbaring dengan dari mulutnya
mengeluarkan darah. Ketika diperiksa tulang selangka dan
beberapa buah rusuknya patah bekas pukulan yang dahsyat.
Sementara itu, para pengiringnya melihat seorang manusia
menyelinap tanpa mengeluarkan bunyi antara semak-semak
itu. Walaupun anjing-anjing mengejarnya, anjing-anjing itu
kemudian kehilangan jejaknya.
Kawan-kawan bangsawan yang malang itu mengejar
bayangan dalam semak-semak yang tinggi ituj tetapi tidak
berapa lama kemudian mereka pun menghadapi nasib yang
sama. Tulang-tulang rusuk, tangan, dan bahkan tulang-tulang
jari mereka remuk. Dan ketika mereka dibawa pulang, di
perjalanan jiwa mereka meninggalkan tubuh mereka yang
menderita itu. "Kami ditugaskan untuk mencari orangku, Paman," kata
Pamanda Rakean. Sambil berkata demikian Pamanda Rakean
memberi isyarat kepada jagabaya pengantar itu untuk
melanjutkan perjalanan. Maka rombongan pun berjalanlah
beriring di jalan-jalan setapak dalam perhumaan itu.
Beberapa orang petani lagi mereka mintai keterangan,
tetapi jawabnya umumnya tidak menambah keteranganketerangan
yang diberikan oleh kawan-kawannya. Di antara
petani ada yang mengatakan bahwa menurut pendapatnya
yang menyerang dan membunuh tiga orang bangsawan itu
bukan manusia, akan tetapi siluman.
"Mengapa Paman berpendapat demikian?"
"Saya sempat melihat mata makhluk itu, dan dari nyalanya
saya berpendapat, walaupun bertubuh manusia, ia bukanlah
manusia, tapi siluman yang lolos dari Buana Larang dan
merajalela di hutan terlarang itu."
Dengan sedih, Pangeran Muda menyadari, anggapan petani
itu dapat diterima. Pangeran Muda barulah menyadari
sekarang, pandangan mata Jante belakangan ini memang
memberikan kesan yang sangat aneh. Pandangan mata Jante
kadang-kadang sangat mengerikan. Pandangan itu
menyinarkan ketakutan serta kebencian yang luar biasa
terhadap sekelilingnya. Pangeran Muda mulai bertanya di
dalam hati, mungkinkah siluman-siluman telah merebut jiwa
Jante dan menjadikan Jante budaknya untuk melaksanakan
rencana-rencana jahat di Buana Pancatengah ini"
Sementara Pangeran Muda termenung-menung, Pamanda
Rakean memerintahkan agar rombongan bergerak kembali.
Setelah bertanya kepada beberapa petani lagi, mereka pun
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergerak meninggalkan perkampungan-perkampungan itu.
Mereka menuju ke hutan lebat yang membentang di hadapan
mereka. Karena jalan-jalan sempit ke arah hutan itu, mereka
berjalan beriringan, denganjagabayapenunjukjalan berjalan di
muka. Setelah bergerak terus-menerus hingga matahari
berada di puncaknya, mereka pun tibalah di bagian ladang
yang bersemak-semak. Jagabaya pengantar menunjukkan
tempat-tempat di mana peristiwa yang menyedihkan itu
terjadi. Di samping dari luka-luka yang sempat mereka periksa
pada tubuh bangsawan-bangsawan yang menjadi korban,
jejak-jejak yang tampak dalam semak-semak itu menjelaskan
bahwa yang melakukan perbuatan yang mengerikan itu benarbenar
seorang puragabaya.
SORE itu para puragabaya menitipkan kuda mereka dalam
sebuah kampung kecil di tepi hutan yang mata pencarian
penduduknya mencari madu di dekat hutan. Setelah itu
mereka tidak terus beristirahat, tetapi langsung memasuki
hutan, mengikuti jejak Jante. Akan tetapi, karena jejak itu
telah lama dan telah banyak manusia lain serta binatang yang
memijaknya kembali, pencarian mereka tidak membawa
mereka ke mana-mana. Dan ketika matahari hampir terbenam
Pamanda Rakean berseru memanggil anak-anak buahnya.
"Kita tidak akan menemukannya hari ini. Kita lebih baik
bermalam dahulu sambil merencanakan pencarian yang lebih
saksama esok pagi."
Para puragabaya yang sudah lelah menyetujui pendapat
itu, dan mereka pun berjalanlah ke arah kampung pencari
madu itu. Keesokan harinya pencarian dilakukan dengan lebih
saksama. Mereka lebih dalam lagi memasuki hutan yang
belum dibuka oleh orang-orang Kutabarang maupun orangorang
Kuta Kiara. Akan tetapi, tidak ditemukan jejak yang
segar, sementara jejak lama makin samar-samar. Karena
banyaknya jurang kecil yang dapat dilompati oleh seorang
puragabaya, jejak itu hampir tidak akan dapat membimbing
mereka menemukan orang yang meninggalkannya.
Pada hari ketiga datanglah berita dari Kutabarang, dibawa
oleh tiga orang jagabaya utusan Pangeran Jayapati. Berita itu
menyatakan bahwa kampung yang berada di tepi barat hutan
larangan pernah kedatangan seorang asing. Orang itu dengan
mudah menaiki pagar kampung yang tinggi, kemudian setelah
masuk dan mengambil makanan, menghilang kembali ke
dalam hutan. Gambaran penduduk kampung tentang orang
yang datang dari hutan itu cocok dengan gambaran Jante.
Oleh karena itu, rombongan puragabaya pun bergeraklah ke
arah kampung itu. Keesokan harinya dengan diantar oleh
beberapa orangjagabaya dan penduduk kampung, mereka
bergerak ke timur, memasuki sebuah hutan yang angker.
Berbeda dengan hutan di bagian-bagian lain yang bertanah
hitam dan subur, hutan yang baru ini bercadas-cadas di
berbagai bagiannya. Tebing-tebing yang curam umumnya
telanjang karena kerasnya cadas. Hanya rumput-rumput palias
yang tumbuh di permukaan tebing jurang yang curam itu.
Akan tetapi, lembah-lembah ditumbuhi oleh hutan yang lebat,
yang selain terdiri dari tumbuhan-tumbuhan rambat yang
sukar ditembus, terdiri pula dari tumbuh-tumbuhan berduri.
Sungguh tepat kalau ada orang yang bertapa atau
menyembunyikan diri di tempat seperti itu. Dan dalam hutan
itu pulalah para puragabaya bergerak.
Dengan saksama mereka meneliti jejak-jejak yang ada di
sana, melihat celah-celah cadas dan gua-gua, sementara
mereka mendengus-dengus dengan udara, mencoba membaui
udara dengan hidung yang daya penciumannya telah menjadi
kuat karena latihan di Padepokan Tajimalela. Pada suatu saat
raung harimau kumbang terdengar, dan Ginggi tampak berkelebatkelebat di antara semak-semak untuk beberapa saat.
Ia muncul sambil menggerutu-gerutu sambil menyeret
binatang yang telah mati sambil menyusut titik-titik darah dari
tangannya yang kena cakar binatang buas itu.
"Tidak apa-apa?" tanya Pamanda Rakean serata meraba
kantong obat-obatan yang disandangnya.
"Berilah saya sedikit penawar racun," ujar Ginggi sambil
menyodorkan tangannya yang menderita luka-luka yang
panjang tapi dangkal. Pamanda Rakean mengeluarkan obat
penawar racun, lalu menaburkannya di atas luka itu. Ketika
mereka berkumpul melihat-lihat harimau kumbang yang
terbaring di atas cadas, Girang datang dan berbisik, "Saya
telah membauinya."
"Di mana?"
Girang memalingkan mukanya ke arah sebuah tebing cadas
yang menjulang. Pada tebing cadas mereka melihat celah
besar dan kelam. Pamanda Rakean memberi isyarat agar
anak-anak buahnya duduk. Mereka pun duduklah berkeliling
menurut kebiasaan puragabaya. Setelah mereka hening,
berkatalah Pamanda Rakean, "Tugas kita adalah membawa
Jante ke padepokan. Hal itu perlu kita lakukan dengan cara
yang lembut, cara biasa. Dan kalau dia dapat kita bawa,
hendaknya dia mengikuti kita dengan kesadarannya, dan tidak
dengan paksaan atau tipu daya. Untuk tidak merasa bahwa
dia dikepung atau diburu, sebaiknya kita tidak datang
bersama-sama. Seorang atau dua orang datang kepadanya,
lalu menjelaskan maksud kedatangan kita. Kalau dia lunak
hatinya, langsunglah bawa dia pulang. Tinggalkanlah yang lain
seolah-olah yang lain tidak ada di sini. Seandainya, dia
berkeras dan membangkang, kita serahkan segalanya pada
Sang Hiang Tunggal yang akan memberi petunjuk kepada kita
bagaimana kita harus mengabdi kepada kerajaan dalam
menghadapi masalah yang menyedihkan ini."
"Pamanda Rakean, sayalah kawannya yang paling dekat, di
samping itu ... saya adalah calon iparnya," kata Pangeran
Muda kepada Pamanda Rakean. Mendengar itu, tak ada yang
berbicara. Kemudian Pamanda Rakeanpun berkatalah, "Kalau begitu,
baiklah. Anom, kau tahu watak dan isi hati Jante. Berusahalah
agar dia sadar akan keadaannya."
Sambil berkata demikian Pamanda Rakean melepaskan
tambang puragabaya yang tersembunyi di balik sarungnya,
lalu memberi isyarat kepada yang lain agar juga melonggarkan
ikatan-ikatan tambang itu, agar kalau diperlukan dapat
dipergunakan. Melihat tambang-tambang itu berdukacitalah
Pangeran Muda. Tiba-tiba ia menyadari, bagaimana seorang
manusia yang telah bertahun-tahun dididik untuk
kebudimanan, keluhuran, dan keagungan, tiba-tiba berubah
dan terpaksa harus diperlakukan oleh sesamanya seperti
binatang buas. Dalam saat-saat itu tiba-tiba Pangeran Muda
benci kepada tubuhnya sendiri. Setiap anggota, setiap otot,
setiap jari-jarinya telah menjadi senjata yang sangat
berbahaya dan dapat mengakibatkan kerusakan dan dukacita
di dunia ini. Akan tetapi, kesedihan dan kebenciannya itu
dengan segera bergulat dengan kesadaran, bahwa segalanya
tidak dapat dihindarkan. Ia seorang bangsawan, seorang
kesatria Pajajaran yang jiwa-raga-nya tidak menjadi miliknya,
tetapi milik kerajaan.
Seraya termenung demikian Pangeran Muda mengurai
tambang dari ikatannya, lalu menyerahkannya kepada salah
seorang kawannya, "Lebih baik saya menyimpan.tambang ini,
supaya Jante tidak curiga," katanya. Pamanda Rakean tampak
setuju, dan Pangeran Muda pun bangkitlah.
"Pamanda, lebih baik Anom tidak seorang diri," ujar Rangga
yang selama ini diam.
Pamanda Rakean termenung sejenak, kemudian berkata,
"Anomlah yang memutuskan."
"Mungkin kalau seorang diri lebih mencurigakan, oleh
karena itu kalau Rangga mau, saya bersedia ditemani."
"Baiklah," ujar Pamanda Rakean, maka Rangga pun
bangkitlah, setelah memberikan tambang dan senjata
pendeknya pada Elang. Kedua puragabaya muda itu pun
meninggalkan kawan-kawannya yang terlindung di balik
semak-semak. Mereka berjalan menuju ke arah tebing yang
sangat curam yang bercelah di salah satu tempatnya.
Pangeran Muda berjalan di depan, diikuti oleh Rangga yang
terdengar membaca mantra-mantra mengusir siluman. Mereka
melangkah tanpa menimbulkan suara, makin lama mereka
makin dekat ke muka celah itu. Mereka berusaha agar
berjalan biasa dan dengan demikian tidak menimbulkan
sangkaan pada Jante bahwa mereka datang untuk
mengepung dan menangkapnya. Makin lama mereka makin
dekat, dan jantung
Pangeran Muda mulai berdegup dengan keras. Ketika
mereka masih cukup jauh dari mulut celah itu, tiba-tiba
terdengarlah suara Jante, "Rangga! Anom! Berhenti, jangan
mendekat, atau kalian mati!"
Pangeran Muda dan Rangga terpukau bagai dua patung,
berdiri tidak bergerak-gerak. Kemudian Pangeran Muda
menarik napas panjang dan berbisik pada Rangga untuk
melangkah terus. Setelah itu berserulah Pangeran Muda,
"Jante, kami datang untuk menjemputmu. Pulanglah bersama
kami, janganlah takut, dalam pengadilan kami akan
membelamu. Saya pun tahu siapa Raden Bagus Wiratanu.
Saya yakin, mereka pantas terbunuh dalam perkelahian itu."
"Anom!" seru Jante dari dalam gua itu. "Saya ragu-ragu
mengenai apa yang ada dalam pikiranmu," katanya,
sementara itu ia tidak tampak.
"Saya tidak pernah bercabang lidah kepadamu, kau adalah
sahabat dan calon iparku. Saya sayang kepadamu."
"Bohong!" seru Jante.
Pangeran Muda terhenyak. 'Jante, kau tidak adil," kata
Pangeran Muda pula.
"Kalian semua hendak membunuhku dari dulu. Dalam
latihan, Anapaken selalu hendak membunuhku. Dalam ujian,
Geger Malela akan membunuhku dan bajuku terbakar. Lalu
bangsawan-bangsawan itu dengan badik mereka hendak
membunuhku. Lalu aku diburu seperti binatang buas di pinggir
hutan! Anom, jangan percaya kepada manusia!"
Seandainya Jante sebelumnya tidak pernah berbicara aneh,
tentu saja perkataannya yang baru saja akan mengejutkan
Pangeran Muda. Akan tetapi, sekarang Pangeran Muda tidak
terkejut lagi. Apa yang diucapkan Jante tidaklah benar, tetapi
hal itu sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan jalan
pikiran Jante yang sebelumnya didengar oleh Pangeran Muda.
Pangeran Muda tidak terkejut lagi, ia berdukacita sedalamdalamnya.
Jelas sekarang baginya bahwa siluman telah
menguasai seluruh kesadaran Jante.
Tanpa mengajak Rangga, Pangeran Muda melangkah.
Rangga mengikuti. Mereka berjalan menuju mulut gua itu.
Setelah mereka tiba di depannya, mereka berhenti, dan
memandang ke dalam.
'Jante!Jante!" seru Pangeran Muda yang terdengar hanya
gema suaranya, sedang Jante tidak menjawab. Setelah
beberapa kali memanggil-manggil kembali, akhirnya Pangeran
Muda memberi isyarat kepada Rangga agar memasuki mulut
gua itu. Mereka pun melangkah dengan hati-hati dan
waspada. Walaupun mulutnya kecil, ternyata terowongan gua itu
sangat besar. Di lantainya berserakan tulang-tulang binatang
dan bahkan ada tulang-tulang yang tampak seperti tulang
manusia. Pangeran Muda beranggapan, mungkin sebelum
didiami oleh Jante gua itu menjadi tempat tinggal harimau
lodaya atau binatang pemakan daging lainnya. Sementara
melihat ke sekeliling, Pangeran Muda dengan waspada terus
melangkah mengikuti lorong gua yang makin lama makin
dalam masuk ke dalam perut gunung batu itu. Suasana makin
lama makin hening, dan udara makin lama makin kelam dalam
gua itu. Akan tetapi, berkat mata yang terlatih dan diberi obatobatan
di Padepokan Tajimalela, tidak sukar bagi kedua
puragabaya muda itu untuk dapat melihat dengan jelas.
'Jante! Jante! Janteeeeeeeeee!" seru Rangga.
Hanya gema yang menjawab, sahut-menyahut dari tebing
ke tebing jurang. Sementara itu mereka makin dalam
memasuki perut gunung batu itu. Tiba-tiba mereka melihat
cahaya. Mereka menghentikan langkah masing-masing dan
mengawasi ke sekeliling ke arah lekuk-lekuk cadas di dalam
ruangan gua yang melebar. Di salah satu sudut gua itu
berdirilah Jante, dengan matanya yang bersinar liar
memandang kepada mereka.
Melihat Jante ketika itu, seram bercampur dukacita meliputi
hati Pangeran Muda. Pakaian Jante sudah tidak menentu lagi,
tinggal kain-kain yang kotor dan cabik penuh bekas-bekas
darah. Sementara itu, rambut Jante yang tidak kalah kotor
tampak kusut masai dan lengket. Jambang dan kumis Jante
yang tumbuh panjang hampir menyebabkan Pangeran Muda
tidak mengenalinya lagi.
"Kalian datang untuk membunuhku!" tiba-tiba Jante
berkata. 'Jante!" seru Pangeran Muda dan Rangga bersama-sama.
"Kalian jangan coba-coba mendekat, kalian tidak akan
sanggup! Orang yang akan mampu membunuhku sudah mati.
Hanya si Janur yang akan dapat membunuhku, tapi ia telah
mati di dalam jeram siluman itu!"
Dengan dukacita yang sangat dalam, Pangeran Muda
menyadari bahwa siluman sudah menguasai seluruh pikiran
dan perasaan Jante. Orang yang dihadapinya bukanlah Jante,
tapi siluman yang meminjam tubuh Jante yang menyebabkan
malapetaka dan dukacita. Cahaya mata Jante sudah terlalu
berubah untuk dapat dikenal lagi, demikian juga seluruh
jiwanya. Akan tetapi, harapan Pangeran Muda tidaklah putus.
Seraya berdoa di dalam hati, Pangeran Muda mendekat dan
berkata, 'Jante, segala yang kaukatakan itu hanyalah
khayalanmu, tak ada orang yang akan membunuhmu."
"Anom, engkau orang baik, tapi aku tidak percaya
kepadamu," sambil berkata demikian Jante berjalan mendekat,
memandang ke dalam mata Pangeran Muda seolah-olah
hendak melihat sesuatu di dalamnya.
"Dan kau Rangga, kau badut, di balik leluconmu kau
rancang pembunuhan-pembunuhan yang paling pengecut!
Kau tidak akan mampu membunuhku, badut!" teriaknya pula,
parau. Teriakannya itu bergema dalam gua dan di tebingtebing
jurang. Sementara udara masih bergetar oleh suara
teriakkan Jante dan tertawanya yang menyeramkan, Pangeran
Muda mendengar Rangga berbisik.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ia gila, siluman telah merebut seluruh jiwanya dan
menjadikan dia budaknya!" katanya dengan keheranan dan
terpukau. Tiba-tiba dari luar gua terdengar pula orang-orang datang.
Para puragabaya yang cemas di bawah pimpinan Pamanda
Rakean mengikuti Pangeran Muda dan Rangga. Tiba-tiba mata
Jante menjadi liar dan buas. Ia memandang ke arah
puragabaya-puragabaya lalu berkata, "Kalian akan menangkap
dan membunuhku seperti binatang, coba!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba ia menyerang ke arah
Pangeran Muda dan Rangga dengan loncatan ke depan dan
dua serangan yang berbahaya. Pangeran Muda dan Rangga
mengelak pada waktunya. Dan ketika mereka bersiap untuk
menerima serangan baru, tiba-tiba Jante melompat dan
menghilang ke dalam salah sebuah lubang dalam gua itu.
Pangeran Muda segera menyusulnya, demikian juga Rangga.
Sementara itu, para puragabaya yang lain pun bergerak.
Tetapi mereka mencari jalan-jalan lain, dengan harapan dapat
menghadang Jante.
Pangeran Muda diikuti oleh Rangga berlari-lari dalam lorong
yang gelap dan panjang, yang tiba-tiba saja keluar di puncak
gunung cadas itu. Begitu Pangeran Muda melangkahi ambang
gua itu, Jante menyerangnya bagai kilat. Pukulan tangannya
yang kuat itu mendesing. Untung Pangeran Muda sudah
bersiap, dan begitu serangan tiba, Pangeran Muda sempat
meloncat ke tempat lain, lalu berdiri dengan jurang menganga
di belakangnya.
Begitu serangannya meleset Jante tidak berhenti, tetapi
segera menyerbu Rangga. Rangga tidak dapat menghindarkan
dan terpaksa melayani serangan itu dengan sebaik-baiknya.
Suatu rentetan pertukaran pukulan terjadi dengan cepat, dan
tiba-tiba Rangga melepaskan diri dari pergulatan itu. Ia
melompat, kemudian mundur perlahan-lahan menjauhi Jante.
Jante tertawa dengan keras, dan dengan secepat kilat
menyerang ke arah Pangeran Muda. Pangeran Muda
mengibaskan serangan itu, dan dalam pada itu sadar bahwa
dengan demikian Jante akan terjatuh ke dalam jurang.
Ingatan yang datang secepat kilat itu menyebabkan Pangeran
Muda mencoba menangkap pinggang jante. Ia hanya dapat
menangkap cabikan baju Jante, dan karena tarikan yang
keras, kuda-kuda Pangeran Muda tercabut, dan Pangeran
Muda pun berguling ke arah tepi jurang. Sementara itu, Jante
yang terlempar oleh serangannya sendiri melayang sambil
mengeluarkan teriakan yang dahsyat. Kemudian suara
tubuhnya terdengar menghantam dasar jurang yang terdiri
dari cadas itu.
Ketika Pangeran Muda bangkit dari sela-sela cadas tempat
ia terguling, para puragabaya datang ke dekatnya. Ada yang
langsung membantu membangunkannya, ada pula yang
melihat ke dalam jurang tempat Jante terjatuh. Sementara itu,
Rangga tiba-tiba terjatuh.
"Rangga!" seru Ginggi sambil mendekat.
Rangga memegang tulang selangkanya. Paman Rakean
segera menolong. Ternyata tulang selangka itu remuk, dan
Pamanda Rakean segera mengeluarkan bebat dan penawar
sakit. Sementara Rangga diurus, Pangeran Muda dengan dua
orang puragabaya menuruni jurang yang bercadas-cadas itu.
Setiba mereka di bawah segera mereka memburu ke arah
tempat tubuh Jante terbaring. Sambil terbaring matanya yang
liar dan buas memandang ke arah mereka. Ketika Pangeran
Muda mendekat, ia tiba-tiba bangkit dan mengambil sikap
seperti akan menyerang. Akan tetapi, kemudian tubuhnya
gemetar. 'Jahanam!" serunya keras sekali, disahuti oleh tebingtebing.
Ketika ia memaki itu keluarlah darah dari mulutnya.
Lalu ia rubuh kembali ke sela-sela cadas, dan tidak lama
kemudian matanya yang liar itu menjadi suram, lalu
kelopaknya gemetar, tapi tidak menutup.
Ketika Girang memegang pergelangan tangannya, ia
mengangguk kepada yang lain. Yang lain mengerti, dan air
mata tidak dapat ditahan, keluar dari mata Pangeran Muda.
Untuk beberapa lama Pangeran Muda melihat Jante yang
sudah tidak bernyawa lagi. Aneh, setelah pemuda itu
meninggal, segala keliaran dan kebuasan dengan
mengherankan meninggalkan seluruh dirinya. Jante berbaring
dengan tenang, seperti seorang anak yang sedang tidur
nyenyak. Tak lama kemudian rombongan pun menuruni hutan
bercadas-cadas itu dengan dua usungan. Rangga diusung
karena tulang selangkanya yang remuk menyebabkan dia
sangat lemah. Jante sendiri, setelah pakaiannya diganti dan
tubuhnya dibersihkan, terbaring dalam usungan kedua, tenang
dan megah, seperti seorang pahlawan yang gugur dan dibawa
dari suatu medan perang.
000dw000kz000 Bab 19 Seorang Qalon Baru
Beberapa hari setelah peristiwa yang sangat menyedihkan
itu, dari Padepokan Tajimalela Pangeran Muda memacu si
Bulan ke arah kota Medang. Ia berangkat seorang diri, dan
sepanjang hari tidak berhenti memacu kudanya, didorong oleh
hatinya yang gelisah dan berdukacita.
Pada hari kedua, ketika hari menuju senja, tampaklah di
depannya menara-menara benteng kota Medang. Pangeran
Muda makin cepat memacu kudanya dan ketika gerbang kota
itu sudah tampak, tiba-tiba dari arah depan datanglah
penunggang kuda lain yang dikenalnya, yaitu Mang Ogel.
Ketika mereka bertemu di tengah-tengah jalan itu, Mang Ogel
segera turun. "Anom, tenanglah, marilah kita segera kembali ke
Padepokan. Setelah segalanya menjadi tenang, kita dapat
merencanakan untuk berkunjung ke kota Medang!"
Segala firasat jelek dan kegelisahan seperti menjelmakan
dirinya dengan tingkah laku Mang Ogel yang kelihatan
bingung dan bersedih hati itu. Pangeran Muda turun dari
kudanya, lalu bertanya, "Mang Ogel, katakanlah kepada saya
apa yang terjadi."
Mang Ogel kelihatan sangat bersedih hati dan juga tidak
mau memulai pembicaraan.
"Mang Ogel, katakanlah."
"Anom, seluruh kota seperti hendak mengamuk mendengar
berita kematian putra sulung penguasanya. Semua kaum lakilaki,
hingga kepada anak-anak dipersenjatai, dan engkau
dicaci maki dengan kata-kata yang hanya boleh didengar oleh
siluman. Sedang malam ini, mereka akan melakukan upacara
sumpah pembalasan dendam terhadapmu. Karena itu, tenangkanlah
dan tabahkanlah hatimu. Marilah kita pulang ke
padepokan, dan kalau suasana sudah sedikit berubah, kita
akan kembali dan menjelaskan segala-galanya."
"Mang Ogel, tapi saya tidak bersalah."
'Anom, kemarahan tidak pernah memberi kesempatan
kepada siapa pun untuk mencari kebenaran, yang dicarinya
hanyalah kesalahan."
"Tidak, Mang Ogel, saya harus menjelaskan semuanya,"
kata Pangeran Muda.
'Anom!" seru Mang Ogel ketakutan, seraya menangkap
tangan Pangeran Muda yang memegang pelana si Bulan.
Kedua tangan yang besar itu, seperti dua sepitan dari besi
menjepit pergelangan tangan Pangeran Muda. Pangeran Muda
tidak dapat bergerak karena tenaga Pangeran Muda telah
dibekukan oleh Mang Ogel yang sangat hafal akan ilmu tenaga
itu. "Mang Ogel, berilah kesempatan pada saya untuk pergi ke
kota Medang, untuk bertemu dengan Yuta Inten dan
menjelaskan segalanya. Sekurang-kurangnya kepadanya."
Mang Ogel termenung, lalu berkala, "Ingat Anoin,
pertemuanmu dengan putri itu belum tentu memperbaiki
keadaan. Bahkan siapa tahu malah memperjeleknya. Di
samping iiu, Mang Ogel tidak menjamin keselamatanmu serta
keselamatan orang lain. Segala perbuatanmu adalah tanggung
jawabmu. Mang Ogel sudah memberimu peringatan, dan
engkau adalah seorang dewasa yang sudah pantas memiliki
pikiran waras. Di samping itu, engkau adalah seorang
puragabaya yang berkewajiban selalu berpikiran waras."
Sambil berkata demikian, Mang Ogel melepaskan
tangannya. Mendengar perkataan Mang Ogel itu, lemahlah
seluruh sendi Pangeran Muda. Kakinya hampir tidak sanggup
menahan berat tubuhnya. Ia pun bersandar pada pelana si
Bulan, air mata panas di kelopak matanya.
Mang Ogel berjalan ke arahnya, dan sambil memegang
pundaknya berkata, "Pergilah nanti ke sana, tetapi setelah
malam gelap. Masuklah ke kamar putri itu, dan jelaskanlah
segalanya, kemudian kita pulang ke padepokan. Mintalah
petunjuk Eyang Resi untuk tindakan-tindakan yang bijaksana
selanjutnya. Bertapalah di padepokan, atau bertapalah dalam
kesibukan baktimu pada kerajaan, mudah-mudahan Sang
Hiang Tunggal mendengar doa-doamu."
Mendengar itu, agak ringanlah penderitaan Pangeran Muda.
Ia memandang kepada Mang Ogel yang tersenyum sayu
kepadanya. Kemudian ia berpaling ke arah menara-menara
kota Medang yang samar-samar di langit yang kelam. Tak
lama kemudian, kedua orang penunggang kuda itu pun telah
bergerak beriringan menuju kota Medang yang gerbangnya
sudah ditutup rapat.
SAMBIL menunggu malam bertambah gelap, Pangeran
Muda dengan Mang Ogel melepaskan kuda mereka di dekat
mata air. Selagi mereka menunggu kuda-kuda mereka minum,
langkah derap kuda terdengar dari arah barat menuju mereka.
Seorang gulang-gulang begitu tiba melompat .dari kuda, lalu
berkata, "Apakah ini Pangeran Anggadipati Muda?"
"Ya," ujar Pangeran Muda.
"Hamba membawa surat dari Pakuan Pajajaran untuk
Pangeran Muda."
"Dari siapa" Oh!" Pangeran Muda melihat kotak lontar yang
dikenalnya dari Ayahanda Pangeran Muda bertanya,
"Bagaimana kau dapat menyusul saya" Dari mana pula kau
datang?" "Saya dari Kutabarang, Pangeran Muda. Pangeran Jayapati
menerima surat ini, lalu memerintah empat orang gulanggulang
menuju ke suatu tempat. Di sana kami mendapat
kabar bahwa Pangeran Muda tidak berada di padepokan dan
orang yang harus menerima surat menyarankan kepada kami
agar menyusul ke kota Medang. Kami menuruti saran itu dan
ketika kami beristirahat, seseorang memberikan keterangan
bahwa siang tadi seorang penunggang kuda putih lewat. Kami
berbeda pendapat, yang tiga orang berpendapat belum tentu
penunggang kuda putih itu Pangeran Muda. Saya sendiri
punya firasat bahwa itu Pangeran Muda, lalu saya
memutuskan untuk menyusul seorang diri, sementara yang
lain menunggu di kampung yang letaknya tidak jauh dari sini.
Sepanjang jalan saya bertanya kepada orang-orang kampung,
apakah mereka melihat penunggang kuda putih, seorang
kesatria. Mereka menunjuk ke arah sini."
"Kecerdikanmu patut dihargai. Terima kasih, dan
sampaikan pula terima kasih kepada Pangeran Jayapati. Kau
tak akan kulupakan," lanjut Pangeran Muda.
"Terima kasih kembali, Pangeran Muda, tugas hamba
selesai, dan hamba mengundurkan diri."
Setelah gulang-gulang itu hilang dalam kelam malam
Pangeran Muda dengan bantuan cahaya bintang dapal
membaca tulisan di atas lontar itu.
Anakku, Ayahanda sedang sangat sibuk, tetapi kegembiraan dan
kebanggaan mendorong Ayahanda mengucapkan selamat
kepadamu. Sang Prabu dan Putra Mahkota sangat berkenan
dengan perbuatan-perbuatanmu untuk kerajaan selama ini.
Penangkapan pemimpin pengacau dan penyerangan ke
seberang Cipamali masih segar di dalam ingatan penghuni
istana, dan sekarang kau telah pula berhasil membunuh
puragabaya yang gila dan membahayakan itu (siapakah nama
puragabaya itu"). Sang Prabu sungguh-sungguh sangat
berkenan, dan engkau telah mengangkat kehormatan keluarga
kita di mata beliau. Berulang-ulang beliau berkunjung
kepadaku, hanya untuk memperbincangkan engkau. Terakhir
beliau menawarkan apakah kau bersedia menjadi pengawal
pribadi beliau. Anakku, ini suatu kehormatan dan kemuliaan
bagimu dan bagi seluruh keluarga kita. Kukirimkan pula surat
kepada Ibunda dan Ayunda di rumah. Mereka pasti akan
berbahagia mendengar beritayang menggembirakan itu.
Anakku, pikirkanlah baik-baik tawaran sang Prabu yang
sangat jarang terjadi bagipuragabaya-puragabayayang masih
muda dan masih belum banyak pengalaman seperti engkau.
Sekian dulu, ayahmu sangat sibuk tapi sangat bergembira,
Anggadipati. Pangeran Muda tidak tahu, perasaan apa yang tergerak
dalam hatinya setelah membaca surat itu. Yang disadari
hanyalah, bahwa tangannya yang memegang kotak lontar itu
gemetar, walaupun malam sekali-sekali tidak dingin. Pangeran
Muda memasukkan kotak lontar itu ke dalam kantong pelana,
dan setelah menitipkan kendali si Bulan pada Mang Ogel,
berangkatlah Pangeran Muda seorang diri, berjalan menuju
bayangan benteng kota yang kelam itu.
SETELAH memanjati benteng lapisan luar, Pangeran Muda
melompati beberapa benteng lain, dan setelah meluncur pada
sebatang pohon, tibalah dekat jendela kamar Putri Yuta Inten.
Akan tetapi, seluruh ruangan dalam rumah besar itu gelap
belaka. Pangeran Muda mengendap-endap di lorong.
Semuanya sunyi. Maka Pangeran Muda pun kembali
memanjati benteng, dan setelah melewati beberapa atap
rumah, tibalah di atas benteng yang melingkari lapangan kota.
Ternyata seluruh penduduk kota berkumpul di sana. Di antara
mereka, di suatu tempat yang dimuliakan, tampaklah seluruh
keluarga Banyak Citra. Laki-lakinya berpakaian perang, sedang
wanita-wanitanya berpakaian perkabungan.
Di tengah-tengah lapangan kota dinyalakan api unggun
yang sangat besar. Apinya berkobar-kobar menerangi seluruh
lapangan. Pada suatu saat, majulah seorang bangsawan muda
ke depan, sedang bangsawan-bangsawan muda lain berdiri di
belakangnya. Bangsawan muda itu mengacungkan tangan
kanannya, lalu berseru, "Demi kehormatan keluarga Banyak
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Citra dan warga kota Medang, kami bertekad untuk membalas
dendam dan membunuh pembunuh sahabat kami, Jante
Jaluwuyung. Kami akan meminum darahnya, memakan
hatinya, dan menyerahkan bangkainya pada anjing. Semoga
tekad kami direstui Sang Hiang Tunggal, Maha Penghukum,
Maha adil."
Ucapan itu diikuti oleh ucapan bangsawan-bangsawan dan
pemuda-pemuda lain yang berkumpul mengelilingi api unggun
besar itu. Setelah ikrar diucapkan, Banyak Sumba, adik lakilaki
Putri Yuta Inten maju, ia mencabut sebuah senjata dari
pinggangnya, lalu melemparkannya ke dalam api yang
menyala. Pangeran Muda ingat badik kecil bergagang gading
yang pernah dihadiahkan kepada anak itu. Pangeran Muda
merasa tertusuk melihat pemandangan yang menyatakan
kekerasan hati seorang anak yang masih kecil itu. Akan tetapi,
pemandangan yang lebih meremukkan kalbunya segera
menyusul. Setelah ragu-ragu, Yuta Inten, berjalan ke depan,
ayahnya tegak seperti patung, tidak melihat kepadanya, tetapi
kebisuannya seolah-olah memesona seluruh hadirin untuk
melakukan hal-hal yang memperlihatkan bahwa mereka
berdiri di pihak laki-laki yang keras itu untuk membalas
dendam kepada Pangeran Muda. Setelah beberapa lama
berdiri di dekat api yang berkobar-kobar itu, Putri Yuta Inten
melepaskan kedua gelang yang dipakainya, subangnya, dan
kalungnya, lalu tusuk konde, yang kesemuanya merupakan
hadiah dari Pangeran Muda. Benda-benda yang sangat
berharga itu dilemparkan ke dalam api. Kemudian gadis itu
jatuh terduduk, dan dipapah kembali ke tempat keluarga
mereka oleh emban. Melihat pemandangan itu, hampir jatuh
Pangeran Muda dari atas benteng.
Pemandangan-pemandangan yang tidak kurang fasihnya
dalam mengucapkan tekad membalas dendam dan kebencian
diperlihatkan berturut-turut. Pangeran Muda tidak dapat
melihat pemandangan-pemandangan seperti itu lebih lama
lagi. Ia merangkak, lalu terbaring di dalam lekuk benteng yang
gelap. Ketika segalanya sudah sunyi dan dari arah lapangan
itu tidak terdengar lagi teriakan-teriakan, Pangeran Muda
bangkit, lalu merangkak ke arah kaputren, menuju ruangan
Putri Yuta Inten. Setiba di sana dilihatnya jendela tertutup,
walaupun di dalam ruangan tampak cahaya remang-remang.
Pangeran Muda menyelinap, lalu membuka jendela itu dengan
hati-hati, kemudian meloncat ke dalam.
Putri Yuta Inten dengan pakaian berkabung yang belum
ditanggalkannya berdiri, dan dengan jeritan yang tercekik
berseru, "Pembunuh!"
Sambil berseru-seru demikian, gadis itu tiba-tiba tampak
memegang sebilah badik dan menghambur menyerang
Pangeran Muda. Melihat pemandangan itu, Pangeran Muda
seperti membeku, tidak dapat bergerak, tidak dapat
menghindar. Akan tetapi, ketika badik itu sudah diangkat dan
hendak ditusukkan ke dadanya, tiba-tiba Putri Yuta Inten
berhenti. Ia tertegun, kemudian melemparkan badik itu, dan
merangkul Pangeran Muda sambil menangis tersedu-sedu.
"Mengapa Pangeran Muda datang ke sini, apakah untuk
membuat anak itu menjadi gila karenanya?" tanya emban
sambil memandang dengan tajam ke wajah Pangeran Muda.
"Kakak anak ini telah dibunuh, adiknya hendak disiksa pula.
Pergilah, sebelum kaum laki-laki keluarga Banyak Citra
datang," kata emban tua itu mengancam.
Mendengar ancaman itu, Putri Yuta Inten melepaskan
pelukannya, lalu berseru, "Pergi!" seraya matanya
memandang kepada Pangeran Muda dengan kebencian.
Tak ada pukulan yang lebih keras dari pandangan mata
yang tajam dan penuh kebencian itu. Pangeran Muda
sungguh-sungguh terguncang, dan dengan gontai dan tetap
memandang gadis itu, ia mengundurkan diri dari arah jendela.
Akan tetapi, ketika ia hendak melompat ke luar, Putri Yuta
Inten mengejarnya, lalu merangkulnya, memegang lehernya
dan menyurukkan mukanya yang basah oleh air mata ke muka
Pangeran Muda. Lalu gadis itu menangis tersedu-sedu dengan keras.
Setelah agak tenang, Pangeran Muda mulai menjelaskan
segalanya, dari sejak kecurigaannya kepada jante hingga
peristiwa yang menyedihkan itu. Berulang-ulang Pangeran
Muda menyatakan, "Mungkinkah orang yang seperti Kakanda
membunuh sahabatnya, calon iparnya, kakak gadis yang
dicintainya demi kehormatan keluarga Anggadipati" Apakah
artinya kehormatan, artinya kebanggaan dan harga diri, kalau
yang dikejar dalam hidup ini adalah kebahagiaan dan
kesejahteraan bersama yang hanya dicapai dengan kasih
sayang?" Gadis itu menjadi reda dan setelah itu Pangeran Muda
menegaskan bahwa apa yang terjadi adalah suatu kecelakaan,
suatu nasib buruk yang bukan saja menimpa dirinya, akan
tetapi menimpa seluruh seluruh kepuragabayaan dan
kerajaan. Di sela-sela sedunya pada suatu saat gadis itu
berkata, "Untuk tidak harus kawin dengan bangsawan lain,
Adinda sudah berjanji pada Ayahanda bahwa Adinda tidak
akan kawin seumur hidup dan akan menjadi pendeta wanita
sebagai tanda duka cita karena kematian Kakanda
Jaluwuyung."
"Engkau berjanji ketika hatimu sedang terguncang. Engkau
harus menarik janji itu kembali. Kalau tidak, Kakanda pun
berjanji tidak akan kawin untuk selama-lamanya dan akan
menjadi pendeta, sebagai dukacita Kakanda karena kematian
Jaluwuyung yang Kakanda sayangi."
Gadis itu tidak berkata apa-apa. Ia mengeratkan
pelukannya. Sementara itu, di luar terdengar langkah para
gulang-gulang. Emban berbisik pada Pangeran Muda, "Untuk tidak
memperjelek keadaan, pergilah segera dari sini. Biarkanlah
Yuta Inten-beristirahat. Cepatlah meninggalkan kota Medang
karena kaum laki-laki bertekad membunuhmu."
Pangeran Muda pamitan kepada Putri Yuta Inten yang
kemudian menangis kembali dan mempererat rangkulannya.
"Marilah kita berpisah, dan berdoa kepada Sunan Ambu
serta Sang Hiang Tunggal yang akan memberikan petunjuk
kepada kita, apakah kita akan bertemu lagi atau tidak.
Sekarang hari sudah larut, tidurlah karena kau kelelahan.
Kakanda terpaksa meninggalkanmu, para gulang-gulang
menjaga kaputren semakin ketat," demikian ujar Pangeran
Muda yang menyadari, langkah-langkah makin banyak
terdengar di sekitar kaputren itu.
SEPANJANG malam itu. Pangeran Muda dengan Mang Ogel
berkuda menuju Padepokan Tajimalela. Ketika keesokan
harinya matahari terbit mereka tiba di persimpangan yang
menuju ke Padepokan Tajimalela dan Kutabarang. Di atas
sebuah bukit yang menghadap ke arah persimpangan itu
mereka beristirahat.
Waktu Pangeran Muda berdiri melihat pemandangan pagi
ke segala arah, dari jauh tampaklah tiga orang penunggang
kuda. Mang Ogel bangkit, ikut melihat ke arah ketika
penunggang kuda yang mengambil jalan menuju ke
Padepokan Tajimalela. Makin dekat makin jelas juga ketiga
penunggang kuda itu. Akhirnya, Pangeran Muda mengenal
dua orang di antara mereka, yaitu Pamanda Minda dan Si
Rawing, badega padepokan.
"Mang Ogel, ternyata kita mendapat kawan pulang," kata
Pangeran Muda. Mang Ogel segera mendekati kudanya,
hendak menyusul orang-orang dari padepokan itu.
"Nanti dulu, Mang," ujar Pangeran Muda. "Kita akan
menyusulnya nanti, setelah kuda-kuda kita beristirahat."
Mang Ogel berjalan dan berdiri di samping Pangeran Muda,
memandangi rombongan Pamanda Minda yang lewat di bawah
mereka. "Calon baru!" kata Mang Ogel sambil memandang ke-arah
seorang anak muda sekira umur tiga belas atau empat belas
tahun. Dari pakaian dan sikapnya yang anggun di alas
kudanya yang tampan, jelas bahwa anak itu adalah putra
salah seorang bangsawan Pajajaran.
Pangeran Muda memandangi anak itu dengan perasaan
yang bercampur baur. Apakah yang akan dihadapi oleh anak
yang sekarang masih muda itu" Sadarkah anak yang masih
muda itu kemungkinan-kemungkinan yang begitu banyak,
tentang suka-duka yang harus dihadapinya" Sadarkah ia
bahwa menjadi seorang puragabaya berarti tidak memiliki diri
sendiri dan menyerahkannya demi kepentingan kerajaan"
Segala pengalaman Pangeran Muda sendiri terkenang kembali,
semenjak latihan-latihan perkelahian dengan berandalan
hukuman, lembah tengkorak, rawa siluman, Ki Monyet Putih,
Janur, Jante, dan Yuta Inten. Mungkinkah anak yang sekarang
tidak tahu apa-apa yang nanti akan menghadapi pengalamanpengalaman
yang dialaminya sendiri"
Sambil memandang ke arah calon itu, hati Pangeran Muda
dipenuhi pula oleh perasaan-perasaan yang tidak dapai
diberinya batasan. Ia termenung sambil tersenyum
memandang anak itu, tetapi dengan tidak disadarinya, kelopak
matanya digenangi airmata.
"Anom, mereka terlalu jauh nanti," ujar Mang Ogel.
Pangeran Muda bergerak dan melompati si Bulan.
"Ha!" seru Mang Ogel kepada kudanya. "Ha! Ha!" katanya
pula keras-keras sementara mereka mengejar rombongan
Pamanda Minda. Debu jalan yang menuju Padepokan
Tajimalela itu mengepul ke udara dari bawah ladam kuda
mereka. "Ha! Ha!" seru Mang Ogel, makin lama suaranya makin
jauh dan akhirnya tidak terdengar. Rombongan yang telah
'bersatu itu kemudian lenyap dari pandangan karena
membelok di suatu tempat di dalam hutan. Debu-debu
kembali jatuh di atas jalan yang sekarang lengang dan sunyi,
di bawah matahari pagi Pajajaran.
SELESAI Glosarium Badega: orang yang berkedudukan sedikit lebih tinggi dari
pelayan Barangbang semplak. pelepah daun kelapa jatuh (model/
cara memakai ikat kepala)
Baros: dewan yang terdiri dari para orang tua, bertugas
mengadili perkara
Bujangga: lelaki tampan di kahyangan atau Buana Padang
yang bertugas mengabdi kepada Sunan Ambu, dewi tertinggi
dalam mitologi Sunda Kuno
Gendewa: busur panah Gulang-gulang: prajurit Guriang:
dewa Lawang kori: pintu gerbang Ngelindur: mengigau
Nyakseni: mengamini
Panakawan: pembantu
Pengwidangan: kayu berbentuk cincin yang dipakai untuk
merentang kain saat dibordir
Pisau pangot: pisau kecil yang biasa digunakan untuk
menulis dengan cara menggoreskannya di atas daun lontar
Pohaci: wanita cantik di kahyangan seperti bujangga
Seja nyaba ngalalana, ngitung lemur ngajajah, mi-langan
kor i: Niat pergi mengembara, menghitung kampung,
merambah bilangan kori
Suwargi: almarhum
Terangko: ruang tahanan
Baca kisah selanjutnya di buku kedua
Raden Banyak Sumba
Banyak Sumba, putra laki-laki kedua dari wangsa Banyak
Citra yang berkuasa di Medang, berdiri di atas benteng. Dia
memperhatikan lapangan kecil di luar benteng. Di sana anakanak
yang lebih muda darinya sedang bermain-main. Matanya
yang berkilat dan hitam kelam itu, memandang dengan penuh
kerinduan dan hasrat untuk ikut bermain-main, berlari-lari,
bersorak-sorak dengan mereka. Akan tetapi, sesuatu dalam
dirinya menahan kehendak itu.
Setelah kematian kakaknya, Jante Jaluwuyung, keluarganya
telah bertekad untuk membalaskan dendam. Sebagai putra
tertua wangsa Banyak Citra, sudah menjadi kewajibannya
untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada cita-cita
keluarganya, yaitu membunuh Anggadipati.
Akan tetapi, untuk menandingi kesaktian Pangeran
Anggadipati, bukanlah hal yang mudah. Banyak Sumba harus
bekerja keras meningkatkan kemampuannya, berguru pada
banyak orang, melewati belantara lebat dan tebing curam
untuk mengasah keuletan tubuhnya.
-ooo00dw00oooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
SERI KESATRIA HUTAN LARANGAN
~ Bara Dendam Menuntut Balas ~
Karya : Saini KM
Sbook Oleh Manise di Dimhad Website
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://
http://dewikz.byethost22.com/
Synopsis : Banyak Sumba mendidih darahnya setiap kali mengingat
orang yang telah membunuh kakaknya, Jante Jaluwuyung.
Kematian tragis kakaknya itu telah menanamkan kesumat di
dadanya untuk membalaskan dendam. Bahkan dia rela
meninggalkan Emas Purbamanik, kekasih yang ditemuinya di
atas benteng puri Purbawasesa.
Akan tetapi, jalan yang akan dilaluinya tidaklah mudah.
Untuk menandingi kesaktian Pangeran Anggadipati, Banyak
Sumba harus bekerja keras meningkatkan
kemampuannya.Guru demi guru dia timba ilmunya. Belantara
demi belantara dia jelajah untuk mengasah keuletan
tubuhnya. Ketika kesempatan untuk menuntaskan dendamnya tiba,
mendadak Banyak Sumba diserang keraguan. Benarkah
puragabaya santun di hadapannya itu seorang pembunuh
keji" Haruskah dia membalas kejahatan Pangeran Anggadipati
dengan tindakan yang sama kejinya"
Komentar : "Sebuah eksplorasi yang mengejutkan." "Langit Kresna
Hariadi, penulis novel sejarah
"Karya Saini K.M. ini memiliki orisinalitasnya sendiri." "
Jakob Sumardjo, akademisi dan pengamat sastra
"Saya merasakan adanya penceritaan yang mengalir
tenang, sabar,dan matang yang pada gilirannya menjelma
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kejernihan." "Seno Gumira Adjidarma, penulis dan jurnalis
Data Singkat Pengarang :
Saini K.M. dilahirkan di Sumedang pada 16 Juni 1938.
la merupakan salah satu pemrakarsa berdirinya Jurusan
Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, la
pernah memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ), sayembara yang diadakan oleh Direktorat Kesenian
Depdikbud, penghargaan sastra dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Anugerah Sastra dari Yayasan Forum
Sastra Bandung pada 1995, dan penghargaan SEA Write
Award pada 2001.
Data Katalog Buku :
RADEN BANYAK SUMBA
Karya : Saini KM
Cetakan Pertama, Agustus 2008
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain Sampul : Andreas Kusumahadi
Pemeriksa aksara: Wiennie Modya Noer
Penata aksara: Yan Webe
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Anggota IKAPI (PT Bentang Pustaka)
Kantor Pusat Jin. Pandega Padma 19, Yogyakarta 55284 Telp. (0274)
517373 Faks. (0274) 541441 E-mail:
bentangpustaka@yahoo.com http://www.mizan.com
Perwakilan Jakarta Jin. Puri Mutiara II No. 7 (Jeruk PurutCipete) Cilandak Barat Jakarta Selatan 12430 Telp. (021)
7500895 - Faks. (021) 7500895
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Saini
K.M. Raden Banyak Sumba/Saini K.M.; penyunting, Imam
Risdiyanto"Yogyakarta: Bentang, 2008. viii + 358 hlm; 20,5
cm ISBN 978-979-1227-29-2
I.Judul. II. Imam Risdiyanto.
813 Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama
Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung,
Bandung 40294 Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288 Email:
mizanmu@bdg.centrin.net.id
Daftar Isi Bab 1 Gerhana ~1
Bab 2 Huru-hara ~38
Bab 3 Meniup Bara ~72
Bab 4 Pengembara ~119
Bab 5 Nyai Emas Purbamanik "163
Bab 6 Si Gojin -299
Bab 1 Gerhana Banyak Sumba, putra laki-laki kedua wangsa Banyak Citra
yang berkuasa di Medang, berdiri di atas benteng. Ia seorang
anak yang tampan, bertubuh semampai, berkulit kehitamhitaman,
dan bersih. Ketika itu, umurnya hampir tiga belas
tahun, walaupun orang akan menyangka ia sedikitnya
berumur lima belas tahun, karena tubuhnya yang tinggi dan
besar. Banyak Sumba memerhatikan lapangan kecil di luar
benteng. Di sana, banyak anak yang lebih muda daripada dia
sedang bermain-main. Matanya yang berkilat dan hitam
kelam, memandang dengan penuh kerinduan dan hasrat
untuk ikut bermain-main, berlari-lari, dan bersorak-sorak
dengan mereka Akan tetapi, sesuatu dalam dirinya menahan
kehendak itu. Ia berdiri saja di atas benteng sambil
memerhatikan mereka
Ia sering merindukan masa kecilnya, ketika ia berumur
delapan atau sembilan tahun. Ketika itu, ia dapat berlari-lari
dengan bebas di lapangan di bawah bayang-bayang benteng.
Akan tetapi, ia sering berpikir, alangkah tololnya anak-anak
kecil itu. Mereka kadang-kadang berkelahi sampai luka untuk
suatu mainan, sepotong kayu, atau sebuah batu. Alangkah
menyenangkan masa kanak-kanak, tapi alangkah menggelikan
dan tolol pula, pikirnya. Jelas baginya, ia tidak mungkin lagi
dapat bermain dengan anak-anak kecil itu. Bukan saja ia
sudah terlalu tinggi dan terlalu besar, melainkan permainan
anak-anak itu walaupun menyenangkan sebenarnya tidak ada
artinya. Ia sudah besar. Akan tetapi, ia tidak dapat bergaul dengan
para jagabaya dan para gulang-gulang. Mereka terlalu tinggi
dan terlalu besar. Selain itu, percakapan mereka banyak yang
tidak dapat ia mengerti. Walaupun ingin sekali ikut bercakapcakap
dengan mereka, ia tidak merasa betah berada di antara
mereka. Ia sering merasa seperti seorang asing di tengahtengah
mereka itu. Itulah sebabnya, ia berdiri di atas benteng
itu, menjauh dari mereka. Itu pula sebabnya, ia lebih banyak
termenung daripada bergaul. Banyak Sumba gelisah. Kadangkadang,
pikirannya mengembara ke penjuru Buana
Pancatengah. Kadang-kadang, perasaannya kelam tanpa
alasan. Kadang-kadang, ia gembira tanpa diketahui apa
sebabnya. Kadang-kadang, ia ingin bergerak, menaiki kuda,
dan memacunya seperti dikejar maut; tetapi ia lebih sering
menutup diri di dalam bilik, membaca buku-buku kenegaraan,
atau duduk depan tingkap sambil melamun. Kalau tidak
begitu, ia berjalan-jalan di lorong-lorong istana, dan setiap ada
orang, ia segera membelok, menghindarkan diri.
Hal yang paling dihindarinya adalah gadis-gadis atau putriputri
bangsawan yang tinggal di Puri Banyak Citra.
Gadis-gadis itu, terutama yang sebaya dengan dia,
sekarang sering menyebabkan ia gugup. Kalau menegur
mereka, ia sering mendengar suaranya gemetar. Kalau
mereka yang menegur, alangkah kikuknya jawaban yang dia
berikan. Sering sekali darahnya naik ke muka dan
memanaskan daun telinganya, kalau ia kebetulan bertemu
dengan gadis-gadis di lorong-lorong istana. Kalau gadis-gadis
itu tertawa di belakangnya, dia merasa mereka
menertawakannya dan panaslah kulit mukanya. Itulah
sebabnya, ia menghindari mereka, tidak pernah lewat lorong
istana tempat gadis-gadis biasa berkumpul.
Sebaliknya, kalau ia sedang di dalam biliknya, suara atau
tawa mereka sering menyebabkan ia berlari ke arah tingkap.
Ia senang memerhatikan gadis-gadis itu sembunyi-sembunyi.
Ini tidak pernah dilakukan sebelumnya karena gadis-gadis itu
makhluk biasa saja, walaupun berbeda dengan kawankawannya
yang laki-laki. Akan tetapi, sekarang gadis-gadis itu,
pada satu pihak menimbulkan kegugupan sehingga
dihindarinya, pada lain pihak menarik perhatiannya, dan ia
suka mengintip mereka.
Dulu, wajah dan tubuh gadis-gadis itu tidaklah menarik
perhatiannya meskipun berbeda dengan laki-laki. Sekarang, ia
mulai sangat peka terhadap perbedaan itu. Bukan rupa
mereka saja, gerak-gerik serta tingkah laku mereka pun
menjadi perhatiannya. Sekarang, gadis-gadis itu, walaupun
penuh rahasia, sering menimbulkan gairah yang aneh dalam
hatinya. Ketika sedang mengintip dari biliknya, ia sering sekali
ingin menyentuh mereka, terutama seorang di antara mereka,
Teja Mayang. Kalau gadis itu sedang ikut membantu Ayunda Yuta Inten
menyulam atau menenun di kaputren, Banyak Sumba sering
menyelinap dan masuk salah satu kamar yang tingkapnya bcrhadapan
dengan ruang tenun Ayunda Yuta Inten. Dari
sana, dari bilik tabir, Banyak Sumba memandangi gadis itu
tidak ada puasnya. Ia membelai-belai rambut dan leher gadis
itu dengan tangan khayalnya. Ia mencium bibir gadis itu
dengan segenap perasaannya, dari kejauhan. Kemudian, kalau
gadis itu sudah pulang, ia segera masuk biliknya, lalu
berbaring seraya khayalnya terbang dengan awan yang
berarak di luar tingkap.
Segala kegelisahan, kebimbangan, dan gairah-gairah aneh
yang menghuni perasaannya, tak urung memengaruhi tingkah
laku Banyak Sumba. Sering sekali ia tidak mendengar kalau
disapa Ibunda, Ayunda, bahkan oleh Ayahanda. Perintah
mereka dilakukan dengan tidak sewajarnya karena pikiran
Banyak Sumba terpecah. Tingkah lakunya yang kikuk tidak
pernah menyebabkan orangtuanya marah. Mereka bahkan
menertawakannya, terutama Ibunda dan Ayunda. Akan tetapi,
olok-olok mereka justru menambah kegugupannya serta
menyebabkan darahnya naik ke muka dan'memerahkan daun
telinganya. Bukan olok-olok mereka saja yang menyebabkan ia malu.
Setiap kali ia mendengar nama Teja Mayang disebut, mukanya
menjadi panas tanpa alasan. Hal ini menambah
kegugupannya, dan usahanya menyembunyikan warna
mukanya sering menyebabkan ia melakukan hal-hal yang lebih
menggelikan, bahkan menyebabkan dia marah terhadap
dirinya sendiri.
Seperti telah diduganya, Ayunda benar-benar dapat
menyelami apa yang sedang dialaminya. Pada suatu sore,
ketika Banyak Sumba berada di kaputren, tiba-tiba Ayunda
Yuta Inten sambil tersenyum nakal mengganggu dengan
berkata, "Sumba, Teja bertanya kepada Yunda, mengapa
engkau tidak pernah datang ke rumahnya lagi dan bermain
dengan Wisesa?"
Rangga Wisesa adalah kakak Teja Mayang, salah seorang
sahabat Banyak Sumba. Akan tetapi, Banyak Sumba tahu
bahwa persahabatannya dengan Rangga Wisesa tidak menjadi
perhatian Ayunda Yuta Inten. Ia sangat sadar bahwa Ayunda
hanya menggodanya dengan menyebut-nyebut Teja Mayang.
Bagaimanapun, pertanyaan kakak perempuannya itu harus
dijawab karena begitulah kaidah kesopanan. Dengan muka
memerah, Banyak Sumba berkata, "Ha... ha... hamba sibuk,
Yunda." "Bukankah hatimu selalu di rumah Rangga Wisesa
walaupun kausibuk?" tanya Yuta Inten sambil tersenyum.
Banyak Sumba tidak dapat membuka mulutnya. Untung
tiba-tiba gulang-gulang datang membawa panggilan
Ayahanda. Kesempatan ini dijadikannya dalih untuk tidak
menjawab pertanyaan Putri Yuta Inten yang sebenarnya olokolok
belaka. Banyak Sumba berjalan sepanjang lorong yang berbelitbelit,
menanjak, dan mendaki ke ruangan puri yang melekat
ke dinding benteng, tepat di bawah mercu penjagaan. Di
sanalah letak ruangan khusus Ayahanda Banyak Citra.
Ruangan itu cukup luas. Karena banyaknya kotak lontar yang
dikumpulkan Ayahanda, sukar membedakan ruangan itu dari
sebuah gudang. Walaupun demikian, suasana ruangan itu
jauh sekali dari suasana gudang. Kalau sebuah gudang tidak
memengaruhi suasana hati, ruangan Ayahanda memberikan
kesan angker dan murung
Ke arah ruangan itulah, untuk kesekian kalinya, Banyak
Sumba berjalan. Dua tangga sebelum lantai ruangan, Banyak
Sumba menanggalkan alas kakinya yang terbuat dari kulit
yang kasar. Lantai batu menyengatnya dengan rasa dingin
yang menusuk tulang. Bukan enggan melepaskan alas kaki itu,
melaiiik.in ih begini kenal waiak ayahandanya. Ayahanda
Banyak Citra tidak suka mendengar suara berisik, apalagi
kalau suara itu datang dari putra-putrinya. Itulah sebabnya,
Banyak Sumba cenderung memilih lantai batu yang dingin
daripada mengenakan alas kaki kulit yang kasar. Dengan kaki
telanjang, Banyak Sumba melangkah menuju pintu tertutup
ruangan khusus Ayahanda.
Makin dekat ke pintu, makin hening suasana. Seperti pada
masa kanak-kanak, perasaan takut menghinggapi hati Banyak
Sumba setiap kali berjalan menuju pintu ruangan itu.
Kemurkaan Ayahanda terhadapnya atau terhadap saudarasaudaranya
pada masa ia masih kecil, menanam rasa takut
dalam dirinya. Bagaimanapun, Ayahanda Banyak Citra seorang
bangsawan yang keras, apalagi terhadap putra-putri beliau.
Seandainya salah seorang di antara putra-putrinya gagal
melaksanakan asas-asas yang ditanamkan terhadap
keluarganya, Ayahanda Banyak Citra tidak pernah segansegan
memberi pelajaran dengan kekerasan. Masih terbayang
dalam ingatan Banyak Sumba ketika KakandaJaluwuyung
diikat pada dua tonggak dan dilecut seratus kali oleh gulanggulang
untuk suatu kesalahan terhadap tata kekeluargaan di
Puri Banyak Citra. Kenangan itulah yang tetap memburu
dalam hati Banyak Sumba. Kenangan itu pula yang
menyebabkan Banyak Sumba gemetar setiap kali menghadap
Ayahanda. Makin dekat ke pintu, Banyak Sumba makin melambatkan
langkahnya. Ketika tinggal beberapa langkah lagi dari pintu,
seorang gulang-gulang datang dari tempat yang kelam, dari
lorong kanan pintu. Gulang-gulang itu mengangguk, lalu
membuka pintu perlahan-lahan. Banyak Sumba melangkah ke
dalam ruangan, memijak permadani hijau tua yang menjadi
alas ruangan itu. Di antara tumpukan kotak lontar, di tengahtengah
ruangan, menyalalah sebuah lampu minyak kelapa
walaupun siang hari. Di tengah-tengah cahaya itu, Ayahanda
duduk di tikar sambil menulis dengan pisau pangot di atas
daun-daun lontar berwarna putih. Dengan tidak bersuara,
Banyak Sumba duduk di sudut, tidak jauh dari Ayahanda yang
sedang bekerja.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa
mengganggu Ayahanda bekerja adalah kesalahan besar. Ia
dapat dihukum karenanya. Oleh karena itu, ia tidak berbuat
lain kecuali menunggu, seperti yang biasa ia lakukan kalau ia
dipanggil menghadap. Ia pun tidak terlalu peduli berapa lama
harus menunggu karena kadang-kadang, hampir setengah
hari menunggu, tiba-tiba pembicaraan ditangguhkan. Banyak
Sumba sudah biasa menghadapi hal seperti itu. Ia pun duduk
dengan sabar sambil memerhatikan Ayahanda yang tekun
menulis. Dipandanginya wajah Ayahanda yang pucat di bawah sinar
lampu minyak kelapa. Laki-laki setengah baya itu kelihatan
lebih tua daripada umurnya. Rambutnya yang panjang dan
bergelung sudah bercampur dengan uban, sedangkan
wajahnya kurus dengan bibirnya yang tipis, dan punggungnya
agak bungkuk, punggung orang kurus yang telah begitu berat
menanggung beban penderitaan dalam kehidupannya. Rupa
Ayahanda yang dapat menimbulkan kasihan memberi kesan
tentang seorang laki-laki yang telah gagal dan diremukkan
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh kehidupan, kalau saja tidak ada bagian wajah lain yang
sangat menonjol. Hidung Ayahanda yang agak besar dan
melengkung bagai paruh elang menghilangkan kesan lemah
dari pribadinya. Hidung Ayahanda yang menonjol itu seolaholah
menantang kesan-kesan yang ditimbulkan oleh bagianbagian
wajah dan tubuh lainnya. Kesan yang diberikan hidung
itu demikian kuat, sehingga memberikan kesan menantang
dan dapat mengatasi segala kesukaran dan derita hidup. Di
samping itu, hidung itu memberi kesan ketangguhan seorang
bangsawan Pajajaran yang berani menyerahkan segalagalanya
untuk asas yang diperjuangkannya. Apalagi kalau
kesan hidung itu sudah berpadu dengan pandangan mata
Ayahanda Banyak Citra, pandangan sepasang mata hitam
kelam dan terletak dalam-dalam di tempatnya.
Kedua mata yang tajam itu sekarang terangkat,
memandang Banyak Sumba yang sejak tadi duduk di sudut
sambil memandangi Ayahanda yang sedang bekerja.
KETIKA Banyak Sumba menyadari bahwa Ayahanda
memandangnya, ia segera beringsut dari tempat duduknya,
lalu menghaturkan sembah. Ayahanda memberi isyarat agar ia
mendekat. Banyak Sumba pun maju, lalu duduk di lantai bertikar,
dekat tempat Ayahanda menulis. Banyak Sumba duduk
bersila, sedangkan wajahnya menunduk dan matanya
memandangi lukisan bunga-bunga dan daun-daunan pada
tikar. Akan tetapi, segala perhatiannya tercurah kepada
Ayahanda yang duduk di hadapannya.
"Sumba," kata Ayahanda. Suaranya seperti terlalu rendah
bagi orang tua yang berperawakan kecil itu. "Hamba,
Ayahanda," ujar Banyak Sumba. "Sekarang, engkau sudah
terlalu besar untuk bermain-main di luar benteng. Di samping
itu, engkau seorang anak dengan masa depan yang gemilang.
Engkau harus mempersiapkan diri. Maka, sejak hari ini, kita
akan punya acara tetap bersama-sama. Ayah akan menjadi
gurumu. Kita akan membaca buku-buku yang sebagian telah
kaubaca. Kita akan pergi berburu dengan para bangsawan.
Engkau akan belajar bertata krama, selain segala
kebijaksanaan dan pengetahuan dari abdi-abdi sang Prabu."
"Hamba, Ayahanda," ujar Banyak Sumba tanpa
mengangkat mukanya.
"Ingatlah, Anakku, wangsa Banyak Citra tidak pernah
kepalang tanggung dalam segala hal. Jikajadi perwira, ia
hanya memilih dua hal, mencapai kemenangan atau gugur.
Kalau jadi negarawan, ia hanya memilih dua hal, jadi
negarawan yang baik atau tidak memakai nama Banyak Citra
dan mengaku-aku ada hubungan darah dengan wangsa
Banyak Citra. Itulah yang diadatkan dalam wangsa Banyak
Citra," kata Ayahanda.
Entah sudah berapa kali Banyak Sumba mendengar
wejangan seperti itu dari Ayahanda. Wejangan itu akhirnya
menanamkan anggapan bahwa wangsa Banyak Citra adalah
wangsa luar biasa di antara wangsa-wangsa bangsawan Pajajaran.
Keluarbiasaan ini banyak contohnya. Ayahanda Banyak
Citra seorang bangsawan yang termasyhur karena Kota
Medang dapat menyumbangkan barisan jagabaya yang
tangguh, patuh, dan perwira. Dari Kota Medanglah penjagapenjaga
negara yang baik didatangkan. Mereka tersebar
hampir di seluruh perbatasan Pajajaran: ke daerah rawa-rawa
di utara, ke belantara di selatan, di tepi samudra tempat
bersemayam Ratu Siluman Laut, atau ke timur"tempat
pertempuran-pertempuran kecil terus-menerus terjadi dengan
kerajaan-kera-jaan tetangga di seberang Cipamali.
Nenekanda yang juga bernama Banyak Citra adalah
sahabat sang Prabu. Hal itu hanya mungkin berkat
kebijaksanaan serta pengetahuan beliau yang meluas dan
mendalam tentang berbagai masalah kenegaraan. Almarhum
Nenekanda adalah salah seorang di antara bangsawan wangsa
Banyak Citra yang dijadikan suri teladan oleh Banyak Sumba,
ipar-ipar, serta saudara-saudaranya.
Terakhir, Kakanda Jante Jaluwuyung. Kakanda Jante adalah
puragabaya yang tidak ada tandingannya. Setiap bangsawan,
baik yang datang dari Pajajaran maupun kota-kota lain
menyatakan hal itu. Bahkan, Pamanda Minda, salah seorang
guru dari Padepokan Tajimalela, secara tidak langsung
menyatakan hal itu ketika Banyak Sumba bertanya kepadanya.
Waktu itu, Pamanda Minda dari Padepokan Tajimalela
mengadakan perjalanan ke suatu tempat yang dirahasiakan di
perbatasan timur kerajaan. Pamanda Minda singgah di
Medang. Selain membawa pesan dari Kakanda Jante, beliau
pun perlu menginap semalam di Medang. Ketika itulah,
Banyak Sumba bertanya, "Pamanda, siapakah puragabaya
terbaik masa kini?"
"Kakakmu salah seorang yang paling tangguh," jawab
Pamanda Minda sambil mengusap Banyak Sumba yang baru
berumur sepuluh tahun.
"Bagaimana dengan yang lain" Apakah mereka kurang
hebat dan semua dikalahkan Kanda Jaluwuyung dalam
latihan?" Pamanda Minda tersenyum, lalu berkata, "Banyak yang
hebat, misalnya Ginggi, Girang, dan... Pangeran Anggadipati...
yang sekarang biasa dipanggil Anom. Mereka ini tidak
terkalahkan dalam latihan-latihan, kecuali oleh Pamanda
Rakean dan Pamanda Minda sebagai gurunya," lanjutnya
sambil tersenyum.
Semua yang telah dicapai oleh leluhur dan belakangan oleh
Kanda Jante Jaluwuyung, di satu pihak menumbuhkan rasa
bangga pada diri Banyak Sumba. Tetapi di lain pihak, itu
menjadi beban pula baginya. Sering dia bertanya pada diri
sendiri, apakah ia, Banyak Sumba, dapat menjadi anggota
wangsa Banyak Citra yang menonjol dan termasyhur di
Kerajaan Pajajaran" Pertanyaan itu menimbulkan kecemasan
dalam dirinya. Bagaimana kalau ia tidak menjadi orang yang
berarti di mata para bangsawan dan rakyat Pajajaran"
Bagaimana kalau mengecewakan Ayahanda Banyak Citra"
"Anakku, Banyak Sumbaaku yakin, engkau akan menjadi
orang yang benar-benar membawa sifat-sifat wangsa Banyak
Citra," demikian Ayahanda berkata, membangunkan Banyak
Sumba dari renungannya.
"Mudah-mudahan, Sang Hiang Tunggal merestui,
Ayahanda," ujar Banyak Sumba.
"Sekarang pergilah, ambillah perlengkapanmu. Suruh
gulang-gulang membawanya ke sini agar kau tidak harus
membungkuk saat membaca lontar-lontar ini," ujar Ayahanda
sambil melihat-lihat setumpukan peti lontar di samping beliau.
"Di tempat hamba ada sebuah peti besar yang biasa hamba
pergunakan. Bolehkah hamba menggunakannya di ruangan
ini?" "Cari yang lebih baik. Sekarang engkau sudah besar.
Engkau seorang bangsawan," kata Ayahanda pula.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia menyembah
dengan hormat, lalu mengundurkan diri.
KETIKA itu hari menuju senja, beribu-ribu keluang terbang
ke hutan-hutan yang kelam di sebelah barat. Banyak Sumba
berjalan menyusuri jalan di atas dinding benteng, menuju
bagian kaputren Puri Banyak Citra. Ia sengaja menyusur
benteng karena di sana obor-obor menyala terang. Sambil
berjalan di atas benteng, ia memandang ke sekeliling, ke
langit yang berangsur berubah warna, dari Jingga menjadi
merah tua. Beberapa orang gulang-gulang dan jagabaya yang
mendapat giliran jaga malam di atas benteng, menegurnya
dengan hormat. Banyak Sumba menyahut dengan hormat
pula, sesuai dengan kedudukannya sebagai putra penguasa
Kota Medang. Ketika Banyak Sumba melayangkan pandangannya ke
perhumaan dan gundukan-gundukan kampung yang tersebar
di sebelah barat Kota Medang, di antara kelap-kelip cahaya
obor yang tampak dari jauh, tampaklah tiga buah obor besar
yang bergerak dengan cepat ke arah kota. Ketika Banyak
Sumba menajamkan pandangannya menembus remang senja,
terlihat tiga buah obor besar itu bergerak sepanjang jalan
besar yang menuju gerbang Kota Medang.
Aneh, ketika melihat ada orang yang tergesa-gesa menuju
kota pada waktu senja seperti itu, jantungnya seolah-olah
terhenti. Entah apa sebabnya, hatinya tiba-tiba cemas, kalaukalau
para pendatang itu membawa berita yang tidak
dikehendaki. Akan tetapi, kecemasan yang tidak masuk akal
itu segera diusir dari pikirannya. Ia mulai memerhatikan para
penunggang kuda yang mendekat dengan obor berkobarkobar.
Di belakang pembawa obor itu, kira-kira sepuluh
penunggang kuda memacu kuda mereka dengan cepat sekali.
"Paman," kata Banyak Sumba kepada seorang gulanggulang
yang juga memandang ke arah para pendatang yang
makin lama makin dekat, "tampaknya para penunggang kuda
itu bangsawan. Saya melihat pakaian kuda mereka
gemerlapan di bawah obor itu."
"Matamu tajam sekali, Raden," kata gulang-gulang, "Paman
tidak dapat melihat pakaian kuda dari tempat ini."
"Lihat, mereka bangsawan," kata Banyak Sumba sambil
menunjuk ke arah para pendatang yang makin dekat.
Memang, dari kuda yang berpakaian gemerlap, orang dapat
menduga bahwa rombongan tamu Kota Medang itu para
bangsawan dengan para pengiringnya.
"Ya, jelas sekarang, mereka orang-orang besar," kata
gulang-gulang itu, "tapi ada urusan penting apa malam-malam
mereka memacu kuda ke sini?"
Pertanyaan itu mengembalikan rasa cemas yang aneh
dalam diri Banyak Sumba. Ya, ada urusan apa rombongan itu
datang malam-malam secara tergesa-gesa" Sambil
merenungkan pertanyaan itu, Banyak Sumba terus berjalan,
kemudian menuruni tangga yang diterangi obor dari tangan
gulang-gulang yang mengantarnya. Setelah berada di bawah
benteng yang terang benderang oleh lampu-lampu minyak
kelapa, ia berjalan tergesa ke ruangan besar di kaputren. Di
sana, Ayunda Yuta Inten sedang menyulam dikelilingi putriputri
bangsawan yang juga sedang menjahit atau menyulam.
"Biasanya, engkau tidak suka datang ke tempat gadisgadis,
Sumba. Ada apa?" tanya Yuta Inten.
"Hamba perlu kotak, Yunda. Ayahanda memerintahkan
agar hamba membawanya ke ruangan beliau."
"Baiklah, pilih salah satu di ruangan kanan. Suruhlah
seorang gulang-gulang membawanya. Jangan ambil jalan
memotong, lebih baik lewat benteng supaya terang."
"Ya, hamba pun lewat benteng waktu kemari," ujar Banyak
Sumba. Tiba-tiba, ia ingat bangsawan-bangsawan berkuda itu. Ia
tertegun sebentar di ambang ruangan besar sebelah kanan,
tempat gadis-gadis menyulam. Ia berpaling kepada Putri Yuta
Inten, lalu berkata, "Ayunda, hamba melihat serombongan
bangsawan penunggang kuda menuju gerbang kota. Mungkin
para tamu kita."
Yuta Inten tegak dari duduknya dan dengan penuh
penasaran bertanya, "Sumba, apakah kau melihat salah
seorang di antara mereka berkuda putih?" sambil bertanya
demikian, sulaman di tangan Putri Yuta Inten jatuh dari
pangkuannya. "Ayunda, hari terlalu gelap dan hamba tidak memerhaT
tikannya," jawab Banyak Sumba. Keinginan hendak menggoda
Ayunda Yuta Inten terbit dalam hatinya.
Ayunda Yuta Inten sudah bertunangan dengan Pangeran
Anggadipati, sahabat seperguruan Kakanda Jante Jalawuyung.
Banyak Sumba beranggapan bahwa gadis yang jatuh cinta itu
seolah-olah kembali menjadi anak kecil. Ya, anak kecil yang
dapat mainan baru. Begitulah sekurang-kurangnya Ayunda
Yuta Inten di mata Banyak Sumba waktu itu. Gadis itu tidak
dapat melepaskan segala pikiran dari tunangannya. Segala
tingkah lakunya seolah-olah ditujukan kepada tunangannya
yang berada di Pakuan. Ayunda Yuta Inten bersolek,
menyulam, bernyanyi kecil, dan belajar menari; semuanya itu
ditujukan kepada Pangeran Anggadipati. Demikian juga segala
percakapan Ayunda, apa pun yang menjadi bahan
pembicaraannya dan siapa pun yang diajaknya bicara, baik
gadis-gadis bangsawan maupun Banyak Sumba, akhir
percakapan akan kembali kepada Pangeran Anggadipati.
Alangkah anehnya seorang gadis, walaupun gadis itu
kakaknya sendiri, demikian anggapan Banyak Sumba. Karena
keanehan itu, ia senang menggoda Ayunda Yuta Inten.
Ditambah pula, Ayunda Yuta Inten suka menggodanya. Itulah
sebabnya, Banyak Sumba tidak berterus terang kepada Putri
Yuta Inten bahwa dia tidak melihat kuda putih, kuda yang
biasa ditunggangi para pura-gabaya.
Karena Banyak Sumba tidak memberikan jawaban pasti
tentang warna kuda tamu-tamu yang datang, timbullah
harapan Yuta Inten untuk dapat bertemu dengan kekasihnya.
Ia bangkit dari atas tikar tempat duduknya, lalu berjalan ke
arah Banyak Sumba yang berdiri di ambang pintu.
"Sumba, walaupun gelap, bulu kuda putih dapat kaulihat.
Apakah secara samar-samar tidak kaulihat kuda putih?"
"Hamba tidak yakin, Ayunda, tapi mungkin saja ada kuda
putih," jawab Banyak Sumba.
"Kaulihat warna putih berkelebat dalam gelap?"
"Mungkin saja, Ayunda, tetapi mungkin yang putih pakaian
penunggangnya," jawabnya.
"Sumba! Kaulihat penunggang kuda itu berpakaian putih"
Tahukah engkau bahwa puragabaya itu berpakaian putih di
balik pakaian malamnya yang hitam" Sumba, kaulihat...
kaulihat?" Putri Yuta Inten tidak melanjutkan perkataannya.
Gadis itu segera melangkah menuju gadis-gadis lain,
kemudian mereka memasuki ruangan lain dengan tergesa.
Banyak Sumba tersenyum ketika membayangkan Ayunda Yuta
Inten akan bersolek dibantu gadis-gadis itu. Sungguh, gadis
yang sedang diamuk rindu itu mudah sekali ditipu atau menipu
dirinya sendiri, pikir Banyak Sumba seraya memasuki ruangan
lain. Setelah kotak itu ditemukan, Banyak Sumba memanggil
seorang gulang-gulang. Gulang-gulang itu disuruhnya
mengangkat kotak dan membawanya ke ruangan Ayahanda
membaca atau menulis. Banyak Sumba berjalan mengiringkan
gulang-gulang menuju kamar Ayahanda yang sejak malam itu
menjadi tempat dia belajar tentang kenegaraan.
"Wah, Raden sudah boleh belajar di ruangan Ayahanda.
Sebentar lagi, Kota Medang mengirimkan calon menteri kerajaan
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke Pakuan Pajajaran," kata gulang-gulang itu sambil
mengerling kepada Banyak Sumba di dalam gelap senja?
"Oh, begitu?" ujar Banyak Sumba menjawab kelakar
gulang-gulang itu dengan pura-pura tak acuh.
"Raden, kalau nanti pergi ke Pakuan Pajajaran untuk
menduduki jabatan menteri kerajaan, bawalah Emang sebagai
salah seorang yang mengantarmu. Ingin sekali Emang melihat
keramaian ibu kota Pakuan yang begitu banyak diceritakan
dan dikagumi orang."
"Apakah Emang yakin,- saya akan jadi menteri kerajaan?"
tanya Banyak Sumba, masih juga tak acuh.
"Mengapa tidak" Raden Jaluwuyung telah menjadi
puragabaya paling hebat, sesuai dengan rencana Ayahanda.
Dan Raden Sumba direncanakan menjadi menteri kerajaan
dari keluarga Banyak Citra ini. Apa yang tidak mungkin bagi
Ayahanda" Beliau akan mendidikmu menjadi menteri paling
hebat." Banyak Sumba mengangkat bahunya. Ia tidak tahu apa
yang harus dikatakannya. Menjadi menteri atau tidak menjadi
menteri bukan soal besar baginya. Ia tidak tahu apakah
menjadi menteri itu menyenangkan atau tidak. Akan tetapi,
kalau hal itu akan menyenangkan Ayahanda, tentu saja ia
harus berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai cita-cita itu.
Bagaimanapun, Banyak Sumba mengetahui bahwa Ayahanda
bukanlah orang yang dapat ditentang kehendaknya. Lagi pula,
seorang anak tidak boleh menentang orangtuanya.
Demikianlah pelajaran yang diterimanya. Demikian pula yang
diketahuinya dari pengalaman. Kakanda Jaluwuyung sering
sekali menjadi korban kemurkaan Ayahanda karena mencoba
menentang kehendaknya. Itulah sebabnya ia merasa tidak ada
pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak Ayahanda. Ia pun
yakin, kehendak Ayahanda tidak akan membawanya ke arah
yang buruk. Sementara termenung demikian, mereka sudah sampai di
depan ruangan Ayahanda. Banyak Sumba mendahului gulanggulang
yang membawa kotak itu, lalu membukakan pintu
perlahan-lahan. Gulang-gulang itu masuk, lalu meletakkan
kotak di tempat yang diisyaratkan Banyak Sumba. Setelah itu,
gulang-gulang menyembah ke arah Ayahanda yang tidak
mengangkat muka dari tumpukan lontar yang ada di
hadapannya. Setelah gulang-gulang itu keluar, Banyak Sumba
mulai duduk menghadapi kotaknya. Ia duduk bersila di atas
permadani, memandangi ayahandanya.
Tak lama kemudian, Ayahanda bangkit. Dengan dua buah
kotak lontar di tangan, beliau berjalan ke arahnya. Ayahanda
Banyak Citra membungkuk, meletakkan kedua buah lontar itu
di atas meja Banyak Sumba. Bau cendana yang harum terisap
oleh Banyak Sumba. Tentu kotak lontar itu terbuat dari kayu
yang mahal dan isi kotak itu merupakan naskah-naskah
tentang ilmu-ilmu mulia. Makin yakin Banyak Sumba bahwa ia
harus belajar dengan sungguh-sungguh. Kalau Ayahanda
begitu bersungguh-sungguh menghadapinya, apalagi dia, anak
yang harus berbakti kepada orangtuanya.
"Sumba," tiba-tiba Ayahanda berkata, "leluhur kita adalah
Pendekar Laknat 8 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama