Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 5

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 5


Pangeran Muda menerangkan tentang hubungannya
dengan Putri Yuta Inten yang karena masih terlalu pagi untuk
diketahui oleh orangtua kedua belah pihak, menjadi sumber
kerisauannya. Oleh Pangeran Muda dijelaskan, mereka baru
mengetahui bahwa mereka saling mencintai sejak lima hari
yang lalu. Sebelum mereka sempat mengukuhkan ikatanikatan
hati secara lebih erat, Pangeran Muda sudah harus
bertugas. Itulah sebabnya selama ini Pangeran Muda sangat
risau. "Adinda," ujar Pangeran Rangga Wesi, "tenteramkanlah
hatimu, segalanya akan kuurus sebaik-baiknya. Pergilah ke
Galuh dengan hati yang teguh, kuusahakan untuk
menyampaikan berita-berita dari Medang kepadamu. Di
samping itu, akan kuusahakan agar Kakanda dengan Ayunda
bertemu dengan Putri Yuta Inten."
"Terima kasih, Kakanda. Akan tetapi, ada suatu hal yang
mungkin akan sangat menyusahkan Kakanda. Terutama
mengenai berita-berita dari Medang, hamba beranggapan
berita-berita itu hanya dapat disampaikan secara beranting.
Untuk mencapai Galuh langsung dari Medang adalah suatu hal
yang tidak mungkin karena jauhnya. Dengan demikian, hamba
memohon kepada Kakanda agar Kakanda dapat menerima
berita-berita dari Medang, kemudian menyampaikannya ke
Galuh dan sebaliknya. Apakah itu tidak terlalu menyusahkan,
Kakanda?" "Sama sekali tidak, Adinda. Kereta-kereta kerajaan tiap hari
hilir-mudik antara ibu kota dengan kota-kota kerajaan lainnya.
Kakanda kenal baik dengan petugas yang menguasai dan
mengurus kereta-kereta ini. Jadi, tidak menyusahkan sama
sekali. Bahkan Kakanda pun akan berusaha untuk suatu kali
berkunjung ke Galuh."
"Terima kasih banyak, Kakanda, dan maaf kalau terlalu
menyusahkan."
"Sama sekali tidak, Adinda."
Mereka keluar dari ruangan itu dan ketika mereka berjalan
di lorong besar yang diterangi oleh lentera-lentera minyak,
Pangeran Rangga Wesi berhenti berjalan dan memegang
tangan Pangeran Muda sambil menunjuk ke arah rombongan
bangsawan yang juga berjalan di lorong besar.
"Itulah sang Prabu, yang berjalan di tengah," kata
Pangeran Rangga Wesi kepadanya.
Pangeran Muda memandang ke arah seorang tua yang
bersuasana agung. Beliau diiringi oleh beberapa orang
bangsawan lain, sedang di belakang beliau berjalan
puragabaya-pura-gabaya yang sudah dikenalnya, yaitu Geger
Malela, Rangga Gempol, Girang Pinji, dan puragabaya Rangga Sena.
Sejenak kemudian, mereka pun sudah kembali ke ruangan
tempat bangsawan-bangsawan muda belajar. Di sana
Ayahanda sudah menunggu.
PANGERAN Muda meninggalkan istana ketika malam sudah
larut sekali. Ketika tiba di pintu sayap barat istana dan dalam
ruangan tempat Ardalepa menunggu, tampak oleh Pangeran
Muda pemuda itu murung.
"Apa yang terjadi, Ardalepa?"
"Beberapa orang kawan saya ditangkap oleh jagabaya,
demikian juga bangsawan-bangsawan muda dari utara kota."
"Karena perkelahian itu?"
"Ya, kami dianggap mengganggu ketenteraman umum,
Anom." "Apakah tuduhan itu salah?"
Ardalepa tidak menjawab. Mereka segera meninggalkan
ruangan itu dan masuk ke dalam malam yang diterangi oleh
obor-obor sepanjang jalan.
Di samping obor-obor itu, malam diterangi oleh bintangbintang
di langit yang cerah. Pangeran Muda teringat pada
malam-malam di kota Medang, di saat-saat ia mengintip Putri
Yuta Inten. Keresahan mulai lagi mengganggu hatinya yang
dipenuhi dengan berbagai pertanyaan: Apakah Gita dan Jatun
serta kawan-kawannya berhasil menyampaikan surat-surat
dan perhiasan yang dikirimkannya kepada Putri Yuta Inten"
Mungkinkah mereka mendapat kesukaran atau diketahui oleh
Raden Banyak Citra, lalu perbuatan itu dianggap tidak sopan
oleh bangsawan yang keras itu" Mungkinkah Gita dan Jatun
dirampok di tengah jalan dan surat serta perhiasan itu
melayang dan tidak diketahui nasibnya" Bagaimana kalau
surat itu disalahgunakan oleh orang-orang jahat"
Sambil berjalan dengan gelisah, Pangeran Muda pun
berharap semoga di kepuragabayaan sudah tiba Gita dengan
kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika mereka tiba di sana,
yang tampak hanyalah para calon yang sedang membicarakan
nasib para panakawan yang diambil oleh jagabaya akibat
terlibat dalam perkelahian. Sebenarnya para calon tidak
tertarik benar oleh kejadian itu. Demikian juga Pangeran
Muda, yang menganggap kejadian itu sebagai suatu hal yang
sewajarnya. Yang menarik perhatian Pangeran Muda adalah Jante
Jalawuyung yang kalau dikehendaki oleh Sang Hiang Tunggal
akan jadi iparnya. Belakangan ini Jante menempati tempat
khusus dalam hati Pangeran Muda. Rasa persahabatan
berubah menjadi rasa sayang persaudaraan. Walaupun
demikian Pangeran Muda belum berani membukakan isi
hatinya kepada Jante. Pertama, anak muda itu sangat
tertutup; kedua, wataknya yang keras mencegah Pangeran
Muda untuk membicarakan hal-hal semacam itu dengan dia.
Akan tetapi, rasa sayangnya tidak berarti berkurang pada anak
muda itu. Malam itu juga Pangeran Muda memilih salah
sebuah senjata kecil yang indah, sebuah badik yang pamornya
disulam dengan emas. Dengan membawa senjata itu,
Pangeran Muda berkunjung ke kamar Jante.
"Silakan duduk, Anom."
'Jante, saya dengar kau mendapat tugas di Kutabarang.
Saya harus pergi ke Galuh, kita akan sangat berjauhan."
"Ya, Anom, sekurang-kurangnya kita tidak akan bertemu
dalam tiga tahun," ujar Jante sambil memandang kepadanya.
'Jante, kau sangat baik kepadaku selama ini, saya ingin
mengucapkan terima kasihku kepadamu, tapi kata-kata tidak
cukup untuk itu. Demikian juga cara lain, tidak akan dapat
mengucapkan terima kasih dan rasa ... persahabatanku
kepadamu. Akan tetapi, saya tetap ingin mengucapkannya dan
untuk itu terimalah badik kecil ini sebagai rasa terima kasih
saya dan tanda mata selama kita berpisah."
Jante memandang benda itu, lalu menerimanya, kemudian
ia berdiri merangkul Pangeran Muda.
"Seandainya, di dunia ini lebih banyak orang yang seperti
engkau, Anom," kata Jante sambil menekankan tangannya ke
pundak Pangeran Muda.
Rasa sayang dan rasa terharu bergalau dalam hati
Pangeran Muda. Tak lama kemudian mereka pun berpisahlah
karena malam sudah sangat larut.
KEESOKAN harinya dengan tidak sabar Pangeran Muda
masih menunggu kedatangan Gita dan kawan-kawan yang
seharusnya hari itu sudah tiba di Pakuan Pajajaran. Karena
ketidaksabarannya itu, Pangeran Muda memutuskan untuk
menunggu mereka di gerbang kota, sambil berbincangbincang
dengan perwira jaga dan tukang-tukang kuda yang
telah dikenalnya. Dengan ditemani oleh Ardalepa, pergilah
Pangeran Muda ke sana.
Baru sejenak mereka tiba di sana, dari jauh tampaklah
rombongan Gita. Pangeran Muda menjemputnya dan dengan
bertubi-tubi bertanya tentang hasil tugas mereka. Gita yang
masih kehabisan napas tidak banyak menjawab, tetapi
menyerahkan sebuah kotak-lontar kecil yang indah dan harum
baunya. "Dari Tuan Putri," katanya kepada Pangeran Muda.
Pangeran Muda menerimanya, lalu membawa Gita ke
kepuragabayaan untuk istirahat dan minum sebentar. Setelah
itu, sesuai dengan pesan Ayahanda, rombongan Gita disuruh
pergi ke sayap barat istana, untuk menginap dan menerima
pesan-pesan dan barang-barang dari Ayahanda sebelum
mereka kembali ke Puri Anggadipati.
Setelah rombongan Gita segar kembali dan, dengan diantar
Ardalepa, meninggalkan kepuragabayaan untuk bertemu
dengan Ayahanda di sayap barat istana. Pangeran Muda
segera masuk ke ruangannya dan dengan mengunci diri mulai
membuka kotak lontar kecil yang indah itu.
Dengan tangan gemetar, dipegangnya helai pertama daun
lontar yang berisi tulisan Putri Yuta Inten yang kecil-kecil tapi
jelas dan cantik itu:
Kakanda, Hamba seperti seorang yang sudah lama menginginkan
sebuah permata, kemudian karena nasibnyayang baik,
permatayang sudah lama diinginkannya itu diberikan
kepadanya, tetapi baru saja sekejap dipegangnya sudah harus
diserahkan kembali untuk disimpan di tempatyang tidak
diketahuinya. Kakanda, Perasaan apakah namanyayang bergulat dalam kalbu
hambayang menyebabkan hamba berurai air mata tapi juga
mendorong hamba bersenandung dan tertawa. Hamba
bukanlah hamba seperti lima hari yang lalu, yang dengan hati
berat oleh rindu dan putus-asa, sempoyongan di lorong-lorong
puri Ayahanda, sebuah bayang-bayang yang sudah kehilangan
segala keinginan lain, kecuali mengikuti ke mana Kakanda
pergi, menunggu di dekat tempat Kakanda berada.
Dan kalau tangan hamba menyulam bunga-bunga emas di
atas kain hitam atau bunga-bunga aneka warna di atas kain
putih, khayal hamba pun menyulam berbagai kisah asmara
antara kita berdua, kisah-kisahyang lebih indah
daripadayangpernah dialami atau akan dialami oleh manusia,
kisah-kisahyang lebih indah dari aneka bunga-bungayang
hamba lukiskan pada kain-kain itu.
Alangkah nikmatnya menjalin khayalan menjadi
pengalaman-pengalaman yang indah. Akan tetapi, hamba
bukan seorang Pohaciyang karena kasih Sunan Ambu dapat
menjelmakan segalayang diinginkannya. Hamba adalah
manusia biasa, seorang gadis yang sangat sia-sia, yang
setelah berkhayal harus kembali mengakui kenyataan. Hamba
mesti kembali mengerjakan pekerjaan kewanitaan sehari-hari
dan menyadari bahwa hamba adalah seorang yang
menginginkan sesuatu yang berada di luar jangkauan seorang
gadis. Ah, betapa tersiksa nasib seekor pungguk yang
memandang bulan dan memimpikan bulan itu menjadi
miliknya. Akan tetapi, pagi itu, tiba-tiba bulan itu turun ke pangkuan
hamba. Hamba hampir-hampir tidak percaya pada apa yang
terjadi. Bahkan sampai beberapa hariyang lalu hamba masih
meragu-ragukan diri hamba sendiri. Mungkinkah siluman
sudah lama sekali merebut kesadaran hamba, hingga hamba
tidak lagi dapat membedakan khayal dan kenyataan" Apakah
benar-benar Pangeran Anggadipati memanjat benteng dahulu
sebelum beliau meninggalkan Medang" Mungkinkah itu hanya
merupakan khayalan seorang gadis yang terlalu sedih karena
akan ditinggalkan oleh sese-orangyang dicintainya untuk
selama-lamanya" Hamba bertanya pada Emban hamba,
apakah segala kejadian itu benar-benar terjadi atau hanya
khayalan" Ketika dia mengatakanya, hamba ragu-ragu,
kemudian tidak percaya, kemudian hamba berdukacita.
Lalu datanglah surat Kakanda, dengan perhiasan-perhiasan
yang indahyang menjadi wakil kasih sayang Kakanda.
Sekarang, kalau hamba merasa ragu-ragu akan diri hamba,
hamba tinggal membuka kotak lontar dan meraba perhiasan
yang selalu ada di ranjang hamba. Hamba adalah seorang
gadis yang paling berbahagia tapi juga paling berat
menanggung rindu dan diganggu kecemasan. Berbahagia
karena hidupnya telah diberi arti dan diperindah oleh seorang
kesatria yang menjadi pujaannya. Akan tetapi, juga
menanggung rindu yang hampir tidak tertahankan karena
kesatriayang baru saja didapatnya sudah harus
meninggalkannya, entah untuk berapa, lama akan berada di
tempat yang jauh. Kecemasan pun menghantuinya karena
kesatria itu adalah pahlawan yang pekerjaannya
menundukkan kejahatan dan hidup di tengah-tengah bahaya.
Kakanda, perasaan apakah namanya yang menyebabkan
hamba menangis dan tertawa" Perasaan apakah
namanyayang timbul dari pergulatan antara kebahagiaan,
kerinduan, dan kecemasan" Dan, akankah hamba kuat
menanggungkannya sampai Kakanda kembali" Kalau Kakanda
tidak hendak menyiksa hamba, jagalah diri Kakanda dari
segala bahaya, dan pulanglah segera kepada hambayang
menantikan Kakanda senantiasa di kota, Medang Yuta Inten.
Selesai membaca surat itu berdirilah Pangeran Muda,
kemudian duduk lagi, kemudian berdiri dan berjalan mondarmandir
dalam ruangannya. Setelah duduk kembali untuk
beberapa lama, ia mulai membaca surat itu kembali dan
setelah selesai membaca untuk ketiga kalinya, dipakainya
pakaian perjalanan, lalu ia keluar dari kamarnya menuju
kamar puragabaya Geger Malela yang menjadi penguasa
kepuragabayaan. Akan tetapi, puragabaya itu masih belum
kembali dari istana. Maka, tanpa memberi tahu dan minta
dikawal oleh panakawannya Ardalepa, Pangeran Muda
berjalan menuju istana kembali.
Sampai gerbang istana malam sudah larut, untung penjaga
gerbang masih belum diganti, jadi masih mengenalnya dan
mengizinkan Pangeran Muda masuk. Ternyata pula Ayahanda
sudah beradu, dan Pangeran Muda langsung menuju ruangan
tengah, tempat Pangeran Rangga Wesi belajar dengan
bangsawan-bangsawan muda lainnya serta Putra Mahkota.
Untung, karena ketekunan bangsawan-bangsawan muda itu
mereka belum pulang dan masih belajar dan bertukar pikiran
satu sama lain.
Setelah Pangeran Muda minta izin bertemu dengan
Pangeran Rangga Wesi, seorang gulang-gulang
menyampaikan permohonannya itu kepada Pangeran Rangga
Wesi yang dengan terkejut segera menemui Pangeran Muda.
'Apakah yang terjadi Adinda" Sakitkah engkau?" tanyanya
dengan cemas sambil memandang ke wajah Pangeran Muda.
Untuk beberapa lama, Pangeran Muda tidak menjawab, tetapi
dengan gemetar menyampaikan surat Yuta Inten itu ke


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan Pangeran Rangga Wesi, untuk kemudian menariknya
kembali dan minta maaf. Pangeran Muda berkata, "Kakanda,
hamba menerima surat. Hamba mohon maaf dan minta
bantuan Kakanda, kapan hamba akan diperintahkan untuk
pergi ke Galuh?"
"Maksudmu, bagaimana?" tanya Pangeran Rangga Wesi
yang dengan cepat mengerti keadaan Pangeran Muda.
"Kalau masih ada waktu, hamba bermaksud pergi ke
Medang dahulu." Mendengar keterangan itu termenunglah
Pangeran Rangga Wesi. Akan tetapi, setelah beberapa lama ia
memegang pundak Pangeran Muda lalu mengajaknya masuk
ke dalam dan mempersilakannya duduk.
Setelah mempersilakan duduk, Pangeran Rangga Wesi
masuk ke ruangan belajar lain. Tak lama kemudian kembali
dengan Putra Mahkota yang ternyata masih mengenal
Pangeran Muda. "Selamat datang, Anggadipati," ujar Putra Mahkota.
Pangeran Muda segera menghaturkan sembah. Rupanya
masalah Pangeran Muda sudah dibicarakan Pangeran Rangga
Wesi karena Putra Mahkota kemudian berkata, "Begini,
Anggadipati. Sebenarnya para calon sudah harus berangkat
dalam waktu seminggu. Sedang kau sendiri karena bertugas di
tempat yang paling jauh, lusa sudah harus meninggalkan ibu
kota. Walaupun begitu, saya dapat mengusahakan
pengunduran waktu, tetapi tentu tidak lebih dari satu hari
karena kalau lebih dari satu hari akan mengganggu seluruh
rencana. Tentu hal itu tidak kauinginkan."
"Hamba serahkan pada kebijaksanaan Gusti Anom," ujar
Pangeran Muda. "Kalau begitu tunggulah, saya harus bertemu dengan
Pamanda Geger Malela yang bertanggung jawab dalam
masalah ini," ujar Putra Mahkota seraya mengajak Pangeran
Rangga Wesi meninggalkan ruangan itu dan berjalan ke arah
ruangan lain. Tinggal Pangeran Muda dengan beberapa orang
bangsawan muda yang sedang tekun belajar, walaupun hari
sudah larut malam.
Pangeran Muda baru menyadari bahwa perbuatannya
sangat nekat. Ia telah mengganggu bangsawan muda yang
sedang belajar. Ia telah mengganggu Putra Mahkota, dan ia
pun akan mengganggu puragabaya Geger Malela yang
mungkin harus mengubah segala rencana semula dalam
waktu singkat seandainya mengizinkan Pangeran Muda untuk
mengunjungi Putri Yuta Inten sebelum pergi ke Galuh. Apakah
pandangan dan anggapan para bangsawan serta puragabaya
itu terhadapnya nanti" Mungkinkah permohonannya itu
dianggap suatu kelancangan hingga akan merendahkan
martabatnya sebagai calon"
Timbul niat dalam hati Pangeran Muda untuk
menggagalkan rencananya yang datang tiba-tiba itu. Akan
tetapi, bayangan Putri Yuta Inten timbul kembali dalam
kesadarannya, hingga tekadnya bertambah keras untuk pergi
ke Medang dahulu sebelum berangkat. Ia tidak dapat
membayangkan penderitaan macam apa yang akan
dideritanya seandainya sebelum pergi ke negeri yang sangat
jauh itu tidak bertemu dulu dengan putri yang dirindukannya.
Tak lama kemudian muncul pulalah Pangeran Rangga Wesi
dengan Putra Mahkota, berjalan menuju kepadanya,
"Anggadipati, Pamanda Geger Malela tidak dapat
menangguhkan kepergianmu lebih dari satu hari. Paling
lambat kau harus sudah berangkat hari setelah lusa," ujar
Putra Mahkota. "Terima kasih atas jerih payah Gusti Anom," ujar Pangeran
Muda. 'Jadi, kau mau pergi juga ke Medang, Adinda?" Pangeran
Rangga Wesi bertanya dengan terkejut. "Ya, Kakanda."
"Adinda, tapi itu berarti kau harus melakukan perjalanan
malam. Malam hari bukan saja jalan-jalan gelap, tetapi
binatang-binatang buas berkeliaran dari hutan ke padangpadang.
Di samping itu, banyak orang jahat."
"Doa Kakanda hamba mohonkan," ujar Pangeran Muda.
"Rangga Wesi, biarlah Anggadipati pergi. Bukankah kau
juga seperti dia dan sering memaksaku pergi ke wilayah Kutabarang
untuk bertemu dengan kakaknya?"
"Gusti Anom, tapi hamba cemas akan nasib Adinda
Anggadipati," ujar Pangeran Rangga Wesi.
"Bagaimana kalau kita sediakan lima orang pengawal?"
Putra Mahkota bertanya.
"Ya, itu pikiran yang baik," ujar Pangeran Rangga Wesi.
"Tidak usah menyusahkan, Gusti Anom. Di samping itu,
Kakanda, si Gambir sangat cepat larinya, tidak mungkin dapat
diikuti oleh kuda para pengawal. Lagi pula, hamba tidak
merasa perlu dikawal."
Setelah bertukar pikiran beberapa saat, akhirnya
diputuskan Pangeran Rangga Wesi menyediakan lima orang
pengawal. Tak berapa lama kemudian, seperti dikejar Malakal
Maut, Pangeran Muda pun telah memacu kudanya di bawah
berjuta-juta bintang yang berkelipan di angkasa. Ia diikuti oleh
lima orang penunggang kuda lain yang makin lama makin jauh
ditinggalkan oleh si Gambir dan akhirnya tidak tampak lagi.
PERJALANAN antara ibu kota dengan kota Medang yang
biasanya ditempuh dalam dua hari, dengan malam hari
beristirahat, Pangeran Muda menempuhnya dalam satu hari
satu malam tanpa beristirahat dahulu. Pada sore hari itu,
Pangeran Muda sudah berada di wilayah yang berada di
bawah kekuasaan Raden Banyak Citra. Makin dekat ke kota
Medang, makin cepat Pangeran Muda melarikan si Gambir.
Akan tetapi, pada suatu kampung yang berada tidak jauh lagi
dari kota Medang, Pangeran Muda berhenti. Dan setelah
menitipkan si Gambir untuk diurus dan setelah menyewa
seekor kuda yang kuat dari penduduk, Pangeran Muda
melanjutkan perjalanan kembali dengan menunggang kuda
yang masih segar itu. Ketika malam turun, sayup-sayup
terlihatah menara-menara kota Medang. Dan ketika malam
mulai gelap, tibalah Pangeran Muda di depan gerbang kota.
Akan tetapi karena terlambat, gerbang itu sudah ditutup rapat.
Pangeran Muda membalikkan kuda, lalu mencari kampung
terdekat untuk menitipkan kuda itu agar tidak menjadi mangsa
serigala. Setelah selesai membuatjanji dengan seorang petani
yang tinggal di rumah yang berpagar tinggi di tengah-tengah
padang, Pangeran Muda pun pergilah dengan berjalan kaki.
Karena rumah petani itu tidak jauh dari dinding kota Medang,
dalam beberapa saat Pangeran Muda sudah berada di bawah
dinding benteng, terlindung oleh gelap malam.
Seperti seekor bajing, Pangeran Muda memanjatinya.
Begitu Pangeran Muda tiba di atas, sekelompok gulang-gulang
yang sedang berjaga berkeliling lewat di dekatnya. Pangeran
Muda terpaksa bergantung untuk beberapa saat, menunggu
hingga gulang-gulang itu berlalu. Setelah mereka berlalu,
Pangeran Muda berjalan di atas jalan yang sempit di atas
dinding benteng itu. Dalam remang-remang malam itu
dicarinya atap rumah-rumah yang paling tinggi yang menjadi
tempat kediaman keluarga Banyak Citra. Setelah
ditemukannya, Pangeran Muda segera menuruni dinding
benteng, kemudian berjalan dalam lorong-lorong yang
walaupun lengang, masih belum ditinggalkan sama sekali oleh
penduduk kota. Setelah beberapa lama berjalan, tibalah
Pangeran Muda di suatu rumah besar yang dinding
bentengnya sangat tinggi dan gerbang-gerbang-nya dikawal
oleh sejumlah gulang-gulang. Pangeran Muda berdiri di
tempat yang gelap sambil memeriksa dinding benteng dari
jauh. Kemudian ditetapkannya tempat yang akan dipanjatinya,
yaitu dinding benteng yang di sebelah dalamnya terdapat
sebuah pohon. Melalui pohon itulah Pangeran Muda
bermaksud meluncur dan masuk ke halaman dalam rumah
keluarga Banyak Citra. Akan tetapi, ditunggunya sampai
malam bertambah gelap sebelum rencananya itu
dilaksanakan. Ketika saatnya sudah tiba dan para gulang-gulang lengah,
memanjatlah Pangeran Muda. Dari dinding benteng ia
melompat ke arah dahan pohon tanjung tanpa mengeluarkan
bunyi. Setelah> meluncur ke bawah ia pun berjalan menuju
jendela ruangan Putri Yuta Inten. Mujur jendela itu masih
terbuka karena malam belum larut. Akan tetapi, para gulanggulang
masih sibuk hilir-mudik di lorong-lorong, hingga
Pangeran Muda tidak dapat segera mendekati jendela itu.
Akan tetapi, begitu kesempatan tiba, Pangeran Muda segera
mengendap menuju jendela besar itu.
Seperti pada waktu pertama kali dilihatnya, di dalam kamar
itu Putri Yuta Inten sedang menjalin rambutnya di depan
cermin, sementara emban tua itu sedang membereskan
berbagai barang bekas Putri Yuta Inten menyulam. Pangeran
Muda berpikir sejenak, bagaimana supaya kedatangannya
tidak mengejutkan gadis itu. Setelah berdiri beberapa lama,
diputuskannya untuk mengetuk jendela itu, lalu hal itu
dilakukannya. Putri Yuta Inten melihat ke arah jendela, dan sambil
menutup mulutnya berdiri dari tempat duduknya, memandang
kepada Pangeran Muda. Pangeran Muda meletakkan
telunjuknya di bibir, lalu dengan tangkas melompati jendela
itu. Emban tua itu melihatnya dan menjerit dengan suara
tertahan. Pangeran Muda memberinya isyarat supaya ia diam.
Untuk beberapa lama kedua remaja itu berdiri berhadapan
dan saling memandang, seolah-olah menganggap satu sama
lain makhluk aneh yang baru dilihat untuk pertama kali.
Kemudian, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua muda
remaja itu menghambur ke arah satu sama lain. Pangeran
Muda hanya sekejap melihat bagaimana emban tua itu
membalikkan badan membelakangi mereka, kemudian seluruh
kesadarannya terpusat pada bibir Yuta Inten, wajahnya dan
seluruh kehadirannya, lembut dan hangat melekat di dadanya.
Entah untuk berapa lama mereka berlaku seperti itu, pada
suatu saat Putri Yuta Inten bertanya, "Jalan mana Kakanda
masuk?" "Tak ada dinding yang menghalangi kasih sayang," ujar
Pangeran Muda. Kemudian rambut Putri Yuta Inten yang lembut dan ikal itu
menenggelamkan wajah Pangeran Muda dalam impian yang
memabukkan. Pada suatu kali terdengar emban tua itu
mendeham, dan kedua remaja itu melepaskan diri masingmasing.
"Sebentar lagi ayam jantan berkokok," kata emban tua itu.
"Kakanda, tidurlah malam ini di rumah penduduk kota, esok
pagi kita menghadap kepada Ayahanda. Sebenarnya ingin
sekali hamba mempersilakan Kakanda tidur di dalam rumah
kami, tetapi Ayahanda tidak akan menyetujui hal itu. Kecuali
kalau kita membangunkannya dan meminta izin kepada beliau
terlebih dahulu," ujar Putri Yuta Inten sambil memegang
tangan Pangeran Muda.
"Adinda, tapi malam ini juga Kakanda harus kembali ke
Pakuan, untuk kemudian berangkat ke Galuh untuk bertugas.
Kakanda telah melakukan perjalanan selama satu hari satu
malam agar dapat bertemu dahulu dengan kau sekarang."
Mendengar penjelasan itu, Putri Yuta Inten membukakan
matanya yang jelita, penuh dengan rasa heran dan cemas.
'Jadi, Kakanda melakukan perjalanan malam hari, seorang
diri?" "Tidak, Adinda, Kakanda diiringi oleh lima orang pengawal,"
ujar Pangeran Muda.
"Jadi ... jadi Kakanda datang hanya untuk bertemu ...
sebentar saja?" kata gadis itu, seraya menyandarkan dirinya
ke dada Pangeran Muda kemudian mulai menangis terisakisak.
Pangeran Muda tidak tahu apa yang harus dilakukannya
kecuali mengeratkan pelukan dan mengusap-usap rambut
gadis itu. Lalu dengan mata gabak, Yuta Inten tengadah
kepadanya dan berkata, "Jadi, Kakanda harus pergi sekarang
juga, sebelum bertemu dengan keluarga hamba?"
"Begitulah, rupanya Adinda."
Hanya setelah emban tua yang cemas itu memperingatkan,
mereka berpisah dan berunding tentang rencana-rencana
mereka selanjutnya.
"Kita akan berpisah, mungkin untuk tiga tahun, tetapi
mudah-mudahan dalam tiga tahun itu Kakanda dapat kembali
ke Pajajaran barat ini untuk bertemu dengan kau dan seluruh
keluarga. Atau siapa tahu kita dapat bertemu di Pakuan. Kalau
ada sesuatu yang harus disampaikan kepada Kakanda,
sampaikanlah kepada Pangeran Rangga Wesi di Pakuan
Pajajaran. Ia adalah calon suami Ayunda Ringgit Sari dan telah
berjanji akan membantu kita. Janganlah ragu-ragu,
sampaikanlah segala berita kepada Kakanda melalui Pangeran
Rangga Wesi."
"Baiklah, Kakanda. Apakah sudah tiba saatnya hamba
memberi tahu kepada Ayahanda tentang hal kita ini?"
"Jelaskanlah segalanya dan sampaikan salam serta
permintaan maaf Kakanda kepadanya karena Kakanda tidak
sempat bertemu kembali dengan beliau sebelum bertugas."
"Baiklah, Kakanda. Hamba akan dapat mengenakan
perhiasan dari Kakanda itu dengan terang-terangan," ujar
Putri Yuta Inten seraya tersenyum.
"Sekarang, tibalah saatnya Kakanda untuk meninggalkan
kau, Adinda," ujar Pangeran Muda.
Emban tua itu membalikkan tubuhnya dan berpura-pura
membereskan alat-alat jahitan untuk kesekian kalinya. Akan
tetapi, betapapun beratnya bagi mereka untuk berpisah,
akhirnya dengan uraian air mata, Pangeran Muda keluar
ruangan dan setelah beberapa kali memanjati dinding
kemudian dinding benteng kota, telah berada lagi di padang
terbuka. Setelah berganti kuda, dan kembali mengendarai si Gambir,
dan setelah berjalan sepanjang hari dan sepanjang malam,
pada subuh hari ketiga tibalah kembali Pangeran Muda ke
Pakuan Pajajaran.
"Kau sudah ada di sini lagi, Anggadipati?" tanya
puragabaya Geger Malela.
"Hamba berterima kasih dan mohon maaf telah
mengganggu rencana Kakanda semula," kata Pangeran Muda.
"Tidak apa. Esok pagi kau harus sudah berangkat."
00de00kz00 Bab 16 Rawa Siluman Keesokan harinya kebanyakan dari para calon yang
menginap di kepuragabayaan telah mendapat tugas masingmasing.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Termasuk ke dalam gelombang pengiriman pertama
ini adalah Pangeran Muda. Sebagai satu-satunya di antara
para calon yang ditugaskan ke Pajajaran timur, Pangeran
Muda diikutsertakan dengan rombongan kerajaan yang terdiri
dari sebuah kereta dan dua puluh orang anggota rombongan,
lima belas di antaranya pengawal. Di antara anggota
rombongan yang lima orang, termasuk Pangeran Muda,
adalah petugas-petugas kerajaan. Pada saat yang ditetapkan,
berangkatah rombongan itu menuju ke timur.
Berbeda dengan perjalanan yang dilakukan di bagian utara
dan barat kerajaan, perjalanan ke bagian timur dan selatan
kerajaan kebanyakan melalui dataran tinggi. Pemandangan
seperti padang-padang terbuka dan bukit-bukit hampir tidak
ada. Yang harus ditempuh kebanyakan berupa jalan-jalan
sempit di sela-sela tebing jurang, hutan-hutan lebat, gununggunung
berhutan yang pohon-pohonnya besar dan
berjanggut. Kampung-kampung di daerah ini berbeda pula dengan
kampung-kampung di dataran rendah. Rumah-rumah hampir
tidak kelihatan di balik pohon-pohonan yang berdaun rindang,
sedang di samping pagar-pagar tinggi yang mengelilingi
kampung-kampung itu, rumah-rumah bertiang sangat tinggi
pula. Untuk memasuki beberapa rumah, kadang-kadang orang
harus menggunakan tangga. Dari kawan seperjalanannya,
Pangeran Muda mendapatkan keterangan bahwa di dataran
tinggi itu banyak binatang buas, yang paling ditakuti adalah
ular-ular berbisa. Itulah sebabnya rumah-rumah bertiang
tinggi-tinggi. Karena rombongan sangat besar, soal keamanan tidaklah
mengkhawatirkan. Perampok-perampok tidak akan berani
mengganggu suatu rombongan yang dikawal oleh lima belas
orang gulang-gulang Oleh karena itu, selama di perjalanan tak
ada gangguan-gangguan dari manusia, kecuali dari alam,
seperti pohon-pohon yang tumbang ke jalan, pendakian-pendakian
yang terlalu curam, jalan berlumpur yang
menyebabkan roda-roda kereta tertanam dan kereta harus
diangkat bersama-sama, dan sebagainya. Setelah perjalanan
yang sukar itu dilalui selama lima hari, dataran rendah mulai
terbentang di hadapan rombongan. Maka mereka pun menarik
napas panjang karena lega. Dua hari perjalanan lagi, dengan
dua malam menginap di tengah padang dan sebuah kampung,
tibalah rombongan di kota Galuh yang tua itu.
Kota Galuh bukan saja sudah sangat tua dan didirikan
beratus tahun yang lampau, tetapi juga bersuasana tua. Luas
kota itu dan tebal dinding bentengnya hampir menandingi kota
Pakuan Pajajaran, tetapi jumlah penduduknya dan
kesibukannya sangat kecil kalau dibandingkan dengan ibu
kota. Karena tuanya, dinding-dinding benteng itu kehitaman
tampaknya, demikian juga rumah-rumah dan bangunanbangunannya.
Oleh karena itu, suasana kota itu sangat
murung. Setelah berapa lama melewati lorong-lorong kota itu,
akhirnya tibalah rombongan di depan sebuah bangunan yang
paling besar, tempat beberapa orang bangsawan keluar
dengan diiringi oleh pengawal-pengawal mereka. Sementara
anggota-anggota rombongan lain berurusan dengan para
bangsawan, Pangeran Muda diperkenalkan kepada Pangeran
Rangga Wisesa yang menerimanya dengan ramah dan
gembira. "Mudah-mudahan engkau senang tinggal di sini, anak
muda. Oh, siapa namamu?" tanya Pangeran yang setengah
baya itu. "Anggadipati, Panglima, seperti tertulis pada surat
pengantar itu," ujar Pangeran Muda dengan hormat.
"Suasana daerah ini akan sangat berbeda dengan Pajajaran
barat atau utara. Wilayah ini ditinggalkan oleh penduduknya
yang memilih daerah barat atau utara yang lebih ramai dan
lebih aman, itulah sebabnya kota ini tampak terlalu besar.
Kebanyakan yang tinggal di sini adalah petani-petani dan
prajurit, sedang kaum pedagang dan cerdik cendekia memilih
Pajajaran barat dan utara. Tapi bagaimanapun juga ini adalah
bagian Pajajaran. Kita harus mengembangkannya kembali di
berbagai bidangnya. Nah, penugasanmu ke sini adalah untuk
membantuku dalam soal pengembangan kembali itu,
khususnya di bidang keamanan."
"Mudah-mudahan hamba dapat memenuhi harapan,
Panglima," ujar Pangeran Muda.
"Daerah rawa-rawa tentu merupakan daerah yang baru
bagimu, anak muda," ujar Panglima itu.
"Ya, Panglima," ujar Pangeran Muda. Dan sambil
berbincang-bincang seperti itu tibalah mereka di atas gerbang
benteng. Para gulang-gulang mempersilakan mereka untuk
memasuki kandangjaga yang tepat terletak di atas gerbang
kedua dari kota Galuh, yaitu gerbang yang menghadap ke
selatan. KETIKA itu hari sudah menuju gelap, langit dipenuhi oleh
keluang dan kelelawar. Akan tetapi, dengan agak keheranan,
Pangeran Muda melihat para gulang-gulang belum juga
menutup gerbang kota. Ia bertanya kepada Panglima, apakah
belum waktunya para gulang-gulang menutup pintu kota itu.
"Sebentar lagi, anak muda. Sebentar lagi rombongan
terakhir petani dari daerah rawa-rawa akan memasuki kota.
Mereka sudah setengah tahun lamanya terpaksa tidur di
dalam kota karena di kampung mereka keamanan tidak
terjamin," kata Panglima.
"Hamba tidak mengerti maksud Panglima," ujar Pangeran
Muda. "Begini, anak muda. Saya justru ditugaskan di wilayah ini
untuk menghadapi masalah keamanan yang pelik. Sebelum
saya datang ke sini, hampir seluruh penduduk kampung
terpaksa mengungsi ke kota setiap malam karena
merajalelanya penjarah-penjarah dan pembunuh-pembunuh.
Setelah diadakan gerakan-gerakan pembersihan, umumnya
kampung-kampung di luar benteng cukup aman, kecuali yang
berdekatan dengan rawa. Sudah berulang-ulang dilaksanakan
pencarian ke daerah rawa-rawa itu, tetapi hasilnya tidak
banyak. Kita belum menemukan jejak penjahat-penjahat ini."
'Apakah pengejaran masih terus dilakukan?"
"Masih. Tiga kelompok jagabaya masing-masing berjumlah
dua puluh lima orang terus-menerus menyisir hutan-hutan dan
rawa-rawa serta padang-padang sempit. Akan tetapi, hasilnya
tidak banyak, jejak mereka sukar dicari di daerah yang
bersungai-sungai ini. Lebih mudah mencari musuh di padangpadang
utara daripada di sini, anak muda," kata Panglima.
Pada saat itu muncullah rombongan terakhir petani-petani
yang mengungsi itu. Obor-obor mereka berkobar-kobar di
tengah-tengah kegelapan. Suara roda pedati, suara ternak
serta percakapan dan suara tangis anak-anak sayup-sayup
terdengar. Pangeran Muda memerhatikan rombongan yang
makin dekat itu dengan penuh perhatian. Dan ketika mereka
sudah berada di bawah dinding benteng serta mulai melewati
kandang jaga, tampaklah rakyat yang prihatin itu berbondongbondong.
Pemandangan itu menyedihkan hati Pangeran Muda.
"Seandainya mereka terus-menerus harus mengungsi ke
dalam kota setiap malam, akhirnya kepercayaan mereka
kepada kerajaan akan menurun. Mungkin karena bosan
mereka akan menyerah pada pengacau-pengacau itu dan
memutuskan untuk membayar pajak kepada mereka. Kalau
sudah demikian, kita sudah setengah kalah karena berarti
kerajaan sudah kehilangan rakyatnya," ujar Panglima.
"Apakah hal seperti itu mungkin terjadi Panglima?"
"Saya datang ke sini menghadapi keadaan yang sudah
sangat jelek, anak muda. Sebenarnya, saya belum dapat
menetapkan betapa jeleknya keadaan karena baru enam
bulan saya berada di sini. Akan tetapi, kalau keadaannya
seperti sekarang, keadaan yang paling jelek mungkin saja
terjadi. Berulang-ulang saya hampir meminta bala bantuan
sejumlah besar jagabaya untuk mencari pengacau-pengacau
itu, tetapi harga diri saya belum mengizinkan untuk itu.
Demikian juga saya berpendapat, kalau sejumlah jagabaya
ditempatkan dan terikat di sini, mungkin hal itu sebenarnya
yang diinginkan oleh lawan-lawan kita. Jadi, yang penting
adalah menemukan cara-cara pengepungan dan pencarian
yang tepat, sesuai dengan keadaan medan di sini. Dan itu
sedang terus-menerus kita cari."
Keesokan harinya, sebagai pengawal pribadi Panglima,
Pangeran Muda ikut menghadiri perundingan yang dilakukan
oleh Panglima dengan pembantu-pembantunya. Pertama-tama
diterima laporan terakhir dari daerah rawa-rawa yang
dianggap oleh Panglima sebagai tempat persembunyian para
pengacau itu. Kemudian diadakan pembahasan dan diambil
kesimpulan oleh Panglima dan para pembantunya. Dilakukan
pula perkiraan mengenai gerakan yang harus dilakukan
kemudian. Setelah perundingan hari itu selesai, dan ketika Panglima
sedang meninggalkan ruangan, seorang penunggang kuda
datang tergopoh-gopoh membawa laporan. Panglima
membaca laporan itu dan dengan wajah suram mengatakan
kepada Pangeran Muda bahwa sepuluh orang jagabaya
tenggelam di salah sebuah rawa yang letaknya tidak dapat
ditetapkan. "Yang saya butuhkan sebenarnya kira-kira sepuluh orang
puragabaya, tetapi kalau saya meminta bantuan sepuluh
orang puragabaya, saya tidak usah lagi berpangkat panglima
jagabaya," kata Pangeran Rangga Wisesa. Tampak beliau
sangat berkecil hati dengan adanya laporan terakhir itu.
Dengan adanya laporan terakhir itu, rapat terpaksa dibuka
kembali dan perundingan dilanjutkan hingga siang, di mana
diputuskan jumlah jagabaya yang lebih besar dikerahkan ke
daerah selatan wilayah Galuh itu.
Dua minggu setelah peristiwa tenggelamnya sepuluh orang
jagabaya, kejadian yang menyedihkan terulang kembali, di
mana tiga jagabaya lain tewas karena penghadangan yang
direncanakan dengan baik oleh pengacau-pengacau itu.
Terdorong oleh keinginan lebih banyak membantu Panglima
Rangga Wisesa, dan terdorong pula oleh keinginan
mengetahui lebih banyak tentang daerah kekuasaan Galuh,
Pangeran Muda mengusulkan dirinya untuk mengikuti salah
satu rombongan jagabaya yang melakukan pencarian tempat
persembunyian gerombolan pengacau itu.
"Tugas utamamu adalah sebagai pengawal pribadiku, anak
muda. Tugas kedua adalah menyumbangkan pikiran-pikiran
dalam perundingan karena seorang puragabaya adalah orang
yang menguasai soal-soal siasat peperangan. Sedang
mengikuti jagabaya bukan saja tidak termasuk ke dalam
tugasmu, tetapi mungkin akan merendahkan martabat
kepuragabayaan," ujar Panglima.
"Panglima, saya belum lagi seorang puragabaya. Oleh
karena itu, mengikuti pasukan jagabaya tidak akan
merendahkan martabat kepuragabayaan. Di samping itu,
kalau iktikad hamba untuk mengabdi kepada kerajaan, hamba
kira tak ada hal yang akan merendahkan siapa pun."
"Akan tetapi, seorang puragabaya tidak boleh menjadi anak
buah jagabaya, walaupun apa pangkat dia," ujar Panglima.
"Hamba tidak akan jadi anak buah siapa pun, Panglima.
Hamba hanya akan membantu kepala pasukan jagabaya itu.
Juga, hamba tidak akan bertindak atau bersikap sebagai
puragabaya, tetapi sebagai seorang prajurit Pajajaran saja."
Panglima Rangga Wisesa termenung sebentar, dan setelah
menarik napas panjang berkatalah, "Kalau begitu, baiklah.
Akan tetapi ingatlah, apa pun yang terjadi kepadamu, itu
adalah tanggung jawabku, anak muda."
"Hamba akan menjaga diri hamba sebaik-baiknya,
Panglima."
"Ya, mudah-mudahan darahmu tidak terlalu panas,
walaupun kau masih sangat muda," lanjut Panglima Rangga
Wisesa. Keesokan harinya pagi-pagi, Pangeran Muda sudah berada
di atas punggung si Gambir, menuju daerah yang berawarawa
sebelah selatan kota Galuh.
SEORANG gulang-gulang mengantarkan Pangeran Muda ke
tempat pemusatan pasukan jagabaya yang berada di tengahtengah
hutan kecil, rawa-rawa, dan sungai-sungai. Setelah
beberapa kali menyeberangi jembatan-jembatan darurat yang
dibuat dari bambu, dari jauh tampaklah sebuah bangunan
besar yang sekelilingnya dipagari dengan bambu yang
ujungnya diruncingkan. Di keempat sudut pagar yang tinggi
itu dibangun empat buah menara, tempat para pemanah siap
dengan busur panah mereka.
"Itulah asrama jagabaya, Anom," ujar gulang-gulang itu.
"Bawalah saya kepada perwira pimpinan, gulang-gulang,"
kata Pangeran Muda.
"Baiklah, Pangeran Muda."
Setiba mereka di gerbang asrama itu, beberapa orang
penjaga menyambutnya, kemudian mempersilakan mereka
masuk ke bangunan kecil yang ada di pojok lapang asrama,
tempat perwira pimpinan berada. Setelah perwira itu
membaca surat dari Panglima, ia berdiri memberi hormat
kepada Pangeran Muda, kemudian menyilakan duduk.
"Tenaga Juragan sangat kami butuhkan karena kami tidak
memiliki seorang pun yang ahli dalam mencari jejak," kata
perwira itu. "Saya pun bukan seorang ahli, tetapi karena bertahuntahun
tinggal di hutan dan setiap waktu harus mencari jejak
binatang-binatang, saya jadi terbiasa dengan berbagai jejak
itu," ujar Pangeran Muda yang kepuragabayaannya
disembunyikan oleh Panglima.
"Malam ini suatu rombongan yang terdiri dari dua puluh
orang akan berangkat ke arah selatan, apakah Juragan sudah
bersedia ikut malam ini juga" Kalau masih perlu beristirahat,
besok malam pun rombongan lain akan berangkat"
"Lebih baik malam ini," ujar Pangeran Muda, dan sore itu
bersama dengan dua puluh orang jagabaya di bawah
pimpinan bintara yang bernama Garda, Pangeran Muda
berangkat. Kedua puluh orang jagabaya itu ternyata merupakan
pasukan pilihan. Mereka semua menunggang kuda, sedang
senjata-senjata mereka yang pendek menyatakan bahwa
mereka adalah prajurit-prajurit yang ahli dalam pertempuran
jarak dekat dan perkelahian dari tangan ke tangan. Senjata


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk jarak jauh yang mereka bawa hanyalah disandang oleh
beberapa orang pemanah. Yang lainnya tak seorang pun
membawa senjata macam demikian, sedang perisai yang biasa
menjadi pelindung para jagabaya, tak satu pun tampak
mereka bawa. Perlengkapan serta persenjataan jagabaya yang sangat
sedikit itu ternyata kemudian disesuaikan dengan keadaan
medan. Setelah melewati beberapa kampung yang kosong
karena ditinggalkan oleh petani-petani yang terpaksa
bermalam di kota, pasukan turun dari kuda dan menitipkan
binatang-binatang itu pada suatu kampung yang diduduki oleh
kelompok kecil jagabaya. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan
dengan berjalan kaki.
Dalam perjalanan itu, Pangeran Muda berjalan paling depan
dan bertindak seolah-olah sebagai pembantu Garda. Untuk
beberapa lama sukar bagi Pangeran Muda untuk dapat
berjalan dengan cepat karena selain belum terbiasa
menjelajahi hutan-hutan kecil yang tanahnya berawa-rawa,
malam sangat gelap pula. Sedang penggunaan obor-obor
tidak mungkin dilakukan. Segalanya harus dilakukan secara
rahasia karena mereka sedang mengintai gerak-gerik lawan
yang juga merahasiakan jejaknya.
Demikianlah seperempat malam pertama mereka lalui
dengan melintasi jalan-jalan setapak dalam semak,
menyeberangi sungai-sungai kecil di daerah yang berawarawa
dan menyeberangi jembatan-jembatan yang terbuat dari
bambu. Pada suatu saat, ketika mereka akan menyeberangi
sungai yang agak lebar, tiba-tiba Garda berhenti melangkah,
dan bekas-bekasnya tampak hanyut dan tersangkut tidak jauh
dari tempat jembatan itu semula berdiri.
"Untung dan sial!" kata Garda. "Pertama untung karena
mereka memberitahukan kepada kita bahwa mereka ada
dekat-dekat di sini. Sial karena kita harus mencari jalan lain
dan itu berarti setengah malam lamanya."
"Mengapa mereka harus meruntuhkan jembatan ini?" tanya
Pangeran Muda. "Mereka sudah kehabisan bekal dan harus merampas
persediaan yang mungkin tertinggal di kampung yang akan
kita kunjungi. Atau kemungkinan lain, mereka meruntuhkan
jembatan di sini untuk menarik perhatian kita, padahal mereka
akan melakukan serangan di tempat lain, dan siapa tahu yang
mereka hantam adalah asrama kecil yang baru saja kita
tinggalkan bersama-sama kuda-kuda kita."
Mendengar itu teringatlah Pangeran Muda pada si Gambir.
Bagaimana kalau si Gambir sampai terampas oleh lawan yang
licin itu"
"Berapa orang yang ditugaskan menjaga asrama kecil itu?"
tanya Pangeran Muda.
"Tujuh orang, tapi pagar bambunya cukup tinggi, dan
mereka tidak akan menyerah begitu saja."
"Tapi apakah tujuan mereka kalau mereka sampai
menyerang asrama kecil itu?" tanya Pangeran Muda pula.
"Lebih banyak jagabaya yang tewas, lebih berkurang
kepercayaan rakyat kepada kerajaan," ujar Garda dengan
dingin. "Sekarang, apa yang akan dilakukan"
"Kita akan mengambil jalan keliling, dan mencoba
mencapai kampung yang kita tuju dengan secepat-cepatnya."
"Bagaimana kalau kita menyeberang di sini?" tanya
Pangeran Muda. "Dengan arus sederas ini dan dengan perlengkapan senjata
yang memenuhi tubuh?" tanya Garda keheranan.
Pangeran Muda baru menyadari akan hal itu. Pangeran
Muda meraba tali yang tergantung di pinggangnya, di balik
sarung yang dilipat setengah. Tali itu kecil dan ringan, tetapi
adalah tali khusus yang biasa dipergunakan dan dibawa ke
mana pun oleh para puragabaya dan para calon.
"Saya membawa tali, dan barangkali kita dapat mencoba
menyeberangi arus yang deras ini dengan tali itu," kata
Pangeran Muda sambil menguraikan tali yang dibawanya.
Garda memandangnya dengan ragu-ragu.
"Tapi tali itu terlalu kecil," ujarnya.
"Tali ini kuat sekali, jangan takut. Sekarang peganglah
ujungnya, ujung yang lain akan saya ikatkan ke pinggang
saya. Saya akan menyeberang, dan kalau saya hanyut,
tariklah," sambil berkata demikian Pangeran Muda
mengikatkan ujung tali ke pinggangnya, di bawah pandangan
dua puluh orang jagabaya yang penasaran tetapi juga raguragu.
"Sekarang peganglah ujung ini, saya akan berenang."
Pangeran Muda berjalan ke tepi sungai yang agak curam
lalu menuruninya. Setelah meraba-raba dengan telapak
kakinya, masuklah ia ke dalam arus yang deras, kemudian
mencoba berenang. Akan tetapi, arus itu deras sekali.
Berulang-ulang Pangeran Muda hanyut dan kembali ke tepi
dengan bantuan anak-anak buah Garda yang memegang
ujung tali yang lain. Kemudian, dengan mengerahkan tenaga
sebaik-baiknya, Pangeran Muda dapat melewati arus tengah
sungai itu, lalu mencapai seberang. Setelah mengikatkan
ujung tambang pada sebatang pohon, Pangeran Muda,
dengan berpegang pada tali itu kembali ke seberang tempat
pasukan berada. Ujung tali yang lain diikat pula pada sebatang
pohon. Setelah itu Pangeran Muda mempersilakan pasukan
untuk menyeberang dengan berpegang pada tali itu. Akan
tetapi, karena mereka ragu-ragu, Pangeran Muda pun
terpaksa memberi contoh. Kemudian, dengan susah payah,
pasukan menyeberang sungai yang deras itu dengan bantuan
seutas tali puragabaya. Dengan basah kuyup, pasukan dengan
tergesa-gesa berjalan menuju kampung yang menjadi tujuan.
Setiba di kampung itu Garda berseru, memanggil suatu
nama. Dari dalam gelap datanglah suara langkah, kemudian
muncullah seorang jagabaya dengan badan basah kuyup dan
pakaian tidak keruan. Di belakang jagabaya itu berjalan
beberapa orang kakek-kakek dan nenek-nenek.
"Mereka datang! Belum lama!" kata jagabaya itu kepada
Garda. "Syukur kau selamat, berapa orang?" ujar Garda.
"Kata kakek kira-kira dua puluh orang, tapi mungkin lebih
karena sebagian menunggu di luar pagar."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Kakek dapat menerangkannya," kata jagabaya itu.
"Mereka minta garam dan mengancam akan membunuh
kakek-kakek serta nenek-nenek yang tinggal di kampung
kalau nanti di saat mereka kembali garam itu belum tersedia."
"Dari tempat persembunyian, saya dengar mereka
membentak-bentak," kata jagabaya yang tampak habis
bersembunyi itu menyela.
"Besok kakek ikutiah mengungsi dengan anak-anak," kata
Garda. "Garda," kata Pangeran Muda sambil membawa Garda
menjauh dari tempat mereka berkumpul, "janganlah dulu
orang-orang tua disuruh mengungsi. Kalau kita mengungsikan
orang-orang tua, itu berarti kemenangan bagi pihak lawan.
Jadi, janganlah orang-orang tua itu disuruh ke kota besok.
Biarlah mereka tinggal di sini. Saya kira lawan pun tidak akan
berbuat banyak terhadap mereka."
"Tapi kalau begitu, kita harus menyediakan garam bagi
lawan," ujar Garda.
"Baiklah, bagaimana kalau garam itu kita sediakan, tetapi
dicampur dulu dengan sesuatu hingga mereka sakit perut,
misalnya?"
"Bukan garam saja yang mereka minta, juga pancing" kata
jagabaya yang tinggal di kampung itu.
"Pancing?" seru Garda keheranan.
"Garda," bisik Pangeran Muda, "kalau mereka memintapancing
itu menyatakan seolah-olah mereka hidup dengan
damai walaupun kita kejar-kejar. Artinya itu penghinaan
terhadap kita. Di samping itu, mereka bermaksud
memengaruhi rakyat, yaitu agar rakyat beranggapan mereka
sudah sangat kuat, hingga dapat meremehkan kehadiran
jagabaya yang sangat banyak jumlahnya di daerah ini."
"Apakah kita beri pancing itu, Juragan?"
"Apa sukarnya, asal kita pancing pula mereka."
Selagi berunding-runding demikian, datanglah pula
rombongan kakek-kakek dan nenek-nenek yang terdiri dari
enam orang. Mereka termasuk orang-orang tua yang tidak
mengungsi dan bersama jagabaya dipasang di kampung itu
untuk mengumpulkan keterangan-keterangan tentang jejak
lawan. "Nah, Kakek, apa yang mereka katakan kepada Kakek?"
tanya Garda kepada seorang kakek-kakek yang paling tua dan
berjalan paling depan.
Kakek-kakek itu tidak menjawab, tetapi menyodorkan dua
helai lontar kepada Garda.
"Oh, ya," kata jagabaya yang ditempatkan di kampung itu,
"mereka meninggalkan dua helai lontar, tapi di sini tidak ada
yang bisa membaca."
'Juragan, apakah Juragan dapat membaca?" tanya Garda
kepada Pangeran Muda. Pangeran Muda tidak menjawab. Ia
mengulurkan tangan dan menerima lontar selebaran itu.
Pangeran Muda kemudian membacanya.
Pajajaran tidak sanggup lagi mengurus wilayah bekas
kekuasaan Galuh yang pernah jaya di masa lalu dan akan jaya
kembali di masa yang akan datang. Hai, rakyatyang ingat akan
kebesaran Galuh, bersiapsiaplah untuk menyongsong
kebangkitan Galuh yang lebih besar dan lebih jaya di masa
yang tidak lama lagi!
"Apa isinya, Juragan?" tanya Garda setelah melihat
Pangeran Muda selesai membaca.
"Omong kosong!" ujar Pangeran Muda. "Mereka berniat
mendirikan Kerajaan Galuh, padahal Pajajaran adalah lanjutan
dari Galuh," kata Pangeran Muda melanjutkan.
Setelah itu pasukan mencoba mencari jejak lawan yang
belum lama meninggalkan kampung itu, tetapi karena malam
menjadi sangat gelap, mereka terpaksa kembali ke kampung,
dan melanjutkan perencanaan yang akan mereka lakukan
keesokan harinya.
Selagi mereka berunding, nenek-nenek menjerang air dan
menyajikan gula dengan ubi bakar kepada para jagabaya.
Ketika Pangeran Muda meminum teh yang disajikan, ia merasa
bahwa teh itu sangat pahit. Pangeran Muda meletakkan teh
itu kembali. "Terlalu pahit?" tanya Garda seperti sudah mengetahui.
"Ya, tapi terpaksa Juragan harus meminumnya karena teh
itu diberi penangkal siluman," ujarnya sambil tersenyum.
"Apa yang kaumaksud, Garda?" tanya Pangeran Muda.
'Juragan datang dari Pajajaran barat tentu saja merasa
asing dengan minuman kami di sini. Begini Juragan, silumansiluman
di daerah rawa ini demikian jahatnya, hingga setiap
orang yang datang ke dekatnya dibunuhnya. Mereka
menyamar sebagai nyamuk, dan melalui gigitannya
dibunuhnya korbannya perlahan-lahan. Untung kami memiliki
dukun sakti, ia dapat menemukan pohon penangkal siluman
dari hutan rahasia di dataran tinggi Pajajaran. Nah, dengan
mencampur kulit pohon penangkal itu dengan teh,
terlindunglah kita dari siluman-siluman yang jahat itu," kata
Garda. 'Juragan, minumlah teh itu, demi keselamatan Juragan
sendiri," kata seorang jagabaya. Pangeran Muda menurut, lalu
meminumnya banyak-banyak. Dan setelah beberapa kali
meminum teh hangat itu, terbiasalah Pangeran Muda pada
rasa pahitnya. Tengah malam pasukan bergerak ke arah kampung
berikutnya, dan setelah bermalam dan pasukan tidur beberapa
saat lamanya, hari pun sianglah.
SETELAH makan pagi dan menyiapkan perlengkapan
lainnya, pasukan pun berangkadah menuju kampung yang
semalam dikunjungi oleh lawan. Dari sana, dengan mengikuti
jejak yang samar-samar, pasukan berjalan menerobos semaksemak.
Sekarang anggota pasukan menjadi dua puluh orang
karena jagabaya yang disimpan di kampung mengikuti mereka
sebagai penunjuk jalan. Pangeran Muda sendiri membantu
Garda dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan setiap
kali muncul masalah baru.
Pada hari keempat pasukan kehabisan makanan, karena
sebagian perbekalan hanyut dalam suatu penyeberangan.
Garda mengusulkan agar pasukan kembali asrama atau ke
kampung terdekat. Pangeran Muda yang melihat hutan-hutan
di sana penuh dengan binatang perburuan, seperti kijang dan
babi hutan bahkan kerbau-kerbau liar dan banteng,
mengusulkan agar mereka memanfaatkan pemanah-pemanah
yang ada dalam pasukan.
"Akan tetapi, panah-panah itu beracun, Juragan," ujar
Garda. "Buadah anak-anak panah baru atau patahkanlah paruh
anak-anak panah yang kurang baik," jawab Pangeran Muda.
Pada suatu kesempatan, dengan mempergunakan
kepandaiannya menyelinap seperti ular, Pangeran Muda
berhasil menangkap seekor menjangan dengan
mempergunakan pentung. Maka soal makanan pun
terpecahkanlah.
Pada suatu saat pasukan tidak bisa bergerak karena
dihadapkan pada rawa yang dalam dan sungai dihuni oleh
sejumlah besar buaya. Sekali lagi Garda berputus asa dan
mengusulkan kembali. Pangeran Muda menyarankan agar
pasukan membuat rakit-rakit.
"Tapi kita harus mengambil bambu dari tempat yang
jauhnya kira-kira lima bukit dari sini, Juragan!" sahut Garda.
"Lihat Garda, di sebelah selatan kita tampak daun pisang
melambai-lambai. Kita akan dapat membuat rakit-rakit bahkan
untuk pasukan yang anggotanya seratus orang," jawab
Pangeran Muda. Mereka pun menyeberang dengan
mempergunakan rakit-rakit itu.
Pada hari keenam pasukan terpaksa bermalam di suatu
daerah yang hampir dari berbagai arah dikelilingi oleh rawarawa.
Begitu malam turun, nyamuk berdengung gemuruh dan
Garda mulai membaca mantra-mantra mengusir siluman.
"Garda, kita harus membuat api unggun untuk mengusir
nyamuk." "Juragan, tidak mungkin. Mungkin kita sudah dekat sekali
dengan mereka. Untuk apa kita berjerih-payah mengikuti jejak


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka kalau kita akan menghalaunya malam ini?"
"Garda, tentu saja tidak usah besar-besar. Kalau ada, tentu
saja sebaiknya api unggun dari dedak padi, tetapi itu tidak
mungkin. Akan tetapi, kita masih ada akal."
"Bagaimana, Juragan?"
"Bukalah sarung-sarung hitam jagabaya. Kita akan
membuat api unggun kecil di tengah-tengah tabir-tabir hitam,
dan kita tidur mengelilinginya."
Garda tampak mengerti, lalu memerintahkan pada anakanak
buahnya untuk mencari pohon-pohon kecil yang akan
dipergunakan sebagai tonggak untuk menambatkan sarungsarung
hitam itu. "Panaskan air teh dan masukkan kulit kayu besar-besar,
mungkin siluman-siluman telah menggabungkan diri dengan
nyamuk-nyamuk ini. Nyalakan apinya kecil-kecil karena kita
hanya membutuhkan asap dan hangatnya saja bukan
cahayanya," ujar Garda pula. Mereka pun bekerjalah,
kemudian berbaring, sementara beberapa orang jagabaya
yang ditugaskan berjaga siap dengan senjata mereka.
Malam itu Pangeran Muda cepat sekali tertidur karena
sangat lelah. Sekira tengah malam, Pangeran Muda tiba-tiba
terbangun. Pangeran Muda menajamkan pendengarannya,
lalu bangkit dan hampir tidak percaya akan apa yang
didengarnya. "Sssssst, Juragan, tidurlah kembali!" bisik Garda yang
ternyata terjaga pula.
"Garda, gamelan itu!"
"Sssssst," ujar Garda, suaranya terdengar ketakutan.
"Barangkali kita sudah dekat sekali ke tempat
persembunyian mereka, Garda. Siapa tahu kita dapat
menyerang sekarang!" kata Pangeran Muda.
"Ssssst," terdengar dari arah beberapa jagabaya yang juga
ternyata tidak tidur. Tampak dalam kelam itu mereka semua
ketakutan. Sementara itu Garda memberi isyarat agar
Pangeran Muda mendekat. Pangeran Muda mendekat,
melewati jagabaya-jagabaya yang menggigil ketakutan dan
ramai membaca mantra-mantra pengusir siluman.
"Saya tidak mengerti, Garda."
'Juragan, daerah ini adalah wilayah siluman. Gamelan itu
adalah gamelan mereka. Bagi orang sini, suara itu tidak asing,
dan setiap kali mereka mendengarnya, mereka akan menjauh
atau sekurang-kurangnya membaca mantra Rajah Pamunah
untuk mengusir siluman-siluman itu. Sekurang-kurangnya,
janganlah kita mengganggu mereka karena hal itu
berbahaya."
Pangeran Muda tidak menjawab. Ia tidak dapat
memutuskan, apakah akan memercayai cerita Garda itu atau
tidak. Sementara itu suara gamelan bergema dengan merdu
dan megah, seolah-olah di suatu tempat yang tidak jauh dari
tempat mereka sedang dilakukan orang pesta besar. Begitu
nyaring dan merdunya suara gamelan itu hingga akhirnya
Pangeran Muda yakin bahwa perkataan Garda itu omong
kosong belaka. Akan tetapi, untuk tidak menusuk hatinya,
Pangeran Muda tidak berkata apa-apa. Ia minta diri untuk
pergi duduk-duduk dekat jagabaya yang mendapat giliran
berjaga. Jagabaya itu dengan badan menggigil berjongkok
berdekatan satu sama lain sambil memegang senjata masingmasing.
Ketika Pangeran Muda mendekat, salah seorang di
antara mereka berbisik.
'Jangan terlalu banyak bergerak, bacalah mantra-mantra."
"Kawan, izinkanlah saya meninggalkan tempat ini
sebentar," kata Pangeran Muda. Mendengar usul itu, mereka
sangat keheranan.
"Kalau hendak buang air, nanti saja sesudah bunyi gamelan
itu berhenti," kata seorang di antara mereka yang tidak dapat
melihat Pangeran Muda dalam gelap itu.
"Saya tidak tahan lagi," kata Pangeran Muda sambil
melangkah tanpa mengeluarkan bunyi. Maka dengan
mempergunakan pelajaran berjalan tanpa bunyi dan meniru
ular meluncurlah Pangeran Muda dalam semak-semak di
antara tumbuh-tumbuhan rawa menuju ke arah datangnya
suara gamelan yang merdu itu.
Makin dekat makin nyaring pula terdengar suara gamelan
itu, bahkan suara tepuk tangan mulai terdengar. Bertambah
dekat terdengar suara-suara orang bernyanyi dan bercakapcakap.
Pangeran Muda mulai bertanya-tanya dalam hati,
mungkinkah dengan tidak sadar mereka telah bermalam di
dekat sebuah kampung besar yang tidak mengungsi" Tapi,
mungkinkah Garda dengan pasukan yang berpengalaman
yang dipimpinnya melakukan kekeliruan begitu besar"
Sementara itu Pangeran Muda mengendap-endap dan
meluncur. Akan tetapi, lebih mengherankan lagi, walaupun
suara itu makin nyaring terdengar, belum juga tampak oleh
Pangeran Muda cahaya yang biasa banyak dinyalakan di
tempat pesta. Dengan penasaran, Pangeran Muda berjalan
dengan tergesa tetapi tanpa bunyi. Akhirnya, suara itu
terdengar nyaring sekali, diselingi dengan suara nyanyi dan
tertawa, suara tepuk tangan dan percakapan. Akan tetapi, di
rawa itu tak satu pun cahaya atau orang kelihatan, tak sehelai
daun pun bergerak. Menyadari hal aneh itu, berdirilah bulu
roma Pangeran Muda dan dengan tidak sadar, mantra-mantra
pun mulailah dibaca. Kemudian dengan setengah berlari tapi
tanpa bunyi Pangeran Muda kembali. Akan tetapi, Pangeran
Muda tidak menemukan jejaknya dalam gelap itu.
Pangeran Muda terus-menerus berjalan, sementara di
belakangnya terdengar suara gamelan seolah-olah
mengejarnya. Berjalan dan berjalan terus-menerus, hingga
akhirnya Pangeran Muda kelelahan dan terduduk di tanah
yang basah. Telinganya terus-menerus mendengar irama
gamelan yang merdu yang kadang-kadang menjadi nyaring,
kadang-kadang melemah. Setelah beberapa lama beristirahat,
Pangeran Muda memaksakan diri berjalan kembali, tetapi tidak
dapat menemukan tempat kawan-kawannya bermalam.
Kemudian, setelah terdengar ayam hutan berkokok,
berhentilah suara gamelan itu. Maka heninglah rawa dan
semak-semak itu. Sementara Pangeran Muda terus-menerus
mencari tempat bermalam pasukan, dan ketika matahari
terbit, terdengarlah anggota pasukan berteriak-teriak
memanggil-manggil, 'Juragan! Juragan!"
Setelah menggabungkan diri kembali dengan pasukan,
seluruh pasukan mengelilinginya sambil bertanya-tanya.
Karena kelelahan dan masih belum mengerti persoalannya,
Pangeran Muda tidak banyak bercerita. Ia hanya mengatakan
tersesat dan kemudian meminta kepada petugas perbekalan
untuk memberinya minum dan pakaian yang kering. Setelah
itu tanpa banyak menyinggung-nyinggung soal itu, rombongan
pun kembali bergerak.
PADA hari kedelapan, dua hari sebelum pasukan
menyelesaikan tugasnya, di suatu tengah hari pasukan tiba di
tepi suatu rawa yang luas, yang di tengah-tengahnya terdapat
sebuah pulau. Pasukan melihat jejak kaki yang banyak sekali
di tepi rawa itu. Seraya memerhatikan jejak kaki itu Garda
berkata, "Ini bekas kawan-kawan kita, Juragan."
"Mungkinkah bekas kawan-kawan kita yang tewas di rawa
itu?" Garda termenung sebentar, kemudian memandang ke arah
pulau yang ada di tengah rawa itu. Setelah beberapa lama ia
berkata, "Menurut keterangan orang yang selamat, memang
demikian. Mereka tiba di suatu rawa, kemudian ketika
menyeberang menuju suatu pulau, beberapa orang ada yang
menarik dari dalam rawa dan tidak dapat ditolong lagi."
Pangeran Muda memandang ke arah pulau yang berhutan
dan sunyi itu. Setelah beberapa lama ia mengusulkan kepada
Garda, bagaimana kalau mencari tempat menyeberang yang
lebih sempit daripada yang dihadapinya. Garda setuju dan
pasukan pun bergerak dengan mengendap-endap dan hatihati.
Mereka bergerak sepanjang pinggiran rawa seraya terus
memandang ke arah pulau yang mencurigakan itu. Tiba-tiba
Pangeran Muda melihat gerakan di balik semak pulau itu.
Bertepatan dengan itu seorang jagabaya melihat ke belakang
dan memberi isyarat bahwa ia melihat orang. Pasukan terus
bergerak perlahan-lahan, dan akhirnya menemukan tempat
menyeberang yang tidak terlalu luas. Dengan hati-hati,
mereka turun dan mulai melangkah ke tengah-tengah.
Tiba-tiba dari seberang terdengarlah teriakan peperangan,
dan bagai hujan, anak panah menghambur dan berdesing di
udara dan di antara semak-semak. Para jagabaya tidak gentar
menghadapi serangan itu, tetapi dengan semangat mereka
pun menyerukan teriakan peperangan dan bergerak dengan
gagah menuju lawan yang bersembunyi di balik semak-semak.
Anak-anak panah lawan yang mengenai tubuh mereka tidak
mereka hiraukan, karena di balik baju-baju mereka terdapat
zirah logam. Mereka bergerak terus, menuju lawan yang
bersembunyi di balik semak-semak. Seruan mereka yang
bersemangat bergema menenggelamkan teriakan-teriakan
lawan. Akan tetapi, pada suatu tempat di rawa itu, tiba-tiba
seorang jagabaya jatuh. Mula-mula yang lain tidak
menghiraukannya dan terus berjalan, yang lain jatuh, dan
makin tengah, makin banyak jagabaya yang terjatuh hingga
akhirnya Garda berseru, supaya mereka berhenti. Ketika
mereka berhenti itulah baru mereka sadar bahwa dari dalam
rawa itu ada tenaga yang menarik tubuh mereka. Seolah-olah
berpuluh-puluh tangan siluman menarik untuk mengubur
mereka ke dalam lumpur itu.
Mengetahui akan hal itu, ketakutanlah para jagabaya itu.
Seorang mulai berteriak minta tolong dan berusaha kembali,
tetapi kakinya makin lama makin dalam terbenam. Demikian
juga, orang-orang yang pertama-tama jatuh sudah sampai
pinggang diisap oleh lumpur rawa yang menakutkan itu.
Pangeran Muda sendiri yang sudah menguasai pelajaran
bagaimana harus meringankan tubuh berjalan di rawa yang
dalam, sungguh susah mengatasi isapan lumpur rawa.
Pangeran Muda berseru, mewakili Garda yang dalam
ketakutan dan terkejutnya tidak dapat berkata apa-apa,
"Pegang semak-semak, pegang alang-alang!"
Beberapa jagabaya menurut perintah itu dan berpegangan
dengan erat, hingga badannya tidak terlalu mudah diisap oleh
lumpur itu. Akan tetapi, jagabaya-jagabaya yang berjalan
paling depan dan berjauhan dengan semak tidak dapat
berbuat apa-apa. Dengan susah payah dan ketakutan, mereka
berusaha menyelamatkan diri tapi sia-sia. Pangeran Muda
dengan sedih melihat ke arah mereka dan berpikir dengan
keras untuk menyelamatkan mereka dari siluman rawa yang
buas itu. "Mundur!" kata Pangeran Muda pada jagabaya jagabaya
yang masih belum terisap oleh rawa itu. Dengan perlahanlahan
dan waspada terhadap anak-anak panah yang terus
menghujan, mereka mundur. Di tempat yang agak keras
Pangeran Muda melepaskan tali yang ada di pinggangnya, lalu
berseru kepada jagabaya yang paling depan yang sudah
terbenam hingga ke pundaknya.
"Tangkap!"
Tali itu melingkar di leher jagabaya itu, yang kemudian
memegangnya. Beberapa orang menarik jagabaya itu dengan
susah payah, kemudian mengeluarkannya dari dalam lumpur
dan menariknya ke tempat yang tidak terlalu berbahaya.
Berturut-turut prajurit-prajurit yang terancam bahaya itu
ditolong dan diselamatkan, untuk kemudian dibawa ke tempat
yang aman dari serangan-serangan anak panah lawan.
Akhirnya, seluruh pasukan dapat diselamatkan dan dengan
kelelahan mengundurkan diri ke tempat yang jauh dari rawa
yang menakutkan itu. Setelah napas mereka kembali tenang
dan setelah mereka mengatasi terkejut dan ketakutan,
berkatalah Garda, "Kita harus segera pulang dan melaporkan
segala yang terjadi."
Mendengar itu, berkatalah Pangeran Muda, "Tidak, kita
harus menemukan jalan menyeberangi rawa siluman ini."
Karena kepenasaran dan karena semangat berjuangnya yang
meluap. Pangeran Muda lupa, bahwa dalam pasukan itu
Gardalah yang menjadi pemimpin. Mendengar perkataan
Pangeran Muda yang tidak pada tempatnya itu, bangkitlah
Garda dan dengan tegas berkata, "Juragan tidak berhak
memberikan perintah dalam pasukan ini."
"Maaf, Garda, saya lupa, tetapi saya mengusulkan, agar
kita mencari jalan untuk menyeberangi rawa ini."
"Tidak, sudah terlalu banyak yang jatuh sebagai korban,
dan saya tidak mau anak buah saya mati tenggelam secara
hina. Saya rela kaiau mereka mati dengan senjata di tangan
setelah berjuang dengan gagah berani. Akan tetapi, saya tidak
rela kalau mereka mati dengan sia-sia di rawa siluman ini."
"Garda, tapi pasti ada jalan tempat menyeberang. Kalau
lawan bisa menyeberangi rawa ini, mengapa kita tidak?"
"Lawan sudah bersekutu dengan siluman dan kita tidak
akan dapat mengalahkannya," kata Garda dengan tegas.
'Jadi, apakah yang akan kaulaporkan pada perwiramu
sekembali dari tempat itu" Apakah akan mengatakan bahwa
kau takut dan tidak berusaha untuk mencari tempat
menyeberang" Akankah kau mengatakan bahwa kau tidak
sanggup setelah musuh berada di depanmu" Setelah kau
menghabiskan sejumlah besar bekal dan setelah seminggu
kau mengenakan baju zirah yang mahal, yang dibeli dan
dibiayai oleh rakyat kerajaan?"
Mendengar perkataan Pangeran Muda itu, Garda tertegun,
kemudian berkata, "Tidak, saya tidak mau diperintah oleh
orang yang tidak berhak atas pasukan ini."
"Garda, tapi saya ditugaskan oleh Panglima untuk
membantumu, itu berarti bahwa kau harus
mempertimbangkan setiap saran yang kusampaikan
kepadamu."
"Tidak!" Garda dengan keras membangkang.
"Jadi, dapat saya laporkan bahwa kau pengecut dan pantas
dipecat dari kedudukanmu dengan tidak hormat begitu kau
tiba di asrama. Juga kalian semua akan dipecat kalau kalian
menuruti kepengecutan bintaramu ini."
Mendengar itu pasukan kebingungan, sebagian berpihak
pada Garda, sebagian berpihak pada Pangeran Muda,
sebagian kebingungan. Sementara itu berserulah Garda,
"Sekarang bergeraklah kalian, untuk kembali ke pangkalan!"


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebanyakan jagabaya bergerak, tetapi yang lain tidak,
sedang yang lain ragu. Garda melihat kepada mereka yang
ragu-ragu, lalu mendorongnya agar ikut berjalan dengan yang
lain. Karena orang itu kebingungan, orang itu tidak mau
bergerak, mungkin karena takut akan ancaman Pangeran
Muda bahwa mereka akan dipecat. Karena keragu-raguan
anak buahnya, naik pitamlah Garda. Didorongnya anak buah
itu hingga terjatuh. Pangeran Muda menahan Garda yang
akan menyepak ulu hati orang yang jatuh itu. Akan tetapi,
Garda malah membalik dan memukulnya. Untung Pangeran
Muda sempat merasakan terlebih dahulu gerakan tubuh Garda
yang dipegangnya ketika itu, hingga pukulan Garda menuju ke
tempat kosong. Sekali gagal Garda terus menghantam,
didorong oleh kemarahannya. Pangeran Muda menghindar
dengan dua langkah mundur kemudian bersiap-siap.
Melihat kejadian itu berkelilinglah para jagabaya
memerhatikan kelanjutan peristiwa itu. Pangeran Muda berdiri
dengan tenang tapi siap siaga, sedang Garda terengah-engah
memandangnya dengan mata merah dan kening yang
direntangi oleh urat-urat yang tegang. Tiba-tiba dia berkata,
"Rubuhkan dulu aku, baru kuanggap pasukan ini pasukanmu!"
"Saya tidak bermaksud menjadi pemimpin pasukan, tetapi
memperingatkan kepadamu bahwa kau dibiayai oleh kerajaan
dan rakyat Pajajaran untuk berusaha sebaik-baiknya
menyelesaikan tugasmu," belum Pangeran Muda selesai
berkata, Garda telah menyerangnya. Ia menyerang dengan
mengulurkan kedua tangannya yang besar-besar ke arah leher
Pangeran Muda. Barangkali ia beranggapan bahwa Pangeran
Muda yang berbadan Iampai dan jauh lebih kecil daripadanya
tidak akan berdaya kalau ditangkap dan dibantingnya. Akan
tetapi, ketika kedua tangannya yang besar-besar itu sudah
hampir mencapai Pangeran Muda, kedua tangan Pangeran
Muda diangkat ke atas, bersilangan dengan kedua tangan
Garda yang lurus ke depan. Kemudian dengan sekejap mata,
dengan mempergunakan berat badannya, Pangeran Muda
membuang tangan lawan ke samping kiri. Dengan keras tubuh
Garda berdebum jatuh di dekat kaki kiri Pangeran Muda.
Untuk memberi kesan bahwa rubuhnya Garda itu karena
kebetulan, Pangeran Muda tidak menyerangnya, tetapi
memberinya kesempatan untuk bangkit. Begitu Garda bangkit,
dengan deras ia menyerang kembali. Sekarang tangan
kanannya melayang ke arah bawah telinga kiri Pangeran
Muda, Pangeran Muda mengangkat tangan itu dengan tangan
kirinya, lalu menariknya ke bawah. Garda menarik tangan
kanannya yang ditahan oleh Pangeran Muda. Seluruh tenaga
Garda dipusatkan di tangan kanannya itu. Pangeran Muda
menyodokkan tangan kanannya ke bawah dada, lalu
membanting Garda ke arah kiri. Sekali lagi tubuh Garda
terbaring dekat kaki kirinya.
Pangeran Muda tidak menyerangnya, tetapi membiarkan
dia terbaring dan bangkit. Tiba-tiba Garda menyerang
kembali, menghambur sambil menyeruduk Pangeran Muda.
Pangeran Muda menghindar sambil menepuk tengkuk Garda
dengan tangan kirinya. Garda tersungkur dengan wajah
mencium tanah, tetapi tangannya sempat mencapai pakaian
hitam Pangeran Muda yang robek karenanya. Ketika itulah para
jagabaya melihat pakaian putih Pangeran Muda dengan ikat
pinggang keemasan yang hanya dipakai oleh puragabaya atau
calon-calonnya. Hanya Garda tidak melihatnya karena ia tidak
dapat bangkit lagi, sebelum dua orang jagabaya
memapahnya. "Dengarkan," kata Pangeran Muda kepada jagabayajagabaya
yang berkumpul di hadapannya. "Saya diberi tugas
untuk membantu bintara yang memimpinmu ini," sambil
berkata demikian ditunjuknya Garda yang masih terduduk, lalu
katanya pula, "Bintaramu itu terkejut dan kehilangan
semangat karena rawa siluman itu. Saya merasa berkewajiban
untuk membantunya dengan mengembalikan semangatnya
hingga tugas kita berhasil. Kalau ia tidak berani menyerang
musuh yang ada di seberang, kita semua berkewajiban
menjalankan tugas hingga berhasil. Kalian dapat memilih
anggota tertua dari kalian untuk memimpin."
Tak ada yang menjawab untuk beberapa lama. Kemudian
Garda bangkit. "Saya sudah insyaf, dan bersedia menyerahkan pimpinan
pasukan kepada Juragan sebagai puragabaya," ujarnya
dengan tulus. "Puragabaya atau bukan tidaklah perlu dipersoalkan, yang
penting kita sudah menemukan jejak lawan, dan barangkali
kita sudah sampai di tempat persembunyiannya. Kita harus
menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya."
Maka perundingan yang tenang pun mulailah dilakukan, di
bawah lindungan semak-semak bakau.
PANGERAN Muda mendapat keterangan bahwa siasat
lawan adalah siasat yang biasa dilakukan oleh pasukan yang
jumlahnya kecil. Mereka tidak pernah bersedia bertempur
secara terbuka dengan pasukan yang besarnya lebih dari dua
puluh orang. Biasanya mereka lakukan penghadangan, lalu
menghilang dengan cara yang sangat sempurna. Malam hari,
dengan rombongan lima atau sepuluh orang, mereka datangi
kampung-kampung, menakut-nakuti rakyat, mengambil
perbekalan, kadang-kadang menganiaya dan membunuh di
samping membagi-bagikan tulisan-tulisan yang umumnya
menjelek-jelekkan kerajaan atau memperingatkan penduduk
akan zaman Galuh yang jaya yang akan datang dalam waktu
dekat. Dari penjelasan-penjelasan itu, Pangeran Muda dapat
memperkirakan bahwa paling banyak lawan berjumlah lima
puluh orang. Mengenai persenjataan mereka Pangeran Muda pun tidak
merasa cemas. Panah-panah beracun adalah senjata utama di
samping tombak-tombak. Malam hari mereka mau juga
melakukan pertempuran dengan mempergunakan golok dan
badik. Akan tetapi, perkelahian seperti yang biasa dilakukan
tentara yang kuat, yaitu perkelahian dari tangan ke tangan
dengan mempergunakan senjata pendek atau tangan hampa,
tidak pernah mereka lakukan. Oleh karena itu, Pangeran Muda
menarik kesimpulan yang kedua, yaitu bahwa mereka
bukanlah tentara pilihan yang bermutu tinggi, tetapi tentara
biasa. Kalau selama ini mereka tampak kuat dan sukar untuk
ditundukkan, hal itu disebabkan tentara kerajaan menghadapi
kesukaran-kesukaran yang berupa hambatan-hambatan alam.
Alam ini juga memberikan tempat bersembunyi yang
sempurna bagi lawan.
Di samping mempertimbangkan kekuatan lawan, Pangeran
Muda pun mempertimbangkan kekuatan pasukan jagabaya
yang ada. Dua puluh satu orang jagabaya yang turut serta
adalah prajurit-prajurit pilihan yang berpengalaman di
beberapa medan pertempuran. Persenjataan mereka lengkap
pula, terutama terdiri dari senjata-senjata pendek, seperti
golok, kapak, pisau-pisau, dan baju zirah yang biasa
dipergunakan oleh pasukan pilihan. Dengan kekuatan pihak
sendiri seperti itu, asal saja tempat atau cara
penyeberangan.dapat ditemukan, Pangeran Muda
beranggapan, bahwa penyerangan yang dilakukan tidak akan
sia-sia. Kalau tidak dapat menghancurkan lawan sama sekali,
sekurang-kurangnya melumpuhkannya untuk waktu yang
lama. Segalanya ini dijelaskan pada pasukan, kemudian
ditetapkan cara-cara penyelidikan yang akan dilakukan kalau
hari sudah gelap. Di antara cara itu adalah Pangeran Muda
akan mencoba menyeberangi rawa siluman itu dengan
bantuan dua orang jagabaya yang memegang tali ijuk.
Seandainya cara penyeberangan yang sebaik-baiknya dapat
ditemukan, maka malam itu juga pasukan akan menyeberang,
kemudian esok harinya subuh-subuh akan melakukan
serangan tiba-tiba. Setelah hal itu disetujui, pasukan pun
beristirahatlah, sambil membuka perbekalan dan menunggu
hari gelap. Begitu malam turun, Pangeran Muda dengan diiringi oleh
Garda dan dua orang jagabaya bergerak kembali ke pinggir
rawa. Pada saat mereka tiba di pinggir rawa, sayup-sayup
terdengar suara orang di pulau itu. Pangeran Muda berbisik
kepada Garda, bahwa ternyata lawan tidak melarikan diri.
"Mereka menyangka kita pulang, Juragan Puragabaya," ujar
Garda. "Bagus., mudah-mudahan kita dapat menemukan jalan
menyeberang, dan mudah-mudahan kau akan mendapat
penghargaan nanti," kata Pangeran Muda membesarkan hati
Garda. Sementara itu, mereka terus berjalan, dan akhirnya
Pangeran Muda mulai turun ke rawa itu dengan pinggang
diikat tali yang ujungnya dipegang oleh dua orang jagabaya.
Makin lama Pangeran Muda makin jauh ke tengah,
sementara itu Pangeran Muda tidak pernah keluar dari semaksemak.
Bukan saja untuk menghindarkan diri dari pandangan
musuh, akan tetapi terutama karena dekat semak-semak itu
lebih aman. Sekiranya lumpur mulai mengisap, Pangeran
Muda dapat menjangkau cabang-cabang semak itu.
Di samping seutas tali yang mengikat pinggangnya,
Pangeran Muda pun membawa seutas tali yang lain, yang
ujungnya diikatkan pada sebuah dahan yang bercabangcabang.
Dahan itu diikat, dengan harapan akan dapat
digunakan sebagai sangkutan seandainya dapat dilempar ke
seberang. Dengan perlengkapan itu, Pangeran Muda terus
maju, sementara itu kakinya makin lama makin sukar untuk
diangkat. Pada suatu saat tibalah Pangeran Muda di bagian
rawa yang tidak dapat lagi dipijak. Betapapun Pangeran Muda
berusaha untuk tegak, lumpur di bawah kakinya tidak dapat
dijadikan tumpuan. Maka Pangeran Muda pun terpaksa
merangkak, sementara jagabaya yang memegang tali juga
berusaha mendekatinya.
Pangeran Muda merangkak dan bergerak seperti orang
yang sedang berenang, tetapi lumpur itu ternyata tidak dapat
direnangi. Pangeran Muda seolah-olah ditarik oleh suatu
tenaga yang sangat kuat ke dalam lumpur itu. Melihat hal itu,
jagabaya yang ada di belakang Pangeran Muda berseru,
bertanya, apakah Pangeran Muda perlu ditarik. Pangeran
Muda menjawab tidak dan terus melemparkan dirinya ke
depan. Di hadapan Pangeran Muda remang-remang kelihatan
semak pulau itu, oleh karena itu semangatnya tidak patah
oleh tarikan lumpur itu.
Pangeran Muda terus merangkak, walaupun gerakangerakannya
tidak membawa kemajuan, dan bahkan makin
dalam membenamkan tubuhnya ke dalam lumpur. Pada suatu
saat, Pangeran Muda melemparkan cabang kayu yang terikat
pada tali yang dibawanya. Setelah habis melemparkan cabang
itu, begitu terasa betapa lumpur itu melulurnya dari bawah.
Pangeran Muda menggapai-gapaikan tangannya dan mulai
batuk-batuk karena air memasuki mulutnya. Jagabaya yang
memegang tali segera menariknya, dan dengan susah payah
mereka melepaskan Pangeran Muda dari pelukan lumpur itu.
Setelah berada di tempat aman, Pangeran Muda teringat
akan cabang dahan yang sekarang sudah ada di seberang.
Pangeran Muda segera menarik ujung tali yang satu. MulaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mula tali itu dapat ditariknya, akan tetapi kemudian sesuatu
menahannya. Cabang itu tersangkut. Pangeran Muda berdoa,
mudah-mudahan cabang itu tersangkut pada batang pohon
yang kuat, hingga dapat dijadikan penahan kalau Pangeran
Muda di atas lumpur menyeberangi rawa itu.
Setelah beberapa kali menarik tali yang menjadi tegang itu,
Pangeran Muda berpaling kepada Garda dan dua jagabaya
yang mengantarnya.
"Kalau saya tiba di seberang, saya akan menarik tali yang
diikatkan di pinggang saya tiga kali. Itu berarti saya selamat.
Nah, kalau demikian ikatkanlah tali itu di batang pohon di tepi
rawa. Saya akan mengikatkan ujung yang lain di seberang.
Mungkin saya akan kembali dahulu melalui tali yang sudah
direntangkan itu, mungkin saya akan terus menyelidiki. Apa
pun yang terjadi, janganlah pergi dari dekat kalian
mengikatkan tali di pohon itu." Setelah berkata demikian,
dengan berpegang pada tali yang satu, dan masih terikat oleh
tali yang lain di pinggangnya, Pangeran Muda mulai lagi
menyeberang. Bagian rawa yang sukar sudah dilalui, tetapi makin dekat
ke pulau itu makin sukar lumpur direnangi. Pangeran Muda
berpegang pada tali dan sambil berdoa menariknya, hingga
badannya makin lama makin terdorong ke depan. Entah
berapa lama Pangeran Muda bergulat dengan tarikan lumpur
itu, akhirnya kakinya dapat berpijak, walaupun tidak kukuh.
Hati Pangeran Muda mulai lega, dan sambil berdoa terus
bergerak dan tidak melepaskan tali itu. Akhirnya, tanah keras
pun dicapainya, dan tibalah Pangeran Muda pada ujung
tambang dengan cabang yang terikat di ujungnya tersangkut
pada akar pohonan air. Akar itu sudah hampir putus karena
berat badannya.
Setiba di tanah yang kering, dan setelah menemukan
pohon yang agak besar, Pangeran Muda melepaskan tambang
yang terikat pada pinggangnya, lalu mengikatkan ujungnya
pada sebatang pohon erat-erat. Setelah itu Pangeran Muda
menarik tambang itu, menyentakkannya tiga kali, memberi
tahu kepada kawan-kawannya yang ada di seberang bahwa ia
sudah selamat. Setelah itu, tanpa beristirahat dulu Pangeran
Muda terus bergerak dengan hati-hati dan tanpa bunyi,
menuju ke tengah pulau. Setelah beberapa lama berjalan,
mulailah terdengarlah suara orang, walaupun samar-samar.
Pangeran Muda makin hati-hati, walaupun makin cepat
menuju ke tempat datangnya suara itu. Akhirnya, dilihatnya
cahaya. Cahaya itu datang dari suatu api unggun yang dikelilingi
oleh beberapa belas orang laki-laki. Di atas unggun api itu
sedang dibakar seekor babi hutan yang besar. Di belakang
laki-laki itu, dalam cahaya remang-remang berdirilah gubukgubuk.
Dalam gubuk-gubuk itu terlihat pula cahaya lentera dan
gerakan-gerakan, tetapi Pangeran Muda tidak dapat melihat
apa yang dilakukan oleh penghuni gubuk-gubuk itu. Sambil
berdiri di tempat gelap Pangeran Muda mengambil
kesimpulan, musuh sudah merasa aman, hingga mereka tidak
berjaga-jaga lagi. Akan tetapi, hal itu dapat dimengerti karena


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rawa yang mengelilingi tempat mereka itu begitu sukar
ditempuh, hingga karena nasib baik saja orang akan dapat
menyeberanginya.
Setelah puas mengawasi lawan yang tidak sadar akan
kehadirannya, Pangeran Muda mulai merenungkan siasat yang
akan dilaksanakannya. Seandainya lawan hanya berjumlah
dua puluh orang, Pangeran Muda dapat menyerang seorang
diri di dalam gelap itu. Akan tetapi, kalau lebih dari dua puluh
orang, mungkin Pangeran Muda justru akan menjadi korban.
Di samping itu, penyergapan bukan hanya dimaksudkan untuk
menghancurkan para pengacau, tetapi juga untuk mengetahui
latar belakang pengacauan itu sendiri. Oleh karena itu,
penyerangan malam hari yang penuh bahaya mungkin tidak
akan mencapai sasaran. Sebagian dari lawan mungkin akan
melarikan diri, dan bahan-bahan keterangan yang berharga
dapat dihancurkan terlebih dahulu. Dengan pertimbangan
demikian, beralihlah pikiran Pangeran Muda pada cara
penyeberangan yang akan dilakukan oleh pasukan yang
ditinggalkannya.
Bagaimanapun juga pasukan harus diseberangkan malam
itu juga. Akan tetapi, penyeberangan itu sukar sekali
dilakukan. Dan seandainya lawan mengetahui, korban-korban
akan jatuh. Akan tetapi, itulah satu-satunya cara yaitu,
menyeberang dengan bantuan tambang. Pangeran Muda
kembali ke tepi rawa, lalu dengan menyusur tambang yang
telah direntangkan sebelumnya menyeberang kembali ke arah
kawan-kawannya.
Penyeberangan kembali itu memakan waktu dan
melelahkan. Akan tetapi dalam perundingan, Garda yang telah
bangkit lagi semangatnya, menyetujui rencana penyeberangan
malam itu. Maka pasukan pun dipanggil ke tepi rawa, dan
Pangeran Muda menyeberang pahng dahulu.
Karena sukarnya, penyeberangan itu dilakukan dalam
waktu yang lama. Ketika tengah malam lewat, baru sepuluh
orang yang tiba di seberang, semuanya kelelahan dan pucat,
seolah-olah baru lepas dari bahaya maut. Walaupun sangat
lelah, Pangeran Muda tidak tinggal diam. Diselidikinya
sekeliling tempat itu, sambil selalu bertanya-tanya, bagaimana
caranya pihak lawan melakukan penyeberangan ke pulau
berhutan di tengah rawa yang berbahaya itu. Akan tetapi,
jawab pertanyaan itu tidak didapatkannya, lalu tidak menjadi
perhatiannya lagi. Yang menjadi persoalannya sekarang
adalah penyerangan yang akan dilakukannya subuh atau pagipagi
benar, ketika lawan belum bangun atau sedang tidur
pulas. Maka dikumpulkanlah anggota pasukan itu di. suatu
tempat, dan dalam gelap mereka mengadakan perundingan.
Pertama ditetapkan, mereka akan bergerak mendekati
tempat lawan, kemudian menetapkan dan membagi-bagi
sasaran penyerangan. Setelah itu mereka akan beristirahat,
hingga lawan semua tidur dan malam tidak terlalu gelap.
Setelah itu bergeraklah pasukan mendekati tempat lawan
yang ternyata belum semuanya tidur.
Di lapangan yang dikelilingi oleh gubuk-gubuk masih
terdapat empat lima orang di antara mereka sedang
mengobrol mengelilingi api unggun. Sementara itu, di dekat
mereka bergelimpangan kawan-kawannya yang tidur lelap.
Lawan yang masih jaga dan yang telah tidur itu dihitung, dan
ternyata berjumlah lima belas orang, Pangeran Muda
kemudian menghitung gubuk-gubuk yang ada di sekeliling
tempat itu, yang ternyata berjumlah delapan buah, dengan
dua buah lebih besar daripada yang lain. Pangeran Muda
memperkirakan pemimpin para pengacau itu tidur di salah
satu di antara gubuk-gubuk besar itu. Gubuk tempat
pemimpin itu harus segera ditemukan agar serangan yang
akan dilakukan mengenai sasarannya. Untuk tujuan itu
Pangeran Muda berunding dengan Garda.
"Garda, sekurang-kurangnya pemimpin pengacau ini harus
dapat kita tangkap hidup-hidup. Lebih banyak yang kita
tangkap hidup-hidup, lebih baik. Tentu saja kalau
penyerangan kita berhasil dengan baik," kata Pangeran Muda.
'Jangan takut, Juragan Puragabaya, anak buah saya
semuanya berpengalaman dan sudah biasa melakukan
penyergapan dan penangkapan hidup-hidup."
"Syukurlah kalau begitu, tetapi kita harus hati-hati karena
mungkin jumlah lawan lebih banyak daripada kita."
"Menurut perkiraan panglima, mereka tidak akan lebih dari
lima puluh orang. Di samping itu, mungkin sebagian sedang
berada di luar. Mudah-mudahan pemimpin pasukannya
sedang berada di sini," ujar Garda sambil tetap memandang
ke arah lawan yang beberapa orang masih belum tidur.
"Sebelum melakukan serangan, ,kita akan menghantam
penjaga dulu, setelah itu pasukan kita bagi ke sasaran masingmasing
dalam waktu yang sama."
"Baik, saya dan Juragan Puragabaya akan membunuh
penjaga-penjaga itu terlebih dulu," ujar Garda. Maka segala
perintah lanjutan pun disampaikan kepada pasukan yang
semuanya mengerti bahwa pemimpin pengacau tidak boleh
dibunuh. Setelah itu, mereka pun beristirahat, sambil tetap
memandang ke arah lawan.
MALAM pun bertambah sunyi, sedang bintang-bintang di
langit yang berjuta-juta banyaknya, letaknya sudah banyak
bergilir ke barat. Sayup-sayup kokok ayam terdengar, disahuti
oleh kokok ayam hutan yang berdekatan dengan rawa itu.
Pangeran Muda tetap mengawasi lawan yang lima orang
banyaknya, yang belum juga tidur. Mungkin mereka termasuk
bagian pasukan yang diserahi tugas jaga, pikir Pangeran
Muda. Akan tetapi, kemudian yang lima orang pun satu per
satu meninggalkan api unggun, lalu pergi ke dalam gelap.
Akhirnya, tinggallah dua orang penjaga yang masih tetap
berjongkok di sekitar api unggun itu. Kadang-kadang kedua
orang ini berjalan-jalan berkeliling, kadang-kadang
menghilang di balik gubuk-gubuk itu. Suara langkahnya
terdengar berdesir di atas semak-semak. Pada suatu kali
pernah salah seorang di antara penjaga itu berjalan dekat
sekali pada pasukan, hingga terpaksa anggota-anggota
pasukan jagabaya bertiarap menyembunyikan diri.
Hari makin bertambah terang juga, sedang ayam-ayam
jantan makin ramai bersahutan. Pangeran Muda memberi
isyarat kepada para jagabaya agar bersiap-siap. Ia pun
berbisik kepada Garda, agar mereka menyergap penjaga itu
dengan mula-mula menutup mulut mereka, lalu
menghantamnya. Garda mengangguk. Kemudian isyarat
diberikan, agar pasukan bergerak dan melebar. Maka
bergeraklah pasukan, setelah mereka diberi tahu bahwa
penyerangan dimulai setelah kedua pemimpin mereka berhasil
melumpuhkan kedua penjaga itu. Maka pasukan pun terus
bergerak, hingga mereka berhenti beberapa langkah di dekat
tempat lawan yang tidur bergelimpangan di atas tanah
Pangeran Muda memberi isyarat kepada Garda untuk mulai
menyergap. Mereka pun melingkariah, agar mereka dapat
menyergap kedua penjaga itu dari belakang. Setelah berada di
belakang mereka, dengan tidak mengeluarkan bunyi, mereka
mengendap-endap ke arah kedua penjaga itu, lalu dengan
waktu yang hampir bertepatan, Pangeran Muda dan Garda
menutup mulut penjaga-penjaga itu dengan tangan kiri, lalu
menghantam ulu hati mereka dengan tangan kanan. Dengan
tiga pukulan, menggeleparlah penjaga-penjaga itu, lalu tidak
bergerak-gerak lagi, Pangeran Muda berdiri, lalu memberi
isyarat. Maka menghamburlah dua puluh orang jagabaya
dengan senjata mereka berkilat-kilat dalam cahaya langit
subuh dan unggun yang hampir padam, Pangeran Muda
dengan Garda berlari ke arah gubuk yang paling besar, sambil
menghantam anggota-anggota gerombolan yang terlewati.
Dari arah lapangan di mana pembantaian sedang dilakukan
oleh para jagabaya, terdengar jeritan-jeritan, demikian juga
dari tempat-tempat lain yaitu dari gubuk-gubuk yang lain yang
mendapat serangan jagabaya.
Ketika Pangeran Muda dan Garda tiba di gubuk yang
terbesar, ternyata pintu ditutup dari dalam.
"Minggir!" kata Pangeran Muda kepada Garda yang
mencoba mendorong pintu. Garda minggir, dan Pangeran
Muda mundur, lalu melakukan serangan dengan telapak kaki
ke arah pintu itu. Walaupun kayu pintu gubuk itu kuat, dengan
sekali hentakan berantakanlah pintu dengan palangnya. Begitu
pintu terbuka, Garda segera menghambur masuk ke dalam
ruangan gubuk yang remang-remang itu. Pergulatan terjadi,
Pangeran Muda hanya melihat tubuh Garda berguling-guling
dengan tubuh seorang lawan di lantai gubuk. Di samping itu,
Pangeran Muda pun melihat dinding gubuk terbuka di sebelah
belakang. Dengan secepat kilat, Pangeran Muda melompat
keluar melalui lubang dinding itu.
Begitu tiba di luar, tampaklah seseorang lari menuju tepi
rawa. Dengan beberapa lompatan, Pangeran Muda sudah
dapat mengejar orang itu. Rupanya orang itu sadar akan
pengejarnya karena ia segera berbalik dan bersiap-siap.
Pangeran Muda berdiri menghadapi orang itu, sambil dalam
hatinya memuji kerapatan dan keteguhan kuda-kudanya.
Orang itu tampak seorang kesatria. Ia menyodorkan kaki
kanannya ke depan, dan tangan kanannya membalik ke atas,
dengan sikutnya lurus-lurus berada di atas lutut. Sementara
itu tangan kirinya yang ditarik dekat ke dadanya bersiap-siap
dengan jari-jarinya setengah dikuncupkan. Melihat sikap
seperti itu, Pangeran Muda agak kebingungan. Ada dua
kemungkinan yang sedang dihadapinya; pertama, sikap itu
merupakan pancingan yang belum dikenalnya; kedua,
mungkin kesatria yang dihadapi itu seorang kidal yang tangan
kirinya lebih kuat daripada tangan kanan. Kedua-duanya akan
merupakan siasat yang sukar dihadapi.
Akan tetapi, Pangeran Muda tidak menunggu hal-hal yang
lebih jelas. Untuk tidak terpancing, Pangeran Muda tidak akan
menangkap tangan kanan kesatria itu. Kalau ia menangkapnya
ada dua kemungkinan; pertama, ia menjadi sasaran tangan
kiri kesatria itu; kedua, mungkin Pangeran Muda akan
disentakkan ke belakang, hingga tersungkur ke sisi kanan
kesatria itu. Untuk tidak terpancing menjadi salah satu sasaran
itu, Pangeran Muda tidak menangkap tangan kanan kesatria
itu, tetapi dengan lurus dan cepat mendorong badan kesatria
itu dengan menekankan telapak tangan pada pergelangan dan
sikut kesatria itu.
Tepat seperti yang diramalkan oleh Pangeran Muda
ternyata kesatria itu benar-benar kidal. Begitu tangannya
disentuh dan didorong, tangan kiri pemuda itu berdesing
menuju lekuk di bawah leher Pangeran Muda. Karena sudah
diramalkan, Pangeran Muda sudah siap. Dengan telapak kedua
kaki bergeser ke belakang, sementara tangan kiri dengan
telapaknya yang terbuka lebar menerima tangan kanan lawan
pada perge-langan, sedang tangan kanan yang juga
telapaknya terbuka lebar, menyentakkan tangan kanan lawan
tepat pada sikutnya. Tenaga lawan yang terarah ke depan
dengan kuat, oleh Pangeran Muda ditumpahkan ke samping,
hingga kesatria itu terjungkal lepas dari kuda-kudanya, dan
jatuh ke samping dengan berjungkir. Akan tetapi, dengan
mengherankan anak muda itu tidak terus rubuh. Setelah
berjungkir dengan bagus, ia telah berdiri kembali dan
memasang kuda-kuda baru.
Sekarang tangan kirinya yang disodorkan ke depan.
Pangeran Muda sudah memperkirakan gerakan-gerakan
selanjutnya, yaitu bahwa tangan kiri akan tetap menjadi
senjata utama kesatria itu. Tangan kiri yang disodorkan ke
depan akan dijadikan umpan agar dipegang atau ditarik oleh
Pangeran Muda. Tangan kiri ini akan ditarik ke belakang diikuti
dengan serangan tangan kanan yang tidak akan ampuh, tetapi
memberi kesempatan pada tangan kiri untuk menyerang pada
gerakan selanjutnya.
Dengan perkiraan itu, Pangeran Muda berpura-pura
terpancing. Ia maju ke depan dengan badan yang rengkuh
dan tangan jauh menjulur ke depan untuk menghindarkan
serangan kaki lawan. Dengan telapak-telapak tangan yang
terbuka, Pangeran Muda menyentuh pergelangan tangan kiri
lawan yang oleh lawan segera ditarik ke belakang. Gerakan itu
diikuti oleh Pangeran Muda dengan tetap tidak melepaskan
tangan kanannya pada pergelangan kiri lawan sementara kaki
kiri Pangeran Muda menggeser dengan cepat. Tepat seperti
yang diramalkan, terasa oleh Pangeran Muda bahwa lawan
akan menghantamkan tangan kanannya, tapi sebelum tangan
kanan sempat menderu ke muka, Pangeran Muda yang
telapak tangan kanannya seperti melekat ke pergelangan kiri
lawan, mendorong lawan sambil menggeser kaki kanannya ke
depan. Lawan kehilangan keseimbangan dan tidak dapat
memberikan pukulan. Dalam keadaan kacau dan bingung itu,
Pangeran Muda memasukkan pukulan pendeknya ke rusuk kiri
lawan yang langsung terjatuh dan menggeliat-geliat di tanah.
Pangeran Muda mengangkatnya dengan memegang kedua
ketiak lawan dari belakang, lalu menyeretnya ke arah
lapangan, di mana para jagabaya di bawah pimpinan Garda
sedang mengumpulkan lawan yang masih hidup. Hanya tujuh
orang yang hidup karena para jagabaya umumnya
mempergunakan senjata-senjata tajam mereka. Yang lain
bergelimpangan mandi darah, ada yang pecah kepalanya, ada
yang putus tangannya, ada badan tanpa kepala, dan lain-lain
nasib yang mengerikan. Sementara itu, Pangeran Muda
mendapat kabar dari Garda bahwa lawannya bergulat di dalam
gubuk terpaksa dibunuhnya karena Garda hampir kewalahan.
Pangeran Muda menjelaskan, hal itu tidak terlalu menjadi
persoalan karena seorang kesatria yang menjadi pemimpin
pengacau telah dapat ditangkapnya hidup-hidup.
Pagi itu, setelah para jagabaya membakar berpikul-pikul
padi dan dendeng-dendeng serta perlengkapan-perlengkapan
lawan lainnya, mereka keluar dari hutan kecil itu. Ternyata
gerombolan itu memiliki perlengkapan penyeberangan berupa
rakit-rakit yang terbuat dari bambu besar, hingga karena
udara yang terkandung di dalamnya tidak mudah terbenam,
betapapun besarnya tarikan lumpur. Terpikir oleh Pangeran
Muda gerombolan itu telah merencanakan pengacauannya
dengan sangat baik karena bahkan persediaan bambu-bambu
besar itu sempat didatangkan ke suatu daerah di mana tidak
terdapat pohon-pohon bambu.
BERITA ditemukannya persembunyian pengacau dan
ditangkapnya hidup-hidup salah seorang di antara pemimpin
mereka sangat cepat diterima oleh sang Prabu di Pajajaran.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam minggu kedua setelah peristiwa pertempuran di rawa
itu, datanglah sebuah kereta yang dikawal oleh dua puluh
jagabaya ke kota Galuh. Kereta itu membawa sejumlah
bangsawan dan panglima jagabaya dari ibu kota. Di samping
diberi tugas oleh sang Prabu untuk menyampaikan
penghormatan dan penghargaan kepada Panglima dan kepada
Garda, mereka pun bermaksud mengambil tawanan-tawanan
itu untuk dibawa ke Pakuan Pajajaran dalam waktu singkat,
untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Yang paling menggembirakan Pangeran Muda adalah
kereta itu juga membawa surat-surat baginya. Dari Pangeran
Anggadipati berupa pernyataan dan kegembiraaan seorang
ayah kepada anaknya yang sudah berbuat banyak bagi
kerajaan. Dalam surat itu dikatakan, walaupun yang secara
terbuka mendapat penghargaan adalah Panglima Rangga
Wisesa dan Garda sebagai jagabaya, sang Prabu yang diberi
penjelasan lengkap oleh Panglima Rangga Wisesa tentang
jalannya peristiwa, sangat berkenan atas perbuatan Pangeran
Muda. Seandainya Pangeran Muda sudah berkedudukan
sebagai seorang puragabaya, tentu sang Prabu akan
memberikan penghargaan secara resmi. Disampaikan juga
berita oleh Ayahanda, sang Prabu dan Putra Mahkota ingin
sekali bertemu Pangeran Muda.
Surat yang kedua dari calon iparnya, Pangeran Rangga
Wesi yang menyampaikan ucapan selamat, juga memberikan
berita tentang segala yang terjadi di istana dan di Puri
Anggadipati setelah Pangeran Muda bertugas. Diberitahukan
pula oleh Pangeran Rangga Wesi, walaupun Ayahanda
Anggadipati mengusulkan supaya ia segera menikah dengan
Ayunda Ringgit Sari, kedua asyik masyuk itu memutuskan
untuk menangguhkan perkawinan mereka. Pertama, mereka
menganggap lebih baik kalau perkawinan dilangsungkan
setelah Pangeran Rangga Wesi diangkat untuk menjabat salah
satu kedudukan kerajaan; kedua, mereka mengharapkan
untuk dapat menikah pada hari yang sama dengan Pangeran
Muda dan Putri Yuta Inten. Pangeran .Muda sungguh-sungguh
terharu membaca berita itu. Tergugahlah rasa sayangnya
kepada Ayunda dan calon iparnya itu.
Yang terakhir adalah surat dari Putri Yuta Inten. Pertamatama
diberitakan tentang kegembiraan keluarganya, setelah
diberi tahu bahwa mereka saling mengasihi. Kemudian
kebanggaan gadis itu setelah mendengar cerita-cerita tentang
peristiwa penangkapan pemimpin pengacau di daerah Galuh
yang dilakukan oleh Pangeran Muda dengan para jagabaya.
Gadis itu menyatakan, Pangeran Muda sudah menjadi seorang
pahlawan bagi Pajajaran. Beberapa tukang kecapi sudah
membuat lagu-lagu pujaan bagi kepahlawanannya. Terakhir
sekali dinyatakannya kerinduannya.
Gadis itu menyatakan, bagaimana jalan-jalan, lorong kota
Medang dan lorong-lorong di rumahnya selalu mengingatkan
dia kepadanya. Dan kalau benda-benda atau tempat-tempat
tidak mengingatkannya pada Pangeran Muda, percakapan
rakyat tentang kepahlawanan Pangeran Muda tidak dapat
dihindarkannya. Segalanya itu membuatnya ia menderita,
walaupun ia menganggap penderitaan itu adalah penderitaan
yang seindah-indahnya dalam hidupnya. Kemudian gadis itu
berpesan agar Pangeran Muda menjaga dirinya baik-baik dan
segera pulang ke Pajajaran barat, di mana gadis itu selalu
menantinya. Sebelum menutup surat, gadis itu
memberitahukan juga bahwa Jante mengirim kabar dari
Kutabarang, memberitakan tentang kesehatannya. Menurut
Jante, segalanya di Kutabarang baik-baik, hanya ia selalu
dibayang-bayangi oleh beberapa kesatria yang dipimpin oleh
Raden Bagus Wiratanu.
Tambahan surat itu agak mengherankan Pangeran Muda,
tetapi karena perhatiannya tertumpah ke bagian surat yang
lain yang berulang-ulang dibacanya, Pangeran Muda segera
melupakan berita tentang jante. Perhatiannya terpusat kepada
bagian-bagian surat yang lain, yang menyatakan rindu
dendam gadis itu. Sebaliknya, pernyataan rindu dendam itu
menggugah pula rindu dendam pada diri Pangeran Muda.
Alangkah inginnya ia pulang ke Pajajaran barat. Hanya
kesatriaannya saja yang menahan untuk tidak mengemukakan
keinginannya itu kepada Panglima Rangga Wisesa.
Bab 17 Monyet Putih dan Permata Sakti
Sesuai dengan yang telah diduga, setelah penyergapan itu
kegiatan pengacau berhenti sama sekali. Rakyat yang semula
tiap malam mengungsi, mulai lagi berani tidur di kampung
mereka masing-masing. Walaupun demikian, perondaan
malam terus-menerus dilakukan oleh tujuh puluh lima orang
jagabaya di bawah pimpinan Garda yang sekarang telah
menjadi perwira dan dengan megah memakai tanda anugerah
kerajaan. Di samping melakukan tugasnya Garda sering
berkunjung kepada Pangeran Muda untuk berbincang-bincang
tentang itu dan ini. Karena rasa terima kasihnya, ia
memperlihatkan sikap yang sangat bersahabat terhadap
Pangeran Muda. Pada suatu kesempatan bahkan seluruh
keluarga Garda, anak-istrinya dibawanya untuk berkunjung
kepada Pangeran Muda. Sikap persahabatan Garda dan
jagabaya-jagabaya yang pernah bersama-sama melakukan
penyergapan dan semuanya mendapatkan anugerah itu
sungguh-sungguh membesarkan hati Pangeran Muda.
Akan tetapi, setelah beberapa lama kerinduannya hampir
tidak tertahankan lagi untuk berkunjung ke kota Medang.
Berulang-ulang ia hampir mengemukakan isi hatinya pada
Pangeran Rangga Wisesa, tetapi berulang-ulang pula niatnya
diurungkan karena sadar bahwa bagi seorang kesatria,
menahan . diri adalah suatu kewajiban.
Akan tetapi, pada suatu hari datanglah surat dari Pajajaran
yang isinya mengundang Pangeran Rangga Wisesa dan
Pangeran Muda untuk dalam waktu singkat datang ke ibu
kota. "Suatu hal yang penting telah terjadi, kita harus segera
pergi untuk mengetahui hal itu," kata Panglima Rangga
Wisesa dengan wajah yang sungguh-sungguh.
"Mungkinkah telah terjadi pemberontakan?" tanya
Pangeran Muda. "Ada dua kemungkinan: pertama, pemberontakan; kedua,
serangan dari luar. Dua-duanya jelek," ujar Panglima. Tapi
satu hal menyebabkan Pangeran Muda berbesar hati di
samping kecemasan, yaitu ia akan bertemu dengan Putri Yuta
Inten dan keluarganya sendiri. Akan tetapi, tentu saja rasa
gembiranya itu tidak bebas diungkapkan karena rasa
penasaran dan bahkan cemas pun membayanginya.
Mungkinkah telah terjadi pemberontakan" Mungkinkah ada
pasukan asing yang datang menyerang"
Pada hari yang ditetapkan, sehari sesudah datangnya
panggilan, berangkadah Pangeran Muda dengan Panglima,
diiringi oleh dua puluh orang pengawal. Perjalanan yang sukar
dan panjang itu tidak banyak menemui hambatan. Maka pada
hari ketujuh, rombongan yang seluruhnya terdiri dari para
prajurit dan perwira itu pun telah melewati gerbang timur ibu
kota yang megah itu. Dan dalam waktu singkat, Pangeran
Muda bersama Panglima telah berkumpul di ruangan istana,
dalam suatu rapat di mana hadir hampir semua pembesar
kera-jaan dan sejumlah besar puragabaya.
Sebelum rapat dimulai, sang Prabu sempat menanyakan
kepada Ayahanda tentang Pangeran Muda. Dengan gembira,
Ayahanda membawa Pangeran Muda menghadap kepada
beliau. "Saya punya harapan yang besar bagi masa depanmu,
Anggadipati," demikian sabda sang Prabu sambil memegang
pundak Pangeran Muda.
"Semoga hamba dapat memenuhi itu, Gusti."
"Engkau sudah kenal dengan anakku?" sang Prabu
bertanya. "Kami sudah kenal baik, Gusti."
"Syukurlah, saya berharap kita akan dapat berbincangbincang
lebih leluasa setelah masalah yang kita hadapi ini
diselesaikan," sabda sang Prabu, ketika juru acara datang dan
memberitahukan bahwa segalanya telah siap. Maka para
bangsawan dan puragabaya pun berkumpullah.
Jumlah para bangsawan tinggi dan puragabaya yang hadir
tidak lebih dari tiga puluh orang, sedang hadirin yang lain
yang duduk di belakang mereka adalah bangsawanbangsawan
muda dan para calon puragabaya. Sebagai
pengawal Panglima Rangga Wisesa, Pangeran Muda duduk di
belakang bangsawan tinggi itu, yang kebetulan duduk
tidakjauh dari Ayahanda dan sang Prabu. Dalam ruangan
tampak pula Putra Mahkota duduk berdampingan dengan
Pangeran Rangga Wesi yang sebagai calon pejabat tinggi
kerajaan harus hadir dalam rapat yang sangat penting itu.
Tidakjauh dari bangsawan-bangsawan muda itu berjajar pula
calon-calon puragabaya, kawan-kawan Pangeran Muda.
Setelah semua siap dan ruangan hening, bersabdalah sang
Prabu, "Para bangsawan dan para puragabaya, kita berkumpul
untuk membicarakan suatu masalah yang sangat penting
untuk melihat nasib rakyat kerajaan dan bahkan kerajaan
sendiri. Seperti Saudara-saudara ketahui, pengacauan di
wilayah Galuh Tua telah dapat dipadamkan, dengan pemimpin
pengacau-nya tertangkap hidup-hidup. Para puragabaya yang
bertugas untuk mengumpulkan keterangan darinya menarik
kesimpulan, pengacauan itu termasuk ke dalam suatu rencana
besar yang tujuannya tidaklah lain untuk merobohkan
Pajajaran sendiri. Dengan mengadakan pengacauan terusmenerus
di Galuh Tua, lawan mengharapkan akhirnya rakyat
tidak akan percaya lagi kepada kepemimpinan kita. Dan
dengan mengangkat bangsawan-bangsawan setempat sebagai
pemimpin mereka, mereka akan mendirikan kembali Kerajaan
Galuh yang oleh leluhur kita dipindahkan ke barat ini. Setelah
Galuh Tua didirikan, lawan mengharapkan agar antara Galuh
baru dengan Pajajaran terjadi pertentangan dan pertempuran.
Ketika itulah tangan yang sebenarnya mengatur sandiwara
akan muncul sebagai pemenang.
"Dengan dihentikannya pengacauan di wilayah kota Galuh
salah satu rencana mereka telah dapat digagalkan. Akan
tetapi, tidak berarti mereka berhenti dengan usaha mereka.
Kegiatan dipindahkan ke bentuk yang lain, yaitu penyerangan
yang lebih kasar, tetapi tidak kurang bahayanya.
"Dari tepi Cipamali, Ki Monyet Putih mengirimkan laporan
kepada kami tentang meningkatnya kegiatan lawan, setelah
pengacauan di Galuh dipadamkan. Dari laporan itu
digambarkan tentang pemusatan sejumlah besar prajurit, dan
perbekalan dan pembuatan bangunan-bangunan serta
peralatan-peralatan perang lainnya. Juga dari Pantai Utara
kami menerima laporan. Pangeran Kutabarang berhasil
menangkap seorang mata-mata lawan yang dalam
keterangannya mengatakan kepada kita bahwa gelombang
serangan baru akan dilakukan terhadap Pajajaran, terutama
melalui daratan. Nah, untuk menghadapi bahaya inilah kalian
kami undang. "Dalam perundingan dengan Panglima Tertinggi Jagabaya
beserta panglima-panglima pembantunya telah diambil dua
pilihan, yaitu menjawab bahaya itu dengan mengirimkan
sejumlah besar jagabaya ke tepi barat Cipamali, atau
mengirimkan sekelompok pasukan kecil yang terlatih dengan
baik untuk mengadakan serangan tiba-tiba, dengan tujuan
membunuh semangat lawan.
"Pilihan pertama diperhitungkan akan memakan biaya,
waktu, dan tenaga yang sangat besar. Karena waktu, dalam
hal ini sangat penting, pilihan pertama nilainya diragukan.
Pilihan kedua tampaknya lebih ringan, yaitu dengan hanya
mengirimkan beberapa puluh orang anggota pasukan terpilih,
kita akan dapat menggagalkan perencanaan mereka serta
melumpuhkan semangatnya. Diharapkan, sebelum lawan
dapat mempersiapkan rencana lain, kita sudah dapat
memperkuat tepi barat Cipamali. Oleh karena itu, Panglima
Tertinggi Jagabaya memutuskan untuk memilih yang kedua
dan bermaksud menyempurnakan rencana-rencananya
dengan Saudara-saudara."
Setelah pengantar diberikan oleh sang Prabu, maka
perundingan yang sangat lama dilakukan oleh para panglima
dan para bangsawan tinggi. Setelah memakan waktu sehari
semalam, akhirnya diputuskanlah tiga puluh orang pasukan
khusus akan dikirimkan ke perbatasan. Di antara yang tiga
puluh orang itu dua puluh orang terdiri dari jagabaya, sepuluh
orang lagi adalah calon-calon puragabaya. Pasukan ini
dipimpin oleh seorang puragabaya, yaitu puragabaya Geger
Malela, dengan wakilnya seorang perwira jagabaya yang
bernama Ki Santang, seorang perwira jagabaya yang telah
memperlihatkan keberanian dan kelicinannya dalam berbagai
medan pertempuran. Di dalam pasukan itu termasuk pula
sepuluh orang pasukan jagabaya yang dipimpin oleh Garda,
hanya Garda tidak menyertai mereka karena tanggung
jawabnya terlalu berat untuk ditinggalkan di Galuh.
Para calon puragabaya hampir seluruhnya ikut, kecuali
Jante karena Kutabarang termasuk daerah yang sangat
penting di Pantai Utara sehingga tidak mungkin ia
meninggalkannya. Di samping Jante, Rangga pun tidak ikut,
juga karena alasan yang sama, yaitu karena panglima yang
dikawalnya menduduki tempat yang terlalu penting untuk
tidak dikawal. Maka, pada saat yang telah ditetapkan,
berkumpullah pasukan khusus ini.
Untuk satu minggu pasukan mendapat petunjuk-petunjuk
berbagai segi medan yang akan mereka hadapi. Kemudian
tentang jumlah persenjataan dan kebiasaan-kebiasaan lawan.
Akhirnya, tentang cara-cara serangan yang mungkin akan
harus dilakukan. Dan setelah semuanya itu selesai, anggotaanggota
pasukan diberi waktu istirahat salama satu hari.
Keesokan harinya mereka diberangkatkan ke medan
pertempuran. Jelas bagi Pangeran Muda, ia tidak mungkin dapat bertemu
dahulu dengan Putri Yuta Inten. Akan tetapi, kesedihannya itu
ditekannya dengan kesadaran bahwa masalah pribadinya
sangat kecil artinya kalau dibandingkan dengan nasib rakyat
dan seluruh kerajaan. Dengan selalu menekankan kepentingan
kerajaan inilah Pangeran Muda dapat mencumbu dirinya
sendiri, agar tidak terlalu risau.
Ketika barisan mendapat penghormatan terakhir dari


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penduduk kota dan sang Prabu, Pangeran Muda melihat
kedatangan sebuah kereta. Dari dalam kereta itu turunlah
Raden Banyak Citra dengan keluarganya. Putri Yuta Inten
menghambur, dan seraya melupakan kebangsawanannya
mendesak ke muka untuk dapat berdiri di pinggir jalan di
mana pasukan khusus dengan megah lewat. Pangeran Muda
berusaha memberi isyarat kepada Putri Yuta Inten yang
mencari-carinya di antara pasukan yang berseragam dan
bertutup kepala sama itu. Akan tetapi Yuta Inten tidak dapat
membedakan Pangeran Muda dari anggota pasukan yang lain.
Lalu dalam sekejap mata, anggota-anggota pasukan sudah
berada di luar dinding benteng, menderu ke arah timur di atas
kuda-kuda masing-masing.
Walaupun pasukan tempur hanya terdiri dari tiga puluh
orang, anggota pasukan yang berangkat hari itu terdiri dari
empat puluh satu orang. Yang sepuluh orang adalah pengurus
senjata, pengurus kuda dan juru-juru masak. Sedang yang
seorang lagi adalah ahli dalam obat-obatan yang akan
memelihara kesehatan pasukan dan merawat yangmungkin
terluka. Dengan berpakaian serbaindah dan dengan panjipanji
yang berkibar megah, pasukan ini meninggalkan Pakuan
Pajajaran ke arah timur. Pada suatu tempat, ketika
perkampungan sudah menjadi jarang, Pangeran Muda
bersama pasukan berhenti. Pertama, untuk mengganti
pakaiannya yang megah dengan pakaian pertempuran; kedua,
untuk memberi minum kepada kuda mereka. Setelah itu,
selama satu minggu pasukan terus bergerak menuju ke timur,
hingga pada suatu ketika tibalah di suatu hutan yang tidak
begitu lebat di tepi barat Cipamali. Di sana mereka diterima
oleh perwira pemimpin asrama jagabaya yang ditempatkan di
tengah-tengah hutan. Perwira itu memberikan penjelasan
sekadarnya tentang keadaan medan, kemudian secara
bergiliran anggota pasukan khusus itu dipersilakan pergi
Persekutuan Pedang Sakti 4 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Harimau Mendekam Naga Sembunyi 13

Cari Blog Ini