Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 8

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 8


yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas itu.
Untuk kehormatan keluarga Banyak Citra, ia harus
membalas dendam terhadap Pangeran Anggadipati, keluarga
Tumenggung Wiratanu, dan juga keluarga Pembayun
Jakasunu Kesadaran ini menyebabkan ia sangat prihatin.
Itulah sebab nya, waktu istirahatnya tidak dipergunakan untuk
bermalas malasan. Ia terus-menerus merenungkan jurus
pertama yang didapatnya dari latihan pagi tadi.
Ia berdiri, lalu melakukan gerakan seperti yang dicontohkan
Jasik kepadanya. Ia memerhatikan bagian-bagian gerakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerakannya. Mula-mula diperhatikan tangannya. Tinjunya
yang mula-mula telentang di pinggangnya, kemudian
digerakkan perlahan-lahan ke muka. Ia baru menyadari bahwa
dalam gerakan itu, batang lengannya berputar sehingga tinju
yang awalnya telentang jadi telungkup di hadapannya.
Diperhatikannya pula hubungan gerakan tangannya itu
dengan gerakan seluruh tubuhnya. Menjadi jelas pula baginya
bahwa gerakan tangannya hanya bertenaga kalau tubuhnya
berdiri kukuh. Maka, kembalilah ia berlatih seorang diri, terusmenerus,
hingga keringatnya menitik-nitik dari keningnya.
Setelah lelah dan senja tiba, barulah ia berhenti.
Malam harinya ia tak dapat tidur. Seluruh tubuhnya sakit.
Dan ketika matahari terbit keesokan harinya, sesuai dengan
perjanjian, Banyak Sumba berangkat menuju tempat latihan.
Dalam perjanjian, ia harus mencoba agar tiba paling dulu.
Akan tetapi, jangankan berlari, berjalan pun ia tersiksa. Setiap
ototnya sakit ketika digerakkan akibat latihan yang dilakukan
kemarin. Itulah sebabnya, jalan memintas yang diambilnya
bukan mempercepat tetapi memperlambatnya.
Karena lewat jalan memintas itu, ia harus menyelinap di
antara semak-semak, melompati batang-batang dan cabangcabang
pohon yang runtuh. Perbuatan macam itu sukar sekali
dilakukannya karena setiap ototnya menjadi siksaan baginya.
Ketika ia tiba di tempat itu, kawan-kawannya sudah lama
berada di sana, menunggunya. Mereka pun rupanya mengerti
segala yang dialaminya. Paman Wasis meliriknya lalu berkata,
"Sakit-sakit?"
"Sakit sekali, Paman."
"Tidak apa, selanjutnya akan jadi biasa," ujarnya. Dan
latihan pun dimulai kembali. Banyak Sumba harus melakukan
jurus pertama. Dengan susah payah, ia melakukannya. Jasik
bertindak sebagai pembantu yang sewaktu-waktu diharuskan
memberi contoh.
Karena badannya sakit-sakit, Banyak Sumba tidak dapat
melakukan jurus pertama itu dengan baik. Paman Wasis tidak
puas akan kemajuan muridnya. Karena itu, hari kedua
sebagian besar dipergunakan untuk menyempurnakan jurus
pertama ini. Kemudian, pada waktu istirahat, Paman Wasis
menerangkan bahwa kalau jurus pertama belum dikuasai,
pelajaran jurus selanjutnya tidak ada gunanya karena tidak
akan dapat dilakukan dengan sempurna. Maka, latihan jurus
pertama ini pun dilanjutkan hingga waktu pulang tiba.
Jurus pertama itu ternyata memakan waktu hampir satu
bulan untuk dapat dilakukan dengan sempurna. Paman Wasis
sukar sekali puas. Karena itu, Banyak Sumba terpaksa
mempergunakan waktu istirahatnya untuk merenungkan
segala penjelasannya, lalu melaksanakan dalam latihan
seorang diri. Jurus-jurus selanjutnya semakin sukar pula dilakukan. Akan
tetapi, kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu benarbenar
diperlukan, Banyak Sumba mempelajarinya dengan
tekun dan tabah.
Setelah hampir satu tahun latihan-latihan itu dilaksanakan,
akhirnya Paman Wasis berkata, "Raden, yang terakhir Raden
pelajari adalah jurus kedua puluh satu. Itu jurus penghabisan
yang Paman miliki. Raden murid yang tekun, biasanya kedua
puluh satu jurus itu dikuasai paling sedikit dalam tiga tahun.
Sekarang, tibalah saatnya bagi kita untuk mencoba jurus-jurus
itu satu per satu. Untuk itu, Jasik akan menjadi lawan Raden
dalam mempergunakan jurus-jurus itu. Jasik, kemari. Raden
Sumba akan mempergunakan jurus pertama terhadapmu,
dengan jurus apa harus kaulawan?" "Jurus delapan," jawab
Jasik. "Bagus," ujar Paman Wasis, "sekarang mulai!" Kedua
anak yang sama-sama berumur empat belas tahun itu mulai
berhadapan, lalu Paman Wasis memberi aba-aba supaya
mereka mulai. Maka, berulang-ulang Banyak Sumba
mempergunakan jurus pertama, sedangkan Jasik
menangkisnya dengan jurus kedelapan.
Latihan-latihan semacam ini terus-menerus dilakukan,
hingga akhirnya setiap jurus dipasang dengan lawannya.
Ketika latihan yang mempergunakan jurus kedua puluh satu
selesai, Banyak Sumba dan Jasik sudah hampir berumur lima
belas tahun. Akan tetapi, mereka tampak lebih tua, bukan saja
karena badan mereka tumbuh tinggi dan besar, tetapi latihanlatihan
yang berat itu menyebabkan cahaya mata mereka
memperlihatkan ketabahan seorang dewasa.
Setelah latihan jurus berpasangan, dimulailah latihan
bebas. Banyak Sumba dan Jasik berkelahi berhadapan dengan
mempergunakan berbagai jurus, sesuai dengan tuntutan
keadaan. Supaya perkelahian ini tidak membahayakan,
ditetapkan peraturan agar pukulan-pukulan atau tendangantendangan
yang dilancarkan dikendalikan. Di samping itu,
Paman Wasis siap melakukan tindakan darurat kalau ada
kecelakaan. Paman Wasis ternyata orang yang mahir pula
dalam menolong kecelakaan, terutama bentuk-bentuk
kecelakaan seperti terpukul, terkilir, dan memar.
SETELAH jurus-jurus tangan kosong itu dapat dipergunakan
dengan baik, Paman Wasis mulai mengajarkan bagaimana
caranya mempergunakan senjata. Tidak banyak yang harus
dipelajari dalam bagian pelajaran ini karena senjata itu dapat
dianggap sebagai perpanjangan tangan. Oleh karena itu, jika
jurus sudah dikuasai, penggunaan senjata tidaklah sukar.
Dengan sedikit petunjuk dari Paman Wasis, Banyak Sumba
sudah dapat mempergunakan senjata itu.
Senjata itu ada beberapa macam, terbagi ke dalam tiga
kelompok, yaitu senjata panjang, pertengahan, dan pendek.
Senjata panjang terdiri dari tombak dan pedang, disusul
dengan golok sebagai senjata pertengahan, diakhiri dengan
badik dan kujang sebagai senjata pendek. Banyak Sumba,
sebagai seorang bangsawan, memusatkan perhatiannya pada
senjata pendek karena senjata pendek itulah yang lazim
menjadi pegangan para bangsawan. Bukan karena senjata itu
lebih ringan, tetapi pendeknya senjata itu melambangkan
keberanian. Setelah latihan-latihan dengan senjata pendek selesai, pada
suatu sore, Paman Wasis dan Banyak Sumba menghadap
Ayahanda. Dalam ruangan yang penuh dengan peti-peti
lontar, Ayahanda menerima Paman Wasis dan Banyak Sumba.
Beliau mempersilakan Paman Wasis. Setelah orafig tua itu
menyembah, ia pun berkata, "Gusti, segala ilmu yang hamba
miliki telah dikuasai putra Gusti. Hamba mengembalikan
Raden Sumba kepada Gusti."
Ayahanda yang jarang sekali bertemu dengan Banyak
Sumba mengangkat mukanya, lalu memandang Banyak
Sumba. Walaupun tidak tersenyum, wajah Ayahanda cerah
ketika itu. Beliau tampaknya gembira karena menurut rencana beliau,
Banyak Sumba akan belajar lima tahun. Kini, baru tiga tahun,
pelajaran itu telah selesai. Itulah sebabnya mengapa beliau
berkenan hati. Akan tetapi, kegembiraan Ayahanda ini tidaklah
menyebabkan Banyak Sumba bersenang hati. Ia tahu bahwa
mempelajari ilmu berkelahi itu hanyalah usaha permulaan dari
usaha-usaha selanjutnya yang sangat berat. Ia harus terus
belajar hingga suatu saat, ia pantas menghadapi Pangeran
Anggadipati. Hanya jika orang itu telah tewaslah Banyak
Sumba akan gembira. Dan pada saat itu, ia akan merasa
cukup berharga sebagai anggota wangsa Banyak Citra. Selagi
Banyak Sumba termenung, Ayahanda mulai berkata lagi
kepada Paman Wasis, "Wasis, tapi kau harus membuktikannya
dulu kepadaku."
Paman Wasis termenung sebentar, ia tengadah, lalu
berkata, "Gusti dapat membuktikannya, malam ini atau besok
pagi." "Malam ini, kautahu bahwa setiap hari sangat berharga
bagi suatu keluarga yang telah diperlakukan tidak adil. Aku
sudah cukup bersabar menunggu Sumba belajar selama tiga
tahun. Aku ingin segera melihat, apakah ia sudah dapat
diandalkan untuk menegakkan kehormatan wangsa Banyak
Citra." "Baiklah Gusti, hamba akan meminta agar lima orang
gulang-gulang yang muda-muda bersiap-siap untuk
bertanding dengan Raden Sumba."
"Katakan kepada mereka bahwa mereka yang
memperlihatkan keperwiraan akan kuberi hadiah."
"Izinkan anak hamba,Jasik, ikut melawan Raden Sumba,
Gusti." "Ya. Tapi Jasik belajar lebih lama daripada Sumba," ujar
Ayahanda agak ragu-ragu.
"Ya, Gusti, tapi anak hamba kurang mempergunakan
otaknya," jawab Paman Wasis.
"Baiklah, ia pun berhak mendapat hadiahku kalau
memperlihatkan keperwiraannya. Setiap orang yang gagah
berani serta tangkas, dihargai oleh keluarga Banyak Citra,"
demikian kata penutup Ayahanda.
MALAM itu, lain dari biasa, halaman padepokan terang
benderang oleh cahaya obor. Biasanya, Ayahanda melarang
orang menyalakan api di luar rumah. Akan tetapi, karena
pentingnya peristiwa malam itu, Ayahanda mengizinkan
penduduk Padepokan Panyingkiran bersenang-senang.
Seluruh penghuni Panyingkiran sudah hadir di sekeliling
lapangan kecil itu. Wanita duduk di bangku, laki-laki berdiri.
Mereka mengobrol dan bahkan mulai tertawa-tawa. Sejak
mereka datang ke Panyingkiran, baru malam itulah suasana
gembira mereka alami kembali. Bagaimanapun, tamatnya
pelajaran Banyak Sumba merupakan peristiwa yang
menggembirakan bagi abdi-abdi setia Ayahanda. Selain itu,
mereka akan mendapatkan hiburan yang sangat menarik pula,
yaitu pertandingan antara Banyak Sumba dan lima gulanggulang
dan Jasik. Ketika Ayahanda keluar pendapa, diiringi Ibunda dan
Ayunda Yuta Inten, heninglah suasana. Ayahanda duduk di
bangku besar, lalu berkata dengan nyaring, "Seperti Jante
Jaluwuyung, Banyak Sumba harus menjadi laki-laki sejati. Ia
harus berani, tabah, tangkas, dan pantang menyerah. Nah,
kalian yang selama ini menjadi abdi-abdi setia, bantulah
anakku menjadi laki-laki yang kuingini. Lawanlah dia dalam
pertandingan ini.
Barang siapa mengalahkannya dengan cara yang baik, akan
kuberi hadiah tanda penghargaanku. Sekarang, mulailah!"
Paman Wasis memberikan isyarat, maka Banyak Sumba
dengan calon lawan-lawannya maju ke muka, mengelilingi
Paman Wasis. Paman Wasis memberikan penjelasan, "Saya
akan memerhatikan dan menilai perkelahian kalian. Saya akan
menentukan kemenangan dan kekalahan kalian.
Bagaimanapun, dalam pertandingan ini tidak boleh ada orang
yang cedera karena itu serangan-serangan kalian harus
dibatasi dan dikendalikan. Gantilah pukulan dengan tepukan
dan dorongan. Demikian juga tendangan, janganlah dilakukan
hingga menyebabkan kesakitan, apalagi cedera. Kalian boleh
mengunci lawan, boleh juga melipat dalam usaha pura-pura
mematahkan. Hendaklah pihak yang dipatahkan, kalau tidak
dapat melepaskan diri dan merasa sakit, segera mengakui dan
menerima kekalahan. Sekarang, kita mulai. Peserta kita bagi
dua, satu kelompok terdiri dari tiga orang. Yang tiga orang ini
akan berkelahi dan pemenangnya akan bertanding dengan
pemenang kelompok kedua. Kelompok pertama terdiri dari
Jasik, Iba, Misdi; kelompok kedua terdiri dari Raden Sumba,
Waksir, dan Saro. Kita mulai dengan kelompok pertama. Iba
akan melawan Misdi. Mari kita mulai!"
Para peserta meminggir, kecuali Iba dan Misdi. Sementara
itu, Paman Wasis memanggil dua orang gulang-gulang tua,
yaitu Kakek Misja dan Arda yang akan membantu memberikan
penilaian. Maka, setelah dua orang pembantu itu menempati
tempat masing-masing, Paman Wasis memberikan aba-aba
tanda pertandingan dimulai.
Iba dan Misdi berhadapan di tengah-tengah lapangan kecil
yang diterangi obor. Kawan-kawannya, para gulang-gulang,
mulai ramai memberi semangat kepada kedua orang prajurit
itu, tetapi mereka belum juga bergerak. Mereka diam seperti
patung, dalam sikap siaga saling mengintai. Tiba-tiba, cepat
seperti kilat, tangan Iba menyerang ke arah pundak Misdi.
Banyak Sumba mengerti bahwa serangan itu bukan serangan
sebenarnya, tipuan belaka. Ketika Misdi menangkap dan
mengibaskan tangan kanan Iba, Iba menyerang leher Misdi
dengan tangan kirinya. Iba maju dengan cepat sambil
mendorong dagu Misdi ke atas. Misdi berusaha melepaskan
tangan Iba, tetapi Paman Wasis berseru, "Heup!" tanda
perkelahian harus dihentikan. Kedua orang peserta berhenti
bertanding, kemudian Paman Wasis berkata, "Iba menang. Ia
berhasil memegang leher Misdi, itu dapat pula diartikan bahwa
ia berhasil memukul leher Misdi. Kalau mereka berkelahi
benar-benar, Misdi akan cedera karena lehernya kena
pukulan. Leher merupakan bagian yang lemah dari. tubuh
kita. Itulah sebabnya, Iba kita anggap menang."
Kedua orang pembantu penilai yang terdiri dari Kakek Misja
dan Arda, setuju. Maka, Iba ditetapkan sebagai pemenang.
Pertandingan dilanjutkan oleh anggota kelompok kedua, yaitu
Waksir melawan Saro. Mula-mula, Saro menyerang dengan
mencekik lawannya. Akan tetapi, Waksir sempat membanting
Saro ke samping kiri hingga tangan Saro lepas dan
sempoyongan ke samping. Waksir menghambur menyerang
Saro yang belum kukuh berdiri dengan kaki ke arah perutnya.
Saro terpental dan jatuh di pangkuan seorang gulanggulang
yang menonton sambil bersila. Orang-orang bersorak
dan tertawa melihat pertandingan yang lucu itu. Sementara
itu, Saro bangun sambil membersihkan celana pangsinya yang
penuh debu.

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waksir menang," kata Paman Wasis. Setiap orang setuju
karena dalam perkelahian sebenarnya, tentu saja Saro yang
sudah jatuh karena serangan kaki Waksir akan terus diserang
dan mungkin cedera.
Sebelum debu turun ke atas lapangan kecil itu, Banyak
Sumba melihat Jasik maju melawan Iba. Iba tinggi besar,
otot-otot tangan dan kakinya menonjol, demikian juga otot
perut dan otot dadanya, tampak dari balik baju salontrengnya.
Sementara itu, Jasik tinggi lampai, otot-ototnya tidak
kelihatan. Akan tetapi, Banyak Sumba tahu bahwa di balik
gerak-geriknya yang lembut itu, Jasik memiliki kegesitan yang
tinggi. Sekarang, kedua orang lawan sudah berhadapan.
Karena Jasik kecil, tampak Iba bermaksud menangkapnya.
Jasik bergerak ke samping. Iba mencegatnya. Untuk beberapa
lama, tidak ada yang membuka serangan. Mereka saling
mengintai. Tiba-tiba Iba melompat, menubruk sambil
merangkul Jasik. Dengan cepat sekali Jasik menghindar sambil
menyepak ke arah rusuk kanan Iba, tetapi sasaran tidak
dikenai dengan tepat karena Iba masih sempoyongan. Jelas
bagi Banyak Sumba betapa tangkasnya Jasik.
Sekarang, keduanya siap sedia kembali. Tiba-tiba, Iba
menyerang ke arah leher Jasik dengan tangan kirinya. Jasik
mundur dengan menggeser kaki kanannya ke belakang.
Dengan demikian, pundak kanannya maju ke muka, dan
pundak kanan ini ditangkap oleh Iba dengan sigap. Iba
merenggut Jasik ke depan dengan maksud menguncinya
dengan pitingan. Akan tetapi, secepat kilat Jasik
mempergunakan sikutnya ke arah ulu hati Iba. Sambil
menghambur, lututnya pun diangkat ke arah perut Iba.
Karena Iba menarik Jasik dengan kuat, serangan Jasik pun
tidak dapat dihindarkan.
Iba terpental dan berguling-guling kesakitan di atas debu.
Paman Wasis segera melonggarkan ikat pinggangnya untuk
memudahkan pernapasan Iba, yang lain membantu
menggerak-gerakkan tangan Iba sesuai dengan perintah
Paman Wasis. Tak lama kemudian, Iba pun berdiri, lalu minum
air jernih yang telah disediakan para emban. Ia tertawa. Jasik
mendekatinya, minta maaf. Iba yang jauh lebih tua
daripadanya menepuk-nepuk pundak Jasik, tanda tidak
mengandung dendam. Maka, pertandingan pun dilanjutkan.
Banyak Sumba berhadapan dengan Waksir. Sebelum
mereka memulai, Ayahanda berseru, "Waksir, kuberikan
kepadamu badik berhulu gading kalau kau mengalahkan
anakku." "Nyakseni!" kata hadirin, kemudian memberikan semangat
kepada Waksir yang mulai bergerak ke samping. Banyak
Sumba bersiap-siap; ia tahu bahwa Waksir sangat lincah
kakinya. Oleh karena itu, ia tidak boleh diberi kesempatan.
Waksir menyodorkan tangannya begitu dekat sehingga dapat
saja ditangkap oleh Banyak Sumba. Banyak Sumba sadar
bahwa ia tidak boleh terpancing. Ia bergerak ke samping.
Ketika Waksir sempat merobohkan kuda-kudanya, ia segera
menyeruduknya. Waksir sempat menangkap tangan kiri
Banyak Sumba dan mulai membantingnya. Untung, Banyak
Sumba sempat menangkap ikat kepala dan menariknya ke
belakang. Waksir yang tidak sempat memperkukuh kembali
kuda-kudanya, jatuh telentang. Banyak Sumba mengangkat
kakinya di atas ulu hati Waksir, tanda ia dapat melakukan
serangan yang mematikan. Ayahanda berdiri, kemudian duduk
kembali. "Waksir, umur dan pengalamanmu tidak menolongmu,"
kata Paman Wasis sambil maju ke tengah lapangan.
"Pertandingan terakhir, antara Raden Sumba dan Jasik,"
serunya kepada hadirin yang betul-betul tercengkeram
tontonan itu. "Jasik, badik yang bergagang gading itu kuberikan
kepadamu kalau kaumenang," kata Ayahanda.
"Nyakseni' seru hadirin gembira, lalu memberi semangat
kepada Jasik dan juga kepada Banyak Sumba.
Sekarang, kedua orang lawan telah berhadapan dan Paman
Wasis memberikan isyarat mulai. Keduanya tidak bergerak,
mereka saling mengintai. Keduanya juga sudah saling
mengenal kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mereka
saling menunggu kesempatan.
Jasik membuka serangan dengan tendangan yang cepat
sekali ke arah dada Banyak Sumba. Banyak Sumba mundur.
Sebelum Jasik sempat memperbaiki kuda-kudanya, ia
melompat menyerang dengan dorongan. Akan tetapi, Jasik,
seperti sudah diramalkan, segera menghindar ke samping
kanan, lalu menyerang. Untung Banyak Sumba dapat
menangkisnya. Dengan tidak disangka-sangka, tangan yang
dipergunakan untuk menangkis itu ditangkap Jasik, lalu
diputar. Otot dan sendi tangan meregang, rasa sakit mulai
menyelinap hingga ke belikatnya. Tak ada pilihan bagi Banyak
Sumba, menyerah atau menjatuhkan diri. Banyak Sumba
memilih menjatuhkan diri ke arah kiri sambil menyepak ke
depan. Terdengar suara gedebuk dan napas tersengal. Ketika
Banyak Sumba jatuh dengan tangan kiri menumpu di tanah, ia
melihat Jasik berdiri membungkuk sambil memegang ulu
hatinya. Banyak Sumba bangun bersamaan dengan Paman
Wasis mendekati Jasik. Jasik diantar ke pinggir, disuruh
duduk, lalu diberi minum.
"Maaf, Sik," kata Banyak Sumba. Jasik tersenyum.
"Raden Sumba adalah pemenang," seru Paman Wasis.
"Nyakseni.!" seru para hadirin.
Demikianlah akhir pertandingan itu. Ketika Banyak Sumba
berpaling ke bangku, Ayahanda tampak diiringi Ibunda dan
Ayunda berjalan ke arah pendapa. Ayahanda tidak pernah
menyatakan apa-apa terhadap segala yang dicapai putraputranya
karena bagi keluarga Banyak Citra, mencapai yang
terbaik sudah menjadi keharusan. Demikian pernah diucapkan
oleh Ayahanda. SETELAH pelajaran berkelahi selesai Banyak Sumba
mengharapkan perintah atau isyarat dari Ayahanda bahwa ia
harus melakukan sesuatu. Akan tetapi, Ayahanda tidak pernah
berkata apa-apa ataupun memberikan isyarat bahwa ia harus
melakukan sesuatu untuk keluarganya. Bahkan, belakangan ini
Ayahanda lebih banyak menyepikan diri di tengah-tengah
tumpukan lontar.
Keadaan ini sangat tidak menyenangkan Banyak Sumba. Ia
bimbang, tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Haruskah
ia memohon diri untuk pergi dari Panyingkiran, untuk
membalaskan dendam keluarganya" Apakah kepandaiannya
sudah cukup untuk menunaikan tugas ini" Ataukah ia harus
menunggu beberapa waktu hingga Ayahanda berkenan
memerintahnya untuk pergi, untuk membalas dendam atau
belajar ilmu berkelahi yang lebih tinggi" Setiap hari, Banyak
Sumba sering termenung, tak tahu apa yang harus
dikerjakannya. Yang lebih menekan perasaannya adalah Ayunda Yuta
Inten. Kalau anggota keluarga yang lain sudah mulai dapat
mengangkat beban dukacita, Ayunda Yuta Inten makin hari
tampaknya tidak makin berlega hati, malahan makin murung
juga. Badan Ayunda makin kurus. Hal itu karena ia terusTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
menerus berpuasa dan bersemedi. Padahal, kesibukan di
Panyingkiran tidak berkurang bagi Ayunda. Bekerja sambil
berpuasa dan dukacita yang berkepanjangan seolah-olah menggerogod
Ayunda yang makin hari makin pucat pula. Hingga suatu hari,
ketika sedang menyulam, Ayunda jatuh pingsan di atas
tikarnya. Sudah barang tentu isi Panyingkiran cemas. Ibunda mulai
berderai air mata, demikian juga para emban. Hanya
Ayahanda yang tetap tenang dan dengan suara tetap
memerintah kepada Ibunda, "Larang ia berpuasa!" Setelah
berkata demikian, beliau membebaskan Iba dan Misdi yang
sejak hari itu tidak lagi diberi tugas mengambil kayu bakar.
Mereka diberi tugas baru, yaitu mencari madu tawon dan telur
burung atau ayam hutan untuk Ayunda. Kedua macam
makanan itu diharapkan segera mengembalikan kesehatan
Ayunda Yuta Inten. Dan setelah beberapa hari dilarang
berpuasa serta diharuskan minum madu tawon serta telur
unggas itu, sedikit demi sedikit kesegaran Ayunda pulih
kembali. Setelah sebulan lewat, Ayunda pun mulai kuat
walaupun masih tetap kurus.
Untuk mengembalikan kesehatannya ke keadaan semula,
tugas Iba dan Misdi untuk mencari madu tawon dan telur
unggas tidak dihentikan. Bukan hanya Ayunda yang
diharuskan makan santapan yang menyehatkan itu, tetapi
juga adik-.idik Banyak Sumba yang masih kecil. Sekarang,
mereka mulai < libiasakan menambah makanannya dengan
bahan makanan yang sehat itu sehingga menyebabkan
perubahan pula pada lugas Banyak Sumba.
Sebelumnya, Banyak Sumba diberi tugas untuk belajar
menjadi pemimpin para gulang-gulang yang menjaga sekitar
l'anyingkiran. Setelah Iba dan Misdi diharuskan mencari madu
dan telur unggas, Ayahanda memberinya tugas lain. Ia harus
menjadi pengawal para gulang-gulang yang mengambil perhrkalan
di hutan. Karena Padepokan Panyingkiran terletak di puncak gunung
yang kecil dan ditumbuhi hutan lebat, berhuma suatu hal yang
hampir tidak mungkin dilakukan. Di samping itu, berhuma
akan sangat menyulitkan penghuni Panyingkiran yang bukan
saja terlalu sedikit jumlahnya untuk membuka hutan lebat,
tetapi juga tidak akan mampu menjaga huma dari gangguangangguan
binatang hama. Itulah sebabnya, Ayahanda,
sebagai seorang yang biasa memikirkan segala-segalanya,
bertindak mengatur cara penyediaan bahan makanan untuk
penghuni Padepokan Panyingkiran itu. Adapun caranya sangat
mengesankan Banyak Sumba.
Di tengah hutan, antara Padepokan Panyingkiran dan Kota
Medang, dipilih suatu tempat untuk mata-mata dan para
pembantu Ayahanda guna menyimpan barang-barang
keperiuan dan bahan makanan bagi para pengungsi.
Ayahanda menyimpan beberapa orang gulang-gulang yang
setia untuk terus tinggal di Kota Medang. Pada saat-saat yang
tetap, mereka masuk hutan membawa persediaan makanan
dan berita dalam helai-helai lontar. Mereka tidak diberi tahu
tempat persembunyian keluarga Banyak Citra. Mereka hanya
diberi tahu di mana mereka harus menyimpan barang-barang,
bahan makanan, serta berita.
Agar tidak mencurigakan, mereka mengangkut beras dan
helai-helai lontar dalam bumbung bambu besar yang biasa
dipergunakan pembuat gula enau. Bumbung-bumbung ini
mereka letakkan di tengah hutan yang banyak pohon
enaunya. Kemudian, bumbung itu akan diambil oleh gulanggulang
dari Padepokan Panyingkiran. Iba dan Misdi termasuk
kelompok yang biasa mengambil bumbung-bumbung ini,
bukan saja karena mereka orang-orang muda yang kuat,
terutama karena mereka kelompok gulang-gulang yang
memiliki kemahiran berkelahi. Mereka dapat diandalkan
seandainya terjadi sesuatu dalam menjalankan tugasnya.
Setelah Iba dan Misdi mendapat tugas mencari madu
tawon dan telur burung, tugas mereka mengawal gulanggulang
yang mengambil kiriman-kiriman perbekalan itu
diserahkan kepada Banyak Sumba.
Empat belas hgri sekali, Banyak Sumba dengan rombongan
gulang-gulang melakukan perjalanan yangjauh menuju hutan
yang ditetapkan sebagai tempat menyimpan kiriman dari Kota
Medang. Biasanya, bumbung bambu besar berisi beras,
garam, dan gula tersandar di bawah pohon-pohon enau.
Sepintas lalu, orang akan menyangka bahwa bumbungbumbung
yang sangat banyak itu milik pembuat gula.
Di samping bumbung-bumbung bambu, kotak-kotak lontar
biasanya disimpan di atas sebatang pohon, diletakkan di
antara suatu cabang yang tinggi. Dengan cara demikianlah
penghuni Padepokan Panyingkiran mendapat persediaan
makanan. Dengan cara itu pula, Ayahanda mendapat berita
tenung Kota Medang. Makin kagum saja Banyak Sumba pada
kecerdikan Ayahanda.
PADA suatu hari, terjadi peristiwa yang menggemparkan
dan mencemaskan penghuni Padepokan Panyingkiran. Ketika
Banyak Sumba memimpin rombongan untuk mengambil
perbekalan, ternyata bumbung-bumbung bambu yang
seharusnya bersandaran di bawah pohon enau tidak
ditemukan. Kotak lontar yang berisi berita tidak diganggu
orang dan ada di tempatnya. Melihat kenyataan itu, Banyak
Sumba memerintahkan agar para gulang-gulang kembali ke
Padepokan Panyingkiraran.
Mereka pun segera kembali dengan tangan hampa. Setiba
di padepokan, Banyak Sumba segera melapor kepada
Ayahanda. "Mungkin mereka ditangkap," kata Ayahanda. Dalam
suaranya, jelas sekali terdengar kecemasan beliau.
"Apakah itu berarti kita tidak akan mendapat perbekalan
lagi, Ayahanda?" tanya Banyak Sumba, la tidak dapat
menahan kecemasannya.
"Mungkin mereka mulai mengejar tlta, selain menutup urat
nadi jalan perbekalan. Tapi jangan cemas, kita mungkin
terpaksa harus menggunakan cara penyediaan perbekalan
yang kedua atau memindahkan tempat persembunyian kita.
Akan tetapi, marilah kita selidiki dulu, mengapa perbekalan
kita sampai hilang," lanjut Ayahanda sambil menekur. Setelah
beberapa lama termenung, berkatalah beliau, "Kita masih
memiliki perbekalan yang cukup. Kalau mereka harus datang
setiap minggu, itu bukan hanya untuk perbekalan, tetapi
untuk berita-berita. Kita harus menyelidiki, apakah mereka
tertangkap atau perbekalan itu dicuri orang. Nah, untuk
mengetahui hal itu, engkau Sumba, harus memimpin
beberapa orang pengintai. Pilihlah di antara kawan-kawanmu
yang kaupercayai."
"Berapa banyakkah gulang-gulang yang dapat hamba
bawa, Ayahanda?"
"Empat orang, karena yang lain harus bekerja di sini."
"Kurang dari empat orang pun tidak masalah, Ayahanda,"
kata Banyak Sumba yang mengetahui bahwa tenaga para
gulang-gulang sangat dibutuhkan di Panyingkiran.
"Empat orang tidak terlalu banyak, bahkan mungkin terlalu


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit. Siapa tahu mereka akan mencoba menyergap kita,"
lanjut Ayahanda. Banyak Sumba barulah menyadari bahwa
bukan pihak mereka saja yang mungkin melakukan
pengintaian. Pihak lawan pun tidak mustahil melakukan hal itu
dalam rangka mengikuti jejak Ayahanda dan rombongannya
yang sedang bersembunyi.
"Kalau begitu, hamba akan membawa empat orang: Paman
Wasis, Jasik, Misdi, dan Iba."
"Baiklah," sahut Ayahanda, "tugas Misdi dan Iba akan Ayah
serahkan kepada yang lain. Berhati-hatilah, semoga Sang
Hiang Tunggal bersama kalian."
"Hamba akan sangat berhati-hati, Ayahanda," ujar Banyak
Sumba. Kemudian, mereka merundingkan dan menetapkan
kapan rombongan pengintai akan pergi. Dua hari sejak
pembicaraan itu, rombongan berangkat dengan senjata
seperlunya. Setelah satu hari dalam perjalanan, tibalah
mereka di tempat pohon-pohon enau. Mereka pun mengatur
dan menetapkan tempat yang baik untuk melakukan
pengintaian. Pada hari keempat, Misdi mendekati Banyak Sumba dengan
merangkak, lalu berbisik sambil memberikan isyarat bahwa
sesuatu sedang terjadi. Banyak Sumba berdiri dari tempat
duduknya, lalu memandang ke arah yang ditunjuk Misdi. Dari
jauh tampaklah rombongan yang terdiri dari lima orang. Setiap
orang dari rombongan itu membawa sepuluh bumbung bambu
besar. Dari jauh, mereka seperti serombongan pembuat gula.
Akan tetapi, Banyak Sumba dan kawan-kawannya ddak tertipu
oleh penyamaran itu. Mereka yang datang itu adalah para
pengikut Ayahanda yang tinggal di kampung-kampung sekitar
Kota Medang. Setelah rombongan dekat, para pengintai tidak keluar dari
persembunyian. Mereka memerhatikan, bagaimana kelima
orang itu terkejut ketika melihat di bawah pohon-pohon enau
itu tidak terdapat bumbung bambu kosong seperti biasa.
Melihat tak satu pun bumbung bambu tersandar di bawah
pohon enau, para anak buah Ayahanda yang baik itu tampak
ketakutan. Orang yang tertua di antara mereka segera berjalan ke
arah pohon tempat Banyak Sumba meletakkan kotak lontar
yang berisi berita dari Ayahanda. Dengan kecemasan dan
sikap berjaga-jaga, para ponggawa itu mendengarkan
pemimpin mereka membaca lontar yang bertuliskan berita itu.
Kemudian, mereka mencabut senjata dan dengan selalu
waspada menghindar dari tempat itu. Para pengintai
memerhatikan kelima orang ponggawa yang baik itu dari jauh
karena Ayahanda memerintahkan agar mereka tidak mencoba
menemui para pembantu itu.
Setelah itu hutan sunyi kembali dan hari pun menuju senja.
Ketika itu, terpikirlah oleh Banyak Sumba bahwa mereka harus
bermalam di hutan. Kalau tidak, mungkin pencuri perbekelan
itu tidak mereka pergoki. Oleh karena itu, berundinglah
mereka, lalu memutuskan bahwa mereka akan bermalam di
atas pohon-pohon yang tinggi untuk menghindari binatang
buas yang mencari mangsa di malam hari. Banyak Sumba
bersama kawan-kawannya pun memilih pohon-pohon yang
sekiranya tepat untuk tempat mereka bermalam. Mereka
bergerak dengan hati-hati dan selalu waspada, agar kehadiran
mereka tidak diketahui oleh para pencuri perbekalan.
Akhirnya, pohon-pohon itu pun ditemukan, yaitu pohonpohon
yang tidak terialu besar dan tidak terialu jauh letaknya
dari tempat perbekalan ditinggalkan para ponggawa. Para
pengintai duduk atau berbaring-baring pada cabang-cabang
pohon. Agar tidak jatuh, Banyak Sumba mengikatkan
pinggangnya pada cabang pohon tempat ia bersandar. Maka,
tak berapa lama kemudian, malam pun turun dengan beribu
bintangnya. Karena berbaring di atas cabang pohon itu tidak
menyenangkan, dan karena tidur di bawah langit terbuka itu
baru pertama kali dialaminya, sampai larut malam Banyak
Sumba sukar sekali memejamkan matanya. Ia harus berjaga
sambil matanya tak henti-hentinya memerhatikan berjuta
bintang yang seolah berbisik-bisik satu sama lain dengan
cahaya mereka. Kadang-kadang, terpikir oleh Banyak Sumba,
barangkali bintang-bintang itu menyanyikan lagu bersama,
bukan dengan suara tetapi dengan cahaya. Bagaimanapun,
cahaya yang kebiru-biruan, kekuning-kuningan, kehijauhijauan,
dan kemerah-merahan membentuk pemandangan
indah di langit yang luas. itu. Keindahan itu tidak berbeda
dengan keindahan lagu yang dinyanyikan bersama oleh
beribu-ribu, ya, berjuta-juta penyanyi. Demikian pikir Banyak
Sumba sambil tengadah. Setelah larut malam sekali, baru
Banyak Sumba tertidur.
KETIKA matahari terbit, mereka yang bermalam di atas
pohon itu bergeliatan.
"Sakit-sakit seluruh tubuh saya," kata Misdi sambil
menyeringai. "Engkau bisa tidur?" tanya Iba kepada kawannya.
"Antara tidur dan jaga, celah tempat mimpi masuk."
"Saya pun mimpi tadi malam," kata Iba. "Bagus sekali,"
sambungnya, lalu ia termenung mengingat-ingat mimpinya.
Sebagai pemimpin rombongan, Banyak Sumba
memerintahkan agar kawan-kawan segera turun dan bersiapsiap
kembali melakukan pengintaian. Mereka pun turun, lalu
bertindak dengan hati-hati ke bumbung-bumbung bambu yang
bersandaran di bawah batang-batang enau.
Sepanjang pagi, mereka mengintai di suatu tempat yang
tersembunyi. Akan tetapi, hingga hari mulai panas, tak ada
tanda-tanda bahwa seseorang atau serombongan orang tiba.
Kemudian, setelah matahari condong sedikit ke barat,
terdengar dari suatu arah suara-suara, seolah-olah ada orang
datang. Dari arah suara itu muncullah serombongan babi
hutan yang bergerak ke utara, menuju perhumaan yang
terbentang di sebelah tempat itu. Para pengintai pun
melepaskan napas yang selama itu mereka tahan, lalu mulai
lagi mengintai.
Mereka mengintai sampai sore. Ketika Banyak Sumba
haripir memutuskan untuk menyuruh rombongannya bersiap
mer aiki pohon, terdengarlah suara beberapa orang tertawa
sayup-sayup. Seluruh rombongan tertegun dan menajamkan
telinga mereka.
'Mereka tiba," kata Jasik.
"Saya ragu-ragu. Mengapa mereka tertawa-tawa begitu
keras. Biasanya, pencuri sangat hati-hati," ujar Banyak
Sumba. Jasik tidak menjawab. Paman Wasis memindahkan
badiknya dari sebelah kanan ikat pinggang ke sebelah kiri.
Banyak Sumba melihat kawan-kawannya yang lain membenahi
senjata masing-masing. Ia sendiri tidak meniru mereka karena
tidak senang mempergunakan senjata.
"Itu mereka," bisik Jasik. "Satu, dua, ... tujuh orang,"
lanjutnya. Banyak Sumba memerhatikan rombongan yang datang.
Mereka berbaju hitam dengan ikat kepala gaya barangbang
semplak. Beberapa orang mengenakan gelang akar bahar dan
tidak seorang pun di antara mereka yang tidak bergolok.
Orang yang paling besar, yang tampaknya kepala rombongan,
bergolok pendek.
"Mereka orang-orang jahat," bisik Paman Wasis.
Banyak Sumba tidak usah diberi tahu tentang kenyataan
itu. Dari pakaian dan cara mereka berjalan serta bercakap,
jelas sekali bahwa orang-orang yang tiba itu adalah perampok.
Sementara orang-orang itu berjalan, jelas sekali mereka
menuju tempat penyimpanan persediaan untuk Panyingkiran.
Yang paling kecil di antara mereka berlari sambil berteriak
"Mari kita lihat harta karun, barangkali kita akan
menemukannya kembali," ketika ia melihat ke bawah pohonpohon
enau, ia tertegun keheranan. "Weceiii! Lihat!" katanya.
"Ada lagi?" tanya kepala gerombolan yang tinggi besar.
"Lihat!"
"Wah, kalau sering menerima kiriman ini, kita akan gemukgemuk
seperti ubi!" kata yang lain.
Sementara itu, Banyak Sumba memberi isyarat kepada
kawan-kawannya untuk keluar dari tempat persembunyian
dan bergerak ke arah gerombolan yang tampaknya sangat
lengah. "Orang gila macam apakah yang menyimpan perbekalan
dalam hutan ini?" tanya yang seorang sambil mulai membuka
lutup bumbung bambu.
"Kamilah orang gila itu," ujar Banyak Sumba seraya keluar
dari semak. Orang-orang itu berpaling serentak kepadanya
dan kepada kawan-kawannya.
"Hah, Anak Tampan, mengapa main sembunyisembunyian?"
tanya si Tinggi Besar kepada Banyak Sumba
sambil mengawasi seluruh rombongannya.
"Kami mau tahu siapa yang berani mencuri simpanan kami
ketika kami sedang tidak ada," kata Banyak Sumba sambil
terus melangkah dengan gagah. Melihat keberanian Banyak
Sumba, gerombolan itu tertegun.
Kemudian, si Jangkung Besar berkata, "Kalaupun ada
kalian, kami akan tetap mengambil perbekalan ini. Ini milik
kami, jatuh dari langit dihadiahkan oleh para Bujangga dan
Pohaci." "Kalau begitu, kalian pencuri," ujar Banyak Sumba
menggeram. "Kami perampok, kalau Yang Mulia ingin tahu," kata si
Jangkung Besar, lalu dengan tiba-tiba menghambur
menyerang ke arah Banyak Sumba. Yang lain mengikuti
menyerang ke arah kawan-kawan Banyak Sumba. Banyak
Sumba yang waspada segera menghindar. Mereka
berhadapan, sama-sama waspada. Sementara itu, yang lain
kacau-balau berkelahi di dalam semak.
"Kautahu siapa aku?" tanya kepala perampok itu.
"Engkau sampah!" kata Banyak Sumba dan ia melihat salah
seorang di antara gerombolan yang tidak mendapat lawan
mengepungnya dari samping.
"Kau mau tahu, sampah dapat membahayakan tempurung
kepalamu?" tanya kepala perampok itu seraya maju dari
samping kanan. Sementara kawannya maju dari samping kiri.
Dalam waktu yang singkat, terkilas siasat dalam hati
Banyak Sumba. Dan begitu siasat itu datang, begitu ia
melaksanakannya. Secepat kilat, ia menyerang si Besar yang
segera menghindar. Kawannya menghambur menyerang dari
samping kanan. Itulah yang ditunggu Banyak Sumba karena
ke arah lawan sebelah kiri, ia menghantamkan kaki kirinya.
Begitu kerasnya jejakan dan begitu kerasnya lawan
menyerang, hingga suara gedebuk terdengar, diikuti suara
jatuh yang berat. Banyak Sumba tidak sempat memerhatikan
lawan yang dijatuhkannya. Ia segera bersiap menghadapi si
Besar yang langsung menyerang dengan buas. Untung Banyak
Sumba sempat menghindan tetapi dari belakang diterimanya
pukulan yang tidak keras tetapi cukup mengejutkannya. Ia
melompat, ternyata lawan tambah seorang lagi, sementara
yang kena pukul duluan masih berdiri di dekatnya, walaupun
tampak tidak dapat menyerang.
Sekarang, Banyak Sumba menghadapi dua orang lagi. Tibatiba,
lawan baru menyerang dengan jari-jari yang mengarah
ke mata. Banyak Sumba menangkis tangan itu sambil
menjauh dari tempat berdiri si Besar yang menunggu
kesempatan. Ternyata, lawan tidak menotokkan jarinya.
Kakinyalah yang menghantam rusuk kiri Banyak Sumba.
Tendangan yangberde-buk itu tidak menyakitkan, tetapi napas
Banyak Sumba menjadi berat. Ketika si Besar menyerang, ia
sukar sekali dapat menghindarkan diri. Ia menghindar dan
dengan putus asa, menghentakkan kakinya ke arah lawan
yang telah mengenainya. Nasib baiklah yang membuat lawan
tidak sempat menghindar dan karena ulu hatinya yang kena,
lawan jatuh telentang dalam semak. Ia menggeliat-geliat, tapi
tidak dapat bangun.
Waktu Banyak Sumba hendak bersiap menghadapi si Besar,
si Besar menghentak leher Banyak Sumba dengan pinggir
tangannya. Banyak Sumba sempoyongan dan sebelum dapat
berdiri, ulu hatinya disusul oleh tendangan. Ketika kaki lawan
masuk ke ulu hatinya, bukan tubuhnya yang dirasakan
terguncang, tetapi langitlah yang gemetar, lalu berputar.
Sekarang, semak-semak seolah-olah naik, seperti ombak laut
yang tiba-tiba pasang ke arah langit. Pohon-pohonan, langit,
dan semak-semak menjadi kuning. Lalu, segalanya jadi hitam
dan Banyak Sumba tidak ingat apa-apa lagi.
MULA-MULA perasaan dingin di wajah yang mengembalikan
kesadarannya, kemudian cahaya serasa menembus kelopak
matanya. Ketika Banyak Sumba membuka matanya,
tampaklah orang-orang mengelilinginya. Awalnya, wajah
mereka tidak jelas dan hanya merupakan sosok-sosok hitam
dengan latar belakang putih-biru. Kemudian, wajah-wajah
lebih jelas, Misdi, Iba, Paman Wasis, dan Jasik. Sementara
latar belakang putih dan biru adalah awan dan langit.
Ternyata, Banyak Sumba berbaring di atas rumput. Ia segera
bangun dan duduk.
"Ada yang sakit?" tanya Paman Wasis. Banyak Sumba tidak
segera menjawab karena napasnya berat, sedangkan rusuk
sebelah kirinya terasa sakit. Banyak Sumba meraba bagian
yang sakit itu, tetapi tangannya segera ditarik karena
sentuhannya terasa seperti sebuah tusukan.
"Di sini," katanya kepada Paman Wasis yang berlutut di
depannya. Orang tua itu kemudian mempersilakan Banyak
Sumba membuka baju salontreng-nya. Ia meraba bagian
badan Banyak Sumba di sekitar rusuk.
"Tidak ada yang patah, syukurlah," kata orang tua itu, lalu
memberi isyarat kepada Jasik.
Jasik menghilang di balik semak-semak, kemudian kembali
dengan beberapa macam daun muda. Paman Wasis
melumatkan daun-daun muda yang sudah dibasahi itu di
tangannya. Setelah itu, daun-daun itu ditempelkannya ke
bagian rusuk Banyak Sumba yang sakit, lalu tubuh Banyak
Sumba di-bebat dengan ikat pinggang panjang yang terbuat
dari kain. Banyak Sumba kemudian dipersilakan berdiri.
Walaupun masih lemah, Banyak Sumba memaksakan diri dan
berusaha memperlihatkan kepada badega-badeganya bahwa
ia tidak lemah. Ia menggeliat-geliatkan tangannya, lalu berdiri
kukuh. "Terima kasih, saya tidak apa-apa."


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Syukurlah," ujar Paman Wasis. Kecemasan di mata para
badega pun lenyap.
Ketika Banyak Sumba bergerak, terlihatlah olehnya tubuhtubuh
lawan yang bergelimpangan. Ada yang berdarah, ada
pula yang tersembunyi dalam semak bagai kain tua. Dua
orang di antara mereka diikat dengan tambang dan duduk di
bawah pohon enau.
"Apa yang akan kita lakukan kepada yang masih hidup ini?"
tanya Paman Wasis kepada Banyak Sumba.
"Kita bawa ke Panyingkiran."
"Apakah itu tidak berbahaya, Raden?"
"Kita tutup matanya sepanjang jalan," ujar Banyak Sumba.
"Paman mengerti," ujar Paman Wasis tersenyum, lalu
memberi isyarat kepada Misdi agar melepaskan ikatan kepala
lawanan itu dan mempergunakannya sebagai penutup mata
mereka. Kedua orang tawanan itu tidak berdaya. Tak lama
kemudian, mereka pun telah berjalan ke Panyingkiran,
sebagian membawa bumbung-bumbung bambu, lianyak
Sumba menuntun tawanannya dengan memegang ujung
tambang pengikat mereka. Makin lama, mereka makin masuk
hutan dan makin dekat juga ke Panyingkiran. Sepanjang jalan
itu, Banyak Sumba termenung. Hatinya sungguh-sungguh
prihatin karena dialah satu-satunya yang dikalahkan oleh
lawan dalam perkelahian itu. Kawan-kawannya merobohkan
lawan mereka. Memang ia dikeroyok oleh tiga orang, letapi
sebagai pemimpin dan satu-satunya bangsawan di antara
pembantunya, kejadian itu sangat menyedihkannya. Sepan-lmgjalan,
ia terus termenung.
la menyadari sekarang, kalau Ayahanda ddak memberinya
perintah untuk mulai membalaskan dendam keluarganya,
karena dalam hal ilmu berkelahi, Banyak Sumba belum dapat
diandalkan. Ini menyadarkannya bahwa ia masih harus banyak
belajar. Soal yang pertama-tama menyadarkan agar ia harus
banyak belajar adalah kenyataan bahwa dengan dikeroyok
oleh tiga orang, ia tidak berdaya sama sekali. Padahal ia tahu,
seorang puragabaya biasanya menjatuhkan lima, enam,
bahkan sepuluh orang pengeroyoknya. Bagaimana ia dapat
membunuh Anggadipati kalau oleh tiga perampok saja ia
roboh dan pingsan" Bagaimana pula ia akan melawan anggota
wangsa Tumenggung Wiratanu kalau melawan tiga orang saja
tidak berdaya"
Kesadaran itu membuat Banyak Sumba prihatin.
Keprihatinan ini menumbuhkan niatnya untuk mengembara
dan mencari guru-guru yang termasyhur untuk dijadikan
pendidiknya selama ia mempersiapkan diri guna menunaikan
tugas keluarga, yaitu membunuh Anggadipati, anggota
keluarga Wiratanu, dan Pembayun Jakasunu. Ya, untuk
membalas dendam terhadap semua yang menyebabkan
keluarganya harus mengungsi dan menderita di tengah-tengah
hutan belantara. Yang menyebabkan Ayahanda semakin
runduk dan Ayunda Yuta Inten hidup dalam dukacita berlarutlarut.
Niat dan tekad itu menyebabkan detak jantungnya
bertambah cepat, dan karena udara hutan yang bersih,
kesegaran kembali seperti sediakala. Ia berseru kepada
kawan-kawannya yang berjalan tercecer agar lebih cepat.
"Ayahanda tentu sangat tak sabar menunggu kita," katanya
kepada Paman Wasis.
AYAHANDA sangat bersenang hati dengan hasil kerja
kelompok gulang-gulang yang dipimpin Banyak Sumba. Kedua
orang tawanan segera dibuka tutup matanya, lalu dihadapkan
kepada Ayahanda di suatu tempat di dalam rumah besar.
Banyak Sumba, Paman Wasis, dan Jasik hadir dalam
pemeriksaan lawanan itu.
"Engkau anak buah Jakasunu?" tanya Ayahanda.
"Kami anak buah Gimbal," kata salah seorang tawanan itu.
"Siapa Gimbal?"
"Kepala kami, ia mati oleh ini," kata lawanan itu sambil
menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Paman Wasis.
"Gimbal disuruh mencari aku oleh Jakasunu, ya?"
"Ka ... mi tidak ada yang menyuruh. Kami merampok para
petani... dan tidak tahu nama 'Jakasunu.."
"Raden Pembayun Jakasunu dari Kota Medang!" seru
Ayahanda membentak.
"Kami tidak pernah mendengar nama itu," ujar perampok
itu. "Sayang, kepala perampok itu mati," kata Ayahanda
sambil melirik ke Paman Wasis, "Siapa tahu ia
mempergunakan kawan-kawannya untuk tujuan yang tidak
diketahui oleh mereka agar mendapat hadiahnya sendiri dari
Jakasunu. Perampok adalah perampok, kawan-kawannya pun
tidak segan-segan dirampoknya."
"Hei, kamu," kata Ayahanda menunjuk perampok yang lain,
"mengapa kau curi bumbung bambu itu"!"
"Kami biasa mencuri atau merebut bumbung dari para
pembuat gula. Kami minum atau kami buat tuak di tempat
kami," jawab perampok itu.
"Jadi, kau tidak tahu siapa Jakasunu?"
"Tidak, Juragan."
"Betul?"
"Betul, Juragan"
"Betul, juragan.."
"Jasik, panggil si Iba, suruh ke sini." Jasik keluar, tak lama
kemudian kembali dengan Iba yang
berbadan tinggi besar.
"Iba, suruh orang ini menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Iba dengan tidak disangka-sangka memegang tangan salah
seorang perampok itu, lalu menganyamkan jari-jarinya.
Setelah itu, Iba menekan jari-jari itu dengan meremasnya.
Perampok yang sial itu berteriak kesakitan.
"Katakan bahwa kalian disuruh Pembayun Jakasunu untuk
mencari aku!"
"Kami tidak tahu siapa Jakasunu!" jerit perampok itu.
"Kau tahu siapa aku?"
"Aduuuh, tidak, tidaaak!" teriak perampok itu kesakitan.
Banyak Sumba menyaksikan kejadian yang tidak
menyenangkan itu dengan mengeraskan hatinya. Ia harus
membiasakan dirinya menyaksikan kejadian yang tidak
menyenangkan itu karena ia harus menghadapi peristiwaperistiwa
yang lebih tidak menyenangkan, bahkan mengerikan
di kemudian hari. Dan siapa tahu pula, Ayahanda memang
sedang melatihnya dengan penyiksaan terhadap perampok itu.
Banyak Sumba pun diam saja sambil menyaksikan apa yang
terjadi. Penyiksaan pun dilanjutkan oleh Iba untuk mendapatkan
pengakuan. Akan tetapi, perampok-perampok itu tidak
memberikan jawaban yang diingini Ayahanda. Akhirnya,
walaupun kecewa, Ayahanda menyuruh Iba membawa kedua
orang tawanan itu ke luar.
"Kita periksa lagi nanti," ujar Ayahanda.
Banyak Sumba mengeluh dalam hati, kasihan terhadap
perampok yang memberi kesan kepadanya bahwa mereka
benar-benar tidak ada sangkut pautnya dengan Raden
Pembayun Jakasunu.
UNTUK beberapa lama, ruangan hening. Ayahanda, Banyak
Sumba, dan Paman Wasis tidak memulai percakapan,
walaupun ketiganya menyadari bahwa masih banyak hal yang
terkandung dalam hati masing-masing dalam hubungannya
dengan peristiwa yang terakhir itu. Maka, dalam keheningan
yang menekan itu, berkatalah Banyak Sumba, 'Ayahanda, ada
sesuatu yang ingin hamba sampaikan kepada Ayahanda."
"Ayah tahu apa yang kaupikirkan. Paman Wasis telah
melaporkan kepadaku tentang perkelahian itu. Aku sungguh
sedih," ujar Ayahanda. Perkataan terakhir Ayahanda begitu
menusuk hati Banyak Sumba, hingga kepalanya seolah-olah
kena pukul. Ia menunduk dan hatinya menjadi kelam karena
kesedihan. "Raden Sumba dikeroyok oleh tiga orang. Hamba pun tidak
akan sanggup bertahan terhadap tiga orang itu, apalagi salah
seorang di antaranya bertubuh tinggi besar, Gimbal namanya.
Gimbal inilah yang menjatuhkan Raden Sumba setelah yang
dua orang dirobohkan," kata Paman Wasis.
"Dirobohkan adalah dirobohkan, apakah oleh seorang, dua
orang, atau tiga orang tidaklah jadi soal," sambut Ayahanda.
Walaupun Ayahanda tidak menambahkan kalimat itu,
Banyak Sumba dapat mendengar dengan telinga batinnya
bahawa Ayahanda mengatakan, "Anggota wangsa Banyak
Citra tidak boleh dirobohkan kalau ia telah bertekad jadi
pahlawan. Keluarga Banyak Citra hanya roboh kalau ia tewas."
Walaupun pembelaan Paman Wasis sedikit meringankan
hatinya, persoalan pokok belumlah terpecahkan.
Bagaimanapun, kepandaiannya dalam ilmu berkelahi belum
berarti. Oleh karena itu, Banyak Sumba berpendapat bahwa ia
harus belajar lagi. Kesempatan untuk menyampaikan
maksudnya saat itu. Bukan saja ia dapat memenuhi niatnya
untuk belajar kembali, tetapi juga agar hatinya yang berat
menjadi ringan. Berkatalah Banyak Sumba, "Hamba bertekad
untuk menjadi anggota wangsa Banyak Citra yang baik. Oleh
karena itu, izinkanlah hamba mengembara untuk menambah
ilmu." "Sebetulnya, niat untuk mengirimkan kau belajar lagi sudah
ada pada Ayah sejak kau selesai belajar kepada Paman Wasis,
tetapi umurmu belum dua puluh tahun. Oleh karena itu, kau
kutahan dulu. Di samping itu, keluarga kita akan sangat
kehilanganmu."
Perkataan Ayahanda yang memperlihatkan kelemahan hati
itu merupakan suatu hal yang baru bagi Banyak Sumba.
Biasanya, Ayahanda tidak bersikap lemah, tidak pernah
memerhatikan perasaan Ibunda, Ayunda, atau kaum wanita
dalam istana. Akan tetapi, saat itu Ayahanda mengemukakan
perhatian terhadap Ibunda dan Ayunda lebih banyak daripada
biasanya. Apakah penderitaan tiga tahun di pengungsian telah
menyebabkan perubahan pada diri Ayahanda"
Kelemahan yang tiba-tiba tampak pada Ayahanda bukan
saja menyebabkan Banyak Sumba terkejut. Ia marah kepada
Anggadipati, Wiratanu, dan Pembayun Jakasunu yang telah
menyebabkan Ayahanda menjadi lemah. Ia marah terhadap
dirinya yang tidak dapat melindungi Ayahanda yang sudah
lanjut usia itu. Ia marah terhadap nasibnya. Untuk
mencurahkan kemarahannya itu, berkatalah Banyak Sumba,
"Ayahanda, dalam keadaan wajar memang hamba terlalu
muda untuk pergi. Juga dalam keadaan biasa kecemasan,
Ibunda dan Ayunda perlu mendapat perhatian yang
sewajarnya. Akan tetapi, sang nasib bertindak tidak wajar
terhadap keluarga Banyak Citra. Oleh karena itu, izinkanlah
hamba pergi walaupun belum berusia dua puluh tahun."
Mendengar perkataan Banyak Sumba, Ayahanda
memalingkan pandangannya ke arah Banyak Sumba yang
duduk di atas lantai di hadapan beliau. Beliau tampak terharu
oleh perkataan Banyak Sumba, lalu berkata dengan suara
gemetar yang tidak dapat beliau sembunyikan. "Engkau
anggota wangsa Banyak Citra, engkau selalu akan ditantang
nasib dan menjadi kuat karenanya. Pergilah walaupun belum
berumur dua puluh tahun karena engkau anggota Wangsa
Banyak Citra."
Malam itu, suasana sedih meliputi seluruh penghuni
Padepokan Panyingkiran. Para wanita berurai air mata,
terutama Ibunda dan Ayunda. Mereka harus melepaskan putra
terbesar untuk mengusung tugas yang berat, yaitu
menegakkan kembali kehormatan wangsa Banyak Citra yang
belakangan pudar karena pergolakan peristiwa.
AYAHANDA telah mengatur segala yang berhubungan
dengan kepergian Banyak Sumba. Di suatu tempat dalam
hutan, dua orang gulang-gulang dari Kota Medang telah
menunggu pada pagi yang ditentukan. Mereka menunggu
dengan dua ekor kuda yang gagah, seekor untuk Banyak
Sumba dan seekor lagi untuk Jasik, yang akan bertindak
sebagai kawan Banyak Sumba.
"Raden Sumba!" kata kedua orang gulang-gulang itu sambil
memburu dan merangkul Banyak Sumba. Kedua orang
gulang-gulang itu menangis sambil ddak melepaskan
pegangan mereka. Banyak Sumba kenal rupa kedua orang
gulang-gulang itu, tetapi nama-nama mereka tidak diingatnya
lagi. Terlalu banyak gulang-gulang Ayahanda untuk dikenali
namanya. Walaupun begitu, wajah mereka tidak mudah untuk
dilupakan. Setelah kedua orang gulang-gulang itu reda, bertanyalah
Banyak Sumba kepada mereka tentang keadaan keluarga
mereka semenjak keluarganya mengungsi. Gulang-gulang itu
menjelaskan bahwa mereka pun meninggalkan Kota Medang
dan tinggal di kampung yang berada di luar benteng kota.
Umumnya, gulang-gulang yang setia kepada Ayahanda
meninggalkan Kota Medang, lalu hidup di kampung-kampung
atau membuka perhumaan baru di hutan.
"Apa kalian cukup aman?" tanya Banyak Sumba yang ingin
mengetahui bagaimana nasib para pengikut Ayahanda. "Sang
Hiang Tunggal melindungi kami, Raden." "Apakah ada tandatanda
bahwa mereka giat melakukan pencarian?" tanya
Banyak Sumba pula.
"Sejauh pengalaman kami, tidak banyak dilakukan usaha
pencarian secara terbuka. Akan tetapi, sering kali ada orang
yang menyelidiki dan menanyakan, di mana keluarga
Ayahanda Raden bersembunyi. Tentu saja kami sangat curiga
terhadap orang-orang ini. Banyak pula di antara rakyat biasa
yang sering bertanya-tanya tentang nasib keluarga Ayahanda,
tapi mereka tidak berani mengemukakan pertanyaan itu
secara terbuka. Mereka hanya berbisik-bisik," kata gulanggulang
itu menjelaskan.
"Apakah Pembayun Jakasunu sudah diangkat oleh peme
rintah kerajaan?" tanya Banyak Sumba pula.
"Kami tidak tahu, Raden. Kami tidak pernah pergi ke kota,
kami takut. Bukan takut ditangkap atau dianiaya, tapi takut
disuruh mencari jejak keluarga Ayahanda."
"Bagaimana keadaan kota menurut orang-orang yang
datang dari sana?"
"Tenang-tenang saja, Raden, seolah-olah tidak terjadi apaapa.
Hanya tampak banyak perwira yang didatangkan dari ibu
kota Pakuan."
"Apakah kalian kira cukup aman bagiku untuk datang ke
sana?" seraya bertanya demikian, teringadah Banyak Sumba
kepada Teja Mayang, gadis yang menarik perhatiannya waktu


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih anak-anak.
"Tidak, Raden, jangan!" sahut gulang-gulang itu hampir
bersamaan. Nada ketakutan terdengar dalam kata-kata
mereka. "Tapi ... bukankah saya dapat datang ke sana dengan
menyamar" Di samping itu, bukankah mereka tidak akan
mengenal saya lagi?"
"Lebih baik tidak, Raden," kata kedua orang gulang-gulang
itu makin cemas.
"Saya pun belum memutuskan untuk pergi ke sana. Tugas
saya bukan sebagai penyelidik, jadi janganlah cemas," kata
Banyak Sumba. Akan tetapi, ingatan serta keinginannya untuk
bertemu Teja Mayang makin keras juga. Ia pun heran oleh
keinginannya yang tiba-tiba muncul itu. Selama di Padepokan
l'.myingkiran, kenangan kepada gadis itu jarang timbul.
Setelah beberapa lama tertegun, berkatalah Banyak Sumba
kepada fasik, "Sik, ikatkanlah barang-barang kita di pelana
kuda, saatnya sudah tiba bagi kita untuk pergi."
Jasik melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh
tuannya. Sebuah kantong kulit besar yang berisi uang emas
diikatkan pada pelana kuda yang akan menjadi tunggangan
Banyak Sumba, sedangkan perlengkapan lain diikatkan pada
kuda yang akan menjadi tunggangannya. Kedua orang
gulang-gulang membantu pekerjaan Jasik. Setelah persiapan
selesai, berkatalah Banyak Sumba, "Paman, terima kasih atas
segala bantuannya, kuda-kuda ini sangat gagah. Salam
kepada keluarga kalian dan janganlah cemas, tidak akan ada
yang terjadi kepadaku dan Jasik. Sang Hiang Tunggal akan
berpihak kepada yang benar. Ia akan mempertemukan kita
kembali di Kota Medang, dalam waktu lama ataupun dalam
waktu dekat."
Kedua orang gulang-gulang memberi hormat. Banyak
Sumba menepuk pundak mereka sambil tersenyum, lalu
mohon diri. Dan ketika kedua pemuda seusia itu berada di
atas kuda masing-masing, gulang-gulang itu melambaikan
tangan mereka. -ooo00dw00ooo- Bab 4 Pengembara Setelah beberapa lama melewati huma serta reuma, dan
setelah kuda mereka terpaksa melompati pagar yang terdiri
dari bambu atau tumbuh-tumbuhan berduri, kedua orang
pengembara muda itu tiba di atas sebuah bukit kecil. Dari atas
bukit itu, tampaklah kepada mereka jalan besar. Di sana,
kelihatan beberapa orang penunggang kuda, pedati-pedati
yang ditarik kerbau, dan para pejalan. Jalan besar yang agak
sibuk itu mengisyaratkan kepada mereka tentang tempat
mereka sendiri, yang tentu tidak jauh lagi dari Kota Medang.
Berkatalah Banyak Sumba kepada jasik, "Kita akan
mengunjungi Kota Medang dulu, Sik."
"Apakah tidak terlalu berbahaya?" tanya Jasik yang
mengetahui bahwa Banyak Sumba tidak diperintahkan
Ayahanda Banyak Citra untuk pergi ke sana.
"Kalau malam turun, orang tidak akan mengenali saya. Di
samping itu, waktu tiga tahun banyak sekali mengubah rupa
saya." Jasik melirik kepada Banyak Sumba, memerhatikannya.
Walaupun ia tidak berkata apa-apa, Banyak Sumba dapat
menduga isi hati Jasik yang cemas.
"Saya akan melepaskan pakaian saya dan menggantinya
dengan pakaian petani. Di samping itu, kita akan memasuki
kota setelah gelap."
"Kuda-kuda kita terlalu gagah, Raden. Mereka akan
bertambah curiga melihat petani berada di atas pelana kuda
yang segagah ini."
Banyak Sumba termenung. Waktu ia hendak berangkat,
Ayahanda menyerahkan sehelai kulit. Di atas kulit itu,
Ayahanda menulis beberapa catatan: pertama, abu Jante
Jaluwuyung, kedua, Anggadipati, ketiga, Pembayun Jakasunu,
keempat, Tumenggung Wiratanu. Catatan yang tidak lengkap
itu tidak mudah dimengerti orang yang tidak erat
hubungannya dengan keluarga Banyak Citra. Akan tetapi, itu
mengandung arti begitu banyak bagi Banyak Sumba. Pada
sehelai kulit itulah tergambar seluruh tugas hidup yang
diembannya sebagai putra tertua keluarga Banyak Citra.
Sekarang, ia berdiri di atas bukit kecil, bimbang. Apakah ia
akan memperturutkan hasratnya untuk berkunjung ke Kota
Medang, kota kelahirannya, tempat tinggal gadis yang sering
menjadi penghuni hatinya di kala sepi" Ataukah ia langsung
melanjutkan perjalanan untuk mencari guru yang akan
mengajarkan ilmu kepahlawanan"
Jasik melihat kebimbangan Banyak Sumba. Sebagai
seorang panakawan yang berperasaan halus dan sayang
kepada tuannya, Jasik selalu ingin menyenangkan Banyak
Sumba. Setelah beberapa lama hening, berkatalah Jasik, "Kita
cari jalan agar dapat berkunjung ke dalam kota, Raden."
"Bagaimana kalau kita meninggalkan kuda di kampung, lalu
menumpang gerobak kerbau itu?"
"Tentu saja kita perlu menyamar, Raden," ujar Jasik sambil
kembali melirik tuannya.
Bagaimanapun, sukar bagi orang seperti Banyak Sumba
untuk menyembunyikan jati dirinya. Tubuhnya yang
semampai, kulitnya yang kehitaman dan bersih, matanya yang
jernih, serta tutur kata dan gerak-geriknya yang halus, akan
menyebabkan semua orang tahu bahwa ia seorang
bangsawan, bahkan bangsawan tinggi. Seandainya Banyak
Sumba berpakaian petani, orang-orang akan bertambah
curiga. Apalagi anak buah Pembayun Jakasunu, yang tentu
saja akan lebih bersikap curiga setelah mereka berhasil
merebut kedudukan Ayahanda Banyak Citra secara curang.
Semua itu disadari kedua orang pengembara itu. Akhirnya,
berkatalah Banyak Sumba, "Kita akan memasuki kota, tapi
tidak lama tinggal di sana. Kita akan memasukinya di waktu
gelap dan keluar di waktu gelap. Saya ingin mengetahui
bagaimana keadaan kota dewasa ini, dan sejauh mana
Pembayun Jakasunu sudah berhasil dalam usahanya yang
tidak diridhai Sang Hiang Tunggal itu."
Ada sesuatu yang tidak diucapkannya, yaitu keinginannya
untuk mengetahui bagaimana keadaan Teja Mayang setelah
begitu lama ditinggalkannya.
"Kita dapat lebih lama berada di dalam kota, Raden. Kita
dapat saja bersembunyi di rumah salah seorang yang setia
kepada Ayahanda."
Banyak Sumba gembira sejenak mendengar pendapat Jasik
itu, tetapi hatinya segera kecil kembali. Ia tahu bahwa
Ayahanda tidak memberi tahu siapa pengikut setia yang
berada di Kota Medang. Mungkin saja Ayahanda akan
memberi tahu kepadanya tentang mereka itu, kalau saja
Banyak Sumba diberi tugas untuk berkunjung ke Kota
Medang. Akan tetapi, tugas pertama Banyak Sumba adalah
belajar ilmu kepahlawanan. Setelah cukup untuk menegakkan
kehormatan keluarga dengan ilmunya itu, ia harus berangkat
ke Pakuan Pajajaran terlebih dahulu. Ia harus mengambil abu
jenazah Jantejaluwu-yung. Maka, ia pun berkata kepada Jasik,
"Tak seorang pun kukenal dan kuketahui siapa yang setia
kepada Ayahanda di Kota Medang Ayahanda
merahasiakannya, bahkan kepadaku."
"Kalau begitu, kita laksanakan rencana pertama saja,
Raden," ujar Jasik.
Mereka pun menaiki kuda masing-masing, lalu turun dari
bukit kecil itu. Setelah melompati beberapa pagar huma,
tibalah mereka dijalan besar. Di sana, Banyak Sumba bimbang
kembali. Ke manakah mereka akan pergi, ke kampung yang
berdekatan dengan kota atau sebaliknya" Di kampung yang
berdekatan dengan kota, mungkin ia akan dikenal. Oleh
karena itu, ia berpaling kepada Jasik, "Sik, lebih baik kita ke
barat dan menuju kota kalau senja hampir tiba."
Sebagai seorang panakawan yang cerdas, Jasik mengerti
maksud tuannya. Ia pun memalingkan kudanya, mengikuti
kuda Banyak Sumba. Kedua orang pengembara itu memacu
kuda masing-masing dijalan yang luas.
Beberapa kali, kedua orang pengembara berpapasan
dengan pedati yang ditarik kerbau dan beberapa kali pula
mereka berpapasan dengan rombongan jagabaya yang
menjaga keamanan di jalan-jalan lengang antara kampungkampung.
Tampak kepada mereka bahwa jagabaya yang
melihat Banyak Sumba tertarik untuk memerhatikannya.
Bagaimanapun, mereka tunduk kepada tata krama bahwamereka
harus menghormati para bangsawan. Banyak Sumba
memperlihatkan segala sifat kebangsawanan itu, walaupun ia
tidak memakai pakaian bangsawan. Itulah rupanya yang
menyebabkan para jagabaya bimbang ketika berpapasan
dengan Banyak Sumba. Mereka tidak menghormati, tetapi
mereka pun melambatkan kuda mereka. Sikap mereka itu
lebih meyakinkan Banyak Sumba bahwa keinginannya untuk
memasuki kota dapat membahayakannya. Oleh karena itu,
diputuskan dalam hatinya bahwa hanya setelah senja ia akan
memasuki Kota Medang.
Setelah beberapa lama mereka memacu kuda masingmasing,
tampaklah sebuah kampung kecil yang terletak di
pinggir sungai yang jernih airnya. Banyak Sumba menahan
kendali kudanya. Jasik pun mengikuti.
"Kita berhenti di sini, Sik."
"Baik, Raden," ujar Jasik.
Tak lama kemudian, mereka sudah berjalan menuntun
kuda masing-masing menuju sebuah rumah yang paling dekat
ke jalan. Seorang laki-laki tua dengan beberapa helai rotan
yang sedang dianyamnya bangkit dari tempat duduknya, lalu
berjalan menyambut mereka.
"Kami sedang menuju Kutabarang, Paman, tetapi dijalan
tadi tiba-tiba timbul keinginan kami untuk mengetahui Kota
Medang. Kami bermaksud menitipkan kuda kami di sini dan
nanti malam kami akan berangkat ke kota."
"Baik, Raden. Kuda dapat dilepas di tepi sungai. Silakan
masuk." Jasik mengambil kendali dari tangan Banyak Sumba, lalu
membawa kedua ekor kuda mereka ke tepi sungai. Sementara
itu, Banyak Sumba berjalan mengikuti orang tua yang
membukakan wide serambi rumahnya. Banyak Sumba
dipersilakan duduk di atas sehelai kulit kambing yang bulunya
mengilat. Tak berapa lama kemudian, berbagai macam
penganan dan teh disodorkan dalam baki kayu.
"Terima kasih, Paman. Jangan menyusahkan."
"Tak ada yang bersusah-susah di sini. Sudah biasa orang
mampir di sini, Raden. Raden mau ke mana?"
"Ke Kutabarang, Paman."
'Jauh sekali. Waktu masih muda, Paman pernah beberapa
kali berkunjung ke Kutabarang. Kota yang sangat besar, tiga
kali atau empat kali lebih besar daripada Kota Medang," kata
orang tua itu. "Paman sering ke Kota Medang?" tanya Banyak Sumba.
"Paman ke kota hampir sepuluh hari sekali, mengantarkan
anyaman-anyaman rotan ini," kata orang tua itu.
"Tidakkah banyak perubahan setelah huru-hara tiga tahun,
oh, empat tahun lalu?" tanya Banyak Sumba menyelidiki.
"Tidak banyak, kecuali bangunan-bangunan yang terbakar
telah diganti dengan yang baru dan lebih baik. Menurut kabar,
pemerintah kerajaan menyumbang kayu jati yang baik-baik. Di
samping itu, tentu penguasa lama, yaitu Aria Banyak Citra
yang menghilang, harus ada gantinya dan kabarnya sudah
diganti. Paman kurang periksa."
"Siapakah pengganti penguasa lama itu, apakah penguasa
baru bernama Pembayun Jakasunu?"
"Paman tidak tahu, Raden. Maklumlah, Paman datang ke
kota hanya mengirimkan barang dagangan, tidak tertarik
dengan urusan para bangsawan. Kalau usaha tidak terganggu,
Paman tidak banyak memikirkan yang lain."
'Jadi, tidakkah terganggu usaha Paman oleh huru-hura itu?"
"Sama sekali tidak, Raden. Paman mengetahui adanya
huru-hura dan kebakaran itu empat hari kemudian, setelah
Paman mengantar barang dagangan ke sana. Oh, Paman
diberi tahu sebelumnya oleh tetangga yang kembali dari sana.
Ketika Paman datang ke sana, segalanya sudah pulih kembali.
Para bangsawan dari Pakuan Pajajaran yang hadir di sana
sedang sibuk memimpin perbaikan-perbaikan.
"Yang agak menghebohkan adalah menghilangnya Aria
Banyak Citra. Para penduduk cemas, kalau-kalau beliau
bersama keluarganya diculik orang dalam huru-hara itu.
Sampai sekarang, beritanya tidak ada, walaupun pemerintah
kerajaan berusaha mencari jejak beliau. Rakyat, terutama
penduduk kota yang mencintai beliau, tentu saja kehilangan
bangsawan yang baik itu. Soalnya, sudah turun-temurun Kota
Medang berada di tangan keturunan Banyak Citra. Di tangan
wangsa inilah Kota Medang dan sekitarnya mendapat
kemajuan. Terutama keamanan sangat baik. Belakangan ini,
perampokan kecil-kecilan mulai terjadi. Rupanya, perampokperampok
itu tahu bahwa Aria Banyak Citra tidak ada."
Banyak Sumba tidak menyela cerita orang tua itu. Ia duduk
sambil mencicipi penganan yang ada di hadapannya, la agak
kecewa karena satu hal yang ingin diketahuinya ternyata tidak
pula diketahui orang tua itu. Ia ingin mengetahui apakah
Pembayun Jakasunu sudah berhasil menduduki jabatan
Ayahanda. Pengetahuan ini sangat penting karena dengan
demikian, ia tidak akan ragu-ragu melaksanakan apa-apa yang
dibebankan Ayahanda kepadanya.
Ia masih ingat bagaimana Pembayun Jakasunu minta
masuk kota setelah Banyak Sumba memergokinya di dalam
hutan, ketika dia bertemu dengan para utusan dari ibu kota.
Kemudian, ia masih ingat bagaimana keluarga Pembayun
Jakasunu sambil menangis-nangis memohon kepada
Ayahanda agar Pembayun Jakasunu diizinkan masuk dan
Ayahanda membatalkan keputusannya untuk membuang
bangsawan itu. Segala kejadian itu dan kejadian selanjutnya,
membuat Banyak Sumba penasaran. Ia ingin tahu masalah
Pembayun Jakasunu ini. Makin keras pulalah keinginannya
untuk memasuki Kota Medang malam itu, kota yang
dicintainya, yang di dalamnya tinggal Teja Mayang dan
Pembayun Jakasunu, dua orang yang memiliki arti khusus bagi
Banyak Sumba. -ooodwooo-

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KETIKA hari mulai teduh, Jasik datang membawa kabar
bahwa ia telah melihat sebuah pedati kerbau menuju kota. Di
samping itu, dikatakannya pula bahwa kuda telah dititipkan
dan diurus. Sambil menyampaikan kabar itu disodorkan
kepada Banyak Sumba kantong kulit yang berisi uang emas,
sedangkan Jasik memegang bungkusan besar yang berisi
senjata mereka. Banyak Sumba menggantungkan kantong
kulit itu di pundaknya dan dengan pakaian seorang petani
melangkah ke jalan besar, mencegat pedati kerbau itu.
"Paman, kami bermaksud pergi ke kota dan membutuhkan
pertolongan Paman," kata Banyak Sumba.
Tukang pedati itu mempersilakan mereka naik kalau
bersedia duduk di atas batang-batang kayu yang katanya
kotor. "Petani biasa bermain lumpur, Paman," ujar Banyak Sumba.
"Mengapa sore-sore menuju kota?" tanya kusir pedati itu.
"Ada saudara kami yang sakit di sana," kata Jasik menyela,
cemas kalau-kalau Banyak Sumba tidak dapat berbohong. "Ini
kayu untuk apa?"
"Saudara masih ingat kebakaran dulu itu" Nah, kayu ini
untuk membuat bangunan-bangunan baru. Belum semua
sempat diperbaiki. Kayu ini diambil dari hutan dekat Gunung
Manglayang "Apakah sekian lamanya belum diperbaiki?" tanya Banyak
Sumba. "Semuanya sudah diperbaiki, tapi ada yang diperbagus,
misalnya rumah Raden Laya, Raden Setra, Raden Pembayun
Jakasunu, Ki Sulki, dan lain-lain."
"Tidakkah Raden Jakasunu pindah ke istana Kota Medang?"
tanya Banyak Sumba, sangat tertarik oleh berita itu.
"Saya tidak tahu, tapi Raden Pembayun Jakasunu jarang
berada di kota. Beliau lebih banyak berada di Kutabarang.
Kabarnya, beliau sibuk di sana."
"Sibuk apa, Paman?"
"Tidak tahu," ujar kusir itu.
"Tahukah Paman, siapa yang menjadi penguasa kota
sekarang?"
"Paman tidak tahu, kabarnya seorang bangsawan dikirim
dari ibu kota untuk mengurus Kota Medang. Kabarnya, Raden
Pembayun Jakasunu membantunya."
Jawaban kusir itu menyebabkan Banyak Sumba makin
penasaran dan makin berteguh hati untuk menyelidiki keadaan
Kota Medang Dan ketika menara-menara penjagaan mulai
tampak, berdebarlah jantung Banyak Sumba. Menara-menara
itu makin lama makin jelas kelihatan dan akhirnya benteng
pun membayang di dalam remang senja. Kusir mempercepat
jalan kerbaunya, takut kalau-kalau gerbang telah dipalang.
Ternyata, beberapa pedati besar dan kecil terkumpul di depan
gerbang. Kusir berpaling kepada Banyak Sumba, "Sudah
terlambat, Raden, pedati tidak dapat masuk, gerbang besar
telah ditutup."
"Tidak apa-apa, Paman. Kami dapat jalan kaki ke dalam
kota," ujar Banyak Sumba sambil mengemasi barang
bawaannya yang sedikit jumlahnya. Jasik pun mulai
mengaitkan tali bungkusannya di pundak dan bersiap
melompat dari pedati itu. Akan tetapi, tiba-tiba beberapa
orang laki-laki menghentikan pedati. Dari dalam gelap,
seorang di antara laki-laki itu bertanya dengan suara rendah
kepada kusir, "Paman dari arah barat?"
"Ya!" ujar kusir itu. Laki-laki itu mendekat, lalu bertanya,
"Paman, tidakkah Paman melihat dua orang penunggang
kuda, dua orang pemuda. Yang seorang bangsawan, kira-kira
berumur tujuh belas tahun, yang lain panakawannya, juga
berumur tujuh belas tahun. Mereka menunggangi kuda yang
gagah. Yang bangsawan berkulit hitam manis, tubuhnya
semampai."
Pertanyaan-pertanyaan itu mengejutkan Banyak Sumba
dan Jasik. Ketika kusir itu termenung mengingat-ingat,
berkatalah Banyak Sumba, "Kami melihatnya, mereka memacu
kudanya ke arah barat, cepat sekali, seperti ada yang
mengejar."
Orang yang diajak bicara itu bukannya pergi seperti yang
diharapkan Banyak Sumba, tetapi malah mendekat, lalu
bertanya setengah berbisik, "Yang seorang semampai, berkulit
hitam?" "Ya," ujar Banyak Sumba seraya menenang-nenangkan
dirinya. Untung langit sudah gelap, pikirnya. Ia sadar bahwa
Jasik gemetar di sampingnya.
"Kuda mereka cokelat, yang satu cokelat tua yang satu
kemerah-merahan dan tinggi-tinggi, bukan?"
"Ya," ujar Banyak Sumba dari sela-sela kayu di dalam
pedati itu. "Terus ke barat?"
"Ya, memacu kuda cepat-cepat," ujar Banyak Sumba pula
"Ji, mungkin mereka tahu, kita menyusul mereka," kata
penanya itu kepada kawannya.
Kawannya menjawab di dalam gelap, "Mudah-mudahan,
kawan-kawan kita dapat mengejar mereka."
"Terima kasih," kata penanya kepada Banyak Sumba, lalu
pergi. Banyak Sumba dan Jasik bernapas lega. Untuk
beberapa lama, mereka tidak dapat beringsut dari tempat
duduk. Kemudian Banyak Sumba bangkit, lalu mengucapkan
terima kasih kepada kusir yang dalam gelap mengawasinya,
seperti curiga.
Banyak Sumba dan Jasik segera menjauh dari tempat itu,
bukan menuju Kota Medang, tapi menghindarinya dengan
jalan menyeberangi huma, kemudian masuk hutan.
Subuh-subuh mereka sampai di tempat menitipkan kuda.
Dengan letih, mereka menaiki kuda masing-masing.
Kemudian, selagi kabut masih rendah, mereka memacu kuda
ke selatan. MEREKA tidak berani mendekati jalan besar, kuda mereka
terpaksa berulang-ulang menerobos semak-semak dan
melompati pagar-pagar huma. Dalam perjalanan, tak hentihentinya
Banyak Sumba merenungkan kejadian yang tidak
disangka-sangka itu. Ia menyesal telah melanggar perintah
Ayahanda dan tergoda untuk mengunjungi Kota Medang
terlebih dahulu. Ia meminta maaf dalam hati kepada orangtua
yang bijaksana itu dan berikrar diam-diam bahwa dia tidak
akan melakukan pelanggaran lagi.
Sementara itu, kedua orang pengembara menyuruk-nyuruk
di antara semak-semak dan embun pagi yang mulai
mengangkat tabir uapnya dari atas padang-padang dan bukitbukit.
Ayam hutan dan ayam kampung bersahutan mengeluelukan
fajar yang mulai memerahkan langit di timur. Di suatu
tempat yang agak tinggi dan agak lapang, Banyak Sumba
mengacungkan tangannya, memberi isyarat kepada
panakawannya untuk berhenti. Mereka pun berhenti, lalu
turun dari kuda yang berdengus-dengus dengan napas
beruap. Banyak Sumba melihat ke sekeliling, lalu berkata, "Hampir
di semua tempat terdapat perguruan. Sekarang, soalnya
bagaimana menemukan perguruan yang terbaik atau guru
yang paling tinggi ilmunya. Saya sudah memikirkan beberapa
cara bagaimana kita akan menemukan perguruan yang baik
atau guru yang mahir itu, Sik."
"Bagaimana, Raden?"
"Tentu saja kita akan bertanya kepada setiap orang yang
pantas untuk ditanya. Di samping itu, kita pun akan melihat
sendiri bukti-bukti kepandaian yang ada pada siswa-siswanya.
Saya bermaksud terus-menerus mengunjungi perayaanperayaan
tempat diadakan pertunjukan."
"Tapi, Raden." kata Jasik, "menurut keterangan ayah saya,
para pendekar sebenarnya tidak pernah muncul dalam
gelanggang pertunjukan. Mereka yang berilmu tinggi biasanya
juga bijaksana. Mereka tidak perlu lagi perhatian dan pujian
orang. Hal-hal yang lebih tinggi dari pujianlah yang menjadi
tujuan mereka. Perhatian dan pujian hanya dicari oleh yang
rendah ilmunya."
Mendengar keterangan itu, tertegunlah Banyak Sumba.
Keterangan Jasik mudah dimengerti dan masuk akal. Hal ini
berarti bahwa mencari guru bukanlah soal yang mudah.
Akhirnya, berkatalah Banyak Sumba, "Perkataanmu itu kukira
benar, Sik. Jadi, kita harus mencari cara lain. Rupanya tidak
semudah yang kubayangkan semula. Tapi baiklah, kita akan
berusaha sebaik-baiknya dan berdoa semoga Sang Hiang
Tunggal berkenan menunjukkan jalan."
"Raden, lihat!"
Banyak Sumba melihat ke utara, ke jalan besar yang
samar-samar tampak dari tanah ketinggian itu. Dijalan itu,
timbul tenggelam antara hutan-hutan kecil atau kampungkampung,
tampaklah serombongan penunggang kuda menuju
ke Kota Medang.
"Mungkin, mereka rombongan yang mencari kita," sambungjasik.
"Ya," ujar Banyak Sumba. Terpikir olehnya bahwa hanya
kebetulan mereka dapat meloloskan diri dari malapetaka itu
dan bagi orang yang mencari-carinya, ia akan mudah sekali
dikenal. Bagaimanapun, rupa Ayahanda banyak melekat pada
dirinya. Orang yang kurang tajam pengamatannya pun dalam
selintas akan menduga bahwa ia ada hubungan darah dengan
Ayahanda Banyak Citra.
"Mari kita pergi," kata Banyak Sumba. Mereka pun mulai
mengendarai kuda masing-masing, lalu melarikannya di padangpadang atau antara semak-semak. Kadang-kadang,
mereka menemukan dan mengikuti jalan-jalan kecil yang ke
selatan. Mereka tak berani mengambil jalan besar yang jauh
lebih mudah dilalui.
SETELAH beberapa hari mereka mengadakan perjalanan
dan terpaksa bermalam di gubuk-gubuk di tengah perhumaan,
barulah mereka berani masuk kembali di jalan besar. Karena
belum punya tujuan yang pasti, mereka tidak pernah
melarikan kuda cepat-cepat. Bahkan, di tiap persimpangan
mereka berhenti, menunggu pejalan atau penunggang kuda
lain untuk menanyakan arah.
Di suatu pertigaan, kedua orang pengembara berhenti, lalu
beberapa saat menunggu rombongan petani yang berjalan ke
arah mereka. Begitu para petani itu berpapasan, Banyak
Sumba mengucapkan sampurasun, lalu bertanya, "Paman,
kami mohon pertolongan. Tahukah Paman arah jalan-jalan
ini?" Seorang yang tampak paling cerdas dari keempat orang
petani itu maju, lalu dengan mempergunakan ibu jari
tangannya menunjuk, mula-mula ke timur.
"Kalau Raden mengambil jalan ini dan lurus ke timur, dalam
tiga hari Raden akan tiba di Kota Medang, sebuah kota yang
sedang besarnya tapi makmur dan aman, berkat Aria Banyak
Citra yang cerdik dan ditakuti oleh orang-orang jahat. Ke utara
menuju Kutawaringin. Mula-mula Raden ke utara, kemudian di
suatu pertigaan menuju ke barat. Di pertigaan itu terdapat
sekelompok rumah, tempat orang menyediakan makanan dan
minuman untuk para pejalan dan ubi atau ketela untuk kuda.
Kutawaringin kota yang besar dan kaya raya. Selain hasil
bumi, hasil laut bergudang-gudang disimpan di kota ini. Dari
sinilah para pedagang menyebar ke selatan, ke bagian
pedalaman kerajaan. Ke sebelah barat Kutabarang dan lebih
barat lagi, agak ke selatan, ibu kota kerajaan. Raden mau ke
mana?" "Kami pengembara, sedang mencari pengalaman, tidak ada
tujuan yang pasti," sahut Banyak Sumba.
"Oh, Raden tentu putra bangsawan tinggi."
"Baiklah, Paman, saya tak hendak mengganggu kalian lebih
lama. Terima kasih," kata Banyak Sumba sambil memasukkan
kakinya ke sanggurdi, lalu melompat ke atas punggung
kudanya. Para petani itu mengundurkan diri, lalu berjalan
kembali, sementara Banyak Sumba termenung.
Perguruan terbesar di seluruh wilayah Pajajaran yang
termasyhur adalah Padepokan Tajimalela yang letaknya tidak
diketahui orang Di perguruan milik kerajaan itu, hanya para
calon puragabaya yang diperkenankan belajar. Perguruan lain
adalah Bale Rante, tempat mendidik para jagabaya. Perguruan
ini pun milik kerajaan dan hanya diperuntukkan bagi rakyat
biasa yang telah dipilih dan dinilai secara teliti kelakuan
baiknya dan kepantasannya untuk menjadi prajurit kerajaan.
Masih banyak perguruan lain yang sama masyhurnya, seperti
Jalaksana, Pasir Eurih, Gamping, dan lain-lain. Akan tetapi,
menurut Paman Wasis, perguruan-perguruan yang belakangan
ini tidak akan memberikan ilmu yang baru karena Paman
Wasis sendiri di masa mudanya pernah berturut-turut
memasukinya. Menurut nasihat Paman Wasis, tempat belajar yang paling
baik adalah Padepokan Tajimalela. Akan tetapi, karena itu
tidak mungkin dimasuki, yang perlu dicari adalah orang-orang
tertentu yang sedikit-sedikit dapat mengumpulkan rahasia
ilmu para puragabaya. Orang-orang inilah yang harus dicari
Banyak Sumba. Dan untuk ini, perlu dipikirkan cara-cara,
bagaimana ia harus bertemu dengan orang-orang yang
biasanya tidak mudah membukakan pengetahuannya di muka
umum. Seraya termenung demikian, tidak disadari bahwa kudanya
telah jauh menuju Kutawaringin. Ketika Banyak Sumba
menyadari arah jalannya, ia tidak berhenti. Tidak ada salahnya
ia menuju Kutawaringin karena di mana pun mungkin saja ia
bertemu dengan orang-orang yang dicarinya. Maka, dengan
teriakan, dipaculah kudanya di jalan lengang itu. Matahari
mulai meninggi.
Setelah dua hari dua malam melakukan perjalanan dan
menginap di kampung-kampung terpencil, akhirnya jalan tidak
lengang lagi. Kampung-kampung sepanjang jalan makin
banyak ditemukan, sedangkan huma di kiri kanan makin
banyak dan makin luas pula. Semua itu berarti sebuah kota
telah de cat. Sangkaan Banyak Sumba tidaklah salah karena tak lama
kemudian, tampaklah menara penjagaan kota yang tinggi. Di
suai u belokan, ia berpapasan dengan kereta yang ditarik oleh
dua ekor kuda, kereta yang hanya dapat dipergunakan dijalan
lebai sekitar kota. Kesadaran bahwa ia akan memasuki kota
melegakan hati Banyak Sumba.
Beberapa buah pedati kerbau yang mengangkut hasil bumi
telah mereka lewati, ketika di suatu kelompok rumah mereka
melihat pemandangan yang aneh. Orang-orang tua menyuruh


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak-anak gadisnya masuk rumah atau sembunyi.
"Apakah yang terjadi?" pikir Banyak Sumba sambil
menahan kendali kudanya. Belum lagi pertanyaan hatinya
terjawab, dari jauh terdengar suara trompet tiram mendayudayu.
Tak lama kemudian, terdengar pula suara pecut besar yang
diledak-ledakkan di udara. Banyak Sumba melihat ke kanan ke
kiri. Ke arah orang-orang yang berjajar di pinggir jalan,
kepada ibu-ibu yang sibuk menghalau gadis-gadis supaya
menjauh, dan kepada pemuda-peniuda yang dengan muka
muram berdiri di pinggir jalan. Banyak Sumba melihat pedati'
kerbau berhenti di pinggir jalan hingga rodanya masuk ke
selokan. Demikian dilihatnya para penunggang kuda lain turun
dari kudanya masing-masing, seraya meminggir memegang
kendalinya. "Bangsawan tinggi lewat, Raden," ujar Jasik dari belakang
Banyak Sumba. "Tapi mengapa gadis-gadis itu disuruh bersembunyi, Sik?"
"Saya pun heran, Raden."
Percakapan mereka terhenti karena bunyi pecut, suara
trompet tiram, dan deru derap kuda terdengar mendekat. Tak
lama kemudian, dari tikungan muncullah lima orang
penunggang kuda bersenjata lengkap memacu kudanya
seperti sedang dikejar maut. Kelima orang itu meledakledakkan
pecut. Kadang-kadang mempergunakan pecut itu
untuk menghantam orang yang berdiri agak ke tengah.
Melihat itu, Banyak Sumba segera mundur, lebih minggir lagi.
Setelah kelima orang ponggawa itu lewat, muncullah dari
tikungan rombongan penunggang kuda lain. Semuanya
berpakaian indah dan masih muda belia. Kadang-kadang,
tampak di antara mereka ada yang bersolek berlebihan,
dengan badik yang disisipkan dangkal-dangkal, disangkuti
selendang sutra yang warnanya mencolok, berkibar-kibar
tertiup angin. Ada pula yang tutup kepalanya dihias dengan
bunga hingga Banyak Sumba menyangka bahwa rombongan
itu adalah rombongan pertama arak-arakan pesta.
Akan tetapi, dugaannya itu lenyap kembali karena tak lama
kemudian, muncullah sebuah kereta yang sangat bagus, yang
kayu-kayunya diukir sangat rumit dan dicat dengan warna
emas. Kereta ini ditarik oleh dua ekor kuda yang dihias
dengan genta-genta dan bulu-bulu ekor merak serta sutrasutra
dewangga hingga seperti dalam dongeng.
Bersamaan dengan munculnya kereta itu, berdudukkan-lah
rakyat di tanah pinggir jalan itu. Banyak Sumba dan Jasik
kebingungan, ia tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang
harus mereka lakukan. Kebingungan itu berubah menjadi rasa
terkejut ketika seseorang menarik pundak mereka dan berbisik
menyuruh mereka duduk seperti yang lain supaya tidak terjadi
hal yang tidak diinginkan.
Dengan kikuk, kedua orang pengembara itu pun bersila di
pinggir jalan, lalu meniru yang lain menghaturkan sembah ke
arah jalan tempat kereta besar itu lewat. Sekejap kemudian,
gemuruhlah suara kaki kuda dan bersamaan dengan itu, hiruk
pula bunyi berpuluh-puluh buah genta yang bergantungan
pada binatang-binatang itu. Sedangkan trompet tiram dan
bunyi pecut, terus menggetarkan udara. Sungguh kacaubalaulah
pendengaran Banyak Sumba. Bersamaan dengan itu,
naik pulalah debu jalan, menyesakkan napas dan mengotori
pakaian. Akan tetapi, Banyak Sumba tidak dapat berbuat apaapa.
Ia cuma bersila dan meniru apa yang diperbuat rakyat di
sana. Tak lama kemudian, kereta itu berlalu dan semua orang
berdiri kembali. Mereka membersihkan pakaian dari debu
sambil memaki-maki dengan kata-kata yang tidak pernah
terdengar di Kota Medang. Banyak Sumba dengan Jasik pun
terpaksa mengibas debu dari pakaian serta rambut mereka.
Selagi mereka melakukan hal itu, tiba-tiba didengarnya orang
berkata, "Saudara-saudara orang asing?"
Banyak Sumba berpaling dan tampaklah olehnya laki-laki
setengah baya yang tadi menyuruhnya duduk di pinggir jalan.
"Ya, Paman, kami sedang mengembara mencari
pengalaman," jawab Banyak Sumba.
"Tentu pengalaman yang baru termasuk ke dalam
pengalaman pahit," kata laki-laki itu sambil tersenyum pahit.
"Kami bingung, apakah akan kami masukkan pengalaman
pahit atau lelucon," ujar Banyak Sumba sambil tersenyum
kepada orang itu.
"Memang tidak lucu, Anak Muda," kata orang itu.
"Siapakah yang lewat itu dan mengapa tadi saya melihat
ada yang aneh, gadis-gadis remaja dihalau supaya
bersembunyi?"
"Pertanyaanmu itu menunjukkan bahwa kalian benar-benar
orang asing yang baru pertama kali datang ke Kutawaringin."
"Memang demikian, Paman."
"Yang lewat itu Raden Bungsu Wiratanu bersama
rombongannya, bangsawan-bangsawan muda Kutawaringin.
Dan gadis-gadis itu disembunyikan karena mereka dapat
diibaratkan sebagai anak ayam, sedangkan Raden Bungsu
Wiratanu, walaupun masih muda, adalah elang yang rakus."
Banyak Sumba samar-samar menangkap sesuatu yang
dimaksud orang itu. Tapi, ada suatu hal yang sangat
menggetarkan hatinya. Tidak disadari, ia telah berdekatan
dengan salah seorang yang menempati arti sangat penting
dalam hidupnya. Raden Bungsu Wiratanu adalah anggota
wangsa Tumenggung Wiratanu; tentu ia adik Raden Bagus
Wiratanu yang dipergunakan untuk memancing-mancing
perkelahian dengan Kakanda Jante Jaluwuyung. Pada saatnya,
ia akan berhadapan dengan Bungsu Wiratanu ini dan seperti
Jante Jaluwuyung, ia akan membunuh elang muda yang rakus
itu. Ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba, terdengar suara ladam kuda yang dilarikan dengan
cepat. Tujuh penunggang kuda dari rombongan Raden
Bungsu Wiratanu kembali. Rakyat meminggir. Banyak
Sumba pun meminggir sambil memerhatikan tampangtampang
angkuh para penunggang kuda itu. Dengan tidak
disangka-sangka, para penunggang kuda itu berhenti di
hadapannya. "Yang ini?" kata yang seorang kepada temannya.
"Ya," kata yang lain sambil matanya mengawasi kedua ekor
kuda mereka. "Hai, kamu!" kata yang lain sambil menunjuk kepada
Banyak Sumba dengan gagang pecutnya. "Raden Bungsu mau
beli kuda kamu itu," lanjutnya sambil mendekat.
"Kami tidak akan menjual kuda. Kami sedang berada dalam
perjalanan," sahut Banyak Sumba. Rakyat yang mendengar
jawaban Banyak Sumba mundur ketakutan.
"Apa?" tanya penunggang kuda itu keheranan.
"Kami tidak akan menjual kuda!" sahut Banyak Sumba
tegas. Tiba-tiba, orang-orang itu mengarahkan ujung tombak
mereka ke leher Banyak Sumba. Banyak Sumba yang tidak
menduga sebelumnya, tidak dapat bergerak. Kalau bergerak,
empat ujung tombak akan melukainya.
Sementara Banyak Sumba tidak dapat bergerak, Jasik
mencoba maju, tetapi orang yang mengajaknya bercakapnya
tadi menahan tangan Jasik dan berbisik kepadanya. Maka,
Jasik pun tidak berbuat apa-apa ketika dua orang dari
rombongan Bungsu Wiratanu mengambil kuda mereka,
melepaskan kantong-kantong dan melemparkannya ke tanah.
Kedua ekor kuda itu dituntun, lalu kendalinya diikatkan ke
pelana kuda dua orang penunggang kuda itu. Sementara itu,
salah seorang ponggawa yang menekankan ujung tombaknya
ke leher Banyak Sumba mengambil sesuatu dari dalam
kantong kecil di pelana kuda, lalu melemparkan beberapa
keping uang emas ke tanah dekat kaki Banyak Sumba. Tak
lama kemudian, mereka mengundurkan diri, lalu memacu
kuda mereka sambil membawa kuda Banyak Sumba dan Jasik.
Banyak Sumba memandang orang-orang itu hingga lenyap
di tikungan, kemarahannya yang ditahan mengguncangkan
tubuhnya. Ia menggeram seperti Ayahanda menggeram.
Kemudian, dirasanya telapak tangan di pundaknya. Laki-laki
setengah baya tadi berkata, "Sudahlah, Anak Muda. Pada
suatu kali, mungkin mereka terpaksa akan bayar utang, bukan
kepadamu saja, tapi kepada kita semua."
Dengan sedih, Banyak Sumba melangkah, diiringi Jasik,
mengikuti laki-laki itu menuju rumah besar yang terletak tidak
jauh dari jalan. Banyak Sumba dan Jasik dipersilakan masuk
serambi yang berwide, lalu duduk di atas tikar pandan. Tak
lama kemudian, datanglah wanita setengah baya, istri tuan
rumah, diiringi oleh seorang anak laki-laki yang membawa
minuman dan penganan.
"Silakan minum," kata laki-laki itu.
"Terima kasih, Paman," kata Banyak Sumba, "terima kasih
atas bantuannya. Kalau tidak ada Paman, mungkin kami
celaka." "Sabarlah, Anak Muda. Tidakkah lebih baik kita mengetahui
nama masing-masing?" tanya laki-laki itu. "Paman bernama
Askiwin, orang sini asli. Anak Muda dari mana?"
"Nama saya Banyak Sumba. Ini kawan saya, Jasik."
"Banyak Sumba, Raden Banyak Sumba?"
"Ya, Paman:"
"Oh, maaf. Raden. Paman sudah menduga Raden seorang
bangsawan."
"Saya tak lebih dari siapa pun di mata Sang Hiang Tunggal,
Paman," sahut Banyak Sumba.
"Ke manakah tujuan perjalanan, Raden?"
"Kami sendiri tidak tahu, Paman. Kami sedang mencari
orang yang dapat kami jadikan guru ilmu kepahlawanan."
"Sayang sekali, di dekat-dekat Kutawaringin, Raden tidak
akan menemukan tempat berguru. Penguasa kota sangat
ketakutan. Oleh karena itu, ia melarang adanya perguruanperguruan
di wilayahnya. Jadi, Raden harus berjalan jauh."
"Apakah Raden Bungsu Wiratanu itu putra Tumenggung
Wiratanu penguasa kota ini?"
"Benar, Raden. Kakaknya bernama Bagus Wiratanu. Kami
tidak pernah dibiarkan tidur nyenyak oleh orang itu. Untung
tangan Sang Hiang Tunggal yang kasih kepada kami
mencabut nyawanya. Seorang puragabaya membunuhnya
dalam perkelahian. Akan tetapi, karena cerdiknya
Tumenggung Wiratanu, akhirnya puragabaya itu dibunuh oleh
utusan-utusan kerajaan."
"Saya pernah mendengar kisah yang menyedihkan itu,
Paman," kata Banyak Sumba. Kesedihannya bangkit kembali
dan kenangannya kepada Jante Jaluwuyung bercampur
amarah. Ah, kalau saja Kakanda Jante masih ada, ia tidak
akan tanpa daya seperti tadi menghadapi pengawal-pengawal
Bungsu Wiratanu.
"Paman, mengapa warga kota dan warga Kutawaringin
tidak mengadu kepada sang Prabu?"
"Raden, niat untuk mengadu kepada sang Prabu telah
dilaksanakan, tetapi para utusan rakyat dan para bangsawan
menemui nasib yang malang. Di jalan mereka disergap dan
hanya nama mereka yang kembali."
"Tidakkah pejabat-pejabat dari ibu kota Pakuan datang
kemari?" "Mereka sewaktu-waktu datang, tetapi kami tidak dapat
kesempatan untuk melapor apa yang sebenarnya diderita
rakyat di bawah kekuasaan penguasa kota yang sekarang.
Dan segala yang dilaporkan kepada para utusan dari ibu kota
hanya yang baik-baiknya, yang diperlihatkan hanya yang
indah-indah. Nanti Raden akan melihat sebuah istana kecil
yang indah di lingkungan taman, yang kata orang seperti di
Kahiangan. Nah, taman ini untuk menyenangkan tamu dari ibu
kota, dibuat secara kerja paksa dan sumbang paksa dari
rakyat serta bangsawan-bangsawan. Padahal, rakyat dan
bangsawan-bang-sawan yang baik menginginkan usaha
perluasan perhumaan. Raden tahu, penduduk bertambah
padat, huma harus diperluas. Itu dibutuhkan waktu, tenaga,
dan biaya. Akan tetapi, biaya, tenaga, dan waktu ini diperas
dari rakyat dengan percuma, hanya untuk membuat taman
itu." "Sang Hiang Tunggal tidak akan membiarkan segalanya
berlangsung lama, Paman," kata Banyak Sumba, hatinya
dipenuhi kemarahan dan kesedihan.
"Semoga, Raden," katanya. Tiba-tiba orang itu menutupkan
telunjuknya ke mulut, lalu berbisik bahwa ada orang datang.
"Mata-mata Wiratanu ada di mana-mana, kita tidak tahu
apakah saudara kita sendiri berada di pihak sana."
"Marilah kita lupakan segala yang buruk itu, Paman. Kita
akan berbicara tentang yang lain dan tidak tentang perampas
kuda itu. Dapatkah Paman membantu kami, di manakah
Paman dengar ada perguruan ilmu kepahlawanan yang baik?"
"Raden, di sini tidak ada, semua dilarang," jawab Aski-win.
Setelah termenung, berkatalah pula dia, "Di perbatasan
dengan wilayah Kutabarang, Paman dengar ada satu, tetapi
perguruan biasa saja."
"Baiklah, Paman. Kami akan bertanya sepanjang jalan
nanti. Di manakah kami bisa membeli kuda?"
"Nanti Paman antar Raden ke sana. Sekarang, marilah kita
masuk, Bibi telah menyediakan makanan bagi kita."
Sore itu, dengan kuda baru, Banyak Sumba dan Jasik
memasuki Kota Kutawaringin. Mereka lewat di suatu
bangunan yang terbuat dari kayu jati. Mereka mendapat
keterangan bahwa bangunan itu bernama terungku, tempat
memenjarakan orang jahat. Mereka melewati lapangan besar
tempat upacara "Menerima Padi Sulung". Beberapa malam
sebelumnya, penduduk kota baru saja mengadakan upacara
mengelu-elukan Nyi Pohaci Sang Hiang Sri karena seluruh
wilayah Kutawaringin baru selesai panen.
Selagi berjalan-jalan, mereka dikejutkan oleh ingar-bi-ngar
dan teriakan-teriakan rakyat. Pedagang-pedagang berlarian ke
pinggir jalan, ayam lepas dari kurungan pedagang ayam dan
beterbangan kian kemari sambil berkotek-kotek, seorang
pedagang minuman terjatuh dilanggar pedagang bunga
rampai yang berlari ke pinggir. Seorang buta kehilangan
tongkatnya dan ditarik oleh seorang perempuan tua ke pinggir
jalan. "Apa yang terjadi?" tanya Banyak Sumba kepada orangorang
yang berdiri di pinggir jalan bersamanya.
"Biasa," ujar orang itu. Banyak Sumba tidak mengerti,
tetapi tak lama kemudian menderulah penunggang-penunggangkuda,


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya anak-anak bangsawan dengan beberapa
orang pengiring bersenjata. Mula-mula, Banyak Sumba heran,
kemudian ia sadar bahwa bangsawan-bangsawan muda itu
sedang berpacu kuda sambil berteriak-teriak riang gembira.
"Berpacu kuda di tengah kota!" pikir Banyak Sumba dengan
muak. "Seandainya itu terjadi di Kota Medang, Ayahanda pasti
menghukum anak-anak bangsawan itu dengan pukulan cemeti
di depan umum. Tapi, ini Kutawaringin," pikirnya.
"Sik, marilah kita tinggalkan kota ini," kata Banyak Sumba.
Beberapa hari kemudian, mereka sudah berada di
perbatasan Kutawaringin.
-oooodwoooo- PERGURUAN ilmu kepahlawanan biasanya tidak saja
berhubungan erat dengan bidang-bidang keprajuritan dan
kepentingan kerajaan lainnya, tetapi juga dengan bidang
perdagangan. Kalau keprajuritan memerlukan kepandaian
dalam ilmu bertempur, hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi,
kepandaian ini tidak asing bagi mereka yang bergerak dalam
perniagaan. Para pedagang kerajinan, perhiasan yang mahalmahal,
misalnya dari emas dan batu-batu mulia, biasanya
terdorong menguasai ilmu berkelahi sekadarnya untuk
melindungi keselamatan dan harta mereka. Mudah dimengerti
kalau perguruan-perguruan banyak tersebar di tengah
masyarakat yang bergerak dalam bidang perdagangan dan
bukan di tengah-tengah masyarakat petani.
Itulah sebabnya, kunjungan Banyak Sumba dan Jasik ke
Kutabarang merupakan kunjungan yang terencana karena Kutabarang
merupakan pusat perniagaan yang terbesar dan
terpenting di seluruh kerajaan. Di sanalah Banyak Sumba
berharap dapat menemukan perguruan yang terbaik.
Pada hari pertama tiba di kota, perhatian Banyak Sumba
tertarik oleh keramaian dan kesibukan kota itu. Belum pernah
Banyak Sumba melihat rombongan orang yang demikian
besarnya berkumpul di satu tempat. Di dalam lingkungan
benteng yang luas itu, mungkin Kutabarang menampung dua
puluh atau tiga puluh ribu orang penduduk. Mereka terdiri dari
pegawai-pegawai kerajaan, para perwira, tukang, dan
pedagang. Sementara itu, di kampung-kampung yang terletak
di luar benteng, yaitu di depan gerbang kota bagian selatan,
para petani kaya telah mendirikan tempat tinggal mereka
berupa rumah-rumah kayu yang besar, kuat, dan indah.
Beberapa ratus tonggak ke utara terletaklah pelabuhan,
tempat kapal-kapal layar, perahu besar dan kecil berlabuh.
Begitu sibuknya pelabuhan itu dan begitu banyaknya kapal
berlabuh, hingga laut yang warnanya biru hanya sekali-kali
saja tampak antara celah layar-layar yang berwarna-warni.
Sedangkan kesibukan pelabuhan tidak terkatakan pula
ramainya. Berbagai bangsa datang ke Pelabuhan Kutabarang,
berbagai bahasa diucapkan, bahasa Cina, bahasa Keling,
bahasa Benggala, bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan lain-lain.
Segala kemegahan, kesibukan, dan keramaian kota itu,
selama tiga hari, menarik perhatian Banyak Sumba dan Jasik.
Pada hari keempat, diputuskan oleh Banyak Sumba untuk
mengunjungi perguruan yang ditunjukkan oleh seorang
pelayan di tempat mereka menginap. Perguruan itu terletak di
atas sebuah bukit yang tidak jauh letaknya dari benteng
Kutabarang. Dari bukit itu terlihat dengan jelas letak benteng
dengan wilayah sekitarnya.
Ketika kedua orang pengembara dengan penunjuk jalan
pelayan penginapan tiba di tempat itu, seorang penjaga
membukakan lawang kori. Begitu besarnya perguruan itu
hingga bagi orang asing, sukar untuk membedakannya
dengan sebuah kampung biasa. Setelah berada di dalam
lingkungan pagarnya yang terdiri dari kayu dan tumbuhtumbuhan
berduri, Banyak Sumba dapat melihat perbedaan
yang khas dari perguruan itu. Penghuninya semua laki-laki dan
kebanyakan masih muda. Mereka anak-anak pedagang atau
para pegawai perusahaan perdagangan dari Kutabarang. Dan
ketika Banyak Sumba dan Jasik tiba, para penghuni perguruan
itu tampak langsung menduga bahwa Banyak Sumba anak
seorang pedagang kaya.
Beberapa orang pelayan segera mengelu-elukan Banyak
Sumba yang diiringkan oleh Jasik. Kedua orang pengembara
dibawa ke salah satu ruangan tempat mereka diterima oleh
wakil pemimpin perguruan.
"Juragan hendak belajar?" tanya wakil pemimpin perguruan
itu. "Kami baru hendak mencari keterangan, Paman. Saya ingin
tahu segala hal yang perlu saya ketahui tentang perguruan
ini." "Setiap siswa membayar tiga keping emas setiap bulan.
Mereka mendapat pelajaran dari matahari terbit hingga para
petani melepas parang dari tangannya wakil pemimpin itu
menghentikan bicaranya ketika dilihatnya dua orang tamunya
keheranan. Memang, Banyak Sumba sangat keheranan mendengar
ongkos belajar yang begitu tinggi. Di Medang, kalau orang
hendak belajar kepada seorang guru, tidak pernah ditetapkan
bahwa orang itu harus membayar. Ia cukup meminta diajari
kepada guru itu setelah mengangkat sumpah bahwa
kepandaian yang akan didapatnya tidak akan dipergunakan
untuk kepentingan dirinya sendiri atau melakukan kejahatan.
Lebihnya adalah seekor ayam yang disembelih dan darahnya
dipercikkan di tempat latihan, kain bagi guru, dan sirih pinang.
Syarat yang tanpa malu-malu disampaikan kepada Banyak
Sumba oleh wakil pemimpin perguruan itu benar-benar
mengejutkannya. Timbul syak wasangka dalam diri Banyak
Sumba, barangkali perguruan itu kurang dapat dipercaya. Ia
menyesal tidak bertanya terlebih dulu kepada pelayan yang
mengantarnya, apakah perguruan itu didirikan dengan
sepengetahuan bangsawan Kutabarang atau tidak.
"Anak Muda jadi mau belajar di sini?" tanya wakil pemimpin
itu seakan-akan mendesak. Banyak Sumba kebingungan, tidak
tahu apa yang harus dikatakannya. Dalam kantong kulitnya,
kira-kira terdapat dua puluh delapan keping emas lagi, dengan
tujuh keping perak dan lima belas keping perunggu. Ia tidak
mungkin dapat membayar keping-keping emas untuk
pelajaran yang belum tentu benar-benar dibutuhkannya. Siapa
tahu apa yang akan didapatnya dari perguruan itu sebenarnya
sudah didapat dari Paman Wasis.
'Anak Muda jadi mau belajar?" tanya wakil pemimpin itu
sekali lagi, seraya memandang tajam ke wajah Banyak
Sumba. Dengan tidak banyak berpikir, keluarlah kata-kata
Banyak Sumba sebagai dalih untuk menolak, "Saya ingin
melihat dulu pelaksanaan pelajaran di sini, baru saya dapat
memutuskan."
Wakil pemimpin perguruan itu tampak marah; ia mendelik,
lalu berdiri, "Kalau tidak berani membayar, jangan belajar di
perguruan ini," katanya.
Mendengar perkataan itu, panaslah daun telinga Banyak
Sumba. Walaupun demikian, ia tetap tenang karena sadar
bahwa ia harus menghindarkan setiap perkelahian yang tidak
ada hubungannya dengan tugasnya, yaitu membalas dendam
terhadap Puragabaya Anggadipati, wangsa Wiratanu,
Pembayun Jakasunu, serta mengembalikan abu jenazah Kanda
Jalu-wuyung kepada keluarga Banyak Citra. Setiap penghinaan
dari orang-orang kerdil seperti wakil pemimpin itu harus
diterimanya dengan tabah, dan setiap kesedihan harus
dianggapnya sebagai persembahan kepada Sang Hiang
Tunggal"yang akhirnya akan menolong orang yang
diperlakukan dengan tidak adil, seperti seluruh keluarga
Banyak Citra. Akan tetapi, Jasik tidak menerima penghinaan wakil
pemimpin perguruan itu seperti tuannya. Jasik berdiri, lalu
berkata, "Saudara tidak perlu menghina. Tuan saya ini"kalau
mau"dapat membeli seluruh perguruan dan
membubarkannya. Yang kami inginkan contoh yang diajarkan
di perguruan ini. Kami ingin mengetahui kepandaian yang
bakal kami dapat di perguruan ini. Saya bersedia menjadi
percobaan agar tuan saya dapat melihat dengan mata kepala
sendiri kepandaian guru perguruan ini, terutama kepandaian
Saudara sendiri."
Banyak Sumba tidak dapat menghindarkan lagi peristiwa
selanjutnya. Wakil pemimpin perguruan gemetar dan mendengusdengus karena marahnya, sedangkan pelayan pengantar
menyelinap dan lari ke luar ruangan seperti anjing melihat
tongkat. Wakil pemimpin berdiri tegak, lalu melangkah ke
tengah-tengah ruangan sambil memberi isyarat kepada Jasik.
Jasik yang marah melangkah dengan pasti ke tengahtengah
ruangan, lalu pasang kuda-kuda.
'Jasik, ingat ayahmu" kata Banyak Sumba. Ia ingin
mengingatkan Jasik bahwa perkelahian tidak boleh dilakukan
dalam keadaan kalap seperti itu. Jasik harus membaca mantra
untuk menenangkan diri. Itulah sebabnya Banyak Sumba
mengingatkan Jasik. Akan tetapi, Jasik sudah kalap, matanya
menyala-nyala seperti dua buah bara yang tiba-tiba panas
sekali. Banyak Sumba berseru kembali sambil melangkah ke
dinding di dekatnya, bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Ia kemudian berseru:
"Demi air terjun yang berasap di lunas cadas
Demikian titik embun..."
Itulah awal mantra yang dipelajarinya dari Paman Wasis
untuk menenangkan diri sebelum menghadapi lawan.
Rupanya, Jasik pun sekarang teringat akan nasihat ayahnya.
Ia memperlambat napasnya dan cahaya matanya tidak liar
lagi. Maka, kedua orang lawan berhadapan dengan siap.
Tiba-tiba, wakil pemimpin perguruan itu menyerbu dengan
cepat dan dengan tenaga yang besar sekali. Jasik mengelak,
tetapi karena cepatnya serangan, walaupun tinju lawan tidak
mengenainya, tak urung kedua orang lawan bertabrakan. Lalu
terjadilah perkelahian yang kacau-balau, sama-sama bertindak
serampangan dalam mempergunakan tangan dan kaki
mereka. Melihat perkelahian yang buruk itu, Banyak Sumba marah
dan kesal. Ia menyesali Jasik seolah-olah melupakan segala
pelajaran yang diterima dari ayahnya. Segala siasat yang
pernah diperbincangkan dan dibahasnya bersama, seolah-olah
tidak berkesan di hati Jasik. Panakawan yang baik itu
berkelahi secara ngawur dan begitu sering kena pukulan.
Sedangkan setiap pukulannya yang masuk tubuh lawan, itu
hanya kebetulan. Kemudian, wakil pemimpin itu melepaskan
diri sambil terengah-engah mundur. Jasik yang kelelahan tidak
bisa mempergunakan peluang yang diberikan lawan. Kedua
belah kakinya tidak dapat dilangkahkan, seolah-olah melekat
di lantai tanah ruangan itu. Banyak Sumba melihat bahwa
wakil pemimpin itu telah menerima pukulan yang berarti, ia
lebih payah daripada Jasik.
Tiba-tiba, terdengar langkah orang datang. Banyak Sumba
bersiap. Dari pintu yang tidak ditutup, muncullah seorang lakilaki,
kira-kira berumur tiga puluh lima tahun. Banyak Sumba
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jasik pun
menggeser kakinya. Akan tetapi, laki-laki yang mula-mula
kebingungan melihat sekitar kamar itu berseru, "Sik!"
"Kang Arsim!" seru Jasik gembira sambil melangkah ke
arah laki-laki itu. Kedua orang yang baru bertemu itu
berpelukan di hadapan Banyak Sumba yang keheranan dan
wakil pemimpin perguruan yang tampak lega.
Ternyata, Arsim salah seorang bekas murid Paman Wasis.
Setelah ia mendapat keterangan apa yang terjadi dan setelah
diperkenalkan kepada Banyak Sumba, ia tampak segera
berusaha agar suasana yang buruk menjadi cerah kembali. Hal
ini tidak sukar dilakukannya karena dengan alasan yang tidak
begitu jelas, wakil pemimpin perguruan segera menghilang
dari ruangan itu. Tinggallah Banyak Sumba, Jasik, dan Arsim
dengan beberapa orang siswa perguruan yang menggelar tikar
dan membawa teh serta penganan.
Setelah berbicara tentang itu dan ini, setelah Arsim banyak
bertanya tentang Kota Medang dan sekitarnya, akhirnya
gilirannyalah yang menjelaskan mengapa ia di Kutabarang.
Semula, ia datang ke Kutabarang ikut dengan pamannya
untuk berdagang. Akan tetapi, berdagang ternyata tidak
semudah yang dibayangkannya semula. Ia berulang-ulang
menderita rugi hingga tidak punya lagi ongkos untuk pulang,
kecuali menjual harga dirinya dengan mengemis sepanjang
jalan. Maka, ia pun memutuskan untuk mencari pekerjaan
hingga terkumpul sedikit ongkos.
Ia bekerja di pelabuhan sebagai tukang angkat barang.
Pada suatu hari, ia bertengkar dan lawan yang kalap
menyerangnya. Pelajaran yang didapatnya dari Paman Wasis
tidak sia-sia. Lawan dikuncinya hingga tidak dapat berkutik.
Rupanya, ketika itu ada seorang anggota perguruan yang
melihat. Semenjak itu, ia punya kerja baru, yaitu mengajarkan
ilmu berkelahi seperti yang diterimanya dari Paman Wasis.
Untuk itu, ia mendapat penghargaan berupa ongkos-ongkos
hidup dan tempat menginap. Ia pun mempelajari cara-cara
berkelahi yang tidak didapatnya dari Paman Wasis.
"Adakah hal-hal yang patut dipelajari di sini, Kang Ar-sim,"
tanya Banyak Sumba yang sangat tertarik oleh ilmu-ilmu baru
dalam bidang itu.
"Tidak banyak, Raden. Orang-orang di Medang lebih maju
dalam berkelahi," demikian keterangan Arsim. Banyak Sumba
kecewa karena ia tahu bahwa ia harus mengembara lebih jauh
lagi. "Kang Arsim, barangkali Kang Arsim mendengar, di mana
kami dapat menambah ilmu seperti yang kita terima dari
Paman Wasis di Medang."
"Berita-berita banyak, Raden. Setiap siswa bercerita tentangjagoan
zaman dahulu atau jagoan yang berada di tempattempat
jauh yang tidak mungkin dicapai. Di seberang Hutan
Larangan atau di seberang lautan, penuh dengan jagoan ini.
Akan tetapi, tentu saja bukan itu yang Raden cari. Sepanjang
pengetahuan saya, di daerah ini, di perguruan ini ada seorang
ahli yang dapat kita hargai, yaitu Gan Tunjung, pemimpin
perguruan. Akan tetapi, menurut pendapat saya, ia tidak lebih
ahli daripada Paman Wasis. Saya sering penasaran,
bagaimana kalau Gan Tunjung bertanding dengan Paman
Wasis. Menurut pendapat saya, keduanya-duanya punya
harapan yang sama untuk menang."
"Kang Arsim sendiri, tidak adakah hasrat untuk menambah
keahlian yang sudah ada?" tanya Banyak Sumba.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arsim tidak segera menjawab. Setelah tersenyum, baru ia
berkata, "Raden tahu, saya pergi ke Kutabarang hanya untuk
berdagang. Ilmu yang saya pelajari dari Paman Wasis
hanyalah alat pembantu dalam perdagangan, untuk keamanan
dan keselamatan. Raden tahu, kalau saya berada di sini, itu
karena saya tidak mau pulang sebelum sebelum
kaya,",katanya sambil mengerlingkan mata, kemudian ia
melanjutkan, "Saya sudah mengumpulkan sejumlah uang,
dalam dua-tiga tahun saya dapat pulang dan membuat rumah
kayu yang besar dan kuat di pinggir Kota Medang," sambil
berkata demikian, tampak ia mengkhayalkan kesenangan
punya rumah besar itu. Ia melupakan kedua orang tamunya,
dan Jasik mengambil kesempatan untuk berbisik kepada
Banyak Sumba bahwa Arsim ini pernah mencintai seorang
gadis yang mata duitan. Gadis itu kawin dengan orang lain,
dan Arsim tampaknya bermaksud menjadi kaya untuk
memanas-manasi gadis yang pernah menolaknya itu.
Dari cerita Jasik itu, Banyak Sumba mengambil kesimpulan
bahwa ia tidak akan dapat belajar banyak dari perguruan itu.
Walaupun begitu, tawaran Arsim untuk menginap di
perguruan itu diterimanya dengan baik. Ia penasaran untuk
dapat menyaksikan latihan yang dilakukan di perguruan itu. Ia
pun ingin tahu bagaimana tingkat kepandaian Gan Tunjung
yang menjadi pemimpinnya. Ia tinggal di sana dan
mempergunakan waktunya untuk melihat-lihat perguruan dan
sekitarnya. Ketika hari mulai teduh, banyak penunggang kuda
berdatangan ke perguruan itu. Dari tingkah laku dan tutur
kata para pendatang yang muda-muda itu, Banyak Sumba
mengambil kesimpulan bahwa mereka anak saudagarsaudagar
kaya dari Kutabarang. Mereka berpakaian
gemerlapan, sehat, dan gembira. Mereka memasuki gerbang
perguruan dengan bebas, tidak seperti memasuki pedepokan
yang bersuasana khidmat, tetapi lebih seperti memasuki
tempat bermain.
"Sebentar lagi, latihan akan dimulai," bisik Arsim seraya
memberi hormat kepada siswa-siswa yang datang. Ini pun
mengherankan Banyak Sumba. Seharusnya, siswa-siswalah
yang menghormat kepada pelatihnya dan tidak sebaliknya.
Kemudian, segalanya menjadi jelas.
Gan Tunjung yang menjadi pemimpin dan guru utama dari
perguruan itu seorang bangsawan. Akan tetapi, bangsawan ini
memiliki cacat besar. Ia suka sekali berjudi dan menyabung
ayam. Karena kegemarannya yang dianggap hina oleh kaum
keluarganya, ia disisihkan. Untuk membiayai hidupnya dan
membayar ongkos kegemarannya, ia terpaksa menjual ilmu
kebangsawanannya, yaitu ilmu berkelahi dan keperwi-raan.
Maka, didirikanlah perguruan itu dengan peraturan siswasiswa
harus membayar mahal.
Para putra saudagar yang menjadi siswa pada perguruan
itu dengan sendirinya mengetahui kedudukan Gan Tunjung.
Walaupun di hadapannya mereka memberi penghormatan
sepantasnya, dalam hati masing-masing, mereka tidak
memiliki rasa hormat kepada guru mereka itu. Mereka
menganggap bahwa Gan Tunjung hanya dapat hidup dengan
bantuan mereka. Itulah sebabnya mereka bersikap bebas dan
bahkan menganggap badega kepada pelatih seperti Arsim.
Arsim sendiri, asal ia mendapat uang banyak untuk
memanaskan hati gadis yang menolaknya itu, tampaknya tidak
keberatan dengan sikap mereka itu.
Sore itu, pada saat latihan, disertai Jasik, Banyak Sumba
hadir di tempat latihan. Arsim menerangkan kepada Gan
Jago Kelana 13 Panji Wulung Karya Opa Pendekar Latah 2

Cari Blog Ini