Ceritasilat Novel Online

Naga Dari Selatan 1

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 1


LAM BENG TJIAM LIONG
Naga Dari Selatan
Karya : Liang Ie Shen saduran : SD Liong
Uploader : TAH di Indozone
Final Edit & Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
Daftar Isi : LAM BENG TJIAM LIONG................................1
Daftar Isi : ................................................................2
PENDAHULUAN .................................................4
BAGIAN 1 TAMU TAK DIUNDANG ................................5
BAGIAN 2 : CENG BO SIANGJIN ...........................46
BAGIAN 3 : HILANG TAK BERBEKAS ...................87
BAGIAN 4 : PERTEMPURAN DIATAS LUITAY .... 127
BAGIAN 5 : ANTARA CINTA DAN BENCI............ 164
BAGIAN 6 : WANITA BERAMBUT PANJANG ...... 238
BAGIAN 7 : HATI NAN LARA .............................. 257
BAGIAN 8 : SI TENGENG .................................... 276
BAGIAN 9 : RAPAT PARA ORANG GAGAH......... 291
BAGIAN 10 : GURITA RAKSASA ............................... 333
BAGIAN 11 : LICIN BAGAI BELUT ............................ 352
BAGIAN 12 : SI BONGKOK ...................................... 371
BAGIAN 13 : MASUK SARANG MACAN ...................... 387
BAGIAN 14 : LAWAN LAMA ..................................... 408
BAGIAN 15 : LUPA DARATAN .................................. 424
BAGIAN 16 : SETAN LAWAN IBLIS........................... 444
BAGIAN 17 : ADU JAGO.......................................... 453
BAGIAN 18 : TELUR DIUjUNG TANDUK............. 476
BAGIAN 19 : IBU DAN ANAK ................................... 485
BAGIAN 20 : PEDANG JANTAN DAN BETINA ............. 505
BAGIAN 21 : MEMBAYAR HUTANG........................... 524
BAGIAN 22 : TIGA ORANG HWESHIO DAN SEORANG
PEMALSU.............................................................. 541
BAGIAN 23 : KERA BERSAUDARA BUAYA .................. 565
BAGIAN 24 : KETAWA MONYET ............................... 578
BAGIAN 25 : BATU MUSTIKA................................... 590
BAGIAN 26 : ORANG UTAN ..................................... 611
BAGIAN 27 : SI RAJA ULAR..................................... 625
BAGIAN 28 : ISTERI DI TUKARKAN PEDANG............. 640
BAGIAN 29 : KALAH DAN MENANG .......................... 657
BAGIAN 30 : PUNGGUNG DAN TUMIT ...................... 674
BAGIAN 31 : YAN CHIU BERJUDI............................. 686
BAGIAN 32 : MASUK SARANG HARIMAU................... 722
BAGIAN 33 : LOLOS DARI LUBANG JARUM ............... 739
BAGIAN 34 : SETAN BERKEPALA DUA ...................... 759
BAGIAN 35 : TULISAN DI BATU............................... 772
BAGIAN 36 : TULISAN DI BATU HITAM .................... 790
BAGIAN 37 : PERJAMUAN DARAH ............................ 810
BAGIAN 38 : SETERU LAMA .................................... 831
BAGIAN 39 : MAUT MULAI MENGINTAI.................... 848
BAGIAN 40 : BERSATU KEMBALI ............................. 863
BAGIAN 41 : RENCANA KEJI.................................... 885
BAGIAN 42 : PAHIT EMPEDU................................... 906
BAGIAN 43 : BERGENIT DENGAN MAUT ................... 923
BAGIAN 44 : ANJING GILA...................................... 936
BAGIAN 45 : DI CENGKERAMAN IBLIS ..................... 955
BAGIAN 46 : DUKA MERANA ................................... 974
BAGIAN 47 : MENGUNDANG HARIMAU BUAS............ 987
BAGIAN 48 : PEMILIHAN UMUM ............................ 1003
BAGIAN 49 : LELATU YANG BERBAHAYA ................ 1022
BAGIAN 50 : HALILINTAR DI SIANG HARI .............. 1046
BAGIAN 51 : DITOLONG LINTAH........................... 1064
BAGIAN 52 : PERANG TANDING ............................ 1083
BAGIAN 53 : PATUNG HIDUP ................................ 1105
BAGIAN 54 : ASMARA MURNI................................ 1117
BAGIAN 55 BERPANTANG AJAL ............................. 1139
BAGIAN 56 : HABIS GELAP TERBITLAH TERANG ..... 1155
PENDAHULUAN Gunung Lo-hu-san yang terletak ditengah propinsi
Kwitang, termasuk dalam wilayah kabupaten Ceng-sengkoan. Bagian timur dari pegunungan itu memasuki
kabupaten Pok-lo-koan. Puncaknya menjulur surut. Keliling
luas pegunungan itu hampir 500 li, penuh dengan puncak2
yang aneh berhiaskan hutan belantara nan menghijau lebat.
Puncak2 yang telah diberi nama oleh rakyat, ada lebih dari
400 buah. Sedang disamping itu, tak terhitung jumlahnya
puncak2 yang belum pernah dijelajah dan belum diberi
nama. Kebanyakan puncak2 tersebut, merupakan gunung
karang dan padas yang curam melandai, sukar didaki.
Sekalipun barisan puncaknya sedemikian banyak, namun
karena banyak sekali puncak2 tersebut yang kepundannya
indah megah, maka gunung Lo-hu-san merupakan suatu
gunung yang paling terkenal dalam propinsi Kwitang.
Konon menurut cerita, pada jaman ahala Tang Cin, ada
seorang bernama Kat Hong, bertapa digunung Lo-hu-san,
dia mengarang sebuah kitab "Pao-bu-cu" memperoleh
penerangan dan menjadi dewa. Kitab tersebut hingga kini
masih beredar. Kota Ceng-seng dikaki gunung Lo-hu-san itu, sejak pada
masa terakhir dari ahala Han, sudah ramai. Turut naluri
kepercayaan, karena kemegahan dan keangkerannya, Lohusan merupakan sumber kelahiran dari para orang suci
dan orang gagah dan memang kenyataan dari daerah
gunung tersebut muncullah tokoh2 perwira pada setiap
jaman. Ini berlangsung dari jaman kejaman. Pada
hakekatnya, gunung tersebut merupakan tempat ziarah suci
dari kaum agama, sumber inspiratie (ilham) dari para
pujangga serta tunas2 gagah perwira.
Cerita yang akan kami hidangkan ini, dimulai ketika
tentara Ceng-tiau sudah memasuki wilayah Kwitang,
sedang induk pasukannya sudah tiba dipropinsi Hokkian.
Kepala angkatan perang Ceng, jenderal Li Seng Tong,
sudah siapkan tentaranya untuk menyerbu Kwitang.
Peristiwa itu menurut perhitungan tahun Ceng-tiau, ialah
kaisar Sun Ti naik takhta pada tahun ke 3 bulan 11. Sedang
kalau menurut tahun ahala Beng, termasuk tahun ke 2
bulan 11, Lam Beng Liong Bu atau kaisar Liong Bu dari
ahala Beng selatan.
---oo0dw0oo--- BAGIAN 1 TAMU TAK DIUNDANG
Hari itu merupakan suatu pagi yang cerah. Matahari nan
merah tengah pe-lahan2 memancarkan sinarnya dari ufuk
timur. Cakrawala bagian timur, tampak marong kemerah2an. Bagaikan helai sutera kuning emas, ribuan
sinarnya menyusup diantara kabut pagi yang tebal. Sepintas
pandang tak ubah bagai ribuan ulat emas tengah be-renang2
menyenangkan diri.
Di-tengah2 Lo-hu-san terdapat sebuah puncak yang
disebut "Giok-li-nia" atau kepundan bidadari. Walaupun
bukan tergolong puncak yang tertinggi, namun "Giok-linia" tersebut merupakan puncak yang sangat berbahaya
sekali keadaannya. Tebingnya yang curam serta kalderanya
yang mengombak laut, jika ditinjau dari kejauhan, mirip
dengan lapisan tirai hijau yang ditebarkan dari langit. Pada
puncak yang teratas terdapat sebuah biara, disebut biara
"Cin Wan Kuan". Biara itu terdiri dari sebuah ruangan
besar, sedang dikanan kirinya dibangun belasan ruang
kamar lagi. Hari makin lama makin tinggi. Se-konyong2 dari pintu
sebelah ruang besar Cin Wan Kuan, muncul seorang
pemuda sekira berusia delapan atau sembilan belas tahun.
Langkah kakinya tegap tenang, alis lebat mata bundar
besar. sikap dan dandanannya polos sederhana. Dia
mencekal sebatang pedang panjang yang sana sini terdapat
"bintik2 tahi karatan. Menatap matahari pagi, dia kelihatan
beberapa kali mengambil napas. Setelah itu dia menuju
kebawah sebuah pohon siong (sejenis cemara). Disitu
dengan pejamkan mata dan mengorak paha (duduk bersila),
beberapa kali dia berlatih duduk-berbangkit. Setelah
napasnya teratur lebih tenang, dia tenang menatap
kebawah. Kabut pegunungan bertebaran membungkus
dirinya. Tengah pemuda itu asyik berlatih gi-kang (ilmu
bernapas), tiba2 dari arah dalam biara itu, terdengar
serangkum kumandangnya tertawa kecil. Nadanya melengking tinggi, di-padu dengan kicauan burung
menyambut sang pagi, rasanya lebih merdu.
Menyusul dengan itu, segera tampak sebuah bayangan
berkelebat. Sesosok tubuh langsing kecil, bagaikan terbang
lari menghampiti kearah anak muda tadi. Gerakannya
lincah dan enteng, sehingga sedikitpun tak mengeluarkan
auaraa apa2. Sekejap saja, ia sudah berada dimuka anak
muda tadi. Oi, oi, kiranya ia itu seorang dara remaja
berumur lima atau enambelas tahun. Rambutnya dikepang
menjadi dua konde, biji matanya besar terang, jadi surup
dengan bulu matan ya yang lebat panjang. Ditilik dari
indera alat penglihatnya saja, cukup sudah untuk memberi
kesan, bahwa ia, seorang dara yang cerdas tangkas.
Demi melihat anak muda itu tengah meramkan mats,
berlatih napas, sidara segera leletkan lidahnya, meng-iwi2
mengunjukkan muka "setan" kepada sianak muda, siapa
karena sedang memusatkan pikirannya sudah tentu tak
mengetahui suatu apa. Setelah berbuat itu, dara nakal itu
segera berputar kearah belakang puhun. Sekali pelan2 enjot
kakinya, tubuhnya tampak melambung keatas. Begitu
tangan mengulur, ia dapat menangkap sebuah cabang, terus
untuk pegangan memanjat. la pernahkan diri ditengah daun
yang lebat. Tak antara berapa lama, sianak muda tampak loncat
berbangkit. Wajahnya ke-merah2an, kepalanya mandi
keringat. Dengan lengan baju, dihapusnya keringat itu.
Memungut pedang yang diletakkan disamping, dia segera
berIatih. Dalam latihan itu, gerakannya sangat pelahan
sekali. Dan anehnya, bolak balik latihan itu hanya terdiri
dari 4 bagian jurus. Yang pertama, kedua kakinya
dipentang kesamping, tangannya kiri ditaruh didada seperti
seorang paderi berdoa, sedang ujung pedang yang dicekal
dalam tangan kanan diacungkan kemuka. Mungkin itulah
jurus pembukaan. Yang kedua, pedang digoyangkan. Begitu
sinar mata pedang berkilau, secepat angin terus dikibaskan
keatas. Sementara itu, tangannya kiripun turun bergerak
mengimbangi gerak pedang tadi. Sewaktu bergerak itu, jari
tengah dan telunjuk, dirapatkan satu sama lain. Kaki
kananpun melangkah maju, tubuhnya ikut dipendekkan
kebawah. Pedang ber-putar2 turun naik, sementara
sepasang matanya tak henti2nya memandang kemuka.
Jurus yang ketiga ialah, secara tiba2 pedang ditarik, kakinya
mundur dua tindak, tapi tangannya dijulurkan kemuka.
Begitu sinar pedang berkelebat kearah diri, mendadak
sontak ditusukkan kemuka se-keras2nya.
Bermula gadis yang bersembunyi diatas pohon tadi,
memperhatikan betul2. Tapi serta anak muda itu bolak
balik hanya melakukan ke 4 jurus tersebut, hilanglah
kesabarannya. Dengan mendekap mulut, ia menguap. Tapi
serta mengawasi lagi, kiranya sianak muda itu masih terus
mengulang-balik latihan keempat jurus itu. Begitu sampai
pada jurus ke 4, ialah ketika dia menusuk keras2 kemuka,
sigadis lincah itu segera diam2 melorot turun dari pohon.
Dilihat naga2nya, ia hendak menggertak supaya anak muda
itu terkejut. Tapi sewaktu masih melorot turun, tiba2 tampak olehnya
anak muda itu miringkan tubuh menggeser kakin ya. Begitu
ujung pedang menusuk kemuka, secepat kilat dia berputar
kebelakang, wut, wut, pedang dibolang balingkan dengan
santer sekali, menusuk keatas bawah kanan dan kiri empat
jurusan. Sehabis itu, lalu menarik gerakan pedangnya.
Melihat itu, bukan kepalang girangnya sigadis. Hendak
ia memanjat keatas lagi, tapi baru tubuhnya bergerak atau
disana sianak muda sudah kedengaran membentak:
"Siapakah yang bersembunyi disitu, berani mencuri lihat
orang berlatih pedang "!"
Tahu kalau sudah kepergok, tak mau nona itu
bersembunyi, tapi dengan unjukkan muka "setan" (ngiwi2),
ia loncat turun.
"Ha, adik Yan-chiu, lagi2 kaulah yang mengadu biru,"
seru sianak muda itu dengan tertawa, "kalau tadi kusalah
lihat mengira kalau kau seorang luar, tentu pedangku akan
kesalahan menusukmu, dan pasti kau akan menangis
menggerung-gerung."
Mulut sinona menyeringai, tangannya membereskan
konde. Wajahnya yang merah dadu, makin bersemu, sedap
nian dipandang mata. "Oi, suko! Sekalipun kau lebih lama
belajar silat dari aku, belum tentu sekali tusuk dapat
melukai aku! Tak percaya, boleh kau coba!" sinona balas
mengejek. Sianak muda betul2 lakukan tantangan itu. Begitu
pedang dikibaskan keatas, secepat kilat ditusukkan kemuka.
Nona bengal itu tertawa cekikikan. Tubuhnya yang langsing
lemah gemulai menggeliat, tangannya kanan maju pura2
hendak menabas, lalu menghindar kesamping seraya casciscus mengejek: "Suko, enggan benar aku dengan jurusmu
'boan thoan kok hay' (menutup langit melintasi laut)!"
Sianak muda tegakkan pedangnya. "Kau kepingin jurus
'cing wi thian hay' (Cing Wi mengisi laut) atau 'ho pek kuan
hay' (Ho Pek memandang laut)?"
"Emoh semua!" seru sinona menggeleng kepala, "coba
unjukkan saja jurus 'hay siang tiau go' (diatas laut
memancing ikan besar)!"
Mendengagar itu, wajak sianak muda berobah. Sesaat
hijau, sesaat pucat, matanya menunduk kebawah. Melihat
itu sidara komat kamitkan bibirnya: "Hm, hm kalau tak
mau, sudahlah! Mengapa harus unjuk roman muka yang
memuakkan orang?"


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sumoay, jangan2 kau tadi telah melihat seluruh
permainan pedangku bukan?" tegur sianak muda dengan
bengis. Sidara remaja mengangguk.
"Yan-chiu, kau nakal sih boleh, tapi mengapa berani
melanggar pantangan suhu" Ah, tidakkah suhu mengajarkanmu jurus 'hay siang tiau go' itu?"
Sinona gelengkan kepala: "Suhu berat sebelah, ya berat
sebelah. Dia ajarkan kau, tidak padaku. Telah kukatakan,
keempat jurus itu sudah kufahami, seharusnya jurus yang
kelima. Tapi suhu tetap tak mau mengajarkan, katanya
yang empat Itu saja aku masih belum sempurna. Tadi
sewaktu nampak begitu pagi kau sudah keluar, kuduga
tentu bakal melihat suatu pertunjukkan bagus. Ya, tobat,
suhu benar2 telah mengajarkan kau jurus yang ke-lima itu!"
Demikian mulut sinona kedengaran mencecer bagai
rentetan petasan dipasang. Bebrapa kali sianak muda
hendak menyela, tapi tiada kesempatan. Dan sehabis
menghamburkan kata2nya itu, mata sinona tampak berabak
ke-merah2an, mirip seorang yang menderita penasaran.
Tapi sebaliknya wajah sianak muda itu malah tambah
keren, katanya: "Sumoay, pantangan suhu ialah: 'tak boleh
mencuri apabila saudara seperguruan tengah berlatih.
Dilarang keras diam2 menurunkan pelajaran pada saudara
seperguruan'. Apakah kau masih ingat?"
"Kan suhu tak tahu, takut apa sih?" sidara jebikan bibir.
"Sumoay, mengapa kau begitu bengal " Karena sudah
diterima menjadi murid masakan
suhu tak mau mengajarimu" Coba pikir, belum 2 tahun kau datang
kemari, bukan saja lwekangmu mempunyai dasar yang
kokoh, pun ilmu tan-to (golok tunggal), ilmu liu-ce-cui
(banderingan) serta ilmu silat tangan kosong, telah kau
miliki dengan genah. Ya tidak?"
Sigadis merenung sejenak. Tanpa terasa dia tertawa
sendiri. Tapi pada lain saat, bibirnya kembali menyeringai,
serunya: "Tapi suhu tetap tak mau mengajarku jurus ke 5
itu!" "Sumoay, kukira bukan suhu tak mau mengajarmu,
melainkan karena jurus ilmu pedang to-hay-kiam-hwat
(pedang membalikkan laut ) itu, lain dari yang lain.
Sekalipun seluruhnya hanya terdiri dari 7 bagian, namun
bagian memerlukan latihan yang keras. Dari bagian yang ke
4 saja, sudah tampak benar bedanya dari jurus pembukaan.
Jadi apabila belum mempunyai dasar yang genah, rasanya
jurus ke 5 itu malah2 akan mencelakaimu! Ketahuilah,
bahwa setiap bagian itu, mempunyai 7 gerak perobahan,
jadi 7 bagian kali 7 jurus sama dengan empatpuluh
sembilan d yurus. Memang kalau dijalankan satu bagian
saja, tak kelihatan sari kebagusannya. Tapi apabila 7 bagian
itu dirangkai, wah hebat sekali, 7 serangan kosong dan 7
serangan isi, jadi seluruhnya 49 jurus dikalikan 2 macam
serangan kosong dan isi, ada 98 jurus! Kalau 4 jurus dasar
itu belum sempurna, walaupun diajari seluruh ilmu itu, tapi
nantinya tetap hanya terdiri dari 7 bagian saja, tiada gerak
perobahannya sama sekali."
Sinona mendengari uraian suhengnya itu (kakak
seperguruan) dengan asyiknya. Dan setelah habis, bertepuk
tanganlah ia seraya berseru girang: "Suko, begitu sakti ilmu
pedang to-hay-kiam itu, mengapa aku tak mengetahuinya'"
Kapankah suhu menceritakan padamu?"
"Baru kemaren siang saja, ketika tak ter-duga2 dia
menerima surat dari burung merpati pos, burul aku
dipanggilnya dan diuraikannya pelajaran tadi. Malah
diapun terus menurunkan pelajaran jurus ke 5 'hay slang
tiau go', jurus ke 6 'hay li long hoan' (puteri laut memasang
gelang) serta jurus ke 7 'hay lwe cap ciu' (dalam laut 10
benua), sekali gus diturunkan padaku. Beliau menerangkan,
telah menerima surat dari toa-a-ko (ketua) Thian Te Hwe
dari propinsi Kwiciu, mengabarkan kalau tentara Ceng
sudah tiba di propinsi Hokciu. Pasukan besar sudah
dipusatkan diperbatasan Hokkian. Sembarang saat akan
sudah menyerbu karesidenan Tiau-yang!"
Mendengar itu, tanpa terasa mulut sinona mengeluh. Ia
she Liau namanya Yan-chiu, kelahiran Tiau-yang
dipropinsi Kwitang. ia terus mendesak dengan bernapsu:
"Suko, ceritakan terus!"
"Pemimpin pasukan Ceng itu bernama Li Seng Tong,
salah seorang jenderal pemerintah Ceng-tiau.. Orang itu
pandai menggunakan tentara. Selanjutnya suhu menutur,
bahwa pangeran Ing-bing-ong Cu Yu-long telah diangkat
oleh sementara menteri2 berpengaruh, menjadi Kaisar dan
berkedudukan di Siau-ging. Tapi ada lain golongan yang
mengangkat lagi seorang kaisar lain. Sungguh mengenaskan! Kantong2 nasi yang tak punya guna itu, jika
disuruh berbunuhan dengan saudara sebangsa aendiri atau
disuruh memeras dan menindas rakyat, wah jempol. Tapi
kalau disuruh lawan penjajah, paling pintar panjangkan
kaki angkat langkah seribu! Oleh karena itu suhu memesan,
kali ini beliau turun gunung, bukan untuk membantu kaisar
Beng se-mata2, tapi demi untuk melindungi kampung
halaman kita ini. Oleh karena dipropinsi Kwitang bakal
terjadi peristiwa2 dari segala kemungkinan, maka mungkin
juga akupun disuruhnya mengikut, dan itulah makanya
sekaligus dia menurunkan ketiga jurus pelajaran itu padaku.
Namun dia pesan wantir apabila setiap jurus belum
diyakinkan sempurna, hendaknya jangan berlatih jurus
berikutnya!"
Sinona yang sedari tadi mendengari dengan membisu
saja, tiba2 kini berseru: "Suko, karena tumpah darah kita
menghadapi bahaya, seharusnya suhu juga menyuruhku
turun gunung. Apakah dia siorang tua itu tak pernah
mengemukakan suci dan aku?"
"Entahlah, tak pernah kudengar!"
"Suko, kau seharusnya menurunkan juga ketiga jurus itu
padaku!" "Demi pesan suhu, mana aku akan berani melanggarnya!" sahut sianak muda dengan wajah berobah.
Tahu sang suko tak meluluskan, sengaja Yan-chiu
tertawa tawar: "Hem, suko, kalau suci yang menyuruh,
masa kau berani membantah!"
Sianak muda merah mukanya. Suci si Yan-chiu, juga
sucinya (taci seperguruan). Anak muda itu lebih muda satu
tahun dari sang suci itu yang ternyata adalah puteri dari
suhunya. Sejak meningkat akal balig (dewasa), diam2
pemuda itu mencintai ayundanya (suci) itu. Tapi sigadis itu,
jinak2 merpati sikapnya. Diburu lari, ditinggal mendekati.
Diwaktu ramah suka mengajak bicara dan bercanda, dikala
ngambul sehari suntuk tak mau diajak bercakap. Sampai
sekian jauh, sianak muda itu tertumbuk fahamnya, tak tahu
bagaimana harus menghadapinya. Perangai anak muda itu
polos jujur, getaran kalbunya itu tetap disimpannya erat2
dalam hatinya, tak berani dicurahkannya.
Liau Yan-chiu, seorang dara yang cerdas tangkas,
sekalipun usianya masih begitu muda, tapi dia mengerti
apal. Bahwa ji-sukonya mengandung perasaan "istimewa"
terhadap sang suci, siang2 ia, sudah mengetahui. Maka
sengaja saat itu ia, memper-olok2-kannya. Dan ternyata,
benar sianak muda itu merah padam. Sampai sekian saat,
baru kedengaran pemuda itu berseru: "Sebelum mendapat
ijin dari suhu, walaupun sucipun tak dapat kuajarkan!"
Baru saja sirap kumandang kata2nya itu, tiba"
terdengarlah suatu suara bernada tinggi laksana burung
kenari: "Tak mau mengajari ya sudah, siapa yang kesudian
............"
Dibawa oleh alunan kabut pagi, suara yang bagaikan
imbauan (nyanyian) pagi itu, sebaliknya telah membuat
kaget sianak muda dan Yan-chiu. Serentak keduanya
menoleh kebelakang. Disana tampak seorang nona sekira
umur 20-an, dalam pakaian warna biru laut, tubuhnya
langsing, berambut hitam jengat. Sepasang matanya, bening
laksana air kolam, dipagari oleh bulu mats, yang lebat
panjang, makin menyemarakkan sepasang alisnya yang
melengkung bak rembulan sisir. Warna bibirnya semerah
delima terbentang riang dibawah naungan hidungnya yang
mancung agung. Sekalipun dalam marah, tetap orang akan
limbung terpesona, mengapa dimayapada terdapat insan
yang menyerupai bidadari cantiknya.
Saat itu, kabut pagi sudah menipis. Taburan kabut
lamat2 mengerubungi tubuhnya, sehingga makin mengesankan orang, kalau betul' ada seorang bidadari turun
didunia. Nona itu, bukan lain adalah suci yang telah
menambat hati sianak muda itu. Is, adalah puteri tunggal
dari Ceng Bo siangjin kepala biara Cin-wan-kuan, sebelum
dia menyucikan diri menjadi tosu (imam). Sesuai dengan
she sebelum Ceng Bo siangjin menjadi tojin, gadis itu she
Bek dan diberi nama tunggal "Lian" atau bunga terate.
Tio Jiang, demikian nama sipemuda itu, begitu melihat
sang suci muncul dengan tiba2, menduga kalau semua kat
a-nya tadi tentu didengar seluruhnya oleh sang suci. Sesaat
itu ia ter-longong2, tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi
sebaliknya, Yan-chiu yang berada disebelahnya segera
bertepuk tangan ber-gelak2: "Bagus, bagus! Sang tikus
melihat kucing! Coba, kini kau mau mengajari tidak! Kalau
mau, beres dah. Tapi kalau tidak mau, hem, hem, berani
mengajari Lian suci, mengapa tidak padaku?" Nona kecil
itu menutup kata2nya dengan meng-iwi2 kan muka,
girangnya bukan kepalang.
Tapi sianak muda itu tak hiraukan olokan Yan-chiu,
dengan "a-u a-u" tak lampias dia menerangkan kepada Bek
Lian: "Suci ketika suhu hendak berangkat telah
mengatakan, jurus ke 5, 6, dan 7 itu, tak boleh diajarkan
pada lain saudara. Karena mentaati pesan suhu, kalau
kalian suka, baik belajar saja ilmu pedang lain yakni 'tokang-kiam hwat'........ "
"Apa" 'To-kang-kiam hwat'" Mengapa tak pernah
kudengar macam ilmu pedang begituan?" Yan-chiu sigenit
centil itu sudah merebut percakapan.
"To hay kiam hwat" artinya: ilmu pedang membalik laut.
Sedang ,To kang kiam hwat" ialah : ilmu pedang membaiik
sungai. "Suhu mengatakan, kedua ilmu pedang itu, kelak kalau
dimainkan oleh sepasang pria dan wanita, saktinya bukan
olah2," kata Tio Jiang tanpa mempedulikan Yan-chiu, dan
kalau orang sudah mempelajari 'to hay kiam hwat',
konsentrasi (pemusatan) pikirannya akan terpengaruh, tak
nanti dapat mengerti jelas kesaktian dari sari pelajaran 'to
kang kiam hwat' "
Sepasang mata bening dari Bek Lian ber-kicup2
mengawasi sang sute (adik seperguruan). Ketika anak itu
makin lama makin ter-bata2 sehingga mukanya pun turut
merah, buru2 ia menyelutuk: "Fui, jangan berdoa seperti
seorang alim ulama! Siapa yang minta, kau mengajari" Apa
yang kau maksudkan dengan 'diam2 menurunkan pelajaran'
itu ?" Sesaat setelah mulutnya menghamburkan kemengkalan
hati, wajah Bek Lian tampak merah ke-malu2an.
Pembawaannya sebagai seorang gadis telah mengetuk
nuraninya, bahwa tak selayaknya ia berbuat sekasar itu.
Tapi justeru dalam kemarahannya itu, ia nampak makin
cantik menggiurkan. Dalam keadaan itu, hati Tio Jiang
makin dak-diduk tak keruan rasanya. Ter-sipu2 dia
menjelaskan: "Lian suci, aku.... bukan mengatakan ......
bukan mengatakan diam2 mengajari padamu, tapi
mengatakan........."
Dara cerdas tangkas Liau Yan-chiu makin geli melihat
kelakuan sang suko, yang maunya menjelaskan, siapa tahu
makin menjelaskan makin runyam itu, cepat2 ia menyela:
"Haya, sudahlah! Kami berdua emangnya tak mau kau
ajari, cukup?"
Seperti terlepas dari tindihan batu berat, kini legahlah
rasa hati Tio Jiang. Tapi ketika dia menatap kearah Bek
Lian, tampak sucinya itu tengah memandang jauh kemuka,
seperti tetap menyesali dia. Karena sifatnya yang jujur dan
wajar itu, menyebabkan dia tak dapat segera bertindak
suatu apa. Menghampiri untuk menghaturkan maaf : Ah,
jangan2 malah membikin kurang senang sang suci. Namun
kalau tinggal diam saja, kemungkinan besar yang suci itu
akan mendapat kesan jelek terhadap dirinya, masa begitu
berat mulut untuk menyatakan penyesalan. Oleh learena
itu, kakinya yang sudah dilangkah kemuka itu buru2
ditariknya kembali.
Sebaliknya Bek Lian hanya bersenyum tawar saja.
Matanya jauh memandang kelautan kabut disebelah muka


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana yang menutupi puncak gunung. Bagian yang teratas
dari puncak itu, tampak menonjol keatas, bagaikan sebuah
puIau ditengah laut nan lepas.
Chiu-yan tetap mendongkol karena sukonya tak mau
mengajari lanjutan 3 jurus dari to-hay-kiam-hwat tadi.
Maka diapun tak mau mempedulikan sukonya lagi dan
terus berdiri disamping sang suci, Kedua gadis itu sesaat
menuding2 kearah pemandangan alam dihadapannya,
sesaat saling ber-cakap2 dan ter-tawa2 sendirian, sedikitpun
mereka tak menghiraukan Thio Jiang, sehingga anak muda
itu herdiri menjublek bagaikan terpaku tak tahu spa yang
harus dilakukan. Lewat beberapa saat, baru kedengaran dia
berseru: "Suci, aku....."
Bek Lian cepat berpaling dan bertanya: "Kau" Kau
mengapa" Apa kau berani melanggar pesan dia siorang tua
itu?" Saking polosnya, ditanya begitu segera Tio Jiang
menyahut: "Aku tak berani!"
"Hi, hi, hi!" saking gelinya Yan-chiu tak kuat menahan
ketawanya. Juga Bek Lian terpaksa geli. Suara ketawa
cekikikan dari kedua gadis yang berdiri dikanan kiri itu, tak
ubahnya seperti berketesnya air hujan didalam tempayan,
menyengsamkan yang mendengarkannya. Melihat sucinya
tertawa geli, Tio Jiang legah sekali. Ketika dia hendak maju
menghampiri untuk menghaturkan maaf, tiba2 Yan-chiu
berseru nyaring: "Hai, lihatlah, apa ini?"
Sewaktu Tio Jiang dan Bek Lian mengawasi, merekapun
tak mengetahui benda apakah itu. Sebuah benda bergerak
'naik turun muncul tenggelam" diantara lapisan kabut.
Tujuh macam warna laksana bianglala, tampak tergores
jelas pada kedua sayapnya. Burungkah itu" Tapi burung tak
nanti dapat terbang selincah dan seindah begitu. Makin
lama, makhluk itu makin tinggi terbangnya. Ah, kiranya
sepasang kupu2 yang besar. Kedua sayapnya hampir
setengah meter panjangnya. Makin dekat, makin bagus
sekali kupu2 itu. Warna sayapnya itu, makin jelas pula
indahnya. "Suci, suko, jenis kupu2 apa itu?" Yan-chiu berseru
dengan bertepuk tangan.
Tio Jiang kelahiran kota Ceng-seng-ko dikaki gunung
Lo-hu-san situ. Sekali lihat, tahulah dia bahwa itulah kupu2
keluaran istimewa dari Lo-hu-san, sahutnya: "Itulah kupu
sian-tiap dari Lo-hou-san! Keluaran istimewa dari gunung
ini. Yan sumoay, kalau" kau inginkan mereka "
Tiba2 mulutnya tak dapat melanjutkan kata2nya, karena
dilihatnya wajah Bek Lian mengunjuk kurang senang.
Maka ter-sipu2 dia berkata: "Lian suci, kalau kau suka,
akan kutangkapkan untukmu!"
Melihat sukonya berganti lagu, Yan-chiu jebirkan
bibirnya: "Baru hendak mengasih padaku, mendadak
sontak hendak diberikan pada suci!"
Mendengar itu Bek Lian cepat menyanggapi: "Aku sih
tak kepingin. Mau main2, bisa cari sendiri! Siapa, yang tak
tahu kalau itu kupu sian-tiap dari Lo-hou-san, atau yang
disebut siau-hong-hong!"
Sian-tiap artinya kupu dewata, sementara siau-honghong ialah sicenderawasih kecil. Ingin merebut hati, malah
berbalik serba salah, maka pikir Tio Jiang, daripada ribut2
mulut menerangkan lebih baik tangkap dulu kupu2 itu baru
penjelasan menyusul. Kebetulan sekali saat itu sepasang
kupu sian-tiap tersebut tengah berlincahan terbang diatasn
ya, kira2 han ya beberapa depa tingginya. Sekali
mengempos semangat, kakinya diend yot, bagai peluru
roket tubuhn yapun segera meluncur keatas. Kedua
tangannya diulur untuk menangkap. Tapi ketika tampaknya
sudah akan mengenai, tiba2 kedua ekor kupu itu melayang
kesamping, sehingga tangan Tio Jiang menangkap angin.
Melihat itu Yan-chiu tak henti2nya berseru "sayang".
Namun Bek Lian tak mengacuhkan sama sekali, matanya
tetap memandang kemuka.
Gambar 1 "Tangkap kupu2 itu, lekas, Suko! Samber, cepat": seru Yanchiu. Kupu2 itu ternyata tak mau terbang jauh, masih
berputar2 diatas kepala Tio Jiang, siapa kini ulangi lagi
sergapannya dengan sungguh2. Tapi lagi2 luput, malah
kupu2 itu segera terbang pergi. Tio Jiang bertekad untuk
menangkapnya, segera dia mengejar. Bentuk dari puncak
Giok-lt-nia, bagaikan seorang wanita cantik, tegak
menjulang keangkasa. Pada puncak kalderanya, tiada
terdapat dataran yang luas. Ketiga muda mudi itu, berada
disebuah tanah lapang yang hanya 10 tombak luasnya.
Maka baru berlari beberapa langkah, Tio Jiang sudah
berada dilamping menurun gunung. Dillhatnya kupu2 itu
sudah terbang jauh rasanya tiada harapan untuk
mengejarnya. Tapi pada saat dia hentikan pengejarannya,
tiba2 kupu2 itu terbang balik kearahnya seraya mengitari.
"Suko, suko, lekas sambutlah!" seru Yan-chiu.
---oo0dw0oo--- Tio Jiang enjot keras2 tubuhnya dan benar juga dia
berhasil loncat diatas kupu2 itu. Wut, wut terdengar kedua
tangannya menepuk. Karena serunya samberan angin
tepukan itu, sepasang kupu2 tersebut melorot jauh
kebawah, menyusul dengan itu Thio Jiang turut melayang
turun. Tapi baru dia hendak tengadahkan sepasang
tangannya untuk menyambuti, tiba2 terdengar suara benda
men-desing2 diudara. Beberapa titik putih macam bintang,
meluncur keatas menghamburi kupu2 sian-tiap itu.
Kalau tetap menyambuti, terang tangan Tio Jiang pasti
terpanggang senjata rahasia berbentuk bintang2an itu.
Dalam terkejutnya, Tio Jiang masih bisa menarik
tangannya dengan sebatnya. Begitu desingan suara yang
lemah itu berlalu, ternyata sayap yang indah dari kupu2 itu
telah kena tertusup pecah dan bagaikan layang2 putus
kupu2 itupun me-layang2 jatuh.
Sekalipun sikapnya tampak acuh tak acuh, namun
sebenarnya secara diam2 Bek Lian terus menerus
mengawasi gerak gerik Tio Jiang tadi. Kepingin sekali ia
mengetahui, hendak diberikan kepada siapakah nanti kupu2
itu" Liau Yan-chiu adalah sumoaynya, sedemikian akrab
perhubungan mereka sehingga tak nanti disebabkan soal
kupu2 saja mereka sampai jadi bentrok. Tapi Bek Lian itu
seorang gadis aleman yang manja. Mendengar Tio Jiang
hendak kasihkan kupu2 itu pada Yan-chiu tadi, belum2 ia
sudah mengambek tak senang hatinya. Dan kenyataannya,
kupu2 sian-tiap itu memang bagus sekali. Kalau tak bisa
dipelihara hidup2 untuk perhiasan tembok kiranya cukup
menarik. Maka demi diketahui ada orang melepas senjata
rahasia hendak menghancurkan kupu2 itu, tanpa terasa ia,
menjerit kaget. Malah sitangkas Yan-chiu sudah terus
mendamprat: "Siapakah yang begitu kurang ajar melepas
senjata rahasia?"
Tio Jiang tak begitu gemar akan kupu2 itu, jadi diapun
tak begitu kecewa. Cuma saja heran dia, mengapa begitu
pagi sudah ada orang yang naik kegunung situ" Tebing
puncak Giok-li-nia begitu curam berbahaya, bagi orang tang
cukup sedang saja kepandaiannya, tak nanti mampu
mendaki keatas. Dan tegas dilihatnya, cara senjata rahasia
ini dilepas, indah dan rapih sekali. Ah, kalau yang datang
itu seorang musuh, tentu berat baginya karena justeru sang
suhu sedang bepergian.
Tengah dia ter-mangu2, kedengaran ada orang berseru:
Negara dalam bahaya besar, pasukan Ceng yang
berjumlah besar sudah tiba diperbatasan Kwitang, mengapa
masih enak2an ber-main2 menangkap kupu2" Menyusul
dengan seruan itu, dari tabir kabut loncatlah seseorang,
terus meIangkah ketengah tanah lapang. Gerakannya begitu
tangkas dan lincah sekali, hingga membuat kagum ketiga
murid Ceng Bo siangjin itu. Kini jelaslah siapa orang itu.
Dandanannya seperti seorang mahasiswa, alisnya bagus
matanya terang, mencekal sebuah kipas lempit yang tak
henti2nya dibuat kipas2. Dari wajahnya yang cakap itu,
terang dia itu masih muda, belum ada 30 tahun umurnya.
Walaupun ucapannya itu memang benar, tapi karena
caranya yang begitu tak tahu aturan ialah datang2 terus
mendamprat, tak senanglah hati Tio Jiang dibuatnya. Tapi
karena kepolosannya, Tio
Jiang tak dapat balas mendamprat melainkan mendengus "hem" saja. Karena
yang datang itu seorang anak muda yang ganteng sikapnya,
Yan-chiu turun marahnya dan hanya menyeringai saja.
Sebaliknya Bek Lian yang begitu menyayangi sekali akan
kupu2 sian-tiap tadi, tanpa menghiraukan siapa yang
datang, terus saja mengata2inya: "Kenapa kau begitu tak
tahu aturan" Datang2 terus menghancurkan sepasang siantiap Lo-hou-san ini?"
Kalau itu kabut sudah sirna, ribuan larik cahaya
matahari pagi yang gemilang, memancar kearah gunung
situ. Dan ini merupakan suatu penerangan yang lebih
menyemarakkan kecantikan Bek Lian.
Mendengar dampratan itu, mahasiswa itu mendongak
keatas tertawa, dia bermaksud menganggap sepi saja kata2
itu. Tapi begitu dia angkat kepalanya dan nampak akan
kecantikan yang gilang gemilang dari Bek Lian, hilang
lenyaplah maksud mengejek yang hendak dibawakan dalam
tertawanya itu. Bagaikan sebuah patung, dia tegak membisu
ter-longong2. Tapi keadaan itu tak berlangsung lama,
karena pada lain saat dia sudah dapat menguasai
kegoncangan perasaannya. Wajahnya berobah seri, bibirnya
berhias tertawa dan mulutnya bertanya kepada Bek Lian:
"Ah, kiranya nona suka sekali akan kupu2 sian-tiap Lohou-san itu" Tadi sewaktu kunaiki kemari kebetulan
ditengah jalan berpapasan dengan sepasang binatang itu
dan berhasil menangkapnya hidup. Inilah, kalau nona
menghendakinya, akan kuhaturkan padamu!"
Habis berkata, dia merogoh kedalam baju dan
mengeluarkan sehelai bungkusan saputangan. Begitu dibuka
ternyata disitu terdapat sepasang kupu2 Lo-hu-sian-tiap.
Tapi sayangnya tak sebesar kupu2 yang hendak ditangkap
Tio Jiang tadi. Dengan memain ketawa dibibir, orang itu
mempersembahkan kupu2 itu kepada sijelita: "Nona, turut
pandanganku, kau berlipat ganda cantiknya dari kupu Lohou-sian-tiap ini. Kalau Lo-hou-sian-tiap mendapat julukan
siau-hong-hong, sepantasnya kau digelari say-hong-hong!"
Say-hong-hong artinya "seperti cendrawasih". Bermula
Bek Lian mendongkol terhadap mahasiswa itu. Tapi demi
didengarnya dia ber-kata2 dengan nada yang empuk sedap
didengar, apalagi sikapnya sopan, seketika itu menurunlah
kemarahannya. Apalagi bukan saja orang itu telah
mempersembahkan benda yang dipenujunya, malah disertai
juga puja puji mengagungkan kecantikannya melebihi kupu
Lo-hou-sian-tiap. Selama ia berdiam digunung situ, tak
pernah ayahnya memuji kecantikannya, sedang sumoaynya, Yang-chiu, juga tunggal kaum dengannya.
Satu2nya orang kaum hawa yang sebaya dengan usianya,
ialah Tio Jiang. Cuma saja anak itu tak bisa bicara. Hatinya
sih penuh dengan berbagai perasaan, namun mulutnya
seperti terkancing rapat susah untuk mengutarakan. Ya,
kalau tetap tutup niulut sih masih mending, tapi begitu
membuka mulut terus plegak-pleguk entah apa yang
dikatakan. Maka dalam usia berahinya itu, belum pernah
Bek Lian mendengar orang memuji kecantikannya. Dan
sudah menjadi psykhologi (kebatinan) seorang gadis, paling
senang mendengar dirinya dipuji cantik. Tanpa terasa Bek
Lian memandang kearah simahasiswa. Seketika itu se-olah2
berhentilah jantung simahasiswa berdenyut. Sampai sekian
lama, dia terlongong2. "Nona, ambillah!" katanya
kemudian. Bek Lian ternyata mau juga menerima pemberian itu,
lalu memeriksa sayapnya yang indah itu. "Benarkah aku ini
secantik yang dikatakan orang itu, yakni lebih cantik dari
sian-tiap ini dan pantasnya digelari say-hong-hong" Ah,
sudah tentu memang begitu, rupanya orang itu........",
berpikir sampai disini ia kembali memandang mahasiswa
tersebut, siapa, matanya tampak berkeredepan, seperti
hendak tertawa. Seketika itu wajah Bek Lian terasa panas,
dengan tundukkan kepala, ia merenung lagi: "Rupanya
orang ilu bukan macam orang yang suka bohong!"
Melihat sianak muda memberikan kupu2 sian-tiap pada
Bek Lian, sebaliknya dari mengiri, Yan-chiu malah lari
menghampiri sang Suci untuk turut melihat kupu2 itu.
Hanya Tio Jiang yang dalam kebatinannya mengejek
simahasiswa itu. Bukankah tadi datang2 dia terus
mendamprat "negara dalam bencana, tak seharusnya bersenang2 diri main2 dengan kupu2?" Tapi nyatanya dia
sendiripun malah menangkap sepasang! Sebagai seorang
yang jujur, dia paling benci dengan orang yang mulut dan
perbuatannya tak sepadan. Dan karena melihat sikapnya
yang begitu kurang ajar mengawasi pada sang suci,
bertanialah Tio Jiang dengan serentak: "Siapakah saudara
ini" Hendak ada keperluan apa datang kemari?" Dalam
pertanyaannya itu, bernada permusuhan.
Simahasiswa memutar kebelakang memandang beberapa
jenak kepada Tio Jiang. Dengan menyungging senyuman
dan merangkapkan sepasang tangannya kebelakang, dia
mendongak sembari bersenandung:
"Dibawah markas, musim semi datang membawakan
pemandangan alam yang indah, burung meliwis terbang tanpa
berkesan. Diempat penjuru suara terompet sahut sahutan.
Dalam ribuan kubu pertahanan, kabut bertebar, matahari
terbenam, pintu kota tutup.
Dengan setuang arak mengenang rumah nan ribuan Ii


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauhnya, sang burung seriti bebas berterbangan tanpa memikir
pulang, embun berhamburan memenuhi tanah, tak mau nian
mata dibawa tidur, rambut memutih sang jenderal menahan air
mata." Dia sih orangnya ganteng cakap, gayanya sudah tentu
makin menarik. Tapi Tio Ciang ternyata tak mengerti apa
yang dimaksudkan dalam senanjungnya itu. Dia berasal
dari seorang anak gembala sapi digunung situ. Enam tahun
yang lalu. Ceng Bo siangjin yang kebetulan ada urusan
turun gunung, telah melihat dia sedang dicambuki oleh
majikannya, sehingga kepala dan mukanya bercucuran
darah. Dia tak tegah. Apalagi dilihatnya anak itu sikapnya
polos jujur, segera Ceng Bo siangjin menebusnya dengan
beberapa potong perak lalu membawanya pulang kegunung.
Diajarinya anak itu ilmu silat dan sedikit ilmu surat. Tetapi
rupanya Tio Jiang menumpahkan seluruh perhatiannya
akan ilmu silat saja, ilmu surat dia agak kesampingkan.
Maka demi mendengar senandung simahasiswa itu, dia
hanya kerutkan alis saja. Hendak dia menyahuti atau Bek
Lian telah mengeluarkan pujian: "Suatu pambek yang
tinggi!" Gambar 2 "Cayhe she The bernama Go," dengan lagak tengik pemuda itu
perkenalkan diri kepada Bek Lian.
Mendengar pujian itu, simahasiswa berputar kebelakang
menjurah pada sinona, sikapnya ber-lebih2an sekali,
serunya: "Aku yang rendah orang she The nama Go,
tinggal dilaut ber-sama2 keluarga Ciok, Ma dan Chi. Telah
lama mendengar Ceng Bo siangjin menuntut penghidupan
suci ditempat ini, ingin benar untuk menjumpai entah bisa
diterima tidak?"
---oo0dw0oo--- Makin simahasiswa mengunjuk gaya-pelajarnya, makin
Tio Jiang mengerutkan keningnya. Yan-chiu anggap orang
itu suka ber-main2, sebaliknya Bek Lian beranggapan lain.
La yang sejak kecil diasuh dengan pendidikan silat dan
sastera oleh sang ayah, telah mempunyai dasar yang dalam
tentang syair menyair, yang kesemuanya itu telah dapat
dinikmati sungguh2. Dari senandung simahasiswa tadi,
dapatlah ia mengetahui kalau orang tengah mencurahkan
isi kalbunya, maka cepat2 ia memberi pujian. Kini kembali
dengan gaya yang terpelajarnya, anak muda
itu mengucapkan kata2nya, buru2 Bek Lian menyahuti dengan
sungguh2, Ceng Bo siangjin adalah ayahku sendiri. Sayang
kemarin siang dia turun gunung sampai sekarang belum
pulang. Kongcu (sebutan untuk anak muda terhormat)
silahkan mampir dulu kebiara kami sana!"
Mendengar penyahutan Bek Lian itu, tertawalah Yanchiu: "Suci, kalian berdua tengah main sandiwara apa itu"
Mengapa bernyanyi sembari berkata?"
Wajah Bek Lian bersemu merah. Sementara The Go
tertawa menanyai Yan-chiu: "Siapakah gerangan nama
nona yang indah ini?"
Ditanyai begitu, buru2 Yan-chiu robah sikapnya.
Dengan meniru lagak lagu sang suci tadi, iapun memanggut
kepada The Go, mengatur nada suaranya lalu menyahut:
"Ah, maafkan.... Yang ini adalah suciku, she Bek nama
Lian. Itu sukoku, she Tio nama Jiang. Sedang aku yang
rendah ini tang she Liau nama Yan-chiu. Aku tinggal disini
bersama suci dan suko belajar silat."
Karena berlagak yang tak semestinya itu, tingkah sinona
centil telah membuat orang2 tertawa. Malah ia sendiripun
turut geli juga. Buru2 kepalanya disusupkan kedada sang
suci dan tertawa ter-kial2. Karena tak mengira akan dibuat
perlindungan, Bek Lian terkejut dan kendorkan genggaman
tangannya. Sekali kendor terbanglah sepasang kupu2 Lohou-sian-tiap tadi. Saking terkejutnya Yan-chiu berseru
"haya", sebaliknya The Go buru2 menghibur: "Biarlah, tak
perlu disayangkan. Siau-hong-hong lepas, masih ada, sayhong-hng?"
Tio Jiang anggap si The Go itu licin orangnya. Tapi
karena nampak sang suci begitu gemar, diapun tak berani
berbuat apa2. Pada saat itu, adalah bulan 11, hawa pagi
dingin sekali rasanya. Karena dari setadian dia berdiri
menjublek saja, lama2 merasa kedinginan juga. Selama
mereka bertiga ber-cakap2 dengan gembira itu, dia tak
mempunyai kesempatan untuk turut bicara. Dengan
mengkal dia berputar tubuh, terus lari kembali kearah biara.
Sekalipun didengarnya juga Bek Lian dan Yan-chiu segera
mengikuti dari belakang namun tak mau dia hiraukan.
Masuk keda-lam kamarnya, dia memakai baju luar lagi,
menyembat pedang yang bertutulan karat, terus keluar pula.
Karena sesak dengan nafsu kemarahan, dia segera enjot
tubuhnya berlari2 turun kesebelah bawah. Tiba2 hidungnya
tersampok dengan suatu bebauan yang wangi, ya begitu
wangi sekali bau itu. Maju beberapa tindak lagi, bau itu
makin keras. Setelah menikung pada sebuah batu karang,
dilihatnya ada seorang tua kate kira2 satu meter tingginya,
tengah menghadapi sebuah kuali besi. Mulutnya menggigit
sebatang tongkat kayu. Hawa wangi tadi, keluar dari kuali
tersebut. Melihat itu, Tio Jiang terkejut. Buru2 dia bersembunyi
kedalam semak2 pohon. Pikirnya, 6 tahun sudah dia tinggal
digunung situ, tapi belum pernah suhunya mengatakan
kalau disekitar situ ditinggali oleh lain orang. Tinggi siorang
tua kate itu kira2nya hanya sebatas perutnya Tio Jiang,
kepalanya gundul, umbun2nya menonjol keatas, persis
seperti bintang Lo-siu-cee yang sering terdapat dalam
lukisan. Tapi jenggotnya, begitu panjang menjulai sampai
ketanah. Jubah yang dikenakannya, nampaknya bersih
sekali. Sepasang tangannya diletakkan dibelakang punggung, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menggigit batang tongkat itu yang dibuatnya untuk
mengaduk kuali besi.
Tak berapa lama kemudian, bau wangi itu makin keras.
Se-konyong2 orang tua itu menyingkir setindak kebelakang.
Dari tanah dia memungut sehelai kain warna kelabu untuk
dibuat selimut dirinya. Kain selimut itu ternyata lubang
disebelah atas dan ini untuk tempat supaya kepalanya dapat
menonjol keluar. Kalau dia berteliku kaki, mungkin orang
akan mengira kalau sebuah batu adanya.
Tak tahu Tio Jiang spa yang sedang dilakukan oleh
orang tua aneh itu. Karena tak ada keperluan lain2 Tio
Jiang pun kepingin tahu sekali. Tapi sampai sekian saat dia
menunggu, walaupun sepasang mata siorang tua kate itu
tampak melotot, namun orangnya sih bagaikan tidur,
sedikitpun tak bergerak. Kini tak sabar lagi Tio Jiang
menunggunya. Hendak dia tinggalkan tempat persembunyiannya untuk mencari lain tempat guna berlatih
pedang, tiba2 terdengar suara men-desis2. Seketika wajah
siorang tua berobah gembira sekali. Mata dan alisnya naik
turun berkedipan. Sikapnyapun lucu. Tio Jiang mendengar
juga suara desisan yang aneh itu. Sebagai anak kelahiran
gunung, tahulah dia hanya bangsa ular atau binatang
berbisa saja yang mengeluarkan suara begitu. Sewaktu
mengawasi dengan cermat, darahnya menjadi tersirap.
Gambar 3 .... Suara mendesis itu makin nyata dan pada saat lain dari
sela2 batu sana merayap keluar seekor ular yang tak seberapa
besar. Kiranya dihadapan siorangtua kate ada sebuah goa kecil
macam terowongan. Dalam 4 musim, gunung Lo-hou-san
itu tetap sedang saja iklimnya. Banyak turun hujan,
sehingga penuh dengan belukar2 yang lebat. Tapi anehnya
disekitar goa kecil itu, tiada tumbuh suatu tanaman atau
belukar apapun juga. Dan keadaan karang disitu, ada yang
menonjol ada yang melekuk. Maka bila didalam goa kecil
itu tiada terdapat suatu binatang yang luar biasa atau ular
yang berbisa, tak mungkin sedemikian keadaannya. Jadi
terang siorang tua itu adalah seorang tukang tangkap
binatang berbisa. Dia tengah membuat perangkap kuali
yang mengeluar hawa wangi untuk menangkap suatu
binatano. Tio Jiang ternyata sifatnya saja yang jujur polos,
dan se-kali2 bukan seorang yang tolol. Pengiraannya itu,
90% benar. Tak antara lama kemudian, desisan itu makin keras dan
kini berobah nadanya seperti bercicitan. Dan pada lain saat.
Muncullah seekor kepala ular dimulut goa kecil itu. Ular itu
tak sebrapa besar, hanya sebesar ibu jari tangan saja. Tapi
lidahnya yang menjulur keluar itu, panjang dan merah
warnanya. Selain kepalanyapun merah dan matanya hitam,
tubuh ular itu hijau seluruhnya. Hanya warna hijau itu,
persis seperti batang bambu yang tersiram air hujan, hijau
bening sedap dipandang.
---oo0dw0oo--- Melihat sang korban keluar, orang tua itu makin
menjublek diam. Siular dongakkan kepalanya mengawasi
kesekeliling, dan sembari lidahnya bercicitan, dia makin
merayap keluar sehingga hampir separoh tubuhnya sudah
berada diluar goa. Melihat bentuk dan warnanya, tahulah
Tio Jiang kalau ular itu adalah yang disebut ular "tiok yap
ceng" (daun bambu hijau). Tapi pada umumnya, tiok-yapceng hanya sedepa panjangnya. Ini saja cukup untuk
menyembur mati seorang yang berada pada jarak 7 tindak
jauhnya. Tapi tiok-yap-ceng ini, hampir ada 3 depa (lebih
kurang 2 meter) menonjol keluar, tapi masih belum
kelihatan ekornya. Ah. Iuar luar biasa dan belum pernah
dilihatnya. Bermula ular itu pe-lahan2 merayap keluar. Akhirnya
karena tak tahan mernbaui hawa wangi itu, terus saja
melesat keluar, dengan pesatnya menghampiri kuali.
Dengan gunakan ekornya untuk menahan dibawah, kepala
ular itu menjulang keatas terus dimasukkan kedalam kuali.
Sekonyong2 mata Tio Jiang disilaukan dengan suatu
bayangan melesat, ah, kiranya itulah siorang tua yang telah
ayunkan sang tubuh menerkam siular. Gerakannya tadi itu,
Laksana burung terbang pesatnya. Tapi ternyata binatang
itupun cukup waspada. Tahu akan gelagat jelek, dia
berpaling kebelakang terus menyurut sampai beberapa
tindak. Tahu ada ular bisa menyurut kebelakang, Tio Jiang
sudah heran. Tapi serta tampak bagaimana gerakan siorang
tua itu lebih cepat dari siular, tanpa terasa dia
mengikutinya. Sekali kepala ular memagut, mulutnya
mengeluarkan hawa merah. Dua larik gigi yang beracun,
menggigit siorang tua. Hai, apa2an itu" Bukannya siorang
tua berusaha untuk menghindar, tapi sebaliknya diapun
pentang mulutnya lebar2, maju memapaki. Sampai disini,
mau tak mau terpaksa Tio Jiang tak dapat menahan
keheranannya. "Hai"......dia berseru!
Mendengar seruan itu, baik ular maupun siorang tua,
sama2 tertegun. Tapi menggunakan kesempatan detik
ketegunan itulah, siular terus memberosot mundur. Laksana
anak panah terlepas dari busurnya, si tiok-yap-ceng itu
segera meluncur masuk kedalam goanya.
Melihat korbannya lolos, marahlah siorang tua.
Jeuggotnya yang putih meletak itu ber-goyang2, maju
beberapa Iangkah kemuka, selimut kain dilontarkan, begitu
angkat sebelah kaki didupaknya kuali besi itu "grombyang
............. Kuali itu mencelat kearah tempat persembunyian
Tio Jiang. Men-deru2 suaranya, pesat jalannya. Kini tak
dapat Tio Jiang tetap bersembunyi ditempatnya lagi.
Sekalipun tadi siorang tua tak gusar, dia sendiri karena
merasa telah membuat kapiran usaha orang, juga akan
keluar untuk menghaturkan maaf. Demi sikuali melayang
tiba, dia segera melesat keluar.
"Bum!", demikian kuali besi itu jatuh membentur batu,
isinya menumpah semua. Melihat isinya itu, hati Tio Jiang
bercekat. Kiranya bau wangi yang keluar dari kuali besi itu,
berasal dari ramuan binatang2 kecil dan kutu2. Ada yang
sudah hancur terebus, ada lagi yang masih berkutetan
meregang jiwa. Ngeri juga Tio Jiang melihatnya.
"Buyung, mengapa kau berani merusakkan urusan Samthay-ya ini?" bentak siorang tua itu demi melihat Tio Jiang
munculkan diri. Ternyata biarpun tubuhnya kate, tapi
suaranya keras menggeledek.
Sewaktu menampak isi kuali yang tumpah itu, Tio Jiang
sudah mundur beberapa tindak. Tapi demi mendengar
suara geledek siorang tua itu, buru2 dia berpaling, dengan
hormat sekali dia memberi hormat: "Sam-thay-ya, aku tak
tahu sama sekali kalau kau tengah menangkap ular, jadi aku
kuatir jangan2 kau akan digigit binatang itu!"
Siorang tua yang menyebut dirinya sebagai Sam-thay-ya
(tuan besar ketiga) itu mengawasi sampai sekian lama pada
Tio Jiang. Kembali dia tampak merenung. Mata, alis,
hidung, mulut ya sampaipun daun telinganya, tampak
bergerak2 lucu benar kelihatannya. Tapi kali ini karena
sudah merasa salah, tak berani Tio Jiang tertawa. Beberapa
saat kemudian, orang tua itu menggeleng berkata: "Aneh,
aku tak kenal padamu seorang buyung itu, mengapa kau
ketahui namaku Sam-thay-ya"!"
Diam- Tio Jiang mendapat kesan bahwa orang tua itu
ternyata seorang yang sudah linglung pikirannya. Bukantah
tadi dia sendiri yang memberitahukan namanya, mengapa


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lupa" Kalau Tio Jiang itu seorang yang licin, tentu dia akan
segera mengatakan ini itu. Tapi bagi Tio Jiang, putih tetap
putih, hitam tetap hitam. Tak dapat dia "berhias bibir"
menipu orang. "Kau sendiri tadi yang mengatakan,
menuduh aku merusakkan urusan Sam-thay-ya!" katanya
menurut apa adanya.
Mendengar itu, siorang tua menarik tangannya yang
digendong dipunggung tadi, terus menampar mukanya
sendiri. "Benar! Kau tak kenal pada Sam-thay-ya, Samthay-ya juga tak kenal padamu. Dengan begitu tak boleh
menyebut persahabatan. Merusak urusan penting dari Samthay-ya, seharusnya bagaimana" Buyung, coba kau katakan
sendirilah!"
Benar2 tingkah laku orang tua itu aneh lucu, nada
suaranyapun menggeledek membikin terkejut orang, namun
Tio Jiang mendapat kesan bahwa dia bukan seorang jahat.
Dia sendiripun tak tahu bagaimana harus menjawab
pertanyaan itu, katanya: "Sam-thay-ya, akupun tak tahu
harus bagaimana, kau saja yang bilang!"
Mendengar itu siorang tua delikkan matanya pada Tio
Jiang. Tangannya kembali digendong dibelakang punggung,
lalu mondar mandir kian kemari. Sebelah tangannya tak
henti2nya masih menampari muka. Mata, telinga, mulut
serta hidung, sebentar dikerutkan sebentar dijulurkan.
Setelah berselang bebrapa saat, dia merandek dan berseru
dengan marahnya: "Buyung, berani kau memper-olok2
Sam-thay-ya?"
Tio Jiang heran setengah mati, tanyanya: "Ah, masakan
aku berani ?"
Siorang tua kibaskan tangan, menampar sebuah batu
karang, dan hancurlah batu itu. Saking terkejutnya,
TioJiang tersentak jantungnya.
Batu gunung adalah benda yang keras, tapi cukup sekali
menepuk saja sudah dapat menghancurkan, dapat
dibayangkan betapa sakti pukulan siorang tua aneh itu.
Kalau tubuhnya sampai kena ditabok, huh ngeri awak
membayangkannya, demikian Tio Jiang berpikir. Dapatkah
suhunya berbuat demikian, entahlah, karena seIama ini
belum pernah dia melihatnya. Dia sendiri sudah helajar
sampai 6 tahun, dan turut kata suhunya, kemajuannya pesat
sekali. Tapi kalau disuruh menepuk hancur batu semacam
itu, aduh mak, minta ampun! Kalau sang pikiran tengah
dihujani oleh berbagai pertanyaan, adalah orangnya sendiri
masih menjublek disitu, ter-longong2 mengawasi siorang
tua. "Kau masih mengatakan tak berani meng-olok2 Samthay-ya" Suruh kau punya Sam-thay-ya berpikir sendiri"
Apakah ini bukan hendak meng-olok2 namanya" Siapakah
yang tak kenal Sam-thay-ya-mu ini seorang yang tahu
makan tak tahu berpikir?"
Gambar 4 Tio Jiang heran setengah mati, tanyanya: "Ah, masakan aku
berani ?" Siorang tua kibaskan tangan, menampar sebuah batu
karang, dan hancurlah batu itu. Saking terkejutnya, Tio Jiang
tersentak jantungnya.
Karena makin mendengar siorang tua berkata makin tak
karuan, hati Tio Jiang seperti di-kili2. Kalau mau ketawa
nanti dikatakan kurang pantas, namun tidak ketawa
sesungguhnya tak dapat dia menahan gelombang tawanya.
Tapi saking seringnya, tanpa dapat ditahan lagi mulut
menghambur "huh huh", tertawa ter-kial2. Pada permulaan, masih dapat Tio Jiang ketawa mendekap mulut,
tapi karena tubuhnya lama kelamaan turut ber-guncang2
tahu2 "trang", pedang yang diselipkan pada pinggangnya
membentur batu karang.
Bermula orang tua aneh itupun hanya mengawasi saja
pada Tio Jiang, tapi demi mendengar suatu benda
berkelotekan, dia terus berjingkrak dan ber-kaok2 dengan
keras: "Buyung! Kau bisa silat, bukan?"
Tadi ber-kata2 saja, suaranya sudah seperti geledek.
Kalau kini dia ber-kaok2, sudah tentu suaranya seperti
halilintar memecah bumi kerasnya. Saking dahsyatn ya,
dari arah gunung sana mengeluarkan kumandang yang
gemuruh, sehingga Tio Jiang bising dibuatnya, tak tahu dia
apa yang dikatakan orang tua itu. "Sam-thay-ya, harap
berkata sedikit pelan saja."
Siorang tua-aneh tertawa, ujarnya: "Kubertanya, kau
bisa ilmu silat tidak" Dengan membekal pedang, berani kau
mengatakan tak bisa silat?"
"Ya, bisa sedikit2, tapi jelek," sahut Tio Jiang.
Siorang tua aneh miringkan kepalanya berpikir,
kemudian kedengaran berseru: "Kau telah mengagetkan
ceng-ong-sin (ular tadi). Ini berarti aku harus buang waktu
selama dua bulan lagi untuk mengumpulkan kutu2, harus
menanti sampai ada kabut tebal lagi, dan harus naik turun
gunung pula. Kurang dari 3 bulan sungguh tak bisa."
Sembari berkata itu, jari tangannya tak henti-nya
ditekuk2, rupanya untuk menghitung. Pancainderanya pun
turut ber-gerak2. Dan menghitung sampai disitu, dia
mendongak lagi sembari berkata: "Buyung, dengarlah. Samthay-ya karena teriakanmu tadi, harus buang waktu 3 bulan
lagi untuk menangkap si Ceng-sin-ong itu. Nah, begini saja.
Kau bisa main pedang, maka kau kuhukum supaya
memberi pelajaran 3 jurus ilmu pedang padaku. Kalau kau
menolak, ho, akan kulempar tubuhmu kesebelah gunung
sana !" Tio Jiang menjawab dengan sangsi: "Sam-thay-ya, bukan
aku tak mau. Hanya saja ilmu pedang perguruan sebelum
mendapat idin suhu, mana bisa diajarkan pada lain orang?"
Biji mata, siorang tua berkeliaran bolak-balik, tanyanya :
"Siapakah suhumu itu?"
"Ceng Bo siangjin dari biara Cin-wan-kuan."
Kembali siorang tua miringkan kepalanya berpikir,
kemudian kedengaran ber-sungguh2 sendirian: "Ceng Bo
siangjin" Sam-thay-ya juga ber-tahun2 keliaran didunia
persilatan, Kwitang sampai ke Kwisay, tidak sedikit tokoh2
ternama yang kujumpai. Tapi mengapa belum pernah
kudengar nama Ceng Bo siangjin itu"
Habis ber-sungguh2 dia segera berseru: "Apa itu Ceng
Bo siangjin, Cut Cui hejin" Ilmu pedang cakar ayam dan
anjing remuk, tak sudi Sam-thay-ya belajar. Coba kau
unjukkan sejurus dulu kulihatnya !"
Tio Jiang tahu bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat
perguruannya, penuh dengan gaya yang indah. Kalau
hanya dipertunjukkan saja, rasanya tak
mengapa. Disamping itu ingin sekali dia lekas2 lolos dari situ, karena
hendak menjenguk bagaimana keadaan sang suci dan
sumoay tadi. Sekali pedang dikiblatkan, lengannya
mengibas, memapas keatas. Sementara itu kedua jari tangan
kiri, telunjuk dan tengah, ikut2 mengimbangi dengan gerak
yang rapi sekali.
Menampak gerakan jurus itu, tahu2 tubuh siorang tua
aneh melesat kebelakang sampai 3 tindak jauhnya. "Boan
thian kok hay", serunya.
Tio Jiang tak kurang terkejutnya. Begitu gerak pedang
ditarik, segera dia bertanya: "Sam-thay-ya, mengapa kau
mengetahuinya ?"
Tapi siorang tua aneh itu tak mau menyahut dan
melainkan berteriak lagi: "Hay-te-kau!" (biawak dari dasar
laut). "Apa?" menegas Tio Jiang.
"Kiang Siang-yan!" seru siorang tua pula.
Tio Jiang makin tak mengerti, berserulah dia keras2 :
"Apa katamu?"
"Wut" tiba2 siorang tua itu melesat maju, "wut2, sekonyong2 dia loncat undur sampai 3 tindak. Anehnya,
walaupun berloncatan maju mundur itu kedua kakinya tak
kelihatan bergoyang. Hanya tumitnya saja yang kelihatan
mempunyai daya membal seperti karet. Tio Jiang tahu
bahwa itulah kesaktian ilmu Iwekang yang disalurkan
kearah tumit, terus langsung menyentuh tanah, sehingga
dapat wat-wut wat-wut maju mundur. Dengan kepandaian
itu teranglah bahwa siorang tua aneh tersebut seorang
cianpwe (angkatan tua) yang lihay. Tapi heran, mengapa
selinglung begitu" Seraya berloncatan maju mundur itu,
berserulah siorang tua aneh itu: "Hay-tee-kau, Kiang
Siangyan, sepasang pedang yang mengadu biru didunia
persilatan, menjungkirkan sungai membalikkan laut selama
30 tahun. Buyung, kau pernah apa dengan Hay-tee-kau ?"
"Apa itu Hay-tee-kau?" sahut Tio Jiang dengan
keheranan, "selama 6 tahun diatas gunung, kecuali suhu,
suci dan sumoay, hanya ada seorang tojin (iman) tua yang
tuli dan gagu."
Sikate aneh tak percaya, ujarnya: "Kau berani
membohong pada Sam-thay-ya buyung" Kalau tidak kenal
Haytee-kau, mengapa kau bisa ilmu pedang to-hay-kiamhwat" Hayo, jawablah!"
"Ilmu pedang itu suhu yang mengajarkan," sahut Tio
Jiang apa adanya.
"Siapa suhumu?"
Tio Jiang anggap orang tua itu agak 'setengah', segera dia
menyahut keras2 : "Suhuku adalah Ceng Bo siangjin, ya
Ceng Bo siangjin!"
Benar2 orang tua kate itu tak mengerti, comelnya: "Apa
itu 'siang siang'" Kumaksudkan Hay-tee-kau!"
Karena kewalahan, Tio Jiang tak mau bicara lagi.
"Pulang kasih tahu pada Hay-tee-kau, Sam-thay-ya amat
merinduinya. Kasih tahu lagi padanya, bukan Sam-thay-ya
takut menjumpainya, melainkan.... hm ....."
Kembali siorang itu miringkan kepalanya merenung,
sehingga saking getolnya, mulutnya hampir menempel sang
hidung. "Tidak menjumpainya, apa alasannya, kau bilang
Sam-thay-ya ini tak bisa mengutarakan. Ya, Sam-thay-ya
cuma bisa makan tak bisa berpikir!" Habis menyomel
panjanglebar itu, terus "sret, sret, sret", lari turun kebawah.
Kesemuanya itu berlangsung sebelum Tio Jiang dapat
menyangkanya. ---oo0dw0oo--- Seperginya siorang tua kate yang aneh itu, Tio Jiang
terpaksa harus memutari dulu lamping gunung, baru dia
berbasil mendapatkan jalanan naik keatas puncak. Tapi
ketika dia melihat kemuka, tampak disebelah atas sana ada
beberapa sosok bayangan tengah lari dengan pesatnya.
Sejak pada usia 12 tahun dia tinggal digunung situ, entah
berapa ratus kali dia naik turun gunung itu. Dan itu
memang merupakan latihan yang berharga, karena kini
Ilmunya berjalan tambah sempurna sekali. Dikala dia
memikirkan bahwa diatas gunung sana hanya ada suci dan
sumoayn ya, dia terkesiap dan sesalkan dirinya mengapa
sekehendaknya sendiri saja tinggalkan mereka. Juga
simahasiawa tadi, pun belum diketahui asal usulnya, lawan
atau kawan. Tapi ketika pikirannya terlintas renungan bagaimana Bek
Lian telah begitu manis sikapnya terhadap simahasiswa tadi
hatinya entah karena apa, menjadi tawar. Tapi pada lain
saat rasa kuatir telah menguasai pikirannya. Sekali enjot
kakinya, secepat kilat dia lari se-keras2nya keatas gunung.
Tak antara lama, beberapa sosok bayangan yang
mendahuluinya tadi, segera tersusul. Kiranya mereka ada 6
orang. Ada setengahnya yang bertubuh tinggi besar,
membawa senjata. Tio Jiang makin gellsah buru2 kepingin
sampai dirumah. Dilihatnya diantara keenam orang itu ada
seorang paderi yang gemuk, memakai jubah warna hijau,
dadanya memakai kalung 108 biji liam-cu (mutiara).
Alisnya menjungkat keatas, matanya bersorot bengis. Yang
tiga orang bermuka brewok dan berd yenggot lebat.
Wajahnya hampir sama satu dengan lain. Agaknya mereka
bertiga saudara. Sementara yang dua orang lagi, adalah
kaum wanita. Yang satu umurnya antara 30-an tahun,
lainnya agak mudaan sekira umur 20 tahunan. Perempuan
yang tua umurnya itu membekal sebuah senjata rode,
sebelah dalam dan luar roda itu berbentuk runcing. Dari
warnanya yang ke-biru2an, terang kalau senjata itu terbuat
daripada baja murni. Sedang yang mudaan itu tampak
bermuram durja, tangannya mencekal sebatang senjata
macam tusuk ikan. Panjang senjata itu lebih tinggi dari
orangnya. Gambar 5 Ketika mendadak melihat ada beberapa sosok bayangan orang
melesat kearah biara, cepat Tio Jiang menyusulnya. Ternyata satu
diantaranya adalah seorang Hwesio gemuk berjubah hljau.........
Tengah keenam orang itu mendaki keatas, tiba2
dirasainya ada angin meniup dari arah belakang, dibawakan
oleh seseorang yang tengah mengejarnya. Dengan terkejut,
mereka cepat menoleh kebelakang. Dan keheranan mereka
bertambah besar, ketika diketahuinya bahwa orang yang
mendatangi itu ternyata seorang anak muda yang
dandanannya seperti tukang angon sapi. Salah seorang dari
siberewok segera berkata: "Ah, Lo-hou-san ini sungguh2
suatu tempat persembunyian dari harimau dan naga, maka
tak heran kalau Ceng Bo siangjin memilih tempat ini untuk
mengasingkan diri!"
Mendengar itu buru2 Tio Jiang memberi hormat dan
bertanya: "Para eng-hiong (orang gagah) ini hendak
mencari suhuku perlu ada urusan apa?" Dalam bertanya itu,
hati Tio Jiang tetap curiga. Belum pernah ada orang luar
yang berkunjung kesitu, mengapa begitu suhunya pergi,
tahu2 ada sekian banyak orang asing mencarinya" Dengan
tabahnya, Tio Jiang mengawasi keenam orang itu satu per
satu. Dari wajah mereka yang bengis dan sikapnya yang
kasar, terang mereka itu bukan orang baik. Sampai2
siwanita yang tuwaan itu, wajahnyapun tak mengasih.
Hanya siwanita muda tadi wajahnya tampak bermuram


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

durja, kasihan tampaknya.
"O, kiranya engkoh kecil ini murid Ceng Bo siangjin,"
sahut si-hweshio gemuk, "apakah suhumu dirumah" Tolong
sampaikan padanya bahwa 4 orang she The, Ciook, Ma dan
Chi dari Lam-hay datang berkunjung!"
Mendengar itu, teringatlah Tio Jiang akan keterangan
simahasiswa, tanyanya: "Masih ada seorang she The
dandanannya sebagai seorang mahasiswa, apakah juga
kawanmu ?"
"Hai, kiranya The toako sudah mendahului kemari!"
serentak ketiga orang yang bermuka brewok itu berseru.
Sebaliknya si-hweshio itu hanya tertawa tawar saja dan
dengan sinis berkata: "Langkah kaki yang cepat, kalau
menyelamatkan jiwa kiranyapun tak nanti terlambat!"
Ketiga orang brewok itu delikkan mata kepada
sihweshio, agaknya akan cari setori. Tapi wanita yang
membekal roda-baja tadi segera melerai: "Apa kalian
hendak bikin onar" Belum bertemu dengan tuan rumah,
mengapa ribut2 dihadapan seorang siaupwee (angkatan
muda), apa2an itu!"
Sihweeshio dan ketiga orang brewok itu rupanya jeri
terhadap siwanita, nyatanya mereka lantas bungkam.
Hanya sigadis yang maju selangkah bertanya kepada Tio
Jiang: "Tolong tanya, mahasiswa she The itu sudah berapa
lama tiba kemari?"
Melihat orang begitu perhatikan sekali pada si The Go,
Tio Jiang mengawasi sipenanya. Didapatinya bahwa gadis
itu walaupun agak hitam kulitnya, namun manis juga.
sesaat muka Tio Jiang ke-merah2an karena dia merasa tak
patut melihati seorang gadis sampai sedemikian rupa, lalu
sahutnya: "Baru tadi pagi datangnya, mungkin dua jam
yang lalu!"
Sigadis hitam mendenguskan hidungnya. Ketika Tio
Jiang mengawasi kearahnya lagi, ternyata gadis itu berlinang2 air matanya. Dua butir air mata mengucur dari
kelopaknya. Rupanya gadis itu berdaya se-kuat2nya untuk
menahan sedu sedannya, maka ia segera kacupkan bibirnya
se-kencang2nya. Sudah tentu Tio Jiang menjadi heran. Tapi
karena baru saja berkenalan, tak layaklah kiranya untuk
menanyai keadaan orang. Pada lain saat berkatalah dia
dengan lantang: "Kemaren tengah hari, suhu telah
menerima surat dari seekor merpati pos. Ber-gegas2 beliau
turun gunung, entah bila akan kembali pulang. Adakah
saudara2 sekalian ini hendak beristirahat dulu kedalam
biara atau "
"Ciok jiso, dari siapakah surat burung merpati itu?"
pernyataan Tio Jiang telah diputus oleh sihweeshio yang
bertanya kepada siwanita tuaan tadi, siapa dengan nada
yang dingin menyahut: "Toa-ah-ko dari Thian-tee-hwee!"
"Kalau begitu, kita terlambat sedikit ini"!" tanya
aihweeahio pula.
"Kita be-ramai2 naik kegunung sini. Setiba di Kwitang
tiada tunggu berjumpa dengan toa-ah-ko dari Thian-teehwee, dia tentu akan sudah mengetahuinia. Kalau dia bisa
melihat gelagat bahwa kita, berempat keluarga ini tak boleh
dibuat main2, dia tentu ber-gegas2 pulang!"
Dengan mengiangkan seruan "oh" hweeshio tersebut
segera memuji: "Kau benar, Ciok jisoh!" Setelah itu dia lalu
berpaling kepada Tio Jiang: "Siauko (engkoh kecil),
sekalipun nanti malam kemungkinan besar suhumu belum
pulang, tapi rasanya besok pagi dia tentu sudah kembali.
Tak apalah kita bermalam dibiara Cing-wan-kuan sana,
harap siauko jalan dululah!"
Dari nada bicara sihweeshio gemuk itu, teranglah kalau
dia (Tio Jiang) dianggap sebagai tuan rumah. Tapi mengapa
tadi mereka sebut2 nama Thian-tee-hwee" Apakah mereka
itu musuh2 sang suhu" Kalau benar demikian, jumlah
mereka begitu banyak, terang fihaknya takkan dapat
melawan. Ah, biarlah dia pura2 tak tahu saja, nanti apabila
sudah sampai digunung hendak dia rundingkan dengan suci
dan sumoaynya, daya untuk mengundurkan mereka.
Dengan ketetapan itu, Tio Jiang terus ayunkan langkah
mendaki keatas. Tak berapa lama kemudian, biara Cinwankuan sudah tertampak. Keenam orang asing itu tetap
mengikuti dibelakangnya.
Tapi baru kakinya sampai dimuka pintu biara atau
telinganya segera mendengar suara cekikikan dan terbahak2 dari Bek Lian, Yan-chiu dan The Go yang tengah
berkelakar dengan teramat gembiranya. Kening Tio Jiang
mengerut, dengan berseru keras2 dia menereaki: "Suci! Ada
6 orang tamu hendak mengunjungi suhu."
Bek Lian menyahut seraya muncul keluar. Saat itu Tio
Jiang tampak bagaimana wajah sucinya itu ber-seri2 girang,
mulutnya menyungging senyum gembira, suatu hal yang
belum pernah dilihatnya sejak dia berada disitu.
"Tetamu?" menegas Bek Lian dengan lebih dahulu
bergelak tawa. Belum Tio Jiang menyahut, atau The Go dan Yan-chiu
sudah menyusul keluar. Begitu melihat akan keenam orang
itu, The Go ter-bahak2 menegur: "Ciok jiso, mengapa
kalian baru sekarang tiba?"
Yang dipanggil Ciok jiso itu diam saja. Tapi gadis hitam
manis yang berada dibelakangnya segera melangkah maju
mendekati The Go dan hendak mengucap suatu apa
kepadanya. Namun The Go pura2 tak melihatnya dan terus
bertanya kepada ketiga orang brewok tadi: "Sam-kiat (3
orang gagah) dari keluarga Chi juga ikut datang. Marilah,
kuperkenalkan kalian!"
Kalau The Go begitu ramah terhadap ketiga orang
brewok itu, sebaliknya dia tak ambil perhatian terhadap
sihweeshio gemuk. Rupanya hweeshio gemuk itu pun
sudah menduga kalau orang she Tio tersebut akan berlaku
demikian padanya. Dengan memasukkan tangan kedalam
jubah, dia tertawa dingin.
"Suko, siapakah orang2 ini " Kawan atau lawankah?"
tanya Yan-chiu kepada Tio Jiang, siapa menyahut dengan
Gejujurnya saja: "Entah, akupun tak tahu, sedang suhu tak
berada dirumah, sungguh repot nih !"
Meskipun tanya jawab itu dilakukan dengan suara
pelahan, namun tak urung dapat didengar juga oleh The
Go, siapa dengan senyum tawanya menerangkan kepada
Yan chiu: "Dik Yan-chiu, usah kuatir, orang2 ini adalah
sahabatku semua."
"Setan", demikian diam2 Tio Jiang memaki orang she
The. Masa dalam waktu sesingkat itu, sudah begitu akrab
dengan suci dan sumoaynya. Tapi walaupun hatinya
mendongkol, namun mulut Tio Jiang tidak dapat mengucap
apa2. Dan karena itu, diapun lalu tak mau mengomong
lagi. Oleh sebab Bek Lian dan Yan-chiu adalah gadis2, jadi
tak enak kiranya untuk mengawani bicara keenam orang
yang belum dikenalnya itu. Maka dengan sendirinya, The
Go wakilkan dirinya sebagai tuan rumah untuk memperkenalkan rnereka.
Kini baru Tio Jiang tahu bahwa hweshio gemuk itu
bergelar Ti Gong hweshio. Asalnya orang she Ma. Ketiga
orang brewok itu dari keluarga she Chi, masing2 bernama
Chi Beng, Chi Kwi dan Chi Sim. Wanita setengah tua tadi
bernama Ciok Ji-so. Sedang sigadis hitam mania itu
bernama Ciok SiaU-lan. Samar2 Tid Jiang teringat akan
kata2 suhunya, bahwa di Lam-hay (laut selatan) ada
gerombolan bajak laut terdiri dari empat keluarga: The,
Ciok, Ma dan Chi. Mereka mengganas penumpang2 kapal.
Setiap orang, mempunyai ratusan anak buah. Mereka
masing2 mempunyai kepandaian istimewa sendiri2. Sang
suhu memesan, kelak kalau sudah turun gunung, lebih baik
jangan kesamplokan dengan mereka.
Karena keempat orang itu menganggap dirinya sebagai
raja dilautan, maka merekapun tak mau mengindahkan lagi
apa yang disebut sebagai "tata kesusilaan dunia persilatan".
Sekali terikat permusuhan dengan mereka, sudah tentu
banyak bahayanya, karena jumlah mereka banyak sekali.
Adakah ketujuh tetamunya itu termasuk The Go dan kedua
wanita itu benar2 gerombolan bajak laut ganas itu" Kalau
benar, mengapa mereka mencari suhunya" Demikian Tio
Jiang me-nimang2 dalam hatinya.
Tapi orang telah mengunjungi dengan sikap yang
hormat, sekalipun mereka mengandung maksud jahat, tapi
karena belum jelas diketahui, maka tak pantaslah kiranya
untuk bersikap memusuhi. Karena itu, Tio Jiang segera
persilahkan ketujuh tetamunya itu masuk kedalam. Tapi
setelah sama berdudukan, lagi2 Tio Jiang tak dapat
memulaikan pembicaraan. Oleh sebab memang sifatnya
yang pemaluan dan jujur, apalagi dihadapan sekian banyak
orang, Tio Jiang makin tak dapat ber-kata2.
Bek Lian juga hanya tundukkan kepalanya memainkan
ujung bajunya. Sedang orang she The itu tak henti2nya
mengawasi padanya. Sebaliknya sigadis hitam manis itupun
tak putus2nya memandang pada The Go. Dengan begitu
suasana dalam ruang biara situ, menjadi hening lelap. Tiba2
terdengar derap langkah orang mendatangi. Ah, kiranya
yang datang itu seorang bongkok. Wajah sibongkok itu
kotor, matanya merah dan suram. Melihat siapa yang
datang, Tio Jiang segera memberi isyarat dengan gerakan
tangan, maksudnya menyuruh sibongkok lekas menghidangkan minuman teh pada tetamu2nya. Tapi
begitu sihweshio gemuk menampak sibongkok itu, alisnya
segera menjungkat, serentak dia terus berbangkit !
---oo0dw0oo--- BAGIAN 2 : CENG BO SIANGJIN
Melihat kelakuan yang aneh dari sihweshio gemuk itu,
semua orang menjadi heran. Mata sihweshio itu ber-api2
mengawasi tanpa berkesiap kepada sibongkok. Tapi
sibongkok itu acuh tak acuh, seperti tidak kejadian apa2,
membalas isyarat tangan, lalu pergi dengan pe-lahan2.
Setelah mengantarkan bayangan sibongkok sampai lenyap,
barulah sihweshio itu bertanya kepada Tio Jiang: "Maaf,
siauko, siapakah sibongkok tadi?"
"Dia adalah imam pelayan dari biara ini. Seorang yang
tuli dan gagu. Sejak aku datang kemari, dia sudah disini.
Tadi karena kupanggil dia membuatkan teh untuk tetamu,
baru dia masuk keruangan ini," sahut Tio Jiang.
Sihweshio kedengaran ber-sungut2 tak jelas suaranya.
Setelah sekian saat berdiam diri, The Go tertawa bertanya:
"Mengapa mendadak toasuhu tanyakan hal itu?"
Karena sihweshio tengah merenung, tanpa hiraukan
siapa yang bertanya itu, dia segera menyahut dengan
semaunya saja: "Jangan turut campur !"
Serentak The Go berbangkit. Sembari kibaskan lengan
bajunya, dia menegas dengan sinisnya: "Toasuhu, apa
katamu tadi?" Sepasang matanya yang ber-api2 me-mancar2
kearah Ti Gong hweshio. Rupanya Ti Gong terkesiap atas
kegarangan simahasiswa, mulutnya ber-gerak2 tapi tak
dapat mengucapkan sesuatu. Chi Sim, itu salah seorang dari
orang yang bermuka brewok, karena tak akur dengan
sihweshio, buru2 menambahi minyak: "The toako, tadi
diapun mengatakan bahwa kau cepat kaki, cepat pula
menyelamatkan jiwa!"
"Ha, ha!" The Go dongakkan kepala lalu menegas
dengan keras: "Apa?" Begitu nyaring dan tangkas bentakan
itu sehingga membuat semua orang tersentak kaget. Yanchiu membelalakkan matanya, heran atas tingkah laku
tetamu2nya itu. Dihadapan sekian banyak orang, sudah
tentu Ti Gong tak mau mundur, sahutnya dengan tak
kurang garang: "Ya, lalu bagaimana.?" Diapun segera
berbangkit. Dari sikapnya berdiri, terang dia seperti tengah
menghadapi. musuh besar. Kedua kakinya tegak dengan
kokohnya, tangannyapun tak bergerak, hanya jubahnya
yang kelihatan berguncangan. Melihat dia berdiri, The Go
segera menghampiri. Ini membuat Ti Gong menjadi tegang.
Bek Lian diam2 kuatirkan The Go. Dalam percakapan
tadi, walaupun semuda itu usianya, ternyata The Go bukan
saja cakap wajahnya, pun juga cakap dalam segala
pengetahuan. Hanya dalam ilmu silat orang itu agak
merendah. Dari sikapnya terang kalau orang muda itu
hendak cari setori dengan sihweshio yang telah memperolokann ya itu. Dibanding dengan dia, hweshio itu
seorang yang bertubuh gemuk besar, jadi kalau berkelahi
terang bukan tandingannya. Memikir sampai disini Bek
Lian jengah sendiri. Mengapa ia begitu menaruh perhatian
atas diri The Go" Namun tak tahu dia mencari jawaban dari
pertanyaan dalam hatinya itu. Yang menguasai pikirannya
pada saat itu ialah, hendak dia nantikan dulu perkembangannya, kalau ternyata nanti The Go mengalami
kerugian, ia akan turun tangan membantunya.
Bahwa sekalipun sedang sibuk menyambut sekian
banyak tamu, namun perhatian Tio Jiang tak pernah lepas
kepada Bek Lian, sucinya itu. Demi tampak bagaimana
pandangan mata dari sang suci itu tertumpah dengan penuh
arti kepada The Go, diam2 Tio Jiang mendongkol. Dia


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harap hweshio itu dapat memberi hajaran yang setimpal
pada si The Go itu.
Lain2 anggauta dari rombongan tetamu, tampak The Go
tengah pe-lahan2 menghampiri Ti Gong, pun tak berdaya
untuk mencegahnya. Ciok Jiso melengos, pura2 seperti tak
melihat. Ketiga persaudaraan Chi, tegang wajahnya. Hanya
Ciok Siau-lan yang mengawasi dengan sorot mata yang
mengandung seribu arti kepada The Go. Begitu maju 3
tindak kemuka, orang she The itu segera berhenti, lalu
tenang2 berkata: "Aku yang rendah ini kepingin melihat,
adalah toasuhu ini bisa cepat tidak menyelamatkan jiwa?"
Kata2 itu ditutup dengan mengibaskan lengan kanannya.
Berbareng dengan deru samberan angin lengan baju itti.
tinjunya melayang kemuka. Cepat dan seru hantaman itu
datangnya, sehingga diluar dugaan orang2. Juga pukulan
itu luar biasa dahsyatnya. Tapi ternyata Ti Gong sudah siap
sedia. Begitu The Go melancarkan pukulannya, sebat sekali
dia menghindarkan mundur. "krak...." karena sihweshio
sudah menyingkir kedekat pintu, maka kursi yang
didudukinya tadi menjadi sasaran pukulan The Go, hingga
sungsal sumbal. Dengan sabar The Go menarik tangannya
lalu tersenyum berkata: "Oho, kiranya toasuhu juga tangkas
sekali menyelamatkan jiwa!" Dan sehabis berkata itu,
dengan gaya tindakan seorang pelajar, dia kembali
ketempat duduknya semula. Sewaktu lalu dihadapan Bek
Lian, dia unjuk senyuman.
Makin kagum dan mengindahkanlah Bek Lian kepada
orang muda itu, yang ternyata mempunyai kepandaian
yang sedemikian hebatnya. Dengan menyungging sarinya
madu, dia balas bersenyum. Melihat itu Tio Jiang makin
mendedek hatinya. Tanpa dapat dikendalikan.lagi dia
segera ikut menimbrung berseru: "The .... The..... toako,
kalau hendak berkelahi, mengapa tak berkelahi diluar saja"
Tuan rumah dari biara ini sedang tidak dirumah, mengapa
kau berani merusakkan alat2 perabot disini?"
Mengetahui sang sute merah padam mukanya, tahulah
Bek Lian bahwa sute itu tak senang kalau ia, terlalu rapat
pada The Go. Ia, lebih tua setahun dari Tio Jiang. Pada
umumnya, anak perempuan lebih dahulu masak pikirannya
dari anak lelaki. Rasa kasih Tio Jiang yang ditujukan
kepadanya itu, bukan ia tak mengetahuinya. Tapi karena ia
merasa 3 hal yang terutama," "rupa, kepandaian ilmu silat
dan ilmu surat", mana ia dapat menyambut kasih seorang
macam Tio Jiang itu" Dalam perkenalan yang singkat
dengan The Go yang orangnya cakap, pandai ilmu surat
dan tinggi ilmunya silat, diam2 bersemilah bibit asmara
dalam hatinya. Maka atas ucapan sang sute tadi, buru2 ia
membentak: "Sute, terhadap tetamu mengapa kau berlaku
begitu?" Sebaliknya The Go segera berpaling kearah Tio Jiang,
serunya: "Sedari tadi, engkoh ini selalu mencekal
pedangnya saja. Telah lama kudengar.ilmu pedang Ceng Bo
siangjin itu sangat menjagoi, sukakah kiranya memberi
sedikit pelajaran padaku?"
Tak sangka Tio Jiang kalau orang she The itu sedemikian
sombongnya. Memang sejak tadi dia tak menyukai gerakgerik orang itu. Sebagai seorang jujur yang tak bisa
mendendam, serentak berbangkitlah Tio Jiang: "Kalau The
toako ingin aku mempertundukkan permainan yang jelek,
akupun tak berani membantahnya." Dengan berkata itu, dia
terus melangkah keluar.
The Go ganda bersenyum. Dari atas mejanya dia
memungut kipasnya, terus dibukanya. Sepasang matanya
sebaliknya dari melihat Tio Jiang, mengawasi terus kepada
Bek Lian. Maksudnya dia hendak melihat bagaimana
perobahan Bek Lian. Sijelita ini memangnya tak
mempunyai rasa apa2 terhadap Tio Jiang. Tapi sebagai
kakak seperguruan, diapun tak ingin melihat sutenya
dicelakai lain orang. Tadi demi diketahuinya bagaimana
sekali pukul The Go telah dapat menghancurkan kursi
sihweshio, ia yakin kalau Tio Jiang tentu bukan
tandingannya. "Sute, jangan berlaku kurang adat!" katanya
kemudian. Sekalipun masih penasaran, namun karena Bek Lian
yang melarang, Tio Jiang terpaksa menurut. Memang
terhadap sang suci itu, Tio Jiang tak pernah berani
membantahnya. Selagi dia hendak kembali ketempat
duduknya, sibongkok dengan membawa senampan teh
masuk keruangan situ.
Setelah menyingkir dari hantaman The Go tadi,
sihweeshio gemuk mengambil tempat duduk pada sebuah
kursi dipinggir pintu. Begitu nampak dibongkok, kembali
dia menjadi beringas dan menatapnya dengan tajam2. Tapi
tetap sibongkok itu tak menghiraukannya. Dia ambil
cawan2 teh itu untuk dihidangkan pada tetamu. Ketika
berada disebelah Tio Jiang, tiba2 anak itu mendapatkan
bahwa kawannya bongkok itu mengicup-ngicapkan mata
kepadanya, sikapnya agak aneh.
Selama 6 tahun berada digunung situ, belum pernah Tio
Jiang mendapatkan sibongkok berlaku begitu aneh. Dalam
kagetnya, hampir2 cawan yang tengah dipegangi Tio Jiang
itu terlepas dari tangannya. Sebaliknya dengan tenangnya,
sibongkok berlalu untuk mengantarkan teh pada Ti Gong.
Setelah menaruhkan cawan dimeja sihweeshio, sibongkok
terus hendak berlalu dengan membawa menampannya.
Tapi tiba2 Ti Gong menggerung keras. Sekali kakin ya
diangkat dia tendang penampan itu hingga terbang keatas,
seraya membentak: "Thocu (bongkok)! Kiranya kau
bersembunyi disini. Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba",
berjerih payah mencari tak berhasil, ternyata tanpa
disengaja bisa ketemu!"
Kejadian itu menjadikan paniknya suasana. Tiada
seorangpun yang tahu apa sebabnya sihweeshio berlaku
begitu. Semua orang segera berbangkit dari tempat
duduknya. Begitu penampan ditangan kena ditendang
keatas, sibongkokpun nampak ter-huyung2 kebelakang
sampai beberapa tindak. Wajahnya mengunjuk kecemasan.
Malah pada saat itu, Ti Gong segera akan menyusuli
dengan sebuah hantaman dan sibongkok yang nampaknya
tak bisa ilmu silat, diam saja tak mau menyingkir.
Tio Jiang tak dapat bersabar lagi. Begitu tinggalkan
tempat duduk, tanpa berkata ba atau bu, dia segera serang
Ti Gong dengan jurus "ceng wi thian hay", salah satu dari
jurus ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Kepala sihweeshio
tampak ber-goyang2 dan kalung tasbih yang terkulai
dilehernya itu tiba2 ber-goyang2, merupakan sebuah
lingkaran bundar. Dan ini ternyata dapat menangkis
serangan pedang Tio Jiang.
Gambar 6 Tanpa bicara lagi segera Tio Jiang segera serang Ti Gong
Hwesio gemuk itu. Diluar dugaan kalung tasbih Ti Gong Hwesio
menjungkat dan tepat membentur ujung pedang Tio Jiang.
Tio Jiang terkesiap. Masa tanpa menggerakkan tangan,
orang telah dapat menangkis serangannya dengan hanya
cukup meng-goyang2kan kepalanya saja. Tapi dia benci
akan kelakuan sihweshio yang hendak menganiaya
kawannya tadi. Tanpa banyak cingcong, dia segera susuli
lagi dengan jurus "hay siang tiau go". Jurus ini walaupun
baru saja dipelajarinya, tapi karena merupakan salah satu
jurus dari to-hay-kiam-hwat, sudah tentu gayanya lain dari
yang lain. Begitu ujung pedangnya bergerak, diam2 Tio
Jiang menghapalkan kunci rahasia dari ilmu pedang itu:
"dalam 49 gerakan, memikat lawan kedalam kait". Ini
diambilkan dari dasar nama gerakan itu yang disebut 'hay
siang tiau go' diatas laut mengail ikan besar. Dan
memangnya jurus itu terdiri dari 49 gerakan.
Karena dengan gerakan leher saja tadi telah dapat
menghalau serangan orang, maka Ti Gong tak memandang
mata pada sianak muda yang dianggapnya hanya begitu
saja ilmu kepandaiannya. Tapi segera kesombongannya itu
berobah menjadi suatu keluhan hebat, ketika menghadapi
serangan yang kedua dari Tio Jiang. Bukan saja gayanya
jauh berlainan dari serangan pertama tadi, pun tahu2
dihadapannya seperti terkurung dengan ratusan sinar
pedang yang me-magut2 seru, sehingga menyebabkan
matanya ber-kunang2 dan kewalahan untuk menghindar.
Dengan ter-birit2 dia lekas2 menyingkir kesamping.
Tapi sedikitpun sihweeshio itu tak menyangka bahwa
sesuai dengan namanya "hay siang tiau go", ilmu pedang
itu betul2 seperti memikat orang supaya kena digait. Ke 49
sinar pedang itu, ternyata serangan kosong. Begitu Ti Gong
menyingkir dan hendak dongakkan kepalanya untuk
gerakkan kalung tasbihnya, pedang Tio Jiang telah
mengikutinya kesamping, "sret" terus menusuk kemuka.
Kala itu kaki Ti Gong belum dapat berdiri jejak ditanah,
maka mana dia bisa menghadapi serangan kilat itu" Namun
hweeshio itu cukup lihay juga, begitu sang tumit dienjot, dia
melambung keatas.
Sewaktu serangannya menemui sasaran kosong, karena
ilmunya pelajaran masih belum sempurna, buru2 Tio Jiang
tarik balik pedangnya. Sebaliknya karena tak mengetahui
kelemahan lawan, sewaktu diatas udara dengan gerak "lee
hi bak thing" ikan leehi berd yumpalitan, Ti Gong lont yat
kebelakang sampai beberapa langkah. Karena tempat
duduknya itu dekat pintu, maka dengan loncatan itu tubuh
Ti Gongpun sudah berada diluar ruangan. Sesaat itu tak
berani Ti Gong masuk kedalam.
Tio Jiang tak ambil peduli akan sihweeshio, terus dia
mengangkat bangun sibongkok. Sejak dia belajar silat
digunung tersebut, walaupun suhunya amat menyayanginya, tapi diwaktu memberikan pelajaran dia
bersikap bengis. Maka dalam kebatinan Tio Jiang, hanya
tergores rasa hormat dan jeri pada suhunya itu. Sebaliknya
dengan sibongkok yang tuli dan gagu itu, Tio Jiang
bersahabat karib sekali. Sibongkok itupun bisa beberapa
macam permainan, misalnya memanjat puhun tangkap
burung, membuat perangkap untuk menjebak binatang buas
dan sebagainya. Karena belum dapat melepaskan sifatnya
kanak2, sudah tentu Tio Jiang amat menyukai permainan
itu. Sekalipun sibongkok itu tak dapat berbicara, tapi
dengan gerak isyarat tangan, dapat juga dia diajak sambung
bicara. Begitulah selama 6 tahun, keduanya menjadi
sahabat yang akrab sekali. Sudah tentu tadi Tio Jiang tak
ijinkan orang menganiaya sahabatnya itu. Dalam dua
gebrak saja ternyata dia dapat mengundurkan Ti Gong.
Kecuali terhadap The Go, Bek Lian tak menyukai
tetamu2nya itu. Terutama terhadap sigadis hitam yang
bernama Ciok Siau-lan itu, siapa terus menerus mengawasi
sembarang tingkah laku The Go saja. Hal mana telah
membuat Bek Lian heran dan sirik. Tadi sewaktu
sihweeshio hendak memukul sibongkok, iapun gusar sekali.
Kalau menuruti perangainya, tentu siang2 ia sudah turun
tangan. Tapi entah karena apa, hari itu ia harus berlaku
istimewa susilanya dihadapan simahasiswa itu. Tak mau ia
sampai dicacat dalam pandangan anak muda itu. Maka tadi
demi sang sutee turun tangan, iapun tak mau mencegahnya.
Mungkin diantara ketiga saudara seperguruan itu, adalah
Yan-chiu yang paling merasa erat hubungannya dengan
sibongkok. Tadi iapun sudah serentak berbangkit, tapi
sudah kedahuluan sukonya. Begitu Tio Jiang sudah dapat
menghalau sihweeshio, berserulah nona centil itu: "Suko,
jangan ijinkan hweeshio biadab itu masuk. Masa mertamu
begitu kurang ajar, apa2an itu!" Dara itu ternyata tangkas
orangnya, tajam mulutnya. Dia pandai menyindir orang.
Bagian yang terakhir dari dampratannya itu, sebenarnya
ditujukan pada rombongan tetamu lainnya. Dan setelah
puas mendamprat, ia tertawa sendiri.
---oo0-dwkz-TAH-0oo--Setelah mengangkat bangun sibongkok, Tio Jiang masih
mengawasi sihweeshio itu dengan gusarnya. Ti Gong
ternyata sedang berpikir keras. Baik masuk atau tetap diluar
saja. Kalau tetap diluar, rasanya dia akan kehilangan muka.
Namun kalau masuk, tentu akan terjadi onar dan ini berarti
akan membikin kapiran urusan besar kedatangannya disitu.
Selagi dia mondar mandir dalam kesangsian itu, tiba2 dari
arah belakang terdengar orang berkata: "Aha, hweeshio
yang telah menjadi pembesar tentara, benar2 cepat kaki.
Mengapa tak mau masuk saja?"
Dengan terkejut Ti Gong berpaling kebelakang dan
dapatkan disana kelihatan ada 3 sosok bayangan tengah
mendatangi. Hendak dia tegur mereka itu, atau salah
seorang dari mereka goyangkan lengan bajunya. Sebuah
samberan angin yang kuat menyampok datang. Astaga,
kakinya serasa digempur dan ter-huyung2lah Ti Gong
beberapa tindak hingga kini dia terdorong masuk lagi
kedalam ruangan. Mengira kalau hweeshio itu hendak
membalas, Tio Jiang lepaskan sibongkok terus menyerang
dengan pedangnya. Tapi segera diapun mengetahui bahwa
diluar pintu sana tampak ada 3 sosok bayangan ber-gegas2
masuk. Salah seorang dari mereka ternyata adalah suhunya
sendiri, Ceng Bo siangjin.
Melihat kedatangan siangjin, Bek Lian dan Yan-chu
tersipu2 berbangkit. Ceng Bo siangjin mengangguk sedikit.
Dengan wajah keren, dia tegak berdiri sembari merangkap
kedua tangannya. Kiranya siangjin itu seorang tosu (imam
setengah tua), mengenakan jubah dan topi keagamaan.
Wajahnya terang berseri, sikapnya agung berwibawa,
sehingga orang terpaksa tak berani berlaku sembarangan
dihadapannya. Dibelakang siangjin itu terdapat dua orang
yang masing2 berpakaian aneh. Mereka mengenakan kain
kepala pahlawan, yakni yang sebelah warnanya hitam yang
sebelah warnanya putih. Bajunya hitam, celananya putih,
begitu juga sepatunya pun hitam putih. Yang tepat berada
dibelakang Ceng Bo siangjin, usianya hampir sebaya
dengan tosu itu. Sedang kawannya yang dibelakang sendiri,
agak mudaan, tapi wajahnya sangat keren, tidak seperti


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawannya yang lebih tua tadi siapa berwajah riang
peramah. Rombongan tetamu yang berada dalam ruangan itu,
walaupun belum pernah mengenal Ceng Bo siangjin,
namun dari sikapnya tahulah mereka kalau tosu itulah tuan
rumahnya. Merekapun segera berbangkit. Malah The Go
sembari menutup kipasnya terus hendak membuka mulut,
tapi orang berpakaian aneh yang agak tuaan umurnya tadi,
tiba2 tampil kemuka mengawasi sampai beberapa jenak
pada The Go. Kata2 yang sudah siap hendak diucapkan
The Go tadi, terpaksa dibatalkan. Semua hadirin pun tak
mengerti sikap orang aneh tadi, siapa pada lain saat
kedengaran berseru: ,,Bagus, Cian-bin Long-kun (anak
muda seribu wajah) yang telah menjadi cong-peng-kuan
(pembesar militer) juga berada disini!"
Sehabis berkata begitu, orang itu mengalihkan pandangannya kearah Ciok Jiso, ujarnya: "Bagus juga,
Ciok Jiso, sam-kiat (3 orang gagah) keluarga Chi yang
menjadi pembesar2 militer, juga berkumpul disini!"
Gambar 7 "Bagus, bagus, kiranya Cian-bin Long-kun yang sudah
menjabat Cong-peng-kuan juga berada disini:
" Tiba2 kawan Ceng Bo Siangjin yang agak tuaan Itu menegur
The Go. Kecuali Tio Jiang, Bek Lian dan Yan-chiu yang tak tau
apa artinya semua2nya itu, rombongan tetamu cukup
menginsyafi ucapan siorang yang berpakaian aneh itu.
Seketika itu The Go lalu membentang kipasnya, sembari dikipas2kan dia tertawa berkata: "Ah, kiranya yang datang ini
adalah Ki lotoa. Benar, aku yang rendah ini memang telah
menjadi pembesar militer kerajaan. Apabila Ki lotoa
berkenan menerima panggilan kerajaan, kurasa akan
mendapat kedudukan lebih dari congpeng!"
Orang yang disebut Ki lotoa itu, tertawa dingin. Sedang
Ceng Bo siangjin dengan perasaan heran, berkata dengan
lelahnya: "Tuan2 ini adalah pembesar2 kerajaan. Pinto
(bahasa yang digunakan oleh seorang imam bila
membahasakan dirinya) adalah rahayat gunung. Entah
tuan2 datang kemari ini hendak mempunyai keperluan apa
saja, harap lekas mengatakan!"
Ucapan Ceng Bo siangjin itu mengandung suatu paksaan
kepada sang tetamu, ini cukup diketahui oleh semua orang.
Bek Lian yang tak mengetahui asal usul romhongan tetamu
itu, merasa heran atas sikap sang ayah. Karena biasanya
orang tua itu senantiasa membawa sikap yang sabar
peramah, masa kali ini begitu keras tak sabaran.
Diluar dugaan, The Go dengan tenangnya menyuruh
kawan2nya duduk pula. "Harap saudara2 duduk dulu, kita
bicara dengan tenang." Dan setelah semuanya duduk
kembali, dengan tertawa The Go menjurah kepada Ceng Bo
siangjin, katanya: "Aku yang rendah Cian-bin long-kun The
Go, dan ini adalah Ciok Jiso yang dijuluki orang sebagai
'Kim kong song lun', sedang yang ini......", dalam berkata
itu tangannya menunjuk kearah ketiga persaudaraan Chi.
Tapi orang berpakaian aneh yang mudaan yang selama tadi
masih tutup mulut saja, kini tiba2 menyela dengan bengis:
"Tak usah diperkenalkan, itu sam-kiat dari keluarga Chi, itu
Ti Gong hweeshio bekas orang she Ma. The, Ciok, Ma,
Chi, adalah golongan2 rendah dalam dunia persilatan. Kini
menjadi pembesar kerajaan, hem, apa2an itu!"
Ketiga persaudaraan Chi dan Ciok Jiso merah
mendengarnya. Kim-kong-lun atau senjata roda baja
ditangan wanita itu, sudah terus hendak diayunkan, tapi
dengan tetap menyungging senyum The Go memberi
isyarat tangan kepada kedua kawannya itu. Anehnya
walaupun orang she The itu masih muda usianya, namun
mempunyai wibawa juga. Semua kawan2nya tak berani
membangkang. The Go masih ter-senyum2, sembari ber-kipas2 berkata
kepada orang tadi: "Hari ini sungguh beruntung sekali
dapat dapat berjumpa dengan Ki lotoa dan Kiau loji dari
Thian-te-hwe! Dari lagu ucapan Kiau loji tadi, apakah
bukannya sudah berhamba puda Siau Ging?"
Siau Ging adalah kota kerajaan dari baginda Ing-bingOng dari ahala Beng didaerah selatan yang sekarang ini.
Orang yang disebut Kiau loji itu kedengaran mengelah
napas, katanya: "Ah, sungguh tak tahu mati! Induk pasukan
Ceng sudah tiba diperbatasan Hokkian, sembarang saat
akan sudah masuk ke Tiau-yang. Sebaliknya, kita orang2
Han, dalam wilayah yang sesempit ini, masih main
mendirikan dua orang kaisar dan main gasak2an sendiri.
Bukankah ini berarti tak tahu mati namanya" Ki toako,
patriot macam kau dan aku ini, apakah tidak merasa sedih
berkumpul dengan orang2 macam begini !"
"Ha, ha..." demikian orang yang lebih tua yakni yang
dipanggil Ki toako (ketua Ki) itu tertawa, "Kiau jite, benar
katamu ini! Baru saja masuk tadi, hidungku telah mencium
bau yang busuk, namun tak kukira kalau berasal dari
orang2 ini."
Riang gembira kedua orang itu bertanya jawab dan
memaki sembari tertawa-tawa, se-olah2 menganggap sepi
akan sekalian tetamu itu. The Go tetap masih tersenyum,
Ceng Bo siangjin memandang keatas, seperti tak
menghiraukan apa2. Sebaliknya ketiga saudara Chi tadi tak
kuat lagi menahan-nahan napasnya. Serempak mereka
berseru dengan gusarnya: "Awas, kalau berani ngoceh tak
keruan lagi !"
Kiau loji atau yang sebenarnya bernama Kiau To,
secepat kilat menoleh. Entah bagaimana dia bergerak tadi,
tapi tahu2 orangnya sudah melesat kehadapan ketiga
saudara Chi. Dalam penglihatan ketiga saudara Chi, pada
saat itu dihadapannya berkelebat sesosok bayangan warna
putih hitam. Hendak mereka berbangkit mencabut
senjatanya, tapi tiba2 kedengaran suara "plak, plak, plak",
dan Kiau To tampak duduk kembali ketempat duduknya
semula. Aha, kiranya ketiga saudara Chi itu mukanya
masing2 telah mendapat persen sebuah tamparan.
"Kiau jite, mengapa kau tak sayang tanganmu kotor"
Mengapa tak lekas2 keluar cuci sana?" seru Ki lotoa.
Kejadian itu telah membuat Tio Jiang dan kawan2
terperanjat. Pertama atas ketangkasan Kiau To dan kedua
karena nyata2 kedua orang berpakaian aneh itu tak
memandang sama sekali pada rombongan The Go. Tapi
mengapa suhunya tinggal diam saja" Apakah memang
benar rombongan tetamu itu orang2 yang rendah"
Demikian Tio Jiang, Bek Lian dan Yan-chiu saling
mengawasi satu sama lain. Bek Lian alihkan pandangannya
kearah The Go. Dilihatnya anak muda itu masih tetap
tenang2 saja, hal mana telah menimbulkan rasa kagum atas
peribadi orang. Tapi mana Bek Lian tahu sebabnya The Go
digelari "Cian bin long kun" atau siorang muda seribu
muka" Yang diketahui oleh gadis jelita itu, hanialah kedua
orang yang datang bersama ayahnya itu, telah berlaku
kurang hormat kepada The Go dan kawan2, dan untuk itu
symphatinya tercurah pada siorang muda. Segera ia
menghampiri kedekat sang ayah lalu katanya dengan bisik":
"Tia, mereka adalah tamu2 yang datang dari tempat jauh,
bukankah tidak seyogyanya disuruh minum dahulu baru
nanti diajak bicara"
Ceng Bo siangjin menghela napas, ujarnya: "Lian-ji,
Jiang-ji dan Siau-chiu, apakah kalian tahu maksud
kedatangan mereka kemari ini?"
Ketiga anak muda itu menggeleng.
"Induk pasukan Ceng sudah mendesak ditapal batas,
kalian tentu sudah mengetahuinya. Segolongan menteri
yang berkuasa, karena untuk kepentingan kedudukan
mereka, telah mengangkat seorang kaisar di Siau Ging.
Tapi ada lain golongan yang iri, dan mengangkat pula
seorang kaisar berkedudukan di Kwiciu. Dewasa ini
wilayah kita hanya tinggal Kwitang, Kuiciu dan berapa
propinsi lagi, namun kedua kaisar itu saling gasak rebutan
takhta sendiri. Kedatangan mereka kemari ini ialah hendak
meminta aku turun gunung bantu memukul kaisar di Siau
Ging. Ha, ha, mereka adalah orang2 yang rakus akan
pangkat, kalau akupun berbuat demikian, apakah gelar yang
kalian hendak berikan padaku?"
Kata2 itu diucapkan dengan penuh keperwiraan. Ketiga
anak muridnya itu sama bungkam. Malah Yan-chiu yang
tangkas itu segera lari kehadapan Kiau To, terus unjuk
jempolnya: "Kiau loji, bagus juga kau telah menghajar
mereka tadi!"
Muda usianya, tapi kalau bicara sicentil itu suka meniru
lagak orang tua. Tak mau dia ambil pusing Kiau To itu
tergolong angkatan apa, tapi demi didengar The Go tadi
menyebutnya Kiau loji, iapun lalu tiru2 saja. Dan begitu
garang nada suaranya itu sehingga membuat Kiau To terkial2 menahan gelaknya. "Bek-heng, anak didikmu ini
sungguh hebat!" serunya kepada Ceng Bo siangjin.
Sudah tentu Ceng Bo siangjin ter-sipu2, bentaknya :
"Siao-Chiu, jangan kurang ajar, harus panggil Susiok!"
Kiau To mengawasi dara nakal itu dengan seksama, lalu
ujarnya: "Bek-heng, usah sungkan. Sikap nona kecil itu
cukup garang, tentu memiliki dasar ilmu silat yang kokoh.
Adakah ilmu pedang kesayangan Bek-heng itu sudah
diajarkan padanya?"
Ceng Bo siangjin menghela napas, tak menyahut. Adalah
siorang yang disebut Ki lotoa yang umurnya agak tuaan,
rupanya mengerti tentu ada persoalannya, buru2 dia
menyela : "Loji, bukankah maksudmu hendak menguji
kepandaian orang, karena hendak memberi bingkisan lagi?"
Yan-chiu yang cerdas tangkas itu, segera merasa ada
sesuatu dalam ucapan orang she Ki itu. Jelas tadi
diketahuinya bagaimana sebat orang she Kiau itu memberi
tamparan pada ketiga orang brewok she Chi itu. Ter-sipu2
Yan-chiu berjongkok ketanah untuk memberi hormat
sampai 3 kali. Begitu berbangkit ia terus mengatur kata2:
"Kiau susiok, ajarkan aku ilmu gerakan menampar ketiga
kantong-nasi tadi !"
Melihat kelakuan dara jenaka itu, kembali Kiau To
tertawa gelak2. Demikianlah dengan asyik dan gembira
rombongan tuan rumah itu ber-cakap2 sendiri, sehingga
rombongan The Go seperti tak dihiraukan lagi. Muka ketiga
saudara Chi tadi biru telur, Ciok Jiso tertawa urung, sedang
Ti Gong dengan uring2an tampak hendak turun tangan,
tapi lagi2 dicegah oleh The Go. Dalam pada Yan-chiu
bertukar pembicaraan begitu asyik gembira dengan Kiau
To, sikap The Go itu tenang2 saja. Dengan ber-kipas2, dia
se-akan2 tak menghiraukan kesemuanya itu. Hanya
sebentar2 ekor matanya dikerlingkan kearah Bek Lian. Tapi
kini setelah mendengar keterangan ayahnya tadi, Bek
Lianpun mendongkol. Dalam keadaan negara sudah
separoh bagian terjajah itu, masa orang masih bersitegang
leher saling jegal2-an sendiri.
Benar Bek Lian mempunyai pendirian yang begitu mulia,
namun kesannya terhadap The Go tetap tak berobah.
Dalam pandangannya, The Go itu seorang muda yang
cakap, pandai berkelakar dan sangat menarik. Sampaipun
gelaran anak muda itu "Cian bin long kun", juga merdu
kedengarannya. Ah, memang begitu kalau orang suka,
segala apa kelihatannya bagus semua. Maka tatkala The Go
menatap kearahnya, sebagai tersedot besi-semberani, Bek
Lianpun balas memandangnya. Ketika pandangan matanya
tertumbuk dengan sinar mata sianak muda, hati sinona
serasa mendebur keras.
---oo0-dwkz-TAH-0oo--Catatan: - Ketika pemerintah Beng telah didesak oleh
tentara Ceng hingga mengungsi kedaerah Kwitang, ternyata
disitu dalam kalangan kerajaan Beng timbul pertentancan
sendiri. Pada tahun ketiga dari pemerintahan Ceng kaisar
Sun Ti, pangeran Ing-bing-ong Cu Yu-Iong telah angkat
dirinya menjadi kaisar Beng dengan gelar Liong Bu dan
berkedudukan di Siau Ging. Tapi pada bulan 11 tahun itu
Tong-ong-tee Cu Gi-yap pun diangkat oleh menteri2nya
menjadi kaisar Siau Bu berkedudukan di Kwiciu.
Dipanggilnya empat bajak laut kesohor yakni The Go, Ciok
Jiso, Ti Gong dan ketiga saudara Chi, untuk menjabat
sebagai cong-peng (jenderal perang) guna menggempur Siau
Ging. Demikian menurut catatan dalam kitab "Ikhtisar
sejarah ahala Beng didaerah selatan."
---oo0-dwkz-TAH-0oo--Ketika The Go mengetahui bahwa Kiau To telah
mengabulkan permintaan Yan-chiu untuk mengajarkan
ilmu silat, dengan batuk2 The Go melangkah kemuka,
sembari membentang kipasnya untuk dibuat kipas2
beberapa kali. Kini tahulah sekalian orang, bahwa kipas
orang muda itu ternyata diberi lukisan, yakni 3 larik
gelombang laut. Corak lukisan itu kuat tandas, warnanya
ke-hitam2an. Sehabis ber-kipas2 sementara saat, kipasnya itu kembali
dilipat. Tingkah lakunya itu, kecuali Bek Lian, tiada
seorangpun yang menghiraukan. Namun baginya, Bek Lian
seorang sudah cukup daripada sekian banyak manusia.
"Kalau begitu, siauseng pun hendak belajar ilmu silat pada
Kiau locianpwe!" serunya kepada Kiau To.
Kumandang getaran suara The Go itu ternyata sekali
kedengarannya. Biara Cin Wan Kuan yang begitu kasar
bangunannya itu, se-olah2 tergetar oleh kumandang
suaranya itu. Ada beberapa tempat, dimana temboknya
kurang kokoh, telah berhamburan kapurnya. Ini menandakan, sekalipun masih berusia begitu muda, tapi


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu lweekang dari The Go itu telah mencapai tingkat yang
tinggi. "Kau ingin belajar apa pada Kiau loji?" tanya Kiau To
dengan serentak.
"Ingin belajar memukul, untuk membalas serangan
orang!" sahut The Go dengan tertawa.
Orang2 sama terkejut, terang kalau pernyataan The Go
itu berarti suatu tantangan. Malah Bek Lian yang selalu
perhatikan diri anak muda itu, diam2 telah kucurkan
keringat dingin. Tapi disana, dengan tertawa dingin Kiau
To menyahut: "Siapakah orang persilatan yang tak
mengetahui bahwa walaupun namanya saja kau ini adalah
cucu murid dari Ang Hwat cinjin di Ko-to-san, tapi
sebenarnya karena ibu dan anak sama2 belajar pada sesama
guru, jadi tergolong anak murid cinjin tersebut. Mau belajar
apa lagi sih?"
Sejak tadi The Go selalu unjuk senyuman saja, tapi demi
dikatakan Ibu dan anak sama2 belajar pada seorang guru,"
berobahlah warna wajahnya dengan seketika. Sewaktu
kata2 Kiau To itu selesai, tampak wajah The Go
sedemikian rupa bengianya. "Mau belajar ilmu memukul
orang secara membokong, agar bisa mendapat kemenangan
yang mudah!" ujarnya dengan nada sedingin es. Dan
ucapan itu telah ditutup dengan merangkap kearah Kiau
To. Kiau To geser kakinya sembari mendakkan tubuh,
karena dia kira kalau The Go hendak menyerangnya. Tapi
tak tahunya begitu samberan angin menyampok, ternyata
The Go melejit disampingnya. Maka dengan ter-sipu2 dia
julurkan kedua tangan untuk mencengkeram anak muda
itu. Tapi astaga, "plak, plak", berbareng dengan
cengkeramannya terdengar suara tamparan sampai dua kali.
Buru2 Kiau To berpaling kebelakang dan, ai, kurang ajar
betul! Orang she Ki, toa-ah-ko dari Thian-tee-hwee, yang
tak tahu apa2, ternyata kedua belah pipinya telah benjol
merah, dua buah giginya rontok mulutnya berdarah!
Gerakan si The Go itu laksana kilat cepatnya, lebih hebat
dan pesat dari Kiau To. Kalau tadi walaupun keras
suaranya, namun ketiga saudara Chi itu hanya ber-kunang2
matanya. Tapi kini orang she Ki itu telah mendapat
tamparan yang digerakkan dengan lweekang, hingga
giginya sampai ada yang rontok. Orang diruang situ terkejut
dan keheranan. Terkejut, mengapa The Go bukan memukul
Kiau To melainkan menampar orang she Ki. Heran, karena
hasil dari pembokongan itu hebat dan tepat sekali.
Bukankah orang she Ki toa-ah-ko (ketua) dari sebuah
perkumpulan yang berpengaruh macam Thian-tee-hwee"
Mustahil kalau tak memiliki kepandaian yang hebat bisa
diangkat menjadi toa-ah-ko dari perkumpulan semacam itu,
yang anggautanya saja pasti terdiri dari orang- gagah yang
berkepandaian tinggi. Heran bukan"
Diantara orang2 yang tak mengerti kejadian itu, hanya
Kiau To dan Ceng Bo siangjin yang mengetahui sebab2nya.
Malah yang tersebut belakangan itu segera menghela napas.
Diam2 dia kagum atas kecelian si The Go yang sepintas
pandang segera dapat mengetahui bahwa ketua dari Thiantee-hwee itu telah punah ilmu kepandaian alias menjadi
seorang tanpaguna lagi!.
Begitu habis membokong, The Go sudah dengan segera
balik ketempat duduknya lagi. Kejadian itu hanya
berlangsung dalam beberapa kejab saja. Kecuali perdengarkan suara mengaduh "ah" dan disusul dengan
muntahan dua buah gigi, orang she Ki itu segera tenang
kembali, se-olah2 tak kejadian suatu apa. Katanya dengan
tertawa: "Cian-bin long-kun, hebat nian gerakanmu tadi!
Aku Ki Cee-tiong, rela mengaku kalah. Dua buah gigi ini
untuk sementara biar terlepas dulu, apabila sampai
temponya pasti akan kembali padamu!"
"Tiga tamparan dibayar dengan dua, sudah selayaknya
lebih keras sedikit. Gigimu sendiri yang tumbuhnya tak
kuat, kalau hendak mengembalikan, kapan saja pun boleh!"
sahut The Go dengan garangnya. Namun dibalik
kegarangannya itu, tak urung hatinya diliputi dengan rasa
kegelisahan. Dia cukup kenal siapakah toa-ahko dari Thiantee-hwee itu. Setiap orang persilatan pasti mengenal siapa
Ki Cee-tiong yang dijuluki "Thong thian pa" (Penjelajah
Bara Naga 12 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Tusuk Kondai Pusaka 8

Cari Blog Ini