Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 14
"Di dunia ini banyak sekali orang yang sama nama sama she, dengan sendirinya akupun boleh bernama Liok Pek,"
ujar Liok Pek dengan tertawa.
"Tapi nama Liok Pek tidak baik!" kata Peng-lam dengan rasa jemu.
Cepat Liok Pek bertanya: "Sebab apa tidak baik?"
Alis Peng-lam menegak dan berkata: "Sebab terbunuhnya segenap anggota keluarga Soh-hok-han
dilakukan oleh Liok Pek!"
Liok Pek berlagak terkejut dan bertanya: "Apa betul?"
"Sudan tentu betul, apa yang dikatakan Sau tayhiap
masa kau berani tidak percaya"!" seru Peng-lam dengan bertolak pinggang.
"Ya, ya, percaya, tentu percaya!" cepat Liok Pek menjawab dengan cengar-cengir.
"Sebaiknya selanjutnya kau ganti nama saja, jangan
pakai nama Liok Pek, kalau tidak, bisa jadi akan kubunuh kau," kata Peng-lam pula.
Karena ingin memancing keterangan dari Peng-lam,
terpaksa Liok Pek mengangguk dan menjawab: "Baik, baik, akan kuganti namaku."
Se-konyong2 tangan Peng-lam menabok ke depan,
keruan anak murid Say-koan sama terkesiap, mereka
menyangka Sau Peng-lam hendak menyerang sang Susiok.
Namun Liok Pek sendiri ternyata tenang2 saja dan
membiarkan tangan Peng-lam menabok pundaknya,
Peng-say sendiri sudah tahu Toa-sukonya benar2 sudah
gila, Kiau Lo-kiat dianggapnya sebagai Liok Pek, makanya
mengaku sudah membunuh Liok Pek dan sekarang pasti
tidak bakalan membunuh lagi Liok Pek yang asli. Hanya
saja iapun kuatir Liok Pek tidak tahu dan mengira Toasukonya cuma pura2 gila dan bermaksud membunuhnya,
bila demikian tentu Liok Pek akan mendahului mencelakai
Toa-sukonya. Maka diam2 Peng-say sudah ber-siap2, apabila Liok Pek
turun tangan, segera ia akan menubruk ke sana untuk
menyelamatkan Peng-lam.
Siapa tahu Liok Pek tetap tenang2 saja tanpa bergerak
sedikitpun, mau-tak-mau timbul juga rasa kagum Peng-say
atas ketabahan keparat she Liok itu.
Sambil menepuk pundak Liok Pek. dengan tertawa Penglam berseru pula: "Haha, kau. memang sahabat yang paling baik!"
"Ah, mana," jawab Liok Pek dengan tertawa. "Eh, numpang tanya, tadi Sau-tayhiap jelas2 berteriak di bawah sana, katanya terbunuhnya segenap anggota Soh-hok-han
adalah perbuatan Ting Tiong, mengapa sekarang kau bilang Liok Pek yang melakukannya" Jangan2 tadi kau salah
omong"!"
Peng-lam menghela napas dan menjawab: "Memang
benar Ting Tiong yang membunuh segenap anggota
keluarga Lam-han. tapi yang berbuat tidak cuma dia
sendiri, juga bangsat Liok Pek itu. Cuma dia sudah
kubunuh, kini tertinggal Ting Tiong saja, bilamana Ting
Tiong juga sudah kubunuh, maka selesailah cita2ku dan
akupun tidak perlu ber-teriak2 lagi tentang Ting Tiong
membunuh segenap anggota keluarga Lam-han."
Orang memakinya sebagai "bangsat" di depan hidungnya sendiri, tapi Liok Pek bisa menerimanya dengan sabar
tanpa membantah, bahkan bertanya pula dengan cengarcengir: "Siapa yang bilang Ting Tiong yang membunuh segenap anggota keluarga Lam-han?"
Melengak juga Sau Peng-lam, ia berpikir sambil
mengukur telinga dan menggaruk kepala, mendadak ia
mendelik dan berteriak: "Aku yang bilang, ya, akulah yang bilang!"
"Kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri?" tanya Liok Pek.
"Apa yang kukatakan masa bisa salah?" kata Peng-lam.
"Memang benar2 Ting Tiong yang membunuh segenap
anggota keluarga Lam-han!"
"Omong kosong!" bentak Ting Tiong mendadak.
Peng-lam jadi terkeiut dan bertanya: "Sia .... siapa kau?"
"Tuanmu inilah Ting Tiong!" bentak Ting Tiong dengan gusar. "Biar kubunuh kau si gila yang sembarangan
mengoceh ini!" " Segera ia angkat sebelah tangannya dan hendak menghantam.
Cepat Peng-lam putar badan dan lari sambil berteriak:
"Lelaki menuntut balas, biar sepuluh tahun juga belum terlambat!"
Rupanya dia belum lagi lupa kelihayan "Ting Tiong"
(sebenarnya Peng-say) pada malam itu, maka tidak berani
beradu pukulan pula dengan Ting Tiong tulen.
"Lari ke mana!?" bentak Ting Tiong terus memburu maju.
Meski tidak waras, tapi Kungfu Peng-lam belum lenyap,
hanya reaksinya tidak secepat dan segesit orang biasa.
Lantaran sudah takut kepada "Ting Tiong", dia hanya tahu lari sebisanya
dan tidak berpikir mengelak
atau menghindari serangan.
Tampaknya Ting Tiong sudah menyusul tiba, sekali
hantam Peng-lam pasti akan dirobohkan. Pada saat itulah
se-konyong2 terdengar desing angin tajam menyambar dari
belakang, seorang telah menusuknya dengan pedang.
Dalam keadaan demikian, sekalipun Ting Tiong dapat
merobohkan Peng-lam, ia sendiri pasti juga akan dilubangi oleh tusukan itu. Dengan sendirinya ia tidak mau
menanggung risiko ini, cepat ia berkelit sambil membalik tubuh untuk menyelamatkan diri.
Waktu ia pandang ke depan, ternyata yang menyerangnya adalah seorang pemuda berumur 20-an dan
berpakaian berkabung.
Dalam usia semuda ini, kekuatan pedangnya ternyata
tidak dibawah Coh-suhengnya, maka Ting Tiong tidak
berani sembarangan bertindak lagi, tapi iapun tidak rela melepaskan Sau Peng-lam dan membiarkannya ber-teriak2
semaunya, segera ia membentak tertahan: "Liok-sute, cegat orang gila itu!"
Serangan Peng-say tadi keburu membebaskan Toasukonya dari ancaman musuh. tapi kini ia harus mengawasi Ting Tiong sehingga tidak dapat merintangi Liok Pek. Ia
pikir Liok Pek tiada niat membunuh Toa-suko, akan lebih
baik kalau orang she Ting ini saja yang dijaga, maka
kepergian Liok Pek itu tidak dihalanginya.
Secepat terbang Liok Pek yang bertubuh kurus kecil itu
melayang maju dan menghadang di depan Peng-lam, kedua
tangannya mendorong sekaligus sambil membentak:
"Mundur kembali sana!"
Menghadapi musuh dari depan, cepat juga reaksi Sau
Peng-lam, sekaligus iapun menyambut dengan kedua
telapak tangannya sambil berteriak: "Menyingkir!"
"Blang blang", empat tangan beradu, Peng-lam tidak mampu menahan tubuhnya, ia tergetar mundur. bahkan
terus menyeruduk meja sehingga dua-tiga meja jungkir balik dan mangkuk piring berantakan .
Sekujur badan Peng-lam penuh berlumuran sayur dan
kuah, hingga lama tidak mampu bangun.
Tenaga dalam Peng-lam memang kalah setingkat
daripada Liok Pek, sama sekali Liok Pek tidak bergeming di tempatnya, malahan karena terlalu keras menggunakan
tenaga, papan loteng sampai berkeriat keriut terinjak oleh kakinya, melihat gelagatnya papan loteng itu bisa
berlubang. Seketika para tamu restoran itu menjadi panik, yang di
atas loteng takut kena getahnya, beramai sama berlari ke bawah. Yang di bawah loteng takut loteng ambruk, tanpa
pikir makan minum lagi mereka terus lari keluar. Lebih bagi tamu yang suka gegares gratis, geger2 ini kebetulan bagi mereka untuk kabur tanpa bayar.
Hanya sebentar saja, kecuali kedua pihak yang ada
perkara, kebanyakan tamu sama kabur semua, sampai
pengurus restoran dan pelayannya juga cari selamat
sendiri2, siapa yang berani melongok ke atas loteng"
Di atas loteng hanya para anak murid Say-koan saja
yang masih tetap berduduk di tempatnya, kecuali seorang
tamu yang rupanya tidak takut mati dia masih duduk
makan minum disitu. Orang ini memakai topi yang sengaja
ditarik kemuka sehingga wajahnya tidak terlihat jelas.
Melihat Toa-sukonya jatuh menyeruduk meja dan tak
bisa bangun. dalam keadaan kacau segera Peng-say
melompat ke depan Peng-lam, dengan pedang terhunus ia
berjaga di situ.
Ting Tiong bertekad akan membunuh Peng-lam. Ia
pandang Peng-say dan menjengek: "Hm, jadi Anda akan ikut menanggung perkara ini?"
Peng-say diam saja tanpa menjawab, tapi siap siaga,
sikapnya ini seakan hendak memberitahukan pihak lawan
bahwa dia pantang mundur.
"Apa hubunganmu dengan dia?" tanya Ting Tiong
sambil menuding Peng-lam.
Peng-say tetap tidak bersuara.
Karena belum tahu sampai di mana ilmu pedang anak
muda itu, tapi dari tenaga tusukannya tadi jelas
kepandaiannya tidak rendah, Ting Tiong tidak ingin
mengikat permusuhan dengan lawan tangguh, dengan kata2
halus ia coba membujuk: "Jika tidak erat hubunganmu dengan dia, sebaiknya kau mau minggir saja, Asalkan kau
mau menyingkir, Say-koan kami pasti tidak menerima
kebaikanmu ini secara sia2 dan tentu akan kami balas
jasamu ini."
Namun Peng-say hanya mendengus saja dan tetap tidak
menjawab. Nama "Say-koan" sudah ditonjolkan, tapi lawan
malahan cuma mendengus saja. Ting Tiong menjadi ragu2
dan lebih tidak berani menilai rendah lawan. Tapi iapun
tidak mengunjukkan kelemahan sendiri, dia memberi tanda
kepada anak buahnya, lalu berkata pula: "Orang she Ting sudah bertekad harus membunuh si gila yang sembarangan
mengoceh ini, bila Anda ingin membelanya, lebih dulu
hendaklah memeriksa keadaannya."
Begitu selesai ucapannya, serentak anak murid Say-koan
sama bediri untuk memberi angin kepada paman guru
mereka. Tak tersangka Peng-say tetap tidak menghiraukan
peringatannya, bahkan ia bertanya: "Segenap anggota Soh-hok-han, yang tertinggi dimulai dari Hancu, yang terkecil sampai dengan murid termuda Su Ki. seluruhnya 28 orang,
semuanya binasa oleh Tay-jiu-in, coba jawab, kau tahu
tidak kejadian itu?"
Ting Tiong melengak, seketika ia tidak tahu cara
bagaimana harus menjawab.
Peng-say lantas menjengek pula: "Konon Tay-jiu-in
adalah Kungfu khas Say-koan, bahwa Coh-bengcu jauh
berada di Sin-kiang tidak perlu dibicarakan. tapi dia
mempunyai tiga orang Sute yang mahir Tay-jiu-in, seorang she Hui sudah lama pulang ke akhirat dan tidak perlu
dibicarakan lagi. dua orang lagi masing2 she Ting dan Liok, waktu terjadinya pembunuhan itu mereka berada di sekitar Huiciu. bukti sudah nyata, apakah kau berani menyangkal
bahwa ke-28 jiwa Soh-hok-han bukan dibunuh oleh kedua
bangsat itu" Dan sekarang ada orang mengumumkan
peristiwa itu kepada khalayak ramai. tapi kalian malah
hendak membunuhnya, bukankah ini lebih membuktikan
kalian bermaksud membunuh saksi hidup untuk menutupi
dosa kalian."
"Wah, wah, kita telah dituduh secara terang2. Hahaha, sungguh lucu, sungguh menggelikan!" demikian tiba2 Liok Pek bergelak tertawa.
Peng-say menoleh dan memandang Liok Pek dengan
sorot mata penuh kebencian, katanya: "Permusuhan ada awalnya, utang harus bayar. Kenapa kau geli" Apanya yang lucu" Pokoknya utang darah ini kelak pasti ada orang yang akan menagih!"
"Siapa yang akan menagih" Kau barangkali" Kenapa
tidak sekarang juga ditagih?" ejek Liok Pek dengan tertawa.
Saking tak tahan, ujung pedang Peng-say sudah bergerak
dan hampir saja melancarkan serangan.
"Eh-eh, jangan ter-buru2, sabar dulu!" kata Liok Pek pula. "'Jika benar ingin menagih utang, seharusnya cari tahu dulu sasaran yang tepat" Harus kukatakan lebih dulu, bukan kami takut padamu, cuma segala persoalan kan harus
dibikin terang, betul tidak" Makanya, sabar sedikit,
dengarkan dulu. Nah, apa artinya tuduhan membunuh saksi
untuk menutupi dosa?"
"Ya, tidak perlu dijelaskan lagi tentu maksudnya kuatir peristiwa pembunuhan itu akan dibocorkan oleh 'saksi' itu.
Padahal ini bagi kami kan berlebihan. Sebab kalau sudah
jelas pembunuhan itu dilaksanakan dengan ilmu pukulan
khas yang terkenal dengan nama Tay-jiu-in. sedangkan ilmu pukulan ini adalah monopoli Say-koan kami dan selama ini kami tidak pernah membuka cabang, nah, apakah kami
perlu kuatir perbuatan kami akan diketahui orang lain?"
Dengan mengertak gigi Peng-say mendamperat: "Bangsat! Tidak perlu kau putar lidah, tuan muda tidak nanti salah raba. Maksud tujuan kalian meninggalkan bukti Tay-jiu-in sudah jelas. Keji benar perhitungan kalian,
sesudah membunuh orang, ingin minum darah pula!"
Liok Pek tertawa dan berkata: "Ai, anak muda memang suka berdarah panas. Persoalannya belum dibicarakan
sudah marah2 dulu. Eh, coba jelaskan apa artinya 'ingin
minum darah" Marahlah nanti kalau kami sudah mendapat
keterangan."
"Keparat, pendek kata, biarpun hari ini mayatku harus terkapar di sini, lebih dulu harus kubongkar muslihat
kalian!" teriak Peng-say dengan gusar. "Kalian kawanan bangsat dari Say-koan ini sudah membunuh masih hendak
memfitnah orang pula. Kalian hendak mendakwa Lam-han
berkomplot dengan Ma-kau untuk menutupi kejahatan
kalian. Kalianpun sengaja meninggalkan bekas pukulan
Tay-jiu-in agar diketahui Tionggoan-sam-yu betapa cara
kalian membunuh orang dan supaya mendapatkan pujian
mereka!" Mendadak ia angkat pedangnya dan membentak:
"Hayolah maju seluruhnva, kalian kawanan anjing yang tidak berperasaan ini!"
Satu2nya tamu yang tidak pergi dan tidak takut mati itu
berkerut kening demi mendengar ucapan Peng-say itu,
pikirnya: "Sialan, akupun ikut dimakinya. sungguh
runyam!" Dalam pada itu Liok Pek nenanggapi dengan
mengggeleng: "Wah, bikin malu saja, begini keras suaramu.
kalau didengar orang yang tidak tahu seluk-beluknya kau
urusan bisa tambah ruwet!"
Mendadak Ting Tiong membentak: "He, apakah kau
anak murid Sau Ceng-hong?"
Su Ting-tat lantas menyeletuk: "ji-susiok, orang ini mengetahui kematian Hui-susiok, aku jadi ingat dia
memang betul murid Sau-susiok, pantas rasanya aku sudah
kenal dia. Rupanya kita memang sudah pernah melihatnya.
Ketika kita datang ke Soh-hok-han, seluruh murid Lam-han telah keluar menyambut, dan dia inilah bocah yang muncul terakhir itu!"
Dengan lirikan hina Ting Tiong berkata: '"Melihat
pakaiannya yang berkabung, memang tidak salah kalau dia
murid Sau Ceng-hong. Hm. hanya murid Sau Cong-hong
saja!" " Ejekan terakhir ini se-olah2 menyesali dirinya telah menilai terlalu tinggi kepada Peng-say.
"Orang ini perlu dibunuh tidak, Ji-suko?" tanya Liok Pek dengan tertawa.
Ting Tiong menjawab dengan hambar: "Menurat aturan, dia berani mencaci maki orang yang lebih tua, dosanya
tidak boleh diampuni. Tapi agar kita tidak dituduh
membunuh orang untuk menghilangkan saksi, bolehlah
diberi hukuman peringatan saja, termasuk juga Sau Penglam yang sembarangan mengoceh itu juga diberi
keringanan."
"Sau Peng-lam boleh diampuni, orang ini tidak boleh!"
kata Liok Pek dengan suara tertahan.
"Mengapa tidak boleh diampuni?" tanya Ting Tiong.
"Sau Peng-lam sudah gila, tidak perlu dikuatirkan, tapi orang ini menyaksikan kematian Gi-lim, mungkin dia akan.
. . ." "Baik, bunuh saja!" bentak Ting Tiong dengan suara pelahan.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biar Ting-tat yang menjajal bobotnya," ujar Liok Pek.
"Tidak perlu dicoba, Ting-tat bukan tandingannya. kau sendiri saja yang membereskan dia!" '
"Tapi .... tapi . . . . " Liok Pek menjadi ragu2
"Dengarkan," bisik Ting Tiong, "Lwekang bocah ini kelihatan cukup hebat dan tidak boleh diremehkan, bisa jadi kita berdua harus maju bersama."
Setelah berdehem, terpaksa Liok Pek berbangkit dan
melolos pedang, ia melangkah maju, katanya dengan
tertawa: "Sutit dari Lam-han ini, sesungguhnya kau keliru.
Say-koan dan Lam-han sama2 anggota lima besar, mana
mungkin saling Bunuh" Marilah, coba2 beberapa jurus
paman-guru, tapi jangan sakit hati, bila ada bagian yang
salah tentu paman akan memberi petunjuk padamu.
Hayolah, kesempatan baik jangan kau lewatkan, lekas
maju!" Menghadapi musuh, mata Peng-say menjadi merah,
tanpa bicara lagi ia sisipkan tangan kanan pada ikat
pinggang, dengan pedang di tangan kiri secepat kilat ia
mendahului menusuk dada Liok Pek.
Dalam hal main senjata, Ngo-tay-lian-beng atau
persekutuan lima besar, sama mengutamakan permainan
pedang. Walaupun Kungfu Say-koan yang paling terkenal
adalah Tay-jiu-in, tapi ilmu pedangnya juga tidak lemah, hanya jurus serangannya rada keji dan aneh sehingga
biasanya dihina oleh ahli pedang golongan lain
Menurut dugaan Liok Pek, cukup dalam dua-tiga kali
gebrak saja Peng-say pasti dapat dibinasakan di bawah
pedangnya. Tak terduga, makin lama makin terkejut dia,
dilihatnya ilmu pedang Peng-say. ternyata sangat aneh dan tidak kalah lihaynya daripada ilmu pedangnya sendiri.
Ting Tiong yang mengikuti pertarungan dari samping
juga terkesiap dan mulai tegang. Dia dan Liok Pek belum
pernah menyaksikan Pedang Kiri dari Siang-liu-kiam-hoat, sebab di dunia ini memang tidak ada orang yang pernah
memainkan setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat itu.
Apabila kedua tangan Peng-say dapat memainkan Siangliu-kiam sekaligus, bisa jadi mereka akan dapat menerka
asal-usul ilmu pedang itu. Tapi sekarang. mereka merasa
ilmu pedang anak muda itu sangat aneh, namun tergolong
ilmu pedang murni dan rasanya sudah rada2 kenal.
Agaknya dahulu sesudah pertemuan di Ki-lian-san.
diam2 Coh Cu-jiu telah mencatat beberapa jurus Siang-liu-kiam-hoat
yang dimainkan Sau Ceng-in untuk mengalahkan dirinya itu, setiba di rumah ia coba
memainkan jurus ilmu pedang itu di depan para Sutenya,
sebab itulah Ting Tiong dan Liok Pek merasa seperti sudah kenal ilmu pedang gaya Sau Peng-say.
Akan tetapi Liok Pek berpengalaman luas, sesudah
bergebrak belasan jurus, lambat laun ia dapat menyelami
gaya ilmu pedang lawan. Sesudah berlangsung sampai jurus ke-49, ia lihat tidak banyak lagi perubahan serangan Peng-say. Hanya saja ia masih was-was kalau anak muda itu
masih ada ilmu peding simpanan, yaitu permainan dua
pedang sekaligus. Hal ini terbukti dengan punggung Pengsay menyandang sepasang pedang,
Tapi menurut keyakinannya, biarpun lawan masih ada
ilmu pedang lain yang lebih lihay, untuk pergantian antara ilmu pedang satu dengan yang lain tentu ada peluang yang dapat digunakan untuk menyerangnya.
Bagi jagoan yang berpengalaman seperti Liok Pek,
peluang begitu tentu saja sangat berguna, apalagi dilihatnya ketika mencapai jurus ke-49, tampaknya Peng-say tidak ada jurus serangan lanjutan lagi.
Ia tersenyum, ia pikir sekarang tibalah kesempatan yang
baik untuk merobohkan lawan, andaikan tak dapat
membinasakan Peng-say, sedikitnya akan membuatnya
berhias tanda jasa alias luka.
Maka begitu jurus ke-49 selesai dimainkan Peng-say dan
gerak pedangnya menjadi lambat, sedapatnya Liok Pek
lantas melancarkan jurus serangan andalannya, selagi ia
bendak berteriak: "Roboh!" "Tapi pada detik terakhir sebelum ucapan itu tercetus dari mulutnya, hanya sekejap itu saja dia berbalik memaki: "Bedebah! sungguh tidak masuk diakal!"
Kiranya pada detik terakhir itulah se-konyong2 Peng-say
mengeluarkan satu jurus serangan yang sama sekali tak
terhayangkan olehnya.
Jurus ke-50 itu memang sukar dibayangkan, sebab secara
akal sehat memang tidak mungkin terjadi.
Di dunia ini mana ada permainan pedang yang pada 49
jurus permulaan menggunakan satu pedang, tapi pada jurus ke-50 mendadak kedua pedang digunakan sekaligus"
Secara teori tidaklah mungkin satu tangan bisa
memainkan dua pedang. Apalagi ke-49 jurus permulaan itu
tampaknya sudah berakhir, mana mungkin jurus ke-50 yang
menggunakan dua pedang sekaligus itu adalah serangkaian
dengan 49 jurus yang pertama.
Bagi orang lain hal ini memang tidak mungkin terjadi.
hanya Tio Tay-peng saja yang sanggup melakukannya,
sebab dia adalah orang buntung.
Sesungguhnya 49 jurus ilmu pedangnya yang pertama itu
memang berdiri sendiri, jurus ke-50 itu hanya satu di antara tiga jurus hasil pemikiran Tio Tay-peng sendiri selama 15
tahun memeras otak.
Hal itu terjadi ketika Tio Tay-peng selesai meyakinkan
ke-49 jurus Siang-liu-kiam-hoat menurut yang diperolehnva itu, ia merasa ilmu pedang yang dikuasainya itu masih jauh dari memuaskan. dia tidak tahu masih ada setengah bagian ilmu pedang ltu jatuh ditangan Soat Ciau-hoa, tapi ia dapat berpikir kalau ilmu pedang itu bernama Siang liu-kiam-hoat atau ilmu pedang dua saluran, maka seharusnya ilmu
pedang itu terdiri dari sepasang pedang. Ia tidak peduli betul atau tidak renungannya itu, ia cuma bertekad akan
menciptakan beberapa jurus ilmu pedang ganda berdasarkan teori Siang-liu-kiam-hoat itu sekadar untuk
memuaskan hasratnya.
Padahal kedua tangannya sudah buntung, dengan
sendirinya ia tidak dapat memainkan dua pedang sekaligus.
maka ia memeras otak, mencari akal cara. bagaimana
supaya satu tangan dapat menggunakan dua pedang.
Kalau ada kemauan yang keras, biarpun gada besi juga
dapat diasah menjadi jarum. Akhirnya Tio Tay-peng
berhasil menemukan satu cara menggunakan dua pedang
sekaligus. Yaitu satu pedang dilemparkan, lalu mencabut
pedang kedua, bahkan pedang pertama dapat dikendalikan
sesuka hati, lalu bekerja sama dengan pedang kedua untuk melancarkan jurus kedua dan jurus ketiga.
Untuk itu, dia membuat satu rantai halus yang dipasang
pada gagang pedang pertama dan ujung rantai yang lain
terikat pada telapak tangan sendiri. Sesudah dilatih dengan giat siang dan malam, akhirnya kedua pedang dapat
dikuasainya dengan leluasa.
Bakat Tio Tay-peng tidak setinggi Sau Ceng-hong, tapi
orang yang giat dan rajin dapat menambal kekurangannya.
Jerih payah selama 15 tahun dapatlah diciptakan tiga jurus istimewa itu oleh Tio Tay-peng, malahan daya serangannya pada jurus lempar pedang itu jauh lebih lihay daripada 49
jurus semula, ditambah lagi "cepat", maka segala kelemahannya jadi tertutup semua oleh jurus serangan maut ini.
Lima tahun Peng-say belajar pedang bersama Tio Taypeng. ke-49 jurus Pedang Kiri itu hanya dilatihnya selama setahun, empat tahun yang lain justeru digunakan untuk
berlatih ketiga jurus serangan ganda tersebut.
Tentu saja Liok Pek tidak pernah menyangka, serangan
ke-50 bisa berubah menjadi dua pedang sekaligus, hampir
saja leher Liok Pek tertembus oleh pedang yang
dilemparkan Peng say itu, untung pengalamannya sangat
luas, hatinya tabah, reaksinya cepat, sedapatnya ia
menangkis. "Krek", kini Liok Pek juga merasakan betapa kuat tenaga dalam lawan. pedang sendiri tergetar patah,
bahkan tangan kesakitan,
Dengan tangan pegal linu sudah tentu tidak mampu
menggunakan Tay-jiu-in andalannya, kalau jurus serangan
Peng-say yang lain menyusul tiba, jelas jiwanya pasti
melayang. Keruan Liok Pek ketakutan setengah mati ketika
gabungan dua pedang menyambar tiba, tiada jalan lain
baginya kecuali memejamkan mata dan menanti ajal.
Untunglah pada saat itu juga Ting Tiong turun tangan
menolongnya. Ting Tiong juga menyadari kemampuannya
yang terbatas, kekuatannya tidak banyak lebih tinggi dari pada sang Sute, jelas tidak dapat mematahkan serangan
Peng-say, jalan satu2nya adalah menangkis sekuatnya dan
pedang patah agaknya sukar terhindar.
Tapi kalau pedang sendiri juga tergetar patah, lalu siapa lagi yang akan menolongnya" Anak murid Say-koan yang
hadir di situ tiada seorangpun yang berkemampuan seperti dirinya untuk menolong Sutenya.
Namun keadaan sudah mendesak dan tidak memungkinkan dia banyak berpikir, terpaksa ia tangkis
serangan musuh sekuatnya.
Apakah tindakan Ting Tiong yang tidak memikirkan
keselamatan sendiri demi menolong jiwa sang Sute ini
memang luhur budi dan setia kawan" Tidak, sama sekali
tidak. Setia kawan dan budi luhur segala tidak laku
sepeserpun baginya. Sebabnya dia mau bertindak sudah
barang tentu telah disiapkan langkah berikutnya yang tidak membahayakan jiwanya.
Begitu dia melompat maju dan pedang di tangan kanan
ditangkiskan, secepat itu pula tangan kirinya telah meraih salah seorang murid Say-koan yang paling dekat. Ketika
pedangnya tergetar patah, berbareng murid Say-koan itupun disodorkan kedepan.
Maka terdengarlah suara jeritan ngeri, gabungan pedang
Peng-say pada jurus ketiga itu berhasil membinasakan
seorang dengan membelah tubuhnya menjadi dua. Korban
itu dengan sendirinya bukan Ting Tiong melainkan murid
Say-koan yang dijadikan setan pengganti atau tumbal itu.
Dalam pada itu Ting Tiong juga sudah menyelinap
keluar dari kurungan cahaya pedang lawan dan berdiri
berjajar dengan Liok Pek.
Gerakan Ting Tiong yang menangkis, meraih orang dan
menggunakannya sebagai perisai, beberapa tindakan itu
dilaksanakannya hampir pada saat yang sama. Ketika
korbannya sudah jatuh barulah Peng-say tahu telah salah
membunuh sasarannya.
Gemas dan menyesal Peng-say, tapi iapun tidak
mendesak maju lagi, sebab untuk bisa menyerang dia harus mulai main pula dari jurus permulaan. Segera iapun
melompat ke samping Peng-lam.
Sementara itu pedang kedua yang digunakan membunuh
itu sudah dimasukkan kembali ke sarungnya, hanya pedang
pertama yang berantai halus itu masih terhunus. Dengan
tenang dan mantap ia berdiri menjaga di samping Peng-lam untuk menghadapi segala kemungkinan.
Karena seorang kawannya terbunuh oleh Peng-say, anak
murid Say-koan yang lain tentu saja sangat marah dan
sedih, tapi tiada seorang pun yang mencari anak muda itu untuk menuntut balas. Yang mereka sedihkan justeru
adalah paman guru sendiri yang tidak menghargai jiwa
mereka dan dijadikan korban seenaknya. Hanya saja rasa
gusar mereka itu tidak berani dikemukakan secara
terang2an. Namun sikap diam itu sudah cukup membikin risi Ting
Tiong, ia cukup mafhum perasaan anak buahnya itu, demi
untuk mempertahankan gengsi sebagai orang tua, ia pura2
meratapi yang mati: "O, Tik-hiantit yang malang,
mangkatlah kau dengan tenang. Supek dan Suhumu pasti
akan menuntut balas bagimu agar kematianmu tidak sia2."
Namun anak murid Say-koan itu rata2 berumur di atas
likuran, mereka bukan anak kecil lagi, mana bisa dibohongi oleh beberapa kalimat itu, sebaliknya mereka malah merasa muak dan semakin benci terhadap pribadi Ting Tiong,
malahan beberapa orang di antaranya lantas melengos ke
arah lain, se-akan2 tidak sudi memandang cecongor Ting
Tiong. Melihat itu Ting Tiong menyadari gelagat tidak enak,
cepat ia ganti haluan, ia menghela napas dan berkata: "Ya, kutahu kalian tentu tidak senang terhadap tindakanku tadi.
Tapi kalian harus tahu, demi menolong gurunya terpaksa
kukorbankan Tik-hiantit. sang guru ada kesulitan, murid
kan wajib mewakilinya?"
Sebagian murid Say-koan mulai manggut2 dan dapat
menerima alasan Ting Tiong itu. Tapi ada sebagian yang
tetap tidak sependapat. Guru ada kesulitan memang murid
wajib membantu. Tapi Tik Siu yang dikorbankan itu
dipaksa secara mendadak dan bukan timbul dari
kehendaknya yang sukarela.
Bagi Liok Pek sendiri, kematian seorang murid tidaklah
dirasakan sayang olehnya, tapi iapun tidak berterima kasih kepada Ting Tiong. Ia pikir kenapa tidak kau korbankan
muridmu sendiri, demi menyelamatkan aku apa mesti
mengorbankan jiwa muridku pula"
Karena muridnya terbunuh, betapapun Liok Pek harus
memperlihatkan duka-citanya, segera ia menanggalkan
jubahnya, dengan wajah sedih ia menutupi mayat Tik Siu
dengan jubahnya, ucapnya dengan suara pelahan; "Anak Siu, biarpun gurumu harus mati juga akan kubalaskan sakit hatimu. . ."
Pada waktu dan tempat begini. ucapan Liok Pek ini
sangat mengharukan, setiap murid Liok Pek sama
merasakan gurunya sendiri benar2 seorang tua yang welas
asih dan sayang terhadap muridnya. Mereka menjadi
terhibur dan berterima kasih.
Seorang murid yang emosi segera tampil kemuka dan
berteriak: "Suhu, ada urusan apa biar Tecu yang maju. biar murid yang menuntut balas bagi Sute!"
Tapi Liok Pek menggeleng, katanya; "Tidak, aku tidak boleh kehilangan muridku yang lain lagi. Hayo, Ji-suko,
kita maju bersama!"
Ting Tiong mengahgguk dan berseru: "Betul. untuk
membalas sakit hati Tik-hiantit, kita tidak perlu lagi bicara peraturan satu-lawan-satu dengan bocah itu,"
Kedua orang saling pandang sekejap dengan tahu-samatahu, lalu secara terang2an mereka lantas melangkah maju dan menantang seorang anak muda.
Sudah tentu sandiwara yang dimainkan Ting Tiong dan
Liok Pek itu disaksikan dengan jelas oleh Peng-say, diam2
ia merasa geli dan tambah gemas terhadap kedua manusia
munafik itu. Ia angkat pedangnya dan mendengus: "Pedang kalian sudah patah, kenapa tidak kalian pinjam pedang
anak muridmu"!"
Tanpa malu2 Ting Tiong menjawab: "Untuk membereskan anak kecil macam kau masa perlu pakai
pedang" Hm, memangnya kau ini bisa menandingi aku"!"
Liok Pek tidak mau ketinggalan, iapun berkata dengan
tertawa: "Kalau kami pun menggunakan pedang tidakkah hal ini akan merusak nama baik kami menjadi kaum tua"
Biarlah kau rasakan betapa kerasnya telapak tangan kami."
"Hm, kaum tua yang hebat, gabungan dua orang yang
lihay:" ejek Peng-say.
"Justeru lantaran maju dua orang, maka tidak enak kami memakai pedang," jawab Liok Pek dengan tak tahu malu.
"Jika demikian, rupanya kalian masih punya rasa malu, maka aku tidak sungkan lagi, awas serangan!" teriak Peng-say dengan mendongkol. Ia pikir dua orang tua mengerubut seorang muda, biarpun kubunuh mereka juga tidak dapat
disalahkan. Ia mengira ada harapan untuk membalas dendam. Ia
tidak tahu bahwa tanpa bersenjata Ting Tiong dan Liok Pek justeru lebih lihay, ilmu pukulan justeru adalah Kungfu
andalan mereka.
Karena harus menghadapi kerubutan dua orang, ke-49
jurus Pedang Kiri Siang-liu-kiam-hoat sudah habis
dimainkan dan tidak membawa hasil apa2, tiga jurus
pedang ganda juga dapat dielakkan Ting Tiong berdua
dengan baik. Maka Peng-say menjadi gugup dan tak sabar
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Dia mengulangi lagi hingga dua kali permainan ke-49
jurus Pedang Kiri ditambah tiga jurus pedang ganda ciptaan Tio Tay-peng sendiri dan tetap tiada tanda2 akan menang.
Melihat anak muda itu tidak memiliki kepandaian lain,
Ting Tiong dan Liok Pek saling pandang sekejap dengan
senang. Mulailah mereka melancarkan "perang urat syaraf".
Ting Tiong berkata: "Sute, boleh kau istirahat dulu, sendirian aku pun mampu membereskan dia."
"Tidak, sepantasnya Suheng yang harus istirahat.
menyembelih ayam masa perlu pakai parang" Biarkan
Sutemu ini yang membereskan dia sekalian membalas sakit
hati anak Sin." kata liok Pek dengan tertawa,
"Ya, benar juga." jawab Ting Tiong. "Baiklah aku akan mundur dulu."
Dia bilang mau mundur dulu, tapi ternyata tidak
mundur, sebab ia tahu sampai saat ini mereka berdua tiada seorangpun yang yakin dapat melayani ketiga jurus
serangan pedang ganda Sau Peng-say itu.
"Wah, boleh juga semangat Suheng," ujar Liok Pek.
"Baiklah, silakan Suheng membalaskan sakit hati anak Siu, cuma untuk merobohkan bocah ini. kukira Suheng cukup
menggunakan satu tangan saja. bila dua tangan digunakan
sekaligus kan terlalu menghargai dia."
"Baiklah, boleh kau menyingkir dan saksikan kubinasakan dia dengan sebelah tanganku," kata Ting Tiong.
"Baik. aku akan menyingkir kata Liok Pek.
Walaupun di mulut berkata begitu. tapi tiada tanda2 ia
bergeser mundur.
"Eh. apa yang kau beratkan, kenapa tidak mundur."
tanya Ting Tiong pula.
"Setelah kupikir dan kutimbang, kuputuskan akan lebih baik aku sendiri yang membunuh dia." ujar Liok Pek.
"Oo, betul juga. betapapun anak Siu adalah muridmu
sendiri, tentunya kau tidak rela bila tidak kau bunuh dia dengan tanganmu sendiri."
"Ai, Suheng benar2 orang yang paham isi hatiku.
"Sesungguhnya Kungfumu tidak lebih lemah daripadaku, kalau sebelah tangan dapat kubinasakan dia, satu tangan
kau pun dapat mengirim dia ke-akhirat."
"Ya; nungkin. akan kucoba!" kata Liok Pek. 'Jika demikian,
aku akan mundur untuk menonton pertunjukkanmu!" ucap Ting Tiong dengan tertawa.
Setelah mengikuti ocehan kedua orang yang menyatakan
akan mundur salah satu itu, tapi kenyataannya tiada
satupun yang bergerak, tahulah Peng-say kedua orang itu
sengaja hendak membikin kheki padanya. Maka diam2 ia
memberitahukan dirinya sendiri agar sabar dan sabar lagi.
Akan tetapi, dasar darah muda, makin didengar makin
dongkol dan makin gemas, akhirnya ia tidak tahan dan
mendadak membentak: "Bangsat! Mau enyah lekas enyah!"
Karena teriakan yang penuh emosi ini. permainan
pedangnya menjadi agak kacau. Kesempatan itu tidak disia2kan Ting Tiong. sebab memang inilah yang dia tunggu.
Kontan telapak tangannya menghantam batang pedang
Peng-say. Setelah mendapat saluran tenaga dalam Sau Ceng-hong.
kekuatan Peng-say sekarang sudah jauh diatas Ting Tiong
berdua, dengan sendirinya ia dapat memegang erat2
pedangnya dan tidak tergetar lepas.
Tapi lantaran gangguan ini, gerak pedangnya merandek
beberapa detik. hal ini mungkin tidak besar artinya bagi orang lain, tapi bagi Liok Pek sungguh merupakan suatu
peluang yang amat berarti. Secepat kilat ia melancarkan
pukulan Tay-jiu-in. "plak", dengan tepat pundak Peng-say kena dihantamnya.
Peng-say sama sekali tidak ber-jaga2 dan juga tidak
sempat menghindar, dengan tepat pundak kiri kena
hantaman itu, seketika merasa seperti kena aliran listrik.
pedang lantas terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai.
Menyadari keadaannya sudah kalah, jiwanya terancam
bahaya, untuk mencari kemenangan dalam terdesak begitu
sudah tidak ada kesempatan lagi, kalau jiwa bisa
dipertahankan sudah untung. Maka sekuatnya ia mengerahkan tenaga sakti pelindung badan dan siap
menerima pukulan musuh.
Rada melengak juga Liok Pek ketika pukulannya yang
dahsyat tadi tidak merobohkan Peng-say, segera pukulan
tangan lain menyusul lagi. Dalam pada itu Ting Tiong juga tidak ayal, sekuat tenaga ia pun menghantam.
Begitulah, gabungan tenaga pukulan kedua tokoh Saykoan itu berbareng hinggap di punggung Peng-say.
Betapa hebatnya tenaga Tay-jiu-in, apalagi latihan Ting
tiong dan Liok Pek sudah mencapai tingkatan yang
mendekati sempurna, sembarang hantam saja dapat
menghancurkan pilar batu, apalagi sekarang mereka
menghantam sepenuh tenaga dan berbareng menyerang
satu sasaran yang sama.
"blang!! tanpa ampun tubuh Peng-say mencelat, bersuara sedikit saja tidak sempat dan kepalanya terus menumbuk
dinding papan pemisah yang terletak di sebelah sana.
"Blus", seperti batu menimpuk tahu, kepala Peng-say ambles kedalam papan dinding, hanya tertinggal pundak
dan badan bagian bawah yang bergelantung di sebelah sini, lalu tidak bergerak lagi.
Dapat menghabisi seorang anak muda yang tangguh.
cukup senang bagi Ting Tiong dan Liok Pek. mereka saling pandang dengan tertawa ter-bahak2 gembiranya luar biasa.
Segera Ting Tiong membual: "Huh, bocah ini tidak
tahan sekali pukul saja!"
"Memang, hanya sekali pukul dengan pelahan segera
Suheng mengirim dia menghadap Giam-lo-ong (raja
akhirat)," tukas Liok Pek.
Ting Tiong menggeleng dan berkata pula: 'Kalau tahu
bocah ini sedemikian tak becus, mestinya kita tidak perlu maju bersama, sekarang dia mati dengan cemerlang, tapi
nama kita yang rusak."
"Ah, ini kan bukan pertandingan secara resmi, tapi
tujuan Suheng adalah untuk menuntut balas anak Sui," kata Liok Pek. "Kalau bertanding sungguh. cukup Ting-tat atau salah seorang lain juga mampu mengantar dia ke akhirat."
"Apakah pukulanmu yang terakhir tadi tidak tepat
mengenai dia?" tanya Ting Tiong.
"Kulihat Suheng sudah melancarkan pukulan, maka
pada waktu yang tepat kutahan tenaga pukulan supaya
tidak ditertawai orang lain bahwa berdua membunuh
seorang anak muda," ujar Ting Tiong lantas menegur
satu2nya tamu yang masih makan minum disitu: "Eh,
apakah saudara ini mendengar ucapan Suteku?"
"Dengar!" jawab orang itu dengan suara lantang tanpa menoleh.
"Dengar apa?" tanya Liok Pek.
"Bahwa Ting Tiong dari Say-koan seorang diri telah
membinasakan seorang pengganas berpedang. seorang anak
muda Lam-han yang tidak tahu tebalnya bumi dan
tingginya langit," kata orang itu.
"Hahahaha! Ucapan saudara ini benar2 adil." seru Ting Tiong dengan ter-bahak2.
Tamu itu pun bergelak tertawa, katanya: "Orang yang bisa melihat gelagat adalah ksatria terpuji. Dalam keadaan dan tempat begini masa aku berani bicara secara tidak adil?"
"Ehm, bagus, Anda telah kuanggap sebagai sahabat,"
kata Ting Tiong mengangguk.
"Ah, mana berani kuharapkan bersahabat dengan tokoh2
Say-koan"!" jengek orang itu.
Mendadak Liok Pek membentak; "Angkat kepalamu bila
sedang bicara!"
Tapi orang itu menuang arak di cawan sendiri tanpa
menghiraukan gertakan Liong Pek.
"Sesungguhnya siapa kau?" bentak Liok Pek pula.
Orang itu tetap tidak mengubris.
Liok Pek menjadi gusar dan segera hendak maju untuk
melabraknya. Tapi Ting Tiong keburu menahannya,
katanya dengan tertawa: "Sute, sahabat ini cukup baik, tak apalah jika dia tidak sudi memberitahukan namanya."
Liok Pek mendengus, katanya dengan dengan mengancam. "Ingat sahabat, ucapanmu tadi bahwa seorang kastria harus bisa melihat gelagat tidak boleh kau lupakan.
Kalau tidak, hehe, akibatnya tahu sendiri!"
Tiba2 tamu itu angkat cawannya yang penuh berisi arak
dan dituang kesana sambil berucap dengan nada berdoa:
"Anak muda, bilamana arwahmu tahu. terimalah arak ini sebagai penghormatanku!"
Tempat tubuh Peng-say bergelantung sana berjarak duatiga tumbak dari tempat duduk orang itu, tapi arak yang
dituangkan itu setetespun tidak tercecer. tapi seperti anak panah saja terpancar dari dalam cawan dan langsung
menembus papan dinding dan tepat menyiram diatas kepala
anak muda itu. Tenaga dalam yang diperlihatkan orang ini membuat
Ting Tiong dan Liok Pek terkesiap, sungguh mereka tidak
menyangka orang yang tidak menyolok ini ternyata juga
orang kosen dunia persilatan.
Terdengar dia berkata pula: "Sendirian kau melawan dua tokoh Say-koan, biar mati kaupun tidak perlu penasaran,
bahkan harus merasa bangga!"
Seketika Ting Tiong berdua menarik muka.
Namun orang itu terus menyambung pula: "Sebenarnya
ada maksudku akan menyiarkan keperkasaanmu ini, cuma
sayang aku hanya sendirian. biar kusebarkan kejadian ini juga tidak ada yang mau percaya anak semuda kau ini
mampu melawan dua tokoh terkemuka Say-koan" Kalau
propagandaku toh tak berguna maka lebih baik tidak
kusiarkan saja, hendaklah kau maklum dan jangan marah."
Dia seperti bicara pada dirinya sendiri, tapi ucapannya
itu sama seperti berkata kepada pihak lawan bahwa dia
tidak menyiarkan kejadian itu bukan lantaran dia takut
urusan. "Haha. betul, betul," seru Ting Tiong dengan tertawa.
"Sute, hayolah kita pergi."
Liok Pek juga tidak berani lagi merecoki orang yang
tampaknya pasti tidak lebih lemah daripada dirinya itu.
iapun tertawa dan menyatakan setuju untuk pergi.
"Ting-tat, coba kau persen sekali tamparan kepada Sau Peng-lam yang kurang ajar itu!" seru Ting Tiong.
Saat itu Peng-lam sudah dapat bangun berduduk, tapi
kedua lengannya masih kaku pegal sehingga dia tidak dapat melawan, dengan telak mukanya kena digampar dengan
keras oleh Su Ting-tat.
"Nah, orang gila, bila lain kali kepergok lagi gembar-gembor, tentu akan kuhajar kau lebih berat!" seru Ting Tiong dengan tertawa.
Sesudah orang2 Say-koan pergi seluruhnya, mendadak
Peng-lam berteriak dengan kalap: "Terbunuhnya segenap anggota keluarga Soh-hok-han, Ting Tiong pelakunya!"
Bisa jadi Ting Tiong masih sempat mendengar teriakan
itu, mungkin juga sudah pergi jauh dan tidak mendengarnya. Tapi dengar atau tidak dia takkan lagi membunuh Sau
Peng-lam, sebab Sau Peng-lam akan dibiarkan menyiarkan
cerita itu sesukanya dan pihaknya akan melakukan anti
propaganda, manfaat yang akan ditariknya tentu jauh lebih besar daripada membunuh Sau Peng-lam. Apalagi,
seumpama sekarang ia hendak membunuhnya juga sudah
terlambat. Pada saat itulah si tamu tadi telah berdiri dan
menanggalkan topinya, maka terlihatlah pada dahi
kanannya ada toh hijau berbulu, itulah ciri atau tanda
pengenal khas "Ban-li-tok-heng" Thio Yan-coan yang paling gemar main perempuan itu.
Dia meng-geleng2 kepala, lalu mendekati Peng-lam. Tapi
mendadak ia bersuara heran. Yang didekatinya adalah Sau
Peng-say, dipegangnya kaki Peng-say yang baru saja
bergerak sedikit itu terus ditarik,
"Krek", papan dinding retak dan kepala Peng-say dapat ditarik keluar oleh Thio Yan-coan. Peng-say meng-geleng2kan kepalanya yang pusing tujuh keliling itu, lalu bangun berduduk.
"He, kau tidak mati ?" tegur Thio Yan-coan dengan heran.
Sesudah jernih pikirannya, Peng-say bertanya: "Kemana perginya kedua bangsat tadi?"
Thio Yan coan tidak menggubrisnya, ia manggut2
sendiri dan berguman, "Tampaknya Liok Pek benar2
menahan tenaga pukulannya dan pukulan Ting Tiong juga
tidak terlalu keras."
"Kau bilang apa?" tanya Peng-say.
Tapi Thio Yan-coan hanya melotot padanya tanpa
menggubris, lalu mendekati Peng-lam.
Peng-say lantas melompat bangun. tertampaklah dua
cabik kain rontok dari punggungnya, setiap cabik kain itu berbentuk telapak tangan. Kalau sekarang Ting Tiong dan
Liok Pek disuruh menjulurkan tangannya, tentu potongan
kain ini berukuran persis seperti telapak tangan mereka.
Sekali pukul dapat meninggalkan bekas pukulannya pada
kain baju, suatu tanda betapa hehat dan keji tenaga pukulan mereka itu.
Akan tetapi betapa hebat tenaga pukulan mereka tetap
tidak lebih unggul daripada "Ci he-kang" yang terkenal sebagai
rajanya Lwekang. Tadi Peng-say sempat mengerahkan tenaga dalam tepat pada waktunya untuk
melindungi tubuh yang kena digenjot oleh Ting Tiong dan
Liok Pek, walaupun Tay-jiu-in kedua tokoh Say-koan itu
tepat mehgenai punggungnya, namun tidak sampai
membuatnya cedera, hanya kain bajunya saja yang rusak.
Sebabnya dia tidak bergerak lagi setelah menumbuk
dinding seperti orang mati adalah karena kepalanya tergetar cukup keras dan pingsan.
Mestinya dia belum waktunya siuman kembali,
kebetulan arak yang disiramkan Thio Yan-con itu tepat
mengguyur kepalanya sehingga dia segera sadar kebanyakan kaki bergerak lebih dulu. Sebab itulah Thio
Yan-coan bersuara heran ketika melihat kaki Peng-say
bergerak, padahal sebelumnya dia mengira anak muda itu
sudah mati. Thio Yan-coan lantas mendekati Peng-lam, tegurnya
dengan tertawa: "Sau-heng, masih kenal orang she Thio tidak?"
Dengan linglung Peng-lam menggeleng dan menjawab:
"Tidak, tak pernah kulihat kau."
"Di mana Gi-lim?" tanya Thio Yan-coan pula.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gi-lim" ....." Peng-lam mengulang nama itu dengan bingung. Setelah dipikir lagi dan tidak tahu sebutan itu mewakili apa, lalu ia tanya pula: "Apakah Gi-lim itu nama orang?"
Dengan mendongkol Thio Yan-coan terus menamparnya, bentaknya dengan gusar: "Tidak perlu
berlagak pilon didepanku! Dimana Gi-lim?"
Peng-lam tidak mengelak dan juga tidak balas memukul,
ia berguman sendiri: "Dimana Gi-lim" Gi-lim .... Gi-lim?"
"Lekas katakan!" bentak Thio Yan-coan pula.
"Aku .... aku tidak tahu."
"Tidak tahu juga harus tahu!" bentak Thio Yan-coan lagi dengan gemas. "Waktu Gi-lim datang ke Kun-giok-ih kan bersama dengan kau. Sekarang dia menghilang, Ting-yat
Suthay tahunya bersama diriku dan minta kukembalikan
murid kesayangannya itu. Terpaksa kutanya padamu, tidak
nanti kau tidak tahu. Nah. lekas katakan padaku agar dapat kukembalikan mestika itu kepada gurunya."
"Mestika" Oo, Gi-lim itu benda mestika?" tanya Peng-lam pula dengan bingung.
Sampai berjingkrak Thio Yan-coan saking gemasnya, ia
mendamperat: "Bedebah, tidak kupukul kau lagi tentu kau akan terus main gila padaku!" " Berbareng tangannya terus bekerja, menampar ke kiri dan menggampar ke kanan.
"Berhenti!" bentak Peng-say tiba2,
"Eh, anak muda, kau juga akan ikut campur urusanku?"
tanya Thio Yan-coan dengan tertawa sambil menoleh.
"Tidak boleh kau pukul Toa-sukoku!"
"Justeru akan kuhajar dia," kata Thio Yan-coan.
Segera Peng-say melolos pedangnya.
Thio Yan-coan menengadah dan bergelak tertawa.
katanya: "Hal lain tidak ada yang kukagumi atas dirimu, hanya kukagumi kepalamu sangat keras, apakah kau ingin
menumbuk dinding lagi?"'
Sembari berkata ia memandang sejenak ke arah papan
dinding yang berlubang itu dengan air muka mencemoohkan. Baru sekarang Peng-say melihat jelas toh hijau dan
berbulu itu di dahi Thio Yan-coan. teringat pula orang
mengaku she Thio, segera ia tahu siapa yang sedang
dihadapinya, mendadak ia berludah ke lantai dan berkata:
"Cis, kiranya kau ini si maling cabul Thio Yan-coan."
Thio Yan-coan paling benci bila orang memaki dia
sebagai "maling cabul", hal ini seperti orang buta yang
pantang dimaki buta dan orang pincang pantang dimaki
pincang. Dengan murka ia lantas melolos golok dan
berkata: "Kau tidak mati di bawah pedang orang Say-koan, barang kali kau ingin dimampuskan dengan golok kilatku!"
Habis berkata. "sret", segera pedangnya menabas. Cepat Peng-say menangkis dengan pedangnya-Karena sudah menyaksikan pedang Peng-say menggetar
patah pedang Ting Tiong berdua tadi, Thio Yan-coan tidak berani beradu senjata dengan dia, cepat ia menarik kembali goloknya dan "sret-sret", kembali ia menabas ke atas dan ke bawah.
Peng-say merasa serangan orang terlalu cepat dan Sukar
untuk ditangkis satu persatu, terpaksa ia mainkan ke-49
jurus ilmu Ped-ng Kiri untuk bertahan dan balas
menyerang. Thio Yan-coan masih terus menyerang, katanya sambil
menggeleng: "Aneh, kenapa ilmu pedang yang kau mainkan pulang-pergi sejak tadi melulu ilmu pedang tembakau
begini. Apakah kau tidak pernah belajar ilmu pedang lain?"
Dengan suara keras Peng-say menjawab: "Ya-, kalau
mampu boleh kau coba mematahkan ilmu pedangku yang
tembakau ini!"
"Apa sulitnya?" ujar Thio Yan-coan. "sret", secepat kilat ia menabas satu kali, yang digunakan adalah salah satu
jurus "Pi-hong-cap-sah-to" atau tiga-belas golok kilat secepat angin.
Akan tetapi aneh juga, betapa cepat serangannya dan
betapa lihay goloknya, tetap tidak dapat melukai Pang-say.
Menyusul Thio Yan-coan menyerang lagi tiga-empat kali
dan tetap tidak membawa hasil.
Diam2 Thio Yan-coan merasa heran: "Aneh, mengapa
golok-kilatku yang sekali tabas dapat melukai Te-coat Tojin, sekarang malah tidak mampu mengalahkan anak muda
ini?" Ia coba mengamat-amati ilmu pedang lawan, dilihatnya
serangan Peng-say tidak terlalu tajam, tapi pertahanannya sangat rapat, sedikitpun tidak ada peluang. Pantas Ting
Tiong dan Liok Pek tidak dapat mengalahkannya bila tidak menggunakan akal bulus dengan mengoceh ke timur dan ke
barat untuk memencarkaan perhatian Peng-say.
Tapi Thio Yan-coan tetap tidak percaya kepada
kemampuan lawan, dengan sombong ia berkata: "Terhitung mulai sekarang, bilamana dalam tujuh jurus tidak kulukai kau, seketika aku akan berhenti bertempur dan membiarkan diriku ditabas olehmu!"
Baru habis ucapannya, segera goloknya membacok ke
kanan dan menabas ke kiri, menyabet keatas dan menimpa
kebawah. Gaya serangannya yang aneh dan lihay ini, kalau saja lawannya tidak memainkan Pedang Kiri dari Siang-liu-kiam-hoat, mungkin sepuluh orang Sau Peng-say juga
sudah dihabisi.
Pedang Peng-say yang satu tadi terjatuh dan belum
sempat dijemput kembali, kalau tidak. dengan tiga jurus
pedang ganda mungkin akan dapat msngatasi serangan
Thio Yan-coan itu.
Mendadak Thio Yan-coan membentak: "Awas, inilah
jurus kelima!"
Begitu habis ucapannya, "sret",
cahaya golok menyambar tiba hingga menyilaukan mata Peng-say,
"trang", tahu2 pergelangan tangannya terketuk punggung golok, sakitnya merasuk tulang, pedangnya terlepas dan
jatuh ke lantai.
"Nah, bagaimana?" tanya Thio Yan-coan dengan tertawa sambil menarik kembali goloknya.
Peng-say memegangi luka tangannya dengan termangu2, tampaknya sangat kecewa dan putus asa.
Thio Yan-coan menggeleng kepala, katanya: "Jika kau bukan Sutenya Sau Peng-lam, kau kira tanganmu dapat kau
pertahankan?"
Dia pandang lengan kanan Peng-say yang disisipkan di
ikat pinggang, lalu berkata pula: "Kau cuma mahir
menggunakan Pedang Kiri, tangan kanan tidak pernah
dipakai, sama saja seperti sampah. Hehe, kalau tidak timbul pikiran kasihanku, jangan harap lagi kau akan dapat
menggunakan pedang."
Habis berkata, mendadak ia membalik tubuh dan
goloknya terus menusuk.
Peng-say terkejut dan berteriak: "Jangan!"
Kontan Peng-lam yang berada dibelakang Thio Yancoan itu roboh terjungkal. Tapi Peng-say tahu sang Toako hanya Hiat-to saja tertutuk oleh ujung pedang, tenteramlah hatinya.
Segera Thio Yan-coan mendekati Sau Peng-lam dan
mengempitnya dengan sebelah tangan, katanya: "Toasukomu saja tidak mampu menghindarkan sejurus golokku,
tapi kau mampu menghindarkan sepuluh jurus, baru jurus
ke-11 dapat kurobohkan. Untuk ini boleh kau berbangga
diri." Ia melangkah pergi, setiba di ujung tangga, kembali ia
berpaling dan menambahkan: "Tapi persoalannya perlu diulang kembali, di jaman ini, ada berapa orang yang
mampu menghindarkan seluruh ke-13 jurus golokku?"
Habis berkata bergelak tertawalah dia.
"Toa-sukoku hendak kau bawa kemana?" tanya Pengsay.
"Jago yang sudah keok di tanganku tidak sesuai untuk bertanya-jawab padaku!" kata Thio Yan-coan dengan
angkuh. "Kau kan ingin tahu kemana perginya Gi-lim?"
"Sudah tahu untuk apa tanya?"
"Tidakkah kau dengar sendiri pembicaraan kedua
bangsat Say-koan tadi?" kata Peng-say.
Waktu bicara tadi antara Ting Tiong dan Liok Pek
digunakan ilmu "Toan-im-jip-bit," yaitu sejenis ilmu galombang
suara, orang lain tidak dapat ikut mendengarkan, namun Lwekang Peng-say sekarang sudah
lain daripada orang lain, maka dia dapat mengikutinya
dengan jelas. Thio Yan-coan tadi asyik minum arak, dia cuma melihat
bibir Ting Tiong berdua ber-gerak2 dan tidak tahu apa yang dibicarakan mereka.
Dengan sendirinya ia tidak tahu sampai dimana
kemampuan Peng-say, ia pikir kalau aku tidak mendengar,
apa pula yang dapat kau dengar"
Segera ia mendengus: "Hm, mereka sembarangan
mengoceh, masa dapat dipercaya." " Nyata ucapannya ini berlagak se-olah2 dapat mendengar pembicaraan Liok Pek
tadi. "Tapi kata2 mereka memang tidak salah," tutur Peng-say. "Gi-lim memang benar2 sudah mati. Apa gunanya kau tawan Toa-sukoku. dia kurang waras, otaknya sudah rusak, tiada sesuatu keterangan yang dapat kau korek dari dia."
Karena sudah berlagak serba tahu, terpaksa Thio Yancoan pura2 lagi, ia mendamperat: "Ah, kau bocah ini juga suka ngaco-belo seperti mereka!"
"Tapi aku berani bersumpah, aku tidak berdusta," seru Peng-say. "Harap kau bebaskan Toa-sukoku, segera akan kuceritakan sejelasnya tentang bagaimana matinya Gi-lim."
"Bila Gi-lim benar2 sudah mati, dari mulut Sau Peng-lam tentu dapat kuperoleh keterangan, tidak perlu kau banyak mulut!" bentak Thio Yan-coan.
Peng-say menjadi gugup, cepat ia berseru: "Akan tetapi, keadaan Toa-sukoku kan dapat kau-lihat sendiri, otaknya
memang benar sudah rusak."
"Hahaha! Jika benar rusak, tentu aku dapat mereparasinya nanti!" sambil bergelak tertawa segera ia hendak melangkah pergi.
"Lepaskan!"
bentak Peng-say mendadak, sebelah
tangannya terus mencengkeram.
"Hm, bisa apa kau?" tanpa menoleh golok Thio Yan-coan terus menyabet ke belakang, sehingga Peng-say
terpaksa melompat mundur.
-ooo0dw0ooo- Jilid 27 Secepat terbang Thio Yan-coan terus berlari turun. Pengsay tidak jera, kembali ia mengejar. diruang bawah masih banyak tamu, mereka melayang lewat diatas kepala orang
banyak, begitu sampai diluar, hanya sekejap saja mereka
lantas menghilang.
Biasanya Thio Yan-coan sangat bangga akan Ginkangnya, ia tidak percaya dirinya tidak mampu
melepaskan diri dari kuntitan seorang anak muda. Tanpa
berhenti dari dalam kota ia berlari keluar kota, ia yakin larinya sedemikian cepatnya sehingga sukar disusul oleh
sembarangan orang.
Tapi aneh juga, Peng-say masih tetap mengintil
dibelakangnya dalam jarak yang tidak semakin jauh. Dengan penasaran ia "tambah gas", sejenak kemudian ia melirik ke belakang. ternyata jaraknya bukannya tambah jauh, sebaliknya tambah dekat, malahan makin lama makin
dekat. Diam2 ia mendongkol. Ia sangka akhir2 ini dia terlalu
banyak menguras tenaga di sarang perempuan sehingga
badan keropos dan mempengaruhi kekuatan larinya. Ia
tidak menyadari bahwa karena dia membawa Sau Penglam, maka Ginkangnya mesti banyak terpotong.
Walau begitu sebenarnya Ginkangnya juga tidak di
bawah Sau Peng-say, soalnya Lwekangny tidak tahan lama
seperti anak muda itu. maklumlah, Ci-he-kang memang tak
dapat dibandingi Lwekang manapun juga. Apalagi Pengsay masih "gres", masih jejaka. bila berlari dalam jangka waktu panjang, akhirnya Thio Yan-coan bisa mati lelah,
sebaliknya tak menjadi soal bagi Peng-say.
Begitulah makin kejar makin dekat dan akhirnya
keduanya hampir lari berjajar. Sampai disini baru Thio
Yan-coan mengaku kalah. diam2 ia mengakui kelihayan
tenaga dalam anak muda itu. Mendadak ia berhenti. ia
melolos golok terus menabas tiga kali.
Karena tidak bersenjata dan tidak ber-jaga2. kontan
Peng-say terluka dan darah melumuri dada.
"Jika kau mengejar lagi, sekali bacok kupenggal
kepalamu!" ancam Thio Yan-coan dengan gregetan.
Betapapun jiwa harus diselamatkan, maka Peng-say
tidak berani mengejar lagi. Tapi ia berkata: "Jangan kau lukai Toa-sukoku!"
Thio Yan-coan berlari beberapa langkah lagi, lalu
berhenti dan menjawab: "Aku tidak mau menjamin. Bila dia terus berlagak linglung dan tetap tidak menjawab
pertanyaanku, kalau aku naik darah, bisa jadi akan kubedah batok kepalanya. akan kulihat dimana letak penyakit
otaknya." "Aku tidak bermusuhan apapun dengan kau, tapi kalau benar2 kau lakukan seperti apa yang kau- katakan, maka
permusuhan kita akan sedalam lautan!" kata Peng-say.
"Maksudmu kau akan menuntut balas bagi Toasukomu?" tanya Thio Yan-coan sambil mencibir.
"Ya, semoga kau tidak membunuh Toa-sukoku." jawab Peng-say.
"Tidak membunuhnya juga boleh, tapi sekarang juga kita bertanding disini," kata Thio Yan-coan. "Bila kau menang, aku berjanji takkan membunuhnya, bahkan segera
kubebaskan dia. Jika kau kalah, hehe, seketika juga
kubinasakan dia. Nah, bagaimana, mau coba?"
Dengan sendirinya Peng-say tidak berani coba2, untuk
apa coba2 kalau jelas pasti kalah. Maka ia menggeleng dan menjawab: "Tidak, kutahu bukan tandinganmu."
"Kalau tak dapat menandingiku, cara bagaimana kau
akan menuntut balas bagi Toa-sukomu?" tanya Thio Yan-coan dengan tertawa.
"Sekarang aku bukan tandinganmu, tapi pada suatu hari pasti dapat kukalahkan kau," ucap Peng-say dengan tegas.
"Kau yakin?"
"Ya, yakin sepenuhnva!"
"Jika begitu akan kutunggu pembalasanmu!" ujar Thio Yan-coan dengan bergelak tertawa.
"Tadi kau tidak membunuhku, budimu ini akan selalu
kuingat didalam hati, semoga kelak aku tidak sampai
membunuh kau."
Thio Yan-coan mengangguk, katanya: "Ehm, kau bocah
ini suka omong besar, tapi cukup punya Liangsim (hati
nurani yang baik)."
"Meski aku tidak ingin membunuh kau, tapi bila kau
bikin celaka jiwa Toa-sukoku, betapa pun budimu pasti
akan kulupakan dan akan kubunuh kau untuk membalas
sakit hati Toa-suko."
"Wah, bicara sejujurnya, bukan mustahil pada suatu hari kau bocah ini benar2 dapat membunuhku, rasanya sangat
berbahaya bila aku bermusuhan dengan kau. Boleh begini
saja, aku berjanji takkan membunuh Toa-sukomu."
"Jika begitu, lebih dulu aku berterima kasih," kata Peng-say sambil memberi hormat.
"Walaupun tidak kubunuh dia, tapi juga tidak
kubebaskan dia," sambung Thio Yan-coan pula.
"Maksudmu akan kau kekang kebebasan Toa-suko
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selama hidup?"
"Tidak sukar untuk memberi kebebasan padanya, untuk itu akan kutunggu kedatanganmu. Bila kau sudah mampu
menandingi ke-13 jurus golok kilatku, pada saat itu juga akan kuberi kebebasan padanya."
"Lelaki sejati! .. . ."
"Tak nanti ingkar janji!"
Sesudah mendapat janji Thio Yan-coan, tanpa bicara lagi
Peng-say lantas putar badan dan tinggal pergi.
Dengan mengulum senyum Thio Yan-coan menyaksikan
bayangan anak muda itu makin jauh dan akhirnya lenyap
dari pandangan.
"0O0"odwo"0O0"
Sengtoh, itulah nama ibukota propinsi Sujwan kotaraja
negeri Han pada jaman Sam-kok. "Kakeknya", "anak kura2", itulah umpatan orang Sujwan bila bicara.
Disuatu rumah minum yang paling laris di kota Sengtoh,
saat itu ada empat orang berduduk mengintari sebuah meja.
"Kakeknya, aku justeru tidak percaya kemahiran meniup seruling lonte busuk macam Liu Ju-si yang tersohor merdu itu. Hanya anak kura2 saja yang sudi membuang sepuluh
tahil perak hanya untuk mendengarkan satu lagu suara
serulingnya. Huh, kalau aku, biarpun sepicis saja aku tidak mau."
Yang bicara itu adalah satu diantara tetamu itu, dia she Ong, bertubuh pendek gemuk, terhitung langganan setia
rumah minum ini.
Rupanya dia penasaran ketika mendengar temannya
bercerita dan memuji Liu Ju-si, seorang bunga raya tingkat tinggi dan terkenal di Seng-toh ini, betapa mahirnya meniup seruling serta betapa dia membayar mahal barulah Liu Ju-si mau mempertunjukkan kepintarannya itu.
Temannya yang berbadan jangkung melotot. katanya:
"Ong gendut, kau tidak percaya, masih banyak orang lain yang percaya. Padahal barang siapa yang sudah pernah
mendengar suara serulingnya, tiada satupun yang tidak
memuji. Bulan yang lalu, dengan sepuluh tahil perak
akupun ikut mendengarkan seruling Liu Ju-si, sampai
sekarang, suara serulingnya yang merdu menggetar sukma
itu se-olah2 masih mengiang ditepi telinga! Kau sendiri
terlalu pelit, satu peser saja tidak buang percuma, paling2
kau hanya suka mendengar bunyi katak diwaktu hujan,
mana kau memenuhi syarat untuk menilai baik jeleknya
seruling orang?"
"Bukan soal berani bayar sepuluh tahil perak lantas tepuk dada seperti dirimu," jawab Ong gemuk dengan penasaran.
"Yang kumaksudkan, daripada buang2 waktu mendengarkan seruling Liu Ju-si, apalagi mesti bayar, lebih baik pergi saja ke-alun2 selatan sana."
Alun2 selatan yang dimaksudkan adalah sebuah tanah
lapang yang biasa dipakai berkumpul kaum kelana tukang
sunglap, pemain akrobat, penjual obat dan sebagainya.
"Ya, kutahu kau gemar menonton akrobat." kata si jangkung yang bernama Ciu Kay. "Memang disana banyak tontonan gratis."
"Tapi aku kesana bukan menonton akrobat melainkan
mendengarkan lagu seorang anak muda," tutur Ong gendut.
"Hari ini adalah hari terakhir, besok dia akan pindah lagi ketempat lain."
"Apakah lagu yang dibawakan anak muda itu dengan
seruling?" tiba2 seorang temannya yang lebih muda
bertanya, orang ini bernama Li Dong.
"Benar," jawab Ong gendut. "Mendengarkan serulingnya Liu Ju-si harus bayar. mendengarkan seruling anak muda
itu gratis, bahkan berani kukatakan, seruling anak muda itu berpuluh kali lebih enak didengar daripada Liu Ju-si."
"Ah, aku tidak percaya," kata Ciu Kay. "Jika benar dia mempunyai kepandaian begitu tinggi. kenapa dia mesti
mencari makan di-alun2."
"Dia main seruling bukan untuk mencari makan. tapi
cari isteri."
"Cari isteri"
Main seruling mencari isteri apa
maksudnya?" tanya orang keempat, seorang she Be.
"Meski dia memakai merek 'menjual lagu mencari isteri', tapi habis main dia tidak minta bayaran dari para
pendengarnya. Dia hanya minta para pendengarnya ikut
bantu mencarikan jejak isterinya yang hilang," tutur Ong gendut. "Katanya isterinya hilang pada setahun yang lalu, dunia seluas ini tentu sukar dicari, maka ia memohon
khalayak ramai suka membantunya."
"Khalayak ramai dapat membantunya dengan cara
bagaimana?" ujar orang she Be. "Sedangkan bentuk isterinya apakah bundar atau lonjong juga tidak seorangpun yang tahu."
"Dia melukis potret isterinya dan tertulis bernama 'Soat Koh'," tutur Ong gendut pula. "Ada nama ada gambar.
asalkan ada orang pernah melihatnya tentu akan
memberitahukan padanya dan sesuai petunjuk itu mungkin
isterinya akan dapat ditemukan."
Di meja sebelah sana masih ada seorang tamu anak
muda yang berdandan sebagai pelajar, mukanya putih
seperti berpupur. sambil minum sambil membaca. Melihat
mukanya yang cakap jika dia berganti pakaian perempuan
pasti akan jauh lebih cantik daripada perempuan asli.
Suseng atau pelajar itu tampaknya asyik membaca, tapi
kalau diperhatikan, jelas lebih sering dia pasang kuping
mendengarkan obrolan yang berlangsung diantara rombongan Ong gendut dimeja sebelah.
Ketika dia mendengar Ong gendut menyebut nama "Soat Koh", tanpa terasa kitab yang dipegangnya jatuh kelantai.
cepat2 kitab itu dijemputnya kembali.
Dalam pada itu terdengar si jangkung yang bernama Ciu
Kay sedang berkata: "Tapi aku tetap tidak percaya ada orang yang mahir meniup seruling melebihi Liu Ju-si."
"Kalau tidak percaya, hayolah ikut ke-alun2 sana dan coba mendengarkan sendiri," ajak Ong gendut dengan
tertawa. "Ah, ditempat ramai seperti alun2, kalau kecopetan, nah, baru tahu rasa," ujar Ciu Kay.
"Memangnya kau bawa berapa ratus tahil perak?" tanya Ong gendut dengan tertawa.
"Tidak pergi jauh, untuk apa membawa sangu banyak2.
Tapi kalau lima atau enam tahil selalu tersedia di saku,"
jawab Ciu Kay. "Jika begitu, berani kukatakan, biarpun uangmu itu nanti kecopetan juga tidak sia2 setelah kau dengar lagu yang
dibawakan anak muda di-alun2 sana."
Karena propaganda si gendut yang muluk2, akhirnya
teman yang lain jadi tertarik, serentak mereka menyatakan setuju pergi ke-alun2.
Setelah empat orang ini pergi. Suseng yang duduk dimeja
sebelah segera membayar dan ikut pergi juga. Diam2 ia
berpikir: "Jangan2 nama Soat Koh hanya secara kebetulan saja sama. Tapi ingin juga kudengarkan betapa menariknya lagu yang dibawakan seruling orang itu?"
--oOdwOo-- Ketika rombongan Ong gendut sampai di-alun2, suasana
tampak ramai sekali.
Aneka ragam pedagang sudah membuka dasar-an, ada
yang menjual alat2 keperluan se-hari2, ada yang menjual
pakaian jadi dan cita. tapi lebih banyak lagi tukang obat dan penjaja makanan, di sudut lain berkumpul lagi pemain
akrobat, tukang sunglap dan macam2 pertunjukan lain.
Suasana hiruk-pikuk dan ber-jubel2,
"Ramai begini dia main seruling, siapa yang mau
mendengarkan?" ujar orang she Be tadi.
"Betapa berisiknya juga tak dapat menutupi suara
serulingnya yang melengking tinggi dan nyaring itu, kalau tidak percaya, setiba disana kau akan tahu sendiri." kata Ong gendut dengan tertawa.
"Dimana pemain seruling itu?" tanya Ciu Kay dengan napas agak ter-engah2 karena berjalan sekian jauhnya.
"Itu dia. disana, di pojok sana!" kata Ong gendut sambil menuding ke depan. "Hayo cepat. seruling sudah disiapkan, hampir ditiupnya, bila penonton sudah berkerumun tentu
sukar lagi mendapat tempat."
Segera ia mendahului ber-lari2 anjing kesana. Sesudah
dekat, Ciu Kay melihat didepan anak muda pemain seruling itu memang betul terletak sebuah lukisan potret seorang
perempuan dengan raut muka daun sirih. mata besar
menyenangkan. Dibawah potret tertulis dua huruf "Soat Koh", lebih ke bawah lagi adalah judul yang berbunyi: "Mencari isteri", berikutnya adalah beberapa baris huruf kecil yang berbunyi:
"Isteriku Soat Koh terpencar sejak bulan lima tahun yang lalu, bilamana khalayak ramai ada yang tahu isteriku seperti
tertera pada potret ini diharap sudilah memberitahu agar kami suami-isteri dapat berkumpul kembali. terima kasih".
Hilangnya bulan lima, sekarang juga bulan lima, jadi
tepat setahun yang lalu.
Lalu di sampingnya terdapat pula satu baris huruf yang
berbunyi: "Pemain hanya ingin berkenalan dengan para penonton dan tidak terima pemberian apapun".
Sementara itu anak muda itu sudah selesai menggosok
serulingnya, dia sudah berduduk tegak. jari jemarinya mulai menekan lubang2 serulingnya, dia mencoba dua-tiga suara, lalu mulailah suara serulingnya bergema memecah angkasa.
Saat itu pertunjukan para pemain akrobat dan tukang
sulap di sebelah sana juga sedang mencapai klimaksnya.
Suara tambur dan bende bergemuruh diseling suara teriakan dan bentakan yang keras, namun suara apapun juga tidak
dapat mengatasi suara seruling yang mengalun merdu itu.
Setiap orang, baik yang berdiri mengelilingi anak muda
peniup seruling ini maupun yang sedang menonton sunglap
dan akrobat, semuanya mendengar suara seruling yang
menggetar kalbu, lama. . .dalam benak mereka hanya
berkecamuk suara seruling melulu dan se-akan2 tidak
terdengar lagi suara lain.
Suara tambur dan bende masih berbunyi, suara bentakan
dan teriakan juga masih bergemuruh, tapi yang didengar
telinga penonton2 itu hanya suara seruling saja yang merdu dan lambat-laun mempengaruhi pikiran mereka.
Penonton2 yang tadinya berkerumun disekeliling pemain
akrobat dan tukang sunglap itu mulai bergeser kesebelah
sini, tempat pemain seruling ini. Ditambah lagi orang yang baru datang juga tertarik oleh suara serulingnya, maka
dalam waktu singkat orang yang berkerumun bertambah
banyak dan ber-jubel2.
Melihat penontonnya sama bubar, dengan sendirinya
pemain akrobat dan tukang sunglap menjadi tidak
bersemangat lagi, tapi mereka tidak sirik terhadap si pemain seruling yang menganggu pencarian nafkah mereka, sebab
mereka sendiri pun ke sengsem oleh suara seruling yang
luar biasa itu, merekapun ikut berkerumun dan mendengarkan. Seketika hati setiap orang sama terpikat dan tiada yang
bersuara, semuanya
mendengarkan dengan cermat. Berpuluh meter di sekelilingnya yang tadinya ramai dengan orang yang berlalu lalang kinipun menjadi sepi nyenyak
seperti kuburan, hanya suara seruling yang masih terus
mengalun merdu membubung ke angkasa.
Dengar punya dengar, suara seruling itu mengingatkan
Ong gendut kepada isterinya yang baru mati tahun yang
lalu, sudah begitu nasib malang lain juga menimpa, dagang rugi, modal habis, teringat semua itu ia menjadi sangat
berduka. Sekarang rasa duka itupun timbul mendadak, tak
tertahan lagi air matanya berderai.
Li Dong, juga terkenang kepada kematian anaknya yang
paling kecil, anak perempuan, seluruhnya dia mempunyai
delapan anak lelaki, hanya anak perempuan kecil inilah
anak kesayangan. Karena kematian anak itu selama tiga
hari dia sembunyi didalam kamar, tidak makan dan tidak
minum. Sekarang rasa duka selama tiga hari itu serentak
timbul kembali, ia menjadi sedih sekali.
Melihat dua kawannya menangis, Ciu Kay coba
memperhatikan apakah temannya yang she Be itupun ikut
menangis atau tidak. Tapi sebelum si Be mencucurkan air
mata, ia sendiri jadi teringat lebih dulu bulan yang lalu
kecurian seribu tahil perak, padahal uang itu merupakan
hasil tabungannya untuk hari tua. tapi seluruhnya dikuras si maling. Keruan ia sangat sedih dan mencucurkan air mata.
Orang she Be itu belum kawin, dia mempunyai gundik
kesayangan bernama Ho-hoa, si teratai, namun gundik
kesayangan itu ternyata tidak tahu diri, malahan
bergendakan dengan pemuda lain dan akhirnya minggat
bersama. Semula ia bertahan sedapatnya agar tidak mencucurkan
air mata, tapi demi teringat kepada gundik kesayangan yang minggat itu, sungguh ia merasa kehilangan muka dan
pukulan batin yang hebat. Padahal selain gundik itu selama hidupnya dia tidak pernah mencintai siapapun juga. Ketika bapaknya matipun dia tidak meneteskan air mata, tapi si
teratai yang dicintainya justeru kabur bersama orang, kini hidupnya tinggal sebatangkara, maka sedihlah dia dan air matapun berderai.
Begitulah suara seruling yang memilukan itu menimbulkan kesedihan setiap orang yang mendengarnya,
kecuali orang gila yang tak berperasaan atau orang tuli yang tidak dapat mendengar, biarpun jago silat kelas tinggi juga pasti akan terpengaruh oleh suara seruling yang sedih ini dan mencucurkan air mata.
Ketika suara seruling itu sampai di suatu bagian,
mendadak anak muda itu berhenti meniup dan menyimpan
kembali serulingnya.
Siapapun tahu lagu sedih yang dibawakan anak muda itu
belum berakhir, tapi tiada seorangpun yang bertanya, sebab mereka belum tenang kembali dari rasa sedihnya, belum
kembali dalam keadaan normal.
Anak muda peniup seruling itu lantas berduduk tenang
di tempatnya, menunggu kalau2 ada di antara penonton
dapat memberitahukan jejak Soat Koh yang dicarinya itu.
Asalkan ada kabar sedikit saja, biarpun di ujung langit juga dia akan mencarinya ke sana.
Tujuannya meniup seruling adalah untuk memancing
penonton melihat potret yang dipasangnya, yaitu potret
"Soat Koh" yang dicarinya itu, dari salah seorang penonton diharapkan akan didapatkan keterangan jejak "isteri" yang hendak dicarinya.
Pada saat itulah, di balik kerumunan orang yang berjubel2 itu tiba2 berlari datang seorang muda yang
berdandan sebagai kacung. Dia tidak sempat mendengar
suara seruling tadi, tapi dari penonton yang berkerumun di situ ia mendapat tahu bahwa pemain seruling itu sengaja
main musik untuk mencari isteri.
Segera kacung itu mendesak ke tengah kerumunan orang
banyak sambil berteriak: "Permisi! Maaf, permisi!"
Dengan susah payah dan terus mendesak saja, akhirnya
ia sampai juga di bagian dalam walau pun dengan mandi
keringat, ia pandang potret yang terpasang di tanah itu, lalu mendekati anak muda pemain seruling dan bisik2 beberapa
kata padanya. Anak muda itu menjadi girang, cepat2 ia kemasi
barangnya, ia tarik kacung tadi dan berseru; "Mari pergi!"
Dengan sebelah tangan ia membuka jalan, tidak perlu
berdesakan, tapi orang2 yang berkerumun itu lantas
tersingkir kesamping, dengan mudah saja ia dapat keluar
dari kerubungan orang banyak. Di bawah petunjuk si
kacung, anak muda itu masuk ke suatu gang sempit dan
mendadak mereka berhenti di depan sebuah rumah.
"Ini, di sini!" kata si kacung dengan tertawa,
Pintu gerbang rumah itu bercat hitam dan terbuka, di
kedua sisi pintu tergantung lampu kerudung merah yang
tidak menyala. Ada papan pintu yang bertuliskan tiga
huruf: "Kun-hong-ih."
Melihat nama "Kun-hong-ih" dan lampu merah itu, si anak muda jadi teringat kepada "Kun-giok-ih". nama2
tempat itu sama artinva, yaitu "rumah perempuan cantik".
Sambil berkerut kening anak muda itu bertanya dengan
suara tertahan: "Ini kan rumah pelacuran"!"
"Betul," jawab si kacung dengan tertawa. "Nona kami juga
serupa tuan, sama2 menjual seni untuk mempertahankan hidup. Dia tidak serupa pelacur umum.
dia tidak menjual tubuh."
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oo, dia juga mahir meniup seruling maksudmu?" tanya si anak muda.
"Ya, nona kami she Liu bernama Ju-si," tutur si kacung dengan tertawa. "Dia mendengar suara serulingmu sangat merdu, maka sengaja mengundangmu."
"Akan tetapi. . . ." anak muda itu ragu2.
Mendengar suara orang di luar, saat itu juga germo atau
muncikari rumah lampu merah itu melongok keluar. lalu
berteriak ke dalam: "Ada tamu!"
Si kacung cepat memberi tanda dan berseru: "He, jangan berteriak, bukan tamu biasa!"
Germo itu memandang sekejap pada si anak muda,
melihat pakaiannya yang kasar dan sudah rada kumal, jelas bukan tamu yang berkantung padat, segera ia mendengus
terhadap si kacung: "Siau Sam, apakah tamu ini samaran pangeran atau cukong gede?"
Si kacung melotot dan menjawab: "Meski bukan cukong gede, tapi nona Liu kami yang sengaja mengundangnya
kemari," Sikap menghina muncikari itu segera berubah. ia
menegas; "Nona Liu yang mengundangnya?"
Sungguh ia tidak percaya bahwa sang "ratu"' yang biasanya disanjung puji oleh pemuda anak keluarga
pembesar dan hartawan dan tetap jual mahal itu sekarang
malah sengaja mengundang tamu dari luar. Tampaknya
tamu ini memang luar biasa.
Si kacung mengiakan pertanyaan muncikari tadi dengan
sikap yang penuh teka-teki.
Si germo jadi ragu2 pula, ia pikir jangan2 anak muda ini adalah keluarga pembesar atau orang penting yang sengaja menyamar, kalau tidak masakah Liu Ju-si menaruh
perhatian kepadanya.
Tentu saja ia tidak melewatkan kesempatan untuk
menjilat, cepat ia munduk2 dan berkata: "Silakan. silakan masuk, Kongcu!"
Anak muda itu tampak ragu2 sejenak, setelah berpikir,
akhirnya ia teguhkan hati dan melangkah masuk ke dalam.
Cepat si kacung berlari ke depan untuk memberi
petunjuk jalan.
Luas juga halaman rumah pelacuran ini, halaman dalam
adalah lantai batu, kedua sisi terdapat deretan kamar. Dari dalam kamar terdengar suara bersenda gurau laki2 dan
perempuan. Terkadang didepan beberapa kamar terdiri
perempuan bersolek bicara berlebihan dan main mata
terhadap tamu yang masuk.
Namun anak muda itu tidak berpaling juga tidak melirik.
matanya memandang ke depan dan ikut si kacung langsung
ke bangunan belakang yang berloteng.
Di ruang bawah itu terbagi menjadi dua ruangan duduk
dengan alat perabot yang serba mentereng, dinding penuh
berhias lukisan dan tulisan seniman ternama. Dipandang
sepintas lalu ruangan ini mirip rumah keluarga hartawan
atau pembesar, Setelah berada di dalam ruangan itu, dari samping
muncul seorang babu setengah umur yang baru turun dari
tangga loteng, dengan tertawa sibabu menegur si kacung:
"Siau Sam, apakah sudah datang?"
Si kacung mengangguk.
Segera babu setengah umur itu berkata kepada anak
muda tadi: "Silakan Kongcu ikut naik ke atas loteng."
Cepat ci kacung berpaling dan menjelaskan kepada tamu
undangannya: "Nona kami berdiam di atas loteng, silakan naik ke atas."
Anak muda itu tampak sangsi, katanya: "Dapatkah. . . ."
"Anda khusus diundang oleh nona kami kenapa ragu
untuk naik ke atas, apalagi di atas sana suasana akan lebih asyik," ujar si kacung dengan tertawa.
Akhirnya menurut juga anak muda itu, ia naik ke atas
loteng dengan si babu sebagai penunjuk jalan.
"Ai, Kongcu sungguh lain daripada yang lain," kata si babu dengan tertawa. "Anda tahu, betapa banyak orang yang ingin naik ke atas loteng dan sampai sekarang belum terkabul cita"nya!"
Anak muda itu tidak menanggapi melainkan ikut saja ke
atas. Setiba di atas loteng, seorang pelayan kecil menyongsongnya dan menegur: "Mak Ong, kenapa
sembarang tamu kau bawa ke atas?"
"Dia ini tamu yang diundang nona," jawab mak Ong.
"Oo, jika begitu pergilah kau, serahkan dia padaku," kata si pelayan cilik.
Sungguh tak terpikir oleh anak muda itu bahwa seorang
pelacur dapat berlagak seperti tuan besar, ber-turut2
berganti beberapa penunjuk jalan baru boleh bertemu.
Dia menyangka pelayan cilik ini adalah pengalang
terakhir, siapa tahu setelah membelok kesana dan sampai di depan sebuah kamar tidur, tertampak seorang pelayan lain menyelinap keluar dari kamar dan mendesis dengan jari di depan bibir, tanda agar jangan berisik supaya tidak
mengejutkan orang yang sedang tidur.
"Apakah nona sedang tidur?" tanya pelayan cilik yang pertama.
"Nona sakit kepala dan sedang istirahat," jawab si genduk terakhir ini.
"Tamu yang diundang nona sudah datang," tutur pelajan tadi.
Sama sekali genduk cilik itu tidak memandang anak
muda yang berada dibelakang kawannya dan lantas berkata:
"Suruh dia kembali lagi besok bila sakit kepala nona sudah sembuh."
Pelayan pertama tadi mengiakan. Belum lagi dia
berpaling, tanpa disuruh anak muda itu sudah maju ke sana dan bertanya kepada genduk itu: "Apakah parah sakit kepala nona kalian?"
"Siapa kau?" genduk itu sengaja bertanya.
"Dia inilah tamu yeng diundang nona," si pelayan pertama tadi menyeletuk.
Seperti tidak acuh genduk cilik itu memandang sekejap
pada anak muda itu, lalu menjawab dengan ketus: "Parah atau tidak sakit kepala nona, apa maksudmu ?"
Dengan sungguh2 anak muda itu menjawab: "Jika parah sudah tentu tak berani kuganggu, kalau tidak parah, harap disampaikan kepadanya agar dia suka memberitahukan
padaku, di manakah dia pernah bertemu dengan perempuan
yang bernama Soat Koh."
"Supaya disampaikan padanya" Maksudmu aku yang
tanya kepada nona, kemudian kuberitahukan pula
padamu?" si genduk menegas.
"Ya, begitulah, tolong!" kata si anak muda sambil memberi hormat.
Tapi genduk cilik itu menggeleng, katanya: "Tidak aku tidak berani. Bila sakit kepala, nona suka marah2, bisa2 aku nanti kena damperat. Mau tanya boleh kau tanyakan
sendiri." Habis berkata ia terus tarik si pelayan pertama tadi dan diajak pergi.
"He. he!" seru anak muda itu dengan suara tertahan.
Genduk tadi menghentikan langkahnya sambil berpaling.
dengan mata mendelik ia berkata: "Huh, kenapa kau ini tidak tahu sopan santun, memangnya namaku 'Hehe'?"
Anak muda itu menyadari kesalahannya, dengan
mengulum senyum cepat ia ganti ucapan: "O, maksudku . .
. maksudku adik ini. . . ."
Tapi mendadak genduk itu membentak pula: "Huh,
siapa adikmu?"
Si anak muda menjadi serba salah, ucapnya dengan
tertawa: "Habis apa yang harus kusebut"....."
Si pelayan cilik tadi menyeletuk; "Cici ini bernama Jun-ban."
Genduk itu melototi kawannya seperti menyalahkan dia
mengapa sembarangan memberitahukan namanya kepada
orang. Tapi si anak muda lantas berkata: "Ehm. nama yang
bagus, nama yang indah!"
"Huh, indah apa, tidak perlu kau memuji, tidak bakalan kusampaikan pertayaanmu kepada nona kami," demikian kata si genduk.
"Apakah kau takut diomeli?" tanya si anak muda.
"Jika kau tidak takut, boleh masuk sendiri," ujar si genduk yang bernama Jun-ban
"Ap . . . .apakah boleh?" anak muda itu menjadi sangsi.
"Nona kan sudah tahu akan kedatanganmu, kenapa tidak boleh?"
"Sudilah kau lapor lagi sekali?" pinta si anak muda.
"Nona sedang istirahat, tidak berani kuganggu dia."
Tunggu saja sampai Jun-ban dengan tertawa
"Ya. terpaksa begitu," si anak muda mengangguk.
"Kau tunggu saja di sini, kami akan pergi," kata Jun-ban pula.
Eh. jangan pergi!" seru anak muda itu. "Kalau nona kalian bangun kan perlu dilayani kalian."
"Ada kau yang melayani dia, kami tidak perlu lagi." Jun-ban tertawa ter-kikik2.
Muka anak muda itu menjadi merah dan terjengah:
"Wah, aku. . . ."
"Kenapa jengah" Jangan berpikir yang bukan2," Kata Jun-ban. "Justeru sengaja kuberi kesempatan padamu untuk melayani nona. umpamanya kalau nona sudah bangun,
tuangkan secangkir teh. bilamana hatinya senang, dengan
cepat tentu akan dia mengatakan apa yang kau ingin tahu."
Anak muda itu pikir betul juga ucapan genduk nakal itu.
Maka ia lantas berjaga di depan pintu setelah Jun-ban
berdua pergi, dengan cermat ia dengarkan setiap suara
didalam kamar. Tapi sejak pagi tunggu sampai sore, perut sudah
kelaparan, namun didalam kamar tetap tiada sedikit
suarapun, se-olah2 didalam kamar hakikatnya tiada
penghuninya. Namun si anak muda yakin di dalam kamar
pasti ada orangnya, sebab dia dapat mendengar suara orang bernapas
waktu tidur didalam kamar bahkan pernapasannya merata, itulah tandanya orang sedang tidur nyenyak.
Lantaran dia mengharapkan keterangan orang maka ia
ingin mematuhi pesan jun-ban tadi, akan dilayani sebaiknya si nona yang dimaksudkan agar selekasnya dapat
menemukan Soat Koh yang dicarinya itu.
Sudah hampir setahun ia mencari, baru sekarang ada
sedikit petunjuk yang menyenangkan kesempatan ini tidak
boleh di-sia2kan, bahkan harus selekasnya diketahui dengan jelas dan pasti, sehari pun tidak boleh terlambat lagi. Sebab satu hari terlambat menemukan Soat Koh berarti pula satu hari terlambat menuntut balas. Padahal selama setahun ini api balas dendam benar2 telah membakar hatinya dan
semakin berkobar, mana boleh ditunda lagi sekarang"
Tiba2 didengarnya di dalam kamar ada orang berkeluh
pelahan. . . .Anak muda itu bergirang. ia tahu itulah suara orang sakit yang baru bangun.
Didalam hati ia berseru: "Hayolah lekas minta teh.
begitu kau berseru segera kumasuk dan menuangkan teh
bagimu." Tapi yang terdengar hanya keluhan2 lagi beberapa kali.
Syukur akhirnya didengarnya suara seorang perempuan
berseru: "Jun-ban! . .Jun-ban! . . .Tuangkan teh bagiku!"
Langsung saja anak muda itu mendorong pintu dan
masuk ke dalam. Yang per-tama2 dilihatnya adalah sebuah
ranjang tembaga kuning yang indah dengan kelambu tipis
yang digulung ke atas, orang yang berbaring ditempat tidur itu muka menghadap kesana dengan selimut merah tipis
menutupi tubuhnya. hanya kelihatan rambutnya yang
terurai dibantal. mukanya juga tidak kelihatan.
Akan tetapi didinding belakaag ranjang itu ada sebuah
cermin tembaga yang mengkilat sehingga wajahnya
terpantul dengan jelas.
Sedemikian menarik wajah itu, sungguh sangat cantik,
cuma sayang hanya wajah saja yang terlihat sehingga tidak dapat mencerminkan kulit badannya yang putih halus dan
menggiurkan itu.
Anak muda itu sudah banyak melihat wanita cantik
didunia ini, maka dia tidak sampai terkesima, ia cuma
merasa sayang perempuan secantik ini juga terjerumus ke
pecomberan di tempat begini.
Di sebelah sana, dekat tempat tidur dan jendela ada
sebuah meja, di sebelahnya ada pula sebuah almari berkaca.
Diatas meja itu ada poci dan cangkir teh.
Anak muda itu terus mendekati meja dan menuangkan
setengah cangkir teh. Dengan membawa cangkir itulah dia
mendekati tempat tidur. Ia ragu" sejenak, sebab ia tidak tahu cara bagaimana harus meladeni orang yang ingin
minum, apakah mesti memayangnya
bangun dan memanggilnya agar minum sendiri"
Didengarnya perempuan ditempat tidur itu lagi berkata
pula dengan ter-putus2: "Jun-ban . . .mana. . . .mana tehnya, bangunkan aku. . . ." Dari suaranya yang berkeluh kesah itu agaknya kepalanya memang lagi sakit dan
mungkin tidak sanggup untuk minum sendiri. Maka anak
muda itu bermaksud memayangnya bangun, ia pikir
sebaiknya menyapanya dulu, kalau orang tidak menolak
barulah akan dikerjakannya.
Dengan suara pelahan ia lantas memanggil: "No. .
.nona!" Tapi perempuan itu tidak menggubrisaya, mungkin haus
dan kepalanya terlalu sakit, dia tetap berkeluh saja: "Teh. .
.teh. . .mana tehnya. . . ." "mungkin juga pikirannya tidak jernih sehingga tidak tahu orang yang menegurnya itu
bukan pelayannva melainkan suara seorang lelaki.
Anak muda itu pikir bila orang sudah minum mungkin
pikirannya akan sadar, kalau tidak sadar, cara bagaimana bisa
dimintai keterangan"
Karena itu. ia tidak menghiraukan perbuatannya sopan atau tidak. segera ia
duduk ditepi ranjang dan merangkul perempuan untuk
dibangunkan, sedang cangkir teh ditangan lain lantas
disodorkan kebibirnya.
Dalam keadaan muka beradu muka, wajah perempuan
itu dapat terlihat dengan jelas. Matanya terpejam tapi dapat dipastikan besar dan indah, alisnya lentik seperti dilukis,
mukanya jelas sangat cantik. apalagi kulitnya yang putih halus, biarpun lelaki berhati baja juga akan goyah.
Yang luar biasanya adalah bau harum tubuhnya. dari
kejauhan tak diketahui darimana timbulnya bau harum,
setelah anak muda itu merangkul tubuhnya barulah
diketahui bau harum di ruang kamar timbul dari badan
perempuan ini. Bau harum semerbak itu mau-tak-mau terus terendus
hidung anak muda itu, ditambah lagi apa yang
dipandangnya dan tubuh lunak dalam rangkulannya,
sembari memberi minum orang, hati anak muda itu
berguncang hebat dan mukapun merah panas.
Perempuan itu, Liu Ju-si, minum teh dengan mata tetap
terpejam, entah dia sengaja tidak mau membuka mata atau
memang kepala sakit sehingga sukar melek. pendek kata,
sampai saat ini dia seperti belum mengetahui orang yang
memberi minum itu bukanlah Jun-ban.
Mungkin dia lantas terpulas lagi, sebab mendadak
sebelah pahanya terjulur keluar dari selimutnya. Tentu saja paha yang mulus itu terlihat juga oleh anak muda itu.
Itulah paha yang padat, halus dan licin, jangankan anak
muda yang belum pernah melihat paha perempuan,
sekalipun pemuda bangor yang setiap hari terbenam di
rumah pelesiran juga pasti akan tertarik oleh paha yang
mulus ini. Sampai melotot mata anak muda itu, ber-ulang2 ia
menelan air liur, kerongkongan serasa kering. badan terasa panas, jantung berdetak lebih keras.
Lebih hebat lagi ketika mendadak, entah sejak kapan,
tahu2 selimut yang menutupi badan Liu Ju-si juga merosot kesamping, sehingga ketika memandang keatas pahanya,
seketika badan si anak muda seperti kena aliran listrik, sekujur badan tergetar dan tanpa terasa cangkir yang
dipegangnya jatuh ketempat tidur.
Apa yang dilihatnya ternyata tubuh Liu Ju-si yang
telanjang bulat. Rupanya perempuan ini tidur dengan
membuka semua pakaiannya tanpa sehelai benang pun.
Keruan anak muda itu ternganga, mana dia pernah
meiihat perbukitan yang subur dengan alang2 lebat serta
gua rahasia yang tersembunyi.
Dia benar2 melongo oleh pemandangan yang luar biasa,
ia sampai lupa daratan entah dirinya masih berada didunia ramai ini atau sudah berada di surga"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Se-konyong2 Lui Ju-si membuka matanya sedikit,
melihat anak muda itu dalam keadaan kesima dan tidak
melakukan sesuatu tindak lanjutan, diam2 ia merasa
gegetun. Mendadak ia menggreget, sesuai rencana semula. Liu Jusi terus berbangkit, anak muda itu lantas dirangkulnya,
tubuhnya yang licin seperti ular itu terus menggelondot
dalam pangkuan anak muda itu.
"Bukalah pakaianmu dan hayolah!" bisiknya sambil membuka kancing baju anak muda itu.
Mendingan kalau dia tidak bicara, begitu mendengar
suaranya, benak anak muda yang lupa daratan itu
mendadak seperti kena dikemplang, seketika ia terkejut:
"Ah, ia sudah mendusin, dia mengetahui aku telah
mengintip badannya! Ai, kenapa aku tidak dapat
mengekang perasaan sendiri?"
Pikiran itu berkelebat dalam benak anak muda itu ia
merasa malu dan menyesal, cepat ia mendorong tubuh Liu
Ju-si, tak terpikir olehnya apa tujuan perempuan itu
mendadak memeluknya, dia malah menyesali dirinya
sendiri yang tergolong ahli Lwekang tingkat tinggi, tak
dapat menguasai berkobarnya napsu berahi.
Segera ia berdiri, tanpa bersuara ia melangkah keluar.
"He, jangan pergi!" seru Liu Ju-si.
"Aku takkan pergi," jawab anak muda itu sambil berdiri ditepi pintu.
"Masuklah kemari!" seru Lui Ju-si pula.
"Sesudah kau berpakaian dengan sendirinya aku akan
masuk kesitu untuk minta keterangan padamu," jawab si anak muda.
Buru2 Liu Ju-si mengenakan pakaiannya, sungguh ia
tidak paham, mengapa ucapannya tadi malah membikin
anak muda itu ketakutan dan kabur keluar kamar.
Seyogyanya. dengan rayuannya tadi seharusnya mirip api
disiram minyak sehingga makin membakar napsu berahinya. Memang. bagi seorang yang beriman lemah, satu kalimat
kata yang "panas" pasti akan membakar dan meleburnya.
Tapi bagi anak muda itu, bukan saja tidak dapat lebih
menjerumuskan dia, sebaliknya malah menyadarkan
pikirannya, menyadarkan dosanya.
Suka kepada kecantikan, suka pada keindahan adalah
pembawaan setiap manusia. Kecantikan Liu Ju-si dapat
mengguncangkan hati anak muda itu. keindahan tubuh Liu
Ju-si dapat menimbulkan rangsangan yang belum pernah
dirasakannya selama ini. Rasa heran dan ingin tahu
membuat pandangannya melekat pada apa yang dilihatnya
dan merangsang napsu berahinya, kalau keadaan ini
didiamkan saja, bisa jadi seluruh akal sehatnya akan
tenggelam dan runtuh sehingga tak terkendalikan.
Tapi bilamana terjadi sesuatu perubahan dari luar yang
memecahkan ketenangan itu, misalnya suara yang
datangnya mendadak, begitu syarafnya tergetar dan
merasakan kesalahannya, seketika
dia akan dapat menguasai lagi perasaannya dengan Lwekangnya yang
tinggi dan kuat. lalu tanpa pikir lagi akan ditinggal pergi.
Waktu Liu Ju-si berduduk tadi, gerakannya itu telah
memecahkan "ketenangan" dan menyadarkan anak muda itu dari lamunannya, ditambah lagi kata2 rayuan yang
semakin mengganggu seluruh ketenangannya, maka anak
muda itu lantas sadar seluruhnya.
Liu Ju-si lantas mengenakan pakaiannya, lalu memanggil
dengan suara halus: "Sekarang masuklah kemari!"
Begitu anak muda itu muncul. seketika Liu Ju-si
menunduk malah, ia tidak berani menatap anak muda yang
baru saja telah melihat seluruh rahasia tubuhnya itu.
Dengan malu2 ia berkata: "Janganlah kau marah bahwa aku sengaja hendak merayu kau."
Anak muda itu rada melengak, segera ia bertanya:
"Sebab apa kau berbuat begitu?"
"Aku ingin menyerahkan tubuhku padamu agar. . . .agar.
. ." Karena tidak tahu apa maksud tujuan orang, anak muda
itu menegas: "Agar apa?"
"Agar kau mau mengajarkan kepandaian meniup
serulingmu yang hebat itu?"
"Kau sendiri kan juga mahir main seruling?"
"Tapi terlalu jauh kalau dibandingkan kepandaianmu
yang dapat memikat pendengarnya hingga mengikuti
kemanapun kau pergi."
Anak muda itu menjadi heran, tanyanya; "Dari mana
kau tahu ada pendengar yang terpikat dan mengikuti
diriku?" Liu Ju-si tidak lantas menjawab, setelah merancang
baik2 jawabannya barulah dia berkata: "Kudengar dari seorang tamuku yang pernah terpikat oleh suara
serulingmu."
"Oo" Tapi demi ingin belajar main seruling kau rela menyerahkan tubuhmu, apakah tidak terlalu besar
pengorbananmu ini?" ucap anak muda itu.
Sejak tadi Liu Ju-si tidak berani bicara dengan menatap
muka, baru sekarang pelahan ia mengangkat kepalanya dan
memandangnya sekejap, menunduk pula dan berkata: "Jika begitu, dapatkah
sekarang kau ajarkan permainan serulingmu padaku?"
Anak muda itu diam saja. Segera Liu Ju-si mendesak:
"Jika kau menolak aku pun tidak mau memberitahukan
urusan yang kau ingin tahu."
"Bila begitu, aku mohon diri," segera anak muda itu berbangkit.
Sama sekali Liu Ju-si tidak menyangka orang itu
wataknya, cepat ia berseru: "Nanti dulu Soat-kongcu."
Anak muda itu berhenti dan menjawab: "Aku tidak she Soat, tapi she Sau."
"Kau tidak mau mengaku she Soat, apakah kau pun
tidak mau mengaku bernama Peng-say?" tanya Liu Ju-si.
Seketika Peng-say membalik tubuh, dengan emosi ia
bertanya dengan suara keras: "Dari mana nona tahu aku bernama Soat Peng-say?"
"Soat Koh yang bilang," jawab Liu Ju-si dengan tertawa.
"Tidak mungkin Soat Koh tahu, dia cuma tahu aku
bernama si Tolol," kata Peng-say.
"Betul, dia hanya tahu kau bernama si Tolol, tapi apakah kau lupa pernah menusuknya dengan pedangmu di Ciau-jiu-wan dahulu?"
"Apakah kau bersahabat baik dengan Soat Koh?" tanya Peng-say dengan penuh penyesalan.
"Kalau bukan sahabat baik, mana bisa dia memperlihatkan pedangmu yang kau gunakan melukai
bahu kanannya itu" Bukankah di garang pedang itu terukir namamu yang asli?"
"Pedang itu masih. . . .masih disimpannya?" tanya Peng-say dengan suara gemetar.
"Sudah tentu senjata itu disimpannya baik2. Dia sedang menunggu, pada suatu hari iapun akan balas menusuk bahu
kirimu dengan pedang yang tak berperasaan itu."
"Di. . . .dimana dia sekarang?"
"Bila kuberitahukan padamu, apakah kau berani
menemui dia?" tanya Liu Ju-si dengan tertawa.
"Kujelajahi dunia ini, tujuanku justeru hendak mencari dia," jawab Peng-say.
"Kau tidak takut akan dibalas tusuk satu kali?"
"Aku melukai dia, memang pantas kalau dia tusuk
diriku." "Ehm. boleh juga kau. Cuma sayang, biarpun tidak
takut, tidak boleh kuberitahukan padamu secara percuma."
"Apakah kau minta kuajarkan permainan seruling
padamu?" tanya Peng-say.
Padahal tujuan Liu Ju-si hanya ingin tahu tujuan Pengsay yang sesungguhnya, hal belajar seruling hanya sebagai alasan belaka. Tapi dia berlagak seperti sekarang memang begitulah tujuannya dan mengiakan.
Terpaksa Peng-say menghela napas dan berkata;
"Baiklah, akan kuajarkan kau."
Diluar dugaan, setelah Peng-say menyanggupi Liu Ju-si
berbalik menggeleng kepala dan berkata pula dengan
tertawa: "Jika ada tekad seperti sekarang, kenapa dahulu mesti berpisah dengan dia?"
"Dialah yang meninggalkan diriku," kata Peng-say dengan menyesal.
"Jika pedangmu tidak menusuk bahunya dan melukai
hatinya, apakah dia dapat meninggalkan dirimu" Apakah
kau tidak tahu ada maksudnya akan berkumpul selama
hidup dengan kau?"
"Urusan yang sudah lalu hendaklah jangan dibicarakan lagi," kata Peng-say dengan menghela napas. "Nona Liu, aku berjanji akan mengajarkan keahlian main seruling
padamu, tapi tidak dapat kuajarkan sekarang juga. Hal ini harus kau setujui. kalau tidak akupun batal minta
pertolonganmu."
"Mengapa tidak dapat mengajarkan sekarang juga?"
tanya Liu Ju-si.
"Sebab kau tidak memiliki dasar Lwekang yang kuat,
untuk belajar lagu serulingku ini diperlukan orang yang
mempunyai dasar Lwekang selama berpuluh tahun.
Padahal aku menanggung sakit hati orang tua dan harus
kutuntut balas, tugasku ini tidak boleh tertunda sekian
tahun hanya karena harus mengajarkan main seruling
padamu." "O, lantaran itulah, maka tadi kau hendak pergi begitu saja tanpa tanya dimana beradanya Soat Koh?"
"Jika sekarang kau tetap tidak setuju. terpaksa akupun mohon diri lagi."
"Bilakah sakit hatimu dapat kau balas?"
"Entah, sukar dipastikan."
"Bila selama hidupmu tak dapat menuntut balas, lalu bagaimana?"
"Selama hidup pula tidak sempat kuajarkan main
seruling padamu."
"Dan kalau kau mati sebelum berhasil membalas
dendam?" Peng-say menjadi kurang senang, katanya: "Terlalu
banyak nona memikirkan berbagai kemungkinan itu, lebih
baik batalkan saja persetujuan kita."
"Ah, janganlah berjiwa terlalu sempit, aku takkan terlalu mempersulit kau." kata Liu Ju-si dengan tertawa.
"Jika demikian, mohon diberitahu dimana beradanya
Soat Koh." pinta Peng-say dengan hormat.
"Semoga kau dapat membalas dendam dengan cepat,
tapi janganlah melupakan janjimu akan mengajarkan main
seruling padaku."
"Janji seorang lelaki sejati tidak nanti diingkari. Asalkan kau beritahukan dimana beradanya Soat Koh dan dapat
kuketemukan dia, jangankan beberapa tahun atau sepuluh
tahan, sampai ubanan juga akan kuajarkan kau seperti
janjiku." Diam2 Liu Ju-si merasa senang. ia menegas pula:
"Betulkah akan kau ajarkan sampai ubanan?"
"Nona adalah orang cerdas, tentu tidak perlu belajar sampai ubanan. Numpang tanya. sesungguhnya dimanakah
Soat Koh berada?"
"Jangan buru2 tanya dia dulu, kujamin hari ini juga dapat kau temukan dia." ucap Liu Ju-si dengan tertawa.
"Nona ada urusan apalagi?" tanya Peng-say.
"Ingin kutanya dulu, apakah Soat Koh sudah menikah
dengan kau?"
Peng-say tidak tahu apa artinya pertanyaan ini, dia
menjawab: "Belum!"
"Jika begitu, mana boleh kau cari dia dengan
menggunakan semboyan 'jual seni cari isteri'?"
"Hendaklah
jangan kau tertawakan, kugunakan semboyan itu ada dua maksud tujuan."
"Dua maksud tujuan?" Liu Ju-si menegas.
"Pertama, agar mendapatkan simpatik khalayak ramai, mungkin ada yang tahu dan kasihan padaku, lalu
memberitahukan jejak Soat Koh."
"Kau memperalat simpatik orang yang ingin membantu
kau dengan setulus hati, meski caramu ini cukup baik, tapi bukankah caramu inipun sama dengan menipu orang yang
bermaksud baik hendak membantu kau" Selain itu, Soat
Koh masih perawan suci, apakah kau tidak kuatir menodai
nama baiknya atau membikin marah padanya?"
"Demi menemukan dia, aku tidak sayang menipu orang
yang ingin membantuku dan juga tidak peduli apakah akan
menodai nama Soat Koh atau tidak. Bila dia marah akan
lebih baik lagi. semboyan jual seni mencari isteri yang
kupakai itu justeru ingin kupancing dia marah."
"Ah, tahulah aku, tanpa istilah mencari isteri kau kuatir takkan menimbulkan perhatian Soat Koh, begitu bukan?"
Peng-say mengangguk, kutanya: "Ya, bila dia dengar
dirinya telah berubah menjadi isteri orang, mau-tak-mau dia pasti akan menaruh perhatian. Dalam gusarnya, tentu dia
akan mencari diriku."
"Tapi apakah kau tahu di dalam hal ini ada suatu
kekurangan?"
"Oo. mohon petunjuk," kata Peng-say
"Kau kira Soat Koh akan marah, ini hanya jalan
pikiranmu sendiri, bila dia berjiwa besar, tidak menghiraukan ulahmu itu atau dia pikir nama orang
banyak yang sama, bisa jadi yang dicari bukan dia. Lalu
apakah tidak sia2 belaka akalmu itu" Cuma, akhirnya dapat juga kau temukan petunjuk melalui perantaraanku, tidaklah sia2 jerih payahmu."
"Entah cara bagaimana nona mendapat tahu aku
menjuai seni di-alun2 sana?"
"Coba kau terka?"
"Nona senantiasa berdiam di rumah, dengan sendirinya tidak sembarangan pergi ke tempat begitu, mungkin nona
cuma mendengar ceritera orang lain."
"Bukan," kata Liu Ju-si sambil menggeleng.
"Habis dari mana nona mengetahuinya?"
"Soal ini jangan dibicarakan sekarang, boleh?"
"Nona tidak suka menjelaskan, dengan sendirinya tak dapat kupaksa. Apakah nona masih ada pertanyaan lain?"
"Ada, suatu pertanyaan lagi, pertanyaan terakhir. yakni, apa maksud tujuanmu dengan berbagai cara dan jalan kau
cari Soat Koh?"
"Bolehkah tak kujawab pertanyaan ini?"
"Tidak kau jawab berarti selamanya kau takkan
menemukan Soat Koh."
"Maksudmu, bila tidak kujelaskan tujuanku mencari dia, maka iapun tidak mau menemui aku?"
"Ya, begitulah," kata Liu Ju-si.
"Jika demikian, jadi Soat Koh sudah tahu aku sedang mencari dia?"
"Sebabnya kutahu kau jual seni di-alun2 justeru dia yang memberitahukannya padaku. Dia yang minta kuundang
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau kesini, tapi harus kau katakan dahulu tujuanmu
mencari dia barulah dia mau bertemu dengan kau."
Peng-say menghela napas, katanya: "Jika demikian harap sampaikan kepadanya bahwa ada urusan sangat penting
kucari dia, kumohon dia sudi memberi kesempatan untuk
bertemu." "Urusan penting apa"' tanya Liu Ju-si.
"Bila berhadapan tentu akan kujelaskan."
"Apakah sekarang tidak dapat kau katakan?"
Tergerak hati Peng-say, ia sengaja perkeras suaranya dan berkata: "Guru Soat Koh, Soat Ciau hoa, sesungguhnya adalah bibiku, adik ibuku. Maka kumohon dia suka
membawaku menjumpai gurunya. bibiku."
"Apa tujuanmu menemui gurunya?"
"Aku belum pernah kenal bibi, sangat ingin kutemui
beliau untuk bercengkerama antara anak keluarga sendiri."
"Kukira tidak cuma ini saja tujuanmu?"
"Melulu ini saja apakah belum cukup?"
"Belum," jawab Liu Ju-si.
"Ibuku sudah meninggal, berita duka ini harus
kuberitahukan kepada bibi."
"Hanya urusan ini kau cari Soat Koh menjelajah dunia ini, kukira tidak benar seluruhnya."
Peng-say mencucurkan air mata dan berkata pula:
"Ayahku terbunuh, aku tidak mampu menuntut balas, maka ingin kumohon bantuan bibi."
"Akan kau mohon dia membantu dengan cara
bagaimana?" tanya Liu Ju-si.
"Agar mengajarkan semacam ilmu pedang sakti padaku."
"Bila bibimu tidak mau mengajarkan padamu?"
"Akan kumohon hingga mati."
"Selain itu apakah tiada jalan lain untuk menuntut
balas?" "Ya, tidak ada," jawab Peng-say.
"Sakit hati ayahmu memang harus dibalas, jelaslah
sekarang sebabnya kau cari Soat Koh dengan susah payah
dan bukan cuma pura2 belaka," kata Liu Ju-si.
"Maka kumohon sudilah
engkau menyampaikan padanya, semoga dia kasihan pada tekadku akan menuntut
balas bagi sakit hati ayahku dan sukalah dia membawaku
menemui bibi."
Liu Ju-si berdiam agak lama, ucapnya kemudian sambil
menggeleng: "Dia tidak percaya kepada penuturanmu, biar kusampaikan juga percuma."
Peng-say dapat menduga Soat Koh pasti berada di sekitar
situ, apa yang dikatakan Liu Ju-si pasti tidak dusta, sebagai orang
perantara ia hanya disuruh membuktikan kesungguhan hatinya mencari Soat Koh, tapi setelah
ditunggu dan ternyata Soat Koh tidak memberi reaksi apa2, jelas nona itu tetap tidak mau bertemu dengan dirinya.
sebab itulah Liu Ju-si menyatakan tiada gunanya
menyampaikan permintaan Peng-say itu.
Namun. Peng-say juga tidak membongkar soal Soat Koh
bersembunyi disitu, dengan menyesal ia berkata pula:
"Nona Liu, tentunya kau tahu sebab apakah dia tidak mau menemui diriku" Lalu harus bagaimana barulah akan
berhasil tujuanku ini?"
"Dia pernah berkata padaku bahwa tujuanmu mencari
dia pasti ada sangkut-pautnya dengan adik misanmu yang
bernama Cin Yak-leng. entah betul tidak hal ini?"
"Cin Yak-leng sudah mati," tutur Peng-say.
"Mati" Cara bagaimana matinya?"
"Seorang jahat bernama Ciamtay Cu-ih telah membunuhnya!" kata Peng-say dengan penuh dendam.
Kamar tidur Liu Ju-si itu ada sebuah pintu tembus
kekamar sebelah. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara
orang mendengus di kamar sebelah ituSeketika Peng-say tahu Soat Koh bersembunyi disitu,
suara dengusan itu ia masih dapat dikenalnya sebagai suara Soat Koh.
Tapi kalau nona itu tidak mau keluar. bila Peng-say
masuk kesana dan nona itu lantas lari, kan urusan bisa
tambah runyam malah. Maka Peng-say berusaha agar Soat
Koh mau keluar dengan sendirinya, ia pura2 tidak
mendengar suara dengusan itu. ia berkata pula: "Ilmu silat
Ciamtay Cu-ih jauh di atasku untuk membalas dendam
Piaumoayku itu, satu2nya jalan juga harus mencari bibi
agar beliau suka mengajarkan ilmu pedangnya padaku."
"Keterus-teranganmu ini, bila kusampaikan padanya,
kukira Soat Koh pasti takkan menolak lagi."'
"Ya. semoga demikian hendaknya," kata Peng-say.
Tapi setelah sekian lama masih tiada suara apa2. Pengsay lantas memecahkan kesunyian itu, tanyanya: "Nona Liu. Soat Koh tetap tidak mau menemui diriku, menurut
kau, apa sebabnya?"
"Kukira mungkin ia masih dendam pada kejadian yang
dulu," jawab Liu Ju-si.
"Maksudmu. perihal kulukai dia itu?"
"Ya, biarpun dia balas menusuk kau satu kali kukira rasa dendamnya tetap tak terhapus, maka lebih baik dia tidak
bertemu dengan kau agar kau pun tidak dapat membalas
sakit hati segala. Pembalasan secara keji ini bukankah jauh lebih menyakitkan daripada dibalas menusuk kau dengan
pedang?" Di balik ucapan Liu Ju-si itu nyata iapun rada menyesali ketegaan hati Soat Koh yang tetap tidak mau keluar.
Peng-say menghela napas, tiba2 ia mengeluarkan
seruling kemalanya.
"Kau mau main seruling?" tanya Liu Ju-si.
"Ya," jawab Peng-say. "Suara seruling dapat menyatakan rasa penyesalanku, hendaklah kau jangan pergi, dengarkan dulu satu laguku."
Liu Ju-si tahu ucapan Peng-say itu ditujukan kepada Soat Koh, tapi dengan tertawa ia menjawab: "Mana aku mau
pergi" Dapat menyaksikan kepandaianmu yang hebat ini,
biarpun diusir juga aku tidak mau pergi."
"Cuma sayang Soat Koh tidak berada disini," kata Peng-say.
"Jika dia di sini kuyakin iapun takkan pergi."
"Dari mana kau tahu?"
"Ya, sebab sedikitnya dia harus mendengarkan isi hatimu apakah benar2 merasa menyesal."
Peng-say tidak bersuara lagi, ia bersimpuh dilantai, lalu mulai meniup lagu "Siau-go-yan-he" yang sedih memilukan itu, suara seruling yang rawan berkumandang kesetiap
pelosok rumah pelacuran "Kun-hong-ih" itu.
Lagu "Siau-go-yan-he" itu terbagi dalam empat bagian, arti
lagu menceritakan kehidupan yang sengsara, sebatangkara, kelaparan dan kedinginan.
Belum lagu itu sampai pada bagian yang kedua, setiap
penghuni rumah WTS itu sama mencucurkan air mata.
Liu Ju-si jadi berduka juga akan nasibnya sendiri, iapun mendekap mukanya dan menangis tersedu-sedan, diam2
iapun mengakui lagu sedih ini sukar dibandingi oleh lagu yang sering dibawakan dengan serulingnya, boleh dikatakan bedanya seperti langit dan bumi.
Selama setahun ini Peng-say menjual seni disepanjang
perjalanannya, paling2 dia hanya meniup lagunya sampai
bagian kedua dan tidak pernah disambung lagi. Tapi
sekarang sekaligus ia teruskan bagian ketiga dan keempat, tampaknya ia ingin merampungkan seluruh lagu Siau-goyan-he itu.
Padahal ia menyadari bilamana seluruh lagu Siau-goyann-he itu dihabiskan. maka akibatnya akan sangat
merugikan kesehatannya sendiri, tapi demi mengharukan
hati Soat Koh agar mau keluar menemuinya, segala akibat
pun tak dipikir lagi.
Lagu "Siau-go-yan-he" hanya satu kali pernah dibawakan seluruhnya oleh Peng-say ketika berlatih semadi menurut
gambar yang tercantum dalam buku not seruling itu. Waktu itu dia belum tahu kelihayan lagu itu sehingga dia hampir tumpah darah, maka untuk selanjutnya ia menjadi kapok
dan tidak berani meniupnya lagi. Sedangkan dalam
usahanya "menjual seni mencari isteri" ini paling2 dia hanya meniup bagian pertama saja untuk menarik perhatian penonton dan tidak lebih dari itu.
Lagu bagian pertama itu nadanya juga menyedihkan,
tapi tidak memedihkan, biarpun diulang sepuluh atau
seratus kali juga tidak beralangan. Tapi bagian lanjutan lagu itu justeru sangat memilukan dan memedihkan, bilamana
nadanya sudah memuncak, maka rasanya seperti di-sayat2
dan akibatnya pasti tumpah darah.
Kini bagian ketiga dan keempat lagu itu ber-turut2
disuarakan oleh Peng-say, tentu saja banyak di antara
pendengarnya tidak tahan, ada beberapa tamu yang lagi
pelesir dirumah pelacuran itu tidak dapat menguasai diri lagi dan menangis ter-gerung2. Sekalipun ada yang tidak
menangis keras, paling tidak rasa pedihnya juga sukar
ditahan. Begitu memilukan lagu itu sehingga pendengarnya rasanya sudah putus asa dan ingin menumbukkan
kepalanya agar mati dan tamatlah segalanya daripada hidup nelangsa di dunia ini.
Ditengah rasa dukanya, diam2 Liu Ju-si merasa heran:
"Meski bagian belakang lagu ini sangat mengharukan
orang, tapi tidak selembut dan merdu seperti bagian depan, ditengah lagu ini seperti ada sesuatu kekurangan yang tidak lengkap."
Rupanya Liu Ju-si paham seni suara. pandangannya
lebih tinggi daripada orang biasa, ia pikir suara seruling ini terlalu bersahaja dan terpencil, rasanya harus dipadu
dengan suara alat musik yang lain. Lebih jauh didengarnya suara seruling itu se-olah2 orang yang lagi berkeluh-kesah dan menyatakan rasa rindu antara suami-istri yang sudah
lama berpisah. Diam2 Liu Ju-si sangat terharu, pikirnya: "Sungguh luar biasa kepandaian meniup seruling orang ini, Soat Koh pasti akan terharu olehnya."
Di kamar sebelah itu memang sedang berduduk seorang
Suseng cakap, dia adalah samaran Soat Koh.
Sejak dia dilukai Peng-say di semenanjung Cian-ciu dan
berlari pergi dengan luka lahir-batin, selama itu iapun tidak pernah melupakan "si Tolol", meski dia menyadari pemuda yang berhati keji itu tidak menaksir dirinya, bahkan adalah murid musuh sang guru, tapi bila terbayang kepada wajah
dan suara si Tolol, betapapun kenangan itu tak dapat
dihapus dari lubuk hatinya.
Akan tetapi dirinya adalah seorang perempuan. kalau
pemuda itu datang mencarinya masih dapat didamaikan
kembali serta melupakan sakit hati tusukan pedang itu,
sebaliknya dirinya tidaklah mungkin pergi mencari anak
muda itu tanpa kenal malu.
Waktu dia tinggal pergi dengan membawa keretanya
yang berwarna kuning emas itu, dia tidak terus pergi jauh melainkan bersembunyi didalam kota Ciau-ciu, ia masih
menaruh harapan kalau2 "si Tolol" akan mencarinya.
Siapa tahu beberapa hari sudah lalu dan "si Tolol" tetap tidak nampak mencarinya, ia pikir mungkin anak muda itu
sudah pergi bersama "Adik Leng" yang dicintainya itu dan dirinya sudah dilupakan.
Ia menjadi menyesal dirinya telah bantu "si tolol"
membunuh Ciamtay Boh-ko, setelah mereka berkumpul, dirinya lantas kehilangan "sahabat", bahkan ditusuk pula oleh pemuda yang berhati keji itu.
Makin dipikir makin gemas dia, pernah dia mengambil
keputusan akan balas menusuk pemuda keji itu, bilamana
lukanya sudah sembuh segera dia akan pergi mencarinya
untuk menuntut balas.
Tapi sesudah lukanya sembuh lantas terpikir olehnya:
Bunga Ceplok Ungu 4 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama